POSISI DAYA SAING HORTIKULTURA INDONESIA DI SEPULUH NEGARA TUJUAN UTAMA DAN DUNIA
OLEH MICHELIA WIDYA AGRI H14070089
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
Michelia Widya Agri. Posisi Daya Saing Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia (dibimbing oleh M. Firdaus).
Indonesia memiliki keberagaman produk pertanian dibandingkan dengan negaranegara lain sehingga menjadikan pertanian sebagai salah satu mata pencaharian bagi sebagian besar penduduknya. Penggunaan lahan di Indonesia dari tahun 1996 hingga tahun 2005 masih didominasi untuk sektor pertanian dan pertanian masih menjadi sektor unggulan sebagai penopang perekonomian Indonesia. Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas sektor pertanian yang menjadi andalan ekspor non migas dan merupakan salah satu potensi komoditas ekonomi yang cukup di perhitungkan dalam sektor pertanian. Perdagangan bebas yang terjadi sekarang ini dapat mnjadi peluang sekaligus menjadi ancaman bagi Indonesia, tergantung dari bagaimana Indonesia menggunakan kemampuannya untuk mendayagunakan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi berbagai kelemahan agar dapat bersaing dengan negara-negara eksportir lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perkembangan nilai ekspor dan pesaing hortikultura Indonesia serta untuk menganalisis posisi daya saing produk hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Untuk menggambarkan perkembangan nilai ekspor dan pesaing hortikultura Indonesia digunakan metode analisis deskriptif, sedangkan untuk menganalisis posisi daya saing produk hortikultura Indonesia menggunakan metode kuantitatif yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA), dan Export Product Dynamic (EPD). Penggunaan kedua metode tersebut diolah dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excel. Data yang digunakan yaitu data sekunder berupa data time series tahun 2001, 2005, dan 2009 yang dianggap dapat mewakili kondisi satu dekade terakhir. Jenis data yang diperoleh meliputi data volume ekspor, nilai ekspor, dan data produksi Hasil penelitian menunjukan bahwa ekspor Indonesia yang paling kontinyu adalah ke pasar dunia dan Singapura. Sedangkan untuk ke beberapa negara tujuan ekspor lainnya, Indonesia masih belum mampu mengekspor produk hortikulturanya secara kontinyu. Daya saing produk hortikultura Indonesia menurut rata-rata RCA pada tahun 2001, 2005, dan 2009 memiliki daya saing yang rendah di sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Sehingga ekspor hortikultura Indonesia masih kurang baik di beberapa negara tujuan ekspornya ataupun bila dibandingkan dengan negara eksportir lainnya. Komoditi yang memiliki daya saing yang kuat hampir di setiap negara tujuan ekspor yaitu temulawak dan jambu, mangga, serta manggis. Sedangkan komoditi yang mempunyai daya saing lemah yaitu pisang. Hampir dari semua produk hortikultura mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Singapura dan Taiwan. Di Jepang dan Malaysia produk hortikultura Indonesia sama sekali tidak mempunyai daya saing yang kuat. Hasil estimasi EPD terhadap produk hortikultura Indonesia menunjukan bahwa posisi daya saing hortikultura Indonesia terbaik yaitu di negara Jepang dan Singapura. Sedangkan secara umum, komoditi hortikultura Indonesia berada pada posisi terbaik yaitu “Rising Star”di beberapa negara tujuan ekspornya Berdasarkan hasil yang diperoleh, dari estimasi RCA yang menunjukan bahwa ratarata daya saing hortikultura Indonesia rendah di beberapa negara tujuan ekspornya maka Indonesia perlu meningkatkan produksi, mutu, kontinyuitas, dan produktivitas akan produk hortikultura tersebut. Selain itu, pemerintah perlu mendukung kuat pembangunan sektor pertanian, salah satunya yaitu dengan peningkatan subsidi bagi sektor pertanian dan lebih mencontoh strategi-strategi yang dilakukan oleh negara yang telah berhasil mengembangkan
sektor pertaniannya. Berdasakan hasil estimasi EPD, secara umum komoditi hortikultura Indonesia berada di posisi “Rising Star” perlu dipertahankan bagi Indonesia, bahkan perlu ditingkatkan agar semua komoditi Indonesia berada pada kuadran tersebut sehingga berhasil meraih pangsa ekspor dan pangsa produk di sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Sedangkan untuk komoditi yang berada pada posisi “Lost Opportunity” perlu mendapat perhatian khusus agar Indonesia tidak kehilangan kesempatan kembali meraih pangsa ekspornya. Dan komoditi yang berada pada posisi “Falling Star” dan “Retreat” sebaiknya pemasaran difokuskan hanya pada pasar domestik saja karena permintaan akan komoditi tersebut menurun di beberapa negara tujuan ekspor.
Name NRP Title
: Michelia Widya Agri : H14070089 :Competitiveness Position of Indonesia Horticulture in The Ten Main Destination Countries and The World
ABSTRACT
Indonesia memiliki keberagaman produk pertanian dibandingkan dengan negaranegara lain sehingga menjadikan pertanian sebagai salah satu mata pencaharian bagi sebagian besar penduduknya. Penggunaan lahan di Indonesia dari tahun 1996 hingga tahun 2005 masih didominasi untuk sektor pertanian dan pertanian masih menjadi sektor unggulan sebagai penopang perekonomian Indonesia. Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas sektor pertanian yang menjadi andalan ekspor non migas dan merupakan salah satu potensi komoditas ekonomi yang cukup di perhitungkan dalam sektor pertanian. Perdagangan bebas yang terjadi sekarang ini dapat mnjadi peluang sekaligus menjadi ancaman bagi Indonesia, tergantung dari bagaimana Indonesia menggunakan kemampuannya untuk mendayagunakan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi berbagai kelemahan agar dapat bersaing dengan negara-negara eksportir lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perkembangan nilai ekspor dan pesaing hortikultura Indonesia serta untuk menganalisis posisi daya saing produk hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Untuk menggambarkan perkembangan nilai ekspor dan pesaing hortikultura Indonesia digunakan metode analisis deskriptif, sedangkan untuk menganalisis posisi daya saing produk hortikultura Indonesia menggunakan metode kuantitatif yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA), dan Export Product Dynamic (EPD). Penggunaan kedua metode tersebut diolah dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excel. Data yang digunakan yaitu data sekunder berupa data time series tahun 2001, 2005, dan 2009 yang dianggap dapat mewakili kondisi satu dekade terakhir. Jenis data yang diperoleh meliputi data volume ekspor, nilai ekspor, dan data produksi Hasil penelitian menunjukan bahwa ekspor Indonesia yang paling kontinyu adalah ke pasar dunia dan Singapura. Sedangkan untuk ke beberapa negara tujuan ekspor lainnya, Indonesia masih belum mampu mengekspor produk hortikulturanya secara kontinyu. Daya saing produk hortikultura Indonesia menurut rata-rata RCA pada tahun 2001, 2005, dan 2009 memiliki daya saing yang rendah di sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Sehingga ekspor hortikultura Indonesia masih kurang baik di beberapa negara tujuan ekspornya ataupun bila dibandingkan dengan negara eksportir lainnya. Komoditi yang memiliki daya saing yang kuat hampir di setiap negara tujuan ekspor yaitu temulawak dan jambu, mangga, serta manggis. Sedangkan komoditi yang mempunyai daya saing lemah yaitu pisang. Hampir dari semua produk hortikultura mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Singapura dan Taiwan. Di Jepang dan Malaysia produk hortikultura Indonesia sama sekali tidak mempunyai daya saing yang kuat. Hasil estimasi EPD terhadap produk hortikultura Indonesia menunjukan bahwa posisi daya saing hortikultura Indonesia terbaik yaitu di negara Jepang dan Singapura. Sedangkan secara umum, komoditi hortikultura Indonesia berada pada posisi terbaik yaitu “Rising Star”di beberapa negara tujuan ekspornya Berdasarkan hasil yang diperoleh, dari estimasi RCA yang menunjukan bahwa ratarata daya saing hortikultura Indonesia rendah di beberapa negara tujuan ekspornya maka Indonesia perlu meningkatkan produksi, mutu, kontinyuitas, dan produktivitas akan produk hortikultura tersebut. Selain itu, pemerintah perlu mendukung kuat pembangunan sektor
pertanian, salah satunya yaitu dengan peningkatan subsidi bagi sektor pertanian dan lebih mencontoh strategi-strategi yang dilakukan oleh negara yang telah berhasil mengembangkan sektor pertaniannya. Berdasakan hasil estimasi EPD, secara umum komoditi hortikultura Indonesia berada di posisi “Rising Star” perlu dipertahankan bagi Indonesia, bahkan perlu ditingkatkan agar semua komoditi Indonesia berada pada kuadran tersebut sehingga berhasil meraih pangsa ekspor dan pangsa produk di sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Sedangkan untuk komoditi yang berada pada posisi “Lost Opportunity” perlu mendapat perhatian khusus agar Indonesia tidak kehilangan kesempatan kembali meraih pangsa ekspornya. Dan komoditi yang berada pada posisi “Falling Star” dan “Retreat” sebaiknya pemasaran difokuskan hanya pada pasar domestik saja karena permintaan akan komoditi tersebut menurun di beberapa negara tujuan ekspor.
POSISI DAYA SAING HORTIKULTURA INDONESIA DI SEPULUH NEGARA TUJUAN UTAMA DAN DUNIA
Oleh MICHELIA WIDYA AGRI H14070089
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Posisi Daya Saing Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia
Nama
: Michelia Widya Agri
NRP
: H14070089
Menyetujui, Dosen Pembimbing
M. Firdaus, Ph.D NIP. 19730105 199702 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Michelia Widya Agri H14070089
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Michelia Widya Agri, lahir pada tanggal 23 Agustus 1989 di Martapura, Kalimantan Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Ir. Hawal Widodo dan Yayah Juhaeriah, S.Pt. Penulis mengawali pendidikannya pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1995 di TK Sejahtera, Rantau Kalimantan Selatan. Kemudian melanjutkan ke SD Negeri Kesambi Baru Cirebon pada tahun 1995, lalu bermutasi ke SD Negeri Kesambi Dalam III Cirebon untuk mengikuti program kelas unggulan selama tiga tahun terhitung sejak duduk di bangku kelas tiga hingga kelas enam. Selanjutnya penulis meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama ke SMP Negeri 1 Cirebon pada tahun 2001, lalu bermutasi kembali mengikuti tugas orangtua pada kelas dua ke SMP Negeri 1 Kuningan. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 1 Kuningan dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan mengambil minor Manajemen Fungsional. Selama menjadi mahasiswa, penulis mencoba aktif di berbagai kepanitiaan, diantaranya adalah panitia FOTRANUSA 2008, Olimpiade Mahasiswa IPB 2008 dan 2009, The Sixth HIPOTEX-R, Indonesia Economic Festival (INFEST) 2009, Orientasi For New Generation (ORANGE) FEM 2009, Gebyar Nusantara 2009, dan lain-lain. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti kegiatan organisasi seperti menjadi biro kesekretariatan pada Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi (HIPOTESA) periode 2009. Adapun penghargaan yang berhasil didapatkan yaitu pemenang Enterpreneur Competition FEM IPB 2010. Tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Posisi Daya Saing Horikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia” untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Posisi Daya Saing Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan, doa, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segenap hati penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis, khususnya kepada: 1. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi atas segala perhatian, kebaikan, bantuan, motivasi dan bimbingannya selama ini kepada penulis. 2. Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc selaku dosen penguji utama dan Bapak Deniey Adi Purwanto, MSE selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas segala masukan, kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi penulis. 3. Ir. Hawal Widodo dan Yayah Juhaeriah, S.Pt selaku kedua orangtua penulis serta Melinda Widya Ghamelina selaku adik penulis yang telah senantiasa mendoakan, memberi motivasi, semangat dan pengorbanan dengan penuh rasa kasih sayang kepada penulis. 4. Seluruh dosen, staf dan seluruh civita akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Deartemen Ilmu Ekonomi. 5. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Adinda Kharisma Ramadhan, Renatalia Desiana Parhusip dan Teguh Nobi Wijaya atas semangat, bantuan, motivasi, doa dan perjuangan yang luar biasa ini.
ii
6. Sahabat-sahabatku di Rempati Kos: Elfrida Yuliansari, Faiz Nur Hanum, Sherly Anggraini, Tamia Dwi Anindita, Deviani Prima Devi, Artanti Yulaika Iriani, Ibu Ratna beserta keluarga dan Bibi Mariana. 7. Risa Pragari, Ajeng Endartrianti, Hesti Ayu Hapsari, Retno Khairunnisa, Reni Tilova, Kristina Sari, Abdul Aziz dan seluruh teman-teman dan sahabat di Ilmu Ekonomi yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. 8. Seluruh Staff Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik yang telah membantu penulis memperoleh data dan telah memberikan pengetahuan dan informasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Cindy Intan Audya Putri, Dewi Silvia Lestari, Kak Muti, Kak Heri dan Kak Arin atas segala bantuan, motivasi dan doa bagi penulis dalam menyelesaikna skripsi ini. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Bogor, Juli 2011
Michelia Widya Agri H14070089
i
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang................................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 9 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 9 1.5. Ruang Lingkup ................................................................................ 10 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjaun Pustaka ............................................................................... 12 2.1.1. Hortikultura.......................................................................... 12 2.1.2. Ekspor dan Impor ................................................................ 12 2.1.3. Perdagangan Internasional ................................................... 13 2.1.4. World Trade Organization (WTO) dan Pertanian ............... 19 2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 21 2.3. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 23 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 26 3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ............................................ 26 3.2.1. Revealed Comparative Advantage (RCA) ........................... 27 3.2.2. Export Product Dynamic (EPD) ......................................... 28 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Profil Hortikultuura ........................................................................ 31 4.2. Perkembangan Hortikultura Dunia .................................................. 39 4.3. Perkembangan Hortikultura Indonesia ............................................ 30 4.4. Perkembangan Ekspor Hortikultura Indonesia di Dunia ................. 45 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Pasar Dunia Tahun 2001, 2005, dan 2009 ........ 60 5.2. Negara-Negara Pesaing Utama Ekspor Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia ...................................... 80 5.3. Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA), Export Product Dynamic (EPD) Indonesia ke sepuluh Negara Tujuan Uama dan Pasar Dunia ............................................................................... 83 5.4. Hasil Penggabungan RCA dan EPD Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara TujuanUtama dan Dunia ....................................... 174 5.5. Ringkasan Hasil Estimasi RCA dan EPD Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia ..................................... 177 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 180 6.2. Saran ................................................................................................ 180 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 182 LAMPIRAN ..................................................................................................... 185
ii
DAFTAR TABEL
1.1 Kontribusi Sektor Pertanian dalam membentuk PDB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2009 ............................................................... 3 1.2 Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan harga Berlaku Periode 2004-2009 (Milyar Rupiah) .............................................................................. 4 1.3 Perkembangan Ekspor, Impor, dan Neraca Perdsgangan Hortikultura 7 1.4 Volume Ekspor Beberapa Komoditi Hortikultura Indonesia di Dunia Tahun 2005-2009............................................................................. 8 1.5 Pangsa Ekspor Beberapa produk Hortikultura Indonesia di Pasar Dunia ............................................................................................... 9 3.1 Kode Komoditi Hortikultura dalam Harmonized System (HS) ...... 26 3.2 Matriks Posisi Daya Saing ............................................................... 29 4.1 Sepuluh Negara Produsen Beberapa produk Hortikultura Terbesar di Dunia Tahun 2005 ........................................................................... 40 4.2 Produktivitas Tanaman Hortikultura Indonesia ............................... 44 4.3 Ekspor Komoditi Jambu Biji, Mangga, dan Manggis Indonesia ..... 56 5.1 Negara-Negara pesaing Utama Ekspor Hortikultura Indonesia ...... 81 5.2 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Hongkong .... 84 5.3 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Hongkong ..... 85 5.4 Hasil Estimasi RCA Bunga Potong di Pasar Hongkong .................. 85 5.5 Hasil Estimasi RCA Kubis di Pasar Hongkong ............................... 87 5.6 Hasil Etimasi RCA Pisang di Pasar Hongkong ............................... 88 5.7 Hasil Estimasi RCA Nanas di Pasar Hongkong .............................. 89 5.8 Hasil Estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Hongkong ........................................................................................ 90 5.9 Hasil Estimasi RCA Jahe di Pasar Hongkong ................................. 91 5.10 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Hongkong...................... 92 5.11 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Belanda ........ 93 5.12 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Belanda......... 94 5.13 Hasil Estimasi RCA Bunga Potong di Belanda ............................... 94 5.14 Hasil Estimasi RCA Kubis di Pasar Belanda ................................... 95 5.15 Hasil Etimasi RCA Jamur di Pasar Belanda .................................... 96 5.16 Hasil Estimasi RCA Cendawan Tanah di Pasar Belanda ................ 97 5.17 Hasil Estimasi RCA Pisang di Pasar Belanda................................. 97 5.18 Hasil Estimasi RCA Nanas di Pasar Belanda .................................. 98 5.19 Hasil Estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Belanda ............................................................................................ 99 5.20 Hasil Estimasi RCA Jahe di Pasar Belanda ..................................... 99 5.21 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Belanda ......................... 100 5.22 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesiadi Pasar Singapura ...... 101 5.23 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Singapura ..... 102 5.24 Hasil Estimasi RCA Bunga Potong di Pasar Singapura .................. 103 5.25 Hasil Estimasi RCA Kubis di Pasar Singapura................................ 104 5.26 Hasil Estimasi RCA Jamur di Pasar Singapura ............................... 104
iii
5.27 Hasil Estimasi RCA Cendawan Tanah di Pasar Singapura ............. 5.28 Hasil Estimasi RCA Pisang di Pasar Singapura .............................. 5.29 Hasil stimasi RCA Nanas di Pasar Singapura.................................. 5.30 Hasil Estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Singapura ......................................................................................... 5.31 Hasil Estimasi RCA Jahe diPasar Singapura ................................... 5.32 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Singapura ...................... 5.33 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Taiwan ......... 5.34 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Taiwan .......... 5.35 Hasil Estimasi RCA Bunga Potong di Pasar Taiwan....................... 5.36 Hasil Estimasi RCA Kubis di Pasar Taiwan .................................... 5.37 Hasil Estimasi RCA Jamur di Pasar Taiwan.................................... 5.38 Hasil Estimasi RCA Cendawan Tanah di Pasar Taiwan ................. 5.39 Hasil Estimasi RCA Nanas di Pasar Taiwan ................................... 5.40 Hasil Estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Taiwan.............................................................................................. 5.41 Hasil Estimasi RCA Jahe di Pasar Taiwan ...................................... 5.42 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Taiwan .......................... 5.43 Hasil estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Cina .............. 5.44 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Cina .............. 5.45 Hasil Estimasi Bunga Potong di Pasar Cina .................................... 5.46 Hasil Estimasi Kubis di Pasar Cina ................................................. 5.47 Hasil Estimasi Jamur di Pasar Cina ................................................. 5.48 Hasil Estimasi Pisang di Pasar Cina ................................................ 5.49 Hasil Estimasi RCA Jahe di Pasar Cina ........................................... 5.50 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Jepang .......... 5.51 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Jepang........... 5.52 Hasil Estimasi RCA Bunga Potong di Pasar Jepang ....................... 5.53 Hasil Estimasi RCA Kubis di Pasar Jepang ..................................... 5.54 Hasil Estimasi RCA Jamur di Pasar Jepang .................................... 5.55 Hasil Estimasi RCA Cendawan Tanah di Pasar Jepang .................. 5.56 Hasil Estimasi RCA Pisang di Pasar Jepang.................................... 5.57 Hasil Estimasi RCA Nanas di Pasar Jepang .................................... 5.58 Hasil Estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Jepang .............................................................................................. 5.59 Hasil Estimasi RCA Jahe di Pasar Jepang ....................................... 5.60 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Jepang ........................... 5.61 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Malaysia ...... 5.62 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Malaysia ....... 5.63 Hasil Estimasi RCA Bunga Potong di Pasar Malaysia .................... 5.64 Hasil Estimasi RCA Kubis di Pasar Malaysia ................................. 5.65 Hasil Estimasi RCA Jamur di Pasar Malaysia ................................. 5.66 Hasil Estimasi RCA Cendawan Tanah di Pasar Malysia................. 5.67 Hasil Estimasi RCA Pisang di Pasar Malaysia ................................ 5.68 Hasil Estimasi RCA Nanas di Pasar Malaysia ................................. 5.69 Hasil Estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Malaysia .......................................................................................... 5.70 Hasil Estimasi RCA Jahe di Pasar Malaysia....................................
105 106 107 108 108 109 110 111 112 112 114 114 115 116 117 118 118 119 120 121 121 122 123 124 125 126 127 128 128 129 130 131 132 133 134 135 136 136 137 138 139 139 140 141
iv
5.71 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Malaysia ........................ 5.72 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Saudi Arabia 5.73 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Saudi Arabia . 5.74 Hasil Estimasi RCA Bunga Potong di Pasar Saudi Arabia............. 5.75 Hasil estimasi RCA Kubis Indonesia di Pasar Saudi Arabia .......... 5.76 Hasil Estimasi RCA Jamur Indonesia di Pasar Saudi Arabia ......... 5.77 Hasil Estimasi RCA Pisang di Pasar Saudi Arabia ......................... 5.78 Hasil Estimasi RCA Nanas di Pasar Saudi Arabia ......................... 5.79 Hasil Estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Saudi Arabia.................................................................................... 5.80 Hasil Estimasi RCA Jahe di Pasar Saudi Arabia ............................ 5.81 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Saudi Arabia ................ 5.82 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Amerika Serikat ............................................................................................. 5.83 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Amerika Serikat ............................................................................................. 5.84 Hasil Estimasi Bunga Potong di Pasar Amerika Serikat ................ 5.85 Hasil Estimasi Kubis di Pasar Amerika Serikat .............................. 5.86 Hasil Estimasi Jamur di Pasar Amerika Serikat ............................. 5.87 Hasil Estimasi RCA Cendawan Tanah di Pasar Amerika Serikat .. 5.88 Hasil Estimasi RCA Pisang di Pasar Amerika Serikat ................... 5.89 Hasil Estimasi RCA Nanas di Pasar Amerika Serikat .................... 5.90 Hasil Estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Amerika Serikat.......................................... .................................. 5.91 Hasil Estimasi RCA jahe di Pasar Amerika Serikat ....................... 5.92 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Amerika Serikat ........... 5.93 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Uni Emirat Arab................................................................................................. 5.94 Hasil Estimasi EPD Hortikultura di Pasar Uni Emirat Arab .......... 5.95 Hasil Estimasi RCA Bunga Potong di Pasar Uni Emirat Arab ....... 5.96 Hasil Estimasi RCA Kubis di Pasar Uni Emirat Arab .................... 5.97 Hasil Estimasi RCA Jamur di Pasar Uni Emirat Arab .................... 5.98 Hasil Estimasi RCA Cendawan Tanah di Pasar Uni Emirat Arab.. 5.99 Hasil Estimasi RCA Pisang di Pasar Uni Emirat Arab ................... 5.100 Hasil Estimasi RCA Nanas di Pasar Uni Emirat Arab .................... 5.101 Hasil estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Uni Emirat Arab .............................................................................. 5.102 Hasil Estimasi RCA Jahe di Pasar Uni Emirat Arab ...................... 5.103 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Uni Emirat Arab ........... 5.104 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Dunia .......... 5.105 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Dunia ........... 5.106 Hasil Estimasi RCA Bunga Potong di Pasar Dunia ........................ 5.107 Hasil Estimasi RCA Kubis di Pasar Dunia ..................................... 5.108 Hasil Estimasi RCA Jamur di Pasar Dunia ..................................... 5.109 Hasil Estimasi RCA Cendawan Tanah di Pasar Dunia ................... 5.110 Hasil Estimasi RCA Pisang di Pasar Dunia .................................... 5.111 Hasil Estimasi RCA Nanas di Pasar Dunia ..................................... 5.112 Hasil Estimasi RCA Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar
141 142 143 144 144 145 146 147 147 148 149 150 151 152 153 153 154 155 156 156 157 158 159 160 160 161 162 162 163 164 164 165 166 166 167 168 169 170 170 171 172
v
Dunia ............................................................................................... 5.113 Hasil Estimasi RCA Jahe di Pasar Dunia........................................ 5.114 Hasil Estimasi RCA Temulawak di Pasar Dunia ............................ 5.116 Hasil Estimasi Rata-Rata RCA Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia .................................................... 5.117 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia .................................................................
173 173 174 178 179
vi
DAFTAR GAMBAR
1.1 1.2 2.1 2.2 3.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14
Persentase Penggunaan Lahan di Indonesia Tahun 1996-2005....... Perkembangan Volume Ekspor Hortikultura Indonesia .................. Model dasar Hecksher_Ohlin .......................................................... Kerangka Pemikiran Operasional .................................................... Daya Tarik Pasar dan Kekuatan Bisnis pada EPD .......................... Perkembangan Volume Produksi Sayuran dan Buah Indonesia ..... Perkembangan Volume Produksi Tanaman Hias Indonesia............. Perkembangan Volume Produksi Tanaman Biofarmaka ................. Konsumsi Perkapita Buah-buahan dan Sayuran .............................. Perkembangan Total Ekspor Indonesia dan Beberapa Negara Pesaing di Pasar Dunia Tahun 2000-2010 ...................................... Perkembangan Volume Ekspor Bunga potong Indonesia ............... Perkembangan Volume Ekspor Kubis Indonesia............................. Perkembangan Volume Ekspor Jamur Indonesia ............................ Perkembangan Volume Ekspor Cendawan Tanah Indonesia .......... Perkembangan Volume Ekspor Pisang Indonesia ......................... Perkembangan Volume Ekspor Nanas Indonesia ............................ Perkembangan Volume Ekspor Jambu Biji, Mangga, dan Manggis Indonesia ........................................................................... Perkembangan Volume Ekspor Jahe Indonesia ............................... Perkembangan Volume Ekspor Temulawak Indonesia ................... Neraca Perdagangan Horrtikultura Hongkong ................................ Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Hongkong ......................................................................................... Neraca Perdagangan Hortikultura Belanda ...................................... Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Belanda ............................................................................................ Neraca Perdagangan Hortikultura Singapura................................... Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Singapura ......................................................................................... Neraca Perdagangan Hortikultura Taiwan ....................................... Perkembangan nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Taiwan Neraca Perdagangan Hortikultura Cina ........................................... Perkembangan Niai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Cina .................................................................................................. Neraca Perdagangan Hortikultura Jepang ........................................ Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Jepang .............................................................................................. Neraca Perdagangan Hortikultura Malaysia .................................... Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar
2 5 17 25 30 41 41 42 43 47 48 49 50 51 52 53 55 57 59 60 61 63 64 65 66 67 68 69 70 71 71 72
vii
Malaysia ........................................................................................... 5.15 Neraca Perdagangan Hortikultura Saudi Arabia .............................. 5.16 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Saudi Arabia..................................................................................... 5.17 Neraca Perdagangan Hortikultura Amerika Serikat......................... 5.18 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Amerika Serikat ............................................................................... 5.19 Neraca Perdagangan Hortikultura Uni Emirat Arab ........................ 5.20 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Uni Emirat Arab ............................................................................... 5.21 Perkembangan Nilai Impor Hortikultura Dunia............................... 5.22 Perbandingan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia dan Dunia ....... 5.23 Posisi Daya Saing Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia ................................................................. 5.24 Posisi Negara Tujuan Ekspor Hortikultura Indonesia berdasarkan Daya Saing .......................................................................................
73 74 75 76
77 78 78 79 80 175 176
viii
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3.
Volume Ekspor Hortikultura Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Tahun 2001, 2005 ...................................................................................... 185 Nilai Ekspor Hortikultuta Indonesia di Negara Tujuan Ekspor (US$ 1000) ...................................................................................... 190 Negara-Negara Pesaing Utama Ekspor Hortiklultira Indonesia di Pasar Hongkong, Belanda, Singapura, Taiwan, dan Cina ......................... 201
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki iklim tropis dan dianugerahi kekayaan alam yang melimpah, keadaan tanah yang subur untuk bercocok tanam serta wilayah perairan yang terbentang luas. Sehingga Indonesia memiliki keberagaman produk pertanian dibandingkan dengan negara-negara lain. Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia sehingga menjadikan pertanian sebagai salah satu mata pencaharian bagi sebagian besar penduduknya. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau. Pada Gambar 1.1 persentase total penggunaan lahan di Indonesia dari tahun 1996-2005 menggambarkan bahwa dari seluruh lahan yang digunakan perkebunan menempati urutan tertinggi sebesar 25 persen, tegal/kebun 14 persen, lahan tanaman kayu-kayuan 13 persen. Ini dapat diartikan bahwa meskipun banyak terjadi konversi lahan, lahan yang digunakan di Indonesia dari tahun 1996 hingga tahun 2005 masih didominasi untuk sektor pertanian dan pertanian masih menjadi sektor unggulan penopang perekonomian Indonesia. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, dan lainnya, pertanian menjadi pilar utama bagi perekonomian mereka sehingga mereka dapat mengandalkan devisa hasil pertanian mereka. Sektor pertanian di negara-negara maju pun lebih produktif dan menganut pertanian dengan sistem yang modern dengan penggunaan teknologi yang tepat guna sehingga lebih efisien serta adanya subsidi yang tinggi dari masing-masing pemerintah sehingga dapat menekan biaya produksi yang mereka keluarkan. Di negara berkembang seperti Indonesia, subsidi untuk sektor pertanian dicabut. Hal ini terjadi karena IMF menuntut Indonesia untuk mencabut subsidi tersebut. Ketergantungan antara Indonesia dengan IMF membuat Indonesia tidak bisa berkutik dan menuruti keinginan IMF tersebut. Seharusnya
2
Indonesia bisa lebih memaksimalkan potensi yang ada di bidang pertanian karena Indonesia lebih memiliki lahan yang luas, letak geografis, serta iklim yang lebih mendukung untuk membudidayakan sektor pertanian.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006
Gambar 1.1 Persentase Penggunaan Lahan di Indonesia Tahun 2005 Sektor pertanian Indonesia terdiri dari lima subsektor yaitu, subsektor tanaman bahan makanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor kehutanan, dan subsektor perikanan (Dumairy, 1996). Dimana masing-masing sektor tersebut memberikan kontribusi tersendiri bagi perekonomian Indonesia. Seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1 bahwa persentase kontribusi pertanian terhadap pembentukan PDB dari tahun 2005-2009 semakin meningkat, kecuali pada tahun 2006 sempat mengalami penurunan sebesar 12,97 persen. Sektor pertanian dapat menjadi salah satu sektor unggulan yang dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Dari beberapa subsektor, subsektor tanaman bahan makanan yang memberikan kontribusi paling besar. Tanaman bahan makanan meliputi komoditas-komoditas bahan makanan seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai (Dumairy, 1996), termasuk didalamnya beberapa komoditas hortikultura seperti sayursayuran dan buah-buahan. Subsektor inilah yang menjadi sandaran nafkah utama, terutama bagi masyarakat pedesaan. Karena di pedesaan masih terdapat banyak lahan pertanian seperti sawah, ladang, dan lain-lain dibandingkan dengan daerah
3
perkotaan yang sudah banyak dipenuhi oleh areal perkantoran, kawasan industri, dan perumahan. Tabel 1.1 Kontribusi Sektor Pertanian dalam Membentuk Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2009 (%) Tahun Sektor-Subsektor
2005
2006
2007
2008*
2009**
Sektor P e r t a n i a n
13,13
12,97
13,72
14,46
15,29
a. Pertanian Sempit
10,16
9,85
10,33
10,87
11,32
- Tanaman Bahan Makanan
6,54
6,42
6,71
7,06
7,46
- Tanaman Perkebunan
2,03
1,90
2,07
2,14
2,00
- Peternakan dan Hasil-hasilnya
1,59
1,53
1,55
1,67
1,85
b. Kehutanan
0,81
0,90
0,92
0,82
0,80
c. Perikanan 2,15 2,23 2,47 Keterangan : *)Angka Sementara, **)Angka Sangat Sementara Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010
2,77
3,17
Hortikultura yang termasuk ke dalam subsektor tanaman pangan pun telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan nasional seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.2. Tanaman hortikultura meliputi sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka dan tanaman hias. Pada Tabel 1.2 nilai PDB hortikultura berdasarkan harga berlaku periode 2004-2009 semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dari empat komoditas hortikultura, komoditas buah-buahan memberikan kontribusi paling besar. Hal ini dikarenakan buah-buahan memiliki volume produksi yang paling besar yaitu sebanyak 12.656.031 ton1 pada tahun 2003-2009. Kemudian disusul oleh sayuran, tanaman biofarmaka dan tanaman hias. Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas andalan ekspor non migas. Jenis-jenis tanaman yang tidak terdapat di negara lain dan hanya terdapat di Indonesia, serta iklim yang menunjang menjadikan tanaman hortikultura Indonesia sebagai potensi komoditas ekonomi Bangsa Indonesia yang cukup diperhitungkan dalam sektor pertanian. 1
Direktorat Jenderal Hortikultura.‖ Buku saku ATAP 2009 Dirjen Hortikultura‖. Departemen Pertanian
4
Tabel 1.2 Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode 20042009 (Milyar Rupiah) Komoditas
2003 28,246 20,573
2004 30,765 20,749
2005 31,694 22,630
Buah-buahan Sayuran Tanaman 565 722 2,806 Biofarmaka Tanaman Hias 4,501 4,609 4,662 Total 53,885 56,844 61,792 Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010
Nilai PDB 2006 2007 35,448 42,362 24,694 25,587
2008 47,060 28,205
2009 48,437 30,506
3,762
4,106
3,853
3,897
4,734 68,639
4,741 76,795
5,085 84,203
5,494 88,334
Perdagangan internasional membuka kesempatan bagi Indonesia untuk bersaing baik di pasar internasional maupun di pasar domestik dan bersaing dengan sesama negara eksportir lainnya. Dengan adanya arus globalisasi tersebut, maka produk hortikultura dari berbagai negara tidak dapat dihindari untuk memasuki dan membanjiri pasar domestik. Halangan-halangan perdagangan yang bersifat tarif maupun non tarif tidak ada lagi sehingga globalisaasi ini dapat menjadi peluang sekaligus ancaman bagi pembangunan pertanian maupun bagi perdagangan nasional. Berhasil atau tidaknya Indonesia dalam memanfaatkan peluang dan menghadapi ancaman tergantung dari bagaimana Indonesia menggunakan kemampuan untuk mendayagunakan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi berbagai kelemahan secara tepat dan efisien sehingga dapat mewujudkan daya saing yang semakin meningkat guna menjawab tantangan dari liberalisasi perdagangan tersebut. Menurut Yudohusodo dalam Sunu dan Wartoyo (2006), rendahnya daya saing sektor pertanian kita disebabkan oleh sempitnya penguasaan lahan, tidak efisiennya usahatani dan iklim usaha yang kurang kondusif serta ketergantungan pada alam masih tinggi. Pada Gambar 1.2 terdapat perkembangan volume ekspor hortikultura Indonesia dari tahun 2003 hingga tahun 2009 yang cenderung berfluktuatif. Volume ekspor terbesar Indonesia yaitu pada komoditi buahbuahan. Buah-buahan Indonesia memiliki kekhasan buah-buahan tropis seperti rasanya yang membuat buah-buahan Indonesia banyak diminati.
5
Sumber: Pusdatin dan BPS, 2010
Gambar 1.2 Perkembangan Volume Ekspor Hortikultura Indonesia Tahun 2003-2009 Pada tahun 2007 sempat terjadi penurunan volume ekspor, padahal produksi buah-buahan Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan bahwa produksi yang besar digunakan lebih banyak untuk konsumsi dalam negeri daripada untuk ekspor. Buah-buahan, sayur-sayuran, tanaman biofarmaka dan tanaman hias Indonesia mempunya potensi yang besar untuk dikembangkan dan mempunyai peluang untuk menguasai pasar ekspor dunia. Volume dan nilai ekspor hortikultura Indonesia yang masih berfkluktuasi menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia karena Indonesia bukanlah satu-satunya negara pengekspor produk-produk hortikultura. Banyak negara-negara pesaing lainnya yang siap untuk bersaing dan mengunggulkan produknya di pasar internasional sehingga Indonesia perlu meningkatkan daya saing agar dapat bersaing dan menguasai pasar hortikultura internasional.
1.2 Perumusan Masalah Hortikultura merupakan sektor yang patut dikembangkan. Indonesia merupakan negara tropis sehingga memiliki karakteristik buah, sayuran, tanaman biofarmaka dan tanaman hias yang khas bila dibandingkan dengan negara yang lainnya. Maka ekspor hortikultura Indonesia mempunyai tempat tersendiri bagi
6
para konsumennya di berbagai negara. Indonesia sudah berhasil mengekspor komoditas hortikultura ke berbagai negara di beberapa benua, seperti Asia, Amerika, Eropa dan lain-lain. Era globalisasi perdagangan yang terjadi saat ini telah membawa produk hortikultura Indonesia bersaing dengan produk-produk hortikultura negara lainnya dalam persaingan yang ketat. Masing-masing negara mengunggulkan produknya dengan berlomba-lomba untuk menunjukan varietas terbaiknya. Sehingga produk yang paling unggul yang dapat merebut pasar konsumen internasional, mereka lebih selektif dalam memilih berbagai produk hortikultura dan disesuaikan dengan karakteristik keinginan konsumen di berbagai negara yang berbeda-beda daripada konsumen domestik. Selain itu, produk-produk impor pun mulai membanjiri pasar domestik, seperti jeruk mandarin, kubis asal cina, jamur shitake, jamur aprikot korea dan lain-lain. Produk-produk impor tersebut menawarkan penampilan yang lebih menarik, baik warna ataupun bentuk dan dengan harga yang lebih murah dibandingkan produk-produk lokal. Sehingga dapat menarik minat konsumen domestik untuk mengkonsumsi produk impor daripada produk lokal. Pada Tabel 1.3 dapat terlihat bahwa neraca perdagangan komoditas hortikultura Indonesia bernilai negatif dan menurun dari tahun 2003 hingga tahun 2009, ini menunjukan bahwa konsumsi akan impor hortikultura Indonesia lebih besar daripada ekspornya. Menurut Dumairy (1996), kenaikan impor berkaitan dengan deregulasi dan debirokratisasi yang diluncurkan. Debirokratisasi dan deregulasi dalam bidang impor umumnya berupa penyederhanaan tata niaga, penggantian bentuk perlindungan non tarif menjadi perlindungan tarif, penurunan tarif bea masuk serta pemberian ijin impor kepada lebih banyak perusahaan. Kebijaksanaankebijaksanaan impor selalu diserasikan dengan upaya-upaya pengembangan industri di dalam negeri, perangsangan investasi dan penggalakan ekspor. Tetapi apabila kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut tidak dilaksanakan dan diawasi dengan tepat, maka impor dapat menjadi ancaman bagi produk-produk domestik dan akan merugikan para petani domestik.
7
Tabel 1.3 Perkembangan Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Hortikultura Indonesia Periode 2003-2009 Tahun Komoditas Hortikultura Volume (Ton): - Ekspor - Impor - Neraca Nilai (US$ 000) : - Ekspor - Impor
2003
2004
2005
2006
2007 1)
2008
2009
311.845 593.231 281.385
296.479 798.322 501.843
384.316 856.393 472.077
456.890 923.867 466.977
393.895 1.300.345
524.485 1.429.967
-906.450
-905.482
447.609 1.524.666 1.077.057
195.332 309.663 114.331
177.090 344.791 167.701
227.974 367.425 139.451
238.063 527.415 289.352
254.537 810.130
433.921 926.045
379.739 1.077.463
- Neraca -555.593 -492.124 -697.724 Ket : ¹) Tahun 2007 terdapat perubahan kode HS dari 9 digit menjadi 10 digit Sumber: Badan Pusat Statistik
Menurut Data Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia berhasil menjadi negara produsen utama untuk beberapa komoditi hortikultura tertentu. Seperti komoditi pisang, jambu, mangga dan manggis pada tahun 2001 dan 2005 produksinya berhasil menduduki peringkat keenam, untuk komoditi kubis pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia berhasil menduduki peringkat kedelapan. Untuk komoditi jahe pada tahun 2001 dan 2005 menduduki peringkat lima besar. Sedangkan untuk komoditi jamur dan cendawan tanah pada tahun 2001 Indonesia menempati posisi ke-15 dan turun menjadi urutan ke-16 pada tahun 2005. Hal ini menunjukan bahwa jumlah produksi hortikultura untuk beberapa komoditi sangat besar. Dengan produksi yang berlimpah, seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan keadaan tersebut baik untuk konsumsi domestik ataupun untuk ekspor guna mendapatkan tambahan devisa. Sehingga produk impor tidak perlu lagi membanjiri pasar domestik, karena produk hortikultura domestik sebenarnya
memiliki
keunggulan
dibandingkan
dengan
produk
impor.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian pada tahun 2005-2009, komoditi yang paling banyak diproduksi diantara semua komoditi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jahe kemudian diikuti oleh temulawak. Sedangkan komoditi
8
yang memiliki konsisten mengalami kenaikan pada volume ekspornya yaitu komoditi jambu biji, mangga dan manggis. Sedangkan beberapa komoditi lainnya yang digunakan dalam penelitian ini mengalami fluktuasi volume ekspor. Pada Tabel 1.4 dapat terlihat bahwa meskipun jahe dan temulawak memiliki volume produksi terbesar, namun bukan termasuk komoditi yang memiliki volume ekspor tertinggi. Yang memiliki volume ekspor tertinggi yaitu kubis diikuti oleh jambu biji, mangga dan manggis padahal kedua komoditi tersebut tidak memiliki volume produksi sebesar jahe dan temulawak. Hal tersebut menandakan ketidakmampuan Indonesia dalam mengoptimalkan volume produksinya yang seharusnya dapat menjadi komoditi andalan ekspor dengan volume ekspor tertinggi.
Komoditi
hortikultura yang digunakan dalam penelitian ini memiliki volume ekspor yang berfluktuasi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 Volume Ekspor Beberapa Komoditi Hortikultura Indonesia di Dunia Tahun 2005-2009 No
Komoditi
Volume Ekspor (Ton) 2006 2007 2008
2005 2009 Bunga 1 7.616.665 7.960.163 2.620.193 2.620.193 2.922.066 Potong 2 Kubis 39.202.632 343.618.660 473.524.340 389.268.670 449.042.020 3 Jamur 26.438.260 10.120.690 17.862 7.734 80.434 Cendawan 4 4.169 3.055 1.675.814 1.638.495 1.146.939 Tanah 5 Pisang 3.647.035 4.443.188 2.378.460 1.969.871 401.964 6 Nanas 643.716 142.672 472.875 215.053 33.033 Jambu Biji, Mangga 7 9.427.341 7.019.602 10.328.764 11.428.100 11.584.895 dan Manggis 8 Jahe 2.401.692 1.712.301 3.859.247 11.137.115 7.326.403 9 Temulawak 1.329.863 2.646.818 1.182.013 987.540 2.664.656 Sumber: UN Comtrade, 2011
Dari Tabel 1.5 dapat terlihat bahwa bahwa pangsa ekspor beberapa produk hortikultura Indonesia di pasar dunia paling tinggi hanya mencapai 0,08 persen untuk komoditi temulawak di tahun 2001. Sedangkan untuk komoditi lainnya ada yang nilainya mencapai nol persen, ini menandakan bahwa pangsa ekpsor beberapa produk hortikultura Indonesia masih relatif sangat kecil di dunia, tidak sebanding dengan volume produksinya.
9
Tabel 1.5 Pangsa Ekspor Beberapa Produk Hortikultura Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 No
Komoditi
1 Bunga Potong 2 Kubis 3 Jamur 4 Cendawan Tanah 5 Pisang 6 Nanas 7 Jambu Biji, Mangga da Manggis 8 Jahe 9 Temulawak Sumber: UN Comtrade, 2011
Pangsa Pasar (%) Tahun 2001 2005 2009 0,001 0,006 0,002 0,025 0,017 0,020 0,010 0,006 0,000 0,000 0,002 0,010 0,000 0,000 0,000 0,002 0,000 0,000 0,008 0,009 0,008 0,034 0,023 0,005 0,080 0,020 0,000
Dengan volume produksi dalam jumlah besar, seharusnya Indonesia mampu meningkatkan volume ekspornya. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana perkembangan nilai ekspor dan pesaing hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia? 2. Bagaimana posisi daya saing hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian dari latar belakang dan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Menggambarkan perkembangan nilai ekspor dan pesaing hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia
2.
Menganalisis posisi daya saing produk hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat selain bagi penulis yaitu bagi masyarakat umum, para akademisi, untuk penelitian-penelitian berikutnya tentang konsep daya saing hortikultura maupun untuk pemerintah
10
sebagai masukan dan bahan rujukan bagi perumuasan kebijakan yang akan dikeluarkan untuk meningkatkan daya saing hortikultura Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini, daya saing ekspor hortikultura Indonesia diestimasi dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dinamycs (EPD) pada sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Tahun yang digunakan yaitu tahun 2001, 2005 dan 2009 dianggap dapat mewakili kondisi satu dekade terakhir. Komoditas hortikultura yang akan dianalisis daya saingnya yaitu sayur-sayuran yang diwakili oleh kubis, jamur, dan cendawan tanah; tanaman hias yang diwakili oleh bunga potong; tanaman biofarmaka diwakili oleh jahe dan temulawak. Sedangkan untuk buah-buahan diwakili oleh pisang, nanas, jambu, mangga, dan manggis. Kubis, jamur, cendawan tanah, jahe, temulawak, pisang, nanas, jambu, mangga, dan manggis tersebut adalah merupakan komoditi ekspor utama Indonesia dilihat berdasarkan volume ekspornya dan berdasarkan potensi ekspor yang dimiliki oleh komoditas tersebut. Negara-negara tujuan ekspor dipilih karena kekontinyuan Indonesia mengekspor ke negara tersebut dan negara-negara tersebut merupakan negara importir hortikultura Indonesia yang terbesar. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka dipilih sebelas negara yaitu Hongkong, Belanda, Singapura, Taiwan, Cina, Jepang, Malaysia, Saudri Arabia, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, dan pasar dunia. Negara-negara pesaing utama untuk komoditas sayuran, tanaman biofarmaka dan tanaman hias yaitu Thailand, kemudian dua negara lainnya yaitu pesaing kesatu dan pesaing kedua dipilih berdasarkan nilai ekspor tertinggi pada tahun 2001, 2005, dan tahun 2009. Untuk negara-negara pesaing utama buahbuahan yaitu Filipina, sedangkan dua negara pembanding lainnya yaitu pesaing kesatu dan pesaing kedua dipilih berdasarkan nilai ekspor tertinggi pada tahun 2001, 2005, dan tahun 2009. Berdasarkan kesamaan iklim dan karakteristik negaranya, maka Thailand dan Filipina menjadi benchmark Indonesia di bidang pertanian, dan karena keberhasilannya menjadi negara eksportir utama di ASEAN sehingga Thailand dan Filipina dipilih sebagai negara pesaing utama Indonesia.
11
Selain itu, tidak semua komoditi yang digunakan dalam penelitian ini dibahas pada setiap negara tujuan ekspornya karena kemungkinan nilai ekspor yang tidak kontinyu menyebabkan ada beberapa komoditi yang tidak dibahas pada negaranegara tujuan ekspor tertentu baik pada saat membahas estimasi RCA ataupun EPD.
12
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Hortikultura Hortikultura dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang budidaya tanaman yang intensif dan produknya digunakan manusia sebagai bahan pangan, bahan obat (tanaman empon-emponan), bahan bumbu (tanaman rempah-rempah), bahan penyegar atau penyedap dan sebagai pelindung serta penyaman lingkungan (tanaman hias). Dilihat dari tempat usaha, hortikultura berorientasi pada pengusahaan tanaman di sekitar tempat tinggal (kebun) pada areal terbatas. Pada umumnya produk hortikultura dikonsumsi dalam bentuk segar, sehingga kadar air sangat menentukan kualitasnya. Dengan kadar air yang tinggi menyebabkan produk tersebut mudah rusak (Ashari, 1995).
2.1.2 Ekspor dan Impor Ekspor dapat diartikan sebagai total penjualan barang yang dapat dihasilkan oleh suatu negara yang diperdagangkan ke negara lain dengan tujuan mendapatkan devisa. Suatu negara dapat mengekspor barang-barang yang dihasilkannya ke negara lain yang tidak dapat menghasilkan barang tersebut secara efisien (Lipsey, 1995). Pertumbuhan ekspor suatu komoditas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Adanya daya saing dengan negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, suatu negara hendaknya melakukan spesialisasi sehingga negara tersebut dapat mengekspor komoditi yang telah diproduksi untuk dipertukarkan dengan apa yang dihasilkan oleh negara lain dengan biaya yang lebih rendah dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekspor di negara tersebut. 2. Adanya penetapan harga pasar dalam negeri dan harga pasar internasional. Jika harga pasar internasional lebih tinggi daripada harga pasar domestik,
13
maka produsen akan lebih memilih untuk memasarkan komoditi hasil produksinya ke pasar internasional sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekspor di negara tersebut. 3. Adanya permintaan dari luar negeri. Semakin tinggi permintaan dari luar negeri terhadap komoditi yang dihasilkan oleh suatu negara, maka semakin tinggi pula pertumbuhan ekspor negara tersebut. 4. Nilai tukar mata uang. Apabila suatu negara mengalami depresiasi nilai tukar, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekspor di negara tersebut. Hal itu terjadi karena depresiasi nilai tukar menyebabkan harga-harga komoditas domestik terlihat lebih murah di mata internasional sehingga permintaan luar negeri untuk komoditas tersebut akan meningkat. Impor merupakan pembelian barang yang dilakukan oleh suatu negara kepada negara lain yang menghasilkan barang tersebut. Impor dapat terjadi karena disebabkan suatu negara tidak bisa menghasilkan barang-barang modal dan berbagai jenis barang untuk keperluan pengembangan berbagai jenis industri negaranya. Jika impor lebih besar daripada ekspor, maka cadangan devisa akan berkurang atau neraca perdagangan akan defisit (Firdaus, 2007).
2.1.3 Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan negara lain. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran suatu negara. Konsep perdagangan internasional pada hakikatnya telah terjadi selama ribuan tahun (seperti Jalur Sutera dan Amber Road), meskipun dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong
14
industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional (Oktaviani dan Tanti, 2009). Selama abad ketujuh belas dan delapan belas, sekelompok pria (para pedagang, bankir, pegawai pemerintah, bahkan para filsuf) telah menulis esai dan pamflet mengenai perdagangan internasional yang memunculkan filosofi ekonomi yang disebut dengan merkantilisme. Secara ringkas para penganut merkantilisme itu berpendapat bahwa satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit mungkin impor (Salvatore, 1997). Menurut Samuelson dan Nordhaus (2003), ada tiga perbedaan penting antara perdagangan domestik dan perdagangan internasional, dan perbedaan ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis dan ekonomis yang penting, yaitu: 1. Kesempatan untuk memperluas perdagangan. Keuntungan utama dari perdagangan
internasional
adalah
bahwa
perdagangan
tersebut
memperluas cakrawala perdagangan. 2. Negara-negara yang berkuasa. Perdagangan antar perbatasan melibatkan orang-orang dan perusahaan yang hidup di negara-negara berbeda. Masing-masing negara merupakan suatu kesatuan yang berkuasa untuk mengatur aliran orang, barang, dan finansial yang menyebrangi perbatasannya. Ini berlawanan dengan perdagangan domestik, dimana ada satu mata uang, sehingga perdagangan dan uang mengalir secara bebas di dalam batas negara tersebut. 3. Nilai tukar uang (mata uang). Sebagian besar negara memiliki mata uang mereka sendiri. Sistem finansial internasional harus menjamin kelancaran aliran dan nilai tukar dollar, yen, dan mata uang lainnya. Apabila tidak, maka akan beresiko menimbulkan kemacetan dalam perdagangan. Perdagangan internasional dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah karena keberagaman sumber daya alam di setiap negara, negara yang satu kaya akan hasil tambangnya, negara yang lainnya memiliki tanah yang subur sehingga hasil pertaniannya melimpah, dan lain-lain sehingga akan terjadi pertukaran barang atau jasa antar negara untuk memenuhi
15
kebutuhannya masing-masing. Selain itu, faktor lainnya adalah karena adanya perbedaan citarasa. Suatu negara akan terlibat perdagangan dengan negara lainnya karena masing-masing negara punya citarasa atau preferensi yang berbeda-beda terhadap suatu barang atau jasa. Dan faktor yang terakhir adalah perbedaan biaya, karena alasan yang mungkin dapat dipertimbangkan bagi negara-negara dalam melakukan perdagangan adalah perbedaan dalam hal biaya produksi.
2.1.3.1 Teori Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional menjelaskan arah dan komposisi perdagangan antar berbagai negara serta bagaimana dampaknya terhadap perekonomian suatu negara, selain itu teori ini juga dapat menunjukan adanya keuntungan yang timbul dari adanya perdagangan internasional. Ada beberapa teori yang menerangkan tentang timbulnya perdagangan internasional. Teori yang pertama yaitu teori klasik tentang keunggulan absolut (absolute advantage) yang diutarakan oleh Adam Smith. Menurut Adam Smith, setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan absolut serta mengimpor barang jika negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolut (Hady, 2001). Kelemahan dari teori klasik Adam Smith yaitu Smith mengatakan bahwa perdagangan internasional akan terjadi dan menguntungkan kedua negara bila masing-masing negara memiliki keunggulan absolut yang berbeda. Dengan demikian, bila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut untuk kedua jenis produk, maka tidak akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan. Namun kelemahan Smith tersebut disempurnakan oleh David Ricardo dengan teori keunggulan komparatif (Comparative Advantage) baik secara cost comparative (labor efficiency) maupun production comparative (Labor productivity) (Hady, 2001). Teori David Ricardo didasarkan pada nilai tenaga kerja atau theory of labor value yang menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta
16
mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efisien. Production comparative advantage atau labor productivity dapat dikatakan sebagai berikut, suatu negara akan memeperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak produktif (Hady, 2001). Kelemahan teori klasik Comparative Advantage David Ricardo, yaitu (1)`Teori ini menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan fungsi faktor produksi (tenaga kerja). Akibatnya terjadilah perbedaan harga barang yang sejenis di antara dua negara, (2) Jika fungsi faktor produksi (tenaga kerja) sama atau produktivitas dan efisiensi di dua negara sama, maka tentu tidak akan terjadi perdagangan internasional karena harga barang yang sejenis akan menjadi sama di kedua negara, (3) Pada kenyataannya walaupun fungsi faktor produksi (produktivitas dan efisiensi) sama diantara dua negara, ternyata harga barang yang sejenis dapat berbeda, sehingga dapat terjadi perdagangan internasional. Dalam hal ini teori klasik tidak dapat menjelaskan mengapa terjadi perbedaan harga untuk barang/produk sejenis walaupun fungsi faktor produksi (produktivitas dan efisiensi) sama di kedua negara (Hady, 2001). Maka muncul teori modern yang dikemukakan oleh Hecksher dan Ohlin, dimana perbedaan opportunity cost suatu produk antara satu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara. Perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan terjadinya perdagangan internasional (Hady, 2001). Sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan ia akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Singkatnya, sebuah negara yang relatif kaya atau berkelimpahan tenaga kerja akan mengekspor komoditi-komoditi yang relatif padat tenaga kerja dan mengimpor komoditi-komoditi yang relatif
17
padat modal (yang merupakan faktor produksi langka dan mahal di negara yang bersangkutan) (Salvatore, 1997). Teori Heckscher-Ohlin merumuskan pernyataan bahwa perbedaan dalam kelimpahan faktor harga-harganya secara relatif merupakan penyebab perbedaan harga relatif komoditi (X dan Y) di antara kedua negara sebelum berlangsungnya perdagangan. Selisih harga absolut atas berbagai komoditi di antara kedua negara itulah yang merupakan penyebab langsung terjadinya perdagangan. Gambar 2.1 merupakan model dasar dari teori Heckscher-Ohlin, dimana panel sebelah kiri menggambarkan kurva batas kemungkinan produksi dari Negara 1 dan Negara 2. Bentuk kurva batas kemungkinan produksi Negara 1 lebih memanjang atau melebar apabila dilihat dari sumbu X, karena komoditi X yang menjadi andalan ekspornya adalah komoditi yang padat tenaga kerja. Karena kedua negara itu memiliki selera yang sama, maka mereka pun menghadapi peta indiferen yang sama pula. Y
Y Negara 2
Negara 2
140
140
PA′
B′
120 100
120 100
A′
80
80
60
60
A′ C′
E = E′
ǁ Negara 1
ǁ A
40
40
│
0
20 40 60 80 100 120
A C
PA
20
Negara 1
20 X
B
PB
0 20 40 60 80 100 120
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 2.1 Model Dasar Heckscher-Ohlin Kurva indiferen I yang merupakan kurva indiferen bagi Negara 1 dan Negara 2 adalah tangen terhadap kurva batas kemungkinan produksi Negara 1 di titik A dan juga menjadi tangen terhadap kurva batas kemungkinan produksi Negara 2 di titik A′. Kurva indiferen I merupakan kurva indiferen yang tertinggi
X
18
yang dapat diraih oleh Negara 1 dan Negara 2 (dalam kondisi tanpa perdagangan). Sedangkan titik A dan titik A′ melambangkan titik-titik ekuilibrium produksi dan konsumsi di kedua negara tersebut sebelum mereka terlibat dalam perdagangan. Titik A dan titik A′ yang menjadi tempat kedudukan tangen pada kurva indiferen I itu juga melambangkan terciptanya harga relatif komoditi ekuilibrium dalam kondisi tanpa perdagangan (PA di Negara 1 dan PA′ di Negara 2). PA lebih kecil daripada PA′ , maka Negara 1 memiliki keunggulan komparatif dalam produksi komoditi X sedangkan Negara 2 menguasai keunggulan komparatif dalam produksi komoditi Y (Salvatore, 1997). Panel sebelah kanan memperlihatkan bahwa setelah perdagangan berlangsung maka Negara 1 akan melakukan spesialisasi produksi komoditi X, sedangkan Negara 2 akan berspesialisasi dalam produksi komoditi Y. Spesialisasi di Negara 1 akan terus berlangsung sampai ia mencapai titik B. Sedangkan spesialisasi produksi Negara 2 baru akan berhenti jika titik B′ telah tercapai. Pada titik-titik itulah maka kurva-kurva transformasi dari kedua negara menjadi tangen terhadap garis harga relatif bersama atau PB. Negara 1 akan mengekspor sejumlah komoditi X untuk memperoleh komoditi Y dari Negara 2 dan Negara 1 akan berkonsumsi di titik E yang terletak pada kurva indiferen II. Di lain pihak, Negara 2 akan mengekspor sebagian komoditi Y yang diproduksiknnya untuk memperoleh tambahan komoditi X dari Negara1. Perdagangan ini akan memungkinkan Negara 2 berkonsumsi di titik E′ yang berhimpitan dengan titik E (Salvatore, 1997).
2.1.3.2 Konsep Daya Saing Esterhuizen et. al. (2008) dalam Daryanto (2009)2, mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan didalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan 2
Daryanto, Arief. 2009. Posisi Daya saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya [Makalah] disampaikan dalam Seminar Nasional ―Peningkatan Daya saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani‖ Bogor, 14 Oktober 2009.http://ariefdaryanto.blog.mb.ip b.ac.id/files/2010/07/MU_Arief.pdf [30 Maret 2011]
19
sumberdaya yang digunakan. Daya saing dapat diukur dengan dua cara yaitu melalui keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan komparatif dikembangkan oleh David Ricardo. Menurut hukum keunggulan komparatif yang dikembangkan oleh David Ricardo, mekipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditi namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki keunggulan komparatif) (Salvatore, 1997). Sedangkan konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh M. Porter. Menurut Porter dalam Hadi (2001), dalam era persaingan global saat ini suatu bangsa atau negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu (Keegan dan Green, 1997;268 dalam Hadi, 2001) yaitu factor conditions, demand conditions, factor strategy structure&rivalry dan factor strategy structure&rivalry.
2.1.3
World Trade Organization (WTO) dan Pertanian World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi perdagangan
dunia dan satu-satunya badan internasional yang mengurus tentang masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu pertujuan berupa kontrak antar negara-negara yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijaksanaan perdagangannya yang berisi aturan-aturan perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota WTO. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Perundingan Uruguay Round yang berlangsung sejak bulan September 1986 hingga April 1994 merupakan awal pembentukan WTO World Trade Organization (WTO) yang merupakan penyempurnaan dari GATT (General
20
Agreement on Tariff and Trade) yang telah berdiri semenjak tahun 1984. Dalam Perundingan Uruguay Round telah disepakati upaya mengadakan perbaikan kelembagaan GATT. Kartadjoemena (1997), Penyempurnaan institusional ini dianggap perlu karena Uruguay Round telah meningkatkan cakupan substansi yang ditangani dan telah menghasilkan banyak perjanjian baru di bidang yang sebelumnya tidak pernah ditangani GATT. Perjanjian Uruguay Round telah mengubah status organisasi GATT menjadi WTO sebagai organisasi intrrnasional sepenuhnya dan bukan lagi lembaga intern. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaan intekektual yang mengandung prinsip utama liberalisasi yang berhubungan dengan beberapa sektor seperti pertanian, standar prouk, lisensi impor, dan lain-lain. Persetujuan di bidang pertanian (Agreement on Agriculture/ AoA) berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995 dan bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif. Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment – S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut. Dalam Persetujuan Bidang Pertanian dengan mengacu pada sistem klasifikasi HS (harmonized system of product classification), produk-produk pertanian didefinisikan sebagai komoditi dasar pertanian (seperti beras, gandum, dll.) dan produk-produk olahannya (seperti roti, mentega, dll.) Sedangkan, ikan dan produk hasil hutan serta seluruh produk olahannya tidak tercakup dalam definisi produk pertanian tersebut.3
3
Semua informasi tentang persetujuaan di bidang pertanian diperoleh dari http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm [30 Maret 2011]
21
2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan mengenai daya saing dan hortikultura telah banyak dilakukan dengan berbagai macam hasil yang telah didapat sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan akan topik-topik tersebut. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu penelitian ini mengambil beberapa komoditi dari subsektor hortikultura dimana komoditi tersebut dipilih dari setiap subsektor yang mempunyai volume ekspor dan potensi yang besar . Kemudian, perbedaan lainnya yaitu apabila di penelitian-penelitian sebelumnya hanya menganalisis di pasar dunia atau hanya di beberapa negara tujuan ekspor saja, penelitian ini mengkaji kinerja ekspor dan daya saing hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan ekspor dan pasar dunia. Berikut merupakan beberapa penelitian tentang daya saing dan hortikultura yang pernah dilakukan sebelumnya.
2.2.1 Penelitian Mengenai Daya Saing Penelitian tentang daya saing yang dilakukan oleh Karina (2009) dalam analisis daya saing produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Berdasarkan analisis daya saing komparatif dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) dan analisis daya saing kompetitif dengan menggunakan Export Product Dynamic (EPD), produk yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang tinggi, yaitu produk Palm kernel or babassu oil and frac (Minyak Sawit). Dua diantaranya lebih memiliki keunggulan komparatif, produk tersebut adalah Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) dan Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas. Sedangkan produk Coniferous of Wood (kayu serabut) tidak mempunyai keunggulan komparatif maupun kompetitif. Suroso (2008), dalam analisis daya saing dan dampak regional pengembangan kelapa sawit di Kabupaten Siak. Untuk menganalisis daya saing dan tingkat efisiensi kelapa sawit digunakan Policy Analysis Matrix (PAM), sedangkan untuk menganalisis dampak ekonomi regional digunakan Social Accounting Matrix (SAM). Pengusahaan perkebunan kepala sawit petani plasma
22
dan perusahaan inti, pabrik kelapa sawit memiliki daya saing dan tingkat efisiensi yang baik. Daya saing dan tingkat efisiensi pengusahaan perkebunan kelapa sawit petani plasma masih lebih rendah dibandingkan perkebunan kelapa sawit perusahaan inti. Dari aspek ekonomi regional perkebunan kelapa sawit rakyat, perkebunan kelapa sawit perusahaan besar dan industri kelapa sawit mempunyai kontribusi yang besar terhadap pengganda output bruto, keterkaitan kebelakang dan nilai tambah. Kontribusi perkebunan kelapa sawit rakyat terhadap output bruto lebih besar daripada kontribusi perkebunan kelapa sawit perusahaan besar. 2.2.2 Penelitian Mengenai Hortikultura Gumilar (2010) dalam penelitiannya yang berjudul daya saing komoditi sayuran utama Indonesia di pasar internasional. Hasil yang didapatkan dari analisis menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) menunjukan bahwa komoditi sayuran Indonesia yang diuji tidak memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing lemah di pasar internasional, kecuali untuk komoditi jamur yang memiliki nilai rata-rata RCA lebih dari satu dibandingkan komoditi lainnya pada tahun 2001-2008. Analisis produk ekspor dinamis (EPD) memperlihatkan bahwa beberapa komoditi sayuran yang diuji seperti kol, jamur, dan kentang berada di posisi ―Retreat‖, kemudian untuk komoditi bawang merah ada di posisi ―Rising Star‖, sedangkan cabai berada di posisi ―Falling Star‖, dan tomat di posisi ―Lost Opportunity‖. Penelitian lainnya yaitu dilakukan oleh Siregar (2010) tentang daya saing buah-buahan tropis Indonesia di pasar dunia dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD). Hasil estimasi RCA kurang dari satu, kecuali untuk Jambu Biji, Mangga da Manggis. Ini menunjukan bahwa buah-buahan Indonesia memiliki posisi daya saing yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara pesaing utamanya. Hasil EPD pun menyimpulkan demikian, performa ekspor buah-buahan Indonesia umumnya tidak terlalu baik. Hanya alpukat yang menduduki posisi ―Rising Star‖, sedangkan buah-buahan lainnya berada di posisi ―Falling Star‖, ―Lost Opportunity‖ bahkan ―Retreat‖.
23
Kartikasari (2008) dengan penelitiannya yang berjudul analisis daya saing komoditi tanaman hias dan aliran perdagangan anggrek di pasar internasional. Hasil yang diperoleh dari analisis daya saing tanaman hias dengan metode RCA menunjukan bahwa perkembangan industri tanaman hias Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Thailand sebagai kompetitor utama di pasar tanaman hias dunia untuk kawasa Asia Tenggara. Selain itu pangsa ekspor tanaman hias Indonesia di negara tujuan secara umum lebih rendah dibandingkan dengan Thailand. Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di Pasar Korea, sementara di Pasar Jepang, Amerika Serikat dan Beland Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini berarti tanaman hias Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di Pasar Korea. Amelia (2009) tentang analisis daya saing jahe Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan metode RCA didapat hasil bahwa untuk keunggulan komparatif di Pasar Malaysia, Indonesia memiliki daya saing yang baik pada tahun 2000-2004. Dari tahun 2005-2007 daya saing Indonesia di pasar ini lemah dengan nilai RCA yang kurang dari satu. Di Pasar Singapura, Indonesia memiliki daya saing kuat pada tahun 2000-2002, tahun 2003-2007 daya saing Indonesia melemah di pasar ini. Di Jepang, daya saing Indonesia lemah pada tahun 2000-2007. Sedangkan di Bangladesh pada tahun 2000-2005 kecuali tahun 2003 daya saing Indonesia dapat diterima baik, setelah tahun 2005-2007 daya saing Indonesia melemah. Menurunnya daya saing Indonesia ini karena penurunan nilai ekspor yang disebabkan oleh menurunnya kualitas jahe Indonesia.
2.3
Kerangka Pemikiran Volume produksi komoditas hortikultura yang meningkat dari tahun ke
tahun memberikan potensi yang besar bagi Indonesia untuk menjadi salah satu negara eksportir terbesar. Produk hortikultura Indonesia juga mempunyai kekhasan tersendiri baik dari keberagaman produknya, rasa dan penampilannya yang diminati oleh negara-negara importir. Meskipun volume produksi hortikultura Indonesia menunjukan pergerkan yang positif, hal ini tidak diikuti oleh neraca perdagangan yang menunjukan angka negatif dan penurunan yang
24
drastis dari tahun ke tahun. Ini mengindikasikan bahwa pangsa ekspor kita yang tidak sebanding dengan pangsa produksi dan volume impor yang lebih banyak dibandingkan dengan ekspor. Ancaman akan kalahnya produk hortikultura Indonesia baik di pasar domestik maupun internasional menjadi bayangan yang nyata. Banyaknya negaranegara pesaing yang muncul dengan keunggulan produk hortikulturanya masingmasing dan persaingan yang semakin kental dengan adanya perdagangan bebas membuat Indonesia harus meningkatkan daya saingnya agar produk hortikultura Indonesia tetap dapat bertahan di pasar domestik maupun internasional, sehingga perlu dilihat bagaimana daya saing ekspor hortikultura Indonesia di negara-negara importirnya dengan adanya negara pesaing yang menjadi pembandingnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui posisi daya saing serta diversifikasi pasar ekspor dan diversifikasi produk ekspor beberapa komoditi utama hortikultura seperti kubis, jamur, cendawan tanah, jahe, temulawak, pisang, nanas, jambu, mangga dan manggis di sepuluh negara tujuan importir utama seperti Hongkong, Belanda, Singapura, Taiwan, Cina, Jepang, Malaysia, Saudi Arabia, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab dan pasar dunia. Penelitian ini hanya menganalisis berdasarkan keunggulan komparatifnya saja dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage untuk mengukur keunggulan atau kerugian komparatif beberapa produk hortikultura Indonesia dan untuk mengukur tingkat dinamika serta daya saing beberapa komoditi utama hortikultura Indonesia berdasarkan performa produk ekspor yang dimilikinya menggunakan Export Product Dinamyc. Metode analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan perkembangan nilai ekspor dan pesaing hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia serta menganalisis data-data yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perumusan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk meningkatkan daya saing hortikultura Indonesia. Gambaran lengkap mengenai kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.2.
25
Peluang Indonesia sebagai salah satu produsen dan eksportir besar
Era perdagangan bebas sebagai suatu tantangan bagi Indonesia
Bagaimana posisi daya saing hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia
Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengestimasi keunggulan/keru gian komparatif
Perkembangan nilai ekspor dan pesaing hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia
Export Product Dynamic (EPD) untuk mengetahui posisi daya saing komoditas hortikultura Indonesia berdasarkan performa produk ekpor dinamis yang dimilikinya
Kebijakan peningkatan daya saing dan kinerja ekspor hortikultura Indonesia Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Metode Analisis Deskriptif
26
III.
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series tahun 2001, 2005 dan 2009. Jenis data yang diperoleh meliputi data volume ekspor, nilai ekspor, dan data produksi. Sumber data sekunder yang digunakan adalah diperoleh dari Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS), United Nations Commodity and Trade Database (UN Comtrade), dan Food and Agriculture Organization (FAO). Data ekspor dan impor yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari United Commodity and Trade Database (UN Comtrade). Setiap komoditi hortikultura mempunya kode Harmonized System (HS). Untuk komoditi bunga potong ,kubis dan pisang yang dikaji dalam penelitian ini merupakan agregasi dari beberapa komoditi turunannya seperti yang tertera pada tabel berikut. Tabel 3.1 Kode Komoditi Hortikultura dalam Harmonized System (HS) No
Kode HS
Komoditi Bunga dan kuncup bunga potong dari jenis yang cocok untuk karangan bunga atau untuk keperluan 1 0603 pajangan, segar, kering, dicelup, dikelantang,diresapi, atau dikerjakan secara lain Kubis, bunga kol, kohlrabi, kale dan brassica sejenis yang 2 0704 dapat dimakan,segar atau dingin 3 070951 Jamur 4 070952 Cendawan tanah 5 080300 Pisang, termasuk plantain, segar atau kering. 6 080430 Nanas 7 080450 Jambu Biji, Mangga da Manggis 8 091010 Jahe 9 091030 Temulawak Sumber: UN Comtrade, 2011
3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
deskriptif
dan
kuantitatif.
Metode
deskriptif
digunakan
untuk
27
menggambarkan perkembangan nilai ekspor dan pesaing hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia serta menganalisis data-data yang digunakan dalam penelitian ini. Metode kuantitatif yang digunakan menganalisis keunggulan komparatif komoditi hortikultura Indonesia adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), sedangkan metode Export Product Dynamic (EPD) digunakan
untuk
mengetahui
posisi
daya
saing
berdasarkan
performa ekspor hortikultura Indonesia. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan secara bertahap, tahap pertama yaitu pengelompokan data, tahap kedua yaitu pengolahan data dalam model analisis, dan dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel dan WITS Ver. 6 (World Integrated Trade Solutions). 3.2.1 Revealed Comparative Advantage (RCA) Salah satu indikator yang dapat menunjukan perubahan keunggulan komparatif atau tingkat daya saing ekspor suatu produk dari suatu negara terhadap dunia disebut Revealed Comparative Advantage index (RCA). Indeks dapat didefinisikan sebagai berikut, jika pangsa pasar ekspor suatu (atau kelompok) komoditi di dalam total ekspor manufaktur dunia, diharapkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor komoditi tersebut (Tambunan, 2001). RCA pertama kali diperkenalkan oleh Bela Ballasa pada tahun 1965 dalam penelitian tentang pengaruh liberalisasi perdagangan luar negeri terhadap keunggulan komparatif hasil industri Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara yang tergabung dalam pasar bersama Eropa (MEE) serta pada tahun 1977 untuk negara yang sama ditambah Kanada dan Swedia (Yuliati, 2010). Pada penelitian ini, RCA digunakan untuk mengukur posisi daya saing beberapa ekspor hortikultura utama Indonesia seperti bunga potong, jamur, cendawan tanah, pisang, nanas, jambu, mangga, dan manggis di beberapa negara tujuan ekspor utama seperti Hongkong, Belanda, Singapura, Taiwan, Cina, Jepang, Malaysia, Saudi Arabia, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab dan pasar dunia. Perhitungan RCA yang digunakan adalah sebagai berikut:
28
Dimana: Xij = Nilai ekspor setiap komoditi hortikultura Indonesia di masingmasing sepuluh negara importir utama dan pasar dunia Xit = Nilai total ekspor setiap komoditi hortikultura Indonesia di masing-masing sepuluh negara importir utama dan pasar dunia Wj = Nilai ekspor setiap komoditi hortikultura dunia di masing-masing sepuluh negara importir utama dan pasar dunia Wt = Nilai total setiap komoditi hortikultura dunia di masing-masing sepuluh negara importir utama dan pasar dunia Jika nilai RCA lebih dari satu (RCA>1) berarti negara itu mempunyai keunggulan komparatif (diatas rata-rata pasar tersebut) dalam komoditi tersebut sehingga komoditi tersebut memiliki daya saing yang kuat. Dan jika nilai RCA kurang dari satu (RCA<1) berarti keunggulan komparatif untuk komoditas tersebut rendah (dibawah rata-rata pasar tersebut) sehingga komoditi tersebut berdaya saing lemah (Tambunan, 2001). Keuntungan dari RCA adalah bahwa indeks ini mempertimbangkan keuntungan intrinsik komoditas ekspor tertentu dan konsisten dengan perubahan di dalam suatu ekonomi produktivitas dan faktor anugerah alternatif. Kelemahan metode RCA adalah mengukur keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dengan asumsi persaingan bebas dan produk homogen, serta mengesampingkan pentingnya permintaaan domestik, ukuran pasar domestik, dan perkembangannya (Silalahi, 2007).
3.2.2 Export Product Dynamic (EPD) Export product Dynamic (EPD) adalah suatu alat analisis untuk mengukur daya saing apakah suatu produk tersebut mempunyai performa yang dinamis (pertumbuhannya cepat) atau tidak. Matriks EPD terdiri dari daya tarik pasar dan informasi kekuatan bisnis. Daya tarik pasar dihitung berdasarkan pertumbuhan dari permintaan sebuah produk untuk tujuan pasar tertentu, dimana informasi diukur berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar (market share) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu. Kombinasi daya tarik pasar dan kekuatan bisnis ini menghasilkan karakter posisi dari produk yang ingin dianalisis
29
ke dalam empat kategori. Keempat kategori itu ialah “Rising Star”, “Lost Opportunity”, “Falling Star”, dan “Retreat” (Siregar, 2010). Posisi pasar ideal bertujuan untuk memperoleh pangsa ekspor tertinggi sebagai Rising Star, ditandai dengan negara tersebut memperoleh pangsa pasar untuk produk-produk yang berkembang cepat. Lost Opportunity dihubungkan dengan penurunan pangsa pasar pada produk yang dinamis. Kondisi ini paling tidak diinginkan karena hal ini berarti kita kehilangan kesempatan pangsa ekspor untuk komoditi yang dinamis di pasar dunia. Kondisi Falling Star juga tidak diinginkan walaupun tidak seperti kondisi Lost Opportunity, karena pangsa pasarnya meningkat meskipun bukan pada produk yang dinamis di pasar dunia. Sementara itu, Retreat berarti produk tersebut tidak diinginkan lagi di pasar. Namun bisa diinginkan kembali jika pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan pada produk dinamis (Gumilar, 2010). Tabel 3.2 Matriks Posisi Daya saing Share of TradeProduct in World Share of country's export in world trade Rising (Competitiveness)
Rising (Dynamic)
Falling (Stagnan)
Rising Stars
Falling Stars
Falling (non-competitiveness) Lost Opportunity Sumber: Esterhuizen, 2006 dalam Gumilar, 2010
Retreat
Selain melalui Tabel 3.2, untuk melihat posisi daya saing masing-masing komoditi dapat pula dilihat seperti pada Gambar 3.1. Komoditi yang diestimasi posisi daya saingnya akan menempati salah satu dari empat kuadran seperti yang ditunjukan pada Gambar 3.1.
30
Catatan: Sumbu x menggambarkan peningkatan pangsa pasar ekspor negara tersebut di perdagangan dunia Sumbu y menggambarkan peningkatan pangsa pasar produk tersebut di perdagangan dunia. Gambar 3.1 Daya Tarik Pasar dan Kekuatan Bisnis pada EPD
Adapun yang dimaksud dengan pangsa pasar ekspor suatu negara dan pangsa pasar produk dalam perdagangan dunia adalah sebagai berikut: Sumbu x:
Pertumbuhan pangsa pasar ekspor i =
Sumbu y:
Pertumbuhan pangsa pasar produk n =
Dengan:
X= Volume Ekspor T= Jumlah Tahun t= tahun ke-t
31
IV. GAMBARAN UMUM
4.1 Profil Hortikultura Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian yang memiliki empat subsektor yang tergabung di dalamnya yaitu sayur-sayuran, buah-buhan, tanaman hias, dan tanaman biofarmaka yang memiliki manfaat dan kegunaannya tersendiri bagi kelangsungan hidup manusia sehingga produk ini terus dicari oleh para konsumennya. Berikut akan dijelaskan profil komoditi hortikultura secara lebih terperinci. 4.1.1Sayuran Sayuran
memegang
peranan
penting
bagi
kehidupan
manusia.
Mengonsumsi sayuran sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan gizi karena sayuran merupakan sumber vitamin dan mineral, selain itu sayuran berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, serta bermanfaat untuk perawatan kecantikan, maka sayuran berpotensi cerah untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukan dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan permintaan pasar domestik terhadap komoditas sayuran semakin
bertambah, peningkatan
pendidikan dan kesadaran akan pentingnya gizi membawa pengaruh positif terhadap permintaan akan sayuran, dan lain-lain (Rukmana, 2005). 4.1.1.1 Kubis Kubis sebagai sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan manusia. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Sebagai sayuran, kubis dapat membantu pencernaan, menetralkan zat-zat asam, dan memperlancar buag air besar (Pracaya, 2001). Kubis merupakan tanaman penting di Eropa dan segera menjadi tanaman yang digunakan di seluruh dunia. Kubis biasanya dipanen ketika kekerasan kepala yang diinginkan telah tercapai. Panen yang tertunda berakibat pada pemanjangan batang yang berlebihan, kemerosotan kualitas tekstur, dan kemungkinan pecahnya kepala. Panen dilakukan dengan memotong batang dekat dasar kepala. Berbagai pasar segar Eropa dan Amerika Serikat menyukai kepala yang berbobot 1-2 kg
32
(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Sentra produksi kubis terbesar berada di Pulau Jawa, dengan produksi sebesar 62,22 persen dari total produksi kubis nasional. Jawa Tengah merupakan provinsi penghasil kubis terbesar di Pulau Jawa diikuti dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Adapun provinsi penghasil kubis terbesar di Luar Jawa yaitu Sumatera Utara (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). Kubis yang biasa di ekspor berupa kubis utuh dan masih segar dengan pengemasan yang sangat di perhatikan agar tiap lembaran kubis tidak rusak atau cacat. 4.1.1.2 Jamur dan Cendawan Tanah Jamur merupakan tumbuhan yang banyak dijumpai di alam. Tempat tumbuhnya di tanah ataupun pada kayu yang telah mulai lapuk. Jamur biasanya banyak ditemukan pada awal musim hujan. Jawa Barat termasuk sentra jamur terlengkap di Indonesia, seperti Bandung, Cinjur atau Sukabumi (Redaksi Trubus, 2001). Sedangkan cendawan tanah atau truffles merupakan salah satu jamur yang sulit dibudidayakan, bulan Januari merupakan saat yang tepat untuk memanen cendawan tanah akibat susahnya budidaya cendawan tanah ini, maka tak heran harganya menjadi melambung karena jumlahnya yang terbatas. Hanya beberapa jamur dan cendawan tanah yang dapat dikonsumsi oleh manusia dari ribuan jenis jamur yang tumbuh di permukan bumi ini. Beberapa jenis jamur dan cendawan tanah yang mempunyai nilai ekonomis untuk dibudidayakan yaitu, jamur kuping, jamur merang, jamur tiram, jamur shiitake, white truffles, black truffles dan jamur campignon. Jamur kuping, merang dan tiram dapat dibudidayakan di sebagian besar wilayah Indonesia yang beruhu hangat. Jamur shiitake dan champignon hanya dapat tumbuh ditempat-tempat tertentu, yaitu dataran tinggi yang mempunyai suhu dingin. Sedangkan white and black truffles bisa ditemukan pada 5-40 cm di bawah permukaan tanah. Biasanya dalam bentuk formasi melingkar pada akar pohon ek (oak). Itu sebabnya dalam berburu jamur ini digunakan anjing atau babi yang bisa melacak bau jamur di dalam tanah.
33
4.1.2
Buah-buahan Buah-buahan memiliki nilai ekonomis karena banyak memiliki
kandungan vitamin, mineral dan manfaat lainnya yang berguna bagi tubuh kita. Permintaan akan buah-buahan tidak hanya datang dari para kosumen yang langsung mengkonsumsi buah-buahan tersebut, tetapi juga dari sektor industri pengelolaan makanan yang menggunakan buah-buahan sebagai bahan bakunya. Kondisi ini yang membuat meningkatnya permintaan buah-buahan baik dalam kondisi segar, manisan, kalengan maupun bentuk lainya. Tidak hanya di dalam negeri, permintaaan akan buah tropika khas Indonesia mempunyai peluang di pasar internasional. 4.1.2.1 Pisang Jenis pisang yang enak dimakan belum diketahui darimana asal usulnya. Namun demikian, tanaman pisang yang ada sekarang diduga merupakan hasil persilangan alami dari pisang liar, dan telah mengalami domestikasi selama puluhan hingga ratusan tahun dalam pembudidayaan. Nenek moyang pisang tersebut adalah jenis pisang berbiji yang masih dapat ditemukan di Indo-Malesia (Malaysia). Dari Asia Tenggara pisang terus menyebar luas ke semua negara tropik serta subtropik, baik di Asia, Amerika, Afrika maupun Australia (Ashari, 1995). Pisang menyukai daerah beriklim tropis basah, lembab dan panas dengan curah hujan optimum 1.520-3.800 mm/tahun (6 bulan basah). Pisang berbuah pada umur rata-rata satu tahun. Waktu panen ditentukan oleh umur buah dan bentuk buah. Ciri khas buah siap panen ditandai dengan daun bendera yang sudah mengering (AgroMedia, 2009). Indonesia mengekspor pisang ke beberapa negara berupa pisang segar ataupun olahan. Pisang yang akan diekspor, dipanen pada saat peringkat matang hijau. Sentra produksi pisang terbesar berada di Pulau Jawa dengan produksi sebesar 57,28 persen dari total produksi pisang nasional. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi penghasil pisang terbesr di Pulau Jawa, sedangkan provinsi Lampung adalah provinsi terbesar penghasil pisang di luar Pulau Jawa (Direktorat Jenderal Hortikiltura, 2009).
34
4.1.2.2 Nanas Tanaman nanas berasal dari daratan Amerika Selatan, di kawasan lembah Sungai Parana, Paraguay. Di daerah tersebut masih terdapat jenis liarnya, seperti A. Bracteatus, A. Ananassoides, dan A. Erectifolius. Jenis liar tanaman nanas tersebut berbiji dan tidak enak dimakan. Bangsa Indian diduga yang mengadakan seleksi dari beberapa jenis tersebut, sehingga diperoleh A. Comosus yang enak dimakan dan sekarang dibudidayakan secara luas di seluruh dunia (Ashari, 1995). Nanas tumbuh baik di berbagai agroklimat sehingga tanaman ini bisa tersebar luas. Panen dilaksanakan 150-160 hari setelah forcing (AgroMedia, 2009). Sentra produksi nanas terbesar berada di Pulau Jawa dengan menempatkan Provinsi Jawa Barat sebagai sentra utama produksi nanas. Sedangkan pengahasil nanas terbesar di Luar Jawa adalah Provinsi Lampung (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). Nanas yang banyak diekspor Indonesia yaitu selain berupa nanas segar, juga berupa nanas olahan. 4.1.2.3 Jambu Biji Jambu biji adalah salah satu tanaman jenis perdu yang berasal dari Brazil, Amerika Tengah. Tanaman ini kemudian menyebar ke Thailand dan negara Asia lainnya seperti Indonesia. Saat ini, jambu biji telah dibudidayakan dan tersebar luas di Pulau Jawa. Jambu biji merupakan tanaman daerah tropis yang membutuhkan intensitas matahari sedang, tetapi tanaman ini juga dapat tumbuh di daerah subtropis. Jambu biji umunya berbuah pada umur 2-3 tahun, jambu biji hasil cangkok atau stek mampu berbuah lebih cepat (AgroMedia, 2009). Sentra penanaman jambu biji di Pulau Jawa meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Sentra produksi lain di luar Pulau Jawa yaitu Sumatera dan Kalimantan (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). 4.1.2.4 Mangga Tanaman mangga termasuk salah satu tanaman buah-buahan tropika yang telah lama dikenal. Tanaman ini berasal dari Indo-Burma dan telah diusahakan lebih dari 4000 tahun. Sekarang tanaman ini hidup di seluruh daerah
35
tropik dan sebagia daerah subtropik antara 30 LU dan 30 LS. Tanaman ini merupakan tanaman buah-buahan tropika kering, berasal dati India dan Ceylon. Pusat penyebaran tumbuhan ini paling banyak terdapat di Asia Tenggara terutama di kawasan Malaysia, Semenanjung Malaya, kepulauan Filipina, Indonesia dan Papua Nugini (Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, 1994). Ada perbedaan selera antara pasar ekspor dan pasar domestik. Pasar ekspor menginginkan buah berwarna merah, agak masam dan banyak serat, sementara pasar domestik menyuki rasa manis dan tekstur daging buah yang lembut alias sedikit serat. Umumnya buah mangga dipanen saat berumur 132-140 hari setelah bunga muncul atau sekitar 70-90 hari setelah buah terbentuk seukuran kelereng (Agromedia, 2009). Keluarga Anacardiaceae ini terdiri dari 64 genus. Genus Mangifera terdiri dari 62 species, sedangkan yang buahnya enak dimakan kira-kira hanya ada 16 species saja. Beberapa kultivar mangga yang unggul dan mempunyai nilai komersial yaitu Arumanis 143, Gedung 21, Manalagi 69, Golek 31 dan Gedong (Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, 1994). Sentra produksi mangga di Indonesia adalah Pulau Jawa dengan total produksi sebesar 70,64 persen dari total produksi mangga nasional. Provinsi penghasil mangga terbesar adalah Jawa Timur diikuti oleh Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan provinsi penghasil mangga terbesar di Luar Jawa adalah Nusa Tenggara Timur (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). 4.1.2.5 Manggis Tanaman manggis berasal dari Semenanjung Malaysia. Tanaman manggis yang ada sekarang kebanyakan berupa kultivar, sedangkan jenis liarnya yaitu G. Hombroniana dan G. Malaccensis dapat ditemukan di hutan Malaysia. Budidaya manggis hanya terbatas di Asia Tenggara, mulai dari Indonesia, Papua Nugini hingga Pulau Mindano (Filipina), Malaysia, Thailand, Burma, Vietnam dan Kamboja. Namun perkembangan terakhir tanaman ini semakin meluas ke Srilangka, India, Amerika Tengah, Brazil dan Queensland (Australia) (Ashari, 1995). Manggis merupakan salah satu komoditas buah eksotik primadona ekspor, sehingga berpotensi dikembangkan sebagai usaha di bidang agrobisnis. Manggis adalah buah tropis yang dijuluki Queen of the Tropical Fruit, karena memiliki cita
36
rasa yang eksotik serta keindahan kulit buah dan daging buah yang putih bersih. Sentra penanaman manggis terbesar di Indonesia yaitu tersebar dari Aceh hingga Nusa Tenggara Barat. Buah manggis dipanen setelah berumur 104-110 hari setelah berbunga (AgroMedia, 2009). 4.1.3
Tanaman Hias Tanaman hias adalah jenis tanaman yang memiliki nilai artistik, terdiri
atas tanaman daun, pohon, dan bunga (Direktorat Tanaman Hias, 2004). Bagian yang dimanfaatkan orang tidak semata bunga, tetapi kesan keindahan yang dimunculkan oleh tanaman ini. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2009), jika dilihat dari karakteristiknya, satuan produksi tanaman hias kelompok ini dibedakan kedalam 4 jenis satuan, yaitu yang produksinya biasa dihitung dalam satuan tangkai yang disebut sebagai bunga potong yang ditanam untuk diambil tangkai dan bunganya seperti anggrek, anthurium bunga, anyelir, gerbera, gladiol, helicona, krisan, mawar, sedap malam dan lain-lain; satuan kilogram seperti melati, satuan produki pohon seperti dracaena, palem, agloenema, adeniun, philodendron, euphorbia, pakis, monstera, soka, cordyline, diffenbahia, anthurium daun, caladium dan satuan produksi rumpun seperti xansifera atau pedang pegagan. 4.1.3.1 Krisan Bunga krisan berasal dari negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Cina dan Korea yang terdiri dari berbagai macam warna, diantaranya merah, putih, kuning, merah muda, biru dan lain-lain. Musim bunga krisan bersamaan dengan musim gugur atau musim dingin. Sentra produksi krisan terbesar Indonesia berada di Pulau Jawa dengan produksi sebesar 96,70 persen dari total produksi krisan nasional. Apabila dilihat per provinsi, maka Jawa Barat merupakan penghasil krisan terbesar diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah. Adapun provinsi penghasil krisan terbesar di luar Jawa yaitu Sulawesi Utara (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). 4.1.3.2 Mawar Mawar (Rosa hybrida L.) merupakan tanaman hias bunga potong yang penting di Indonesia maupun di luar negeri. Bunga mawar juga disebut ratu bunga
37
(the queen of flower), dikenal karena keindahannya. Bunga ini mulai dibudidayakan di China ± 5000 tahun yang lalu dan didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Belanda dari Eropa. Menurut data Direktorat Jenderal Hortikultura (2009). Sentra produksi mawar adalah Pulau Jawa dengan produksi sebesar 97,14 persen dari total produksi mawar nasional. Provinsi penghasil mawar terbesar di Pulau Jawa adalah Jawa Tengah, diikuti oleh jawa Timur dan Jawa Barat. Sedangkan Provinsi Kalimantan timur adalah penghasil mawar terbesar di luar Pulau Jawa (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). 4.1.3.3 Sedap Malam Sedap malam (Polianthes tuberosa L.) bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman tersebut berasal dari Mexico (Synge, 1971 dalam Djatnika dan Rahardjo, 1996), kemudian menyebar ke daratan Eropa, Afrika dan Asia (Backer, 1968 dalam Djatnika dan Rahardjo, 1996). Sentra produksi sedap malam adalah Pulau Jawa dengan produksi sekitar 98,81persen dari total produksi sedap malam nasional dan Jawa Timur merupakan provinsi dengan penghasil sedap malam terbesar, diikuti oleh Jawa tengah dan Jawa Barat. Sedangkan Sumatera Utara adalah penghasil sedap malam terbesar di Luar Jawa (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). 4.1.3.4 Anggrek Pada umumnya tanaman anggrek berasal dari daerah tropika bertipe iklim basah, penyebarannya juga terdapat di daerah hutan hujan tropik basah seperti Amerika Selatan, Amerika Tengah, Meksiko, India, Srilangka, Indonesia, Thailand dan Malaysia. Sentra Produksi anggrek adalah Pulau Jawa dengan produksi sebesar 71,26 persen dari total produksi anggrek nasional. Provinsi Jawa Barat merupakan penghasil anggrek terbesar di Pulau Jawa, diikuti Jawa Timur dan Banten. Sedangkan Provinsi kalimantan Barat adalah provinsi penghasil anggrek terbesar di Luar Jawa (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). 4.1.3.5 Gladiol Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil. Tanaman ini berasal dari Afrika Selatan dan menyebar di Asia sejak 2000 tahun, tahun 1730 mulai memasuki daratan Eropa dan mulai berkembang di Belanda.
38
Tanaman gladiol yang ada sekarang merupakan tanamana keturunan dari jenis liar yang berada di Afrika Selatan. Warna, bentuk dan ukuran bunga gladiol sangat beragam (Ashari, 1995). Sentra produksi Gladiol adalah Pulau Jawa dengan produksi sebesar 75,37 persen dari total produksi Gladiol nasional. Provinsi Jawa Barat merupakan penghasil gladiol terbesar di Pulau Jawa. Sedangkan untuk di Luar Jawa, provinsi pengahasil gladiol terbesar adalah Sulawesi Utara (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). 4.1.3.6 Anyelir Anyelir (Dianthus caryophyllus L) merupakan salah satu komoditas penghasil bunga potong yang sangat populer di Indonesia. Tanaman ini berasal dari daerah subtropis, sehingga di daerah tropis seperti Indonesia, tanaman anyelir banyak diusahakan di daerah dataran tinggi (Wuryaningsih dan Suhardi, 2007). 4.1.4 Tanaman Biofarmaka Tanaman biofarmaka adalah tanaman yang berkhasiat baik untuk obatobatan, bahan kosmetika dan lain-lain. Tanaman biofarmaka terdiri dari tanaman biofarmaka rimpang dan non rimpang. Yang temasuk kedalam tanaman biofarmaka rimpang yaitu jahe, laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci, dlingo/dringo. Sedangkan yang termasuk ke dalam tanaman biofarmaka non rimpang yaitu sambiloto, lidah buaya, mahkota dewa, mengkudu, kapulaga, kejibeling. 4.1.4.1 Jahe Jahe (Zingiber officinale Rose) tingginya mencapai setengah meter dan dibudidayakan di semua daerah tropika, memerlukan iklim basah, banyak sinar matahari dan tanah gembur, serta mempunyai drainase yang baik. Untuk menghindari kebusukan akar umbinya jangan ditanam terlalu dalam. Umbi inilah yang disebut jahe (Versteegh, 2006). Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India hingga ke Cina. Pemanenan tanaman dilakukan pada umur 10-12 bulan setelah tanam (MTIC, 2002). Jahe banyak digunakan sebagai obat gosok untuk penyakit encok dan sakit kepala. Selain itu jahe juga digunakan sebagai bahan obat, bumbu masak, penyedap, minuman penyegar, manisan dan lain-lain.
39
Senyawa yang menyebabkan rasa pedas pada jahe adalah gingerol, zingeron dan shogaol (Syukur dan Hernani, 2002). 4.1.4.2 Temulawak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) mempunyai daya adaptasi yang cukup luas di daerah tropis dan banyak terdapat di hutan daerah panas serta ditanam di kebun serta halaman. Umbi digunakan sebagai obat dan akar sampingnya dapat dibuat makanan anak yang enak (Versteegh, 2006). Temulawak mempunyai manfaat seperti memperlancar produksi empedu, menurunkan kadar kolesterol, menghilangkan rasa nyeri, menurunkan panas badan, membunuh bakteri, mencegah penyakit hati dan mengobati jerawat. Temulawak dipanen pada saat kemarau. Pemanen temulawak yang menggunakan bibit dari rimpang induk pada umur 9 bulandan pada umur 24 bulan jika bibit berasal dari rimpang cabang (MTIC, 2002).
4.2 Perkembangan Hortikultura Dunia Pola pertanian di negara-negara maju memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dengan kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja yang tinggi pula. Sehingga meskipun dengan jumlah petani yang sedikit, tetapi mampu untuk menyediakan bahan pangan bagi penduduknya. Sedangkan pola pertanian di negara berkembang kurang efisien, tingkat produktivitasnya masih rendah dan bersifat subsisten yaitu hanya untuk mecukupi kebutuhan keluarga saja tanpa dikembangkan lebih lanjut. Sehingga seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk. Tetapi sektor pertanian tetap menjadi sektor unggulan sebagai salah satu penopang perekonomian suatu negara disamping sektor-sektor lainnya. Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka dan tanaman hias menjadi salah satu komoditas subjek perdagangan dunia. Karena tingkat konsumsinya yang tinggi maka setiap negara berlomba-lomba untuk memproduksi komoditas tersebut baik untuk memenuhi kebutuhan domestiknya maupun untuk kegiatan ekspor agar mendatangkan devisa bagi negara mereka. Pada Tabel 4.1 dapat
40
dilihat sepuluh negara produsen beberapa produk hortikultura terbesar di dunia. Pada tabe tersebut, Indonesia berhasil menduduki sepuluh besar negara penghasil hortikultura terbesar di dunia pada komoditi kubis, pisang, nanas, jahe, jambu biji, mangga
dan
manggis. Sedangkan untuk jamur dan cendawan tanah
Indonesia menduduki peringkat 16. Menurut data FAO, dari tahun 2000 hingga data terakhir tahun 2008, Indonesia berhasil menjadi lima besar negara penghasil jahe terbesar di dunia. India berhasil menjadi negara produsen terbesar di dunia pada komoditi pisang, jahe, jambu biji, mangga dan manggis. Tabel 4.1 Sepuluh Negara Produsen Beberapa Produk Hortikultura Terbesar di dunia Tahun 2005 Rank
Kubis
1 Cina 2 India 3
Korea Selatan
Jamur dan Cendawan Tanah Cina Amerika Serikat Belanda
India
Brazil
Jambu Biji, Mangga, Manggis India
Brazil
Thailand
Cina
Cina
Filipina
Thailand
Pisang
4 Jepang
Polandia
Ekuador
5 Rusia
Perancis
Filipina
6 Polandia
Spanyol
7 Indonesia
Italia
Amerika Serikat 9 Rumania 8
10 Ukraina
Kanada Inggris Jepang
Indonesia Meksiko Tanzania Thailand Costa Rica
Nanas
Costa Rica Cina India Indonesia
Meksiko Pakistan Indonesia Fiipina
Jahe India Cina Nepal Indonesia Nigeria Thailand Bangladesh
Nigeria
Brazil
Kenya
Nigeria
Jepang Filipina
Bangladesh
Kamerun
Mexico
Sumber: FAO, 2011
4.3 Perkembangan Hortikultura Indonesia Hortikultura mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia, karena Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan keanekaragaman komoditas pertanian dengan variasi agroklimat yang tinggi sehingga musim buah, sayur, bunga dapat berlangsung sepanjang tahun. Apabila sektor ini terus dikembangkan dan dibudidayakan maka produksi dari hortikultura
41
tersebut tak hanya dapat memenuhi permintaan dan kebutuhan domestik melainkan dapat memenuhi permintaan pasar ekspor internasional sehingga dapat menambah devisa bagi pendapatan negara kita. Perkembangan produksi hortikultura dari tahun 2001, 2005 dan 2009 semakin meningkat baik itu sayuran, buah-buahan, tanaman hias, maupun tanaman biofarmaka. Peningkatan produksi ini terjadi sebagai akibat pertambahan luas areal tanam maupun areal panen, berkembangnya penerapan teknologi produksi, semakin intensifnya bimbingan dan fasilitasi kepada petani dan pelaku usaha, semakin baiknya manajemen usaha serta adanya penguatan modal dan kelembagaan agribisnis.
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010
Gambar 4.1 Perkembangan Volume Produksi Sayuran dan Buah-Buahan Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010
Gambar 4.2 Perkembangan Volume Produksi Tanaman Hias Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009
42
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010
Gambar 4.3 Perkembangan Volume Produksi Tanaman Biofarmaka Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 Menurut Rasahan (2000), masalah kritikal yang dihadapi dalam pengembangan hortikultura antara lain: (1) produksi tidak berkesinambungan, dalam arti tidak tersedia setiap saat karena buah-buahan tertentu sangat tergantung kepada musim, (2) hasil produksi mudah rusak/tidak tahan lama semetara industri pengolahan belum berkembang biak, (3) skala usaha masih kecil-kecil, terpencarpencar dan belum merupakan usaha-usaha tani pokok sehingga pengelolaannya kurang intensif, (4) benih hortikultura yang digunakan petani masih bervariasi dan (5) Indonesia memiliki iklim tropika yang kondusif bagi perkembangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Berbagai manfaat ditawarkan oleh tanaman hortikultura seperti vitamin, mineral serta protein yang ditawarkan oleh buah dan sayur yang diperlukan untuk kesehatan. Nilai estetika yang ditawarkan oleh bunga atau tanaman hias dan obatobatan alami yang ditawarkan oleh tanaman biofarmaka sehingga hortikultura menjadi komoditas yang dicari oleh para konsumennya. Kelompok penduduk berpenghasilan tinggi, cenderung mengkonsumsi sayur dan buah lebih tinggi dibanding penduduk dengan pendapatan lebih rendah. Kebutuhan konsumsi perkapita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jumlah konsumen, tingkat pendapatan masyarakat, tingkat harga dan perubahan preferensi konsumen. Pada perhitungan konsumsi produk hortikultura, yang digunakan sebagai dasar perhitungannya baru mencakup buah-buahan dan sayuran saja. Hal ini dikarenakan data untuk konsumsi tanaman hias dan tanaman biofarmaka
43
belum ada yang sahih. Tingkat konsumsi hortikultura masyarakat Indonesia masih rendah dan jauh dari standar yang ditetapkan oleh FAO (Food and Agriculture Organization). Standar konsumsi sayuran yang dianjurkan oleh FAO yaitu sebesar 73 kg/kapita/tahun. Pada Gambar 4.4 konsumsi akan sayuran penduduk Indonesia pada tahun 2005 hanya sebesar 35,30 kg/kapita/tahun dan angka tertinggi hanya sebesar 41,86 kg/kapita/tahun pada tahun 20104.
Sumber: Data Susenas pada Departemen Pertanian
Gambar 4.4 Konsumsi Perkapita Buah-Buahan dan Sayuran Tahun 20022010 Indonesia mempunyai potensi ekspor hortikultura yang besar, mengingat Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya komoditas pertanian yang tinggi dan ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas dibandingkan dengan negara-negara lain.
Apabila hortikultura dapat dibudidayakan dengan baik,
produk-produk hortikultura Indonesia dapat bersaing di pasar internasional. Sayangnya Indonesia masih kalah bersaing dengan negara-negara lain dalam hal penanganan pasca panen dan standar mutu. Hortikultura merupakan komoditas yang disajikan dalam bentuk segar dan rentan akan kerusakan apabila pengemasan dan penanganannya tidak baik. Sehingga kualitas dari produk tersebut harus selalu terjaga. Belum lagi penetapan standarisasi kualitas mutu yang diterapkan oleh beberapa negara. Hal tersebut menyulitkan eksportir Indonesia untuk menembus pasar ekspor ke beberapa negara karena produk dari Indonesia biasanya tidak masuk kedalam kualifikasi kategori mereka. 4
Angka sementara yang dapat diprediksi oleh Susenas
44
Taiwan adalah negara yang sangat ketat memberikan persyaratan atas produk masuk, termasuk produk asal Indonesia. Baik dalam hal mutu maupun penanganan produk pascapanen hortikultura. Tak hanya Taiwan, Jepang pun melakukan hal yang serupa. Untuk komoditas buah-buahan segar seperti jeruk, pisang, manggis, rambutan, nenas dan mangga dari Indonesia masih sulit untuk bersaing di pasaran Jepang. Konsumen di Jepang pada umumnya lebih menginginkan buah-buahan yang memiliki standar ukuran relatif sama besar, penampilan yang cukup menarik, warna dan rasa serta pasokannya bisa dijamin secara berkelanjutan. Hal-hal tersebut menjadi hambatan ekspor hortikultura di pasar internasional. Padahal, permintaan dan harga akan terus meningkat seiring dengan perbaikan pada pascapanen. Transportasi dan pengawetan pun menjadi hambatan terbesar bagi Indonesia. Selain itu, produktivitas hortikultura Indonesia yang masih rendah meskipun nilainya semakin meningkat di setiap tahun juga menjadi salah satu kendala. Padahal Indonesia memiliki potensi lahan yang tinggi karena Indonesia mempunyai lahan yang luas untuk digunakan lahan budidaya bagi komoditas hortikultura. Hal ini merupakan refleksi dari rangkaian berbagai faktor yang ada antara lain pola usahatani yang kecil, mutu bibit yang rendah yang ditunjang oleh keragaman jenis/varietas serta rendahnya penerapan teknologi budidaya (Adjid dalam Sunu dan Wartoyo, 2006). Perkembangan produktivitas hortikultura Indonesia tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Produktivitas Tanaman Hortikultura Indonesia Tahun 2003-2009 Komoditas
2003
2004
2005
Sayur-sayuran 340 264 362 (Ton/Ha) Buah-buahan 490,24 503,25 534,33 (Ton/Ha) Tanaman Biofarmaka 84 117 74 2 (Tangkai/M ) Tanaman Hias 28,12 22,49 33,69 (Kg/M2) Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010
Tahun 2006
2007
2008
2009
316
365
350
327
576,83
589,84
743,98
749,67
54
66
125
229
27,09
36,63
68,03
77,36
45
Untuk meningkatkan produktivitas hortikultura Indonesia perlu dilakukan berbagai hal seperti pemanfaatan dan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam, pemilihan teknologi tepat guna, perbaikan mutu dengan menggunakan bibit unggul dan lain-lain. Defisit neraca perdagangan yang terjadi akibat meningkatnya impor akan produk hortikultura juga seharusnya dapat ditekan dengan meningkatkan produksi dan produktivitas agar dapat memicu kegiatan ekspor yang mendatangkan devisa dan mengurangi impor agar tidak terjadi defisit neraca perdagangan yang dapat mengurangi cadangan devisa. 4.4 Perkembangan Ekspor Hortikultura Indonesia di Dunia Produk hortikultura telah menjadi salah satu komoditas perdagangan internasional. Potensi tersebut tentu menjadi peluang ekspor produk hortikultura Indonesia. Dalam perkembangannya, ekspor hortikultura Indonesia pun menemui berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut seperti standarisasi mutu yang ketat, penanganan produk pasca panen Indonesia yang kurang baik, kurang bisa menjaga kualitas produk, masalah transportasi dan pengawetan. Pengadaan akan bibit unggul hortikultura pun masih kurang. Sehingga para petani tidak menanam dengan bibit unggul dan tidak menanam dengan sistem penanaman yang baik, padahal standar produk hortikultura dunia sangat diperhatikan. Bahkan mulai April 2003, sejumlah negara Uni Eropa akan menerapkan sistem konsinyasi selama satu bulan untuk mengantisipasi produk buah-buahan segar tidak laku. Selama kurun waktu tersebut transaksi bisa saja dibatalkan dan resiko serta kerugian yang ditanggung oleh eksportir serta produsen hortikultura Indonesia pun semakin tinggi. Menurut Dumairy (1996), masalah lain dalam ekspor Indonesia ialah komposisi negara tujuan ekspor. Pasar yang menjadi tujuan ekspor kita terkonsentrasi di beberapa negara tertentu. Akibatnya ketergantungan pada negara-negara dimaksud sangat besar. Setiap gejolak atau perkembangan yang terjadi di segelintir negara itu dengan sendirinya akan sangat berpengaruh terhadap kinerja ekspor. Mengingat ekspor merupakan transaksi antarnegara, maka gangguan terhadap ekspor tidak terbatas karena gejolak-gejolak ekonomi
46
yang berlangsung di negara tujuan ekspor. Akan tetapi juga akibat gejolak-gejolak nonekonomi yang terjadi di negara tersebut. Ekspor Indonesia diekspor melalui berbagai cara, salah satunya yaitu melewati pelabuhan. Barang-barang ekspor Indonesia dimuat dan diberangkatkan di berbagai pelabuhan yang tersebar di Indonesia, baik itu pelabuhan kecil maupun pelabuhan besar. Menurut Dumairy (1996), Ekspor yang berangkat dari pelabuhan kecil biasanya menuju ke negara tetangga dekat, pada umumnya memuat barang-barang relatif ringan serta dengan volume terbatas. Karena masih terbatasnya fasilitas pelabuhan di kebanyakan wilayah di tanah air, acap kali ekspor barang dari suatu daerah terpaksa harus dikapalkan melalui pelabuhan di daerah lain. Pengapalan barang ekspor secara lintas-propinsi bukan saja menghilangkan peluang pendapatan bagi daerah asal barang tersebut (di lain pihak menambah pendapatan bagi daerah yang dilintasi), tetapi juga memperpanjang jalur penyampaiannya ke tempat tujuan akhir. Hal itu berdampak terhadap waktu dan biaya. Waktu penyampaian menjadi lebih lama, bahkan bisa dan kerap kali terlambat sehingga melanggar kontrak yag disepakati antara eksportir dan pembeli di luar negeri. Belum lagi jika kedatangan kapal terlambat, sementara barang yang hendak dimuat sudah terlanjur menunggu di gudang sewaan. Ongkos kirim menjadi lebih mahal. Akibatnya harga barang menjadi tinggi, kemampuan bersaingnya di luar negeri berkurang. Kendala struktural semacam ini tentu saja menghambat kelancaran ekspor. Masih ada alternatif transportasi lain yaitu dengan menggunakan jasa angkutan udara, tetapi biaya yang harus dikeluarkan dengan menggunakan jasa angkutan ini jauh lebih mahal sehingga menambah pengeluaran untuk biaya produksi.
47
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar
4.5
Perkembangan Total Ekspor Beberapa Komoditas Hortikultura Indonesia dan Beberapa Negara Pesaing di pasar duniaTahun 2000-2010
Pada Gambar 4.5 dapat terlihat bahwa perkembangan total ekspor beberapa komoditas hortikultura Indonesia dan beberapa negara pesaingnya yaitu Thailand dan Filipina semakin meningkat. Tetapi pada tahun 2009 ketiga negara ini mengalami penurunan nilai total ekspor dan penurunan tersebut kembali di alami oleh Filipina. Peningkatan total ekspor ini memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian suatu negara. Diantara negara pesaingnya, Indonesia mengalami peningkatan yang cukup baik setelah Thailand. Sehingga ekspor dapat menjadi sumber yang diandalkan bagi peningkatan devisa negara. Berikut merupakan volume ekspor beberapa komoditas hortikultura Indonesia di beberapa negara tujuan ekspornya. 1. Bunga Potong Perkembangan ekspor bunga potong Indonesia di beberapa negara importir potensial pada Gambar 4.6 berfluktuasi. Meskipun berfluktuasi, Indonesia tetap kontinyu dalam mengekspor komoditi ini ke negara tujuan ekspornya pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini. Agregat volume ekspor bunga potong terbesar Indonesia selama tahun 2001, 2005 dan 2009 adalah di pasar dunia yaitu sebesar 11.299,829 ton, kemudian diikuti Singapura dan Cina. Produksi komoditi bunga potong unggulan Indonesia berdasarkan urutan kontribusinya menurut Dirjen Hortikultura (2009) yaitu, krisan, mawar, sedap malam, anggrek, gladiol, anyelir, gerbera, helicona dan anthurium bunga. Untuk
48
komoditi bunga potong, Indonesia hanya bisa merebut 0,76 persen atau sekitar USD 136.000.000 dari total impor Belanda sebesar 17,861 miliar dollar AS. Padahal biodiversity negara-negara Eropa seperti Belanda tidak seperti Indoensia, tetapi mereka mampu menjadi pemain pangsa pasar dunia. Yang menjadi kendala ekspor bunga potong diantaranya yaitu produk yang dihasilkan tidak tersedia sepanjang waktu, tergantung kepada musim, tidak seperti di Thailand yang hasil panennya tersedia setiap waktu. Kendala lainnya yaitu dari kemasan atau tampilan yang kurang diperhatikan. Padahal dengan kemasan atau tampilan yang bagus produk tersebut mempunyai nilai lebih di mata para konsumennya dan terlihat lebih menarik. Petani juga harus pandai berinovasi dan menyiasati bunga potong yang rentan layu dan hancur, agar kesegarannya terjamin hingga sampai di tangan konsumen. Selain itu, di Indonesia belum banyak tenga ahli untuk memberikan sertifikat dan standarisasi. Karena di beberapa negara Uni Eropa bahkan dunia, karena bunga potong yang akan diekspor ke negara-negara tersebut wajib bersertifikasi.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 4.6 Perkembangan Volume Ekspor Bunga Potong Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 di Beberapa Negara Importir Potensial 2. Kubis Kubis merupakan salah satu komoditi unggulan ekspor hortikultura Indonesia. Ekspor kubis Indonesia tidak kontinyu pada beberapa negara tujuan
49
ekspor seperti Belanda, Saudi Arabia dan Amerika Serikat pada tahun 2005 dan 2009, Cina tahun 2001 dan Uni Emirat Arab pada tahun 2001 dan 2005. Pada Gambar 4.7 dapat terlihat bahwa volume ekspor kubis tertinggi tahun 2001, 2005 dan 2009 selain ke pasar dunia yaitu Malaysia dan Singapura. Pada tahun 2005 terjadi penurunan volume ekspor di beberapa negara kecuali Taiwan dan Cina. Penurunan ini terjadi karena pada tahun tersebut mucul negara lain yang volume ekspornya lebih besar daripada Indonesia sehingga volume ekspor Indonesia menurun. Selain itu menurut data Dirjen Hortikultura (2009), produksi hortikultura Indonesia pun pada tahun 2005 mengalami penurunan dari 1.432.814 ton pada tahun 2004 menjadi.1.292.984 ton pada tahun 2009 dan baru mulai meningkat pada tahun 2007 hingga tahun 2009. Kubis merupakan tanaman yang rentan terhadap perubahan iklim sehingga mudah terserang penyakit seperti busuk hitam (Xanthomonas campestris Dows), busuk lunak (Erwinia carotovora Holland), akar pekuk (Plasmodiophora brassicae Wor.), bercak hitam (Alternaria sp), busuk lunak berair, semai roboh (dumping off) dan penyakit fisiologis. Penyakit-penyakit kubis tersebut dapat menjadi salah satu kendala bagi ekspor kubis Indonesia apabila tidak ditangani dengan tepat.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 4.7 Perkembangan Volume Ekspor Kubis Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 di Beberapa Negara Importir Potensial
50
3.
Jamur dan Cendawan Tanah Perkembangan volume ekspor jamur dari tahun 2001, 2005 dan 2009
rata-rata semakin menurun seperti ditunjukkan pada Gambar 4.8 ekspor jamur Indonesia tidak kontinyu pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini ke beberapa negara tujuannya. Seperti Hongkong pada tahun 2001, 2005 dan 2009; Belanda, Jepang, Amerika Serikat dan Taiwan pada tahun 2009; Cina, Uni Emirat Arab dan Malaysia pada tahun 2001 dan 2009; dan Saudi Arabia pada tahun 2005 dan 2009. Volume ekspor terbesar yaitu ke pasar dunia dan Amerika Serikat. Volume ekspor yang masih rendah dikarenakan para petani jamur masih memfokuskan dan merasa cukup puas hanya untuk memenuhi permintaan domestik saja.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 4.8 Perkembangan Volume Ekspor Jamur Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 di Beberapa Negara Importir Potensial Pada tahun 2009 volume ekspor Indonesia menurun dan hanya kontinyu pada Pasar Singapura dan pasar dunia saja. Salah satu penyebanya yaitu volume produksi jamur pada tahun 2009 mengalami penurunan. Berdasarkan data Dirjen Hortikultura (2009), volume produksi jamur mulai menurun dari tahun 2007 hingga 2008. Tahun 2006 volume produksi jamur mencapai angka tertinggi yaitu 48.247 ton dan pada tahun 2009 hanya sebesar 38.465 ton. Produksi jamur dunia dari tahun 2000 hingga data terkahir FAO tahun 2008 dikuasai oleh Cina, sedangkan Indonesia hanya berhasil masuk ke peringkat 20 besar dunia. Hal
51
serupa pun dialami oleh cendawan tanah, pangsa produksinya masih dikuasai oleh Cina dan Amerika Serikat dan tidak kontinyu pada tahun yang digunakan dalam penelitian ini ke negara tujuan ekspornya. Negara-negara tujuan ekspor yang memiliki nilai ekspor cendawan tanah yang tidak kontinyu yaitu Hongkong, Cina dan Saudi Arabia pada tahun 2001, 2005 dan 2009; Belanda, Singapura, Taiwan, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab pada tahun 2001 dan 2009. Budidaya cendawan tanah relatif lebih sulit dari jamur, namun komoditi ini mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki citarasa yang tinggi dan banyak dicari oleh para konsumennya sehingga harga cendawan tanah di pasaran melambung lebih tinggi dibandingkan jenis yang lainnya.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 4.9 Perkembangan Volume Ekspor Cendawan Tanah Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 di Beberapa Negara Importir Potensial 4.
Pisang Tanaman pisang banyak ditemukan dan dibudidayakan di Indonesia.
Pisang memiliki tempat tersendiri bagi penduduk Indonesia selain rasanya yang enak, pisang menyimpan berbagai vitamin, mineral dan karbohidrat yang diperlukan oleh tubuh. Volume produksi pisang pun terbesar diantara buah-buah lainnya sehingga pisang menjadi primadona di kalangan komoditi buah-buahan dan menjadi salah satu komoditi utama ekspor seperti yang ditunjukan pada Gambar 4.10. Tetapi sama seperti pada komoditi sebelumnya, ekspor pisang
52
Indonesia ke beberapa negara tujuan tidak kontinyu. Negara-negara tersebut adalah Taiwan pada tahun 2001, 2005 dan 2009; Cina dan Uni Emirat Arab pada tahun 2001 dan 2005; dan Belanda pada tahun 2005 dan 2009.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 4.10 Perkembangan Volume Ekspor Pisang Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 di Beberapa Negara Importir Potensial Volume ekspor pisang tertinggi dicapai tahun 2009 di Pasar Saudi Arabia sebesar 378,17 ton. Pisang menjadi komoditi unggulan karena pisang Indonesia memiliki karakteristik dan keistimewaan khusus sebagai buah khas negara tropis dengan rasa yang enak. Produksi pisang dunia menurut data statistik FAO dari tahun 2000 hingga 2008 dikuasai oleh India dan volume ekspor Indonesia cenderung menurun dari tahun 2001, 2005 dan 2009. Hal ini dapat dikarenakan produksi serta konsumsi penduduk Indonesia yang besar terhadap di bandingkan dengan buah lainnya, sehingga membuat volume ekspor pisang indonesia turun di beberapa negara tujuan ekspor. Permasalahan yang menghambat perkembangan komoditi pisang di Indonesia diantaranya yaitu produktivitas dan kualitas buah yang masih rendah. Sehingga mengakibatkan rendahnya nilai ekonomis buah pisang dan terbatasnya jangkauan pemasaran yang tidak bisa memasok buah ke seluruh negara kawaasan importir potensial. Sedangkan yang menjadi kendala dalam kegiatan ekspor pisang Indonesia yaitu meliputi mutu dan kontinyuitas pasokan. Selain itu pisang di
53
Indonesia banyak ditanam di pekarangan dan tegalan yang belum dilengkapi dengan sistem pengairan yang bagus, pengemasan dan transportasi yang belum terstandarisasi dengan baik, serta serangan berbagai penyakit. Penyakit-penyakit penting yang biasa menyerang tanaman pisang seperti layu Fusarium (Panama Disease), bercak daun Cercospora (Sigatoka Disease), kerdil pisang (Bunchy Top Virus) dan layu bakteri (Penyakit Darah/Moko Disease). 5. Nanas
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 4.11 Perkembangan Volume Ekspor Nanas Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 di Beberapa Negara Importir Potensial Nanas merupakan tanaman buah yang selalu tersedia sepanjang tahun dan banyak dibudidayakan di daerah tropis maupun subtropis. Ekspor nanas Indonesia masih belum kontinyu ke beberapa negara tujuan seperti pada Cina tahun 2001, 2005 dan 2009; Hongkong tahun 2001 dan 2005; Amerika Serikat tahun 2005; Belanda, Taiwan dan Saudi Arabia pada tahun 2005 dan 2009; Malaysia dan Uni Emirat Arab pada tahun 2009. Menurut data FAO selama tahun 2000 hingga tahun 2008, Brazil, Thailand dan Filipina menjadi tiga besar negara produsen nanas terbesar di dunia. Sedangkan Indonesia hanya berhasil menduduki peringkat sepuluh besar. Pada tahun 2007 Indonesia berhasil menduduki posisi tiga besar sebagai produsen nanas terbesar di dunia. Tetapi hal tersebut tidak diikuti oleh perkembangan volume ekpor yang ternyata semakin menurun dari
54
tahun ke tahun. Perkembangan volume ekspor nanas Indonesia di negara-negara tujuan ekspornya pada Gambar 4.11 dari tahun 2001, 2005 dan 2009 cenderung menurun untuk beberapa negara. Volume ekspor terbesar yaitu di Pasar Amerika Serikat sebesar 1.083,285 ton dan pasar dunia sebesar 2.020,442 ton pada tahun 2001. Ekspor nanas Indonesia yang paling kontinyu adalah ke Pasar Singapura berupa nanas segar dan pasar dunia. Singapura merupakan negara importir terbesar nanas segar Indonesia pada tahun 2009. Untuk ekspor nanas yang diawetkan, Indonesia banyak mengekspor ke negara Amerika Serikat, Belanda dan Jepang. Dan untuk ekspor nanas olahan negara importir Indonesia yaitu Filipina, Amerika Serikat dan Belanda (Departemen Pertanian, 2009). Berdasarkan Gambar 4.11 selama tahun 2001, 2005 dan 2009 Indonesia tidak mengekspor nanas ke Cina dan kesulitan untuk menembus Pasar Cina karena persoalan karantina, pemasaran dan berbagai hambatan perdagangan diantara kedua negara tersebut. Yang menjadi eksportir utama nanas di Pasar Cina dengan volume ekspor terbesar menurut data UN Comtrade 2009, secara berturut-turut dikuasai oleh Filipina. Terbukti dengan masuknya Filipina sebagai tiga negara terbesar produsen nanas di dunia. Volume ekspor Indonesia yang semakin menurun semenjak tahun 2005, dikarenakan produksi dan konsumsi domestik yang meningkat di tahun tersebut. Sehingga volume untuk ekspornya menurun (Dirjen Hortikultura, 2009). Penyakit penting pada tanaman nanas berupa busuk pangkal (base rot) dan busuk hati (heart rot) serta busuk akar (root rot) menjadi salah satu kendala bagi perkembangan ekspor nanas Indonesia selain mutu dan hambatan-hambatan perdagangan baik lateral maupun multilateral.
55
6. Jambu Biji
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 4.12 Perkembangan Volume Ekspor Jambu, Mangga dan Manggis Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 di Beberapa Negara Importir Potensial Indonesia termasuk kedalam enam besar negara penghasil jambu biji, mangga dan manggis terbesar di dunia menurut data FAO selama tahun 20002008. Volume ekspor jambu biji, mangga dan manggis dari tahun 2001, 2005 dan tahun 2009 cenderung semakin meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 4.12. Tetapi, pada beberapa negara ekpor komoditi ini tidak kontinyu seperti pada negara Taiwan pada tahun 2009 dan Amerika Serikat pada tahun 2001. Penurunan secara drastis volume ekspor jambu biji, mangga dan manggis dialami oleh Taiwan. Negara yang bersaing dengan Indonesia dalam mengekspor komoditi tersebut ke Pasar Taiwan adalah Thailand dan India yang merupakan negara produsen ketiga terbesar di dunia. Berdasarkan data volume total ekspor Depatemen Pertanian, untuk mangga, manggis termasuk jambu biji di pasar dunia mencapai 1.178.810 ton pada tahun 2005 dan Indonesia berkontribusi hanya sebesar 1.760 ton atau 0,15 persen. Impor total dunia untuk ketiga komoditas tersebut mencapai 857.530 ton dan Indonesia mengimpor hanya sebesar 540 ton atau sekitar 0,06 persen. Produksi jambu biji, mangga dan manggis rata-rata menurun dari tahun 2003-2007 dan mulai meningkat pada tahun 2008 hingga 2009, tetapi tidak untuk manggis yang mengalami penurunan produki tahun 2008.
56
Ekspor terkecil Indonesia yaitu di Pasar Amerika Serikat dengan total agregat volume ekspor jambu, mangga dan manggis tahun 2001, 2005 dan 2009 yaitu sebesar 4,024 ton. Yang menjadi pesaing Indonesia dalam merebut pangsa pasar di Amerika Serikat adalah Mexico. Penyakit-penyakit yang biasa timbul yaitu antraknosa pada mangga, getah kuning dan hama burik pada manggis yang merusak penampilan dan penyakit yang disebabkan oleh ganggang dan jamur pada jambu biji. Penyakit-penyakit ini dapat menurunkan kualitas serta rendahnya mutu yang menyebabkan terganggunya pemenuhan ekspor
terhadap buah
tersebut. Berikut merupakan data ekspor komoditi jambu biji Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Pada Tabel 4.3 dapat terlihat bahwa volume dan nilai ekspor tahun 2001, 2005 dan 2009 baik itu pada komoditi jambu biji, mangga maupun manggis mengalami peningkatan. Dari ketiga komoditi tersebut manggis merupaan komoditi yang paling besar volume dan niai eksponya. Tabel 4.3 Ekspor Komoditi Jambu Biji, Mangga dan Manggis Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 No
Komoditi
Tahun 2000 1 Jambu Biji 2001 2005 2000 2 Mangga 2001 2005 2000 3 Manggis 2001 2005 Sumber: Kementrian Pertanian, 2010
Volume (Kg) 14370 15277 176145 424917 940556 1615788 4868528 8471508
Nilai (US$) 8354 20380 297267 289049 995935 1334694 3953234 6385137
11318628
7198184
57
7.
Jahe
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 4.13 Perkembangan Volume Ekspor Jahe Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 di Beberapa Negara Importir Potensial Jahe merupakan salah satu tanaman biofarmaka jenis rimpang yang terkenal sebagai bahan obat-obatan dan rempah-rempah serta merupakan salah satu komoditi ekspor utama tanaman biofarmaka. Berdasarkan data Dirjen Hortikultura (2009), produksi jahe merupakan produksi terbesar dari tanaman biofarmaka meskipun volume produksinya berfluktuasi. Indonesia merupakan lima besar negara penghasil jahe terbesar di dunia. Perkembangan volume ekspor jahe Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 cenderung menurun di beberapa negara seperti yang digambarkan pada Gambar 4.13. Ekspor komoditi ini pun masih belum kontinyu pada beberapa negara tujuan ekspornya seperti pada negara Uni Emirat Arab tahun 2005; Taiwan dan Cina tahun 2005 dan 2009; dan hongkong pada tahun 2009. Volume ekspor tertinggi yaitu ke pasar dunia, kemudian Pasar malaysia dengan rata-rata volume ekspor sebanyak 1.348.854,333 ton. Volume ekspor terendah yaitu ke negara Cina dengan rata-rata ekspor sebanyak 70,333 ton. Pada tahun 2005 dan 2009 Indonesia tidak mengekspor jahe ke Pasar Taiwan dan Cina. Yang menjadi pesaing Indonesia dalam mengekspor jahe di Pasar Cina pada tahun 2001, 2005 dan 2009 adalah Korea Selatan, Hongkong, dan Thailand.
58
Ekspor Indonesia ke beberapa negara tujuan sering kali menemui berbagai kendala. Yang menjadi kendala utama bagi ekspor jahe yaitu tidak stabilnya produksi jahe Indonesia. Kemudian mutu yang kurang bagus sehingga tidak bisa bersaing dengan negara eksportir jahe lainnya. Selain itu serangan hama dan penyakit pun dapat menjadi hambatan ekspor jahe Indonesia. Lalat rimpang merupakan hama primer yang menyerang tanaman jahe umur lima bulan. Tanaman yang diserang menunjukan gejala layu dan kering sedangkan kulit rimpangnya rusak. Pencegahannya dengan seleksi bibit yang sehat dan seed treatment dengan Agrimisin. Salah satu penyakit yang sering menyerang jahe adalah penyakit layu yang disebabkan bakteri Pseudomonassolanacearu yang menyerang rimpang dan bagian titik tumbuh tanaman (Syukur dan Hernani, 2002). Pengendalian penyakitnya dapat dilakukan dengan memberikan ekstrak daun, bunga atau batang cengkeh (Mahendra, 2006). 8.
Temulawak Perkembangan ekspor temulawak Indonesia di beberapa negara tujuan
ekspor pada tahun 2001, 2005 dan 2009 rata-rata mengalami peningkatan tidak seperti pada komoditi jahe. Tetapi, Indonesia tidak mengekspor temulawak ke Pasar Cina pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Pada tahun 2001 dan 2005 pun Indonesia tidak mengekspor temulawak ke Pasar Taiwan. Selain itu, Indonesia jga tidak mengekspor komoditi ini ke negara Hongkong dan Uni Emirat Arab pada tahun 2001. Yang menjadi pesaing Indonesia di pasar Cina yaitu India dengan volume ekspor terbesar pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Menurut data Dirjen Hortikultura (2009), produksi temulawak Indonesia cenderung meningkat walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2006 dan 2008.
59
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 4.14 Perkembangan Volume Ekspor Temulawak Indonesia Tahun 2001, 2005 dan 2009 di Beberapa Negara Importir Potensial Volume ekspor temulawak terbesar Indonesia yaitu ke Pasar dunia, kemudian ke Pasar Amerika serikat kemudian ke Pasar Uni Emirat Arab. Temulawak juga menjadi salah satu komoditi andalan ekspor biofarmaka selain jahe. Temulawak menawarkan berbagai khasiat sehingga banyak dicari tak hanya konsumen dalam negeri, tetapi juga konsumen luar negeri. Perkembangan volume ekspor hortikultura Indonesia di beberapa negara tujuan ekspornya pada tahun 2001, 2005 dan 2009 dapat dilihat pada Gambar 4.14. Kendala yang dihadapi dalam ekspor temulawak Indonesia diantaranya yaitu hama dan penyakit. Hama yang potensial menyerang temulawak adalah cendawan Fusarium sp dan bakteri Pseudomonas sp. Penanganan tanaman yang terserang cendawan dengan menggunakan pestisida nabati ekstrak cengkih, sedangkan pada tanaman yang terserang bakteri dengan mencabut tanaman yang terserang dan membakarnya. Setelah itu, tanah tempat tumbuh tanaman yang terserang disiram dengan air rendaman bawang putih (MTIC, 2002).
60
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 5.1.1 Hongkong Hongkong merupakan salah satu daerah administratif khusus yang merupakan bagian dari negara Republik Rakyat Cina. Hongkong mendapat otonomi dari pemerintah RRC untuk mengatur daerahnya sendiri dari tahun 1997 yang meliputi hak otonomi atas mata uang, imigrasi, sistem hukum, bea cukai dan peraturan jalan yang tetap berjalan di jalur kiri. Hongkong merupakan negara kepulauan terdiri dari Kowloon, New Territories dan Pulau Hongkong dengan jumlah penduduk sebanyak 7.004.000 jiwa. Sejak perang dunia kedua, Hongkong telah menjadi pusat keuangan, industri dan perdagangan yang penting di Asia. Terbukti dengan PDB Hongkong pada tahun 2009 yang mencapai US$ 215.335.000.000. Selain itu Hongkong menempati peringkat ke 11 untuk ekspor dan peringkat ke 9 untuk impor dalam perdagangan dunia (WTO, 2010).
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.1 Neraca Perdagangan Hortikultura Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 Pada Gambar 5.1 dapat terlihat neraca perdagangan Hongkong yang bernilai negatif terhadap beberapa komoditas hortikultura pada tahun 2001, 2005
61
dan 2009. Ini menunjukan bahwa Hongkong lebih banyak mengimpor beberapa produk hortikultura daripada kegiatan ekspornya. Impor terbesar yaitu pada komoditi Jahe, sedangkan impor terkecil dari produk hortikultura yaitu cendawan tanah. Terbukanya impor hortikultura di Pasar Hongkong, membuka kesempatan bagi negara-negara importir untuk memasarkan produk hortikulturanya, termasuk Indonesia. Peluang tersebut dapat digambarkan melalui perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia di Pasar Hongkong seperti pada Gambar 5.2.
Sumber: UN Comtrade
Gambar 5.2 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Hongkong Tahun 2000-2010 Selama satu dekade terakhir perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia berfluktuatif, tetapi cenderung meningkat pada lima tahun terakhir. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2010 dengan nilai terbesar pada komoditi jambu biji, mangga dan manggis sebanyak
US$ 4.388.679. Ekspor tertinggi
Indonesia di Pasar Hongkong yaitu pada komoditi temulawak. Tarif bea masuk ekspor ke Hongkong yang ditiadakan dan tidak adanya kuota ataupun diskriminasi atas impor dari Hongkong serta kegemaran masyarakat Hongkong untuk mengkonsumsi sayur dan buah menjadikan peluang emas bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor hortikultura ke Pasar Hongkong. Hongkong hanya menekankan bahwa setiap produk yang diekspor ke Hongkong harus dibekali dengan Sertificat Phytosanitary dan Plant Import License agar keamanan produk tersebut tetap terjaga.
62
5.1.2 Belanda Belanda terletak di Benua Eropa bagian timur dengan keberadaan tanahnya yang terletak dibawah permukaan laut. Negara yang terkenal akan kincir angin dan bendungannya ini memiliki 12 propinsi dengan arah angin utama yaitu barat daya sehingga iklim kepulauannya sederhana dengan musim sejuk yang sederhana dan musim panas yang dingin. Perekonomian di negeri ini pun sudah terbilang maju dengan PDB per kapita pada tahun 2009 sebesar US$ 792.128.000.000 dan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebanyak 16.531.000 jiwa. Belanda merupakan salah satu negara terkecil Uni Eropa, namun setengah bagian dari wilayahnya adalah lahan pertanian. Meskipun termasuk ke dalam negara kecil dan terletak di bawah permukaan laut, Belanda mampu mengembangkan sektor pertaniannya dengan baik. Sektor pertanian khususnya hortikultura sangat penting bagi perekonomian Belanda dan telah menjadikan Belanda sebagai negara eksportir ketiga terbesar setelah Amerika Serikat dan Perancis dalam produk pertanian. Sektor pertanian Belanda mampu menyediakan peluang kurang lebih sebesar empat persen dari jumlah populasi penduduk Belanda Perdagangan
internasional
merupakan
suatu
kegiatan
yang
tak
terlepaskan dari aktivitas rutin suatu negara, begitu pula yang dialamai oleh Belanda. Nilai pertukaran perkapita Belanda pada tahun 2007-2009 sebesar US$ 65.149 dan pada tahun 1995 Belanda mulai bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO, 2010). Belanda juga memiliki keanekaragaman tanaman hias, hampir setiap tahun Belanda mengadakan festival bunga untuk memperkenalkan dan memasarkan produknya tersebut.
Berikut merupakan
neraca perdagangan beberapa komoditi hortikultura Belanda tahun 2001, 2005 dan 2009.
63
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.3 Neraca Perdagangan Hortikultura BelandaTahun 2001, 2005 dan 2009 Dari Gambar 5.3 dapat terlihat bahwa neraca perdagangan komoditi hortikultura yang diteliti dalam penelitian ini rata-rata bernilai positif seperti pada bunga potong, kubis, jamur dan nanas. Ini menunjukan bahwa ekspor Belanda untuk komoditi tersebut lebih besar dari impornya. Ekspor Belanda yang paling kuat adalah bunga potong, dari bunga potong tersebut perekonomian Belanda ditopang melalui devisa yang masuk akibat aktivitas ekspor yang terjadi. Sedangkan yang bernilai negatif yaitu terjadi pada komoditi cendawan tanah, pisang, jambu biji, mangga dan manggis. Jahe dan temulawak juga memiliki neraca pedagangan yang negatif tetapi hanya pada tahun 2001, dan 2005 saja. Pada tahun 2009 neraca perdagangan kedua komoditi tersebut bernilai positif dan neraca perdagangan jahe pada tahun 2009 merupakan yang terbesar mengalahkan komoditi bunga potong. Belanda masih mengimpor beberapa komoditas hortikultura untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk mereka. Sehingga membuka peluang bagi Indonesia untuk memasuki Pasar Belanda untuk memasarkan produk-produk hortikultura Indonesia dan bersaing dengan negara importir lainnya. Perkembangan ekspor hortikultura Indonesia di Pasar Belanda tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Gambar 5.4.
64
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.4 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Belanda Tahun 2000-2010 Perkembangan ekspor hortikultura pada Gambar 5.4 sangat berfluktuasi, hal ini dikarenakan nilai dan volume ekspor yang tidak stabil, cenderung naik dan turun pada tahun-tahun tertentu. Kenaikan tertinggi pada tahun 2005 dengan nilai ekspor sebesar US$ 624.039 dan ekspor terbesar pada komoditi jahe. Rata-rata pertumbuhan ekspor Indonesia di Pasar Belanda yaitu sebesar 41,18 persen, dari angka pertumbuhan tersebut maka besar peluang Indonesia untuk meningkatkan ekspornya. Ekspor tertinggi Indonesia ke Pasar Belanda yaitu pada komoditi jahe.
5.1.2 Singapura Singapura terletak di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya, 137 kilometer di utara khatulistiwa di Asia Tenggara. Singapura adalah sebuah negara pulau yang merupakan pusat keuangan terdepan keempat didunia. Singapura juga merupakan kota dunia kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam keuangan dan perdagangan internasional. Pelabuhan Singapura termasuk ke dalam lima pelabuhan tersibuk di dunia. Pada tahun 2009 jumlah penduduk Singapura mencapai 4.988.000 jiwa dengan luas wilayah 710,2km2 membuat Singapura menjadi negara terpadat setelah Monako. PDB Singapura pada tahun 2009 sebesar US$ 182.232.000.000 (WTO, 2010) dan pertumbuhan ekonomi Singapura merupakan yang tercepat di dunia dengan pertumbuhan PDB 17,90 persen pada pertengahan tahun 2010. Singapura memiliki ekonomi pasar yang sangat maju,
65
perdagangan menjadi salah satu aktivitas yang rutin dilakukan di negara ini, baik kegiatan ekspor ataupun pengolahan barang impor sehingga Singapura menjadi pusat pertukaran mata uang asing terbesar keempat di dunia setelah London, New York dan Tokyo.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.5 Neraca Perdagangan Hortikultura Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 Pada Gambar 5.5 dapat kita lihat neraca perdagangan Singapura atas beberapa produk hortikultura pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan pertumbuhan yang negatif. Ini menunjukan bahwa Singapura terbuka terhadap produk-produk impor, karena nilai impornya yang lebih besar daripada volume ekspornya. Impor tertinggi yaitu pada komoditi jahe kemudian disusul oleh komoditi temulawak. Terbukanya Pasar Singapura bagi negara eksportir sebenarnya bukan untuk pemenuhan konsumsi domestik semata, melainkan untuk kegiatan re-export. Produk-produk impor dibeli oleh Singapura kemudian diolah dan di proses dan rata-rata produk tersebut berasal dari Indonesia dan negaranegara eksportir lainnya untuk di ekspor kembali, jadi yang diekspor bukan produk asli Singapura.
66
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.6 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Singapura Tahun 2000-2010 Perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia di Pasar Singapura selama satu dekade terakhir seperti pada Gambar 5.6 cenderung meningkat, kecuali pada tahun 2001, 2002, dan 2003 nilai ekspor Indonesia menurun. Ratarata pertumbuhan nilai ekspor Indonesia selama satu dekade terakhir yaitu sebesar 7,80 persen. Nilai ekspor tertinggi pada tahun 2000 dan didominasi oleh komoditi jahe yaitu sebesar US$ 691.562. Jahe juga menjadi komoditi yang paling banyak di ekspor oleh Indonesia di Pasar Singapura.
5.1.3 Taiwan Taiwan merupakan negara beriklim subtropis dengan empat musim yaitu, musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Jumlah penduduk Taiwan pada tahun 2009 sebanyak 23.120.000 jiwa (WTO, 2010). Perekonomian Taiwan merupakan salah satu perekonomian yang cukup kuat, terbukti dengan bertahannya perekonomian Taiwan di tengah krisis tahun 1997. PDB Taiwan pada tahun 2009 sebesar US$ 378.610.000.000 (WTO, 2010) dan salah satu upaya untuk meningkatan pertumbuhan ekonomi Taiwan yaitu dengan melakukan perdagangan luar negeri seperti produk agrikultural. Taiwan mempunyai pusat jasa di bidang pelayaran, kargo dan penerbangan yang reputasinya cukup baik dan cukup kuat. Pelabuhan kaohsiung merupakan pelabuhan kargo yang melayani arus
67
barang ekspor impor dari dan menuju berbagai kawasan didunia, seperti pelabuhan Singapura dan Rotterdam di Eropa.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.7 Neraca Perdagangan Hortikultura Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 Pada Gambar 5.7 untuk komoditi kubis dan temulawak pada tahun 2001, 2005 dan 2009 mengalami defisit neraca perdagangan. Sedangkan pada komoditi jambu biji, mangga dan manggis hanya pada tahun 2001 saja yang mengalami defisit neraca perdagangan. Pada tahun 2005 dan 2009 neraca perdagangannya menunjukan angka positif dan mengalami kenaikan yang signifikan. Maka dengan adanya defisit neraca perdagangan berarti impor negara Taiwan akan komoditi tersebut lebih besar daripada ekspornya. Sehingga ini membuka peluang Indoensia untuk merebut Pasar Taiwan dan mengembangkan ekspornya serta bersaing dengan negara eksportir lainnya. Berikut merupakan gambaran perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia dan negara pesaingnya di Pasar Taiwan pada tahun 2000-2010.
68
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.8 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Taiwan Tahun 2000-2010 Pada Gambar 5.8 digambarkan bahwa perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia selama sepuluh tahun terakhir terus menurun dari tahun 2000 hingga 2004. Pada tahun 2005 nilai ekspor Indonesia kembali menguat walaupun terus berfluktuasi tetapi secara kontinyu. Rata-rata pertumbuhan nilai ekspor Indonesia sebesar 26,58 persen. Nilai ekspor tertinggi selama satu dekade yaitu pada komoditi jahe, sedangkan ekspor terkecil yaitu pada komoditi cendawan tanah. Indonesia belum mampu untuk memperbanyak ekspor pada komoditi cendawan tanah karena budidayanya yang cukup sulit sehingga belum mampu untuk memenuhi permintaan ekspor luar negeri.
5.1.4
Cina Republik Rakyat Cina atau yang lebih dikenal dengan Cina merupakan
negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Jumlah populasi penduduknya pada tahun 2009 sebanyak 1.331.460.000 jiwa (WTO, 2010). Cina merupakan negara terbesar di Asia Timur dan ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada. PDB Cina pada tahun 2009 sebesar US$ 4.984.731.000.000 dengan trade per capita sebesar US$ 1.921 pada tahun 2007-2009 (WTO,2010). Pemerintah Cina juga memfokuskan diri dalam perdagangan luar negeri sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satunya yaitu
69
perdagangan luar negeri pada sektor pertanian, khususnya pada komoditas hortikultura.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.9 Neraca Perdagangan Hortikultura Cina Tahun 2001, 2005 dan 2009 Gambar 5.9 merupakan neraca perdagangan hortikultura Cina pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Dari gambar tersebut, dapat terlihat bahwa neraca perdagangan Cina berfluktuatif, defisit neraca perdagangan hanya terjadi pada komoditi pisang, Jambu Biji, Mangga da Manggis, serta pada komoditi nanas pada tahun 2009. Ini membuka peluang bagi Indonesia dan negara-negara eksportir lainnya untuk masuk kedalam Pasar Cina, terlebih Indonesia memang terkenal dengan buah-buahan tropisnya. Berikut merupakan perkembangan nilai ekspor beberapa hortikultura Indonesia yang dibahas dalam pemelitian ini di Pasar Cina pada tahun 2000-2010. Dari Gambar 5.10 terlihat bahwa perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia di Pasar Cina cenderung mengalami kenaikan, hanya pada komoditi cendawan tanah Indonesia sama sekali tidak mengekspor ke Pasar Cina. Ekspor yang kontinyu yaitu pada komoditi bunga potong, jambu biji, mangga dan manggis. Sedangkan eskpor tertinggi Indonesia juga pada komoditi jambu biji, mangga dan manggis.
70
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.10 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Cina Tahun 2000-2010 5.1.5
Jepang Jepang merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 6.852
pulau. Sebagian besar pulau di Jepang yaitu berupa pegunungan dan sebagian diantaranya merupakan gunung berapi. Jepang merupakan kawasan beriklim sederhana yang memiliki empat musim yaitu musim salju, panas, gugur dan salju. Jumlah penduduk Jepang pada tahun 2009 mencapai 127.560.000 jiwa, Jepang juga merupakan salah satu dari negara yang maju dalam bidang perekonomian dengan PDB sebesar US$ 5.067.526.000.000 pada tahun 2009. Kemajuan Jepang terjadi di berbagai bidang salah satunya yaitu bidang pertanian. Meskipun luas wilayah pertanian di Jepang tidak begitu luas, namun Jepang mampu menghasilkan produk-produk pertanian yang berkualitas karena Jepang memiliki keadaan tanah yang subur dan kemampuan dalam berinovasi dan memanfaatkat teknologi guna meningkatkan kualitas dan efisiensi produk pertanian mereka. Salah satu produk pertanian Jepang yaitu produk hortikultura, berikut merupakan gambaran neraca perdagangan beberapa produk hortikultura Jepang yang dibahas dalam penelitian ini pada tahun 2001, 2005 dan 2009.
71
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.11 Neraca Perdagangan Hortikultura Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 Pada Gambar 5.11 terlihat bahwa neraca perdagangan hortikultura Jepang bernilai negatif pada semua komoditi yang dibahas pada penelitian ini, sehingga membuka peluang bagi Indonesia dan beberapa negara pesaingnya untuk bersaing di Pasar Jepang. Defisit neraca perdagangan tertinggi yaitu pada komoditi jahe, sedangkan yang terendah pada komoditi cendawan tanah. Gambar 5.57 menggambarkan tentang perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia di Pasar Jepang pada tahun 2000-2010.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.12 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Jepang Tahun 2000-2010 Perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia di Pasar Jepang pada tahun 2000 hingga 2010 sangat berfluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor sebesar 17,36 persen. Penurunan nilai ekspor cukup drastis terjadi pada
72
tahun 2007 dengan penurunan sebesar -67,51 persen. Ekspor tertinggi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ke Pasar Jepang adalah komoditi jahe. Berbagai kendala dialami eksportir Indonesia dalam memasuki Pasar Jepang, sama seperti Cina dan negara-negara importir lainnya yang menuntut kesamaan ukuran, kesamaan rasa, kesamaan warna, penampilan yang menarik dan bebas dari residu pestisida serta pasokannya bisa dijamin berkelanjutan.
5.1.6
Malaysia Malaysia terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah
persekutuan dengan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebanyak 27.468.000 jiwa. Negara ini terletak di dekat khatulistiwa dan mempunyai iklim tropika serta sebagai salah satu dari 18 negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Malaysia mulai melirik sektor pertambangan dan pertanian untuk menopang perekonomiannya dan melakukan perdagangan internasional sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan sektor perekonomiannya. PDB Malaysia pada tahun 2009 mencapai US$ 191.601.000.000 dengan trade percapita pada tahun 2007-2009 sebesar US$ 13.729. Pada Gambar 5.67 akan dijelaskan neraca perdagangan pertanian, khususnya pada komoditas hortikultura Malaysia pada tahun 2001, 2005 dan 2009.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.13 Neraca Perdagangan Hortikultura Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009
73
Pada Gambar 5.13 dapat terlihat bahwa neraca perdagangan Malaysia berfluktuasi. Neraca perdagangan yang positif terjadi pada komoditi bunga potong, pisang dan nanas. Sedangkan neraca perdagangan yang menunjukan angka negatif terjadi pada komoditi kubis, jamur, cendawan tanah, jahe, temulawak, jambu biji, mangga dan manggis. Defisit neraca perdagangan tertinggi terjadi pada jahe. Ini memberikan peluang kepada Indonesia untuk menguasai Pasar Malaysia mengingat jahe Indonesia merupakan ekspor biofrmaka utama pada komoditi hortikultura. Dan tidak hanya pada jahe, Indonesia berpeluang di komoditi-komoditi lainnya dan bersaing dengan negara-negara eksportir lainnya.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.14 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Malaysia Tahun 2000-2010 Perkembangan nilai ekspor beberapa komoditi hortikultura Indonesia di Pasar Malaysia cenderung berfluktuasi. Kenaikan nilai ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2004 pada komoditi jahe. Ini menunjukan bahwa Indonesia mampu memanfaatkan peluang pasar dan jahe merupakan komoditi hortikultura Indonesia yang paling banyak di ekspor ke Pasar Malaysia dari tahun 2000 hingga 2010. Sedangkan untuk komoditi yang paling sedikit di ekspor oleh Indonesia ke Pasar Malaysia yaitu nanas. Mengingat neraca perdagangan untuk komoditi nanas bernilai positif, maka Malaysia tidak terlalu banyak mengekspor komoditi tersebut.
74
5.1.7
Saudi Arabia Saudi Arabia terletak di antara 150LU-320LU dan 340BT-570BT, dengan
luas kawasannya sebesar 2.240.000 km2. Jumlah penduduk menurut data WTO (2010), pada tahun 2009 mencapai 25.391.000. Saudi Arabia memiliki iklim gurun dengan hamparan gurun pasir yang terbentang luas hampir di seluruh wilayahnya. Tetapi dengan kecanggihan teknologi dan kekayaan yang dimiliki, negara ini sudah berubah menjadi negara yang hijau dengan pepohonan yang banyak tumbuh menghiasi dan meneduhi berbagai wilayah di negara ini. Negara ini terkenal dengan minyak, perkebunan kurma, gandum, buah-buahan serta peternakannya. Sistem pertanian digalakkan untuk lebih meningkatkan hasil-hasil pertanian
negara
ini. PDB
Saudi
Arabia
pada
tahun
2009
mencapai
369.179.000.000 dengan trade per capita sebesar US$ 15.927 (WTO, 2010) yang menunjukan bahwa penduduk Saudi Arabia memiliki dayabeli yang tinggi. Perdagangan pun menjadi salah satu sektor yang membangun perekonomian Saudi Arabia. Berikut merupakan neraca perdagangan salah satu sektor yaitu hortikultura Saudi Arabia pada tahun 2001, 2005 dan 2009.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.15 Neraca Perdagangan Hortikultura Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009 Pada Gambar 5.15 digambarkan perkembangan neraca perdagangan hortikultura Saudi Arabia, dimana hampir semua subsektornya mengalami defisit neraca perdagangan. Ini memberikan peluang kepada Indonesia dan beberapa negara eksportir lainnya untuk mengekspor produk hortikultura mereka ke Pasar Saudi Arabia. Defisit neraca perdagangan terbesar yaitu pada komoditi jahe
75
setelah itu diikuti oleh temulawak. Ini dapat memberikan peluang kepada Indonesia untuk dapat mengusai Pasar Saudi Arabia mengingat jahe dan temulawak adalah salah satu komoditi ekspor utama dari tanaman biofarmaka Indonesia.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.16 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Saudi Arabia Tahun 2000-2010 Perkembangan nilai ekspor hortikultura selama sepuluh tahun terakhir di Pasar Saudi Arabia cenderung berfluktuasi dengan nilai ekspor tertinggi pada tahun 2000 yaitu pada komoditi temulawak dan temulawak merupakan ekspor terbesar Indonesia di pasar Saudi Arabia. Indonesia berhasil memanfaatkan peluang yang ada dengan mengekspor temulawak lebih banyak dari komoditi yang lain. Sedangkan untuk komoditi yang paling sedikit diekspor oleh Indonesia yaitu kubis dengan total nilai ekspor selama satu dekade terakhir hanya sebesar US$ 6.064.
5.1.8
Amerika Serikat Amerika Serikat merupakan negara yang terdiri atas 50 negara bagian,
dengan luas wilayah 9,83 juta km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebanyak 307.007.000 jiwa. Ekonomi Amerika Serikat merupakan ekonomi terbesar di dunia dengan PDB sebesar US$ 14.256.300.000.000 pada tahun 2009. Sektor pertanian masih dijadikan sebagai sektor andalan sebagai penambah devisa negara yang mampu menopang perekonomian Amerika Serikat, meskipun
76
Amerika Serikat merupakan negara maju yang fokus terhadap sektor industri dan lain-lain, tetapi negara ini mampu mengembangkan sektor pertaniannya dengan berbagai teknologi yang menunjang sehingga Amerika Serikat mempunyai beberapa produk unggulan di sektor tersebut salah satunya adalah hortikultura. Berikut merupakan perkembangan neraca perdagangan hortikultura Amerika Serikat pada tahun 2001, 2005 dan 2009.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.17 Neraca Perdagangan Hortikultura Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 Neraca perdagangan hortikultura Amerika Serikat bernilai negatif pada semua komoditi yang diteliti dalam penelitian ini, hanya pada komoditi kubis yang necara perdagangannya bernilai positif. Dengan banyaknya defisit neraca perdagangan di Amerika Serikat maka ini memberikan peluang bagi negaranegara eksportir untuk masuk ke Pasar Amerika Serikat. Berikut merupakan perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia di Pasar Amrika Serikat selama satu dekade terakhir seperti yang disajikan pada Gambar 5.17.
77
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.18 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Amerika Serikat Tahun 2000-2010 Perkembangan nilai ekspor horikultura Indonesia cenderung semakin meningkat di Pasar Amerika serikat selama sepuluh tahun terakhir, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2007, tetapi kemudian berhasil meningkat kembali pada tahun 2008 hingga 2010. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2010 dengan ekspor terbesar pada komoditi jahe dan jahe merupakan komoditi yang paling banyak diekspor ke Pasar Amerika Serikat dibandingkan dengan komoditi lainnya. Sedangkan pisang merupakan komoditi yang paling sedikit di ekspor ke Pasar Amerika Serikat.
5.1.9
Uni Emirat Arab Uni Emirat Arab adalah sebuah negara persatuan yang terdiri dari tujuh
emirat yaitu Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras Al-Khaimah, Sharjah dan Umm Al-Qaiwain. Pada tahun 2009 jumlah penduduk di Uni Emirat Arab mencapai 4.599.000 jiwa. Negara ini telah mengalami perubahan dari negara kecil yang terletak di gurun berubah menjadi negara modern dengan taraf kehidupan yang lebih baik dan modern dengan PDB pada tahun 2008 sebesar US$ 261.348.000.000. Perdagangan
merupakan
salah
satu
kegiatan
untuk
meningkatkan perekonomian suatu negara. Pada Gambar 5.19 dapat terlihat neraca perdagangan hortikultura Uni Emirat Arab pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Hampir semua komoditi yang diteliti dalam penelitian ini memiliki defisit
78
neraca perdagangan kecuali pada komoditi jamur, cendawan tanah, pisang, nanas, jahe, temulawak, jambu biji, mangga dan manggis pada tahun 2001 dan 2009 yang memiliki neraca perdagangan yang balance antara ekpor dengan impornya. Defisit neraca perdagangan terbesar terjadi pada tahun 2005 pada komoditi jahe.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.19 Neraca Perdagangan Hortikultura Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 Perkembangan nilai ekspor hortikultura Indonesia di Pasar Uni Emirat Arab tahun 2000-2010 berfluktuasi dengan peningkatan terbesar yaitu pada tahun 2010 dan nilai ekspor terbesarnya yaitu pada komoditi temulawak dan temulawak merupakan komoditi yang mempunyai nilai ekspor terbesar di Pasar Sudi Arabia bila dibandingkan dengan komoditi lainnya. Perkembangan nilai ekspor tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.20.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.20 Perkembangan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia di Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2000-2010
79
5.1.10 Pasar dunia Dunia terdiri dari beberapa benua yang dihuni oleh sejumlah negara yaitu Benua Afrika, Amerika, Antartika, Asia, Eropa dan Australia. Benua yang terbesar yaitu benua Asia dengan jumlah populasi terpadat di dunia. Hampir seluruh negara di dunia melakukan kegiatan pedagangan seperti ekspor dan impor untuk memenuhi kebutuhannya. Hortikultura menjadi salah satu komoditas yang menjadi subjek dari aktivitas perdagangan tersebut. Mulai meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat membuat permintaan akan sayur-sayuran , tanaman obat dan buah-buahan baik itu untuk konsumsi domestik ataupun ekspor membuat komoditas ini mempunyai peluang pasar yang besar. Selain itu tanaman hias juga menjadi salah sau aspek pelengkap dari keindahan estetika yang menjadi salah satu hal yang dibutuhkan bagi kesenangan rohani para konsumennya.
Sumber: UN Comtrade, 2011
Gambar 5.21 Perkembangan Nilai Impor Hortikultura Dunia Tahun 20002010 Pada Gambar 5.21 terlihat bahwa perkembangan nilai impor hortikultura mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3,65 persen. Ini menandakan bahwa impor komoditas hortikultura mengalami perkembangan yang positif dan tingginya permintaan konsumen akan produk tersebut sehingga impor hortikultura dunia pun terus mengalami pertumbuhan walaupun pada tahun 2009 dan 2010 pertumbuhannya negatif atau mengalami penurunan.
80
Sumber: UN Comtrade. 2011
Gambar 5.22 Perbandingan Nilai Ekspor Hortikultura Indonesia dan Dunia Tahun 2000-2010 Perkembangan nilai impor hortikultura yang semakin meningkat membuat peluang bagi Indonesia untuk masuk ke dalam pasar tersebut dan menjadi salah satu eksportir terbesar di dunia. Namun ternyata dibalik nilai ekspor Indonesia yang cenderung meningkat, Indonesia masih berkontribusi sangat kecil di dunia tidak seperti negara eksportir lainnya. Rata-rata kontribusi ekspor Indonesia selama satu dekade terakhir yaitu sebesar 0,21 persen dari total ekspor hortikultura dunia.
5.2
Negara-Negara Pesaing Utama Ekspor Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia Tidak hanya Indonesia yang mengekspor produk hortikultura ke berbagai
negara tujuan ekspor, karena terdapat negara-negara lain yang juga menjadi negara eksportir hortikultura dan menjadi pesaing bagi Indonesia. Ini dapat menjadi tantangan dan ancaman tersendiri bagi Indonesia. Negara-negara pesaing utama tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.1.
81
Tabel 5.1 Negara-Negara Pesaing Utama Ekspor Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komoditi Bunga Potong Kubis Jamur Cendawan Tanah Pisang Nanas Jambu Biji, Mangga da Manggis Jahe Temulawak
Pesaing 1 Belanda Amerika Serikat Cina Perancis Filipina Filipina Thailand
Negara Pesaing 2 Thailand Cina Belanda Italia Ekuador Costa Rica India
Pesaing 3 Kolombia Malaysia Kanada Cina Belgia Belgia Filipina
Cina India
Thailand Cina
Brazil Singapura
Dari Tabel 5.1 maka yang menjadi pesaing utama ekspor hortikultura Indonesia yaitu Cina, Thailand dan Filipina. Cina berhasil menjadi pesaing utama Indonesia karena berhasil menguasai dan mengalahkan Indonesia pada beberapa komoditi seperti kubis, jamur, cendawan tanah, jahe dan temulawak di sepuluh negara tujuan ekspor dan dunia. Cina merupakan produsen terbesar untuk beberapa komoditi tertentu di dunia. Seperti pada komoditi kubis, jamur dan cendawan tanah Cina merupakan produsen terbesar di dunia menurut data FAO pada tahun 2000-2008. Sedangkan untuk komoditi jahe, Cina termasuk ke dalam dua besar negara penghasil jahe terbesar di dunia bersama dengan India. Tetapi Cina hanya berhasil unggul dari India pada tahun 2001 dan 2002, tahun 2002-2008 India menjadi produsen terbesar jahe di dunia menuut data FAO. Sedangkan bagi komoditi temulawak, Cina merupakan salah satu negara yang membudidayakan komoditi ini selain India. Cina bersaing dengan India untuk merebut pangsa pasar temulawak karena India berhasil menguasai semua pasar yang dijadikan negara tujuan ekspor dalam penelitian ini. Selain
itu, Cina
merupakan salah satu negara yang berhasil meningkatkan sektor pertaniannya. Terbukti pada tahun 1965-1963 Cina pernah mengalami masa sulit akibat kelaparan, dimana hampir 27.000.000 jiwa penduduknya meninggal akibat kelaparan. Namun Cina berhasil membangun sektor pertaniannya, salah satunya yaitu dengan mendirikan Agriculture Bank of China. Bank tersebut khusus
82
diperuntukkan untuk membantu modal petani dan pada tahun 2005 Cina mampu bangkit dengan keluar dari permasalahan tersebut. Dengan mensejahterahkan petani dalam pembangunan yang berbasis pertanian maka swasembada, kemandirian, ketahanan pangan nasional dapat tercapai. Thailand juga berhasil menjadi pesaing utama Indonesia, Thailand termasuk salah satu negara eksportir hortikultura terbesar di ASEAN. Transformasi sosial yang terjadi di negara ini didukung dengan infrastruktur yang memadai sehingga sektor pertanian menjadi lebih efisien. Selain itu didukung juga oleh mekanisasi pertanian untuk mengatasi biaya buruh tani yang semakin mahal, sekaligus meningkatkan efisieni waktu dan biaya, serta kemitraan yang berjalan dengan baik. Pemerintah Thailand sangat mendukung pembangunan di bidang pertanian, salah satunya yaitu dengan mengharuskan petaninya menggunakan bibit unggul bermutu tinggi agar dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang bagus dan dapat bersaing dengan negara-negara eksportir lainnya. Sehingga Thailand mampu membangun sektor pertaniannya dan mampu menyebut diri mereka dengan sebutan Kitchen of The World atau dapur dunia. Thailand mampu menjadi pesaing utama Indonesia pada komoditi bunga potong, jahe, Jambu Biji, Mangga da Manggis. Menurut data FAO pada tahun 2000-2008 Thailand merupakan negara ketiga terbesar di dunia dalam produksi jambu biji, mangga dan manggis hanya pada tahun 2006 Thailand berada di urutan keempat. Dahulu kala, Thailand sempat berguru pertanian ke Indoesia sehingga banyak tanaman khas Indonesia yang berhasil dibudidayakan di Thailand dan membanjiri pasar Indonesia dan mengalahkan Indonesia di pasar internasional. Thailand merupakan benchmark Indonesia karena Thailand dan Indonesia memiliki kesamaan iklim dengan karakteristik yang tidak jauh berbeda. Filipina juga mampu menjadi pesaing utama Indonesia dalam ekspor hortikultura ke sepuluh negara tujuan ekspor utama dan dunia. Sama seperti Thailand, Filipina juga merupakan benchmark Indonesia sehingga Indonesia perlu banyak belajar dari negara-negara tersebut. Filipina mampu menjadi pesaing utama Indonesia pada komoditi pisang, nanas, jambu biji, mangga dan manggis. Buah-buahan memang menjadi salah satu komoditas ekspor utama Filipina. Filipina termasuk
83
ke dalam lima negara produsen pisang terbesar di dunia, dengan budidaya yang baik serta penggunaan teknologi yang tepat guna menjadikan Filipina mampu menguasai ekspor beberapa negara tujuan utama. Menurut data FAO, dari tahun 2000 hingga 2008 Filipina merupakan negara penghasil nanas ketiga terbesar di dunia, kecuali pada tahun 2007 Filipina sempat menduduki urutan keempat setelah posisinya direbut oleh Indonesia. Meskipun Indonesia selalu masuk ke dalam sepuluh besar penghasil nanas terbesar di dunia, bahkan pernah menempati posisi ketiga terbesar tetapi nilai ekspor Indonesia masih sangat kecil. Sedangkan untuk komodit Jambu Biji, Mangga da Manggis Filipina harus bersaing degan Thailand dan India. Filipina merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Pemerintah Filipina mendukung kuat pembangunan sektor pertanian, salah satunya yaitu dengan anggaran yang tak terbatas untuk riset bioteknologi pertanian sehingga mampu menangkal ledakan konsumsi pangan di masa mendatang dengan memanfaatkan teknologi tersebut.
5.3 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD) Indonesia ke Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Pasar Dunia 5.3.1Hongkong Keunggulan komparatif produk hortikultura Indonesia di Pasar Hongkong berdasarkan hasil estimasi RCA ditunjukkan pada Tabel 5.2. Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa hanya beberapa komoditi yang memiliki keunggulan komparatif atau memiliki daya saing yang tinggi di Pasar Hongkong, yaitu kubis pada tahun 2001 dan 2009, jambu biji, mangga, manggis, jahe pada tahun 2001 dan 2005 dan temulawak pada tahun 2005 dan 2009. Beberapa komoditi hortikultura seperti jamur, cendawan tanah, nanas dan temulawak tidak dapat diestimasi pertumbuhan rata-ratanya karena nilai ekspor yang tidak kontinyu di Pasar Hongkong, sedangkan bunga potong, kubis pada tahun 2005 dan pisang memiliki nilai RCA yang kurang dari satu atau memiliki daya saing yang lemah di
84
Pasar Hongkong. Pisang memiliki persentase pertumbuhan rata-rata tertinggi karena kinerja eskpor pisang meningkat setiap tahunnya secara signifikan. Tabel 5.2 Hasil Estimasi RCA Hortikuktura Indonesia di Pasar Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 Nilai RCA
Komoditi 2001 Bunga Potong 0,59895 Kubis 3,20032 Pisang 0,00904 Nanas 0,00000 Jambu Biji, Mangga, dan 8,29433 Manggis Jahe 1,72168 Temulawak 0,00000 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
2005
2009
0,52306 0,26436 0,00213 0,00000
0,05686 1,06604 0,18365 0,00290
40,82557
18,73971
169,06
2,03493 16,74450
0,00000 50,50277
-40,90 —
-50,90 105,76
4217,72 —
Tabel 5.3 menunjukan hasil estimasi EPD berdasarkan keunggulan kompetitif produk hortikultura Indonesia di Pasar Hongkong. Ada tiga produk yang tidak dapat diestimasi yaitu nanas, jahe dan temulawak karena ekspor Indonesia akan komoditi tersebut tidak kontinyu ke Pasar Hongkong. Posisi daya saing kuadran ―Retreat‖ pada komoditi bunga potong dapat diartikan bahwa komoditi bunga potong merupakan komoditi yang tidak dinamis dan tidak kompetitif di Pasar Hongkong, dan ini dapat diartikan pula bahwa komoditi bunga potong Indonesia sudah tidak diinginkan lagi di Pasar Hongkong. Sedangkan posisi daya saing kuadran ―Falling Star‖ pada komoditi kubis, pisang, jambu biji, mangga dan manggis dapat diartikan bahwa meskipun komoditas tersebut di Pasar Hongkong memiliki pertumbuhan pangsa pasar ekspor terbesar, tetapi permintaan dunia akan komoditas tersebut menurun, dan kondisi ini tidak menguntungkan bagi Indonesia karena komoditi tersebut merupakan komoditas yang tidak dinamis di Pasar Hongkong, tetapi komoditas tersebut memiliki keunggulan kompetitif di Pasar Hongkong karena berhasil merebut pangsa pasar produk di Pasar Hongkong meskipun pangsa pasar ekspornya menurun.
85
Tabel 5.3 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%)
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%)
Posisi Daya saing
-9,63 -9,63 -9,63 —
Retreat Falling Star Falling Star —
-9,63 — —
Falling Star — —
Bunga Potong -65,38 Kubis 136,32 Pisang 4897,17 — Nanas Jambu Biji, Mangga da Manggis 86,25 — Jahe — Temulawak Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih terperinci perbandingan nilai RCA Indonesia dengan negara-negara pesaingnya di Pasar Hongkong tahun 2001, 2005 dan 2009. 1. Bunga Potong Berdasarkan hasil analisis keunggulan komparatif pada komoditi bunga potong Indonesia dengan menggunakan RCA, didapatkan nilai RCA yang kurang dari satu pada semua tahun yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tahun 2001, 2005 dan 2009. Hal tersebut menunjukan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibawah rata-rata Hongkong sebagai negara tujuannya atau rendahnya daya saing bunga potong Indonesia di Pasar Hongkong, dengan rata-rata nilai RCA sebesar 0,39296. Hasil estimasi RCA tersebut dapat diihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
Pesaing 1 Negara Nilai RCA
Pesaing 2 Negara Nilai RCA
Thailand
2001
0,59895 Belanda
59,36053 Inggris
5,76125
3,52284
2005
0,52306 Belanda
89,17769 Cina
0,51495
15,39090
2009
0,05686 Belanda
7,83120
2,64746
109,01876 Malaysia
86
Nilai RCA terbesar Indonesia pada tahun 2001 sebesar 0,599 dan terus menurun pada tahun 2005 dan 2009 dengan rata-rata penurunan sebesar 12,67 persen. Hal ini karena semakin menurunnya pangsa ekspor bunga potong Indonesia di dunia. Apabila dibandingkan dengan negara eksportir lainnya nilai RCA Indonesia masih jauh dibawah Thailand, Belanda, Malaysia, dan Inggris. Cina yang menjadi pesaing kedua Indonesia pada tahun 2005 memiliki nilai RCA yang tidak berbeda jauh dengan Indonesia yaitu sebesar 0,51495. Belanda memiliki nilai RCA terbesar hingga mencapai angka 109,01876 pada tahun 2009. Keempat negara pesaing tersebut kecuali Cina memiliki keunggulan komparatif dan daya saing yang kuat pada komoditi bunga potong di Pasar Hongkong. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa bunga potong Indonesia memiliki daya saing yang lemah berdasarkan keunggulan komparatifnya, namun memiliki keunggulan kompetitif di Pasar Hongkong meskipun bukan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Hongkong. 2. Kubis Berdasarkan analisis keunggulan komparatif menggunakan RCA pada komoditas kubis, didapat hasil estimasi RCA sebesar 3,20032 pada tahun 2001 dan merupakan RCA terbesar Indonesia. Kemudian turun pada tahun 2005 menjadi 0,26436 dan naik kembali pada tahun 2009 menjadi 1,06604. Meskipun nilai RCA kubis Indonesia cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 dan 2009 Indonesia memiliki daya saing yang kuat di Pasar Hongkon. Hanya pada tahun 2005 Indonesia mengalami penurunan nilai RCA sehingga daya saingnya lemah. Apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya, nilai rata-rata RCA Indonesia berada diposisi kedua setelah pesaing satu, kemudian disusul oleh pesaing kedua dan Thailand. Nilai RCA pesaing satu berada diatas satu, ini berarti bahwa pesaing satu memiliki daya saing yang kuat di Pasar Hongkong. Begitu pula dengan pesaing kedua, meskipun nilai RCA nya tidak sebesar pesaing satu tetapi pesaing kedua mempunyai keunggulan komparatif pada komoditi ini, hanya pada tahun 2009 nilai RCA pesaing dua turun hingga kurang dari satu sehingga tidak memiliki daya saing yang kuat, sama seperti Thailand yang memiliki nilai RCA kurang dari satu pada semua tahun yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
87
tahun 2001, 2005 dan 2009. Hasil estimasi RCA kubis Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Negara Nilai RCA Amerika 3,20032 5,94475 Serikat
Indonesia
2001 2005
0,26436 Cina
2,19630
2009
1,06604 Cina
2,13446
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Cina Amerika Serikat Amerika Serikat
Thailand
1,26176
0,04310
1,60783
0,00845
0,58762
0,02232
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa meskipun Indonesia memiliki daya saing yang kuat kecuali pada tahun 2005 menurut keunggulan komparatif. Tetapi menurut keunggulan kompetitif, pertumbuhan kubis Indonesia di Pasar Hongkong memiliki keunggulan kompetitif namun tidak dinamis karena menurunnya permintaan Pasar Hongkong terhadap kubis Indonesia. 3. Pisang Berdasarkan analisis RCA pada komoditi pisang pada tahun 2001, 2005 dan 2009 didapat hasil RCA Indonesia kurang dari satu. Dengan kata lain komoditi pisang Indonesia memiliki keungulan komparatif dibawah rata-rata Hongkong dan berdaya saing lemah di Pasar Hongkong. Perkembangan nilai RCA Indonesia cenderung berfluktuasi dan masih berada dibawah negara-negara pesaingnya seperti Thailand, Filipina, negara pesaing satu dan dua. Filipina memiliki keunggulan komparatif paling tinggi pada komoditi pisang dengan ratarata pertumbuhan sebesar 58,87 persen dengan nilai RCA tertinggi pada tahun 2009 sebesar 100,40679 (Tabel 5.6). Peningkatan nilai RCA Filipina ini terjadi karena meningkatnya pangsa pasar pisang Indonesia di dunia dengan rata-rata peningkatan sebesar 53,91 persen. Selanjutnya, disusul oleh pesaing satu dengan nilai RCA tertinggi pada tahun 2009 sebesar 11,15461 oleh Sri Langka. Pada tahun 2001 dan 2005 pesaing satu yang dikuasai oleh Cina tidak memiliki daya
88
saing yang kuat pada komoditi pisang tersebut. Pada posisi ketiga diduduki oleh pesaing kedua yang hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2005 sebesar 2,77232 oleh Vietnam. Kemudian diikuti oleh Thailand yang juga memiliki daya saing lemah dan yang terakhir ditempati oleh Indonesai dengan Nilai RCA terkecil. Walaupun pisang Indonesia berdaya saing lemah menurut keunggulan komparatifnya tetapi berdasarkan keunggulan kompetitifnya pisang Indonesia berhasil merebut pangsa pasar ekspor di Pasar Hongkong meskipun pangsa pasar produknya menurun dan bukan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Hongkong. Tabel 5.6 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang di Pasar Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Pesaing 1 Nilai Negara RCA 0,00904 Cina 0,68875 0,00213 Cina 0,59461 Sri 0,18365 11,15461 Langka
Tahun
Indonesia
2001 2005 2009
Pesaing 2 Thailand Nilai Negara RCA Malaysia 0,25963 0,06272 Vietnam 2,77232 0,09712 India
0,11839
0,09366
Filipina 40,11322 57,94145 100,40679
4. Nanas Hasil analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA didapat bahwa hasil RCA komoditi nanas Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 kurang dari satu. Dengan kata lain bahwa nanas Indonesai mempunyai daya saing yang lemah di Pasar Hongkong. Thailand sebagai negara pesaing juga mempunyai nilai RCA yang kurang dari satu untuk semua tahun yang digunakan dalam penelitian ini. Sehingga nanas Thailand tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Hongkong.
Hasil estimasi RCA nanas Indonesia dan negara
pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.7.
89
Tabel 5.7 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas di Pasar Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Thailand Nilai Nilai Negara RCA Negara RCA 0,00000 Cina 0,43905 Mauritus 527,44394 0,37267 0,00000 Cina 1,01425 Taiwan 0,47687 0,25300 Amerika 0,00290 Taiwan 1,37999 0,65965 0,09935 serikat
Indonesia
Filipina 87,84970 45,81055 97,92208
Pada tahun 2001 pesaing satu yaitu Cina juga tidak memiliki daya saing yang kuat, hanya pada tahun 2005 dan 2009 memiliki daya saing kuat yang kuat. Sedangkan pesaing kedua yaitu Mauritus pada tahun 2001 berhasil memperoleh RCA tertingi dengan nilai sebesar 527,44394 kemudian pada tahun 2005 dan 2009 pesaing kedua yang dikuasai oleh negara Taiwan dan Amerika Serikat tidak memiliki daya saing yang kuat karena nilai RCA yang kurang dari satu. Sementara daya saing yang kuat diperoleh oleh Filipina dengan nilai RCA yang terbesar walaupun pada tahun 2001 nilai RCA terbesar dikuasai oleh Mauritus sebagai pesaing kedua, namun Filipina berhasil menggungguli negara-negara lainnya pada tahun 2005 dan 2009 dengan rata-rata nilai RCA sebesar 77,19411. Fiipina merupakan pesaing yang memiliki daya saing yang kuat terhadap komoditi nanas di Pasar Hongkong pada tahun 2001, 2005 dan 2009 sedangkan nilai RCA Indonesia adalah nilai RCA terkecil bila dibandingkan dengan Thailand, pesaing satu, Filipina, dan pesaing kedua di Pasar Hongkong. 5. Jambu Biji, Mangga da Manggis Meningkatnya nilai ekspor Jambu Biji, Mangga da Manggis, maka berpengaruh terhadap nilai RCA dari komoditi tersebut. Berdasarkan hasil dari estimasi RCA pada tahun 2001, 2005 dan 2009 didapat nilai RCA yang lebih dari satu, dengan kata lain bahwa daya saing Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Hongkong. Nilai RCA terbesar di Pasar Hongkong yaitu Filipina dengan rata-rata nilai RCA sebesar 42,69243, kemudian disusul oleh Indonesia sebesar 22,61987, lalu pesaing satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009 yaitu Australia dengan rata-rata nilai ekspor
90
sebesar 12,73626, Thailand sebesar 3,76837 dan terakhir pesaing kedua dengan nilai rata-rata RCA sebesar 0,267. Hanya pesaing kedua yang tidak memiliki daya saing yang kuat disetiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.8 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga, dan Manggis di Pasar Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001
Indonesia
Pesaing 1 Nilai Negara RCA
8,29433 Australia
Pesaing 2 Nilai Negara RCA
5,21924 Taiwan
Thailand
Filipina
0,23991
2,98810 70,26613
2005
40,82557 Australia 15,28182 Cina
0,16326
3,12672 37,80145
2009
18,73971 Australia 17,70772 Taiwan
0,39644
5,19030 20,00972
Berdasarkan
pemaparan
sebelumnya,
dapat
disimpulkan
bahwa
meskipun komoditi ini memiliki daya saing yang kuat di Pasar Hongkong dengan nilai RCA yang lebih dari satu dan memiliki keunggulan kompetitif dengan berhasil merebut pangsa pasar ekspor Hongkong, tetapi komoditi ini tidak dinamis di Pasar Hongkong. 6. Jahe Berdasarkan keunggulan komparatifnya, komoditi jahe Indonesia pada tahun 2001 dan 2005 memiliki daya saing yang kuat di Pasar Hongkong dengan pertumbuhan sebesar 18,19 persen, dan pada tahun 2009 Indonesia tidak mengekspor jahe ke Pasar Hongkong. Salah satu kendala yang ditemui eksportir adalah tidak mencukupinya pasokan jahe dari daerah-daerah sentra produksi jahe untuk dapat memenuhi permintaan pesanan yang diterima, selain itu adanya pesaing-pesaing lain yang mengekspor jahe ke Pasar Hongkong selain Indonesia. Nilai RCA Indonesia mampu berada diatas pesaing satu yaitu Cina yang tidak memiliki keunggulan komparatif dan juga pesaing kedua yang hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2009 sebesar 1,89612 (Tabel 5.9). Nilai RCA terbesar dikuasai oleh Thailand dengan rata-rata nilai RCA sebesar 5,48170.
91
Meskipun nilai ekspor Cina merupakan yang terbesar di Pasar Hongkong, tetapi komoditi jahe Cina tidak memiliki daya saing yang kuat karena nilai ekspor dunia ke Hongkong semakin meningkat dan lebih besar dibandingkan nilai ekspor Cina ke Hongkong. Dengan memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001 dan 2005 seharusnya Indonesia lebih mampu meningkatkan volume ekspornya dan menguasai pasar jahe Hongkong. Tabel 5.9 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Pesaing 1 Negara Nilai RCA 1,72168 Cina 0,00348 2,03493 Cina 0,00205 0,00000 Cina 0,00215
Indonesia
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Taiwan 0,00008 Oman 0,26543 Ethiopia 1,89612
Thailand 8,51959 3,12955 4,79595
7. Temulawak Berdasarkan hasil estimasi RCA, pada tahun 2001, 2005 dan 2009 nilai RCA Indonesia semakin meningkat dengan rata-rata petumbuhan sebesar 100,80 persen. Temulawak Indonesia mempunyai nilai RCA lebih dari satu, dengan kata lain komoditi ini mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Hongkong, hanya pada tahun 2001 nilai RCA temulawak Indonesia kurang dari satu karena pada tahun tersebut Indonesia tidak mengekspor temulawak ke Pasar Hongkong. Apabila dibandingkan dengan negara pesaing lainnya, hanya Indonesia yang memiliki daya saing yang kuat di Pasar Hongkong. Ini merupakan sebuah prestasi yang harus dipertahankan bagi Indonesia karena meskipun nilai ekspor Indonesia di Pasar Hongkong masih dibawah pesaing satu dan pesaing keduanya, namun daya saing Indonesia di Pasar Hongkong justru mampu unggul dibandingkan Thailand. Hasil estimasi RCA tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.10.
92
Tabel 5.10 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak di Pasar Hongkong Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Pesaing 1 Negara Nilai RCA 0,00000 Cina 0,00199 16,74450 India 0,03243 50,50277 India 0,02782
Indonesia
Pesaing 2 Negara Nilai RCA India 0,02943 Cina 0,02719 Cina 0,00380
Thailand 0,44209 0,14793 0,09227
5.3.2 Belanda Hasil analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA pada produk hortikultura Indonesia di Pasar Belanda dapat dilihat pada Tabel 5.11. Dari Tabel 5.11 dapat diketahui bahwa komoditi yang mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Belanda hanya temulawak pada tahun 2005 dan 2009, komoditi hortukultura lainnya tidak memiliki daya saing yang kuat karena nilai RCA yang kurang dari satu. Selain itu, terdapat enam komoditi yaitu kubis, jamur, cendawan tanah, pisang, nanas, dan temulawak yang tidak bisa diestimasi pertumbuhan rata-ratanya karena Indonesia tidak kontinyu mengekspor komoditas tersebut ke Pasar Belanda. Dilihat dari pertumbuhan rata-ratanya, komoditi temulawak juga mempunyai persentase pertumbuhan rata-rata terbesar di Pasar Belanda apabila dibandingkan dengan komoditi-komoditi lainnya.
93
Tabel 5.11 Hasil Estimasi RCA Hortikuktura Indonesia di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 Nilai RCA
Komoditi 2001 Bunga Potong 0,03092 Kubis 0,00082 Jamur 0,21369 Cendawan Tanah 0,00000 Pisang 0,00283 Nanas 0,22884 Jambu Biji, Mangga da Manggis 0,13120 Jahe 0,03747 Temulawak 0,00004 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
2005
2009
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
0,00777 0,00000 0,88494 0,00000 0,00000 0,00000 0,12994
0,03003 0,00000 0,00000 0,07347 0,00000 0,00000 0,02240
105,82 — — — — — -41,86
0,41167 2,35157
0,00000 449,32 8,48168 3217495,80
Tabel 5.12 menunjukan hasil estimasi produk hortikultura Indonesia di Pasar Belanda, dimana terdapat lima komoditi yang tidak bisa diestimasi dengan menggunakan metode ini karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia tidak kontinyu dalam mengekspor komoditi-komoditi tersebut. Komoditi buga potong, jahe, dan temulawak mempunyai posisi daya saing pada kuadran ―Falling Star‖, karena meskipun pangsa pasar ekspor komoditas Indonesia memiliki pertumbuhan yang positif, permintaan Pasar Belanda untuk komodita tersebut pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menurun. Sehingga komoditas ini menjadi tidak dinamis di Pasar Belanda. Sedangkan posisi daya saing ―Retreat‖ pada komoditi Jambu Biji, Mangga da Manggis dapat diartukan bahwa pertumbuhan pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar produknya menurun. Kondisi ini merupakan kondisi yang paling tidak diinginkan, karena komoditi ini sudah tidak diinginkan lagi di Pasar Belanda. Komoditi ini bisa diinginkan kembali, apabila pergerakannya jauh dari stagnan dan bergerak mendekati peningkatan pada komoditi dinamis.
94
Tabel 5.12 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%) 122,64 — — — — —
Bunga Potong Kubis Jamur Cendawan Tanah Pisang Nanas Jambu Biji, Mangga da -48,18 Manggis Jahe 369,99 Temulawak 2752868,91 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%) -2,40 — — — — —
Posisi Daya saing Falling Star — — — — —
-2,40
Retreat
-2,40 -2,40
Falling Star Falling Star
Berikut ini akan dijelaskan mengenai perbandingan nilai RCA Indonesia dengan negara-negara pesaing lainnya di Pasar Belanda tahun 2001, 2005 dan 2009. 1. Bunga Potong Berdasarkan hasil estimasi RCA pada komoditi bunga potong Indonesia, didapat nilai RCA yang kurang dari satu pada semua tahun yang digunakan dalam penelitian ini, hal tersebut menandakan bahwa komoditi ini tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Hongkong. Tidak hanya Indonesia yang memiliki daya saing yang rendah di Pasar Belanda, Thailand pun mengalami hal yang serupa, nilai RCA komoditi bunga potong Thailand memiliki nilai yang kurang dari satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Hasil estimasi RCA Indonesia dengan negara pesaingnya pada komoditi bunga potong dapat dilihat pada Tabel 5.13. Tabel 5.13 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,03092 Israel 99,29644 Kenya 606,25672 0,00777 Kenya 565,85178 Ekuador 199,72258 0,03003 Kenya 346,44723 Zimbabwe 493,35193
Indonesia
Thailand 0,60230 0,58689 0,42255
95
Pesaing kesatu dan kedua Indonesia memiliki daya saing yang kuat di Pasar Belanda, hal ini terlihat dari nilai RCA yang lebih dari satu. Nilai RCA terbesar dimiliki oleh pesaing kedua Indonesia yaitu pada tahun 2001 dengan nilai RCA mencapai 606,25672, sedangkan tahun 2005 nilai RCA pesaing kedua Indonesia berhasil dikalahkan oleh pesaing kesatu Indonesia. Indonesia memiliki daya saing yang rendah secara komparatif, namun memiliki keunggulan kompetitif meskipun komoditi ini tidak dinamis di Pasar Belanda. 2. Kubis Berdasarkan hasil estimasi RCA terhadap kubis Indonesia, pada tahun 2001 kubis Indonesia memiliki daya saing yang rendah di Pasar Belanda sedangkan pada tahun 2005 dan 2009 Indonesia tidak mengekspor komoditi ini sehingga tidak memiliki daya saing di Pasar Belanda. Begitu juga dengan Thailand sebagai negara pesaingnya yang juga tidak melakukan kegiatan ekspor kubis pada tahun 2001, 2005, dan 2009 ke Pasar Belanda. Hanya pesaing satu dan dua Indonesia yang memiliki daya saing kuat di Pasar Belanda. Nilai RCA tertinggi diperoleh oleh pesing kesatu Indonesia, dengan nilai RCA tertinggi pada tahun 2005 sebesar 36,17536. Pesaing satu memiliki daya saing yang paling kuat di Pasar Belanda, kemudian disusul oleh pesaing kedua Indonesia yaitu Perancsi, kemudian Indonesia dan terakhir adalah Thailand. Hasil estimasi RCA kubis Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.14. Tabel 5.14 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA Spanyol 0,00082 24,22802 Perancis 4,01006 0,00000 Spanyol 36,17536 Perancis 3,91141 0,00000 Spanyol 34,98054 Perancis 5,54347
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,00000 0,00000 0,00000
3. Jamur Berdasarkan hasil estimasi RCA pada jamur Indonesia tahun 2001, 2005 dan 2009, didapat hasil nilai RCA yang kurang dari satu, dengan kata lain bahwa jamur Indonesaia memiliki daya saing yang lemah di Pasar Belanda bahkan pada
96
tahun 2009 Indonesia tidak memiliki daya saing karena pada tahun tersebut Indonesia tidak mengekspor jamur ke Pasar Belanda sehingga nilai RCA jamur Indonesia bernilai nol. Tetapi apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya, Indonesia masih unggul dibandingkan Thailand meskipun sama-sama memiliki daya saing yang rendah. Hanya pesaing satu dan pesaing kedua yang mempunyai nilai RCA lebih dari satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Daya saing jamur paling kuat yaitu pada pesaing kesatu Belgia dan Polandia. Nilai RCA terbesar pada tahun 2005 sebesar 47,71241 oleh Polandia sebagai pesaing kesatu di Pasar Belanda seperti dapat dilihat pada Tabel 5.15. Tabel 5.15 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,21369 0,88494 0,00000
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA Belgia 4,96610 Jerman 1,47304 Polandia 47,71241 Belgia 2,04633 Polandia 42,68368 Belgia 4,00320
Thailand 0,00048 0,00231 0,00000
4. Cendawan Tanah Hasil analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA yang dilakukan pada cendawan tanah Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menujukan nilai RCA kurang dari satu atau berdaya saing lemah pada tahun 2009, sedangkan pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia tidak mengekspor cendawan tanah ke Pasar Belanda sehingga nilai RCA komoditi ini nol atau tidak memiliki daya saing di Pasar Belanda (Tabel 5.16). Hal yang sama pun terjadi pada Thailand, tetapi pada tahun 2009 Thailand memiliki nilai RCA lebih dari satu, dengan kata lain memiliki daya saing yang kuat di Pasar Belanda. Diantara semua negara eksportir yang bersaing di Pasar Belanda, pesaing satu memiliki nilai RCA terbesar kemudian diikuti oleh pesaing kedua, lalu Thailand dan terakhir Indonesia dengan nilai RCA terkecil. Jadi, yang memiliki daya saing kuat pada komoditi cendawan tanah di Pasar Hongkong hanya pesaing satu, pesaing dua, dan Thailand pada tahun 2009.
97
Tabel 5.16 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Cendawan Tanah di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,00000 Italia 22,80682 Perancis 2,37576 0,00000 Italia 32,88784 Belgia 1,26558 Korea 0,07347 Cina 2,67793 17,64176 Selatan
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,00000 0,00000 2,68470
5. Pisang Berdasarkan hasil estimasi RCA pisang Indonesia pada tahun 2005 dan 2009 Indonesia dan Filipina tidak memiliki daya saing karena pada tahun tersebut Indonesia dan Filipina tidak mengekspor pisang ke Pasar Belanda. Begitu juga dengan Thailand tahun 2001 dan 2009. Sedangkan pada tahun 2001 nilai RCA Indonesia berdaya saing lemah sama seperti Thailand tahun 2005 dan Filipina tahun 2009. Pesaing kesatu pada tahun 2001, 2005 dan 2009 yaitu Belgia memiliki daya saing yang kuat dengan rata-rata nilai RCA sebesar 6,531 dan nilai RCA terbesar dimiliki oleh Ekuador sebagai pesaing kedua pada tahun 2009 sebesar 168,93854. Sedangkan tahun 2001 dan 2005 pesaing kedua yaitu Jerman memiliki nilai RCA kurang dari satu. Hasil estimasi RCA pisang Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.17. Tabel 5.17 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Nilai Negara RCA 0,00283 Belgia 6,72453 0,00000 Belgia 6,83778 0,00000 Belgia 6,02961
Indonesia
2001 2005 2009
Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Negara RCA Jerman 0,57132 0,00000 0,00000 Jerman 0,83283 0,00104 0,00000 Ekuador 168,93854 0,00004 0,00099
6. Nanas Berdasarkan analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA pada komotidi nanas, didapat hasil RCA yang menunjukan bahwa Indonesia, Thailand dan Filipina mempunyai daya saing yang rendah terhadap
98
komoditi ini di Pasar Belanda. Bahkan pada tahun 2005 dan 2009 di Indonesia, tahun 2005 dan 2009 di Thailand, dan tahun 2005 di Filipina, ketiga negara tersebut tidak memiliki dayasaiang di Pasar Belanda karena pada tahun tersebut di ketiga negara ini tidak mengekspor nanas ke Pasar Belanda. Pesaing kesatu dan kedua Indonesia memiliki nilai RCA lebih dari satu, nilai RCA terbesar yaitu pada tahun 2009 oleh Costa Rica sebesar 351,47847. Belgia sebagai pesaing kesatu pada tahun 2001, 2005 dan 2009 memiliki rata-rata nilai RCA sebesar 4,615 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.19. Tabel 5.19 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA
2001
Pesaing 1 Pesaing 2 Thailand Nilai Nilai Negara RCA Negara RCA 0,22884 Belgia 4,66270 Perancis 5,07214 0,03119
2005
0,00000 Belgia
2009
0,00000 Belgia
Tahun
Indonesia
5,39382 Costa Rica Costa 3,79171 Rica
Filipina 0,01827
169,53203
0,00032
0,00000
351,47847
0,00000
0,00114
7. Jambu Biji, Mangga da Manggis Hasil estimasi RCA untuk komoditi Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009, didapat nilai RCA yang kurang dari satu, dengan kata lain bahwa komoditi ini memiliki daya saing yang rendah di Pasar Belanda. Tidak hanya Indonesia yang memiliki daya saing yang rendah, beberapa negara pesaingnya pun juga memiliki daya saing yang rendah di Pasar Belanda seperti Thailand dan Filipina dengan rata-rata nilai RCA sebesar 0,04728 dan 0,15252. Sedangkan pesaing kesatu pada tahun 2001, 2005 dan 2009 yaitu Brazil serta pesaing kedua memiliki daya saing yang kuat dengan nilai RCA terbesar pada tahun 2009 oleh negara pesaing kedua yaitu Peru. Tabel 5.19 menunjukan hasil estimasi RCA Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia dengan negara pesaingnya di Pasar Belanda.
99
Tabel 5.19 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga da Manggis di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Nilai Negara RCA 0,13120 Brazil 41,82635 0,12994 Brazil 30,34695 0,02240 Brazil 17,36288
Indonesia
Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Negara RCA Perancis 1,68972 0,01758 0,14678 India 20,58854 0,01670 0,00000 Peru 289,91894 0,10756 0,31077
Keunggulan komparatif untuk Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia rendah atau berada dibawah rata-rata Pasar Belanda dan tidak memiliki keunggulan kompetitif serta pergerakannya stagnan di Pasar Belanda. Maka Indonesia harus lebih meningkatkan mutu dan kualitas dari komoditi ini agar komoditi ini dapat lebih bersaing dan bisa merebut pangsa pasar ekspor maupun pangsa pasar produk Pasar Belanda. 8. Jahe Hasil estimasi RCA jahe Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan nilai RCA yang kurang dari satu, yang berarti daya saing jahe Indonesia di Pasar Belanda lemah. Tidak hanya Indonesia yang mempunyai daya saing lemah, Cina dan Brazil sebagai pesaing satu dan pesaing kedua pun memiliki daya saing yang rendah. Hanya Thailand yang memiliki daya saing kuat di Pasar Belanda dengan rata-rata nilai RCA sebesar 18,06602. Nilai RCA terbesar pada tahun 2001 oleh Thailand dengan nilai RCA sebesar 27,36765 dan terus menurun di tahun 2005 dan tahun 2009. Hasil estimasi RCA jahe Indonesia dan pesaingnya di Pasar Belanda dapat dilihat pada Tabel 5.20. Tabel 5.20 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,03747 0,41167 0,00000
Pesaing 1 Negara Nilai RCA Cina 0,00872 Cina 0,00646 Cina 0,00712
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Brazil 0,01806 Brazil 0,01516 Brazil 0,00494
Thailand 27,36765 14,44722 12,38318
100
Jahe Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Belanda berdasarkan keunggulan komparatif, namun komoditi ini mempuyai keunggulan kompetitif karena berhasil merebut pangsa pasar ekspor Belanda meskipun komoditi ini merupakan komoditi yang tidak dinamis. 9. Temulawak Hasil estimasi RCA komoditi temulawak Indonesia pada tahun 2001 kurang dari satu, sehingga temulawak Indonesia memiliki daya saing yang rendah di Pasar Belanda, sedangkan pada tahun 2005 dan 2009 nilai RCA temulawak Indonesia lebih dari satu yaitu dengan pertumbuhan sebesar 260,68 persen membuat temulawak Indonesia memiliki daya saing yang kuat dan menjadi satusatunya negara yang mempunyai daya saing yang kuat pada komoditi temulawak di Pasar Belanda apabila dibandingkan dengan negara-negara pesaingnya yaitu India, Inggris, Belgia, dan Thailand seperti dapat dilihat pada Tabel 5.21. Tabel 5.21 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak di Pasar Belanda Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,00004 2,35157 8,48168
Pesaing 1 Negara Nilai RCA India 0,22381 India 0,12491 India 0,05070
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Inggris 0,00070 Belgia 0,00092 Belgia 0,00100
Thailand 0,00005 0,13542 0,21344
Indonesia berhasil memiliki daya saing yang kuat secara komparatif pada tahun 2005 dan 2009, namun temulawak Indonesia merupakan komoditi yang pergerakannya stagnan. Meskipun tidak dinamis, temulawak Indonesia memiliki keunggulan kompetitif di Pasar Belanda.
5.3.3
Singapura Tabel 5.22 menunjukan hasil estimasi RCA hortikultura Indonesia di
Pasar Singapura, dimana terdapat satu komoditi yang tidak diestimasi pertumbuhan rata-ratanya yaitu cendawan tanah karena ekspor cendawan tanah Indonesia yang tidak kontinyu ke Pasar Singapura sehingga komoditi tersebut tidak dapat diestimasi. Berdasarkan hasil analisis keunggulan komparatif dengan
101
menggunakan metode RCA maka komoditi yang mempunyai daya saing kuat di Pasar Singapura yaitu kubis, cendawan tanah pada tahun 2009, Jambu Biji, Mangga da Manggis tahun 2005 dan 2009, jahe tahun 2001, dan temulawak. Sedangkan komoditi lainnya mempunyai nilai RCA yang kurang dari satu atau dengan kata lain memiliki daya saing yang rendah di Pasar Singapura. Pertumbuhan rata-rata terbesar dimiliki oleh komoditi temulawak dengan jumlah persentase terbesar, ini menunjukan bahwa nilai ekspor komoditi tersebut meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Tabel 5.22 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 Nilai RCA
Komoditi 2001 Bunga Potong 0,64211 Kubis 2,20608 Jamur 0,25282 Cendawan Tanah 0,00000 Pisang 0,04649 Nanas 0,04091 Jambu Biji, Mangga da 0,47735 Manggis Jahe 2,13614 Temulawak 3,47200 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
2005
2009
0,89153 3,85389 0,59807 0,00000 0,06777 0,01953
0,17376 2,83844 0,45947 1,65793 0,01210 0,04829
-20,83 24,17 56,69 — -18,19 47,48
1,03388
1,38866
75,45
0,41758 4,81235
0,67415 24,92788
-9,50 228,30
Tabel 5.23 merupakan hasil estimasi EPD hortikultura Indonesia di Pasar Singapura, dimana dari hasil estimasi tersebut didapat satu komoditi yang tidak bisa diestimasi dengan menggunakan EPD karena seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa ekspor cendawan tanah ke Pasar Singapura yang tidak kontinyu sehingga komoditi ini tidak bisa diestimasi. Untuk komoditi bunga potong, pisang dan jahe berada pada posisi daya saing kuadran ―Lost Opportunity‖ dimana pertumbuhan pangsa pasar ekspornya bernilai negatif sedangkan pertumbuhan pangsa pasar produknya bernilai positif. Kondisi ini dapat diartikan bahwa Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar pada produk
102
yang dinamis, karena Indonesia kehilangan kesempatan pangsa ekspor untuk komoditi yang dinamis di Pasar Singapura. Tabel 5.23 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas Bunga Potong Kubis Jamur Cendawan Tanah Pisang Nanas Jambu Biji, Mangga da Manggis Jahe Temulawak
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%) -27,60 18,86 48,00 —
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%) 0,72 0,72 0,72 —
-25,47 60,81
0,72 0,72
Lost Opportunity Rising Star
71,66
0,72
Rising Star
-0,13 253,98
0,72 0,72
Lost Opportunity Rising Star
Posisi Daya saing Lost Opportunity Rising Star Rising Star —
Penjelasan mengenai perbandingan nilai RCA Indonesia dengan negara pesaingnya pada tahun 2001, 2005 dan 2009 akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Bunga Potong Berdasarkan analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan RCA untuk komoditi bunga potong Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 didapat nilai RCA yang kurang dari satu dan ini menandakan bahwa bunga potong Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Singapura dengan ratarata nilai RCA sebesar 0,56. Bunga potong Indonesia yang diekspor ke Singapura sepeti krisan, anthurium, anggrek, sedap malam, dan masih banyak lagi jenisnya. Apabila dibandingkan dengan negara-negara pesaingnya, Indonesia menempati berada di urutan bawah dengan nilai RCA yang terkecil dan hanya Indonesia yang mempuyai daya saing lemah di Pasar Singapura. Nilai RCA terbesar ditempati oleh pesaing dua pada tahun 2001 yaitu Belanda sebesar 18,151 kemudian disusul oleh pesaing kesatu, Thailand dan Indonesia seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.24.
103
Tabel 5.24 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Pesaing 1 Nilai Negara RCA 0,64211 Malaysia 3,83024 0,89153 Malaysia 4,85662 0,17376 Malaysia 4,84958
Tahun
Indonesia
2001 2005 2009
Pesaing 2 Negara Belanda Belanda Cina
Nilai RCA 18,15121 7,62095 1,19367
Thailand 1,24320 2,63553 2,84981
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka komoditi bunga potong Indonesia di Pasar Singapura tidak memiliki daya saing yang kuat menurut keunggulan komperatif, tetapi bunga potong Indonesia merupakan komoditi yang dinamis walaupun tidak memiliki keunggulan kompetitif karena tidak mempunya kekuatan pasar untuk mengekspor lebih banyak bunga potong padahal permintaan Pasar Hongkong sedang meningkat. 2. Kubis Berdasarkan hasil estimasi RCA pada komoditi kubis, nilai RCA Indonesia menunjukan angka lebih dari satu disetiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu tahun 2001, 2005 dan 2009 dengan rata-rata nilai RCA sebesar 2,966. Apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya Indonesia menempati urutan kedua dengan nilai RCA terbesar di Pasar Singapura. Nilai RCA terbesar pertama yaitu pesaing satu pada tahun 2001 yaitu Australia dengan nilai RCA sebesar 18,13488. Kemudian di urutan ketiga diperoleh oleh pesaing kedua, namun pada tahun 2001 nilai RCA pesaing kedua yaitu malaysia kurang dari satu sehingga berdaya saing rendah, lalu terakhir ditempati oleh Thailand dengan rata-rata nilai RCA sebesar 0,017. Hasil estimasi RCA kubis Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.25.
104
Tabel 5.25 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Nilai Negara RCA 2,20608 Australia 18,13488 3,85389 Australia 17,50970 2,83844 Cina 3,14814
Indonesia
2001 2005 2009
Pesaing 2 Negara Malaysia Cina Malaysia
Nilai RCA 0,95621 2,53299 1,97287
Thailand 0,00000 0,03161 0,01834
Komoditi kubis Indonesia di Pasar Singapura memiliki daya saing yang kuat secara komparatif dan memiliki keunggulan kompetitif serta kubis Indonesia merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Hongkong. Sehingga posisi ini perlu dipertahankan dan kualitas serta mutu kubis Indonesia harus ditingkatkan kembali agar kubis Indonesia dapat mengalahkan pesaing utamanya dan menguasai pasar kubis Singapura. 3. Jamur Nilai ekspor jamur Indonesia yang kecil berpengaruh terhadap hasil estimasi RCA Indonesia pada komoditi tersebut. Hasil estimasi RCA jamur Indonesia menunjukan nilai yang kurang dari satu atau berdaya saing lemah pada tahun 2001, 2005 dan 2009 dan hanya Indonesia yang memiliki daya saing rendah selain Thailand pada tahun 2009 dengan nilai RCA sebesar 0,01519. Hasil estimasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.26. Pesaing kedua Indonesia mempunyai nilai RCA terbesar, lalu disusul oleh pesaing kesatu, Thailand, dan yang terakhir adalah Indonesia. Nilai RCA terbesar pada tahun 2001 oleh negara pesaing kedua yaitu New Zealand dengan nilai RCA yang mencapai 96,34987. Tabel 5.26 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA 0,25282 Australia 7,73272 New Zealand 96,34987 0,59807 Malaysia 3,37587 Australia 6,23703 0,45947 Malaysia 7,76906 Taiwan 1,58153
Indonesia
Thailand 4,14572 3,47828 0,01519
105
Berdasarkan hasil perbandingan estimasi RCA dan EPD pada pemaparan sebelumnya, maka jamur Indonesia di Pasar Singapura memiliki daya saing yang rendah menurut keunggulan komparatifnya. Tetapi, meskipun jamur Indonesia memiliki daya saing rendah tetapi jamur Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Singapura, sama seperti pada komoditi sebelumnya yaitu kubis. 4. Cendawan Tanah Berdasarkan hasil estimasi RCA pada komoditi cendawan tanah Indonesia dan Thailand sebagai salah satu negara pesaingnya, pada tahun 2001 dan 2005 kedua negara tersebut tidak memiliki daya saing di Pasar Singapura karena kedua negara tersebut tidak mengekspor cendawan tanah ke Pasar Hongkong. Pada tahun 2009 Indonesia dan Thailand baru mengekspor cendawan tanah ke Pasar Singapura dan mempunyai nilai RCA lebih dari satu atau dengan kata lain mempuyai daya saing kuat, dan nilai RCA Thailand mampu mengalahkan Indonesia dengan nilai RCA sebesar 7,76518 dan Indonesia hanya sebesar 1,65793 (Tabel 5.27). Negara pesaing lainnya yaitu pesaing satu dan pesaing kedua juga mempunyai daya saing yang kuat. Nilai RCA terbesar diperoleh oleh negara pesaing kesatu, kemudian disusul oleh pesaing kedua, Thailand dan Indonesia. RCA terbesar pada tahun 2005 diperoleh oleh pesaing kedua yaitu Italia dengan nilai RCA sebesar 67,24906. Tabel 5.27 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Cendawan Tanah di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
2001 2005
0,00000 0,00000
2009
1,65793
Pesaing 1 Pesaing 2 Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA Cina 7,68293 Perancis 18,20912 Italia 67,24906 Perancis 8,16546 Korea Cina 1,50518 2,37403 Selatan
Thailand 0,00000 0,00000 7,76518
5. Pisang Berdasarkan analisis keunggulan komparatif menggunakan RCA, didapat hasil estimasi yang kurang dari satu atau dengan kata lain berdaya saing lemah di
106
semua tahun yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu tahun 2001, 2005 dan 2009. Hasil estmasi RCA pisang Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.28. Tidak hanya Indonesia saja yang mengalami daya saing rendah di Pasar Singapura untuk komoditi ini, pesaing kedua dan Thailand pun mempunyai daya saing yang rendah dengan rata-rata nilai RCA sebesar 0,051 dan 0,088. Sedangkan pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 yaitu Malaysia memiliki nilai RCA lebih dari satu yaitu dengan rata-rata sebesar 3,396. Filipina menjadi negara berdaya saing kuat dengan nilai RCA paling besar di Pasar Singapura. Nilai RCA terbesar pada tahun 2009 dengan nilai ekspor mencapai 60,269. Tabel 5.28 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009
2001
Pesaing 1 Nilai Negara RCA 0,04649 Malaysia 4,32166
2005 2009
0,06777 Malaysia 0,01210 Malaysia
Tahun
Indonesia
RCA Pesaing 2 Nilai Negara RCA India 0,12687
3,87647 Australia 1,98916 Inggris
0,00000 0,02551
Thailand
Filipina
0,10039
15,69879
0,00062 0,16429
30,17804 60,26853
Komoditi pisang Indonesia di Pasar Singapura mempunyai daya saing yang lemah menurut keunggulan komparatifnya, namun memiliki keunggulan kompetitif dengan berhasil merebut pangsa pasar produk Singapura meskipun tidak dinamis karena tdak memiliki kekuatan bisnis di Pasar Singapura. 6. Nanas Sama seperti komoditi yang dibahas sebelumnya yaitu pisang, hasil estimasi RCA nanas Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 bernilai kurang dari satu. Selain Indonesia, pada tahun 2001 dan 2005 pada pesaing kedua juga memiliki nilai RCA yang kurang dari satu. RCA terbesar yaitu pada Filipina, kemudian disusul oleh pesaing satu, Thailand, lalu terakhir Indonesia. Nilai RCA terbesar pada tahun 2009 oleh Filipina sebesar 27,48981. Hasil estimasi RCA nanas Indonesia dan negara pesaingnya di Pasar Singapura dapat dilihat pada Tabel 5.29.
107
Tabel 5.29 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA 0,04091 Malaysia 5,88220 Belanda 0,12835
Indonesia
0,01953 Malaysia 5,81526 Sri Langka 0,04829 Malaysia 4,83506 Taiwan
Thailand
Filipina
1,17546
3,18315
3,39022
3,07218
5,93368
0,05529
2,51685 27,48981
Daya saing nanas yang lemah menurut keunggulan komparatifnya. Tetapi tidak didukung oleh hasil estimasi EPD terhadap komoditi ini, meskipun berdaya saing lemah, tetapi nanas Indonesia mempunyai keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Singapura, karena Indonesia berhasil menguasai kekuatan bisnis dengan mampu mengekpor dan memenuhi permintaan nanas Pasar Singapura. Kondisi seperti ini harus dipertahankan, akan lebih bagus lagi apabila Indonesia mempunyai daya saing yang kuat secara komparatif sehingga indonesia mempunyai keunggulan daya saing tidak hanya secara kompetitif tetapi juga secara komparatif. 7. Jambu Biji, Mangga da Manggis Berdasarkan hasil estimai RCA, didapat bahwa pada tahun 2001 pisang Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Singapura karena nilai RCA pisang Indonesia yang kurang dari satu, tetapi pada tahun 2005 dan 2009 pisang Indonesia berhasil memiliki daya saing yang kuat di Pasar Singapura dengan rata-rata nilai RCA sebesar 1,211. Apabila dibandingkan dengan negaranegara pesaingnya, nilai RCA Indonesia merupakan yang terkecil. Thailand, Filipina, Malaysia dan Australia sebagai negara pesaing Indonesia memiliki daya saing yang kuat di Pasar Singapura. Negara yang memiliki nilai RCA terbesar yaitu Australia, dengan nilai RCA terbesar pada tahun 2005 sebesar US$ 12.353. Hasil estimasi RCA Jambu Biji, Mangga da Manggis dapat dilihat pada Tabel 5.30.
108
Tabel 5.30 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga da Manggis di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Thailand Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA 0,47735 Malaysia 3,39610 Australia 9,18393 1,08610 1,03388 Malaysia 2,40934 Australia 12,35324 1,20596 1,38866 Malaysia 2,30954 Australia 6,88479 3,76701
Indonesia
2001 2005 2009
Filipina 3,99186 8,58576 6,31062
Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia memiliki keunggulan komparatif karena memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2005 dan 2009 serta didukung dengan keunggulan daya saing kompetitifnya, selain itu jambu biji, mannga dan manggis Indonesia
merupakan komoditi yang dinamis di Pasar
Hongkong. 8. Jahe Berdasarkan hasil estimasi RCA pada komoditi jahe Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 hanya pada tahun 2001 yang memiliki nilai RCA lebih dari satu yang berarti daya saingnya kuat di Pasar Hongkong dengan nilai RCA sebesar 2,13614 . Pada tahun 2005 dan 2009 nilai RCA kurang dari satu sehingga berdaya saing lemah. Yang memiliki daya saing kuat di Pasar Hongkong untuk komoditi ini hanya terjadi pada tahun 2001 pada Indonesia sebesar 2,13614 dan pada tahun 2009 oleh Nigeria sebesar 2,30520. Negara pesaing lainnya tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Singapura. Hasil estimasi RCA jahe Indonesia dan pesaingnya di Pasar Singapura dapat dilihat pada Tabel 5.31. Tabel 5.31 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Indonesia 2,13614 0,41758 0,67415
Pesaing 1 Nilai Negara RCA Cina 0,01261 Cina 0,00930 Cina 0,00289
Pesaing 2 Nilai Negara RCA Malaysia 0,00081 Ethiopia 0,68603 Nigeria 2,30520
Thailand 0,28278 0,02255 0,03008
109
Jahe Indonesia hanya memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001 menurut keunggulan komparatifnya, namun jahe Indonesia memiliki keunggulan kompetitif meskipun Indonesia kehilangan kesempatan pangsa ekspor untuk komoditi yang dinamis di Pasar Singapura. 9. Temulawak Berdasarkan hasil estimasi RCA, pada tahun 2001, 2005 dan 2009 temulawak Indonesia mempunyai nilai RCA yang lebih dari satu, dengan rata-rata nilai RCA sebesar 11,071. Apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki daya saing pada komoditi temulawak di Pasar Singapura dan pada tahun 2009 nilai RCA Indonesia merupakan RCA tertinggi di Pasar Singapura yaitu sebesar 24,92788. Hasil estimasi RCA temulawak Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.32. Tabel 5.32 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak di Pasar Singapura Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Indonesia 3,47200 4,81235 24,92788
Pesaing 1 Nilai Negara RCA India 0,19978 India 0,14135 India 0,14158
Pesaing 2 Negara Malaysia Malaysia Cina
Nilai RCA 0,00090 0,00295 0,00772
Thailand 0,00000 0,00000 0,00001
Temulawak Indonesia selain memiliki daya saing yang kuat menurut keunggulan komparatifnya, juga memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Singapura berdasarkan hasil estimasi EPD pada komoditi tersebut tahun 2001, 2005 dan 2009. Temulawak Indonesia berada pada posisi kuadran ―Rising Star‖ dimana Indonesia berhasil memperoleh pangsa paar untuk komoditi-komoditi yang dinamis.
5.3.4 Taiwan Daya saing
hortikultura
Indonesia
berdasarkan
keunggulan
komparatifnya di Pasar Taiwan dapat diihat pada Tabel 5.33. Dari tabel tersebut
110
dapat dilihat bahwa terdapat empat komoditi yang tidak bisa diestimasi pertumbuhan rata-ratanya karena ekspor Indonesia yang tidak kontinyu ke Pasar Taiwan, komoditi tersebut yaitu cendawan tanah, jahe, dan temulawak. Sedangkan komoditi hortikultura Indonesia yang mempunyai keunggulan komparatif diatas rata-rata Pasar Taiwan dalam komoditi tersebut adalah kubis, jamur pada tahun 2001 dan 2005, nanas pada tahun 2001, jahe pada tahun 2001, temulawak pada tahun 2009, dan Jambu Biji, Mangga da Manggis tahun 2005 dan 2009. Sedangkan komoditi lainnya memiliki daya saing yang lemah di Pasar Taiwan. Sedangkan komoditi yang mempunyai pertumbuhan rata-rata paling tinggi yaitu bunga potong Indonesia dengan persentase yang paling tinggi yaitu sebesar 240,20 persen. Tabel 5.33 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 Nilai RCA
Komoditi 2001
Bunga Potong 0,20406 Kubis 1,45976 Jamur 24,84004 Cendawan Tanah 0,00000 Nanas 15,80065 Jambu Biji, Mangga da Manggis 18,47047 Jahe 32,77688 Temulawak 0,00000 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
2005
2009
0,10513 6,03615 1,17865 0,00000 0,00000
0,66111 7,61769 0,00000 0,37768 0,00000
240,20 169,85 -97,63 — —
3,84331 0,00000 0,00000
0,00000 0,00000 13,90357
-89,60 — —
Hasil estimasi analisis keunggulan kompetitif dengan menggunakan metode EPD dapat dilihat pada Tabel 5.34. Berdasarkan hasil estimasi tersebut, hanya ada dua komoditi yang dapat dianalisis yaitu bunga potong dan kubis dengan posisi daya saing pada kuadran ―Falling Star‖ dimana pertumbuhan pangsa pasar ekspornya bernilai positif dan pertumbuhan pangsa pasar produknya bernilai negatif. Pada kondisi ini, Indonesia mempunyai kekuatan ekspor untuk mengekpor atau memasok bunga potong dan kubis ke Pasar Taiwan, namun dayatarik Pasar Taiwan sedang menurun terhadap kedu komoditi tersebut.
111
Sehingga bunga potong dan kubis Indonesia bukan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Taiwan, meskipun memiliki daya saing yang kuat secara kompetitif. Tabel 5.34 Hasil estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%)
Bunga Potong 208,52 Kubis 130,58 — Jamur — Cendawan Tanah — Nanas — Jambu Biji, Mangga da Manggis — Jahe — Temulawak Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%)
Posisi Daya saing
-12,53 -12,53 — — — — — —
Falling Star Falling Star — — — — — —
Berikut ini akan dijelaskan perbandingan nilai RCA hortikultura Indonesia dengan negara pesaingnya pada tahun 2001, 2005 dan 2009. 1. Bunga potong
Berdasarkan hasil analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan RCA pada komoditi bunga potong, didapat nilai RCA Indonesia yang kurang dari satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009 (Tabel 5.3). Ini menandakan bahwa daya saing bunga potong Indonesia masih rendah di Pasar Taiwan. Apabila dibandingkan dengan negara-negara pesaing lainnya, hanya Indonesia yang mempunyai daya saing yang lemah di Pasar Hongkong. Negara dengan nilai RCA terbesar di Pasar Hongkong adalah Thailand dengan rata-rata RCA sebesar 37,392; kemudian negara pesaing kesatu dengan rata-rata RCA sebesar 19,196; pesaing kedua sebesar 5,624; dan yang terakhir Indonesia 0,323.
112
Tabel 5.35 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
2001 2005 2009
0,20406 0,10513 0,66111
Pesaing 1 Nilai Negara RCA Belanda 20,58373 Belanda 12,35370 Belanda 24,65028
Pesaing 2 Thailand Nilai Negara RCA Australia 6,14327 21,25136 Australia 3,25463 29,84042 Malaysia 7,47335 61,08528
Perbandingan hasil etimasi RCA dan EPD bunga potong Indonesia, menunjukan bahwa bunga potong Indonesia di Pasar Taiwan tidak memiliki daya saing yang kuat berdasarkan keunggulan komparatifnya, namun memiliki keunggulan kompetitif meskipun komoditi tersebut bukan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Taiwan. 2. Kubis Hasil estimasi RCA kubis Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan nilai yang lebih dari satu dengan kata lain bahwa kubis Indonesia mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Taiwan (Tabel 5.36). Thailand sebagai negara pesaing Indonesia memiliki nilai RCA yang kurang dari satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009 dan merupakan satu-satunya negara yang memiliki daya saing yang rendah di Pasar Hongkong apabila dibandingkan dengan negara pesaing lainnya. Nilai ekspor tertinggi yaitu pada pesaing dua dengan rata-rata nilai RCA sebesar 24,979, kemudian pesaing satu sebesar 6,939, Indonesia sebesar 5,038, dan Thailand sebesar 0,441. Tabel 5.36 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Indonesia
Negara
Amerika Serikat Amerika 6,03615 Serikat Amerika 7,61769 Serikat 1,45976
Nilai RCA
Pesaing 2 Nilai Negara RCA
Thailand
5,18802
Vietnam
21,94544
0,24503
6,30339
Vietnam
46,04892
0,13131
9,32562
Korea Selatan
6,94393
0,94725
113
Berdasarkan perbandingan hasil estimasi RCA dan EPD, maka dapat ditarik kesimpilan bahwa kubis Indonesia mempunyai kekuatan ekspor untuk mengekpor atau memasok kubis ke Pasar Taiwan, namun dayatarik Pasar Taiwan sedang menurun terhadap kubis Indonesia. Sehingga kubis Indonesia bukan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Taiwan, meskipun memiliki daya saing yang kuat secara komparatif.
3. Jamur Pada tahun 2001 berdasarkan hasil estimasi RCA pada komoditi jamur, Indonesia berhasil menjadi negara dengan nilai RCA tertinggi di Pasar Taiwan sebesar 24,84004 dengan kata lain bahwa Indonesia memiliki daya saing yang kuat di Pasar Taiwan. Hasil estimasi RCA jamur Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.37. Tetapi pada tahun 2005 nilai RCA jamur Indonesia menurun menjadi 1,17865 dan pada tahun 2009 Indonesia tidak mempunyai daya saing di Pasar Taiwan karena pada tahun tersebut Indonesia tidak mengekspor jamur ke Pasar Taiwan. Menurunnya nilai RCA Indonesia karena menurunnya nilai ekspor jamur Indonesia pada tahun 2005 sebesar 72,26 persen, selain menurunnya nilai ekspor jamur Indonesia, nilai ekspor jamur dunia pun meningkat sebesar 598,65 persen sehingga nilai RCA Indonesia turun secara drastis pada tahun 2005. Negara-negara pesaing lainnya seperti pesaing kesatu memperoleh nilai RCA lebih dari satu dan hanya pada tahun 2009 nilai RCA jamur pesaing satu yaitu New Zealnad kurang dari satu, sedangkan pada tahun 2009 tidak ada negara yang menjadi pesaing di pesaing kedua, sehingga pada tahun 2009 New Zealand menjadi pesaing utama di Pasar Taiwan. Tahun 2001 dan 2005 pesaing kedua juga memiliki nilai RCA yang lebih dari satu, kemudian diikuti oleh Thailand. Tetapi pada tahun 2009 Thailand tidak mengekspor jamur ke Taiwan sehingga tidak memiliki daya saing sama seperti Indonesia di tahun yang sama.
114
Tabel 5.37 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001
Pesaing 1 Indonesia
Negara
24,84004 Cina
2005
1,17865 Jepang
2009
0,00000 New Zealand
Pesaing 2 Nilai Nilai Negara RCA RCA 4,90522 Belanda 2,45154 Korea 1,86623 4,39267 Selatan — 0,56706 0,00000
Thailand 23,53493 3,40566 0,00000
4. Cendawan Tanah Berdasarkan hasil estimasi RCA cendawan tanah Indonesia dan Thailand, didapat hasil bahwa pada tahun 2001 dan 2005 kedua negara tersebut tidak melakukan eskpor cendawan tanah ke Pasar Taiwan sehingga tidak memiliki nilai RCA dengan kata lain kedua negara tersenut pada tahun 2001 dan 2005 tidak memiliki daya saing di Pasar Taiwan (Tabel 5.38). Pada tahun 2009 Indonesia dan Thailand baru melakukan ekspor ke Pasar Taiwan, sehingga didapat hasil estimasi RCA yang ternyata kurang dari satu bagi Indonesia yaitu sebesar 0,37768 dan 27,81818 bagi Thailand. Pada tahun 2001 Perancis juga memiliki nilai RCA yang kurang dari satu. Negara dengan nilai RCA cendawan tanah terbesar di Pasar Taiwan yaitu Perancis sebagai pesaing kesatu pada tahun 2005 dengan nilai RCA sebesar 41,76978. Pada tahun 2001 tidak ada pesaing kedua sehingga Perancis menjadi pesaing tunggal pada periode tersebut. Pesaing kedua pada tahuh 2005 dan 2009 memiliki daya saig yang kuat sama seperti pada pesaing satu. Tabel 5.38 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Cendawan Tanah di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Indonesia
Negara
2001 2005
0,00000 0,00000
Perancis Perancis
2009
0,37768
Jepang
Pesaing 2 Thailand Nilai Nilai Negara RCA RCA — 0,06921 0,00000 0,00000 41,76978 Belanda 27,76456 0,00000 Korea 1,46889 27,81818 4,90402 Selatan
115
5. Nanas Hasil estimasi RCA pada nanas Indonesia menunjukan bahwa Indonesia hanya memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001 sebesar 15,80065. Pada tahun 2005 dan 2009 Indonesia tidak mengekspor nanas ke Taiwan sehingga Indoesia tidak memiliki daya saing di Pasar Taiwan karena salah satu kendalanya yaitu adanya larangan masuk produk hortikultura dari negara yang terserang lalat buah, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang terserang lalat buah tersebut. Menurut Dirjen bina produksi hortikultura, Indonesia memiliki tiga jenis laat buah yang belum ditemukan di Taiwan5, dan nanas termasuk kedalam buah yang berpotensi terjangkit lalat buah. Thailand sebagai negara pesaing Indonesia di Pasar Taiwan memiliki nilai RCA yang kurang dari satu, hal tersebut pun terjadi pada pesaing kedua yaitu Amerika Serikat pada tahun 2005. Pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2001 dan 2005 yaitu Vietnam mampu memiliki daya saing yang kuat dengan rata-rata nilai RCA sebesar 2,687 dan pada tahun 2009 dikuasai oleh Singapura tetapi nilai RCA nanas Singapura kurang dari satu. Negara dengan nilai RCA terbesar yaitu Filipina dengan nilai RCA tertinggi tahun 2009 mencapai 201,30946. Hasil estimasi RCA nanas Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.39. Tabel 5.39 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
5
Pesaing 1 Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Nilai Negara RCA Negara RCA — 15,80065 Vietnam 2,36931 0,00000 0,07355 45,32927 Amerika 0,00000 Vietnam 3,00559 0,11380 0,00037 92,44469 Serikat — 0,00000 Singapura 0,07777 0,00000 0,88480 201,30946
Indonesia
Tempo Interaktif edisi 12 November 2003 http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/24/produk-hortikultura-indonesia-terancamditolak-taiwan/ [diakses 15 April 2011]
116
6. Jambu Biji, Mangga dan Manggis Pada tahun 2001 dan 2005 Nilai RCA Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia menunjukan angka yang lebih dari satu hanya pada tahun 2009 saja Indonesia tidak mengekspor komoditi ini ke Pasar Taiwan sehingga tidak memiliki daya saing di Pasar Taiwan (Tabel 5.40) sama halnya seperti komoditi nanas, yang menjadi salah satu faktor menurunnya nilai ekspor Jambu Biji, Mangga da Manggis yaitu susahnya menembus Pasar Taiwan akibat adanya pelarangan masuk bagi negara-negara eksportir yang terjangkit lalat buah. Komoditi mangga dan manggis Indonesia beresiko terjangkit lalat buah, karena memang Indonesia sudah didiagnosis terjangkit lalat buah pada 13 komoditi hortikulturanya. Hal tersebut pun dapat terjadi di Thailand sehingga menyebabkan nilai ekspor Thailand menurun drastis, karena Thailand merupakan salah satu daerah penyebaran lalat buah selain Malaysia, Singapura dan beberapa negara lainnya.. Nilai RCA terbesar di Pasar Taiwan pada komoditi ini yaitu pada pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 yaitu India. Tetapi pada tahun 2001 India tidak memiliki daya saing yang kuat, nilai rata-rata RCA India pada tahun 2005 dan 2009 yaitu 90,044. Kemudian nilai RCA tertinggi kedua diraih oleh Filipina dengan rata-rata RCA sebesar 30,041; Thailand sebesar 16,843; Indonesia, kemudian pesaing kedua Indonesia dimana pada tahun 2001 tidak memiliki daya saing yang kuat. Tabel 5.40 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga da Manggis di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA 18,47047 India 0,29888 Vietnam 0,11285 44,06167 3,77118 3,84331 India 64,51887 Vietnam 7,43398 4,44004 59,60509 Amerika 0,00000 India 115,56941 4,33113 2,02598 26,74592 Serikat
Indonesia
117
7. Jahe Hasil etimasi RCA pada jahe Indonesia menunjukan bahwa hanya pada tahun 2001 jahe Indoesai mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Taiwan yaitu sebesar 32,77688 dan ini merupakan angka RCA terbesar dari semua komoditi ekspor Indonesia ke Taiwan seperti yang terlihat pada Tabel 5.41. Tahun 2005 dan 2009 Indonesia tidak memiliki daya saing di Pasar Taiwan karena pada tahun tersebut Indonesia tidak mengekspor jahe ke Pasar Taiwan. Pesaing satu dan pesaing kedua Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Hanya Thailand yang memiliki nilai RCA yang kontinyu dan lebih dari satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009 dengan rata-rata nilai RCA sebesar 30,041. Tabel 5.41 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA 32,77688 Cina 0,00332 Hongkong 0,00257 0,00000 Cina 0,00805 Hongkong 0,00040 0,00000 Cina 0,01219 Vietnam 0,00651
Indonesia
Thailand 5,03473 3,23237 4,70559
8. Temulawak Pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia menurut hasil estimasi RCA, pesaing kedua Indonesia dan Thailand tidak memiliki daya saing pada komoditi temulawak di Pasar Taiwan karena pada tahun tersebut mereka tidak mengekspor temulawak ke Pasar Taiwan. Apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya hanya Indonesia yang memiliki daya saing yang kuat di Pasar Taiwan meskipun hanya pada tahun 2009 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.42.
118
Tabel 5.42 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak di Pasar Taiwan Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
5.3.4
Indonesia 0,00000 0,00000 13,90357
Pesaing 1 Nilai Negara RCA India 0,34976 India 0,27334 India 0,16076
Pesaing 2 Nilai Negara RCA Cina 0,00000 Jepang 0,00022 Singapura 0,00057
Thailand 0,00004 0,00008 0,60489
Cina Posisi daya saing hortikultura Indonesia di Pasar Cina berdasarkan
keunggulan komparatifnya dapat dilihat pada Tabel 5.43. Dari tabel tersebut, dapat terlihat bahwa hanya ada dua komoditi yang dapat diestimasi pertumbuhan rata-ratanya yaitu bunga potong dan jambu bij, mangga, serta manggis. Dengan rata-rata pertumbuhan tertinggi dimiliki oleh komoditi Jambu Biji, Mangga da Manggis. Sedangkan
komoditas
lainnya
tidak
dapat
diestimasi
karena
ketidakkontinyuan ekspor komoditas tersebut ke Pasar Cina. Produk hortikultura Indonesia yang memiliki daya saing yang kuat berdasarkan keunggulan komparatifnya di Pasar Cina yaitu bunga potong pada tahun 2005 dan 2009; kubis pada tahun 2005 dan 2009; jamur pada tahun 2005; dan jambu biji, mangga, serta manggis pada tahun 2005 dan 2009. Tabel 5.43 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Cina Tahun 2001, 2005 dan 2009 Nilai RCA
Komoditi 2001
2005
Bunga Potong 0,04678 3,42866 Kubis 0,00000 41,96720 Jamur 0,00000 8,26055 Pisang 0,00000 0,00000 Jambu Biji, Mangga da 0,06234 6,03645 Manggis Jahe 0,00064 0,00000 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
2009
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
9,44040 2,64320 0,00000 0,01758
3702,68 — — —
1,24702
4751,95
0,00000
—
119
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka komoditi yang dapat diestimasi dengan menggunakan EPD hanya bunga potong dan jambu biji, mangga dan manggis. Ini menunjukan bahwa ketidakkontinyuan ekspor Indonesia menyebabkan posisi daya saing Indonesia di Pasar Cina baik itu menurut keunggulan komparatif dan kompetitifnya tidak bagus. Pada Tabel 5.44 ditunjukkan bahwa Posisi daya saing bunga potong, Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia berada pada kuadran ―Rising Star‖ meskipun hanya dua komoditi ini yang mempunyai daya saing secara kompetitif, namun berhasil menduduki posisi daya saing yang terbaik di Pasar Cina. Posisi ―Rising Star‖ dapat diartikan bahwa Indonesia mendapatkan tambahan pangsa pasar dimana komoditin tersebut merupakan salah satu produk yang permintaannya tumbuh dengan cepat atau dinamis di Pasar Cina. Tabel 5.44 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Cina Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%)
Bunga Potong 4251,70 — Kubis — Jamur — Pisang Jambu Biji, Mangga da Manggis 5448,45 — Jahe Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%)
Posisi Daya saing
15,56 — — —
Rising Star — — —
15,56 —
Rising Star —
Penjelasan mengenai perbandingan nilai RCA Indonesia dan negara pesaingnya pada tahun 2001, 2005 dan 2009 di Pasar Cina akan dijelaaskan sebagai berikut. 1. Bunga Potong Berdasarkan hasil estimasi keunggulan komparatif menggunakan RCA, nilai RCA bunga potong Indonesia meningkat pada tahun 2001, 2005 dan 2009 (Tabel 5.45). Peningkatan ini terjadi karena pangsa ekspor bunga potong Indonesia yang meningkat. Hanya pada tahun 2001 nilai RCA kurang dari satu, tahun 2005 dan 2009 nilai RCA Indonesia lebih dari satu dengan rata-rata sebesar 6,435 dengan kata lain Indonesia mempunyai daya saing kuat pada tahun 2005
120
dan 2009. Tetapi nilai RCA Indonesia masih jauh dibawah negara-negara pesaingnya. Negara yang memiliki nilai RCA tertinggi pada komoditi bunga potong di Pasar Cina yaitu pesaing satu, Thailand, pesaing kedua, lalu Indonesia. Pesaing kedua Indonesia pada tahun 2005 dan 2009 yaitu Hongkong dan Jepang memiliki nilai RCA yang kurang dari satu. Sedangkan nilai RCA tertinggi terjadi pada tahun 2001 oleh negara pesaing satu yaitu Vietnam sebesar 96,57329. Tabel 5.45 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Cina Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Pesaing 1 Pesaing 2 Nilai Nilai Negara RCA Negara RCA 0,04678 Vietnam 96,57329 Belanda 20,77265 Korea 3,42866 2,57221 Hongkong 0,87813 Selatan 9,44040 Belanda 17,85481 Jepang 0,35422
Tahun
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 9,38378 16,79383 29,59227
Bunga potong Indonesia di Pasar Cina menunjukan bahwa meskipun bunga potong Indonesia hanya memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2005 dan 2009 berdasarkan keunggulan komparatifnya, namun bunga potong Indonesia mampu mendapatkan pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar produk di Pasar Cina, sehingga bunga potong Indonesia mempunyai keunggulan kompetitif serta merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Cina. 2. Kubis Hasil estimasi RCA kubis Indonesia pada tahun 2001 menunjukan nilai yang kurang dari satu, pada tahun 2005 dan 2009 nilai RCA Indonesia berhasil menunjukan angka yang lebih dari satu dengan kata lain pada periode tersebut Indonesia memiliki daya saing yang kuat di Pasar Cina dengan rata-rata nilai ekspor sebesar 22,305. Thailand sebagai negara pesaing Indonesia tidak memiliki daya saing terhadap komoditi ini di Pasar Cina karena pada tahun 2001, 2005 dan 2009 Thailand tidak mengekspor kubis ke Pasar Cina. Pesaing satu dan dua memiliki daya saing yang kuat di Pasar Cina, dengan nilai terbesar pada tahun 2005 pada pesaing satu oleh Vietnam. Hasil estimasi RCA kubis Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.46.
121
Tabel 5.46 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Cina Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA Amerika 0,00000 5,53852 Australia 23,51667 Serikat Amerika 41,96720 Vietnam 87,20667 2,90843 Serikat Korea 2,64320 4,98552 Australia 6,19768 Selatan
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,00000 0,00000 0,00000
3. Jamur Hasil estimasi RCA pada komoditi ini menunjukan bahwa hanya pada tahun 2005 Indonesia memiliki daya saing yang kuat sedangkan pada tahun 2001 dan 2009 Indonesia tidak memiliki daya saing karena pada tahun tersebut Indonesia tidak mengekspor jamur ke Pasar Cina. Sama seperti Indonesia, Thailand pun pada tahun 2001, 2005 dan 2009 tidak mengekspor jamur ke Cina sehingga pada tahun tersebut Thailand tidak memiliki daya saing di Pasar Cina. Sedangkan pesaing dua tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Cina karena memiliki nilai RCA yang kurang dari satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Pada Tabel 5.47 dapat terlihat bahwa hanya pesaing satu yang mempunyai nilai RCA lebih dari satu pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini, dengan nilai RCA tertinggi pada negara Vietnam tahun 2001 sebesar 127,51787. Tabel 5.47 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur di Pasar Cina Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Indonesia 0,00000 8,26055 0,00000
Pesaing 1 Pesaing 2 Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA Vietnam 127,51787 Hongkong 0,37344 Inggris 47,90779 Hongkong 0,79608 Taiwan 15,23484 Kanada 0,93248
Thailand 0,00000 0,00000 0,00000
122
4. Pisang Tahun 2001 dan 2005 Indonesia tidak mengekspor pisang ke Pasar Cina sehingga pada tahun tersebut Indonesia tidak memiliki daya saing di Pasar Cina, pada tahun 2005 pun Indonesia hanya memiliki daya saing yang rendah di Pasar Cina karena nilai RCA pisang Indonesia yang kurang dari satu. Sedangkan negara pesaing lain yang memiliki daya saing rendah sama seperti Indonesia yaitu negara pesaing satu pada tahun 2005 dan Thailand pada tahun 2001. Sedangkan negara yang memiliki nilai RCA paling tinggi yaitu Ekuador sebagai negara pesaing satu dengan nilai RCA yang mencapai 2430,63710. Hasil estimasi RCA Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.48. Tabel 5.48 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang di Pasar Cina Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Pesaing 2 Thailand Filipina Negara Nilai RCA 0,00000 Ekuador 2430,63710 Kolombia 766,22727 0,71321 206,46190 0,00000 Hongkong 0,41757 Ekuador 1653,06007 3,27938 114,38658 0,01758 Hongkong 1,61952 Ekuador 96,09708 6,39578 154,30106
Indonesia
Pesaing 1 Negara Nilai RCA
5. Jahe Berdasarkan hasil estimasi RCA jahe Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan angka yang kurang dari satu atau dengan kata lain jahe Indoensia memiliki daya saing yang rendah di Pasar Cina, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.49. Ternyata tidak hanya Indonesia yang memiliki daya saing yang rendah, pesaing kesatu, kedua, dan Thailand pun mengalami hal yang serupa. Hanya Thailand yang mempunya daya saing jahe yang kuat di Pasar Cina pada tahun 2009.
123
Tabel 5.49 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Cina Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
Pesaing 1 Nilai Negara RCA
2001
0,00064 Jepang
2005
0,00000 Hongkong
2009
0,00000 Jepang
5.3.5
Pesaing 2 Negara
Korea Selatan Amerika 0,00180 Serikat 0,00181 Inggris 0,00310
Nilai RCA
Thailand
0,00358
0,00000
0,00359
0,00000
0,01881
22,56934
Jepang Jepang merupakan salah satu negara tujuan ekspor hortikultura
Indonesia. Hasil estimasi RCA hortikultura Indonesia di Pasar Jepang akan dijelaskan pada Tabel 5.50. Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa daya saing produk hortikultura Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini tidak ada yang memiliki daya saing yang kuat di Pasar Jepang, seperti yang terlihat pada Tabel 5.49 nilai RCA produk hortikultura Indonesia semuanya bernilai kurang dari satu. Padahal ekspor hortikultura cukup kontinyu ke Pasar Jepang tetapi tetap belum bisa memperoleh daya saing yang kuat. Terdapat satu komoditi yang tidak bisa diestimasi yaitu cendawan tanah karena ekspor cendawan tanah yang tidak kontinyu ke Pasar Jepang, sedangkan komoditi yang memiliki pertumbuha ratarata terbesar yaitu kubis.
124
Tabel 5.50 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 Nilai RCA
Komoditi 2001 Bunga Potong 0,07026 Kubis 0,16038 Jamur 0,02136 Cendawan Tanah 0,00000 Pisang 0,00441 Nanas 0,00671 Jambu Biji, Mangga da Manggis 0,01315 Jahe 0,20592 Temulawak 0,21784 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
2005
2009
0,03369 0,00000 0,00091 0,00000 0,00072 0,11158 0,00002 0,35118 0,67302
0,08353 0,04421 0,00000 0,02080 0,00030 0,00006 0,00007 0,07232 0,22543
Pertumbuhan Rata-Rata (%) 47,96 7488725,70 -97,87 — -70,61 731,19 99,31 -4,43 71,22
Berdasarkan hasil analisis keunggulan kompetitif menggunakan EPD, maka terdapat dua komoditi yaitu jamur dan cendawan tanah yang tidak dapat diestimasi karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ekspor dua komoditi tersebut tidak kontinyu ke Pasar Jepang. Untuk komoditi bunga potong, kubis, nanas, temulawak, Jambu Biji, Mangga da Manggis berhasil memperolrh posisi daya saing terbaik yaitu ―Rising Star‖ dimana Indonesia mempunyai kekuatan bisnis untuk meraih pangsa pasar ekspor Jepang dan mempunyai dayatarik pasar terhadap pangsa pasar produk Jepang, sehingga komoditas tersebut mempunyai keunggulan kompetitif dan merupakan produk yang dinamis di Pasar Jepang. Sedangkan komoditi pisang, dan jahe menempati posisi kuadran ―Lost Opportunity‖ dimana Indonesia kehilangan kesempatan pangsa ekspor untuk komoditi yang dinamis di pasar dunia
125
Tabel 5.51 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%)
Bunga Potong 70,85 Kubis 9039011,81 — Jamur — Cendawan Tanah Pisang -67,14 Nanas 634,98 Jambu Biji, Mangga da 140,54 Manggis Jahe -12,17 Temulawak 56,80 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%)
Posisi Daya saing
4,56 4,56 — —
Rising Star Rising Star — —
4,56 4,56
Lost Opportunity Rising Star
4,56
Rising Star
4,56 4,56
Lost Opportunity Rising Star
Perbandingan hasil estimasi RCA produk hortikultura Indonesia dengan negara pesaingnya per komoditi di Pasar Jepang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Bunga Potong Berdasarkan hasil analisis keunggulan komparatif menggunakan metode RCA pada komoditi bunga potong Indonesia, didapat hasil bahwa pada tahun 2001, 2005 dan 2009 nilai RCA bunga potong Indonesia kurang dari satu, dengan kata lain bahwa bunga potong Indonesia memiliki daya saing yang rendah di Pasar Jepang. Jenis bunga potong Indonesia yang biasa di ekspor ke Pasar Jepang diantaranya yaitu anggrek, krisan, sedap malam, anthurium, dan lain-lain. Apabila dibandingkan dengan negara-negara pesaingnya seperti pesaing kesatu pesaing kedua, dan Thailand hanya Indonesia yang memiliki daya saing yang rendah. Negara pesaing Indonesia mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Jepang dengan nilai RCA tertinggi diperoleh oleh pesaing kesatu Indonesia dengan ratarata nilai RCA pada tahun 2001, 2005 dan 2009 sebesar 10,888, kemudian disusul oleh pesaing kedua sebesar 4,469, Thailand sebesar 3,248, lalu terakhir Indonesia sebesar 0,062.
126
Tabel 5.52 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Pesaing 1
Tahun
Indonesia
2001
0,07026
2005
0,03369
2009
0,08353
Negara Belanda Korea Selatan Korea Selatan
Pesaing 2 Nilai Nilai Negara RCA RCA Korea 26,00637 3,37842 Selatan
Thailand 3,48973
2,96717 Malaysia
5,02685
4,04172
3,69158 Malaysia
5,00157
2,21116
Bunga potong Indonesia di Pasar Jepang menunjukan bahwa meskipun bunga potong Indonesia memiliki daya saing yang rendah secara komparatif, namun komoditi tersebut berhasil merebut pangsa pasar ekspor dan produk Jepang sehingga memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan produk yang dinamis di Pasar Jepang. 2. Kubis Tidak hanya Indonesia yang memiliki daya saing rendah di Pasar Jepang terhadap komoditi ini karenan nilai RCA yang kurang dari satu, Thailand pun mengalami hal yang serupa. Tetapi nilai rata-rata RCA Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 lebih besar dari rata-rata nilai RCA Thailand yaitu sebesar 0,068 sedangkan Thailand hanya sebesar 0,025. Hanya pesaing satu dan pesaing dua Indonesia yang memiliki daya saing yang kuat terhadap komoditi kubis di Pasar Jepang. Nilai RCA terbesar diperoleh oleh pesaing kedua Indonesia pada tahun 2009 yaitu Ekuador (Tabel 5.53).
127
Tabel 5.53 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Indonesia
Negara
Amerika Serikat Amerika 0,00000 Serikat Amerika 0,04421 Serikat
2001
0,16038
2005 2009
Nilai RCA
Pesaing 2 Nilai Negara RCA
Thailand
3,52672
Cina
1,39279
0,07274
4,53264
Cina
1,86606
0,00187
5,51917
Ekuador
698,48563
0,00155
Sama seperti komoditi sebelumnya, kubis Indonesia menunjukan bahwa komoditi ini mempunyai keungulan komparatif dibawah rata-rata Pasar Jepang dalam komoditi tersebut. Tetapi kubis Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Jepang sehingga perlu ditingkatkan kembali daya saingnya agar mempunyai keunggulan komparatif di Pasar Jepang tersebut. 3. Jamur Hasil estimasi RCA jamur Indonesia sama seperti kubis dimana nilai RCA jamur Indonesia menunjukan angka yang kurang dari satu pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini, sama seperti Thailand. Namun, rata-rata nilai RCA Thailand pada tahun 2001, 2005 dan 2009 lebih besar dari Indonesia yaitu sebesar 0,092 sedangkan Indonesia hanya sebesar 0,074. Pesaing kesatu dan pesaing kedua Indonesia memperoleh daya saing yang kuat di Pasar Jepang dengan nilai tertinggi diperoleh oleh pesaing kedua indonesia pada tahun 2009 yaitu Kanada. Pada Tabel 5.54 dapat terlihat bahwa nilai RCA Indonesia merupakan nilai RCA terkecil dibandingkan dengan negara-negara pesaing lainya di Pasar Jepang.
128
Tabel 5.54 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Indonesia Negara
2001
0,02136 Cina
2005
0,00091 Cina
2009
0,00000
Amerika Serikat
Pesaing 2 Nilai Nilai RCA Negara RCA Korea 4,54686 3,77774 Selatan Korea 4,40928 2,10921 Selatan 4,59089 Kanada
14,81702
Thailand 0,00085 0,00423 0,26949
4. Cendawan Tanah Pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia dan Thailand tidak mengekspor cendawan tanah ke Pasar Jepang sehingga tidak mempunyai daya saing di Pasar Jepang, pada tahun 2009 kedua negara tersebut baru mengekspor komoditi ini, namun nilai RCA komoditi ini masih kurang dari satu, artinya komoditi ini di kedua negara tersebut tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Jepang. Betbeda dengan negara pesaing satu dan dua yang memiliki nilai RCA lebih dari satu yang menunjukan bahwa mereka memiliki keunggulan komparatif (diatas rata-rata Pasar Jepang) dalam komoditi tersebut. Sedangkan nilai RCA tertinggi diperoleh oleh pesaing kesatu Indoesia pada tahun 2005 yaitu Italia. Hasil estimasi RCA cendawan tanah Indonesia dan negara pesaing lainnya di Pasar Jepang dapat dilihat pada Tabel 5.55. Tabel 5.55 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Cendawan Tanah di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Indonesia 0,00000 0,00000 0,02080
Negara Cina Italia Cina
Nilai RCA 4,29803 40,99112 3,02017
Pesaing 2 Nilai Negara RCA Perancis 13,52002 Perancis 26,29512 Kanada 3,28084
Thailand 0,00000 0,00000 0,01065
129
5. Pisang Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan metode RCA maka Pisang Indonesia dan Thailand
memiliki daya saing yang lemah di Pasar
Thailand, tidak seperti negara pesaing lainnya yaitu Ekuador, Taiwan dan Filipina yang memiliki nilai RCA lebih dari satu dan berhasil memiliki daya saing yang kuat untuk komoditi ini. Salah satu yang menjadi kendala Indonesia dalam ekspor pisang ke Pasar Jepang yaitu Indonesia tidak bisa memanfaatkan kuota ekspor ke Jepang dengan bea masuk nol persen karena sulitnya memenuhi persyaratan yang ketat seperti persyaratan ukuran maupun persyaratan teknis lainnya. Sehingga Indonesia masih belum bisa bersaing dengan negara-negara eksportir lainnya. Pada Tabel 5.56 ditunjukkan bahwa diantara Indonesia dan beberapa negara eksportir lainnya yang mengekspor pisang ke Jepang, Ekuador mempunya nilai RCA yang jauh lebih besar dibandingkan yang lainnya dengan rata-rata pertumbuhan pada tahun 2001, 2005 dan 2009 sebesar 5,89 persen, sedangkan diposisi kedua dengan nilai RCA terbesar setelah Ekuador yaitu Filipina, diikuti oleh Taiwan, Thailand dan terakhir Indonesia dengan nilai RCA terkecil di Pasar Jepang. Tabel 5.56 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Indonesia
Negara
Nilai RCA
Pesaing 2 Negara
Nilai
Thailand
Filipina
RCA
2001
0,00441 Ekuador
457,81225 Taiwan
1,46105
0,12520
42,42949
2005
0,00072 Ekuador
769,77453 Taiwan
1,55384
0,18440
51,68421
2009
0,00030 Ekuador
335,89632 Taiwan
1,32755
0,21087
51,84001
Pisang Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang lemah sehingga pisang Indonesia berdaya saing lemah di Pasar Jepang, tetapi komoditi ini merupaka komoditi yang dinamis yang mempunyai dayatarik pasar sehingga berhasil merebut pangsa pasar produk Jepang.
130
6. Nanas Posisi daya
saing
nanas
Indonesia
secara
komparatif
dengan
menggunakan metode RCA menunjukan bahwa nanas Indonesia memiliki daya saing yang rendah di Pasar Jepang pada tahun 2001, 2005 dan 2009 bahkan Thaliand pun kembali menduduki posisi yang sama seperti Indonesia. Salah satu penyebabnya yaitu sama seperti pada komoditi pisang, Indonesia belum mampu memanfaatkan kuota ekspor dengan bea masuk nol persen, sehingga nilai ekspor Indonesia masih relatif kecil. Pesaing kesatu Indonesia yang biasanya selalu menjadi penguasa dengan nilai RCA tertinggi pada komoditi ini pesaing satu tidak memiliki daya saing yang kuat, sama halnya dengan pesaing kedua. Namun pada tahun 2009 pesaing kedua Indonesia mampu memiliki nilai RCA yang lebih dari satu sehingga memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut. Filipina sebagai negara pesaing Indonesia berhasil mengalahkan negara-negara lainnya dan menguasai Pasar Hongkong dengan nilai RCA tertinggi. Nilai RCA tertinggi dicapai pada tahun 2009 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 8,27 persen. Hasil estimasi RCA nanas indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.57. Tabel 5.57 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
Pesaing 1 Nilai Negara RCA
2001
0,00671
Taiwan
2005
0,11158
Amerika Serikat
2009
0,00006
Taiwan
Posisi
daya
saing
Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Negara RCA Amerika 0,83060 0,14390 0,15528 53,40026 Serikat 0,35217
Taiwan Costa 0,57055 rica
nanas
Indonesia
0,72892
0,13826 58,94365
6,61162
0,09271 62,57524
berdasarkan
keunggulan
komparatifnya yaitu berdaya saing lemah di Pasar Jepang. Tetapi nanas Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Jepang.
131
7. Jambu Biji, Mangga dan Manggis Apabila dibandingkan dengan negara-negara pesaing lainnya posisi daya saing Indonesia berdasarkan keunggulan komparatifnya memiliki posisi daya saing yang lemah dan memiliki nilai RCA yang paling kecil. Selain Indonesia, pesaing kesatu dan pesaing kedua Indonesia pada tahun 2009 juga memiliki daya saing yang lemah di Pasar Jepang. Tetapi pada tahun 2005 dan 2009 pesaing satu dan dua Indoesia berhasil mendapatkan posisi daya saing yang kuat dengan nilai RCA yang tinggi terutama bagi pesaing satu. Nilai tertinggi pada tahun 2009 yaitu oleh Meksiko. Sedangkan nilai RCA tertinggi berikutnya diduduki oleh Filipina, kemudian diikuti oleh pesaing kedua, Thailand, dan terakhir dengan nilai RCA terendah diduduki oleh Indonesia. Hasil estimasi RCA jambu Biji, mangga dan manggis Indonesia dan beberapa negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.58. Tabel 5.58 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga da Manggis di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 2 Thailand Nilai Negara RCA Amerika 0,01315 Australia 0,59950 0,39229 1,81635 Serikat 0,00002 Meksiko 62,05396 India 21,93866 2,61686 0,00007 Meksiko 69,74938 Taiwan 3,69238 3,81005
Indonesia
Pesaing 1 Nilai Negara RCA
Filipina 38,50508 26,42262 13,69977
Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 di Pasar Jepang menunjukan bahwa jambu biji, mangga dan manggis Indonesia mempunyai daya saing yang lemah berdasarkan keunggulan komparatifnya namun berhasil merebut pangsa pasar ekspor dan produk Jepang sehingga memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan produk yang dinamis di Pasar Jepang. 8. Jahe Pada tahun 2001, 2005 dan 2009 baik Indonesia, Cina, maupun Taiwan memiliki keunggulan komparatif yang rendah untuk komoditi jahe sehingga komoditi tersebut berdaya saing lemah di pasar jahe Jepang. Hanya Thailand yang
132
memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001 dan 2005 di Pasar Jepang. Thailand berhasil mengalahkan Cina dan Jepang yang memang membudidayakan tanaman ini dan berhasil menjadi pesaing utama Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Bahkan selain Thailand, nilai RCA Indonesia meskipun kurang dari satu tetapi dapat berhasil mengalahkan pesaing kedua dan pesaing kesatu Indonesia. Tabel 5.59 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,20592 0,35118 0,07232
Pesaing 1 Negara Nilai RCA Cina 0,00520 Cina 0,00493 Cina 0,00321
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Taiwan 0,00271 Taiwan 0,00192 Taiwan 0,00124
Thailand 2,27642 0,85096 3,74654
Jahe Indonesia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 memiliki keunggulan komparatif yang rendah untuk komoditi tersebut, dan tidak memiliki keungulan kompetitif karena tidak mempunyai kekuatan bisnis tetapi komoditi ini merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Jepang. 9. Temulawak Hasil estimasi RCA pada komoditi temulawak di Pasar Jepang pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan bahwa baik itu Indonesia maupun negara pesaingnya seperti India, Cina dan Thailand tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Thailand. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya nilai ekspor negaranegara tersebut ke Pasar Jepang serta tingginya nilai ekspor dunia menyebabkan nilai RCA negara-negara eksportir tersebut kurang dari satu sehingga memiliki keunggulan komparatif yang rendah di Pasar Jepang.
133
Tabel 5.60 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak di Pasar Jepang Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,21784 0,67302 0,22543
Pesaing 1 Negara Nilai RCA India 0,10741 India 0,11258 India 0,09842
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Cina 0,00227 Cina 0,00176 Cina 0,00073
Thailand 0,70923 0,28607 0,01537
Hasil estimasi RCA temulawak Indonesia yang menunjukan daya saing yang lemah di Pasar Jepang, namun temulawak Indonesia
berhasil merebut
pangsa pasar produk dan ekspor Jepang sehingga komoditi ini memilki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Jepang.
5.3.7
Malaysia Ekspor hortikultura Indonesia yang cukup kontinyu pada Pasar Malaysia
tidak membuat komoditas ini mempunyai daya saing yang kuat di pasar tersebut. Pada tabel 5.61 dapat terlihat bahwa hasil estimasi beberapa produk hortikltura yang digunakan dalam penelitian ini pada tahun 2001 2005, dan 2009 tidak memiliki nilai RCA yang lebih dari satu. Terdapat satu komoditi yaitu jamur yang tidak dapat diestimasi pertumbuhan rata-ratanya akibat ketidakkontinyuan ekspor komoditi tersebut di Pasar Malaysia. Sedangkan komoditi yang mempunyai persentase pertumbuhan rata-rata tertinggi karena peningkatan nilai ekspornya yang cukup signifikan yaitu nanas.
134
Tabel 5.61 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 Nilai RCA
Komoditi 2001 Bunga Potong 0,04865 Kubis 0,15173 Jamur 0,00000 Cendawan Tanah 0,10688 Pisang 0,03434 Nanas 0,00294 Jambu Biji, Mangga da Manggis 0,02551 Jahe 0,10141 Temulawak 0,02621 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
2005
2009
0,05853 0,05910 0,05923 0,08087 0,05333 0,43778 0,02353 0,01414 0,00103
0,00661 0,05152 0,00000 0,00100 0,00022 0,00000 0,02715 0,00919 0,01328
Pertumbuhan Rata-Rata (%) -34,20 -36,94 — -61,55 -22,13 7348,82 3,82 -60,55 545,64
Berdasarkan hasil estimasi EPD hortilukura Indonesia di Pasar Jepang seperti yang ditunjukan pada Tabel 5.62 bahwa terdapat dua komoditi yang tidak dapat diestimasi yaitu jamur dan nanas. Seperti penjelasan sebelumnya bahwa kedua komoditi tersebut tidak kontinyu ekspornya ke Pasar Malaysia sehingga tidak dapat diestimasi. Komoditi bunga potong, kubis, cendawan tanah, pisang, dan jahe Indonesia berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode EPD mempunyai posisi daya saing pada kuadarn ―Lost Opportunity‖ dimana pertumbuhan pangsa pasar ekspornya bernilai negatif sedangkan pertumbuhan pangsa pasar produknya bernilai positif. Kondisi ini paling tidak diinginkan karena hal tersebut berarti Indonesia kehilangan kesempatan pangsa ekspor untuk komoditi yang dinamis di Pasar Malaysia. Sedangkan komoditi temulawak dan jambu biji, mangga, serta manggis memiliki daya saing dengan posisi yang terbaik yaitu ―Rising Star‖ dimana Indonesia memperoleh pangsa pasar untuk komoditi-komoditi yang berkembang cepat atau dinamis di Pasar Malaysia sehingga Indonesia harus mempertahankan posisi tersebut.
135
Tabel 5.62 Hasil estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%)
Bunga Potong -34,21 Kubis -36,94 — Jamur Cendawan Tanah -61,55 Pisang -22,13 — Nanas Jambu Biji, Mangga da 3,82 Manggis Jahe -60,55 Temulawak 545,64 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%)
Posisi Daya saing
49,01 49,01 —
Lost Opportunity Lost Opportunity —
49,01 49,01 —
Lost Opportunity Lost Opportunity —
49,01
Rising Star
49,01 49,01
Lost Opportunity Rising Star
Penjelasan mengenai perbandingan nilai RCA hortikultura Indonesia dan negara pesaingnya per komoditi pada tahun 2001, 2005 dan 2009 di Pasar Malaysia kan dijelaskan sebagai berikut. 1. Bunga Potong Berdasarkan analisis keunggulan komparatif dengan mengggunakan metode RCA pada komoditi bunga potong Indonesia dan Thailand didapat nilai RCA yang kurang dari satu pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini, hanya pada tahun 2005 Thailand memiliki nilai RCA yang lebih dari satu. Sedangkan pesaing kedua Indonesia memiliki daya saing yang lemah seperti Indonesia dan Thailand pada tahun 2009. Pesaing kesatu Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditi tersebut dengan rata-rata pertumbuhan pada tahun 2001, 2005 dan 2009 sebesar 75,98 persen. Pesaing kedua Indoneia berhasil memperoleh nilai RCA tertinggi di Pasar Malaysia pada tahu 2001 meskipun nilai RCA bunga potong pesaing satu semakin menurun pada tahun 2005 dan 2009. Salah satu bunga potong yang diekspor Indonesia ke Pasar Malaysia yaitu krisan. Hasil estimasi RCA bunga potong Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.63.
136
Tabel 5.63 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,04865 Singapura 1,20722 Belanda 33,08529 0,05853 Cina 2,39894 Taiwan 5,26730 0,00661 Cina 3,67612 Singapura 0,74829
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,32227 1,00073 0,57554
Komoditi bunga potong Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif rendah di Pasar Malaysia juga tidak memiliki keunggulan kompetitif karena tidak mempunyai dayatarik pasar di Malaysia, tetapi bunga potong Indonesia merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Malaysia. 2. Kubis Hasil estimasi RCA kubis pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan nilai RCA yang kurang dari satu pada negara Indonesia, pesaing dua, dan Thailand. Ini menunjukan bahwa komoditi tersebut memiliki daya saing yang lemah di Pasar Malaysia. Hanya pesaing satu Indonesia yang mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Malaysia, dengan nilai RCA tertinggi pada tahu 2001 oleh Australia. Pada Tabel 5.64 ditunjukkan bahwa setelah pesaing kesatu yang mempunyai nilai ekspor tertinggi, terdapat pesaing kedua dengan nilai RCA terbesar kedua meskipun nilainya masih kurang dari satu, kemudian diikuti oleh Indonesia dan terakhir oleh Thailand. Tabel 5.64 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,15173 Australia 30,92242 Singapura 0,46417 0,05910 Cina 2,50172 Singapura 0,07989 0,05152 Cina 5,83884 Hongkong 0,53378
Indonesia
Thailand 0,15864 0,01406 0,04147
Bunga potong berada pada posisi kuadaran ―Lost Opportunity‖ berdasarkan keunggulan kompetitifnya. Dengan kata lain komoditi ini merupakan
137
komoditi yang dinamis meskipun tidak memiliki keunggulan kompetitif dan daya saing yang kuat berdasarkan keunggulan komparatifnya di Pasar Malaysia. 3. Jamur Indonesia hanya memiliki posisi dayasing pada tahun 2005 karena pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia tidak mengekspor jamur ke Pasar Malaysia. Pada tahun 2005 berdasarkan hasil estimasi RCA pada komoditi tersebut, posisi daya saing jamur Indonesia memiliki daya saing yang lemah karena nilai RCA yang kurang dari satu di Pasar Malaysia. Tidak hanya Indonesia yang memiliki nilai RCA yang kurang dari satu, Singapura sebagai pesaing kedua Indonesia dan Cina sebagai pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2009 juga tidak memiliki nilai RCA yang lebih dari satu. Negara yang memiliki daya saing yang kuat di pasar jamur Malaysia adalah Thailand dan pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2001 dan 2005. Dengan nilai RCA tertinggi diraih oleh Thailand pada tahun 2009. Hasil estimasi nilai RCA Indonesia dan negara pesaingnya pada komoditi jamur dapat dilihat pada Tabel 5.65. Tabel 5.65 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,00000 0,05923 0,00000
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA Belanda 3,71063 Singapura 0,73302 Cina 5,09904 Singapura 0,20681 Cina 0,76764 Singapura 0,39191
Thailand 4,80682 6,44867 10,88871
4. Cendawan Tanah Hasil estimasi RCA cendawan tanah Indonesia masih sama dengan komoditi sebelumnya yaitu tidak memiliki daya saing yang kuat pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini. Bahkan Thailand tidak memiliki daya saing di Pasar Malaysia karena tidak megekspor cendawan tanah pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Negara yang memiliki daya saing yang kuat dengan memiliki nilai RCA yang lebih dari satu adalah negara pesaing kesatu dan kedua Indonesia dengan nilai tertinggi pada tahun 2005 diraih oleh pesaing kesatu Indonesia yaitu Switzerland. Pada tabel 5.66 terlihat bahwa posisi nilai RCA Indonesia berada
138
pada posisi ketiga sebelum Thailand dan berada dibawah negara pesaing satu dan dua. Tabel 5.66 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Cendawan Tanah di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Nilai Negara Negara RCA Nilai RCA 0,10688 Italia 33,12406 Perancis 26,61614 0,08087 Switzerland 99,36068 Italia 21,23162 Korea 0,00100 Cina 5,69790 2,91534 Selatan
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,00000 0,00000 0,00009
Cendawan Tanah Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat berdasarkan analisis keunggulan komparatifnya dan tidak memiliki keunggilan kompetitif namun merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Malaysia pada tahun 2001, 2005 dan 2009. 5. Pisang Hasil estimasi RCA pisang Indoensia apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya yaitu pesaing satu, pesaing dua, Thailand, dan Filipina berada diurutan terbawah dengan nilai RCA terkecil dan tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Malaysia. Thailand pun hanya memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2005 tetapi nilai RCA pisang Thailand masih unggul dibandingkan dengan Indonesai meskipun pada tahun 2001 Thailand tidak mengeskpor pisang ke Pasar Malaysia. Pada tahun 2005 Filipina juga tidak mengekspor pisang ke Malaysia sehingga tidak memiliki daya saing terhadap komoditi tersebut, tetapi pada tahun 2001 dan 2009 daya saing Filipina di pasar pisang Malaysia mempunyai posisi yang kuat. Berdasarkan Tabel 5.67 pesaing kesatu Indonesia berhasil memperoleh nilai RCA tertinggi pada tahun 2009 sedangkan diposisi kedua dengan nilai RCA tertinggi diperoleh oleh pesaing kesatu Indonesia, lalu diikuti oleh Filipina, Thailand, lalu Indonesia.
139
Tabel 5.67 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Pesaing 1 Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA 0,03434 India 13,22036 Vietnam 26,22778 0,00000 5,22270 0,05333 Belanda 68,34502 Vietnam 32,61150 3,05271 0,00000 Sri 0,00022 Belanda 19,66258 116,26530 0,43676 71,42765 Langka
Tahun
Indonesia
2001 2005 2009
Pisang Indonesia merupakan komoditi yang mempunyain daya saing yang lemah secara komparatif namun merupakan komoditi yang dinamis meskipun tidak memiliki keunggulan kompetitif di Pasar Malaysia. 6. Nanas Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat berdasarkan keunggulan komparatifnya pada komoditi nanas di Pasar Malaysia pada tahun 2001 dan 2005 sama seperti pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2005 dan pesaing kedua Indonesia pada tahun 2001. Sedangkan Indonesia pada tahun 2009 dan Filipina pada tahun 2001 dan 2005 tidak memiliki daya saing terhadap komoditi ini di Pasar Malaysia karena pada tahun tersebut kedua negara ini tidak melakukan ekspor nanas ke Pasar Malysia. Negara yang memiliki daya saing yang kuat di Pasar Malaysia adalah pesaing satu pada tahun 2001 dan 2005, pesaing kedua Indonesia pada tahun 2005 dan 2009, Thailand, dan Filipina pada tahun 2009. Dengan nilai RCA tertinggi diperoleh oleh pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2001 yaitu Sri langka. Tabel 5.68 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001
Pesaing 1 Pesaing 2 Thailand Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA Sri 0,00294 191,29044 Singapura 0,05998 25,73808 Langka
Indonesia
2005
0,43778 Singapura
2009
0,00000 Jerman
0,21102 Sri Langka 7,22536 Taiwan
85,88984 2,46688
9,11504
Filipina 0,00000 0,00000
7,10631 14,58551
140
7. Jambu Biji, Mangga dan Manggis Negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif di Pasar Malaysia dalam komoditi jambu biji, mangga dan manggis adalah Indonesia dan Filipina dengan nilai ekspor yang kurang dari satu. Pada tahun 2009 Filipina berhasil memiliki daya saing yang kuat di Pasar Malaysia dengan nilai RCA yang menunjukan angka lebih dari satu seperti yang telihat pada Tabel 5.69. Pesaing kesatu, pesaing kedua dan Thailand memiliki daya saing yang kuat pada setiap tahun yang digunakan dalam pemelitian ini. Dengan nilai RCA tertinggi pada pesaing kesatu Indonesia tahun 2005 yaitu India. Perkembangan nilai RCA pesaing satu dan dua Indonesia berfluktuatif dengan peningkatan pada tahun 2005 dan kembali menurun pada tahun 2009, sedangkan Thailand mengalami penurunan pada tahun 2005 dan kembali naik pada tahun 2009. Tabel 5.69 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga dan Manggis di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Nilai Negara RCA 0,02551 Australia 4,81332 0,02353 India 46,15111 0,02715 India 10,81354
Indonesia
2001 2005 2009
Pesaing 2 Thailand Nilai Negara RCA India 5,99244 20,30194 Australia 8,11434 2,43306 Australia 3,19815 8,43067
Filipina 0,00000 0,90735 1,68255
Jambu biji,mangga dan manggis Indonesia menunjukan bahwa meskipun komoditi ini tidak memiliki daya saing yang kuat secara komparatif, namun memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamsi di Pasar Malaysia. 8. Jahe Hasil etsimasi RCA pada komoditi jahe di Pasar Malaysia menunjukan bahwa baik Indonesia, Cina, Singapura maupun Thailand sebagai negara pesaing Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Malaysia karena nilai RCA negara-negara tersebut yang menunjukan angka kurang dari satu pada komoditi ini seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.70.
141
Tabel 5.70 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Indonesia Negara 0,10141 Cina 0,01414 Cina 0,00919 Cina
Pesaing 2 Nilai Nilai RCA Negara RCA 0,01729 Singapura 0,00035 0,01508 Singapura 0,00012 0,00629 Singapura 0,00001
Thailand 0,20971 0,03471 0,04429
Jahe Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat berdasarkan keunggulan komparatifnya dan tidak memiliki keunggulan kompetitif, namun merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Malaysia berdasarkan perbandingan hasil estimasi RCA dan EPD pada tahun 2001, 2005 dan 2009. 9. Temulawak Hasil estimasi temulawak di Pasar Malaysia sama seperti pada komoditi sebelumnya yaitu jahe yang tidak memiliki daya saing yang kuat baik pada negara Indonesia maupun negara pesaingnya yaitu pesaing satu, pesaing dua, dan Thailand. Meskipun tidak memiliki daya saing yang kuat secara komparatif, namun komoditi ini berhasil menjadi komoditi yang dinamis di Pasar Malaysia dan memiliki keunggulan yang kompetitif karena ekspornya yang kontinyu dan tingginya minat Pasar Malaysia akan temulawak Indonesia. Hasil estimasi RCA temulawak Indonesia dan beberapa negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.71. Tabel 5.71 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak di Pasar Malaysia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,02621 0,00103 0,01328
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA India 0,06471 Singapura 0,00088 India 0,08192 Singapura 0,00043 India 0,02763 Cina 0,00108
Thailand 0,02715 0,00000 0,01282
142
5.3.8
Saudi Arabia Perkembangan posisi daya saing hortikultura Indonesia di Pasar Saudi
Arabia menurut keunggulan komparatifnya dengan metode RCA tidak seperti di Pasar sebelumnya yaitu Malaysia dan Jepang, dimana Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat pada semua komoditi hortikultura yang digunakan dalam penelitian ini. Di Pasar Saudi Arabia, terdapat beberapa komoditi yang memiliki daya saing kuat seperti jamur pada tahun 2001, jahe pada tahun 2001, temulawak pada tahun 2005, dan jambu biji, mangga, serta manggis pada tahun 2001. Sedangkan beberapa komoditi sepeti kubis, jamur, dan nanas tidak dapat diestimasi pertumbuhan rata-ratanya karena ekspor Indonesia yang tidak komtinyu terhadap komoditi tersebut. Pertumbuhan rata-rata tertinggi yaitu pada komoditi pisang karena kenaikan nilai ekspornya yang cukup signifikan di Pasar Saudi Arabia. Tabel 5.72 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009
2001 Bunga Potong 0,02130 Kubis 0,56949 Jamur 3,89489 Pisang 0,00133 Nanas 0,04114 Jambu Biji, Mangga da Manggis 2,75156 Jahe 1,60389 Temulawak 0,64234 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Berdasarkan
2005
2009
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
0,02389 0,00000 0,00000 0,04357 0,00000 0,58552 0,35724 1,43239
0,01954 0,00000 0,00000 0,40841 0,00000 0,23653 0,29019 0,62841
-3,00 — — 2000,58 — -69,16 -48,25 33,43
Nilai RCA
Komoditi
pemaparan
sebelumnya,
seperti
pada
perhitungan
pertumbuhan rata-rata bahwa kubis, jamur, dan nanas Indonesia tidak dapat diestimasi karena ketidakkontinyuan ekspor Indonesia di Pasar Saudi Arabia. Bunga potong, jahe, Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia mempunyai posisi daya saing pada kuadran ―Retreat‖ dimana pertumbuhan pangsa pasar ekspor dan produknya bernilai negatif. Kondisi ini merupakan kondisi yang paling
143
tidak diinginkan karena komoditas tersebut sudah tidak diinginkan lagi di pasar. Komoditas tersebut bisa diinginkan kembali apabila pergerakannya jauh dari stagnan dan bergerak mendekati peningkatan pada produk dinamis. Sedangkan pisang, dan temulawak Indonesia berada pada kuadran ―Falling Star‖ dimana Indonesia tidak mempunyai kekuatan bisnis untuk menyuplai komoditas tersebut padahal permintaan Pasar Saudi Arabia terhadap komoditas tersebut sedang meningkat. Tabel 5.73 Hasil estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas Bunga Potong Kubis Jamur Pisang Nanas Jambu Biji, Mangga da Manggis Jahe Temulawak
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%)
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%)
-14,58 — —
-8,01 — —
Retreat — —
1541,60 —
-8,01 —
Falling Star —
-69,25 -45,03 0,36
-8,01 -8,01 -8,01
Retreat Retreat Falling Star
Posisi Daya saing
Perbandingan RCA hortikultura Indonesia dan negara pesaingnya per komoditi akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Bunga Potong Posisi daya saing bunga potong Indonesia di Pasar Saudi Arabia menunjukan daya saing yang lemah dan merupakan satu-satuya negara yang mempunyai daya saing yang lemah apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya yaitu Belanda sebagai pesaing kesatu, pesaing kedua, dan Thailand. Berdasarkan Table 5.74 dapet terlihat bahwa nilai RCA tertinggi dikuasai oleh pesaing kedua Indonesia, kemudian diikuti oleh Belanda, Thailand, dan terakhir Indonesia. Nilai RCA tertinggi dicapai pada tahun 2009 oleh pesaing kedua Indonesia yaitu Ethiopia. Bunga potong Indonesia di Pasar Saudi Arabia maka dapat disimpulkan bahwa bunga potong Indonesia tidak memiliki daya saing yang
144
kuat secara komparatif dan tidak memiliki keunggulan kompetitif namun merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Saudi Arabia. Tabel 5.74 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
Pesaing 1 Negara Nilai RCA
2001
0,02130
Belanda
2005 2009
0,02389 Belanda 0,01954 Belanda
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Afrika 27,54464 22,50086 Selatan 15,87593 Ethiopia 49,75321 11,62413 Ethiopia 103,22988
Thailand 4,54039 3,84738 4,37202
2. Kubis Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa pada tahun 2005 dan 2009 Indonesia tidak mengekspor kubis ke Pasar Saudi Arabia sehingga Indonesia tidak memiliki daya saing pada tahun tersebut. Sama seperti Thailand yang tidak melakukan ekspor pada semua tahun yang diguanakan daam penelitian ini. Posisi daya saing Indonesia pada tahun 2001 menunjukan daya saing yang lemah karena nilai RCA kubis Indonesia yang kurang dari satu. Sedangkan negara pesaingnya yaitu pesaing satu dan pesaing dua mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Saudi Arabia dengan rata-rata pertumbuhan pada tahun 2001, 2005 dan 2009 sebesar -56,51 persen untuk pesaing satu karena nilai RCA yang semakin menurun pada tahun–tahun berikutnya. Pesaing kesatu Indonesia juga memiliki nilai RCA tertinggi di Pasar Saudi Aabia pada tahun 2001. Hasil estimasi RCA kubis Indonesia dan negara pesaingnya dpat dilihat pada Tabel 5.75. Tabel 5.75 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
2001
0,56949
2005
0,00000
2009
0,00000
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA Libanon 231,54699 Belanda 15,38357 Syrian Belanda 19,52681 31,91150 Arab Rep. Australia 15,33865 Belanda 8,22467
Thailand 0,00000 0,00000 0,00000
145
3. Jamur Jamur Indonesia hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2001, sedangkan pada tahun 2005 dan 2009 tidak memiliki keunggulan komparatif karena Indonesia tidak mengekspor komoditi tersebut ke Pasar Saudi Arabia. Sama seperti Thailand yang tidak mengekspor kubis pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Pesaing kesatu dan kedua Indonesia mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Saudi Arabia dengan nilai RCA tertinggi diperoleh oleh pesaing kedua Indonesia pada tahun 2009 yaitu Tunisia. Perkembangan nilai RCA pesaing kedua Indonesia semakin meningkat pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Sedangkan pesaing kesatu Indonesia memiliki nilai RCA yang berfluktuasi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.76. Tabel 5.76 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur di Pasar Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Nilai Negara RCA Negara Nilai RCA 3,89489 Belanda 37,48473 Perancis 1,00155 Syrian 0,00000 68,22701 Belanda 15,57110 Arab Rep. 0,00000 Belanda 32,77640 Tunisia 170,62502
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,00000 0,00000 0,00000
4. Pisang Berdasarkan hasil estimasi RCA pada komoditi pisang Indonesia, didapat nilai RCA yang kurang dari satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Ini memunjukan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang rendah di Pasar Saudi Arabia. Sedangkan Thailand sebagai negara pesaingnya kembali tidak mengeskpor komoditi ini pada tahun 2001, 2005 dan 2009 seperti pada komoditikomoditi sebelumnya sehingga tidak memiliki daya saing di Pasar Saudi Arabia. Berdasarkan Tabel 5.77 dapat terlihat bahwa Ekuador mempunyai perkembangan nilai RCA yang meningkat dan memiliki nilai RCA terbesar di Pasar Saudi Arabia dengan nilai terbesar pada tahun 2009. Negara berikutnya yang mempunya nilai RCA terbesar setelah Ekuador adalah pesing kedua Indonesia, kemudian Filipina, diikuti oleh Indonesia dan yang terakhir adalah Thailand.
146
Tabel 5.77 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang di Pasar Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Pesaing 1
Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Negara Nilai RCA Negara RCA 0,00133 Ekuador 1178,77519 Kolombia 732,26501 0,00000 74,60616 0,04357 Ekuador 1811,12124 Yaman 167,92188 0,00000 91,80741 0,40841 Ekuador 2268,17142 Yaman 147,14802 0,00000 94,78689
Tahun
Indonesia
2001 2005 2009
Pisang Indonesia di Pasar Saudi Arabia mempunyai keunggulan komparatif yang lemah di Pasar saudi Arabia, tetapi memiliki keunggulan kompetitif dengan berhasil merebut pangsa pasar ekspor Saudi Arabia meskipun bukan merupakan komoditi yang dinamis. 5. Nanas Hasil estimasi RCA nanas Indonesia menunjukan bahwa pada tahun 2005 dan 2009 Indonesia tidak melakukan ekspor nanas seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga pada tahun tersebut Indonesia tidak mempunyai daya saing di Pasar Saudi Arabia. Pada tahun 2001 nilai RCA Indonesia kurang dari satu sehingga memiliki daya saing yang lemah dan apabila dibandingkan dengan negara pesaing lainnya hanya Indonesia dan Thailand pada tahun 2009 yang tidak memiliki daya saing yang kuat. Pada Tabel 5.78 menunjukan bahwa pesaing kesatu Indonesia memiliki nilai RCA terbesar pada tahun 2009 yaitu Malaysia. Negara yang mempunyai nilai RCA besar setelah pesaing kesatu yaitu Filipina, kemudian diikuti oleh pesaing kedua, Thailand, dan terakhir Indonesia.
147
Tabel 5.78 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas di Pasar Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1
Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Negara Nilai RCA Negara RCA 0,04114 Malaysia 58064,31285 India 6,40005 34,69451 2,08110 Uni Sri 0,00000 Emirat 9,17121 124,71293 7,57397 546,94238 Langka Arab 0,00000 Malaysia 98304,89326 Kuwait 28,36738 0,19372 386,73830
Indonesia
6. Jambu Biji, Mangga dan Manggis Indonesia hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahu 2001, dan berhasil emngalahkan Thailand sebagai negara pesaingnya. Filipina pun hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2001 sama seperti Indonesia. Sedangkan pesaing satu dan dua Indonesia memiliki keunggulan komparatif di semua tahun yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan nilai RCA tertinggi dimiliki oleh pesaing kedua Indoneisa pada tahun 2001 yaitu Sudan. Perkembangan nilai RCA Indonesia dan pesaing kedua Indonesia mengalami penurunan, sedangkan pesaing satu, Thailand dan Filipina berfluktuasi pada tahun 2001, 2005 dan 2009 seperti yang terlihat pada Gambar 5.79. Tabel 5.79 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga dan Manggis di Pasar Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Nilai Negara RCA 2,75156 India 15,04478 0,58552 India 17,12213 0,23653 India 15,37069
Indonesia
Pesaing 2 Thailand Nilai Negara RCA Sudan 386,65343 0,02998 Yaman 71,37690 0,00000 Yaman 44,91795 0,00803
Filipina 5,83979 0,52844 0,79315
Posisi daya saing Indonesia yang kuat pada tahun 2001 dan melemah pada tahun 2005 dan 2009 secara komparatif ternyata tidak memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang stagnan atau tidak dinamis di Pasar
148
Saudi Arabia. Sehingga tidak mempunyai kekuatan pasar dan dayatarik pasar di Saudi Arabia. 7. Jahe Negara yang memiliki daya saing yang kuat pada komoditi jahe di Pasar Saudi Arabia hanya Indonesia dan Thailand pada tahun 2001 sedangkan negara pesaing lainnya tidak memiliki daya saing yang kuat. Nilai RCA tertinggi diperoleh oleh Thailand pada tahun 2001. Cina atau pun India merupaka produsen terbesar komoditi jahe di dunia tetapi tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Saudi Arabia. Hal ini dikarenakan tidak hanya nilai ekspor Indonesia saja yang meningkat, nilai ekspor dunia pun ikut meningkat di Pasar Saudi Arabia sehingga nilai RCA Cina dan India menunjukan angka yang kurang dari satu dan tidak memiliki daya saing yang kuat. Tabel 5.80 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Saudi Arabia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 1,60389 0,35724 0,29019
Pesaing 1 Negara Nilai RCA Cina 0,01703 Cina 0,01053 Cina 0,00784
Pesaing 2 Negara Nilai RCA India 0,00796 India 0,00413 India 0,00191
Thailand 3,80912 0,00000 0,12848
Komoditi ini hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2001 dan tidak memiliki keunggulan kompetitif dan bukan merupakan komodti yang dinamis di Pasar Saudi Arabia. 8. Temulawak Berdasarkan analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA pada komoditi temulawak, hanya Indonesia pada tahun 2005 yang memiliki daya saing yang kuat di Pasar Saudi Arabia dibandingkan dengan negara eksportir lainnya yang mengekspor temulawak ke Pasar Saudi Arabia. Thailand tidak memiliki daya saing karena tidak mengeskpor komoditi ini ke Pasar Saudi Arabia pada tahn 2001, 2005 dan 2009. Sedangkan negara pesaing kesatu dan kedua memiliki nilai RCA yang kurang dari satu disetiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.81.
149
Tabel 5.81 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak di Pasar Saudi Arabia Tahun RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Indonesia Negara 0,64234 India 1,43239 India 0,62841 India
Pesaing 2 Nilai Nilai RCA Negara RCA 0,08657 Singapura 0,08040 0,04264 Singapura 0,02384 0,04781 Cina 0,00447
Thailand 0,00000 0,00000 0,00000
Pemaparan sebelumnya menyatakan bahwa di Pasar Saudi Arabia hanya Indonesia pada tahun 2005 yang memiliki keunggulan komparatif pada komoditi temulawak, tetapi komoditi ini bukan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Hongkong. Meskipun begitu, temulawak Indonesia memiliki keunggulan kompetitif karena memiliki kemampuan merebut pangsa ekspor Saudi Arabia.
5.3.9
Amerika Serikat Tabel 5.82 menunjukan hasil estimasi RCA
produk hortikultura
Indonesia di Pasar Amerika Serikat tahun 2001, 2005 dan 2009. Dari hasil estimasi tersebut, terdapat beberapa komoditi yang tidak dapat diestimasi pertumbuhan rata-ratanya karena ekspor komoditi tersebut yang tidak kontinyu ke Pasar Amerika Serikat seperti kubis, pisang, Jambu Biji, Mangga da Manggis. Dengan pertumbuhan rata-rata tertinggi yaitu pada komoditi temulawak. Komoditi yang mempunyai daya saing kuat di Pasar Amerika Serikat yaitu jamur pada tahun 2001 dan 2005, cendawan tanah pada tahun 2009, dan temulawak pada tahun 2005 dan 2009. Sedangkan komoditi lainnya memiliki daya saing yang lemah di Pasar Amerika Serikat ditunjukkan dengan nulai RCA yang kurang dari satu.
150
Tabel 5.82 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 Nilai RCA Komoditi 2001
2005
Bunga Potong 0,036148 0,063213 Kubis 0,171033 0,000000 Jamur 7,892103 2,407712 Cendawan Tanah 0,000000 0,000000 Pisang 0,000031 0,000371 Nanas 0,497833 0,000000 Jambu Biji, Mangga da 0,000000 0,000000 Manggis Jahe 0,926318 0,448179 Temulawak 0,000043 1,663705 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
2009
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
0,027300 0,000000 0,000000 4,132089 0,000253 0,000014
9,03 — -84,75 —
0,012195
—
0,452239 2,700025
-25,35 1944076,12
533,73 —
Berdasarkan hasil analisis keunggulan kompetitif dengan menggunakan metode EPD maka terdapat komoditi yang tidak dapat diestimasi yaitu kubis, jamur, cendawan tanah, nnanas, Jambu Biji, Mangga da Manggis karena ekspor komoditi tersebut yang tidak kontinyu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan komoditi lainnya yaitu kubis, pisang, jahe dan temulawak Indonesia berhasil mendapatkan posisi daya saing terbaik yaitu ―Rising Star‖ dimana pertumbuhan pangsa pasar ekspor dan produknya berniali positif di Pasar Amerika Serikat. Posisi ini adalah posisi yang paling menguntungkan karena Indonesia mempuyai kekuatan bisnis dan dayatarik pasar di Amerika Serikat sehingga komoditi ini merupakan komoditi yang dinamis dan memiliki keunggulan kompetitif.
151
Tabel 5.83 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%)
Bunga Potong 3,27 — Kubis — Jamur — Cendawan Tanah Pisang 467,92 — Nanas — Jambu Biji, Mangga da Manggis Jahe 0,00 Temulawak 0,00 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%)
Posisi Daya saing
5,39 — — —
Rising Star — — —
5,39 — —
Rising Star — —
5,39 5,39
Rising Star Rising Star
1. Bunga Potong Posisi daya saing bunga potong Indonesia berdasarkan keunggulan komparatifnya di Pasar Amerika Serikat pada tahun 2001, 2005 dan 2009 adalah berdaya saing lemah sama seperti Thailand tahun 2001 dan 2009. Apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya hanya Indonesia dan Thailand pada tahun 2001 dan 2009 yang memiliki keunggulan komparatif yang rendah pada komoditi ini. Pada tahun 2005 bunga potong Thailand berhasil memiliki nilai RCA yang lebih dai satu sehingga berhasil memiliki daya saing yang kuat di Pasar Amerika Serikat. Sedangkan Kolombia dan Ekuador berhasil mempunyai daya saing yang kuat di setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.84. Perkembangan nilai RCA kedua negara tersebut mengalami penurunan pada tahun 2001, 2005 dan 2009 sedangkan perkembangan nilai RCA Indonesia dan Thailand berfluktuatif. Nilai RCA terbesar diperoleh oleh Kolombia, dengan nilai RCA terbesar pada tahun 2001.
152
Tabel 5.84 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,03615 Kolombia 113,28191 Ekuador 111,42265 0,06321 Kolombia 109,13522 Ekuador 58,09013 0,02730 Kolombia 70,50434 Ekuador 51,07876
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,72181 1,03540 0,87425
Bunga potong Indonesia di Pasar Amerika Serikat menunjukan bahwa meskipun bunga potong Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif yang besar karena berdaya saing lemah, tetapi komoditi ini berhasil merebut pangsa pasar produk dan ekspor Amerika Serikat sehinga memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Amerika Serikat. 2. Kubis Berdasarkan perbandingan hasil estimasi RCA kubis Indoensia dan negara pesingnya di Pasar Amerika Serikat pada tahun 2001, 2005 dan 2009 didapatkan hasil bahwa hanya Indonesia, Thailand yang tidak memiliki daya saing yang kuat. Sedangkan pesaing kedua Indonesia pada tahun 2005 juga memiliki nilai RCA yang kurang dari satu sehingga berdaya saing lemah di Pasar Amerika Serikat. Pada tahun 2001 dan 2005 pesaing kedua Indonesia berhasil memperoleh nilai RCA yang lebih dari satu bahkan memiliki nilai RCA terbesar di Pasar Amerika Serikat dengan nilai RCA terbesar pada tahun 2009 oleh Guatemala. Selain pesaing kedua, pesaing kesatu juga mempunyai daya saing yang kuat pada tahun 2001, 2005 dan 2009 meskipun dengan perkembangan nilai RCA yang berfluktuatif. Pada
tahun
2001
nilai
RCA
Indonesia
berhasil
mengalahkanThailand dan berdasarkan Tabel 5.86 dapat disimpulkan bahwa pesaing dua mempunyai nilai RCA terbesar, lalu diikuti oleh pesaing satu, Indonesia, dan Thailand.
153
Tabel 5.85 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,17103 Meksiko 4,96672 Kanada 1,13143 0,00000 Meksiko 5,13313 Kanada 0,85726 0,00000 Meksiko 4,59922 Guatemala 78,75193
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,00072 0,00000 0,00000
3. Jamur Hasil
estimasi
RCA
jamur
Indonesia
berdasarkan
keunggulan
komparatifnya menunjukan bahwa jamur Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2001 dan 2005 di Pasar Amerika Serikat meskipun perkembangan nilai RCA jamur Indonesia menurun. Negara yang tidak memiliki daya saing yang kuat pada komoditi ini yaitu Thailand dan pesaing kedua Indonesia pada tahun 2005 dan 2009. Sedangkan pada tahun 2001 pesaing kedua Indonesia berhasil memperoleh nilai RCA tertinggi di Pasar Amerika Serikat. Pesaing kesatu Indonesia yaitu Kanada merupakan negara yang mempunyai daya saing yang kuat dan paling kontinyu dibandingkan dengan negara lainnya. Apabila dibandingkan nilai rata-rata RCA jamur di Pasar Amerika Serikat, pesaing kedua Indoneisa mempunyai nilai rata-rata RCA terbesar, lalu diikuti oleh pesaing satu, Indonesia, lau yag terakhir adalah Thailand. Tabel 5.86 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Pesaing 1 Negara Nilai RCA 7,89210 Kanada 3,27919 2,40771 Kanada 4,08769 0,00000 Kanada 5,43412
Indonesia
Pesaing 2 Negara Nilai RCA India 19,95524 Cina 0,79030 Meksiko 0,48429
Thailand 0,07553 0,04372 0,00000
4. Cendawan Tanah Pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia tidak mengekspor cendawan tanah ke Pasar Amerika Serikat sehingga pada tahun tersebut Indonesia tidak memiliki daya saing di Pasar Amerika Serikat. Pada tahun 2009 Indonesia berhasil
154
memiliki daya saing yang kuat dengan nilai RCA yang lebih dari satu dan berhasil mengalahkan Cina sebagai negara pesaing kesatu Indonesia dan berada di urutan kedua setelah Korea Selatan dengan nilai RCA terbesar pada tahun tersebut. Sedangkan Thailand sebagai sesama eksportir yang berasal dari ASEAN memiliki daya saing yang redah pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini. Pesaing kesatu dan kedua Indonesia memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001, 2005 dan 2009 dengan nilai RCA tertinggi diperoleh oleh pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2001 yaitu Perancis. Berdasarkan Tabel 5.87 dapat terlihat bahwa pesaing satu memiliki nilai RCA yang terbesar di Pasar Amerika Serikat lalau diikuti oleh pesaing kedua, Indonesia berada diposisi ketiga lalu terakhir diduduki oleh Thailand. Tabel 5.87 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Cendawan Tanah di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,00000 Perancis 24,56447 Italia 8,84762 0,00000 Italia 20,64511 Perancis 16,62619 Korea 4,13209 Cina 2,73765 6,52217 Selatan
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,16187 0,04958 0,02127
5. Pisang Pisang Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Amerika Serikat pada Tahun 2001, 2005 dan 2009 karena memiliki nilai RCA yang kurang dari satu. Apabila dibandingkan dengan negara pesaing lainnya, tidak hanya Indonesia yang memiliki daya saing rendah di Pasar Amerika Serikat. Thailand dan Filipina juga memiliki nilai RCA yang kurang dari satu, jadi hanya pesaing satu dan pesaing dua Indonesia yang memiliki daya saing yang kuat di Pasar Amerika dengan nilai RCA tertinggi diraih oleh pesaing kedua Indonesia pada tahun 2001.
155
Tabel 5.88 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Thailand Pesaing 1 Pesaing 2 Filipina Nilai Nilai Negara RCA Negara RCA Costa 0,00003 138,97965 Ekuador 147,56964 0,00713 0,00137 rica
Tahun
Indonesia
2001
0,00037 Costa 118,34577 Guatemala 129,85786 rica 0,00025 Ekuador 89,41492 Guatemala 113,11887
2005 2009
0,10383
0,00932
0,07073
0,00103
Pisang Indonesia memiliki daya saing yang rendah secara komparatif, namun komoditi ini berhasil merebut pangsa produk Amerika Serikat ditandai dengan permintaan akan pisang Indonesia yang masih tinggi dan menunjukan angka yang positif serta keberhasilan Indonesia merebut pangsa pasar ekspor Amerika Serikat sehingga Indonesia merupakan komoditi yang kompetitif dan dinamis di Pasar Amerika Serikat. 6. Nanas Perkembangan hasil estimasi RCA nanas Indonesia di Pasar Amerika Serikat mempunyai daya saing yang lemah dengan nilai RCA yang kurang dari satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya, Thailand, Filipina, dan pesaing kedua Indonesia pada tahun 2009 juga memiliki daya saing yang rendah di Pasar Amerika Serikat. Hanya pesaing kesatu yang mempunyai daya saing yang kuat pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini, dan berhasil mempunyai rata-rata nilai RCA tertinggi di Pasar Amerika Serikat. Pesaing kedua Indonesia hanya memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001 dan 2005, pada tahun 2001 merupakan nilai RCA yang tertinggi di Pasar Amerika Serikat.
156
Tabel 5.89 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Nilai Negara RCA Negara RCA Costa 0,49783 293,26119 Honduras 497,44340 0,01846 1,06344 Rica Costa 0,00000 390,14955 Ekuador 18,67788 0,50631 0,00206 Rica Costa 0,00001 437,31772 Meksiko 0,64266 0,06935 0,41206 Rica
Indonesia
7. Jambu Biji, Mangga dan Manggis Berdasarkan analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA pada komoditi Jambu Biji, Mangga dan Manggis di Pasar Amerika Serikat menunjukan bahwa hanya Indonesia pada tahun 2009 dan Thailand tahun 2001 yang memiliki daya saing rendah di Pasar Amerika Serikat, negara-negara eksportir lainnya memiliki daya saing yang kuat dengan nilai RCA yang menunjukan angka lebih dari satu. Bahkan pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia tidak mengekspor komoditi ini ke Pasar Amerika Serikat sehingga pada tahun tersebut komoditi ini tidak memiiki daya saing di Pasar Amerika Serikat. Berdasarkan Tabel 5.90 negara yang memiliki nilai RCA terbesar yaitu Peru dengan nilai RCA terbesar pada tahun 2001 meskipun perkembangan nilai RCA Peru terus menurun di tahun 2005 dan 2009. Kemudian negara dengan nilai RCA terbesar lainnya selain Peru yaitu Meksiko, diikuti dengan Filipina, Thailand, dan terakhir Indonesia dengan nilai RCA terkecil. Tabel 5.90 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga dan Manggis di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Indonesia 0,00000 0,00000 0,01219
Pesaing 1 Nilai Negara RCA Meksiko 5,40377 Meksiko 4,33606 Meksiko 4,14323
Pesaing 2 Nilai Negara RCA Peru 68,02386 Peru 44,96924 Peru 33,00386
Thailand
Filipina
0,01670 1,62055 1,61481
1,81230 5,25271 4,67337
157
8. Jahe Hasil estimasi RCA jahe di Pasar Amerika Serikat pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan bahwa diantara Indonesia, Cina, pesaing kedua Indonesia, dan Thailand hanya Thailand yang berhasil mempunyai daya saing yang kuat di Pasar Amerika Serikat dengan nilai RCA terbesar dan menunjukan angka yang lebih dari satu seperti yang digambarkan pada Tabel 5.91 dengan nilai RCA tertinggi dicapai pada tahun 2001.Thailand berhasil mengalahkan pesing kesatu dan pesaing kedua Indonesia padahal pesaing kesatu dan kedua indonesia mempunyai nilai ekspor yang tinggi di Pasar Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan beberapa hal salah satunya yaitu pangsa ekspor Thailand yang lebih besar dibandingakan dengan pangsa ekspor dunia sehingga nilai RCA Thailand menjadi lebih besar. Tabel 5.91 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,92632 0,44818 0,45224
Pesaing 1 Negara Nilai RCA Cina 0,00914 Cina 0,00719 Cina 0,00499
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Brazil 0,01663 Brazil 0,00561 Peru 0,01053
Thailand 5,35294 2,04850 3,56959
Daya saing jahe Indonesia rendah secara komparatif, namun komoditi ini memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinmis di Pasar Amerika Serikat. 9. Temulawak Perkembangan hasil estimasi RCA temulawak Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Apabila dibandingkan dengan negara lainnya yaitu pesaing kesatu pesaing kedua, dan Thailand hanya Indonesia yang memiliki daya saing yang kuat di pasar temulawak Amerika Serikat meskipun hanya terjadi pada tahun 2005 dan 2009. Negara-negara pesaing lainnya memiliki nilai RCA kurang dari satu pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil estimasi RCA temulawak Indonesai dan negara pesingnya di Pasar Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 5.92.
158
Tabel 5.92 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,00004 1,66371 2,70003
Pesaing 1 Negara Nilai RCA India 0,11968 India 0,08238 India 0,06261
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Jamaica 0,03754 Vietnam 0,01156 Fiji 0,51112
Thailand 0,93988 0,74373 0,86960
Indonesia memiliki daya saing yang lemah secara komparatif namun mampu merebut pangsa pasar eksor dan produk Amerika Serikat sehingga memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Amerika Serikat.
5.3.10 Uni Emirat Arab Berdasarkan hasil estimasi RCA hortikultira Indonesia di Pasar Uni Emirat Arab pada tahun 2001, 2005 dan 2009 (Tabel 5.93) menunjukan bahwa terdapat beberapa komoditi seperti kubis, jamur, cendawan tanah, pisang, jahe, dan temulawak yang tidak dapat diestimasi pertumbuhan rata-ratanya karena ketidakkontinyuan ekspor komoditi tersebut ke Pasar Uni Emirat Arab. Komoditi dengan pertumbuhan rata-rata tertinggi yaitu bunga potong. Sedangkan komoditi hortikultura Indonesia yang mempunyai daya saing yang kuat dengan nilai RCA yang lebih dari satu di Pasar Uni Emirat Arab adalah Jambu Biji, Mangga da Manggis, serta cendawan tanah pada tahun 2009. Sedangkan komoditi lainnya memiliki nilai RCA yang kurang dari satu atau memiliki keunggulan komparatif yang rendah.
159
Tabel 5.93 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 Nilai RCA
Komoditi 2001
Bunga Potong 0,090445 Kubis 0,000000 Jamur 0,000000 Cendawan Tanah 0,000000 Pisang 0,000000 Nanas 0,068235 Jambu Biji, Mangga da 1,315148 Manggis Jahe 0,858120 Temulawak 0,000000 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
2005
2009
0,565291 0,000000 0,000066 0,000000 0,000000 0,000340
0,016958 0,049028 0,000000 1,343434 0,015415 0,000000
214,00 — — — — -99,75
1,186992
1,226148
-3,22
0,000000 0,189609
0,000004 0,908633
— —
Hasil analisis keunggulan kompetitif dengan menggunakan EPD pada produk hortikultura Indonesia di Pasar Uni Emirat Arab menunjukan bahwa hanya terdapat dua komoditi yang dapat diestimasi menggunakan metode ini karena komoditi lainnya tidak memiliki kekontinyuan dalam ekspornya ke Pasar Uni Emirat Arab. Bunga potong Indonesia memiliki posisi daya saing pada kuadran ―Falling Star‖ dimana pertumbuhan pangsa pasar ekspornya bernilai positif dan pertumbuhan pangsa pasar produknya bernilai negatif. Meskipun pangsa pasar ekspor bunga potong Indonesia memiliki pertumbuhan yang positif, namun permintaan Pasar Uni Emirat Arab akan komoditi tersebut menurun, sehingga akan lebih baik apabila pengembangan dan pemasarang bunga potong Indonesia difokuskan di dalam negeri. Sedangkan Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia berada pada posisi kuadran ―Retreat‖ dimana kondisi tersebut merupakan kondisi yang paling tidak diinginkan karena pertumbuhan pangsa pasar eskpor dan produknya bernilai negatif. Ini berarti Jambu Biji, Mangga da Manggis Indonesia sudah tidak diinginkan lagi di Pasar Uni Emirat Arab.
160
Tabel 5.94 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%)
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%)
Bunga Potong 47,34 — Kubis — Jamur — Cendawan Tanah — Pisang — Nanas Jambu Biji, Mangga da Manggis -29,83 — Jahe — Temulawak Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Posisi Daya saing
-29,12 — — — — —
Falling Star — — — — —
-29,12428 — —
Retreat — —
Penjelasan mengenai perbandingan nilai RCA Indonesia dan negara pesaingnya di Pasar Uni Emirat Arab pada tahun 2001, 2005 dan 2009 akan djelaskan sebagai berikut. 1. Bunga Potong Hasil estimasi RCA pada komoditi bunga potong di Pasar Uni Emirat Arab menunjukan bahwa hanya Indonesia yang memiliki daya saing rendah di pasar tersebut apabila dibandingkan dengan negara pesaing lainnya yaitu Thailand, pesaing satu dan pesaing dua Indonesia. Pada tabel 5.95 dapat terlihat bahwa pesing kedua Indonesia memiliki nilai RCA terbesar pada tahun 2001, 2005 dan 2009, kemudian diikuti oleh pesaing satu, Thailand dan terakhir Indonesia. Nilai RCA tertinggi pesaing kedua Indonesia diperoleh pada tahun 2005 oleh Kenya dengan peningkatan nilai ekspor sebesar 276,91 persen. Tabel 5.95 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Nilai Negara RCA 0,09045 Belanda 18,76299 0,56529 Belanda 16,97488 0,01696 Kenya 272,43410
Indonesia
Pesaing 2 Negara Kenya Kenya Belanda
Thailand Nilai RCA 111,51361 420,30114 13,29657
1,81093 5,00139 3,73647
161
Posisi daya saing kubis Indonesia yang rendah secara komparatif di Pasar Uni Emirat Arab memiliki kemampuan merebut pangsa ekspor Amerika Serikat sehingga memiliki keunggulan kmpetitif meskipun bukan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar Uni Emirat Arab. 2. Kubis Perkembangan daya saing secara komparatif terhadap komodit kubis di Pasar Uni Emirat Arab menunjukan bahwa hanya pesaing kesatu dan pesaing kedua yang memiliki posisi daya saing yang kuat di pasar kubis Uni Emirat Arab karena memiliki nilai RCA yang menunjukan angka yang lebih dari satu. Sedangkan Indonesia dan Thailand memiliki daya saing yang lemah bahkan pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia tidak melakukan ekspor kubis sama seperti Thailand pada tahun 2005 sehingga tidak memiliki daya saing di pasar tersebut. Kendala yang dialami oleh Indonesia dalam mengekspor komoditi ini ke Uni Emirat Arab adalah salah satunya karena faktor tidak adanya transportasi langsung ke Uni Emirat Arab, akibatnya komoditi ini menjadi mahal di Pasar Uni Emirat Arab apabila dibandingkan dengan negara-negara eksportir lainnya. Selain itu, kurangnya dukungan dari pemerintah terhadap eksportir Indonesia, tidak seperti negara-negara eksportir lainnya yang didukung penuh oleh pemerintahnya baik itu dalam pemberian subsidi ataupun kemudahan untuk mengurus perizinan ekspor. Tabel 5.96 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
2001 2005 2009
0,00000 0,00000 0,04903
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA Yordania 217,57221 Iran 19,30864 Yordania 181,96977 Belanda 13,14803 Yordania 329,82215 Cina 1,22151
Thailand 0,00119 0,00000 0,22343
3. Jamur Pada tahun 2001 dan 2009 Indonesia tidak melakukan ekspor jamur ke Pasar Uni Emirat Arab seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga pada tahun tersebut Indonesia tidak memiliki daya saing di Pasar Uni Emirat Arab.
162
Pada tahun 2005 daya saing jamur Indonesia rendah karena memiliki nilai RCA kurang dari satu. Thailand juga memiliki nilai RCA yang kurang dari satu pada semua tahun yang digunakan dalam penelitian ini. Hanya pesing satu dan pesaing kedua Indonesia yang memiliki daya saing kuat di Pasar Uni Emirat Arab. Pada Tabel 5.97 dapat terlihat bahwa pesaing kesatu Indonesia memiliki nilai RCA terbesar di Pasar Uni Emirat Arab, kemudian diikuti oleh pesaing kedua, kemudian Thailand, lalu terakhir Indonesia dengan nilai RCA terkecil. Nilai ekspor terbesar pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2001 meskipun perkembangan nilai ekspornya menurun. Tabel 5.97 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,00000 Belanda 43,09676 Iran 3,38924 0,00007 Oman 39,85948 Belanda 16,00085 0,00000 Oman 37,57181 Belanda 2,72776
Indonesia
Thailand 0,22782 0,00606 0,01502
4. Cendawan Tanah Pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia dan Thailand tidak mengekspor cendawan tanah sehingga tidak memiliki daya saing yang kuat di Pasar Uni Emirat Arab. Sedangkan pada tahun 2009 Indonesia dan Thailand memiliki nilai RCA yang lebih dari satu sehingga memiliki daya saing yang kuat di Pasar Uni Emirat Arab. Pesaing kesatu dan kedua Indonesia mempunyai nilai RCA yang lebih dari satu dan kontinyu pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Nilai RCA terbesar diperoleh oleh pesaing kesatu Indonesia pada tahun 2009 yaitu Algeria. Tabel 5.98 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Cendawan Tanah Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Indonesia Negara Syrian 0,00000 Arab Rep. 0,00000 Perancis 1,34343 Algeria
Nilai RCA
Pesaing 2 Nilai Negara RCA
Thailand
448,18970 Perancis
1,69260
0,00000
10,20817 Iran 1697,55263 Perancis
16,74776 2,47947
0,00000 7,39307
163
5. Pisang Hasil estimasi RCA pisang Indonesia di Pasar Uni Emirat Arab sama seperti pada komoditi sebelumnya yaitu cendawan tanah. Perbedaannya yaitu pada tahun 2009 cendawan tanah Indonesia mempunyai daya saing yang kuat, sedangkan pisang Indonesia memiliki daya saing yang lemah. Tidak hanya Indonesia yang memiliki daya saing lemah di Pasar Uni Emirat Arab, Belgia pada tahun 2001 dan 2005, Jerman pada tahun 2005, dan Thailand juga memiliki nilai RCA yang kurang dari satu sehingga memiliki keunggulan komparatif yang rendah. Negara yang memiliki nilai RCA terbesar dan memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001, 2005 dan 2009 adalah Filipina dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 31,44 persen. Perbandinga nilai RCA pisang Indonesia dan negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.99. Tabel 5.99 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Pesaing 1 Nilai Negara RCA 0,00000 Belgia 0,89391 0,00000 Belgia 0,63467 0,01541 Belgia 2,22611
Tahun
Indonesia
2001 2005 2009
Pesaing 2 Nilai Negara RCA Jerman 1,26347 Jerman 0,26570 Ekuador 18,79014
Thailand 0,00047 0,00231 0,17213
Filipina 341,62734 745,48125 333,03135
6. Nanas Nanas Indonesia mempunyai daya saing yang lemah di Pasar Uni Emirat Arab berdasarkan keunggulan komparatifnya dan apabila dibandingkan dengan negara-negara pesaingnya, hanya Indonesia dan Thailand pada tahun 2009 yang memiliki keunggulan komparatif yang rendah. Nilai RCA tertinggi diraih oleh Kenya sebagai pesaing kedua Indonesia pada tahun 2005. Negara yang memiliki nilai rata-rata RCA tertinggi di Pasar Uni Emirat Arab pada tahun 2001, 2005 dan 2009 yaitu pesaing kedua Indonesia, kemudian Filipina, pasaing kesatu Indonesia, Thailand, dan terakhir Indonesia dengan nilai rata-rata ekspor terkecil.
164
Tabel 5.100 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 2 Thailand Nilai Negara RCA Afrika 0,06824 Malaysia 18,05231 69,51898 1,42548 Selatan Afrika 0,00034 44,85118 Kenya 237,73252 5,33385 Selatan Sri 0,00000 Malaysia 20,99784 69,17747 0,01377 Langka
Indonesia
Pesaing 1 Nilai Negara RCA
Filipina 7,63084 144,23089 204,65744
7. Jambu Biji, Mangga dan Manggis Hasil estimasi Jambu Biji, Mangga dan Manggis Indonesia di Pasar Uni Emirat Arab pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan nilai RCA yang lebih dari satu, dengan kata lain komoditi ini mempunyai daya saing yang kuat di pasar tersebut. Nilai RCA Indonesia mampu mengalahkan Thailand pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Pada tahun 2005 dan 2009 Thailand memiliki nilai RCA yang kurang dari satu sehingga memiliki daya saing yang rendah sama seperti Filipina tahun 2005. Negara pesaing lainnya yaitu pesaing satu dan pesaing dua Indonesai memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Pada Tabel 5.101 dapat terihat bahwa pesaing kedua Indonesia memiliki nilai RCA tertinggi di Pasar Uni Emirat Arab pada tahun 2001. Sedangkan berdasarkan nilai rata-rata RCA komoditi ini di Pasar Uni Emirat Arab, pesaing kedua mempuyai nilai ratarata RCA terbesar, kemudia iikuti oleh India, Filipina, Indonesia, dan Thailand. Tabel 5.101 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga dan Manggis Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Nilai Negara RCA 1,31515 India 9,07472 1,18699 India 6,66299 1,22615 India 3,77684
Indonesia
Pesaing 2 Thailand Nilai Negara RCA Kenya 162,04751 1,29498 Pakistan 21,26601 0,11683 Pakistan 13,98749 0,11292
Filipina 2,85436 0,39264 1,52082
165
Komoditi ini mempunyai keunggulan komparatif dengan daya saing yang kuat pada tahun 2001, 2005 dan 2009 namun komoditi ini tidak memiliki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang stagnan di Pasar Uni Emirat Arab karena ketidakberhasilan komoditi ini dalam merebut pangsa pasar ekspor dan produk Uni Emirat Arab, selain itu banyak faktor lain yang menyebabkan hal ini terjadi. 8. Jahe Negara yang memiliki posisi daya saing yang kuat secara komparatif pada komoditiini di Pasar Uni Emirat Arab menggunakan metode RCA adalah Thailand pada tahun 2001 dan apabila dibandingkan dengan negara lainnya yaitu Indonesia, Cina, dan pesaing kedua hanya Thailand pada tahun 2001 yang mempunyai nilai RCA lebih dari satu di Pasar Uni Emirat Arab. Hasil estimasi RCA jahe Indonesia dan negara pesaingnya pada tahun 2001, 2005 dan 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.102. Tabel 5.102 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,85812 0,00000 0,00000
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA Cina 0,01147 India 0,00132 Cina 0,00916 Ethiopia 0,20596 Cina 0,00656 Nigeria 0,21426
Thailand 6,78024 0,00000 0,05536
9. Temulawak Perkembangan
hasil
estimasi
keunggulan
komparatif
komoditi
temulawak di Pasar Uni Emirat Arab menunjukan bahwa tidak ada negara yang memiliki daya saing yang kuat dengan nilai RCA yang lebih dari satu pada tahun 2001, 2005 dan 2009 baik itu Indonesia, India, pesaing kedua, maupun Thailand. Negara-negara tersebut mempunyai nilai RCA kurang dari satu bahkan Thailand dan Indonesia pada tahun 2001 tidak memiliki daya saing di pasar tersebut karena pada tahun tersebut kedua negara itu tidak melakukan ekspor seperti pada penjelasan yang telah dijelaskan sebelumnya.
166
Tabel 5.103 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak Pasar Uni Emirat Arab Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,00000 0,18961 0,90863
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA India 0,01372 Singapura 0,00105 India 0,01090 Pakistan 0,00085 India 0,00416 Cina 0,00059
Thailand 0,00000 0,00000 0,00000
5.3.11 Pasar dunia Tabel 5.104 menunjukan hasil estimasi RCA hortikultura Indonesia di pasar dunia pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa terdapat beberapa komoditi yang memiliki nilai RCA lebih dari satu yang menanandakan bahwa komoditi tersebut mempunyai daya saing yang tinggi di pasar dunia. Komoditi tersebut adalah Jambu Biji, Mangga da Manggis tahun 2001 dan 2005, jahe tahun
2001, dan temulawak tahun 2005 dan 2009.
Sedangkan komoditi lainnya memiliki nilai RCA yang kurang dari satu atau memiliki daya saing yang lemah di pasar dunia. Komoditi yang mempunyai pertumbuhan rata-rata tertinggi karena memngalami kenaikan nilai ekspor yang cukup signifikan yaitu cendawan tanah. Tabel 5.104 Hasil Estimasi RCA Hortikultura Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009
2005
2009
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
0,08556 0,74247 0,25179 0,00543 0,02657 0,02270 1,26352 0,84030 2,50105
0,06051 0,61652 0,01317 0,39020 0,00259 0,00156 0,75338 0,85378 2,91429
58,70 -10,68 -74,84 3584,39 508,85 -90,47 -7,99 -35,58 210,91
Nilai RCA
Komoditi 2001 Bunga Potong 0,03469 Kubis 0,77661 Jamur 0,55849 Cendawan Tanah 0,00296 Pisang 0,00220 Nanas 0,18598 Jambu Biji, Mangga da Manggis 1,01568 Jahe 3,08596 Temulawak 0,49496 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
167
Hasil estimasi EPD terhadap produk hortikultura Indonesia menunjukan bahwa komoditi hortikultura Indonesia berada pada kuadran ―Rising Star‖ dan ―Lost Opportunity‖. Komoditi bunga potong, cendawan tanah, pisang, dan temulawak berada pada posisi daya saing kuadaran ―Rising Star‖ dimana pertumbuhan pangsa pasar ekspor dan produknya mengalami pertumbuhan yang positif. Posisi ini merupakan posisi daya saing yang terbaik karena Indonesia memperoleh tambahan pangsa pasar dimana komoditi tersebut merupakan salah satu komoditi yang permintaaannya tumbuh dengan cepat di pasar dunia. Sedangkan kubis, jamur, nanas, jahe, Jambu Biji, Mangga da Manggis memiliki posisi daya saing ―Lost Opportunity‖ dimana pertumbuhan pangsa pasar ekspornya mengalami pertumbuhan yang negatif dan pertumbuhan pangsa pasar produknya bernilai positif. Kondisi ini tidak diinginkan karena hal tersebut berarti kita kehilangan kesempatan pangsa pasar ekspor untuk komoditi yang dinamis di pasar dunia. Tabel 5.105 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditas
Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor (%)
Bunga Potong 51,80 Kubis -9,04 Jamur -76,70 Cendawan Tanah 4131,95 Pisang 448,99 Nanas -90,55 Jambu Biji, Mangga da -9,60 Manggis Jahe -29,07 Temulawak 194,58 Keterangan: Tanda (-): tidak dapat diestimasi
Pertumbuhan Pangsa Pasar Produk (%) 2,73 2,73 2,73 2,73 2,73 2,73
Posisi Daya saing Rising Star Lost Opportunity Lost Opportunity Rising Star Rising Star Lost Opportunity
2,73
Lost Opportunity
2,73 2,73
Lost Opportunity Rising Star
Berikut ini akan dijelaskan perbandingan hasil estimasi RCA Indonesia dengan negara pesaingnya di Pasar dunia pada tahun 2001, 2005, 2009 sebagai berikut.
168
1. Bunga Potong Pada tahun 2001, 2005 dan 2009 Indonesia memiliki nilai RCA yag kurang dari satu berdasarkan analisis keunggulan komparatifnya, ini berarti bunga potong Indonesia mempunyai daya saing yang lemah di pasar dunia. Apabila dibandingkan dengan negara pesaingnya, Thailand memiliki nilai RCA yang juga menunjukan angka kurang dari satu pada tahun 2001 dan 2009 ini menunjukan bahwa pada tahun tersebut daya saing bunga potong Thailand juga lemah di pasar dunia. Hanya pada tahun 2005 nilai RCA Thailand memiliki angka yang menunjukan lebih dari satu sehingga berdaya saing kuat di pasar dunia. Sedangkan Belanda dan Kolombia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 selalu memiliki daya saing yang kuat. Negara yang memiliki nilai RCA tertinggi di pasar dunia seperti yang ditunjukan pada Tabel 5.106 yaitu Kolombia, kemudian diikuti oleh Belanda, Thailand, lalu terakhir yaitu Indonesia dengan nilai terbesar RCA Kolombia pada tahun 2001. Tabel 5.106 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Bunga Potong di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,03469 Belanda 15,08368 Kolombia 82,15148 0,08556 Belanda 16,08249 Kolombia 77,21011 0,06051 Belanda 13,73595 Kolombia 52,28711
Indonesia
2001 2005 2009
Thailand 0,92722 1,10826 0,81729
Bunga potong Indonesia memiliki daya saing yang lemah tetapi berhasil memiliki keunggulan kompetitif karena merebut pangsa ekspor dunia dan merupakan komoditi yang dinamis karena permintaan dunia akan bunga potong Indonesia semakin meningkat. 2. Kubis Berdasarkan hasil estimasi RCA pada komoditi kubis pada tahun 2001, 2005 dan 2009 didapat bahwa baik pada Indonesia maupuin negara pesaingnya Thailand, nilai RCA dari kedua negara tersebut menunjukan angka yang kurang dari satu sehingga kedua negara tersebut memiliki daya saing yang lemah di Pasar dunia. Sedangkan dua pesaing lainnya yaitu Spanyol dan Amerika Serikat
169
mempunyai daya saing yang kuat dengan nilai RCA yang lebih dari satu pada semua tahun yang digunakan dalam penelitian ini. Pada Tabel 5.107 ditunjukan bahwa negara yang memiliki nilai RCA terbesar yaitu Spanyol, Amerika Serikat, Indonesia, dan terakhir Thailand dengan nilai terbesar RCA Spanyol pada tahun 2005. Tabel 5.107 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Kubis di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
Pesaing 1 Negara Nilai RCA
2001
0,77661
Spanyol
2005
0,74247
Spanyol
2009
0,61652
Spanyol
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Amerika 12,05500 1,67598 Serikat Amerkia 13,53915 1,77103 Serikat Amerkia 11,98710 1,78078 Serikat
Thailand 0,04310 0,00845 0,02232
Berbeda dari komodtiti sebelumnya yang meskipun memiliki daya saing rendah secara komparatif namun memiliki keunggulan kompetitif. Pada komoditi kubis Indonesia di pasar dunia memiliki keunggulan komparatif yang rendah serta tidak memiliki keunggulan kompetitif namun komoditi tersebut merupakan komoditi yang dinamis karena permintaan pasar dunia akan komoditi tersebut meningkat. 3. Jamur Hasil estimasi RCA jamur Indonesia dan Thailand sebagai negara pesaingnya pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan angka yang kurang dari satu, dengan kata lain Indonesia dan Thailand memiliki keunggulan komparatif yang rendah pada komoditi tersebut. Sedangkan pesaing kesatu dan kedua Indonesia memiliki daya saing yang kuat di pasar dunia pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Berdasarkan Tabel 5.108 dapat terlihat bahwa nilai RCA terbesar di Pasar dunia yaitu dimiliki oleh pesaing kedua Indonesia, kemudian Belanda sebagai pesaing kesatu, Indonesia, dan yang terakhir adalah Thailand. Nilai RCA terbesar pesaing kedua Indonesia diperoleh pada tahun 2009 dengan
170
perkembangan nilai RCA yang semakin meningkat pada tahun 2001, 2005 dan 2009. Tabel 5.108 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jamur di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 0,55849 Belanda 6,19223 Irlandia 9,96033 0,25179 Belanda 5,01968 Polandia 19,31678 0,01317 Belanda 7,54078 Polandia 23,03771
Indonesia
Thailand 0,09903 0,13089 0,11671
Komoditi jamur Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat secara komparatif pada tahun 2001, 2005 dan 2009 serta tidak memiliki keunggulan kompetitif seperti pada komoditi sebelumnya, namun komoditi ini merupakan komoditi yang dinamis di pasar dunia. 4. Cendawan Tanah Pada tahun 2001, 2005 dan 2009 hanya Indonesia dan Thailand yang tidak memiliki daya saing yang kuat pada komoditi cedawan tanah di pasar dunia. Pesaing satu dan dua Indonesia memiliki daya saing yang kuat ditunjukan dengan nilai RCA yang menujukan angka lebih dari satu. Pesaing kesatu Indonesia mampu memiliki nilai RCA yang terbesar di pasar dunia dengan nilai terbesar pada tahun 2005 yaitu Italia, pesaing kedua berada diurutan kedua, sedangkan Thailand berada dirutuan ketiga , dan Indonesia berada diurutan terakhir dengan nilai RCA terkecil. Hasil estimasi RCA cendawan tanah Indonesia dan beberapa negara pesaingnya dapat dilihat pada Tabel 5.109. Tabel 5.109 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Cendawan Tanah di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Indonesia 0,00296 0,00543 0,39020
Pesaing 1 Negara Nilai RCA Italia 6,70289 Italia 11,69930 Cina 1,95922
Pesaing 2 Negara Nilai RCA Perancis 4,46189 Spanyol 13,68672 Polandia 10,16678
Thailand 0,01573 0,00723 0,83245
171
Perbandingan hasil estimasi RCA dan EPD pada cendawan tanah Indonesia menunjukan bahwa meskipun posisi daya saing Indonesia rendah secara komparatif namun secara kompetitif Indonesia memiliki keunggulan pada komoditi tersebut terbukti dengan keberhasilan Indonesia merebut pangsa ekspor dunia dan permintaan dunia akan cendawan tanah Indonesia meningkat sehingga komoditi ini termasuk yang dinamis di pasar dunia. 5. Pisang Berdasarkan analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA pada komoditi pisng tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan bahwa pisang Indonesia dan Thailand kembali memiliki daya saing yang lemah di pasar dunia, tidak seperti pesaing satu, pesaing dua, dan Filipina yang mempunyai nilai RCA lebih dari satu sehingga memiliki daya saing yang kuat di pasar dunia. Indonesia memiliki nilai RCA terkecil apabila dibandingkan dengan negaranegara lainnya. Nilai RCA terbesar dimiliki oleh Ekuador dengan nilai RCA terbesar pada tahun 2001 seperti yang ditunjukan pada Tabel 5.110. Tabel 5.110 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Pisang di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Pesaing 1 Pesaing 2 Thailand Filipina Nilai Nilai Negara Negara RCA RCA 0,00220 Ekuador 257,32163 Belgia 4,97779 0,06272 13,06484 0,02657 Belgia 5,88047 Ekuador 193,85687 0,09712 15,51817 0,00259 Ekuador 219,50802 Belgia 5,66918 0,09366 14,15357
Tahun
Indonesia
2001 2005 2009
Pisang Indonesia memiliki daya saing yang rendah secara komparatif namun pisang Indonesia memiiki keunggulan kompetitif dan merupakan komoditi yang dinamis di Pasar dunia. 6. Nanas Hasil analisis estimasi RCA pada komoditi nanas di pasar dunia tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan bahwa Indonesia dan Thailand memiliki nilai RCA yang menunjukan angka yang kurang dari satu sehingga memiliki daya saing yang rendah di pasar dunia. Hanya Belgia, Costa Rica, dan Filipina yang
172
memiliki daya saing yang kuat di pasar dunia. Berdasarkan Tabel 5.111 nilai RCA terbesar di pasar dunia dipegang oleh Costa Rica dengan nilai RCA terbesar tahun 2009, kemudian diikuti oleh Filipina, lalu Belgia, Thailand, dan terakhir Indonesia dengan nilai RCA terkecil. Tabel 5.111 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Nanas di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Nilai Negara RCA Costa 0,18598 352,39850 Rica Costa 0,02270 406,82453 Rica Costa 0,00156 469,41292 Rica
Indonesia
Pesaing 2 Nilai Negara RCA Belgia Belgia Belgia
Thailand
Filipina
4,48164
0,37267 10,06920
6,71615
0,25300
5,99354
0,09935 12,70259
9,30085
Nanas Indonesia memiliki daya saing yang lemah berdasarkan keunggulan komparatifnya dan tidak memiliki keunggulan kompetiitf karea tidak memiliki kesempatan untuk menguasai pangsa eskpor dunia, namun komoditi tersebut merupakan komoditi yang dinamis di pasar dunia. 7. Jambu Biji, Mangga dan Manggis Pada tahun 2001 dan 2005 Indonesia berhasil memiliki daya saing yang kuat di pasar dunia meskipun nilai RCA Indonesia masih berada di bawah pesaing satu, pesaing dua, Thailand, dan Filipina. Pada Tabel 5.112 hanya Indonesia yang memiliki daya saing lemah pada tahun 2009, nilai RCA tertinggi dimiliki oleh pesaing satu dengan nilai RCA tertinggi pada tahun 2005 oleh India, kemudian diikuti oleh Filipina, pesaing dua, Thailand, dan terakhir Indonesia. Berdasarkan hasil persilangan RCA dan EPD Indonesia pada komoditi jambu biji, mangga dan manggis Indonesia menunjukan bahwa komoditi ini berhasil memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001 dan 2005 namun tidak memiliki keunggulan kompetitif karena tidak memiliki kekuatan bisnis untuk merebut pangsa ekspor dunia tetapi komoditi ini merupkan komoditi yang dinamis di pasar dunia.
173
Tabel 5.112 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jambu Biji, Mangga da Manggis di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
2001 2005 2009
Pesaing 1 Nilai Negara RCA 1,01568 Meksiko 10,58831 1,26352 India 16,85152 0,75338 India 12,88175
Indonesia
Pesaing 2 Nilai Negara RCA Brazil 11,84595 Meksiko 5,90949 Meksiko 6,60764
Thailand 2,98810 3,12672 5,19030
Filipina 15,06416 11,72458 7,17965
8. Jahe Berdasarkan hasil estimasi RCA pada komoditi jahe tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan bahwa Indonesia hanya memiliki daya saing yang kuat pada tahun 2001. Sedangkan negara pesaingnya yaitu Cina dan Brazil tidak memiliki daya saing yang kuat di pasar tersebut. Hanya Thailand yang memiliki daya saing yang kuat pada setiap tahun yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 5.113 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Jahe di Pasar Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun 2001 2005 2009
Pesaing 1 Pesaing 2 Negara Nilai RCA Negara Nilai RCA 3,08596 Cina 0,01366 Brazil 0,00516 0,84030 Cina 0,00951 Belanda 0,00119 0,85378 Cina 0,00688 Belanda 0,00158
Indonesia
Thailand 8,51959 3,12955 4,79595
Indonesia tidak memiliki keunggulan kompetitif dengan tidak memiliki kekuatan bisnis untuk menguasai pasar ekspor dunia sama seperti komoditi sebelumnya yaitu Jambu Biji, Mangga da Manggis. Namun komoditi ini merupakan komoditi yang dinamis di pasar dunia. 9. Temulawak Hasil analisis keunggulan komparatif komoditi temulawak di pasar dunia pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan bahwa dari beberapa negara eksportir seperti Indonesia, India, pesaing kedua Indonesia, dan Thailand hanya Indonesia yang memiliki daya saing kuat terhadap komoditi ini di pasar dunia. Meskipun tidak pada semua tahun Indonesia memiliki keunggulan komparatif
174
terhadap temulawak. Pada tahun 2005 dan 2009 nilai RCA jahe Indonesia menunjukan angka yang lebih dari satu seperti yang terlihat pada Tabel 5.114. Tabel 5.114 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantage (RCA) Temulawak di Pasar dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 RCA Tahun
Indonesia
Pesaing 1 Negara Nilai RCA
2001
0,49496
India
2005
2,50105
India
2009
2,91429
India
Pesaing 2 Negara Nilai RCA
0,10041 Belanda Uni 0,07169 Emirat Arab 0,04992 Cina
Thailand
0,00000
0,44209
0,00000
0,14793
0,00000
0,09227
Indonesia berhasil menjadi satu-satunya negara yang memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2005 dan 2009 dibandingkan dengan negara pesaing lainnya dan berhasil memiliki keunggulan keunggulan kompetitif. Selain itu, temulawak Indonesia merupakan komoditi yang dinamis di pasar dunia sehingga permintaan dunia akan komoditi ini terus meningkat.
5.4 Hasil Penggabungan RCA dan EPD Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia Posisi daya saing ekspor hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia apabila dilihat berdasarkan hasil estimasi RCA dan EPD nampak seperti pada Gambar 5.23. Dimana pada gambar tersebut dijelaskan bahwa sumbu X merupakan rata-rata pertumbuhan pangsa pasar ekspor yang mewakili dari sisi EPD. Rata-rata pertumbuhan pangsa pasar ekspor dipilih karena rata-rata pertumbuhan tersebut dapat mewakili setiap komoditi yang akan dilihat posisinya yang terbaik di negara tujuan ekspornya. Sedangkan sumbu Y merupakan rata-rata nilai RCA dari setiap komoditi yang mewakili sisi RCA. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa komoditi yang mempunyai posisi tertinggi berdasarkan keunggulan komparatifnya yaitu temulawak, kemudian diikuti oleh jambu biji, mangga dan manggis. Tetapi kedua komoditi tersebut tidak memiliki rata-rata pertumbuhan pangsa ekspor sebesar kubis. Meskipun kubis tidak memiliki nilai
175
rata-rata RCA sebesar temulawak dan jambu biji, mangga, serta manggis namun kubis memiliki nilai rata-rata pertumbuhan ekspor terbesar dibandingkan dengan komoditi lainnya. Apabila dilihat dari sisi komparatif dan dilihat berdasarkan performa produknya, maka posisi komoditi hortikultura Indonesia yang terbaik di sepuluh negara tujuan utama dan dunia yaitu kubis. Meskipun memiliki nila ratarata RCA yang tidak tinggi namun kubis mampu memiliki kekuatan ekspor yang tinggi. Kubis Indonesia menyimpan potensi tersendiri karena berhasil merebut pangsa ekspor beberapa negara tujuan, sehingga apabila dikembangkan dengan lebih baik lagi maka dapat diprediksikan bahwa selain dapat menguasai pasar ekspor dengan lebih baik lagi. Kubis Indonesia juga mampu meningkatkan daya saingnya secara komparatif.
Gambar 5.23 Posisi Daya Saing Ekspor Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia
Gambar 5.24 merupakan posisi negara tujuan ekspor hortikultura apabila dilihat berdasarkan keunggulan komparatif dan performa produknya. Sumbu X pada gambar tersebut merupakan rata-rata pertumbuhan pangsa produk setiap negara yang akan dilihat posisi negara mana yang terbaik mewakili sisi EPD, sedangkan sumbu Y merupakan rata-rata nilai RCA dari setiap negara yang mewakili sisi RCA. Dari Gambar 5.24 dapat terlihat bahwa negara yang mempunyai posisi tertinggi berdasarkan keunggulan komparatifnya yaitu Hongkong, yang kemudian diikuti oleh Taiwan meskipun rata-rata pertumbuhan
176
pangsa produknya tidak sebesar Malaysia. Apabila dilihat berdasarkan keunggulan komparatif dan performa produknya maka Malaysia merupakan negara tujuan ekspor terbaik, dimana hortikultura Indonesia memiliki dayatarik pasar meskipun nilai RCA Malaysia tidak sebesar Hongkong dan Taiwan. Namun produk hortikultura Indonesia lebih diminati dan permintaannya tinggi di Pasar Malaysia dan Malaysia merupakan negara yang memiliki rata-rata pertumbuhan pangsa produk terbesar dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Apabila permintaan akan produk hortikultura Indonesia sudah meningkat di suatu pasar, maka daya saingnya diprediksikan akan lebih kuat seiring dengan perkembangan waktu dengan pengelolaan serta budidaya yang baik. Sehingga tak hanya berdasarkan performanya, namun berdasarkan komparatifnya produk hortikultura Indonesia dapat bersaing dengan lebih baik lagi.
Gambar 5.24 Posisi Negara Tujuan Ekspor Hortikultura Indonesia berdasarkan Daya Saing
5.5 Ringkasan Hasil Estimasi RCA dan EPD Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 Berdasarkan pemaparan hasil estimasi RCA yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hortikutura Indonesia rata-rata memiliki daya saing yang lemah di beberapa negara tujuan ekspornya dengan nilai
177
rata-rata RCA yang kurang dari satu, dari sepuluh negara tujuan ekspor dan dunia hanya empat negara dimana hortikultura Indonesia mempunyai daya saing yang kuat secara komparatif. Keempat negara tersebut yaitu Hongkong, Singapura, Taiwan, dan Cina. Sedangkan di Jepang dan Malaysia, Indonesia sama sekali tidak memiliki daya saing yang kuat pada setiap komoditi hortikulturanya. Yang menjadi penyebab rendahnya daya saing produk hortikultura Indonesia tersebut diantaranya yaitu munculnya negara eksportir lain yang menjadi kompetitor bagi Indonesia di Pasar Jepang dan Malaysia. Ekspor Indonesia yang tidak kontinyu juga menjadi kendala bagi hortikultura Indonesia agar dapat bersaing dengan lebih baik lagi. Selain itu di Jepang khususnya, yang menjadi kendala bagi Indonesia yaitu Indonesia tidak bisa memanfaatkan kuota ekspor ke Jepang dengan bea masuk nol persen karena sulitnya memenuhi persyaratan ukuran maupun persyaratan teknis lainnya. Komoditi hortikultura Indonesia yang rata-rata memiliki daya saing yang kuat yaitu kubis, jamur, jahe, temulawak, Jambu Biji, Mangga da Manggis. Sedangkan pisang Indonesia tidak memiliki daya saing yang kuat di setiap negara tujuan utama dan dunia. Kendala bagi pisang Indonesia yaitu karena ekspornya yang tidak kontinyu di beberapa negara tujuan ekspor yang disebabkan oleh mutu pisang Indonesia yang masih tidak memenuhi standar mutu internasional, selain itu pisang Indonesia juga masih banyak ditanam di pekarangan dan tegalan yang belum dilengkapi dengan sistem pengairan yang bagus, transportasi serta pengemasan serta perlakuan pasca panen pisang Indonesia juga belum terstandarisasi dengan baik, dan faktor lainnya yaitu berbagai macam penyakit yang menyerang pisang Indonesia diantaranya seperti Fusarium, bercak daun, kerdil pisang, dan layu bakteri. Hasil estimasi RCA tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.116.
178
Tabel 5.116 Hasil Estimasi Rata-Rata RCA Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditi No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Negara Tujuan
Hongkong Belanda Singapura Taiwan Cina Jepang Malaysia Saudi Arabia Amerika Serikat Uni Emirat Arab Pasar Dunia Rata-Rata
Bunga Potong
Kubis
0,39296 1,51024 0,02291 0,00027 0,56913 2,96613 0,32343 5,03786 4,30528 14,87013 0,06249 0,06820 0,03793 0,08745 0,02158 0,18983 0,04222 0,05701 0,22423 0,01634 0,06025 0,71187 0,55113 2,31958
Jamur 0,00000 0,36621 0,43679 8,67290 2,75352 0,00742 0,01974 1,29830 3,43327 0,00002 0,27448 1,56933
Cendawan Tanah 0,00000 0,02449 0,55264 0,12589 0,00000 0,00693 0,06292 0,00000 1,37736 0,44781 0,13287 0,24827
Pisang 0,06494 0,00094 0,04212 0,00000 0,00586 0,00181 0,02930 0,15111 0,00022 0,00514 0,01045 0,02835
Nanas 0,00097 0,07628 0,03624 5,26688 0,00000 0,03945 0,14691 0,01371 0,16595 0,02286 0,07008 0,53085
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis 22,61987 0,09451 0,96663 7,43793 2,44860 0,00441 0,02540 1,19121 0,00406 1,24276 1,01086 3,36784
Jahe 1,25220 0,14972 1,07596 10,92563 0,00021 0,20981 0,04158 0,75044 0,60891 0,28604 1,59335 1,53580
Temulawak 22,41576 3,61110 11,07074 4,63452 0,00000 0,37210 0,01351 0,90105 1,45459 0,36608 1,97010 4,25541
Rata-Rata
5,36188 0,48294 1,96849 4,71389 2,70929 0,08585 0,05164 0,50191 0,79373 0,29014 0,64826 1,60073
Tabel 5.117 merupakan hasil estimasi hortikultura Indonesia di sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Berdasarkan hasil EPD yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum komoditi hortikultura Indonesia paling banyak berada pada posisi ―Rising Star‖ dengan persentase sebesar 44,00 persen, sedangkan yang paling sedikit yaitu ―Retreat‖ sebesar 11,54 persen. Posisi ―Falling Star‖ sebanyak 21,15 persen dan posisi ―Lost Opportunity‖ sebesar 28,85 persen. Komoditi yang berada pada kedua posisi tersebut sebaiknya difokuskan pemasarannya hanya di dalam negeri saja karena permintaan akan komoditi tersebut menurun di beberaa negara tujuan ekspor. Selain banyak menempati posisi terbaik ―Rising Star‖, hortikultura Indonesia juga banyak mengalami kondisi dimana Indonesia kehilangan kesempatan untuk memenuhi permintaan berbagai negara tujuan ekspor padahal permintaan akan produk hortikultura Indonesia sedang meningkat karena berada pada kuadran ―Lost Opportunity‖ sehingga pertumbuhan pangsa pasar ekspornya bernilai negatif. Maka, perlu dilakukan berbagai upaya agar Indonesia dapat memenuhi permintaan negara-negara tujuan ekspor tersebut seperti peningkatan produksi, mutu, dan kontinyuitas akan produk hortikultura Indonesia agar Indonesia dapat memenuhi permintaan dari negara-negara tujuan ekspor tersebut.
179
Tabel 5.117 Hasil Estimasi EPD Hortikultura Indonesia di Sepuluh Negara Tujuan Utama dan Dunia Tahun 2001, 2005 dan 2009 Komoditi Bunga Potong
Kubis
Jamur
Hongkong Belanda Singapura Taiwan Cina Jepang Malaysia Saudi Arabia Amerika
∆ ⌂ ○ ⌂ √ √ ○ ∆
⌂ — √ ⌂ — √ ○ —
— — √ — — — — —
— — — — — — ○ —
⌂ — ○ — — ○ ○ ⌂
— — √ — — √ — —
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis ⌂ ∆ √ — √ √ √ ∆
9 Serikat 10 Uni Emirat Arab Dunia 11 Pasar
√ ⌂ √
— — ○
— — ○
— — √
√ — √
— — ○
— ∆ ○
No
1 2 3 4 5 6 7 8
Negara Tujuan
Cendawan Pisang Tanah
Keterangan: √ : Rising Star ⌂ : Falling Star ○ : Lost Opportunity ∆ : Retreat - : Tidak dapat diestimasi
Nanas
Jahe
Temulawak
— ∆ ○ — — ○ ○ ∆
— ⌂ √ — — √ √ ⌂
— — ○
— — √
180
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Nilai rata-rata RCA pada tahun 2001, 2005 dan 2009 menunjukan daya saing produk hortikultura Indonesia memiliki daya saing yang rendah di sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Sehingga ekspor hortikultura Indonesia masih kurang baik di beberapa negara tujuan ekspornya ataupun bila dibandingkan dengan negara eksportir lainnya. 2. Komoditi yang memiliki daya saing yang kuat hampir di setiap negara tujuan ekspor yaitu temulawak dan jambu, mangga, serta manggis. Sedangkan komoditi yang mempunyai daya saing lemah yaitu pisang. Hampir dari semua produk hortikultura mempunyai daya saing yang kuat hanya di Pasar Singapura dan Taiwan. Sedangkan di negara tujuan ekspor lainnya dayasing produk hortikultura lemah seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Di Jepang dan Malaysia produk hortikultura Indonesia sama sekali tidak mempunyai daya saing yang kuat ditandai dengan nilai RCA yang kurang dari satu. 3. Hasil estimasi EPD terhadap produk hortikultura Indonesia menunjukan posisi daya saing hortikultura Indonesia terbaik yaitu di negara Jepang dan Singapura. Sedangkan secara umum, komoditi hortikultura Indonesia berada pada posisi terbaik di beberapa negara tujuan ekspornya sebesar 44,00 persen. Sedangkan posisi Lost Opportunity sebesar 28,85 persen, Falling Star sebesar 21,15 persen, dan Retreat sebesar 11,54 persen.
6.2 Saran 1. Daya saing hortikultura Indonesia secara keseluruhan berdaya saing lemah di sepuluh negara tujuan utama dan dunia, sehingga Indonesia perlu meningkatkan produksi, mutu, kontinyuitas, dan produktivitas akan produk hortikultura tersebut. Komoditi pisang memiliki daya saing yang paling lemah diantara komoditi lainnya, sehingga perlu perhatian yang lebih untuk meningkatkan daya saing pisang Indonesia. Filipina sebagai pesaing utama
181
mampu mengoptimalkan ekspor buah pisangnya sebagai salah satu buah tropika yang menjadi komoditi ekspor utama sehingga mampu memiliki daya saing yang kuat di hampir semua pasar negara tujuan ekspor. Selain itu, pemerintah Filipina mendukung kuat pembangunan sektor pertanian, salah satunya yaitu dengan anggaran yang tak terbatas untuk riset bioteknologi pertanian sehingga mampu menangkal ledakan konsumsi pangan di masa mendatang dengan memanfaatkan teknologi tersebut. 2. Berdasakan hasil estimasi EPD, secara umum komoditi hortikultura Indonesia berada di posisi “Rising Star‖ kondisi ini perlu dipertahankan bagi Indonesia, bahkan perlu ditingkatkan agar semua komoditi Indonesia berada ada kuadran tersebut sehingga berhasil meraih pangsa ekspor dan pangsa produk di sepuluh negara tujuan utama dan dunia. Sedangkan untuk komoditi yang berada pada posisi ―Lost Opportunity‖ perlu mendapat perhatian khusus agar Indonesia tidak kehilangan kesempatan kembali meraih pangsa ekspornya yaitu pada komoditi jahe dan pisang dengan peningkatan mutu, produksi, kualitas dan kekontinyuannya dalam ekspor komoditi tersebut. 3. Pesaing utama Indonesia dalam ekspor jahe yaitu Cina. Cina berhasil membangun sektor pertaniannya, salah satunya yaitu dengan mendirikan Agriculture Bank of China. Bank tersebut khusus diperuntukkan untuk membantu modal petani dan pada tahun 2005 Cina mampu bangkit dengan keluar dari permasalahan tersebut. Dengan mensejahterahkan petani dalam pembangunan yang berbasis pertanian maka swasembada, kemandirian, ketahanan pangan nasional dapat tercapai. Sedangkan yang menjadi pesaing utama Indonesia pada ekspor pisang yaitu Filipina.
182
DAFTAR PUSTAKA
Amelia, F. 2009. Analisis Dayasaing Jahe Indonesia di Pasar Internasional [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Ashari, S. 1995. Hortikultira Aspek Budidaya. UI Press, Jakarta. Balai Penelitian Tanaman Hias. 1995. Mawar. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2009. Departemen Pertanian, Jakarta.
Statistik
Produksi
Hortikultura.
Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 1994. Penuntun Budidaya Buahbuahan (Mangga). Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Tanaman Hias. 2004. Profil Tanaman Hias. Departemen Pertanian, Jakarta. Dumairy, M. 1996. Perekonomian Indonesia, Cetakan Kelima. Erlangga, Jakarta. Fatimah, A. 2010. Analisis Keunggulan Komparatif dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor Tuna Indonesia di Pasar Internasional. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Firdaus, A. 2007. Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Tekstil dan produk Tekstil Indonesia di Pasar Amerika Serikat. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Food and Agricultural Organization (FAO). Berbagai terbitan. www.faostat.org [11 Maret 2011]. Gumilar, N. 2010. Dayasaing Komoditi Sayuran Utama Indonesia di Pasar Internasional. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Hady, H. 2001. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasiona, Buku Kesatu. Ghalia Indonesia, Jakarta. Irawadi, A. 2007. Analisis Dayasaing dan Pemasaran Buah Manggis (Kasus di kecamatan Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat) [Skripsi]. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
183
Karina, F. 2009. Analisis Dayasaing Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap Lingkungan dan Faktor-faktor yang Memengaruhinya [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Lipsey, R, P. Courant, D.Purfis, dan P. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi. J. Wasana dan Kibrandoko [Penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mahendra, B. 2006. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh, Cetakan ketiga. Swadaya, Jakarta. Martha Tilaar Innovation Center (MTIC). 2002. Budidaya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Oktaviani, R dan Novianti, T. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia, Bagian I. Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB, Bogor Parjimo, H dan Andoko, A. 2007. Jamur (Jamur kuping, Jamur Tiram, dan Jamur Merang). PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. Pasaribu, T et all. 2002. Aneka Jamur Unggulan yang Menembus Pasar. PT Gramedia, Jakarta. Pracaya. 2001. Kol Alias Kubis. PT Penerbit Swadaya, Jakarta. Rasahan, C. 2000. Pertanian dan Pangan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Redaksi AgroMedia. 2009. Bertanam Jamur Konsumsi. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta 2009. Buku Pintar Budidaya Tanaman Buah Unggul Indonesia. Agromedia Pustaka, Jakarta. Redaksi Trubus. 2001. Pengalaman Pakar dan Praktisi Budidaya Jamur. Penebar Swadaya, Jakarta. Rubatzky, E.dan Yammaguchi, M. 1998. Sayuran Dunia: Prinsip, Produksi, dan Gizi, Jilid Kedua. Catur Herison. ITB, Bandung. Rukmana, R. 2005. Bertanam Sayuran di Pekarangan. Kaisius, Yogyakarta. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional, Edisi Kelima. Haris Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Semangu, H. 1989. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Silalahi, B. 2007. Dayasaing Komoditas Nenas dan Pisang Indonesia di Pasar Internasional [Skripsi]. Program studi manajemen Agribinis, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
184
Simuelson, P dan William, D. 2003. Ilmu Mikroekonomi. Nur Rosyidah, Anna Elly, dan Bosco Carvallo [Penerjemah]. PT Media Global Edukasi, Jakarta. Siregar, T. 2010. Dayasaing Buah-Buahan Tropis Indonesia di Pasar Dunia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Sunu, P dan Wartoyo. 2006. Buku Ajar Dasar Hortikultura. Program Studi Hortikultura Fakutas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. www.pertanian.uns.ac.id/~agronomi/dashor [27 maret 2011]. Syukur, C dan Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial, Cetakan Kedua. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Tambunan, T. 2001. Industrialisasi di Negara sedang Berkembang :kasus Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. United Natios Comodity Trade Statistics Database. Berbagai Terbitan. www.wits.worldbank.org [10 Maret 2011]. Versteegh, J. 2006. Tanaman Berkhasiat Indonesia, Volume 1. J. Soegiri dan Nawangsari [penerjemah]. IPB Press, Bogor. World Trade Oeganization (WTO). Berbagai Terbitan. www.wto.org [Maret 2011]. Yuliati, A. 2010. Analisis Dayasaing Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2005-2009 [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.
185
LAMPIRAN
185
Lampiran 1. Volume Ekspor Hortikultura Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Tahun 2001, 2005, dan 2009 (US$1000) a. Bunga Potong Negara Importir Hortikultura Indonesia No
Tahun
Hongkong
Belanda
1 2001 96582 2 2005 68086 3 2009 3780 Sumber: UN Comtrade, 2011
11764 609 2787
Singapura
Taiwan
275013 499739 358231
3926 4479 63074
Cina
Jepang
Malaysia
Saudi Arabia
Amerika Serikat
93141,5 220305,5 240299,5
106469 143214 163086
45505 85074 70468
785 600 698
31395 34225 34201
Uni Emirat Arab 1703 41932 1300
Pasar Dunia 761098 7616665 2922066
b. Kubis Negara Importir Hortikultura Indonesia No
Tahun
Hongkong
1 2001 181924 2 2005 74960 3 2009 78097 Sumber: UN Comtrade, 2011
Belanda
Singapura
100 0 0
13263161 9244312 10521327
Taiwan
Cina
Jepang
Malaysia
Saudi Arabia
Amerika Serikat
3152297 11980344 16940389
0 22493 50000
1308145 1 153530
29917118 17878415 15572377
26908 0 0
2512 0 0
Uni Emirat Arab 0 0 27540
Pasar Dunia 48288168 39202632 44904202
186
c. Jamur Negara Importir Hortikultura Indonesia No
Tahun
Hongkong
Belanda
Singapura
Taiwan
1 2001 0 42872 2 2005 0 716720 3 2009 0 0 Sumber: UN Comtrade, 2011
66805 60030 80434
87949 8296 0
Cina 0 36000 0
Jepang
Malaysia
Saudi Arabia
78087 5809 0
0 316676 0
19051 0 0
Amerika Serikat 3090184 1431894 0
Uni Emirat Arab 0 1 0
Pasar Dunia 3690452 2643826 80434
d. Cendawan Tanah Negara Importir Hortikultura Indonesia No
Tahun
Hongkong
1 2001 0 2 2005 0 3 2009 0 Sumber: UN Comtrade, 2011
Belanda 0 0 369
Singapura 0 0 174203
Taiwan
Cina
Jepang
Malaysia
Saudi Arabia
0 0 4447
0 0 0
0 0 11876
1738 4169 2781
0 0 0
Amerika Serikat 0 0 900480
Uni Emirat Arab 0 0 14774
Pasar Dunia 1738 4169 1146939
187
e. Pisang Negara Importir Hortikultura Indonesia No
Tahun
Hongkong
1 2001 26 2 2005 29 3 2009 853 Sumber: UN Comtrade, 2011
Belanda 2005 0 0
Singapura
Taiwan
23690 28793 1460
0 0 0
Cina
Jepang
Malaysia
Saudi Arabia
Amerika Serikat
0 0 15400
236710 30 3680
27926 20606 151
1485 6861 378170
134 1049 1132
Uni Emirat Arab 0 0 754
Pasar Dunia 293715 3647035 401964
f. Nanas Negara Importir Hortikultura Indonesia No
Tahun
Hongkong
Belanda
Singapura
Taiwan
1 2001 0 110951 2 2005 0 0 3 2009 27 0 Sumber: UN Comtrade, 2011
17681 8711 9368
146493 0 0
Cina 0 0 0
Jepang
Malaysia
Saudi Arabia
Amerika Serikat
19275 157994 1
1363 476566 0
760 0 0
1083285 0 28
Uni Emirat Arab 1654 3 0
Pasar Dunia 2020442 643716 33033
188
g. Jambu Biji, Mangga, dan Manggis Negara Importir Hortikultura Indonesia No
Tahun
Hongkong
1 2001 2018987 2 2005 4298034 3 2009 5765133 Sumber: UN Comtrade, 2011
Belanda
Singapura
26186 30139 10719
148839 228632 475507
Taiwan
Cina
2227750 142425 0
22240 3506309 3453614
Jepang
Malaysia
Saudi Arabia
Amerika Serikat
4612 10 51
408536 102204 198748
250993 306492 315331
0 76 3948
Uni Emirat Arab 158207 545872 956894
Pasar Dunia 5307815 9427341 11584895
h. Jahe Negara Importir Hortikultura Indonesia Uni Saudi Amerika Emirat Pasar Hongkong Belanda Singapura Taiwan Cina Jepang Malaysia Arabia Serikat Arab Dunia 1 2001 60101000 1216000 1061591000 16174000 211000 343640000 2748407000 96022000 45623000 172000000 8149446000 2 2005 44000000 30000000 401908000 0 0 526633000 767411000 54282000 54403000 0 2401692000 140000 598836000 1256000 7326403000 3 2009 0 0 0 297383000 530745000 109928000 157613000 Sumber: UN Comtrade, 2011
No
Tahun
189
i. Temulawak Negara Importir Hortikultura Indonesia No Tahun
Hongkong
Belanda
51000 1 2001 0 3320000 18487000 2 2005 7482000 107650000 3 2009 Sumber: UN Comtrade, 2011
Singapura
Taiwan
5048000 0 6558000 0 28924000 51678000
Cina
Jepang
Malaysia
Saudi Arabia
Amerika Serikat
Uni Emirat Arab
188000 0 13706000 1749000 8267000 603000 0 39166000 5950000 58098000 21496000 0 21304000 97658000 25654000 158688000 137057000
Pasar Dunia 30009000 1329863000 2664656000
190
Lampiran 2. Nilai Ekspor Hortikultuta Indonesia di Negara Tujuan Ekspor (US$ 1000) a. Hongkong Indonesia 49,843 28,356 3,172 120,481 12,214 93,596 0 0 0 0 0 0 0,104 0,058 5,417 0 0 0,011 1642,204 3626,655
Pesaing 1 3456,704 3614,098 4623,996 2440,22 8463,836 14749,844 1633,071 1643,980 664,110 249,948 295,564 5550,921 285,941 1348,869 15,083 70,873 465,482 72,885 1729,653 1850,473
Negara Pesaing 2 144,231 2328,481 1695,386 1713,32 812,471 515,883 1079,558 562,495 646,245 144,162 92,074 853,665 9,324 17,841 11,832 6,675 54,015 25,000 992,611 1209,631
2009 4027,012 2001 18232 8 Jahe 2005 22000 2009 0 2001 0 9 Temulawak 2005 24000 2009 107646 Sumber: UN Comtrade, 2011
4062,849 1330412 1845510 2305590 43112 138165 200892
1187,154 18757 90590 36316 33120 115842 27472
No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
Tahun 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Thailand 748,509 3426,118 663,318 13,212 0 2,16 0 0 0 0 0 319,083 683,308 731,982 731,104 36,984 0,039 9,484 4802,149 3447,388
Filipina 565,293 3527,673 4506,28 481,372 564,267 564,708 17033,386 7517,149
22081,368 11146 10670 9288 0,177 0,037 0
6542,635 -
191
b. Belanda No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 46,96 19,282 170,468 0,3 0 0 58,025 545,045 0 0 0 7,321 3,609 0 0 41,934 0 0 36,277 59,712
Pesaing 1 83499 153263,531 230296,108 24315,048 48014,093 49873,017 20871,710 48962,111 33802,174 372,535 530,966 3364,928 132653,468 200494,291 214586,823 13224,537 73049,788 43092,171 22104,212 33001,088
Negara Pesaing 2 83182,456 43611,473 180778,134 11412,062 15406,208 22407,034 9079,000 22019,529 24136,419 69,842 88,863 2736,039 16528,000 38138,000 40475,100 7217,939 26498,368 40481,114 3628,221 10151,183
Thailand 1236,033 1789,662 2575,301 0 0 0 0,176 1,752 0 0 0 287,271 114,093 2,144 0,095 7,724 0,305 0,002 6,567 9,429
Filipina 0 0 3 6,650 0 1,111 80,623 0
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
18,364 1175 30000 0,688 0,272 25648 144330
39887,317 1327699 5452336 12952681 953195 1461721 1917345
38079,27 1082400 2613889 1996722 71848 176151 256918
94,709 1159694 1293789 1919079 0,485 1815 3900
327,917 -
Tahun
192
c. Singapura No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 294,369 612,026 176,903 2333,163 2312,386 3055,491 35,212 128,99 118,475 0 0 548,331 28,272 28,309 16,181 4,699 2,293 10,251 182,378 290,283
Pesaing 1 4882,033 9393,284 10551,295 9891,614 4091,069 9928,324 555,433 2051,339 4281,041 76,619 66,173 1458,431 7306,420 4562,106 5685,526 1878,704 1923,45 2193,553 3607,526 1905,889
Negara Pesaing 2 1516,507 997,421 3560,342 2811,704 3225,670 4538,544 419,041 523,815 341,405 56,411 16,175 1041,796 13,319 0,615 14,763 2,687 3,625 9,827 1809,654 1350,609
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
644,951 244830 115461 249908 44887 25945 328734
2292,311 1560819 5456665 3139713 445891 527816 1242098
1308,27 256794 190477 2767009 12543 44876 217538
Tahun
Thailand 557,324 1722,072 2141,286 0 18,052 14,571 564,616 714,028 2,89 0 0 1895,4 59,696 0,247 162,174 132,044 343,287 394,331 405,780 322,280
Filipina 4107,008 4354,325 19457,598 157,319 240,623 1408,69 656,159 832,683
1291,223 31693 5934 8229 0,027 0 0,869
707,484 -
193
d. Taiwan No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 13,406 7,673 32,185 360,978 1860,397 2292,836 53,4 14,812 0 0 0 8,449 0 0 0 89,8 0 0 1756,427 50,028
Pesaing 1 1149,249 839,476 637,644 10642,431 17307,787 15297,542 24,101 412,938 0,651 0,895 27,373 1181,836 17,700 17,447 4,186 4,960 11,200 1,733 4,858 204,604
Negara Pesaing 2 512,142 403,738 441,053 1998,953 5361,748 5871,419 4,479 242,285 0 0 16,168 92,312 2,750 0 0,861 0 10,000 0 3,953 36,557
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
0 96468 0 0 0 0 42686
546,925 22313 63617 2817208 23165 185569 188713
292,152 16028 1307 82242 0,362 11019 4571
Tahun
Thailand Filipina 1222,381 2370,461 1979,247 53,053 44,046 189,757 44,298 46,58 0 0 0 414,181 0 24418,126 0,223 25830,598 0,770 3632,53 0,366 250,464 0,004 695,642 5,055 676,775 3668,558 348,654 62,902 591,900 16,689 12974 4158 119347 0,015 0,246 1236
129,645 -
194
e. Cina No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 3,312 295,225 1677,455 0 63,4 7,75 0 39,6 0 0 0 0 0 0 6,39 0 0 0 8,22 2222,252
Pesaing 1 4404,235 2058,273 1766,428 595,278 64,195 110,216 702,340 176,861 683,266 1,987 2,164 9377,585 5743,604 4112,896 8411,080 16,069 154,590 441,589 8706,788 18337,447
Negara Pesaing 2 730,037 1480,22 600,587 515,215 27,590 52,718 102,080 74,710 7,565 0 0,694 1462,784 3937,044 899,449 372,107 0 47,887 6,227 3407,193 480,728
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
1892,75 0,58 0 0 0 0 0
85157,377 39653 665774 92923 46011 32935 36292
684,874 26924 426351 70379 7685 14565 7650
Tahun
Thailand Filipina 864,316 1982,54 7372,835 0 0 0 0 0 0 0 0 11,805 527,003 42246,85 2262,109 35218,169 3260,069 14311,413 288,726 140,555 6,885 399,996 139,771 758,764 532,165 102,543 9262,727 882,465 20961,988 0 0 170121 0 0 0
622,665 -
195
f. Jepang No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 382,247 260,62 1086,688 703,56 0,001 124,783 125,199 4,631 0 0 0 77,197 44,64 6 3,756 7,082 145,755 0,1 11,172 0,029
Pesaing 1 24571,352 30560,435 56288,984 68538,133 47145,124 42925,493 92051,197 104259,494 4371,567 3811,522 2209,993 59093,020 43495,844 25800,403 24164,636 859,422 1412,200 783,085 2256,677 7824,392
Negara Pesaing 2 23314,136 28745,425 54164,774 21104,875 29420,150 11512,947 28083,971 14268,112 2012,393 1293,874 1700,879 4785,816 14494,231 10438,849 12766,184 672,581 763,900 29,580 1476,694 4620,274
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
0,149 438785 1134916 209132 25044 111249 84503
11997,957 38269296 74156125 48990830 1472357 2531384 6386915
5753,184 5670546 4987858 2796000 903103 1352393 1443109
Tahun
Thailand 14444,72 26038,621 24363,296 242,76 5,279 3,697 3,798 17,883 78,881 0 0 33,467 963,552 1285,791 2200,323 124,645 150,386 138,08 1174,193 3373,550
Filipina 166841,3 172788,87 213474,68 21901,036 30739,902 36778,034 12718,314 16332,026
6441,719 3690443 2289948 9176301 62033 39376 4880
9140,818 -
196
g. Malaysia No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 15,719 58,08 20,441 3199,746 4877,382 4739,756 0 111,126 0 0,888 1,96 6,565 3,69 4,163 0,112 0,522 70,361 0 110,535 41,779
Pesaing 1 115,131 236,275 1776,505 12229,573 20489,281 83931,281 182,569 949,411 202,89 3,803 28604 69764 15.649 10,511 5826,184 3,178 9,643 17,000 391,153 877,066
Negara Pesaing 2 63,598 203,19 569,414 2889,386 1874,371 966,07 140,465 110,316 163,105 13284 24495 22629 2,686 4,652 656,695 3,145 1,628 5,187 286,007 258,079
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
157,474 396907 227707 225140 26234 2827 94171
1759,457 3046112 15036883 24090719 713436 2402386 5496086
362,442 400475 537401 75586 260201 333047 1193059
Tahun
Thailand Filipina 3,962 52,829 108,574 127,303 61,718 232,724 118,741 643,567 1123,441 0 0 0,037 57,064 8,720 12,676 0 13,528 392,583 173,968 0 77,931 0 28,275 10,298 3347,455 0 229,819 37,071 2982,529 31231 29727 66196 1034 0 5546
105,624 -
197
h. Saudi Arabia No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 0,925 1,447 2,106 3,896 0 0 10,08 0 0 0 0 0 0,537 11,9 160,908 0,38 0 0 188,712 266,498
Pesaing 1 1822,854 2635,332 2898,002 280,389 693,967 81,148 147,799 129,148 122,785 9,229 34,387 2524,153 21.709.382 15.651.801 12.806.583 112,37 201.629 579,586 1703,163 25469,716
Negara Pesaing 2 250,325 332,979 1327,744 160,339 292,156 71,159 7,163 114,417 7,560 5,245 10,175 791,816 2.519.262 8.663.715 9.857.612 97,576 98.472 213,526 1338,101 6137,132
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
190,063 96439 40983 51203 3207 24693 17859
49957,601 2874633 8809276 12988028 713436 2402386 5496086
9036,336 789757 1548967 1363112 260201 333047 1193059
Tahun
Thailand Filipina 142,456 449,284 896,534 0 0 0 0 0 0 0 0 0,579 0 2037,409 0 1882,835 0 2306,855 231,470 1,305 159,376 448,203 6,007 389,288 1,485 27,191 0 18,061 12,278 165435 0 43139 0 0 0
39,369 -
198
i. Amerika Serikat No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 225,545 479,266 269,538 90,603 0 0 3491,376 1490,118 0 0 0 1239,618 0,217 2,63 3,121 449,11 0 0,03 0 0,15
Pesaing 1 486718,304 740621,938 838927,705 46230,278 87049,721 119480,007 42474,39 77307,366 66823,728 1600,106 2433,668 16690,797 294.236.128 259.606.330 464.791.330 79847,984 165978,509 200475,611 109849,185 63571,718
Negara Pesaing 2 159550,192 220073,531 212227,953 17548,813 23897,556 32579,943 9559,028 8070,765 4670,477 526,538 2055,488 6792,675 237.563.200 250.781.553 378.950.849 27953,960 12830,268 22695,931 17172,316 18854,238
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
17,599 83415 102039 133499 0,832 42064 105082
101831,850 5765550 27002667 29948835 2519792 3484308 4280451
20137,232 2778662 2947154 1313888 37957 175250 127853
Tahun
Thailand Filipina 7642,212 13514,399 13225,772 0,646 0 0 56,701 46,58 0 5,421 3,354 9,776 84,837 11,174 1267,034 49,726 1338,606 7,918 28,257 1111,626 1198,259 2,136 220,342 533,374 32,783 2429,481 2200,284 3118,396 3570,825 4209,937 817945 802918 1614590 31011 32372 51858 -
199
j. Uni Emirat Arab No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 10,833 51,688 2,708 0 0 5,956 0 0,001 0 0 0 24,037 0 0 2,839 1,654 0,01 0 262,85 442,052
Pesaing 1 2306,559 3391,481 4765,486 5224,821 5389,099 7960,261 656,586 937,467 3182,673 138,726 44,793 1105,598 1.650.437 1.793.882 8.231.902 481,799 636,501 1639,647 6156,444 23048,907
Negara Pesaing 2 696,622 2282,987 4639,314 3020,180 4510,782 2184,232 39,692 533,533 184,177 19,699 32,330 169,498 756.682 124.611 577.905 324,512 415,691 400,626 2304,404 10978,125
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
538,039 81596 0 0,754 0 8171 73110
33275,829 3424131 11892508 19385030 1742051 4362160 6717346
7460,285 426483 1036711 1659938 59524 50822 703815
Tahun
Thailand Filipina 182,414 593,742 1159,252 0,199 0 52,736 2,844 0,12 0,902 0 0 257 0,215 23754,951 0,913 29512,582 61,591 10692,456 29,059 23,646 203,839 552,326 0,928 1237,28 217,665 72,929 56,488 19,024 96,269 542199 0,015 21587 0 0 0
116,337 -
200
k. Pasar Dunia No
Komoditi
1
Bunga Potong
2
Kubis
3
Jamur
4
Cendawan Tanah
5
Pisang
6
Nanas
7
Jambu Biji, Mangga, dan Manggis
8
Jahe
9
Temulawak
2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009 2001 2005
Indonesia 1179,715 4060,113 4306,225 6869,019 9130,463 10824,462 3978,765 2385,167 118,475 0,888 1,96 1974,084 87,688 1288,892 199,89 886,695 219,703 19,725 4250,637 7401,452
Pesaing 1 1969078,85 3116423,26 3620269,61 219903,776 374740,356 403063,559 169320,270 194183,769 251279,207 8707,374 18385,389 102229,051 846653,632 1112755,32 1995210,55 140690,976 328732,394 444831,251 124624,197 115644,345
Negara Pesaing 2 610319,424 906319,596 1049224,78 192415,433 229927,966 283571,984 104544,246 190926,709 243096,132 6872,309 11118,772 60322,559 670669,743 1083609,52 1389030,83 72206,391 253567,704 241220,441 51309,418 86564,634
2009 2001 2005 2009 2001 2005 2009
7919,229 3510830 2175071 3391054 100947 1089354 2692950
205435,888 73421687 218967302 281636765 15954854 36578812 69987881
136941,791 426483 1036711 1659938 59524 50822 703815
Tahun
Thailand 36353,196 67598,139 76126,747 439,429 133,582 512,946 813,234 1593,817 1374,394 5,43 3,354 5512,311 2882,646 6056,784 9459,401 2048,192 3148,032 1648,241 14415,395 23543,575
Filipina 297371,23 362590,47 360288,5 27406,704 43359,409 53114,845 35990,438 33077,068
71410,066 24896,837 11173073 10412914 24932334 103936 82822 111596 -
201
Lampiran 3. Negara-Negara Pesaing Utama Ekspor Hortiklultira Indonesia di Pasar Hongkong, Belanda, Singapura, Taiwan, dan Cina