MODAL NIR FISIK DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI: Perspektif Baru di Era Ekonomi Pengetahuan Orasi Ilmiah Disampaikan Pada acara Dies Natalis Universitas Tadulako Xxix Di palu, 18 Agustus 2010
oleh: Dr. Mauled Moelyono, S.E., M.A.
Bismillahirrahmanirrahim, Yang Saya Hormati:
Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Selaku Ketua Kehormatan Dewan Penyantun Universitas Tadulako;
Rek tor Universitas Tadulako;
Para Anggota Senat Universitas Tadulako;
Para Pejabat Sipil dan Militer dsi Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah;
Para Pimpinan Fakultas, Dosen, dan Karyawan Universitas Tadulako;
Para Mahasiswa, dan Hadirin Para undangan yang Berbahagia.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh;
Semoga rahmat dan berkah Allah SWT senantiasa terlimpahkan kepada kita sekalian.
Pengantar Mengawali orasi ilmiah ini, saya kembali mengajak kepada kita sekalian untuk sejenak bermunajat seraya memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas ridho dan hidayah NYA, pada hari ini, Rabu, Tanggal 18 Agustus 2010, kita dapat merayakan kembali Dies Natalis Universitas Tadulako yang ke-29. Dirgahayu Universitas Tadulako. Ungkapan rasa hormat dan ucapan terimakasih yang tulus tak lupa saya sampaikan kepada Rektor Universitas Tadulako dan segenap warga sivitas akademika yang telah mempercayakan kepada saya untuk berbagi pengetahuan dalam forum yang mulia ini tentang bidang keilmuan yang saya pelajari. Kepada para teman sejawat dosen, ibu-ibu dan bapak-bapak, para mahasiswa dan hadirin para undangan yang berbahagia, saya pun mengucapkan terima kasih yang tulus atas kesediaannya mengikuti orasi ilmiah
ini.
Selanjutnya,
perkenankanlah
saya
pada
forum
ini
menyampaikan orasi ilmiah dengan judul “Modal Nir Fisik dalam Pembangunan Ekonomi: perspektif baru di era ekonomi pengetahuan”. Ketua Dewan Penyantun, Para Anggota Senat, dan Hadirin yang Saya Muliakan, Renungan dan pergumulan saya akhir-akhir ini dengan berbagai realitas dan dinamika kehidupan, terutama kehidupan ekonomi, telah mengantarkan saya pada sebuah kesimpulan bahwa masa depan ekonomi akan semakin rumit, penuh dengan kejutan dan ketakterdugaan, serta syarat dengan ketidakpastian dan persaingan.
Disadari atau tidak, wujud masa depan ekonomi seperti itu akan disertai dengan menurunnya rasa saling percaya mempercayai dan semangat kebersamaan antar sesama pelaku ekonomi. Indikasi ke arah itu sudah mulai tampak, bahkan dalam kehidupan masyarakat saat ini sudah mengalami ketidakpercayaan yang luar biasa, oleh karena itu mereka sudah sangat merindukan adanya kepastian dan tegaknya hukum serta wujudnya rasa keadilan di tengah-tengah kehidupannya. Dalam kondisi ketidakpercayaan yang luar biasa itu, biasanya setiap upaya meretas jalan untuk meraih sukses, apalagi mempertahankannya, terasa sangat berliku, sulit dan berat, termasuk upaya kita dalam memajukan institusi pendidikan ini. Realitas tersebut merefleksikan bahwa kualitas modal sosial1 masyarakat sudah mulai memudar. Keberadaan dan peranannya semakin ditiadakan oleh hiruk pikuk kehidupan masyarakat yang semakin tidak bersahabat lagi karena lebih mengutamakan dan mengagungkan prestasi dan kebendaan. Begitulah realitas sosial yang sedang mendera kehidupan masyarakat saat ini, sehingga tidak mengherankan jika kemudian muncul semangat baru saling mencurigai dan tidak mempercayai antar sesama, memaksakan sebuah kebenaran yang sesungguhnya sudah salah dan lain sejenisnya, sehingga demi dan atas nama demokrasi, yang namanya kebenaran,
1 Modal sosial didefinisikan sebagai kehendak baik (goodwill) yang ada pada individu atau kelompok. Sumbernya berada dalam struktur dan isi dari hubungan sosial para aktor. Efeknya mengalir dari informasi, pengaruh, dan solidaritas para aktor. Definisi ini meliputi hubungan internal dan eksternal yang memungkinkan modal sosial dapat dihubungkan, baik dengan individu maupun dengan para aktor secara kolektif. Dari segi sifat dan kegunaannya, modal sosial merupakan perantara dan sekaligus sebagai peluang yang memungkinkan setiap individu atau anggota-anggota dalam organisasi dapat saling berinteraksi melakukan transaksi atau pertukaran melalui jaringan sosial.
kejujuran dan keadilan itu hanya ditentukan oleh nalar berpikir yang dilegitimasi oleh kekuatan kelompok mayoritas, sementara kejujuran hati nurani sengaja dijauhkan dari peradaban. Andaikata hidup ini bisa seperti jarum waktu yang bisa diputar ke depan dan ke belakang dengan sesuka hati, maka kita bisa dengan mudah memutar jarum waktu yang dikehendaki ke titik waktu tertentu yang dianggap lebih baik dari hari ini, namun itu tidak mungkin. Mau atau tidak mau, realitas kehidupan dengan segala pernik-pernik masalahnya harus dihadapi dan dicarikan solusinya, bukan dihindari. Dalam kenyataannya, kehidupan yang kita jalani saat ini belum semencekam itu, kita masih diberikan kemampuan meresensi kehidupan, menalar dan belajar dari fenomena alam sekitar serta masih bisa menikmati hidup ini dengan leluasa dan bersahaja. Kita masih dibukakan mata menyaksikan indahnya matahari yang konsisten terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat, menyinari bumi dan memberi kehangatan kepada kita tanpa pilih kasih serta menjadikan kehidupan ini menjadi lebih hidup. Belajar dari fenomena alam tersebut, harusnya dapat dipahami dan dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam meresensi dan membangun kehidupan ini menjadi lebih indah, damai dan harmonis.
Arah Perubahan Pembangunan Ekonomi Hadirin yang mulia, Sebelum kita membicarakan modal nir fisik dalam pembangunan ekonomi sebagai inti dari orasi ini, marilah kita meresensi kembali pembangun ekonomi dan tahap-tahap dalam perikehidupan ekonomi umat manusia. Sebagaimana diketahui, kini kita telah memasuki zaman baru, Abad XXI, yaitu suatu zaman yang benar-benar telah berubah dari zaman
sebelumnya, dari zaman agrikultur menuju ke zaman industri dan selanjutnya sampai ke zaman internet yang masing-masing memiliki pencirinya sendiri. Pada zaman agrikultur, tidak ada kebutuhan standarisasi, sehingga orang cukup mendidik diri sendiri atau bekerja di rumah. Tuntutan bekerja keras lewat kerja fisik lebih menonjol. Di zaman Industri, tuntutan akan kebutuhan standarisasi sangat kuat, sehingga kebutuhan akan pendidikan untuk persiapan bekerja menjadi keharusan. Namun, tuntutan akan standarisasi itu tidak menekankan kualitas dan talenta individual. Kemudian pada zaman internet, peluang dan pilihan-pilihan pekerjaan menjadi lebih banyak, karena itu diperlukan pendidikan beraspek multi yang menekankan pada kualitas-kualitas khusus individual. Seiring dengan perubahan itu, maka pengembangan dan corak perubahan ekonomi pun berubah secara linier mengikuti perubahan zamannya. Pada abad itu, peran ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam kehidupan ekonomi semakin kuat, namun bersamaan dengan itu kehidupan dunia ekonomi diperhadapkan pada suatu realitas lain di bidang ekonomi dan ragam pekerjaan baru yang berubah dengan sangat cepat (Sayling Wen, 2003). Transformasi ekonomi dan pekerjaan yang bergerak begitu cepat, biasanya juga disertai dengan pergeseran dalam tatanan masyarakat, yaitu dari sebuah tatanan masyarakat berbasis industri ke sebuah tatanan masyarakat berbasis pengetahuan, yang kemudian mengubah proses fundamental dan memberi nilai tambah pada masing-masing langkah dalam memproduksi suatu produk atau jasa layanan, yang disebut sebagai rantai nilai pekerjaan. Dalam proses itu, teknologi informasi dan intelectual capital menjadi penggerak yang sangat penting, dan percepatan perubahan itu menuntut
dunia pendidikan dapat mempersiapkan dan menghasilkan lulusannya yang berdaya saing.
Hadirin yang berbahagia, Konferensi internasional mengenai Pendidikan Abad XXI yang diselenggarakan di Luxembourg pada tanggal 2-3 Mei 2003, mengangkat tema Knowledge Based Economy2 dan merekomendasikan tiga hal pokok: Pertama, pentingnya pemilikan intelectual capital oleh seseorang, bangsa, atau negara dalam percaturan di era global. Hal ini disebabkan oleh upaya pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak di abad ini didasarkan pada tingkat kepemilikan ilmu pengetahuan. Fenomena itu menjustifikasi akan pentingnya sumberdaya manusia sebagai human capital menjadi sumberdaya utama; Kedua, aktivitas pendidikan dan pembelajaran lebih mengarah pada pembinaan manusia (human being), mengembangkan seluruh pribadi manusia, termasuk mempersiapkan manusia sebagai anggota masyarakat, warga negara yang baik dan menggalang rasa persatuan; dan Ketiga, mengembangkan kemampuan manusia sebagai modal untuk memasuki dan eksis di era kehidupan baru. Bahkan, beberapa kelompok kerja di lingkungan Bank Dunia merespons sinyal perubahan itu dengan memprakarsai program analisis tiga tahunan tentang pendidikan ekonomi pengetahuan, khususnya di tingkat pendidikan tinggi. Program ini berusaha mengartikulasikan sistem pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk melakukan perubahan
2 Ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy) dicirikan oleh: 1) penghargaan yang luar biasa terhadap modal nir fisik; 2) kemajuan teknologi informasi yang luar biasa cepat; 3) peran teknologi informasi yang makin dominan dalam proses nilai tambah; 4) produk barang dan jasa-jasa semakin padat pengetahuan; dan 5) keberadaan teknologi informasi tidak lagi sebatas sebagai alat bantu untuk bisnis, akan tetapi juga sebagai pencipta bisnis baru.
agar dapat menjawab berbagai tantangan ekonomi pengetahuan dan menawarkan berbagai alternatif kebijakan yang lebih praktis dan berkelanjutan. Disamping itu, program ini juga berusaha untuk menghasilkan sebuah kerangka konseptual menyeluruh tentang pendidikan ekonomi berbasis pengetahuan guna membantu para pengambil kebijakan di negara-negara sedang berkembang dalam mengkonstruksi sistem pembelajaran yang efektif. Belajar dari petualangan intelektual dan pergulatan akademik para pakar di bidangnya, sebut saja Gunnar Myrdal (1969), Alfin Toffler (1981, 1990), Pieter Druker (1993), John Naisbitt (1995), Jeremy Hope & Tony Hope (1997) dan Sayling Wen (2003), telah terungkap sebuah sinyal penting bahwa perubahan ekonomi di masa depan akan digerakkan oleh kekuatan teknologi informasi dan knowledge workers. Knowledge workers disini dimaknai sebagai pekerja yang tahu tentang apa dan harus ia lakukan dalam konteks pekerjaannya. Yang dimaksud dengan kata tahu disini adalah bahwa pekerja mengetahui dan bisa menjelaskan mengapa dia melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Selain itu, ia juga memahami dan bisa menjelaskan hubungan sebab akibat dari keputusan yang diambil untuk melakukan atau tidak melakukan suatu aktivitas.
Urgensi Pengembangan Modal Nir Fisik Hadirin yang Mulia, Kenyataan menunjukkan bahwa di negara-nagara miskin, ternyata kepemilikan modal nir fisiknya juga miskin, sehingga masyarakat di negara itu tidak memiliki kapabilitas menghindarkan diri dari lilitan kemiskinan, apalagi memperbaiki standar hidupnya menjadi lebih layak. Oleh karena itu, membangun dengan mengandalkan kepada kepemilikan sumber daya
alam (SDA) yang melimpah saja tidak cukup. Negara-negara yang kaya SDA-nya, tanpa sumberdaya manusia yang memiliki knowledge dan skill yang bisa menghasilkan nilai tambah lebih besar, pada akhirnya kekayaan SDA tersebut akan habis dan rakyatnya tetap terlilit kemiskinan yang menyengsarakan. Padahal, SDA yang melimpah itu adalah suatu anugrah dan karunia dari Sang Pencipta yang harusnya dipelihara keberadaannya, dilestarikan fungsi lingkungannya, dan dioptimalkan fungsi sosial dan ekonominya untuk kehidupan umat manusia. Keharusan ini hendaknya dilakukan secara berimbang agar keberlanjutan dari SDA itu dapat dipertahankan. Dalam konteks kajian ekonomi pengetahuan, kemajuan ekonomi suatu negara sangat ditentukan oleh kapabilitas kolektif modal nir fisik3 yang dimiliki. Bahkan, kemajuan industri kreatif telah menjadi salah satu indikator penting dalam menilai tingkat keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan ekonomi. Ini berarti, proses pembangunan ekonomi di negara tersebut sangat didukung oleh kepemilikan modal intektual dan modal sosial yang sangat kuat. Selama tiga dekade terakhir ini telah terjadi revolusi yang amat mendasar. Jika yang selama ini ekonomi sangat mengandalkan diri pada kekuatan modal fisik, sekarang telah mengalami transisi menuju ke
3 Modal nir fisik adalah bentuk lain dari modal perusahaan yang sifatnya unik, tersembunyi dan sulit ditiru, namun modal ini memiliki nilai ekonomi bagi perusahaan. Modal ini memang tidak tampak, akan tetapi bisa dirasakan manfaat, peran, dan kontribusinya. McKinsey dalam Satria (2003) menyatakan bahwa modal nir fisik perusahaan itu terdiri dari pengetahuan, relasi dan jejaring, serta reputasi yang dimilikinya. Sedangkan Daum (2003) mendefinisikan modal nir fisik sebagai modal yang keberadaannya dapat dideskripsikan sebagai sumber daya nir fisik perusahaan, yang selanjutnya disebut pula sebagai modal intelektual atau intellectual capital. Sesuai dengan pendefinisian tersebut, maka modal nir fisik juga mencakup modal sosial atau social capital (Moelyono, 2007).
ekonomi baru dimana produksi barang dan jasa serta penciptaan nilai tambah menjadi tergantung pada kekuatan modal nir fisik. Ini berarti proses produksi telah berubah, faktor produksi tradisional seperti SDA, pekerja dan modal fisik telah berkurang peranannya. Pada saat yang sama input modal nir fisik4 berupa informasi dan knowledge telah meningkat peranannya. Realitas ini dapat diilustrasikan dengan menunjukkan harga unit dari beberapa produk industri tradisional dibandingkan dengan harga unit dari beberapa knowledge-based products. Menurut Andriessen dan Stam (2004), harga unit tersebut bukan karena substansi material produknya sehingga konsumen mau membeli dan membayarnya, melainkan karena nilai riil dari knowledge dan skill yang melekat pada diri para produsennya serta kekuatan pemasaran perusahaan dalam menjual produk tersebut. Dalam perkembangannya, modal nir fisik telah mengalami konversi menjadi intellectual property, brands, dan talent. Bentuk modal nir fisik ini dalam industri kreatif semakin dibutuhkan. Namun untuk mendapatkan modal itu memerlukan investasi yang tidak sedikit dan proses yang lama.
4 Modal nir fisik yang direpresentasikan oleh modal intelektual dan modal sosial merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk menemukan atau menciptakan peluang dan mengelola setiap resiko. Dalam hal ini, modal intelektual bersentuhan dengan kemampuan berinovasi dalam menambah nilai suatu kegiatan.Modal intelektual sesungguhnya terletak pada kemauan untuk berfikir dan kemampuan memikirkan sesuatu yang baru. Oleh karena itu modal intelektual tidak selalu ditentukan oleh tingkat pendidikan formal yang tinggi, melainkan oleh kekayaan ide-ide cerdas yang cemerlang dan mampu menghasilkan kreasi dan inovasi yang berkualitas. Sedangkan modal sosial bersentuhan dengan kemampuan membangun jaringan untuk menggerakkan sumberdaya dan menciptakan peluang dalam menghubungkan produk yang dihasilkan kepada para mitra bisnis.Perusahaan-perusahaan yeng memiliki modal nir fisik semacam ini, biasanya memiliki budaya pembelajaran organisasi yang kuat dan kemampuan membangun jaringan bisnis yang lebih efektif, sehingga kemampuan bersaingnya jauh lebih tinggi dan lebih unggul serta dapat memetik manfaat yang lebih banyak dari setiap perubahan lingkungan bisnisnya.
Karena itu, tidak mengherankan jika di era ekonomi pengetahuan seperti sekarang ini, nilai kapitalisasi pasar suatu perusahaan cenderung ditentukan oleh nilai modal nir fisik yang dimiliki, yang nilainya sangat tinggi dan bisa mencapai berkali lipat. Modal nir fisik dan pengelolaannya yang efektif akhir-akhir ini makin dikenal secara luas sebagai sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Tanaszi dan Duffi, 2000). Itulah sebabnya para pelaku ekonomi banyak yang ingin menguasai dan memperkuat modal nir fisiknya, lantaran pengaruh strategik terhadap kinerja ekonomi secara keseluruhan telah terbukti. Di era ekonomi pengetahuan, modal nir fisik merupakan modal yang paling penting dan bernilai. Hal ini dapat dilihat dari peran dan kontribusinya dalam perkembangan investasi suatu negara. Sebagaimana dinyatakan oleh Daum (2003), di Amerika Serikat, pada Tahun 1982, dari setiap US$100 yang diinvestasikan pada perusahaan manufaktur dan pertambangan, rata-rata US$62,3 dipakai untuk modal fisik termasuk tanah, pabrik, mesin dan peralatan. Sepuluh tahun kemudian, pada Tahun 1992, dari setiap US$100, hanya sebanyak US$37,9 yang digunakan untuk modal fisik, dan pada Tahun 1999 turun lagi menjadi 16%. Pada industri-industri yang padat pengetahuan seperti piranti lunak, ternyata nilai buku perusahaan dibandingkan dengan nilai pasarnya seringkali berada di bawah 10%. Sebagai contoh, pada akhir Tahun 1999, aset bersih Microsoft yang tercantum dalam neraca hanya 6,2% dari nilai pasar sebesar US$469 milyar. Demikian halnya yang terjadi di perusahaan pemimpin pasar untuk Enterprise Resource Planning dan e-business software solution (SAP) di Jerman, pada akhir Tahun 1999 nilai aset bersih perusahaan tersebut hanya 4,6% dari nilai pasarnya atau dengan kata lain nilai pasar lebih dari 21 kali dari nilai aset bersih yang tercantum dalam neraca perusahaan. Sama halnya pada perusahaan-perusahaan terkemuka
di dunia, nilai buku perusahaan semakin kecil rasionya jika dibandingkan dengan nilai pasarnya. Hal ini menunjukkan bahwa modal nir fisik perusahaan menjadi semakin penting dan berkontribusi jauh lebih besar dibanding dengan modal fisik. Semakin tinggi nilai pasar suatu perusahaan akan mencerminkan kualitas modal nir fisik perusahaan itu semakin baik. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa di era ekonomi pengetahuan, keberadaan modal nir fisik merupakan sumberdaya yang mendominasi ekonomi masa depan, karena keunggulan kompetitif
ke
depan akan sangat tergantung pada penguasaan IPTEK. Dalam posisi itu, keberadaan modal nir fisik di era ekonomi pengetahuan menjadi amat strategis, antara tuntutan dan kebutuhan, sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikan apalagi menegasikannya.
Perkembangan Ekonomi Pengetahuan Ketua Dewan Penyantun dan Para Anggota Senat yang Saya Muliakan, Hampir semua aktivitas ekonomi, betapapun aktivitas itu sangat tradisional, pada hakekatnya mengandung elemen ilmu pengetahuan. Aktivitas-aktivitas itu akan menjadi lebih signifikan dalam perbedaan kinerja dan produktivitasnya ketika menggunakan teknologi modern. Dalam hal ini, aktivitas ekonomi yang kinerja dan produktivitasnya lebih tinggi, tentu didalam prosesnya telah terjadi perpaduan yang sinergis antara ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sebagai contoh, pada aktivitas pertanian tradisional diketahui memerlukan pengetahuan tentang bagaimana bercocok tanam yang benar, pengetahuan tentang iklim, dan berbagai pengetahuan lain yang berkaitan
dengan komoditas yang dibudidayakan. Hasil yang diperoleh dari aktivitas pertanian ini secara signifikan akan berbeda kinerja dan produktivitasnya jika dibandingkan dengan aktivitas yang sama akan tetapi telah memasukkan unsur teknologi modern di dalamnya. Selain kuantitas produksi yang meningkat juga kualitasnya jauh lebih baik, sehingga menghasilkan nilai tambah ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan aktivitas pertanian yang tradisional. Dari perspektif ekonomi neo-klasik, pada kasus di atas yang namanya modal fisik seperti tenaga kerja dipandang sebagai faktor produksi utama dalam sistem produksi. Sementara, modal nir fisik seperti modal intelektual dan modal sosial dianggap sebagai faktor eksogen yang berada di luar sistem produksi. Kelompok ekonom neo-klasik ketika itu belum memberikan perhatian pada modal nir fisik, mereka lebih meyakini bahwa semakin besar jumlah tenaga kerja dan modal fisik yang digunakan dalam aktivitas pertanian, akan semakin besar pula ouput pertanian yang dihasilkan. Pandangan semacam ini ternyata tidak bisa berlaku umum, sebab pada aktivitas pertanian dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat lebih banyak dibanding dengan aktivitas pertanian yang mempergunakan jumlah tenaga kerja lebih sedikit akan tetapi mempergunakan teknologi dan manajemen modern, ternyata hasil produksi yang dicapai lebih rendah. Mengapa hal ini terjadi? Ternyata, selain tenaga kerja dan modal fisik, terdapat faktor kemajuan teknologi dan keunggulan manajemen yang berperan lebih dominan dalam menghasilkan produksi pertanian. Dalam konteks perekonomian yang lebih makro, hal ini telah dibuktikan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Dale Jorgenson et al. (1987) di Amerika Serikat (AS) selama kurun waktu 1948-1979, bahwa pertumbuhan ekonomi AS sekitar 45% nya disumbang oleh pembentukan modal (capital formation), 31% disumbang oleh pertumbuhan tenaga kerja
dan modal manusia, dan 24% disebabkan oleh kemajuan teknologi. Meskipun modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan tenaga kerja, namun para ahli ekonomi, politik, dan sosial bahkan para ahli keteknikan lebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Hal ini cukup beralasan karena berdasarkan data AS, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65% pertumbuhan ekonomi AS selama periode 1948-1979, walaupun sesungguhnya teknologi dan modal fisik itu tidak independen dari modal manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, modal manusia menjadi fokus perhatian sejalan dengan perkembangan ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut sepakat bahwa modal manusia memiliki peran yang lebih nyata, bahkan lebih penting daripada peran faktor teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitasnya. Suatu bangsa akan dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara itu memiliki modal manusia yang kuat dan bermutu. Lalu, apa ukuran yang menentukan mutu modal manusia itu? Dalam hal ini, ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan mutu modal manusia seperti derajad kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya. Di antara berbagai aspek tersebut, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan mutu modal manusia. Melalui pendidikan, manusia akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik dan bermakna. Implikasinya, semakin tinggi tingkat pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara
umum, semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi pula tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Berdasarkan pemahaman itulah kemudian muncul beberapa teori yang berusaha menjelaskan hubungan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi, diantaranya adalah teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi strata sosial. Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki
pengaruh
positif
pada
pertumbuhan ekonomi. Teori ini
mendominasi literatur ekonomi pembangunan dan pendidikan pada pascaperang dunia kedua sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadiah Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas studinnya tentang masalah ini. Argumen yang mendasari teori ini adalah bahwa manusia yang berpendidikan lebih tinggi, yang diukur dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang berpendidikan lebih rendah. Jika kemudian upah diposisikan sebagai proksi dari produktivitas, maka semakin banyak orang berpendidikan tinggi, akan semakin tinggi pula produktivitasnya, sehingga ekonomi nasional juga akan bertumbuh lebih tinggi lagi. Pada tahun 70-an, teori ini mendapat kritik tajam. Argumen yang disampaikan adalah bahwa tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama. Kemudian perlu ditekankan disini bahwa dalam ekonomi pengetahuan, angkatan kerja yang berkeahlian tinggi tidak begitu dibutuhkan lagi karena perkembangan teknologi yang sangat cepat dan proses produksi yang semakin dapat disederhanakan.
Dengan demikian, meskipun orang berpendidikan rendah akan tetapi karena mendapat pelatihan (yang memerlukan waktu yang jauh lebih pendek dan sifatnya non formal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal. Argumen ini diformalkan dalam suatu teori yang dikenal dengan teori persaingan status. Teori persaingan status ini memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu fungsinya mengalokasikan personil secara sosial menurut strata pendidikan. Keinginan mencapai status lebih tinggi menggiring orang untuk mengambil pendidikan lebih tinggi. Meskipun orang-orang berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang bependidikan lebih tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi. Demikian halnya dengan argumen teori pertumbuhan kelas bahwa fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan ketakseimbangan sosial dan struktur kelas. Pendidikan pada kelompok elit lebih fokus pada hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang tak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Sementara pendidikan untuk rakyat kebanyakan diciptakan sedemikian rupa untuk melayani
kepentingan
kelas yang dominan. Hasilnya, proses pertumbuhan kelas menghambat kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini didukung antara lain oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (2002). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, teori mana yang lebih relevan dalam situasi sekarang? Seperti disebutkan di atas, pandangan baru dalam pertumbuhan produktivitas, yang dimulai pada akhir tahun 1980-an dengan pionir seperti Paul Romer dan Robert Lucas, menekankan aspek pembangunan modal manusia. Romer (1991) menyatakan bahwa modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi
seseorang. Dengan demikian, inti dari diskusi ini adalah bahwa pengetahuan merupakan kunci sukses dari kemajuan ekonomi, sedangkan pendidikan hanyalah sebuah cara tentang bagaimana memperoleh dan menggunakan ilmu pengetahuan itu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, pengetahuan yang mana yang menjadi kunci sukses kemajuan pembangunan ekonomi itu? Perlu untuk diketahui, bahwa pengetahuan itu adalah bentuk primer dari modal, sedangkan modal yang lain seperti uang, mesin, gedung dan lainnya hanyalah derivasi dari pengetahuan. Tanpa pengetahuan, semua bentuk modal tersebut nyaris tak berarti apa-apa. Uang misalnya, hanyalah selembar kertas yang hampir-hampir tidak ada nilainya. Mesin hanyalah sekumpulan besi-besi, dan gedung hanyalah sekumpulan material bahan bangunan. Tingkat kebermaknaan dari setiap bentuk modal tersebut bagaimanapun akan sangat ditentukan oleh kepemilikan pengetahuan. Dengan demikian, pengetahuan dapat memberikan kehidupan dan makna bagi semua bentuk modal itu, sehingga bernilai dan berguna bagi manusia.
Hadirin yang yang saya hormati, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) membedakan pengetahuan dengan informasi. Pengetahuan adalah suatu konsep yang lebih luas dari pada informasi. Dalam hal ini, pengetahuan mencakup komponen: know-what; know-why; know-how; dan know-who. Dua komponen yang terakhir merupakan tacit knowledge yang diperoleh dari pengalaman yang sulit untuk dikodifikasi, diukur dan disebarkan. Sedangkan informasi mencakup komponen know-what dan know-why. Masing-masing dari komponen itu dijelaskan sebagai berikut: 1) Know-what: merujuk pada knowledge tentang fakta yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang relatif sederhana, seperti pertanyaan
tentang jumlah produk yang rusak, jumlah karyawan perusahaan yang akan memasuki masa pensiun, jumlah kenaikan gaji karyawan dan sebagainya. Jadi knowledge jenis ini lebih dekat dengan apa yang disebut dengan informasi; 2) Know-why: merujuk pada scientific knowledge dari principles and laws of nature. Aplikasi knowledge jenis ini terutama pada pengembangan teknologi, produk atau proses pada area industri atau organisasi yang spesialistik seperti riset di laboratorium. Untuk memperoleh akses pada knowledge jenis ini, perusahaan harus berinteraksi atau mempekerjakan spesialis yang terlatih baik atau perusahaan membeli pengetahuan tertentu; 3) Know-how: merujuk pada skill atau kapabilitas dalam melakukan sesuatu. Kow-how adalah tipikal knowledge yang dikembangkan berdasarkan pengalaman seseorang atau perusahaan. Kow-how sulit untuk dikodifikasi dan ditiru oleh pesaing karena menyatu pada individu dan perusahaan; 4) Kow-who: merujuk pada informasi tentang “siapa tahu apa” dan “siapa tahu bagaimana melakukan apa”. Kow-who sangat penting dalam ekonomi karena informasi dapat terdispersi secara luas dan tidak seimbang karena pembagian kerja yang luas dan adanya perubahan teknologi yang cepat. Dalam pembahasan selanjutnya, pengetahuan dikelompokkan menjadi dua, yaitu 1) pengetahuan yang bersifat individual dan subyektif (tacit knowledge); dan 2) pengetahuan yang bersifat organisasional (explicit knowledge). Tacit knowledge dimaksudkan sebagai pengetahuan personal yang sulit untuk dikomunikasikan pada orang lain. Pengtahuan ini terdiri dari ketrampilan teknis yang bersifat subyektif, wawasan/pengetahuan
yang mendalam, dan intuitif yang terjadi pada seseorang karena telah terlibat dalam suatu aktivitas untuk suatu periode yang lama. Sedangkan explicit knowledge adalah pengetahuan formal yang mudah untuk disebarluaskan kepada pihak lain. Pengetahuan ini seringkali ditandai dalam bentuk rumus matematis, peraturan-peraturan, spesifikasi-spesifikasi dan sebagainya. Kedua
kategori
pengetahuan
tersebut
saling
melengkapi.
Sepanjang tetap bersifat pengetahuan individu maka bagi organisasi tacit knowledge hanya akan menjadi nilai yang terbatas. Sebaliknya, explicit knowledge tidak akan muncul secara spontan, tetapi dengan memelihara dan melatih benih-benih tacit knowledge. Dinamika interaksi kedua bentuk pengetahuan tersebut akan menghasilkan inovasi dan selanjutnya akan menjadi organizational knowledge. Oleh karena itu, organisasi ekonomi, apapun bentuknya, harus dapat menjadikan knowledge creating company yang bermanfaat bagi perusahaan, yaitu terampil dalam mengubah tacit knowledge menjadi explicit knowledge sehingga dapat mendorong inovasi dan pengembangan produk baru. Hal ini penting dilakukan karena tanpa inovasi kehidupan organisasi akan berhenti. Lalu, bagaimana caranya? Menurut Choo (1998), transformasi pengetahuan itu berproses melalui tahapan sebagai berikut: Pertama, dari tacit knowledge ke explicit knowledge melalui proses sosialisasi, yaitu suatu proses mendapatkan tacit knowledge melalui berbagai pengalaman. Misalnya karyawan suatu perusahaan yang mempelajari keahlian baru melalui kegiatan on-the-job training; Kedua, dari pengetahuan tacit ke pengetahuan explicit melalui eksternalisasi, yaitu suatu proses mengubah pengetahuan tacit menjadi konsep yang explicit melalui penggunaan analogi-analogi dan model-model. Eksternalisasi
pengetahuan
tacit merupakan
intisari
dari
aktivitas
penciptaan pengetahuan dan yang paling banyak terlihat dalam fase
penciptaan konsep pengembangan produk baru. Eksternalisasi dipicu melalui dialog atau pemikiran bersama; Ketiga, dari pengetahuan explicit ke pengetahuan
explicit
melalui
kombinasi,
yaitu
proses
penciptaan
pengetahuan explicit dengan cara mengajukan pengetahuan explicit dari sejumlah sumberdaya secara bersamaan, sehingga setiap individu bisa menukar dan mengkombinasi pengetahuan explicit nya. Informasi yang sudah ada kemudian dikategorikan, dibandingkan dan dipilih dengan cara tertentu sehingga bisa menghasilkan pengetahuan explicit baru; Keempat, dari pengetahuan eksplicit ke pengetahuan explicit melalui internalisasi, yaitu suatu proses menanamkan pengetahuan explicit menjadi pengetahuan tacit. Internalisasi suatu pengalaman diperoleh melalui model penciptaan pengetahuan ke dalam basis pengetahuan tacit dalam bentuk penyebaran mental model atau latihan. Inovasi tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu organisasi pembelajar yang melakukan proses pembelajaran organisasi secara terus menerus dan mentransformasikan pengetahuan individual menjadi pengetahuan organisasional yang bermanfaat bagi organisasi. Di era ekonomi pengetahuan, inovasi bukan sekedar jargon, tapi telah menjadi kebutuhan. Ini sesuai dengan sifat pekerjaan yaitu, Do it better, faster and cheaper. Bahkan Peter Drucker jauh-jauh hari telah mengingatkan, For an established company which in an age demanding innovation is not capable of innovation is doomed to decline and extinction. Peringatan ini mengisyaratkan, bahwa organisasi yang telah mapan sekalipun, jika tidak mampu memenuhi tuntutan inovasi, maka perusahaan tersebut akan jatuh dan hancur. Dalam perpektif manajemen modern, sukses perusahaan menghadapi persaingan lebih tergantung pada strategi manajemen pengetahuan daripada strategi alokasi modal fisik dan keuangan. Dengan demikian, peran modal nir-fisik atau sumberdaya unik dan sulit ditiru oleh
organisasi lain dalam meningkatkan daya saing semakin penting dan menentukan. Karena itu, modal tersebut harus ditingkatkan kualitasnya, dioptimalkan pengelolaan dan pemanfaatannya secara terus menerus agar menjadi sumber utama pembaharuan dan inovasi dalam organisasi.
Ekonomi Pengetahuan dan Industri Kreatif Hadirin yang mulia, Teori Hirarki Kebutuhan Maslow menyatakan bahwa di saat manusia telah berhasil melampaui tingkat kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan fisik dan kebutuhan atas keamanan, maka manusia akan berusaha mencari kebutuhan-kebutuhannya pada tingkatan lebih lanjut yaitu kebutuhan bersosialisasi (social needs), rasa percaya diri (esteem needs) dan aktualisasi diri (self actualization). Demikan pula dengan perilaku konsumsi manusia, semakin lama manusia semakin menyukai barang-barang yang tidak hanya mampu memuaskan kebutuhan fungsional saja, namun juga mencari produk yang bisa memberikan dirinya suatu identitas dan membuat dirinya lebih dihargai oleh orang-orang di sekitarnya. Industri fesyen adalah contoh yang bagus untuk menggambarkan kondisi ini. Konsumen tidak akan membeli barang yang tidak cantik dan tidak menarik, atau yang tidak cocok dengan tubuh si pemakai. Tom Peters seorang guru manajemen ternama mengatakan, apapun bisnis yang anda geluti, anda ada di bisnis fesyen (no matter what business we are in, we are in the fashion business). Ciri-ciri konsumen seperti ini sangat identik dengan konsumen di negara-negara maju. Oleh karena negara-negara maju juga merupakan trend-setter perdagangan internasional, maka perilaku tersebut berimbas pada negara-negara lain dan menjadi tren global.
Dalam konteks perdagangan dan industri, produk-produk yang dijual ke negara maju haruslah yang memiliki kandungan-kandungan nonfungsional yang mampu memuaskan kebutuhan konsumen atas identitas dan penghargaan sosial. Disinilah Industri kreatif memegang peranan penting, karena industri kreatif sangat responsif menyerap akumulasi fenomena-fenomena sosial di masyarakat dan menuangkan kedalam konteks produk dan jasa, bisa berupa produk pakai seperti fesyen dan kerajinan maupun produk hiburan seperti musik dan film. Namun diperuntukkan
demikian, secara
hirarki
ekslusif
kebutuhan
bagi
tersebut
manusia-manusia
tidak yang
hanya telah
berkecukupan dalam hal materi maupun SDM yang berlatar belakang pendidikan tinggi. Dalam proporsi tertentu masyarakat di lapisan bawah yang kurang mengecap pendidikan tinggi pun memiliki motivasi sosial, motivasi kepercayaan diri dan motivasi untuk aktualisasi diri yang sama pentingnya seperti masyarakat lapisan atas. Konsumen yang semakin kritis, pada akhirnya akan semakin selektif terhadap barang-barang yang akan dikonsumsinya. Mereka kurang tergerak membeli barang-barang generik, sebaliknya konsumen sangat antusias membeli barang-barang yang unik dan dapat membuat bangga yang memakainya. Semakin lama faktor selera semakin mendominasi perilaku konsumsi. Dan akibatnya daur hidup produk-produk semakin lama semakin singkat. Ini disebabkan karena bila menyimpan stok terlalu banyak, lebih besar kemungkinan produk tidak terserap pasar. Permintaan konsumen ini telah mengubah pendekatan industri. Dahulu industri berorientasi mendorong suplai (supply driven). Saat ini pendekatan industri telah berubah menjadi berorientasi konsumen (demand driven) dan proses produksinya menyebar di banyak tempat. Efek dari industri yang berorientasi konsumen adalah munculnya era produksi non-massal. Pada sistim ini barang dibuat dalam jumlah yang
tidak terlalu banyak dan dengan variasi yang beraneka ragam. Yang tidak disadari oleh banyak orang dari fenomena ini adalah bahwa sebenarnya faktor kandungan emosional dan selera (emotional attachment) adalah faktor pendorong perubahan tersebut. Fenomena ini bisa dimanfaatkan dua arah. Industri kreatif yang sarat dengan kandungan emosional dapat mendorong evolusi perkembangan teknologi industri manufaktur non-massal, atau sebaliknya, industri kreatif dapat semakin memanfaatkan teknologi manufaktur yang telah semakin fleksibel sebagai salah satu keunggulannya dalam mensuplai produk-produk yang beraneka ragam. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, motivasi konsumsi manusia meningkat seiring dengan peningkatan taraf hidupnya. Masyarakat di negara-negara maju adalah masyarakat yang telah terlebih dahulu berhasil meningkatkan taraf hidupnya dibandingkan di negara-negara berkembang. Data PBB Tahun 2003, menunjukkan bahwa 50% dari belanja konsumen di negara G7 adalah belanja untuk produk-produk hasil industri kreatif. Industri kreatif menjadi penting karena 2/3 dari GDP suatu negara berasal dari belanja konsumen. Ini berarti, konsumen di negara-negara G7 lebih selektif dan sangat memperhatikan kualitas dari sisi desain, material, merek dan ciri khusus, dan aspek lainnya. Industri kreatif seperti desain produk, fesyen, dan kerajinan sangat memahami sisi-sisi manusiawi tersebut, sehingga besar peranannya dalam penyerapan ekspor ke negara-negara G7. Dengan intensifikasi kreativitas khususnya pada desain untuk produkproduk yang di ekspor, Indonesia tentunya dapat meningkatkan angka ekspornya.
1.
Tantangan Industri Kreatif
Kemajuan industri kreatif mendorong dunia pendidikan semakin menyadari bahwa kurikulum yang hanya mengandalkan kompetensi kognitif, tidak akan berdampak pada daya juang anak didik di kehidupan nyata. Daya juang sebenarnya adalah olah kreativitas, karena daya juang menantang manusia memecahkan suatu permasalahan, bila ia tidak cukup kreatif, permasalahannya tidak selesai dan ia akan tersingkirkan. Banyak ditemui, lulusan pendidikan tinggi dengan IPK tinggi ternyata tidak berprestasi di dunia kerja. Oleh karena itu, sektor pendidikan, sejak dini harus mengimbangi kurikulum yang berorientasi pada penguatan aspek kognisi dengan kurikulum yang berorientasi pada kreativitas dan pembentukan jiwa kewirausahaan. Kreativitas yang dimaksud adalah mengasah kepekaan dan kesiapan untuk proaktif di dalam menghadapi perubahan-perubahan yang ditemui di dunia nyata. Lembaga pendidikan seharusnya mengarah kepada sistem pendidikan yang dapat menciptakan: 1)
Kompetensi
yang
kompetitif:
sesuai
namanya,
kompetensi
membutuhkan latihan, sehingga sektor pendidikan harus memperbanyak kegiatan orientasi lapangan, eksperimentasi, riset dan pengembangan serta mengadakan proyek kerjasama multidisipliner yang beranggotakan berbagai keilmuan, sains, teknologi dan seni; dan 2) Intelejensia multi dimensi: teori-teori intelejensia saat ini telah mengakui pula bahwa tidak hanya kecerdasan rasional (IQ) yang menjadi acuan tingkat pencapaian manusia, tetapi manusia juga memiliki kecerdasaran emosi (EQ), kecerdasan menghadapi resiko dan tantangan (AQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Dengan menempatkan porsi yang sama di keempat dimensi intelejensia ini pada jalur pendidikan formal, diharapkan bisa menghasilkan SDM yang memiliki intelejensia tinggi dan daya kreativitas yang tinggi pula.
Bersamaan dengan itu perlu juga dikembangkan sebuah kurikulum berorientasi kreatif dan pembentukan jiwa kewirausahaan, yaitu kurikulum yang mampu untuk: 1) membentuk kompetensi agar menjadikan individuindividu visioner yang mampu menerima berbagai skenario tantangan, melihat peluang dan berani mengambil resiko, termasuk melatih kemampuan mencerna permasalahan dan mengambil keputusan dengan tepat walaupun tanpa adanya panduan yang cukup; 2) memfasilitasi intensifikasi skill, talenta dan kreativitas, serta 3) menyeimbangkan program yang bersifat hard science dengan soft science (seni dan ilmu sosial). PENUTUP Hadirin, para undangan yang saya hormati, Sebagai
penutup,
ijinkanlah
saya
memaklumatkan
kembali
pandangam Clifford Geertz, yang sangat relevan bagi figur-figur yang hidup dalam dunia gagasan, bahwa “sebaik-baik pekerjaan seorang intelektual adalah menghancurkan ketakutan”. Maklumat ini sangat jelas, bahwa seorang intelektual atau ilmuwan harus berani mempertanyakan kebenaran lama, untuk kemudian mencari kebenaran-kebenaran baru. Proses ini memang tidak mudah, karena sering kali harus berbenturan dengan dogma-dogma lama yang dipercayai oleh khalayak secara turuntemurun. Di sinilah relevansi pencarian kebenaran-kebenaran baru. Jika ini berhasil dieksekusi, maka ilmu pengetahuan akan terus berkembang sehingga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan yang kian kompleks untuk diselesaikan. Di dunia kampus tentu harus mengambil posisi penuh untuk menghancurkan elan ketakutan itu, karena pertama-tama kampus memang dibangun sebagai ruang untuk menyantuni gagasan dan menafkahi
peradaban. Jika ruang itu ditutup, maka kampus akan berlaku sebaliknya;menjadi simpul mati dari sejarah peradaban. Semoga di hari yang berbahagia ini, Universitas Tadulako secara sadar mau menuju ke lokus tersebut, yakni mendorong para akademisi terus bergerak menerobos tirani kemapanan pemikiran. Akhirul kalam, moga-moga orasi ilmiah ini merupakan bagian dari diseminasi pengetahuan yang bernilai ibadah dan dapat memberikan manfaat bagi semua. Sekian dan terimakasih. Billahittaufiq Walhidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Mauled Moelyono
Daftar Pustaka
Anderson, A.R. & Sarah L. Jack. 2002. The articulation of social capital in entrepreneurial network: a glue or lubricant? Entrepreneurialship & Regional De-velopment, 14 (2002), 193-210. Andriessen, D. G., dan C. D. Stam. 2004. The Intellectual Capital of the European Union, Centre for research in Intellectual Capital, INHOLLAND University, AG Diemen. The Netherlands. (Online), (http://www.babson. co.u.uk, diakses 11April 2008). Best, R.G., S. J. Hysong, C. McGhee, F. I. Moore & J. A. Pugh, 2003. An Empirical Test of Nokaka’s Theory of Organizational Knowledge Creation, E-Journal of Organizational Learning and Leadership, Vol.2, No.2, Fall-Winter, hlm.1-20. Bontis, Nick., Dragonethi, N., Jacobsen, K. & G. Roos, 1999. The Knowledge Tool-box: A Review of The Tools Available to Measure and Manage Intangible Resources. European Management Journal, 17 (4), 391-402. Choo, Chun Wei, 1998. The Knowing Organization: How Organization Use Informa-tion to Construct Meaning, Create Knowledge, and Make Decisions, New York: Oxford University Press. Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007 Studi Pemetaan Industri Kreatif. Dirgantoro, Crown. 2002. Keunggulan Bersaing Melalui Proses Bisnis. Jakarta: Penerbit Pt Grasindo. Drucker, Pieter. 1995. The Discipline of Innovation. Harvard Business Review, November-December, hlm. 149-165. Eko, Sutoro, 2004. Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, Analisis CSIS, Vol. 33, No. 3, hlm. 299-326.
Ferrier, Frann & Phillip McKenzie, 2000. Intellectual Capital: Managing the New Performance Driver, Information, Resources and Basic Steps to Self Evaluation. Canberra: Department of Industry, Science, and Resources. Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: The Free Press. Fukuyama, Francis. 2000. The Great Depression: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. London: Profile Book. Gabbay & Zuckerman, 1998. Social Capital snd Opportunity in Corporate R & D: The Contingent Effect of Contact Density On Mobility Expectations. Social Science Research, vol. 27, 187-217. Granovetter, M.S., 1985. Economic Action and Social Structure: the problem of Embeddedness. American Journal of Sociology, 91: 85-112. Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff dala Gibbons, et al. 1994. The New Production of Knowledge Howkins, John. 2005. Asia‐Pacific Creative Communities: A Strategy for the 21st Century Senior Expert Symposium Jodhpur, India, 22‐26 February 2005. Hope, Jeremy & Tony Hope. 1997. Competing in the Thrid Wave. Harvard Business School Press. Ismawan, Indra, 2005. Learning Organization: Membangun Paradigma Baru Organisasi Pembelajar, Jakarta: Penerbit Cakrawala. John Howkins, 2001. The Creative Economy, How People Make Money from Ideas, Penguin Books. John Howkins, 2005. Asia‐Pacific Creative Communities: A Strategy for the 21st Century Senior Expert Symposium Jodhpur, India, 22‐26 February 2005. Kamil, M. Ridwan. 2006. Principal URBANE INDONESIA dan penerima Young Design Entrepreneur of the Year 2006 dari British Council Indonesia
Malecki, E. & D. Tootle, 1996. The Role of Networks in Small Firm Competitiveness. International Journal of Technology Management II (1/2): 433-57 Moelyono, Mauled. 2009, Pengembangan Aset Nir fisik dan Ekonomi Kreatif: antara tuntutan dan kebutuhan. Jakarta: Penerbit Rajagrafindo Persada. Moelyono, Mauled. 2007. Peran Modal Sosial dalam Memoderasi Pengaruh Jaringan Usaha dan Pembelajaran Organisasi Terhadap Kinerja UKM Sektor Manufaktur di Kota Palu. Disertasi Program Doktoral
Universitas
Negeri Malang (yang tidak dipublikasikan). Nadvi, K & Schmitz H. 1994. Industrial Clusters in Less Developed Countries: Review of Experiences and Research Agenda. Discussion paper 339. Institute of Development Studies. Porter, Michael E., 1990. The Competitive Advantage of Nations, The Free Press. Porter, Michael E., 2000. The Global Competitiveness Report 2000, Oxford University Press. Prahalad, C. K. & G. Hamel, 1990. The Core Competence of the Corporation, Harvard Business Review, 68(3):79-91. Satria, Riri, 2003. Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis. Jakarta: Penerbit Pt. Pustaka Quantum Prima. Schuster, G. 2007, The Creative Industries ‐ An Engine for Economic Development, Art Times, October. Sampurno, 2007. Knowledge Based Economy: sumber keunggulan daya saing bangsa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar. Solow, Robert M., 2000. Notes on Social Capital and Economic Performance. Dalam Dasgupta, Partha (Eds). Social Capital A
Multifaceted Perspective. (hlm. 6-10) Washington D. C: The International Bank for Reconstruction and Development /The World Bank. Susilo, Y. Sri, D. Wahyu Ariani & Y. Sukmawati S., 2002. Strategi Industri Kecil: kasus pada beberapa industri kecil di Yogyakarta dan Surakarta. Jurnal Ekonomi san Bisnis. Vol.VIII No.3 Desember 2002. hlm. 443-458. Tenkasi, R. V. & A. M. Susan, 1999. Global Change As Contextual Collaborative Knowledge Creation. Dalam Cooperrider, D. L. & Jane E. Dutton (Eds.), Organizational dimensions of global change: No limits to cooperation (hlm.114136). California: SAGE Publication, Inc. Toffler, Alvin. 1981. The Third Wave. London: Pan Books. Toffler, Alvin. 1990. Power Shift, Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century. New York: Bantan Books. Tanaszi, M., dan J. Duffi, 2000. Measuring Knowledge Assets, CMA, Canada. Wen, Sayling, 2003. Future of Education. (diterjemahkan oleh Arvin Saputra), Batam: Lucky Publishers. Widayana, Lendy, 2005. Knowledge Management: Meningkatkan Daya Saing Bisnis, Malang: Bayumedia Publishing. World Bank, 2006. Korea as a Knowledge Economy: evolutinary process and lessons learned. Washington D.C. Zambon, S. 2003. Study on The Measurement of Intangible Assets and Associated Reporting Practices. Commission of the European Communities, Enterprise Directorate General.