POLITIK ANGGARAN DI SEKTOR KESEHATAN POLITIC OF BUDGET IN HEALTH SECTOR Dewi Marhaeni Diah Herawati1 1
Dosen Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unpad
Abstrak Ketidak cukupan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan saat ini masih menjadi permasalahan yang krusial baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Salah satu faktor yang paling menonjol yang berperan adalah adanya politik anggaran. Studi bertujuan untuk mengetahui politik anggaran kesehatan. Studi ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2006-2007, selanjutnya dilakukan pengamatan sampai tahun 2013. Data yang digunakan merupakan data sekunder dan data primer yang diperoleh dari Direktorat Anak, Biro Perencanaan, Litbangkes, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Desain penelitian adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Situasi di Pusat, politik anggaran terjadi di DPR pada saat penetapan pagu definitif, utamanya pada program yang bersifat fisik. Kemenkeu terlihat kurang memberikan dukungan pada sektor kesehatan, dimana anggaran sektor kesehatan baru mencapai sekitar 2,5%. Dasar pembagian anggaran di lingkungan Kemenkes baik untuk anggaran internal maupun yang ditransfer ke daerah belum berdasar kriteria yang jelas. Untuk situasi di daerah, politik anggaran terjadi baik di lingkungan legislatif maupun Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Dampak negatif adanya politik anggaran adalah perolehan anggaran sektor kesehatan belum sesuai dengan amanat UU No 36 Tahun 2009. Politik dalam proses penganggaran terjadi pada saat penetapan pagu indikatif, sementara dan definitif, adapun aktor yang paling berperan adalah DPR/DPRD. Politik dalam alokasi anggaran terjadi karena ketidakpatuhan pembuat kebijakan dalam peraturan yang telah dibuatnya serta belum adanya formula dalam membagi anggaran kesehatan yang lebih berkeadilan. Kata kunci: politik anggaran, sektor kesehatan
Abstract Insufficient of budget allocations for health sector remains a crucial problem both at central or local government. One of the most prominent factors that play a role is budget politic. The study aims to determine politic of health budget. This study is a continuation of research that has been conducted in the year 2006-2007, then observed until 2013. Secondary and primary data were obtained from the MoH (Directorate of Children, Planning Bureau, Institute of Health Research and Development) and West Java Provincial Health Office. Research design was a qualitative approach by using constructivism paradigm.
At Central government, in the Parliament, politic of budget occurred when determining budget ceilings, especially in programs which is related to infrastructures/ phisycal. Respon of Ministry of Finance apparently less provide to support the health sector, whereas health sector budget was only get around 2,5%. Ministry of Health’s budget distribution, for internal as well as for transferred to the province/district, has not been based on a clear criteria. At local government, the politic of budget occured both within the legislative and excecutive which represent by Local Government Budget Team (TAPD). The politic of budget showed a negative impact for health sector budget which is not in accordance with Law No. 36/2009. Politics in the budgeting process occurs when determining indicative, temporary and definitive ceiling. Parliament member (central as well as local) were the actors who were most responsible. Politics in the budget allocation occured since policy makers did not comply to the regulation that had been made by them selves and the lack of formula to get more equitable health budget. Keywords: political budget, health sector Pendahuluan Terbitnya UU No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan merupakan angin segar bagi sektor kesehatan baik yang berada di Pusat maupun Daerah. Undang –undang tersebut telah mengatur perolehan anggaran untuk sekor kesehatan yaitu dalam Pasal 171 ayat 1 dan 2, dimana Pemerintah wajib mengalokasikan 5% dari APBN sedang Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan 10% dari APBD.1
Terlihat bahwa sektor kesehatan telah mampu melakukan advokasi
kepada Pemerintah tentang kebutuhan anggaran untuk pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. Berdasarkan fakta yang ada yaitu setelah 4 tahun UU tersebut digulirkan, Pemerintah maupun sebagian besar Pemerintah Daerah belum mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan sesuai dengan amanat dalam UU No 36 Tahun 2009. Permasalahan tersebut menarik untuk dikaji, mengapa Pemerintah dan DPR yang telah menyetujui terbitnya UU No 36 Tahun 2009, pada tahap implementasinya tidak mengalokasikan anggaran sesuai amanat UU tersebut. Ada beberapa asumsi yang dapat menjadi alasan mengapa hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah karena keberpihakan politik Pemerintah tidak kepada sektor kesehatan yang notabene merupakan sektor yang hanya “menghabiskan uang atau membebani Pemerintah”. Oleh karena itu, permasalahan anggaran di sektor kesehatan saat ini masih menjadi permasalahan yang krusial baik di tingkat Pusat maupun Daerah.
Ketidak cukupan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor dan sangat kompleks. Salah satu faktor yang paling menonjol yang berperan dalam proses anggaran adalah adanya politik anggaran. Politik anggaran merupakan suatu proses intervensi yang dilakukan oleh para aktor untuk memengaruhi alokasi anggaran yang akan diperoleh, untuk memenuhi preferensi kelompok atau individu dari para aktor tersebut. Dengan kata lain merupakan tarik-menarik kekuatan politik dari para aktor dalam proses anggaran dan penentuan alokasi anggaran untuk memenuhi preferensi para aktor. Politik anggaran yang dimaksud disini adalah mulai dari proses penganggaran sampai dengan alokasi dan distribusi anggaran. Metode Studi ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis pada tahun 2006-2007.2 Selanjutnya penulis melakukan pengamatan untuk kebijakan alokasi anggaran di Direktorat Anak pada tahun 2009 sampai dengan saat ini. Data yang digunakan merupakan data sekunder dan data primer yang penulis peroleh dari hasil pertemuan bersama Direktorat Anak dan beberapa Direktorat di lingkungan Dirjen Bina Gizi dan KIA. Pada bulan Maret sampai dengan April tahun 2013 dilakukan diskusi beberapa kali antara Direktorat Anak, Direktorat Ibu, Direktorat Gizi, Biro Perencanaan dan Libangkes Kemenkes serta Bappenas. Data Daerah diperoleh dari hasil diskusi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Desain penelitian adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. 3,4 Hasil Situasi Anggaran di Pusat Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2008)5 serta diperkuat oleh pengamatan yang dilakukan oleh penulis sampai saat ini, politik anggaran di sektor kesehatan terjadi baik di lingkungan internal maupun eksternal Kemenkes. Proses penganggaran APBN Kemenkes adalah sebagai berikut: Pagu indikatif Kemenkes ditetapkan berdasarkan SE (Surat Edaran) dari Kemenkeu dan Bappenas. Kemenkes membahas anggaran unit (Direktorat Jenderal) pada saat Rakorpim. Unit membagi anggaran untuk subunit (Direktorat) dan subunit membagi anggaran untuk masing-masing provinsi. Jika
tidak ada lagi perubahan anggaran yang akan diusulkan, maka Kemenkes mengusulkan
penetapan
pagu
sementara
kepada
Kemenkeu.
Setelah
Kemenkeu menetapkan pagu sementara, maka anggaran diusulkan ke DPR untuk dibahas oleh tim anggaran DPR dan Komisi IX. Jika tidak ada perubahan maka DPR menetapkan menjadi pagu definitif anggaran Kemenkes. Dalam penetapan anggaran ini proses politik terjadi baik di lingkungan Kemenkes maupun di Kemenkeu dan DPR. Proses mekanisme anggaran saat ini masih belum mengalami perubahan. Subunit membagi anggaran Provinsi
Unit membagi anggaran subunit Pagu Indikatif Kemenkes ditetapkan berdasarkan SE Kemenkeu dan Bappenas
Kemenkes membagi anggaran Unit pada saat Rakorpim
Kemenkes mengusulan pagu anggaran sementara kpd Kemenkeu
Kemenkeu menetapkan pagu sementara
Atas usulan Kemenkes Penetapan pagu definitif di DPR
Pembahasan anggaran di DPR
Gambar 1. Proses Penganggaran Kemenkes (Herawati)5 Politik anggaran yang terjadi di DPR pada umumnya berkaitan dengan program yang bersifat fisik seperti pembangunan rumah sakit, baik melalui dana tugas pembantuan maupun DAK. Penelitian yang dilakukan oleh Herawati mengatakan bahwa pembagian anggaran rumah sakit yang disalurkan melalui dana tugas pembantuan lebih banyak diatur oleh DPR.5 Pemegang program di Kemenkes sering terkaget-kaget karena pagu definitif
yang ditetapkan
mengalami perubahan yang sangat tajam (sekitar 90%) dibanding dengan pagu sementara yang diusulkannya.5 Padahal pemegang program rumah sakit di Kemenkes dalam membagi anggaran baik untuk rumah sakit vertikal maupun
daerah telah menggunakan formula. Namun ternyata formula anggaran yang telah dibuat oleh pemegang program rumah sakit tidak dapat memengaruhi keputusan politik DPR. Responden yang berasal dari DPR mengatakan sering terjadi konflik internal di DPR, hal ini disebakan karena beberapa anggota banyak yang merambah ke daerah yang bukan merupakan perwakilan konstituennya.5 Berdasar data dari Kemenkes, sejak tahun 2010-2013, alokasi anggaran Pemerintah untuk Kemenkes berkisar antara 2-2,5%.6 Besaran alokasi tersebut masih jauh dari amanat UU No 36 Pasal 171 Ayat 1. Pemerintah terlihat tidak konsisten dalam memenuhi
alokasi anggaran Kemenkes yang sudah jelas
tertuang dalam UU No 36. Menurut Kemenkeu, pembagian alokasi anggaran untuk seluruh Kementerian dasarnya adalah proporsional. Rp/Triliun 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00
Alokasi
15,00 10,00 5,00
30,92 25,27 22,50
33,24 30,44
34,58
2012
2013
Realisasi Penyerapan
26,96
2010
2011
89,04%
Total APBN % APBN Kemenkes thdp Total APBN
87,19%
91,58%
1.056,51 T
1.229,58 T
1.418,49 T
1.683,00 T
2,39 %
2,51 %
2,34 %
2,05 %
Gambar 2. Anggaran dan Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan Th 2010 – 2012
Sumber: Biro Perencanaan Kemenkes, 20136
Pembagian anggaran di lingkungan internal Kemenkes adalah sebagai berikut: alokasi anggaran dana dekonsentrasi
unit untuk tahun 2012 adalah
Setjen mendapat 19%, Bina Gizi dan KIA 49%, Bina Upaya Kesehatan 3%, P2PL 12%, Binfar dan Alkes 4%, PPSDM 13%. Sedang alokasi anggaran tugas
pembantuan pada tahun 2012 adalah BOK 29%, sarana prasarana Bina Gizi dan KIA 3%, Bina Upaya Kesehatan 65%, P2PL 1% dan bencana alam 2%. Dasar pembagian alokasi anggaran masing-masing unit baik untuk dana dekonsentrasi maupun tugas pembantuan belum didasarkan pada kriteria yang jelas. Apakah didasarkan pada fungsi atau pada beban permasalahan kesehatan yang ada di Indonesia atau berdasar pada historical budget. Dasar perolehan alokasi anggaran unit
baik untuk dana dekonsentrasi maupun tugas pembantuan
menjadi banyak pertanyaan dari staf di lingkungan Kemenkes.
SARANA PRASARANA AB P2PL 47,00 1%
SARANA PRASARANA BUK 2.434,00 65%
Gambar 3 Alokasi Anggaran Dana Dekonsentrasi Tahun 2012 (Dalam Milyar)
PEMULIHAN BENCANA ALAM SUMBAR 73,00 2%
BOK 1.096,00 29%
SARPRAS BIG-KIA 100,00 3%
Gambar 4. Alokasi Anggaran Dana Tugas Pembantuan Tahun 2012 (Dalam Milyar)
Sumber Litbangkes Kemenkes, 2013.7 Kasus berikutnya adalah pembagian anggaran subunit di Direktorat Bina Gizi dan KIA, dimana pembagian ini menjadi pertanyaan banyak staf karena terjadi perbedaan yang cukup besar antara perolehan anggaran Direktorat Gizi, Kesehatan Ibu dan Kesehatan Anak. Direktorat Kesehatan anak mendapat alokasi anggaran yang paling kecil dibanding Direktorat Kesehatan Ibu dan Gizi. “...... atas dasar apa pimpinan membagi anggaran seperti itu... kami direktorat anak mendapat anggaran yang paling kecil.... mengapa direktorat gizi mendapat anggaran yang paling besar....... (R. 5)
Billions
400
368
350 300 250 200
191
150 100 56,952
63
Anak
Ibu
39,857265
50
9
8,385319
KesjOr
Kestrad
0 Gizi
Manajemen
Total GIKIA
Gambar 5. Alokasi Anggaran Dirjen Bina Gizi dan KIA Tahun 2012
Sumber: Litbangkes Kemenkes, 20137
Tahun
2003
2004
2005
DAK Kesehatan
375
456,18
620
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2.406,80 3.381,27 3.817,37 4.017,37 2.829,76 3.000,80 3.005,93 3.101,55
2.269,0 26.115,9 DAK Nasional 2.838,504.014,0011.569,8017.094,1021.202,1424.819,59 21.133,38 25.232,80 31.697,14 0 5 Persentase 16,53 16,07 15,45 20,8 19,78 18 16,19 13,39 11,89 11,51 9,78
Gambar 6. Tren Pagu DAK Kesehatan 2003-2013 (Dalam Milyar)
6
Sumber: Biro Perencanaan Kemenkes, 2013
Kasus berikutnya adalah alokasi dana DAK bidang kesehatan, dimana kebijakannya
diperuntukkan membantu daerah tertentu untuk mendanai
kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat, dan untuk mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional.8 Melihat data tersebut diatas terlihat bahwa meskipun perolehan dana DAK meningkat setiap tahunnya, tetapi jika dibandingkan dengan prosentase DAK Nasional maka DAK Kesehatan menurun cukup tajam. Hal ini disebabkan
karena terjadi peningkatan anggaran DAK Nasional. Pada tahun 2003 DAK Kesehatan memperoleh 16,53% dari DAK Nasional, namun pada tahun 2013 menurun menjadi 9,78%. Terlihat bahwa kepentingan politik Kemenkeu tidak berpihak pada sektor kesehatan. Situasi Anggaran Daerah Alokasi anggaran untuk sektor kesehatan di Daerah sangat bervariasi, ada yang sudah mencapai 10% dan ada yang baru mencapai 2%. Pada prinsipnya proses anggaran di Pusat sama dengan Daerah, dimana TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) menetapkan plafon anggaran indikatif untuk Dinas Kesehatan, besarnya plafon anggaran pada umumnya jauh lebih kecil dibanding dengan anggaran yang diusulkan.
Kepala Dinas Kesehatan
melakukan penyesuaian terhadap plafon anggaran yang telah ditetapkan bersama Kepala Bidang dan Seksi. Hasil penyesuaian anggaran diusulkan kembali kepada TAPD, untuk dibahas di DPRD dan ditetapkan sebagai pagu definitif. Salah satu contoh model politik anggaran di Daerah seperti dibawah ini, sektor kesehatan memang telah memperoleh anggaran 10% dari APBD, namun yang dikelola oleh Dinas Kesehatan hanya 30%, sedang 70% dikelola oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)/ instansi lain termasuk Setda (Sekretariat Daerah) dan Legislatif. Dari 30% yang dikelola Dinas Kesehatan, 70% dibantukan ke daerah dalam bentuk Bantuan Keuangan Gubernur dan hanya 30% dikelola oleh Dinas Kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa Dinas Kesehatan hanya mengelola 10% dari 10% APBD untuk sektor kesehatan.
TAPD
Legislatif
setda
Dinkes
Kab/ kota Kab/ kota Kab/ kota Kab/ kota
SKPD Lain
Masyar Masyar akat/ Masyar akat/ LSM akat/ LSM LSM
Gambar 7. Model Politik Anggaran di Daerah
Kasus lain adalah bagaimana persentase anggaran untuk program Kesehatan Anak dibanding persentase APBD Provinsi.
Beberapa tahun ini
program kesehatan anak mendapat bantuan anggaran dari Kemenkes melalui dana dekonsentrasi. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat mendapat anggaran 1,3% dari APBD, untuk program kesehatan anak mendapat alokasi anggaran yang sangat kecil yaitu 5% dari APBD Dinkes. Persentase dana dekonsentrasi program kesehatan anak terhadap alokasi APBD program kesehatan anak adalah 163%. Untuk Dinas Kesehatan Provinsi Jatim mendapat alokasi anggaran 2,4% dari APBD, program kesehatan anak mendapat alokasi 0,4% dari APBD Dinas Kesehatan. Persentase dana dekonsentrasi program kesehatan anak terhadap alokasi APBD program kesehatan anak adalah 165%. Terlihat bahwa komitmen Pemerintah Daerah terhadap sektor kesehatan belum baik, sedang terhadap program kesehatan anak sangat rendah. Dari data tersebut diatas terlihat bahwa komitmen Daerah terhadap anggaran program kesehatan anak sangat kecil, pada umumnya Dinas Kesehatan sangat tergantung kepada anggaran dana dekonsentrasi yang diberikan Kemenkes.
KALBAR 2010 Total APBD Provinsi 1804036284505 APBD Dinkes Prov 36096115700 Anggaran Kesehatan Anak dalam APBD Provinsi 557971000 % APBD Dinkes berbanding APBD Provinsi 2,000853088 % Anggaran Kes Anak Dalam APBD Dinkes Provinsi 1,545792363 % alokasi Dekon Anak berbanding APBD Dinkes 8,371363349 % alokasi Dekon Anak berbanding APBD Anak Dinkes Prov 541,5580738
JATIM Total APBD Provinsi APBD Dinkes Prov Anggaran Kesehatan Anak dalam APBD Provinsi % APBD Dinkes berbanding APBD Provinsi % Anggaran Kes Anak Dalam APBD Dinkes Provinsi % alokasi Dekon Anak berbanding APBD Dinkes % alokasi Dekon Anak berbanding APBD Anak Dinkes Prov
2010
2011 2178709051349 52994149749 618550000 2,432364694 1,16720431 1,524887188 130,6444103
2011
2012 3224691424739 44666783500 1376260000 1,385149077 3,081171045 5,027621924 163,1724383
2012
10508103165586
12305791486188
12214783359823
310006916338
299809238586
298098460300
987295000
906527500
1294171500
2,950170087 0,318475153 1,927364096 605,1850764
2,436326334 0,302368101 0,489641015 161,9354074
2,440472758 0,434142296 0,718951382 165,6027041 7
Gambar 8. Alokasi Anggaran APBD Provinsi Kalbar dan Jatim (Litbangkes, 2013)
Pembahasan Agenda
Setting,
Formulasi
dan
Implementasi
Kebijakan
Anggaran
Kesehatan Sebelum ditetapkannya UU No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, masalah anggaran kesehatan menjadi masalah yang cukup serius. Banyak daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah, tidak dapat memberikan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan yang memadai. Sebaliknya daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggipun ternyata tidak mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan yang memadai, karena komitmen terhadap sektor kesehatan rendah. Oleh karena itu perjuangan para aktor kesehatan harus diberikan apresiasi yang tinggi, karena dapat membawa policy problem tentang anggaran kesehatan dalam agenda kebijakan. Agenda setting terjadi karena tercapai policy window, dimana politics stream, policy stream dan problem stream dapat bertemu dalam satu titik.9 Setelah tercapai agenda setting proses berikutnya adalah menyusun formulasi kebijakan berupa UU No 36 Tahun 2009. Dalam UU tersebut telah mengatur besaran anggaran yang harus dialokasikan untuk sektor kesehatan baik di Pusat maupun Daerah, yaitu dalam pasal 171 ayat 1 dan 2.
Pada tahap implementasi kebijakan Pasal 171 ayat 1 dan 2 dari UU No 36 Tahun 2009 ternyata tidak berjalan dengan cukup baik, terlihat bahwa alokasi anggaran untuk sektor kesehatan belum sesuai amanat UU No 36 Tahun 2009. Hal ini disebabkan politics stream pemerintah dan DPR tidak berjalan beriringan dengan problem stream dan policy stream. Pada umumnya permasalahan implementasi kebijakan lebih disebabkan karena ketidak siapan para pelaksana kebijakan. Namun dalam kebijakan anggaran kesehatan permasalahan yang muncul justru tidak adanya komitmen politik dari pembuat UU dalam menjalankan amanah UU. Akibatnya permasalahan ketidak cukupan anggaran kesehatan sampai saat ini masih menjadi masalah krusial baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Kesehatan adalah politik, dalam politik anggaran kesehatan terlihat bahwa Pemerintah tidak berpihak pada sektor kesehatan. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Rafei, yang mengatakan bahwa politik kesehatan adalah merupakan keberpihakan pemerintah kepada pembangunan kesehatan masyarakat terutama masyarakat miskin. Kebijakan tersebut harus didukung oleh alokasi anggaran yang mencukupi. 10 Politik Dalam Proses Penganggaran Proses penganggaran merupakan suatu proses yang paling pelik dan unik karena penuh dengan konflik kepentingan, terjadi tarik- menarik dari para aktor untuk memenuhi preferensi mereka. Konflik rebutan kekuasaan terjadi baik pada saat penetapan pagu indikatif, pagu sementara maupun pagu definitif. Sektor
kesehatan
pada
umumnya
tidak
mempunyai
kekekuatan
untuk
memperjuangkan anggaran yang diusulkan, mereka hanya pasrah pada kekuatan para aktor di lingkungan makro organisasi kesehatan seperti Kemenkeu dan DPR untuk Pusat, TAPD dan DPRD untuk Daerah. Aktor yang berada di DPR menggunakan kekuasaannya untuk melakukan perubahan anggaran yang telah diusulkan oleh Kementerian Kesehatan. Pada umumnya
mereka
berdalih
memperjuangkan
Daerah
yang
merupakan
perwakilian konstituennya. Meskipun pada ujung-ujungnya adalah untuk memenuhi preferensi kelompok atau partainya. Konflik terjadi di lingkungan internal DPR karena beberapa diantaranya merambah Daerah yang bukan merupakan kekuasaannya.5
Proses penganggaran di Daerah sangat dipengaruhi oleh TAPD dan DPRD. Hal ini disebabkan karena belum optimalnya komitmen dari para aktor pengambil kebijakan baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Keadaan tersebut diperkuat dengan ketidak percayaan kepada sektor kesehatan apakah anggaran yang diusulkan memang sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kani dkk.11 Selain itu, kemungkinan juga untuk memenuhi preferensi politik dari aktor besar. Proses penganggaran merupakan ’’black box” yang sesungguhnya sangat sulit untuk diketahui secara detil. Easton dalam Buse et al mengatakan bagaimana terjadinya perubahan dalam proses pembuatan kebijakan sehingga dianggap sebagai kotak hitam atau “black box”.12 Dalam proses penetapan anggaran hal ini bisa diasumsikan bahwa anggaran yang diusulkan oleh Kemenkes, ketika ditetapkan oleh DPR terjadi perubahan anggaran. Saat ini, arus informasi sudah sangat terbuka dan tidak bisa dibendung, begitu pula hak bicara dan pendapat masyarakat menjadi hal yang sangat mudah untuk disampaikan kepada Pemerintah. Oleh karena itu proses penganggaran yang merupakan kotak hitam dalam penyusunan kebijakan anggaran, sekarang sudah mulai terbuka dan diketahui masyarakat. Politik Dalam Alokasi Anggaran Alokasi anggaran di Pusat terlihat tidak berpihak pada sektor kesehatan, dimana Pemerintah dan DPR telah melakukan pelanggaran terhadap UU No 36 Tentang Kesehatan yang telah disyahkannya.
Kemenkeu menyampaikan
ketidak-mungkinan menerapkan Undang-undang Kesehatan yang kemudian diamini
oleh
Menteri
Kesehatan.
Perdebatannya
ditindaklanjuti
dengan
menyalahkan ketidak-benaran pembuat undang-undang yang mencantumkan prosentase dalam undang-undang. Menurut Norton dan Elson (2002) adanya keterbatasan anggaran di Pusat maka Kemenkeu memiliki kewenangan untuk menetapkan alokasi anggaran yang dikelola oleh Lembaga Negara, hasil perolehan anggaran dapat lebih baik atau lebih buruk. Dalam kondisi politik yang kurang stabil maka permainan cenderung dilakukan sesuai peraturan yang sudah dibuat.13 Argumentasi permasalahan tersebut diatas dapat dilihat dari 2 sisi. Pertama adalah komitmen yang rendah terhadap peraturan (baca: Undang-
undang) yang dibuat bersama antara rakyat dan pemerintah. Bila pemimpin politik di tingkat Pusat dengan sengaja tidak mematuhi undang-undang, dapat dibayangkan apa yang dapat dilakukan pemimpin Daerah terhadap undangundang. Seharusnya muncul pertanyaan dari rakyat (baca: DPR/DPRD), mengapa eksekutif “melawan hukum”?. Apakah tampaknya rakyat dapat menerima argumentasi ini?.
Sebaiknya Pemerintah segera melakukan
amandemen terhadap undang-undang tersebut, agar kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah tetap ada. Anekdot yang terjadi adalah bahwa undangundang dibuat oleh Pemerintah, untuk dilanggar oleh pembuatnya (Pemerintah). Hal ini penting agar ketika Pemerintah membuat peraturan untuk masyarakat maka peraturan tersebut akan diikuti dan mampu merubah perilaku masyarakat. Penguasa merupakan role model dalam konsistensi dan kepatuhan terhadap pelaksanaan sebuah peraturan. Sisi yang lain, perasaan hati sebagian besar pemimpin melihat kesehatan bukanlah hal yang penting bagi bangsa ini. Kesehatan adalah anak pinggiran, bukan “main stream” yang seperti dicita-citakan para pemimpin kesehatan sebelumnya. Dalam konteks kebijakan, inilah gambaran politik para pemimpin saat ini, yang harus diterima dengan legowo oleh para pemilih yang “pro” kesehatan. Yang perlu diperhatikan para “Pemilih” adalah : jangan terbuai katakata manis pada saat kampanye yang menyatakan prioritas pada kesehatan, kesehatan gratis dan seterusnya, tapi dalam hati dan rasionya bertolak belakang. “Kemunafikan” sistem politik tidak cepat teridentifikasi karena pemahaman dan tingkat pendidikan politik masyarakat Indonesia belum merata. Paradoks kebijakan14 seharusnya dapat digiring kepada kebijakan yang rasional.12 Bagaimana mencapai hal tersebut? Ketidakberdayaan politik dari masyarakat mesti dibantu oleh masyarakat lain yang sudah melek politik dengan memberikan argumentasi rasional yang cukup komprehensif. Saat ini kekuasaan di negara kita lebih kepada model elitisme.12 Model kekuasaan mana yang tepat untuk negara kita? Apakah model pluralis, pilihan rakyat atau elitisme? Masingmasing
model
konsekuensinya.
tentu Penulis
mempunyai
dampak
berkeyakinan
positif
beberapa
dan
negatif
serta
tahun kedepan model
kekuasaan pluralisme dapat diadop oleh negara kita. Hal tersebut dapat dilakukan jika pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat sudah baik. Dengan
demikian masyarakat dapat ikut berperan dalam pengambilan kebijakan di negara ini. Mengapa sektor kesehatan sampai saat ini masih menjadi salah satu sektor yang menarik untuk menjadi “ladang kepentingan politik DPR”? Hal ini menjadi pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan. Menurut penulis ada beberapa hal yang menjadi penyebab diantaranya adalah kemampuan politik dari para staf di sektor kesehatan yang masih kurang, kemampuan teknis dalam merencanakan kebutuhan anggaran dan membuat formula anggaran serta belum adanya kebijakan bahwa pembagian alokasi anggaran kesehatan harus berdasar formula. Bagaimana model alokasi anggaran kesehatan yang tepat? Model yang tepat dan benar dalam dunia nyata mungkin sulit dilakukan, namun model yang baik adalah model rasional teknis dan disesuaikan dengan fungsi dari anggaran. Untuk anggaran Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang dialokasikan untuk sektor kesehatan akan lebih tepat memang dihitung secara detil melalui kebutuhan perkapita dan dilakukan survei National Health Account/Province Health Account/ District Health Account.
Dari hasil tersebut dapat dibuat
perkiraan persentase yang harus dialokasikan untuk sektor kesehatan. Model pembagian alokasi anggaran di internal Kemenkes/ Dinas Kesehatan akan lebih tepat jika dihitung secara detil berdasarkan analisis situasi permasalahan kesehatan
yang terjadi dan berapa kebutuhan anggaran untuk unit/bidang.
Model pembagian alokasi anggaran kesehatan yang ditansfer ke Daerah akan lebih tepat jika menggunakan formula yang memenuhi prinsip-prinsip equity, equality dan adequacy.2
Adanya formula anggaran ini dapat mengurangi
intervensi politik dari berbagai pihak. Mengapa anggaran untuk rumah sakit yang pembagiannya sudah menggunakan formula masih menjadi ajang konflik dan perebutan kekuasaan DPR? Analisis yang dilakukan oleh penulis karena formula anggaran untuk program rumah sakit terlalu rumit dan sulit dipahami pihak luar. DPR kemungkinan besar berasumsi bahwa formula anggaran yang telah dibuat untuk rumah sakit yang digulirkan melalui dana tugas pembantuan hanya merupakan trik Kemenkes dalam mendapatkan alokasi anggaran. Hal tersebut menyebabkan DPR tidak mau melihat dan mempelajari pentingnya formula yang dibuat, justru mereka menganggap formula tersebut “mengada-ada”. Menurut Moore, formula anggaran yang baik adalah simpel, tidak rumit, mudah
dimengerti, mudah dilakukan perubahan dan pengembangan. Dengan demikian dapat menjadi alat advokasi kepada DPR, karena justifikasi mudah diterima dan rasional.15 Rekomendasi untuk pengambil kebijakan di sektor kesehatan meliputi: 1. Penguatan terhadap peraturan dalam proses penganggaran dan peningkatan kemampuan advokasi dan melakukan pendekatan baik kepada Kemenkeu dan DPR (Pusat), TAPD dan DPRD (Daerah). 2. Pembuatan formula anggaran, karena formula merupakan suatu alat untuk mengurangi terjadinya politik anggaran. Formula anggaran sebaiknya tidak terlalu rumit dan memenuhi prinsip-prinsip equity, equality serta adequacy sehingga mudah diterima oleh DPR. 3. Pembuatan formula anggaran harus didukung dengan kebijakan agar dapat dipatuhi oleh seluruh jajaran kesehatan. Kesimpulan Politik dalam proses penganggaran terjadi pada saat penetapan pagu indikatif, sementara dan definitif, adapun aktor yang paling berperan adalah DPR/DPRD. Politik dalam alokasi anggaran terjadi karena ketidakpatuhan pembuat kebijakan dalam peraturan yang telah dibuatnya serta belum adanya formula dalam membagi anggaran kesehatan yang lebih berkeadilan.
Daftar Pustaka 1. Undang-Undang N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 2. Herawati DMD. Kebijakan Transfer Anggaran Belanja Departemen Kesehatan dan Penyusunan Formula Anggaran. Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2011. 3. Creswell JW. editor. Research Design: Qualitative, Quantitaive and Mixed Methods Approach.Third ed. California. SAGE Publications Inc, 2009. 4. Denzin NK, Lincoln YS. Qualitative Research. Pustaka Pelajar, 2009. 5. Herawati DMD. Intervensi Politik Dalam Proses Penganggaran Departemen Kesehatan 2006-2007. JMPK. 2008; Vol 11 (04): 173-178. 6. Biro Perencanaan Kemenkes. Kebijakan Perencanaan Program Kesehatan. Bandung, 2013. 7. Litbangkes Kemenkes. Evaluasi dana Dekonsentrasi Anak. Jakarta, 2013.
8. Peraturan Menteri Kesehatan No 55 tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2013. 9. Kingdon JW. Agendas, Alternatives and Public Policies, 2nd edn. New York: Harper Collins. 1995. 10. Rafei UM. Health Politics, Menjangkau yang Tidak Terjangkau, Health and Hospital Indonesia. 2007 11. Kani A, Herawati DMD, Trsinantoro L. Evaluasi Perencanaan dan Penganggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. JMPK. 2012; Vol 15 (3): 131-139. 12. Buse K, Mays N, Walt G, Making Health Policy, Understanding Public Health. London School of Hygiene Tropical Medicine. 2005. 13. Norton A, Nelson D. What’s Behind The Budget? Politics, Rights and Accountability in the Budget Process. Overseas Development Institute. 2002. 14. Stone D. Policy Paradox, The Art of Political Decision Making. 2002. 15. Moore P. Allocation Formula In Budgeting. Encyclopedia of Public Administration and Public Policy. 2003.