Daya Saing Nasional dan Agroindustri (Suatu Pendekatan Pembangunan Lintas Sektor) Rizang Wrihatnolo
*)
Pendahuluan Krisis ekonomi yang dialami Indonesia lebih dari 2 tahun ini menunjukkan bahwa ketahanan ekonomi sangat lemah terhadap gejolak dari luar termasuk sektor industri sebagai tulang punggung perekonomian. Sejak triwulan keempat tahun 1997, kegiatan ekonomi secara keseluruhan terus menurun sehingga pertumbuhannya negatif sekitar 13,2 persen pada keseluruhan tahun 1998. Penurunan ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan sektor industri yang negatif sebesar 13,4 persen pada tahun 1998. Dalam upaya memulihkan ekonomi dan sekaligus memperkokoh ketahanan ekonomi nasional, langkah-langkah strategis tidak dapat ditempuh hanya melalui kebijakan jangka pendek yang diarahkan untuk mengembalikan momentum perekonomian seperti sebelum krisis. Tapi perlu didukung perubahan strategi pembangunan yang mendasar yang tidak saja mampu memulihkan perekonomian tetapi juga yang dapat menciptakan struktur perekonomian yang kokoh dan mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi dalam masa mendatang. Ketahanan ekonomi yang kokoh tersebut perlu didorong melalui penguatan struktur industri yaitu dengan memperkuat agroindustri.
Krisis Ekonomi dan Daya Saing Nasional Tanpa terasa krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 masih terus dan sedang berlangsung sampai sekarang. Berbagai analisis menyebutkan bahwa penyebab krisis adalah masalah internal (dalam negeri) dan masalah eksternal yang bersumber dari luar negeri. Masing-masing sumber krisis itu masih mempunyai kaitan erat satu sama lain. Kita hampir-hampir tidak tahu mana penyebabnya yang sesungguhnya. Namun, pemulihan dampak krisis multidimensi dan sekaligus mengeliminasikan sumbersumbernya harus dituntaskan sesegera mungkin. Permasalahan tidak akan selesai jika kita terus berdebat tentang strategi pemulihan yang dianggap paling layak untuk kondisi obyektif Indonesia dewasa ini. Strategi dayasaing nasional harus mengedepankan empat elemen penting sebagai landasan pemulihan ekonomi, yaitu: konsensus politik nasional; penegakan hukum, ketertiban, dan keamanan nasional; pemulihan kepercayaan terhadap pemerintah; dan menjamin kebutuhan dasar masyarakat secara adil. Empat elemen dasar ini harus dipenuhi sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional. Tujuan jangka pendek pemulihan ekonomi nasional adalah meletakkan landasan yang kokoh untuk pelaksanaan pembangunan yang normal dalam rangka menuju tujuan jangka panjang yaitu mewuujdkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat baik secara vertikal *)
Rizang Wrihatnolo adalalah staf perencana pada Biro Industri, Perdagangan, dan Pariwisata Bappenas-red.
1
maupun horisontal. Saya menyebut strategi ini dengan nama strategi dayasaing nasional. Argumennya adalah jika kita ingin memulihkan perekonomian nasional maka kita harus meningkatkan dayasaing nasionalnya dulu. Meningkatkan daysaing nasional harus dilakukan secara sistematis. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi yang dipahami sebagai visi pembangunan bagi semua pelaku pembangunan, baik masyarakat –termasuk dunia usaha- maupun pemerintah –termasuk pemerintah daerah. Strategi dayasaing nasional mengandung tiga arah: pertama, menggerakkan segenap potensi, sumber daya, dan kemampuan dalam negeri untuk kepentingan ekonomi nasional. Kedua, menumbuhkan kewiraswadayaan seluruh pelaku ekonomi nasional. Dan, ketiga, meningkatkan dayasaing nasional menuju dayasaing global melalui mekanisme pembangunan yang demokratis dengan senantiasa mengabdi kepada kesejahteraan rakyat dan kepentingan nasional. Strategi ini dapat ditempuh melalui dua jalur pembangunan, yaitu jalur pembangunan sektoral di daerah dan jalur pembangunan sektoral nasional. Titik berat implementasi strategi dayasaing nasional menumbuhkan swakarsa pelaku ekonomi lokal di daerah dalam membangun sendiri daerahnya. Oleh karena itu, pembangunan sektoral di daerah, atau yang biasa disebut dengan pembangunan daerah, merupakan tumpuan terbesar dalam pelaksanaan strategi dayasaing nasional. Penyelenggaraan pembangunan melalui jalur pembangunan sektoral nasional adalah pemerintah pusat yang menjalankan fungsi sebagai fasilitator bagi pelaksanaan pembangunan sektoral di daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah bersama masyarakat di daerah, termasuk dunia usaha di daerah. Pemerintah daerah merupakan kunci sukses pembangunan nasional, yang dipahami sebagai pembangunan sektor-sektor di daerah. Dengan demikian kunci sukses peningkatan dayasaing nasional adalah menggerakkan potensi masyarakat di daerah dan potensi sumber daya alam yang tersebar di seluruh Nusantara.
Kinerja Sektor Pertanian, Industri, dan Perdagangan Sebelum lebih jauh melihat upaya menggerakkan potensi masyarakat di daerah dan potensi sumber daya alam yang tersebar di seluruh Nusantara maka terlebih dahulu kita lihat kinerja pembangunan sektor pertanian, industri, dan perdagangan. Kinerja pembangunan pertanian dapat ditunjukkan oleh pertumbuhan sektor pertanian mulai tahun 1996 sekitar 3,1%; lalu pada tahun 1997 menjadi sekitar 0,7%; tahun 1998 sekitar 0,2%; dan tahun 1999 sekitar 0,9%. Konstribusi pertanian terhadap GDP justru mengalami peningkatan seiring dengan daya tahan sektor ini terhadap gejolak krisis moneter. Konstribusinya yang terus meningkat sejak tahun 1996 sampai 1999 masing-masing ditunjukkan oleh angka berikut: 16,53% pada tahun 1996; 16,07% pada tahun 1997; 16,64% pada tahun 1998; dan 19,41% pada tahun 1999 (lihat tabel 1). Di sisi lain kinerja sektor industri dapat ditunjukkan oleh pertumbuhan sektor industri mulai tahun 1996 sekitar 10,7%; lalu mulai tahun 1997 menurun menjadi sekitar 5,6%; pada tahun 1998 jatuh menjadi sekitar -15,6%; dan mulai tahun 1999 sedikit membaik menjadi sekitar 1,3%. Penurunan kinerja industri secara keseluruhan juga diikuti dengan menurunnya konstribusi industri dalam GDP. Sejak tahun 1996 hingga tahun 1999 kontribusinya berturutturut adalah sekitar 43,20% pada tahun 1996; 43,88% pada tahun 1997; 48,04% pada tahun 2
1998; dan 42,86% pada tahun 1999 (lihat tabel 1). Sementara itu khusus untuk industri pengolahan hasil pertanian, komposisi sebarannya berdasarkan harga berlaku dan laju pertumbuhan berdasarkan harga konstan 1993 untuk industri pengolahan hasil pertanian di dalam GDP mulai tahun 1996 hingga tahun 1999 meliputi yang terutama: (1) industri makanan, minuman, dan tembakau dengan sebaran antara tahun 1996 sampai 1999 masing-masing adalah 10,72%; 11,45%; 13,51%; dan meningkat 40,65%; dan (2) industri barang kayu dan hasil-hasilnya dengan sebaran antara tahun 1996 sampai 1999 relatif konstan masing-masing adalah 1,43%; 1,29%; 1,33%; dan 2,82%. Sementara itu laju pertumbuhan antara tahun 1996 sampai 1999 menunjukkan kinerja yang menurun, yaitu sebagai berikut: untuk (1) industri makanan, minuman, dan tembakau masing-masing adalah: 17,16%; 14,78%; 3,38%; dan 2,46%; dan (2) industri barang kayu dan hasil-hasilnya masing-masing adalah: 3,21%; -4,68%; 0,53%; dan 5,37% (lihat tabel 2). Kinerja pembangunan perdagangan ditinjau dari nilai ekspor meliputi migas dan nonmigas dapat dilihat dari pertumbuhan ekspornya yang cenderung menurun sejak tahun 1996 terutama pada tahun 1998. Jika pada tahun 1996 ekspor tumbuh sekitar 9,7%, maka pada tahun 1997 menurun 7,5% dan pada tahun 1998 menurun drastis sekitar -6,34%, lalu pada tahun 1999 sedikit membaik sekitar -2,41%. Pertumbuhan yang menurun amat disayangkan mengingat persentase perbandingan nilai ekspor terhadap GDP mulai tahun 1996 hingga tahun 1999 masih cukup dominan yaitu berturut-turut adalah sebagai berikut 27,69% pada tahun 1996; 28,32% pada tahun 1997; 30,61% pada tahun 1998; dan 29,81% pada tahun 1999 (lihat tabel 3). Sedangkan nilai impor meliputi impor barang konsumsi, bahan baku perantara, dan barang modal dapat dilihat dari pertumbuhan impornya yang cenderung menurun mulai tahun 1996 dan sangat menurun drastis pada tahun 1998. Pada tahun 1996 pertumbuhan impor menurun sekitar 5,7%, pada tahun 1997 menurun sekitar –3,1%, pada tahun 1998 menurun sangat tajam sekitar –35,33%, dan pada tahun 1999 tumbuh sekitar 1,42%. Pertumbuhan impor yang menurun, terutama pada tahun 1998 merupakan dampak langsung dari krisis moneter. Secara ekonomi makro menurunnya impor dapat menghemat pengeluaran devisa mengingat persentase perbandingan nilai impor terhadap GDP masih cukup besar dari tahun 1996 hingga tahun 1999, masing-masing sebesar 22,58% pada tahun 1996; 22,75% pada tahun 1997; 16,49% pada tahun 1998; dan 16,68% pada tahun 1999 (lihat tabel 3). Kinerja ketiga sektor tersebut memperlihatkan bahwa setidaknya terdapat tiga tantangan utama yang satu sama lain berkaitan, yaitu: (1) bagaimana mensinergikan dan mensinkronisasikan ketiga sektor tersebut sehingga dapat mewujudkan daya dorong yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi; sekaligus (2) mengurangi kesenjangan pertumbuhan di antara ketiga sektor itu, karena masing-masing sektor menujukkan keterkaitan yang kuat dengan penyediaan lapangan kerja, penyerapan modal, dan penyerapan teknologi; dan (3) meningkatkan daya saing nasional melalui suatu pendekatan pembangunan lintas sektor, lintaswilayah, dan antar-sektor dan wilayah, sebagai suatu kebijakan pembangunan yang komprehensif.
Isu Strategis Pembangunan Nasional Pembangunan nasional dipahami sebagai pelembagaan proses pembangunan multidimensional pada arah perubahan struktur yang alami. Paradigma baru pembangunan Indonesia didasarkan pada paradigma pembangunan manusia sebagari kunci dari proses pembangunan. 3
Kegiatan manusia diketahui amat beragam yang sebagian besar difokuskan pada sejumlah kegiatan ekonomi. Beberapa kegiatan ekonomi berada dalam lingkup masyarakat disebut sebagai sektor-sektor ekonomi. Sektor-sektor ekonomi di Indonesia sebagian besar didominasi oleh proses kegiatan ekonomi yang berdasarkan potensi sumber daya ekonomi. Potensi sumber daya ekonomi yang paling banyak dimanfaatkan sebagai input dalam proses kegiatan ekonomi adalah sumber daya alam, baik yang terbarui maupun yang tidak terbarui. Sebagian besar pengelolaan sumber daya tersebut berada dalam lingkup kegiatan ekonomi pertanian, industri, dan perdagangan dalam satu lingkaran kegiatan sekaligus, meskipun masih dalam skala yang masih terbatas. Isu strategis yang saat ini berkembang dalam wacana pembangunan nasional Indonesia adalah bagaimana upaya memperbesar skala dari lingkup keterkaitan kegiatan ekonomi pertanian, industri, dan perdagangan itu dalam rangka lebih mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu konsep yang ditawarkan adalah mencoba meningkatkan potensi sumber daya ekonomi dalam negeri (lokal) melalui kebijaksanaan pengelompokan industri (industrial cluster policy). Keluaran dari kebijaksanaan ini adalah terciptanya suatu formula keterkaitan sisi kelembagaan pembangunan lintas sektor yang tinggi antara sektor-sektor primer dengan sektor-sektor sekunder dan sektor-sektor tersier (atau sektor jasa). Sementara itu pada sisi sumber daya terjalin keterkaitan yang tinggi antara sektor-sektor hulu, sektor antara, dan sektor hilir. Berkaitan dengan hal ini, Propenas telah mengakomodasi konsep tersebut.
Sektor Ekonomi Utama Dewasa ini muncul suatu pertanyaan mendasar. Sektor ekonomi riil apa yang kira-kira perlu segera dikembangkan dalam rangkaian agenda pemulihan ekonomi. Saat ini sering dibahas sektor pertanian merupakan sektor strategis yang perlu dikembangkan. Jika sektor ini menjadi sektor strategis maka tentunya berimplikasi pada tersedianya dukungan dari sektorsektor lain, baik dari sektor hulu yang menyediakan input maupun kesiapan sektor hilir menyerap produk hasil pertanian. Lalu disebut-sebut juga sektor industri, perdagangan, dan bahkan pariwisata dan investasi atau keuangan. Untuk menetapkan pilihan pada suatu sektor strategis, barangkali dapat dilihat dari tiga tataran pertimbangan: mikro, makro, dan global. Pada tataran mikro sektor strategis harus mampu memberikan jaminan pendapatan dan kesejahteraan yang lestari bagi pelaku rumah tangga ekonomi, yang berperan dalam kegiatan usaha produktif di sektor tersebut. Pada tataran makro memberikan keterkaitan yang sinergis dalam melangsungkan kegiatan pembangunan nasional meliputi penyediaan input-output kegiatan ekonomi nasional. Pada tataran global, berperan melangsungkan ekspor dan impor, meningkatkan perolehan devisa negara dan kegiatan ekonomi internasional lainnya. Dalam pemahaman ini, maka jika kita menggagas sektor strategis apa yang kira-kira perlu dikembangkan maka pilihan paling mungkin adalah jatuh pada sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, dan investasi didukung oleh pengembangan prasarana ekonomi dan kualitas sumber daya manusia yang tercakup dalam konsep agroindustri.
4
Dalam sektor-sektor agroindustri itu ditemui sejumlah keunggulan, indikatornya antara lain: pertama, dari sisi sektor tenaga kerja, kegiatan pertanian merupakan penyerap tenaga kerja yang terbesar dan merupakan sumber pendapatan mayoritas penduduk. Kedua, dari sisi sektor pangan, pertanian merupakan penghasil makanan pokok penduduk. Peran ini tidak dapat disubstitusi secara sempurna oleh sektor ekonomi lainnya, kecuali apabila impor pangan menjadi pilihan. Ketiga, dari sisi sektor ekonomi makro, komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas harga, yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat. Harga produkproduk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen sehingga dinamikanya sangat berpengaruh terhadap inflasi. Keempat, dari sisi sektor perdagangan, akselerasi pembangunan pertanian sangat penting untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor. Kelima, dari sisi sektor industri, komoditas pertanian merupakan bahan industri manufaktur pertanian. Keenam, dari sisi sektor pembangunan daerah, pada tataran pelaksanaan pertanian memiliki keterkaitan antara regional dan sektoral yang sangat tinggi. Ketujuh, dari sisi penanggulangan kemiskinan, sektor-sektor agroindustri merupakan kegiatan yang paling banyak mengikut-sertakan kelompok masyarakat yang tidak mampu dan berada dalam kawasan yang belum maju atau kawasan tertinggal. Dan kedelapan, dari sisi investasi, sektor-sektor agroindustri merupakan kegiatan yang paling banyak menarik dan menghimpun investasi, terutama investasi asing. Data Sakernas 1997 menunjukkan dari sekitar 87 juta jumlah tenaga kerja yang bekerja, sekitar 36 juta diantaranya bekerja di sektor-sektor agroindustri. Pada Maret 1999 tercatat deflasi 3,9% yang mana sumbangan terbesar adalah dari kelompok pengeluaran yang termasuk sektor-sektor agroindustri, yaitu kelompok bahan makanan (minus 15,12%); kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (minus 0,04%); dan kelompok sandang (minus 2,16%). Pada 1999 sektor-sektor agroindustri menyumbang ke PDB sekitar 17%. Sektor-sektor agroindustri, terutama sektor pertanian merupakan satu-satunya yang mengalami pertumbuhan nilai ekspor positif dalam kelompok non-migas, yaitu sebesar 1,96% pada tahun 1999. Situasi tersebut memungkinkan sektor-sektor agroindustri menyumbang sebesar 2,7% terhadap pertumbuhan PDB tahun 1999. Sampai akhir tahun 1999, investasi di sektor-sektor agroindustri mencapai nilai USD 12 juta. Berdasarkan perhitungan ekonomi makro, pembangunan sektor-sektor agroindustri sendiri diperkirakan telah memberikan dampak pada pengurangan penduduk miskin –baik yang kronis maupun akibat krisis-- dari 39,7 juta jiwa pada akhir tahun 1998 menjadi 14,2 juta jiwa pada akhir tahun 2000. Prioritas pada sektor-sektor strategis tersebut sesungguhnya telah termuat bersamaan dengan masuknya istilah agribisnis dan agroindustri dalam GBHN 1983. Dalam Repelita VI pencapaian tujuan pembangunan pertanian dilakukan melalui pendekatan agribisnis, pembangunan pertanian dan perdesaan terpadu yang berkelanjutan, dan pembangunan berbasis sumber daya petani, dalam kesatuan pendekatan yang saling menunjang. Menurut dokumen tersebut agribisnis sebagai satu sistem terdiri dari subsistem: pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumber daya pertanian, produksi pertanian dan usaha tani, pengolahan hasil-hasil pertanian dan agroindustri, distribusi dan pemasaran hasil pertanian, dan penunjang. GBHN 1998 pun menyebutkan peranan agribisnis dan agroindustri sangat penting dalam meningkatkan usaha pertanian terpadu berbasis agroekosistem yang dilaksanakan dengan arah pemberdayaan masyarakat tani dan pembangunan sistem pertanian terpadu berkelanjutan. Dalam dokumen pembangunan terbaru (GBHN 1999) lebih lanjut ditegaskan bahwa agribisnis merupakan bagian dari strategi pembangunan daerah seiring dengan pemantapan otonomi daerah. Pembangunan daerah dilaksanakan melalui pembangunan perdesaan dalam 5
rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan. Pemberdayaan masyarakat tani dilaksanakan antara lain melalui pembangunan sistem agribisnis. Memperhatikan dokumen pembangunan tersebut sistem agribisnis merupakan suatu rangkaian kegiatan dari hulu ke hilir dan mengikutsertakan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Keberhasilan sistem agribisnis sangat ditentukan oleh keberhasilan setiap subsistemnya. Tantangan kita adalah menanamkan pemahaman yang operasional kepada para pelaku pembangunan sejak dari pengambil keputusan, dunia usaha, hingga masyarakat tani, bahwa agribisnis merupakan sektor strategis yang dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam pemulihan ekonomi sekaligus meningkatkan perolehan devisa. Keterkaitan antarkegiatan produksi dengan kegiatan penyediaan/pemasokan input produksi serta kegiatan pengolahan dan pemasaran output seringkali dikemukakan dengan istilah integrasi vertikal atau koordinasi vertikal. Integrasi vertikal dalam pengertian ini keputusan berada dalam satu pengelolaan, yaitu satu induk usaha yang melaksanakan kegiatan produksi, pra-produksi, dan pasca-produksi. Namun demikian pengambilan keputusan tidak harus berada dalam satu tangan atau perusahaan, tetapi dalam satu mekanisme pengelolaan yang sinergis dan terkoordinasi dengan baik. Agribisnis mengandung makna tidak hanya kegiatan produksi pertanian tetapi juga meliputi kegiatan manufaktur serta distribusi input pertanian, pengolahan, serta pemasaran hasil pertanian. Secara sektoral, kegiatan produksi on the farm, tidak hanya menyangkut tanaman pangan, tetapi juga ternak, ikan, kebun serta hutan. Dengan kata lain, istilah farming berkaitan luas antara produksi tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, perkebunan serta kehutanan. Jadi dengan demikian kata farming secara inherent mengandung makna keterpaduan, setidaknya keterpaduan komoditas atau output pertanian. Sebagai suatu sistem, agribisnis dibentuk oleh beberapa subsistem yang terkait secara berangkai satu dengan lainnya. Struktur vertikal dari suatu sistem agribisnis adalah pemasaran, pengolahan, produksi, input pertanian, penelitian dan penyuluhan, kebijakan dan program pembangunan yang difasilitasi pemerintah.
Keterkaitan Sektor-sektor Ekonomi di dalam Propenas 2000-2004 Pembangunan nasional secara sistemik dan bertahap telah berlangsung sejak 30 tahun yang lalu hingga dewasa ini. Pembangunan industri menempati posisi strategis pertama kali mulai Pelita II. Pembangunan industri masa itu dititikberatkan untuk mengatasi tantangan pengangguran tenaga kerja produktif yang sangat besar, yaitu memberikan lapangan kerja seluas-luasnya kepada tenaga kerja produktif yang menganggur. Pendekatan semacam ini berlangsung hingga Pelita V. Pada Pelita VI, sejalan dengan tantangan untuk menambah devisa di luar minyak dan gas bumi, maka titik berat pembangunan industri mulai bergeser ke arah pengembangan sedemikian rupa agar sektor industri dapat memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi pertumbuhan ekonomi atau memberikan sumbangan yang besar pada Produk Domestik Bruto (PDB). Akibat penerapan kedua pendekatan utama tersebut, maka hasil pembangunan industri, dari pelaksanaan selama 30 tahun itu, kurang memberikan dampak secara langsung bagi peningkatan/pengembangan kualitas sumber daya manusia di sektor industri. Jika pada industri berskala besar maka dampak itu dirasakan oleh tenaga kerja kasar (unskilled worker), tenaga kerja terampil (skilled worker), tenaga kerja terlatih (trained worker), serta tenaga 6
kerja terdidik (advanced skill worker), bahkan hingga ke pemiliknya (pelaku usahanya). Sementara itu pada industri berskala kecil dan menengah, dampak itu dirasakan secara langsung oleh pemilik dan karyawannya, yang sebagian besar berkualifikasi tenaga kerja kasar. Akibat lebih lanjut dari penerapan kedua pendekatan utama di atas adalah pada implikasi kebijaksanaan untuk pembangunan industri di masa sekarang adalah (1) sumber daya manusia dunia usaha yang bergerak di pembangunan industri (baik pelaku berskala besar, kecil, maupun menengah) mempunyai daya saing internasional yang rendah, dalam kenyataan terdapat situasi dimana sebagian besar tenaga kerjanya terutama tenaga kerja kasar (buruh pabrik) mempunyai posisi tawar yang sangat lemah dan rentan menganggur; (2) produk industri (baik berskala berskala besar, kecil, maupun menengah) sebagian besar tidak mampu menembus pasar luar negeri secara maksimal; (3) industri dalam negeri sangat tergantung pada sediaan barang setengah jadi dan/atau bahan mentah dari luar negeri (impor); dan (4) industri dalam negeri kurang mampu menyerap potensi sumber daya alam domestik, terutama menyerap produksi pertanian dan kelautan dari dalam negeri sendiri sebagai bahan mentah/baku. Dengan demikian tantangan pembangunan industri di masa kini adalah (1) meningkatkan daya saing sumber daya manusia pelaku industri di daerah; (2) meningkatkan daya saing produksi dalam negeri; (3) mengurangi ketergantungan impor barang setengah jadi dan/atau bahan mentah dari luar negeri; dan (4) memperkuat kemampuan masyarakat dan dunia usaha di daerah dalam rangka mendukung peningkatan otonomi daerah (otonomi masyarakat di daerah dan otonomi kewenangan pemerintah daerah). Propenas 2000-2004 secara prinsip memuat arah pembangunan yang menkonsolidasikan pembangunan sektor-sektor primer, sekunder, dan tersier. Pendekatan pembangunan demikian mengandung makna bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan terfokus pada bidang-bidang pembangunan yang menjadi prioritas. Bidang pembangunan yang diprioritaskan adalah sesuai dengan sembilan pokok prioritas GBHN 1999, salah satunya adalah bidang ekonomi. Mengalir dari uraian prioritas bidang ekonomi dalam GBHN 1999, maka dalam Propenas telah disusun prinsip-prinsip konsolidasi program yang didefinisikan sebagai mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan. Program dalam tataran sektor riil pada intinya telah mengkonsolidasikan sektorsektor primer, sekunder, dan tersier. Konsolidasi ini dapat dilihat dalam uraian program penguatan institusi pasar, program pengembangan industri berdasarkan keunggulan kompetitif, dan program pengembangan pertanian dan ketahanan pangan. Dalam uraian program pengembangan industri berdasarkan keunggulan kompetitif secara khusus terdapat komponen program restrukturisasi basis produksi dan distribusi yang mengarahkan kebijaksanaan pembangunan industri sebagai titik temu kebijaksanaan pembangunan pertanian, perdagangan, dan investasi dalam arti luas. Kebijaksanaan pembangunan industri sendiri dalam Propenas sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengedepankan sektor manufaktur saja. Lebih dari itu, pembangunan industri harus mengedepankan dimensi kebutuhan pasar –dalam hal ini pada pengembangan perdagangannya—dengan mendasarkan pada potensi sektor-sektor primer melalui pengembangan pertanian dan ketahanan pangan, dan secara sinergi disertai potensi pembiayaan dan investasi dari dalam negeri melalui penguatan institusi pasar. Titik temu kebijaksanaan pembangunan industri demikian dapat dijumpai dengan pendekatan pengelompokan industri (industrial cluster). Salah satu yang utama adalah penguatan kegiatan industri berbasis sumber daya pertanian dan industri berbasis sumber daya kelautan. 7
Sebagai suatu pilihan kebijakan, dapat dijelaskan bahwa kebijaksanaan pembangunan industri dalam Propenas perlu dipahami dalam arti luas --artinya bukan semata manufaktur saja. Pengembangan industri di Indonesia berdasarkan kondisi obyektif utamanya berupa potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi masih dapat dikembangkan nilai tambahnya lebih tinggi lagi. Termasuk dikembangkan pula kegiatan peningkatan nilai tambah untuk kepariwisataan, misalnya peningkatan nilai tambah potensi kekayaan lingkungan hidup Indonesia. Lebih jauh kita perlu memahami hakikat dari kebijaksanaan industri (dalam Propenas) berdasarkan pendekatan pengelompokan industri adalah: menumbuhkan produktivitas (peningkatan efisiensi; peningkatan nilai tambah; peningkatan daya saing; dan peningkatan kesejahteraan); menggerakkan pengembangan kemampuan sumber daya manusia; menggerakkan dukungan penerapan teknologi; meningkatkan dukungan investasi modal dan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri; serta meningkatkan dukungan penelitian dan pengembangan untuk penyempurnaan prosedur dan mekanisme produksi secara kontinu dan konsisten melalui pengembangan inovasi dan pengetahuan teknis. Pengembangan kebijaksanaan industri melalui pendekatan pengelompokan industri --dalam Propenas-- secara umum diharapkan dapat menjadi pemacu pelaksanaan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan; pemacu upaya-upaya pemberdayaan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi; dan memperkuat pengembangan ketenagakerjaan. Untuk itu maka dukungan dari kebijaksanaan peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi penting. Kebijaksanaan pembangunan industri (industrial policies) dalam tataran riil perlu mengedepankan prasyarat: (1) bahwa penyelenggaraan pembangunan industri dalam arti luas bukan menjadi tanggung-jawab satu instansi saja, tetapi harus menjadi tanggung-jawab semua instansi secara saling mengisi; dan (2) pelaksana program pembangunan industri adalah swasta dan masyarakat, sementara fungsi instansi pemerintahan adalah mendampingi atau membina pelaksanaan program pembangunan di yang dilakukan sendiri oleh swasta dan masyarakat. Berdasarkan kedua prasyarat itu maka kebijaksanaan pembangunan industri --dalam arti luas-- perlu masuk ke dalam domain kebijaksanaan pembangunan yang lain. Oleh karena itu, kebijaksanaan pembangunan industri kiranya harus dijabarkan pula di dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) di beberapa departemen/LPND dan termasuk pula Renstra Daerah (Pemerintah Daerah). Misalnya Renstra Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan perlu menggariskan muatan program kegiatan yang diarahkan mendukung penyediaan input produksi bagi kegiatan industri kecil atau menengah. Sebaliknya dalam Renstra Departemen Perindustrian dan Perdagangan perlu menyebutkan muatan program yang diarahkan menyediakan dukungan sarana produksi dalam rangka peningkatan bahan pangan –misalnya pupuk dan bibit unggul. Untuk itu maka koordinasi penerapan industrial policies (dalam Propenas) secara yang sinergi dan paralel (meliputi kaitan primer, sekunder, dan tersier) untuk penyusunan Renstra dan Repeta sangat diperlukan sebagai wahana memperkokoh kelembagaan pembangunan.
Penutup Menutup tulisan ini, maka kita perlu menggariskan komitmen dan perhatian kita secara serius melakukan pengembangan dan implementasi strategi dan kebijaksanaan agroin8
dustri. Komitmen nasional yang sekarang perlu dikedepankan adalah (1) perlunya kebersamaan di antara departemen teknis/LPND terkait1 untuk membicarakan konsep agroindustri secara komprehensif. Untuk itu diperlukan suatu forum lintaspelaku pembangunan agroindustri. Forum lintaspelaku pembangunan ini bekerjasama dan bertanggung-jawab mengembangkan visi, misi, dan strategi pembangunan agroindustri nasional; (2) perlunya komitmen di antara lintaspelaku untuk mensinergikan pemanfaatan anggaran pembangunan dalam implementasi pembangunan agroindustri. Untuk itu diperlukan suatu nomenklatur khusus yang berkaitan dengan sinergi implementasi agroindustri yang bisa dimasukkan ke dalam mata anggaran sektor industri dan mempunyai kaitan di sektor-sektor lain2; dan (3) perlunya peranserta aktif masyarakat, dalam hal ini pelaku usaha berskala besar untuk mewujudkan pembangunan agroindustri yang mantap seiring dengan peningkatan peranserta pelaku usaha berskala kecil dan menengah. Untuk itu diperlukan suatu keputusan –minimal dalam bentuk instruksi presiden—yang menyatakan perlunya pembangunan agroindustri melibatkan unsur dunia usaha dan memberikan iklim usaha yang mendukung pengembangan kegiatan agroindustri bagi semua pelaku usaha.
1
2
Departemen teknis/LPND terkait dimaksud minimal adalah Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (terkait dengan masalah produksi), Departemen Industri dan Perdagangan (terkait dengan masalah pengolahan dan distribusinya), Departemen Keuangan (terkait dengan masalah permodalan dan investasi ), Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah (terkait masalah penerapannya di daerah), Kantor Menteri Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (terkait dengan masalah peningkatan peran koperasi dan UKM dalam kegiatan produksi dan distribusi), Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Pendidikan Nasional (terkait dengan masalah pengembangan sumber daya manusianya); Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi/BPPT (terkait dengan masalah pengembangan teknologi terapan yang berdaya guna); serta Bappenas (terkait dengan masalah koordinasi perencanaan kebijaksanaan). Terutama di sektor-sektor: (1) sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan; (2) sektor tenaga kerja; (3) sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan, dan koperasi; (4) sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika; (5) sektor pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda, dan olahraga; (6) sektor ilmu pengetahuan dan teknologi.
9
Lampiran Tabel 1. Angka Pertumbuhan Ekonomi Terpilih Indonesia dibandingkan dengan Negara ASEAN, 1996-1999 (Atas Dasar Harga Konstan 1993) Indikator Industri Pertanian Jasa 7,8 10,7 3,1 -5,6 Pertumbuhan 1996 (persen) 1997 4,9 5,6 0,7 19,6 1998 -13,7 -15,6 0,2 -16,6 1999 0,1 1,3 0,9 -3,3 1996 100 43,20 16,53 40,27 Distribusi (persen) 1997 100 43,88 16,07 40,05 1998 100 48,04 16,64 35,32 1999 100 42,86 19,41 37,73 Sumber: kompilasi BPS, 1998 dan 1998, dan Laporan ESCAP, 2000. Catatan: Data tahun 1999 adalah estimasi. Identifikasi: (1) Pertanian meliputi: pertanian tanaman pangan; perkebunan; peternakan; kehutanan; dan perikanan. (2) Industri meliputi: mineral dan penggalian (quarry); pengolahan; listrik, gas dan energi; dan konstruksi. (3) Jasa meliputi: perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa pemerintahan umum dan swasta. Item
Tahun
GDP
10
Tabel 2. Kinerja Industri Pengolahan terhadap GDP, 1996-1999. Indikator
Satuan
Distribusi (atas dasar harga berlaku) Industri Migas % (1) Pengilangan miyak bumi % (2) Gas alam cair % Industri tanpa Migas % (1) Makanan, minunan, & tembakau % (2) Tekstil, brg kulit, & alas kaki % (3) Brg kayu & hasil-hasilnya % (4) Kertas & brg cetakan % (5) Pupuk, kimia & brg dari karet % (6) Semen & brg galian bukan logam % (7) Logam dasar, besi, & baja % (8) Alat angkutan, mesin,& perala% tannya (9) Barang lainnya % Laju Pertumbuhan (atas dasar harga konstan 1993) Industri Migas % (1) Pengilangan miyak bumi % (2) Gas alam cair % Industri tanpa Migas % (1) Makanan, minunan, & tembakau % (2) Tekstil, brg kulit, & alas kaki % (3) Brg kayu & hasil lainnya % (4) Kertas & brg cetakan % (5) Pupuk, kimia & brg dari karet % (6) Semen & brg galian bukan logam % (7) Logam dasar, besi, & baja % (8) Alat angkutan, mesin,& perala% tannya (9) Barang lainnya % Sumber: BPS, 1999.
Tahun 1996
1997
1998
1999
2,66 1,57 1,10 22,79 10,72 2,12 1,43 0,84 2,97 0,77 0,92 2,89
2,63 1,36 1,27 22,97 11,45 2,04 1,29 0,82 2,93 0,79 0,85 2,69
2,66 1,26 1,39 24,48 13,51 2,12 1,33 0,95 2,45 0,82 0,94 2,23
8,48 3,24 5,24 67,80 40,65 6,21 2,82 2,99 7,03 1,77 2,69 3,42
0,12
0,12
0,13
0,21
11,06 16,68 4,15 11,66 17,16 8,71 3,21 6,85 9,05 10,97 8,04 4,60
-3,42 8,65 3,77 7,38 14,78 -1,71 -4,68 6,72 4,77 4,02 -0,57 -1,82
3,38 1,16 6,07 -4,35 3,38 -5,00 0,53 -0,97 -18,28 -3,48 0,93 -29,46
4,74 3,87 5,87 1,11 2,46 0,03 -5,37 4,84 7,25 1,32 0,94 -18,34
9,74
5,31
1,16
-9,12
Tabel 3. Ekspor dan Impor terhadap GDP, 1996-1999 (Atas Dasar Harga Konstan 1993) Indikator Pertumbuhan Total GDP Eksport (migas dan non migas) Import Perbandingan (konstribusi) Eksport (migas dan non migas) Import Sumber: BI, 1999 dan BPS, 1999.
Satuan
Tahun 1996
1997
1998
1999
% % %
7,82 9,7 5,7
4,91 7,5 -3,1
-13,68 -6,34 -35,33
0,23 -2,41 1,42
% %
27,69 22.58
28,32 22.75
30,61 16.49
29,81 16.68
11
Daftar Pustaka Anonim, Pembangunan Pertanian Berkebudayaan Industri, Kerjasama Bappenas-IPB, Jakarta, September 1997. Anonim, Revisiting Indonesia’s Manufacturing Competitive Positition in A Global Market Place, Bappenas-Depperindag, Jakarta, 1999. Azis, Amin dkk. Dasar-dasar Manajemen Agribisnis, bahan Pelatihan Program Penyiapan Tenaga Sukarelawan Sebagai Pendamping, Pemantau, dan Pemecahan Masalah Pembangunan Desa Tertinggal, Cilodong, Jawa Barat, 24 Mei 1994. Budiman, Arief. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1995. Drilon, J.D.. Introduction to Agribusiness Management, Asian Productivity Organization, Tokyo, 1971. Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004, Tap MPR RI No. IV/MPR/1999. Kartasasmita, Ginandjar. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Edisi I, PT. Cidesindo, Jakarta, 1997. Lall, Sanjaya dkk. Indonesia: Sustaining Manufactured Export Growth, Volume 1, ECINTECS-Tawang Alun Study Group-Bappenas, 1995. Program Pembangunan Nasional 2000-2004, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000. Rahardjo, M. Dawam. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja, Cetakan kedua, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986. Ruttan, Vernon W. dan Yujiro Hayami, Agriculture Development: An International Perspective, John Hopkins Press, Baltimore, 1971. Saragih, Bungaran. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian, Yayasan Mulia Persada Indonesia-Pusat Studi Pembangunan Lemlit IPB, Bogor, Juli, 1998. Sen, Amartya. Development as Freedom, Oxford University Press, London, 1999. Stiglitz, Joseph E. Economics of the Public Sector, WW Norton dan Company, New York, 1988. Sutanto, Tri. Agroindustri Kecil: Butuh Teknologi, dalam majalah OBSESI, Edisi 3, Tahun II, September 1996, halaman 26-27. Wibowo, Rudi (penyunting). Refleksi Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Nusantara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.
12
Laporan: Bank Indonesia 1999, (Laporan Tahunan), Bank Indonesia, 1999. Economic and Social Survey of Asia and the Pacific 2000, (Laporan Tahunan), United Nations, New York, 2000. Statistik Indonesia 1997, BPS, Jakarta, 1997. Statistik Indonesia 1998, BPS, Jakarta, 1998. Statistik Indonesia 1999, BPS, Jakarta, 1999.
Jurnal: Wacana (Jurnal). Petani Dalam Jeratan Globalisasi, INSIST, Yogyakarta, IV/1999.
13