PAJAK DAN LIFTING MINYAK ”Potensi Penerimaan Negara: Optimalisasi Potensi Pajak dan Penerimaan dari Industri Ekstraktif” Perkembangan pendapatan negara selama (setidaknya) lima tahun terakhir sebagaimana tergambar dalam tabel di bawah ini, tahun 2007 hingga 2011, cenderung meningkat hampir di seluruh pos penerimaan. Akan tetapi tampak juga terlihat bahwa peningkatan itu terbilang lambat meskipun selama sepuluh tahun terakhir secara kumulatif peningkatan secara agregat telah berlipat dua kali, atau melampaui seratus persen.
TOTAL PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, 2007-2011 (miliar rupiah) 2007 2008 2009 2010 2011 % % % % PDB Realisasi PDB Realisasi PDB Realisasi PDB Realisasi Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah A. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam negeri b. Pajak Perdagangan Internasional
% PDB
707,806.10
17.9
981,609.40
19.8
848,763.20
15.1
992,398.80
15.9
1,086,369.60
15.5
706,108.30
17.9
979,305.40
19.8
847,096.60
15.1
990,502.30
15.8
1,086,369.60
15.5
490,988.60
12.4
658,700.80
13.3
619,922.20
11.0
743,325.90
11.9
839,540.30
12.0
470,051.90
11.9
622,358.70
12.6
601,251.80
10.7
720,764.50
11.5
816,422.30
11.7
20,936.80
0.5
36,342.10
0.7
18,670.40
0.3
22,561.40
0.4
23,118.00
0.3
320,604.60 224,463.00 211,617.00 12,846.00
6.5 4.5 4.3 0.3
227,174.40 138,959.20 125,752.00 13,207.30
4.0 2.5 2.2 0.2
247,176.40 164,726.70 151,719.90 13,006.90
4.0 2.6 2.4 0.2
243,089.70 158,173.70 145,261.20 12,915.50
3.5 2.3 2.1 0.2
29,088.40 63,319.00 3,734.30 2,304.00
0.6 1.3 0.1 -
26,049.50 53,796.10 8,369.50 1,666.50
0.5 1.0 0.1 -
29,500.00 43,462.80 9,486.90 1,896.50
0.5 0.7 0.2 -
26,590.40 4,342,938.00 14,895.80 3,739.50
0.4 0.6 0.2 0.1
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 215,119.70 5.4 a. Penerimaan SDA 132,892.60 3.4 1. SDA Migas 124,783.70 3.2 2. Non Migas 8,108.90 0.2 b. Bagian Laba BUMN 23,222.50 0.6 c. PNBP Lainnya 56,873.40 1.4 d. Pendapatan BLU 2,131.20 0.0 B. Hibah 1,703.80 PDB Nominal (Milyar 3,950,893.20 Rp) Sumber : Nota Keuangan 2011
4,951,356.70
5,613,441.70
6,253,789.50
7,006,726.80
Dari tabel terlihat bahwa pendapatan negara dan hibah pada tahun 2010 ini akan mendekati seribu trilyun rupiah, dan akan lebih pada tahun 2011. Sayang angka tersebut masih tekor, atau defisit, untuk membiayai proyeksi kebutuhan pendanaan belanja yang telah melebihi angka seribu trilyun rupiah, yakni Rp 1.104.636,6 miliar pada tahun 2010, dan diproyeksikan mencapai Rp 1.126.146,5, pada tahun 2011. Angka tekor yang diproyeksikan pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 133.747,7 miliar yang setara dengan 2,1 % produk domestik bruto (PDB), dan pada tahun 2011 diproyeksikan sebesar Rp 115.676,6 milyar, atau setara dengan 1,7 % PDB. Deretan angka defisit ini melestarikan atau bahkan meningkat dari angka defisit tahun-tahun belakangan. Pemerintah mendalilkan bahwa kenaikan defisit APBN dilakukan untuk dua alasan. Pertama, agar dapat melaksanakan program-program prioritas guna mempercepat pencapaian target-target pembangunan, menjaga stabilitas harga barang dan jasa di dalam negeri, serta meningkatkan perlindungan pada masyarakat. Kedua, angka kenaikan defisit tersebut masih dalam kisaran aman, dapat ditoleransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, serta sumber pembiayaannya diupayakan dominan dari dalam negeri.
Di luar angka defisit tersebut, pertanyaan yang layak diajaukan adalah apakah besaran penerimaan negara yang diterima pada tahun-tahun terakhir ini sudah mencerminkan potensi sebenarnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut bagian ini akan melihat dua lokus potensi penerimaan negara yang mestinya masih bisa dioptimalkan yakni penerimaan perpajakan dan penerimaan negara dari sektor ekstraktif (pertambangan, minyak dan gas bumi). 1. Perpajakan : Beberapa Ratio atau Berbandingan, dan Persoalan Akuntabilitas Administrasi Perpajakan Terkait dengan tingkat penerimaan pajak nasional, para ahli sudah sering mempersoalkan mengenai penerimaan pajak yang bila dilihat dari angkanya adalah penyumbang terbesar agregat penerimaan negara. Kalangan lain, seperti media dan organisasi masyarakat sipil, mempersoalkan akuntabilitas tatakelola aliran penerimaan pajak dan pendapatan negara bukan pajak yang mengakibatkan potensi penerimaan negara tergerus dari postur yang mestinya bisa dicapai. Kritik pada penerimaan pajak sekurangnya mendapatkan pembenaran pada dua pokok. Pada rendahnya tax ratio, yakni nisbah pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Studi Richard Bird dan Eric M Zolt (2003) yang hingga saat ini masih merupakan acuan komparatif yang paling reliable menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki tax ratio paling rendah dalam kelompok negara-negara berpenghasilan rendah, yakni pada 12,45 %; bandingkan dengan rata-rata kelompok ini pada angka 17 %. Saat ini Indonesia telah masuk kategori negara berpenghasilan menengah (medium income country), yakni dengan penghasilan pada kisaran $1.000 s.d. $17.000, yang pada saat studi Bird dan Zort dilakukan (2003) memiliki rataan 22 %. Secara konseptual jelas kiranya ada potensi penerimaan perpajakan yang lolos dari jangkauan aparatur perpajakan republik ini, baik itu karena persoalan teknis/kapasitas maupun oleh persoalan moral hazard. Sayang sekali tampaknya sulit bagi Pemerintah mengatasi persoalan ini meskipun upaya ke arah sana seolah sudah sangat keras diupayakan.
Tahun Tax ratio
2001 11,0
Tax Ratio (yang didasarkan pada patokan nilai GDP tahun 2000) 2005 2006 2007 2008 2009 2002 2003 2004 12,3 12,5 12,3 12,4 13,3 11,0 11,3 11,8
2010 11,9
2011 12,0
Sumber: Tahun 2005 sampai 2011 dari Data Pokok APBN 2005 – 2011, Kementerian Keuangan RI, 2010 Tahun 2001 sampai 2004 dari Faisal Basri & Haris Mundandar (2009), Lanskap Ekonomi Indonesia, hal 267, dan 274
Angka-angka tax ratio yang ditunjukan pada tabel di atas telah ‘terklarifikasi’ oleh Pemerintah melalui Menteri Kuangan Agus Martowardoyo yang membantah bahwa angka tax ratio Indonesia adalah terendah di kawasan (ASEAN). Dalam rapat dengan Komisi XI DPR-RI, Selasa 21 September 2010, Menkeu Agus Martowardoyo mendalilkan bahwa tax ratio yang rendah disebabkan oleh perhitungan yang dianut tanpa memasukkan pajak daerah dan pajak sumber daya alam. Menurutnya apabila dihitung secara keseluruhan berdasarkan definisi tax ratio, yang membandingkan antara penerimaan pajak dan Produk Domestik Bruto (PDB), angka tax ratio pada tahun 2009, misalnya, yang seperti terlihat pada tabel di atas hanya 11% akan menjadi 14,1%. Dengan metode yang sama besaran tax ratio pada 2011 mendatang akan menjadi 15%. Namun, betapapun demikian, bila tax ratio dikoreksi dengan menyertakan pajak daerah dan pajak sumberdaya alam sebagaimana
disampaikan Menkeu Agus Martowardoyo, masih jauh dari kisaran yang diajukan Bird dan Zort (2003) tentang posisi Indonesia sebenarnya. Indikator lain yang bisa mempertegas indikator rendahnya penerimaan pajak yang ditunjukkan oleh tax ratio adalah tax coverage ratio dan tax buoyoncy. Tax coverage ratio adalah nisbah atau perbandingan antara besarnya pajak yang telah dipungut dibandingkan dengan potensi pajak yang seharusnya dapat dipungut. Sayang data tentang tax ratio coverage ini tidak diperbaharui lagi. Namun data terakhir yang dirilis Direktorat Jendral Pajak berangka tahun 2003 menunujukan tax coverage ratio Indonesia tidak terlalu tinggi, data tertinggi yang dirilis hanya 76,4% di tahun 2002; terus naik secara incremental dari hanya 41,6% pada tahun 1999/2000 (Setiyadi dan Amir 2005). Adapun tax buoyoncy adalah nisbah atau perbandingan perubahan presentase penerimaan pajak terhadap perubahan persentase penerimaan nasional. Dengan kata lain, buoyoncy menunjukan berapa persen perubahan penerimaan pajak setiap terjadi perubahan PDB satu persen (Setiaji & Amir, 2005). Selama rentang tahun 1976 – 1999, secara rerata buoyancy semua jenis pajak adalah sebesar 1,8 dan untuk pajak non migas hanya 1,0 (Setiaji & Amir, 2005). Angka ini tidak berbeda dengan WDI (World Development Indicator) dan IFS (International Financial Statistics) yang dibuat untuk IMF (International Monetary Fund) (sebagaimana dikutip Ahmed & Muhammed, 2010) di mana elastisitas untuk pajak langsung hanya 1,78 dan untuk pajak tidak langsung hanya 1,17 sehingga reratanya adalah 1,50. Parameter lain yang dapat juga digunakan untuk melihat rendahnya penerimaan pajak adalah perbandingan pengembalian SPT (dari yang dikirim). Sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini, tingkat kepatuhan wajib pajak mengurus pajak memang masih rendah atau belum tinggi.
Tahun % SPT Masuk
Tingkat Pengembalian SPT dari yang dikirim (1996 – 2002) 1996 1997 1998 1999 2000 44,7 41,5 37,8 35,4 35,1
2001 35,9
2002 41,35
Sumber: Setiaji & Amir (2005)
Banyak alasan yang bisa diajukan terhadap rendahanya tax ratio, tax coverage, buoyancy dan kepatuhan pajak ini. Faisal Basri & Haris Munandar (2009) menunjuk lima faktor: (1) masih rendahnya kesadaran bayar bajak, (2) kualitas pelayanan pajak yang rendah (mencakup peraturan, tata cara pembayaran, dan kualitas layanan yang diberikan aparat pajak), (3) lemahnya pemanfaatan dan penggalian potensi pajak, dan (4) keengganan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diaudit, dan (5) politisasi dan korupsi pajak. Berikaitan dengan korupsi pajak, pada mulanya hanya menjadi desas desus yang sulit dibuktikan. Namun belakangan dengan terungkapnya berbagai kasus pengemplangan pajak, penghindaran pajak dan mafia pajak bahwa ada persoalan akuntabilitas yang sangat serius dalam pengelolaan dan sistem pengaduan dan pengadilan pajak yang selama ini ditutup-tutupi oleh DJP dan Kementerian Keuangan. Kasus demi kasus yang terungkap menunjukkan luasnya praktek akal-akalan pengusaha dalam mengurangi pajak. Sialnya, praktek-praktek tersebut sebagian terjadi karena persengkongkolan dengan aparat pajak, yang telah merembes pada aparat pengawasan, penyidik dan bahkan pengadilan pajak. Tidak tanggung-tanggung, dari apa yang coba dikais DJP beberapa waktu belakangan ini, termasuk dari angka denda yang coba diterapkan pada beberapa wajib pajak, angka pengemplangan sudah berbilang trilyun rupiah. Kisaran angka-angka tersebut tentu saja signifikan bila dibandingkan dengan postur dan besaran-besaran dalam APBN, termasuk bila dikaitkan dengan angka-angka yang
dibutuhkan untuk membiayai skema kesejahteraan. Sebab itu, ada bahaya yang tidak disadari, atau disadari namun tidak diatasi dengan sungguh-sungguh, dalam tata kelola administrasi pajak sehinga terus menggerogoti potensi penerimaan negara.
2. Penerimaan Negara dari Industri Ekstraktif : Lemahnya Transparansi dan Akuntabilitas Aliran Pendapatan Ditilik dari besaran penerimaan negara dari industri pertambangan, minyak dan gas bumi, Indonesia termasuk dalam kategori negara yang kaya sumberdaya. Sebagaimana terlihat pada tabel yang dirilis oleh kementerian ESDM di atas, meskipun fluktuatif terlihat kontribusi penerimaan dari sektor migas dan pertambangan yang masih signifikan pada kisaran seperempat hingga sepertiga total penerimaan negara.
Uraian 1. Penerimaan Migas 2. Penerimaan Pertambangan Umum a. Pajak Pertambangan Umum b. PNBP Pertambangan Umum 3. Penerimaan Lain-lain 4. TOTAL Penerimaan Negara Nasional % Kontribusi Sektor ESDM
2004
2005
Penerimaan Tahunan (dalam Miliar Rupiah ) 2006 2007 2008
108,205.6 137.675,75
2009
191,681.8
186,639.6
303,067.0
182,630.0 51,580.0
2010 141,142.0 n.a.
8,993.3
17,567.5
29,820.0
37,340.2
42,120.8
6,419.6
12,875.2
23,155.2
28,637.0
30,080.3
2,573.7
4,692.3
6,664.8
8,703.3
12,040.6
87,235.0
178.0
304.1
618.0
1,233.1
1,159.5
1,100.0
n.a.
117,376.9
155,547.3
222,119.7
225,212.9
346,347.3
235,000.0
n.a.
403,104.6
495,200.0
659,100.0
708,494.4
962,482.1
871,640.1
n.a.
29.10%
31.40%
36.10%
30.20%
36.00%
26.96%
n.a.
43.856.50
n.a.
9,738.0
Kurs (Rupiah/US$) ICP (US$/barel)
8884
9657
9119
9093
11.5
1.5
9.5
37.17
51.84
63.86
69.69
103.31
61
70
Lifting (ribu bph)
1036
1003
957
899
931
960
965
Sumber : Kementerian ESDM
Angka penerimaan migas tabel di atas sepertinya menggabungkan penerimaan pajak dan bagian pemerintah dari skema bagi hasil (government take). Dan di luar itu, terlihat penerimaan ditentukan oleh nilai tukar, angka lifting (minyak mentah yang dikapalkan untuk diperdagangkan, bukan minyak yang diangkat dari perut bumi) dan angka Indonesia Crude Petroleum (ICP). Angka ICP menggambarkan rerata harga jual minyak mentah Indonesia dalam perdagangannya.
Dari tabel di atas meskipun penerimaan pertambangan umum jauh lebih kecil dibandingkan penerimaan migas, penerimaan pertambangan umum melibatkan dua jenis pertambangan yang acapkali menerima sorotan miring dari publik, yakni mineral dan batubara. Pertambangan mineral kerap disoal karena dayarusak ekologis yang ditimbulkan meskipun pemerintah dan perusahaan berdalih berbagai upaya mitigasi merupakan bagian inheren dari mekanisme perijinan dan pengawasan operasi tambang. Soalnya terletak pada biaya kerusakan ekologis dan biaya pemulihannya bila diperhitungkan. Pertambangan batu bara menjadi salah satu pokok keprihatinan publik selain karena kerusakan ekologis yang ditimbulkan juga karena makin terkuaknya celah-celah kebocoran yang mengakibatkan penerimaan negara dan potensi penerimaan negara dari sektor ini menjadi hilang. Sebagai negara pemilik cadangan batubara nomor lima terbesar di dunia (104,76 miliar ton) laju penambangan yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir adalah nomor satu sedunia. Hal ini memprihatinkan karena dengan laju yang demikian, mengingat besarnya angka kebocoran, tingkat kerusakan ekologis, dan jenis komoditas yang diekspor (tanpa proses pengolahan), jelas merupakan suatu kerugian ekonomis yang pada gilirannya juga merupakan kehilangan potensi penerimaan negara. Potensi kebocoran terutama karena adanya lubang-lubang tata kelola yang belakangan terungkap dieksploitasi oleh perusahaan penambang (khususnya batu bara) baik untuk menghindari pajak, dan tentu saja royalti. 2001
2002
2003
2004
857,000,000,000
2,320,000,000,000
1,457,000,000,000
1,985,000,000,000
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
1,457,000,000,000
1,985,000,000,000
2,548,752,490,150
3,662,165,612,185
3,755,053,022,017
5,869,420,277,451
898,728,236,613
840,438,354,003
1,137,868,059,717
4,560,893,848,798
4,595,491,376,020
7,007,288,337,168
-2,860,027,746,811
-1,342,165,612,185
-2,298,053,022,017
-3,884,420,277,451
-945,573,368,247
-898,728,236,613
-840,438,354,003
-1,137,868,059,717
-3,805,601,115,058
-2,240,893,848,798
-3,138,491,376,020
-5,022,288,337,168
Penerimaan (LKPP) : Royalti Batubara Royalti Mineral
Total 2,320,000,000,000 Penerimaan Penerimaan Royalti Seharusnya: Royalti Batubara
3,717,027,746,811
Royalti 945,573,368,247 Mineral Total 4,662,601,115,058 Seharusnya Selisih (kurang): Royalti Batubara Royalti Mineral Total Selisih (kurang)
Penerimaan Negara Dari Royalti Mineral dan Batubara 2001-2007 (LKPP vs Seharusnya) 2005 2006 2007 Penerimaan (LKPP) : Royalti 3,076,859,475,637 Batubara Royalti n.a. Mineral Total 3,190,472,228,757 Penerimaan Penerimaan Royalti Seharusnya Royalti Batubara Royalti Mineral Total Seharusnya Selisih (kurang) Royalti Batubara Royalti Mineral Total Selisih (kurang)
Total (2001-2007)
6,610,033,628,771
5,337,246,400,038
21,643,139,504,446
n.a.
n.a.
n.a.
6,781,369,889,324
5,877,885,712,092
24,160,480,320,323
6,429,636,883,169
7,054,852,166,824
7,572,637,345,270
38,060,793,053,727
1,662,824,378,411
2,284,615,649,163
2,463,812,895,859
10,233,860,942,012
8,092,461,261,579
9,339,467,815,987
10,036,450,241,130
48,294,653,995,739
-3,352,777,407,532
-444,818,538,053
-2,235,390,945,232
-16,417,653,549,281
-1,662,824,378,411
-2,284,615,649,163
-2,463,812,895,859
-10,233,860,942,012
-5,015,601,785,942
-2,729,434,187,216
-4,699,203,841,092
-26,651,514,491,293
Sumber : LKPP dan ICW
Tabel di atas adalah perbandingan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan perhitungan ICW berdasarkan data produksi dan skema fiskal yang berlaku dalam industri pertambangan. Tabel ini memperkuat temuan pengemplangan royalti yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan batu bara selama tahun 2001 hingga 2007 yang terungkap pada tahun 2008 yang mencapai Rp 17 trilyun tanpa terekam dalam pembahasan APBN selama periode tersebut.
Penerimaan Minyak (dalam milliar Rp) Year
Penerimaan Gas (dalam milliar Rp)
LKPP
Versi ICW
Selisih
LKPP
Versi ICW
Selisih
2000
58,542.90
98,155.00
-39,613.00
26,770
39,800
-13,030
2001
67,543.83
85,038.17
-17,490.00
6,599
6,602
-3
2002
54,269.81
66,558.12
-12,289.00
23,210
37,118
-13,908
2003
49,266.65
67,142.95
-17,876.00
31,198
36,210
-5.012
2004
71,100.84
90,496.53
-19,396.00
37,105
45,480
-8,375
2005 2006
82,732.58 143,758.92
129,646.02 143,542,74
-46,914.00 216
54,433 63,713
57,042 54,750
-2,609 8,963
2007 2008
115,609.34 NA
156,342.93 NA
-40,733.59 NA 194,097 triliun
61,347 106,073
74,138 133,902
-12,791 -27,829
440,447
515,042
-74,595
Total Sumber : LKPP dan ICW
Persoalan kian runyam apabila faktor perhitungan ditambah dengan kecenderungan pemerintah daerah mengeluarkan Kuasa Pertambangan (untuk luasan hingga 5,000 hektar bagi pemerintah kabupaten/kota dan 12,000 hektar bagi pemerintah propinsi) tanpa diimbangi dengan perangkat akuntabilitas penanganan penerimaan daerah/negara dari konsesi yang dikeluarkan. Saat ini, 10 tahun setelah diberlakukannya desentralisasi, menurut Dirjen Pertambangan Umum, Batubara dan Panas Bumi, telah dikeluarkan 8,000 Kuasa Pertambangan oleh pemerintah daerah. Kalau saja jumlah itu diikuti dengan mekanisme transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara dari pertambangan batubara ini barangkali persoalannya akan lain. Masih terkait dengan potensi kebocoran, tabel di atas adalah beberan perbandingan perhitungan angka penerimaan negara dari minyak dan gas bumi yang dilakukan ICW terhadap angka Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Ringkasnya, bagian ini hendak mengajukan proposal bahwa sepertinya penerimaan negara dari perpajakan dan industri ektraktif masih dapat dioptimalkan apabila upaya peningkatkan tax ratio, perbaikan tata kelola administrasi pajak serta penegakannya mendapatkan perhatian lebih sungguhsungguh. Penerimaan negara dari sektor ekstraktif (pertambangan, minyak dan gas bumi) juga masih terbuka apabila pemerintah menegakkan mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat, terutama mekanisme transparansi dan akuntabilitas aliran pendapatan dari sektor ini. ***