1
POLICY PAPER UNTUK PENCEGAHAN FENOMENA MEDIA PARTISAN DALAM PEMILIHAN PRESIDEN Disusun oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Dengan support dari The Asia Foundation January 2015
2
POLICY PAPER UNTUK PENCEGAHAN FENOMENA MEDIA PARTISAN DALAM PEMILIHAN PRESIDEN EXECUTIVE SUMMARY Merujuk pada pengalaman Pemilu Presiden 2014, media telah dipergunakan sedemikan rupa oleh sejumlah partai politik atau politisi untuk kepentingan pemenangan pemilu. Media partisan adalah fenomena yang cukup menonjol dalam Pemilu Presiden 2014, dan dampaknya adalah membahayakan perkembangan demokrasi di Indonesia, serta membuat warga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang utuh tentang para kandidat yang bertarung dalam Pilpres tersebut. Policy Paper ini mengusulkan sejumlah langkah kepada para pembuat kebijakan untuk mencegah terjadinya kembali fenomena media partisan di masa mendatang sesuai dengan peraturan yang ada. Untuk mendukung usulan langkah tersebut LSPP telah melakukan studi dokumen peraturan yang ada, disertai dengan wawancara dengan belasan pimpinan media, lembaga regulator media dan sejumlah pengamat masalah penyiaran. Hasil studi ini diharapkan bisa berkontribusi pada pembuatan kebijakan yang lebih tepat untuk menghindari fenomena media partisan dalam pemilu mendatang, karena besarnya kerusakan yang dihasilkan pada publik dari fenomena tersebut. Kondisi media pada pemilihan presiden mendatang (2019) akan hadir dalam landskap media yang mungkin sama sekali berbeda dengan kondisi hari ini, terutama dengan perkembangan pesat pada media online, namun begitu para pembuat kebijakan tidak perlu hanya melihat kondisi ini dari perkembangan pemilu terakhir, tetapi juga harus siap dengan kondisi media yang sama sekali baru. REKOMENDASI KEPADA PEMERINTAH (KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMASI) 1. Merevisi Peraturan Pemerintah tentang Penyiaranuntuk mengembalikan kewenangan yang dimiliki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan isi UU Penyiaran (pasal 8 UU no 32/2002) yang banyak dihilangkan perannya dalam PP yang telah ada. Sejauh ini KPI hanya ditugasi untuk mengurusi pengawasan isi siaran televisi, namun kewenangannya dalam ikut serta dalam pengaturan masalah infrastruktur penyiaran jadi terpinggirkan. 2. Revisi UU Penyiaran perlu dilakukan untuk mengikuti perkembangan landskap media yang berubah, namun perlu menunggu waktu yang lebih tepat sehingga amanat perbaikan UU untuk lebih melindungi kepentingan publikbisa dilakukan. Pada hakikatnya frekuensi adalah sumber daya yang bersifat terbatas dan dalam ranah publik, sehingga penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok sangat mengingkari hakikat dasar frekuensi ini. dalam UU Penyiaran pasal 18 misalnya perlu lebih dibuat lebih spesifik hal yang mengatur masalah pemusatan kepemilikan media, kepemilikan media silang 3. Kriteria untuk pemilihan anggota KPI harus lebih jelas dan melewati proses rekrutmen yang lebih transparan, calon anggota tidak masuk dalam konflik kepentingan dengan
3 pihak industri dan adanya kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan kepada calon-‐calon anggota komisi tersebut. 4. Mempertimbangkan rekomendasi dari KPI untuk mengevaluasi pemberian ijin kepada sejumlah stasiun televisi yang mempraktekkan jurnalisme partisan dalam pilpres 2014 sesuai dengan UU no 32 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa KPI memiliki kewenangan memberikan rekomendasi untuk pencabutan ijin kepada pemerintah atas lembaga penyiaran yang dianggap melanggar standar program siaran. Pemerintah diharapkan bisa merespon rekomendasi KPI tersebut dalam tempo maksimal 1 tahun. Di luar itu, sanksi secara bertahap dalam bentuk denda uang perlu juga dipertimbangkan untuk dilaksanakan oleh KPI. 5. Ke depan perlu adanya harmonisasi antar kelembagaan yang mengatur masalah penyiaran dan pelaksanaan pemilu (antara KPI, KPU dan juga Bawaslu). Dengan adanya suatu prosedur bersama, misalnya MOU, yangmenetapkan bentuk-‐bentuk kampanye yang diperbolehkan dan yang tidak dalam siaran termasuk dalam bentuk iklan, talkshow, reality show, sinetron, dan lain-‐lain). Lembaga-‐lembaga ini pula berusaha mengurangi memunculkan adanya multi tafsir atas peraturan yang ada dan memfasilitasi respon cepat jika terjadi pelanggaran. 6. Pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih besar kepada lembaga penyiaran publik agar Lembaga Penyiaran Publik (LPP) bisa menjalan perannya dengan baik, yaitu menghasilkan informasi yang dapat diandalkan, dipercaya dan tidak bersikap partisan baik kepada pemerintah ataupun partai politik pemenang pemilu. Dalam rangka ini perlu ada proses pemilihan Direktur dan Dewan Pengawas LPP yang transparan, dapat dipertanggungjawabkan, untuk mendapatkan personil yang profesional, bersih dan memiliki visi untuk mengembangkan jurnalisme untuk kepentingan publik. REKOMENDASI KEPADA DEWAN PERS DAN KPI 1. Dewan Pers dan KPI harus bertindak lebih cepat dan proaktif dalam memproses komplain / keluhan yang datang terkait fenomena media partisan. Perlu ada suatu mekanisme khusus untuk pemilu yang mengatur batas waktu maksimal dalam memproses komplain ataupun pengaduan yang datang ke Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia, misalnya 3 x 24 jam serta wewenang untuk ambil tindakan langsung kalau dianggap melanggar peraturan sehingga proses pemilu tidak tetap diganggu. 2. Komisi Penyiaran Indonesia perlu membuat sanksi yang bisa diterapkan kepada lembaga penyiaran yang melanggar standar program siaran, misalnya dengan sanksi denda yang ditetapkan secara khusus, dan dana dari hasil denda bisa dikelola untuk menghasilkan program literasi media ataupun membiayai program siaran televisi yang penting diketahui untuk publik.
4 3. Menjelang pemilihan umum mendatang diperlukan suatu pelatihan khusus kepada staf dari Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia untuk menghadapi kasus-‐kasus pengaduan terkait dengan masalah pemilu, agar penanganan kasus seperti ini bisa berjalan dengan lebih cepat dan memenuhi rasa keadilan dalam pemilihan umum. 4. Perlu ada sistem yang lebih tegas dari Dewan Pers untuk memberikan Kartu Sertifikasi Wartawan hanya kepada mereka yang memenuhi suatu standar minimal dalam praktek jurnalistiknya, dan juga perlu ada sanksi kepada mereka yang melakukan pelanggaran etika jurnalistik dan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran / Standar Program Siaran) REKOMENDASI KEPADA ORGANISASI PROFESI JURNALIS 1. Organisasi profesi jurnalis harus memastikan adanya evaluasi berkala kepada mereka yang telah memiliki Kartu Sertifikasi Wartawan untuk memeriksa kepatuhan mereka dalam melaksanakan kode etik jurnalistik. Kepada para anggotanya yang melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik ataupun P3SPS, organisasi profesi jurnalis perlu memberikan teguran atau sanksi untuk membela kepentingan umum. 2. Organisasi profesi jurnalis perlu mendukung secara aktif dan berkelanjutan pelatihan jurnalistik dan pengetahuan lainnya untuk meningkatkan profesionalitas para anggotanya, khususnya dalam peliputan pemilu. REKOMENDASI KEPADA ORGANISASI PERUSAHAAN MEDIA (ASOSIASI TELEVISI SWASTA INDONESIA DAN SERIKAT PERUSAHAAN PERS) 1. Organisasi Perusahaan Media perlu memiliki kode etik yang mengatur perilaku anggota agar sesuai dengan kode etik jurnalistik dan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran / Standar Program Siaran), dan juga kode perilaku dalam hal liputan media dalam pemilu. 2. Organisasi Perusahaan Media perlu tegas memberikan teguran, sanksi kepada para anggotanya yang melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik ataupun P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran / Standar Program Siaran) untuk membela kepentingan umum 3. Organisasi Perusahaan Media menerima masukan, dan menerima laporan pelanggaran kode etik dari lembaga regulator media dan dari publik. 4. Organisasi Perusahaan Media mendorong para wartawan dari perusahaan media yang bernaung di bawah untuk mengikuti sertifikasi wartawan dari lembaga yang terkait.
5
BAGIAN I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Satu fenomena menonjol dari pemilihan presiden 2014 ini adalah fenomena massifnya media massa dipergunakan untuk kepentingan politik berbagai kandidat politik. Beberapa media secara terang-‐terangan menunjukkan dukungannya pada kandidat calon presiden, apakah itu pasangan kandidat Prabowo Subianto-‐Hatta Rajasa ataupun pasangan kandidat Joko Widodo-‐Jusuf Kala. Media seperti Metro TV misalnya menunjukkan keberpihakannya pada kandidat Jokowi-‐ Kala. Metro TV adalah stasiun televisi yang dimiliki oleh Surya Paloh yang juga menjadi ketua umum Partai Nasional Demokrat, yang dalam pemilihan presiden lalu memutuskan untuk bergabung dengan kandidat Jokowi-‐JK. Sementara itu TV One menunjukkan keberpihakannya pada kandidat Prabowo Subianto-‐Hatta Rajasa. TV One dimiliki oleh Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar yang dalam pemilihan presiden mendukung kandidat tersebut. Grup televisi MNC Group (RCTI, Global TV dan MNC TV) juga menunjukkan keberpihakan pada kandidat Prabowo Subianto. Kalaupun kedua kandidat presiden menikmati dukungan dari stasiun televisi, dampak dari dukungan tersebut sangat berbeda. Jumlah seluruh stasiun televisi yang mendukung Prabowo Subianto menikmati pemirsa sebanyak 40 persen dari seluruh pemirsa televisi, pemirsa stasiun televisi yang mendukung Jokowi, yaitu Metro TV, hanya merupakan 2 persen dari seluruh pemirsa televisi di Indonesia 1. Pemakaian stasiun televisi untuk kepentingan politik oleh pemiliknya sudah dibuktikan dalam rangka pemilihan legislatif bulan April. Jauh hari sebelum masuk pada masa kampanye resmi, sempat beredar ke publik suatu rekaman dari pembicaraan internal di kalangan partai Hanura dimana dalam pembicaraan itu muncul suatu rencana untuk MNC group mempromosikan para caleg Hanura di Jawa Timur lewat acara-‐acara televisi yang ada di MNC Group (lihat link http://www.youtube.com/watch?v=esQc37dGmS0) Contoh-‐contoh lain pemberitaan yang berpihak dari masing-‐masing media cetak dan televisi dalam pemilihan presiden kemarin sudah dicatat dalam hasil beberapa riset sejumlah lembaga seperti Remotivi, PR2MEDIA (lihat dalam Apendix). Kita bisa menyebut fenomena ini sebagai fenomena “media partisan”, yang artinya adalah media massa yang menyajikan isi media “yang sudah ter-‐framing, diputarbalikkan, dan mengarahkan sedemikan rupa sehingga agenda politik tertentu dapat disampaikan” 2. Menurut kami, jika dilihat dalam konteks demokratisasi, apa yang telah dilakukan oleh media-‐media tersebut mencederai proses demokrasi, dimana para pemilik media telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan media sebagai alat politik mereka. Di samping itu, 1
Lihat Ross Tapsell, “Fear or Favour”, Inside Indonesia July 14, 2014, http://inside.org.au/fear-and-favour/ Jamieson, Kathleen Hall, Bruce Hardy, and Daniel Romer. 2007. “The Effectiveness of the Press in Serving the Needs of American Democracy.” In A Republic Divided: The Annenberg Democracy Project, ed. Kathleen Hall Jamieson. New York: Oxford University Press, p.26, sebagaimana dikutip oleh Matthew S. Levendusky,”Do Partisan Media Polarize Voters?”, paper disampaikan pada The Experiments, Tolerance, and Partisanship Conference in Honor of Paul Sniderman, the NYU-‐CEES Experimental Political Science Conference and the MIT American Politics Conference, 10 Oktober 2011. 2
6 pemilik media juga bertindak tidak fair dengan memanfaatkan media yang ia miliki untuk kepentingan kampanye politik dan pembentukan citra positif, serta menyerang kandidat lainnya, sementara beberapa kandidat politik lain tak memiliki akses yang sama pada media yang ada. Di sini perlu ada pembedaan antara media cetak dan media televisi, dimana media cetak masih diperbolehkan menunjukkan keberpihakan sejauh mereka menampilkannya pada kolom editorial namun pemberitaan media cetak harus tetap obyektif dan faktual. Sementara itu media televisi karena menggunakan frekuensi yang merupakan sumber daya yang bersifat terbatas dan pemakaiannya diatur oleh negara, maka penyalahgunaan isi siaran dalam pilpres kemarin menunjukkan penyalahgunaan oleh pemilik stasiun televisi tersebut. 1.2 Sejumlah pertanyaan kunci dalam melihat fenomena media partisan ini Untuk membahas fenomena media partisan ini, analisis akan berfokus untuk menjawab sejumlah pertanyaan di bawah ini: •
• •
•
• • •
Bagaimana standar yang bisa diterima untuk suatu sikap partisan dari media dalam melakukan liputan terhadap pemilihan umum, baik itu lewat media cetak, media elektronik ataupun media online, dalam suatu landeskap media yang mengerucut pada kepemilikan media oleh sejumlah pihak saja? Seberapa efektif kerangka hukum yang telah ada saat ini untuk menerapkan standar peliputan yang dilakukan oleh media secara umum? Berdasarkan dari liputan sejumlah media atas pemilu 2014, sebagaimana telah diteliti oleh sejumlah pihak, apa rekomendasi sanksi dari pelanggaran tersebut berdasarkan standar umum peliputan media? Berdasarkan regulasi yang telah ada selama ini, apakah diperlukan suatu regulasi khusus atau apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kerangka hukum yang telah ada selama ini untuk memperkuat standar peliputan media tersebut? Apakah juga kita memerlukan suatu regulasi khusus yang melakukan pelarangan pemilik media yang masuk dalam dunia politik dan ikut dalam pemilu Bagaimana cara agar media bisa lebih efektif untuk mengatur dirinya sendiri untuk mempromosikan standar peliputan yang berimbang, tidak berpihak? Bagaimana posisi dari lembaga penyiaran publik (LPP) seperti TVRI dan RRI dalam kondisi pemilihan umum kemarin, dan apakah lembaga penyiaran publik telah menjalankan fungsinya dengan baik?
1.3 Narasumber yang diwawancarai untuk penelitian ini 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pemimpin Redaksi Seputar Indonesia RCTI, Arya Sinulingga Wakil Pemimpin Redaksi Seputar Indonesia RCTI, Eddy Suprapto Pemimpin Redaksi Surat Kabar Seputar Indonesia, Pung Purwanto Pemimpin Redaksi Media Indonesia, Usman Kansong Pemimpin Redaksi Surat Kabar Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat Pemimpin Redaksi Surat Kabar Tempo,Arif Zulkifli Asisten Redaktur Pelaksana Nasional, Metropolitan dan Olahraga Harian Umum Republika, Stevy Maradona 8. Pemimpin Redaksi Detik.com,Arifin Asydhad
7 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Kepala Kompartemen Nasional (Politik) Vivanews.com, Arfi Bambani Amri Pemimpin Redaksi Okezone.com,Syukri Rahmatullah General Manager (GM) Penunjang Program dan Berita TVRI, Sifak Pemimpin Redaksi / Direktur Radio Republik Indonesia, Sudiman Bonavarte Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, Iddy Muzayyad Anggota Dewan Pers,Stanley Adi Prasetyo Pengamat penyiaran, Amir Effendi Siregar Pengamat penyiaran, Nina Armando Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi 1, Ramadhan Pohan (Partai Demokrat) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Mahfud Sidiq (Partai Keadilan Sejahtera) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Evita Nursanty (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) Aliansi Jurnalis Independen, Dandhy Dwi Laksono
8
BAGIAN II KERANGKA HUKUM DAN PENGATURAN LAIN YANG TERKAIT FENOMENA MEDIA PARTISAN Tim peneliti LSPP mencoba untuk menelusuri sejumlah peraturan yang terkait tentang fenomena media partisan. Istilah ini sendiri tak secara spesifik disebut dalam sejumlah peraturan, kecuali dalam Standar Program Siaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (2012). Walaupun istilah media partisan sendiri tak dikenal sebagai hukum di Indonesia, namun ini adalah suatu fenomena aktual yang terkait dengan praktek media yang tidak netral, tidak obyektif dan tidak independen, atau merujuk pada definisi yang telah kami kutip di atas: “isi media yang sudah ter-‐ framing, diputarbalikkan, dan mengarahkan sedemikan rupa sehingga agenda politik tertentu dapat disampaikan”. Atas sejumlah peraturan ini, kami pun memberikan sejumlah komentar tertentu. Berikut ini adalah suatu penelusuran dari sejumlah perundangan, dan juga peraturan lain yang terkait dengan femonena media partisan.
3.1 UU Pers nomor 40/1999 Pasal 6 UU Pers menyebutkan: “Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : (a). memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b). menegakkan nilai-‐nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, danHak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; (c). mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; (d). melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-‐hal yang berkaitan dengankepentingan umum; (e). memperjuangkan keadilan dan kebenaran.” Dalam menjalankan peran tersebut, maka Pers diawasi oleh Dewan Pers dalam rangka . mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional (pasal 15). Pada pasal yang sama, dikatakan bahwa “Dewan Pers melaksanakan fungsi-‐fungsi sebagai berikut : (a). melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; (b). menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik...” (pasal 15 ayat 2) Dari sini kita bisa melihat bahwa UU Pers menyebutkan sejumlah peran Pers Nasional dan salah satunya dengan “menegakkan nilai-‐nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan”, kemudian juga “melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-‐hal yang berkaitan dengan kepentingan umum”. Dewan Pers di sini merupakan lembaga yang berbeda dengan jaman Orde Baru, dimana Dewan Pers saat ini merupakan lembaga yang diakui dalam UU Pers, dan Dewan Pers merupakan suatu mekanisme mengatur diri sendiri (self regulation) dari komunitas pers untuk menyelesaikan sengketa yang menyangkut pemberitaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberitaan pers yang kemudian dijerat lewat hukum pidana, jika yang terjadi adalah pelanggaran etika jurnalistik.
9 Di sini kami melihat bahwa UU Pers sudah memberikan suatu kerangka bagaimana untuk menjadi sebuah institusi pers yang baik, dan nantinya hal ini akan lebih dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik yang terakhir direvisi pada tahun 2006. Semangat dari UU Pers tahun 1999 ini memberikan fondasi bagi kemerdekaan pers yang dijamin sepenuhnya, dan berbeda dengan kondisi di jaman Orde Baru. Namun begitu UU Pers ini tidak mengantisipasi bahwa pers sendiri bisa menjadi kekuatan yang menyalahgunakan kekuatannya untuk kepentingan pemiliknya, dan merugikan kepentingan publik di sisi lain. Jika di waktu mendatang UU Pers hendak direvisi, hal terkait dengan perlindungan kepentingan publik dari intervensi kepentingan pemiliknya harus disebutkan dengan lebih tegas.
3.2 Kode Etik Jurnalistik (2006) Kode Etik Jurnalistik adalah bagian integral dari UU Pers karena dalam pasal 7 UU Pers tahun 1999 dikatakan “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik”, dan Kode Etik Jurnalistik ini ditetapkan oleh Dewan Pers dan diawasi juga oleh Dewan Pers dalam pelaksanaannya. Kode etik menyebut dalam Pasal 1 “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk”, sementara itu dalam penafsiran kode etik pasal 1 dikatakan : a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pihak pemilik perusahaan pers (garis bawah dari penulis) b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-‐mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain Sebaliknya ada yang disebut sebagai fenomena media partisan bertentangan dengan nilai dalam Kode Etik Jurnalistik yaitu soal independen, berimbang dan tidak beritikad buruk. Menurut kami, penafsiran dari pasal 1 kode etik ini sangat jarang dijadikan kasus dimana justru banyak praktek yang menunjukkan bahwa pihak pemilik perusahaan pers melakukan campur tangan, paksaan dan intervensi dan sejauh ini hal ini tak pernah mendapatkan hukuman ataupun pernyataan pelanggaran kode etik. Misalnya apa yang terjadi pada Vivanews pada saat masa kampanye Pilpres menunjukkan bagaimana intervensi ditunjukkan pemilik terhadap isi berita dan penempatan iklan pada media mereka, membuat pemilik Vivanews, Ardhy Bakrie, mengancam karyawan Vivanews yang dianggap memberikan peluang berita dan iklan yang lebih besar kepada kandidat Jokowi, ketimbang Aburizal Bakrie, ayahnya yang juga menjadi calon presiden. Belakangan sejumlah wartawan Vivanews mengundurkan diri karena merasa tak tahan lagi dengan ancaman yang dikeluarkan oleh pemilik Vivanews tersebut3 Sementara itu pada pasal 3 Kode Etik Jurnalistik juga dikatakan: “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang 3
Lihat http://batamindependent.com/intervensi-‐pemilik-‐modal-‐buat-‐tv-‐one-‐tak-‐proffesional/ juga http://www.memobee.com/ini-‐isi-‐email-‐kemurkaan-‐ardi-‐bakrie-‐akibat-‐ada-‐iklan-‐jokowi-‐di-‐vivanews-‐2522-‐ sms.html) . lihat juga analisis Wahyu Djatmika, “Who Owns the News in Indonesia? Corporate media ownership mixes with politics to create challenges for independent journalists”, Nieman Reports, Fall 2014.
10 menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”, dan dalam penafsiran kode etik dikatakan: a. Menguji informasi berarti check and recheck tentang kebenaran informasi itu b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-‐masing pihak secara proporsional c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat berupa interpretasi wartawan atas fakta d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang Fenomena media partisan juga bermasalah karena tidak memberikan keberimbangan dalam peliputan, dan kemudian munculnya opini yang menghakimi. Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul”, sedangkan dalam Penafsiran disebutkan: a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-‐mata untuk membangkitkan nafsu birahi. e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara Fenomena media partisan juga bermasalah karena tidak sesuai dengan pelaksanaan kode etik jurnalistik dalam hal menyajikan berita bohong, dan fitnah. Yang menarik adalah Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers Nomor: 27/PPR-‐DP/XI/2014 pada bulan November 2014 tentang Pengaduan Dandhy D Laksono dan Raymond Arian Rondonuwu terhadap RCTI (link: http://www.dewanpers.or.id/page/pengaduan/pprasio/?id=2168) – lihat juga pada Apendix 3 laporan ini – yang memutuskan bahwa RCTI telah memuat berita yang tidak jelas sumbernya, dan pemuatan berita yang berulang-‐ulang menunjukkan niat yang tidak jelas sumbernya tidak sesuai dengan prinsip jurnalistik yang mengedepankan akurasi, independensi, dan tidak beritikad buruk. Berita yang dimuat RCTI adalah terkait dengan pemberitaan tentang anggota Komisi Pemilihan Umum, Hadar Gumay, yang disebutkan RCTI telah membocorkan isi pertanyaan dalam debat capres kepada tim sukses Jokowi dalam suatu pertemuan antar keduanya di sebuah rumah makan. Berita ini kemudian diadukan oleh Dandhy Dwi Laksono, anggota Aliansi Jurnalis Independen dan Raymond Adrian Rondonuwu, seorang produser program berita di RCTI kepada Dewan Pers pada masa kampanye pilpres 2014. Setelah Dewan Pers menyebutkan bahwa berita tersebut tidak jelas sumbernya maka Dewan Pers pun merekomendasikan kepada RCTI “untuk melakukan wawancara dengankomisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat selaku prinsipal, dan menyiarkannya sebagai Hak Jawab.” Selain itu Dewan Pers juga merekomendasikan RCTI untuk meminta maaf kepada publik dan menyiarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers. Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers sangat terlambat muncul, sehingga kehilangan momentum. Pengaduan ini sendiri dilakukan oleh Dandhy Dwi Laksono pada tanggal 16 Juli 2014 atas pemberitaan RCTI yang tidak seimbang pada tanggal 11 dan 12 Juni 2014. Kasus ini baru diputus pada tanggal 17 November 2014, yaitu 4 bulan setelah pengaduannya. Tidak cukup
11 jelas apa yang menjadi penyebab lambatnya penanganan kasus ini. Dengan lambatnya keputusan tersebut, dampaknya sangat minim mengingat pilpres sudah lama selesai, padahal kalau diputuskan tepat waktu ada kemungkinan bisa ada dampak positif terhadap peran sepihak media tertentu dalam pilpres itu. Oleh karena itu, LSPP merekomendasikan diadakan mekanisme khusus baik untuk Dewan Pers maupun KPI untuk memproses semua pengaduan dalam rangka pemilu dalam waktu tertentu, misalnya maksimal dalam waktu 3 x 24 jam.
3.3 UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002 UU Penyiaran yang disahkan pada tahun 2002 dianggap telah memberikan suatu kerangka hukum yang cukup memadai untuk mengatur masalah entitas lembaga penyiaran, pengaturan lembaga penyiaran, serta pembagian kerja antara pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam pasal 3 UU ini dinyatakan bahwa “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.” Lembaga penyiaran melakukan kegiatannya yang ada menggunakan frekuensi yang adalah “gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.” (Ketentuan Umum pasal 1 ayat 8 UU Penyiaran tahun 2002). Oleh karena itu pasal 6 (ayat 2) UU yang sama mengatakan “Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-‐besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam UU Penyiaran ini juga dikenal adanya lembaga Komisi Penyiaran Indonesia yang merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran (pasal 8 ayat 1). Sementara itu KPI juga memiliki sejumlah kewenangan antara lain seperti (pasal 8 ayat 2): a. menetapkan standar program siaran; b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
Sementara itu dalam hal perijinan (pasal 33) UU Penyiaran mengatur demikian: (1) Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran. (2) Pemohon izin wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-‐undang ini. (3) Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik. (garis bawah dari penulis)
12 (4) Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh: a. masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI; b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI; c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI. Masih terkait dengan perizinan, dikemukakan pada pasal 34 (ayat 5) UU yang sama bahwa izin bisa dicabut jika: a. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan; b. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan; c. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan kepada KPI; d. dipindahtangankan kepada pihak lain; e. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran; atau f. melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan yang terkait dengan masalah isi siaran, maka UU Penyiaran juga mengatur demikian: (pasal 36) (1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-‐nilai agama dan budaya Indonesia. (garis bawah dari penulis) (2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-‐kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri. (3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-‐anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. (4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. (5) Isi siaran dilarang : a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-‐gunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. (6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-‐nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
13
Dari rangkaian pasal di atas sebenarnya UU Penyiaran telah memberikan kerangka hukum yang kuat untuk menjamin agar isi siaran mengedepankan informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-‐nilai agama dan budaya Indonesia. Di sini KPI memiliki peran untuk mengawasi isi siaran televisi, dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran. KPI di sini memiliki semacam “senjata pamungkas” berupa rekomendasi untuk perpanjangan izin siaran yang diajukan oleh lembaga penyiaran yang secara berkala akan direview. Dari hasil Focus Group Discussion yang LSPP selenggarakan pada 14 November 2014, ide untuk melakukan revisi atas UU Penyiaran ini disertai dengan pemberian kewenangan kepada KPI yang lebih besar daripada sekedar mengawasi isi siaran televisi, dirasakan oleh sejumlah peserta sebagai ide yang terlalu sulit dilaksanakan saat ini. Konstelasi parlemen saat ini dikhawatirkan sulit untuk membuat UU Penyiaran yang lebih baik, apalagi di DPR ada banyak anggota parlemen yang berasal dari kubu partai politik yang telah melakukan praktek media partisan dalam pemilu kemarin. Maka usulan yang lebih realistis adalah dengan merevisi Peraturan Pemerintah yang terkait dengan masalah penyiaran, agar kewenangan KPI lebih besar dari sekedar mengawasi isi siaran televisi, namun juga KPI bisa turut terlibat dalam pengaturan masalah infrastruktur penyiaran. Bagaimanapun juga KPI adalah representasi kepentingan masyarakat, bersama dengan kepentingan pemerintah dan kepentingan industri penyiaran, sehingga kewenangan ini diharapkan bisa memberikan perlindungan lebih besar kepada publik, sejauh KPI juga diawasi oleh masyarakat, dan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam pembuatan kebijakannya. Menurut LSPP, kewenangan yang menyangkut sanksi denda juga perlu dirancang lebih jauh, agar memberikan efek jera kepada lembaga penyiaran yang melanggar ketentuan standar program siaran. Dana hasil denda ini haruslah bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, dan dana ini bisa diperuntukkan bagi pengembangan program melek media bagi masyarakat, ataupun untuk pengembangan program televisi yang baik namun butuh support dana dalam ongkos produksinya.
3.4 Pedoman Perilaku Penyiaran / Standar Program Siaran, Komisi Penyiaran Indonesia, 2012 Sementara itu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, juga adalah produk hukum yang berkaitan dengan UU Penyiaran dan menjadi penjabaran muatan dari UU dalam bentuk yang lebih praktis. Secara khusus P3SPS mengatur hal yang terkait dengan masalah Siaran Pemilu dan Pemilu Kepala Daerah, demikian: BAB XVIII PRINSIP-‐PRINSIP JURNALISTIK Bagian Pertama Umum Pasal 22
14 (1) Lembaga penyiaran wajib menjalankan dan menjunjung tinggi idealisme jurnalistik yang menyajikan informasi untuk kepentingan publik dan pemberdayaan masyarakat, membangun dan menegakkan demokrasi, mencari kebenaran, melakukan koreksi dan kontrol sosial, dan bersikap independen. (2) Lembaga penyiaran wajib menjunjung tinggi prinsip-‐prinsip jurnalistik, antara lain: akurat, berimbang, adil, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur sadistis, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, serta tidak membuat berita bohong, fitnah, dan cabul. (3) Lembaga penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wajib tunduk pada peraturan perundang-‐undangan yang berlaku serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS). (4) Lembaga penyiaran wajib menerapkan prinsip praduga tak bersalah dalam peliputan dan/atau menyiarkan program siaran jurnalistik. (5) Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik untuk tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran. SIARAN PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH Pasal 71 (1) Program siaran wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. (2) Program siaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. (3) Program siaran dilarang memihak salah satu peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. (4) Program siaran dilarang dibiayai atau disponsori oleh peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah, kecuali dalam bentuk iklan. (5) Program siaran wajib tunduk pada peraturan perundang-‐undangan serta peraturan dan kebijakan teknis tentang Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. (6) Program siaran iklan kampanye tunduk pada peraturan perundang-‐undangan, serta peraturan dan kebijakan teknis tentang kampanye yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran adalah turunan ataupun operasionalisasi dari konsep-‐konsep yang ada dalam UU Penyiaran, oleh karena itu semangat untuk menghasilkan isi siaran yang baik, yang aman untuk masyarakat, adalah semangat yang dibawa oleh P3SPS ini. Namun demikian khusus terkait dengan pemilu, ternyata kandidat dalam Pilpres 2014 mencoba memanfaatkan celah-‐celah dalam P3SPS ini untuk terus mempromosikan kandidat yang disokong oleh lembaga-‐lembaga penyiaran tertentu. Pemanfaatan tersebut misalnya dilakukan “kampanye” lewat acara kuiz, talkshow, reality show, hingga kemunculan kandidat seperti Wiranto dan Hary Tanoe dalam suatu acara sinetron.
15 Sejumlah himbauan atau teguran pernah diberikan oleh KPI terhadap program non berita yang menjurus pada kampanye politik tersebut, misalnya pada acara Kuiz Kebangsaan (yang ditayangkan sejak Oktober 2013) pada bulan Desember 2013 (http://www.tribunnews.com/pemilu2014/2014/02/21/kpi-beri-sanksi-penghentian-sementara-kuis-kebangsaan-dan-indonesia-cerdas) . KPI juga pernah memberi teguran dan himbuaan yang menyangkut masalah iklan politik, baik berupa penayangan iklan politik sebelum waktunya (sebelum masa kampanye resmi dimulai), (lihat http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-‐terkini/38-‐dalam-‐negeri/31872-‐kpi-‐hentikan-‐iklan-‐ kampanye-‐peserta-‐pemilu) hingga ke soal jumlah iklan yang berlebihan dari TV One atas iklan Partai Golkar, lebih dari aturan seharusnya yang hanya 10 spot iklan per harinya (lihat pasal 97 UU Pemilu nomor 8, 2012 anggota DPR, DPRD dan DPD). KPI juga telah meminta kepada sejumlah televisi untuk menghentikan penayangan hasil hitung cepat pemilu yang terkait dengan klaim kemenangan masing-‐masing kandidat.(http://www.kpi.go.id/index.php/siaran-‐pers-‐1/32200-‐kpi-‐hentikan-‐siaran-‐quick-‐count-‐ real-‐count-‐dan-‐klaim-‐kemenangan-‐capres Setelah diselenggarakannya pemilihan presiden pada tanggal 9 Juli 2014, sejumlah televisi melakukan penghitungan cepat dengan bekerjasama dengan beberapa lembaga polling. Namun yang terjadi, muncullah dua versi hasil penghitungan suara, yaitu hasil penghitungan suara yang memenangkan kubu Prabowo Subianto dan sebaliknya yang memenangkan kubu Joko Widodo. Gambaran dari sejumlah hasil penghitungan suara pada waktu itu bisa melihat di bawah ini: Yang menunjukkan kemenangan dari kubu Joko Widodo-‐Jusuf Kala 1. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dari 98,05%, Jokowi-‐JK 53,3% sementara Prabowo Hatta 46,7% 2. Center for Strategic and International Studies (CSIS)-‐Cyrus Network menyebutkan dari 99,09%, Jokowi-‐JK 51,9% sementara Prabowo Hatta 48,1%. 3. Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menyebutkan dari 99,3%, Jokowi-‐JK 52,91%, sementara Prabowo-‐Hatta 47,09% 4. Survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas menyebutkan dari 100%, Jokowi-‐JK 52,34% sementara Prabowo-‐Hatta 47,66% 5. Indikator Politik menyebutkan dari 99,5% suara, Jokowi-‐JK meraih 52,94% sementara Prabowo-‐Hatta meraih 47,06% 6. Survei dari Radio Republik Indonesia (RRI) menyebutkan dari 97% suara, Jokowi-‐JK meraih 52,60%, sementara Prabowo-‐Hatta meraih 47,40% 7. Populi Center menyebutkan dari 98,95% suara, Jokowi-‐JK 50,94%, sementara Prabowo-‐ Hatta memperoleh 49,06% Yang menunjukkan kemenangan dari kubu Prabowo Subianto-‐Hatta Rajaasa 1. Jaringan Suara Indonesia (JSI) menyebutkan dari 91,53% suara, Prabowo-‐Hatta memperoleh 50,16% sementara Jokowi-‐JK 49,84% 2. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) menyebutkan 93,41% suara, Prabowo-‐Hatta 52,05% sementara Jokowi-‐JK 47,95% 3. Lembaga Survei Nasional (LSN) menyebutkan dari 96,51% suara, Prabowo-‐Hatta memperoleh 50,56% dan Jokowi-‐JK 49,44%
16 4. Indonesia Research Centre (IRC) menyebutkan dari 100% suara, Prabowo-‐Hatta memperoleh 51,11% dan Jokowi-‐JK meraih 48,89%
Stasiun televisi TV One dan RCTI menampilkan hasil hitung cepat yang menunjukkan kemenangan di kubu Prabowo Subianto, dan hal ini berlangsung hingga beberapa hari sebelum akhirnya KPI meminta untuk televisi tak lagi menayangkan hasil hitung cepat tersebut. Ini adalah contoh jelas tentang bagaimana manipulasi informasi dilakukan oleh televisi yang menunjukkan keberpihakan kepada salah satu kandidat, dan kemudian menghasilkan informasi yang tidak bertanggungjawab bagi masyarakat.
Dalam melihat masalah ini, LSPP menilai tentang dua hal:
Pertama, adalah fakta menunjukkan bahwa sudah banyak himbauan, teguran, yang telah diberikan oleh KPI kepada lembaga penyiaran, namun toh hanya sedikit dipatuhi oleh lembaga penyiaran yang bersangkutan. Lemahnya kepatuhan stasiun televisi di sini menunjukkan KPI tidak cukup tegas dalam memberikan sanksi. KPI di sini harus bersikap tegas kepada lembaga penyiaran yang terbukti melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran / Standar Program Siaran, dan pemilu sebagai bagian dari proses demokrasi harus dijaga oleh mereka yang mengedepankan yang mencoba menyalahgunakannya. Bentuk sanksi denda secara bertingkat adalah sesuatu yang perlu dirancang oleh KPI di masa mendatang. Yang jelas adalah KPI harusnya memiliki suatu prosedur waktu dalam merespon pengaduan ataupun suatu fenomena terkait kampanye di media penyiaran yang sudah mengarah pada sikap partisan media tersebut, dan menunjukkan ketegasan dalam pelaksanaan rekomendasi ataupun putusan atas pengaduan yang ada. Kedua, menurut LSPP dengan sejumlah pelanggaran telah dilakukan oleh sejumlah lembaga penyiaran, yaitu Metro TV, TV One, MNC Group, dan untuk itu ijin dari stasiun televisi ini layak untuk dipertimbangkan agar dicabut atau dievaluasi oleh pemerintah, karena KPI sudah berkali-‐kali memberikan teguran kepada lembaga penyiaran tersebut atas tindakan pelanggaran standar program siaran.
3.5 UU Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah nomor 8/2012 Karena fenomena media partisan ini tak bisa dilepaskan dari momen Pemilu 2014, maka review atas peraturan perundangan ini pula akan melihat sejumlah bagian dari Undang-‐Undang Pemilu nomor 8/2012. Sejumlah hal yang krusial terkait dengan definisi apa itu kampanye, sebagai diatur demikian: Pasal 81 tentang Materi Kampanye (1) Materi kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota meliputi visi, misi, dan program partai politik.
17 (2) Materi kampanye Perseorangan Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD meliputi visi, misi, dan program yang bersangkutan. Pasal 93 tentang Pemberitaan Kampanye (1) Pemberitaan Kampanye Pemilu dilakukan oleh media massa cetak dan oleh lembaga penyiaran dengan siaran langsung atau siaran tunda. (2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan Kampanye Pemilu harus berlaku adil dan berimbang kepada semua Peserta Pemilu. Pasal 95 tentang Iklan Kampanye (1) Iklan Kampanye Pemilu dapat dilakukan oleh Peserta Pemilu di media massa cetak dan/atau lembaga penyiaran dalam bentuk iklan komersial dan/atau iklan layanan untuk masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2). (2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada Peserta Pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan Kampanye Pemilu. (3) Pengaturan dan penjadwalan pemuatan serta penayangan iklan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran. Pasal 97 tentang Iklan Kampanye (1) Batas maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu di televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa Kampanye Pemilu. (2) Batas maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu di radio untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa Kampanye Pemilu. Menurut LSPP, kecanggihan para kandidat politik dalam Pilpres 2014 menunjukkan bahwa aturan dalam UU Pemilu ini mudah dilanggar, dan tidak ada sanksi yang cukup berat untuk pelanggaran, khususnya terkait dengan jumlah iklan yang lebih banyak dari ketentuan yang ada. Di luar itu “inovasi” kampanye dilakukan di layar kaca tidak semata lewat pemberitaan atau iklan, tetapi juga dalam bentuk yang tak dibayangkan UU Ini yaitu lewat acara reality show, kuiz, masuk dalam sinetron, tampil dalam penganugerahan acara hiburan dan lain-‐lain. Ke depan perlu ada suatu kesepakatan antara lembaga yang mengawasi pelaksanaan pemilu agar ditemukan definisi operasional bersama tentang apa itu “kampanye lewat media penyiaran”, sehingga peraturan undang-‐undang dan standar program siaran, bisa diterapkan oleh lembaga penyiaran.
18
BAGIAN III ANALISA TERHADAP MASALAH MEDIA PARTISAN DALAM PILPRES 2014 DI INDONESIA Pada bagian ini hendak dikemukakan dengan lebih spesifik apa yang menjadi sikap dari penulis kertas kebijakan ini, berdasarkan dari studi atas perundangan yang ada, wawancara dengan para narasumber, serta pengamatan dari apa yang terjadi pada masa Pemilu 2014. Untuk itu bahasan ini akan difokuskan pada delapan hal sebagai berikut: -‐ Keberpihakan media yang masih bisa ditoleransi -‐ Televisi yang tidak boleh berpihak karena menggunakan frekuensi publik -‐ Sanksi yang bisa diberikan kepada lembaga penyiaran yang bersikap partisan -‐ Membuat lembaga regulator media lebih sigap dan tegas dalam membela kepentingan publik -‐ Memperkuat lembaga penyiaran publik, TVRI dan RRI -‐ Revisi Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Penyiaran Swasta segera dan Revisi UU Penyiaran pada akhirnya -‐ Aturan baru dibuat untuk mengatasi fenomena media partisan di masa mendatang? -‐ Mempromosikan Pengaturan Internal Media Bahasan selengkapnya adalah sebagai berikut: 1. Keberpihakan politik media yang masih bisa ditoleransi Menurut LSPP, keberpihakan media masih bisa diterima sejauh hal ini tercermin dalam kolom editorial media yang bersangkutan, sementara itu untuk pemberitaan, maka obyektivitas dijunjung dengan fakta-‐fakta konkrit dan tidak boleh tercemar dengan adanya keberpihakan tertentu dari media tersebut. Sebaliknya keberimbangan harus dikedepankan dalam pemberitaan media, walaupun media tersebut memiliki kecenderungan keberpihakan tertentu. Di Amerika Serikat misalnya, sejumlah media seperti New York Times dan Washington Post menunjukkan keberpihakannya pada Barack Obama dalam pemilihan presiden, namun hal ini dilakukan pada kolom editorialnya, sementara itu pemberitaan tetap dilakukan secara faktual dan objektif kepada kedua kandidat yang bertarung saat itu. Hal serupa juga terjadi di beberapa negara demokratis lainnya. Sejumlah pihak yang diwawancarai tim peneliti setuju bahwa mereka bisa menerima keberpihakan yang ditunjukkan media, sejauh sikap ini hanya ditunjukkan lewat kolom opini atau editorial mereka. Di sini pun ada pemisahan yang jelas antara media cetak dan media televisi. Sejumlah narasumber mengatakan keberpihakan dalam media cetak sah-‐sah saja, seperti dikatakan Arif Zulkifli dari Tempo, independensi termasuk sikap tidak netral ini dilakukan bukan karena ada seseorang membayar kepada media tersebut, tapi karena sikap media itu sendiri. Koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post, pada minggu terakhir masa kampanye pemilihan presiden menulis tajuk rencana berjudul “Endorsing Jokowi” (4 Juli, 2014) yang secara tegas menyebutkan bahwa koran tersebut mempromosikan Jokowi, setelah menimbang dengan
19 landasan ideologis yang dianut oleh The Jakarta Post. Yang disebut sebagai landasan ideologis The Jakarta Post menurut Meidyatama saat ditemui tim ada 4 hal. “Satu, masalah keberagaman, kebhinekatunggalikaan. Kedua, militerisme. Kami menganggap ini lebih melihat bahwa bukan berarti seorang militer tidak boleh menang. Tapi seorang tidak boleh menang karena dia militer. Landasan ketiga adalah semangat perubahan, reformasi. Dan terakhir adalah, masih ada nuansa orde baru di sisi Pak Prabowo. Atas pertimbangan itulah maka Jakarta Post kemudian berpihak pada Jokowi. Sikap The Jakarta Post jujur dalam menunjukkan posisi politiknya, walaupun hal ini cukup dianggap kontroversial, namun begitu The Jakarta Post menaruh keberpihakannya pada kolom editorial mereka, sementara dalam pemberitaannya The Jakarta Post tetap berusaha untuk faktual, obyektif dan berimbang kepada kedua kandidat. Posisi politik yang jelas demikian juga pernah muncul dalam pers di Indonesia pada dekade 1950an ketika saat itu memang banyak berkembang fenomena suratkabar sebagai corong kepentingan partai politik, dan oleh karena posisi politik yang berbeda-‐beda tersebut maka suratkabar kala itu kerap melakukan polemik yang sebenarnya juga mencerminkan pertarungan partai politiknya. Stanley Adiprasetyo, anggota Dewan Pers mengatakan media boleh bersikap di kolom opini redaksi,tapi di kolom opini redaksi,tapi di pemberitaannya tetap harus tidak memihak. “Di kolom atau opini yang ditulis orang luar, bisa saja tak sependapat dengan sikap redaksi tapi ya harus tetap dimuat juga komentarnya. Dengan demikian perlu ada pembedaan yang jelas antara sikap redaksional yang ditunjukkan dalam rubrik editorial atau tajuk rencana suatu media, sementara itu dalam pemberitaan, tetap hal-‐hal faktual atau objektif yang perlu dikedepankan. Bagaimana pun juga dalam dunia jurnalistik ada prosedur jurnalistik yang harus dipatuhi, dimana suatu berita harus faktual, faktanya telah diverifikasi, memberikan keberimbangan 2. Televisi tidak boleh berpihak karena menggunakan frekuensi publik Sikap LSPP di sini adalah frekuensi publik tetap harus dijaga untuk tidak dimanfaatkan oleh kepentingan-‐kepentingan sempit dari pemilik medianya, dan untuk itu KPI sebagai yang mengawasi isi siaran televisi punya kewenangan untuk memberikan sanksi kepada pelanggar isi siaran yang partisan tersebut. KPI perlu memberikan rekomendasi kepada pemerintah (Menteri Komunikasi dan Informasi) agar melakukan review atas ijin siaran dari TV partisan seperti Metro TV, TV One, dan MNC Group. Soal keberpihakan oleh televisi harus dilihat terkait dengan penggunaan frekuensi milik publik yang dimanfaatkan oleh lembaga penyiaran swasta. UU Penyiaran menegaskan bahwa frekuensi adalah ranah publik dan sumber daya alam yang terbatas (pasal 1 no. 8 Ketentuan Umum) Sikap ini disetujui sebagian besar responden penelitian ini, kecuali mereka yang berasal dari TV partisan seperti RCTI yaitu Arya Sinulingga dan Eddy Suprapto, pemimpin dan wakil pemimpin redaksi Seputar Indonesia, RCTI. Mahfudz Sidiq, anggota DPR dari Fraksi PKS, yang sekarang juga menjadi Ketua Komisi I DPR (2014-‐2019)menyebutkan pemilu 2014 kemarin sebagaithe age of mediation, suatu era di mana antara politik dan media masa ini sudah tidak bisa lagi dipisahkan. Jika dilihat dari sisi legalistik, tak ada yang salah dengan bertemunya kepentingan politik dan media di sini, namun dari sisi etika, ada masalah besar di sana, dan Mahfud mengakui bahwa secara
20 peraturan perundangan, hal ini terjadi karena belum terantisipasi oleh para pembuat peraturan perundang-‐undangan. Para pihak yang terlibat dalam pembuatan peraturan tersebut mengalami kebimbangan dan kebingungan, apakah yang mereka lakukan ini sejalan dengan undang-‐undang atau tidak, apakah pengaturan masalah ini melampaui kewenangan yang ada atau tidak? Mahfudz ingat bahwa KPI misalnya pernah menerapkan sanksi terhadap beberapa dugaan pelanggaran siaran politik (misalnya ketika TVRI menyiarkan konvensi Partai Demokrat pada 15 September 2013, tapi ada resistensi yang kuat karena dianggap melampaui kewenangan yang ada. Tetapi terlepas dari diskusi masalah kewenangan itu, masyarakat juga memberikan masukan dan desakan yang kuat untuk “menertibkan” sejumlah media, terutama televisidan siaran politiknya. Mahfudz mengatakan ini sebagai perkembangan baru yang secara aturan belum bisa menjangkau. Idy Muzzayad, salah satu komisoner KPI mengaku kecerdikan lembaga penyiaran ini untuk mengakali berbagai peraturan yang ada. KPI memberikan teguran kepada sejumlah acara di sebuah stasiun penyiaran namun yang bersangkutan mengatakan bahwa tayangan tersebut bukanlah suatu kampanye. Kampanye secara formal didefinisikan yang di dalamnya harus mengandung visi dan misi, dan adanya ajakan untuk memilih. Sejumlah narasumber dari media yang berasal dari grup yang disebut partisan, mengakui adanya tekanan kuat dari pihak pemilik dan yang mewakilinya untuk mengatur pemberitaan bagi kepentingan. Dalam contoh kasus di Vivanews dimana pada bulan Juli sebelum diselenggarakannya Pilpres, CEO Vivanews Ardi Bakrie, anak dari Aburizal Bakrie, pemilik Vivanews dan TV One, meminta mundur sejumlah wartawan yang ia tuduh memberikan peluang tampilnya sosok Jokowi lebih dominan di media mereka. Hal ini kemudian diikuti dengan mundurnya sejumlah staf kunci di Vivanews akibat intimidasi tersebut. 3. Sanksi yang bisa diberikan kepada lembaga penyiaran yang bersikap partisan LSPP di sini setuju dengan dua jenis sanksi yang bisa dipertimbangkan kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran terhadap standar program siaran, yaitu sanksi berupa denda dalam jumlah besar (untuk memberikan efek jera kepada pelanggarnya) dan sanksi berupa evaluasi izin penyiaran terhadap lembaga penyiaran yang bersikap partisan. Sikap partisan adalah pengingkaran terhadap fungsi dasar frekuensi dimana frekuensi adalah sumber daya alam terbatas yang dimiliki oleh publik dan dikelola oleh negara. Bahkan pengaturan masalah denda belum lagi memiliki peraturan yang lebih konkrit, maka hal ini perlu dipertimbangkan untuk dicarikan payung hukumnya. Sesuai dengan ketentuan UU Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia bisa memberikan rekomendasi kepada pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informasi) agar ijin siaran lembaga penyiaran yang partisan agar dievaluasi. Namun dalam diskusi kelompok kecil yang dilakukan tim peneliti, hal yang terkait dengan sanksi denda agak sulit diterapkan karena sanksi ini hanya ditujukan pada iklan rokok yang ditayangkan di luar waktunya, dan bukan pada isi siaran lainnya. Sementara itu hal pengaturan penarikan denda ini pun masih belum disepakati kemana akan dikumpulkan? Apakah pada kas negara ataukah dikelola sendiri oleh KPI untuk misalnya menunjang program melek media atau untuk menghasilkan program siaran yang dianggap sehat.
21 Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Idy Muzzayad dan Paulus Widiyanto, mantan anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan mantan ketua Pansus Penyiaran tahun 2000-‐2002. 4. Membuat lembaga regulator media lebih sigap dan tegas dalam membela kepentingan publik Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia menurut LSPP harus lebih cepat merespon pengaduan yang datang dari masyarakat, terutama yang terkait dengan fenomena media partisan. Jika suatu kasus membutuhkan waktu hingga 4 bulan untuk diputuskan, maka Dewan Pers telah kehilangan momentum dan juga akan dapat membuat kelembagaan Dewan Pers tak mendapatkan respek dari lembaga-‐lembaga yang menjadi stake holdersnya. Di luar itu, jika KPI dan Dewan Pers telah melihat ada kecenderungan besar sikap media yang partisan telah ditunjukkan sejak masa pemilihan legislatif, maka harusnya ada langkah antisipatif yang lebih berarti dilakukan untuk menghindarkan penyalahgunaan frekuensi publik yang lebih besar dalam masa pemilihan presiden kemarin itu. Dua lembaga regulator media, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia, telah mencoba mengantisipasi fenomena media partisan, walaupun pada akhirnya performa kedua lembaga ini dinilai lambat, kurang sigap dan kurang tegas. Keduanya memiliki amanat dari Undang-‐ undang untuk mengatur masalah isi media, dan melindungi kepentingan publik dari isi media yang partisan serta mengancam perkembangan demokrasi di Indonesia. KPI, dalam penuturan Idy Muzzayad masuk dalam gugus tugas pemilu bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), namun antara KPI dan KPU sendiri punya interpretasi yang berbeda terkait dengan kegiatan “kampanye”. Menurut KPU, kampanye harus memenuhi unsur dimana pengiklan harus mencantumkan visi dan misi partai politiknya, sementara dengan kreatif partai atau kandidat politik mudah mengakali klasul tersebut. Dandhy Dwi Laksono dari Aliansi Jurnalis Independen mengatakan jika pengalaman pelanggaran seperti ini terjadi di luar negeri, maka peringatan cukup sekali saja, setelah itu harus ada sanksi. Di Indonesia peraturan ada banyak, mulai dari UU Penyiaran, juga P3SPS, tapi sanksi teringan hanya berupa peringatan. Jika pelanggaran masih dilanjutkan, harus ada sanksi denda. Tak perlu lagi pengurangan durasi, penghentian sementara, menurut Dandhy. Dandhy pernahmelakukan riset tentang pola teguran yang diberikan KPI antara bulan September 2013 hingga Juli 2014 (lihat Apendix 2 dalam laporan ini). Dalam periode ini, terjadi pelanggaran berkali-‐kali dilakukan oleh beberapa televisi tertentu, dan dapat dikatakan pelanggaran dilakukan secara terstruktur, masif dan sistematis. Dari sini dapat dikatakan bahwa KPI memang benar dilecehkan oleh televisi tersebut. Namun pelanggaran yang telah berulang kali dilakukan ini hanya berbuah teguran, itu pun hanya pada teguran pertama dan kedua, “Kuis Kebangsaan berulang-‐ulang kali dilanggar. Bahkan hingga tiga kali. Program Tukang Bubur Naik Haji juga melakukan pelanggaran, ini belum termasuk iklan dan berita yang melanggar 20 spot sehari. Kami menunggu bagaimana KPI akan mengeluarkan sanksi ketiga, namun tidak juga keluar, sementara jarak antara sanksi pertama dan kedua bisa berjarak tiga bulan.” Dewan Pers sendiri baru memutus kasus pengaduan Dandhy dan Raymond Rondonuwu terhadap RCTI pada bulan November 2014, padahal kasusnya sudah diadukan sejak bulan
22 Juni 2014. Efektivitas hasil putusan dan juga memberikan efek jera jadi tak terasa dengan putusan yang demikian lambat. Dalam pandangan Arif Zulfikli dari Tempo, Dewan Pers baru menjalankan fungsi pengaduan, namun belum memaksimalkan fungsi pengawasannya. Dalam hal ketidaknetralan, dan independensi media, publik tak punya kepentingan langsung untuk melaporkan ke Dewan Pers. Publik baru mengadu ketika terkena dampak langsung liputan media. Dewan Pers lebih sering hanya membuat seruan kepada media-‐media. Anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Ramadhan Pohan berharap jikaDewan Pers melakukan langkah revolusioner, dalam bentuk Dewan Pers punya kewenangan untuk memberikan sanksi atau apapun namanya, itulah, selain reward and punishment. Ada pengadilannya ini. Dewan Pers ini, dalam bayangan Ramadhan,harusnya independen dari negara. 5. Memperkuat lembaga penyiaran publik, TVRI dan RRI LSPP sepakat dengan sikap untuk memperkuat lembaga penyiaran publik ini karena lembaga penyiaran publik harus membela kepentingan publik di atas kepentingan golongan lain, dan informasi dari lembaga penyiaran publik harus netral, berimbang serta profesional agar publik mendapatkan informasi berkualitas sebelum akhirnya memutuskan pilihan politiknya dalam pemilihan umum. Pemilu 2014 memberikan ujian tersendiri kepada dua lembaga penyiaran publik, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI). Kedua institusi ini menjadi tumpuan informasi untuk publik ketika melihat fenomena media yang terbelah kubu dalam Pilpres menjadi pendukung kubu Jokowi dan pendukung kubu Prabowo. RRI sempat melaksanakan quick count sendiri yang hasilnya tak jauh berbeda dari hasil survei 14 lembaga survei profesional lain, dan hal ini telah membuktikan bahwa RRI mencoba untuk tampil profesional, dan berimbang. TVRI pun mencoba hal yang sama, dan peran inilah yang ditunggu oleh masyarakat, karena status sebagai lembaga penyiaran publik membuat mereka harus lebih mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan golongan atau partai politik tertentu, termasuk partai politik pemerintah. Sifak,General Manager Penunjang Program dan Berita TVRI, memperhatikan bahwa bias televisi swasta dalam Pilpres kemarin sangat kental, terutama keberpihakan terhadap para kandidat dalam pilpres. Tindakan lembaga penyiaran tersebut melanggar hak-‐hak publik atas informasi yang benar. “Dalam proses demokrasi, kita ingin proses demokrasi sebagai sesuatu yang dewasa, dan mencerdaskan masyarakat. Sudiman Bonavarte, Kepala Pemberitaan RRI 2013-‐2014 menyetujui hal tersebut dan ia mengatakan RRI telah membuktikan hasil hitung cepat yang dilakukannya, walaupun dibiayai oleh negara lewat APBN, namun menggunakan kaidah ilmiah dan bersifat independen. Hitung cepat sudah dilakukan RRI sejak tahun 2009 lalu. 6. Revisi Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Penyiaran Swasta segera dan Revisi UU Penyiaran pada akhirnya mengembalikan kewenangan KPI Dalam diskusi terfokus yang diselenggarakan oleh LSPP, muncul suatu usulan untuk merevisi Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta, karena dalam sejumlah PP inilah kewenangan KPI dipreteli oleh kepentingan pemerintah pada waktu itu. Perlu untuk merevisi PP tersebut untuk mengembalikan posisi KPI sebagai
23 pihak yang tak semata mengawasi isi siaran televisi tetapi juga terlibat dalam proses menentukan dan menata infrastruktur pertelevisian di Indonesia. Usul ini dikemukakan baik oleh Endy Bayuni, redaktur senior The Jakarta Post, IddyMuzzayaddan Paulus Widiyanto. Hal ini adalah hal yang lebih mungkin dilakukan dan memakan waktu yang lebih sedikit ketimbang merevisi UU Penyiaran secara keseluruhan, karena proses revisi UU Penyiaran ini sudah dilakukan sejak tahun 2010 namun hingga kini revisi tersebut tak kunjung selesai. Sejumlah anggota DPR periode 2009-‐2014 yang dihubungi tim peneliti, seperti Mahfudz Sidiqdari Partai Keadilan Sejahtera,Ramadhan Pohandari Partai Demokrat, dan Evita Nursanty dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, semua mengakui betapa beratnya melakukan revisi UU Penyiaran karena tarik menarik kepentingan dari partai politik yang berafiliasi dengan televisi tertentu berhadapan dengan partai politik yang hendak mengatur UU Penyiaran untuk membela prinsip diversity of content dan diversity of ownership. Dandhy Dwi Laksono menekankan pentingnya secepatnya merevisi UU Penyiaran. Dua isu yang penting diperhatikan di sini adalah yang menyangkut masalah pemusatan kepemilikan media dan jaminan keberagaman konten. Menurut Dandhy, kita semua sudah melihat bukti dampak kepemilikan media yang terpusat. Saat ini di Indonesia seluruh media di Indonesia ada 218 ijin televisi dari Jakarta sampai daerah dimiliki dua grup. LSPP setuju untuk lebih mendorong revisi dari sejumlah peraturan pemerintah terkait dengan bidang penyiaran yang dianggap lebih realistis dan memakan waktu yang lebih pendek ketimbang merevisi UU Penyiaran secara menyeluruh. Pada akhirnya UU Penyiaran memang perlu direvisi untuk mengikuti perkembangan jaman yang sudah mengarah pada proses digitalisasi, kemudian menambah kewenangan yang dimiliki KPI, namun perjalanan ini akan cukup lama karena upaya revisi ini sendiri sudah berlangsung dalam empat tahun terakhir dan belum menemukan kesepakatan antara DPR dan pemerintah. 7. Aturan baru dibuat untuk mengatasi fenomena media partisan di masa mendatang? Menurut LSPPtidak diperlukan suatu regulasi khusus yang melarang masuknya pemilik media ataupun manajemen media ke dalam dunia politik, sejauh mereka mengundurkan diri dari kepengurusan media tertentu. Regulasi yang telah ada sebenarnya cukup jika dilaksanakan dengan konsisten, dan untuk itu perlu ada suatu penegakan hukum (law enforcement) yang lebih serius dari KPI maupun Dewan Pers. Terkait dengan fenomena media partisan, sudah ada banyak perundangan dan aturan lain yang telah mencoba mengatur ini, namun dalam kenyataannya aturan tak cukup ditegakkan dan penegakan aturan itu tidak tegas, sehingga membiarkan fenomena media partisan berjalan terlalu jauh. Untuk itu sejumlah narasumber penelitian ini mengatakan bahwa tidak perlu terlalu banyak aturan, namun lebih penting adalah secara konsisten menegakkan aturan yang ada. Demikian dikemukakan mantan anggota KPI periode 2011-‐ 2014, Nina Armando. Di lain pihak Mahfudz Sidiq berpendapat bahwa harus ada larangan keterlibatan pemilik media dalam partai politik. Jika terkait dengan masalah konten media pengaturannya diserahkan kepada Dewan Pers dan KPI, namun jika masalah owner atau management ini memang harus dilarang, karena ini akan berkaitan dengan nanti ada keberpihakan politik dan agenda setting media. Menurut LSPP pengaturan soal ini mungkin bisa masuk dalam revisi UU Penyiaran ataupun dalam revisi UU Partai Politik, dan memberikan larangan untuk pengurus partai politik tidak boleh menjadi pemilik media.
24 Meidyatama dari Jakarta Post menekankan bahwa orang tidak bisa dilarang memiliki media, tapi kepemilikannya atas media bisa diregulasi sesuai dengan Undang-‐Undang Anti Monopoli. 8. Mempromosikan Pengaturan Internal Media LSPPberpendapat bahwa ke depan untuk makin meningkatkan profesionalitas wartawan, maka penting media mempromosikan adanya mekanisme internal untuk melakukan pengawasan atas kerja media. Selain itu organisasi perusahaan pers, seperti Serikat Perusahaan Pers (SPS) ataupun Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) penting memiliki kode etik tersendiri, dan memiliki lembaga Ombudsman untuk menjadi lembaga independen yang menjadi penilai kinerja media. Hal ini disetujui oleh Arifin Asydhad dari Detik.com yang mengatakan untuk menjaga netralitas, medianya memiliki aturan cukup keras bagi wartawan yang tidak netral, khususnya dalam peliputan pemilu kemarin, Detik melarang wartawan terlibat dalam dua kandidat yang bertarung. Sementara itu dalam pengalaman Tempo, “semakin independen suatu media, maka dia akan makin punya sukses sebagai bisnis”. Ini paradigma yang harus dipegang. Di luar itu Tempo juga memiliki dua lembaga yang terkait dengan masalah etika: Ombudsman dan Komisi Etik. Ombusman banyak mengurusi lebih ke soal produksi berita dan jika terjadi kesalahan dalam pemberitaan maka hal itu dievaluasi, dan direkomendasikan apa yang harus dilakukan untuk itu. Sementara itu Komisi Etik dibentuk secara ad hoc jika ada kasus khusus yang muncul. Dua contoh dimana Komisi Etik bekerja adalah pada kasus keterlibatan pemimpin redaksi Tempo dengan kepengurusan Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred), dan Tempo memutuskan untuk keluar dari Forum tersebut. Kasus lain adalah yang menyangkut keberatan dari narasumber Tempo saat Tempo menulis laporan utama soal Anas Urbaningrum saat ia dijadikan tersangka korupsi kasus Hambalang. Kedua kasus tersebut juga dikomunikasikan kepada pembaca, setelah Komisi Etik mempelajari detil kasus tersebut. Nina Armando juga mengusulkan adanya self regulation dari sejumlah media, di samping peran lain yang juga harus diambil oleh asosiasi profesi, mulai dari asosiasi televisinya, asosiasi jurnalisnya yang bisa terlibat. Di sini publik juga diharapkan terus memberikan pressure kepada media, karena pada dasarnya lembaga penyiaran itu sangat mendengarkan suara publik. Namun demikian, Nina juga ragu apakah sejumlah media yang mengaku telah memiliki Self regulation ini apakah juga mengatur masalah independensi media mereka? Box: Fenomena Obor Rakyat Salah satu fenomena yang juga penting dalam masa pilpres tahun 2014 ini adalah kemunculan tabloid bernama Obor Rakyat yang menimbulkan banyak kontroversi. Tabloid ini muncul sejak Mei 2014 dan sempat terbit tiga nomor. Isi tabloid ini banyak mengungkap hal negatif tentang diri Joko Widodo yang waktu itu menjadi salah satu kandidat calon presiden. Banyak sekali tulisan yang berisi fitnah ataupun tidak didukung dengan fakta yang solid, misalnya ketika menyangkut masalah asal usul Joko Widodo yang disebut sebagai keturunan Tionghoa dan beragama Kristen, keluarga Joko Widodo yang disebut sebagai bekas anggota Partai Komunis, hingga tulisan yang menyinggung peran
25 Jokowi dalam korupsi Trans Jakarta ketika ia menjadi gubernur DKI Jakarta. Tabloid ini beredar terbatas hanya di pesantren-‐pesantren di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun karena isinya yang kontroversial, sejumlah pihak kemudian juga melihat isi tabloid ini lewat media sosial dan segera menimbulkan kehebohan. Bahaya terbesar dari penerbitan seperti Obor Rakyat adalah isinya yang tidak faktual, memfitnah, dan pada akhirnya memberikan pengaruh pada sikap orang untuk memilih atau tidak memilih Jokowi dalam pemilihan kemarin. Pihak kepolisian sendiri sudah menetapkan tersangka dari kasus ini namun prosesnya berjalan dengan sangat lambat, dan tidak ada tindakan segera yang dilakukan pada saat tabloid ini mulai beredar di antara masyarakat. Pada titik ini penting sekali tindakan polisi untuk memproses kasus Obor Rakyat ini sehingga ke depan orang akan berpikir dua kali untuk membuat terbitan berisi fitnah semacam ini dalam momen pemilihan umum mendatang. Dewan Pers menganggap bahwa Obor Rakyat bukanlah produk pers. Dewan Pers dalam surat yang ditujukan kepada Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan sejumlah poin ini untuk mengatakan bahwa Obor Rakyat bukanlah produk pers 4 : 1. Obor Rakyat tidak memenuhi ketentuan mengenai bentuk Badan usaha pers sesuai pasal 1 butir 2 UU Pers 2. Sesuai penelusuran yang dilakukan oleh Dewan Pers, alamat yang tercantum di kotak redaksi Obor Rakyat palsu atau fiktif, sehingga Obor Rakyat tak memenuhi ketentuan pasal 12 UU Pers 3. Terkait konten, Dewan Pers menilai Obor Rakyat tidak memenuhi prinsip-‐prinsip jurnalistik dan ketentuan mengenai asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 1 dan pasal 6 butir a,b,c, dan e UU Pers. Prinsip jurnalistik sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) juga tidak dipenuhi. 4. Berdasar beberapa pertimbangan tersebut, Dewan Pers menilai masalah Obor Rakyat berada di luar ranah jurnalisme, tidak dapat dijangkau melalui mekanisme UU Pers Berdasarkan butir di atas maka Dewan Pers melimpahkan kasus ini pada Polri, karena sesuai dengan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri, kasus yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme UU Pers maka Polri dapat mengambil alih apabila ditemukan pelanggaran hukum. Jika kasus ini maju ke ranah hukum, Dewan Pers siap memberikan bantuan dalam proses penyidikan Polri. Menurut LSPP, penting kasus ini segera dituntaskan proses penyidikan dan membawakan ke proses peradilan agar pihak lain yang akan melakukan hal yang sama di kemudian hari akan melihat bahwa Dewan Pers tak akan melindungi produk yang seolah-‐olah jurnalistik namun dipergunakan untuk kampanye hitam dalam pemilihan umum. Kepolisian RI harusnya bertindak lebih sigap untuk menuntaskan penyidikan ini.
4
“Sikapi ‘Obor Rakyat’, Dewan Pers Kirimi Surat ke Polri”, Etika, Berita Dewan Pers edisi Juni 2014, hal. 2
26
BAB IV KESIMPULAN ini:
Dari bahasan bagian sebelumnya, maka kita di sini dapat disimpulkan sejumlah hal berikut 1. Fenomena Media Partisan adalah bagian dari dinamika politik perebutan kekuasaan dan media partisan ini muncul karena sekelompok orang atau partai politik merasa butuh dukungan media untuk mencapai tujuannya. 2. Terkait dengan keberpihakan media seperti apa yang masih bisa diterima, maka akan ada pembedaan perlakuan antara media cetak dan media televisi, dimana dalam konteks media cetak masih bisa diterima, sejauh ada pemisahan antara pemberitaan yang obyektif atau faktual, dengan ruang opini / editorial yang bisa menjadi tempat buat media menyampaikan sikap politiknya, sementara itu dalam bentuk lembaga penyiaran sulit diterima karena lembaga penyiaran menggunakan frekuensi publik yang merupakan sumber daya yang sifatnya terbatas, dan frekuensi ini hanya dipinjamkan kepada pengelolanya dan pemilik sesungguhnya adalah publik, yang dikelola oleh Negara 3. Terkait dengan peraturan perundangan yang ada dapat dikatakan sebenarnya sudah ada banyak perundangan yang telah kita miliki untuk menghindari praktek jurnalisme partisan, walaupun tak ada regulasi khusus yang mengatur masalah media partisan ini. Namun pertanyaan besar dtujukan pada lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan aturan ini, dalam hal ini Dewan Pers dan Komisi Penyiran Indonesia yang dirasa lambat dalam merespon pengaduan ataupun tidak antisipatif melihat fenomena ini berkembang. Perlu ada mekanisme internal yang lebih baik dalam Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia untuk memproses pengaduan atau menindaklanjuti pelanggaran etika jurnalistik atau standar program siaran dengan lebih cepat. Masih dalam kaitan dengan soal regulasi maka usulan untuk merevisi UU Penyiaran akan lebih memakan waktu dengan melihat konstalasi politik yang ada di parlemen, sehingga lebih realistis jika ada revisi PP penyiaran dalam rangka memperkuat kewenangan KPI untuk dapat turun berperan di luar masalah pengawasan siaran belaka, karena bagaimanapun juga KPI adalah wakil masyarakat untuk mengawasi perkembangan penyiaran yang sehat. Di luar itu proses pemilihan anggota KPI pun harus lebih transparan, mengutamakan profesionalitas personilnya ketimbang pertimbangan politik lainnya. 4. Jika peraturan perundangan butuh direvisi ini menyangkut perundangan pemilu yang LSPP menilai belum bisa mengantisipasi dua hal: bentuk kampanye yang makin atraktif dan kreatif, yang terkadang belum diatur dalam UU Pemilu dan masalah pemisahan jabatan pimpinan media dengan aktivitas politik yang hendak dilakukan seseorang. 5. Terkait dengan sanksi atas lembaga penyiaran yang telah menyalahgunakan frekuensi untuk kepentingan diri pribadi atau kelompoknya, maka LSPP menganjurkan agar pemerintah mempertimbangkan dengan serius rekomendasi yang telah diberikan KPI untuk mengevaluasi ataupun mencabut ijin penyiaran dari 3 stasiun televisi yaitu Metro TV, TV
27 One dan RCTI karena telah terbukti menyalahgunakan frekuensi yang mereka kelola untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. 6. Perlu makin dipromosikan adanya kelembagaan internal media yang memiliki fungsi pengaturan sendiri (self regulation) bagi pada organisasi profesi kewartawanan, mapun organisasi perusahaan pers, untuk memastikan produk media yang dihasilkan memenuhi kepentingan publik dan tidak melanggar etika atau peraturan perundangan 7. Pemerintah perlu makin meningkatkan kapasitas dari lembaga penyiaran publik untuk menjadi lembaga penyedia informasi yang bisa diandalkan oleh publik karena sifatnya yang obyektif, komprehensif, dan imparsial. Munculnya lembaga penyiaran publik yang obyektif, imparsial dan profesional akan mendorong lembaga penyiaran lain juga untuk melakukan hal yang sama, jika tidak ingin ditinggalkan oleh pemirsanya.
28
APENDIX 1: POTRET PRAKTEK MEDIA DAN PEMILU 2014 DI INDONESIA: SEJUMLAH STUDI TERBARU Ada beberapa lembaga yang melakukan penelitian terkait praktek media dan pemilu 2014, di bawah ini diringkaskan hasil penelitian dari beberapa lembaga yaitu: CIPG, Remotivi dan PR2MEDIA. Studi dari CIPG tentang strategi komunikasi partai politik di layar kaca: Dinita A. Putri, Leonardus K. Nugraha, Yoes C. Kenawas & Ardinanda S. Dari Konstituen ke Konsumen: Strategi Komunikasi Partai Politik di Layar Kaca, Jakarta: CIPG dan Yayasan Tifa, 2014 Studi dari CIPG (Center for Innovation and Policy Governance) menunjukkan sejumlah hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pola komunikasi politik di Indonesia, yang berakibat luruhnya identifikasi masyarakat terhadap partai politik, dan semakin kentaranya penggunaan media – khususnya televisi – sebagai kanal komunikasi dan kampanye utama partai politik. (Putri 2014:v) Ada sejumlah point temuan dari penelitian tersebut, namun dikutipkan di sini sejauh relevan yaitu: Pertama, media penyiaran telah menjadi saluran utama penyebaran informasi terkait partai politik. Hal ini juga diperkuat dengan adanya beberapa petinggi partai politik yang adalah juga pemilik perusahaan media. Para peneliti juga menyebut bahwa strategi komunikasi partai politik Indonesia terlihat telah mengarah ke Amerikanisasi Kampanye Politik, imana peran vital partai politik dalam proses perumusan dan diseminasi pesan politik untuk mempengaruhi pemilih berpindah ke tangan konsultan yang umumnya non-‐partisan dan non-‐kader. Kedua, penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa strategi komunikasi seringkali disusun oleh konsultan yang ditunjuk oleh partai dan bukan oleh fungsi tertentu dari partai politik. Hal ini berimplikasi pada melemahnya institusionalisasi partai politik karena adanya fungsi-‐fungsi vital partai politik yang dikerjakan oleh pihak lain. Akibatnya temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi positif antara banyaknya iklan dari suatu partai politik dengan tingkat elektabilitas partai yang bersangkutan. Ketiga, dengan adanya fenomena para pemilik media yang juga adalah petinggi partai politik, maka ada indikasi ketidakberimbangan porsi penayangan pemberitaan dan penayangan iklan partai politik di televisi, terutama pada televisi yang berafiliasi dengan partai politik. Keempat, selain melalui publikasi resmi (iklan) dan pemberitaan, juga ditemukan indikasi bahwa parpol mulai melakukan penetrasi ke program-‐program hiburan, seperti dalam bentuk kuis, sinetron dan lain-‐lain. Kelima, tiadanya aturan dan sanksi yang tegas dalam mengatur publikasi parpol di luar masa kampanye pemilu menjadi salah satu penyebab terjadinya penyimpangan-‐penyimpangan dalam tata komunikasi partai politik dalam televisi. Ketentuan yang ada terkesan ambigu, tidak operasional, dan multi-‐tafsir sehingga partai politik mempunyai interpretasi masing-‐masing terhadap ketentuan tersebut.
29 Penelitian Remotivi: Muhamad Heychael, Independensi Televisi Menjelang Pemilu 2014, Jakarta: Remotivi, 2014 Penelitian lain terhadap fenomena media dan pemilu 2014 juga dilakukan oleh Mohammad Heychael dari Remotivi. Dalam tiga seri penelitian berjudul dilakukan terlihat bahwa di luar soal kuantitas tertentu yang ditunjukkan oleh televisi tertentu kepada kandidat yang kebetulan adalah pemilik media tersebut, maka yang juga terjadi adalah pemberian nilai positif yang sangat besar kepada kandidat yang dijagokan media tersebut, sementara sebaliknya kandidat lain yang tak disorong mendapat gambaran yang sangat negatif. Hal ini terjadi baik pada televisi TV One yang menyokong Prabowo-‐Hatta dan Metro TV yang menyokong Jokowi-‐Kala. Dari pemantauan yang dilakukan pada tanggal 1-‐7 Juni 2014 saat terbentuknya koalisi antara Partai Gerindra dan Partai Golkar, belakangan Gerindra pun berhasil menggandeng Hary Tanoe, maka isi pemberitaan di televisi group MNC menjadi bergeser dari favorabilitas yang sebelumnya ditunjukkan pada Partai Hanura, menjadi menonjolkan sosok Prabowo Subianto sebagai pimpinan koalisi. Isi penelitian Remotivi menyebutkan demikian: “Pasca kesepakatan koalisi Gerindra dengan Golkar, pemberitaan Prabowo di TV One meningkat. Peningkatan itu terlihat dengan meningkatnya jumlah “penonjolan” Prabowo di TV One yang pada periode sebelumnya hanya 32% kini mencapai 70%. Seiring dengan itu berita bernada positif mengenai Prabowo juga meningkat tajam. Dalam periode sebelumnya, TV One sama sekali tidak memberi berita positif untuk Prabowo, dan dalam periode kali ini, 52% dari pemberitaan positif di TV One diberikan pada Prabowo. Hal yang sama juga terjadi pada durasi iklan Prabowo, yang pada periode sebelumnya tidak ada sama sekali, kini meroket menjadi 62%. Selaras dengan TV One, pemberitaan Prabowo di ANTV, televisi yang juga dimiliki Aburizal Bakrie, mengalami peningkatan frekuensi. Dalam periode 1-‐7 Mei hanya ada 20% berita Prabowo di ANTV, kini ada 32%. Penonjolan Prabowo pun meningkat dari 25%, menjadi 34%. Hal yang sama terjadi pada grup MNC. Setelah Harry Tanoesoedibjo resmi berkoalisi dengan Prabowo Subianto, mulai terlihat perubahan praktik siaran; porsi besar yang diberikan pada Partai Hanura sebelum pemilu, kini dilimpahkan pada Prabowo. Hal ini terlihat gamblang dalam praktik siaran RCTI. Pada periode sebelumnya, RCTI hanya memiliki satu berita mengenai Prabowo, dan itu pun bernada negatif. Kini Prabowo adalah tokoh capres yang paling banyak diberitakan (41%) sekaligus di tonjolkan (78%). 100% berita bernada positif yang ada di RCTI adalah berita Prabowo. Tidak hanya itu, 100% slot iklan di RCTI selama 1-‐7 Juni adalah milik pasangan capres nomer urut satu tersebut. ...Bersamaan dengan meningkatnya pemberitaan dan iklan politik Prabowo di Grup Viva dan MNC, juga terjadi pemberiaan proporsi yang tidak berimbang pada lawan politik. Jokowi adalah figur yang paling banyak diberitakan secara negatif di dua televisi milik Aburizal Bakrie (TV One 80% dan ANTV 100%). Sementara televisi yang tergabung dalam Grup MNC juga mencatatkan hal yang kurang lebih sama. Seluruh (100%) berita negatif yang ada di RCTI adalah berita Jokowi, sementara Global TV mencatat 43% berita negatif mengenai Jokowi. Fakta sebaliknya ditemukan dalam televisi milik Surya Paloh, ketua pembina Partai Nasdem, salah satu partai pengusung capres nomor urut dua. Berbeda dengan dua grup televisi lainnya, eskalasi politik yang terjadi di Metro TV lebih merupakan peningkatan “serangan” atas lawan politik. Pasalnya, televisi yang dimiliki oleh ketua partai rekan koalisi PDIP ini, sejak periode awal penelitian telah memberikan porsi pemberitaan yang tinggi pada Jokowi. Jumlah berita negatif mengenai Prabowo yang, dalam periode 1-‐7 Mei, sebesar 22% meningkat menjadi 65% dalam periode ini.
30 Angka tersebut belum termasuk berita negatif yang diperoleh pasangan Prabowo, Hatta Rajasa sebesar 35%. Dengan demikian, seluruh berita negatif yang ada di Metro TV adalah milik pasangan nomor urut satu.” Fenomena ini menurut Heychael menggambarkan bahwa media terjebak dalam menggambarkan agenda kepentingan politik elit semata, ketimbang memberikan kesempatan agenda masyarakat dibahas secara lebih komprehensif dalam tayangan media tersebut. Di luar soal kepentingan masyarakat yang tak terbahas secara komprehensif, kepentingan masyarakat pun dikorbankan karena masyarakat tidak mendapatkan gambaran yang komprehensif terhadap dua kandidat yang bertarung, sehingga kemudian masyarakat akan bisa memutuskan pilihan politiknya atas dasar informasi yang memadai Penelitian PR2MEDIA: Amir Effendi Siregar, Rahayu, Puji Rianto, Wisnu Martha Adiputra,Menakar independensi dan Netralitas Jurnalisme dan Media di Indonesia, Yogyakarta: PR2MEDIA dan Dewan Pers, Januari 2014 Penelitian PR2MEDIA (Pemantau Regulator dan Regulator Media)ini menemukan bahwa, untuk media cetak, pemberitaan pemilik dalam rentangpenelitian tidak banyak. Namun, secara kualitatif, tetap membela kepentingan pemilik. Ditelevisi dan online, berita mengenai pemilik dan kelompok afiliasinya cenderung lebihsering muncul di media-‐media yang pemiliknya mempunyai kepentingan politikpragmatis. Di media online Okezone dan juga RCTI, berita mengenai pemilik jauh lebih tinggidibandingkan dengan berita di kelompok Kompas. Liputan-‐liputan di media dalamkelompok MNC cenderung bias. Liputan-‐liputan mengenai elit politik yang menjabatcenderung netral. Namun, ketika pejabat atau seseorang tersebut terlibat dalam‘persaingan’ politik maka liputannya cenderung bias. Pemberitaan tokoh politik yangmenjabat dan menjadi capres-‐cawapres sebagai lawan politik cenderung diberitakansecara kritis bahkan negatif. Sementara itu, pemberitaan tokoh politik yang tidakmenjabat, tapi menjadi kandidat capres-‐cawapres cenderung diberitakan secara kritisdengan mengaitkannya dengan track record kepemimpinan mereka sebelumnya. Padawaktu bersamaan, media yang bersangkutan membuat liputan yang meninggikan nilaipolitik pemilik. Digambarkan bahwa pemilik sebagai orang yang berjasa dan paling tepat memimpin Indonesia. Objektivitas dalam jurnalisme juga dirusak oleh masuknya opini dalam pemberitaan, utamanya ketika berita itu menyangkut pemilik. Di Kompas, opini muncul dalam pemberitaan, tapi besaran berita yang mengandung opini di kelompok MNC jauh lebih besar. Kepentingan pragmatis pemilik dalam dunia politik mempunyai kencenderunganuntuk merusak standart jurnalisme profesional yang sudah diyakini bertahun-‐tahun, yakniobjektivitas. Liputan-‐liputan yang bias terjadi sebagai akibat menurunnya independensi dan otonomiredaksi di media dimana pemilik mempunyai kepentingan politik praktis. Sepertiditunjukkan dalam kasus RCTI, pemilik tidak hanya menggunakan medianya untukkepentingan politik, tapi juga demi memenangkan persaingan bisnis dan pembelaan didepan hukum. Para pengelola media telah menggeser loyalitas mereka dan usaha mencarikebenaran dan bertanggung jawab kepada publik kepada loyalitas terhadap pemilik. Samasekali tidak terlihat adanya kesadaran penggunaan media elektronik yang memergunakanfrekuensi sebagai milik dan ranah publik yang menuntut tanggung jawab lebih besar.
31 Sejumlah studi di atas memberikan bukti ilmiah tentang bagaimana pelanggaran atas prinsip netralitas, independen serta berimbang telah dicederai oleh banyak stasiun televisi, yaitu TV One, Metro TV serta MNC Group. Bukti ini sudah cukup untuk menunjukkan tentang fenomena media partisan dalam televisi pada masa Pilpres 2014 yang lalu.
32
APENDIX 2: REKAPITULASI SANKSI KPI KEPADA LEMBAGA PENYIARAN (TV) TERKAIT PELANGGARAN PROGRAM DI MASA PEMILU 2014 Disusun oleh Dandhy Dwi Laksono untuk Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) (20 Sept 2013 – 9 Jul 2014)
2013 No
TGL
PROGRAM
PELANGGARAN
TV
1
20 Sept
Menyiarkan Konvensi Partai Demokrat (15 September 2013)
Keberimbangan UU Penyiaran: Pasal 14 (1), Pasal 36 (4) P3: Pasal 11, Pasal 22 (1-‐3) SPS: Pasal 11 (1), Pasal 40 (a)
2
27 Sept
SURAT EDARAN PENGGUNAAN SPEKTRUM UNTUK KEGIATAN TERTENTU
5 Des
Headline News (11 Nov 2013):
Mengingatkan agar semua TV menjaga All netralitas lembaga penyiaran dan larangan penggunaan media untuk kepentingan golongan tertentu Pemanfaatan siaran untuk kepentingan MetroTV pribadi dan/atau kelompok pemilik Menyiarkan iklan politik di luar masa kampanye UU 8/2012 tentang Pemilu: Pasal 83 (2) P3: Pasal 11 SPS: Pasal 11 (1-‐2)
Menayangkan iklan kampanye di luar masa MNC TV kampanye UU 8/2012: Pasal 100, Pasal 83 P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Pemanfaatan lembaga penyiaran untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok.
Teguran Tertulis (1)
3
Pidato Surya Paloh berdurasi 3:43 menit di acara pelantikan fungsionaris Partai Nasdem
4
5 Des
Pidato Surya Paloh banyak ditemui di program lain dengan durasi 3-‐6 menit. a. Iklan WIN-‐HT versi Pakaian Adat (30 Nov 2013) Deklarasi WIN-‐HT, Juli 2013 b. Iklan lain yang menampilkan logo dan nomor urut Partai Hanura c. Program jurnalistik
TVRI
SANKSI Teguran Tertulis (1) Membuat pernyataan tertulis
Teguran Tertulis (1) Perintah mengedit logo partai dalam iklan
33
5
6
7
5 Des
5 Des
5 Des 2013
a. Kuis Indonesia Cerdas (26 Nov 2013) Deklarasi WIN-‐HT, Juli 2013 b. Iklan politik dengan logo dan nomor urut partai c. Program jurnalistik
a. Kuis Kebangsaan (1 Desember 2013) – tayang sejak Oktober 2013 b. Iklan politik dengan logo dan nomor urut partai c. Program jurnalistik
a. Iklan ARB-‐Golkar versi 49 Tahun Golkar (24 Oktober 2013)
September 2013: Dari 39 berita politik, 17 berisi Hanura. 25 Oktober 2013: Dari 5 segmen berita politik, semua berisi Hanura. 1 November 2013: 3 segmen berita politik, semua berisi Hanura 1 Desember 2013: 1 segmen berita untuk Hanura Kuis yang dibiayai atau disponsori oleh Global TV Peserta Pemilu (Hanura) P3: Pasal 50 (4) SPS: Pasal 71 (4) UU Pemilu: Pasal 100 Iklan kampanye di luar masa kampanye UU Pemilu: Pasal 83 (2) September 2013: Dari 52 segmen berita, 33 tentang Hanura. 25 Oktober 2013: 3 segmen berita, semua tentang Hanura 1 November 2013: 4 segmen berita, semua Hanura 1 Desember 2013: 2 segmen berita, semua Hanura Kuis yang dibiayai atau disponsori oleh RCTI Peserta Pemilu (Hanura) P3: Pasal 50 (4) SPS: Pasal 71 (4) UU Pemilu: Pasal 100 Penyalahgunaan lembaga penyiaran untuk kepentigan pribadi dan/atau kelompoknya. September 2013 43 segmen berita politik, 21 tentang Hanura 25 Oktober 2013: 4 segmen berita, semua tentang Hanura 1 November 2013: 2 segmen, semua Hanura Pemanfaatan untuk kepentingan pribadi ANTV dan/atau kelompok Iklan kampanye di luar masa kampanye. Oktober 2013: 430 spot
Teguran Tertulis (1) Editing logo partai
Teguran Tertulis (1) Editing logo partai
Teguran Tertulis (1) Editing logo partai
34 b. Iklan lain yang menampilkan logo dan nomor urut partai
8
5 Des
a. Iklan ARB-‐Golkar versi 49 Tahun Golkar (24 Oktober 2013) b. Iklan lain yang menampilkan logo dan nomor urut partai
9
23 Jan
SURAT EDARAN TENTANG PENYIARAN IKLAN POLITIK TERKAIT PEMILU
10
23 Jan
11
24 Jan
PETUNJUK PELAKSANAAN TERKAIT PERLINDUNGAN KEPENTINGAN, SIARAN JURNALISTIK, IKLAN, dan PEMILU Kuis Kebangsaan (21 Desember 2013)
12
24 Jan
13
4 Feb
14
12 Feb
November 2013 (12 hari): 128 spot SPS: Pasal 11 (2) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Pemanfaatan untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok Iklan kampanye di luar masa kampanye. Oktober 2013: 430 spot November 2013 (12 hari) 128 spot
2014 1. Mengingatkan agar menjaga netralitas isi siaran 2. Terjadi pelanggaran terhadap larangan pemanfaatan lembaga penyiaran oleh pemilik dan/atau kelompoknya 3. Bawaslu: iklan kampanye di luar jadwal adalah tindak pidana pemilu. Menegaskan kode etik siaran jurnalistik Menegaskan prinsip non-‐intervensi Menegaskan ketentuan iklan kampanye Iklan harus bayar
TV One
Teguran Tertulis (1) Editing logo partai
all
all
Program dibiayai/disponsori oleh partai RCTI politik Tidak menjaga netralitas isi siaran Pemanfaatan untuk kepentigan pribadi pemilik dan/atau kelompoknya P3: Pasal 11, Pasal 50 (4) SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 71 (4) Kuis Indonesia Cerdas (24 Program dibiayai/disponsori oleh partai Global TV Desember 2013) politik Tidak menjaga netralitas isi siaran Pemanfaatan untuk kepentigan pribadi pemilik dan/atau kelompoknya P3: Pasal 11, Pasal 50 (4) SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 71 (4) Sinetron Tukang Bubur Naik Haji Memanfaatkan program siaran untuk RCTI (1 Februari 2014) kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran dan/atau kelompoknya. SPS: Pasal 11 (1-‐2). Mewujudkan Mimpi Indonesia (7 Penyalahgunaan lembaga siaran untuk RCTI Februari 2014) kepentingan pribadi dan/atau kelompoknya. Capres Wiranto menyamar
Teguran Tertulis Kedua (2)
Teguran Tertulis Kedua (2)
Teguran Tertulis
Teguran Tertulis
35 menjadi tukang becak 15
20 Feb
Kuis Kebangsaan (9 Februari 2014)
16
20 Feb
Kuis Indonesia Februari 2014)
17
7 Maret
Mewujudkan Mimpi Indonesia Capres Wiranto menyamar. Hary Tanoe ke pasar.
Cerdas
(9
18
11 Maret
Iklan Kampanye
19
11 Maret
Iklan Kampanye
20
11 Maret
Iklan Kampanye
21
11 Maret
Iklan Kampanye
22
11 Maret
Iklan Kampanye
23
11 Maret
Iklan Kampanye
24
11 Maret
Iklan Kampanye
25
11 Maret
Iklan Kampanye
26
11 Maret
Iklan Kampanye
27
11 Maret
Iklan Kampanye
28
24 Maret
Iklan Partai Nasdem (19 Maret 2014) “Kehadiran Anggota DPR RI hanya 48,7%”
29
27 Maret
SURAT EDARAN TERKAIT PELAKSANAAN KAMPANYE PEMILIHAN UMUM
30
28 Maret
Iklan ‘Kutunggu Janjimu’ (22 Maret 2014, jam 04.39 WIB)
31
28 Maret
Iklan ‘Kutunggu Janjimu’ (24 Maret 2014, jam 22.02 WIB)
P3: Pasal 11 SPS: 11 (1-‐2) Tidak menjaga netralitas isi siaran. Penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi pemilik dan/atau kelompoknya P3: Pasal 11 SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 71 (3) Tidak menjaga netralitas isi siaran. Penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi pemilik dan/atau kelompoknya P3: Pasal 11 SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 71 (3) Penyalahgunaan lembaga penyiaran untuk kepentingan pribadi pemilik dan/atau kelompoknya P3: Pasal 11 SPS: Pasal 11 (1-‐2) Iklan kampanye di luar jadwal kampanye Iklan kampanye di luar jadwal kampanye Iklan kampanye di luar jadwal kampanye Iklan kampanye di luar jadwal kampanye
RCTI
Penghentian Sementara
GlobalTV
Penghentian Sementara
RCTI
Teguran Tertulis Kedua (2)
TV One
Teguran
MetroTV
Teguran
Indosiar
Teguran
MNC TV
Teguran *Teguran (1) 5 Desember 2013 Teguran
Iklan kampanye di luar jadwal kampanye Iklan kampanye di luar jadwal kampanye
GlobalTV
Iklan kampanye di luar jadwal kampanye Iklan kampanye di luar jadwal kampanye Iklan kampanye di luar jadwal kampanye Iklan kampanye di luar jadwal kampanye Pemanfaatan siaran iklan untuk kepentingan pribadi pemilik dan/atau kelompoknya. P3: Pasal 11 SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 58 (4a) Tidak menyiarkan pemberitaan dan iklan yang melanggar aturan. Tidak memfitnah, menghasut, menyesatkan, berbohong, mendiskreditkan calon atau tokoh politik tertentu. Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: 58 (1 & 4a) Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain
RCTI
Teguran *Teguran Tertulis (1) – 5 Desember Teguran
SCTV
Teguran
Trans TV
Teguran
Trans 7
Teguran
MetroTV
Teguran Tertulis
all
RCTI
Teguran Tertulis Larangan menayangkan kembali
MNC TV
Teguran Tertulis (???)
ANTV
36
32
28 Maret
Iklan ‘Kutunggu Janjimu’ (24 Maret 2014, jam 04.27 WIB)
33
28 Maret
Iklan Partai Nasdem (23 Maret 2014) ‘Kehadiran Anggota DPR Hanya 48,7%’ Iklan Partai Nasdem (24 Maret 2014) ‘Kehadiran Anggota DPR Hanya 48,7%’
34
28 Maret
35
28 Maret
Iklan Partai Nasdem (23 Maret 2014) ‘Kehadiran Anggota DPR Hanya 48,7%’
36
28 Maret
Iklan Partai Nasdem (23 Maret 2014) ‘Kehadiran Anggota DPR Hanya 48,7%’
37
28 Maret
Iklan Partai Nasdem (24 Maret 2014) ‘Kehadiran Anggota DPR Hanya 48,7%’
38
28 Maret
Iklan Partai Nasdem (24 Maret 2014) ‘Kehadiran Anggota DPR Hanya 48,7%’
39
28 Maret
Iklan Partai Nasdem (22 Maret 2014) ‘Kehadiran Anggota DPR Hanya 48,7%’
40
4 April
Iklan Kampanye Partai Hanura (21-‐23 Maret 2014)
Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: 58 (1 & 4a) Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: 58 (1 & 4a) Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: Pasal 58 (1 & 4a) Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: Pasal 58 (1 & 4a) Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: Pasal 58 (1 & 4a) Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: Pasal 58 (1 & 4a) Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: Pasal 58 (1 & 4a) Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: Pasal 58 (1 & 4a) Menyinggung atau merendahkan pribadi atau kelompok lain Etika Pariwara Indonesia (EPI) P3: Pasal 43 SPS: Pasal 58 (1 & 4a) Menayangkan iklan melebihi batas maksimum (10 spot/hari/peserta pemilu), yaitu: 16 spot/hari (21 Maret) 15 spot/hari (22 Maret) 12 spot/hari (23 Maret) UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6)
Larangan menayangkan kembali
Global TV
Teguran Tertulis Larangan menayangkan kembali
SCTV
Teguran Tertulis *Teguran 11 Maret
TransTV
Teguran Tertulis *Teguran 11 Maret
TVRI
Teguran Tertulis
MNC TV
Teguran Tertulis
RCTI
Teguran Tertulis
Indosiar
Teguran Tertulis *Teguran 11 Maret
TV One
Teguran Tertulis
Global TV
Teguran Tertulis
37 41
4 April
42
4 April
43
4 April
44
4 April
45
4 April
46
4 April
47
4 April
48
8 April
Iklan Kampanye Partai Hanura (21 & 23 Maret 2014)
Menayangkan iklan kampanye batas maksimum, yaitu: 12 spot/hari (21 Maret) 11 spot/hari (23 Maret 2014). UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Iklan Kampanye Partai Hanura Menayangkan iklan kampanye (21-‐23 Maret 2014) batas maksimum, yaitu: 14 spot/hari (21 Maret) 15 spot/hari (22 Maret) 15 spot/hari (23 Maret) UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Iklan Partai Golkar (21-‐22 Maret) Menayangkan iklan kampanye batas maksimum, yaitu: 15 spot/hari (21 Maret) 21 spot/hari (22 Maret) UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Iklan Partai Golkar (21-‐23 Maret) Menayangkan iklan kampanye batas maksimum, yaitu: 13 spot/hari (21 Maret) 18 spot/hari (22 Maret) 21 spot/hari (23 Maret) UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Iklan Partai Nasdem (21-‐22 Menayangkan iklan kampanye Maret) batas maksimum, yaitu: 15 spot/hari (21 Maret) 11 spot/hari (22 Maret) UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Iklan Partai Demokrat (21-‐23 Menayangkan iklan kampanye Maret) batas maksimum, yaitu: 20 spot/hari (21 Maret) 15 spot/hari (22 Maret) 17 spot/hari (23 Maret) UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Iklan Partai Demokrat (21-‐23 Menayangkan iklan kampanye Maret) batas maksimum, yaitu: 16 spot/hari (21 Maret) 19 spot/hari (22 Maret) 19 spot/hari (23 Maret) UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Iklan Partai Gerindra (29-‐30 Menayangkan iklan kampanye Maret) batas maksimum, yaitu:
melebihi MNC TV
Teguran Tertulis
melebihi RCTI
Teguran Tertulis
melebihi ANTV
Teguran
melebihi TV One
Teguran
melebihi MetroTV
Teguran
melebihi SCTV
Teguran
melebihi Indosiar
Teguran
melebihi TransTV
Teguran
38
49
8 April
Iklan Partai Gerindra dan PPP (28-‐29 Maret)
50
8 April
Iklan Partai Gerindra & Hanura (29-‐30 Maret)
51
9 APRIL 30 Mei
Pemberitaan Capres/Cawapres (19-‐25 Mei 2014)
Pasangan
52
30 Mei
Pemberitaan Capres/Cawapres (19-‐25 Mei 2014)
Pasangan
53
30 Mei
Pemberitaan Capres/Cawapres (19-‐25 Mei 2014)
Pasangan
54
30 Mei
Pemberitaan Capres/Cawapres (19-‐25 Mei 2014)
Pasangan
14 spot/hari (29 Maret) 13 spot/hari (30 Maret) UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Menayangkan iklan kampanye melebihi TVRI batas maksimum, yaitu (masing-‐masing): 11 spot/hari (28 Maret) 11 spot/hari (29 Maret) UU Pemilu: Pasal 97 (1) P3: Pasal 50 (5) SPS: Pasal 71 (6) Menayangkan iklan kampanye melebihi Trans7 batas maksimum, yaitu: Gerindra 16 spot/hari (29 Maret) 14 spot/hari (30 Maret) Hanura 11 spot/hari (29 Maret) PEMILU LEGISLATIF Tidak diperhatikannya netralitas isi siaran Tidak diperhatikannya prinsip-‐prinsip jurnalistik UU Penyiaran: Pasal 36 (4) P3/SPS Kode Etik Jurnalistik PP 50/2005 Tidak diperhatikannya netralitas isi siaran Tidak diperhatikannya prinsip-‐prinsip jurnalistik UU Penyiaran: Pasal 36 (4) P3/SPS Kode Etik Jurnalistik PP 50/2005 Tidak diperhatikannya netralitas isi siaran Tidak diperhatikannya prinsip-‐prinsip jurnalistik UU Penyiaran: Pasal 36 (4) P3/SPS Kode Etik Jurnalistik PP 50/2005 Tidak diperhatikannya netralitas isi siaran Tidak diperhatikannya prinsip-‐prinsip jurnalistik UU Penyiaran: Pasal 36 (4) P3/SPS Kode Etik Jurnalistik PP 50/2005
Teguran
Teguran
MNC TV
Peringatan
RCTI
Peringatan
GlobalTV
Peringatan
MetroTV
Peringatan
39 55
30 Mei
Pemberitaan Capres/Cawapres (19-‐25 Mei 2014)
Pasangan
56
9 Juni
Pemberitaan Capres/Cawapres (2-‐4 Juni)
Pasangan
57
9 Juni
Pemberitaan Capres/Cawapres (2-‐4 Juni)
Pasangan
58
23 Juni
Pemberitaan Capres/Cawapres (17 Juni)
Pasangan
Pemberitaan Capres/Cawapres (17 Juni)
Pasangan
59
23 Juni
60
7 Juli
Program Siaran Jurnalistik (7 Juli) Jokowi umrah (masa tenang)
61
8 Juli
62
8 Juli
Apa Kabar Indonesia Pagi (30 Juni) Mengaitkan PDIP dengan PKI Iklan Prabowo versi Pencak Silat (7 Juli)
63
8 Juli
Iklan Prabowo versi Pencak Silat (7 Juli)
64
8 Juli
Iklan Prabowo versi Pencak Silat (7 Juli)
Tidak diperhatikannya netralitas isi siaran Tidak diperhatikannya prinsip-‐prinsip jurnalistik UU Penyiaran: Pasal 36 (4) P3/SPS Kode Etik Jurnalistik PP 50/2005 Tidak menjaga netralitas isi siaran Perlindungan kepentingan publik Jumlah durasi, frekuensi, dan kecenderungan pemberitaan tidak adil dan berimbang P3: Pasal 11, Pasal 22 (1-‐3) SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 40 (a), Pasal 71 (1-‐3). Tidak menjaga netralitas isi siaran Perlindungan kepentingan publik Jumlah durasi, frekuensi, dan kecenderungan pemberitaan tidak adil dan berimbang P3: Pasal 11, Pasal 22 (1-‐3) SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 40 (a), Pasal 71 (1-‐3). Pelanggaran perlindungan kepentingan publik Tidak menjaga netralitas isi siaran P3: Pasal 11, Pasal 22 (1-‐3) SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 40 (a), Pasal 71 (1-‐3). Pelanggaran perlindungan kepentingan publik Tidak menjaga netralitas isi siaran P3: Pasal 11, Pasal 22 (1-‐3) SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 40 (a), Pasal 71 (1-‐3). Pelanggaran perlindungan kepentingan publik Tidak menjaga netralitas isi siaran P3: Pasal 11, Pasal 22 (1-‐3) SPS: Pasal 11 (1-‐2), Pasal 40 (a) Pelanggaran perlindungan kepentingan publik Pelanggaran prinsip-‐prinsip jurnalistik P3: Pasal 11, Pasal 22 (1-‐3) SPS: Pasal 11 (1), Pasal 40 (a-‐b) Melanggar masa tenang Peraturan KPU 16/2014: Pasal 30 (5) P3: Pasal 50 SPS: Pasal 71 (6) Melanggar masa tenang Peraturan KPU 16/2014: Pasal 30 (5) P3: Pasal 50 SPS: Pasal 71 (6) Melanggar masa tenang Peraturan KPU 16/2014: Pasal 30 (5) P3: Pasal 50 SPS: Pasal 71 (6)
TV One
Peringatan
MetroTV
Teguran Tertulis Ancaman merekomendasikan evaluasi izin frekuensi (IPP)
TV One
Teguran Tertulis Ancaman merekomendasikan evaluasi izin frekuensi (IPP)
TV One
Teguran Tertulis Kedua (2)
MetroTV
Teguran Tertulis Kedua (2)
MetroTV
Teguran Tertulis
TV One
Teguran Tertulis
Global TV
Teguran Tertulis
MNC TV
Teguran Tertulis
RCTI
Teguran Tertulis
40
9 JULI
PEMILU PRESIDEN
TV PALING BANYAK MELANGGARSiaran Politik/Pemilu 2014 (20 September 2013 – 8 Juli 2014) STASIUN TELEVISI
JUMLAH PERINGATAN/ KONTEN SIARAN/ TEGURAN/ IKLAN SANKSI RCTI 12 kali 7 / 5 Metro TV 8 kali 5 / 3 TV One 8 kali 4 / 4 Global TV 8 kali 4 / 4 MNC TV / TPI 7 kali 2 / 5 ANTV 3 kali 0 / 3 SCTV 3 kali 0 / 3 Indosiar 3 kali 0 / 3 TVRI 3 kali 1 / 2 TransTV 2 kali 0 / 2 Trans7 2 kali 0 / 2 Disusun oleh Dandhy Dwi Laksono termuat dalam situs AJI, sumber: diolah dari kpi.go.id
41
APENDIX 3: Salinan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers tentang Pengaduan Dandhy D Laksono dan Raymond Arian Rondonuwu terhadap RCTI
DEWAN PERS Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers Nomor: 27/PPR-DP/XI/2014 tentang Pengaduan Dandhy D Laksono dan Raymond Arian Rondonuwu terhadap RCTI Menimbang: 1. Bahwa Dewan Pers menerima pengaduan dari Saudara Dandhy D Laksono sebagai warga masyarakat (selanjutnya disebut Pengadu), melalui surat tertanggal 16 Juli 2014 atas berita RCTI (selanjutnya disebut Teradu) tentang "dugaan pembocoran materi debat capres" dalam program Seputar Indonesia Sore 11 Juni 2014, Seputar Indonesia Malam 11 Juni 2014, dan Seputar Indonesia Pagi 12 Juni 2014. 2. Bahwa Pengadu menyampaikan pengaduan kepada Dewan Pers pada intinya, antara lain, karena menilai RCTI telah melakukan pelanggaran Kode Etik Jumalistik karena menayangkan berita yang tidak memiliki sumber yang jelas, memelintir informasi, dan diduga tercemari kepentingan politik. 3. Bahwa Dewan Pers menerima pengaduan dari Saudara Raymond Arian Rondonuwu, karyawan RCTI (selanjutnya disebut Pengadu), atas berita RCTI (selanjutnya disebut Teradu) tentang dugaan pembocoran materi debat capres dalam program Seputar Indonesia 11 Juni 2014. 4. Bahwa Saudara Raymond Arian Rondonuwu mengadu kepada Dewan Pers pada intinya, antara lain, karena menilai Teradu telah melakukan pelanggaran Kode Etik Jumalistik karena menayangkan berita dengan merujuk pada sumber yang tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 5. Bahwa Dewan Pers telah mengundang Saudara Dandhy D Laksono danpimpinan RCTI pada 5 September 2014 untuk memberikan penjelasan atauklarifikasi. 6. Bahwa Pengadu telah memberikan sejumlah bukti, antara lain, yaitu rekamanberita RCTI dan dokumen (log book) pengaduan yang masuk ke Bawaslu padatanggal9 dan 10 Juni 2014. 7. Bahwa Teradu telah memberikan sejumlah bukti, antara lain, yaitu rekaman berita RCTI tentang "Tim Prabowo Laporkan KPU ke Bawaslu" yang disiarkan pada 10Juni 2014.
42
Mengingat: Pasal 11 ayat (1) Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers (Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DPNIII2013) menyebutkan "Dewan Pers melakukan pemeriksaan atas bukti dan keterangan dari pengadu dan teradu untuk mengeluarkan keputusan", sedangkan ayat (2) menjelaskan ':Dewan Pers dapat menyelesaikan pengaduan melalui mekanisme suratmenyurat, mediasi dan atau ajudikasi" . Memperhatikan: 1. Hasil penelitian dan pengkajian Dewan Pers atas dokumen yang disampaikan kedua pihak, klarifikasi dan keterangan dari Pengadu dan Teradu. 2. Berita Teradu yang diadukan tidak memuat pemyataan narasumber atau dokumen resmi yang menyebutkan adanya dugaan pembocoran materi debat capres tahap pertama. Di dalam tayangan Teradu hanya tampak pengacara Tim Calon Presiden Prabowo-Hatta, Habibburokhman, yang datang ke Bawaslu untuk mengadu. 3. Berita Teradu dengan keterangan judul "Tim Prabowo Laporkan KPU ke Bawaslu" yang disiarkan pada 10 Juni 2014, yang menjadi alat bukti dari Teradu, hanya menginformasi adanya pengaduan dari Tim Calon Presiden Prabowo-Hatta kepada Bawaslu terkait perubahan format debat capres dan pertemuan Anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, dengan Ketua DPP PDIP Trimedya Panjaitan di sebuah restoran di Jakarta Pusat. Berita ini tidak menyinggung adanya dugaan pembocoran materi debat capres tahap pertama. 4. Bukti log book dari Bawaslu yang disampaikan Pengadu menunjukkan bahwa kedatangan pengacara Tim Calon Presiden Prabowo-Hatta, Habibburokhman, pada 10 Juni 2014 hanya terkait pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan KPU terkait pengaturan jumlah debat capres, bukan soal dugaan pembocoran materi debat capres tahap pertama. 5. Berita Teradu yang diadukan memuat wawancara dengan Komisioner KPU, Arief Budiman, dan tim sukses Jokowi-JK, Zuhairi Misrawi, yang berisi pemyataan bahwa pertemuan Anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, dengan Ketua DPP PDIP Trimedya Panjaitan di sebuah restoran di Jakarta Pusat tidak terkait·dengan debat capres 6. Teradu menayangkan berita terkait dugaan bocomya materi debat capres sebanyak 3 (tiga) kali, padahal substansi dari berita tersebut yaitu dugaan bocornya materi debat capres, tidak berdasar pernyataan narasumber ataudokumen yang kuat, dan telah dibantah. Bantahan tersebut juga dimuat didalam berita Teradu.
Memutuskan:
1. Teradu melanggar Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik karena memuatberita yang tidak jelas sumbernya. Konfirmasi yang sudah dilakukan olehTeradu kepada Komisioner KPU dan Tim Sukses Jokowi-JK, tidak dapatmenutupi lemahnya sumber informasi atau data yang dapat-menjadi landasanTeradu memberitakan isu bocornya materi
43
debat capres. Seharusnya Teradumelakukan verifikasi lebih dulu terhadap informasi tentang bocornya materidebat sebelum memuatnya atau sebelum melakukan konfirmasi dalam rangkamemenuhi prinsip keberimbangan. 2. Penayangan berulang-ulang berita yang tidak jelas sumbernya tidak sesuaidengan prinsip jurnalistik yang mengedepankan akurasi, independensi, dantidak beritikad buruk. 3. Merekomendasikan kepada Teradu untuk melakukan wawancara dengankomisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat selaku prinsipal, danmenyiarkannya sebagai Hak Jawab. 4. Merekomendasikan kepada Teradu untuk meminta maaf kepada publik danmenyiarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi ini.Tidak melayani Hak Jawab dapat dipidana denda paling banyak Rp 500.000.000sebagaimana disebutkandalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers. Demikian Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers dibuat untukdilaksanakan sebaik-baiknya. Jakarta, 17 November 2014a Dewan Pers Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL.