Sumber: http://www.isigood.com/
Rubrik
Laut adalah Kolam Susu: Sumber Kesejahteraan Potensial Masyarakat Pesisir Oleh: Prof. Dr. Ir. Rahim Darma, MS Guru Besar Ekonomi Pertanian dan Pembangunan Universitas Hasanuddin Bukan lautan hanya kolam susu, Kail dan jala cukup menghidupimu, Tiada badai tiada topan kau temui, Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Adalah bait-bait dari lagu yang berjudul “Kolam Susu” yang dilantunkan oleh grup band legendaris Koes Plus pada tahun 1960an. Hampir semua masyarakat Indonesia yang dapat mendengar radio atau memiliki radio Pick Up dan Tape Recorder pada waktu itu dapat menyanyikan lagu ini dengan mudah, penuh semangat, riang, dan bahkan dapat melupakan sementara masalah yang dihadapi. Para musisi Koes Ploes yang menyanyikan lagu “kolam susu” dengan suara lembut, dan suasana hati yang senang yang menggambarkan betapa indah dan menyenangkannya
13 13
Volume 21 No. 1 Juni 2016
alam Indonesia dengan sumber daya yang melimpah dari luas dan indahnya lautan dan daratan yang sangat subur. Lirik “Bukan lautan hanya kolam susu” menggambarkan seakan lautan di tanah air seperti susu yang merupakan makanan dengan gizi baik yang dapat menyehatkan dan bernilai ekonomis tinggi sebagai sumber kehidupan potensial yang seharusnya dapat mensejahterakan semua masyarakat. Lirik “Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu” seakan-akan menggambarkan bagaimana kekayaan alam melimpah dan bersahabat, sehingga ikan dan udang menghampiri kita, hanya dengan kail dan jala cukup menghidupi kita. “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” betapa suburnya tanah Indonesia. Pandangan para musisi Koes Plus terhadap potensi kekayaan alam Indonesia sangat nyata adanya. Lirik dan kata dalam lagu ini bukan sesuatu yang sifatnya angan-
Agrimedia
angan, tetapi suatu kenyataan bahwa Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam seperti tambang emas, tambang minyak, tembaga, batubara, laut, air, sungai, dan keseburuan tanahnya, sehingga pertanian dapat berkembang dengan mudah. Lirik “Orang bilang tanah kita tanah surga” sehingga Indonesia menjadi incaran dunia pada masa penjajahan, para penjajah seperti bangsa Belanda, Jepang, Portugis, Spanyol, dsb mau datang ke Indonesia. Hal yang sama dalam era globalisasi para negara maju banyak yang tertarik untuk melakukan investasi dan atau menjual produknya di Indonesia. Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, bahkan dinyatakan oleh Presiden ketiga BJ. Habibie, bahwa Indonesia adalah selain sebagai Negara kepulauan, juga sebagai benua maritim yang kaya dengan sumber daya perikanan dan budaya bahari. Indonesia memiliki 17.502 buah pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta km2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2 atau sekitar 70% dari luas total Indonesia adalah laut. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati di laut yang terbanyak di dunia, sehingga disebut sebagai Negara Marine mega biodiversity yang terdiri dari sekitar 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies biota terumbu karang. Potensi lestari sumber daya perikanan tangkap laut Indonesia adalah sekitar 6,5 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 6,48 juta ton pada tahun 2014 (99,69%). Capaian ini sudah menghasilkan dampak negatif karena pengelolaan wilaya pesisir tidak merata. Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) tertentu seperti Laut Jawa, telah terjadi tangkapan lebih atau over fishing. Sementara di perairan lainnya seperti Laut Cina Selatan, Arafura dan lain sebagainya, potensi ikannya belum dimanfaatkan secara optimal.
Laporan Food Agricultural Organization (FAO) tahun 2012 menunjukkan bahwa produksi ikan dunia dari kegiatan penangkapan di laut maupun dan perairan umum adalah sekitar 93,5 juta ton ikan pada tahun 2011. Bila dibandingkan produksi perikanan Indonesia Rahim Darma pada tahun yang sama, kontribusi produksi ikan Indonesian sebesar 13,6 juta ton atau sekitar 14,54% terhadap produksi perikanan dunia. Selain potensi perikanan tangkap, potensi perikanan budi daya juga sangat besar. Selama periode 2010–2014 produksi perikanan budi daya mengalami peningkatan sangat besar 78,72% atau dari 11.662.341 ton pada tahun 2010 meningkat menjadi 20.843.457 ton pada tahun 2014. Peningkatan produksi perikanan yang tinggi diperoleh dari produksi budi daya sebesar 99,77% atau 6.227.923 ton pada tahun 2010 meningkat menjadi 14.359.129 ton pada tahun 2014. Sebaliknya, peningkatan produksi perikanan tangkap hanya sekitar 20,57% atau 5.384.418 ton pada tahun 2010 meningkat menjadi 6.4843.346 ton pada tahun 2014. Peningkatan produksi budi daya hampir lima kali lipat dibandingkan peningkatan perikanan tangkap selama lima tahun. Data ini menunjukkan bahwa terdapat potensi besar peningkatan produksi perikanan di Indonesia dari kegiatan budi daya. Potensi perikanan budi daya seperti budi daya payau (tambak) adalah 2,96 juta hektar dan baru dimanfaatkan seluas 682.857 hektar atau 23,04%, serta potensi budi daya laut yang mencapai luasan 12,55 juta hektar dengan tingkat pemanfaatan yang relatif masih rendah, yaitu sekitar 117.649 hektar atau 0,94%. Potensi perikanan budi daya ini akan semakin besar, apabila potensi budi daya air tawar dimasukkan seperti kolam (541.100 ha), budi daya diperairan umum (158.125 ha) dan mina-padi (1,54 juta ha). Sumber:http://www.mongabay.co.id
Agrimedia
Volume 1 Juni 2016 14 14 Volume 21 21 No.No. 1 Juni 2016
Rubrik Jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor perikanan terdiri dari 2,74 juta nelayan tangkap dan 529 ribu pembudi daya. Peningkatan jumlah rumah tangga pembudi daya lebih besar dari rumah tangga nelayan tangkap. Selama periode 2009–2014, peningkatan jumlah rumah tangga pembudi daya 3,88% sedangkan rumah tangga nelayan 3,88%. Bila dibandingkan produksi yang dicapai pada sektor perikanan, rumah tangga pembudi daya memiliki produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan sektor perikanan tangkap. Perkembangan kegiatan budi daya yang semakin pesat baik dari segi produksi, maupun jumlah rumah tangga pembudi daya, merupakan suatu potensi yang besar dalam mendorong perekonomian di Indoensia. Dari potensi perikanan yang begitu besar, ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kemiskinan penduduk di sektor perikanan tergolong sangat tinggi. Tingkat kemiskinan masyarakat di wilayah pesisir dan kepulauan adalah sekitar 27% atau dua kali lipat dari angka rata-rata penduduk miskin nasional. Pada tahun 2010 angka kemiskinan penduduk mencapai 35 juta orang atau 13,33% dari jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa. Sekitar 10 juta penduduk pesisir yang terdiri dari penduduk miskin 7,87 juta jiwa dan sangat miskin 2,2 juta jiwa (BPS, 2011).
Faktor penyebab masalah yang dihadapi masyarakat pesisir sehingga menjadi miskin adalah 1) sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang memang belum kondusif untuk suatu kemajuan; 2) struktur pemilikan armada perikanan yang masih didominasi dengan skala kecil/tradisional dengan kemampuan IPTEK yang rendah; 3) kegiatan usaha penangkapan yang dominan diusahakan dihadapkan pada kondisi alam yang keras dan diikuti ketidakpastian yang tinggi; 4) tingkat pendidikan yang rendah; 5) pola hidup yang konsumtif, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik atau investasi usaha, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder; dan 6) kegiatan penanganan dan pengolahan hasil yang kurang menyebabkan pemasaran hasil yang harus segera dilakukan karena tidak boleh tertunda, sehingga termanfaatkan oleh tengkulak atau pedagang perantara dengan harga yang rendah. Selain masalah internal, masalah eksternal juga dihadapi nelayan, seperti ketimpangan tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut lainnya, praktek Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) fishing, dan over fishing yang terjadi karena penegakan hukum (law enforcement) di laut masih lemah.
Sumber:http://www.medanbisnisdaily.com 15 15
Volume21 21No. No.11Juni Juni2016 2016 Volume
Agrimedia
Penyebab usaha perikanan masyarakat pantai kurang berkembang adalah pertama, kegiatan usaha penangkapan yang tidak kontinyu, kepastian rendah, dan resiko tinggi; kedua kegiatan budi daya di pesisir pertanian dan peternakan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir dianggap bukan sektor perikanan walaupun kegiatan itu adalah bagian dari budaya bahari (matime); ketiga, kegiatan menangkap ikan tarmasuk memancing dianggap sebagai suatu kesenangan hidup (hobby) bagi nelayan dan menjadi pola hidup sebagai suatu preference for a particular way of life, sehingga orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan tidak berlaku bagi nelayan. Sebagai suatu way of life yang demikian, apapun yang terjadi dengan keadaannya tidak dianggap sebagai suatu masalah baginya. Pengembangan kegiatan pengolahan dan budi daya pantai dapat mengurangi tingkat kemiskinan karena mengubah masyarakat pesisir dari usaha penangkapan yang penuh resiko, ketidakpastian, kebutuhan modal yang relatif lebih besar ke usaha yang lebih rutin, kurang resiko, dan investasi kecil. Pengembangan ini dapat mengubah dari prilaku konsumtif dan perference way of life ke perilaku budi daya dan orientasi investasi untuk peningkatan pendapatan. Kemiskinan penduduk pesisir dan degradasi lingkungan pesisir akibat perusakan ekosistem pantai yang disebabkan dari kegiatan penangkapan yang tidak sesuai dengan kaidah pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah ini adalah melalui kegiatan COREMAP II (Coral Reef Rehabilitation and Management Project (20042011) yang dilaksanakan di Provinsi Kepulauan Riau, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kepastian usaha dan pendapatan nelayan dan sekaligus mengurangi ancaman kerusakan terumbu karang dengan menekan praktik perusakan ekosistem terumbu karang yang menggunakan bom, potassium dan penggunaan alat tangkap pukat harimau. Sistem pengelolaan sumber daya perikanan yang dapat menekan kerusakan ekosistem pantai dapat diwujudkan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat melaui pengembangan usaha secara terintegrasi antara usaha pengolahan dengan usaha budi daya pesisir dan penangkapan yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Agrimedia
Ada dua hasil yang dapat dikemukakan dari kegiatan COREMAP II (Darma et al. 2016.) adalah kegagalan kegiatan produksi di sektor integrasi usaha penangkapan dan budi daya ikan kerapu pada keramba jaring apung (KJA) dan keberhasilan pada integrasi usaha pengolahan dan penangkapan, dan perubahan usaha dari integrasi usaha penangkapan dan KJA ke integrasi usaha penangkapan dan budi daya ikan lele. Nelayan diharapkan berkelompok untuk mengelalola KJA budi daya kerapu, hasil tangkapan yang bernilai ekonomis rendah dijadikan pakan untuk ikan kerabu di KJA. Kegagalan kegiatan ini adalah nilai investasi dan resiko usaha budi daya di KJA yang tinggi, kerjasama antar kelompok lebih banyak menghasilkan konflik, karena kontribusi dan pembagian benefit tidak proporsional, bahkan ada beberapa berujung konflik di antara sesama penduduk desa atau pada satu rumpun keluarga akibat dari keberadaan proyek tersebut. Proyek pemberdayaan ini hanya dilaksanakan oleh nelayan untuk memanfaatkan kesempatan mendapatkan bantuan KJA, benih, dan pakan ikan kerapu yang bernilai Rp200-300 juta. Setelah 2–3 kali periode produksi, dimana nelayan tidak dapat lagi melakukan rehabilitasi KJA, pengadaan benih dan pakan, maka hasil akhirnya dibagi pada anggota kelompok. Nilai produksi yang dibagi lebih kecil dibandingkan nilai investasi dan sarana produksi yang digunakan.
Volume 21 No. 1 Juni 2016
16
Rubrik Sebaliknya usaha yang berhasil adalah integrasi usaha antara usaha penangkapan dengan usaha pengolahan, seperti pengolahan ikan kering, keripik dan kerupuk ikan laut dan ikan lele, dodol rumput laut, bakso ikan, dan pengasapan ikan. Selain itu, budi daya ikan lele yang terintegrasi dengan usaha penangkapan juga berhasil. Integrasi budi daya ikan lele dan pengangkapan adalah memanfaatkan hasil tangkapan yang bernilai ekonomis rendah untuk dijadikan pakan ikan lele. Sebagian penerima bantuan KJA yang tidak berlanjut direinvetasi dalam bentuk budi daya ikan lele. Selain praktik terbaik di pulau Sumatera dan Riau dari Proyek COREMAP II, pengalaman terbaik di Sulawesi Selatan yang dilaporkan oleh Amandaria (2015) yang merupakan suatu informasi tentang model pengembangan usaha perikanan masyarakat pesisir. Integrasi usaha penangkapan kepiting oleh kelompok suami rumah tangga nelayan dan kelompok usaha bersama (KUB) yang beranggotakan isteri nelayan. Kedua kelompok suami dan isteri nelayan bekerjasama pada usaha kepiting rajunagan di Desa Ampekale Kabupaten Maros. Suami melakukan penangkapan, dan para isteri dan anggota rumah tangga mengolah kepiting rajungan dan kerupuk kepiting pada wadah KUB. KUB juga yang bertugas memasarkan produk dari kepiting dengan jaringan pasar adalah eksportir, restoran, dan kios. Hal yang sama dilaporkan oleh Fudjaja et al. (2016) bahwa integrasi usaha keramba jaring apung (KJA) budi daya lobster dan penangkapan. Hasil tangkapan yang bernilai ekonomis rendah dijadikan pakan untuk lobster. Model ini merupakan suatu usaha yang dapat memberikan kepastian usaha dan peningkatan pendapatan masyarakat di Desa Punagi Kabupaten Takalar.
17
Volume 21 No. 1 Juni 2016
Berdasarkan potensi, permasalahan, dan praktik terbaik yang digambarkan di atas, pengembangan usaha perikanan dan pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan mendorong pengembangan klaster bisnis berbasis usaha perikanan di kawasan pantai, dimana semua nelayan dan keluarganya dapat berusaha secara terintegrasi dari kegiatan penangkapan, pengolahan, dan pemasaran yang semuanya dilakukan pada suatu kawasan. Integrasi usaha perikanan pada suatu klaster, selain meningkatkan kepastian usaha, juga efisiensi dapat ditingkatkan, karena semua kegiatan usaha sudah terencana. Klaster ini juga dapat menjadi atau mendorong perkembangan wisata bahari yang dapat menyediakan wisata kuliner, wisata pantai, dan wisata laut bila sesuai dengan kondisi kawasannya. Klaster ini dapat berkembang dengan pesat mengingat bahwa potensi pasar produk perikanan sangat besar, sekitar 65% penduduk bermukim di sekitar pantai, infastruktur perhubungan lebih baik karena didukung sarana perhubungan darat dan laut yang relatif lebih baik. Selain itu, permintaan produk ikan terus meningkat, seiring peningkatan kesejahteraan penduduk. Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2011 disebutkan bahwa konsumsi ikan masyarakat Indonesia baru mencapai 31,5 kg per kapita per tahun atau jauh di bawah konsumsi ikan per kapita Malaysia yang sudah mencapai 55,4 kg per tahun. Sebaliknya pertumbuhan rata-rata konsumsi ikan di Indonesia cukup tinggi 5,04% per tahun, sementara Malaysia hanya 1,26% per tahun. Berarti masih besar peluang untuk meningkatkan konsumsi ikan per kapita minimal 75,87% baru menyamai Malaysia pada tahun 2011.
Agrimedia
Karakteristik usaha perikanan dalam bentuk skala mikro dan kecil sangat memungkinkan dikembang dalam satu klaster, mengingat potensi UMKM dan perannya dalam perekonomian nasional sangat besar. Jumlah UMKM terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata 3,02% per tahun. Pada tahun 2012, Jumlah UKM sekitar 56,5 juta, meyerap tenaga sebesar 107,7 juta dengan kontribusi terhadap PDB nasional 1.504,9 triliun dengan pertumbuhan rata-rata pertahun selama 2005–2012 adalah 2,96% jumlah UMKM, 3,72% jumlah tenaga kerja, 6,29% PDB, dan 10,63% nilai ekspor. Pada tahun 2011, kontribusi UMKM terhadap PDB 57,94%, sementara perusahaan 42,06%. UKM juga terbukti resisten terhadap krisis ekonomi, bahkan menjadi penyelamat ekonomi nasional pada saat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, termasuk krisis ekonomi global yang melanda negara maju pada beberapa tahun terakhir (Hening, 2013). Dengan melihat potensi sumber daya dan pengembangan di sektor perikanan, walaupun krisis ekonomi global, badai dan topan di laut dihadapi, tetapi dengan ilmu pengetahuan, teknologi, ikhtiar, “ikan dan udang tetap menghampiri” masyarakat Indonesia.
Agrimedia
REFERENSI Amandaria R. 2014.Gender Participation in Local Organizations and Rural Development in Ampekale Village, South Sulawesi, Indonesia. Master Thesis (Unpublished) in School of Arts, Murdoch University, Australia. BPS. 2011. Kemiskinan di Indonesia 2011: Penduduk Miskin Indonesia tahun 2011. Retrieved on November 6, 2016. Available at https://www. bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1489 Darma R, Fudjaja L, Tenriawaru AN. 2016. Integrasi Usaha Pengolahan Perikanan Untuk Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir. roceeding seminar national seminar of maritime economy. Dilaksanakan kerjasama antara Perhepi-Universitas of Halu Oleo, di Wakatobi 25-26 January 2016. Fudjaja LR, Darma AN, Tenriawaru A, Dirfan. 2016. Integrasi Usaha Perikanan Berbasis Agribisnis Untuk Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (Laporan Penelitian), LP2M-UNHAS, Makassar. Hening Y. 2013. Kontribusi UMKM dalam Perekonomian Indonesia. Diunduh dari: http://yasintahening. wordpress.com/2013/03/27/kontribusi-umkmdalam-perekonomian-indonesia Pusdatim KKP. 2016. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2015. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Volume 21 21 No.No. 1 Juni 2016 Volume 1 Juni 2016 18 18