PARADIGMA TARIF PAJAK DAN BASIS PAJAK DALAM PANDANGAN PENERIMAAN NEGARA Oleh: Agung Budilaksono (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai)
“You think about problems in the world,” he advised, “and you ask: can government do something about that? At the same time, you maintain your skepticism that government is often inefficient” - George Akerlof, Nobel-Prize-winning economist -
Latar Belakang Masalah Menarik untuk dicermati laporan yang dikemukakan oleh Robert Carroll (2008)1yang berjudul: “The 2001 and 2003 Tax Relief: The Benefit of Lower Tax Rates”, yang menyoroti kebijakan Presiden Bush tentang penurunan tarif PPh pada masa kepemimpinannya. Dimana Caroll menemukan bukti bahwa tax rate yang
rendah
mempengaruhi
taxpayer
untuk
melaporkan
lebih
besar
penghasilan/pendapatan kena pajaknya. Sebagai konsekuensinya, basis pajak menjadi semakin meluas dan bertambah besar sebagai response positif dari taxpayer terhadap tax rate yang rendah tersebut. Pergerakan-pergerakan yang terjadi sebagai respon atas kebijakan tersebut, ternyata pada akhirnya mampu 1 Carroll, Robert , 2008. “The 2001 and 2003 Tax Relief: The benefits of lower tax rates”: Tax Foundation, Fiscal Fact, August 2008, No. 141. 1
mengembalikan (offset) penurunan tax revenue yang diakibatkan oleh penurunan tax rate itu sendiri. Dalam laporan tersebut, Depatemen Treasuri USA melakukan penelitian pada Juli 2006, mengenai dampak dari kebijakan pajak di tahun 2001 dan 2003 tersebut dengan menggunakan model simulasi, untuk memperkirakan dampak jangka panjang kebijakan tersebut. Penelitian tersebut menemukan bukti bahwa kebijakan pajak 2001 dan 2003 tersebut, akan menambah ukuran ekonomi USA dalam jangka panjang sebesar 0,7% atau diperkirakan senilai $14 trilyun, atau sama saja dengan penambahan output nasional sebesar $ 100 milyar per tahun. Penelitian itu juga menemukan bahwa kebijakan pajak tahun 2001 dan 2003 tersebut telah menambah stok modal nasional sekitar 2,3 persen. Tidak hanya stok modal rata-rata yang bertambah, tetapi buruh mempunyai tambahan modal untuk bekerja, yang membuatnya menjadi lebih produktif. Produktivitas buruh yang meningkat adalah salah satu kunci untuk meningkatkan standar kehidupan yang lebih baik dalam jangka panjang. Carroll2 (2005) juga melakukan penelitian terkait, tentang respon pembayar pajak di Amerika periode tahun 1998 sampai 2005 atas perubahan pendapatan kena pajak yang dilaporkan pembayar pajak akibat kebijakan perubahan tarif pajak. Caroll menemukan bahwa tarif pajak yang rendah membantu mengurangi terjadinya distorsi dalam pengambilan keputusan ekonomi yang disebabkan oleh tarif pajak yang tinggi. Nilai pajak yang rendah mendorong pembayar pajak 2 Carroll, Robert and Warren Hrung. (2005). "Dynamic Scoring: What Does the Taxable Income Elasticity Say About Dynamic Responses to Tax Changes?" American Economic Review Vol. 95(2), pp. 426-431.
2
melaporkan penghasilan kena pajaknya menjadi lebih besar. Hal ini berarti bahwa porsi biaya pendapatan yang harus dikeluarkan dari nilai pajak, ternyata masih lebih rendah dan dapat diimbangi dengan adanya perluasan basis pajak. Faktorfaktor lain di luar pajak yang ditemui oleh Carroll dalam penelitiannya, yang menyebabkan pembayar pajak melaporkan pendapatan kena pajaknya lebih besar adalah faktor umur, pekerjaan, status perkawinan, dan besar keluarga pembayar pajak. Selaras dengan hal tersebut, di Indonesia juga sebenarnya apabila ingin dikaji lebih mendalam, arah pergerakan reformasi perpajakan telah bergerak ke arah yang sama dengan kebijakan di atas. Poin penting tersebut telah mulai ditunjukkan pada Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku 1 Januari 2009 yang telah mencoba mengedepankan kebijakan penurunan tarif pajak (tax rate cuts) PPh perorangan turun dari 35% menjadi 30%, sedangkan tariff PPh badan turun dari 30% menjadi 28%. Kebijakan penurunan tarif tersebut, selain dimaksudkan untuk berperan serta secara aktif membantu menumbuhkan iklim usaha, pemulihan krisis menuju state-driven economy, mendorong investasi dan economic sustainability, perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan juga didasari oleh beberapa pertimbangan antara lain produktifitas penerimaan negara (revenue enhancement), keadilan (equity), kemudahan (simplicity) dan efisiensi administrasi (administrative viability). Sebagai contoh konkret misalnya kita lihat tarif PPh badan di Indonesia yang berlaku saat ini, nilainya berada di tingkatan 25%. Sementara Singapura telah memberlakukan tarif PPh 18% dan segera turun menjadi 15%, sedangkan
3
tarif PPh Malaysia saat ini berada ditingkatan 20%, Hong Kong 15%, dan Thailand akan menurunkan dari 23% menjadi 20%. Tarif PPh badan Indonesia yang 25% tersebut ternyata yang tertinggi di Asean. Bahkan pengalaman di pojok dunia lain seperti Rusia, Negara tersebut telah berhasil memangkas tarif PPh badannya cukup radikal dari 25-27% menjadi 13% pada
tahun
2003.
Dampak
dari
keradikalan
Rusia
tersebut,
ternyata
mengakibatkan penerimaan pajak di Negeri Beruang itu melonjak hingga mencapai 30%. Apabila kita bandingkan dengan kondisi Indonesia, di Indonesiapun pernah terjadi hal yang demikian, yaitu ketika tarif PPh perorangan turun dari 35% menjadi 30% dan PPh badan Indonesia diturunkan dari 30% ke 25%, efektifitas penghasilan perorangan terjadi kenaikan sebesar 11% menurut staf khusus Menteri Keuangan Chatib Basri. Kalau kita lihat lebih mendalam, komposisi setoran pajak di Indonesia saat ini, sekitar 70% nya masih berasal dari sektor korporasi. Oleh karena itu kalau tarif PPh diturunkan, maka akan terjadi kenaikan komposisi setoran pajak dari sektor korporasi menjadi lebih dari 70% (dari total penerimaan pajak Negara). Hal ini baru didasarkan pada cerita mengenai tarif badan di Indonesia, belum lagi kalau kita bicara kepada jenis-jenis pajak lainnya. Bila kita lihat dari tarif pajak Negara-negara ASEAN di atas, variasi tarif pajaknya sangatlah beragam. Hal ini dapat
dipahami karena masing-masing
Negara tersebut memang saling berlomba memperebutkan adanya arus masuk asing ke negaranya masing-masing, sehingga dibuatlah sedemikian rupa aturan perpajakan agar memberikan daya tarik kepada investor untuk masuk ke 4
negaranya. Pada akhirnya kesemuanya itu mengakibatkan timbulnya persaingan tarif di antara Negara ASEAN ke dalam kondisi persaingan yang kurang sehat. Idealnya, harmonisasi tarif pajak di antara Negara ASEAN perlu dilakukan untuk menciptakan aspek netralitas atas arus barang, jasa, tenaga terampil, modal dan investasi menuju atau dari Negara-negara ASEAN, untuk mencegah timbulnya harmful tax competition di antara sesama anggota ASEAN. Harmful tax competition akan timbul apabila sesama anggota ASEAN terjadi persaingan untuk mendapatkan investasi global dengan memberikan fasilitas pajak yang menarik tetapi berlebihan, sehingga akan terkesan seperti diobral, misalnya tarif pajak yang rendah, dan tax holiday. Adanya harmful tax competition sesama anggota ASEAN juga tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan terjadinya hambatan arus investasi baik ke luar maupun masuk ke ASEAN. Persoalannya sekarang adalah bagaimana dengan nasib dari APBN 2011, akibat adanya persaingan tarif di ASEAN tersebut. Sudah barang tentu, mau tidak mau, besar atau kecil, akan berdampak pada perolehan pendapatan pajak bagi APBN 2011. Target yang ditetapkan kepada Ditjen Pajak saat ini diharapkan dapat menghimpun Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 420,49 trilyun rupiah, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 312,11 trilyun rupiah, penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebanyak 27,68 trilyun rupiah, serta bea materai dan lainlainya sebesar 4,2 trilyun rupiah, kiranya apakah dapat tercapai?. Orientasi perolehan pajak mau tidak mau harus diubah arahnya, dari yang tadinya berorientasi pada tarif pajak kepada basis pajak. Paling tidak rasio pajak Indonesia
5
dapat lebih ditingkatkan, sehingga tingkat keadilan pembangunan dapat lebih ditingkatkan juga. Memang upaya menaikkan rasio pajak bukanlah pekerjaan yang ringan, khususnya
pada
sektor-sektor
yang
masih
belum
tersentuh
secara
maksimal/dirasakan masih sulit tersentuh oleh Ditjen Pajak. Di bawah ini laporan dari Ditjen Pajak mengenai potensi pajak yang hilang akibat adanya keterbatasan akses pajak. Tabel.1 Potensi pajak yang hilang akibat keterbatasan akses pajak (Rp. Trilyun) Sektor
Penghasilan
Potential Loss
Deposito
840
250
Lalulintas devisa
810
243
Kredit macet
600
180
Kartu kredit
14
1,5
Total
2.264
674,5
Sumber: Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan, 2005 dalam Shofwan (2006)3
Potensi pajak yang hilang tahun 2005 saja berdasarkan perhitungan Ditjen Pajak diperkirakan ada sebesar Rp. 674,5 trilyun. Tentunya apabila tidak ada penanganan yang serius,
potensi pajak yang hilang sampai tahun 2011 ini,
3
Shofwan (2006), Bab II : Tax ration dan ketergantungan terhadap utang luar negeri, Analisis Makro dan Mikro: Jembatan Kebijakan Ekonomi Indonesia, hal 28 – 39, BPFE - Unibraw
6
dipastikan akan semakin besar. Permasalahan yang ada saat ini memang masih terbentur pada aturan hukum yang membatasi petugas pajak untuk mendapatkan akses pada sektor perbankan khusus pada deposito, lalu lintas devisa, kredit, dsb. Idealnya petugas pajak memperoleh kemudahan untuk itu. Paling tidak untuk sementara ini, Ditjen Pajak dapat memulai melakukan kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), memanfaatkan fasilitas yang ada pada PPATK dalam memantau pergerakan transaksi yang bernilai besar yang berpotensi menjadi obyek pajak, dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak, sambil juga mengupayakan aturan kemudahan akses ke sektor perbankan bagi petugas pajak. Apalagi bila kemudian didukung oleh proyek Single Identity Number yang dapat segera di realisasikan, tentunya potensi pajak yang ada dapat lebih di tingkatkan lagi. Jangan sampai kejadian penerimaan pajak tahun 2010 terulang lagi, dimana realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 661,4 trilyun rupiah atau 98,1 persen dari target dalam APBN-P 2010 yang sebesar 649,042 trilyun rupiah. Walaupun tidak terpenuhinya target tersebut diperkirakan terjadi salah satunya disebabkan karena besarnya pengembalian penerimaan perpajakan (restitusi) yang mencapai 40 trilyun rupiah, namun di sisi yang lain potensi pajak yang hilang masih sangat besar. Oleh karena itu kejelian dan inovasi strategi Ditjen Pajak perlu terus dipacu untuk dapat melihat celah-celah strategi yang masih dapat dilakukan. Oleh karena itu, menarik untuk membahas permasalahan apakah perubahan orientasi kebijakan pajak dari konsepsi tarif pajak kepada konsepsi basis pajak diperlukan untuk memenuhi target penerimaan pajak negara?
7
Di bawah ini akan di paparkan secara gamblang bagaimana dampak tarif pajak dan basis pajak atas suatu penerimaan yang akan diterima oleh negara.
Pembahasan Masalah Apabila kita berbicara mengenai masalah penerimaan pajak, maka terdapat dua unsur penting di dalamnya, yaitu basis pajak dan tarif pajak. Marilah kita lihat pada persamaan sederhana perhitungan pajak pendapatan sederhana berikut ini: Basis Pajak x Tarif Pajak = Penerimaan Pajak Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa penerimaan pajak negara ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor basis pajak dan faktor tarif pajak. Basis pajak sendiri sesungguhnya adalah sumber dari mana negara mengumpulkan penerimaan pajak. Sebagai contoh misalnya untuk (i) Pajak Penghasilan, maka basis pajaknya adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP); (ii) Pajak Penjualan, maka basis pajaknya adalah Penjualan Kena Pajak; dan (iii) Pajak Properti, maka basis pajaknya adalah Nilai Propertinya. Tiap egara memiliki definisi yang luas dari setiap basis pajak, termasuk pembebasan pajak dan mekanisme lain yang dapat mengikis dasar pengenaan pajak. Misalnya, hukum pengecualian yang mengecualikan pada banyaknya penjualan dari definisi Penjualan Kena pajak. Sedangkan Tarif Pajak merupakan produk dari legislasi. Sangat disayangkan bahwa pembicaraan mengenai keuangan publik yang berkaitan dengan masalah
8
pembiayaan sering hanya berhenti pada masalah Tarif Pajak. Namun jarang berkembang kepada pembahasan mengenai analisis mendalam dari Basis Pajak. Tarif pajak dan dasar pengenaan pajak mempengaruhi jumlah penerimaan pajak Negara, pembayar pajak dan jumlah pembayaran masing-masing orang yang membayar pajak. Apabila kita berbicara mengenai Basis Pajak, pada prinsipnya kita berbicara mengenai siapa yang membayar? Namun ketika kita berbicara mengenai persentase Tarif Pajak, maka sesungguhnya kita berbicara mengenai berapa besarannya?. Basis pajak menentukan siapa yang membayar pajak tertentu dan Tingkat Pajak menentukan berapa besar mereka harus membayar. Sebagai contoh, di bawah ini akan dicoba dipaparkan mengenai jenis pajak penjualan Negara dan bagaimana hubungan antara Basis Pajak, Tarif Pajak, dan Penerimaan Pajak. Sebuah rumus sederhana ini menggambarkan perhitungan mengenai pendapatan pajak penjualan Negara. Basis Pajak x Tarif Pajak = Pendapatan Pajak Rp. 1 trilyun x 1,5% = Rp. 15 milyar Misalnya Negara memiliki nilai Rp. 1 trilyun dari Penjualan Kena Pajak, kemudian Negara mengenakan tarif sebesar 1,5%, maka akan diperoleh nilai sebesar Rp. 15 milyar penerimaan pajak penjualan. Seandainya pada kasus yang lain
hukum Negara membebaskan pajak
penjualan sebesar Rp. 1,5 trilyun, maka akan di dapat hal sebagai berikut: Pengecualian penjualan x Tarif Pajak = Penerimaan Pajak yang hilang Rp.1,5 trilyun x
1,5%
= Rp. 22,5 milyar 9
Pada tingkatan pajak 1,5%, pengecualian pajak penjualan tercatat sebesar Rp. 22,5 milyar yang tidak terkumpul. Pendapatan negara sebesar
Rp. 22,5
milyar yang tidak terkumpul merupakan pajak atas belanja. Perubahan basis pajak yang merupakan hasil dari penambahan atau pencabutan pembebasan
dapat
mempengaruhi pendapatan pajak penjualan dan tarif pajak. Lihat ilustrasi lanjutan berikut: POTENSI PENJUALAN KENA PAJAK Penjualan Kena Pajak
Rp. 1.000.000.000.000
Plus Penjualan Yang Dibebaskan
Rp. 1.500.000.000.000
Potensi Penjualan Kena Pajak
Rp. 2.500.000.000.000
Pencabutan pembebasan pajak secara signifikan dapat meningkatkan pendapatan pajak penjualan. Untuk menggambarkan hal ini, akan ditunjukkan pengaruh pencabutan pembebasan pajak penjualan secara lengkap. Hubungan basis pajak, tarif pajak, dan penerimaan pajak terjadi apabila basis pajak menjadi lebih besar dan tarif pajak tetap, maka penerimaan pajak akan menjadi lebih besar. Lihat pembuktian di bawah ini. PENERIMAAN PAJAK PENJUALAN-TANPA PENGECUALIAN Potensi Penjualan Kena Pajak x Persentase pajak = Potensi Pajak Pendapatan Rp 2.500.000.000.000 x
1,5%
= Rp. 37.500.000.000
Jika Penjualan Kena Pajaknya adalah Rp. 2.500.000.000.000, maka penerimaan pajak akan tumbuh menjadi Rp. 37.500.000.000. Perhatikan bahwa peningkatan
10
penerimaan pajak penjualan tersebut
dapat dijadikan sebagai ukuran dasar
peningkatan pajak. Salah satu cara untuk meningkatkan basis pajak adalah dengan memodifikasi definisi Penjualan Kena Pajak melalui pembatalan pembebasan pajak penjualan. Pencabutan pembebasan pajak penjualan dapat membantu menghilangkan kesenjangan anggaran negara. Dalam mengejar pajak yang lebih adil, Negara dapat mempertimbangkan reformasi yang lebih luas yang akan menghilangkan pembebasan, namun memberi lebih banyak kegiatan, seperti layanan profesional, di sisi basis pajak. Hasil reformasi tersebut akan menjadi basis pajak yang lebih luas yang akan memungkinkan Negara untuk mengurangi tingkat penjualan kena pajak. Asumsikan, misalnya, bahwa Negara membutuhkan Rp. 15 milyar pendapatan dari pajak penjualan. Asumsikan pula bahwa Negara dapat menghilangkan semua pembebasan pajak penjualan, maka dengan Rp. 2.500.000.000.000 basis pajak penjualan, Negara mendapatkan Rp. 15 milyar pendapatan pajak penjualan dengan menggunakan tingkat pajak penjualan menjadi 0,6%. Disinilah kuncinya tarif pajak menjadi lebih kecil dengan memperluas basis pajak yang ada. PAJAK PENJUALAN TANPA PENGECUALIAN Potensi Kena Pajak Penjualan x Kemungkinan Tarif Pajak = Pajak Pendapatan Rp. 2.500.000.000.000 x 0,6% = Rp. 15.000.000.000 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila Negara membutuhkan penerimaan pajak sebesar Rp. 15 milyar, maka dengan menurunkan tarif pajak
11
menjadi 0,6% , basis pajaknya dapat diperbesar menjadi Rp. 2,5 trilyun. Hal ini terjadi karena basis pajak yang lebih besar, dengan kebutuhan pendapatan konstan, memungkinkan tarif pajak menjadi menyusut. Cara lain untuk menumbuhkan basis pajak adalah dengan meningkatkan populasi dan aktivitas Negara. Gambar.1 Dampak penurunan tarif pada konsumsi dan kesejahteraan penduduk
Sumber: Suratman (2009)4
Terjadinya penurunan tarif pajak dari 1,5% menjadi 0,6%, dengan waktu bekerja yang sama, akan meningkatkan daya beli individu/badan, sehingga selanjutnya akan meningkatkan konsumsi mereka dari C1 menjadi Co yang berarti mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus peningkatan penerimaan pajak atau meningkatkan kenyamanan/kesejahteraan mereka dari kurva U1 menjadi kurva Uo. Di Amerika, kondisi psikologis penurunan tarif ini, berdasarkan penelitian Carroll akan meningkatkan kesadaran pembayar pajak untuk melaporkan penghasilan kena pajaknya dalam jumlah yang lebih besar. 4
Suratman, Eddy (2009), Pengaruh pajak penghasilan terhadap kesejahteraan: suatu model teoritis, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.10, No.1, hal 125 - 137
12
Dengan demikian sisi penerimaan Negara tetap akan mengalami kenaikan walaupun untuk itu diperlukan adanya biaya pendapatan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Pengecualian-pengecualian yang sah yang telah diperhitungkan secara matang, juga dapat merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi sekaligus melayani kepentingan Negara, serta membantu menumbuhkan Basis Pajak. Dalam hal ini tentunya perlu diperhitungkan secara matang biaya dan manfaat dari suatu pembebasan pajak yang ada, agar Basis Pajak dapat ditingkatkan. Jangan sampai pembebasan pajak yang dilakukan Negara, justru kurang memiliki dampak peningkatan basis pajak maksimal. Apabila terjadi hal yang demikian maka disarankan perlu mencabutnya. Tidaklah berlebihan apabila disimak laporan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank/ADB)
dan
Organisasi
Buruh
Internasional
(International
Labour
Organization/ILO) yang berjudul ”Indonesia Critical Development Constraints” dimana laporan tersebut mengacu pada laporan Doing Business 2009, menyebutkan bahwa rata-rata sebuah kegiatan bisnis di Indonesia harus membayar sedikitnya 22 jenis pajak dalam setahun dan membutuhkan waktu sekitar 344 jam kerja. Hal ini menimbulkan cost of compliance (biaya yang dikeluarkan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan) yang tinggi bagi
wajib
pajak.
Dari
studi
tersebut,
ADB
mengusulkan
perlunya
penyederhanaan dalam sistem pembayaran pajak di Indonesia. Hal ini juga dapat
13
menjadi terobosan perluasan basis pajak di Indonesia. (Harian Seputar Indonesia, edisi 12 Agustus 2010). Selain itu peningkatan basis pajak juga dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan RT/RW/Kelurahan di pemukiman-pemukiman menengah ke atas, agar setiap kartu keluarga dapat dicantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), demikian juga dengan para pemegang kartu kredit yang berpotensi memiliki NPWP. Kesimpulan 1. Penurunan tarif pajak dapat mendorong pembayar pajak untuk melaporkan penghasilan kena pajaknya menjadi lebh besar; 2. Penurunan tarif pajak memerlukan perluasan basis pajak yang inovatif, yang dapat mengedepankan faktor keadilan dalam pembayaran pajak; 3. Orientasi pencarian penerimaan pajak perlu diorientasikan ke dalam periode jangka panjang, tidak hanya mengejar keperluan sesaat (satu tahun anggaran semata); 4. Penyederhanaan sistem pembayaran pajak sebagai inovasi perluasan basis pajak; dan 5. Perluasan basis pajak memerlukan inovasi yang terus menerus melalui penelitian dan evaluasi.
*****
14