BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap insan dan perbaikan tingkat kesehatan menjadi target dalam pembangunan. Namun masalah gizi masih menjadi problem utama dalam perbaikan tingkat kesehatan penduduk Indonesia khususnya zat besi. Besi memegang peranan penting dalam metabolisme khususnya dalam proses reaksi transfer elektron (Kaushansky, et al. 2010). Anemia Defisiensi Besi (ADB) ternyata tidak hanya menjadi masalah di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2005 memperkirakan sekitar 24,8% dari penduduk di dunia terkena ADB dengan kelompok yang paling tinggi prevalensinya adalah ibu hamil, usia lanjut dan diikuti oleh bayi dan anak usia dua tahun, anak usia pra sekolah, anak usia sekolah dan wanita tidak hamil. Di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil 59%, anak-anak 70,1%, wanita usia subur (WUS) 59,9% dan laki-laki dewasa sebesar 33,4%. Sedangkan di Bali berdasarkan studi yang dilakukan oleh Suega, et al. 2002 yang khususnya meneliti prevalensi ADB pada wanita hamil di Bali menemukan sebesar 46,2% ibu hamil menderita ADB ringan. Dampak dari defisiensi besi adalah terjadi gangguan perkembangan baik motorik maupun kognitif, gangguan metabolisme, penurunan daya tahan tubuh dan banyak dampak negatif yang lain (Brugnara, 2003).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya keadaan kekurangan gizi, kehilangan darah secara kronis atau adanya penyebab lain dan dengan menggunakan modifikasi dari kriteria Kerlin (Bakta, 2006). Pemeriksaan baku emas dalam menegakkan diagnosis ADB adalah pengecatan sumsum tulang dengan tinta biru prusia dimana akan ditemukan butirbutir besi atau hemosiderin tetapi karena adanya beberapa kendala seperti prosedur yang bersifat invasif, variabilitas antar pemeriksa serta kendala biaya maka pemeriksaan ini mulai digantikan dengan pemeriksaan tes hematologi seperti hemoglobin, indeks eritrosit dan pemeriksaan biokimia berdasarkan metabolisme besi seperti feritin, besi serum, saturasi transferin dan Soluble or Serum Transferrin Receptor (sTfR). Alternatif lain dalam menegakkan diagnosis ADB
adalah berdasarkan respons hematologik setelah pemberian terapi
suplementasi besi yaitu adanya peningkatan jumlah hemoglobin, retikulosit atau indeks retikulosit setelah pemberian terapi besi oral atau intravena (Brugnara, 2002 ; Kotisaari, et al. 2003 ; Mast, et al. 2008). Gambaran eritrosit hipokromik melalui pemeriksaan hematologik merupakan indikator langsung adanya kondisi defisiensi besi fungsional namun pemeriksaan ini tidak sensitif sebagai indikator awal kondisi iron deficient erythropoiesis. Sedangkan pemeriksaan biokimia merupakan indikator tidak langsung karena berdasarkan
pengukuran
yang
mencerminkan
kondisi
iron
deficient
erythropoiesis. Sebuah studi oleh Mast tahun 2008 yang membandingkan
sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan biokimia dan hematologi
terhadap
pengecatan besi sumsum tulang sebagai baku emas diagnosis ADB menemukan feritin merupakan tes terbaik dalam menilai cadangan besi (Thomas dan Thomas, 2002 ; Mast, 2008). Pada konsensus K/DIGO tahun 2012 (Kidney Disease Improving Global Outcome) mengenai penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal kronis (PGK), pemeriksaan feritin dan saturasi transferin digunakan untuk menentukan status besi pada penderita penyakit ginjal kronis dengan anemia yang mendapatkan terapi suplementasi besi dan eritropoetin. Menurut WHO, nilai cut off feritin untuk mendiagnosis ADB digunakan angka 15 μg/L tetapi untuk daerah tropik dimana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi maka nilai cut off yang diajukan di negeri barat tampaknya perlu dikoreksi. Hercberg tahun 1991 menganjurkan untuk daerah tropik digunakan batas nilai serum feritin sebesar <20μg/L. Batasan nilai Feritin yang dipakai untuk mendiagnosis ADB berdasarkan modifikasi kriteria Kerlin adalah <20 μg/L. Suega et al. 2007 melalui studinya yang membandingkan beberapa metode diagnosis ADB
pada penderita di RSUP Sanglah menemukan bahwa serum
Feritin memiliki sensitivitas dan spesifisitas paling tinggi dalam mendiagnosis ADB yaitu sebesar 90,6% dengan nilai cut off 35,4 μg/L. Ini senada dengan studi yang dilakukan oleh Thomas dan Thomas tahun 2002 yang juga menemukan pemeriksaan feritin memiliki spesifisitas yang tinggi yaitu sebesar >90% walaupun dengan nilai cut off yang lebih rendah yaitu <21,3 μg/l (Thomas dan Thomas, 2002 ; Bakta, 2006).
Feritin merupakan protein fase akut dan kadarnya akan dipengaruhi oleh kondisi inflamasi kronis dari pasien seperti kanker dan penyakit kronis yang lain, maka penggunaannya untuk menegakkan diagnosis ADB terbatas pada beberapa kondisi (Brugnara, 2002 ; Mast, 2002 ; Thomas dan Thomas, 2002 ; Mast, et al. 2008 ; Swart, et al. 2014). Beberapa keterbatasan tes biokimia lain bila digunakan dalam mendiagnosis ADB misalnya : (Wu, 2002 ; Wish, 2006) 1. Total Iron Binding Capacity (TIBC) yang mengukur secara tidak langsung kadar transferin juga dipengaruhi oleh inflamasi, malnutrisi, infeksi kronis dan kanker 2. Besi serum dipengaruhi oleh variasi diurnal, jenis diet, inflamasi dan infeksi 3. Saturasi Transferin yang didapatkan berdasarkan pembagian besi serum dan TIBC dipengaruhi oleh inflamasi dan variasi diurnal 4. Soluble or Serum Transferin Receptor yang mengukur jumlah reseptor transferin pada retikulosit diketahui merupakan indikator defisiensi besi yang terbaik tetapi belum terdapat banyak studi mengenai efisiensi tes ini dalam mendiagnosis defisiensi besi, belum terdapat nilai cut off yang resmi dan tidak banyak tersedia. Dengan demikian walaupun diagnosis ADB mudah tetapi dapat cukup menyulitkan seperti pada kondisi penyakit akut dan kronis. Skrining dengan tujuan menemukan kondisi defisiensi besi sebelum timbulnya anemia dengan menggunakan parameter pemeriksaan hematologi dan biokimia menjadi tidak praktis akibat pengaruh dari faktor tersebut (Brugnara, et al. 1994 ; Brugnara, 2003 ; Ullrich, et al. 2005 ; Karlsson, 2011 ; Swart, et al. 2014).
Penemuan
teknologi
flowcytometric
memberikan
kemudahan
dalam
menegakkan diagnosis ADB. Instrumen pemeriksaan hematologi yang diproduksi oleh Bayer® yaitu ADVIA 120® dan Sysmex® yaitu Sysmex Analysers XE and XN Series® menyediakan pemeriksaan yang dapat mengukur kadar hemoglobin yang terkandung dalam sel eritrosit muda atau retikulosit dimana pemeriksaan ini disebut Reticulocyte Hemoglobin Content (CHr pada ADVIA) atau Equivalent Hemoglobin Reticulocyte (Ret-He pada Sysmex). CHr merupakan produk penghitungan volume sel dikalikan konsentrasi hemoglobin di dalam sel retikulosit sedangkan Ret He mengukur inkorporasi besi di dalam hemoglobin retikulosit sehingga dapat menghasilkan estimasi langsung dari ketersediaan besi dalam erythron (Urrechaga, 2014). Dalam keadaan normal retikulosit merupakan sel eritrosit muda yang dilepaskan dari sumsum tulang menuju sirkulasi perifer. Proses maturasi retikulosit berlangsung selama 1-3 hari di sumsum tulang kemudian masuk ke sirkulasi perifer dan berada di sana selama 1-2 hari sebelum berubah menjadi eritrosit matur. Atas dasar masa hidup retikulosit yang singkat inilah pengukuran kadar hemoglobin retikulosit secara tidak langsung dapat memberikan informasi ketersediaan besi fungsional yang dapat dipakai untuk memproduksi sel darah merah yang baru dalam jangka waktu 3-4 hari ke depan sehingga pemeriksaan ini dapat dipakai dalam mendiagnosis ADB (Brugnara, et al. 1994 ; Kotisaari, et al. 2003 ; Brugnara, 2006 ; Mast, 2008). Bila digunakan dalam menilai respons hematologik setelah pemberian terapi suplementasi besi, sebuah studi yang dilakukan oleh Kotisaari dkk menemukan bahwa CHr memberikan peningkatan dalam waktu 1 minggu setelah penderita
ADB mendapatkan terapi suplementasi besi, dan hal ini juga senada dengan studi yang dilakukan oleh Brugnara tahun 1994 yang menemukan bahwa terdapat peningkatan kadar CHr dengan rata-rata 3,2 pg setelah diberikan terapi selama 1 minggu. Bila dibandingkan dengan pemeriksaan hemoglobin yang baru memberikan peningkatan sebesar 1-2 gr/dL setelah diberikan terapi selama 1 bulan tentunya CHr memberikan hasil yang lebih cepat (Brugnara, et al. 1994 ; Kotisaari, et al. 2003 ; Mast, 2008). Pemeriksaan retikulosit juga dapat dipakai untuk pengamatan respons terapi subtitusi ADB tetapi berdasarkan studi yang dilakukan oleh Buttarello tahun 2004 dan 2008 menunjukkan CHr lebih cepat dalam menunjukkan respons terapi karena dalam 48 jam setelah diberikan terapi telah terjadi peningkatan (Butarello, 2004). Kelebihan CHr dan Ret-He adalah pemeriksaan ini relatif tidak dipengaruhi oleh proses inflamasi, infeksi akut dan kronis, faktor diet dan variasi diurnal, serta lebih ekonomis dan lebih cepat dalam menunjukkan keberhasilan terapi, sehingga merupakan indikator yang sensitif dalam mendiagnosis defisiensi besi dan skrining defisiensi besi sekaligus sebagai indikator respons terapi walaupun belum ditemukan nilai cut off yang terstandarisasi secara resmi (Mast, et al. 2002 ; Brugnara, 2003 ; Ullrich, et al. 2005 ; Brugnara, 2006 ; Mast, 2007 ; Urrechaga, et al. 2009 ; Swart, et al. 2014 ; Urrechaga, 2014). Brugnara pada tahun 2003 telah melakukan studi untuk mencari nilai cut off CHr dalam memprediksi defisiensi besi pada beberapa populasi dengan hasil terdapat perbedaan nilai CHr pada bayi, anak dan dewasa dimana nilai CHr < 27,2 pg merupakan prediktor defisiensi besi yang signifikan pada bayi, sedangkan
pada anak dipakai nilai <28,4 pg (Brugnara,2003). Studi oleh Ullrich tahun 2005 yang melakukan skrining defisiensi besi pada bayi yang sehat menggunakan nilai CHr sebesar 27,5 pg (Ullrich, 2005). Variabilitas nilai CHr yang tergantung usia pada bayi dan anak-anak disebabkan karena adanya perubahan nilai MCV (Mean Corpuscular Volume) dan MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) pada awal 2 tahun kehidupan (Brugnara, 2003). Tahun 2006 Brugnara kembali melakukan studi untuk membandingkan nilai Ret-He pada Sysmex dan CHr pada Bayer ADVIA dan ditemukan hasil yang senada. Urrechaga tahun 2009 mencoba mencari nilai cut off Ret-He menegakkan diagnosis ADB pada penderita dewasa dan ditemukan nilai < 29 pg. Sedangkan studi oleh Karlsson tahun 2011 pada orang tua dengan kondisi anemia menemukan nilai CHr 30,5 pg sebagai cut off. CHr juga digunakan dalam mendeteksi defisiensi besi pada penderita yang menjalani hemodialisis dan digunakan pula sebagai indikator respon terapi eritropoetin pada penderita anemia pada gagal ginjal (Kaneko, 2003 ; Brugnara, 2006 ; Buttarelo, 2010 ; Karlsson, 2011). Di Indonesia publikasi tentang penggunaan CHr dan Ret-He untuk mendiagnosis ADB belum banyak didapatkan. Konsensus Manajemen Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik 2011 menetapkan kadar hemoglobin retikulosit <29 pg sebagai pertanda defisiensi besi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Primiastanti pada wanita usia reproduksi ditemukan kadar Ret-He sebesar 33,65 pg sebagai prediktor defisiensi besi walaupun sensitivitas dan spesivisitas kurang dari 80%.
Pemeriksaan Ret-He ini ternyata sangat penting dalam mendiagnosis defisiensi besi namun belum terdapat standarisasi nilai cut off dan belum sering digunakan. Atas dasar inilah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemeriksaan ekuivalen hemoglobin retikulosit dapat dipakai menjadi salah satu modalitas pemeriksaan untuk mendiagnosis ADB sekaligus sebagai indikator keberhasilan terapi pada ADB. 1.2 Rumusan Masalah 1. Berapakah akurasi (sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif) dari Ret-He dibandingkan dengan feritin dalam diagnosis ADB ? 2. Apakah pemeriksaan Ret-He lebih baik sebagai indikator respon terapi ADB bila dibandingkan dengan hemoglobin, retikulosit dan indeks eritrosit? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum Untuk mengetahui peran Ret-He dalam diagnosis ADB dan sebagai indikator keberhasilan terapi pada ADB
1.3.2
Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui akurasi Ret-He (sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif) dibandingkan dengan Feritin dalam mendiagnosis ADB. 2. Untuk menilai peran Ret-He sebagai parameter respons terapi dibandingkan dengan hemoglobin, retikulosit dan indeks retikulosit.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat akademis
Mendapatkan pemeriksaan baru untuk diagnostik ADB yang dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis ADB 1.4.2
Manfaat praktis Proses diagnosis ADB akan lebih mudah karena pemeriksaan ini lebih cepat, praktis dan ekonomis serta tidak dipengaruhi penyakit kronis. Selain itu respon terapi dapat terpantau lebih awal.