BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Peranan Sektor Transportasi dalam Pembangunan Adanya pembangunan dalam segala bidang baik ekonomi, fisik maupun budaya merupakan ciri dari negara yang sedang berkembang. Dalam pembangunan tersebut, prasarana transportasi memiliki peranan sentral sebagai sistem penghubung antara satu daerah dengan daerah lainnya. Walau bukan merupakan
satu-satunya
prasarana
yang
penting,
prasarana
transportasi
merupakan suatu syarat yang perlu (necessary condition) bagi ekonomi suatu daerah untuk berkembang (LPM-ITB,1997). Fungsi ini sangat efektif khususnya di bidang jaringan jalan, mengingat sifatnya yang dapat melayani kebutuhan transportasi door to door yang praktis dan tidak dapat disamakan dengan sistem jaringan transportasi lainnya. Secara umum peranan sistem transportasi dapat dibedakan menjadi dua (LPM-ITB,1997), yaitu: 1.
Membangkitkan kebutuhan (Generate the demand) Peran transportasi dalam membangkitkan kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat jelas. Namun peranan ini dapat bervariasi tingkat kontribusinya dari suatu daerah ke daerah lainnya.
2.
Mengikuti pertumbuhan kebutuhan (Follow the demand) Pada daerah-daerah yang sangat berkembang ekonominya, kekuatan pasar akan menentukan prasarana transportasi atau perkembangan sistem transportasi akan mengikuti tuntutan aktivitas ekonomi.
7
8
2.2 Pergerakan di Wilayah Perkotaan Pada dasarnya pergerakan yang terjadi di wilayah perkotaan dikarenakan adanya sebaran spasial pola tata guna lahan untuk berbagai aktivitas masyarakat. Hal ini menyebabkan terpisahnya satu lokasi aktivitas dengan aktivitas lainnya yaitu: pemukiman, perkantoran, pendidikan, rekreasi dan sebagainya sehingga membutuhkan adanya pergerakan. Dalam ilmu transportasi, pergerakan dalam suatu wilayah terbentuk berdasarkan karakteristik non spasial dan spasial (Morlok, 1991). Karakteristik pergerakan non spasial berkaitan dengan beberapa aspek yaitu: 1.
Sebab terjadinya pergerakan Dapat dibedakan menurut maksud perjalanan sesuai karakteristik dasarnya yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Pergerakan dengan maksud ekonomi merupakan pergerakan ke dan dari tempat kerja untuk pergerakan yang berkaitan dengan bekerja, ke dan dari pusat perbelanjaan untuk pergerakan yang berkaitan dengan berbelanja atau bisnis dan pergerakan untuk kepentingan pribadi. Pergerakan dengan maksud sosial dapat berupa pergerakan ke dan dari rumah teman, ke dan dari tempat pertemuan bukan rumah. Pergerakan dengan maksud pendidikan adalah pergerakan ke dan dari sekolah, kampus serta tempat lain untuk kegiatan pendidikan. Pergerakan dengan maksud rekreasi berupa pergerakan ke dan dari tempat rekreasi atau pergerakan dengan kepentingan hiburan.
9
2.
Waktu terjadinya pergerakan Waktu terjadinya pergerakan sangat tergantung pada kapan seseorang melakukan aktivitas dalam kesehariannya. Dengan demikian waktu perjalanan sangat tergantung dari maksud perjalanan. Perjalanan dengan maksud bekerja biasanya mengikuti waktu kerjanya, perjalanan dengan maksud pendidikan umumnya mengikuti pola waktu pendidikannya dan perjalanan dengan maksud berbelanja memiliki pola menyebar. Jika ditinjau secara keseluruhan maka pola perjalanan harian masyarakat perkotaan pada dasarnya merupakan gabungan dari pola perjalanan dengan maksud bekerja, pendidikan, berbelanja serta kegiatan sosial lainnya.
3.
Jenis moda yang digunakan Dalam menentukan pilihan jenis moda yang akan digunakan akan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain: maksud perjalanan, jarak tempuh, biaya dan tingkat kenyamanan. Untuk perjalanan dengan jarak dekat (< 2 km) umumnya seseorang cenderung memilih untuk berjalan kaki walaupun ada beberapa orang yang menggunakan kendaraan. Adanya peningkatan jarak perjalanan mengakibatkan seseorang menggunakan kendaraan. Karakteristik pergerakan spasial berkaitan dengan aspek sebagai berikut:
1.
Pola perjalanan orang Pola perjalanan orang pada kawasan perkotaan sangat dipengaruhi oleh pola sebaran tata guna lahan dari suatu kota. Sebaran spasial dari lokasi industri,
10
perkantoran, pendidikan, pemukiman dan pertokoan sangat mempengaruhi pola perjalanan orang. 2.
Pola perjalanan barang Pola perjalanan barang sangat dipengaruhi oleh aktivitas produksi dan konsumsi, dimana sangat tergantung dari pola sebaran tata guna lahan pemukiman, industri, pertanian dan perkebunan.
2.3 Pengertian Persimpangan Persimpangan (Intersection) merupakan daerah pertemuan dua atau lebih ruas jalan yang saling bergabung, berpotongan atau bersilangan. Persimpangan juga dapat diartikan sebagai pertemuan antara dua jalan atau lebih, baik sebidang maupun tidak sebidang atau titik jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan jalan saling berpotongan (Morlok, 1991). Persimpangan direncanakan untuk mengurangi konflik antara kendaraan bermotor dengan tidak bermotor serta penyediaan fasilitas yang memberikan kemudahan, kenyamanan dan keselamatan terhadap pemakai jalan.
2.3.1 Jenis persimpangan Persimpangan dapat dibedakan menjadi: 1.
Persimpangan sebidang (At Grade Intersection) Merupakan pertemuan dua atau lebih jalan raya dalam satu bidang yang memiliki elevasi yang sama. Desain persimpangan jenis ini berbentuk huruf T, huruf Y, persimpangan empat kaki dan persimpangan dengan banyak kaki.
11
2.
Persimpangan tak sebidang (Grade Separate Intersection) Merupakan persimpangan dimana jalan yang satu dengan jalan yang lainnya tidak saling bertemu dalam satu bidang dan memiliki perbedaan elevasi antara keduanya. Berdasarkan keberadaan sinyalnya maka persimpangan dibagi menjadi:
1.
Simpang tidak bersinyal (Unsignaled Intersection) Pada umumnya simpang tak bersinyal dengan pengaturan hak jalan prioritas dari sisi kiri. Simpang jenis ini digunakan pada daerah pemukiman perkotaan dan daerah pedalaman untuk persimpangan antara jalan lokal dengan arus lalu lintas rendah.
2.
Simpang bersinyal (Signaled Intersection) Penggunaan sinyal dengan lampu tiga warna (merah, kuning dan hijau) yang diterapkan untuk memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu lintas yang saling bertentangan dalam dimensi waktu.
2.3.2 Persimpangan tak sebidang Pembangunan persimpangan tak sebidang atau susun dilakukan untuk memperbesar kapasitas jalan, menambah keamanan dan kenyamanan bagi pemakai jalan serta kebutuhan dalam pengontrolan jalan masuk pada jalan TOL (Tax On Location) dan jalan bebas hambatan (freeway). Bentuk simpang tidak sebidang dapat berupa jembatan layang (flyover), terowongan (underpass) dan persilangan yang dapat berpindah dari ruas yang satu ke ruas yang lain (interchange).
12
Beberapa jenis persimpangan tak sebidang adalah sebagai berikut: 1.
Persimpangan tidak sebidang tipe diamond Simpang tidak sebidang tipe diamond merupakan yang paling sederhana dan paling murah. Biasanya digunakan pada persimpangan antara jalan bebas hambatan dengan jalan arteri tidak bebas hambatan.
2.
Persimpangan tidak sebidang tipe semanggi parsial Persimpangan tipe ini digunakan pada pertemuan antara jalan utama dengan jalan lokal. Simpang akan berfungsi secara maksimal bila terdapat banyak rambu lalu lintas untuk mengarahkan dan menuntun kendaraan.
3.
Persimpangan tidak sebidang tipe semanggi Simpang tidak sebidang tipe semanggi merupakan bentuk yang paling umum digunakan pada perpotongan antara jalan bebas hambatan dan jalan arteri tidak bebas hambatan atau pertemuan dua jalan raya utama.
4.
Persimpangan tidak sebidang tipe langsung (Directional Interchange) Simpang tipe ini merupakan bentuk simpang susun langsung yang sesuai digunakan pada pertemuan antara dua jalan bebas hambatan.
5.
Persimpangan tidak sebidang tipe huruf Y Bentuk simpang tipe ini menyerupai huruf Y dan hanya diperlukan satu pemisah tak sebidang guna menghindari terjadinya perpotongan arus lalu lintas yang sebidang dalam perencanaannya.
6.
Persimpangan tidak sebidang tipe huruf T atau terompet Simpang tidak sebidang tipe ini memperlihatkan pola simpang berbentuk terompet atau huruf T, idealnya digunakan pada daerah pertigaan.
13
7.
Persimpangan tidak sebidang tipe bundaran Persimpangan jenis ini menggabungkan bundaran (rotary intercection) dengan lalu lintas atas (over crossing) atau lalu lintas bawah (under crossing).
2.3.3 Pengaturan persimpangan Faktor penting dalam menentukan kapasitas jaringan jalan pada jalan perkotaan adalah persimpangan. Pengaturan persimpangan sebaiknya dilakukan secara berhirarki menurut volume lalu lintas yang melewatinya. Hirarki pengaturan ialah tanpa pengaturan, prioritas, bundaran, lampu lalu lintas dan persimpangan tidak sebidang untuk volume tertinggi atau persilangan antara jalan utama dengan rel kereta api (Dirjen Perhubungan Darat, 1998). Uraian mengenai hirarki pengendalian simpang berdasarkan volume lalu lintas adalah sebagai berikut: 1.
Jika arus minor (kendaraan/hari) kurang dari 9.000 kend/hari dan arus mayor kurang dari 45.000 kend/hari maka digunakan persimpangan prioritas.
2.
Jika arus minor (kendaraan/hari) lebih dari 9.000 kend/hari dan kurang dari 12.000 kend/hari sedangkan di arus mayor kurang dari 40.000 kend/hari maka digunakan pengaturan lalu lintas dengan bundaran.
3.
Jika arus minor (kendaraan/hari) lebih dari 12.000 kend/hari maka digunakan pengaturan menggunakan persimpangan tidak sebidang. Semakin tinggi tingkat kompleksitas simpang maka semakin tinggi pula
kebutuhannya. Berdasarkan sisi pandang kontrol kendaraan maka pengaturan persimpangan dibagi menjadi:
14
1.
Persimpangan tanpa sinyal, dimana pengemudi kendaraan sendiri yang memutuskan apakah aman atau tidak memasuki persimpangan. Pengaturan simpang tanpa sinyal dibedakan menjadi: a.
Aturan prioritas Pergerakan arus lalu lintas pada simpang yang saling berpotongan dari ruas-ruas jalan yang mempunyai kelas yang sama di Indonesia, diutamakan untuk kendaraan yang datang dari sisi kiri walaupun kenyataannya ketentuan ini tidak berjalan.
b.
Rambu dan marka 1.
Rambu mengalah (Yield) berfungsi melindungi arus lalu lintas dari salah satu ruas jalan pada ruas jalan yang saling berpotongan tanpa arus berhenti sama sekali.
2.
Rambu berhenti digunakan jika pengendara pada kaki simpang berhenti penuh sebelum memasuki simpang dan digunakan pada daerah pertemuan antara jalan minor dengan jalan mayor.
3.
Kanalisasi adalah daerah perkerasan yang lebih luas, dimana melayani gerakan membelok pada kanal yang banyak sementara badan jalan diberi tanda panah dan garis untuk membantu manuver kendaraan, biasanya diperlukan pula pemisah fisik dengan membangun pulau lalu lintas serta disediakan ruang cadangan untuk pengontrolan sudut pendekatan dan kecepatan kendaraan dengan mengarahkan
arus
sehingga
memudahkan
pengemudi
memberikan kemudahan dalam pengoperasian kendaraan.
dan
15
4.
Bundaran dianggap sebagai kasus istimewa dari kanalisasi yang pulau ditengahnya dapat bertindak sebagai pengontrol pembagi dan pengarah untuk sistem lalu lintas satu arah, bertujuan melayani gerakan menerus namun sangat tergantung dari kapasitas dan luas area yang diperlukan.
2.
Persimpangan dengan sinyal Persimpangan menurut sistem dengan tiga aspek lalu lintas (merah, kuning dan hijau). Dalam menghindari terjadinya arah pergerakan yang saling berpotongan atau melalui titik konflik pada saat bersamaan maka waktu pergerakan dipisahkan. Kriteria yang menentukan bahwa suatu simpang memerlukan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) adalah (Dirjen Perhubungan Darat, 1998): a. Arus lalu lintas minimal yang menggunakan persimpangan rata–rata diatas 750 kendaraan/hari selama 8 jam secara kontinu. b. Waktu tunggu atau hambatan rata–rata kendaraan di persimpangan telah melampaui 30 detik. c. Persimpangan digunakan oleh rata–rata lebih dari 175 pejalan kaki/jam selama 8 jam secara kontinu. d. Seringkali terjadi kecelakaan pada persimpangan. e. Pada daerah yang bersangkutan dipasang suatu sistem pengendalian lalu lintas terpadu (Area Traffic Control/ATC) sehingga tiap persimpangan yang termasuk didalam daerah yang bersangkutan harus dikendalikan dengan APILL.
16
f. Atau merupakan kombinasi dari sebab-sebab diatas.
2.3.4 Kinerja persimpangan 2.3.4.1 Kapasitas dan derajat kejenuhan persimpangan Kapasitas merupakan arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan (Departemen PU, 1997). Kapasitas pada simpang dihitung pada tiap pendekat ataupun kelompok lajur dalam suatu pendekat. Nilai kapasitas simpang (C) ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: C = S
g ................................................................................................. (2.1) c
Dimana : C
=
Kapasitas simpang (smp/jam)
S
=
Arus jenuh (smp/jam hijau)
g
=
Waktu hijau (detik)
c
=
Waktu siklus (detik)
Nilai derajat kejenuhan (DS) dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
DS =
Q .................................................................................................... (2.2) C
Dimana : DS =
Derajat kejenuhan
Q =
Arus lalu lintas (smp/jam)
C
Kapasitas (smp/jam)
=
17
Hal terpenting dalam konsep kapasitas adalah nilai kritis V/C yang merupakan rasio V/C untuk simpang sebagai acuan. Nilai V/C bervariasi dari satu, dimana arus lalu lintas sama dengan kapasitas (V = C) sampai nilai V/C sama dengan nol (V/C = nol). Nilai V/C yang lebih besar dari satu (V/C > 1,00) menunjukan adanya ketidakmampuan kapasitas dalam melayani arus lalu lintas. Hal ini terjadi bila arus lalu lintas melampaui kapasitas simpang ataupun proyeksi arus lalu lintas melampaui kapasitas simpang. 2.3.4.2 Panjang antrean dan kendaraan henti Panjang antrean merupakan banyaknya kendaraan yang berada pada persimpangan tiap jalur saat nyala lampu merah (Departemen PU, 1997). Panjang antrean dalam kinerja persimpangan digunakan untuk mengetahui panjang antrean maksimum kendaraan dalam sekali waktu siklus pada persimpangan. Persamaan pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) dalam menentukan rata-rata panjang antrean adalah sebagai berikut (Departemen PU, 1997): Untuk DS > 0,5 maka: NQ1 = 0,25 C (DS 1) ( DS 1) 2 8
( DS 0,5) ............... (2.3) C
Untuk DS < 0,5 NQ1= 0 Dimana : NQ1 =
Jumlah smp yang tersisa dalam fase hijau sebelumnya
DS =
Derajat kejenuhan
C
Kapasitas (smp/jam)
=
18
Jumlah antrean selama fase merah (NQ2) dihitung dengan persamaan sebagai berikut: NQ2 = c
Q 1 GR masuk ...................................................... (2.4) 1 GR DS 3600
Dimana : NQ2
=
Jumlah smp yang datang pada fase merah
GR
=
Rasio hijau, dimana GR = g/c
DS
=
Derajat kejenuhan
g
=
Waktu hijau (detik)
c
=
Waktu siklus (detik)
Qmasuk
=
Arus lalu lintas yang masuk diluar belok kiri langsung (LTOR) (smp/jam)
Jumlah kendaraan antre menjadi: NQ
= NQ1 + NQ2 ............................................................................ (2.5)
Maka panjang antrean kendaraan adalah mengalikan NQmax dengan luas rata-rata yang dipergunakan per smp (20 m2) kemudian dibagi dengan lebar masuknya (Wentry). NQmax didapat dengan menyesuaikan nilai NQ dalam peluang yang diinginkan untuk terjadi pembebanan lebih POL (%) dengan menggunakan Gambar 2.1. Untuk perencanaan dan perancangan disarankan POL ≤ 5%, untuk operasi suatu nilai POL = 5-10% mungkin dapat diterima: QL = (NQmax x 20)/ Wentry ................................................................... (2.6)
19
PELUANG UNTUK PEMBEBANAN LEBIH POL
Gambar 2.1 Angka Henti (NS) Masing-Masing Pendekat yang Didefinisikan sebagai Jumlah Berhenti Rata-Rata Per Kendaraan (Termasuk Berhenti Berulang Dalam Antrean) sebelum Melewati Persimpangan Sumber : Departemen PU, 1997 Dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
NS = 0,9
NQ 3600 .................................................................. (2.7) Qc
Dimana : Q
=
Arus lalu lintas (smp/jam)
c
=
Waktu siklus (detik)
Jumlah kendaraan terhenti (NSV) dihitung dengan persamaan sebagai berikut: NSV = Q x NS (smp/jam) ……………………………………………. (2.8)
20
Laju henti untuk seluruh simpang (NStotal) dihitung dengan persamaan sebagai berikut: NSTotal =
N SV ................................................................................. (2.9) Qtotal
2.3.4.3 Tundaan (delay) Tundaan merupakan waktu tambahan yang diperlukan untuk melalui persimpangan bila dibandingkan lintasan tanpa melalui persimpangan. Indikator yang digunakan dalam menentukan baik buruknya kinerja persimpangan adalah tundaan. Tingkat pelayanan suatu persimpangan ditentukan dari tundaannya. Ada dua komponen pada tundaan dalam persimpangan yaitu: tundaan lalu lintas (DT) dan tundaan geometrik (DG): DJ
= DTJ + DGJ ............................................................................... (2.10)
Dimana : DJ
1.
=
Tundaan rata-rata pendekat j (detik/smp)
DTJ =
Tundaan lalu lintas rata-rata pendekat j (detik/smp)
DGJ =
Tundaan geometrik rata-rata pendekat j (detik/smp)
Tundaan lalu lintas (DT) merupakan waktu menunggu yang disebabkan oleh interaksi antar lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan dengan persamaan sebagai berikut: DTJ = c A Dimana:
NQ1 3600 .................................................................... (2.11) CJ
21
2.
A
=
0,5 (1 GR J ) 2 (1 GR J DS J )
c
=
Waktu siklus (detik)
C
=
Kapasitas (smp/jam)
DS
=
Derajat kejenuhan
A
=
Konstanta
GR
=
Rasio hijau, dimana GR = g/c
NQ1
=
Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
Tundaan geometrik merupakan tundaaan yang disebabkan oleh perlambatan dan percepatan kendaraan yang membelok di persimpangan dan/atau yang terhenti oleh lampu merah. DGJ = (1-PSV) x Pt x 6 + (PSV x 4) ............................................................. (2.12) Atau masukan DGJ rata-rata 6 dtk/smp (Departemen PU, 1997) untuk tundaan geometrik lalu lintas dengan LTOR. PSV
=
Rasio kendaraan terhenti pada pendekat
Pt
=
Rasio kendaraan berbelok pada pendekat
2.3.4.4 Tingkat pelayanan simpang Tingkat pelayanan simpang merupakan suatu ukuran kualitatif yang memberikan gambaran bagi pengguna jalan mengenai kondisi lalu lintas. Aspek dari tingkat pelayanan dapat berupa kecepatan dan waktu tempuh, kepadatan, tundaan, kenyamanan dan lain-lain. Pada analisis kapasitas didefinisikan dalam enam tingkat, yang terbaik adalah tingkat pelayanan A, sedangkan yang terburuk
22
adalah F. Hubungan tundaan dengan tingkat pelayanan sebagai acuan penilaian simpang dapat dilihat dari Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kriteria Tingkat Pelayanan Simpang Tundaan (dtk/smp)
Tingkat Pelayanan
≤ 5,0
A
> 5,0 dan ≤ 15,0
B
> 15,0 dan ≤ 25,0
C
> 25,0 dan ≤ 40,0
D
> 40,0 dan ≤ 60,0
E
> 60,0
F
Sumber : Transportation Research Board, 1994 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hubungan tingkat pelayanan simpang dengan tundaan adalah sebagai berikut: 1.
Tingkat pelayanan A Operasi lalu lintas pada persimpangan memiliki tundaan yang sangat rendah (≤ 5,0 dtk/smp). Hal ini terjadi bila sebagian besar kendaraan datang pada fase hijau sehingga banyak kendaraan yang tidak berhenti. Panjang siklus yang juga dapat menghasilkan tundaan yang rendah (sangat lancar).
2.
Tingkat pelayanan B Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang > 5,0 dan ≤ 15,0 dtk/smp. Biasanya hal ini terjadi bila panjang siklus pada simpang pendek. Kendaraan berhenti lebih banyak dari tingkat pelayanan A dan menghasilkan tundaan rata-rata tinggi (lancar).
23
3.
Tingkat pelayanan C Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang >15,0 dan ≤ 25,0 dtk/smp. Tundaan yang lebih besar ini dihasilkan oleh siklus yang lebih panjang. Pada tingkat pelayanan ini jumlah kendaraan yang berhenti adalah signifikan meski tetap cukup banyak kendaraan yang terus melalui simpang tanpa harus berhenti (cukup lancar).
4.
Tingkat pelayanan D Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang > 25,0 dan ≤ 40,0 dtk/smp. Pada tingkat pelayanan ini pengaruh dari kemacetan sudah lebih terlihat. Tundaan yang lebih besar dihasilkan dari kombinasi panjang dan siklus yang lebih rendah dan rasio V/C > 0,75-0,90. Banyak kendaraan yang harus berhenti pada simpang (mendekati macet).
5.
Tingkat pelayanan E Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang > 40,0 dan ≤ 60,0 dtk/smp. Pada tingkat pelayanan ini dijadikan sebagai batas tundaan yang masih dapat diterima. Tundaan yang lebih besar ini dihasilkan dari panjang siklus yang panjang serta rasio V/C mendekati 1,00 (macet).
6.
Tingkat pelayanan F Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan yang lebih besar dari 60,0 dtk/smp. Pada tingkat pelayanan F tundaan sudah tidak dapat diterima, hal ini disebabkan oleh kejenuhan pada simpang akibat arus yang melalui simpang
24
melampaui kapasitas simpang dan juga dapat terjadi bila nilai V/C > 1,00 atau juga waktu siklus yang terlalu panjang (sangat macet).
2.4 Prediksi Lalu Lintas 2.4.1 Arus dan komposisi lalu lintas Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu ruas jalan pada periode waktu tertentu. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu titik pengamatan pada suatu ruas jalan dalam satu hari (Departemen PU, 1997). Berdasarkan cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis LHR yaitu: Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT) dan LHR. LHRT merupakan arus lalu lintas rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahun. LHR merupakan arus lalu lintas yang diperoleh selama pengamatan dibagi dengan lamanya waktu pengamatan. LHR dan LHRT dinyatakan dalam satuan kendaraan/hari/arah. Sedangkan Volume Jam Perencanaan (VJP) adalah arus jam puncak yang digunakan untuk perancangan (design) dan perencanaan (planning). Besarnya nilai VJP dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut (Saodang, 2004): VJP
= LHRT x K/F ............................................................................ (2.13)
Dimana : VJP
=
LHRT =
Volume jam perencanaan (smp/jam) Lalu lintas harian rata-rata tahunan (smp/hari)
25
K
=
Faktor volume lalu lintas jam sibuk (%)
F
=
Faktor variasi tingkat lalu lintas per-1/4 jam, dalam satu jam
Adapun nilai K seperti rumus diatas dipengaruhi oleh besarnya volume lalu-lintas harian yang ditunjukkan pada dibawah: Tabel 2.2 Penentuan Faktor-K dan Faktor-F LHR (smp/hari)
Faktor-K (%)
Faktor-F (%)
> 50.000
4,00 - 6,00
0,9 – 1
30.000 - 50.000
6,00 - 8,00
0,8 – 1
10.000 - 30.000
6,00 - 8,00
0,8 – 1
5.000 - 10.000
8,00 - 10,00
0,6 - 0,8
1.000 - 5.000
10,00 - 12,00
0,6 - 0,8
1.000
12,00 - 16,00
< 0,6
Sumber : Departemen PU, 1997 Untuk menghitung LHRT harus tersedia data jumlah kendaraan yang terus menerus selama satu tahun penuh. Mengingat keterbatasan biaya dan membandingkan ketelitian yang dicapai serta tidak semua tempat di Indonesia mempunyai volume lalu lintas selama satu tahun penuh maka untuk kondisi tersebut dapat digunakan lalu lintas harian rata-rata. LHR atau LHRT untuk perencanaan jalan baru didapat dari analisa data yang diperoleh berdasarkan survei volume lalu lintas (traffic counting) dan survei asal tujuan di jalan tersebut atau jalan sekitarnya untuk pembangunan jalan baru. Tipe kendaraan dikelompokkan menjadi: 1.
Kendaraan ringan (Light Vehicle/LV) meliputi: mobil penumpang, opelet, mikrobis, pick up dan truk kecil.
26
2.
Kendaraan berat (Heavy Vehicle/HV) meliputi: truk dan bus.
3.
Sepeda motor (Motorcycle/MC) meliputi: kendaraan bermotor beroda dua atau termasuk sepeda motor dan sekuter.
4.
Kendaraan tak bermotor meliputi: kendaraan beroda yang menggunakan tenaga manusia atau hewan termasuk sepeda, becak, kereta kuda dan gerobak atau kereta dorong. Akibat bervariasinya komposisi kendaraan pada suatu ruas jalan maka
diperlukan adanya konversi satuan. Untuk memperoleh volume lalu lintas dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) dibutuhkan faktor konversi dari berbagai jenis kendaraan menjadi kendaraan penumpang. Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) digunakan untuk merubah berbagai jenis kendaraan dalam arus lalu lintas ke dalam smp. Nilai emp untuk kendaraan ringan besarnya selalu 1,00. Besarnya nilai emp untuk tiap-tiap kendaraan pada jalan perkotaan dapat dilihat dari Tabel 2.3 dan Tabel 2.4 di bawah ini: Tabel 2.3 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi Arus Lalu Tipe Jalan Jalan Tak Terbagi
Lintas Total Dua Arah (kend/jam)
Dua lajur tak
EMP HV
MC
Lebar Jalur Lalu Lintas (Wc) ≤6m
>6m
0
1,3
0,5
0,4
terbagi (2/2 UD)
≥ 1800
1,2
0,35
0,25
Empat lajur tak
0
1,3
0,4
terbagi (4/2 UD)
≥ 3700
1,2
0,25
Sumber : Departemen PU, 1997
27
Tabel 2.4 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang untuk Jalan Perkotaan Terbagi Tipe Jalan
Arus Lalu Lintas
Jalan Satu Arah dan
Per Lajur
Jalan Terbagi
(kend/jam)
Dua lajur satu arah (2/1) Empat lajut terbagi (2/4 D) Tiga lajur satu arah (3/1) Enam lajur terbagi (6/2 D)
EMP HV
MC
0
1,3
0,40
≥ 1050
1,2
0,25
0
1,3
0,40
≥ 1100
1,2
0,25
Sumber : Departemen PU, 1997
2.4.2 Metode prediksi arus lalu lintas Prediksi arus lalu lintas didasarkan atas arus lalu lintas saat ini pada jalan eksisting sebagai data awal dan menganalisis kebutuhan perjalanannya untuk menghasilkan proyeksi lalu lintas yang akan melalui jalan rencana. Secara kualitatif prediksi arus lalu lintas dapat memberikan gambaran umum tentang pola arus lalu lintas sehingga sangat penting bagi instansi terkait maupun perencana dalam menetapkan kebijakan pembinaan jaringan jalan, mengambil keputusan terhadap alternatif perbaikan jalan atau infrastruktur lainnya dan strategi untuk mengendalikan tata guna lahan di sekitar jalur utama. Salah satu metode untuk memprediksi arus lalu lintas dan pergerakan adalah dengan menghitung faktor pertumbuhan lalu lintas dan selanjutnya jumlah arus lalu lintas yang akan datang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Q’
= Q ( 1 + i )n ................................................................................. (2.14)
Dimana : Q’
=
Arus lalu lintas n tahun yang akan datang (smp/jam)
28
Q
=
Arus lalu lintas saat ini (smp/jam)
i
=
Faktor pertumbuhan lalu lintas (%/thn)
n
=
Jumlah tahun rencana (tahun)
Besarnya faktor pertumbuhan lalu lintas (i %) diperoleh melalui analisis berdasarkan rata-rata pertumbuhan kepemilikan kendaraan lima tahun terakhir dan pertumbuhan ekonomi lima tahun terakhir.
2.4.3 Volume lalu lintas Jumlah kendaraan yang akan memakai jalan dinyatakan dalam volume lalu lintas, biasanya ditetapkan dalam variasi tahunan, harian, jam-jaman atau dalam satuan yang lebih kecil. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011, volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tertentu pada ruas jalan per satuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan/jam atau smp/jam. Volume lalu lintas tidak selalu tetap dalam operasionalnya dan bukan arus yang homogen dari kendaraan melainkan terdiri dari berbagai jenis kendaraan. Volume kendaraan dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: Q=
N .................................................................................................... (2.15) T
Dimana : Q
=
Volume (kendaraan/jam)
N
=
Jumlah kendaraan (kendaraan)
T
=
Waktu pengamatan (jam)
2.5 Analisis Kinerja Ruas Jalan
29
Analisis kinerja ruas jalan akibat perilaku arus lalu lintas yang ada atau yang diramalkan untuk tipe jalan perkotaan dapat dihitung dengan prosedur analisis sebagai berikut (Departemen PU,1997). 1.
Kecepatan arus bebas
2.
Kapasitas
3.
Derajat kejenuhan
4.
Arus lalu lintas yang dapat dilewatkan oleh segmen jalan tertentu dengan mempertahankan tingkat kecepatan atau derajat kejenuhan tertentu
5.
Kecepatan pada kondisi arus sesungguhnya
2.5.1 Kecepatan arus bebas Kecepatan arus bebas (FV) merupakan kecepatan pada tingkat arus nol yaitu: kecepatan yang akan dipilih pengemudi bila mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan (Departemen PU, 1997). Kecepatan arus bebas kendaraan ringan telah dipilih sebagai kriteria dasar untuk kinerja segmen jalan pada arus sebesar nol. Persamaan untuk menentukan arus kecepatan bebas mempunyai bentuk umum sebagai berikut: FV
= (Fvo + FVw) x FFVsf x FFVcs ............................................... (2.16)
Dimana : FV
= Kecepatan arus bebas kendaraan ringan (km/jam)
FVo
= Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam), sesuai Tabel 2.5.
30
FVw
= Penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat lebar jalur lalu lintas (km/jam), sesuai Tabel 2.6.
FFVsf = Faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat hambatan samping sebagai fungsi lebar bahu atau jarak kereb-penghalang, sesuai Tabel 2.7 dan Tabel 2.8 FFVcs = Faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat ukuran kota, sesuai Tabel 2.9. Besarnya FVo dan penyesuaian FVw, FFVsf dan FFVcs pada jalan perkotaan berdasarkan tabel dalam MKJI (Departemen PU, 1997). Tabel 2.5 Kecepatan Arus Bebas Dasar untuk Jalan Perkotaan Kecepatan Arus Bebas Dasar (km/jam) Tipe Jalan
Semua
Kendaraan
Kendaraan
Sepeda
Ringan
Berat
Motor
61
52
48
57
57
50
47
55
53
46
43
51
44
40
40
42
Kendaraan (Rata-Rata)
Enam lajur terbagi (6/2 D) atau Tiga lajur satu arah (3/1) Empat lajur terbagi (4/2 D) atau Dua lajur satu arah (2/1) Empat lajur tak terbagi (4/2UD) Dua lajur tak terbagi (2/2 UD) Sumber : Departemen PU, 1997
31
Tabel 2.6 Penyesuaian untuk Pengaruh Lebar Jalur Lalu Lintas pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan, Jalan Perkotaan Tipe Jalan
Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (Wc)
FVw
(m)
(km/jam)
per lajur 3,00
-4
Empat lajur terbagi
3,25
-2
atau jalan satu arah
3,50
0
3,75
2
4,00
4
per lajur 3,00
-4
Empat lajur tak
3,25
-2
tebagi
3,50
0
3,75
2
4,00
4
total dua arah 5
-9,5
6
-3
Dua lajur tak
7
0
terbagi
8
3
9
4
10
6
11
7
Sumber : Departemen PU, 1997
32
Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Lebar Bahu pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan untuk Jalan Perkotaan dengan Bahu Kelas
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan
Hambatan
Lebar Bahu
Tipe
Samping
Lebar Bahu Efektif (Ws) (m)
Jalan
(Side Friction Class/ SFC)
< 0,5
1,0
1,5
> 2,0
Very Low (VL)
1,02
1,03
1,03
1,04
Low (L)
0,98
1,00
1,02
1,03
Medium (M)
0,94
0,97
1,00
1,02
High (H)
0,89
0,93
0,96
0,99
Very High (VH)
0,84
0,88
0,92
0,96
VL
1,02
1,03
1,03
1,04
L
0,98
1,00
1,02
1,03
M
0,93
0,96
0,99
1,02
H
0,87
0,91
0,94
0,98
VH
0,80
0,86
0,90
0,95
VL
1,00
1,01
1,01
1,01
2/2 UD
L
0,96
0,98
0,99
1,00
atau Jalan
M
0,91
0,93
0,96
0,99
satu arah
H
0,82
0,86
0,90
0,95
VH
0,73
0,79
0,85
0,91
4/2 D
4/2 UD
Sumber : Departemen PU, 1997
33
Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Jarak KerebPenghalang pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan untuk Jalan Perkotaan dengan Kereb
Tipe Jalan
Kelas
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan
Hambatan
Jarak Kereb-Penghalang
Samping
Lebar Bahu Efektif (Wk) (m)
(SFC)
< 0,5
1,0
1,5
> 2,0
VL
1,00
1,01
1,01
1,02
L
0,97
0,98
0,99
1,00
M
0,93
0,95
0,97
0,99
H
0,87
0,90
0,93
0,96
VH
0,81
0,85
0,88
0,92
VL
1,00
1,01
1,01
1,02
L
0,96
0,98
0,99
1,00
M
0,91
0,93
0,96
0,98
H
0,84
0,87
0,90
0,94
VH
0,77
0,81
0,85
0,90
VL
0,98
0,99
0,99
1,00
2/2 UD atau
L
0,93
0,95
0,96
0,98
Jalan satu
M
0,87
0,89
0,92
0,95
arah
H
0,78
0,81
0,84
0,88
VH
0,68
0.72
0,77
0.82
4/2 D
4/2 UD
Sumber : Departemen PU, 1997
34
Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Ukuran Kota Ukuran Kota (juta jiwa)
Faktor Penyesuaian Ukuran Kota
< 0,1
0,90
0,1 ≤ X < 0,5
0,93
0,5 ≤ X <1,0
0,95
1,0 ≤ X < 3,0
1,00
≥ 3,0
1,03
Sumber : Departemen PU, 1997
2.5.2 Kapasitas jalan Kapasitas suatu ruas jalan didefinisikan sebagai volume lalu lintas maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan waktu (Departemen PU, 1997). Ukuran kapasitas umumnya adalah kendaraan/jam atau smp/jam. Kapasitas jalan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: C
= Co x FCW x FCSP x FCSF x FCCS ............................................... (2.17)
Dimana : C
=
Kapasitas (smp/jam)
Co =
Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW =
Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat lebar jalur lalu lintas
FCSP =
Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat pemisahan arah
FCSF =
Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat hambatan samping
35
FCCS =
Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat ukuran kota
Jika kejadian di lapangan menyerupai kondisi ideal maka semua faktor penyesuaian dianggap sama dengan satu sehingga kapasitas yang sesungguhnya menjadi sama dengan kapasitas dasar. Tabel 2.10 Kapasitas Dasar untuk Jalan Perkotaan Tipe Jalan
Kapasitas Dasar (smp/jam)
Empat lajur terbagi atau jalan
Catatan
1650
per lajur
Empat lajur tak terbagi
1500
per lajur
Dua lajur tak terbagi
2900
total dua lajur
satu arah
Sumber : Departemen PU, 1997 2.5.2.1 Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas untuk jalan perkotaan Penentuan FCw berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif. Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan lebih dari empat lajur ditentukan dengan menggunakan nilai per lajur seperti yang diberikan untuk jalan empat lajur seperti pada Tabel 2.11 (Departemen PU, 1997).
36
Tabel 2.11 Penyesuaian Kapasitas untuk Masing-Masing Lebar Jalan pada Jalan Perkotaan Lebar Jalur Lalu Lintas Tipe Jalan
Efektif (Wc)
FCw
(m) per lajur 3,00
0,92
Empat lajur terbagi atau Jalan satu
3,25
0,96
arah
3,50
1,00
3,75
1,04
4,00
1,08
per lajur
Empat lajur tak tebagi
3,00
0,91
3,25
0,95
3,50
1,00
3,75
1,05
4,00
1,09
total dua arah
Dua lajur tak terbagi
Sumber : Departemen PU, 1997
5
0,56
6
0,87
7
1,00
8
1,14
9
1,25
10
1,29
11
1,34
37
2.5.2.2 Faktor penyesuaian pemisah arah (FCsp) Untuk menentukan FCsp untuk jalan dua lajur dua arah (2/2) dan empat lajur dua arah (4/2) tak terbagi (UD) didapat dari Tabel 2.12. Tabel 2.12 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pemisah Arah Pemisah Arah SP (% s/d %) FCSP
50-50
55-45
60-45
65-35
70-30
2/2 UD
1,00
0,97
0,94
0,91
0,88
4/2UD
1,00
0,985
0,97
0,96
0,94
Sumber : Departemen PU,1997
2.5.2.3 Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan atau kereb (FCsf) Hambatan samping yang berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan meliputi: 1.
Pejalan kaki
2.
Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti
3.
Kendaraan parkir
4.
Kendaraan lambat
5.
Kendaraan keluar dan masuk dari lahan di samping jalan. Untuk menyederhanakan peranannya dalam prosedur perhitungan, tingkat
hambatan samping telah dikelompokkan dalam lima kelas dari sangat rendah sampai sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi hambatan samping sepanjang jalan yang diamati.
38
Hambatan samping merupakan dampak terhadap kinerja lalu lintas terhadap kinerja jalan seperti pejalan kaki (bobot = 0,5); kendaraan umum atau kendaraan lain berhenti (bobot = 1,0); kendaraan masuk atau keluar sisi jalan (bobot = 0,7) dan kendaraan lambat (bobot = 0,4). Adapun kelas hambatan samping pada suatu ruas jalan dapat dilihat dari Tabel 2.13. Dalam menentukan FCsf dapat dibagi menjadi dua yaitu: jalan dengan bahu dan jalan dengan kereb. Tabel 2.13 Kelas Hambatan Samping Kelas Hambatan Samping Sangat rendah
Kode
Jumlah Berbobot Kejadian Per 200 m Per Jam (Dua Sisi)
Very Low (VL) Low Rendah (L) Medium Sedang (M) High Tinggi (H) Sangat Very High tinggi (VH) Sumber : Departemen PU, 1997 a.
< 100 100-299 300-499 500-899 > 900
Kondisi Khusus Daerah pemukiman: jalan samping tersedia Daerah pemukiman: beberapa kendaraan umum Daerah industri: beberapa toko di sisi jalan Daerah komersial: aktivitas sisi jalan tinggi Daerah komersial: aktivitas pasar di samping jalan
Jalan dengan bahu Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan bahu jalan (FCsf) pada jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.14.
39
Tabel 2.14 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Lebar Bahu pada Jalan Perkotaan
Tipe Jalan
Kelas
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping
Hambatan
dan Lebar Bahu
Samping
Lebar Bahu Efektif (Ws) (m)
(SFC)
4/2 D
4/2 UD
2/2 UD atau Jalan satu arah
< 0,5
1,0
1,5
> 2,0
VL
0,96
0,98
1,01
1,03
L
0,94
0,97
1,00
1,02
M
0,92
0,95
0,98
1,00
H
0,88
0,92
0,95
0,98
VH
0,84
0,88
0,92
0,96
VL
0,96
0,99
1,01
1,03
L
0,94
0,97
1,00
1,02
M
0,92
0,95
0,98
1,00
H
0,87
0,91
0,94
0,98
VH
0,80
0,86
0,90
0,95
VL
0,94
0,96
0,99
1,01
L
0,92
0,94
0,97
1,00
M
0,89
0,92
0,95
0,98
H
0,82
0,86
0,90
0,95
VH
0,73
0,79
0,85
0,91
Sumber : Departemen PU, 1997 b.
Jalan dengan kereb FCsf didapat dari Tabel 2.15 adalah berdasarkan jarak antar kereb dan penghalang pada trotoar dan kelas hambatan samping (SCsf).
40
Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Kereb Jalan pada Jalan Perkotaan Faktor Penyesuaian Hambatan
Tipe Jalan
Kelas
Samping dan Jarak Kereb-
Hambatan
Penghalang
Samping
Jarak Kereb-Penghalang (Wk) (m)
(SFC)
4/2 D
4/2 UD
2/2 UD atau Jalan satu arah
< 0,5
1,0
1,5
> 2,0
VL
0,95
0,97
0,99
1,01
L
0,94
0,96
0,98
1,00
M
0,91
0,93
0,95
0,98
H
0,86
0,89
0,92
0,95
VH
0,81
0,85
0,88
0,92
VL
0,95
0,97
0,99
1,01
L
0,93
0,95
0,97
1,00
M
0,90
0,92
0,95
0,97
H
0,84
0,87
0,90
0,93
VH
0,77
0,81
0,85
0,90
VL
0,93
0,95
0,97
0,99
L
0,90
0,92
0,95
0,97
M
0,86
0,88
0,91
0,94
H
0,78
0,81
0,84
0,88
VH
0,68
0,72
0,77
0,82
Sumber : Departemen PU, 1997 2.5.2.4 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCcs) Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat ukuran kota disesuaikan dengan jumlah penduduk (juta jiwa), data jumlah penduduk didapat dari BPS. Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat ukuran kota dapat dilihat pada Tabel 2.16.
41
Tabel 2.16 Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Ukuran Kota pada Kapasitas Jalan Perkotaan Ukuran Kota (Juta Jiwa)
Faktor Penyesuaian Ukuran Kota
< 0,1
0,86
0,1 ≤ X < 0,5
0,90
0,5 ≤ X < 1,0
0,94
1,0 ≤ X < 3,0
1,00
≥ 3,0
1,04
Sumber : Departemen PU, 1997
2.5.3 Tingkat pelayanan jalan Konsep tingkat pelayanan jalan digunakan sebagai ukuran kualitas pelayanan jalan yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada terhadap kapasitas (Q/C). Ukuran yang cocok untuk menentukan tingkat pelayanan jalan dapat diidentifikasi dari kecepatan atau volume kendaraan yang melewati suatu ruas jalan. Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio Q/C namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas jalan. Kecepatan operasi dapat diketahui dari survei langsung di lapangan. Apabila kecepatan operasi telah didapat maka dapat dibandingkan dengan kecepatan optimum (kecepatan yang dipilih pengemudi pada saat kondisi tertentu). Tingkat pelayanan berdasarkan volume dengan kapasitas yang dibandingkan dengan kecepatan operasi dapat dilihat dari Gambar 2.2.
42
A B C D
Kecepatan operasi (km/jam)
E
F
0
Perbandingan volume dengan kapasitas (Q/C)
1
Gambar 2.2 Tingkat Pelayanan Jalan Sumber : Tamin, 2000 Untuk tingkat pelayanan berdasarkan perbandingan karakteristik arus lalu lintas dan rasio Q/C ditentukan dalam suatu skala interval yang terdiri dari enam kelompok yaitu: tingkat pelayanan A, B, C, D, E dan F (Departemen PU, 1997). Pengelompokan ini didasarkan atas rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan serta rasio antara kecepatan aktual terhadap kecepatan arus bebas. Secara umum dapat disampaikan penjelasan terkait dengan tingkat pelayanan pada jalan arteri perkotaan dan semi perkotaan sebagai berikut (Transportation Research Board, 1994): 1.
Tingkat Pelayanan A: menggambarkan kondisi operasional dimana sebagian besar arus lalu lintas berada pada kecepatan perjalanan rata- rata pada kondisi arus bebas, umumnya berkisar pada posisi 90% dari kecepatan arus bebas sesuai klasifikasi jalan. Kendaraan sepenuhnya dapat bermanuver dengan
43
leluasa pada kondisi arus lalu lintas yang ada. Tundaan henti pada simpang bersinyal sangat sedikit. 2.
Tingkat Pelayanan B: menggambarkan kondisi operasional dimana terdapat sedikit hambatan lalu lintas pada kondisi kecepatan perjalanan rata-rata. Biasanya berkisar pada 70% dari kecepatan arus bebas. Kemampuan kendaraan untuk bermanuver pada kondisi arus lalu lintas yang ada hanya sedikit terganggu dan tundaan henti pada simpang bersinyal tidak terlalu mengkhawatirkan. Pengemudi umumnya tidak merasakan adanya tekanan.
3.
Tingkat Pelayanan C: menggambarkan kondisi yang stabil meskipun demikian pergerakan kendaraan dan perpindahan lajur kendaraan terutama pada lokasi lajur tengah tidak senyaman sebagaimana pada tingkat pelayanan B dan terdapat antrian yang panjang koordinasi sinyal yang kurang baik atau keduanya dapat menyebabkan rendahnya kecepatan rata-rata perjalanan sekitar 50% dari rata-rata kecepatan arus bebas. Pengemudi akan merasakan adanya tekanan selama mengendarai kendaraan.
4.
Tingkat Pelayanan D: merupakan batas pada suatu rentang dimana penambahan sedikit arus lalu lintas akan menyebabkan bertambahnya tundaan dan menyebabkan menurunnya kecepatan. Tingkat pelayanan D ini juga diakibatkan oleh kurang baiknya perkembangan pengaturan sinyal, kurang tepatnya pemberian waktu sinyal, volume lalu lintas yang tinggi atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Rata-rata waktu perjalanan sekitar angka 40% dari kecepatan arus bebas.
44
5.
Tingkat Pelayanan E: merupakan karakteristik dari tundaan yang sangat jelas dan rata-rata waktu perjalanan adalah 1/3 dari kecepatan arus bebas atau kurang. Pada beberapa kondisi hal ini dapat disebabkan oleh kombinasi antara kurang baiknya pengaturan sinyal, waktu sinyal yang lama, volume arus lalu lintas yang tinggi, bertambahnya tundaan pada persimpangan yang kritis dan volume arus yang tinggi dan pemberian waktu sinyal yang kurang tepat.
6.
Tingkat Pelayanan F: menggambarkan karakteristik kondisi arus lalu lintas yang sangat ekstrim dimana kecepatan sangat rendah dibawah 1/3 sampai 1/4 dari kecepatan arus bebas. Kemacetan pada persimpangan, dimana tundaan sangat tinggi dan antrean yang panjang. Kondisi tingkat pelayanan jalan sesuai kondisi di Indonesia akan lebih
baik ditentukan berdasarkan prosentase kecepatan terhadap kecepatan arus bebas dan tingkat kejenuhan lalu lintas seperti tercantum pada Tabel 2.17. Tabel 2.17 Indeks Tingkat Pelayanan Berdasarkan Kecepatan Arus Bebas dan Tingkat Kejenuhan Lalu Lintas Tingkat
% Kecepatan Arus
Tingkat Kejenuhan Lalu
Pelayanan
Bebas
Lintas
A
≥ 90
≤ 0,35
B
≥ 70
≤ 0,54
C
≥ 50
≤ 0,77
D
≥ 40
≤ 0,93
E
≥ 33
≤ 1,00
F
≥ 33
> 1,00
Sumber : Tamin dan Nahdalina, 1998
45
2.5.4 Derajat kejenuhan Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation) didefinisikan sebagai rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas jalan, digunakan sebagai faktor utama yang menentukan tingkat kinerja suatu segmen jalan (Departemen PU, 1997). Nilai derajat kejenuhan menunjukkan apakah segmen jalan akan mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Derajat kejenuhan dinyatakan dalam smp/jam yang dapat dirumuskan sebagai berikut: DS = Q / C ............................................................................................ (2.18) Dimana : DS
=
Derajat kejenuhan
Q
=
Arus lalu lintas total maksimum (smp/jam)
C
=
Kapasitas jalan (smp/jam)
2.5.5 Kecepatan dan waktu tempuh Waktu tempuh adalah waktu rata-rata yang digunakan kendaraan menempuh segmen jalan dengan panjang tertentu, termasuk semua tundaan dan waktu berhenti dinyatakan dalam satu satuan waktu. Kecepatan perjalanan adalah kecepatan rata-rata antara dua titik tertentu yang ditentukan berdasarkan jarak perjalanan dibagi waktu tempuh rata-rata kendaraan yang melalui segmen jalan, termasuk tundaan yang dialami selama perjalanan dalam km/jam (Departemen PU, 1997). MKJI menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan. Kecepatan tempuh didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang
46
dari kendaraan ringan sepanjang segmen jalan. Persamaan umum kecepatan ratarata ruang sebagai berikut: V = L / TT ........................................................................................... (2.19) Dimana : V
=
Kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam)
L
=
Panjang segmen (km)
TT =
Waktu tempuh rata-rata kendaraan ringan sepanjang segmen (jam)
Kecepatan perjalanan yang rendah menyebabkan BOK meningkat. Beberapa faktor yang menyebabkan kecepatan perjalanan rata-rata rendah adalah sebagai berikut: 1.
Lalu lintas harian dan volume jam puncak tinggi
2.
Kondisi fisik, geometri dan lingkungan jalan
3.
Komposisi kendaraan berat cukup besar
4.
Aktivitas tata guna lahan sepanjang koridor jalan yang banyak memanfaatkan badan jalan dan adanya jalan-jalan akses ke jalan utama sehingga dapat menghemat perjalanan. Selanjutnya dengan grafik pada Gambar 2.3 atau 2.4 dapat diketahui
kecepatan sesungguhnya sehingga waktu tempuh dihitung dengan persamaan: T = L / V .............................................................................................. (2.20) Dimana : T
=
Waktu tempuh (jam)
L
=
Jarak (km)
V
=
Kecepatan (km/jam)
47
Gambar 2.3 Kecepatan sebagai Fungsi Derajat Kejenuhan untuk Jalan Dua Lajur Dua Arah Tak Terbagi (2/2 UD) Sumber : Departemen PU, 1997
Gambar 2.4 Kecepatan sebagai Fungsi Derajat Kejenuhan untuk Jalan Banyak Lajur dan Satu Arah Sumber : Departemen PU, 1997
48
2.6 Biaya Operasional Kendaraan (BOK) Beberapa faktor yang mempengaruhi BOK meliputi: kondisi dan jenis kendaraan, lingkungan, kebiasaan pengemudi, kondisi jalan serta arus lalu lintas. Dalam praktiknya biaya tersebut diestimasi untuk tiap jenis kendaraan yang mewakili golongannya dan dinyatakan dalam satuan moneter per satuan jarak (Rp/km).
2.6.1 Model dan metode perhitungan BOK Model dan metode dalam perhitungan BOK yang berasal dari luar antara lain: Pacific Consultans International (PCI), Highway Design and Maintenance (HDM) World Bank, Transport and Road Research Laboratory (TRRL), Abelson, NIMPAC (NAASRA Improved Model for Project Assessment and Costing), Indonesian Highway Capacity Manual (IHCM) dan Central Road Research Institute (CRRI). Model perhitungan BOK untuk biaya tidak tetap yang dikeluarkan oleh Departemen PU tahun 2005 merupakan salah satu model yang dimiliki oleh Indonesia. Model perhitungan BOK dikembangkan untuk keperluan studi kelayakan jalan serta sistem pengelolaan dan pemeliharaan jalan. Pada Tabel 2.18 dapat dilihat rangkuman model-model BOK yang di titik beratkan pada tingkat ketelitian model yang ditinjau.
49
Tabel 2.18 Tingkat Ketelitian Model Biaya Operasional Kendaraan Model Biaya Operasi Kendaraan Komponen
HDM-
PCI TRRL Abelson CRRI IHCM NIMPAC
III Bahan Bakar
***
*
*
***
***
***
Oli
***
*
*
**
**
***
Ban
***
*
*
*
***
**
***
Suku Cadang
***
*
*
*
***
*
***
Tenaga Kerja
***
*
**
*
*
*
Depresiasi
*
*
**
*
tt
tt
tt
Bunga
*
*
tt
tt
tt
tt
tt
Asuransi
tt
*
tt
tt
tt
tt
tt
Overhead,
**
*
tt
tt
tt
tt
tt
Modal
dll Sumber : LPM-ITB, 1997 Keterangan: *
=
Sederhana (mudah diterapkan)
**
=
Menengah
***
=
Sangat detail dan memiliki tingkat kebutuhan data yang tinggi
t.t
=
Tidak tersedia
PT. Jasa Marga periode tahun 1979-1997 memakai model yang pernah dibuat oleh PCI. Seluruh komponen BOK pada model PCI dalam spesifikasinya tidak ekstensif misalnya: geometrik jalan, kekasaran dan lain-lain. Model ini hanya memasukkan kecepatan sebagai variabelnya. Ini merupakan model yang cukup sederhana, dimana faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komponen BOK tidak dimodel secara eksplisit. Berdasarkan hasil studi LPM-ITB (1997)
50
dikembangkan model yang menyempurnakan model yang telah digunakan sebelumnya dengan mereview seluruh model yang ada dan melakukan survei pada beberapa jalan tol maupun non tol dengan kondisi geometrik yang berbeda-beda. Model BOK yang dibuat hanya menggunakan variabel yang sederhana dan mudah diukur seperti jarak, kecepatan dan rasio volume dengan kapasitas. Komponenkomponen yang diperhitungkan adalah yang berkontribusi besar terhadap BOK dan meskipun masih banyak komponen lain yang perlu diperhitungkan namun komponen tersebut tidak terlalu dominan. Berdasarkan adaptasi dari beberapa persamaan serta parameter yang ada di HDM IV tahun 2000 dan hasil penelitian yang telah dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Prasarana Transportasi maka Departemen PU tahun 2005 mengeluarkan Pedoman Teknik Nomor: Pd.T-15-2005-B Tentang Pedoman Perhitungan BOK untuk Biaya Tidak Tetap.
2.6.2 Komponen-komponen BOK Menurut pedoman perhitungan BOK yang dikeluarkan oleh Departemen PU, komponen BOK terdiri dari biaya tidak tetap (running cost or variable cost) dan biaya tetap (standing cost or fixed cost), yang secara detail terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: 1. Biaya tidak tetap a. Pemakaian bahan bakar b. Pemakaian minyak pelumas c. Pemakaian suku cadang
51
d. Upah tenaga pemelihara e. Pemakaian ban 2. Biaya tetap a.
Biaya penyusutan (depresiasi)
b.
Bunga modal
c.
Asuransi
Faktor-faktor yang mempengaruhi komponen BOK antara lain: 1.
Konsumsi bahan bakar Terdapat korelasi mendasar antara konsumsi bahan bakar dan kecepatan, diluar pengaruh geometrik, kekasaran permukaan dan kondisi lalu lintas. Konsumsi bahan bakar ini disebut konsumsi bahan bakar dasar (basic fuel) yang didefinisikan sebagai konsumsi pada kondisi lalu lintas bebas (free flow), kelandaian yang datar (0%) dan ketidakrataan permukaan jalan yang relatif tidak mempengaruhi konsumsi bahan bakar.
2.
Konsumsi minyak pelumas Konsumsi minyak pelumas harus memperhatikan pengaruh dari kecepatan perjalanan dan kekasaran permukaan (roughness).
3.
Pemakaian ban Ada tiga faktor yang mempengaruhi kondisi atau umur ban yaitu: gesekan antara ban dengan permukaan jalan (rolling friction), gaya longitudinal dan tranversal yang terjadi akibat pengereman, akselerasi dan tikungan yang menyebabkan gesekan pada sebagian permukaan ban serta akibat tekanan
52
udara yang terjadi pada saat kendaraan melakukan tanjakan dan atau pengurangan kecepatan (driving force). 4.
Pemeliharaan Biaya pemeliharaan terdiri dari biaya suku cadang dan upah montir untuk melakukan perbaikan maupun pemeliharaan kendaraan.
5.
Penyusutan Persamaan untuk biaya penyusutan besarnya berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan.
6.
Bunga modal Persamaan komponen bunga modal besarnya juga berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan
7.
Asuransi Persamaan komponen asuransi besarnya berbanding lurus dengan kecepatan kendaraan
2.6.3 Analisis BOK untuk mobil BOK untuk mobil dihitung berdasarkan pedoman penghitungan BOK yang dikeluarkan oleh Departemen PU tahun 2005. 1.
Pemakaian bahan bakar Pemakaian bahan bakar pada kendaraan merupakan komponen yang
memberikan sumbangan yang dominan dalam menghitung biaya operasi kendaraan. Modelnya sangat bervariasi dari model seketika (ins antaneous) yang sangat teliti, hingga model sederhana yang didasarkan pada kecepatan rata-rata.
53
Pengukuran bahan bakar dapat dilakukan dengan fuel meter. Akhir-akhir ini terdapat alat yang dikembangkan di Tokyo, yang secara otomatis dapat merekam pemakaian bahan bakar secara teliti yang akan sangat memudahkan dalam pengembangan model pemakaian bahan bakar. Pada survei perbandingan pemakaian bahan bakar secara umum diperoleh bahwa rata-rata kecepatan pada jalan tol sebesar 50 km/jam sementara pada jalan arteri antara 30-35 km/jam. Pemakaian bahan bakar dalam perhitungan BOK dihitung dengan persamaan sebagai berikut: KBBMi = (α + β1/VR + β2 x VR2 + β3 x RR + β4 x FR2 + β5 x FR2 + β6 x DTR + β7 x AR + β8 x SA + β9 x BK + β10 x BK x AR + β11 x BK x AR)/100 ................................................................................. (2.21) Dimana : KBBMi =
Konsumsi bahan bakar minyak untuk jenis kendaraan i (liter/km)
α
=
Konstanta (didapat dari Tabel 2.19)
β1…β11 =
Koefisien-koefisien parameter (didapat dari Tabel 2.19)
VR
=
Kecepatan rata-rata
RR
=
Tanjakan rata-rata (didapat dari Tabel 2.20)
FR
=
Turunan rata-rata (didapat dari Tabel 2.20)
DTR
=
Derajat tikungan rata-rata (didapat dari Tabel 2.21)
AR
=
Percepatan rata-rata (didapat dari Persamaan 2.22)
SA
=
Simpangan baku percepatan (didapat dari Persamaan 2.23)
BK
=
Berat kendaraan
54
Nilai percepatan rata-rata pada ruas jalan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: AR = 0,0128 x (V/C). ............................................................................. (2.22) Dimana : AR =
Percepatan lalu lintas
V
=
Volume lalu lintas (smp/jam)
C
=
Kapasitas jalan (smp/jam)
Nilai SA pada ruas jalan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: SA
= SAmax x 1,04/(1+e a0 + a1 x V/C) ................................................. (2.23)
Dimana : SA
= Simpangan baku percepatan (m/s2)
SAmax = Simpangan baku percepatan maksimum (m/s2) (tipikal/default = 0,75) a0, a1 = Koefisien parameter (tipikal/default a0 = 5,140; a1 = -8,264) V
= Volume lalu lintas (smp/jam)
C
= Kapasitas jalan (smp/jam)
Tabel 2.19 Nilai Konstanta Koefisien-Koefisien Parameter Model Konsumsi BBM Jenis Kendaraan
α
1/VR
VR2
RR
FR
FR2
DTR
AR
SA
BK
BK x AR
BK x SAR
β1
Β2
Β3
Β4
Β5
Β6
Β7
Β8
Β9
β10
β11
Sedan
23,78
1.181,20
0,0037
1,265
0,634
-
-
-0,638
36,21
-
-
-
Utiliti
29,61
1.256,80
0,0059
1,765
1,197
-
-
132,2
42,84
-
-
-
Bus Kecil
94,35
1.058,90
0,0094
1,607
1,488
-
-
166,1
49,58
-
-
-
Bus Besar
129,60 1.912,20
0,0092
7,231
2,790
-
-
266,4
13,86
-
-
-
Truk Ringan
70,00
524,60
0,0020
1,732
0,945
-
-
124,4
-
-
-
50,02
Truk Sedang
97,70
-
0,0135
0,7365
5,706
0,0378
-0,0858
-
-
6,661
36,46
17,28
Truk Besar
190,30 3.829,70
0,0196
14,536
7,225
-
-
-
-
-
11,41
10,92
Sumber : Departemen PU, 2005
55
56
Tabel 2.20 Alinemen Vertikal yang Direkomendasikan pada Berbagai Medan Jalan
No.
Tanjakan Rata-Rata
Turunan Rata-Rata
(m/km)
(m/km)
Kondisi Medan
1
Datar
2,5
-2,5
2
Bukit
12,5
-12,5
3
Pegunungan
22,5
-22,5
Sumber : Departemen PU, 2005 Tabel 2.21 Nilai Tipikal Derajat Tikungan pada Berbagai Medan Jalan No.
Kondisi Medan
Derajat Tikungan (o/ km)
1
Datar
15
2
Bukit
115
3
Pegunungan
200
Sumber : Departemen PU, 2005 2.
Pemakaian minyak pelumas Pemakaian minyak pelumas pada tiap jenis kendaraan dihitung dengan
persamaan sebagai berikut: KOi
= OHKi + OHOi + KBBMi ..................................................... (2.24)
Dimana : OHKi = Oli akibat kontaminasi (liter/km), nilainya sesuai Persamaan 2.25 OHOi = Oli hilang akibat operasi (liter/km), nilainya sesuai Tabel 2.22 KBBMi = Konsumsi bahan bakar (liter/km) Nilai OHKi dihitung dengan persamaan sebagai berikut: OHKi = KPOi/JPOi ............................................................................ (2.25) Dimana :
57
KPOi = Kapasitas oli (liter), nilainya sesuai Tabel 2.22 JPOi
= Jarak penggantian oli (km), nilainya sesuai Tabel 2.22 Tabel 2.22 Nilai Tipikal JPOi, KPOi dan OHOi JPOi
KPOi
OHOi
(km)
(liter)
(liter/km)
Sedan
2.000
3,50
0,0000028
Utiliti
2.000
3,50
0,0000028
Bus Kecil
2.000
6,00
0,0000021
Bus Besar
2.000
12,00
0,0000021
Truk Ringan
2.000
6,00
0,0000021
Truk Sedang
2.000
12,00
0,0000021
Truk Besar
2.000
24,00
0,0000021
Jenis Kendaraan
Sumber : Departemen PU, 2005 3.
Biaya konsumsi suku cadang Besarnya biaya konsumsi suku cadang dihitung berdasarkan persamaan
berikut: BPi
= Pi x HKBi/ 1.000.000 .............................................................. (2.26)
Dimana : BPi
=
Biaya suku cadang kendaraan untuk jenis kendaraan i (Rp/km)
HKBi =
Harga kendaraan baru rata-rata untuk jenis kendaraan i (Rp)
Pi
Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru
=
jenis i (berdasarkan Persamaan 2.27) i
=
Jenis kendaraan
58
Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru jenis i dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: Pi
= (ϕ + γ1 x IRI) x (KJTi/100.000) γ2 ............................................ (2.27)
Dimana : Pi
=
Konsumsi suku cadang kendaraan jenis i per juta kilometer
ϕ
=
Konstanta (nilainya sesuai Tabel 2.23)
γ1, γ2 =
Koefisien-koefisien parameter (nilainya sesuai Tabel 2.23)
IRI =
Kekasaran jalan (m/km)
KJTi =
Komulatif jarak tempuh kendaraan jenis i (km) Tabel 2.23 Nilai Tipikal Φ, γ1 dan γ1 Koefisien Parameter
Jenis Kendaraan
Φ
γ1
γ2
Sedan
-0,69
0,42
0,10
Utiliti
-0,69
0,42
0,10
Bus Kecil
-0,73
0,43
0,10
Bus Besar
-0,15
0,13
0,10
Truk Ringan
-0,64
0,27
0,20
Truk Sedang
-1,26
0,46
0,10
Truk Besar
-0,86
0,32
0,40
Sumber : Departemen PU, 2005 4.
Biaya upah tenaga pemeliharaan (BU) BU untuk tiap jenis kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: BUi = JPi x UTP/1000 ......................................................................... (2.28)
59
Dimana : BUi = Biaya upah perbaikan kendaraan (Rp/km) JPi
= Jumlah jam pemeliharaan (jam/1000 km), sesuai Persamaan 2.29
UTP = Upah tenaga pemelihara (Rp/jam) JPi dihitung dengan persamaan sebagai berikut: JPi
= a0 x Pi a1 .................................................................................... (2.29)
Dimana : JPi
= Jam montir per 1000 km
Pi
= Kecepatan berjalan (km/jam)
a0, a1 = Konstanta (nilainya sesuai Tabel 2.24) Tabel 2.24 Nilai Tipikal a0 dan a1 Jenis Kendaraan
a0
a1
Sedan
77,14
0,547
Utiliti
77,14
0,547
Bus Kecil
242,03
0,519
Bus Besar
293,44
0,517
Truk Ringan
242,03
0,519
Truk Sedang
242,03
0,517
Truk Besar
301,46
0,519
Sumber : Departemen PU, 2005 5.
Biaya pemakaian ban Biaya pemakaian ban untuk tiap jenis kendaraan dihitung dengan persamaan
sebagai berikut: BBi = KBi x HBj/1000 ........................................................................ (2.30)
60
Dimana : BBi = Biaya pemakaian ban untuk tiap jenis kendaraan i (Rp/km) KBi = Konsumsi ban untuk jenis kendaraan i, nilainya sesuai Persamaan 2.31 HBj = Harga ban baru jenis j (Rp/ban baru) Konsumsi ban utuk tiap kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: KBi
= χ + δ1 x IRI + δ2 x TTR + δ3 x DTR ....................................... (2.31)
Dimana : χ
= Konstanta (nilainya sesuai Tabel 2.25)
δ1… δ3 = Koefisien-koefisien parameter (nilainya sesuai Tabel 2.25) TTR
= Tanjakan dan turunan rata-rata (nilainya sesuai Tabel 2.26)
DTR
= Derajat tikungan rata-rata (nilainya sesuai Tabel 2.21) Tabel 2.25 Nilai Tipikal χ, δ1, δ2 dan δ3
Jenis Kendaraan
Χ
IRI
TTR
DTR
δ1
δ2
δ3
Sedan
-0,014710
0,01489
-
-
Utiliti
0,019050
0,01489
-
-
Bus Kecil
0,024000
0,02500
0,003500
0,000670
Bus Besar
0,101530
-
0,000963
0,000244
Truk Ringan
0,024000
0,01489
0,003500
0,000670
Truk Sedang
0,095835
-
0,001783
0,000184
Truk Besar
0,158350
-
0,002560
0,000280
Sumber : Departemen PU, 2005
61
Tabel 2.26 Nilai Tipikal Tanjakan dan Turunan pada Berbagai Medan Jalan No.
Kondisi Medan
TT (m/km)
1
Datar
5
2
Bukit
25
3
Pegunungan
45
Sumber : Departemen PU, 2005 6.
Biaya penyusutan Biaya penyusutan yang berlaku dalam perhitungan BOK pada jalan arteri,
besarnya berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan. Biaya tersebut dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: Untuk jalan arteri: a. Kend. Ringan: Y = 1 / (2,5 S + 100) ................................................ (2.32) b. Bus: Y = 1 / (9 S + 315) ................................................................... (2.33) c. Truk: Y = 1 / (6 S + 210) ................................................................. (2.34) Dimana :
7.
Y
= Biaya penyusutan per 1000 km
S
= Kecepatan berjalan (km/jam)
Biaya bunga modal Biaya suku bunga modal untuk perhitungan BOK baik pada jalan arteri
sesuai dengan persamaan berikut ini: a. Kend. Ringan : Y = 150 / (500 S) ..................................................... (2.35) b. Bus : Y = 150 / (2571,42857 S) ....................................................... (2.36) c. Truk: Y = 150 / (1714,28571 S) ....................................................... (2.37)
62
Dimana :
8.
Y
= Biaya suku bunga kendaraan per 1000 km
S
= Kecepatan berjalan (km/jam)
Biaya asuransi Komponen biaya asuransi pada perhitungan BOK model PCI berlaku pada
jalan arteri. Asuransi diasumsikan sebesar 3,8% per tahun. Biaya asuransi dalam hubungannya dengan kecepatan dihitung dengan cara yang sama seperti pada perhitungan biaya bunga modal dengan jarak tempuh tahunan. Untuk sepeda motor besarnya biaya asuransi tidak diperhitungkan. Persamaan yang dipakai untuk menghitung besarnya biaya asuransi adalah sebagai berikut: a. Kend. Ringan: Y = 38 / (500 S) ........................................................ (2.38) b. Bus: Y = 60 / (2571,42857 S) ........................................................... (2.39) c. Truk: Y = 61 / (1714,28571 S) .......................................................... (2.40) Dimana : Y
= Biaya asuransi per 1000 km
S
= Kecepatan berjalan (km/jam)
2.6.4 Analisis BOK untuk sepeda motor Sepeda
motor
merupakan
mayoritas
kendaraan
yang
digunakan
masyarakat Bali dan berpengaruh signifikan terhadap karakteristik transportasi di Bali. Perhitungan BOK sepeda motor mengacu pada metode yang digunakan oleh Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Provinsi Bali-Konsultan Public
63
Transport Study (PTS) pada tahun 1999. Persamaan dalam perhitungan BOK untuk sepeda motor adalah sebagai berikut: VOC = a + b / V + cV² ......................................................................... (2.41) Dimana : VOC =
Biaya operasi kendaraan (per km)
V
=
Kecepatan rata-rata (km/jam)
a
=
Konstanta dengan nilai a = 24
b,c
=
Koefisien dengan nilai b = 596 dan c = 0,00370
Persamaam diatas belum termasuk biaya akibat bahan bakar, suku cadang, oli, ban, biaya servis dan jasa montir sehingga perlu adanya penyesuaian dengan nilai pertumbuhan inflasi. Nilai pertumbuhan inflasi yang digunakan yaitu dari awal rumus DLLAJ dikeluarkan sampai survei ini dilakukan (1999-2014). Persamaan perhitungan BOK akibat pertumbuhan inflasi adalah sebagai berikut: = P0 ( 1 + i )n................................................................................ (2.42)
P
Dimana :
2.7
P
=
Nilai BOK setelah adanya inflasi
P0
=
Nilai BOK awal
i
=
Nilai rata-rata pertumbuhan inflasi (%)
n
=
Jumlah tahun
Studi Kelayakan Proyek Studi kelayakan adalah suatu kegiatan penelitian atau studi yang dilakukan
secara komprehensif dari berbagai aspek dalam usaha mengkaji tingkat kelayakan dari suatu proyek (LPM-ITB, 1997). Studi kelayakan proyek merupakan tahap
64
awal yang dipandang cukup penting dari serangkaian siklus proyek. Hal tersebut dikarenakan sumber daya baik manusia, waktu maupun dana makin sulit untuk diperoleh. Hasil dari studi kelayakan merupakan rekomendasi mengenai perlu tidaknya proyek itu ditindak lanjutkan.
2.7.1 Tujuan dan manfaat studi kelayakan Santosa (2011) menyebutkan bahwa suatu studi kelayakan memiliki tujuan, antara lain: 1.
Menghindari terjadinya keterlanjuran penanaman modal yang tidak menguntungkan.
2.
Memaksimalkan keuntungan.
3.
Mengevaluasi aspek-aspek yang mempengaruhi suatu studi.
4.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan.
5.
Mengidentifikasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Suatu proyek dinilai bermanfaat dari segi finansial jika nilai ekonomis dari
proyek tersebut dapat menguntungkan bila dibandingkan dengan resiko yang ditimbulkan. Manfaat ekonomi yang dimaksudkan adalah manfaat proyek tersebut di tempat pelaksanaannya dan berpengaruh luas terhadap wilayah sekitarnya. Manfaat sosial ialah manfaat yang dihasilkan darimana lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Manfaat lingkungan mencakup polusi udara, air, tanah maupun suara yang ditinjau dari tahap pra pelaksanaan sampai pasca proyek. Manfaatmanfaat tersebut berlaku untuk setiap studi kelayakan, baik itu yang bersifat komersil maupun proyek investasi.
65
2.7.2 Aspek-aspek studi kelayakan Berberapa aspek yang biasa digunakan untuk melakukan sebuah kajian kelayakan meliputi: 1.
Aspek Ekonomi Aspek ekonomi berkaitan dengan dampak yang didapat oleh Negara dan masyarakat dari adanya pelaksanaan suatu proyek. Pelaksanaan proyek dapat mengubah kehidupan ekonomi negara dan masyarakat menjadi lebih baik atau dapat juga makin memburuk.
2.
Aspek Finansial Dari aspek finansial yang dimaksud adalah apakah proyek itu dipandang menguntungkan bila dibanding dengan risiko yang ditimbulkan. Dalam aspek ini dibahas mengenai sumber pendanaan, taksiran penghasilan, keuntungan (benefit) dan biaya, keuangan proyek dan aliran kas (cash flow).
3.
Aspek Teknis Aspek ini merupakan aspek yang berkaitan dengan proses pembangunan proyek secara teknis dan pengoperasiaanya setelah proyek tersebut selesai dibangun. Aspek teknis menyangkut lokasi dan lahan tempat proyek dilaksanakan, kebutuhan tempat sesuai dengan prakiraan jumlah penduduk dan lalu lintas di masa yang akan datang. Dalam aspek teknis dibahas mengenai skala prioritas, perlengkapan, tata letak, site planning, penjadwalan dan manajemen teknologi.
66
4.
Aspek Lingkungan Aspek lingkungan mencakup telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting dari suatu proyek. Dampak yang timbul dapat langsung mempengaruhi proyek pada saat ini ataupun akan timbul di masa mendatang.
2.8
Nilai Waktu
2.8.1 Pengertian dan kegunaannya Nilai waktu atau nilai penghematan waktu didefinisikan sebagai jumlah uang yang rela dikorbankan seseorang untuk menghemat satu satuan waktu perjalanan (Hensher, et.al, 1988). Besarnya nilai waktu bagi pengguna jalan merupakan gambaran dari layanan konsumen yang diberikan oleh jalan kepada pengguna jalan tersebut (LPM-ITB, 1997). Dalam studi kelayakan proyek jalan, nilai waktu digunakan untuk menghitung besarnya manfaat yang didapat oleh pengguna jalan akibat adanya penghematan waktu jika melewati jalan baru. Biasanya nilai penghematan per satuan waktu yang diambil adalah satuan per jam. Nilai ini nantinya menjadi masukan dalam perhitungan total nilai penghematan harian. 2.8.2 Estimasi nilai waktu Tak ada nilai langsung yang dapat diterapkan dalam mencerminkan kenyamanan pengguna jalan namun banyak pengguna jalan yang ingin mempersingkat waktu perjalanannya. Salah satu cara untuk menghitung nilai ini dengan menggambarkan nilai waktu sebagai biaya peluang (opportunity cost)
67
yang dikeluarkan akibat hilangnya kesempatan produktif karena adanya kebutuhan perjalanan. Faktor penting dalam menentukan nilai waktu seseorang adalah dengan mengidentifikasi tujuan perjalanannya. Tujuan perjalanan dibagi menjadi dua yaitu: tujuan bisnis dan non bisnis. Perjalanan bisnis tak termasuk perjalanan pergi ke kantor atau pulang ke rumah yang dilakukan tidak pada jam kerja, dimana tidak mengakibatkan kerugian produksi ekonomi. Perjalanan non bisnis termasuk semua bentuk perjalanan seperti ke kantor, rumah, sekolah, tempat hiburan dan sebagainya. Nilai perjalanan bisnis dikuantifikasikan sebagai nilai waktu per jam yang diasumsikan sama dengan nilai pendapatan per kapita. Sementara nilai perjalanan non bisnis ditetapkan 25% dari nilai perjalanan bisnis. Pendekatan untuk perhitungan nilai waktu dalam studi ini adalah pendapatan per kapita dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali.
2.8.3 Pendapatan domestik regional bruto PDRB adalah keseluruhan nilai tambah dari sektor-sektor ekonomi yang ada di suatu daerah dalam periode waktu tertentu. PDRB merupakan penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di suatu daerah tertentu (provinsi dan kabupaten) dan dalam satu periode waktu tertentu (satu tahun kelender). Kegiatan ekonomi yang dimaksud meliputi: kegiatan pertanian, pertambangan, industri pengolahan sampai dengan jasa.
68
2.8.3.1 Produk domestik dan produk regional Semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk wilayah tersebut merupakan produk domestik wilayah bersangkutan. Pendapatan yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi tersebut merupakan pendapatan. Dengan adanya arus pendapatan yang mengalir antar daerah (termasuk juga dari dan ke luar negeri) yang pada umumnya berupa upah atau gaji, bunga, deviden dan keuntungan maka timbul perbedaan antara produk domestik dan produk regional. Produk regional adalah produk domestik ditambah dengan pendapatan yang diterima dari luar daerah atau negeri dikurangi dengan pendapatan yang dibayarkan keluar daerah atau negeri tersebut. Akan tetapi untuk mendapatkan angka-angka tentang pendapatan yang mengalir keluar dan masuk ke suatu daerah (yang secara nasional dapat diperoleh dari neraca pembayaran luar negeri) masih sangat sulit saat ini, hingga produk regional belum dapat dihitung. Untuk sementara dalam perhitungan, produk regional diasumsikan sama dengan Produk Domestik Regional Netto (PDRN) atas dasar biaya faktor. Apabila pendapatan regional ini dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah tersebut maka diperoleh pendapatan per kapita. 2.8.3.2 PDRB atas dasar harga pasar Angka PDRB atas dasar harga pasar diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor ekonomi di wilayah itu. Nilai tambah bruto adalah nilai lebih yang timbul setelah melalui
69
suatu proses produksi atau nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara. Nilai tambah bruto disini mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tak langsung netto. Dengan menghitung nilai tambah bruto dari tiap-tiap sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor maka akan diperoleh produk PDRB atas dasar harga pasar. 2.8.3.3 PDRN atas dasar harga pasar PDRB atas dasar harga pasar dikurangi penyusutan akan diperoleh PDRN atas dasar harga pasar. Penyusutan yang dimaksud adalah nilai susut dari barangbarang modal yang terjadi selama barang tersebut ikut serta dalam proses produksi. 2.8.3.4 PDRN atas dasar biaya faktor Perbedaan antara konsep biaya faktor dengan harga pasar adalah karena adanya pajak tidak langsung yang dipungut oleh pemerintah dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada unit-unit produksi. Pajak tidak langsung yang dibayar oleh perusahaan terdiri dari iuran wajib ke pemerintah yang diberlakukan sebagai biaya untuk kegiatan produksi. Pajak tidak langsung mencakup segala jenis pajak yang dikenakan atas kegiatan produksi, penjualan, pembelian atau penggunaan barang dan jasa oleh perusahaan. Perusahaan dapat membayar pajak tidak langsung kepada Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Pajak tidak langsung meliputi: pajak penjualan, bea ekspor, cukai dan lain-lain kecuali pajak pendapatan dan pajak perseorangan. Pajak tidak langsung dan subsidi memiliki pengaruh terhadap harga barang-barang. Pajak berpengaruh menaikkan harga
70
sedangkan subsidi menurunkan harga. Pajak tidak langsung netto diperoleh dari pajak tidak langsung dikurangi subsidi. PDRN atas dasar harga pasar dikurangi pajak tidak langsung netto hasilnya PDRN atas dasar biaya faktor. Berikut adalah tabel data pendapatan per kapita Provinsi Bali mulai tahun 2008 sampai 2012. Tabel 2.27 Pendapatan Domestik Regional Bruto Per Kapita Provinsi Bali Tahun
PDRB Per Kapita (Rp.)
Pertumbuhan (%)
2008
6.930.250
-
2009
7.149.000
3,06
2010
7.423.360
3,70
2011
7.745.100
4,15
2012
8.106.540
4,46
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2013 Oleh karena perjalanan seseorang biasa menggunakan kendaraan maka diperlukan nilai rata-rata jumlah penumpang per jenis kendaraan (average vehicle occupancy). Pada Tabel 2.28 dapat dilihat jumlah penumpang per jenis kendaraan berdasarkan hasil studi terdahulu yang dilakukan oleh Parmini (2006). Tabel 2.28 Rata-Rata Jumlah Penumpang untuk Tiap Jenis Kendaraan No.
Jenis Kendaraan
Rata-Rata Jumlah Penumpang (jiwa)
1
Sepeda Motor
1,35
2
Kendaraan Ringan
2,7
3
Bus
17,4
4
Truk
1,98
Sumber : Parmini, 2006
71
2.9 Penghematan Biaya Pemakai Jalan Nilai manfaat dari pembangunan jalan baru bagi pengguna jalan berupa Penghematan Biaya Pemakai Jalan (PBPJ) yang terdiri atas penghematan BOK dan penghematan nilai waktu perjalanan. Besarnya penghematan kedua komponen tersebut dihitung menurut persamaan di bawah: PB = (BOKek x Dek – BOKalt x Dalt) + {(Dek/Vek – Dalt/Valt) x Tv} ....... (2.43) Dimana : PB
= Penghematan biaya pengguna (Rp)
BOKek = Biaya operasi kendaraan di jalan eksisting (Rp/km) BOKalt = Biaya operasi kendaraan di jalan alternatif (Rp/km) Dek
= Panjang jalan eksisting (km)
Dalt
= Panjang jalan alternatif (km)
Vek
= Kecepatan di jalan eksisting (km/jam)
Valt
= Kecepatan di jalan alternatif (km/jam)
Tv
= Nilai waktu kendaraan (Rp/jam)
2.10 Biaya Proyek Berbeda dengan biaya yang dihitung saat studi awal yang biasanya masih kasar, biaya proyek yang dihitung untuk studi kelayakan ini lebih baik nilainya. Biaya proyek secara lebih detail dapat dihitung karena ada rancangan detail dari proyek (Detail Engineering Design/ DED). Biaya suatu proyek dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni biaya modal dan biaya operasional (LPM-ITB, 1997) sebagai berikut:
72
1.
Biaya modal adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan dana proyek, melakukan studi, penyiapan dokumen pembangunan
atau
pelaksanaan konstruksi, pengawasan pembangunan dan manajemen proyek. 2.
Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan operasional meliputi: proses menjalankan proyek, pemeliharaan, perbaikan serta pengelolaan selama masa pelayanan.
2.11 Pendekatan Kelayakan Investasi Untuk menentukan layak atau tidaknya investasi pembangunan jalan dari sisi ekonomi terdapat dua metode yang biasa digunakan yaitu: 1.
Cost Benefit Analysis (Analisa Biaya Manfaat)
2.
Cost Effectiveness Metode pertama digunakan untuk menyatakan kelayakan suatu proyek
menurut perbandingan manfaat yang akan diperoleh dan biaya yang akan dikeluarkan. Metode ini digunakan dalam kondisi dimana dana terbatas sedangkan metode kedua umumnya dilakukan pada kondisi dimana dana yang tersedia cukup banyak sehingga perlu membandingkan dua alternatif proyek hanya dilakukan dengan membandingkan biaya yang diperlukan (Alder, 1969). Kriteria dasar untuk mengukur manfaat suatu investasi pada bidang transportasi adalah dengan melakukan perhitungan “dengan” dan “tanpa” (“with” and “without”) pembangunan jalan baru sehingga diketahui keuntungan yang timbul karena adanya pembangunan jalan baru tersebut.
73
Kriteria evaluasi dalam analisa ekonomi maupun finansial umumnya adalah Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR), dan Analisis Sensitivitas.
2.11.1 Net present value Metode NPV adalah metode yang membandingkan semua komponen biaya dan manfaat suatu proyek dengan acuan yang sama agar dapat diperbandingkan satu dengan lainnya (LPM-ITB,1997). Dalam hal acuan yang digunakan adalah besaran netto saat ini (net present value) artinya semua besaran biaya dan manfaat diubah dalam besaran nilai sekarang. Selanjutnya NPV didefinisikan sebagai selisih antara nilai saat ini (present value) dari komponen manfaat dan present value dari komponen biaya. Secara matematis persamaannya adalah sebagai berikut: NPV
= PV B – PV C n
NPV =
B t Ct
(1 i) t 0
t
.......................................................................... (2.44)
Dimana : PV B = Present Value Benefit PV C = Present Value Cost Bt
= Besaran total dari komponen manfaat proyek pada tahun t
Ct
= Besaran total dari komponen biaya pada tahun t
I
= Tingkat suku bunga (% per tahun)
t
= Jumlah tahun
74
Berdasarkan kriteria ini dapat dikatakan bahwa proyek layak dilaksanakan jika nilai NPV > 0 sementara jika nilai NPV < 0 artinya proyek tidak layak dan jika nilai NPV = 0 artinya tingkat pengembaliannya setara dengan suku bunga patokan (suku bunga bank) atau dapat dikatakan bahwa proyek mengembalikan dananya persis sebesar Opportunity Cost of Capital, mengingat ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan.
2.11.2 Benefit cost ratio Metode ini pada prinsipnya membandingkan semua pemasukan yang diterima (dihitung pada kondisi saat ini) dengan semua pengeluaran yang telah dilakukan (dihitung pada kondisi saat ini). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: BCR = PV B/PV C n Bt t = 0 (1 i) t ……………………………………………….. (2.45) BCR n Ct t = 0 (1 i) t
Dimana : Bt = Besaran total dari komponen manfaat proyek pada tahun t Ct = Besaran total dari komponen biaya pada tahun t i
= Tingkat suku bunga (% per tahun)
t
= Jumlah tahun
Bila nilai indeks BCR > 1 maka proyek layak untuk dilaksanakan tetapi jika nilai indeks BCR < 1 maka proyek tidak layak untuk dikerjakan mengingat
75
biaya (cost) lebih besar dari pada manfaat (benefit) yang diterima. Namun hal ini tidak sepenuhnya dapat ditentukan bahwa proyek layak jika BCR-nya > 1 karena hal tersebut hanya menunjukkan bahwa manfaat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Sementara untuk lebih teliti menyatakan layak tidaknya suatu proyek harus dibandingkan dengan tingkat suku bunga (discount rate) yang berlaku. Dengan kata lain harus diketahui nilai laju pengembalian modalnya atau IRR untuk dapat dibandingkan dengan discount rate yang berlaku.
2.11.3 Internal rate of return Internal rate of return adalah besaran yang menunjukkan harga discount rate pada saat NPV = 0. IRR sering juga disebut sebagai laju pengembalian modal. Dalam hal ini laju pengembalian modal dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Jika besarnya laju pengembalian modal ini melebihi nilai discount rate maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa proyek menguntungkan dan layak untuk dikerjakan namun jika lebih kecil dari discount rate sekalipun nilai BCR-nya >1, kelayakan proyek masih perlu ditinjau ulang karena secara finansial lebih baik mengutamakan modal di bank. Jadi kriteria untuk menetapkan kelayakan suatu proyek adalah bila IRR-nya lebih besar dari discount rate. IRR dapat dicari dengan metode cobacoba (trial and error).
IRR IR1 NPV1
IR2 IR1 .................................................... (2.46) NPV2 NPV1
Dimana : IRR
= Internal Rate Of Return
76
IR1
= Tingkat bunga untuk penetapan ke-1
IR2
= Tingkat bunga untuk penetapan ke-2
NPV1 = NPV dari hasil IR1 NPV2 = NPV dari hasil IR2
2.12 Analisis Sensitivitas Nilai-nilai parameter dalam studi kelayakan proyek biasanya diestimasikan besarnya maka jelas nilai-nilai tersebut tidak dapat lepas dari kesalahan. Maksudnya dapat saja nilai tersebut lebih besar ataupun lebih kecil dari hasil estimasi yang diperoleh atau berubah pada saat-saat tertentu. Perubahan yang terjadi pada nilai parameter tentunya akan mengakibatkan perubahan-perubahan pula pada tingkat outputnya. Untuk mengetahui seberapa sensitif suatu keputusan terhadap perubahan faktor-faktor atau parameter yang mempengaruhinya maka setiap pengambilan keputusan dalam ekonomi teknik sebaiknya disertai dengan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas merupakan kajian sejauh mana suatu keputusan cukup kuat berhadapan dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hal ini akan memperlihatkan sensitif atau tidaknya keputusan yang diambil terhadap perubahan faktor-faktor tertentu. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah nilai suatu parameter pada suatu saat, untuk kemudian dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap akseptabilitas suatu alternatif investasi. Bila nilai dari parameter tertentu berubah dengan variasi yang relatif besar tetapi tidak berakibat terhadap keputusan maka dikatakan
77
keputusan tidak sensitif terhadap parameter yang dimaksud. Sebaliknya bila terjadi perubahan kecil saja sudah mengakibatkan perubahan keputusan maka dinamakan keputusan tersebut sensitif terhadap parameter yang dimaksud. Dengan memahami arti sensitivitas tersebut maka kita dapat memilih parameterparameter mana yang perlu mendapatkan analisis sensitivitas sebelum diambil keputusan. Parameter-parameter yang biasanya berubah dan mempengaruhi keputusan dalam analisis meliputi: biaya investasi, nilai manfaat, tingkat suku bunga dan lain sebagainya.