PERPANJANGAN HAK GUNA BANGUNAN BAGI PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI PRINSIP KEPASTIAN HUKUM, KEADILAN DAN INVESTASI BERKELANJUTAN MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT I Nyoman Alit Puspadma Notaris/PPAT Kabupaten Badung Email:
[email protected] Abstract Land Law is governing the extension of Rights for Building in line with Article 35 paragraph (2), which contains norm fuzziness. The word "may" in standardization in the article raises different interpretations, so it is contrary to the provisions of Article 5 letters f of Law No. 12. Year 2011, which ordered that in every establishment of good laws, one of the conditions that must be met is "clear statement". Rights for Building on the subject referred to in Article 36 paragraph (1) of Land Law, which is a. Citizens of Indonesia and b. legal entities established under Indonesian law and domiciled in Indonesia. Legal entities that are used in this study are a limited liability company. In this regard, there are three problems examined, namely: How is the extension of Rights for Building arranged? How to interpret the provisions of Article 35 paragraph (2) of Land Law if it is associated with principles of legal certainty, justice, and sustainable investment towards social welfare, as well as the legal consequences for Rights For Building for limited liability company if the extension is denied? The theories used to analyze the problems are theory classes of Norma (stuffen theory), Legal Certainty theory, theory of justice, and the welfare state theory, while the method of research applied in accordance with normative legal research is the approach of legislation or statute approach, conceptual approach, and the analytical approach, with the source of legal material in the form of the law of primary legal materials, secondary and tertiary. Based on the analysis, the conclusion is as follows: the extension of Rights For Building above state land is stipulated in Article 35 paragraph (2) Land Law in conjunction with Article 26 paragraph (1) Government Regulation 40 of 1996 in conjunction with Article 40 Minister Of Agrarian Regulation/Head National Land Board 9 year 1999, while the extension of Rights For Building over Land Rights Management occurred after the approval of the Land Rights Management holders stipulated in Article 35 paragraph (2) Land Law Article 26 paragraph (2) Government Regulation 40 of 1996 in conjunction with Article 45 Minister Of Agrarian Regulation/Head National Land Board 9 1999. Rights For Building on the land of private property is set to be not extended, but according to the provisions of Article 29 paragraph (2) Government Regulation 40 of 1996 may be updated. Interpreting the provisions of Article 35 paragraph (2) Land Law should always be associated with Article 2 paragraph (3) and Article 3 of Capital Market Law. In the case of Rights For Building expires, the land is returned to the state when it was coming from State
Land or Land Rights Management holder if the land comes from Land Rights Management , and the Limited Liability Company was no longer able to use the land as a place of business or investing. If Limited Liability Company did not get land to run their business (investment), then there will be other legal consequences, namely the dissolution of Limited Liability Company, and employees lay off, which will lead to other consequences, such as economic and social consequence. Key words: extension, rights for building, investment, public welfare
Abstrak Hukum Tanah yang mengatur perpanjangan Kuasa untuk Membangun sejalan dengan Pasal 35 ayat (2), yang berisi norma ketidakjelasan. Kata “dapat” dalam standardisasi dalam artikel menimbulkan interpretasi yang berbeda, sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 huruf f UU No 12. Tahun 2011, yang memerintahkan bahwa dalam setiap pembentukan undang-undang yang baik, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah “pernyataan yang jelas”. Hak untuk Membangun pada subjek dimaksud dalam Pasal 36 ayat ( 1 ) UU Pertanahan, yang merupakan: a)Warga Indonesia dan b)badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Badan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan perseroan terbatas. Dalam hal ini, ada tiga masalah yang diteliti, yaitu: Bagaimana perpanjangan Hak untuk Bangunan diatur ? Bagaimana menafsirkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Tanah jika dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan investasi berkelanjutan menuju kesejahteraan sosial, serta konsekuensi hukum Hak Untuk Bangunan untuk perseroan terbatas jika ekstensi ditolak? Teori yang digunakan untuk menganalisis masalah adalah kelas teori Norma (stuffen theory), teori Kepastian Hukum, teori keadilan, dan teori negara kesejahteraan, sedangkan metode penelitian yang diterapkan sesuai dengan penelitian hukum normatif adalah pendekatan peraturan atau undangundang pendekatan, pendekatan konseptual, dan pendekatan analitis, dengan sumber bahan hukum dalam bentuk undang-undang bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Berdasarkan analisis, kesimpulannya adalah sebagai berikut: perpanjangan Hak Untuk Membangun di atas tanah negara yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU Pertanahan juncto Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah 40 Tahun 1996 jo Pasal 40 Menteri of Peraturan Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional 9 tahun 1999, sedangkan perpanjangan Kuasa Untuk Membangun atas Manajemen Hak atas Tanah terjadi setelah persetujuan pemegang Hak Pengelolaan Lahan diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU Tanah Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah 40 Tahun 1996 jo Pasal 45 Peraturan Menteri of Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional 9 1999. Hak Untuk Membangun tanah milik pribadi diatur untuk tidak diperpanjang, tetapi menurut ketentuan Pasal 29 ayat (2) Peraturan Pemerintah 40 Tahun 1996 dapat diperbarui`. Menafsirkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Pertanahan harus selalu dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 UU Pasar Modal. Dalam kasus Hak Untuk Membangun berakhir, lahan tersebut dikembalikan ke negara ketika itu
datang dari Tanah Negara atau Tanah Hak Pengelolaan pemegang jika tanah berasal dari Manajemen Hak atas Tanah, dan Perseroan Terbatas sudah tidak mampu lagi untuk menggunakan tanah sebagai tempat usaha atau investasi. Jika Perseroan Terbatas tidak mendapatkan lahan untuk menjalankan bisnis mereka (investasi), maka akan ada konsekuensi hukum lainnya , yaitu pembubaran Perseroan Terbatas, dan karyawan PHK, yang akan mengakibatkan konsekuensi lainnya, seperti konsekuensi ekonomi dan sosial. Kata kunci: ekstensi, hak untuk membangun, investasi, kesejahteraan masyarakat Latar Belakang Salah satu tujuan dibentuknya negara Republik Indonesia merdeka adalah untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Tujuan negara tersebut tertuang dalam alenia keempat Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Upaya untuk mewujudkan hal itu selanjutnya dijabarkan pada Bab XIV UUD 1945, dengan judul Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial melalui Pasal 33 yang terdiri dari lima ayat, dan Pasal 34 terdiri dari empat ayat. Ketentuan Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (2) dan ayat (3) menetapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan orang banyak, apakah itu berupa cabang-cabang produksi, maupun bumi, air dan kekayaan alam, semuanya tidak terkecuali, dikuasai oleh negara, yang hanya memiliki satu tujuan yaitu untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam hal ini, negaralah yang menguasai alam Indonesia beserta isinya. Penguasaan tersebut harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia secara berkesinambungan atau berkelanjutan. Kata berkesinambungan atau berkelanjutan itu bermakna, bahwa alam itu tidak boleh dirusak, agar tetap dapat diambil manfaatnya secara terus menerus dari generasi ke generasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 lebih lanjut diundangkanlah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960 – 104, TLN. 2043), untuk selanjutnya disebut UUPA. UUPA mengatur macam-macam hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (1), yaitu antara lain Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai, sedangkan mengenai perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 35 ayat (2) sebagai berikut:
atas permintaan pemegang hak dan dengan melihat keperluan serta
keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA ini mempunyai arti yang tidak jelas, karena kata “dapat” tidak memiliki arti final. Kata “dapat” dalam norma tersebut baru memiliki arti final apabila diikuti dengan kata lain, seperti kata “ditolak” atau “dikabulkan”. Dengan diikuti oleh kata-kata tersebut, maka kata “dapat” akan menjadi “dapat ditolak” atau “dapat dikabulkan”. Dengan demikian kata “dapat” dalam norma tersebut memiliki makna ganda, sehingga menjadi norma kabur/tidak jelas. Norma yang menimbulkan lebih dari satu penafsiran, maka norma tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf f UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LN. 2012 – 82. TLN. 5234), selanjutnya disebut UU 12 tahun 2011. Ketentuan Pasal 5 huruf f tersebut memerintahkan agar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan yang baik, salah satunya adalah “kejelasan rumusan”. Rumusan lengkap Pasal 5 huruf f tersebut adalah sebagai berikut: Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Lebih lanjut dalam penjelasan huruf f rumusannya adalah sebagai berikut: Adapun pengertian “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Selain itu dengan adanya kekaburan norma tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, ketika dalam penerapannya ternyata mengabaikan eksistensi HGB yang masih memenuhi syarat. Mengabaikan eksistensi HGB yang masih memenuhi syarat maksudnya adalah, dalam penerapannya ternyata HGB yang masih memenuhi syarat tidak
dikabulkan perpanjangannya, di sisi lain HGB yang tidak memenuhi syarat dikabulkan perpanjangannya. Hal ini terjadi karena dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA mengandung norma kabur, yaitu adanya kata “dapat” dalam norma tersebut. Kata dapat tersebut memberi peluang kepada yang berwenang (pejabat pemerintah) untuk memberi keputusan mengabulkan atau menolak sesuai dengan keperluan pejabat pemerintah itu sendiri tanpa mempertimbangkan keperluan yang sebenarnya harus didahulukan, yaitu keperluan untuk menyejahterakan rakyat. Mengenai subjek hak dari HGB diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUPA, yaitu: a. WNI; dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dengan demikian maka yang dapat memiliki HGB atas tanah hanyalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, sehingga apabila ada subjek hak selain dua yang disebutkan tersebut memiliki HGB atas tanah, maka hal itu menjadi bertentangan dengan UUPA. Selain menjadi dasar dalam pengaturan tentang keagrariaan khususnya hukum tanah melalui UUPA tersebut, Pasal 33 UUD 1945 juga menjadi dasar dalam pengaturan tentang penanaman modal, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Penanaman Modal diatur dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (LN. 2007 – 67, TLN. 4724), selanjutnya disebut UUPM. Menurut Pasal 3 ayat (1) UUPM, antara lain dinyatakan bahwa penanaman modal terselenggara berdasarkan asas kepastian hukum, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan. Sedangkan ayat (2) menegaskan antara lain, bahwa penanaman modal bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan
pembangunan
ekonomi
berkelanjutan,
mendorong
pengembangan ekonomi kerakyatan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, maka penanaman modal yang dilakukan harus mempunyai asas dan tujuan seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UUPM tersebut, dan bagi penanaman modal yang sudah berjalan, apabila telah memenuhi ketentuan tersebut, patut dipertahankan eksistensinya. Penanaman modal atau yang sering disebut dengan istilah investasi menurut bentuknya ada dua, pertama investasi tidak langsung dan kedua investasi
langsung. Investasi tidak langsung (indirect investment) atau investasi portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga, seperti saham dan obligasi, sedangkan investasi langsung (direct investment) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total, atau mengakuisisi perusahaan. 1 Dalam investasi tidak langsung, tujuan investor bukanlah mendirikan perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali. Tujuan investor di sini adalah bagaimana memperoleh hasil yang maksimal dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa menikmati keuntungan. Dengan kata lain, dalam jenis investasi seperti ini, yang diharapkan oleh investor adalah capital gain, artinya adanya penghasilan dari selisih antara beli dan jual saham di bursa efek. Berbeda dengan investasi tidak langsung, dalam investasi langsung, investor harus hadir secara fisik dalam menjalankan usahanya, tepatnya investor harus mendirikan perusahaan untuk menjalankan usaha-usaha nvestasinya.2 Investasi langsung (Direct Investment) yang mensyaratkan investor mendirikan perusahaan, mengakibatkan investor membutuhkan tanah sebagai tempat berdirinya perusuhaan tersebut. Selain itu setelah perusahaan berdiri, akan diperlukan tenaga kerja untuk menjalankan kegiatan usaha-usaha dari perusahaan tersebut. Dengan demikian investasi langsung (Direct Investment) ini memberikan keuntungan bagi rakyat karena dapat membuka lapangan pekerjaan, oleh karena itu juga memberikan keuntungan bagi Negara (Pemerintah), karena tidak perlu lagi memikirkan lapangan kerja bagi sebagian rakyatnya. Setelah usaha-usaha yang dilakukan oleh perusahaan dalam investasi langsung tersebut berjalan, para pekerjanya pun mendapatkan upah (income) yang dapat digunakan oleh mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari berupa sandang dan pangan, yang dapat dibeli dari para pedagang, selain itu Negara juga dapat menerima pemasukan dari pajak yang dibayar oleh investor. Dengan demikian investasi langsung
dapat
menimbulkan
efek
berganda
(multiplier
effect),
yang
menyebabkan sektor riil bergerak dan dapat menimbulkan kesejahteraa rakyat, sehingga dengan adanya investasi langsung semua pihak, baik investor, rakyat, maupun Negara dapat menerima manfaatnya. Panji Anoraga, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya, Semarang, 1994, hlm. 46. 2 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hlm. 70-71. 1
Penanaman modal (investasi) tidak saja dilakukan melalui badan usaha perseorangan (seperti: usaha dagang/UD, toko, warung, dan sebagainya), atau badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum (seperti: persekutuan firma/Fa, perseroan komanditer/CV), akan tetapi juga dilakukan melalui badan usaha yang berbentuk badan hukum (seperti: perseroan terbatas/PT, koperasi, yayasan, perusahaan Negara/badan usaha milik Negara/BUMN, perusahaan daerah/badan usaha milik daerah/BUMD).3 Dari bentuk-bentuk badan usaha tersebut, yang berhubungan dengan penelitian ini adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum dan lebih khusus lagi adalah yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Peneliti menggunakan PT dalam penelitan ini karena dari sekian banyak badan usaha yang berbentuk badan hukum, PT yang paling banyak digunakan oleh masyarakat dan karena PT merupakan badan hukum, maka PT adalah merupakan subjek hukum. PT yang dimaksud adalah PT yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (LN. 2007 – 106, TLN. 4756). Sehingga dalam penelitian ini subjek hak dari HGB yang digunakan hanyalah PT yang berkedudukan di Indonesia, karena PT adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, sedangkan WNI sebagai subjek HGB bukanlah objek dari penelitian ini. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah perpanjangan HGB itu diatur? Bagaimanakah memaknai ketentua Pasal 35 ayat (2) UUPA jika dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum, keadilan dan investasi berkelanjutan menuju kesejahteraan rakyat, serta akibat hukumnya bagi PT bila perpanjangan HGB ditolak? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Pada penelitian ini terutama yang berkaitan dengan terdapatnya norma kabur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA. Dalam kaitan itu, penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pedekatan konsep (conceptual approach), yaitu pendekatan terhadap konsepkonsep hak atas tanah dan investasi, dan pendekatan analisis (analytic approach), 3
R. Djatmiko D., Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Angkasa, Bandung, 1996, hlm. 38.
yaitu pendekatan dengan cara menganalisis bahan-bahan hukum yang telah didapat. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan tentang HGB (UUPA, PP 40 tahun 1996 dan PMNA/KBPN 9 tahun 1999) dan investasi (UUPM), bahan hukum sekunder berupa bahan pustaka yang berisikan pengertian tentang perpanjangan HGB dan investasi yang mutakhir, dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa dan kamus hukum.
Pembahasan A. HGB bagi PT dalam perspektif teoritis A.1. Teori Penjenjangan Norma (stuffen theory) Hans Kelsen membagi tingkatan-tingkatan peraturan perundang-undangan yang tersususun dari tingkat yang paling abstrak ke tingkat yang paling kongkrit.4 Hans Nawiasky mengembangkan tentang hierarkhi perundang-undangan, yaitu teori bangunan jenjang tata hukum (die theorie von stufenordnung der theory). Teori ini menyatakan, bahwa norma tertinggi khusus bagi sub sistem norma hukum kenegaraan itu disebut staatsfundamentalnorm (norma fundamental Negara).5 Apabila dibandingkan kedua pendapat di atas dengan pola sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, maka akan terlihat adanya cerminan dari kedua sisten norma tersebut.6 Dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam satu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang sekaligus berkelompok. Suatu norma itu selalu bersumber dan berdasar pada norma dasar (staatsfundamental norm)
yaitu
Pancasila, sedangkan hukum dasar adalah UUD 1945. Pembangunan hukum nasional dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia, dalam perkembangannya saat ini secara formal mengikuti ketentuan UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu
Hans Kelsen, Introduction To The Problem of The Legal Theory, Translated by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, Clarendon Press, Oxford, 1970, hlm. 63-68. Lihat juga Hans Kelsen, The Pure Theory of Law, Translated by Max Knight, University of California Press, London, 1970, hlm. 221-229, dan Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, Russel & Russel, New York, 1973, hlm. 124-131. 5 Zeolfirman, Kebebasan Berkontrak Versus Hak Asasi Manusia: Analisis Yuridis Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, USU Press, Medan, 2003, hlm. 20. 6 Maria Farida Indrawati Suprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm. 34. 4
Pasal 2 UU 12 tahun 2011 menyatakan: “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”. Pasal 7 ayat (1) Jenis hierarki Peraturan PerundangUndangan terdiri atas: a. UUD 1945; b. TAP MPR; c. UU/Perppu; d. PP; e. Perpres; f. Perda Prov; g. Perda Kab/Kota. A.2. Teori Kepastian Hukum Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang telah diputus.7 Kepastian hukum adalah merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.8
Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum,
meliputi: 1) asas legalitas; 2) adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan; 3) undang-undang tidak boleh berlaku surut; 4) pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.9 A.3. Teori Keadilan John Rawls berpendapat, keadilan sebagai fairness,10 yang subjek utamanya adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembagalembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Dengan kata lain, keadilan sebagai fairness mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 158. 8 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 145. 9 Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Disertasi Program Dokor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2010, Tidak dipublikasikan, hlm. 95. 10 John Rawls, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press, Massachusetts, 1971, hlm. 3. 7
kepentingannya, hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya, dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki.11 Disatu sisi keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hakhak yang dijamin oleh hukum (unsur hak), sedangkan di sisi lain, perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat). Menurut Andre Ata Ujan, dalam membangun teori keadilan ini diharapkan mampu menjamin distribusi yang adil antara hak dan kewajiban dalam suatu masyarakat yang teratur. Kondisi ini dapat dicapai atau dirumuskan apabila ada kondisi awal yang menjamin berlangsungnya suatu proses yang fair yang disebut “posisi asali”, yaitu yang ditandai oleh prinsip kebebasan, rasionalitas dan kesamaan, atau yang disebut rasional dan sama-sama netral. Dengan kata lain posisi asali sebagai status quo awal yang menegaskan, bahwa kesepakatan fundamental dicapai secara fair.12 Dengan demikian kadilan berkaitan dengan hak. Hanya saja dalam konseptual keadilan, hak ini tidak dapat dipisahkan dengan pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Seperti Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup dalam masyarakat. Keadilan hanya dapat tegak dalam masyarakat yang beradab, atau sebaliknya, hanya dalam masyarakat yang beradab keadilan dihargai. Jadi keadilan yang dimaksud adalah dalam konteks keseimbangan dari nilai-nilai antinomi yang ada yang meliputi semua bidang, baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.13 A.4. Teori Negara Kesejahteraan Kesejahteraan rakyat merupakan tanggung jawab negara, hal tersebut tercermin dari isi Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 34 UUD 1945. Ketentuan Pasal 33
11
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 99. 12 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hlm. 25-26. 13 Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, apa dan bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 167.
dan 34 UUD 1945 ini merupakan landasan konstitusional bagi negara untuk melakukan campur tangan dalam bidang perekonomian. Campur tangan negara dalam bidang perekonomian ini dikhususkan pada pengaturan pasar dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state). Welfare state adalah bentuk pemerintahan yang menganggap bahwa negara bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup minimum bagi setiap warganya. 14 Kesejahteraan dari sudut ekonomis adalah terpenuhinya kebutuhan pokok/primer dari setiap individu, yaitu berupa pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan dan perumahan. Namun apabila hanya kebutuhan itu saja yang terpenuhi, maka kehidupan akan selalu stagnan, tidak akan ada kemajuan dalam kehidupan masyarakat, sehingga negara akan selalu menjadi negara ketiga. Untuk memajukan suatu negara, seharusnya masyarakat mempunyai kemampuan dalam keilmuan yang memadai dan kesehatan yang mencukupi. Seperti yang diungkapkan oleh Widjojo Nitisastro, bahwa ada tiga kebutuhan pokok manusia yang dipilih untuk pemerataannya, yaitu pangan, sandang, dan perumahan. Selain pemerataan terhadap kebutuhan-kebutuhan materi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatanpun merupakan kebutuhan yang perlu diusahakan pemerataannya.15 A.5. Hak Guna Bangunan (HGB) HGB seperti yang dimaksud Pasal 35 ayat (1) UUPA, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Dengan anak kalimat “mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan”, berarti bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah tersebut, adalah kepunyaan dari yang mendirikannya. Dengan anak kalimat “atas tanah yang bukan miliknya sendiri”, berarti tanah tempatnya mendirikan bangunan-bangunan tersebut adalah milik pihak lain. Itu berarti pemilik bangunan bukanlah pemilik tanah, demikian juga pemilik tanah bukanlah pemilik bangunan. Sedangkan anak kalimat terakhir “dengan jangka waktu 30 tahun”, adalah merupakan batasan waktu yang diperoleh bagi si pemilik
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 32. 15 Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia, Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm. 438. 14
bangunan-bangunan untuk memanfaatkan bangunan-bangunan yang didirikannya di atas tanah yang bukan miliknya tersebut. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang, dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA. Adapun syarat-syarat yang dimaksudkan, yaitu: atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunanbangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat dialihkan, artinya HGB dapat dijual, dihibahkan, maupun diwariskan. Hal itu tercermin dalam ketentuan Pasal 38 UUPA: (1) HGB termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19; (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya HGB serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 39 UUPA menentukan: HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Terdapat perbedaan pengertian rumusan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA dengan Pasal 38 dan Pasal 39 UUPA tersebut. Kalau Pasal 35 menentukan hak mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, artinya yang mendirikan bangunan adalah merupakan pemilik bangunan akan tetapi tanahnya bukan miliknya. Sedangkan Pasal 38 dan 39 UUPA menentukan, bahwa HGB dapat dialihkan dan dapat dipakai jaminan, artinya HGB merupakan hak kebendaan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 38 dan 39 UUPA dan dengan mengabaikan seperlunya ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA tersebut dapatlah dipastikan, bahwa HGB merupaka hak kebendaan yang zakelikerecht, karena ciri-ciri dari HGB sama dengan ciri-ciri hak kebendaan, yaitu dapat dialihkan dan dijadikan jaminan oleh pemegang haknya. A.6. Investasi Berkelanjutan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) hurup g UUPM menentukan: Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini
maupun yang akan datang. Dengan demikian arti dari investasi berkelanjutan adalah: investasi yang dilakukan secara terencana untuk mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui investasi agar menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun kepentingan generasi yang akan datang.
B. Perpanjangan HGB yang berkepastian hukum, berkeadilan, dan berkelanjutan bagi PT B.1. Pengaturan perpanjangan HGB Pemberian HGB oleh UUPA tidak diatur dengan kata “pemberian”, melainkan diatur dengan kata “terjadi”. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 37 UUPA, yaitu: HGB terjadi, a) mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara karena penetapan Pemerintah; b) mengenai tanah hak milik karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. Sedangkan perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA. Menyimak ketentuan Pasal 37 UUPA, maka HGB hanya dapat timbul dari tanah Negara (TN) dan tanah hak milik. Dalam hal ada HGB yang timbul dari tanah lain selain TN dan tanah hak milik, maka hal itu bertentangan dengan UUPA. PP 40 tahun 1996 mengatur pemberian HGB dalam Bab III tentang Pemberian HGB. Pasal 21 menentukan: Tanah yang dapat diberikan dengan HGB adalah: a. TN; b. tanah hak pengelolaan (HPL); c. tanah hak milik. Pasal 22 menentukan: 1) HGB atas TN diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk; 2) HGB atas HPL diberikan dengan keputusan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang HPL; 3) ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohoan dan pemberian HGB atas TN dan atas HPL diatur lebih lanjut dengan Keppres. Mengenai perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 25 ayat (1) PP 40 tahun 1996, sebagai berikut: HGB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Membaca ketentuan Pasal 21 PP 40 tahun 1996, ternyata ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 UUPA. Pasal 37 UUPA
menentukan HGB hanya dapat timbul dari TN dan hak milik, sedangkan Pasal 21 PP 40 tahun 1996 menentukan HGB dapat timbul dari TN, HPL, dan hak milik. Perlu dipertanyakan, dari mana PP 40 tahun 1996 ini mendapatkan HPL, karena UUPA yang menjadi sumber PP 40 tahun 1996 ini tidak mengenal HPL. Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (3) PP 40 tahun 1996, tata cara dan syarat permohonan dan pemberian HGB atas TN dan atas HPL diatur lebih lanjut dengan Keppres. Penulis tidak menemukan Keppres yang dimaksud, yang penulis temukan hanya PMNA/KBPN 9 tahun 1999. Demi kepastian hukum Keppres yang termaksud harus diterbitkan. PMNA/KBPN 9 tahun 1999 mengatur tentang tata cara pemberian HGB dalam Pasal 33 ayat (1) sebagai berikut: permohonan HGB diajukan secara tertulis. Pasal 35 menentukan sebagai berikut: Permohonan HGB diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah) setempat. Mengenai tata cara perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 40, sebagai berikut: HGB dapat diperpanjang jangka waktunya atau diperbaharui haknya. Mengenai subjek HGB diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA, sebagai berikut: yang dapat mempunyai HGB ialah: a. WNI, dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selain itu dalam PP 40 tahun 1996 ditentukan subjek HGB pada Pasal 19, yaitu: yang dapat menjadi pemegang HGB adalah: a. WNI, dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Demikian pula PMNA/KBPN 9 tahun 1999 menentukan subjek HGB dalam Pasal 32, yaitu: (1) HGB dapat diberikan kepada: a. WNI, dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dari ketiga pengaturan tentang subjek HGB tersebut tidak terdapat perbedaan, baik dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA, maupun Pasal 19 PP 40 tahun 1996 serta Pasal 32 PMNA/KBPN 9 tahun 1999, sehingga HGB hanya boleh dimiliki oleh WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Membaca ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat disimak hal-hal sebagai berikut: ternyata permohonan HGB diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kakantah setempat. Setelah jangka waktu HGB berakhir, ternyata dapat diperpanjang dan diperbaharui lagi, dan HGB hanya dapat dimiliki oleh
WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. B.2. Memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA beserta akibat hukumnya bila perpanjangannya ditolak Kata-kata “kesejahteraan rakyat” terdapat baik dalam UUPA maupun UUPM. UUPA mengaitkan kesejahteraan rakyat dengan tujuan penguasaan tanah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3), yaitu: Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sedangkan UUPM mengaitkan kesejahteraan rakyat (masyarakat) dengan tujuan ivestasi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu: Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain (h) meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, baik penguasaan tanah menurut UUPA maupun investasi menurut UUPM sama-sama bertujuan untuk “kesejahteraan rakyat”. Kesejahteraan rakyat bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA, perlu kiranya dimaknai hal-hal sebagai berikut: a. Sepanjang mengenai anak kalimat “Atas permintaan pemegang hak...”. dalam hal ini pemegang hak diwajibkan untuk mengajukan permintaan perpanjangan HGB atas tanah. Ketentuan ini merupakan ketentuan mutlak, karena HGB merupakan pemberian, jadi sebagaimana layaknya suatu pemberian biasanya didahului dengan suatu permintaan/permohonan. b. Sepanjang mengenai anak kalimat “...dan dengan mengingat keperluan...”. Norma ini tidak dengan tegas menentukan tentang keperluan yang dimaksud. Keperluan siapakah yang dimaksudkan dalam norma tersebut. Apakah keperluan pemegang hak, keperluan negara atau keperluan pihak lain? Kalau yang dimaksud adalah keperluan pemegang hak, maka pemegang hak pasti memerlukannya, sehingga dia mengajukan permohonan perpanjangan haknya, kalau pemegang hak tidak memerlukan, tidak mungkin pemegang hak mengajukan permohonan perpanjangannya. Sebaliknya kalau yang dimaksud adalah keperluan negara, perlu diperjelas lagi, keperluan yang bagaimana yang
dimaksud dengan itu. Akan lebih bermasalah lagi apabila yang dimaksud adalah keperluan pihak ketiga, karena kemungkinan pihak ketiga tersebut adalah pesaing bisnis dari pemegang hak, sehingga pihak ketiga tersebut pasti berkeberatan perpanjangan haknya dikabulkan. HGB merupakan hak atas tanah, maka keperluan yang dimaksud dalam hal ini adalah keperluan tentang penguasaan atas tanah sesuai yang diatur Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Jadi keperluan dalam norma ini adalah bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, sehingga konsekwensinya demi kepastian hukum dan keadilan selama tanah yang diberikan dengan HGB kepada suatu subjek hak telah memenuhi tujuan penguasaan tanah, selama itu juga keberadaan HGB tersebut harus tetap dipertahankan. c. Sepanjang mengenai anak kalimat “...serta keadaan bangunan-bangunannya...”. Keadaan bangunan-bangunan yang bagaimanakah yang dimaksud dalam norma ini. Kalau yang dimaksud adalah bangunannya harus baik. Apakah bangunan yang dibangun 30 tahun yang lalu, masih dapat dikatakan baik saat ini? Selain itu dengan mengingat perkembangan estetika mengenai bangunan yang bersifat dinamis dan selalu mengikuti selera masyarakat, yang setiap saat berubah dan cenderung berbeda, apakah bangunan-bangunan yang telah didirikan 30 tahun yang lalu masih memenuhi estetika kekinian? Maksud dari anak kalimat ini adalah, bahwa bangunan tersebut harus memenuhi standar keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi penggunanya. Standar tersebut dapat diketamukan dalam Pasal 16, 17, dan Pasal 21 sampai dengan Pasal 32 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (LN 2002 – 134, TLN 4247) selanjutnya disebut UU Bagunan Gedung. d. Sepanjang mengenai anak kalimat “...jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.” Seperti yang telah diuraikan di atas, kata “dapat” ini merupakan kata yang mengandung ketidakjelasan. Kata “dapat” bisa ditafsirkan “dapat ditolak” atau “dapat dikabulkan”. Karena dapat ditafsirkan berbeda, kata “dapat” tersebut tidak memberikan jaminan kepastian bagi pemegang hak untuk memperoleh perpanjangan hak atas tanah tersebut. Kata “dapat” dalam hal ini dapat
ditafsirkan dengan bebas oleh yang berwenang (pejabat pemerintah), dalam satu hal tertentu mungkin saja HGB yang telah memenuhi syarat untuk diperpanjang ditolak permohonan perpanjangannya oleh pejabat yang berwenang karena pejabat yang berwenang tersebut mempunyai keinginan lain, atau sebaliknya mungkin saja HGB yang tidak memenuhi syarat untuk diperpanjang dikabulkan permohonan perpanjangannya pertimbangan
lain
oleh
pejabat
yang
berwenang,
karena yang
adanya
merupakan
pertimbangan diluar pertimbangan hukum dan kesejahteraan rakyat. Akibatnya menimbulkan ketidakpastian hukum, karena permohonan perpanjangan hak tersebut belum tentu dikabulkan, juga menjadi tidak adil bagi pemegang hak, karena apabila ditolak, maka pemegang hak tidak dapat melanjutnya investasinya, sehingga tidak tercipta investasi yang berkelanjutan sesuai yang dimaksud oleh Pasal 3 ayat (1) g UUPM. Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA tersebut dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum, keadilan dan investasi berkelanjutan menuju kesejahteraan rakyat, maka penafsirannya harus selalu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUPA, jo ketentuan Pasal 3 ayat (1) hurup a, f, g dan ayat (2) hurup b dan h UUPM. Ketentuan dari pasal-pasal tersebut bermakna, bahwa HGB diberikan untuk investasi yang berkepastian hukum, berkeadilan, dan berkelanjutan menuju kesejahteraan rakyat. Ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA yang ada sekarang ini tidak mencerminkan prinsip kepastian hukum, keadilan dan investasi berkelanjutan, karena ada kata “dapat” dalam ketentuan tersebut. Seperti yang telah diuraikan di atas, kata “dapat” tersebut bermakna ganda, yaitu “dapat ditolak” atau “dapat dikabulkan”, oleh karena itu kata “dapat” akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang, karena pemerintah dapat menafsirkan kata “dapat” itu sesuai dengan keperluannya dalam hal mengabulkan atau menolak perpanjangan HGB. Agar tidak menimbulkan tindakan sewenang-wenang baik oleh pemerintah maupun subjek hak, maka ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA tersebut harus disempurnakan. Sementara itu dalam hal terjadi penolakan perpanjangan HGB, maka akan mengakibatkan hapusnya HGB tersebut. Tentang hapusnya HGB diatur dalam bagian kedelapan PP 40 tahun 1996, mulai dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 38.
Pasal 35 ayat (1) PP 40 tahun 1996 menentukan: HGB hapus karena a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya. Pasal 36: (1) hapusnya HGB atas TN mengakibatkan tanahnya menjadi TN; (2) hapusnya HGB atas tanah HPL mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang HPL; (3) hapusnya HGB atas tanah hak milik mengakibatkan tanahnya kembali kedalam penguasaan pemegang hak milik. Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut di atas, maka dapat disimak tentang akibat hukumnya bila perpanjangan HGB ditolak, yaitu: HGB berakhir, tanahnya kembali kedalam penguasaan Negara apabila HGB berdiri di atas TN, atau kepada pemegang HPL apabila HGB berdiri di atas HPL, atau kepada pemegang hak milik, apabila HGB berdiri di atas tanah hak milik, dan PT tidak lagi dapat menggunakan tanah tersebut sebagai tempat usaha. Simpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa simpulan sebagai jawaban atas dua permasalahan penelitian tersebut di atas, sebagai berikut: (1)Berdasarkan UUPA, perpanjangan HGB di atas TN diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA jo Pasal 26 ayat (1) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 40 PMNA/KBPN 9 tahun 1999, sedangkan perpanjangan HGB di atas tanah HPL diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA setelah mendapat persetujuan dari pemegang HPL (Pasal 26 ayat (2) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 45 PMNA/KBPN 9 tahun 1999). HGB di atas tanah Hak Milik tidak diatur untuk perpanjangan, akan tetapi sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (2) PP 40 tahun 1996 dapat diperbaharui berdasarkan persetujuan antara pemegang hak Milik dan pemegang HGB dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT, selanjutnya didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat; (2)Memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA harus selalu dikaitkan dengan tujuan penguasaan tanah yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan ketentuan Pasal 3 UUPM mengenai asas dan tujuan penanaman modal, antara lain menciptakan lapangan kerja dan meningkatan kesejahteraan masyarakat; (3)Dalam hal HGB berakhir baik karena jangka
waktu
haknya
telah
berakhir,
maupun
karena
permohonan
perpanjanjangannya ditolak, maka tanahnya kembali kepada Negara apabila berasal dari tanah Negara atau kepada pemegang HPL apabila tanahnya berasal dari HPL, serta PT tidak lagi dapat menggunakan tanah tersebut sebagai tempat usaha. Apabila PT tidak mendapatkan tanah lain untuk mendirikan usahanya, maka akan timbul akibat hukum lainnya, yaitu: pembubaran PT, dan PHK para karyawannya, yang akan menimbulkan akibat lainnya, berupa akibat ekonomi dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA Buku Andre Ata Ujan, 2005, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius, Yogyakarta. Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, 1996, Pokok-pokok Filsafat Hukum, apa dan bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Johnny Ibrahim, 2007, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. Kelsen, Hans, 1970, Introduction To The Problem of The Legal Theory, Translated by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, Clarendon Press, Oxford. , 1970, The Pure Theory of Law, Translated by Max Knight, University of California Press, London. , 1973, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, Russel & Russel, New York. Maria Farida Indrawati Suprapto, 1996, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta. Panji Anoraga, 1994, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya, Semarang. Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. R. Djatmiko D., 1996, Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Angkasa, Bandung. Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press, Massachusetts. Sentosa Sembiring, 2007, Hukum Investasi, CV. Nuansa Aulia, Bandung. Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Widjojo Nitisastro, 2010, Pengalaman Pembangunan Indonesia, Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Zeolfirman, 2003, Kebebasan Berkontrak Versus Hak Asasi Manusia: Analisis Yuridis Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, USU Press, Medan. Makalah Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana, 2010, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Disertasi Program Dokor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Tidak dipublikasikan.