POTENSI PENERIMAAN PAJAK DENGAN MINIMALISIR PRAKTEK TRANSFER PRICING Abstrak Tak hanya kasus restitusi fiktif dan praktek makelar pajak yang menggerus potensi penerimaan negara dari sektor pajak, praktek penghindaran pajak dalam proses transfer pricing juga dinilai banyak merugikan. Pertanyaan yang muncul, apakah bisa diidentifikasi potensi penerimaan negara? Dan bagaimana langkah kongkrit Pemerintah dalam mengantisipasi praktek yang merugikan negara ini?
Pendahuluan Transfer pricing adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara. Transfer pricing dapat juga diartikan sebagai penetapan harga atas transaksi penyerahan barang berwujud, barang tidak berwujud, atau penyediaan jasa antar pihak yang memiliki hubungan istimewa / transaksi afiliasi. Praktek Transfer Pricing Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa transfer pricing adalah hal yang wajar dalam dunia usaha. Namun dalam pengertian umum ditemukan di media, transfer pricing kemudian digunakan sebagai suatu praktik bisnis yang tidak baik, yaitu pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxable income) dari suatu perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan multinasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan multinasional tersebut, maka inilah ekses negatif dari praktik transfer pricing tersebut.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 57
Usaha menghindari pajak dalam proses transfer pricing, biasanya terjadi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa, dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu wajib pajak ke wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terhutang atas wajib pajak-wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Kekurang wajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada: (1) harga penjualan; (2) harga pembelian; (3) alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost); (4) pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan); (5) pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya; (6) pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar; (7) penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center). Langkah-Langkah Dirjen Pajak dalam mengantisipasi Praktek Transfer Pricing Terdapat 4 langkah strategis yang yang dilakukan DJP
1
yaitu : Pricing, Mutual
Agreement Procedure dan Advance Pricing Agreement : Pricing Untuk
menghindari
merekomendasikan
praktek agar
transfer
negara-negara
pricing
yang
mengadopsi
merugikan
transfer
rules:
OECD yaitu
memberikan kewenangan kepada Negara untuk mendistribusikan, membagikan atau mengalokasikan gross income, pengurang penghasilan, credits atau allowances atau
1
Diskusi Transfer Pricing , dengan : Sriadi Setyanto ( Kasubdit Humas Ditjen Pajak), Herawan Yunendra ( Kasi Transaksi Group, Dit. P2), Abdul Gofur ( Kasi Kerjasama Internasionalm Dit. PP II), Gerit Tampubolon ( Kasi Perjanjian Amerika – Afrika ) Direktorat Jenderal Pajak, 23 Mei 2013. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 58
item lain yang mempengaruh Penghasilan Kena Pajak di antara WP yang mempunyai hubungan istimewa untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak yang sebenarnya dari tiap wajib pajak tersebut. Tujuan transfer pricing Rules adalah untuk menempatkan Wajib Pajak Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istemewa menjadi Wajib Pajak yang independent sehingga harga-harga yang digunakan diantara Wajib Pajak Wajib Pajak tersebut dapat dipastikan kewajarannya (arm’s length) Landasan hukum untuk melakukan prosedur perlakukan terhadap penanganan praktek transfer pricing, antara lain : (1) Pasal 32A UU PPh, (2) Pasal 18 ayat (3a) UU PPh dan pasal-pasal terkait corresponding adjustment dan MAP dalam P3B. Sedangkan aturan pelaksanaannya PP 74 Tahun 2011 dan PerDirjen Pajak No. PER-69/PJ/2010 Langkah strategis yang dilakukan DJP antara lain menetapkan ketentuan-ketentuan : Persetujuan Penghindaran pajak Berganda (P3B):
pembagian hak pemajakan, mencegah double tax & double non-tax
saat ini terdapat 62 P3B efektif
Persetujuan Pertukaran Informasi Perpajakan (TIEA):
perjanjian pertukaran informasi dengan negara mitra terutama low tax
jurisdiction
terdapat 4 TIEA yang sudah ditandatangani
Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan :
ditandatangani 3 November 2011
terkait prosedur Pertukaran Informasi, dan bantuan penagihan pajak
Klausul-klausul Perpajakan dalam:
Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M)
Perjanjian Perdagangan (Bilateral Trade Agreement)
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 59
Mutual Agreement Procedure (MAP) MAP dapat diinisiasi oleh : Wajib Pajak Dalam Negeri, WNI ( dalam hal kasus nondiskriminasi) , Otoritas pajak mitra P3B dan Ditjen Pajak Tujuan dari MAP adalah memberi kepastian hukum dan panduan dalam pelaksanaan prosedur administratif dalam P3B. MAP Dapat dilakukan secara simultan dengan proses: Keberatan, Banding dan Permohonan Pengurangan dan Pembatalan. Advance Pricing Agreement. Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Besaran Potensi Penerimaan Negara dari Antisipasi Praktek Transfer Pricing Diindikasikan terdapat praktek-praktek usaha mengindari pajak, baik oleh WP Orang Pribadi maupun WP Perusahaan, baik nasional maupun multinasional. Salah satu praktek tersebut adalah dilakukannya usaha menghindari pajak oleh perusahanperusahaan multinasional, dengan melakukan proses transfer pricing yang tidak memenuhi aspek kewajaran usaha. Beberapa kalangan menyebutkan besaran-besaran yang fantastis kerugian negara akibat praktek ini 2 .
2
Menurut pengamat pajak Iwan Piliang (2013) , pada 2009 saja, kerugian negara akibat praktek ini mencapai Rp 1.300 triliun, Ulasan di Majalah KONTAN, 20 Juni 2012 bahkan menyimpulkan negara dirugikan triliunan rupiah karena praktek transfer pricing perusahaan asing di Indonesia, namun sebaliknya Ketua Komisi Pengawas Perpajakan Anwar Suprijadi (2013) mengatakan, praktek transfer pricing memang banyak dilakukan perusahaan. Namun, ia meragukan data potensi kehilangan penerimaan pajak akibat transfer pricing bisa mencapai sebesar Rp 1.300 triliun. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 60
Namun dari hasil pendalaman dari data-data yang dimiliki DJP perihal seberapa besar potensi penerimaan pajak yang hilang akibat praktek negatif dari transfer pricing sangat sulit di proyeksi, dikarenakan ketidakmungkinan mencari rujukan atau pengenaan dasar bagi transaksi tersebut. Referensi dari kasus serupa dalam dunia internasional
3
misalnya kasus yang
menimpa Google di Inggris, Starbucks Inggris, dan Amazon Inggris. Starbucks Inggris misalnya, pada tahun 2011 sama sekali tidak membayar pajak korporasi padahal berhasil mencetak penjualan sebesar £398 juta. Selain itu mereka juga mengaku rugi sejak tahun 2008, dengan jumlah kerugiannya mencapai £112 juta atau sekitar Rp1,7 triliun. Padahal dalam laporan kepada investornya di Amerika Serikat, Starbucks mengatakan bahwa mereka memperoleh keuntungan yang besar di Inggris, bahkan penjualannya selama 3 tahun (2008-2010) mencapai £1,2 miliar atau sekitar Rp18 triliun. Dengan kerugian ini, Starbucks Inggris tidak pernah membayar pajak korporasi. Bahkan selama 14 tahun beroperasi di Inggris, Starbucks hanya membayar pajak sebesar £8,6 juta. Kemudian Google Inggris pada tahun 2011 juga berhasil mencatat pendapatan sebesar £398 juta tetapi hanya membayar pajak sebesar £6 juta. Hal yang sama terjadi di Amazon Inggris, di mana mereka berhasil melakukan penjualan di Inggris sebesar £3,35 miliar selama tahun 2011 tetapi hanya membayar pajak sebesar £1,5 juta. Perusahaan-perusahan multinasional tersebut menggunakan praktik transfer pricing untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka. Caranya tidak gampang. Akan tetapi, dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, mereka dapat memindahkan keuntungan di Inggris ke luar negeri dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara lain termasuk di Amerika Serikat. Tahun 2013 Amazon berhadapan dengan pihak otoritas pajak Amerika Serikat (IRS) juga untuk kasus transfer pricing dengan nilai US$ 234 juta.
3
Kasus tersebut diulas dalam tulisan Hadi Setiawan (Peneliti pada BKF, Kementerian Keuangan), 2013 dan Cahya Handayani, Analisis Kasus Transfer Pricing PT Adaro Indonesia, 2011. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 61
Di Indonesia, contoh kasus transfer pricing terjadi pada 2008 dimana ada indikasi kasus manipulasi harga (transfer pricing) penjualan batubara PT. Adaro Indonesia ( PT. Adaro Energy, tbk) , yang kemudian ditangani Kejaksaan Agung. Dimana diduga perusahaan itu telah menjual batu bara dengan harga dibawah standar. Waktu itu, kasus mencuat akibat pertarungan konglomerat SukantoTanoto dengan Edwin Soeradjaya. Dari situlah muncul dugaan PT Adaro Indonesiamenjual batubara di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliasinya di Singapura Coaltrade Services International Pte, Ltd pada 2005 dan 2006. Oleh Coaltrade, batubara itu dijual lagi ke pasar sesuai harga pasaran. Hal ini dimaksudkan guna menghindari pembayaran royalti dan pajak yang harusnya dibayarkan ke kas negara. Dalam dokumen laporan keuangan Coaltrade pada 2002-2005, terlihat laba Coaltrade lebih tinggi dari Adaro. Laporan keuangan, tersebut menimbulkan kecurigaan, bagaimana mungkin Adaro yang memiliki tambang kalah dengan trader. Kasus tersebut berakhir setelah Kejagung sendiri menghentikan penyelidikan kasus manipulasi harga (transfer pricing) PT Adaro Indonesia karena kurangnya bukti dan lolos pula dari penyelidikan DPR setelah sembilan fraksi di DPR menolak penyelidikan dugaan transfer pricing yang dilakukan PT Adaro Indonesia. Mereka sepakat menyerahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung dan Ditjen Pajak. Kesimpulan Tidak memungkinkan melakukan proyeksi besar potensi penerimaan pajak yang hilang akibat praktek negatif dari transfer pricing. Namun, untuk mengatasi praktek pengindaran pajak atau praktek mengecilkan nilai pajak dalam transfer pricing maka diperlukan memberi kepastian dan kelancaran dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha bagi fiskus dan Wajib Pajak. Untuk itu Pemerintah dalam hal ini DJP perlu di dorong untuk melakukan langkah-langkah kongkrit, seperti : Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dapat menerbitkan instruksi Pemeriksaan Khusus terhadap WP yang terindikasi tidak patuh terkait transaksi transfer pricing, terutama perusahaan yang bertransaksi dengan pihak afiliasi di luar negeri dengan jumlah yang signifikan
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 62
Pembuatan dan ratifikasi aturan-aturan tentang kewajaran transaksi untuk kepentingan perpajakan dengan mengacu nilai-nilai internasional (universal). Melakukan kordinasi dan konsolidasi di lingkungan pemerintah untuk mengatasi kendala-kendala penanganan transfer pricing , seperti : a) Koordinasi antar lembaga, dalam usaha sinkronisasi dan penggadaan data dalam usaha intensifikasi pajak. b) Proporsi aparatur pajak yang masih minim, berbanding jumlah wajib pajaknya. c) Kualitas aparatur pajak dalam pengetahuan-pengetahuan teknis perpajakan, khususnya mengenai transfer pricing perlu ditingkatkan. d) Memperkuat institusi yang khusus mengurusi tentang transfer pricing. Saat ini, di DJP hanya ada satu unit khusus yang menangani transfer pricing. Itu pun hanya setingkat seksi, yaitu Seksi Transfer Pricing yang berada dibawah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Subdirektorat Pemeriksaan Transaksi Khusus.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 63