BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat ditopang oleh sektor pariwisata,
perkebunan, pertanian, perikanan, pertambangan dan lainnya. Indonesia adalah Negara yang memiliki keadaan alam, flora, fauna, seni, budaya yang berlimpah yang merupakan
aset dalam modal
pembangunan
kepariwisataan. Pembangunan
kepariwisataan di Indonesia yang dilaksanakan secara sistematis, terencana, berkelanjutan dan bertanggungjawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat setempat akan memberikan pemerataan kesempatan berusaha dalam bentuk banyaknya tercipta lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. World Tourism Organization dalam perkiraan yang dikeluarkan tahun 1977 mencatat, bahwa kalau pada tahun 1995 arus wisatawan mancanegara mencapai 564 juta orang, maka ditahun 2020 wisatawan mancanegara akan mencapai 1.602 juta orang. Angka tersebut mencerminkan peningkatan mendekati 3 kali lipat dalam kurun waktu 25 tahun, atau pertumbuhan rata-rata 4,3% per tahun.1 Pariwisata sudah diakui sebagai industri terbesar di abad ini dan menjadi sektor andalan di dalam pembangunan ekonomi berbagai Negara.2 1 Andi Mappi Sammeng, 2001, Cakrawala Pariwisata, Balai Pustaka, Jakarta, h. 26 2
I Putu Gelgel, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi perdagangan Jasa (GATS-WTO) Implikasi Hukum dan Antisipasinya, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 1.
1
2
Di Indonesia, daerah yang memiliki potensi besar dalam kepariwisataan adalah Provinsi Bali. Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat jumlah wisatawan mancanegara yang paling banyak berkunjung ke Bali selama Januari-Desember 2013 adalah kebangsaan Australia 826.388 orang, Cina sebanyak 387.533 orang, Jepang 208.116 orang, Malaysia 199.232 orang, Singapura 138.388 orang, New Zealand 48.749 orang, Thailand 34.728 orang.3 Selama tahun 2014 hingga bulan agustus sudah tercatat 2,4 juta orang atau bertambah 15,51 persen jika dibandingkan periode sama tahun 2013 sebanyak 2,1 juta orang.4 Berdasarkan analisa Bank Indonesia Wilayah III Bali dan Nusa Tenggara pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan III tahun 2014 diprediksi mencapai 5,9 - 6,5 persen. Banyaknya wisatawan ke Bali tentunya diimbangi dengan jumlah hotel di berbagai kabupaten/kota di Bali seperti Kabupaten Badung yang disebut sebagai pintu gerbang pariwisata Pulau Bali. Berdasarkan data wajib pajak daerah di Kabupaten Badung hingga bulan September 2014 terdapat 162 hotel bintang dan 1419 hotel non bintang. Banyaknya hotel merupakan contoh dari dampak positif pariwisata dalam pertumbuhan perekonomian sebagaimana dikemukakan oleh Tjok Istri Putra Astiti dan I Ketut Sudantra, The positive impacts of tourism development in Bali can be seen in various aspects of life, that is, the economic, social and cultural, as well as physical aspects.The economic impact of tourism development can clearly be seen in 3
Parwata; 2014, Pariwisata Bali Minim Anggaran Promosi, Majalah Bali Post, Vol. 33. No. .,
4
Radar Bali, Sampai September, Turis Asing Capai 2,4 Juta, Tgl. 16 September 2014, h. 16
Bali.
3
the creasing business. In the services sector various opportunities have arisen such as accommodation, transportation and other.5 Aspek yang mendapat perhatian paling besar dalam pembangunan pariwisata adalah aspek ekonomi.Terkait dengan aspek ekonomi inilah pariwisata dikatakan sebagai suatu industri. Bahkan kegiatan pariwisata dikatakan sebagai kegiatan bisnis yang berorientasi dalam penyediaan jasa yang dibutuhkan wisatawan seperti accomodation.6 Besarnya industri pariwisata di Provinsi Bali terutama di Kabupaten Badung harus dimanfaatkan
pemerintah daerah (dalam hal ini pemerintah Kabupaten
Badung) untuk mendapatkan sumber pendapatan daerah dari sektor pajak.
Hal
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni “Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah”. Berdasarkan hal tersebut Pemerintah Kabupaten diberikan kewenangan untuk menggali potensi pajak daerah yang spesifik dan potensial dari daerahnya. Salah satu sumber pendapatan daerah yang dominan di Kabupaten Badung adalah berasal dari pajak daerah khususnya pajak hotel. Pajak daerah diatur berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (selanjutnya disebut Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi 5
Michael Faure, Ni Ketut Supasti Dharmawan & I Made Budi Arsika (Eds.), 2014, Sustainable Tourism and Law, Eleven International Publishing, The Netherlands, h. 236. 6
Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Aditama, Bandung, h.17-
18.
4
Daerah). Pajak daerah adalah pajak yang diadakan oleh pemerintah daerah dan penagihannya dilakukan oleh pejabat pajak yang ditugasi mengelola pajak daerah. Lapangan atau obyek pajak daerah berbeda dengan
pajak pusat sehingga tidak
menimbulkan pajak ganda nasional yang merugikan wajib pajak. Berdasarkan ketentuan
diatas
Pemerintah
Kabupaten/Kota
memiliki
kewenangan
untuk
menetapkan pajak daerah tidak lepas dari adanya pembagian kekuasaan berdasarkan asas desentralisasi yang memberikan otonomi kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
pemerintahannya
untuk
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat.
Kewenangan tersebut adalah kewenangan dalam menetapkan Peraturan Daerah sebagai produk hukum yang mencantumkan sanksi pidana. Kompleksnya industi pariwisata menuntut suatu kebijakan hukum yang memadai untuk melandasi pertumbuhan pariwisata yang teratur dan terus meningkat. Peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Daerah yang mengatur pajak yang dibebankan pada wisatawan dan badan-badan usaha wisata oleh pemerintah dan penguasa daerah untuk menutup biaya-biaya yang diperlukan dalam persiapan dana pembangunan prasarana dan sarana-sarananya harus dipertimbangkan dengan hatihati. Hasil dari penarikan pajak harus dapat diaplikasikan kearah perbaikan kondisi serta fasilitas wisata.7 Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jenis pajak dibedakan mejadi dua, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Pajak kabupaten/ kota terdiri dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak 7 Salah Wahab, 2003, Manajemen Kepariwisataan, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 180-182
5
reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung wallet, pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berdasarkan potensi pariwisata di Kabupaten Badung Pemerintah Kabupaten Badung membentuk Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (selanjutnya disebut Perda Kabupaten Badung Nomor 15 Tahun 2011) sebagai landasan pemungutan pajak hotel. Sistem pemungutan pajak daerah dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pemungutan pajak daerah dengan sistem official assessment yang berarti pemungutan pajak daerah berdasarkan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan surat ketetapan pajak daerah (selanjutnya disingkat SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan itu8. Kedua, pemungutan menggunakan sistem self assessment. Sistem ini memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.9 Wajib pajak menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak daerah yang terutang. Dokumen yang digunakan adalah surat pemberitahuan pajak daerah (selanjutnya disingkat SPTPD) untuk menghitung, memperhitungkan, membayarkan dan melaporkan pajak yang terutang. Perda Kabupaten Badung Nomor 15 Tahun 2011 pada Pasal 11 ayat (1) menyatakan setiap wajib pajak wajib mengisi SPTPD. Jadi sistem self assessment 8
Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengantar Hukum Pajak (Edisi Revisi)-Ed.IV, Andi, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Y. Sri Pudyatmoko I), h.81.
6
digunakan pada Peraturan Daerah Kabupaten tersebut. Besarnya tarif pajak berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten diatas ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen) dari jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar. Pendapatan pajak daerah ini akan digunakan pemerintah kabupaten untuk membiayai kepentingan umum. Landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas “Benefit Approach” atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini membenarkan pemungutan pajak sebagai pungutan yang dapat dipaksakan. Pendekatan manfaat ini mendasarkan suatu falsafah, oleh karena Negara menciptakan manfaat yang dapat dinikmati seluruh warga Negara yang berdiam dalam Negara, maka Negara berwenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dipaksakan. Bentuk manfaat yang dapat dinikmati tentunya tidak dapat dibuat sendiri oleh pihak perorangan maupun swasta seperti, kesejahteraan, pelayanan umum, perlindungan hukum, kebebasan dan penggunaan fasilitas umum.10 Berhubungan dengan kewajiban pemerintah daerah dalam mengelola kepariwisataan sesuai dengan Pasal 23 huruf a, b, c, d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dapat disimpulkan pendapatan pajak hotel yang merupakan potensi pendapatan pajak yang besar seperti di Kabupaten Badung dapat digunakan untuk menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum serta keselamatan
kepada
wisatawan,
menciptakan
iklim
yang
kondusif
untuk
perkembangan usaha pariwisata, mengembangkan asset yang menjadi daya tarik 10
H. Bosari, 2004, Pengantar Hukum Pajak-Ed. Revisi, Cet 5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 38
7
wisata dan asset potensial yang belum tergali, dan
mengendalikan kegiatan
kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi dampak negatif bagi masyarakat luas. Peranan pajak untuk pembangunan terlihat pada hampir setiap proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah selalu disebutkan bahwa dana untuk proyek tersebut berasal dari pajak yang telah dikumpulkan masyarakat. Jadi fungsi budgeter pajak terpenuhi.11 Pemungutan pajak daerah hasil dari perusahaanperusahaan daerah yang bergerak dalam bidang pariwisata seperti hotel yang terdapat di Kabupaten Badung merupakan pendapatan yang sah untuk dimanfaatkan dalam memajukan daerah pariwisata tersebut seperti dalam pembangunan kepariwisataan. Industri pariwisata dengan objek pajak hotel adalah pilar utama pendapatan asli daerah beberapa pemerintah kabupaten di Bali khususnya Pemerintah Kabupaten Badung, namun terdapat akumulasi piutang pajak hotel dari tahun pengakuan piutang pajak hotel dalam jumlah besar di Kabupaten Badung. Data rekapitulasi piutang pajak dan aset lain-lain menunjukkan piutang pajak hotel per 31 Desember 2012 tercatat sebesar Rp. 89.757.743.476,08 (delapan puluh sembilan milyar tujuh ratus lima puluh tujuh juta tujuh ratus empat puluh tiga ribu empat ratus tujuh puluh enam rupiah point nol delapan sen), per 31 Desember 2013 piutang pajak hotel sebesar Rp. 84.609.330.529,43 (delapan puluh empat milyar enam ratus sembilan juta tiga ratus tiga puluh ribu lima ratus dua puluh sembilan rupiah point empat puluh tiga sen), per 11
Richard Burton dan Wirawan B Ilyas, 2001, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, h. 7-8.
8
31 Desember 2014 piutang pajak hotel sebesar Rp.88.031.316.895, 25 (delapan puluh delapan milyar tiga puluh satu juta tiga ratus enam belas ribu delapan ratus sembilan puluh lima rupiah point dua puluh lima sen)12 Data Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Negeri Denpasar mencatat, beberapa wajib pajak yang mempunyai tunggakan pembayaran pajak atau piutang pada pemerintah Kabupaten Badung antara lain Sandi Phala Hotel sebesar Rp. 4.649.087.074,38 ( empat milyar enam ratus empat puluh sembilan juta delapan puluh tujuh ribu tujuh puluh empat rupiah point tiga puluh delapan sen) SKK354/P.1.10/Gs/01/2012 tanggal 4 Januari 2012, Ramada Resor Benoa sebesar Rp. 6.571.647.850,40 (enam milyar lima ratus tujuh puluh satu juta enam ratus empat puluh tujuh ribu delapan ratus lima puluh rupiah point empat puluh sen) SKK3169/P.1.10/Gs/05/2012 tanggal 16 Mei 2012 yang penyelesaiannya dilaksanakan dengan mencicil. Berdasarkan data piutang pajak hotel diatas, dapat disimpulkan penerimaan pajak tidak tercapai secara maksimal.
Piutang pajak hotel yang tersebut diatas
tentunya disebabkan karena adanya wajib pajak yang memiliki tunggakan pajak dan kendala-kendala dalam menambah pendapatan asli daerah (selanjutnya disingkat PAD) dari sektor pajak hotel. Piutang pajak hotel ini muncul dapat dikarenakan terdapat berbagai macam bentuk pelanggaran terhadap Perda Nomor 15 Tahun 2011 beserta peraturan turunannya seperti Peraturan Bupati Badung Nomor 21 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Parkir, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
12 Bidang Pembukuan dan Pelaporan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung
9
Hiburan Dan Pajak Penerangan Jalan, Peraturan Bupati Badung Nomor 34 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administratif Dan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak Daerah, dan Peraturan Bupati Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak Daerah. Kejahatan di bidang perpajakan terjadi dikarenakan terlanggarnya kaidah hukum pajak. Terlanggarnya kaidah hukum pajak dapat dilakukan oleh pegawai pajak atau pun wajib pajak ketika melakukan perbuatan atau tidak berbuat dibidang perpajakan ketika memenuhi rumusan aturan hukum pajak.13 Contohnya wajib pajak melakukan perbuatan pemalsuan pembukuan, tidak menyetor pajak yang telah dipungut, tidak mendaftakan diri atau usahanya, wajib pajak tidak membayar pajak untuk masa pajak bagi setiap jenis pajak. Perda No 15 Tahun 2011 telah mencantumkan sanksi pidana, namun sanksi pidana tidak dimanfaatkan sebagai sarana penegakan Perda No 15 Tahun 2011 di Kabupaten Badung. Terkait dengan besarnya piutang Pajak Hotel di Kabupaten Badung, yang menunjukkan penerimaan pajak yang tidak maksimal penulis sangat prihatin dengan kondisi tersebut sehingga tertarik untuk menulis tesis dengan judul “Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Badung”.
13
Muhamad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2011, Kejahatan di Bidang Perpajakan, Rajawali Pers, Jakarta, h.2.
10
1.2.
Rumusan Masalah: Berkaitan
dengan
uraian
latar
belakang
diatas,
dapat
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimanakah pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel di Kabupaten Badung? 1.2.2. Apa faktor-faktor
yang mempengaruhi besarnya piutang pajak hotel di
Kabupaten Badung? 1.3.
Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari
permasalahan yang dibahas maka perlulah adanya pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut: 1.3.1. Pembahasan pertama mengenai pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel di Kabupaten Badung. 1.3.2. Pembahasan kedua
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
piutang pajak hotel di Kabupaten Badung. 1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian terkait dengan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15
Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel di Kabupaten Badung ada dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain: 1.4.1. Tujuan Umum 1. Untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan science as a process. Dengan pradigma ini ilmu akan terus berkembang di bidang Pajak Daerah
11
yang diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Berdasarkan Undang-undang tersebut dan peraturan Perundang-undangan dibawahnya akan dapat dilihat bagaimana pelaksanaan dari Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel di Kabupaten Badung. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengkaji mengenai hasil dari pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel di Kabupaten Badung. 2. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya piutang pajak hotel di Kabupaten Badung. 1.5.
Manfaat Penelitian:
1.5.1. Manfaat Teoritis Penulisan tesis ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan terutama dibidang hukum pajak, khususnya pengaturan pajak kabupaten/kota yang diatur dengan peraturan daerah. 1.5.2. Manfaat Praktis Penulisan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pelaksanaan dan prakteknya terhadap agenda penegakan Peraturan Daerah Pajak Hotel agar tidak terjadi akumulasi piutang pajak hotel dalam jumlah besar sebagai penghambat optimalnya pendapatan daerah yang digunakan untuk pembangunan daerah termasuk untuk pembiayaan kegiatan pariwisata didaerah tersebut. Penulis juga memiliki harapan besar, tesis ini untuk memberikan pengetahuan kepada wajib pajak atas
12
manfaat penting dari pajak dalam pembangunan khususnya dibidang pariwisata, membuka ruang untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi wajib pajak dan aparatur pajak, memberikan masukan untuk penanganan piutang pajak hotel. 1.6.
Orisinalitas Tesis Orisinalitas tesis ini dapat dilihat perbedaannya dari tesis lain yang pernah
ditulis, antara lain: Pertama, menemukan tesis atas nama
I Komang Agus Budiyasa, Pasca-
Sarjana Universitas Udayana Program Studi Ilmu Hukum, Judul Tesis “Aspek Hukum Pemungutan Pajak Hotel Dengan Sistem Online Pada Pemerintah Kota Denpasar” dengan rumusan masalah: 1.Bagaimanakah pengaturan pemungutan pajak dengan sistem online Pada Pemerintah Kota Denpasar? 2.Bagaimanakah kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online? Tesis ini membahas dasar hukum pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online di Kota Denpasar berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar No 5 Tahun 2011, disamping kesepakatan bersama Pemerintah Kota Denpasar serta Bank Pembangunan Daerah Bali. Kedudukan hukum perjanjian kerja sama yang dibuat diklasifikasikan sederajat dengan Peraturan Bersama Kepala daerah.Usulan proposal penulis membahas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 di Kabupaten Badung tentang pajak hotel dengan
13
mencari faktor-faktor yang mempengaruhi efektif atau tidaknya pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tersebut. Kedua, tesis atas nama Rona Rositawati, mahasiswi program studi Magister Ilmu Hukum Pasca-Sarjana Universitas Diponogoro, tahun 2009, judul tesis ”Sistem Pemungutan Pajak Daerah Dalam Era Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Bogor)” dengan rumusan masalah: 1.Bagaimanakah dasar hukum pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah? 2.Bagaimanakah sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah? 3.Bagaimanakah konsistensi peraturan daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah? Tesis ini membahas dasar pemungutan pajak yang harus memiliki dasar hukum yang kuat. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, UndangUndang 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu untuk direvisi. Perbedaan usulan proposal tesis penulis dengan tesis ini dapat dilihat dari pokok permasalahan yang dikaji. Usulan proposal penulis mengkaji pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten yang digunakan sebagai dasar penerimaan pajak hotel untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ketiga, tesis atas nama Siti Choiriah, mahasiswi Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponogoro, tahun 2009, dengan judul tesis ”Upaya Hukum Keberatan Bagi Wajib Pajak Dalam Sengketa Pajak Di
14
Bidang Pajak Bumi dan Bangunan (Studi di KPP Pratama Semarang Tengah I)” dengan rumusan masalah: 1.Bagaimanakah wajib pajak menggunakan upaya hukum keberatan dalam sengketa pajak di bidang PBB di KPP Pratama Semarang Tengah I? 2.Hambatan-hambatan apa yang dialami oleh wajib pajak di bidang PBB dalam melakukan upaya hukum keberatan dan bagaimana upaya untuk mengatasi hambatan tersebut? Perbedaan usulan proposal penulis dengan tesis ini adalah tesis ini membahas bahwa wajib pajak memiliki upaya hukum yaitu keberatan pajak sebagai bentuk perlindungan hukum terhadapnya atas perselisihan antara wajib pajak dengan pejabat pajak menganai besar atau jumlah pajak yang harus dibayar. Serta membahas hambatan-hambatan yang dialami wajib pajak dalam mengajukan keberatan seperti rumitnya prosedur permohonan dan lamanya jangka waktu penyelesaiannya. Usulan proposal penulis memfokuskan pada pembahasan terhadap faktor-faktor penyebab tunggakan pajak hotel dan langkah-langkah yang ditempuh Dinas Pendapatan Daerah untuk penagihan piutang pajak tersebut. 1.7.
Landasan Teori Teori-teori hukum digunakan untuk membahas permasalahan penelitian untuk
mencapai kebenaran ilmu hukum yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran. Penelitian ilmu hukum
dengan aspek empiris dalam tesis ini, dibahas dengan
menggunakan teori-teori yang relevan untuk menjawab rumusan masalah yang ada sehingga diperoleh jawaban yang dapat memperbaiki keadaan yang ada.
15
1.7.1. Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence Friedman hukum merupakan suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen yakni,14 ‘…substance of law, structure of law, culture of law. Substance of law is another aspect of legal system is its substance of law. By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system. This is, first of all, “the law” in the popular sense of the term.the fact that the speedlimit is fifty-five miles an hour, that burglars can be sent to prison, that”by law” a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar. Culture of law, by this we mean people’s attitude toward law and the legal system their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that parts of the general culture which concerns the legal system. Legal structure, structure to be sure, is one basic and obvious element of the legal system. The structure of the system is its skeletal framework, it is the elements shape, the institusional body of the system.’ Lawrence Friedmann mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung Three Elements of Legal System diantaranya:15 a. Struktur hukum Struktur adalah dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem hukum. Struktur dalam sebuah sistem adalah kerangka permanen, atau unsur tubuh dalam sistem hukum. Struktur dalam sebuah sistem meliputi lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsi.
14 M. Lawrence Friedman, 1984, American Law-An Introduction, Stanford University, W.W. Norton and Company, New York, p.5-6 15 Soerjono Soekanto, 2004, Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet V, Raja Grafindo Persada, Jakarta (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h. 59
16
b. Substansi hukum Substansi hukum adalah aturan atau norma hukum. Substansi tersusun dari peraturan-peraturan mengenai bagaimana institusi-institusi bertindak. c. Kultur hukum Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaankebiasaan cara berfikir, cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.16 Teori ini penulis gunakan untuk membahas permasalahan pertama. Dalam mewujudkan realisasi penerimaan piutang Pajak Hotel tidak saja diperlukan peraturan perundang-undangan
sebagai
substansi
hukum
(legal
substance),
lembaga
pelaksananya baik itu Dispenda, Kejaksaan, Satpol PP, sebagai struktur hukum (legal structure), tetapi juga dibutuhkan nilai-nilai atau sikap sebagai kultur hukum(legal culture) dari seluruh wajib pajak dan petugas pajak. Pajak hotel merupakan salah satu pajak daerah sebagai sumber penerimaan asli daerah Kabupaten Badung terbesar yang perlu ditingkatkan untuk melaksanakan pembangunan di wilayah Kabupaten Badung dengan kemampuan sendiri berdasarkan prinsip kemandirian. Peningkatan kesadaran wajib pajak dan subjek pajak di bidang pajak hotel harus didukung peningkatan peran aktif
serta pemahaman hak dan
kewajiban dalam melaksanakan Peraturan Daerah. 16
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 204
17
1.7.2. Asas The Four Maxims Adam Smiths mengemukakan asas-asas pedoman pemungutan pajak yang disebut sebagai The four maxims atau four canons taxation sebagai berikut: a. Penekanan pada asas equality. Negara tidak diperbolehkan mengadakan diskriminasi terhadap wajib pajak. Dalam keadaan sama wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula. b. Harus ada kepastian atau certain mengenai subjek pajak, objek pajak, ketentuan mengenai waktu pembayarannya. c. Teknik convenience of payment menetapkan pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak. d. Pemungutan pajak dilaksanakan sehemat-hematnya17 Asas-asas ini penulis gunakan untuk mengkaji rumusan masalah pertama. Asas equity, berdasarkan asas ini dapat dikaji apakah Dispenda Kabupaten Badung sebagai pihak yang diberi kewenangan dalam menerima pungutan pajak daerah dari wajib pajak yang berdasarkan sistem self assesment sudah mendata dan mendaftarkan setiap calon wajib pajak yang memiliki potensi sebagai wajib pajak hotel tanpa adanya diskriminasi. Asas certainty akan menjawab apakah sudah ada kepastian dalam tata cara pemungutan pajak arti pasti apa yang disebut sebagai objek pajak hotel , siapa yang termasuk subjek hotel, kepastian berapa jumlah tarif pajak hotel, dan hak-hak serta jaminan hukum yang diperoleh wajib pajak. Penerimaan dari 17 R Santoso Brotodihardjo, 2003, Pengantar Hukum Pajak Cet I-Ed IV, PT. Refika Aditama, Bandung , h. 27-28
18
pemungutan pajak di Kabupaten Badung, harus lebih besar daripada biaya-biaya untuk mendukung pemungutan pajak untuk optimalisasi pendapatan pajak sehingga terdapat efisiensi. Keempat kaedah Adam Smith ini dapat digunakan untuk menjawab pelaksanaan Perda Kabupaten Badung Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel. 1.7.3. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Kejahatan adalah tindakan yang dapat dikenakan hukuman oleh hukum pidana. Kejahatan dapat pula diartikan sebagai perbuatan yang secara hukum dilarang oleh Negara.18 Penentuan suatu perbuatan sebagai kejahatan dalam suatu peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan proses pembuatan kebijakan dalam menentukan sebuah perbuatan sebagai delik. Dalam membuat atau merumuskan suatu kebijakan banyak faktor yang berpengaruh, sehingga harus diantisipasi sehingga dalam implementasinya dapat berjalan dengan mudah. Kebijakan penggunaan hukum pidana merupakan upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial atau penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi kepentingan dan nilai-nilai sosial tertentu dalam mencapai kesejahteraan sosial. Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari upaya untuk perlindungan masyarakat dan upaya untuk kesejahteraan sosial sebagai tujuan dari kebijakan kriminal dengan sarana hukum pidana.
18
Arief Amrullah, 2006, Kejahatan Korporasi, Malang, Banyumedia, h. 2-3
19
Menurut Sudarto ada tiga arti mengenai kebijakan/politik kriminal, yaitu:19 a. Kebijakan kriminal dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat b. Dalam arti luas, kebijakan kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi c. Dalam arti sempit, kebijakan kriminal adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana Ada 2 (dua) bentuk upaya penanggulangan kejahatan melalui sistem peradilan pidana yaitu upaya “non penal” yang menekankan pada faktor penyebab terjadinya kejahatan dan upaya “penal” yaitu dengan menggunakan peraturan perundangundangan pidana. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral dengan memperhatikan keseimbangan sarana penal dan non penal. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal enforcement policy yang operasionalisasinya dengan beberapa tahap seperti formulasi, aplikasi dan eksekusi. Dengan adanya tahap formulasi penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga aparat legislatif sebagai pembuat hukum yang memiliki kewenangan strategis dari upaya 19
Marwan Effendy, 2014, Teori Hukum Dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan Dan Harmonisasi Hukum Pidana, Jakarta, Gaung Persada Press Group, h. 225-226
20
penanggulangan kejahatan melalui penal policy. Kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang berdampak pada terhambatnya upaya pencegahan dan penanggunlangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.20 Kebijakan kriminal dengan penggunaan sarana penal artinya menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk penanggulangan kejahatan.21 Sanksi pidana merupakan sarana agar wajib pajak memenuhi kewajibannya membayar pajak. Sanksi pidana dapat memberikan ancaman penderitaan kepada wajib pajak yang melanggar dan diharapkan memberikan efek jera kepada pelanggar Perda. Hukum pidana memiliki fungsi memerangi kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pidana merupakan alat yang paling ampuh untuk memerangi kejahatan namun pidana bukan satu-satunya alat, sehingga pidana harus diterapkan dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan preventif.22 Kejahatan merupakan fenomena sosial yang dinamis oleh karenanya penanganannya tidak hanya dengan upaya penal tetapi juga harus menggunakan upaya non penal. Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan jalur non penal bersifat sebagai upaya pencegahan kejahatan (preventif) yang memiliki sasaran untuk menangani faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan yang berkaitan dengan langkah upaya teknis pencegahan.
20 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, h. 74. 21
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 149 22
J.M. Van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana I, Hukum Materil Bagian Umum, Bina Cipta, Jakarta, h.13-14
21
Upaya pencegahan ini dianggap sebagai upaya strategis dan memegang peran penting, dan dianggap lebih menjanjikan keberhasilan daripada merupakan langkah represif. ‘criminal policy in many countries has turned towards developing preventive measures to prevent and reduce crime, which are much cheaper than the costs of providing police forces, courts and prisons and would appear to hold out more promise of success in combating the broadened to include agencies and individuals outside the criminal justice system. Crime has become a common public concern and its prevention is no longer seen as the exclusive province of the specialists, althought the relationship between crime prevention and the criminal justice system remains complex and diverse’.23 Upaya non penal sebagai upaya pencegahan kejahatan pada intinya untuk menghapuskan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya kejahatan atau penanganan masalah-masalah yang secara langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan kejahatan. Penulis menggunakan kebijakan penanggulangan ini untuk membahas rumusan masalah kedua. Dispenda Kabupaten Badung dalam optimalisasi pendapatan daerah dari sektor pajak termasuk dalam menanggulangi tunggakan pajak menggunakan sarana nonpenal yang bersifat preventif atau kebijakan penal yang bersifat represif atau pendekatan integral dengan keseimbangan penal dan non penal. 1.7.4. Konsep Penegakan Hukum Pajak daerah `merupakan sumber pemasukan atau pendapatan daerah utama yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Namun terdapat hambatan dalam pemungutan pajak seperti sulitnya wajib pajak untuk membayar pajak yang merupakan suatu permasalahan tersendiri. 23John Graham, 1990, Crime Prevention, Strategies in Europe and Morth Amerika, Helsimki, Heuni, h.7
22
Penegakan hukum merupakan serangkaian aktivitas, upaya, dan tindakan melalui organisasi berbagai istrumen untuk mewujudkan apa yang dicita-citakannoleh penyusun hukum atau undang-undang tersebut.24Di dalam pengertian penegakan hukum tersebut juga termasuk sosialisasi, pendidikan, penyuluhan serta bimbingan agar pembayar pajak dapat mengikuti dan mematuhi undang-undnag perpajakan sesuai dengan yang dicita-citakan oleh peraturang perundang-undangan di bidang perpajakan. Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah: 1. Faktor hukumnya sendiri 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup25 Pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah oleh fiskus dan peran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan. Dalam kenyataan yang ditemui dilapangan masih ditemuinya dan ditargetkannya penerimaan piutang pajak hotel sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak sebagaimana mestinya. Perkembangannya jumlah tunggakan pajak dari waktu ke waktu semakin besar jumlahnya karena tidak diimbangi dengan tindakan-tindakan 24 Jusuf Anwar, 2005, Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi, Alumni, Bandung, h.33 25 Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h. 8
23
pencairannya, meskipun secara umum penerimaan di bidang pajak hotel semakin meningkat. Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, disebutkan bahwa utang pajak atau pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar dalam masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Masa pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang. Terhadap tunggakan pajak hotel perlu dilaksanakan penagihan pajak yang memiliki kekuatan hukum memaksa karena kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak merupakan potensi utama dalam upaya pencairan tunggakan pajak hotel. Dengan demikian pengkajian terhadap kelima faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 sangat perlu mendapat perhatian. Kelima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam hal ini Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2011 tentang Pajak Hotel di Kabupaten Badung tersebut diatas saling berkaitan, karena merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum dan esensi dari penegakan hukum.
24
1.8.
Kerangka Berpikir PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HOTEL DALAM RANGKA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN BADUNG
Gambar 1: Kerangka Berpikir
25
1.9.
Metode Penelitian Untuk memperoleh, mengumpulkan, serta menganalisa setiap data maupun
informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar karya tulis ilmiah mempunyai susunan yang sistematis dan konsisten. Van Peursen menerjemahkan pengertian metode sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.26 1.9.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam membahas masalah ini adalah yuridis empiris. Salah satu ciri penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris beranjak dari adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan realita pelaksanaannya dilapangan.27 1.9.2. Sifat Penelitian Penelitian ini lebih mengarah kepada penelitian deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.28 Penulis bermaksud mendeskripsikan dan menggambarkan pelaksanaan 26
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, h.26. 27
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis, 2013, Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, h. 52. 28
M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43.
26
Peraturan Daerah Pajak Hotel terkait dengan penerimaan Pajak Hotel di Kabupaten Badung. 1.9.3. Data dan Sumber data Dalam penulisan tesis pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat yang dinamakan data primer dan diperoleh dari bahan-bahan pustaka dinamakan data sekunder.29 Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber, yaitu: 1.
Data Primer adalah data yang bersumber dari suatu penelitian lapangan, yaitu suatu data yang diperoleh dari informan sebagai sumber dilapangan.30 Dalam penelitian ini data yang diperoleh dari lapangan dalam hal ini penelitian dilakukan di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung, Hotel di Kabupaten Badung, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Kejaksaan Negeri Denpasar, Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung.
2.
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang bersumber dari penelitian kepustakaan (library research) yaitu dalam bentuk bahanbahan hukum.31 Bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder :
29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 12. 30 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 102 31
Ibid
27
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, dan terdiri dari 32: Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia: - Undang-Undang Dasar 1945 -Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah -Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel -Peraturan Bupati Badung Nomor 21 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Parkir,
Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan Dan Pajak Penerangan Jalan -Peraturan Bupati Badung Nomor 34 Tahun 2012 Tentang Tata
Cara
Pengurangan
Atau
Penghapusan
Sanksi
Administratif Dan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak Daerah Bahan atau sumber hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku
32
Amirudin dan H Zainal Asikin,1994, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 31.
28
buku hukum, termasuk tesis, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana dan para ahli hukum, dan bahan-bahan pendukung lainnya.33 Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, dan artikel-artikel yang terdapat di internet yang memuat tentang hal-hal yang berhubungan dengan hukum pajak khususnya. 1.9.4. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu : 1.
Teknik Studi Dokumen Studi dokumen adalah teknik awal yang digunakan dalam setiap
penelitian ilmu hukum termasuk penelitian dengan aspek empiris karena penelitian ilmu hukum selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Untuk menunjang penulisan penelitian ini pengumpulan bahanbahan hukum diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, surat kabar, berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
33
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h. 155
29
2.
Teknik Wawancara (Interview) Wawancara adalah suatu pembicaraan yang diarahkan pada suatu
masalah tertentu atau lebih berhadapan secara fisik dengan mengajukan daftar pertanyaan yang diajukan secara sistematis.34 Dalam hal ini, penulis mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk berwawancara kepada informan di tempat terkait dengan penelitian. 1.9.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Penentuan populasi dan sampel penelitian yang tepat sangat penting artinya dalam suatu penelitian. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama. Populasi dapat berupa orang, benda, kasus-kasus dengan sifat atau ciri yang sama.35 Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi. Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah teknik non probability sampling, yaitu peneliti memiliki peran yang sangat besar untuk menentukan dan mengambil sampelnya36. Bentuk non probability yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu purposive sampling. Penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pada pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang
34 Amirudin dan H Zainal Asikin, op.cit., h. 82 35 Bambang Sunggono, 2013, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h.118 36
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cet. 3, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 87.
30
merupakan ciri utama dari populasinya. Artinya, ciri-ciri sampel dimaksud telah dikenal sebelumnya.37 1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data Apabila keseluruhan data yang diperoleh dan sudah terkumpul baik melalui studi kepustakaan ataupun dengan wawancara, kemudian mengolah dan menganalisis secara kualitatif, yaitu dengan menghubungkan antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis.38 Maksudnya data yang telah rampung tadi dipaparkan dengan disertai analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan tesis ini.
37
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, h. 84. 38
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika Offset, Jakarta, h.104.