BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Feminisme muncul tidak lain untuk menjawab sekian banyak pertanyaan atas ketertindasan perempuan dari segala aspek, baik hal itu aspek sosial, politik, maupun aspek budaya. Segala hal yang menyangkut keterbelakangan perempuan, stereotip tentang lemahnya perempuan di segala bidang kehidupan, baik dalam ruang publik maupun domestik menjadi gerakan pemikiran yang kemudian melahirkan feminisme pada akhirnya. Perempuan sejak lama ditempatkan pada posisi tidak semestinya, perempuan dianggap manusia tidak bermartabat dan tidak berharga, perempuan tidak memiliki unsur kemanusiaan yang utuh layaknya manusia yang juga diciptakan Tuhan, dan lain sebagainya. Inilah kemudian menjadi alasan mengapa perempuan dipandang sebagai manusia kelas dua (the second class) di bawah laki-laki sehingga tidak berhak bagi perempuan untuk menentukan kehidupan sendiri (Subhan, 2004: 39). Pemikiran tersebut kemudian diperparah oleh anggapan bahwa hal yang semacam itu adalah lumrah dan mesti terjadi dalam diri kaum perempuan karena merupakan kodrat perempuan sejak mulai lahir. Artinya, ketertindasan kedudukan perempuan sehingga menjadi demikian adalah kondisi yang memang pantas disandang oleh kaum perempuan itu sendiri, dan hal itu adalah mutlak pemberian Tuhan yang harus diterima oleh kaum perempuan. 1
Mitologi Yunani menyebutkan bahwa perempuan merupakan pangkal atau sebab dari segala bentuk kekacauan yang ada dalam dunia ini. Menurut mitos yang berkembang saat itu, setiap kejahatan, penderitaan, penyakit, dan segala kesusahan yang diterima oleh manusia di dunia karena perbuatan Pandora yang tidak patuh terhadap suaminya sendiri Ephimeteus. Pandora telah melanggar larangan suaminya untuk tidak membuka kotak peti yang berisi sekian banyak kejelekan seperti yang telah disebutkan di atas. Citra negatif terhadap perempuan tersebut kemudian berlanjut menjadi semacam doktrin yang terus berjalan dari generasi ke generasi. Dalam pandangan Nasrani juga demikian, mereka (para pemuka Nasrani) menganggap perempuan pertama (Hawa) sebagai sumber dari segala bentuk penderitaan dan kejahatan yang muncul di muka bumi ini (Khan, 1994: V). Pelecehan feminitas dalam Islam misalnya adalah adanya anggapan teologis bagi sebagian muslim yang mengatakan bahwa Hawa menjadi salah satu penyebab tergelincirnya Adam dari surga ke dunia, jika bukan karena bujuk rayu Hawa, maka Adam tidak akan dimurkai oleh Tuhan sehingga ia terusir dari surga. Rayuan Hawa kepada Adam sehingga memakan buah terlarang menyebabkan dosa asal kaum perempuan sebagai seorang yang membawa petaka (Umar, 1999: 20). Anggapan teologis yang semacam itu kemudian menjadi penalaran yang dianggap shahih oleh sebagian orang bahwa pangkal dari segala dosa selalu dikaitkan dengan kaum perempuan. Boleh jadi karena sudah bersifat teologis maka anggapan semacam itu menjadi asumsi yang selalu membekas dalam diri perempuan untuk selalu ada dan merelakan dirinya berada dalam otoritas kaum laki-laki. 2
Contoh yang lain adalah dalam persoalan ibadah misalnya, dikatakan bahwa perempuan selalu berada di bawah dibanding laki-laki, baik kuantitasnya maupun juga kualitasnya. Kodrat perempuan ketika sedang haid atau menstruasi diasumsikan sebagai seorang yang kotor, menjijikkan, dan membawa penyakit. Kondisi ini membuat kaum perempuan muslim pada saat menstruasi, tidak bisa melakukan aktivitas ibadah sebagaimana layaknya kaum laki-laki (Subhan, 1999: 34). Berbagai argumentasi di atas, dapat dikatakan bahwa perempuan pada umumnya memiliki dimensi kemanusiaan yang tidak sama dengan laki-laki. Apapun peran kaum perempuan, maka perannya hanya separuh atau mungkin seperempat dari peran yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Bahkan lebih ekstrim lagi, perempuan hanya menjadi perusak, penyebar mala petaka, pembawa kejahatan dan penderitaan bagi kehidupan dunia. Argumentasi ini memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya perempuan tidak hanya dihina dan ditindas tetapi lebih dari itu, perempuan mestinya harus disingkirkan dan dimusnahkan karena terdapat asumsi bahwa apabila hidup berdampingan dengan perempuan diyakini dapat membawa sial, membawa aib dan petaka, atau membawa ketidaknyamanan bagi kehidupan manusia. Dimensi agama telah membuktikan bahwa, tidak satupun agama yang kemudian mengkotak-kotakkan atau membuat perbedaan antara jenis laki-laki dengan jenis perempuan. Setiap agama apapun, maka akan selalu mengajarkan kedamaian dan kesetaraan bagi pemeluknya, baik itu berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Inilah yang di dalam tauhid Islam dikenal dengan prinsip Al-Musawah yaitu prinsip kesamaan atau kesetaraan. 3
Agama (dalam hal ini Islam) sebenarnya telah mencoba untuk membongkar segala bentuk-bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang terjadi pada diri perempuan. Melalui al-Quran, Islam berusaha untuk mengangkat citra dan martabat perempuan yang sama atau setara dengan laki-laki, yang sebelumnya telah di sandera oleh peradaban jahiliah (suatu peradaban yang tidak menyukai dan anti terhadap perempuan) pada waktu itu. Islam secara bertahap telah mengembalikan hak-hak perempuan dengan semestinya, sebagai manusia yang merdeka, yang berhak terhadap keyakinannya, berhak berkarya, dan bersuara, sehingga mereka diakui sebagai bagian dari masyarakat (Subhan, 2004: 42 – 43). Sejarah telah memberikan bukti dengan jelas bahwa Islam memberi kesempatan dan kebebasan yang sama kepada perempuan untuk mengekpresikan kemampuan dirinya dalam berprestasi, bersuara dan berkarya, kemudian juga berperan aktif dalam berbagai aspek kemasyarakatan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Bukti dalam hal kepemimpinan misalnya, tidak sedikit fakta sejarah Islam mencatat sejumlah besar perempuan yang memiliki kemampuan untuk memimpin dan mempunyai kualitas prestasi tidak kalah seperti yang diraih laki-laki. Untuk sekedar menyebutkan contoh, Sittu al-Mulk saudara perempuan al-Hakim bin Amrillah al-Fathimi selama empat tahun pernah berkuasa di Mesir, demikian pula Sjararah ad-Dur, istri al-Malik as-Shalih Ayyub yang menjabat khalifah di Mesir hingga pada tahun 1357 H (Abbas, 2004: 173). Bahkan di dalam al-Quran diceritakan
4
tentang kepemimpinan Ratu Balqis yang menguasai negeri Saba’ (sekarang Yaman) pada generasi zaman Nabi Sulaiman as (An-Naml, 27: 23). Di Indonesia misalnya, terdapat Ratu Kalinyamat, yang memerintah pada sebuah kerajaan yang berpusat di daerah Jepara Jawa Tengah sekitar tahun 1574, di Sulawesi Selatan juga pernah dipimpin oleh seorang penguasa perempuan, yaitu Siti Aisyah We Tenreolle yang berkuasa di kerajaan Ternate pada tahun 1856. Bahkan di Aceh pernah diperintah oleh beberapa perempuan selama kurun waktu hampir 60 tahun (1640-1699) secara berturut-turut. Ratu Pertama di Aceh bergelar Sultanah Tajul Alam Syafiuddin Syah (1641-1675), putri dari Sultan Iskandar Muda. Yang kedua, Sultanah Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), ketiga, Inayat Syah Zakiatuddin Syah (1678-1688),dan keempat adalah Kamat Syah Zairatuddin Syah (1688-1699) (Subhan, 2004: 11 – 15). Pandangan agama menyebutkan bahwa hakikatnya parameter yang sangat objektif dalam mengukur kemuliaan seorang manusia sebenarnya bukanlah berdasar pada jenis kelamin, etnis atau ras tertentu tetapi lebih berdasarkan atas prestasi dan kadar takwanya terhadap Tuhan (al-Quran Surat al-Hujuraat ayat 13). Al-Quran tidak sedikitpun menganut paham the second sex atau mengistimewakan jenis kelamin tertentu atau the first ethnic, yang mengutamakan suku tertentu. Setiap orang berhak dalam menentukan sikapnya sendiri-sendiri karena setiap orang juga mempunyai potensi yang sama dalam menjadikan dirinya ‘abid dan khalifah di muka bumi untuk lebih baik dan berguna. Hal ini juga yang sebenarnya melandasi pengukuhan Islam
5
terhadap kesetaraan dan derajat yang sama antara perempuan dengan laki-laki dalam menjalani aspek kehidupan. Pandangan-pandangan klasik yang memandang rendah terhadap perempuan dari dulu sampai saat ini masih saja tidak sepenuhnya hilang, gambaran-gambaran ketidakadilan kepada perempuan masih terasa hingga sampai saat ini. Seperti yang diungkapkan Musdah Mulia, pada saat ini jutaan perempuan yang berada di dunia masih mengalami role confusion (kekacauan peran) dalam menjalani kehidupannya dan tak menutup kemungkinan tergiring ke ruang yang bernuansa diskriminatif dan subordinatif. Mereka hidup di berbagai kawasan dengan latar belakang sosio-kultural dan beragam budaya, ekonomi, politik yang berbeda pula, tetapi ironisnya hanya sedikit dari mereka yang benar-benar menikmati hak-hak asasinya. Di berbagai dunia muslim tidak banyak perempuan yang dapat berkiprah dalam wilayah publik apalagi pada ranah politik semisal akses untuk menjadi pemimpin (Muliah, 2005: 49 – 50). Keberpihakan terhadap perempuan pada ruang politik (kepemimpinan) masih mengalami dua aliran yang saling bertolak belakang. Aliran pertama, mengakui dan menerima status pemimpin perempuan dengan merujuk pada prinsip dasar Islam (alMusawah) yang sebenarnya mengakui kesetaraan dan kesamaan hak untuk mengembangkan potensi dirinya di muka bumi, sedangkan aliran yang kedua, menolak tegas dengan argumen bahwa dari sudut pandang dalil-dalil yang terdapat dalam Islam selama ini, tidak pernah mengakui hak perempuan menjadi pemimpin (Muliah, 2005: 60).
6
Menarik kemudian gagasan yang ditawarkan Husein Muhammad untuk menelaah lebih dalam lagi pandangan-pandangan yang mendasari munculnya argumen-argumen
tentang
berkiprahnya
status
perempuan
dalam
ranah
kepemimpinan, sehingga nantinya sekat-sekat pengikat tali tradisi diskriminatif dan subordinatif yang telah menyumbat kran kebebasan dan pemberdayaan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin dapat terurai kembali. Dalam gagasannya, Husein Muhammad sebenarnya ingin membangun paradigma-paradigma baru yang segar dan representatif untuk menempatkan posisi kaum perempuan pada kedudukan yang semestinya, yang lebih seimbang dan setara, khususnya dalam persoalan kepemimpinan. Pembelaan terhadap kebebasan kaum perempuan (dalam hal ini adalah peran publik perempuan termasuk menjadi seorang pemimpin) menurut Husein Muhammad adalah bagian yang tidak terpisah dari bentuk-bentuk pemberdayaan dan pembangunan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Karena menurut Husein Muhammad, setiap hal yang menyangkut perempuan sebenarnya adalah bagian dari manusia dan bagian dari jenis manusia. Jika asumsinya perempuan adalah bagian dari manusia maka setiap hal yang menyangkut permasalahan yang dialami perempuan adalah termasuk permasalahan yang besar terhadap kemanusiaan (Nuruzzaman, 2005: 119). Alasan seperti itu membuat peneliti memandang perlu untuk melakukan kajian terhadap pemikiran Husein Muhammad yang berhubungan dengan pemimpin perempuan. Dalam hal ini, menelusuri pemikiran Husein Muhammad, sebenarnya sama halnya dengan menelanjangi dan merasakan kegelisahan seorang intelektual 7
yang mencoba mencari titik temu untuk mencari jalan keluar dari segala kurungan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan yang seharusnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan deskripsi dan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka peneliti mencoba untuk merumuskan permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian, hal ini mutlak diperlukan untuk meminimalkan kajian yang terlalu melebar dari kerangka topik yang sedang penulis teliti. Secara umum pertanyaan mendasar yang dapat di formulasikan sebagai rumusan masalah adalah: 1. Bagaimana pemimpin perempuan dalam pandangan feminisme Islam? 2. Apa dasar filosofis pemimpin perempuan? 3. Bagaimana pandangan dan urgensi pemikiran Husein Muhammad tentang pemimpin perempuan?
C. Tujuan Penelitian. Tujuan yang hendak diharapkan dari adanya penelitian yang dilakukan ini antara lain: 1. Mendeskripsikan pemimpin perempuan dalam pandangan feminisme Islam. 2. Memahami atau merumuskan dasar-dasar filosofis pemimpin perempuan. 3. Mendeskripsikan dan menganalisis pandangan dan urgensi pemikiran Husein Muhammad tentang pemimpin perempuan. 8
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Bidang Keilmuan Penelitian ini diharapkan dapat memperluas cakrawala keilmuan terutama dalam bidang feminisme khususnya feminisme dalam Islam yang berkaitan dengan pemimpin perempuan. 2. Dalam Ranah Filsafat Penelitian ini diharapkan mampu memberikan warna dalam riset secara filosofis yang berhubungan dengan keadilan dan kesetaraan perempuan sehingga nantinya filsafat dapat bermanfaat dalam dinamika hidup manusia. 3. Bagi Kehidupan Kontemporer Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi sekian permasalahan yang terjadi mengenai feminisme serta juga memberikan sudut pandang baru dalam memahami peran fungsi perempuan dalam kehidupannya yang sesuai dengan kultur dan budaya Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang feminisme memang telah banyak dilakukan, namun sejauh ini penelitian yang khusus membahas pandangan Husein Muhammad tentang pemimpin perempuan belum dijumpai. Beberapa penelitian yang sebelumnya muncul 9
berkaitan dengan feminisme antara lain, dilakukan oleh Parijo Henricus dengan judul Feminisme Komplementatif Srikandi Berguru Memanah; Analisa Gender dalam Perspektif Filsafat Manusia, tesis UGM, tahun 2004. Kritik Filsafat Eko Feminisme terhadap Konsep Kepemimpinan Suami dalam Keluarga, ditulis oleh Siti Fatimah, tesis UGM, tahun 2002. Penelitian tesis pasca sarjana Universitas Diponegoro Semarang tahun 2006. Johan Syamsi dengan judul Tinjauan Filosofis tentang HakHak Wanita menurut Doktrin Islam. Skripsi fakultas Filsafat UGM tahun 1981. Aziz Muslim dengan judul Emansipasi Perempuan dalam Diskursus Islam; Studi Analisis Terhadap Konsep Hijab Qasim al-Amin. Tesis program Magister IAIN Sunan Ampel, Surabaya, tahun 2005. Skripsi dengan judul Tinjauan secara Kefilsafatan terhadap Harkat dan Martabat Wanita, oleh Isnainy Hanim, Fakultas Filsafat UGM tahun 1983. Penelitian yang khusus membahas tentang tokoh Husein Muhammad di antaranya, penelitian yang dilakukan oleh Nanang Qosim
dengan judul
Hermeneutika Feminis Muslim; Studi Pemikiran Husein Muhammad, skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009. Kemudian juga oleh Bani Aziz Utomo dengan judul Konsep Adil dalam Poligami Perspektif KH. Husein Muhammad, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2008. Penelitian yang berjudul Wali Nikah dalam Pandangan KH. Husein Muhammad; Analisis Kritis terhadap Pemahaman KH. Husein Muhammad dalam Konsep Wali Nikah. Oleh Yuldi Hendri, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009. Penelitin dengan judul Pendidikan Fiqh Perempuan Di Pesantren; Sebuah Kajian Pemikiran KH. 10
Husein Muhammad. Dilakukan oleh Suroso, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 2008. Berbagai penelitian yang sudah di sebutkan di atas, menurut hemat peneliti, tema tentang Pemimpin Perempuan dalam Perspektif Feminisme Husein Muhammad dengan menggunakan pisau analisa filsafat, maka sangat layak untuk diteliti lebih jauh lagi dan dapat diyakini keasliannya.
F. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang dimaksud adalah upaya untuk memberikan penjelasan bahwa objek penelitian yang dilakukan penulis memiliki signifikansi yang sedemikian rupa secara intelektual-akademik, disertai data pendukung yang memadai. Pembahasan feminisme dalam Islam antara lain pernah dilakukan oleh Ashgar Ali Engineer, dalam bukunya Hak-hak Perempuan dalam Islam. Dalam buku ini banyak mengkaji atas hak-hak perempuan dalam perkawinan, perceraian, kepemilikan harta benda, pewarisan, pemeliharaan anak, pemberian kesaksian, ganjaran dan hukuman. Asghar Ali menempatkan kembali hak-hak perempuan dalam Islam dengan menitikberatkan pada kitab suci (Engineer, 1994: 8 – 23). Penelitian yang berbentuk buku dengan judul Kiai Husein Membela Perempuan ditulis oleh M. Nuruzzaman, sangat banyak mengutip penjelasan Husein Muhammad dalam menjawab sekian banyak permasalahan yang berhubungan dengan perempuan. Dalam buku ini ada kaitan yang cukup erat antara diskriminasi yang
11
dialami kaum perempuan dengan teks-teks keagamaan yang berkembang dalam dunia muslim (Nuruzzaman, 2005: 9). Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan gender adalah judul buku yang ditulis oleh Husein Muhammad. Buku ini membeberkan secara detail dan terperinci pemahaman-pemahaman dalam Islam yang cenderung membuat kaum perempuan dipinggirkan dan direndahkan, sekaligus bagaimana menyikapi persoalan tersebut dengan argumentasi agama melalui teks yang ada (Muhammad, 2001: xiv). Buku yang berjudul Setara di Hadapan Allah, merupakan buku yang ditulis bersama antara Riffat Hassan dan Fatima Mernissi. Buku ini sangat banyak mengkritisi tentang penciptaan perempuan dan laki-laki, kemudian yang beberapa hal yang menjadikan mereka (kaum perempuan) berada dalam kondisi yang marginal (Mernissi, 1996: xii). Mazhar ul-Haq Khan, dalam bukunya Wanita Islam Korban Patologi Sosial, menjelaskan konsep purdah atau hijab yang terjadi pada perempuan, dan juga tentang poligami, yang kesemuanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosiologis (Khan, 1994: 1). Buku yang ditulis oleh Hasjim Abbas, dengan judul Presiden Perempuan Perspektif Hukum Islam. Buku ini membahas dengan tuntas aspek-aspek yang mendasari perempuan untuk menjadi seorang pemimpin, beserta dengan teks-teks yang mendukung dan juga argumen-argumen yang menolaknya (Abbas, 2004: 135 – 140).
12
G. Landasan Teori Perkembangan feminisme tentu saja sejalan dengan dinamika hidup yang terjadi dalam masyarakat secara luas. Kesadaran itu muncul akibat adanya semacam gesekan yang selama ini selalu menomorduakan perempuan dibanding laki-laki, sehingga yang terjadi adalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan terhadap perempuan. Anehnya hal ini bukan semata-mata karena adanya faktor kodrat yang memang dimiliki perempuan, namun karena adanya penilaian sosial dan budaya yang selama ini membingkai kaum perempuan untuk menempati ruang tersebut. Penentuan jenis kelamin yang dimiliki oleh manusia, baik jenis perempuan maupun jenis laki-laki sebenarnya merupakan takdir yang harus diterima oleh setiap manusia, karena hal itu adalah mutlak pemberian Tuhan, bersifat kodrati, dan alami, oleh sebab itu menjadi perempuan maupun menjadi laki-laki adalah sesuatu yang tidak bisa diubah dan dibantah. Sedangkan penilaian terhadap kenyataan atau kondisi perempuan dan laki-laki yang ada dalam masyarakat adalah sepenuhnya konstruksi sosial dan budaya, inilah yang kemudian dinamakan dengan gender (Ilyas, 1997: 12 – 13). Perbedaan antara jenis kelamin atau seks dengan gender sangat jelas. Seks mempunyai pengertian sebagai sebuah sifat atau pembagian dua jenis kelamin manusia secara umum yang telah melekat secara umum pada masing-masing manusia dan hal itu telah ditentukan secara biologis. Contoh misalnya perempuan memiliki vagina, memiliki alat reproduksi seperti rahim, saluran untuk melahirkan, mempunyai
13
payudara untuk menyusui, dan lain sebagainya. Pada laki-laki misalnya mempunyai penis, dapat menghasilkan sperma, dan lain semacamnya. Ketentuan yang dimiliki perempuan dan laki-laki di atas adalah ketentuan yang bersifat biologis dan mesti melekat pada masing-masing jenis kelamin atau seks seseorang. Sedangkan pada persoalan gender adalah sifat yang melekat pada diri perempuan dan laki-laki karena konstruksi sosial dan kultural yang dialaminya selagi ia bersinggungan dengan kehidupannya dan bukan merupakan ketentuan dari Tuhan (Fakih, 2001: 8). Pemetaan yang bersifat gender atau adanya konstruksi sosial dan budaya inilah yang menempatkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang pada gilirannya memunculkan paham feminisme. Hakikatnya, feminisme lahir sebagai suatu refleksi filosofis dalam ranah mencari jalan keluar yang terbaik, bijaksana, penuh rasa kemanusiaan, dan memperhatikan keadilan kaum perempuan dalam kehidupannya (Smith, 2004: 228). Perjalanan feminisme sebagai sebuah wadah dalam menampung setiap aspirasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan dalam kehidupannya terbagi menjadi beberapa aliran. Secara umum beberapa aliran tersebut antara lain: 1. Feminisme Liberal Aliran ini mempunyai penegasan bahwa sebenarnya antara perempuan dan laki-laki adalah sama, memiliki hak yang sama dan memiliki kedudukan yang sama, hanya saja mereka (kaum perempuan) telah terpinggirkan selama ini dari kedudukan yang semestinya. Feminisme liberal memberikan landasan 14
teoritis akan kesamaan dalam hal potensi rasionalitas perempuan yang selama ini belum terjamah. Namun berhubung perempuan ditempatkan pada posisi bergantung pada laki-laki dan kiprahnya ditentukan dalam sektor domestik, maka yang lebih dominan dalam tumbuh perempuan adalah aspek emosional dibanding aspek rasional. Bila perempuan tidak bergantung pada laki-laki dan tidak berkiprah di sektor domestik, maka ia akan menjadi makhluk rasional seperti laki-laki (Megawangi, 1999: 118 – 119). 2. Feminisme Radikal Aliran ini mempunyai asumsi bahwa harus ada paradigma baru dalam menyoroti sekian banyak persoalan yang berhubungan dengan hak-hak perempuan. Mereka (para feminis radikal) yakin bahwa apabila tidak ada paradigma baru, atau hukum-hukum baru terhadap perempuan, maka perempuan selamanya akan senantiasa berada dalam posisi tidak adil, tidak setara, maupun selalu diselewengkan oleh laki-laki. Kaum feminisme radikal ingin menemukan suatu pemahaman baru, apa artinya menjadi perempuan yang semestinya, dan suatu cara yang sama sekali baru untuk hidup bagi perempuan di dalam dunia ini (Smith, 2004: 229). 3. Feminisme Marxis Aliran ini mempunyai pandangan bahwa sekian banyak ketertindasan yang dialami perempuan selama ini bukan bersumber dari dalam diri perempuan sendiri, namun bersumber dari sistem kapitalisme yang selama ini mengakar kuat di dalamnya, baik hal tersebut muncul dalam struktur sosial, 15
politik, ekonomi, dan budaya. Menurut mereka (para feminis marxis) tidak mungkin kaum perempuan akan memperoleh kesempatan yang sama seperti kaum laki-laki, akan memiliki kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki apabila mereka (kaum perempuan) masih tetap hidup dalam masyarakat yang berkelas (Ilyas, 1997: 18). 4. Feminisme Sosialis Aliran ini menitikberatkan pada proses penyadaran akan posisi perempuan yang tertindas secara terfokus. Menurut mereka (para feminis sosialis), nuansa kapitalisme tidak serta merta menjadi momok tunggal dari lahirnya keterbelakangan dan ketidakadilan yang terjadi pada perempuan, karena pada dasarnya setiap perempuan telah tertindas dari kelas apapun. Oleh sebab itu perlu adanya semacam penyadaran yang fokus dan menyeluruh untuk menghantam unsur-unsur yang menyebabkan ketertindasan terhadap perempuan tersebut secara serempak dan terstruktur. Timbulnya kesadaran akan hal ini dapat membuat kaum perempuan bangkit emosinya, dan secara kelompok diharapkan untuk mengadakan konflik langsung dengan kelompok yang sebelumnya mendominasi, yakni dalam hal ini adalah kaum laki-laki, sehingga demikian sistem patriakhi (sistem yang mengunggulkan pihak lakilaki dibanding kaum perempuan) yang selama ini menghambat ruang gerak perempuan akan runtuh dengan sendirinya (Ilyas, 1997: 21). 5. Feminisme Islam
16
Secara definitif, feminisme Islam merupakan alat analisis maupun gerakan yang bersifat historis dan kontekstual dalam menjawab masalahmasalah diskriminasi dan ketidakadilan yang terjadi pada kaum perempuan. Para feminis muslim ini menuduh ada kecenderungan misoginis (kebencian terhadap perempuan) dan patriarki (dominasi laki-laki) dalam penafsiran teksteks keagamaan klasik, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir keagamaan yang bias kepentingan laki-laki. Mereka (para feminis muslim) mencontohkan tentang kepemimpinan (dalam domestik maupun publik), persoalan nafkah, dan lain sebagainya, yang dapat menjadikan perempuan tidak dapat menentukan dirinya sendiri (An-Naim, 1994: 338 – 346). Istilah feminis muslim digunakan di sini karena orang yang menyuarakan tentang keadilan perempuan adalah orang yang beragama Islam. Kemudian juga, karena gugatan para feminis ini banyak menekankan pada kajian teks-teks agama (al-Quran dan Hadits). Para feminis muslim berasumsi bahwa pemahaman agama yang saat ini berkembang di masyarakat adalah pemahaman agama yang telah membentuk budaya dan pola pikir yang menimbulkan ketidakadilan gender. Oleh sebab itu, para feminis muslim banyak melakukan gugatan bahkan pembongkaran pada penafsiran ulama masa lalu yang dijadikan dasar argumentasi penafsiran yang menyebabkan ketidakadilan tersebut (Faiqoh, 2003: 78). Mereka (para feminis muslim) beranggapan diperlukan adanya penafsiran baru yang bersifat dialogis antara prinsip-prinsip keadilan dan 17
kesetaraan yang ada dalam teks-teks keagamaan (baik kitab suci maupun tradisi keagamaan yang lain) dengan realitas yang terjadi pada kaum perempuan dalam kehidupan sosialnya (Rahman, 1996: 202). Penelitian ini, mencoba untuk melakukan analisis terhadap objek yang dikaji yaitu tentang pemimpin perempuan dalam perspektif feminisme Husein Muhammad yang dibingkai dengan feminisme Islam. Dalam berbagai kesempatan Husein seringkali menghubungkan antara ketidakadilan dan diskriminasi kaum perempuan dengan teks-teks keagamaan. Feminisme agama, dalam hal ini Islam, memiliki karakter dan ciri khas yang berbeda dengan model atau aliran feminisme lainnya. Ciri khas dari feminisme Islam ini adalah dialog yang intensif antara prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang ada dalam teks keagamaan (al-Quran dan Hadits) dengan realitas perempuan dalam kehidupannya. Perubahan cara pandang dan interpretasi teks keagamaan adalah kata kunci yang paling penting dan merupakan tujuan feminisme Islam, untuk melawan kecenderungan tafsir-tafsir tradisional yang diskriminatif atau tidak adil, sehingga perempuan ditempatkan sebagai manusia kelas dua.
H. Metode Penelitian Metode pada dasarnya adalah untuk mendukung suatu kegiatan penyusunan karya ilmiah sehingga dapat tersusun dengan akurat dan terarah, sehingga adanya sebuah metode digunakan dalam rangka untuk menghasilkan suatu kegiatan penelitian yang optimal dan memuaskan. Dalam hal ini, metode sebenarnya 18
merupakan cara untuk bertindak secara sistematis dalam melakukan suatu penelitian (Bakker, 1990: 10). Penelitian ini merupakan penelitian pustaka atau library research yaitu suatu jenis penelitian yang berpijak pada penelusuran dan pengolahan data-data yang diambil dari literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga pada akhirnya mendapatkan asas-asas dan konsep yang menjadi objek penelitian (Katono, 1994: 54). 1. Bahan dan Materi Penelitian Objek formal yang terdapat dalam penelitian tesis ini adalah feminisme, khususnya feminisme dalam agama Islam terutama yang berkaitan dengan pemimpin perempuan, sedangkan objek materialnya adalah pemikiran atau pandangan tentang tokoh yang dibahas, dalam hal ini adalah Husein Muhammad. Bahan atau materi yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari bahan-bahan pustaka serta literatur-literatur yang relevan dengan topik yang akan dikaji yaitu tentang pemimpin perempuan dalam perspektif feminisme Husein Muhammad. Sumber data atau materi penelitian tersebut dibedakan menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Bahan utama atau sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari bahanbahan atau data-data yang dihasilkan atau ditulis oleh Husein Muhammad sendiri, antara lain:
19
a. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, diterbitkan oleh LKis, Yogyakarta, 2001. b. Membangun Fiqh yang Pro-Perempuan diterbitkan oleh Rahima bekerja sama dengan The Ford Foundation, 2001. c. Wajah Baru Kitab Syarah Uqud al-Lujjain, karya bersama Forum Kajian Kitab Kuning Jakarta, diterbitkan LKiS, Yogyakarta, 2001. d. Spiritualitas Kemanusiaan; Perspektif Islam Pesantren, di terbitkan oleh LKiS, Yogyakarta, 2005 e. Dawrah Fiqh Perempuan; Modul Kursus Islam dan Gender, tulisan bersama, diterbitkan oleh Fahmina Institute, Cirebon, 2006. f. Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, di terbitkan oleh LKiS, Yogyakarta, 2007. g. Ijtiihad Kyai Husein; Upaya Membangun Keadilan diterbitkan oleh LKiS, 2011. Bahan atau materi yang sifatnya sekunder adalah sumber data penelitian yang kedua setelah primer. Sumber data ini hakikatnya berupa dokumentasi yang berasal dari buku-buku, artikel, majalah serta bahan-bahan lainnya yang turut menunjang dalam kegiatan penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini antara lain: a. Agus Purwadi. Islam Dan Problem Gender; Telaah Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah. Ditya Media, Yogyakarta. 2000. 20
b. Asghar Ali Engineer. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Yang diterjemahkan oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. 1994. c. Charles Khurzman. Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontenporer tentang Isu-isu Global. Paramadina, Jakarta. 2001. d. Fatima Mernissi dan Riffat Hassan. Setara dihadapan Allah. LSPPA, Yogyakarta. 1996. e. Fatima Mernissi. Wanita Didalam Islam. Pustaka, Bandung. 1994. f. Hadari Nawawi. Kepemimpinan Menurut Islam. Gama University Press Yogyakarta. 1993. g. Hasjim Abbas. Presiden Perempuan Perspektif Hukum Islam. Kutub. Yogyakarta. 2004. h. Linda Smith dan William Rapper. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Diterjemahkan oleh Hardono Hadi. Kanisius, Yogyakarta. 2004. i. M. Nuruzzaman. Kiai Husein Membela Perempuan. Pustaka Pesantren, Yogyakarta. 2005. j. Mansour Fakih. Membicang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam. Risalah Gusti. Surabaya. 2000. k. Mazhar ul-Haq Khan. Wanita Islam Korban Patologi Sosial. diterjemahkan oleh Luqman Hakim. Pustaka, Bandung. 1994.
21
l. Musdah Mulia dan Anik Farida. Perempuan dan Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2005. m. Musdah Mulia. Fikrah; Gerakan Feminisme Di Indonesia. Jurnal AlIbrah,Vol. 1. 2003. UIN SUKA, Yogyakarta. n. Ratna Megawangi. Membiarkan Berbeda; Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Mizan, Bandung. 1999. o. Riffat Hassan. Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam. Dalam jurnal Ulumul Quran No. 3 Vol. V. 1994. Diterbitkan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta. p. Yunahar Ilyas. Feminisme Dalam Kajian Tafsir Klasik dan Kontenporer. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 1997. q. Yunahar Ilyas. Kesetaraan Gender dalam al-Quran: Studi Pemikiran Para Mufasir. 2006. Labda Press, Yogyakarta. r. Zaitunah Subhan Kodrat Perempuan; Takdir atau Mitos. Pustaka Pesantren, Yogyakarta. 2004. s. Zaitunah
Subhan.
Kekerasan
Terhadap
Perempuan.
Pustaka
Pesantren, Yogyakarta. 2004. t. Zaitunah Subhan. Perempuan dan Politik Dalam Islam. Pustaka Pesantren, Yogyakarta. 2004. 2. Jalan Penelitian a. Pengumpulan data.
22
Pengumpulan data yang dimaksud adalah mengumpulkan data sebanyak-banyaknya tentang pemimpin perempuan dalam perspektif feminisme Husein Muhammad, baik data primer maupun data sekunder. b. Klasifikasi data. Klasifikasi data adalah mengolah data yang telah ada kemudian diklasifikasikan berdasarkan tema kemudian disusun ke dalam bentuk yang lebih tertata dan sistematis. c. Analisis data. Analisis data maksudnya, setelah data di klasifikasi dengan sedemikian rupa, maka data tersebut di analisis menurut metode yang telah pilih. d. Interpretasi data. Interpretasi data mempunyai pengertian, setelah data di analisis, maka data tersebut penting untuk di interpretasi agar mampu mengungkap makna yang terkandung dalam objek penelitian yaitu mengenai pemimpin
perempuan
dalam
perspektif
feminisme
Husein
Muhammad. 3. Analisis Hasil Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang selalu berkaitan dengan data, baik dalam bentuk buku, artikel, dan lain sebagiannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutika. Metode ini adalah 23
suatu analisis yang menggunakan refleksi secara mendasar disertai dengan pemahaman dan penafsiran terhadap objek yang diteliti atau dikaji (Bakker dan Zubair, 1990: 63 – 65). Unsur-unsur hermeneutis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
pertama,
deskripsi,
unsur
ini
digunakan
untuk
mendeskripsikan secara teratur pokok-pokok pikiran Husein Muhammad tentang pemimpin perempuan. Kedua, interpretasi, unsur ini digunakan untuk menyelami karya-karya yang diteliti atau dikaji dalam rangka menangkap arti dan nuansa yang dimaksudkan oleh Husein Muhammad secara khas. Ketiga, induksi dan deduksi, kedua unsur ini digunakan untuk membuat analisis mengenai semua konsep pokok satu per satu (induksi) agar terbangun suatu sintesis. Kemudian melalui jalan sebaliknya yakni deduksi yang bertolak dari visi dan gaya umum, kemudian dipahami dengan lebih baik dan lebih detail dari konsep pemikiran Husein Muhammad. Keempat. koherensi internal, digunakan untuk menentukan keterkaitan antara pandangan feminisme Husein Muhammad tentang pemimpin perempuan. Kelima, heuristika, suatu cara untuk menemukan jalan baru atau pemahaman baru secara ilmiah. Dalam penelitian ini, penemuan pemahaman baru diperoleh setelah mengkaji pemikiran Feminisme Husein Muhammad, utamanya dalam persoalan pemimpin perempuan.
24
I. Sistematika Pembahasan Supaya penelitian dalam bentuk tesis ini dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan utuh, maka sistematika pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab Pertama, merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat dari penelitian. Kemudian juga keaslian penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab Kedua, merupakan uraian singkat tentang tokoh yang akan dikaji dalam penelitian tesis ini yaitu Husein Muhammad, berupa sejarah kelahirannya, latar belakang sosial dan pendidikannya, karir dan karya-karya yang telah dihasilkan, pengalaman dan perjuangannya selama ini, kemudian juga kaitan Husein Muhammad dengan feminisme. Bab Ketiga, seputar wacana tentang feminisme dan pemimpin perempuan, yang membahas definisi feminisme, sejarah lahirnya feminisme di dalam Islam, dan juga tokoh-tokoh feminis Islam yang pemikirannya banyak mengilhami pandangan muslim. Pemimpin perempuan dalam dunia muslim serta kedudukan perempuan atau status pemimpin perempuan dalam Islam. Bab Empat, adalah dasar-dasar filosofis pemikiran pemimpin perempuan. Dalam bab ini antara lain membahas tentang dasar ontologi pemimpin perempuan, dasar epistemologi pemimpin perempuan, dan juga dasar aksiologi pemimpin perempuan. 25
Bab Kelima, merupakan pandangan dan urgensi pemikiran Husein Muhammad tentang pemimpin perempuan. Bab Keenam, adalah penutup yang berisi kesimpulan dalam pembahasan ini, kemudian juga disertai saran dan kritik yang mungkin dapat dikemukakan dalam rangka untuk menyempurnakan penelitian ini.
26