BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang melakukan
pembangunan di segala bidang (Prawagis dkk, 2016). Pembangunan yang dilakukan pemerintah ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik material maupun spiritual dalam rangka mewujudkan tercapainya pembangunan nasional yang telah dicita-citakan (Febrianti, 2011). Untuk melaksanakan kegiatan pembangunan tersebut, maka pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit (Prawagis dkk, 2016). Dana yang dimaksud tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menunjukkan bahwa sektor perpajakan memberikan kontribusi terbesar bagi penerimaan negara. Ini memberikan tugas kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk senantiasa melakukan usaha guna meningkatkan jumlah penerimaan pajak (Pangestu dan Rusmana, 2012). Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa salah satu penopang pendapatan nasional yaitu berasal dari penerimaan pajak yang menyumbang sekitar 70-80 % dari seluruh penerimaan negara bersumber dari pajak (www.pajak.go.id). Sedangkan penerimaan yang lain sebesar 20% bersumber dari pendapatan sumber daya alam, bagian laba BUMN, PNBP lainnya dan pendapatan BLU (Farida dkk, 2014). Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan di sektor pajak dimulai pada tahun 1983 melalui modernisasi perpajakan (Sugiharti dkk, 2015). 1
2
Misalnya mengganti sistem pemungutan pajak dari official assessment system menjadi self assessment system. Penentuan besarnya pajak terutang yang semula ditetapkan pemerintah (official assessment system) berubah menjadi ditentukan sendiri oleh masyarakat (self assessment system) (Suntono dan Kartika, 2015). Penggunaan Self Assessment System dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia memberi kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban maupun hak perpajakannya, diantaranya adalah dalam menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban pajaknya melalui
Surat Pemberitahuan (SPT)
(Pangestu dan Rusmana, 2012). Kewajiban untuk membayar pajak merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh warga negara. Di Indonesia khususnya, aturan mengenai perpajakan sudah diatur secara jelas di dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, awalnya peraturan mengenai perpajakan ini diatur dalam UU No. 6 Tahun 1983 yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan dan perubahan yang terbaru adalah UU No. 28 Tahun 2007. Didalam UU tersebut sudah dijelaskan secara terperinci apa-apa saja yang terkait dengan pelaksanaan pajak, serta apa saja yang harus diperhatikan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar. Jelasnya peraturan yang telah dibuat tersebut, mengartikan bahwa kewajiban perpajakan merupakan kewajiban mutlak yang tidak dapat dihindarkan. Apabila kewajiban tersebut mampu dilaksanakan warga negara maka tindakan ini merupakan kesesuaian atas kewajiban sehingga dapat dikatakan sebagai tidakan kepatuhan sebagai Wajib Pajak.
3
Sadhani (dalam Santi, 2012) menjelaskan bahwa tingkat kepatuhan perpajakan masih tergolong rendah yang ditunjukkan dengan masih sedikitnya jumlah individu yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan melaporkan SPT. Kota Semarang hingga tahun 2014 mencatat terdapat sebanyak 48.364 WPOP usahawan yang terdaftar dan sebanyak 38.039 WPOP yang efektif. Meski demikian, hanya 27.907 WPOP yang menyampaikan SPT, yang berarti tingkat kepatuhan WPOP di Kota Semarang hanya 73,36%. Berdasarkan data yang ada pula dilihat bahwa tingkat kepatuhan WPOP di Kota Semarang ternyata makin menurun dari tahun ke tahun. Tabel 1.1 di bawah ini dapat memberikan gambaran mengenai tingkat kepatuhan WPOP di Kota Semarang: Tabel 1.1 Tingakat Kepatuhan WPOP di Kota Semarang Tahun 2010 – 2014
SPT No. Tahunan
WP Terdaftar
WP Efektif
WP WP yang Tingkat Non Menyampaikan Kepatuhan Efektif SPT (%)
1.
2010
43.268
34.183
9.085
25.313
74,05
2.
2011
45.756
35.715
10.041
26.435
74,02
3.
2012
46.124
36.338
9.786
26.825
73,82
4.
2013
47.239
36.876
10.363
27.178
73,70
5.
2014
48.364
38.039
10.325
27.907
73,36
Sumber : KPP di Kota Semarang (2015)
4
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas maka dapat dilihat bahwa dari tahun 2010 hingga 2014, tingkat kepatuhan WPOP di Kota Semarang senantiasa menurun. Hal ini tentu membutuhkan suatu kajian agar hal tersebut tidak terjadi berlarutlarut. Oleh sebab itu perlu dilakukan kajian guna mengetahui dimensi apa saja yang terkait dengan kepatuhan WPOP di Kota Semarang. Kesadaran membayar pajak merupakan keadaan dimana wajib pajak mau membayar pajak karena merasa tidak dirugikan dari pembayaran pajak yang dilakukannya. Beberapa bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong wajib pajak untuk membayar pajak (Rantum dan Priyono, 2009). Pertama, kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara. Dengan menyadari hal ini, wajib pajak mau membayar pajak karena merasa tidak dirugikan dari pemungutan pajak yang dilakukan. Pajak disadari digunakan untuk pembangunan negara guna meningkatkan kesejahteraan warga negara. Kedua, kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak sangat merugikan negara. Wajib pajak mau membayar pajak karena memahami bahwa penundaan pajak berdampak pada kurangnya sumber daya finansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara. Ketiga, kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan Undang-Undang dan dapat dipaksakan. Wajib pajak akan membayar karena pembayaran pajak disadari memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan kewajiban mutlak setiap warga negara. Kewajiban dan hak perpajakan dibagi ke dalam dua kepatuhan meliputi kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal dan material ini lebih jelasnya diidentifikasi kembali dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
5
544/KMK.04/2000 bahwa kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir; tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir; dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%; wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif/hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara
formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan
Nurmantu (dalam Saputra, 2013). Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu tentang kepatuhan wajib pajak pernah dilakukan oleh Rajiman (2014) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak di Surabaya adalah tingkat pengetahuan masyarakat, faktor perilaku pengguna anggaran, faktor pendapatan dan faktor sanksi perpajakan.
6
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Hutagaol, dkk (2007) menyatakan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak yaitu besarnya penghasilan, sanksi perpajakan, persepsi penggunaan uang pajak secara transparan dan akuntabilitas, perilakuan perpajakan yang adil, penegakan hukum, dan database. Menurut Utami, dkk (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak yaitu kesadaran membayar pajak, pengetahuan, pemahaman peraturan pajak, dan kualitas pelayanan sedangkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara faktor persepsi atas efektifitas sistem perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Sedangkan dalam penelitiannya Hidayat dan Nugroho (2010) menyatakan bahwa pertama, sikap terhadap ketidakpatuhan berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap niat untuk tidak patuh terhadap pajak. Kedua, norma subyektif berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap niat untuk tidak patuh terhadap pajak. Ketiga, kewajiban moral berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat untuk tidak patuh terhadap pajak. Keempat, PBC berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap niat untuk tidak patuh terhadap pajak. Kelima, PBC berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap perilaku ketidakpatuhan pajak. Keenam, niat seseorang untuk tidak patuh terhadap pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku ketidakpatuhan pajak. Hasil perbandingan antara deskriptif variabel dengan hasil loading factor masing-masing indikator terhadap variabel, menemukan: pertama, kontribusi
7
terbesar terhadap sikap ketidakpatuhan pajak tetaplah aspek ekonomi yaitu memaksimalkan utilitas finansial. Kedua, pihak yang memberikan kontribusi terbesar dalam norma subyektif adalah konsultan pajak dan berikutnya adalah teman/orang terdekat dilingkungan. Ketiga, kontribusi paling besar terhadap tingginya moral untuk patuh terhadap pajak diberikan oleh indikator rasa bersalah. Keempat, PBC yang cukup besar terhadap ketidakpatuhan pajak disebabkan oleh kontribusi controllability. Peneliti Effendy dan Toly (2013) menyatakan bahwa ada 5 faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan wajib pajak dalam membayar pajak pertambahan nilai. Faktor-faktor itu adalah faktor kepercayaan atas kepastian hukum, faktor persepsi wajib pajak atas sanksi pajak pertambahan nilai, faktor kondisi ekonomi perusahaan,
faktor media massa dan politik, dan faktor kesadaran pajak
pertambahan nilai. Menurut Basri, dkk (2014) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan wajib pajak yaitu keadilan dan norma moral memiliki pengaruh yang signifikan terhadap niat tapi norma sosial, risiko deteksi, sanksi, dan religiusitas belum signifikan. Sanksi, religiusitas dan niat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku tidak patuh. Mengingat kompleksnya masalah di dalam peningkatan kepatuhan wajib pajak, maka melalui skripsi ini penulis berusaha untuk mengetahui, meneliti, mengkaji serta memecahkan permasalahan kepatuhan wajib pajak di Kota Semarang dengan judul : “ANALISIS KEPATUHAN WAJIB PAJAK (Study
8
Kasus Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Wilayah KPP Pratama Semarang Barat) “
1.2.
Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah maka dapat dilihat suatu kondisi yang kurang
optimal dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat, maka dapat ditarik rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana perspektif kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) di KPP Pratama Semarang Barat ? 2. Apa saja faktor-faktor penyebab ketidakpatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) di KPP Pratama Semarang Barat ?
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah, untuk:
1. Mengetahui perspektif kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) di KPP Pratama Semarang Barat. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab ketidakpatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) di KPP Pratama Semarang Barat.
1.4.
Manfaat Penelitian dan atau Kontribusi Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:
9
1.4.1. Bagi Akademis Memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian yang sama pada waktu yang akan datang khususnya dalam bidang Ilmu Ekonomi Perpajakan yaitu mengenai Kepatuhan Wajib Pajak. 1.4.2. Bagi Praktisi 1.
Sebagai model pengkajian terhadap pengembanangan kepatuhan wajib pajak pada KPP Pratama Semarang Barat, sehingga pada pengaplikasiannya dapat menjadi bahan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Pusat terkait dengan Kepatuhan Wajib Pajak.
2.
Sebagai media untuk mengaplikasikan berbagai teori yang telah dipelajari, sehingga selain berguna untuk mengembangkan pemahaman, penalaran dan pengalaman penulis juga untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan Ilmu Ekonomi Perpajakan yaitu mengenai Kepatuhan Wajib Pajak.
3.
Bagi penulis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman sebagai bekal dan sarana berlatih untuk mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Danim (2002)
mendefinisikan penelitian kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif yang digunakan untuk menjelaskan pengalaman hidup dan memberikan makna atasnya. Penelitian kualitatif bukan ide baru dalam berbagai cabang ilmu, dan mungkin juga akan terus berkembang di dunia penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Sedangkan Sugiyono (2012) mengemukakan bahwa metode
kualitatif
ialah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Selain definisi-definisi diatas, ada definisi penelitian kualitatif lainnya seperti yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (dalam Kaelan, 2012) mengartikan bahwa metode penelitian kualtitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata (bisa lisan untuk penelitian agama, sosial, budaya, filsafat), catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Penelitian kualitatif mengutamakan latar alamiah, agar hasilnya dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena, dan metode
40
41
yang biasanya digunakan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. Penelitian
ini
menggunakan
metode
kualitatif
karena
peneliti
menganggap permasalahan yang diteliti cukup kompleks dan dinamis sehingga data yang diperoleh dari para narasumber tersebut dijaring dengan metode yang lebih alamiah yakni interview langsung dengan para narasumber sehingga didapatkan jawaban yang alamiah. Selain itu, peneliti bermaksud untuk memahami situasi sosial secara mendalam, menemukan pola, hipotesis, dan teori yang sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan (Gunawan, 2010). Penelitian
kualitatif
tidak
pernah
terlepas
dari
istilah
analisis
fenomenologi. Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu Moleong (dalam Gunawan, 2010).
3.2.
Setting Penelitian Menurut Sugiyono (2012) dalam penelitian kualitatif, penentuan fokus
dalam proposal lebih didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari situasi sosial (lapangan). Kebaruan informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami secara lebih luas dan mendalam tentang situasi sosial, tetapi juga ada keinginan untuk menghasilkan hipotesis atau ilmu baru dari situasi sosial yang diteliti. Fokus yang sebenarnya dalam penelitian kualitatif diperoleh setelah peneliti melakukan grand tour observation dan grand tour question atau yang disebut dengan penjelajahan umum. Dari penjelajahan umum ini peneliti akan
42
memperoleh gambaran umum menyeluruh yang masih pada tahap permukaan tentang situasi sosial. Untuk dapat memahami secara lebih luas dan mendalam, maka diperlukan pemilihan fokus penelitian. Menurut Moleong (dalam Gunawan, 2010), pada dasarnya penelitian kualitatif tidak dimulai berdasarkan
dari
sesuatu
yang kosong, tetapi
dilakukan
persepsi seseorang terhadap adanya masalah. Masalah dalam
penelitian kualitatif bertumpu pada sesuatu fokus. Penetapan fokus dapat membatasi studi dan berfungsi untuk memenuhi
kriteria
masuk-keluar
(inclusion-exlusion criteria) suatu informasi yang diperoleh di lapangan, jadi fokus dalam penelitian kualitatif berasal dari masalah itu sendiri dan fokus dapat menjadi bahan penelitian. Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkan adanya batas dalam penelitian atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, batas menentukan kenyataan jamak yang kemudian mempertajam fokus. Kedua, penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus. Dengan kata lain, bagaimanapun penetapan fokus sebagai pokok masalah penelitian penting artinya dalam menentukan usaha menemukan batas penelitian. Dengan hal itu, peneliti dapat menemukan lokasi penelitian Gunawan (2010). Fokus penelitian pada penelitian ini adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Semarang beserta faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Penelitian ini difokuskan di salah satu KPP Kota Semarang karena peneliti berasumsi bahwa sulitnya sumber informasi yang akan didapat dari keseluruhan
43
KPP Kota Semarang. Maka di dalam hal ini peneliti fokus di salah satu KPP Kota Semarang yaitu KPP Pratama Semarang Barat.
3.3.
Pemilihan Informan Dalam penelitian ini dibutuhkan beberapa narasumber yang disebut
sebagai informan. Menurut Moleong (2004:90), informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Informan sebaiknya yang memenuhi kriteria sebagai berikut Sanafiah Faisal (1990) dengan mengutip pendapat Spradley (dalam Sugiyono, 2012:56-57): 1.
Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayatinya.
2.
Mereka yang tergolong masing sedang berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang tengah diteliti.
3.
Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi.
4.
Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil “kemasannya” sendiri.
5.
Mereka yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan peneliti sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau narasumber. Jadi informan haruslah pihak yang mengetahui materi atau masalah yang
dicakup dalam penelitian. Dalam penelitian ini pemilihan informan adalah orangorang yang benar-benar mengetahui dan memahami tentang kepatuhan Wajib Pajak di Kota Semarang. Adapun yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah :
44
1.
Tiga Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Semarang Barat.
2.
Satu Akademisi Pajak (Stakeholders) tentang kepatuhan Wajib Pajak.
3.
Satu Fiskus Pajak di KPP Pratama Semarang Barat
3.4.
Sumber Data Menurut Lofland (dalam Gunawan, 2010) sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Yang dimaksud kata-kata dan tindakan disini yaitu kata-kata dan tindakan orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama (primer). Sedangkan sumber data lainnya bisa berupa sumber tertulis (sekunder), dan dokumentasi seperti foto. a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui pengamatan dan wawancara dengan informan atau responden. Peneliti akan wawancara dengan informan untuk menggali informasi mengenai kepatuhan dan ketidakpatuhan Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai usaha dalam memenuhi perpajakannya. Penelitian ini yang menjadi sumber data utama adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Semarang Barat. Sumber data pendukung dalam penelitian ini adalah Akademisi Perpajakan dan Fiskus Pajak. b. Data sekunder Data sekunder merupakan data tambahan berupa informasi yang akan melengkapi data primer. Data tambahan yang dimaksud meliputi dokumen atau
45
arsip didapatkan dari berbagai sumber, foto pendukung yang sudah ada, maupun foto yang dihasilkan sendiri, serta data yang terkait dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi tentang relitas atau fenomena sosial yang bersifat unik atau kompleks. Oleh karena itu, prosedur penentuan sampel yang paling penting adalah bagaimana menentukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang sesuai dengan fokus penelitian (Bungin, 2003). Dalam hal ini, fokus peneliti adalah tentang Kepatuhan Wajib Pajak di KPP Pratama Semarang Barat dimana objeknya adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Semarang Barat yang
sekaligus
menjadi
bagian
dari
narasumber dalam penelitian ini. Sedangkan sampel yang terpilih berjumlah lima orang diantaranya tiga orang Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Semarang Barat, satu berprofesi sebagai Akademisi Perpajakan dan satu sebagai Fiskus Pajak di KPP Pratama Semarang Barat. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk menyelami lebih dalam faktor-faktor yang menjadi sarana untuk patuh dan tidak patuh dalam pemenuhan perpajakannya.
3.5.
Pengumpulan Data Dalam penelitian Kualitatif, terdapat empat macam teknik pengumpulan
data adalah observasi, wawancara, dokumentasi dan trianggulasi/ gabungan (Sugiyono, 2008). Selain itu peneliti juga memerlukan buku, alat tulis, panduan wawancara, dan tape recorder sebagai alat pengumpul data. Pengumpulan data merupakan suatu usaha untuk mendapatkan data yang valid dan akurat yang dapat
46
dipertanggungjawaban sebagai bahan untuk pembahasan dan pemecahan masalah. Dalam penelitian ini, guna memperoleh informasi yang diharapkan, pengumpulan data dilakukan melalui: a. Indepth-Interview (Wawancara Mendalam) Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu. Wawancara mendalam dilakukan secara purposive dengan para informan yang benar-benar terlibat secara langsung dalam pemenuhan perpajakan di Kota Semarang. Dengan wawancara diharapkan dapat menggali data sebanyakbanyaknya yaitu dengan bicara terbuka dan apa saja yang berkaitan dengan masalah penelitian, dalam garis besar tetap terstruktur. Disini digunakan interview guide (pedoman wawancara) yang menjaga wawancara tetap dalam garis besar yang terstruktur. Dengan keadaan seperti ini, maka peneliti sebagai instrumen penelitian dituntut bagaimana membuat informan lebih terbuka dan leluasa dalam memberikan informasi atau data. b. Observasi (Pengamatan) Observasi lapangan dilakukan umtuk melihat secara langsung bagaimana kondisi atau fakta yang ada dan terjadi, sehingga dapat dicocokan antara hasil wawancara dengan kenyataan lapangan. Sehingga data yang diperoleh dapat saling melengkapi satu sama lain.
47
c. Dokumentasi Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, prasasti, notulen surat leger, agenda dan lain sebagainya. (Arikunto, 1998:236). d. Studi Pustaka Studi Kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara mencari informasi melalui buku-buku, artikel, literatur dan catatan-catatan yang relevan dengan penelitian. Pada proses pengumpulan data, peniliti pada tahap awal mewawancarai narasumber dari Akademisi Perpajakan di Kota Semarang, untuk narasumber selanjutnya akan ditentukan kemudian setelah ada rekomendasi dari narasumber pertama atau peneliti mempunyai inisiatif lain setelah mendapat data dari narasumber pertama.
3.6.
Kredibilitas Data Penelitian Setelah data terkumpul selanjutnya peneliti melakukan Triangulasi data
guna mengarahkan peneliti agar dalam mengumpulkan data
menggunakan
beragam sumber data yang tersedia. Artinya data yang sama atau sejenis, akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Dengan demikian data yang diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih teruji kebenarannya bilamana dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara: 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
48
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. 3. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen.
3.7.
Teknik Analisis Teknik analisis kualitatif merupakan kajian yang menggunakan data-data
teks, persepsi, dan bahan-bahan tertulis lain untuk mengetahui hal-hal yang tidak terukur dengan pasti (intangible). Analisis data secara kualitatif bersifat hasil temuan secara mendalam melalui pendekatan bukan angka atau nonstatistik (Istijanto, 2008). Jadi, penelitian kualitatif tidak memiliki rumus atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data. Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif dapat lebih bisa menemukan kenyataankenyataan jamak yang terdapat pada data. Kedua, analisis induktif lebih bisa membuat hubungan peneliti-koresponden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel. Ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat atau tidaknya pengalihan suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pegaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik. Dalam penelitian kualitatif, metode analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Menurut Miles and Huberman dalam
49
Sugiyono (2008), analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif melalui proses data reduction, data display, dan verification. 1.
Reduksi Data (Data Reduction) Reduksi data merupakan elemen pertama dalam suatu proses analisis yang mencakup proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data dari data yang diperoleh dilapangan. Reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuat hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemekian rupa sehingga penelitian dapat dilakukan. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa reduksi data adalah suatu kegiatan yang nantinya dalam penelitian ini akan melakukan suatu proses terperinci yang mencakup, pertama, data dan informasi yang diperoleh dilapangan dalam bentuk rekaman (suara atau video), foto atau tulisan harus diterjemahkan dalam sebuah laporan tertulis. Kedua, laporan tersebut perlu direduksi, dirangkum, dan dipilah-pilah hal yang pokok. Ketiga, kemudian difokuskan pada hal-hal yang penting sesuai pola dan temanya. Jadi laporan lapangan sebagai bahan mentah disingkatkan, disusun secara sistematis, ditonjolkan pokok-pokok yang penting, sehingga lebih mudah untuk dikendalikan. Data yang direduksi akan lebih tajam, juga mempermudah peneliti untuk melanjutkan keproses analisis selanjutnya.
2.
Sajian Data (Data Display) Sajian
data
merupakan
suatu
rakitan
organisasi
informasi,
deskripsikan dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian
50
dapat dilakukan. Sajian data mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian, sehingga narasi yang disajikan merupakan deskripsi kondisi yang rinci untuk menceritakan dan menjawab setiap permasalahan yang ada. Dalam hal ini Milles dan Huberman dalam Sugiyono (2008:249) menyatakan bahwa “yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif”. Untuk mempermudah sajian data digunakan skema, matrik, jaringan berkait kegiatan dan tabel apabila diperlukan. 3.
Penarikan Simpulan dan Verifikasi Penarikan simpulan dan verifikasi adalah kegiatan analisis ketiga yang berusaha mencari data yang dikumpulkan, kemudian mencari pola, tema hubungan, permasalahan hal-hal yang sering muncul dan sebagainya. Jadi dari data yang diperoleh kemudian dibuat suatu kesimpulan. Kesimpulan ini pada awalnya masih kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahnya data, kesimpulan itu akan mempunyai landasan yang kuat terhadap fenomena yang ada. Untuk menguatkan kesimpulan peran verifikasi sangat penting, karena dalam setiap penarikan kesimpulan yang diikuti proses verifikasi akan membuat suatu kesimpulan mempunyai dasar kebenaran dalam menjawab suatu permasalahan atau fenomena.
51
Gambar 3.1. SSkema Verifikasi Data Penelitian
Narasumber 1
Fiskus Pajak Studi Pustaka
Narasumber 2
Verifikasi
Akademisi Pajak
Narasumber 3
Skema di atas menjelaskan mengenai proses rancangan verifikasi data penelitian, pada tahap analisis data penelitian. Tahap awal melakukan wawancara dan pengamatan kepada narasumber penelitian berdasarkan pedoman wawancara. Kemudian hasil wawancara tersebut, disilang pendapatkan dengan narasumber ahli serta dengan studi kepustakaan yang mendasari. Hasil verifikasi tersebut menjadi kajian utama tahap analisis data.