PROBLEMATIKA PPNS KEHUTANAN BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERAMBAHAN Bambang Mulyawan Mahasiswa Pascasarjana(S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta e-mail :
[email protected] Abstract This article intended to explain the factors which cause the problematic of law enforcement in the form of encroachment of forest crime. The use and processing of forest area illegaly in national park of Gunung Gede Pangrango. Land encroachment problems in national park of Gunung Gede Pangrango conservation areas is a serious problem and must be immediately resolve, because of these problems will ultimately lead to cover the protected area will be reduced. Which would threaten the life of the region, as indicated constrained by a factor of legal substance, legal structure and legal culture. Keywords: Encroachment, National Park.PPNS. Abstrak Penulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan problematika dalam penegakan hukum tindak pidana kehutanan berupa perambahan, penggunaan dan pengerjaan kawasan hutan secara tidak sah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.Permasalahan perambahan lahan di kawasan konservasi TNGGP merupakan permasalahan yang serius harus segera diselesaikan karena permasalahan tersebut pada akhirnya akan berakibat kepada tutupan kawasan lindung akan berkurang yang tentu akan mengancam kehidupan di wilayah hilir yang terindikasi terhambatnya suplay air, bahaya banjir dan longsorDalam penegakan hukum ini terkendala pada faktor subtansi hukum, Struktur Hukum dan Kultur Hukum. Kata Kunci: Perambahan, Taman Nasional, PPNS
A. Pendahuluan Tuhan Yang Maha Esa memberikan karunia dan amanah kepada Bangsa Indonesia kekayaan alam berupa hutan yang tidak ternilai harganya. Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan.1 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu dari 5 (lima) kawasan konservasi pertama yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional, penetapan kawasan hutan di kompleks Gunung Gede Pangrango sebagai kawasan Konservasi didasarkan pada kondisi dan potensialnya yang 1
strategis. Kondisi hutan yang relatif sangat baik, bahkan termasuk ekosistem hutan terutuh di Pulau Jawa, sehingga kawasan TNGGP ditetapkan sebagai perwakilan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) TNGGP ditetapkan sebagai kawasan taman nasional di Indonesia berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 meliputi kawasan seluas 15.196 ha. Selanjutnya Pada tahun 2003, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 TNGGP mendapatkan kawasan alih fungsi Kawasan Hutan Produksi yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi hutan konservasi TNGGPseluas ± 21.975 ha.Kemudian berdasarkan
UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Problematika PPNS Kehutanan .... 51
Berita Acara Serah Terima Pengelolaan No.002/ BAST-HUKAMAS/III/2009, No 1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009 dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar TNGGP, luas kawasan yang diserahkan adalah seluas 7.665 ha, dengan demikian total luas TNGGP adalah 22.851 ha.2 Adanya perluasan kawasan menyebabkan perubahan fungsi kawasan tersebut yaitu dari fungsi produksi menjadi fungsi lindung atau konservasi. Pada awalnya kawasan tersebut dijadikan sebagai kawasan produksi penggarapan lahan atau tumpang sariseiring berubah fungsi menjadi kawasan konservasi dibawah pengelolaan taman nasional hal ini yang menjadi permasalahan dan tantangan yang berat bagi TNGGP untuk melakukan pemulihan kawasan dan memberikan penyadaran kepada oleh masyarakat pengarap di kawasan produksi bukan merupakan pelanggaran namun setelah lahan tersebut masuk ke dalam areal perluasan TNGGPsaat ini menjadi suatu tindak pidana kehutanan berupa pengerjaan kawasan hutan . Bentuk Perambahan lahan yang terjadi di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berupa perambahan kawasan dalam bent uk aktifitas penggunaan atau penggarapan lahan secara illegal di dalam kawasan Konservasi TNGGP dengan jumlah keseluruan penggarap ada 2843 KK pada 880, 913 ha. danPenguasaan lahan kawasan TNGGP Kawasan Konservasi TNGGP. Melihat keberadaan dan jumlah PPNS yang sudah memiliki Surat keputusan Penyidikan hanya berjumlah 3 (tiga) orang yang ada di BBTNGGP untuk melaksanakan fungsinya dapat dikatakan belum optimal. Dari beberapa kasus tindak pidana perambahan yang sampai kepengadilan sangat sedikit, hal ini menandakan bahwa PPNS Kehutanan belum berfungsi secara optimal dalam melakukan penegakan hukum. Belum optimalnya penegakan hukum tindak pidana perambahan yang dilakukan oleh PPNS BBTNGGP dapat terlihat dari data penaganan kasus sejak tahun 2003 sampai dengan akhir tahun 2013 dari 25 (dua puluh lima) vonis hakim, belum ada satu pun vonis yang dikenakan kepada
2 3
pelaku tindak pidana perambahan kemudian juga dari data akutabilitas, BBTNGGP belum bisa merealisasikan di tahun 2013 penyelesaian kasus perambahan dari target 4% jadi nilai PPS (pengukuran Pencapaian Kinerja Sasaran) dari sasaran tertanganinya kasus hukum perambahan kawasan konservasi masih sebesar 0,00% atau termasuk kategori kurang.3 Dari latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dalam artikel ini akan dibahas adalah Faktor-faktor apakah yang menyebabkan problematika PPNS Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrangodalam penegakan hukum tindak pidana perambahan. B. Kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Rumusan perbuatan pidana yang dilarang menurut Pada pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAH dan E) disebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam”. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan: “Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli”. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu dalam ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan blebih menegaskan perbuatan yang “ Setiap orang dilarang :” a. “Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah “ b. “Merambah kawasan hutan” Dalam penjelasan UU No 41 tahun 1999 Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.
Buku Statistik Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur 2012 hal.1 Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Balai Besar TNGGP 2012, hal 60
52 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Problematika PPNS Kehutanan ....
Yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutanadalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. sumberdaya hutan (di dalam kaswasan hutan) dapat dikatakan merupakan perambahan.Dalam pemahaman ini, perambahan sesungguhnya tidak lebih dari manisfestasi dari praktek tenurial maka penguasaan lahan menjadi faktor determinan karena berkaitan dengan tanah sebagai basis utama budidaya (agriculture) untuk dapat mewujudkan harapan pemanfaatan daripadanya.4 Yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Penjelasan pada huruf b Yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Tindak pidana yang dirumuskan oleh para ahli berbeda-beda antara satu dengan ahli yang lainnya, sehingga dalam memperoleh pendefinisian mengenai tindak pidana sangat sulit5.Istilah delik atau het straafbaarfeit dalam ilmu hukum memiliki banyak pengertian maupun terjemahan-terjemahan yang bermakna serupa. Terjemahan atau tafsiran tersebut diantaranya ada yang menyebutkan delik sebagai perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana6. Mulyatno memakai istilah “perbuatan pidana” oleh karena pengertian perbuatan lebih abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu7. Ada istilah lain yang dipakai yaitu tindak pidana. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan8.
Menurut Simons, bahwa straafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab 9. Lebih lanjut Van Hamel merumuskan sebagai berikut: straafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan10. Sistem Peradilan Pidana Menurut Mardjono Reksodiputro adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kep ol isi an , kej aksa an, p en ga dil an , da n pemasyarakatan terpidana. Selain itu beliau juga mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk bekerjanya suatu ”Sistem Peradilan Pidana Terpadu” atau ”Integrated Criminal Justice System”.11 Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana.Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai keadilan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat.12 Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sistem peradilan pidana sangat terkait erat dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil (acara pidana). Dalam hal ini sistem peradilan pidana adalah merupakan bentuk perwujudan penegakkan hukum “in concreto”, sedangkan perundangundangan merupakan perwujudan penegakkan hukum “in concreto”. Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan
4
Totok Dwi Diantoro, Perambahan Kawasan Hutan Pada Konservasi Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Tesso Nelo, Riau). Mimbar Hukum Volume 23 No 3, Oktober 2011, hlm 551 5 Winarno Budyatmojo, Tindak Pidana Illegal Logging, UNS Press, Solo, 2008. hlm. 8 6 SR. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana 7 Mulyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan ke 8, 2008, hlm. 59-60 8 Ibid, hlm. 60 9 Ibid, hlm. 61 10 Ibid. 11 Romli Atmasasmita, Sitem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2011, hal 2 12 Ibid, Hal. 5-6
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Problematika PPNS Kehutanan .... 53
”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu:13 1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/ Lembaga Penyidik) 2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/ Lembaga Penuntut Umum) 3. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan Pengadilan) 4. Kekuasaan ”Pelaksanaan Putusan Pidana” (oleh Badan/Aparat Pelaksana/Eksekusi). Adapun kedudukan maupun eksistensi PPNS dalam sistem peradilan pidanadapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa penyidikadalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipiltertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukanpenyidikan. Kewenangan institusi Penyidik, selain penyidik POLRI, didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 284 ayat 2 UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang menegaskan bahwa: ”Dalam waktu dua tahun setelah UndangUndang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan Undang-Undang ini dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi” Berdasarkan Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya tersebut, PPNS dapat dibentuk lingkungan instansi pemerintahan tertentu, seperti di Kehutanan.Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan yang diberi wewenang dan hak khusus sebagai penyidik berdasarkan pasal 39 Undang-undang no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya juncto pasal 7 KUHAP untuk melakukan penyidikan tindak pidana kehutanan. Kemudian pada Undang-undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan pada pasal 77 ayat 1 diatur pula pemberian wewenang kepada penyidik sebagai Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan dan Kewenangan PPNS kehutanan dalam melaksanakan penegakan hukum tindak pidana kehutanan disebutkan secara limitatif dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu bahwa PPNS berwenang untuk:
1.
2.
3. 4.
5.
6. 7. 8.
Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan KUHAP; Membuat dan menandatangani berita acara; Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa PPNS merupakan penyidik, disamping penyidik POLRI yang memiliki kedudukan serta berperan penting dalam melakukan penyidikan, dalam kaitannya menegakkan hukum pidana.Adapun PPNS mendapatkan kewenangan untuk menyidik berdasarkan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya, sehingga penyidikannya terbatas sepanjang menyangkut tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut. PPNS kehutanan walaupun telah diberi kewenangan oleh undang-undang unt uk melakukan penyidikan sebagaimana disebut di atas, namun dalam pelaksanaan tugasnya kedudukannya berada di bawah koordinasi dan Pengawasan Penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2) KUHAP). Koordinasi adalah suatu bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan PPNS dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu yang menjadi dasar hukumnya, sesuai sendi-sendi hubungan fungsional, sedangkan Pengawasan
13 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006, hal. 20.
54 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Problematika PPNS Kehutanan ....
adalah proses penilikan dan pengarahan terhadap pelaksanaan penyidikan oleh PPNS untuk menjamin agar seluruh kegiatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan koordinasi dan pengawasan oleh Penyidik Polri terhadap PPNS dilakukan berdasarkan asas Kemandirian, kebersamaan dan legalitas. C. Faktor-faktor yang menjadi Problematika Penyidikan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perambahan Su b si st e m ”K ek ua sa a n P en yi d ik an ” adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan pada akhirnya dituntut dan diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Penyidikan berdasarkan Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti sehingga dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi serta guna menemukan tersangkanya. Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-masing, sehingga sangat rawan 14
Seperti telah diulas di atas bahwa belum optimalnya proses penegakan hukum yang dilakukan oleh PPNS karena banyak dari kasus perambahan yang terjadi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan BBTNGGP dengan pelaksanaan penyidikan dankarena terhentinya proses penyidikan ke penuntutan. Penegakan hukum (law Enforcement) dalam operasionalnya bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan berbagai aspek/faktor. Penegakan hukum tidak hanya berkaitan dengan hukum itu sendiri, akan tetapi juga dengan manusianya, baik sebagai penegak hukum maupun masyarakatnya, maka dalam pembahasan tentang Problematika penegakan hukum yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan
BBTNGGP tidak dapat dilepaskan dari konsep Laurence Meir Friedman tentang tiga unsur sistem hukum (Three Element of Legal System) yaitu: 1.
Subtansi Hukum (Legal Subtance) pada UU tentang Kehutanan Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada pasal 19 ayat (1) Undangundang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E disebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam”. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan: “Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli”. Ketentuan pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) ini sulit untuk diterapkan, karena pasal ini menekankan pada akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Sehingga rumusan perbuatan pidana pasal 19 ayat (1) termasuk dalam rumusan tindak pidana materiil yaitu inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang harus mempertanggungkan dan dipidana. Guna menerapkan ketentuan pasal dimaksud, membutuhkan keterampilan dan keahlian Penyidik dibidang ilmu pengetahuan selain ilmu pengetahuan hukum artinya penyidik tidak hanya menguasai ketentuan di bidang hukum pidana, tetapi juga harus menguasai pengetahuan teknis yang berkaitan dengan sumber daya alam, sehingga dalam prakteknya penyidik memerlukan bantuaan ahli/pakar untuk mebuktikan bahwa perbuatan delik materil tersebut atau akibat dari perbuatan yang dilarang dapat terukur nyata. Pasal 40 mengatur tentang ketentuan pidana terhadap pelanggaran pasal 19 dan pasal 21 undang-undang ini.
14 IGM. Nurdjana, Teguh Prasetyo, Sukardi, Korupsi dan Illegal Logging, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 138.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Problematika PPNS Kehutanan .... 55
Ketentuan pasal 40 mencantumkan sanksi pidana maksimum berupa pidana penjara dan pidana denda yang dapat diancamkan.namun tidak ditetapkan sanksi minimum Ketentuan tersebut dapat menjadi penyebab adanya tuntutan pidana terhadap tersangka oleh Jaksa Penuntut Umum yang sangat rendah, dan pada akhirnya berpengaruh pada putusan Hakim yang menjatuhkan pidana sangat ringan. Ketentuan hukum yang diatur pada Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 19 Tahun 2004 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UndangUndang. Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No 41 Tahun 1999 yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No 41 Tahun 1999 jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UU No 41 Tahun 1999. Sasaran penegakan hukum dalam ketentuan hukum pidana tersebut belum dapat menjangkau seluruh aspek kejahatan dan pelanggaran dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Perkembangan kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran di bidang kehutanan justru banyak melibatkan oknum pejabat pemerintah termasuk oknum pejabat pemerintah lokal, serta oknum pejabat penyeenggara negara lainnya sedangkan rumusan delik dalam UU Nomor 41 tahun 1999 belum dapat menjangkaunya. Rumusan sanksi pidana dan denda terhadap kejahatan dan pelanggaran di bidang kehutanan yang ada dalam ketentuan UU No 41 Tahun 1999 sebagaimana telah dijabarkan di atas, sepintas lalu memang dilihat sudah cukup berat apalagi dibandingkan dengan 56 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
kejahatan lain dalam perundang-undangan yang lain, akan tetapi jika dikaji lebih mendalam terutama dibandingkan dengan implementsinya, ketentuan pidana tersebut pada prinsipnya belum dapat diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan di bidang kehutanan. Dalam ketentuan UU N0 41 tahun 1999 bahwa delik pidana kehutanan tidak mampu menyeret aktor intelektual pelaku kejahatan di bidang kehutanan salah satu contoh tidak sedikit dalam setiap kasus perambahan masyarakat mendapatkan support dari pemodal yang mengerti dan paham hukum, dimana pemodal memiliki modus memberikan modalnya kepada masyarakat penggarap untuk membuka lahan garapan dan mereka dipersilahkan untuk menggarap sementara waktu. pemodal tadi menawarkan lahan tersebut dengan maksud jual garapan ke pihak lain , kesepakatan dan transaksi tersebut tidak dituangkan dalam perjanjian resmi/hitam di atas putih, hal itu dilakukan utk menghilangkan keterlibatan pemodal apabila kasus jual beli lahan hutan terungkap. Melihat kasus di atas PPNS cenderung menangani hanya dengan pola pembinaan saja kepada pelaku di lapangan (tidak dilanjut dengan pelaksanaan Penyidikan) karena apabila dilanjut dengan proses hukum terhadap pelaku yang rata-rata masyarakat yang tingkat perekonomiannya memprihatinkan dengan tingkat pendidikan yang rendah sedangkan pelaku yang sebenarnya atau yang menyuruh lakukan sulit tersentuh dengan pengenaan pasal 50 ayat 3 huruf a dan b UU tentang kehutanan. Hal ini lah salah satu yang menjadi problema PPNS dalam penegakan hukum tindak pidana perambahan. Ketentuan tindak pidana pada Pasal 50 ayat 3 huruf a tidak dapat menjangkau lahan hutan yang semestinya tidak mungkin terjadi tumpang tindih penguasaan dan ini sehingga tidak dapat dibidik dengan UU tentang kehutanan karena secara fisik di lapangan lahan atau kawasan yangtelah penggunaan, pengerjaan dan pendudukan sehingga PPNS kehutanan yang seharusnya khusus menangani tindak pidana kehutanan tidak dapat melaksanakan penyidikan karena tidak ada ketentuan dalam UU tentang Kehutanan yang dapat dikenakan terhadap Problematika PPNS Kehutanan ....
Ketentuan Hukum Undang-Undang No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Secara prinsip UU No 18 tahun 2013 mempertegas dan memperjelas mengenai katagori tindak pidana gangguan kehutanan dengan memperjelas tindak pidana kehuatan yang dilakukan oleh perseorangan maupun berkelompok (korporasi baik teroganisir maupun tidak terorganisir). mempertegas tentang adanya sanksi bagi pejabat yang melakukan kelalaian , pembiaran terhadap pelanggaran kehutanan, namun mengenai tindak pidana kehutanan berupa aktifitas pertanian di dalam kawasan hutan secara illegal dan perambahan yang telah diatur dalam UU No 41 Tahun 1999 maka dengan lahirnya UU 18 Tahun 2013 dalam Ketentuan pasal 112 di sebutkan bahwaketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; dan. ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan pasal 50 ayat (3) huruf b tidak dicabut akan tetapi ketentuan sanksi pidana pasal 50 ayat (3) huruf b dicabut.
-
-
-
yang di lakukan di dalam kawasan hutan saat ini menjadi tidak diatur baik di dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 maupun di Undang-Undang No 18 Tahun 2013. 2.
-
Struktur Hukum (Legal Structure) Struktur dalam sistem hukum di Indonesia termasuk di dalamnya adalah struktur atau institusi-institusi yang menentukan penegakan hukum seperti kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan. Dalam hal ini permasalahan terjadi pada tubuh PPNS kehutanan BBTNGGP yang merupakan bagian dari pelaksana fungsi kepolisian pada penanganan tindak pidana khusus di bidang kehutanan, problematika tersebut antara lain : Lemahnya koordinasi yang dilakukan oleh PPNS BBTNGGP terhadap Korwas PPNS dalam hal ini Penyidik Polri Polres Bogor, seringkali PPNS melaksanakan kordinasi pada saat terjadinya proses penyidikan bahkan terkadang terlambat
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
-
3.
setelah berjalannnya administrasi penyidikan (mindik) namun apabila tidak terdapat kasus yang ditangani kordinasi jarang dilakukan oleh PPNS BBTNGGP. Dengan keadaan demikian seringkali pada saat PPNS memohon bantuan penitipan tahanan maka hal tersebut selalu terkendala dalam melakukan penahanan tersangka di Polsek maupun Polres. Minimnya support/terbatasnya Anggaran untuk kegiatan penyidikan, dimana sebenarnya support anggaran sangat dibutuhkan / diperlukan dalam mendukung kelancaran proses penyidikan baik pra maupun pasca adanya kasus tipihut (tindak pidana kehutanan). Adanya rangkap jabatan yang melekat pada PPNS Kehutanan Balai Besar TNGGP sehingga pelaksanaan penyidikan terkadang terganggu dengan adanya tugas dan tanggung jawab rangkap tersebut, karena tugas yang diberikan oleh pimpinan seluruhnya harus dapat diselesaikan yang pada akhirnya terkurasnya energi pemikiran dan tenaga sedangkan hasil pekerjaan tentunya tidak dapat maksimal kurangnya keterampilan dan keahlian PPNS Kehutanan BBTNGGP dalam proses pemeriksaan serta keragu-raguan dalam proses pemeriksaan tersangka dan saksi serta penerapan pasal yang kurang tepat dengan tindak pidana yang disangkakan, sehingga membuat penanganan tindak pidana cenderung lambat; Lemahnya pembinaan dari Korwas PPNS sehingga timbul adanya ketidak beranian PPNS Kehutanan BBTNGGP dalam melakukan penyidikan, Belum adanya keseragaman atau pemahaman antara PPNS dengan Kejaksaan terkait dengan nilai kerugian ekologis
Kultur hukum (Legal Culture) Kultur hukum adalah sikap manusia te rha dap hukum dan si st em hukum, kepercayaan, penilaian, serta harapan masyarakat terhadap hukum, dengan kata lain kultur hukum adalah suasana pikiran social dan kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan disalahgunakan termasuk oleh penegak hukum itu sendiri. Problematika PPNS Kehutanan ....
57
-
-
Budaya Hukum intern Kurangnya inisiatif dan motivasi dari PPNS BBTNGGP untuk melakukan penyidikan sehingga PPNS baru bergerak apabila ada perintah dari pimpinan atau atasan penyidik Budaya Hukum Ekstern Kura ngn ya kesa dara n Hu kum di masyarakat Yang terjadi di lapangan bahwa masyarakat akan mematuhi hukum apabila petugas Pengamanan Hutan/Penegak hukum selalu intens mengawasi dan memonitor kawasan Hutan
-
3
D. Penutup Faktor-faktor yang menyebabkan problematika dalam pelaksanaan penyidikan PPNS Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango antara lain: 1. Subtansi Hukum (Legal Subtance) pada UU tentang Kehutanan Dalam ketentuan UU N0 41 tahun 1999 bahwa delik pidana kehutanan tidak mampu menyeret aktor intelektual pelaku kejahatan di bidang kehutanan. Dengan terbitnya sertifikat hak milik di atas lahan hutan, tidak ada dalam ketentuanUU tentang Kehutanan yang dapat dikenakan terhadap pemilik
2.
dalam kawasan hutan saat ini menjadi tidak diatur baik di dalam UndangUndang 41 Tahun 1999 maupun di Undang-Undang No 18 Tahun 2013 Struktur Hukum (Legal Structure) Lemahnya koordinasi yang dilakukan oleh PPNS BBTNGGP Minimnya support/terbatasnya Anggaran untuk kegiatan penyidikan.
Adanya rangkap jabatan yang melekat pada PPNS Kehutanan TNGGP kurangnya keahlianmenyidik PPNS Kehutanan BBTNGGP Lemahnya pembinaan dan pengawasan dari Korwas PPNS Belum adanya keseragaman atau pemahaman antara PPNS dengan Kejaksaan terkait dengan nilai kerugian ekologis Kultur hukum (Legal Culture) Budaya Hukum intern Kurangnya inisiatif dan motivasi dari PPNS BBTNGGP Budaya Hukum Ekstern Kura ngn ya kesa dara n Hu kum di masyarakat.
Dengan terbitnya UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang mencabut ketentuan pidana berupa kegiatan pengerjaan, penggunaan dan pendudukan kawasan hutan serta perambahan yang diatur pada UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan maka untuk menghindari adanya kekosongan hukum dalam melakukan penegakan menggunakan UU No 5 Tahun 1990 yaitu pada Pasal 33 . Koordinasi secara berkala antar instansi pen egak hukum (Ke poli sian, Ke jaksaan dan Pengadilan) mengenai Tindak Pidana Kehutanan secara umum sangat diperlukan guna meningkatkan kerjasama dan pengoptimalan tugas dan wewenang PPNS Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sehingga upaya penegakan hukum di bidang kehutanan khususnya tindak pidana perambahan dapat tercapai, yang pada akhirnya penyelamatan hutan konservasi TNGGP dapat terwujud.
58 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Problematika PPNS Kehutanan ....
Daftar Pustaka
Buku-Buku Barda Nawawi Arief, 2006. Semaranag Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Buku Statistik Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2012. Cianjur IGM. Nurdjana, Teguh Prasetyo, Sukardi, Korupsi dan Illegal Logging. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) 2012, Balai Besar TNGGP Mulyatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke 8, Jakarta. Rineka Cipta Romli Atmasasmita. 2002. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. SR. Sianturi.2002. Azas-azas Hukum Pidana. Winarno Budyatmojo. 2008. Tindak Pidana Illegal Logging. Solo.UNS Press. Jurnal Totok Dwi Diantoro, 2011,Perambahan Kawasan Hutan Pada Konservasi Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Tesso Nelo, Riau). Mimbar Hukum Volume 23 No 3 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tetang Kehutanan Undang-Undang No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Problematika PPNS Kehutanan .... 59