Rubrik Utama Rubrik Utama
Daya Saing Indonesia
Prof. Dr. H. Boediono, ME.c Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009-2014
Disampaikan pada Keynote Speech Vice Presidential Lecture Dalam Rangka Pelepasan Alumni Magister Dan Doktor MB-IPB Th 2013/2014 *)
44
Volume Volume 19 19 No. No. 22 Desember Desember 2014 2014
Agrimedia
Daya Saing Bangsa sebagai kemampuan suatu bangsa untuk survive dan maju dalam perjalanan sejarahnya di tengah-tengah tantangan dari kehidupan dunia nyata yang bergerak secara dinamis. Konsepnya, menurut hemat saya, harus berwawasan jangka panjang dan harus mencakup unsur-unsur utama, baik ekonomi maupun non-ekonomi. Tiga puluh tahun lalu saya menulis sebuah artikel dalam satu buku yang disunting oleh almarhum Profesor Mubyarto dan saya. Buku itu berjudul Ekonomi Pancasila. Dalam tulisan saya itu saya sebutkan bahwa salah satu ciri utama Ekonomi Pancasila adalah terbangunnya Ekonomi Nasional yang tangguh. Saya garis bawahi istilah 'nasional' untuk membedakannya dengan konsep perekonomian yang biasa kita baca dalam buku-buku teks ekonomi. Di situ saya mengutip pendapat seorang ekonom Jerman abad 19 bernama Friedrich List, yang saya anggap mempunyai konsepsi mengenai Ekonomi Nasional yang relevan dengan kondisi Indonesia. Pada kesempatan yang baik ini saya ingin mengajak hadirin untuk mendalami sedikit lebih jauh konsep ini, karena disinilah, menurut pandangan saya, kita jumpai pengertian daya saing bangsa yang relevan bagi Indonesia dan bagi negara-negara berkembang pada umumnya. Friedrich List mengatakan bahwa suatu bangsa akan survive dan maju dalam percaturan global apabila bangsa itu dapat membangun apa yang ia sebut sebagai kemampuan produktif-nya.
Agrimedia
Sebagai penentu daya saing bangsa, kemampuan produktif ini bukan sekedar kemampuan untuk menghasilkan barang dengan harga yang lebih murah dan kualitas lebih baik dibandingkan negara-negara pesaingnya di pasar global. Lebih dari itu. Kemampuan produktif adalah kemampuan total bangsa itu untuk meningkatkan dirinya secara berkesinambungan menuju dan menjadi negara maju dan modern – singkatnya, kemampuan bersaing dalam mengejar ketertinggalan. Dalam kaitan ini List memberikan satu peringatan penting kepada kita. Menurutnya, produk domestik bruto dan pertumbuhan ekonomi bukan indikator yang cocok untuk mengukur kemajuan kemampuan produktif suatu bangsa. Produk domestik bruto hanya mengukur berapa nilai pasar - tepatnya nilai tambah yang dihitung pada harga pasar - dari kegiatan ekonomi yang terjadi di negara itu dalam kurun waktu satu tahun. List menyebut PDB hanya mengukur Exchange Values dari barang dan jasa yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi. Pertumbuhan PDB atau pertumbuhan ekonomi tidak mengukur peningkatan Kemampuan Produktif bangsa, yang diartikan, seperti yang saya sebutkan tadi, sebagai kemampuan total bangsa itu untuk maju menjadi bangsa modern. Ia mengatakan bahwa kebijakan yang berfokus pada upaya untuk meningkatkan PDB atau pertumbuhan ekonomi semata adalah salah. PDB naik karena produksi barang-barang dan jasa meningkat. Tetapi kenaikan PDB itu tidak selalu mencerminkan peningkatan kemampuan produktif negara itu apabila barang dan jasa itu hanyalah barang dan jasa hasil dari proses produksi yang sederhana yang tidak memberi
Volume Volume 19 19 No. No. 22 Desember Desember 2014 2014
55
Rubrik Utama peluang bagi pemanfaatan teknologi yang lebih tinggi dan yang lebih produktif. Kenaikan PDB juga tidak mencerminkan Kemampuan Produktif yang lebih besar apabila barang dan jasa yang dihasilkan hanya laku di pasar karena harganya murah karena diproduksi dengan upah murah. Dan yang lebih parah, apabila naiknya PDB itu berasal sekedar dari penjualan "harta warisan" bangsa itu, yaitu kekayaan alamnya, tanpa upaya untuk meningkatkan nilai tambahnya. List mengatakan bahwa kenaikan PDB atau pertumbuhan ekonomi mencerminkan peningkatan kemampuan produktif hanya apabila bersumber pada peningkatan produktivitas bukan sekedar karena kenaikan volume produksi. List menekankan perbedaan antara produksi dan produktivitas. Kemampuan produktif hanya meningkat melalui peningkatan produktivitas. Jadi strategi yang benar adalah bagaimana secara sistematis kita meningkatkan produktivitas bangsa itu sehingga akhirnya dapat mencapai taraf bangsa maju. Apa sumber dari peningkatan produktivitas? List memberi score tertinggi pada kreativitas manusiamental capital menurut istilahnya. Dalam terminologi masa kini sumber peningkatan produktivitas ini disebut technical progress. Sumber peningkatan produktivitas dengan score tertinggi kedua adalah physical capital, termasuk didalamnya infrastruktur dan mesinmesin dan sarana produksi lain. Dalam terminologi teori ekonomi masa kini sumber ini disebut capital deepening. Konsep List ini memberi petunjuk kemana upaya pembangunan terutama harus diarahkan- kembangkan kreativitas manusia dan bangun lebih banyak infrastruktur dan sarana-sarana produksi. Keduanya membutuhkan investasi - yang pertama untuk membangun manusia terutama melalui program
6
Volume 19 No. 2 Desember 2014
pendidikan dan kesehatan, dan yang kedua untuk membangun sarana dan prasarana produksi. Investasi diperlukan. Demikianlah konsepsi List mengenai penentu daya saing bangsa serta implikasi kebijakannya. Konsepsi ini menurut saya sudah benar, tapi menurut saya juga belum lengkap. Bahwa investasi dalam sarana dan prasarana akan meningkatkan produktivitas, mudah kita mengerti. Tapi bagaimana investasi meningkatkan kreativitas manusia dan kreativitas itu dapat diwujudkan menjadi peningkatan produktivitas, List tidak memberikan konsep yang jelas. Baru beberapa dekade kemudian seorang ekonom bernama Joseph Schumpeter menjelaskannya dengan dengan gamblang. Schumpeter mengatakan bahwa ide atau penemuan yang dihasilkan dari kreativitas manusia akan mempunyai dampak pada produktivitas dan hanya apabila diterjemahkan menjadi inovasi dalam proses produksi dan dalam kegiatan ekonomi nyata. Di sini Schumpeter menggarisbawahi peran sentral dari satu kelompok manusia, yaitu wirausaha atau entrepreneurs dalam mentransformasi ide menjadi kenyataan, yaitu peningkatan produktivitas. Schumpeter menekankan satu proses penting lagi yang harus terjadi apabila peningkatan produktivitas itu diinginkan untuk menyebar luas ke seluruh bagian dari perekonomian. Proses itu ia sebut sebagai creative destruction, yang intinya adalah perusahaan yang telah mengadopsi inovasi sehingga produktivitasnya meningkat harus diperbolehkan untuk menggeser atau bahkan mengganti perusahaan yang produktivitasnya mandeg.
Agrimedia
Perusahaan lama diperbolehkan untuk mati dan diganti oleh perusahaan baru yang lebih produktif. Proses ini hanya bisa terjadi apabila kompetisi antar perusahaan dibolehkan. Kebijakan yang melindungi perusahaan yang tidak lagi mampu bersaing akan menghambat proses creative destruction dan pada gilirannya akan menghambat peningkatan produktivitas seluruh perekonomian. Proses seleksi alamiah ala Darwin harus berjalan Teori Schumpeter melengkapi teori Daya Saing List. Jadi tidak hanya investasi di bidang pendidikan dan kesehatan serta investasi di bidang sarana dan prasarana produksi harus diprioritaskan, tetapi juga harus dilengkapi dengan program dan kebijakan khusus untuk mendorong terciptanya kelompok wirausaha yang mampu menerjemahkan ide atau penemuan menjadi praktek nyata dalam proses produksi. Sementara itu, kebijakan di bidang kompetisi usaha yang mendukung proses creative destruction harus dilaksanakan dengan konsisten. Teori Daya Saing List-Schumpeter dirumuskan pada masa sebelum globalisasi semaju sekarang ini. Pengalaman beberapa dekade terakhir ini memberikan pelajaran penting bagi semua negara di dunia. Pelajaran itu adalah bahwa dalam era globalisasi suatu perekonomian bisa ambrug karena tidak tahan terhadap terpaan krisis ekonomi dan keuangan yang dari waktu ke waktu melanda perekonomian dunia. Krisis bisa merusak Daya Saing Bangsa. Kemampuan produktif yang dibangun bisa mengalami kemunduran karena terkena dampak krisis. Di sini kuncinya adalah bagaimana membangun sistem pertahanan terhadap krisis. Formula baku yang disepakati banyak praktisi untuk itu sebenarnya sudah ada. Komponennya antara lain: kebijakan fiskal yang berhati-hati, pengendalian hutang agar selalu pada tingkat yang aman, kebijakan moneter yang responsif dan kebijakan kurs yang fleksibel, pengawasan sistem keuangan yang efektif, penghapusan kebijakan dan aturan-aturan kelembagaan yang menghambat mobilitas sumberdaya ekonomi dari satu sektor ke sektor lain dan sebagainya. Perangkat kebijakan pertahanan terhadap krisis ini harus menjadi bagian integral dari upaya kita untuk membangun daya saing bangsa.
Agrimedia
Demikianlah, resep kita untuk membangun daya saing bangsa menjadi makin lengkap. Tapi resep inipun belum benar-benar lengkap. Akhir-akhir ini para ahli menyoroti aspek lain lagi, yaitu aspek ekonomi-politik dari daya saing bangsa. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, terjadi satu perkembangan yang menonjol, yaitu tumbuhnya dengan pesat kelompok masyarakat yang disebut Kelas Menengah. Kelompok ini mempunyai peran yang menentukan terhadap arah kehidupan ekonomi dan bahkan juga arah kehidupan politik suatu bangsa. Dalam sejarah negara-negara yang sekarang maju, Kelas Menengah tumbuh menjadi kelompok wirausaha yang tangguh seperti yang dipersyaratkan dalam teori Schumpeter. Mereka menjadi ujung tombak inovasi dan peningkatan produktivitas. Di negara-negara berkembang sekarang, termasuk Indonesia, masih belum dapat dipastikan apakah peran mereka akan seperti pengalaman negaranegara maju di masa lalu. Kelas ini, kelas menengah, dengan income dan kemampuan daya beli yang besar, dapat menjadi kelompok yang produktif seperti peran mereka di masa lalu. Mereka menyisihkan sebagian income-nya sebagai bagian dari tabungan nasional untuk membiayai investasi yang diperlukan membangun daya saing bangsa. Mereka berani mengambil risiko sebagai wirausaha untuk berinovasi. Tapi tidak ada jaminan untuk itu. Dalam kondisi tertentu mereka justru dapat menjadi kelompok konsumtif yang menghabiskan income-nya untuk conspicuous consumption atau konsumsi berlebihan, yang tidak menyumbang apaapa bagi pembangunan daya saing bangsa.
Volume 19 No. 2 Desember 2014
7
Rubrik Utama Di akhir abad 19 seorang ekonom, namanya Thorstein Veblen, mengingatkan adanya risiko kelompok berduit menjadi kelompok masyarakat parasit yang mengutamakan cara hidup konsumtif, yang ia sebut sebagai the Leisure Class. Dengan adanya globalisasi informasi pola konsumsi, risiko ini riil bagi negara-negara berkembang sekarang ini. Apa yang bisa dilakukan? Kebijakan perpajakan barangkali dapat mengurangi risiko ini. Tapi di alam globalisasi sekarang ini kebijakan seperti itu mempunyai keterbatasan, karena penghindaran mudah terjadi, termasuk uang itu sendiri yang lari ke luar negeri. Barangkali kita bisa mengetuk patriotisme mereka. Tapi ini pun belum pasti berhasil. Saya mencoba membuat suatu skets kerangka pikir utuh mengenai daya saing bangsa yang saya artikan secara luas, yaitu sebagai kemampuan jangka panjang suatu bangsa untuk survive dan maju di tengah perkembangan dunia yang dinamis.
Saya akan ulangi pokok-pokoknya. Secara ringkas, untuk membangun daya saing bangsa kita harus memprioritaskan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan, kita harus mendahulukan pembangunan sarana dan prasarana produksi. Kita harus pula menerapkan kebijakan di bidang pengembangan wirausaha dan menjaga adanya suasana kompetisi usaha yang efektif. Di samping itu, perlu dirumuskan pula kebijakan yang mendorong kelas menengah untuk berperan sebagai kelompok masyarakat yang produktif. Semua itu tidak cukup apabila tidak dilengkapi dengan pembangunan sistem pertahanan terhadap krisis. Kesemua prioritas kebijakan yang saya sebut itu harus dijabarkan menjadi langkah-langkah yang operasional dan kongkrit yang konsisten satu sama lain dan saling bersinergi bukan saling bertabrakan. Langkah-langkah itu pelaksanaannya di lapangan harus dikendalikan dan diawasi dengan baik dan tidak hanya tinggal konsep yang indah di atas kertas. Membangun daya saing bangsa bukanlah pekerjaan sederhana. Tapi itu harus kita lakukan kalau kita ingin Indonesia berhasil dalam perjalanan sejarahnya. Sumber: http://wapresri.go.id/index/preview/pidato/5809
8
Volume 19 No. 2 Desember 2014
Agrimedia