BAB I PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul Pembangunan dimaksudkan untuk mencapai cita-cita bangsa untuk menjadi masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat merupakan subjek utama pembangunan berdasarkan pancasila. Karena pada dasarnya pembangunan menuntut peran negara dan keterlibatan masyarakat di segala bidang, baik di sektor ekonomi maupun sektor lain seperti politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan serta lingkungan. Pembangunan tidak dapat dilaksanakan hanya dengan menitikberatkan pada sektor ekonomi dan mengabaikan sektor yang lain. Pembangunan itu sendiri sejatinya dimulai dengan meningkatkan kualitas
sumber
daya
manusia.
Selanjutnya
manusia
diarahkan
untuk
mengembangkan sumber daya alam dan lingkungan serta memaksimalkan penggunaan potensi yang ada secara berkelanjutan. Dewasa ini seiring dengan perkembangan dan kemajuan di segala bidang, bertambah pula pengaruh eksternal pada suatu komunitas masyarakat. Pengaruh eksternal tersebut cepat atau lambat berpotensi mengubah lokalitas yang ada. Perubahan komposisi anggota komunitas masyarakat inilah yang secara potensial mampu menimbulkan berbagai persoalan baru. Mulai dari memudarnya nilai-nilai sosial yang terdapat dalam masyarakat, seperti guyub rukun, golong gilig (berinteraksi dengan erat seperti suatu kesatuan yang utuh). Selain itu perubahan komposisi masyarakat juga mengakibatkan permasalahan sosial yang tidak dapat
dikesampingkan,
yaitu
peningkatan
volume
sampah
rumah
tangga
akibat
keberagaman penduduk dan pertambahan populasi yang simetris dengan peningkatan volume sampah. Pada sisi lain ketika sampah masih menjadi persoalan yang sulit untuk dipecahkan, tumbuhnya kesadaran masyarakat RW 26 Perum Gumuk Indah, Sidoarum, Godean, Sleman, Yogyakarta dalam melakukan upaya pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan mampu membawa masyarakatnya terpilih menjadi juara pertama dalam program kebersihan dan penghijauan lingkungan tingkat rukun warga / padukuhan se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam “DIY Green and Clean 2011”. Kesadaran warga di perumahan tersebut untuk menjaga kebersihan lingkungan secara mandiri tentu diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi rukun warga maupun padukuhan yang lain untuk turut mengupayakan perilaku bersih dan sehat dalam lingkup komunitas masing-masing. Dalam kaitannya dengan hal tersebut dalam hal ini menjadi penting untuk diketahui secara lebih mendalam, bagaimana kesadaran dan upaya masyarakat dalam menjaga kebiasaan hidup bersih dan sehat tersebut mampu dilaksanakan secara berkelanjutan serta berhasil terpolakan dalam realitas kehidupan masyarakat RW 26 Perum Gumuk Indah, Sidoarum. Apabila kebiasaan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, hanya bersifat temporal dengan berlandaskan motivasi tertentu seperti motivasi untuk memenangkan lomba dan menjadi juara maka persoalan sampah tetap akan menjadi ancaman di kemudian hari.
1.1.1 Aktualitas Alasan penulis memilih judul tersebut yang pertama adalah aktualitas, karena isu mengenai upaya penanganan dan pengelolaan sampah masih menjadi topik yang selalu diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik pengamat lingkungan, pegiat lingkungan maupun kalangan akademisi. Sampai hari ini masalah sampah dan penanggulangannya masih mendapat perhatian penting dari berbagai kalangan tersebut, untuk terus diupayakan penyelesaiannya. Hal ini disebabkan oleh bertumbuhnya kesadaran masyarakat Indonesia terkait ancaman ekologis yang mampu ditimbulkan sampah yang kurang terkelola dengan baik, pada masa sekarang maupun pada masa mendatang. Perubahan pola dalam aktivitas pembuangan sampah yaitu melalui model pengelolaan sampah berbasis komunitas merupakan salah satu sarana potensial bagi perbaikan kondisi lingkungan. Kemandirian masyarakat untuk menanggulangi permasalahan sampah dengan melakukan pengelolaan sampah secara mandiri, saat ini diyakini sebagai salah satu upaya yang mampu menjadi solusi dalam mengatasi masalah-masalah lingkungan pada skala nasional. Keberadaan sampah yang kurang terkelola mampu menjadi pemicu banjir, semakin bertambahnya fenomena open dumping (kegiatan pembuangan sampah di lahan terbuka yang mengakibatkan tumpukan sampah), serta munculnya ancaman lain yang tidak terhindarkan yaitu pencemaran air dan gangguan kesehatan. Sebagai pihak yang paling dekat dengan sampah, dalam arti sebagai pihak yang berkontribusi dalam menghasilkan komponen terbesar dari jumlah sampah keseluruhan yaitu sampah rumah tangga; masyarakat memiliki kaitan yang penting
dengan upaya pengelolaan sampah, karenanya peran dan keterlibatan masyarakat secara berkelanjutan perlu terus ditingkatkan demi terciptanya lingkungan hidup bersih yang positif bagi kemajuan. Pengelolaan sampah berbasis komunitas merupakan salah satu sarana bagi perbaikan kondisi lingkungan sekaligus sebagai upaya dalam membina hubungan yang harmonis bagi masyarakat dalam suatu komunitas, sehingga setiap individu dapat mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk kegiatan kebersihan lingkungan. Maka dari itu, kegiatan pengelolaan sampah berbasis komunitas dirasa merupakan sesuatu yang perlu ditumbuhkan, disebarluaskan dan didukung perkembangnya.
1.1.2 Orisinalitas Alasan yang kedua adalah aspek orisinalitas. Sejauh pengamatan peneliti melalui dukungan berbagai macam sumber penelitian yang lain, belum terdapat penelitian sejenis yang sama dengan apa yang ditulis oleh peneliti. Meskipun dalam beberapa penelitian lain penulis menemukan penelitian yang memberikan penekanan pada masalah sampah, namun dalam kaitannya dengan hal ini dapat dinyatakan perbedaaannya baik dalam hal lokasi, fokus penelitian dan sudut pandang penelitian. Beberapa penelitian lain yang mengangkat tema terkait sampah, diantaranya adalah penelitian yang berjudul Manajemen Pengelolaan Sampah Oleh Masyarakat (Studi Kasus pada Dusun Sukunan, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta); Skripsi oleh Budi Susilantinah, Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL, Universitas Gadjah Mada 2005.
Skripsi tersebut berisi tentang pengelolaan sampah di Desa Sukunan yang dimulai dari pemilahan-pengumpulan sampah organik, yang selanjutnya kemudian dijual. Sampah dari bahan aluminium foil dibuat menjadi produk tas, dan sampah dari bahan organik dibuat menjadi kompos. Terlaksananya kegiatan pengelolaan sampah tersebut erat kaitannya dengan keterlibatan aktor, yaitu penggagas, donatur, serta tim pengelola sampah yang di manajeri oleh tim pengelola sampah Sukunan. Masalah yang timbul, terjadi akibat sering terjadi ketidak tertiban dalam pengangkutan sampah oleh petugas dari drum ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Kesalahan petugas dalam memasukkan sampah ke drum dalam hal kesesuaian drum penampung dengan jenis sampah, juga rendahnya motivasi dan belum tersedianya pasar dalam penjualan produk olahan sampah. Akhirnya, partisipasi masyarakat harus selalu dijaga dengan senantiasa meningkatkan dan memotivasi masyarakat dengan cara memberitahukan hasil penjualan sampah dan penggunaannya. Selanjutnya, terdapat penelitian lain yang berjudul Pengelolaan Sampah Berbasis Komunitas Pada Kampung Hijau Gambiran Kota Yogyakarta; Tesis oleh Siti Arieta Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada 2008. Tesis tersebut berisi tentang fenomena sampah yang berkembang menjadi masalah sosial yang serius. Menurut tesis tersebut sampah bukan hanya dapat ditemukan di kawasan perkotaan yang sarat wisatawan namun juga tersebar di pemukiman, bahkan di sungai-sungai. Sampah perlu dikelola sebaik-baiknya mengingat pertambahannya yang simetris dengan pertambahan penduduk dan asimetris dengan kemampuan lingkungan untuk menyerap sampah. Pengelolaan
sampah dimaksudkan sebagai usaha sadar untuk memelihara, memperbaiki, serta meningkatkan mutu lingkungan bagi manusia dan makhluk hidup lain. Penelitian yang dilakukan penulis dalam hal ini mengarah pada aspek keberlanjutan program pengelolaan sampah oleh masyarakat RW 26 Perum Gumuk Indah yang ada di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Keberlanjutan dari penerapan suatu model kegiatan pengelolaan sampah, yaitu pengelolaan sampah berbasis komunitas merupakan empowerment (pemberdayaan) yaitu munculnya kemandirian oleh kesadaran masyarakat dalam mengelola lingkungannya secara mandiri sehingga kegiatan diharapkan berlanjut. Program pengelolaan sampah berbasis komunitas bertumpu pada partisipasi komunitas masyarakat untuk menjalankan kegiatan kebersihan lingkungan dan sebagai upaya yang dikembangkan dalam memberikan pembelajaran dan menumbuh-kembangkan kerterlibatan individu sebagai anggota masyarakat. Penelitian ini berfokus pada keberlanjutan program DIY Green and Clean, dengan cakupan lingkungan masyarakat RW 26 Sidoarum. Keberlanjutan suatu kegiatan tidak terlepas dari keterlibatan masyarakat yang merupakan salah satu hal utama dalam pengelolaan sampah, yaitu untuk menjaga keberlangsungan pengelolaan lingkungan secara mandiri yang berkelanjutan, yang pada akhirnya berimplikasi langsung terhadap penanggulangan serta pengurangan volume sampah rumah tangga secara riil.
1.1.3 Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Alasan yang ketiga yaitu relevansi penelitian dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Pembangunan sosial dan Kesejahteraan adalah sebuah program yang dikembangkan sebagai jawaban atas tuntutan-tuntutan sosial dalam mengatasi persoalan-persoalan dan kondisi sosial yang buruk pada masa awal kemerdekaan. Fokus kajian jurusan ini adalah pada pemberdayaan masyarakat (community empowerment), kebijakan sosial dan tanggung jawab sosial perusahaan kepada lingkungan masyarakat (corporate social responsibility). Pembangunan sosial dan Kesejahteraan adalah ilmu kemasyarakatan yang memelajari permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat beserta pemecahannya. Selain itu program studi ini juga memelajari hubungan antara satu lembaga dengan masyarakat. Relevansi
penelitian
ini
dengan
Jurusan
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan adalah dalam hal pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui upaya peningkatan partisipasi masyarakat RW 26 Sidoarum dalam program kebersihan dan penghijauan lingkungan DIY Green and Clean. Dalam hal ini Program DIY Green and Clean turut melakukan pemberdayaan kepada rukun warga/ padukuhan di seluruh Provinsi DIY. Pengelolaan sampah berbasis komunitas memungkinkan tiap anggota masyarakat dalam suatu komunitas untuk dapat saling bergotong-royong, berinteraksi secara erat, menanamkan nilai-nilai sosial dalam diri remaja dan anak-anak sebagai generasi penerus, serta meningkatkan kebersihan dan kenyamanan lingkungan yang berguna bagi kemajuan.
1.2 Latar Belakang Masalah
Hingga hari ini sampah masih menjadi masalah dunia. Sampah berada di peringkat kedua sebagai penyebab perubahan iklim, menyusul dampak yang ditimbulkan oleh kerusakan hutan. Timbunan sampah dalam skala besar menghasilkan gas metan (CH4) yang dapat merusak lapisan ozon (O3) seperti halnya emisi gas karbon dioksida (CO2) serta karbon monoksida (CO) yang dihasilkan oleh sisa pembakaran bahan bakar pada kendaraan bermotor dan industri. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan, memunculkan timbunan sampah dalam jumlah yang besar setiap hari. Sehingga sebagai salah satu langkah dalam mengatasi perubahan iklim akibat sampah, memerlukan kesadaran seluruh masyarakat dengan berupaya mengubah perilaku masyarakat sehari-hari dalam membuang sampah, dari sekadar membuang menjadi perilaku untuk mengelola dan memanfaatkan kembali sampah (wartakota.co.id, 19 Maret 2012).
Saat ini sampah telah menjadi ancaman yang serius bagi keberlangsungan hidup di Indonesia. Apabila sampah tidak dikelola dengan baik, beberapa tahun mendatang sekitar 250 juta rakyat Indonesia akan hidup bersama tumpukan sampah. Kementerian Lingkungan hidup pada tahun 2012 mencatat, rata-rata penduduk Indonesia menghasilkan sekitar 2,5 liter sampah per hari atau 625 juta liter dari jumlah total penduduk. Kondisi ini akan terus bertambah sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dari total sampah tersebut lebih dari 50% adalah sampah rumah tangga dan sekitar 60% nya merupakan sampah organik (tempo.co, 15 April 2012).
Produksi sampah terbesar berasal dari sampah rumah tangga dan dari seluruh produksi sampah di Indonesia diketahui 90% dari jumlah tersebut belum melalui proses daur ulang menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi. Masyarakat Indonesia, pada umumnya telah mulai memiliki komitmen untuk mengurangi sampah melalui proses daur ulang. Namun, sampah yang sudah dimanfaatkan menjadi barang bernilai ekonomi masih berada pada jumlah yang relatif kecil, yaitu hanya sekitar 5 hingga 10%. Sampah yang dapat di daur ulang, misalnya pada daur ulang sampah plastik, sampah kaleng atau logam, dan sampah kertas melalui bank sampah. Serta pemanfaatan kembali sampah organik menjadi kompos baik sebagai kompos padat maupun cair, sebagai produk baru yang memiliki nilai ekonomi.
Minimnya jumlah sampah yang dapat dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang, antara lain dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat yang kurang memerhatikan kebersihan lingkungan. Selama ini masyarakat masih belum terbiasa memisahkan sampah untuk kepentingan jangka panjang, sehingga sampah bercampur dan menambah beban pengolahan sistem. Kesadaran untuk mengelompokkan sampah berdasarkan jenisnya, tentu dapat mengurangi beban pengolahan sistem, mereduksi volume sampah serta mencegah munculnya timbunan-timbunan sampah baru secara signifikan. Melalui program Indonesia bersih diharapkan pola pikir masyarakat untuk memanfaatkan sampah dapat diubah sehingga target pemerintah untuk meningkatkan daur ulang sampah sebanyak 30% dari jumlah sampah yang dihasilkan per hari dalam lima hingga 10 tahun mendatang dapat tercapai (Noorkamilah, 2007:163).
Tidak dapat dipungkiri, aktivitas penimbunan sampah terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan gaya hidup masyarakat. Berdasar hasil perhitungan Bappenas dalam Buku Infrastruktur Indonesia, pada tahun 1995 perkiraan timbunan sampah di Indonesia mencapai 22,5 juta ton, dan meningkat lebih dua kali lipat pada tahun 2020 menjadi 53,7 juta ton. Berdasarkan data tersebut, maka kebutuhan akan lahan untuk lokasi pembuangan sampah menjadi makin luas. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan masalah yang serius dalam kehidupan masyarakat, misalnya semakin banyaknya jumlah timbunan sampah yang dapat dijumpai di sudut-sudut kota maupun di lahan-lahan kosong (Ibid:163). Menjadi semakin jelas, bahwa sampah merupakan masalah lingkungan yang perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dalam konteks pembangunan sosial, terdapat hubungan yang erat antara pembangunan dengan masalah lingkungan. Lingkungan (ecology) merupakan
salah
satu
prinsip
dasar
yang
harus
dipertimbangkan
dalam
pengembangan komunitas, di samping aspek keadilan. Kedua perspektif ini, lingkungan (ecology) dan keadilan sosial (social justice), harus menjadi visi yang dituju dalam pengembangan masyarakat (Ife, 1995:71). Lingkungan juga merupakan salah satu bidang pembangunan, disamping bidang pembangunan yang lain, seperti ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya dan spiritual (Adi, 2002:163). Sampah merupakan salah satu masalah lingkungan yang sering muncul terkait dengan pembangunan dan tingginya tingkat migrasi (Anonym, 2004:35), karenanya belakangan ini sampah mendapatkan perhatian yang cukup serius terutama di kota
besar. Zastrow memasukkan sampah kedalam masalah tersendiri yang cukup serius dalam bidang ilmu kesejahteraan sosial. Sampah merupakan dampak sampingan yang muncul dari berbagai upaya manusia yang dilakukan dalam rangka mencapai kesejahteraan hidupnya (Zastrow, 1996:552). Gambar 1.1 Skema Hubungan Sampah dengan Kesejahteraan Manusia
Jasa
Sumber Manusiawi
Lingkungan
Teknologi
Sumber Non Manusiawi
Kesejahteraan Manusia
Barang-barang
Sampah
Sumber: Sudarso (1985: 2)
Dalam skema tersebut tampak adanya kaitan antara komponen yang satu dengan lainnya, terutama antara teknologi, lingkungan, sampah dan kesejahteraan manusia. Sampah yang ditimbulkan karena adanya produksi dan konsumsi barangbarang guna kesejahteraan manusia, secara langsung dapat memengaruhi kondisi lingkungan dan kondisi kesejahteraan manusia itu sendiri. Semakin banyak produksi dan konsumsi barang-barang, maka semakin banyak pula sampah yang ditimbulkan. Dalam waktu yang bersamaan semakin potensial pula lingkungan tercemar dan kesejahteraan manusia semakin sulit terjangkau. Oleh sebab itu, agar upaya dalam
mencapai kesejahteraan benar-benar terwujud, maka komponen-komponen tersebut perlu dijaga keseimbangannya. Sebagai sesuatu yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia, sampah merupakan limbah yang tidak hanya dihasilkan dari level yang paling kecil yakni rumah tangga, tetapi juga dihasilkan dari limbah industri perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian menjadi masalah lingkungan yang cukup rumit dari tingkat rumah tangga, komunitas, kota dan bangsa, bahkan dunia. Terlebih tahun 2025 telah dicanangkan sebagai tahun zero waste (bebas sampah) dunia. Dengan demikian, mengelola sampah menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat. Inoguchi menyebutkan bahwa mengelola sampah merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat yang berwawasan ekologi. Salah satu indikator „masyarakat berwawasan ekologi‟ adalah: Sebuah masyarakat yang berusaha keras kembali ke alam dengan membuang sampah yang telah diolah atau didaur ulang untuk memperkecil beban lingkungan (Inoguchi, 2003: 05). Di Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini rata-rata pertumbuhan jumlah sampah jauh melebihi pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini menjadi alasan kuat bahwa masalah sampah merupakan masalah utama yang harus dipecahkan baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Selain masalah volume sampah yang terus meningkat, pemerintah saat ini juga menghadapi berbagai persoalan terkait penanganan sampah, berupa keterbatasan biaya operasional dan sarana prasarana pengelolaanya. Besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk menangani sampah pada tahun 2001 sebesar Rp 2.683.950.000. Meningkat rata-rata
11,25 % per tahun, sehingga pada tahun 2007 biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 5.073.069.000. Dari anggaran tersebut jumlah sampah yang tertangani baru mencapai 85% dari total sampah yang dihasilkan (DLH Yogyakarta, 2008). Secara umum kebijakan pengelolaan sampah di DIY masih mengikuti paradigma lama, dimana sampah dikumpulkan, kemudian diangkut dan akhirnya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Piyungan, Bantul. Pada sistem tersebut, semakin banyak sampah yang harus dikelola maka biaya yang harus dikeluarkan juga semakin besar. Secara teoritik, untuk mengatasi persoalan sampah mengharuskan dilakukannya pergeseran pendekatan dari pendekatan ujung-pipa (endpipe of solution) ke pendekatan sumber. Dengan pendekatan sumber, maka sampah ditangani pada hulu sebelum sampah itu sampai ke tempat pengolahan akhir (hilir) (Syafrudin, 2004:1). Pada prinsipnya, pendekatan sumber menghendaki dikuranginya produk sampah yang akan dikirim ke tempat pengolahan akhir. Cara yang dapat ditempuh untuk penerapan
mengurangi
sampah
antara
lain
pemilahan
sampah
dan
prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) atau pengurangan, penggunaan
kembali dan mendaur ulang sampah. Sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas, mengusung misi perubahan persepsi dan perilaku masyarakat terhadap sampah. Inti dari sistem tersebut adalah pemisahan serta pengolahan sampah yang dimulai dari rumah tangga. Setiap rumah tangga memisahkan sampah sesuai dengan jenisnya misalnya plastik, kaca, kertas, logam dan sampah organik secara mandiri. Setelah sampah terkumpul, kemudian masing-masing rumah tangga membawanya ke lokasi pengumpulan sampah terdekat
sesuai dengan jenisnya. Untuk sampah organik, setelah dikelola dan menjadi kompos, sebagian dapat dikemas untuk dijual dan sebagian yang lain dapat dipergunakan sendiri untuk penghijauan lingkungan rumah maupun kampung. Sampah yang berasal dari bungkus makanan, minuman, deterjen dan sejenisnya dapat dipisahkan untuk dipergunakan kembali setelah melalui proses daur ulang menjadi kerajinan tangan, seperti tas, dompet, taplak meja, kap lampu dan sebagainya. Pengelolaan sampah dengan berbasis pada pemberdayaan komunitas masyarakat ini, tentu diharapkan dapat mereduksi persoalan sampah yang terjadi di Indonesia di kemudian hari. Program Green and Clean merupakan suatu program kebersihan lingkungan berbasis komunitas yang diselenggarakan melalui kerjasama antara Pemda Provinsi DIY dan berbagai sponsor di antara lain surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR), Sonora, Retjo Buntung TV serta Persada. Tujuan diselenggarakannya Program Green and Clean adalah untuk mendorong perilaku masyarakat agar mampu berkontribusi dalam mengurangi sampah organic dan non organic, dalam skala komunal, menciptakan lingkungan hijau dan asri serta berperilaku hemat energi. Program Green and Clean memiliki fokus program di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan pembentukan 55 bak sampah diseluruh wilayah Provinsi DIY yang diawali dengan melibatkan komunitas masyarakat dalam 452 RW/padukuhan dari 5 kabupaten/kota di Provinsi DIY yang sekaligus berperan sebagai pesertanya. Program tersebut menitik-beratkan pada pengelolaan sampah, penghijauan, sanitasi, partisipasi masyarakat, pelestarian air dan terbentuknya bank sampah di wilayah pendampingan sehingga diharapkan masyarakat dapat merasakan manfaat dan nilai ekonomis dari pada pengelolaan sampah tersebut.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa terdapat dua manfaat yang dapat diambil dengan adanya Program Green and Clean ini yaitu pertama, manfaat bagi lingkungan. Karena dalam program ini terdapat setidaknya lima kegiatan pokok yaitu penghijauan, pengolahan sampah, hemat air, sanitasi dan kesehatan. Kegiatan ini dilaksanakan secara berkelanjutan sehingga banyak segi positif yang dapat di ambil seperti adanya lingkungan yang sehat, mengurangi risiko berbagai penyakit, serta berkurangnya volume sampah. Manfaat kedua adalah manfaat sosial. Program Green and Clean merupakan program yang berbasis komunitas, sehingga pasti membutuhkan peran serta seluruh warga RW/ padukuhan untuk menjalankannya. Dengan keterlibatan tersebut terbentuk masyarakat yang saling membantu, (sepi ing pamrih, rame ing gawe) yang pada akhirnya akan dapat tercipta lingkungan yang sehat, lestari atau tetap terpeliharanya budaya guyub (gotong-royong) dan masalah lingkungan dapat di sengkuyung (di atasi) bersama. Melalui program tersebut diharapkan dapat semakin memercepat dan memotivasi masyarakat dalam mewujudkan kebersihan, keindahan, penghijauan serta sanitasi lingkungan. Kegiatan Green and Clean merupakan wadah dan sarana sinergi yang terpadu dan terarah dalam meningkatkan kesadaran serta kepedulian masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan hijau. Sehingga pada akhirnya mampu menciptakan kondisi lingkungan permukiman yang bersih, sehat dan hijau. Namun, pengelolaan sampah juga berkaitan dengan pola hidup dan budaya masyarakat, sehingga dalam penanganan sampah diperlukan pembiasaan cara hidup
yang sehat kepada masyarakat sebagai upaya preventif bagi penanganan masalah sampah dan limbah, pada masa mendatang (portal.jogjaprov.go.id, 26 April 2012). Meskipun upaya pengelolaan sampah melalui sejumlah program maupun sosialisasi telah dilakukan, namun pada kenyataannya kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah masih cukup rendah. Setiap hari sampah di Kabupaten Sleman berjumlah sekitar 1.101 M³, namun jumlah yang dapat terangkut oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) hanya mencapai sekitar 303 M³, sehingga sampah yang berpotensi liar masih tersisa sebanyak 200 M³. Sampah-sampah liar tersebut dibuang oleh masyarakat di lahan-lahan kosong atau pinggir sungai, begitu saja. Padahal tempat tersebut bukan sebagai tempat pembuangan sampah. Di Sleman, sampah-sampah yang dikelola oleh DPUP baru berjumlah sekitar 330 M³, sedangkan 571 M³ sampah dikelola oleh masyarakat dan sisanya masih menjadi sampah liar. Sampah yang dikelola oleh dinas yaitu mengangkut sampah dari tempat penampungan sementara (TPS)
ke tempat penampungan akhir (TPA). Sampah-
sampah liar tersebut, selain mengganggu kebersihan lingkungan, juga akan memengaruhi perolehan penghargaan Adipura 2013 yang ditargetkan oleh Pemkab Sleman (Kedaulatan Rakyat, 31 Januari 2013). Sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Sleman, Desa Sidoarum yang terletak di Kecamatan Godean juga menjadi lokasi yang melaksanakan sejumlah kegiatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Sidoarum pada tahun 2012 kembali terpilih untuk maju sebagai wakil Kabupaten Sleman dalam evaluasi kegiatan PKK KBKesehatan tingkat Provinsi DIY. Kemajuan Desa Sidoarum telah dinyatakan dalam kemenangannya pada lomba tingkat Kabupaten Sleman. Organisasi PKK terbukti
mampu menjadi wadah yang sangat berperan dalam memberikan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah kepada masyarakat, diantaranya melalui kegiatan posyandu, posyandu lansia dan juga KB (KRJogja.com, 17 Desember 2012). Masyarakat RW 26 Perumahan Gumuk Indah, Sidoarum Godean telah menerapkan perilaku kebersihan lingkungan dengan memilah sampah. Mengingat selama ini, sampah masih menjadi permasalahan yang sering dihadapi dalam lingkungan. Sebelumnya sampah-sampah di perumahan tersebut cukup berserakan dan mengotori lingkungan, hingga pada daerah tepian sungai. Kemunculan ide kegiatan pengelolaan lingkungan berbasis komunitas muncul pada tahun 2007 bertepatan dengan momen 17 Agustus, melalui lomba kebersihan lingkungan di setiap dasawisma. Masyarakat digerakkan dari tingkat paling kecil, yaitu dasawisma. Dengan terus melakukan edukasi mengenai cara mengelola sampah. Upaya persuasif terus dilakukan guna mengubah kebiasaan masyarakat yang sebelumnya kurang peduli menjadi peduli sampah, melalui cara memilahkan antara sampah organik, kertas dan plastik. Pada tahun 2008, RW 26 Perum Gumuk Indah mengikuti lomba lingkungan Green and Clean dan menjadi juara IV DIY. Namun di antara tahun 2009-2010, RW 26 tidak mengikuti lomba tersebut untuk lebih fokus pada proses konsolidasi warga. Kemudian barulah pada tahun 2011, RW 26 Sidoarum kembali menjadi peserta lomba lingkungan Green and Clean dan menjadi juara I DIY. Sedangkan untuk tahun 2012, RW 26 Perum Gumuk Indah keluar sebagai juara II DIY (KRJogja.com, 23 November 2012). Selanjutnya pada DIY Green and Clean tahun 2013, RW 26 Perum Gumuk Indah, Sidoarum, kembali terpilih sebagai juara II diantara 20 RW/padukuhan
terbaik dari 81 RW/padukuhan pendamping program DIY Green and Clean 2013 (sehatceria02.staff.uii.ac.id).
RW 26 Perum Gumuk Indah Sidoarum telah memiliki sistem pengelolaan sampah berupa bank sampah guna menampung sampah-sampah dari masyarakat di perumahan tersebut, yaitu Bank Sampah Sapu Lidi. Pengelolaan sampah mandiri (PSM) Sapu Lidi di Perum Gumuk Indah Sidoarum Godean tercatat menampung sampah terolah dengan jumlah 400 kg perbulan, memiliki pekerja yang berjumlah 12 orang, serta omzet nasabah Rp 600.000 perbulan dan jumlah nasabah 125 dari 129 kepala keluarga (KK) yang ada di perumahan tersebut. Sampah yang disetorkan ke bank sampah tersebut telah melalui proses pemilahan mandiri oleh warga. Sampahsampah tersebut pada akhirnya dibeli dengan harga yang sesuai dengan jenisnya. Bank sampah yang bekerjasama dengan pengepul sampah ini, terbukti mampu memberikan nilai tambah secara ekonomis terhadap sampah. Hal tersebut diharapkan mampu menjadi pendongkrak motivasi masyarakat untuk terus mengumpulkan dan memilah sampah. Sampah-sampah yang ditabung di PSM Sapu Lidi kemudian dipilih kembali. Sampah-sampah yang dapat didaur ulang di proses sedemikian rupa melalui kreativitas warganya untuk kemudian dijual. Produk yang dihasilkan antara lain, seperti tas, sandal, celemek, tempat sampah, bunga, tirai, topi, kotak perhiasan dan lain sebagainya. Saat ini Bank Sampah Sapu Lidi sedang mengembangkan Unit Kegiatan Masyarakat (UKM) untuk kerajinan tangan asli sampah (Slemankab.go.id, diakses Jumat 21 Desember 2012).
1.3 Rumusan Masalah Sampah yang kurang terkelola dengan baik merupakan masalah yang cukup serius dalam bidang ilmu kesejahteraan sosial. Untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, manusia melakukan berbagai upaya pemenuhan kebutuhan. Dalam proses tersebut sampah muncul sebagai dampak sampingan yang berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia. Penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan tentang keberlanjutan program pengelolaan sampah di RW 26 Sidoarum. Sehingga dapat diambil pokok masalah sebagai berikut:
Bagaimana keberlanjutan program pengelolaan sampah berbasis komunitas?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses dan aspek yang memengaruhi keberlanjutan kegiatan pengelolaan sampah berbasis komunitas di RW 26 Sidoarum.
1.4.2 Manfaat Penelitian Manfaat teoretis hasil penelitian ini adalah sebagai wacana untuk memerkaya penelitian di bidang kajian Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL UGM terkait kegiatan pengelolaan sampah berbasis komunitas. Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai masukan bagi masyarakat pada umumnya, mengenai pentingnya partisipasi individu sebagai pihak yang paling dekat dengan sampah, dalam mengelola dan mengurangi volume sampah rumah tangga. Sebagai saran bagi upaya peningkatan kualitas kebersihan lingkungan di Kabupaten Sleman, khususnya dalam hal pengelolaan sampah berbasis komunitas.
1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Pembangunan Berbasis Komunitas Komunitas (community) dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”, yaitu bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dalam batas-batas tertentu di mana faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya, dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayahnya. Community adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh derajat hubungan tertentu yang berdasarkan lokalitas dan perasaan semasyarakat setempat (Soekanto, 1990 : 163). Pembangunan berbasis masyarakat (community-based development) menurut Dirjen Bangdes merupakan proses dinamis yang berkelanjutan dari masyarakat untuk mewujudkan keinginan dan harapan hidup yang lebih sejahtera dengan strategi menghindari kemungkinan tersudutnya masyarakat desa sebagai penanggung ekses dari pembangunan regional atau nasional. Pengertian tersebut mengandung makna pentingnya inisiatif lokal, partisipasi masyarakat sebagai bagian dari model-model pembangunan yang dapat menyejahterakan masyarakat desa (Soelaiman, 1998: 132). Program pembangunan masyarakat ini tidak berpusat pada birokrasi melainkan berpusat pada masyarakat atau komunitasnya sendiri. Kunci dari pembangunan masyarakat terletak pada pemberian kekuasaan pada inisiatif lokal dan partisipasi masyarakat.
Pembangunan masyarakat memiliki beberapa unsur, yaitu: 1. Menitikberatkan pada komunitas sebagai suatu kesatuan, 2. Mengutamakan prakarsa dan sumber daya setempat, 3. Sinergi antara sumber daya internal dan eksternal, serta 4. Terintegrasinya masyarakat lokal dan nasional. Pembangunan masyarakat pada hakekatnya tidak sekadar membantu masyarakat dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, namun merupakan usaha untuk membentuk kemandirian masyarakat, sehingga dapat mengatasi permasalahannya sendiri. Pembangunan akan berhasil ketika mampu menggerakkan partisipasi masyarakat yang menjadi titik sentral dalam pembangunan masyarakat. Konsep pembangunan masyarakat menurut Korten memiliki beberapa aspek sebagai berikut (Moeljarto, 1987:44) : 1. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dibuat di tingkat lokal, 2. Fokus utama adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskin dalam mengawasi dan mengawasi asset-asset untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan potensi daerah mereka sendiri, 3. Memiliki toleransi terhadap perbedaan dan mengakui arti penting pilihan nilai individu dan pembuatan keputusan yang telah terdistribusi, 4. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan sosial dilakukan melalui proses belajar sosial (social learning) di mana individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisatoris dan dituntun oleh kesadaran kritis individual,
5. Budaya kelembagaan ditandai dengan adanya organisasi yang mengatur dirinya sendiri, 6. Jaringan koalisi dan komunikasi pelaku (aktor) lokal dan unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri, mencakup kelompok penerima manfaat lokal, organisasi pelayanan daerah, pemerintah daerah, bank-bank pedesaan dan lain-lain akan menjadikan basis tindakan-tindakan lokal yang diserahkan untuk memperkuat pengawasan lokal yang mempunyai dasar luas atas sumber-sumber dan kemampuan lokal untuk mengelola sumber daya mereka. Pembangunan masyarakat merupakan model pembangunan alternatif, dan inti dari pembangunan alternatif adalah pemberdayaan (Suparjan dan Suyatno, 2003: 21-25).
Pemberdayaan dan memberdayakan merupakan kata yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris empowerment dan empower. Pemberdayaan pada hakekatnya mencakup dua pengertian yaitu to give or authority to dan to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, pemberdayaan memiliki makna memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, dan mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedangkan dalam pengertian yang kedua, pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan (Ibid: 43). Friedman mengemukakan bahwa istilah pemberdayaan pada dasarnya sangat terkait erat dengan konsep pembangunan alternatif (alternative development). Kegagalan pembangunan model pertumbuhan ekonomi dalam upaya pengentasan kemiskinan ataupun mewujudkan keberlanjutan lingkungan mendorong lahirnya konsep pembangunan alternatif. Konsep pembangunan alternatif menuntut adanya
demokrasi, pertumbuhan ekonomi yang menjamin kepentingan rakyat banyak, kesamaan gender, dan keadilan antar generasi (Suparjan dan Suyatno, 2003: 42). Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memeroleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Pengertian proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge (pengetahuan), attitude (sikap/etika), maupun practice (perbuatan) (Sulistiyani, 2004: 77). Tjokrowinoto mengemukakan bahwa paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat memberikan peranan pada individu bukan sekadar sebagai objek tetapi sebagai pelaku atau aktor yang menentukan tujuan yang hendak dicapai, menguasai sumber-sumber, mengarahkan proses yang menentukan hidup mereka. Oleh karenanya paradigma ini memberikan tempat yang penting bagi prakarsa dan keberagaman lokal. Paradigma ini menekankan pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (self relient communities) bagi suatu sistem yang mengorganisasi mereka sendiri (Ibid: 13). Mc Clelland dan Freire memandang bahwa proses-proses pemberdayaan sebagai metode yang mengubah persepsi sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya. Untuk menumbuhkan kesadaran atau dorongan dalam diri tersebut diperlukan adanya intervensi atau stimulus yang berasal dari luar, sebab keinginan seseorang untuk berkembang atau mengubah keadaan tidak terlepas
dari kemampuan individual yang ditentukan oleh tingkat pendidikan, ketrampilan yang dimiliki, lingkungan, serta konteks kebudayaan (Ibid: 14). Menurut Smith dan Hewit (1997) pemberdayaan juga sering dipakai untuk menggambarkan keadaan yang diinginkan individu. Dalam keadaan tersebut, masingmasing individu memunyai kontrol di semua aspek kehidupan sehari-hari mereka, misalnya pekerjaan mereka, akses terhadap sumber daya, partisipasi dalam proses perubahan sosial, dan lain sebagainya (dalam skripsi Dewi 2008: 13). Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memunyai kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga memiliki kebebasan (freedom) dalam arti mereka bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan mereka bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, dan bebas dari kesakitan, (b) menjangkau sumbersumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatanya dan memperoleh barang-barang dan jasa yang mereka perlukan, (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Sumodiningrat, 2004: 50). Pemberdayaan pada intinya memuat dua pengertian kunci, yaitu kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas: 1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan hidup, kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan. 2) Pendefinisian kebutuhan yaitu kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.
3) Ide atau gagasan yaitu kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum diskusi secara bebas dantanpa tekanan. 4) Lembaga-lembaga yaitu kemampuan menjangkau, menggunakan, dan memengaruhi
pranata-pranata
masyarakat
seperti
lembaga-lembaga
kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan. 5) Sumber-sumber yaitu kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal, dan kemasyarakatan. 6) Aktivitas ekonomi
yaitu kemampuan memanfaatkan dan mengelola
mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang serta jasa. 7) Reproduksi yaitu kemampuan dalam kaitannya dalam proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat yang mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Pemberdayaan hendakah mengarah pada pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik. Kondisi kognitif merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi pengetahuan dan wawasan seseorang dalam mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan skap perilaku masyarakat yang terbentuk yang diarahkan padaperilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan. Kondisi afektif adalah sense (rasa) yang dimiliki masyarakat yang diharapkan dapat diitervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku.Kemampuan psikomotorik merupakan ketrampilan yang dimiliki seseorang sebagai upaya melakukan aktivitas pembangunan (Sulistiyani, 2004: 80).
Dalam mencapai kemandirian diperlukan proses belajar dimana proses pemberdayaan diberikan secara bertahap. Dengan proses belajar tersebut akan diperoleh kemampuan dari waktu ke waktu. Sumodiningrat mengemukakan bahwa pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai masyarakat tersebut mapu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi (Ibid: 82). Tahap-tahap yang harus dilalui dalam pemberdayaan tersebut meliputi: 1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju sadar sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. 2) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar. 3) Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memerkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada kekuasaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau memunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, kemampuan menyampaikan
aspirasi, memunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan tidak lepas dari konsep good governance (kepemerintahan yang baik) yang dewasa ini dianggap sebagai sesuatu pendekatan yang dipandang paling relevan, baik dalam tataran kepemerintahan secara luas maupun dalam menjalankan fungsi pembangunan. Thoha menyatakan yang dimaksud good governance adalah tata pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen yakni pemerintahan (government), rakyat (citizen) atau civil society dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen tersebut memunyai tata hubungan yang sama dan sederajat (Ibid: 76 ). Hubungan sinergis antara masyarakat, pemerintah, dan swasta menjadi bagian penting dalam good governance tersebut. Dalam konteks good governance pemerintah diposisikan sebagai fasilitator, sedangkan tugas untuk pembangunan menjadi tanggung jawab komponen negara termasuk dunia usaha dan masyarakat. Pembahasan tentang upaya pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Organisasi Non Pemerintah (ornop) atau NGO seperti organisasi Nirlaba, LSM (Lembaga swadaya masyarakat) (Prijono, 1996: 100). Dalam kegiatan pemberdayaan rakyat, NGOs berperan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan kemanusiaan (membantu korban secara sukarela kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan karena terkena musibah atau kurang
beruntung),
pendekatan
pengembangan
masyarakat
(bertujuan
mengembangkan, memandirikan, dan menswadayakan masyarakat), serta pendekatan pemberdayaan rakyat yang bertujuan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Suparjan dan Suyatno, 2003: 46). Pemberdayaan merupakan proses belajar yang menekankan orientasi pada proses serta pelibatan masyarakat (partisipasi). Hasil yang diharapkan dari proses pemberdayaan adalah tumbuhnya kompetensi masyarakat (tangung jawab sosial dan kapasitas masyarakat). Kompetensi tanggung jawab memiliki arti bahwa tanggung jawab perkembangan adalah tanggung jawab masyarakat sendiri. Sementara terkait dengan kompetensi kapasitas, terkait dengan kemampuan masyrakat untuk mengembangkan diri. Dalam hal ini, adalah kemampuan untuk identifikasi needs (kebutuhan), identifikasi resources (sumber daya), dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang yang ada (Ibid: 50).
1.5.2 Keberlanjutan Keberlanjutan merupakan kata yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris, yaitu sustain (meneruskan) dan ability (kecakapan, kemampuan), sehingga kata sustainability (keberlanjutan) memiliki makna kemampuan untuk meneruskan atau melanjutkan. Pembangunan berkelanjutan tidak terbatas pada pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, tetapi juga berarti keberlanjutan sosial (social sustainability) dan ketahanan sosial (social resilience).
Dobson (1999), menerapkan prinsip keberlanjutan ke dalam sistem-sistem sosial berarti bahwa sistem-sistem tersebut harus dievaluasi bukan sekadar dalam peranan dan fungsi jangka pendeknya, tetapi juga dalam hal kelangsungan jangka panjangnya, dampaknya terhadap sistem-sistem lain, energi yang di ekstraknya dari lingkungan dan keluarannya (Ife, 2008: 178). Sementara dari perspektif lingkungan, Odum mengemukakan bahwa keberlanjutan merupakan suatu gagasan ekologis yang mencerminkan “sikap kehatihatian” pemangsa yang menghindari eksploitasi berlebih terhadap mangsanya untuk memastikan suatu hasil maksimal yang berkelanjutan. Sustainability is originally an ecological concept, reflecting ‘prudent behaviour’ by a predator that avoids overexploiting its prey to ensure an optimum sustained yield (Odum, 1971: 223 dalam Bartelmus, Peter 1994: 61). Konsep pembangunan berkelanjutan memiliki ciri utama sebagai berikut: 1. Sumber perencanaan pembangunan adalah prakarsa dan inisiatif masyarakat, 2. Penyusunan program oleh masyarakat, 3. Teknologinya merupakan teknologi tepat guna yang bersumber dari ide dan kreativitas masyarakat, 4. Mekanisme kelembagaan bersifat bottom up, 5. Menekankan pada proses dan hasil, 6. Evaluasi berorientasi pada dampak dan peningkatan kapasitas masyarakat, 7. Orientasinya adalah terwujudnya kemandirian masyarakat (Suparjan dan Suyatno, 2003: 25-26).
Honadle dan VanSant, mengemukakan syarat-syarat yang perlu dipenuhi dalam mendorong proses pembangunan yang berkelanjutan. Syarat-syarat tersebut adalah: (1) mewujudkan adanya arus informasi dua arah, (2) mampu mereduksi faktor risiko seminimal mungkin di dalam melaksanakan ide baru, (3) menyesuaikan proyek yang datang dari luar dengan kondisi setempat, (4) mampu mengatur dan mengelola sumber daya lokal, (5) meningkatkan kemandirian politik dan ekonomi, (6) mampu mendistribusikan manfaat yang timbul dari proses pembangunan termasuk program dan bantuan dari luar.
Keberlanjutan merupakan tindakan bersama yang berkesinambungan, yang merupakan hasil dari proses belajar sosial berupa peningkatan kapasitas baik pada tingkat warga masyarakat maupun pada tingkat komunitas untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya di lingkungan komunitasnya secara mandiri. Tindakan bersama yang berkesinambungan tersebut, dimungkinkan karena dalam masyarakat yang bersangkutan telah terjadi proses institusionalisasi, yaitu terintegrasinya aktivitas membangun dan mengelola sumber daya secara mandiri ke dalam pola aktivitas bersama dalam komunitas. Sehingga aktivitas membangun akan tetap berlangsung baik ada atau tidak ada rangsangan dari luar (Soetomo, 2006: 419420).
Keberlanjutan tidak terlepas dari keterlibatan pihak eksternal melalui program-program berorientasi pemberdayaan. Program yang tidak berorientasi pemberdayaan tidak akan menghasilkan keberlanjutan, tetapi justru menimbulkan ketergantungan. Keterlibatan pihak eksternal harus ditempatkan sebagai bagian dari proses membina dan mengembangkan kemampuan serta potensi masyarakat, sehingga sifatnya bukan merupakan faktor yang dominan tapi sekadar mendorong, memberi stimultan, memfasilitasi dan ikut memberikan iklim yang kondusif bagi berkembangnya potensi dari dalam (Ibid: 422). Terkait dengan hal tersebut, menurut Sumodiningrat (1966: 165) keterlibatan pihak eksternal dapat masuk melalui: 1. menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, 2. memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat melalui pemberian berbagai input, 3. melindungi agar dapat dicegah yang lemah menjadi semakin lemah (Ibid: 422).
Dalam mewujudkan proses yang berkelanjutan membutuhkan pendekatan yang bertahap dan membutuhkan waktu untuk melalui proses belajar sosial. Hal itu disebabkan, karena tanpa melalui proses belajar sosial akan sulit menghasilkan aktivitas bersama yang terinstitusionalisasi. Secara skematis, alur dari proses tersebut terdapat dalam gambar berikut.
Gambar 1.2 Intervensi yang Berdampak Kemandirian
Kombinasi sumber daya eksternal dan internal
Bantuan materi dan pelayanan
Aktivitas lokal
: Garis intervensi
Pengembangan sumber daya manusia material dan organisasi
Hasil materiil dan pelayanan baru
: Garis siklus kemandirian
Sumber: Honadle & VanSant (1985:76) dalam Soetomo (2006:423)
Dari gambar tersebut, keberhasilan program eksternal adalah apabila program tersebut
mampu
mendorong
munculnya
aktivitas
lokal.
Apabila
dampak
keberlanjutan yang diharapkan, maka aktivitas lokal tersebut harus dapat mendorong aktivitas lokal berikutnya, sehingga akan tercapai suatu siklus kemandirian dalam masyarakat yang bersangkutan. Gondowardojo dan Prijosaksono menyebut pendekatan tersebut dengan skema menuju Self Propelling Growth. Keberhasilan skema tersebut membutuhkan lima prasyarat, antara lain: 1. Memiliki dimensi peran serta masyarakat yang nyata dan dalam pengertian luas, 2. Mengandung potensi swadaya untuk menjamin keberlanjutan tanpa harus tergantung pada sumber daya dari luar secara terus-menerus,
3. Mencerminkan kegiatan bersama yang melibatkan pihak-pihak terkait seperti peerintah, swasta, LSM dan masyarakat lokal sendiri, 4. Terbukti dapat menumbuhkan perkembangan yang berkelanjutan yang diukur dari keberhasilannya mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial, 5. Memiliki sifat umum yang dapat dijadikan pola pengembangan swadaya, walaupun tetap tidak dapat dihindari adanya elemen yang bersifat khusus dan lokal (Wirosardjono, 1992: 132). Siklus kemandirian dalam gambar 1.2 identik dengan mekanisme Self Propelling Growth. Keduanya menggambarkan tercapainya kondisi dimana masyarakat telah mampu melakukan berbagai aktivitas pada tingkat lokal secara mandiri dan berkesinambungan dan tidak lagi tergantung pada stimultan atau bantuan pihak lain. Dengan demikian, dalam proses tersebut terkandung penguatan keberlanjutan sosial melalui penguatan institusi sosial yang mendukung keberlanjutan aktivitas
bersama,
penguatan
keberlanjutan
ekonomi
berupa
bertambahnya
kemanfaatan ekonomis, serta penguatan keberlanjutan sumber daya alam dalam bentuk semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk memelihara kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup. Keberlanjutan akan lebih cepat terwujud apabila terdapat sinergi antara keberlanjutan sosial, keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan sumber alam. Ketiganya memiliki hubungan pengaruh yang bersifat timbal balik, dan dapat dilihat sebagai siklus seperti terlihat dalam gambar berikut.
Gambar 1.3 Sinergi Keberlanjutan Sosial, Ekonomi dan Sumber Alam Keberlanjutan Sosial
Keberlanjutan
Keberlanjutan
Ekonomi
Sumber Alam
Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: Soetomo (2006 : 427)
Keberlanjutan sosial terwujud apabila aktivitas bersama dalam melaksanakan proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya sudah melembaga dalam kehidupan komunitas, sehingga menjadi bagian dari pola aktivitas dan pola perilaku masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan berbagai aktivitas bersama melalui program yang dirumuskan dan dilaksanakan bersama menjadi lebih relevan dengan kebutuhan dan kepentingan warga masyarakat. Pada akhirnya, hal ini akan mendorong masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian sumber alam sebagai penopang kehidupannya. Dapat dipahami bahwa hubungan timbal balik juga terjadi antara keberlanjutan sosial, ekonomi dengan keberlanjutan sumber alam (Ibid: 427-429). Keberlanjutan sosial, ekonomi dan sumber alam yang menunjukkan adanya hubungan yang saling mendukung tersebut, kesemuanya menjadi komponen dari pembangunan yang berkelanjutan. Secara sederhana pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai proses pembangunan yang memberikan manfaat kepada warga masyarakat dalam jangka panjang (Ascher dan Healy, 1990: 5).