Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo PROBLEMATIKA PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELANGGARAN KEHUTANAN DI BALAI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI. Darmadi
ABSTRAK
Pembangunan kehutanan sekarang ini banyak mengalami tantangan dan hambatan dalam penanganan pelestarian sumber daya alam maupun pengamanan hutan. Pada era reformasi pada saat sekarang ini ditambah dengan krisis ekonomi yang menimpa Bangsa Indonesia berakibat banyak terjadinya gangguan terhadap hutan. Berbagai bentuk gangguan hutan itu diantaranya adalah penebangan liar, perburuan liar, pengambilan tumbuh-tumbuhan hias / obat-obatan dan perambahan hutan serta kebakaran hutan. Hutan dengan berbagai fungsi sebagai pengatur tata air, ekosistem habitat flora dan fauna dimana kelestarian dang keberadaannya sangat penting untuk tetap dipertahankan. Kewajiban untuk menjaga kelestarian dan keselamatan hutan serta lingkungan tidak hanya menjadi tanggug jawab pemerintah tetapi peran serta dari masyarakat sekitar hutan dan kawasan konservasi juga sangat berperan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup. Dengan banyaknya permasalahan yang ada perlu antisipasi atau penanggulangan untuk menekan terjadinya tindak pidana dan pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan kerusakan keutuhan kawasan hutan. Permasalahan yang muncul adalah Problematika apakah yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana kehutanan ? Bagaimanakah implementasi sanksi pidana kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo dalam praktek ? Analisa menggunakan metode deskriptif kwalitatif. Fakta yang diangkat adalah Putusan Pengadilan Negri Banyuwangi No. 234/Pid. B/2004/PN.BWI. tanggal 16 Juni 2004, Putusan Pengadilan Negri Banyuwangi No. 890/Pid. B/2004/PN.BWI. tanggal 8 Maret 2005, Putusan Pengadilan Negri Banyuwangi No. 38/Pid.B/2004/PN.BWI. tanggal 21 Maret 2005. Bahwa implementasi sanksi pidana kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo dalam praktek masih banyaknya kasus yang diputus oleh Pengadilan Negri Banyuwangi dijatuhi sanksi pidana yang sangat ringan, jauh dari sanksi pidana kehutanan yang ada didalam ketentuan yang mengaturnya yaitu UU.Nomor 41 tahun 1999 jo. UU.No. 5 tahun l990.
Kata kunci : Kelestarian hutan, penegakan hukum, tindakan tegas.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo
LATAR BELAKANG Taman Nasional Alas Purwo adalah kawasan konservasi yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi, juga merupakan salah satu kaasan pelestaria alam di Indonesia. Secra kelembagaan ditetapkan sebagai Balai Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 283/Kpt-II/1992, tepatnya tanggal 26 Pebruari 1992 dengan areal seluas 43.420 Hektar. Berdasarkan Surat Keputusan Mentri Kehutanan Nomor : 6186/Kpts.II/2002 tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional tanggal 10 Juni 2002, Balai Taman Nasional Alas Purwo mengelola kawasan Taman Nasional Alas Purwo dan Cagar Alam / Taman Wisata Alam Kawah Ijen yang terdiri dari 3 seksi konservasi wilayah, yaitu seksi konservasi wilayah I Rowobendo, Seksi Konservasi Wilayah II Muncar dan Seksi Konservasi Wilayah III Kawah Ijen. Pembangunan kehutanan se karang ini banyak mengalami tantangan dan hambatan dalam penanganan pelestarian sumber daya alam maupun pengamanan hutan. Pada era reformasi pada saat sekarang ini, ditambah dengan adanya krisis ekonomi yang menimpa Bangsa Indonesia berakibat banyak terjadinya gangguan terhadap hutan. Berbagai bentuk gangguan hutan itu diantaranya adalah penebangan liar, perburuan liar, pengambilan tumbuhtumbuhan hias dan obat-obatan dan perambahan hutan serta kebakaran hutan Hutan dengan berbagai fungsi sebagai pengatur tata air,ekosistem, habitat flora dan fauna dimana kelestarian dan keberadaannya sangat penting untuk tetap dipertahankan. Kewajiban untuk menjaga keselamatan dan kelestarian hutan dan lingkungan tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi peran setrta dari mayarakat sekitar hutan dan kawasan konservasi juga sangat berperan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup.. Dengan banyaknya berbagai permasalahan yang ada,perlu upaya antisipasi atau penanggulangan untuk menekan terjadinya tindak pidana dan pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan kerusakan keutuhan kawasan hutan. Permasalahan tersebut kalau tidak segera diantisipasi atau tidak segera ditanggulangi akan berakibat semakin buruk untuk pengelolaan hutan pada masa-masa yang akan dating. Berdasarkan data dari Badan Planologi Kehutanan serta lajunya degradasi hutan antara tahun 1985 sampai dengan tahun 1997 adalah 1,6 juta Ha pertahun, dan antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 mengalami kenaikan hingga sekitar 1,8-2,1 jita Ha pertahun.Laju ini kemudian naik lagi hingga mencapai 3,8 juta Ha pertahun, yaitu antara tahun2000 sampai dengan tahun 2003. Studi mengenai hukum dan sanksi-sanksi dilakukan sehubungan dengan kerusakan akibat tingginya laju degradasi hutan di Indonesia, yaitu diambang batas dan berkelanjutan yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. Dan salah satu penyebab utama degradasi hutan adalah ketidak seimbangan antara persediaan dan permintaan kayu. Karena tingginya permintaan kayu oleh dunia industri, pekerjaan Aparat Hukum untuk melakukan pengelolaan, pengawasan dan pengendalian sumber daya alam berulang kali tertunda. Hal ini semakin jelas dengan adanya perkiraan bahwa hanya dua dari sepuluh gelondongan yang berasal dari sumber kayu yang resmi. Terhadap hal yang dimaksud, mereka yang terlibat dalam aktivitas
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo illegal berada diluar jangkauan hukum. Walaupun ketika kasus-kasus tersebut dibawa ke Pengadilan yang jarang terjadi, hukuman atau sanksi yang dikenakan tidak menjadi penghalang umtuk melanjutkan kegiatan illegal tersebut. Sedangkan insentif untuk kegiatan illegal dihutan saat ini lebih menarik dari pada insentif untuk melawan para pelanggar hukum itu, akibatnya dalam penegakan hukum oleh mereka yang bertanggung jawab belum dijalankan secara efektif dan diperhatikan oleh masyarakat. Hal ini menunjukkannya bahwa petugas yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum belum mampu menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien. Adapun Aparat Penegak Hukum yang dimaksud adalah Polhut, PPNS, Polri, Kejaksaan dan Pengadilan. Selama ini yang terjadi dilapangan yaitu kurangnya koordinasi antar aparat tersebut dan adanya perbedaan persepsi dari masing-masing instansi dalam menganalisis segala permasalahan tindak pidana dibidang kehutanan, serta adanya keterbatasan pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan. Berdasarkan latar belakang yang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk membahasnya dalam sebuah karya ilmiah dengan judul : “PROBLEMATIKA PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELANGGARAN KEHUTANAN DI BALAI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI “. RUMUSAN MASALH. Dari uraian latar belakang yang tersebut diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang antara lain sebagai berikut : a. Dilema apakah yang dihadapi dalam Penegakan Hukum Pidana
Kehutanan ? b. Bagaimanakah implementasi sanksi pidana kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo dalam praktek ? METODE PENULISAN Metode yang dipergunakan oleh penulis adalah menggunakan metode yuridis sosiologis, maksudnya yaitu sesuatu metode penulisan yang didasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku,serta didasarkan pula pada hasilpenelitian secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait dan yang tidak terlepas dari permasalahan (studi kasus) yang diangkat. Sedangkan analisa datanya menggunakan metode deskriptif kwalitatif, yaitu suatu metode analisa data dengan cara menggambarkan per masalahan yang ada dan bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta dipadukan dengan faktafakta yang terjadi dilapangan, yang kemudian disusun secara sistimatis untuk mencapai kejelasan permasalahannya. FAKTA DILAPANGAN Fakta yang penulis angkat sebagai pendukung data didalam pembahasan karya ilmiah ini adalah kasus-kasus tindak pidana kehutanan yang terjadi di Balai Taman Nasional Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi. Adapun penulisan karya ilmiah ini penulis memberikan beberapa contoh kasus yang terjadi di Balai Taman Nasional Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi, antara lain yaitu : 1. Putusan Pengadilan Negri Banyu wangi Nomor 234/Pid.B/2004/PN. BWI. Tanggal 16 Juni 2004. Pengadilan Negri Bnyuwangi yang memeriksa dan Mengadili perkara pidana dengan cara biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara terdakwa : Ponimin alias Min Patik.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo Bahwa terdakwa oleh Jaksa (Penuntut Umum) telah didakwa melanggar pasal 50 ayat (3) huruf (e) jo. Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4l tahun 1999. Bahwa Pengadilan Negeri Banyuwangi terhadap perkara tersebut menjatuhkan putusan yang amarnya adalah sebagai berikut : Menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan melakukan tindak pidana kehutanan : Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 5 bulan 15 hari dan denda sebesar Rp. 50.000,(lima puluh ribu rupiah) subsider 15 hari kurungan. 2. Putusan Pengadilan Negri Banyuwangi Nomor : 890/Pid.B/2004/PN.BWI. Tanggal 8 Maret 2005. Pengadilan Negri Banyuwangi yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan acara biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut dalam perkara terdakwa “ Mislan “. Bahwa terdakwa oleh Jaksa (Penuntut Umum) didakwa melanggar pasal 21 ayat (2) huruf (a) jo. Pasal 40 ayat (2) UndangUndang Nomor : 5 Tahun 1990 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-I Kitab UndangUndang HukumPidana. Bahwa Pengadilan Negeri Banyuwangi terhadap perkara tersebut menjatuhkan putusan yang amarnya adalah sebagai berikut : menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana “ Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya “ ; menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) subsider 2 bulan kurungan.
3. Putusan Pengadilan Negri Banyuwangi Nomor 38/Pid.B/2004/PN>BWI. Tanggal 21 Maret 2005. Pengadilan Negri Banyuwangi yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan acara biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkaranya terdakwa “Mat uyono bin Parlan”. Bahwa terdakwa oleh Jaksa (Penuntut Umum) telah didakwa melanggar pasal 21 ayat (2) huruf (a) jo. Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahwa Pengadilan Negri Banyuwangi terhadap perkara tersebut menjatuhkan putusan yang amarnya adalah sebagai berikut : Menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ Tanpa hak memiliki dan menyimpan bagian dari binatang yang dilindungi “ , menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 bulan dan denda sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) subsider 3 bulan kurugan. 4. Putusan Pengadilan Negri Banyuwangi Nomor : 335/Pid.B/2005/PN.BWI. Tanggal 6 Juni 2005. Pengadilan Negri Banyuwangi yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan acara biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara terdakwa “ Sumawi “. Bahwa terdakwa oleh Jaksa (Penuntut Umum) telah didakwa melanggar pasal 21 ayat (1) huruf (a) jo. Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990. Bahwa Pengadilan Negri Banyuwangi terhadap perkara tersebut menjatuhkan putusan yang amarnya adalah adalah, menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo bersalah melakukan tindak pidana “ Memungut hasil hutan tanpa hak “, menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 bulan 15 hari dan denda sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) subsider 2 bulan kurungan. 5. Putusan Pengadilan Negri Banyuwangi Nomor : 300/Pid.B/2005/PN.BWI. Tanggal 7 Juni 2005. Pengadilan Negri Banyuwangi, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan acara biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkaranya terdakwa “ Mulyono “. Bahwa terdakwa oleh Jaksa (Penuntut Umum) telah didakwa melanggar pasal 50 ayat (3) huruf (e) jo. Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Nomor : 41 Tahun 1999. Bahwa Pengadilan Negri Banyuwangi terhadap perkara tersebut menjatuhkan putusan yang amarnya adalah sebagai berikut : menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ Tanpa hak mengambil hasil hutan “, menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 bulan dan denda sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) subsider 2 bulan kurungan. DASAR HUKUM Dasar huku yang berkaitan dengan kasus tersebut untuk menjadi acuan atau pedoman dalam pembahasan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut ; 1. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyatakan : Pidana terdiri dari : a. Pidana Pokok. 1. Pidana mati. 2. Pidana Penjara. 3. Kurungan 4. Denda.
b. Pidana Tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu. 2. Perampasan barang-barang ter tentu 3. Pengumuman Putusan Hakim. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. a. Pasal 1 angka (1) dan angka (14), menyebutkan : Pasal 1 angka 1 menyebutkan, Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuh-tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsure-unsur non hayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Pasal 1 angka 14 menyebutkan, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan system zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi. b. Pasal 21 ayat (1) huruf (a) dan ayat (2) huruf (a), menyebutkan : (1). Setiap orang dilarang untuk mengambil, menebang, memi liki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan memperniagakan tumbuhtumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati. (2). Setiap orang dilarang untuk menangkap, melikai, membunuh, menyimpan memiliki, memelihara, mengangkut, memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. c. Pasal 40 ayat (2) menyebutkan :
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). 3. Undang-Undang Nomor : 41 Tahun1999 Tentang Kehutanan : a. Pasal 1 angka (1), (2) dan (3). (1).Kehutanan adalah system penurusan yang bersangkut paut dengan hutan,kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. (2). Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam. (3).Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. b. Pasal 50 Ayat (3) huruf (e), menyebutkan ; Setiap orang dilarang menebang pohon atau merampas hasil hutan dodalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwewenang. c. Pasal 77, menyebutkan ; 1. Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Pejabat Pegawai Negri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwewenang untuk : a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya. d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan pundang-undangan yang berlaku. e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai denga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. g. Membuat dan menandatangani berita acara. h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup barang bukti tentang adanya
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. 3. Pejabat Pegawai Negri Sipil sebagaimana dimaksud ayat (1) memberitahukan adanya dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 78 ayat (5) menyebutkan : Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 50 ayat (3) huruf (e) atau (f),diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 5000.000.000,- (lima milyard rupiah). LANDASAN TEORI Adapun landasan teori yang dipergunakan oleh penulis dalam pembuatan karya ilmiah iniantara lain adalah sebagai berikut : 1. Menurut Otto Soemarwoto, Ph.D. menyatakan : Hutan adalah merupakan bagian dari lingkungan hidup kita yang sangat vital. Hutan merupakan sumber daya ekonomi sebagai pemasok kayu dan niar-kayu, misalnya rotan dan berbagai jenis getah. 2. Menurut Prof. Moeljatno, SH. Berpendapat : Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 3. Nanda Agung Dewantara, SH. Berpendapat : Maksud dan rujuan pemidanaan ialah
1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman Negara, masyarakat dan penduduk. 2. Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna. 3. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. Menurut Djoko Prakoso, SH. menyatakan : Didalam menentukan berat ringannya pemidanaan ternyata sangat banyak hal-hal yang mempengaruhinya, yaitu hal yang memberatkan maupun yang meringankan pemidanaan baik yang berada didalam maupun diluar UndangUndang. POKOK-POKOK HASIL PENELITI AN Adapun tindak pidana kehutanan yang kerap kali terjadi di Balai Taman Nasional Alas Purwo adalah tindak pidana dalambentuk kejahatan, yang berupa ; Tindak pidana penebangan pohon dan tindak pidana mengangkut hasil hutan tanpa hak (pasal 50 ayat (3) huruf (e) Undang-Undang Nomor : 41 Tahun 1999 jo. Pasal 21 ayat (1) huruf (a) UndangUndang Nomor : 5 Tahun 1990). Tindak pidana tanpa hak memiliki dan menyimpan bagian dari binatang yang dilindungi sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (2) huruf (a) UndangUndang Nomor : 5 Tahun 1990. Sebagai wujud penegakan Hukum Pidana Kehutanan, maka kepada pelaku tindak pidana kehutanan, baik kejahatan maupun berbentuk pelanggaran, dapat dijatuhi sanksi pidana. Penegakan Hukum Pidana Kehutanan, seperti dalampenegakan hukum pada umumnya,
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo yaitu bersifat preventif dan bersifat represif. Ketentuan kehutanan ini adalah ketentuan yang normtif, dengan kata lain norma-norma kehutanan seperti halnya norma-norma hukum pada ummnya, juga memuat sanksi pidana sebagai mana yang diatur pada bab XIV Undang-Undang Nomor : 41 Tahun 1999 dan bab XII Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1990. Dengan diaturnya sanksi pidana dimaksud berarti bahwa ketentuan normative kehutanan yang berlaku, disiapkan penguatnya secara hukum sebagai jaminan agar dapat diindahkan dan dipatuhi, serta diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi para pelanggarnya. Dari hal-hal yang tersebut diatas, dapatlah ditarik satu garis pengertian, bperlunya menegakkan hukum pidana kehutanan adalah agar ketentuan normative kehutanan yang berlaku itu dapat diindahkan dan dipatuhi serta dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya yang pada akhirnya tujuan perlindungan hutan dan kawasan hutan di Indonesia dapat tercapai. DILEMA PENEGAK HUKUM KEHUTANAN DALAM PERAKTEK Didalam upaya menegakkan hukum pidana kehutanan,kehadiran Aparat Penegak Hukum Pidana Kehutanan yang professional dan mempunyai integritas tinggi yang bercirikan ilmu pengetahuan serta yang didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat diperlukan sekali. Adapun Aparat Penegak Hukum Kehutanan di Indonesia adalah Polisi Hutan (Polhut), Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) Kehutanan, Kepolisian (Polri), Kejaksaan dan Pengadilan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut ; a. Polisi Hutan (Polhut).
Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada Pejabat Kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang Kepolisian khusus (pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999) Kepolisian khusus yang dimaksudkan adalah Polisi Hutan (Polhut). Sejalan dengan Otonomi Daerah terhitung sejak tahun 2001 penugasan Polhut dibagi atas 2 (dua) bagian penugasan, yaitu penugasan di UPT. Pusat seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Balai Taman Nasional, serta penugasan di Pemerintah Daerah, yakni di Dinas Kehutanan Kabupaten atau Dinas lainnya yang berkaitan dengan tugas kehutanan. b. Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) Kehutanan. Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) Kehutanan mempunyai kedudukan yang kuat sebagai mana yang diatur dalam ketentuan pasal 6 UU. Nomor : 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa penyidik adalah : (a). Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia ; (b). Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Terhadap PPNS. Yang khusus melakukan penyidikan dalam tindak pidana kehutanan, telah ditegaskan pula berdasarkan pada ketentuan pasal 77 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Berdasarkan ketentuan pasal 77 tersebut sebenarnya sudah jelas bahwa PPNS. Kehutanan merupakan penyidik khusus dalam tindak pidana kehutanan. Sifat kekhususan tersebut tidak dimiliki oleh Penyidik Umum (Polri) karena memang PPNS. Kehutanan diadakan untuk melakukan
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo penyidikan yang punya ciri khusus tersebut. Ciri khusus dimaksud antara lain PPNS. Kehutanan telah menguasai tehnik kehutanan, tata usaha kayu, pengukuran kayu, penghitungan volume kayu, jenis-jenis kayu, waktunya penebangan dan sebagainya. c. Kepolisian (Polri). Kepolisian sebagai Instansi yang bertanggung jawab dibidang penyidikan mempunyai tugas yang sangat berat seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam penyidikan, Aparat Kepolisian merupakan gard terdepan untuk mengatasi suatu permasalahan dalam bidang gangguan keamanan Negara. Untuk itu diperlukan pemahaman terhadap peraturan yang berkaitan dengan kegiatan penyidikan. Dengan dikeluarkannya KUHAP, maka wewenang Kepolisisan lebih dipertegas dan diakui eksistensinya. Sedangkan mwngenai wewenang Kepolisian (penyidik) tersebut diatur dalam pasal 5 dan pasal 7 KUHAP. Berdasarkan hasil kunjungan yang dilakukan oleh Team Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa penanganan tindak pidana kehutanan mengalami banyak kendala yang harus dihadapi oleh Penyidik Polri. Kesulitan yang dimaksud termasuk dalam hal penanganan barang bukti, pengetahuan tehnis kehutanan, perumusan tindak pidana kehutanan, biaya penyidikan, adanya intervensi dari luar, tumpang-tindih peraturan setelah Otonomi Daerah, proses lelang yang lama dan berdampak kerusakan barang bukti, Kejaksaan dan Hakim sering meminta agar barang bukti dibawa ke Kejaksaan atau di Persidangan, perlunya insentif dari
hasil lelang untuk pelaksana penegak hukum dan lain-lain. Dengan memperhatikan dari hasil kunjungan tersebut diatas, maka perlu adanya kesatu paduan berbagai pihak (khususnya Aparat Penegak Hukum) untuk duduk bersama guna memecahkan segala permasalahan yang ada, sehingga penyelesaian kasus atau tindak pidana kehutanan dapat diselesaikan secara arif dan bijaksana serta dapat berjalan secara efektif. d. Kejaksaan (Penuntut Umum). Dalam KUHAP. Jaksa didefinisikan sebagai Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan Penuntut Umum diartikan sebagai Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan Penetapan Hakim. Penuntut Umum melakukan penuntutan terhadaptersangka dan melimpahkan perkara pidana tersebut ke Pengadilan Negri yang berwewenang dalam hal dan menurut cara yang telah diatur didalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim dipersidangan Pengadilan. e. Pengadilan. Instansi Kehakiman, khususnya Pengadilan berperan penting dalam penegakan hukum pidana kehutanan. KUHAP. memberikan pengertian , bahwa Hakim adalah Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Sedangkan yang dimaksud dengan mengadili adalah serangkaian kegiatan tindakan Hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di siding pengadilan dalam hal menurut cara yang diatur oleh ketentuan UndangUndang. Berdasarkan hasil pengamatan penulis di Pengadilan Negri Banyuwangi, diperoleh informasi bahwa sebenarnya sudah ada kemauan dari Hakim agar banyak berkas yang sampai ke Pengadilan untuk disidangkan, namun pada kenyataannya hanya sedikit berkas berkas perkara yang diajukan ke Pengadilan. Banyak kasus tindak pidana kehutanan yang selama ini berhenti dimeja Kejaksaan Negri, sehingga tidak mengherankan apabila hanya sedikit saja berkas perkara yang masuk atau diajukan ke Pengadilan Negri Banyuwangi. Dengan memperhatikan keadaan yang demikian, serta dibandingkan antara berkas perkara yang diproses dengan tingkat kerusakan hutan dan kawasan hutan yang terjadi saat ini di Balai Taman Nasional Alas Purwo dapat dikatakan bahwa penegakan hukum pidana kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo belum dilaksanakan secara maksimal.
IMPLEMENTASI SANKSI PIDANA KEHUTANAN DI TAMAN ALAS PURWO DALAM PRAKTEK Dasar pokok dari ketentuan Hukum Pidana adalah asas legalitas (principle of legality) yang berarti asas keabsahan menurut Undang-Undang (pasal 1 ayat 1 KUHP). Sesuai dengan asas legalitas tersebut, maka seseorang yang telah melakukan tindak pidana hanya dapat dijatuhi sanksi pidana kalau memenuhi persyaratan :
a. Telah ada suatu aturan hukum pidana tertentu. b. Aturan Hukum Pidana harus berdasarkan Undang-Undang. c. Aturan HukumPidana tersebut harus berlaku sebelum tindak pidana itu terjadi. Untuk tindak pidana kehutanan telah ada aturan hukum pidananya, yaitu Undang-Undang Nomor : 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1990. Oleh karenanya kepada pelaku tindak pidana kehutanan yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kehutanan dapat dijatuhi sanksi pidana. Untuk pemberian sanksi pidana ini diatur dalam pasal 78 Undang-Undang Nomor : 41 Tahun 1999 jo. Pasal 40 UndangUndang Nomor : 5 Tahun 1990. Pemberian sanksi pidana kehutanan kepada pelaku tindak pidana kehutanan adalah wujud dari pengakuan penegakan hukum pidana kehutanan di Indonesia. Terhadap hal ini ditegaskan oleh Sukarton Marmosoedjono, SH. Yang mengatakan bahwa “ salah satu factor yang sangat menentukan efektivitas penegakan hukum itu adalah system sanksi “. PENERAPAN SANKSI PIDANA KEHUTANAN DALAM PRAKTEK Pengenaan sanksi pidana kehutanan yang terdapat didalam pasal 78 UU> Nomor : 41 tahun 1999 jo. Pasal 40 UU. Nomor : 5 Tahun 1990 dapat ditarik suatu garis pengertian, betapa pembuat Undang-Undang kita ini sangat peduli akan keselamatan serta kelestarian hutan dan kawasan hutan di Indonesia sebagai salah satu penentu system penyangga kehidupan serta sumber kemakmuran rakyat, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Hanya saja berdasarkan hasil penelitian penulis ketentuan sanksi pidana
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo kehutanan tersebut masih belum benarbenar diterapkan secara maksimal. Hal ini terbukti bahwa Pengadilan Negri Banyuwangi dari beberapa contoh kasus yang ada, dalam menjatuhkan sanksi pidana kehutanan kepada para pelaku tindak pidana kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo sangat ringan dan jauh dari ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Dengan memperhatikan pentingnya keberadaan hutan dan kawasan hutan bagi tata kehidupan manusia, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan UU. Nomor : 41 tahun 1999 jo. UU. Nomor : 5 Tahun 1990 guna memberikan arahan dalam rangka penyelamatan dan pelestarian hutan dan kawasan hutan, disamping sebagai instrument penegakan hukum pidana kehutanan di Indonesia. Hanya saja dari tahun ketahun kerusakan hutan dan kawasan hutan di Indonesia, khususnya di Balai Taman Nasional Alas Purwo semakin meningkat dan penyebab kerusakan tersebut yang paling dominan adalah karena ulah atau perbuatan manusia. Melihat keadaan yang demikian, maka penegakan hukum pidana kehutanan yang represif terhadap pelaku tindak pidana kehutanan sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan sebagai action dalam upaya mengurangi dan menekan angka kerusakan hutan dan kawasan hutan yang disebabkan oleh ulah manusia atau perbuatan manusia tersebut. Tetapi sayangnya penegakan hukum pidana kehutanan yang represif ini belum bisa menyumbangkan hasilnya, karena berdasarkan pengamatan penulis masih banyak Aparat Penegak Hukum kita yang kurang memiliki kesadaran hukum, sehingga banyak kasus tindak pidana kehutanan yang berhenti dan atau dihentikan tanpa adanya proses lebih lanjut. Kalaupun ada yang tetap diproses
dan selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kehutanan sangat ringan dan tidak seimbang dengan kerusakan hutan dan kawasan hutan yang diperbuat. Disisi lain perlu adanya peningkatan penegakan hukum pidana kehutanan yang bersifat preventif kepada masyarakat, agar masyarakat mempunyai kesadaran hukum yang tinggi utuk bersama-sama turut bertanggung jawab akan kelestarian hutan dan kawasan hutan di Indonesia. KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang tersebut diatas, maka penulis dapat memberikan kesimpulan yang antara lain adalah sebagai berikut : c. Bahwa dilemma penegakan hukum pidana kehutanan yang selama ini adalah disebabkan karena masih adanya tumpang-tindih tugas dan wewenang sebagai akibat dari diberlakukannya Otonomi Daerah, adanya pembatasan-pembatasan wewenang, perbedaan persepsi antar Aparat Penegak Hukum, birokrasinya proses penanganan perkara tindak pidana kehutanan dan kurangnya kesadaran hukum bagi Aparat Penegak Hukum Kehutanan yang ada. d. Bahwa implementasi sanksi pidana kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo dalam praktek masih belum diterapkan secara maksimal, hal ini terbukti masih banyaknya kasus yang diputus oleh Pengadilan Negri Banyuwangi dijatuhi sanksi pidana yang sangat ringan, jauh dari sanksi pidana kehutanan yang ada didalam ketentuan yang mengaturnya, yaitu UU. Nomor : 41 Tahun 1999 jo. UU. Nomor : 5 Tahun 1990.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo
SARAN-SARAN Dengan melalui Karya Ilmiah ini penulis akan memberikan saran yang sekiranya dapat bermanfaat bagi para pihak yang berkepentingan. Sedangkan sarannya antara lain adalah sebagai berikut : 1. Perlu adanya tindakan secara tegas dari Aparat Penegak Hukum Kehutanan, khususnya tindakan represif agar dapat sedikit mungkin dikurangi semakin meluasnya tindak pidana kehutanan di Kabupaten Banyuwangi.
2. Perlu adanya peningkatan kerja sama dan koordinasi antar Aparat Penegak Hukum dalam rangka menegakkan hukum pidana kehutanan di Kabupaten Banyuwangi, agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam menangani kasus tindak pidana kehutanan yang sering terjadi di Negara kita pada umumnya dan di Kawasan Taman Nasional Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi pada khususnya. Sehingga kelestarian alamnya dapat tetap terjaga secara baik dan terkendali.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo DAFTAR KEPUSTAKAAN Artidjo Alkostar, SH. Dan M. Sholeh Amin, SH., Pembangunan Hukum Dalam Prespektif Politik
Hukum Nasional, CV. Rajawali, Jakarta, 1986.
Anonim, Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Alumni, Bandung, 1981. Bawengan, G.W. Drs., SH., Pengantar Psykologi Kriminil, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977. Nanda Agung Dewantara, SH., Kemampuan HukumPidana Dalam Menanggulangi Kejahatan-Kejahatan Baru Yang Berkembang Dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1988. Sukarton Marmosudjono, SH., Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, Jakarta, 1989. Moeljatno, Prof., SH., Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000. Djoko Prakoso, SH., Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktek Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Wirdjono Prodjodikoro, SH., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, 1989. Hari Saherodji, H., SH., Pokok-Pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta, 1977. Otto Soemarwoto, Ph.D., Atur Diri Sendiri (Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2001. Poerwadarminta, WJS., Kamus Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1995. Simorangkir, JCT., SH., et.al., Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996. Solehan Yasin, Drs., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Amanah, Surabaya, 1997. Wirjono Prodjodikoro, R., DR., SH., Perbuatan Melanggar Hukum, Sumar, Bandung,1984. Karyadi, M., dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentarnya, Politeia, Bogor, 1988. Kehutanan, Team Departemen dan European Union, Telaah Peraturan PerundangUndangan
dan
Kelembagaan
Penegakan
Departemen Kehutanan, Jakarta, 2004.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009
Hukum
(Studi
Lanjutan),
Problematika Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kehutanan di Balai Taman Nasional Alas Purwo
PERUNDANG-PERUNDANGAN 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 8 Tahun 1981 Tentang HukumAcara Pidana.
3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 41 Tahun1999 Tentang Kehutanan.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF.Vol.6.No.15April 2009