121
VII. POSISI DAYA SAING PRODUK AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA 7.1. Faktor Intrinsik Produk Berdasarkan analisis SWOT-Kuantitatif telah dikemukakan penilaian terhadap kondisi saat ini atas kekuatan, kelemahan ancaman dan potensi pengembangan agroindustri halal yang ada. Faktor-faktor yang dipertimbangkan meliputi delapan belas faktor internal dan eksternal. Dari kedua kelompok faktor tersebut, kemudian ditelaah lebih dalam dengan memisahkan faktor-faktor yang ke dalam kelompok berdasarkan karakteristik kelembagaan dan karakterikstik produk. Faktor ekstrinsik kelembagaan meliputi faktor-faktor komitmen dan kelembagaan yang mempengaruhi perkembangan dan kebijakan agorindustri halal pada suatu negara, sedangkan faktor intrinsik produk dilihat dari sudut pandang pengembangan produk dimata konsumen dan pasar. Faktor-faktor intrinsik produk dalam pengembangan agroindustri halal merupakan faktor-faktor penting yang menjadi fokus perhatian utama konsumen dalam memilih produk halal yang akan dikonsumsi atau digunakannya serta berkaitan langsung dengan karakteristik produknya. Faktor-faktor intrinsik produk yang digunakan dalam pengembangan agroindustri halal meliputi delapan faktor yakni 1) Penampilan Produk, 2) Rasa, 3) Harga, 4) Mutu, 5) Variasi, Produk, 6) Cara Penyajian, 7) Apresiasi Konsumen dan 8) Level of trust. Faktor-faktor
di
atas
dibobotkan
kepentingannya
berdasarkan
pertimbangan dari para pakar agroindustri halal terpilih dengan kriteria yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap faktor intrinsik produk dilakukan pada lima kelompok produk-produk halal yang dikaji yakni 1) Produk Daging, (2) Produk makanan dan minuman olahan, (3) Produk mikrobial, (4) Produk seasoning dan flavour, serta (5) Produk kosmetik dan obat-obatan yang berasal dari enam negara ASEAN. Karena kelima kelompok produk tersebut merupakan produk halal yang secara umum telah dikonsumsi atau digunakan secara langsung oleh konsumen. Dengan demikian, penilaian dilakukan atas kelima kelompok tersebut sebagai satu kategori penilaian dengan asumsi produk-produk yang diamati memiliki karakteristik yang sama.
122
Penelaahan diawali dengan pembobotan kepentingan atas ke-delapan faktor yang diujikan dengan mensyaratkan masing-masing tiga kriteria yang telah terpenuhi. Tabel 18 berikut menjelaskan mengenai kriteria pemenuhan faktor intrinsik produk.
Tabel 18. Kriteria Pemenuhan Faktor Intrinsik Produk No.
Faktor Intrinsik Produk
1
Penampilan Produk
2
Rasa
3
Harga
4
Mutu
5
Variasi Produk
6
Cara Penyajian
7
Apresiasi Konsumen
8
Level of Trust
Kriteria Pemenuhan Inovasi dan Teknologi Kemasan Kemudahan Identifikasi (Warna, Bentuk) Ukuran Berat dan Volume Produk Kualitas Sensorik Rasa Kualitas Sensorik Aroma Konsistensi Rasa dan Aroma Willingness To Pay Kelayakan Harga Harga Produk Subtitusi Adanya Produk yang Diunggulkan Jaminan Mutu Produk Fungsional Produk Jumlah Variasi Produk Konsistensi Inovasi Kelengkapan Variasi Kemudahan Kepraktisan Keamanan Merek Dagang Promosi Track Record Produk dan Negara Asal dan Lokasi Negara Label dan Sertifikasi Halal Lokal Kelengkapan Informasi Produk
7.1.2. Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor Ekstrisnsik Agroindustri Halal
Dalam memetakan kekuatan agroindustri Indonesia dalam faktor intrisnsik, faktor-faktor tersebut dibobotkan kepentingannya. Tabel 19 berikut menjelaskan pembobotan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan terhadap faktor-faktor intrinsik produk pengembangan agroindustri halal.
123
Tabel 19. Penilaian Bobot Terhadap Faktor Intrinsik Produk No. FAKTOR INTRINSIK 1 2 3 4 5 6 7 8
1 Penampilan Produk 0,22 Rasa 0,14 Harga 0,17 Mutu 0,11 Variasi Produk 0,03 Cara Penyajian 0,19 Apresiasi Konsumen 0,06 Level of trust 0,08 Total 1,00
2 0,19 0,17 0,14 0,11 0,08 0,22 0,03 0,06 1,00
3 0,22 0,11 0,19 0,14 0,08 0,17 0,03 0,06 1,00
4 0,22 0,19 0,08 0,11 0,14 0,17 0,03 0,06 1,00
5 0,22 0,17 0,19 0,11 0,06 0,14 0,08 0,03 1,00
6 0,22 0,14 0,17 0,11 0,03 0,19 0,06 0,08 1,00
7 0,22 0,14 0,17 0,08 0,11 0,19 0,03 0,06 1,00
Responden 8 9 10 0,22 0,19 0,19 0,19 0,17 0,17 0,17 0,22 0,14 0,14 0,11 0,11 0,08 0,03 0,08 0,11 0,14 0,22 0,06 0,08 0,03 0,03 0,06 0,06 1,00 1,00 1,00
11 0,22 0,17 0,19 0,11 0,08 0,14 0,03 0,06 1,00
12 0,22 0,17 0,19 0,08 0,11 0,14 0,03 0,06 1,00
13 0,22 0,17 0,14 0,11 0,08 0,19 0,03 0,06 1,00
14 0,22 0,14 0,19 0,11 0,03 0,17 0,06 0,08 1,00
15 0,22 0,17 0,19 0,11 0,14 0,03 0,08 0,06 1,00
16 0,19 0,17 0,22 0,11 0,06 0,08 0,14 0,03 1,00
17 0,19 0,14 0,22 0,11 0,08 0,17 0,06 0,03 1,00
BOBOT 0,21 0,16 0,18 0,11 0,08 0,16 0,05 0,05 1,00
Pada tabel 19 di atas, setiap responden mengurutkan faktor-faktor yang diajukan yang kemudian berdasarkan bobot kepentingannya dan merata-ratakan hasil yang diperoleh dari ke-tujuh belas responden. Berdasarkan penilaian para pakar, penampilan produk merupakan faktor intrinsik produk yang memiliki bobot nilai tertinggi dengan skor 0,21. Skor tersebut mencerminkan bahwa penampilan produk merupakan hal paling dominan, dimana pasar akan menerima produk tersebut atau tidak. Pada posisi ke dua, harga menjadi pertimbangan penting dengan bobot kepetingan sebesar 0,18. Faktor lain yang juga memiliki pengaruh tinggi dalam pemilihan produk adalah rasa dan cara penyajian yang mendapatkan nilai yang sama yakni 0,16. Pada posisi selanjutnya mutu, variasi produk masingmasing mendapatkan skor 0,11 dan 0,05, sedangkan level of trust dan apresiasi konsumen terhadap produk halal yakni masing-masing memiliki skor terkecil dengan nilai 0,05. Faktor level of trust dipertimbangkan sebagai salah satu faktor intrinsik produk mengingat status halal dalam suatu produk dan suatu wilayah negara tertentu merupakan jaminan bagi ketentraman konsumen dalam mengkonsumsi atau menggunakan produk yang ada. Level of trust diperlukan agar pasar ataupun konsumen terbebas dari rasa khawatir jika produknya yang dikonsumsinya memiliki status haram. Pada faktor selanjutnya yakni apresiasi konsumen dipertimbangkan menjadi faktor penilaian karena adanya tingkat apresiasi yang berbeda-beda terhadap produk yang diproduksi suatu negara dibandingkan dengan negara lain. Suatu produk dari suatu negara tertentu sering kali diapresiasi lebih tinggi dibandingkan dengan produk negara lainnya. Untuk itu apresiasi konsumen dan level of trust dimasukkan dalam faktor-faktor intrinsik produk untuk
124
mengetahui tingkat apresiasi pasar serta tingkat ketentraman kosumen terhadap produk dari negara tertentu. Untuk mengetahui posisi kekuatan yang melibatkan faktor-faktor instrinsik pada enam negara ASEAN, Tabel 20 berikut menjelaskan besarnya nilai kekuatan setiap negara untuk setiap faktor-faktor intrinsik produk Nilai lima menunjukkan pencapaian yang paling ideal, sebaliknya nilai yang semakin kecil menunjukkan kondisi yang semakin jauh dari ideal.
Tabel 20. Penilaian Kekuatan Faktor-Faktor Intrinsik Produk Di Setiap Negara No
Faktor Intrsinsik
1.
Indonesia
Malaysia
Brunei D
Thailand
Filipina
Singapura
Penampilan Produk
3,06
4,18
4,24
4,53
2,29
4,47
2.
Rasa
3,53
3,65
3,41
3,94
3,18
3,82
3.
Harga
3,94
4,35
3,47
4,18
3,06
2,53
4.
Mutu
3,00
4,53
4,29
4,59
2,88
4,00
5.
Variasi Produk
3,29
4,00
3,12
4,41
2,88
3,12
6.
Cara Penyajian
2,82
4,06
3,88
4,24
2,88
3,94
7.
Apresiasi Konsumen
2,82
4,29
3,65
2,88
2,47
2,53
8.
Level of trust
3,59
4,47
4,53
2,94
2,53
2,71
Rata-Rata
3,26
4,19
3,82
3,96
2,77
3,39
Malaysia dan Thailand merupakan dua negara yang memiliki faktor-faktor intrinsik produk yang sangat baik dengan nilai diatas 4,0, sedangkan Indonesia, Singapura dan Brunei Darussalam memiliki kondisi yang cukup baik dengan nilai diantara 3,0 dan 4,0. Nilai tertinggi yang diperoleh Thailand adalah pada penampilan produk. Thailand juga unggul dalam rasa dan cara penyajian, walaupun mendapatkan nilai yang rendah pada faktor apresiasi konsumen dalam negerinya terhadap produk halal, sedangkan Indonesia memiliki kekuatan yang merata, tidak unggul dalam setiap faktor manapun namun juga tidak menjadi yang terburuk. Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa, Indonesia memiliki harga yang bersaing dengan produk negara lain dengan rasa cukup unik dan variasi produk halal yang cukup banyak. Meskipun perolehan Indonesia masih jauh
125
dibawah Malaysia dan Thailand, namun dengan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam dengan tingkat kreativitas yang tinggi, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan kekuatan faktor-faktor intrinsik produknya. Secara keseluruhan, Malaysia memiliki kekuatan dalam penguasaan faktor intrinsik produk yang sangat baik dengan perolehan skor 4,19, sedangkan Thailand, walaupun bukan negara muslim mampu memiliki skor yang tinggi yakni 3,96 hampir sama dengan Brunei Darussalam yang fokus dalam mengembangkan produk halal premiumnya. Kondisi yang lain terjadi pada Singapura, walaupun bukan negara tertinggi populasinya, Singapura merupakan tempat transit dan pintu perdagangan Internasional, sehingga faktor-faktor halal sebagai pemenuhan komitmen untuk mengembangkan produk dan jasa yang halal compatible menjadi penting. Hal tersebut menjadikan Singapura mendapatkan nilai yang baik sengan skor 3,39, sedangkan Indonesia dengan skor 3,26 walaupun dalam kategori baik, namun berada diposisi ke-lima dalam pengembangan faktorfaktor intrinsik produknya, hanya unggul dari Filipina (2,77). Dengan hasil tersebut, Indonesia perlu dengan sinergis mengembangkan faktor-faktor intrisnik sebagai upaya menambah nilai tambah dan daya saing produknya
7.2. Analisis Kondisi Faktor-Faktor Intrinsik Produk Di Setiap Negara
Faktor-faktor intrinsik produk dari enam negara memiliki keunikan masing-masing sesuai dengan standar industri yang telah dicapai, perbedaan latar budaya dan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap pengembangan produk halalnya masing-masing. Sebagai contoh, Malaysia memiliki produk halal yang seluruh faktor-faktor intrinsik produknya pada umumnya mendapatkan skor yang sangat baik, sedangkan Thailand lebih cenderung unggul pada faktor cita rasa dan mutunya yang telah dikenal luas secara global. Secara lebih jelas, penguasaan faktor-faktor instrinsik oleh setiap negara dijelaskan pada Gambar 40 berikut.
126
Gambar 40. Kondisi Faktor-Faktor Intrinsik Produk Di Enam Negara ASEAN
127
Dari Gambar 40 di atas, sub-bab berikut menjelaskan secara rinci perkembangan setiap negara dalam hal penguasaan faktor-faktor intrinsik produk agroindustri halal-nya.
7.2.1. Penampilan Produk Penampilan produk merupakan faktor yang memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan faktor-faktor intrinsik produk lain dengan skor 0,21. Hal tersebut menujukkan bahwa penampilan produk menjadi pertimbangan utama konsumen memilih produk yang ada. Dalam penampilan produk halal, Thailand memiliki penampilan produk yang terbaik dengan nilai 4,53, kemudian Singapura (4,47), Brunei Darussalam (4,18) dan Malaysia (4,24). Kriteria-kriteria penampilan produk yang terdiri atas inovasi kemasan, mudah diidentifikasi dari warna, bentuk, berat dan volume. Produk dengan nilai terbaik dalam hal penampilan produk diperoleh Thailand, Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia. Ke-empat negara tersebut memiliki inovasi kemasan produk yang lebih maju dan inovatif dibandingkan dengan Indonesia dan Filipina. Selain itu, penampilan produk yang dimiliknya selain dijadikan faktor daya tarik utama, juga diposisikan untuk memiliki fungsi jaminan terhadap kesehatan, keamanan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi, dan informasi. Keberhasilan empat negara dengan perolehan skor tertinggi tersebut, terutama bagi Malaysia dan Thailand, jika dianalisis lebih lanjut, skor yang diperoleh merupakan hasil dari kebijakan pemerintahannya yang tertuang dalam arah pengembangan agroindustri halalnya yang jelas. Kebijakan pemerintahnya mengupayakan berbagai nilai tambah dan daya tarik produk yang mampu menembus pasar Internasional dan sesuai dengan kriteria standar keamanan dan kemajuan jaman. Khusus bagi Brunei Darussalam yang menempati posisi ke-tiga, penampilan produk dinilai sebagai kriteria utama yang harus dipenuhi sesuai dengan visi pengembangan bisnis halalnya, yakni menciptakan produk-produk halal premium untuk kebutuhan global, sehingga faktor penampilan produk menjadi faktor yang harus dikuasai.
128
Kekuatan penampilan produk halal Indonesia, skornya
memiliki nilai
yang cukup baik yakni 3,06 diatas Filipina dengan skor 2,29. Walaupun dinilai cukup baik, namun jika diperbandingkan dengan negara-negara yang berada diatasnya, kelemahannya terdapat pada inovasi dan teknologi kemasan serta standar kemasan yang tidak dimiliki secara merata oleh produk-produk halal Indonesia, sedangkan Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand memiliki standar yang baik. Contoh penerapan tersebut adalah, ketika penampilan produkproduk usaha kecil dan menengah ke-empat negara tersebut memiliki kesamaan dengan produk-produk industri besar, yang membedakannya hanya dari skala produksinya saja.
7.2.2. Rasa Rasa menjadi faktor intrinsik produk terpenting ke-tiga setelah penampilan produk dan harga dengan skor 0,16. Faktor intrinsik produk rasa dinilai berdasarkan kriteria pemenuhannya terhadap kualitas sensorik rasa, kualitas sensorik aroma serta konsistensi rasa dan aroma. Kriteria rasa dan aroma lebih dikenal dengan istilah cita rasa yang melekat pada produk yang dihasilkan. Dalam hal rasa, Thailand sangat kuat posisinya dalam industri kuliner dan produk makanan di dunia, hal tersebut dikuatkan dengan perolehan skor 3,94 sebagai negara yang memiliki faktor intrinsik produk rasa terbaik. Posisi dibawahnya adalah Singapura (3,82), Brunei Darussalam (3,41), Malaysia (3,65), Indonesia (3,53) dan Filipina (3,18). Perolehan skor akhir atas faktor rasa relatif mendapatkan nilai yang sama sebagai produk yang identik dengan produk dengan cita rasa Asia. Posisi kekuatan rasa Indonesia lebih rendah dan pencitraan rasa yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain terutama Thailand. Thailand berhasil mengidentikkan cita rasa produk makanannya pada dunia Internasional dengan berbagai upaya promosi pariwisata dan ekspansi bisnisnya ke negara-negara barat. Selain Thailand, upaya yang lebih keras dilakukan oleh Malaysia untuk mempromosikan cita rasa Asia-nya melalui beragam ciri khas nya seperti rendang, kari, sate, rujak yang dijadikan ikon makanannya. Melalui strategi promosinya, produk Malaysia digambarkan memiliki kekayaan rempah yang sangat tinggi dan
129
unik. Promosi cita rasa diintegrasikan dengan promosi industri pariwisatanya. Strategi promosi yang baik juga dijalankan oleh pemerintah Thailand dan Singapura. Upaya-upaya tersebut menjadikan ciri khas rasa suatu negara menjadi identitas yang kuat dan melekat sehingga penilaianannya dinggap menjadi lebih baik.
7.2.3. Harga Harga merupakan indikator yang jelas dari daya saing produk di pasar Internasional. Faktor harga menjadi faktor terpenting ke-dua setelah penampulan produk dengan skor 0,18. Dengan demikian harga produk halal harus kompetitif, karena konsumen memiliki preferensi yang kuat terhadap produk dengan harga paling rasional. Selain hal di atas, harga produk halal terutama makanan dan minuman di suatu negara dipengaruhi oleh infrastruktur dan kemudahan birokrasi di suatu negara. Penilaian kekuatan faktor intrisik dinilai dengan penenuhan kriteria atas besarnya kesediaan pasar dalam menerima harga produk halal (willingness to pay), kelayakan harga atas dasar besaran biaya produksi dan pertimbangan harga produk-produk halal subtitusi. Malaysia menjadi negara yang memiliki kekuatan harga yang paling baik dengan skor 4,35 bersama dengan Thailand dengan skor 4,18, sedangkan Indonesia masih dalam kategori yang paling baik dengan skor 3,94. Produk-produk Malaysia, Thailand dan Indonesia dikenal sebagai produkproduk yang memiliki tingkat harga yang paling kompetitif sehingga menjadi daya tarik konsumen untuk membelinya, sedangkan Brunei Darussalam dengan skor 3,47 memiliki tingkat kekuatan harga dibawah Indonesia, Thailand dan Malaysia. Dengan segmentasi produk-produk premium, dapat dipahami bahwa produk-produk
Brunei
Darussalam
dibandungkan negara lain.
memiliki
harga
yang
lebih
tinggi
Produk-produk lain dari Filipina dan Singapura
menempati posisi lima dan enam dengan skor masing-masing 3,06 dan 2,53. Hal tersebut menggambarkan bahwa produk-produk halalnya memiliki harga yang kurang kompetitif.
130
7.2.4. Mutu Faktor intrsinsik mutu menjadi kriteria dengan bobot kepentingan 0,11 dibawah faktor penampilan produk, harga, rasa dan cara penyajian. Faktor mutu dinilai berdasarkan kriteria pemenuhan atas adanya produk yang diunggulkan, ada tidaknya jaminan mutu produk dan kriteria fungsional produk. Mutu produkproduk Thailand mendapatkan tertinggi nilai dengan skor 4,59 bersama dengan Singapura (4,53) dan Brunei Darussalam (4,29) dalam kelompok negara yang memiliki mutu produk yang paling baik. Sedangakan Malaysia dengan skor 4,00 menjadi negara dengan produk yang mutunya baik, dan Indonesia memiliki mutu dengan kategori cukup baik dengan perolehan skor 3,00 yang berada dibawah rata-rata negara ASEAN. Konsumen belum begitu menyakini bahwa produk Indonesia memiliki mutu yang sebanding dengan yang diproduksi di Thailand, Malaysia, terlebih lagi dengan Singapura yang senantiasa dijadikan tolok ukur mutu produk yang paling tinggi bagi konsumen. Terdapat beberapa kebijakan pemerintah Malaysia dalam meningkatkan mutu produknya dengan menyiapkan perusahaan-perusahaan menengah sebagai pelaku utama dimasa yang akan datang untuk juga dapat bermain sebagai pemain utama dalam perdagangan global (HDC, 2010). Produk-produk perusahaan menengah di Malaysia dan Thailand sulit dibedakan mutunya dengan produksi perusahaan besar karena memiliki standar yang sama yang harus dipenuhi. Satu-satunya yang membedakan antara produk perusahan besar dengan menengah hanya pada skala produksi dan pemasarannya. Di Indonesia, mutu produk halalnya rata-rata belum mencapai standar Internasional.
Produk-produk
Indonesia
yang
berhasil
menembus
pasar
Internasional hanya produk-produk dari perusahaan-perusahan berskala
besar
dengan cakupan pasar Internasional.
7.2.5. Variasi Produk Variasi produk memiliki bobot 0,08 dan menempati urutan ke-lima dalam tingkat kepentingan faktor intrinsik produk. Faktor variasi produk memiliki kriteria yang terdiri dari jumlah variasai produk, tingkat konsistensi inovasi dan kelengkapan variasi. Jumlah Variasi Produk Thailand mendapatkan skor tertinggi
131
dengan nilai 4,41 diikuti oleh Malaysia (4.00), Brunei Darussalam, Indonesia (3,39), Singapura (3,12), Brunei Darussalam (3,12) dan Filipina (2,88). Keunggulan Thailand dalam variasi produk yang sangat tinggi dibuktikan dengan fakta pencapaian industri halal Thailand yang maju pesat. Hingga tahun 2010 Thailand telah memiliki 20.000 unit pabrik makanan, 8.000 unit pabrik diantaranya
telah
berstandar
Internasional,
sedangkan
yang
potensial
dikembangkan untuk industri halal mencapai 18,000 unit, dengan jumlah pabrik yang tersertifikasi halal mencapai 1,937 unit. Pada masa yang akan datang, akan dikembangkan pabrik dengan setndar intenasional sebanyak 7,500 unit dan 1,100 unit pabrik diantaranya bersertifikasi halal (Saifah, 20010). Pola pengembangan agroindustri halal yang dikembangkan secara terarah terutama oleh Thailand, Malaysia dan Brunei Darussalam membuat jumlah variasi produknya semakin meningkat dengan perkembangan yang bertahap sesuai dengan kebijakan pengembangan agroindustri halal yang dijalankan. Di Indonesia, perkembangan variasi produk halal teridentifikasi dari kenaikan jumlah unit produk yang tersertifikasi oleh lembaga independen non pemerintah, Arah pengembangan industri dikembangkan Kementrian Perdagangan, sedangkan agroindustri halal belum mengarah pada sektor industri, hanya baru tingkat penanaman kesadaran atas produk-produk halal dan hal tersebut dilakukan oleh Kementrian Agama dan lembaga non pemerintah.
7.2.6. Cara Penyajian Faktor cara penyajian mempertimbangkan beberapa kriteria, yaitu kemudahan, kepraktisan dan keamanan. Dari faktor cara penyajian tersebut, Thailand menempati posisi paling tinggi dengan skor 4,24, Malaysia (4,06), Singapura (3,94) Brunei Darussalam (3,88), Filipina (2,88) dan Indonesia (2,82). Cara penyajian menjadi penting sebagai pertimbangan faktor intrinsik produk dimana konsumen akan mempertimbangkan untuk membeli kembali atau produk yang sebelumnya telah dikonsumsi atas pengalamannya dalam mendapatkan penyajian yang baik atas produk halal yang dibelinya.
132
Produk-produk yang dikembangkan Thailand dan Malaysia memiliki pertimbangan estetika penyajian produk yang lebih baik, tidak hanya memperhatikan faktor-faktor kemasannya saja, namun pengembangannya juga dilakukan hingga kemudahan penggunaan dari mulai membuka kemasan sampai dengan suatu produk siap saji dengan aman dan praktis. Keunggulan kolaborasi estetika kemasan dan produk, cara penyajian, kepraktisan dan keamanan yang diraih
Thailand
dan
Malaysia
adalah
upaya
dari
pemerintah
dalam
mengembangkan standar mutu secara lebih luas pada produk-produk yang dikembangkan oleh pelaku agroindustri halal.
7.2.7. Apresiasi Konsumen Kriteria yang berpengaruh pada apresiasi konsumen terdiri dari merek dagang, kekuatan promosi, track record produk dan negara asal produk halal. Tingkat kepentingan apresiasi konsumen memiliki nilai 0,05. Skor tertinggi faktor apresiasi konsumen didapatkan oleh Malaysia dengan skor 4,49, sedangkan Brunei Darussalam dengan skor 3,65 menjadi negara dengan tingkat apresiasi konsumen kedua terbaik. Untuk produk-produk halal Indonesia memiliki posisi yang hampir sama dengan Thailand dengan skor masing-masing 2,82 dan 2,88 yang masuk kedalam kelompok cukup baik, sedangkan Singapura dan Filipina memiliki skor 2,53 dan 2,47 merupakan negara yang tingkat apresiasi konsumen terhadap produk halalnya cukup rendah. Apresiasi konsumen pada umumnya dilatarbelakangi oleh mayoritas kepercayaan yang dimiliki penduduknya, sedangkan faktor yang mempengaruhi apresiasi adalah dorongan kebijakan pemerintah. Seperti yang dilakukan Thailand yang berhasil mendapatkan apresiasi yang tinggi terhadap produk halalnya walaupun latar belakang penduduk mayoritas Budha. Thailand mengedepankan halal sebagai jaminan kualitas produk dan potensi bisnis dibandingkan menjadikannya sebagai faktor perlindungan konsumen terutama konsumen minoritas.
133
7.2.8. Level of Trust Level of Trust dapat juga diselaraskan dengan pandangan kacamata konsumen muslim yang diungkapkan oelh Wilson (2011) sebagai tingkatan resiko dalam mengambil keputusan dalam memilih suatu produk. Keputusan tersebut dapat menajdi sebuah keputusan beresiko rendah ataupun tinggi. Dalam pemilihan produk perlu mengkolaborasikan berbagai pertimbangan rasional dan emosional dengan dasar perintah agama. Konsumen muslim dalam melakukan pengambilan keputusan pemilihan atas produk yang akan dikonsumsinya, memerlukan tingkat keyakinan yang tinggi atas kehalalan produk yang dipilihnya agar memiliki resiko yang rendah. Keyakinan akan kehalalan produk harus selaras dengan paradigma halal yang menuntut suatu produk halal dapat dibuktikan secara kontekstual sehingga menghasilkan pemikiran logis, perasaan aman hingga bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan. Gambar 41 berikut mengilustrasikan keputusan dalam pemilihan produk halal akan semakin rendah resikonya jika kegiatan pengambilan keputusan tersebut dapat dibuktikan dalam suatu paradigma halal, dan akan semakin tinggi resikonya jika kehalalan produk tidak dapat dibuktikan secara kontekstual (Wilson, 2011). Kacamata Budaya Konsumen Muslim
Haram
Halal (Perintah Allah SWT)
Keputusan Beresiko Tinggi Rasional
Emosional Kepercayaan
Bukti Kontekstual
Paradigma Halal
Pemikiran
Perasaan
Bukti Tertulis
Peleburan antara emosi dan pemikiran
Kebiasaan
Berpikir-PerasaanTindakan
Perasaan-BerpikirTindakan
Keputusan Beresiko Rendah
Gambar 41. Proses Pengambilan Keputusan Muslim (Wilson, 2011)
134
Level of Trust merupakan faktor instrinsik terhadap ke-halalan produk yang berasal dari suatu negara. Tingkat kepercayaan tersebut identik dengan seberapa besar muslim menjadi penduduk mayoritasnya, pelaksanaan standar sertifikasi halal, kepercayaan terhadap label halal serta kelengkapan informasi produk yang tercantum pada produk negara yang bersangkutan. Tingkat kepercayaan atau level of trust tertinggi diraih oleh Brunei Darussalam dengan skor 4,53 dan Malaysia dengan skor 4,47. Dengan skor tersebut menggambarkan bahwa konsumen sangat yakin jika produk tersebut diproduksi Brunei Darussalam dan Malaysia akan terjamin ke-halalannya. Pencapaian Indonesia sebagai negara terbesar populasi Muslimnya memperoleh skor 3,59 yang dikategorikan sebagi negara yang dipercayai tingkat ke-halalannya dengan baik. Untuk negara-negara dengan penduduk mayoritas non-muslim ratarata mendapatkan tingkat kepercayaan yang rendah seperti Thailand (2,94), Singapura (2,71) dan Filipina (2,53). Untuk menyiasati rendahnya tingkat kepercayaan, beberapa negara mengambil strategi dengan meningkatkan promosi mengenai ke-halalan produknya, membangun pencitraan negara dan produk-produknya, penciptaan merek dagang, pencantuman label halal dan informasi produk yang lengkap sesuai dengan standar Internasional. Sebagai contoh, upaya tersebut dilakukan oleh Thailand yang produk-produknya banyak diragukan ke-halalan-nya karena Thailand berlatarbelakang penduduk dan pemerintahan non-muslim. Strategi tersebut berhasil dilakukan Thailand yang ditunjukkan dengan pencapaian tingkat kekuatan agroindustri halal-nya yang baik dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti dijelaskan dalam sub bab analisis kekuatan faktor-faktor intrinsik produk di setiap negara berikut. 7.3. Analisis Kekuatan Faktor- Faktor Intrinsik Produk Di Setiap Negara
Setelah dilakukan pembobotan kepentingan, penilaian terhadap faktorfaktor intrinsik dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan nilai kekuatan masing-masing negara yang kemudian didapatkan perbandingan agroindustri halal yang ada di enam negara ASEAN. Peringkat daya saing negara berdasar faktor intrinsik agroindustri halal diperlihatkan pada Gambar 42 berikut.
135
Gambar 42. Kekuatan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Enam Negara ASEAN
Dari Gambar 42 di atas, negara dengan kekuatan faktor-faktor intrinsik tertinggi adalah Malaysia dengan skor 4,15, kemudian Thailand (4,13), Brunei Darusaalam (3,82), Singapura (3,59), Indonesia (3,28) dan Filipina (2,82). Melihat posisi Indonesia, maka perlu didorong untuk segera melakukan berbagai inovasi berkaitan dengan faktor-faktor intrinsik yang harus dikembangkan secara berkesinambungan. Secara keseluruhan, penampilan produk, rasa, harga, mutu, variasi produk, cara penyajian, apresiasi konsumen dan level of trust, Indonesia menempati urutan ke lima dari enam anggota negara ASEAN. Indonesia hanya unggul dari Filipina. Banyak faktor yang mengakibatkan produk Indonesia kalah jika dibandingkan secara langsung dengan produk-produk halal ke-lima negara lainnya, antara lain adalah karena rendahnya faktor inovasi yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan, serta rendahnya unsur kreativitas yang dikembangkan dalam pengembangan produknya. Dalam perkembangan agroindustri halal, ke-enam negara ASEAN yang dibandingkan memiliki tingkat kematangan yang berbeda dalam penguasaan faktor-faktor intrisnik produk halalnya. Gambar 43 berikut memperlihatkan tingkat kematangan agroindustri setiap negara dari faktor-faktor insintrik pengembangan agroindustri halal.
136
Gambar 43. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Enam Negara ASEAN Malaysia memiliki penguasaan faktor-faktor intrinsik produk, yang lebih tinggi dan merata, serta menjadi negara yang menjadi acuan dalam pengembangan agroindustri halal global, sedangkan Thailand tingkat kematangannya baik, kecuali pada faktor apresiasi konsumen dan level of trust. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh faktor kepercayaan penduduknya yang mayoritas non muslim yang mengakibatkan pasar muslim belum meyakini jaminan kehalalannya. Tampilnya Brunei Darussalam sebagai negara dengan tingkat kematangan yang terbaik setelah Malaysia dan Thailand merupakan bukti dari berhasilnya komitmen pemerintahnya pada pengembangan agroindustri halal. Mengenai variasi nilai produk nilai yang rendah pada produk-produk halal Brunei Darussalam, hal tersebut lebih diakibatkan bahwa saat ini Brunei Darussalam lebih fokus dalam pengembangan produk-produk berbasis daging sapi. Negara-negara yang memiliki kategori cukup berkembang baik berturutturut adalah Singapura dan Indonesia. Singapura tingkat kematangannya lebih baik dari Indonesia walaupun tidak berlangsung merata karena Singapura lemah pada apresiasi konsumen halal, tingkat kepercayaan atau keyakinan terhadap kehalalan produk dan harganya yang relatif mahal. Indonesia memiliki tingkat kematangan faktor intrinsik produk halal pada tingkat sedang dengan tingkat
137
penguasaan faktor-faktor intrinsik yang cukup baik dan merata, namun nilainya masih lebih rendah dibanding Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam. Indonesia memiliki nilai yang kurang baik pada faktor penampilan dan mutu produk
berkaitan dengan
belum tingginya
tingkat
penguasaan
standar
internasional pada industrinya. Untuk negara yang paling rendah tingkat kematangannya adalah Filipina yang merupakan pemain baru yang berupaya mengembangkan faktor-faktor intrinsik produknya. 7.3.1. Malaysia Malaysia menjadi unggul dalam penguasaan faktor-faktor intrinsik produk, dari ke-delapan faktor, Malaysia rata-rata memiliki tingkat penguasaan yang sangat baik dan faktor yang paling menonjol dari produk-produk Malaysia adalah mutu produk, harga dan tingkat keyakinan ke-halalan produknya. Ketiga faktor tersebut selain tertinggi nilainya juga memiliki bobot kepentingan yang tertinggi dalam mempengaruhi pasar dalam membeli produk halalnya. Gambar 44 berikut menjelaskan tingkat kematangan dan pencapaian skor penguasaan faktor intrinsik produk Malaysia.
Gambar 44. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal di Malaysia
Visi Malaysia untuk menjadi pelopor pelaku bisnis halal dunia tercermin dari pencapaian dalam penguasaan faktor-faktor di atas. Hal yang menjadi kelemahan Malaysia adalah dari cita rasa yang kurang mencirikan ke-khasannya
138
dibandingkan dengan negara-negara lain, namun secara umum Malaysia adalah negara terbaik dalam penguasaan faktor-faktor intrinsik produk agroindustri halal.
7.3.2. Thailand Thailand adalah negara dengan produk-produk agroindustrinya yang terkenal secara internsional, yang terintegrasi sejalan dengan visi dan kebijakan industri manufaktur dan pariwisatanya. Selama ini, walaupun Thailand sebagai penghasil produk agroindustri yang unggul di tingkat Internasional, namun Thailand tidak identik citranya sebagai penghasil produk-produk halal. Lain halnya dengan Malaysia dan Brunei Darussalam yang identik dengan Islam yang memiliki tingkat keyakinan ke-halalan produknya yang tinggi, Thailand memiliki kelemahan dalam level of trust dan apresiasi konsumen terhadap produk-produk halalnya. Namun demikian, karena kondisi tersebut, Thailand dengan serius mengembangkan konsep Hal-Q sabagai konsep penjaminan dan standar mutu yang disinergiskan dengan konsep halal untuk melakukan penetrasi pasar halal global. Thailand sangat unggul dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam hal penampilan, harga, variasi produk, cara penyajian dan mutu produk seperti yang digambarkan dalam Gambar 45 berikut.
Gambar 45. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Thailand
Penguasaan Thailand terlihat pada enam faktor
intrinsik penampilan
produk, rasa, harga, mutu, variasi dan cara penyejian produk dengan skor di atas empat dengan bobot kepentingan yang tinggi. Dua faktor yang paling rendah
139
nilainya dibandingkan dengan negara-negara lain adalah level of trust dan apresiasi konsumen, namun bobot kepentingannya tidak begitu besar sehingga menempatkan Thailand sebagai negara terbaik ke-dua dalam penguasaan faktorfaktor intrinsik produk pengembangan agroindustri halal.
7.3.3. Brunei Darussalam Sesuai dengan visi Brunei Darussalam untuk menciptakan produk-produk halal premium, maka penguasaan faktor-faktor intrinsik produk menjadi faktor paling penting untuk dikembangkan karena berkaitan langsung dengan produknya. Selain itu, Brunei Darussalam memiliki keuntungan yang tidak dimiliki negara lain dalam mengembangkan agroindustri halalnya, seperti pada faktor tingkat keyakinan ke-halalan (level of trust) produk-produk Brunei Darussalam yang sangat tinggi. Hal tersebut membuat konsumen merasa yakin apapun yang dibuat di Brunei Darussalam akan memiliki status halal. Keunggulan lainnya adalah dalam hal mutu dan penampilan produk. Baiknya mutu produk halal Brunei Darussalam didukung oleh bahan baku unggul yang didapatkan dari produsen-produsen terbaik utama dunia yang menjadi pemasok utama produk-produk halal Brunei Darussalam, sedangkan untuk penampilan produk, sebagai konsekwensi dari visi penciptaan produk premium global, penampilan produk Brunei Darussalam telah mencapai kematangan yang sangat baik. Lebih jelasnya, Gambar 46 berikut menerangkan tingkat kematangan dan skor yang diperoleh faktor intrinsik produk agroindustri halal Brunei Darussalam.
Gambar 46. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Brunei Darussalam
140
Perolehan skor yang rendah didapatkan dari faktor variasi produk halal. Hal tersebut disebabkan karena Brunei Darussalam saat ini lebih fokus dalam memenuhi permintaan produk halal berbasis daging sapi untuk memenuhi pasar Timur Tengah dan Eropa. Secara keseluruhan, faktor intrinsik produk halal Brunei Darussalam termasuk ke dalam kategori baik dan menempati peringkat ke-tiga dibandingkan dengan enam negara ASEAN lainnya.
7.3.4. Singapura Halal tidak dijadikan acuan pengembangan industri di Singapura, namun pemerintah dan industrinya memiliki kesadaran yang tinggi akan potensi bisnis halal. Unuk hal tersebut, Singapura mengupayakan kebijakan yang mengarah pada penyelenggaraan bisnis dan industri yang mampu memenuhi peryaratan halal. Saat ini, walaupun tidak berbasiskan pada agroindustri halal, namun kriteriakriteria dari faktor-faktor intrisnik pengembangan agroindustri halal dicapai dengan baik oleh Singapura. Gambar 47 berikut menggambarkan kematangan dan skor faktor-faktor intrisik yang dicapai oleh Singapura.
Gambar 47. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Singapura
7.3.5. Indonesia Faktor intrisnik agroindustri halal Indonesia berada pada kategori baik dan tingkat kematangan yang merata dengan skor rata-rata 3,26. Faktor-faktor yang baik tingkat kekuatannya antara lain faktor harga, tingkat keyakinan ke-halalan produk, rasa dan variasi produk, sedangkan yang masuk kedalam kategori cukup
141
baik adalah faktor penampilan dan mutu produk. Faktor lain yakni apresiasi konsumen dan cara penyajian mendapatkan skor yang relatif rendah dan berada di bawah negara-negara lain. Gambar 48 berikut menjelaskan pencapaian kematangan dan skor yang dicapai Indonesia dalam penguasaan faktor-faktor intrinsik produk agroindustri halalnya.
Gambar 48. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Indonesia
Indonesia berpeluang mengembangkan produk-produk halalnya di pasar global dengan tingkat level of trust produk halal yang tinggi. Namun saat ini, Indonesia masih memiliki visi perlindungan konsumen dalam negeri dan belum memiliki rencana ekspansi produk halal secara global kecuali dilakukan beberapa industri secara mandiri. Visi yang ada selama ini bukan dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang kebijakan, tetapi dmiliki oleh LPPOM-MUI sebagai lembaga audit halal yang tidak memiliki kewenangan dalam menentukan arah dan kebijakan industri. Jika pun ada dalam rancangan undang-undang jaminan produk halal yang sedang dibuat, tidak mencantumkan halal sebagai tujuan, pondasi ataupun arah kebijakan dalam pembangunan agroindustri. Di lain pihak Indonesia merupakan sasaran produk-produk halal global dengan tingkat kematangan faktor intrinsik produk Indonesia masih dalam tahap menengah, dimana dalam tingkatan kematangan kemampuan agroindustri halal Indonesia belum mencapai titik-titik terluar, sehingga masih memiliki peluang pengembangan yang lebih lanjut.
142
Dengan kondisi tersebut maka pasar Indonesia akan terancam oleh produk-produk halal asing yang memiliki tingkat daya saing yang lebih baik.
7.3.6. Filipina Tingkat kematangan Filipina dalam penguasaan faktor intrinsik produk menjadi yang paling rendah diantara negara-negara lain. Filipina dikategorikan sebagai negara yang baru memulai agroindustri halalnya sehingga memiliki nilainilai skor yang rendah. Gambar 49 berikut menjelaskan tingkat kematangan dan pencapaian skor faktor-faktor intrinsik produk Filipina.
Gambar 49. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Filipina
Faktor dengan nilai tertinggi yang diperoleh Filipina terletak pada faktor rasa dengan 3,18 dan harga dengan skor 3,06. Selain ke-dua faktor tersebut, memliliki skor dibawah 3,0 yang menunjukkan bahwa kondisinya masih kurang baik. Latar belakang budaya, lokasi geografis dan kondisi sosial budaya yang relatif jauh dari negara-negara ASEAN lain melatarbelakangi tidak fokusnya pengembangan agroindustri Filipina dengan platform halal, namun seiring dengan perkembangan bisnis halal global, Filipina mulai mencoba memasuki pasar halal global dengan berpartisipasi dalam beberapa pameran dagang produk halal internasional termasuk MIHAS di Malaysia.
143
7.4. Dampak Kekuatan Intrinsik ASEAN Terhadap Indonesia Dari ke-enam negara ASEAN yang mengembangkan agroindustri halal yang diperbandingkan faktor-faktor intrinsik produknya, didapatkan berbagai keunggulan dan kelemahan sekaligus potensi yang dapat didayagunakan serta ancaman-ancaman yang datang dari produk negara-negara yang diperbandingkan. Hasil perbandingan hasil analiss kekuatan, kelemahan, potesi dan ancaman secara keseluruhan menunjukkan bahwa, Malaysia dan Thailand menjadi negara yang memiliki tingkat kematangan faktor intrinsik produk yang jauh lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dari hasil analsis yang dilakukan, Walaupun Indonesia berada pada posisi kelima dan dalam kategori cukup baik dalam penguasaan fakor-faktor intrinsik produk dengan skor rata-rata di atas 3,0. Keunggulan Indonesia dalam hal harga, rasa, variasi produk dan level of trust adalah modal penting dalam pengembangan agroindustri halal, karena faktor-faktor tersebut berkaitan dengan citra yang sulit dibangun oleh negara lain dalam waktu dekat. Dalam hal mutu, penampilan produk dan cara penyajian, Indonesia perlu memberikan perhatian lebih dalam agar mampu ditingkatkan atau menyamai kekuatan produk-produk halal kompetitor dari negara lain.
Dalam mengembangkan agroindustri halal lebih
lanjut, diperlukan kebijakan khusus dari pemerintah dalam meningkatkan tingkat kematangan faktor-faktor intrinsik produk halal dalam koridor kebijakan pengembangan agroindustri halal nasional.