POLA PEMBINAAN MORAL SANTRI (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Falah Salatiga Tahun 2010)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh SITI BAROKAH NIM 111 06 118
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi Saudari : Nama
: Siti Barokah
NIM
: 111 06 118
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam Judul Skripsi : POLA PEMBINAAN MORAL SANTRI (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Al Falah Salatiga Tahun 2010)
telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 13 Agustus 2010 Pembimbing,
Drs.Bahroni, M.pd NIP. 19640818 199403 1 004
KEMENTRIAN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail :
[email protected]
PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi Saudari : SITI BAROKAH
dengan
Nomor
Induk
Mahasiswa :
111 06 118 yang berjudul : POLA PEMBINAAN MORAL SANTRI (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Al Falah Salatiga Tahun 2010). Telah dimunaqasahkan dalam sidang panitia ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah
Tinggi
Agama Islam Negeri Salatiga pada hari : 31 Agustus 2010 M yang bertepatan dengan tanggal 21 Ramadhan 1431 H dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Tarbiyah.
31 Agustus 2010 M Salatiga, 21 Ramadhan 1431 H Panitia Ujian Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1002
Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd NIP. 19670112 199203 1 005
Penguji I
Penguji II
Dra. Djami’atul Islamiyah, M.Ag NIP. 19570812 198802 2 001
Achmad Maimun, M.Ag NIP. 19700510 199803 1 003
Pembimbing
Drs.Bahroni, M.Pd NIP. 19640818 199403 1 004
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Siti Barokah
NIM
: 111 06 118
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 13 Agustus 2010 Yang menyatakan,
Siti Barokah NIM : 111 06 118
MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO
“orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (H.R. Tirmidzi)
“suatu ilmu bisa diraih apabila disertai dengan usaha yang giat dan penuh susah payah”
PERSEMBAHAN Skripsi sederhana ini penulis persembahkan kepada: 1.
Keluarga tercinta Ayahanda H.Muhammad wahyudin dan Ibunda Siti
Ngaisah yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menikmati dan mengenyam pendidikan sedari kecil hingga sekarang. Penulis persembahkan tulisan ini sebagai bukti ketulusan dan bakti penulis.Kepada Kakanda Khumaidi dan Mbk imronah yang senantiasa mendo‟akan dan memberikan bantuan kepada penulis selama proses menuntut ilmu. 2.
Kepada Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Kawan-kawan seperjuangan Angkatan 2006 .Serta seluruh teman-teman PAI kelas D Angkatan 2006 (Pakdhe) yang dikomandani oleh Trisna, Rina, Paijo, Shela, Hanik, Esti, Iim, Unux, Shinta, Rita, Ulfa, Rika, Rofik, Sugeng, Gufron, Huda, dan Yasin, yang sudah
menerima penulis sebagai teman belajar dan berdiskusi. Dan sahabat lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya. 3.
Teman-teman Ma‟had Al Falah angkatan 2006 (Zaqi, Atik, Uzli, Ma‟un,
Fitri, Azaq, Ria, Dwi, Fela, Ela, terima kasih atas motivasi dan semangatnya kepada penulis 4.
Teman-teman kost Yashinta, Utex, Ani, Lia, Ugik, Ainur, Ela, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
5.
Sahabat dekatku, Nazil, Siska, Zazin, Mas Lukman, Mas Mazrur , dan Mbak Hima, terima kasih atas bantuan dan kebaikan kalian selama ini. 6.
Teruntuk seseorang yang kelak menjadi pendamping dalam hidupku.
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita haturkan ke hadirat Allah SWT, sehingga atas segala limpahan karunia dan nikmatnya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan meskipun masih belum sempurna. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam. Atas jerih payah beliau kita berada di bawah bendera Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini, terselesaikan atas dukungan dari dosen, orang tua, rekan dan lainnya. Banyakanya pihak yang turut mendukung penyelesaiannya, membuat penulis tidak mungkin menyebutkannya satu-persatu, namun di bawah ini akan kami sebutkan mereka yang memiliki andil besar atas terselesaikannya skripsi ini: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag., selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. 2. Bapak Drs. Bahroni, M. Pd., sebagai pembimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk pengembangan pemikiran penulis dan senantiasa memberikan arahan dan nasehat demi terselesaikannya skripsi ini dengan baik. 3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M. Si, Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam beserta staffnya yang telah membantu penulis selama menjalani kuliah dan ketika penyusunan skripsi ini.
4. Bapak K.H. Zoemri RWS selaku pengasuh pondok pesantren Al Falah Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di pondok pesantren tersebut. 5. Kepada para dosen yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis dengan penuh kesungguhan serta penuh kesabaran. 6. Keluarga tercinta Ayahanda H. Muhammad Wahyudin dan Ibunda Siti Ngaisah yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menikmati dan mengenyam pendidikan sedari kecil hingga sekarang. Penulis persembahkan tulisan ini sebagai bukti ketulusan dan bakti penulis. 7. Kepada Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman Ma’had Al Falah Angkatan 2006, teman-teman kos Yashinta, serta seluruh teman-teman PAI kelas D Angkatan 2006. Dan sahabat lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya. 8. Staff Perpustakaan, yang memberikan kemudahan pelayanan dalam mencari referensi yang diperlukan 9. Rekan-Rekan seperjuangan tercinta yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan tidak bosan-bosannya memberikan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan 10. Pihak-pihak lain yang berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung, membantu kelancaran dalam penulisan skripsi ini.
Hanya rasa syukur yang dapat penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah-Nya dalam penyusunan skripsi ini, sekali lagi penulis berterima kasih kepada pihak yang telah bekerja keras membantu penulis, semoga usaha tersebut dicatat sebagai bentuk amal kebaikan, dan mendapatkan pahala yang setimpal dari-Nya. Amiin.
Salatiga,
Agustus 2010
Penulis
ABSTRAK Barokah, Siti. 2010. Pola Pembinaan Moral Santri (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Falah Dukuh Sidomukti Salatiga). Skripsi. Jurusan Tarbiyah.Program Studi Pendidikan agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs.Bahroni, M.Pd Kata Kunci: Pembinaan Moral Santri Pembinaan moral sebagai salah satu pembinaan yang mempersiapkan seseorang agar dapat berpikir, merasakan, dan bertindak sesuai dengan kaidah kesusilaan atau kebiasaan serta nilai-nilai yang berlaku pada suatu pondok pesantren. Pola pembinaan moral dipondok pesantren mempunyai keunikan tersendiri dimana para santri beserta kyai dan ustadz saling berinteraksi dalam kompleks tertentu yang mandiri dan sederhana, adanya semangat kebersamaan dalam suasana penuh persaudaraan. Penelitian ini merupakan upaya untuk membina moral santri di PP AlFalah agar menjadi lebih baik.Tujuan dari penelitian ini yaitu: (1) Untuk mengetahui problematika pembinaan moral santri di pondok pesantren Al-Falah, (2) Untuk mengetahui solusi yang ditempuh untuk memperbaiki moral santri dipondok pesantren Al-Falah. Penelitian ini dilakukan dipondok pesantren Al-Falah, dukuh, sidomukti, Salatiga, bulan juli 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Wawancara yang dilakukan yaitu dengan kyai, ustadz, pengurus, santri dan juga masyarakat sekitar pondok pesantren. Jenis penelitiannya adalah penelitian deskriptif, dan analisis hasil penelitian yang dipakai adalah pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) Problematika pembinaan moral santri dipondok pesantren Al-Falah adalah santri pada mengandalkan egonya, merasa punya hak, tidak mau mengikuti aturan pondok, susah dibina dan diarahkan, dan maunya ingin bebas, (2) Solusi yang ditempuh untuk memperbaiki moral santri dipondok pesantren Al-Falah adalah melalui pendekatan dengan santri, memberikan motivasi, membantu ketika santri mengalami kesulitan dan masalah. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan pondok pesantren melaksanakan upaya untuk mengatasi problematika dalam pelaksanaan pembinaan moral santri dipondok pesantren Al-Falah dengan secepatnya dan sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan pembinaan moral yaitu menjadikan santri menjadi sosok pribadi yang terbina secara moral dan berakhlak mulia, pengajar dan pengasuh dipondok pesantren Al-Falah diharapkan dapat menjadi figure dan contoh teladan bagi santri melalui sikap sehari-hari, sehingga santri dapat mencontoh figur pengajar dan pengasuhnya, santri harus selalu belajar dan mengamalkan ajaran agama dalam berbagai bidang kehidupan, karena dengan mengamalkan ajaran agama dengan benar akan berdampak kepada kehidupan sosial kelak.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .........................................
v
KATA PENGANTAR ..............................................................................
vii
ABSTRAK ...............................................................................................
x
DAFTAR ISI ............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .....................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................
1
B. Fokus Penelitian ..............................................................
4
C. Tujuan Penelitian ............................................................
4
D. Kegunaan Penelitian .......................................................
5
E. Penegasan Istilah .............................................................
6
F. Metode Penelitian ............................................................
7
G. Sistematika Penulisan Skripsi ..........................................
13
KAJIAN PUSTAKA A. Pembinaan Moral Santri ....................................................
15
1. Pengertian Pembinaan ...........................................
15
2. Pengertian Moral ...................................................
15
3. Pembinaan Moral ..................................................
21
4. Pengertian Santri ..................................................
26
B. Gambaran Umum Tentang Pondok Pesantren ...................
26
1. Sekilas tentang Pesantren ..............................
26
2. Ciri-ciri Umum Pesantren .............................
27
3. Unsur-unsur Pesantren ..................................
31
4. Kondisi Umum Pesantren ............................
32
5. Kekuatan dan Kelemahan Pesantren .............
33
6. Peran Pesantren ............................................
35
7. Fungsi Pesantren ...........................................
41
8. Asal-usul Tradisi Keilmuan di Pesantren ......
42
9. Kurikulum Pesantren ....................................
43
C. Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Moral..........
43
D. Teori Perkembangan Moral .............................................
44
E.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral .............................................................................
BAB III
45
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Potret Pondok Pesantren Al-Falah ...................................
47
1. Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Al-Falah .....
47
2. Letak Geografis ....................................................
48
3. Dasar dan Tujuan .................................................
48
4. Keadaan Ustadz dan Ustadzah .............................
50
5. Keadaan Santri .....................................................
52
6. Struktur Organisasi kepengurusan ........................
53
7. Sistem Pendidikan ...............................................
56
8. Kelembagaan .......................................................
59
9. Materi dan Kurikulum ..........................................
59
10. Sarana dan Prasarana ............................................
.62
B. Problematika dan Solusi yang di Hadapi di Pondok Pesantren Al-Falah ...........................................................
64
C. Pola Pembinaan yang dilakukan di Pondok Pesantren AlFalah ................................................................................ BAB IV
68
PEMBAHASAN DAN ANALISIS A. Keadaan Pondok Pesantren Al-Falah................................
71
B. Problematika Pembinaan Moral Santri .............................
72
C. Solusi yang ditempuh untuk Memperbaiki Moral Santri…. .......................................................................... BAB V
73
PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................
78
B. Saran-saran .....................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
TABEL I ....................................................................................................
50
TABEL II ..................................................................................................
52
TABEL III .................................................................................................
54
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Sejak zaman penjajahan, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Eksistensi lembaga tersebut telah lama mendapat pengakuan masyarakat dan ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moral namun telah pula ikut serta memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Lembaga keagamaan tersebut dapat berbentuk jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah. Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik pada pesantren disebut santri yang umumnya menetap di pesantren. Tempat di mana para santri menetap di lingkungan pesantren disebut dengan istilah pondok. Dari sinilah muncul istilah pondok pesantren. Ditinjau dari segi historisnya, pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Pondok pesantren sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya. 1
Sebagai lembaga pendidikan yang sudah lama berkembang di Indonesia,
pondok
pesantren
selain
telah
berhasil
membina
dan
mengembangkan kehidupan beragama di Indonesia, juga ikut berperan dalam menanamkan rasa kebangsaan ke dalam jiwa rakyat Indonesia, serta ikut berperan aktif dalam upaya mencerdaskan bangsa (Departemen Agama RI, 2003:1). Dalam hal ini, pesantren merupakan pendidikan nonformal yang berupaya mewujudkan potensi santri dengan nilai-nilai moral (akhlaqul karimah). Nilai-nilai moral yang ada di dalam pondok pesantren harus ditanamkan pada diri para santri untuk bekal para santri kelak di masa datang serta berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai moral santri harus dijaga demi nama baik pondok pesantren. Apabila akhlak dan moral santri itu telah rusak, nama pondok pesantren akan ikut tercoreng. Jadi, moral santri harus benar-benar dijaga demi nama baik santri itu sendiri dan pondok pesantren. Dalam
pesantren,
pembinaan-pembinaan
moral
juga
harus
dilaksanakan demi tercapainya tujuan dan kemajuan pesantren. Sebuah lembaga yang bernama pondok pesantren adalah suatu komunitas tersendiri, di dalamnya hidup bersama-sama sejumlah orang yang dengan komitmen hati dan keikhlasan atau kerelaan mengikat diri dengan kyai, untuk hidup bersama dengan standar moral tertentu, membentuk kultur atau budaya tersendiri. Sejak awal pertumbuhannya, tujuan utama pondok pesantren adalah:
1. Menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fi al-din, yang diharapkan dapat mencetak kaderkader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia, kemudian diikuti dengan tugas. 2. Dakwah menyebarkan agama Islam. 3. Benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak (Departemen Agama RI, 2003:9). Dengan sistem yang dinamakan pesantren, proses internalisasi ajaran Islam kepada santri bisa berjalan secara penuh. Dalam pesantren, dengan pimpinan dan keteladanan para kyai dan ustadz serta pengelolaan yang khas akan tercipta satu komunitas tersendiri, yang di dalamnya terdapat semua aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya, dan organisasi. Kurikulum yang dipergunakan pondok pesantren dalam melaksanakan pendidikannya tidak sama dengan kurikulum yang dipergunakan dalam lembaga pendidikan formal, bahkan tidak sama antara satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya. Pada umumnya, kurikulum pondok pesantren yang menjadi arah pembelajaran tertentu diwujudkan dalam bentuk penetapan kitab-kitab tertentu sesuai dengan tingkatan ilmu pengetahuan santri (Departemen Agama RI, 2003:10). Dengan adanya kurikulum yang berbeda dengan pendidikan formal, pondok pesantren diharapkan dapat lebih meningkatkan mutu dan kualitas santri, terutama dalam bidang moral dan akhlak. Begitu juga nilai-nilai agama dan ilmu keagamaan yang diterima santri dari pondok pesantren. Akan tetapi
tidak
kalah
banyaknya
santri
yang
mengalami
permasalahan
atau
penyimpangan moral. Permasalahan tersebut bisa juga disebabkan oleh beberapa faktor. Bisa dari faktor teman, keluarga, keterpaksaan masuk di pondok pesantren, tidak kuat dengan peraturan, tata tertib atau lain sebagainya. Meskipun pondok pesantren itu suatu lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan, akan tetapi ada pula penyimpangan moral yang terjadi di pondok pesantren. Maka dari itu, penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut yang penulis beri judul Pola Pembinaan Moral Santri di Pondok Pesantren Al-Falah Jl. Bima No.02 Dukuh, Sidomukti, Salatiga.
Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah: 1. Bagaimana keadaan Pondok Pesantren Al-Falah Kota Salatiga tahun 2010? 2. Bagaimana problematika pembinaan moral santri di Pondok Pesantren AlFalah Kota Salatiga tahun 2010? 3. Bagaimana solusi yang ditempuh untuk memperbaiki
moral santri di
Pondok Pesantren Al-Falah Kota Salatiga tahun 2010?
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan keadaan di Pondok Pesantren Al-Falah Salatiga. 2. Untuk mendeskripsikan problematika pembinaan moral santri di Pondok Pesantren Al-Falah Salatiga. 3. Untuk mendeskripsikan solusi yang di tempuh untuk memperbaiki moral santri Pondok Pesantren Al-Falah Salatiga.
Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang moralitas. 2. Secara Praktis a. Bagi Santri Agar santri lebih tawadhu’ terhadap kyai, orang tua, dan bisa menghormati yang lebih tua dan menghargai yang lebih muda.Serta santri bisa lebih mudah untuk dibuna dan diarahkan. b. Bagi Pondok Pesantren Agar
bisa menerapkan tata tertib yang lebih ketat dan
membina santri dengan kajian kitab-kitab akhlak c. Bagi Masyarakat Apabila santri memiliki akhlak yang baik maka masyarakat bisa langsung meniru perilaku baik tersebut. Serta masyarakat bisa merasakan ketentraman dengan adanya moral santri yang lebih baik.
Penegasan Istilah Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah di dalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan sebagai berikut: 1. Pola Pembinaan Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Pola mempunyai arti bentuk (struktur) yang tetap (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:885). Sedangkan Pembinaan berasal dari kata dasar “Bina” dan mendapatkan imbuhan pem-an yang mempunyai arti usaha, tindakan, dan kegiatan yang di lakukan secara efisien, dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:152). Jadi, pola pembinaan adalah bentuk struktur yang tetap dalam suatu tindakan dalam kegiatan membina yang di lakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. 2. Moral Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang di terima umum mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti;susila (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:754). 3. Santri Kata santri mempunyai dua arti. Pertama santri sebagai murid atau orang yang belajar di pondok pesantren. Kedua, santri sebagai sebutan bagi kelompok yang memeluk agama Islam dan tergolong taat dalam memenuhi dan menjalankan ajaran Islam (Mulkhan, 2003:300).
Jadi, santri adalah seseorang yang belajar di pondok pesantren yang memeluk agama islam dan taat dalam memenuhi dan menjalankan ajaran islam.
Metode Penelitian Dalam suatu penelitian, metode mutlak diperlukan karena merupakan cara yang teratur untuk mencapai suatu tujuan yang dimaksud. Metode ini diperlukan guna mencapai tujuan yang sempurna dan memperoleh hasil secara optimal. 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 1989:4). 2. Kehadiran Peneliti Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penelitian maka peneliti hadir secara langsung di lokasi penelitian sampai memperoleh data-data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif seorang peneliti menjadi pelajar yakni belajar dari orang yang dipelajarinya yang menjadi sumber data.
3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di lembaga pendidikan, yaitu Pondok Pesantren Al-Falah, Jl. Bima No. 02 Dukuh, Sidomukti, Salatiga. Alasan penulis memilih lokasi ini karena letak pondok pesantren yang strategis, mudah dijangkau, serta transportasinya yang mudah. Di samping kegiatannya yang teratur, Pondok Pesantren Al-Falah juga memiliki struktur organisasi yang terprogram dan berjalan dengan lancar. 4. Sumber Data Data yang dikumpulkan meliputi berbagai macam data yang berhubungan dengan pelaksanaan pembinaan moral santri di Pondok Pesantren Al-Falah. Secara umum, data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diambil secara langsung dari sumber data pertama yaitu: a. Data tentang pembinaan moral santri b. Data tentang kegiatan di pondok pesantren c. Data ustadz/ustadzah. Adapun data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lembaga pendidikan yang meliputi: a. Sejarah berdirinya pondok pesantren b. Dasar dan tujuan pendidikan c. Kurikulum pendidikan.
5. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data yang dibutuhkan, penulis melakukan: a. Observasi Observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematika fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 1995:136).
Metode
ini
penulis
gunakan
untuk
mengadakan
pengamatan terhadap obyek penelitian. Penulis mengadakan observasi ke Pondok Pesantren Al-Falah Salatiga, selanjutnya penulis mencatat hasil observasi dengan sistematik. Metode ini juga penulis gunakan untuk pengumpulan data mengenai kurikulum pendidikan pondok, yang berkaitan dengan penelitian. b. Wawancara/ Interview Interview adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanyajawab sefihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan. Pada umumnya dua orang atau lebih hadir secara fisik dalam proses tanya jawab itu, dan masing-masing pihak dapat menggunakan saluran-saluran komunikasi secara wajar dan lancar (Hadi, 1995:193). Metode interview digunakan dalam rangka untuk mengetahui keadaan pondok pesantren, mulai dari latar belakang berdirinya, tujuan-tujuannya serta kurikulum yang berlaku di sana.
Sedangkan yang menjadi obyek interview ini adalah kyai (pimpinan pondok), para ustadz/ustadzah, pengurus pondok pesantren., santri, dan juga masyarakat sekitar. c. Dokumentasi Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998:236). Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data yang sudah tertulis dan terwujud dokumentasi. 6. Analisis Data Analisis
data
adalah
proses
mengatur
urutan
data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Hasan, 2004:29). Adapun analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif seperti yang digunakan oleh Miles dan Huberman, yang meliputi empat komponen kegiatan. a. Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dari lapangan yang dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambilan data atau alat pengukur. Jika alat pengumpulan data cukup reliabel dan valid, maka datanya cukup reliable dan valid (Suryabrata, 1995:60).
b. Reduksi Data Reduksi
data
merupakan
suatu
bentuk
analisis
yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga diperoleh kesimpulan akhir dan verifikasi (Ekosusilo, 2003 : 16). c. Penyajian Data Penyajian ini dibatasi sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan penarikan tindakan (Ekosusilo, 2003 : 16). d. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi Kegiatan analisis selanjutnya adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi. Analisis yang dilakukan selama pengumpulan data dan sesudah pengumpulan data digunakan untuk menarik kesimpulan, sehingga dapat menemukan pola tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi (Ekosusilo, 2003 : 16). 7. Pengecekan Keabsahan Data Sebagai Instrumen penelitian di dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, sehingga dapat dimungkinkan terjadinya penelitian yang tidak obyektif, untuk menghindari hal nitu maka data yang diperoleh perlu diuji kredibilitas / keabsahan datanya. Dalam penelitian ini, pengujian terhadap kredibilitas dilakukan dengan triangulasi.
Triangulasi dibedakan menjadi dua yaitu: a. Triangulasi Sumber Data Triangulasi
sumber
data
dilakukan
dengan
cara
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari informan yang satu dengan informan yang lain. b. Triangulasi Metode Triangulasi metode dilakukan dengan cara memanfaatkan metode yang berada untuk mengecek kembali derajat kepercayaan atau suatu informasi yang diperoleh (Ekosusilo, 2003 : 16). 8. Tahap-Tahap Penelitian a. Penelitian pendahuluan Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan pembinaan moral, santri, dan juga buku lain yang berhubungan dengan pondok pesantren. b. Pengembangan desain Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang moral santri, kemudian penulis melakukan observasi ke obyek penelitian untuk melihat secara langsung pola Pesantren Al-Falah. c. Penelitian sebenarnya
pembinaan moral santri di Pondok
Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi tentang, Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian,Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian, yang meliputi:(a)Pendekatan dan jenis penelitian (b)Kehadiran
peneliti
(c)Lokasi
penelitian
(d)Sumber
data
(e)Prosedur pengumpulan data (f)Analisis data (g)Pengecekan keabsahan data (h)Tahap-tahap penelitian, dan Sistematika Penulisan Skripsi. BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini berisi tentang pengertian
pembinaan moral
santri, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan moral, teori perkembangan
moral,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perkembangan moral. BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN Pada bagian ini berisi tentang:(a)Sejarah berdirinya pondok pesantren Al-Falah, letak geografis, dasar dan tujuan, keadaan ustadz, keadaan santri, struktur organisasi kepengurusan, sistem pendidikan, kelembagaan, materi dan kurikulum, sarana dan prasarana.(b)data
hasil
wawancara,
meliputi:
data
tentang
problematika dan solusi yang di hadapi di Pondok Pesantren AlFalah, data tentang pola pembinaan yang ada di pondok pesantren Al-Falah.
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Pada bagian ini berisi tentang, keadaan pondok pesantren AlFalah, Problematika Pembinaan Moral Santri, dan Solusi yang di tempuh untuk Memperbaiki Moral santri. BAB V PENUTUP Terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pembinaan Moral Santri 4. Pengertian Pembinaan Kata pembinaan berasal dari kata 'bina' diberi awalan 'pe' dan akhiran 'an', yang berarti membangun atau mengupayakan supaya lebih baik. Pembinaan juga bisa diartikan proses, cara, perbuatan membina, pembaharuan, penyempurnaan, usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:152). 5.
Pengertian Moral Menurut KBBI moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila.(Departemen Pendidikan Nasional, 2007:754). Sedangkan menurut Soenarjati dan Cholisin kata moral berasal dari bahasa Latin mores, dari suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak. Dalam perkembangannya, moral diartikan sebagai kebiasaan bertingkah laku yang baik, yang susila. Dari dasar pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa moral adalah ajaran tentang kesusilaan. Seseorang individu yang langkah lakunya mentaati kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat disebut baik secara moral. Sebaliknya jika perilakunya tidak mencocoki kaidah-kaidah 15
yang berlaku dalam masyarakat, individu tersebut dikatakan jelek secara moral. Dengan demikian, dalam perilaku individu tersebut terkait dengan apa yang disebut nilai, yaitu nilai baik atau buruk (Soenarjati dan Cholisin, 1989:25). d. Macam-macam Moral Seperti telah diketahui, bahwa moral itu di lihat dari sumber dan sifatnya ada dua macam, yaitu: 1) Moral Keagamaan Wujud atau contoh-contoh moral keagamaan kiranya telah jelas
bagi semua orang.Sebab mengenai hal ini orang-orang
tinggal mempelajari ajaran-ajaran agama yang di kehendaki di bidang moral. 2) Moral Sekuler Menurut Tatapangarsa, (1980:9-10) moral sekuler
ialah
moral yang tak berdasarkan pada ajaran agama dan hanya bersifat duniawi semata.Tentu saja menurut pengertian ini, materi moral sekuler berupa semua moral yang tidak berdasarkan pada ajaran agama, atau yang tidak berdasarkan pada kepercayaan kepada tuhan dan kehidupan di akhirat. Beberapa contoh moral sekuler adalah: a) Pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita bukan muhrim, seperti besar.
yang
merajalela
melanda
masyarakat
kota-kota
b) Cara-cara berpakaian yang tidak menutupi/melindungi bagianbagian tubuh yang rahasia, karena yang di utamakan dalam berpakaian ialah segi kecantikan atau keindahan saja, dengan tanpa menghiraukan segi-segi yang penting lainnya seperti segi agama/ moral dan segi kesehatan. c) Sistem tunangan/pacaran seperti yang banyak dilakukan orang dalam masyarakat yang telah maju, di mana hubungan pria dan wanita yang bersangkutan demikian intim dan bebas, seolaholah keduanya sudah merupakan suami istri yang sah. d) Pemilihan-pemilihan ratu
kecantikan atau
kontes-kontes
kecantikan, yang pada hakekatnya hanyalah merendahkan martabat kaum wanita itu sendiri. Dalam kehidupan kita, moral yang harus kita ikuti ialah moral yang berasal dari rasulullah. Sebagai orang Islam, tentu saja kita wajib menganut moral keagamaan, bukan moral sekuler tetapi moral keagamaan yang harus kita anut di situ tentu saja moral agama Islam, bukan moral agama di luar Islam. Dengan kata lain kita harus menjadi orang Islam yang berakhlak mulia. e. Faktor-faktor yang Menyebabkan Merosotnya Moral Faktor-faktor penyebab kemerosotan moral dewasa
ini
sesunggunya banyak sekali, antara lain yang terpenting adalah: 1) Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat
Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguh-sungguh dan sehat tentang ajaran agama yang dianutnya, kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut merupakan benteng moral yang paling kokoh. Marilah kita ambil sebagai contoh ajaran Islam, dimana yang menjadi ukuran bagi mulia atau hinanya seseorang adalah hati dan perbuatannya, hati yang taqwa dan perbuatan yang baik. 2) Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi, sosial dan politik Faktor kedua yang ikut mempengaruhi moral masyarakat ialah kurang stabilnya keadaan, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Kegoncangan
atau
ketidakstabilan
suasana
yang
melingkupi seseorang menyebabkan gelisah dan cemas, akibat tidak dapatnya mencapai rasa aman dan ketentraman dalam hidup. 3) Pendidikan moral tidak terlaksana dengan semestinya, baik di rumah tangga, sekolah, maupun masyarakat Faktor ketiga yang juga penting adalah tidak terlaksananya pendidikan moral dengan baik, dalam rumah tangga dan masyarakat. Pembinaan moral seharusnya dilaksanakan sejak si anak kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya, karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap-sikap yang dianggap baik untuk penumbuhan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu.
Juga perlu diingat bahwa pengertian tentang moral belum dapat menjamin tindakan moral. Maka moral bukanlah suatu pelajaran atau ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan mempelajari, tanpa membiasakan hidup bermoral dari kecil dan moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian, tidak sebaliknya. Disinilah peranan ibu-bapak, guru dan lingkungan yang sangat penting. Jika si anak dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang tidak bermoral atau tidak mengerti cara mendidik, ditambah pula dengan lingkungan masyarakat yang goncang dan kurang mengindahkan moral, maka sudah barang tentu hasil yang akan terjadi tidak menggembirakan dari segi moral. 4) Suasana rumah tangga yang kurang baik Faktor yang terlihat pula dalam masyarakat sekarang ialah kerukunan hidup dalam rumah tangga kurang terjamin. Tidak tampak adanya saling pengertian, saling menerima, saling menghargaai, dan saling mencintai diantara suami istri. 5) Diperkenalkannya secara populer obat-obat dan alat-alat anti hamil Suatu hal yang oleh sementara pejabat tidak disadari bahanya terhadap moral anak-anak muda adalah diperkenalkannya secara obat-obatan dan alat-alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan.
Seperti kita ketahui bahwa usia muda adalah usia yang baru mengalami dorongan seksuil akibat pertumbuhan biologis yang dilaluinya. Mereka belum mempunyai pengalaman, dan jika mereka juga belum mendapat didikan gama yang mendalam, dengan mudah mereka dapat dibujuk oleh orang-orang yang tidak baik (laki-laki atau perempuan jahat) yang hanya melampiaskan hawa nafsunya. 6) Banyaknya
tulisan,
gambar,
siaran,
kesenian
yang
tidak
mengindahkan dasar-dasar dan tuntutan moral Suatu hal yang belakangan ini kurang menjadi perhatian kita ialah tulisan, bacaan, lukisan, siaran, kesenian dan permainan yang seolah-olah mendorong anak-anak muda untuk mengikuti arus mudanya. Segi-segi moral dan mental kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni itu sekedar ungkapan dari keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnyat idak dapat dipenuhi begitu saja, lalu digambarkan dengan sangat realistis, sehingga semua yang tersimpan dalam hati anak muda diungkap dan realisasinya terlihat dalam cerita, tulisan atau permainan tersebut. Inipun mendorong anak-anak muda ke jurang kemerosotan moral.
7) Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu terluang (leisure time) dengan cara yang baik, dan yang membawa kepada pembinaan moral Suatu faktor yang juga ikut memudahkan rusaknya moral anak-anak muda ialah kurangnya bimbingan dalam mengisi waktu terluang dengan cara yang baik dan sehat. Umur muda adalah umur suka berkhayal, melamunkan hal yang jauh. Kalau mereka dibiarkan tanpa bimbingan dalam mengisi waktunya, maka akan banyaklah lamunan dan kelakuan yang kurang sehat timbul dari mereka. 8) Tidak ada atau kurangnya markas-markas bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak dan pemuda Terakhir perlu dicatat bahwa kurangnya markas bimbingan dan penyuluhan yang akan menampung dan menyalurkan anakanak ke arah yang sehat. Dengan kurangnya atau tidak adanya tempat kembali bagi anak-anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu, maka pergilah mereka berkelompok dan menggabung kepada anak-anak yang juga gelisah. Dari sini akan keluarlah model kelakuan yang kurang menyenangkan. 6. Pembinaan Moral Dalam pembinaan moral ada dua segi yang perlu di perhatikan yaitu tindak moral (moral behavior) dan moral concept (pengertian tentang moral).
Dalam pertumbuhan dan pembinaan moral, sebenarnya yang di dahulukan adalah tindak moral, sejak kecil anak-anak telah di bina untuk mengarah kepada moral yang baik.Moral itu bertumbuh melalui pengalaman langsung dalam lingkungan di mana ia hidup, kemudian berkembang menjadi kebiasaan, yang baik di mengerti ataupun tidak, kelakuan adalah hasil dari pembinaan yang terjadi secara langsung dan tidak langsung atau formil dan non formil (Daradjat, 1971 : 119). Sesungguhnya, tujuan pokok dari setiap da'wah adalah untuk membina moral seseorang ke arah yang sesuai dengan ajaran agama. Artinya, setelah pembinaan itu terjadi, orang dengan sendirinya akan menjadikan agama sebagai pedoman dan pengendalian tingkah laku, sikap dan gerak-geriknya dalam hidup. Apabila ajaran agama telah masuk menjadi bagian dari mentalnya, yang telah terbina itu, maka dengan sendirinya ia akan menjauhi segala larangan Tuhan dan mengerjakan segala suruhan-Nya, bukan karena paksaan dari luar tetapi karena batinnya merasa lega dalam mematuhi segala perintah Allah itu, yang selanjutnya kita akan melihat bahwa nilai-nilai agama tampak tercermin dalam tinggah laku, perkataan, sikap dan moral pada umumnya. Pembinaan moral/mental agama, harus dilaksanakan terus menerus sejak seseorang itu lahir sampai matinya, terutama sampai usia pertumbuhannya sempurna (menurut pendapat kebanyakan ahli jiwa agama sampai umur 24 tahun).
Menurut perhitungan ahli jiwa, fase pertumbuhan yang dilalui oleh seseorang merupakan bagian dari pembinaan pribadinya. Pembinaan mental/moral harus diulang-ulang karena pengalaman-pengalaman yang sedang dilalui dapat mempengaruhi dan merusak moral yang telah terbina itu. Andaikata pembinaan moral/mental agama pada seseorang tidak terjadi pada umur pertumbuhan yang dilaluinya dan dia menjadi dewasa tanpa mengenal agama dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya, maka ia menjadi dewasa tanpa kecenderungan kepada nilai-nilai agama, bahkan akan sukar baginya untu merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Ia akan menjadi acuh tak acuh terhadap agama yang dianutnya, bahkan kadang-kadang menjadi ngatif dan menentangnya. Orang-orang yang seperti inilah yang seringkali memandang agama dari segi-segi negatif dan disangkanya menjadi penghalang kemajuan serta berat baginya pelaksanaannya. Supaya agama dapat menjadi pengendli moral seseorang, hendaknya agama itu masuk dalam pembinaan kepribadiannya dan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam integritas kepribadian itu. Apabila agama tidak masuk dalam pembinaan pribadinya, maka pengetahuan agama yang dicapainya kemudian akan merupakan ilmu pengetahuan (science) yang tidak ikut mengendalikan tingkah laku dan sikapnya dalam hidup. Maka akan kita dapatilah orang yang pandai berbicara tentang hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan agama, akan
tetapi ia tidak terdorong untuk mematuhinya. Karena pengertian tentang agama tidak otomatis mendorong orang untuk bertindak sesuai dengan pengertiannya itu. Hal seperti itu mungkin saja terjadi dan akan terlihat wajar apabila kita mengerti dinamika jiwa yan gmenjadi penggerak bagi setiap tindakan. Suatu tindakan atau sikap adalah hasil dari kerja sama segala fungsi-fungsi jiwa yang tercakup di dalamnya pengertian, perasaan dan kebiasaan. Jadi bukanlah pengertian saja. Demikian pula halnya dengan agama, ia akan menjadi pengendali moral apabila ia dimengerti, dirasakan dan dibiasakan. Maka pembinaan kebiasaan terhadap amaliah agama (melaksanakan suruhan Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya), merasakan kepentingannya dalam hidup dan kehidupan, kemudian mengerti tujuan dan hikmah masingmasing ajaran agama itu. Karena itu, maka pembinaan moral/mental agama bukanlah suatu proses yang dapat terjadi dengan cepat dan dipaksakan, tapi haruslah secara berangsur-angsur wajar, sehat dan sesuai dengan pertumbuhan, kemampuan dan keistimewaan umur yang sedang dilalui. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 256, Allah berfirman:
﴾: ﺍﻟﺑﻘﺭﺓ٢٥٦﴿
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah
a. Dasar dan Tujuan Pembinaan Moral Pembinaan moral merupakan suatu usaha untuk mencapai suatu cita-cita yang luhur, oleh karena itu memiliki dasar dan tujuan pembinaan tersendiri. Dalam pembinaan moral tentunya banyak sekali tuntutan yang menjadi dasar hukum seseorang agar selalu melaksanakan pembinaan moral dalam rangka ikutmembentuk dan mewujudkan manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur atauberakhlak mulia. Tujuan Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 yaitu : "Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."(UU No. 20 Tahun 2003). Dari dasar pembinaan moral tersebut maka terlihat betapa pentingnya pembinaan moral yang harus dilakukan, dalam rangka mencapai suatu tujuan yaitu membentuk manusia pembangunan yang memiliki budi pekerti yang tinggi, serta kepribadian yang luhur yang kelak mampu menjadi generasi penerus bangsa selaku aset-aset pembangunan yang berkualitas.
Secara ringkas, dapat kita katakan bahwa proses pembinaan moral/mental agama itu terjadi melalui dua kemungkinan, yaitu: 1). Melalui proses pendidikan Pembinaan moral agama yang melalui proses pendidikan itu harus terjadi sesuai dengan syarat-syarat psikologis dan pedagogis dalam ketiga lembaga pendidikan yaitu rumah tangga, sekolah dan masyarakat.
Hal ini berarti bahwa pembinaan moral/mental agama harus dimulai sejak si anak lahir, oleh ibu/bapaknya. Karena setiap pengalaman yang dilalui oleh si anak baik melalui pendengaran, penglihatan, perlakuan, pembinaan dan sebagainya, akan menjadi bagian dari pribadinya yang akan bertumbuh nanti. Apabila orangtuanya mengerti dan menjalankan agama dalam hidup mereka, yang berarti bermoral agama, maka pengalaman anak yang akan menjadi bagian dari pribadinya itu mempunyai unsur-unsur keagamaan pula. 2.) Melalui proses pembinaan kembali Yang dimaksud dengan proses pembinaan kembali ialah memperbaiki moral yang telah rusak, atau membina moral kembali dengan cara yang berbeda daripada yang pernah dilaluinya dulu. Biasanya cara ini ditujukan kepada orang dewasa yang telah melewati umur 21 tahun.
Yaitu bagi mereka yang telah melewati umur 21 tahun yang belum terbina agama padanya baik karena kurang serasinya pembinaan moral agama yang dilaluinya dulu, maupun karena belum pernah sama sekali mengalami pembinaan moral secara disengaja dalam segala bidang dan lembaga pendidikan yang dilaluinya. .
b. Bentuk-bentuk Pembinaan Moral Kaidah-kaidah moral tidak hanya perlu untuk dipelajari dan dimengerti,
namun harus benar-benar dijadikan pedoman oleh seseorang dalam perilaku sehari-hari. Disamping Agama, moral juga sangat penting sebagai pengendali dan pembimbing perilaku seseorang. Dengan kata lain antara Agama dan moral tidak bisa untuk dipisahkan. Senada dengan hal tersebut di atas, Zakiah Darajat mengemukakan pendapatnya : “Kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan berAgama. Karena nilai-nilai yang tegas pasti dan tetap tidak berubah karena keadaan, tempat dan waktu adalah nilai yang bersumber pada Agama. Karena itu dalam pembinaan generasi muda perlulah kehidupan moral dan Agama itu sejalan dan mendapat perhatian yang serius.”(Darajat, 1976:156). Oleh karena itu disamping pembinaan Agama, ternyata pembinaan moral juga tak kalah pentingnya, terutama dalam rangka membangun generasi muda. Menurut Sanapiah Faisal (1981:48) menyatakan bahwa, pembinaan tersebut dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, informal, maupun non formal. Dalam berbagai lingkungan pendidikan tersebut, pembinaan senantiasa dapat dilaksanakan kepada seseorang akan tetapi tentunya menggunakan cara-cara yang berbeda untuk setiap lingkungan pendidikan baik formal, informal maupun non formal. f. Pola-Pola Pembinaan Moral Agar pembinaan moral dapat berjalan dengan baik, maka harus digunakan pola pendidikan tertentu, karena pola atau model pendidikan moral dimaksudkan adalah pemikiran tentang proses, perhatian, pertimbangan, serta tindakan dalam latar pendidikan. Suatu model mencakup teori, atau cara pandang tentang bagaimana seseorang berkembang secara moral dan serangkaian strategi, atau prinsip, untuk membantu perkembangan moral. Dengan demikian suatu model
dapat membantu dalam memahami dan melaksanakan pendidikan moral. Menurut Cheppy Haricahyono (1988:28), paling tidak ada enam buah model dalam pendidikan moral, yaitu: 1. Pengembangan rasional Model pengembangan rasional ini mengarah perhatian utamanya pada bidang pertimbangan, dan model ini telah memperkuat kemampuan intelektual dalam beberapa kurikulum inti, terutama dalam upaya menganalisis masalah-masalah umum. 2. Konsiderasi nilai Dalam kurikulum yang menganut model ini fokus utamanya terletak pada bagaimana memahami kebutuhan orang lain ketimbang upaya mengimbangkan kebutuhan-kebutuhan tersebut manakala berkonflik dengan orang lain. Jadi dalam model ini lebih ditekankan aspek perhatian, dan tidak ada pertimbangan. 3. Klarifikasi nilai Klarifikasi nilai melihat pendidikan moral lebih sehingga upaya meningkatkan kesiapan diri dan perhatian diri dari pada memecahkan masalah-masalah moral. Jadi dengan pendekatan ini akan membantu subjek didik menemukan dan menguji nilai-nilai mereka sehingga mampu menemukan diri mereka sendiri secara lebih berarti dan pasti. Faktor kunci dari model ini adalah pertimbangan kendatipun pertimbangan ini lebih menyangkut apa yang oleh seseorang disukai atau tidak disukai, dan tidak begitu mengedepankan apa yang dipercayai seseorang sehingga benar atau salah.
4. Analisis nilai Model analisis ini lebih menaruh perhatiannya pada dimensi pertimbangan, jadi membantu subjek didik mempelajari proses pembuatan keputusan secara sistematik langkah demi langkah. 5. Perkembangan moral kognitif Model ini lebih di dominasi oleh perhatiannya terhadap dimensi pertimbangan. Tujuan umum dari pendekatan ini adalah membantu subjek didik berfikir melalui kontroversi moral melalui dalam meningkatkan kemampuan individu dan pertimbangan moral, dari titik pandang perkembangan kognitif. tidak sekedar mengajarkan proses penyalahan informasi tertentu ataupun keterampilan dan membuat keputusan, sebagaimana dalam anailisis nilai. 6. Model aksi sosial Berbeda dengan pendekatan-pendekatan lain model ini mengedepankan tantangan pendidikan untuk tindakan moral, tujuan tindakan sosial adalah meningkatkan subjektifitas didik dalam menemukan, meneliti, dan menemukan masalah-masalah sosial. Pendekatan ini lebih menaruh perhatian terhadap perkembangan penalaran moral subjek didik.
7. Pengertian Santri Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), kata santri mempunyai dua pengertian yaitu: 4. Orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh, orang saleh. Pengertian ini sering digunakan oleh para ahli untuk membedakan
golongan yang tidak taat beragama yang sering disebut sebagai abangan. 5. Orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya (Galba, 1991:1).
Gambaran Umum tentang Pondok Pesantren 4. Sekilas tentang Pesantren Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous), sebab lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa Hindu-Buddha. Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia (Madjid, 1997:3). 5. Ciri-ciri Umum Pesantren Secara umum, keberadaan pesantren menurut Dhofier (1982:4445), didukung oleh lima elemen dasar yang satu dengan lainnya saling berkaitan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Elemen itu adalah pondok, masjid, santri, kiai, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kelima elemen ini akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Pondok Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan kompleks pesantren di mana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Kompleks pesantren ini biasanya dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.
b. Masjid Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sholat lima waktu, khotbah dan sholat Jum'at, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. c. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, terutama karangan ulama-ulama yang menganut faham Syafi'iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran ini ialah untuk mendidik calon-
calon ulama. Para santri yang tinggal di pesantren untuk jangka waktu pendek (misalnya kurang dari satu tahun) dan tidak bercita-cita menjadi ulama, mempunyai tujuan untuk mencari pengalaman dalam hal pendalaman perasaan keagamaan. d. Santri Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan orangorang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Oleh karena itu, santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri, yaitu:
1) Santri mukim Yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paaling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. 2) Santri kalong
Yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajaran di pesantren, mereka bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Semakin besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah santri mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong daripada santri mukim. Seorang santri pergi dan menetap di suatu pesantren karena berbagai alasan, diantaranya: 1) Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren tersebut 2) Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang terkenal 3) Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya. Di samping itu, dengan tinggal di sebuah pesantren yang sangat jauh letaknya dari rumahnya sendiri, ia tidak mudah pulang balik meskipun kadangkadang menginginkannya. Dimasa lalu, pergi dan menetap ke sebuah pesantren yang jauh dan masyhur merupakan suatu keistimewaan bagi seorang santri yang
penuh cita-cita. Ia harus memiliki keberanian yang cukup, penuh ambisi, dapat menekan perasaan rindu kepada keluarga maupun teman-teman sekampungnya, sebab setelah selesai pelajarannya di pesantren ia diharapkan menjadi seorang alim yang dapat mengajar kitab-kitab dan memimpin masyarakat dalam kegiatan keagamaan. Ia juga diharapkan dapat
memberikan nasehat-nasehat
mengenai
persoalan-persoalan kehidupan individual dan masyarakat yang bersangkut-paut erat dengan agama. e. Kyai Kyai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya.
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu: a. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, misalnya Kyai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Keraton Yogyakarta b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya c. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai, ia
juga sering disebut seorang alim atau orang yang dalam pengetahuan Islamnya. 6. Unsur-unsur Pesantren Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus pesantren hidup bersama dalam satu lingkungan pendidikan, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Komunitas pesantren merupakan suatu keluarga besar di bawah asuhan seorang kiai atau ulama dibantu oleh beberapa kiai dan ustadz. Dengan demikian, unsur-unsur pesantren adalah: a. Pelaku, terdiri dari kiai, ustadz, santri dan pengurus b. Sarana perangkat keras: misalnya masjid, rumah kiai, rumah ustadz, pondok, gedung sekolah, gedung-gedung lain untuk pendidikan seperti perpustakaan, aula, kantor pengurus pesantren, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi, gedung-gedung keterampilan, dan lain-lain c. Sarana perangkat lunak: kurikulum, buku-buku dan sumber belajar lainnya, cara belajar-mengajar (bandongan, sorogan, halaqoh, dan menghafal), evaluasi belajar mengajar. Unsur terpenting dari semua itu adalah kiai. Kiai adalah tokoh utama yang menentukan corak kehidupan pesantren. Semua warga pesantren patuh kepada kiai. 7. Kondisi Umum Pesantren
Sistem pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran dasar Islam. Ajaran Islam ini menyatu dengan struktur kontekstual atau realitas sosial yang digumuli dalam hidup keseharian. Hal inilah yang mendasari konsep pembangunan dan peran kelembagaan pesantren. Pesantren memenuhi kriteria
yang disebut
dalam konsep
pembangunan, yaitu pembangunan kemandirian, mentalitas, kelestarian, kelembagaan, dan etika. Pesantren seperti sebuah “ruang bebas pendidikan” yang mempunyai karakter nilai, yaitu nilai keagamaan, sedangkan batasan norma yang dimiliki yaitu norma masyarakat, serta berciri mandiri yaitu tanpa uluran tangan lembaga luar. Sepertinya hampir semua sisi pembentukan kepribadian manusia dapat dihubungkan dalam metode pendidikan di pesantren. Di sinilah letak pesona pesantren yang membuat daya pikat masyarakat, terutama pengunjung yang haus dengan ilmu (Rofiq, dkk, 2005:3-6). 8. Kekuatan dan Kelemahan Pesantren a. Kekuatan pesantren Kekuatan pesantren ini dapat dilihat, misalnya, dari sistem pendidikannya. Sistem pendidikan di pesantren ini melestarikan ciriciri khas dalam interaksi sosial, yaitu: 1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kyai serta taathormatnya para santri kepada kyai yang merupakan figur kharismatik panutan kebaikan 2) Semangat menolong diri sendiri dan mencintai diri sendiri dengan
berwiraswasta 3) Jiwa dan sikap tolong menolong, kesetiakawanan, suasana kebersamaan dan persaudaraan 4) Disiplin waktu dalam melaksanakan pendidikan dan beribadah 5) Hidup hemat dan sederhana 6) Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan, seperti tirakat, shalat tahajud di waktu malam, i'tikaf di masjid untuk merenungkan kebesaran dan kesucian Allah SWT 7) Merintis sikap jujur dalam setiap ucapan dan perbuatan. b. Kelemahan pesantren Setiap pesantren mempunyai ragam masalah yang bervariasi, dari masalah sumber daya manusia sampai sumber dana. Untuk mendeteksi masalah yang ada perlu upaya identifikasi masalah untuk mencari solusi penyelesaian yang paling tepat. Menurut Engking Soewarman Hasan, permasalahan umum yang terdapat di pesantren adalah: 1) Sumber daya manusia Keberadaan pesantren yang umumnya di pedesaan acapkali menjadikan persoalan sumber daya manusia sebagai masalah yang umum dialami pesantren. 2) Sarana dan prasarana pendidikan Sarana dan prasarana pembangunan amat tergantung pada perputaran modal dan lokasi usaha. Karena perkotaan dianggap
menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan cukup prospektif dalam peluang usaha, maka modal banyak diinvestasikan di sana. 3) Akses komunikasi ke lembaga luar Akses komunikasi termasuk kategori sarana dan prasarana pembangunan. Pengembangan telekomunikasi, internet, televisi, parabola, handphone di pedesaan tak selengkap perkotaan sehingga jaringan komunikasi pesantren yang tak memiliki alat komunikasi memadai sulit menjangkau informasi. 4) Tradisi pesantren Hampir di seluruh pesanten, budaya paternalistik masih melekat, kepatuhan terhadap ketokohan kyai. 5) Sumber dana Sumber dana pesantren selama ini berasal dari partisipasi masyarakat (swadaya) dan kadang sedikit ada pemberian dari pemerintah,
itupun
kalau
pengelola
pesantren
mempunyai
hubungan baik dengan pemerintah (Rofiq, dkk, 2005:19-25). 9. Peran Pesantren Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah pondok pesantren. Biasanya, peran-peran itu tidak langsung terbentuk, melainkan melewati tahap demi tahap. Setelah sukses
sebagai lembaga pendidikan pesantren bisa pula menjadi lembaga keilmuan, kepelatihan, dan pemberdayaan masyarakat. Keberhasilannya membangun integrasi dengan masyarakat barulah memberinya mandat sebagai lembaga bimbingan keagamaan dan simpul budaya. 3. Lembaga pendidikan Pengembangan apapun yang dilakukan dan dijalani oleh pesantren tidak mengubah ciri pokoknya sebagai lembaga pendidikan dalam arti luas. Ciri inilah yang menjadikannya tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Disebut dalam arti luas karena tidak semua pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah, dan kursus seperti yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luarnya. Keteraturan pendidikan di dalamnya terbentuk karena pengajian yang bahannya diatur sesuai urutan penjenjangan kitab. Penjenjangan itu diterapkan secara turun temurun membentuk tradisi kurikuler yang terlihat dari segi standar-standar isi, kualifikasi pengajar, dan santri lulusannya. 4. Lembaga keilmuan Pola itu membuka peluang bagi pesantren untuk menghadirkan diri juga sebagai lembaga keilmuan. Modusnya adalah kitab-kitab produk para guru pesantren kemudian dipakai juga di pesantren lainnya. Luas sempitnya pengakuan atas kitab-kitab itu bisa dilihat dari banyaknya pesantren yang ikut mempergunakannya. 5. Lembaga pelatihan Pelatihan awal yang dijalani para santri adalah mengelola kebutuhan diri santri sendiri, sejak makan, minum, mandi, pengelolaan
barang-barang pribadi, sampai ke urusan merancang jadwal belajar dan mengatur hal-hal yang berpengaruh kepada pembelajarannya, seperti jadwal kunjungan orangtua atau pulang menjenguk keluarga. Pada tahap ini kebutuhan pembelajarannya masih dibimbing oleh santri yang lebih senior sampai si santri mampu mengurusnya sendiri, sejak menyusun jadwal, pengadaan buku pelajaran, pembuatan catatan belajar pribadi, sampai merancang kegiatan belajar tambahan di pesantren lain pada waktu-waktu tertentu. Jika tahapan ini dapat dikuasai dengan baik, maka santri akan menjalani pelatihan berikutnya untuk dapat menjadi anggota komunitas yang aktif dalam rombongan belajarnya. 6. Lembaga pemberdayaan masyarakat Jarang pesantren dapat berkembang dalam waktu yang singkat dan langsung berskala besar, karena setiap tahapan dipahami sebagai membutuhkan penjiwaan.
Kebesaran pesantren akan terwujud
bersamaan dengan meningkatnya kapasitas pengelola pesantren dan jangkauan programnya di masyarakat. Karakteristik inilah yang dapat dipakai
untuk
memahami
watak
pesantren
sebagai
lembaga
pemberdayaan masyarakat. 7. Lembaga bimbingan keagamaan Tidak jarang pula pesantren ditempatkan sebagai bagian dari lembaga bimbingan keagamaan oleh masyarakat pendukungnya. Setidaknya, pesantren menjadi tempat bertanya masyarakat dalam hal
keagamaan. Mandat pesantren dalam hal ini tampak sama kuatnya dengan mandat pesantren sebagai lembaga pendidikan. 8. Simpul budaya Pesantren dan simpul budaya itu sudah seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Bidang garapannya yang berada di tataran pandangan hidup dan penguatan nilai-nilai luhur menempatkannya ke dalam peran itu, baik yang berada di daerah pengaruh kerajaan Islam maupun di luarnya. Pesantren berwatak tidak larut atau menentang budaya di sekitarnya. Yang jelas, pesantren selalu kritis sekaligus membangun relasi harmonis dengan kehidupan di sekelilingnya. Pesantren hadir sebagai sebuah sub-kultur, budaya sandingan, yang bisa selaras dengan budaya setempat sekaligus tegas menyuarakan prinsip syari'at. Di situlah pesantren melaksanakan tugas dan memperoleh tempat (Nafi', dkk, 2007:11-27). Selain itu, pesantren juga memiliki peran dalam bidang lain yaitu sebagai berikut: 4. Peran pesantren dalam transformasi sosial Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh, berkembang, dan tersebar di berbagai pedesaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan, pada satu sisi, sebagian penduduk
Indonesia terdiri dari umat Islam, dan pada sisi lain, mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan. Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh cukup kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. 5. Peran pesantren dalam pengembangan pendidikan alternatif Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan realitas yang tak dapat dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dilaluinya, pesantren terus menekuni pendidikan tersebut dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Dalam mengembangkan pendidikan, pesantren telah menunjukkan daya tahan yang cukup kokoh sehingga mampu melewati berbagai zaman dengan beragam masalah yang dihadapinya. Dalam sejarahnya itu pula, pesantren telah menyumbangkan sesuatu yang tidak kecil bagi Islam di negeri ini (A'la, 2006:1-15).
6. Peran pondok pesantren dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat Perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan anak didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan dan ketrampilan, kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat secara luas, serta meningkatkan kesadaran terhadap alam lingkungannya (Departemen Agama RI, 2003:92).
Pondok
pesantren
sangat
diharapkan
memainkan
peranan
pemberdayaan dan transformasi masyarakat secara efektif, diantaranya: 9. Peranan instrumental dan fasilitator Hadirnya pondok pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan
dan
keagamaan,
namun
juga
sebagai
lembaga
pemberdayaan umat merupakan petunjuk yang amat berarti. Bahwa pondok pesantren menjadi sarana bagi pengembangan potensi dan pemberdayaan umat, seperti halnya dalam kependidikan atau dakwah Islamiyah, sarana dan pengembangan umat ini tentunya memerlukan sarana bagi pencapaian tujuan. Sehingga pondok pesantren yang mengembangkan hal yang demikian berarti pondok pesantren tersebut telah berperan sebagai alat atau instrumen pengembangan potensi dan pemberdayaan umat.
10. Peranan mobilisasi Pondok pesantren merupakan lembaga yang berperan dalam memobilisasi masyarakat dalam perkembangan mereka. Peranan seperti ini jarang dimiliki oleh lembaga atau perguruan lainnya, dikarenakan hal ini dibangun atas dasar kepercayaan masyarakat bahwa pondok pesantren adalah tempat yang tepat untuk menempa akhlak dan budi pekerti yang baik. Sehingga bagi masyarakat tertentu, terdapat kecenderungan yang memberikan kepercayaan pendidikan hanya kepada pondok pesantren.
11. Peranan sumber daya manusia Dalam sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pondok pesantren sebagai upaya mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, pondok pesantren memberikan pelatihan khusus atua diberikan tugas magang di beberapa tempat yang sesuai dengan pengembangan yang akan dilakukan di pondok pesantren. Di sini peranan pondok pesantren sebagai fasilitator dan instrumental sangat dominan. 12. Sebagai agent of development Pondok pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan. Kehadirannya bisa disebut agen perubahan sosial (agent of social change), yang selalu melakukan pembebasan pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, pemiskinan ilmu pengetahuan, dan bahkan dari pemiskinan ekonomi. 13. Sebagai center of excellence Institusi pondok pesantren berkembang sedemikian rupa akibat persentuhan-persentuhannya dengan kondisi dan situasi zaman yang selalu berubah. Sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman ini, pondok pesantren kemudian mengembangkan peranannya dari sekedar lembaga keagamaan dan pendidikan, menjadi lembaga pengembangan masyarakat. Pada tataran ini pondok pesantren telah berfungsi sebagai pusat keagamaan, pendidikan dan pengembangan masyarakat (center of excellence) (Departemen Agama RI, 2003:93).
10. Fungsi Pesantren Keberadaan (eksistensi) pesantren beserta perangkatnya yang ada adalah sebagai lembaga pendidikan dan dakwah serta lembaga kemasyarakatan yang telah memberikan warna daerah pedesaan. Ia tumbuh dan berkembang bersama warga masyarakatnya sejak berabadabad. Oleh karena itu, tidak hanya secara kultural lembaga ini bisa diterima, tetapi bahkan telah ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Figur kyai, santri serta seluruh perangkat fisik yang menandai sebuah pesantren senantiasa dikelilingi oleh sebuah kultur yang bersifat keagamaan. Kultur tersebut mengatur perilaku seseorang, pola hubungan antar warga masyarakat, bahkan hubungan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya (Saleh, 1988:109).
11. Asal-usul Tradisi Keilmuan di Pesantren Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri-cirinya sendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dari tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Walaupun hal ini mungkin tidak begitu disadari selama ini, bagaimanapun juga memang terdapat perbedaan yang mendasar antara manifestasi keilmuan di lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di seluruh dunia Islam. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, walaupun ia mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut.
Ia merupakan sarana informasi, sarana komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat, dan juga merupakan tempat pemupukan solidaritas masyarakat. Karena watak utamanya sebagai lembaga pendidikan Islam, dengan sendirinya ia memiliki tradisi keilmuannya sendiri. Akan tetapi, tradisi ini mengalami perkembangan dari masa ke masa dan menampilkan manifestasi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Walau demikian, masih dapat ditelusuri beberapa hal inti yang tetap merupakan tradisi keilmuan pesantren sejak datangnya Islam ke Indonesia hingga saat ini. Kesemuanya itu menunjuk kesebuah asal-usul yang
bersifat
historis,
yang
merupakan pendorong
utama
bagi
berkembangnya pesantren itu sendiri. Pesantren dalam wujudnya yang sekarang memiliki sistem pengajaran yang dikenal dengan nama pengajian kitab kuning. Selain itu, ia juga mampu menyerap sejumlah inovasi secara berangsur-angsur selama beberapa abad. Atas dasar kemampuan yang kenyal seperti itu, untuk tetap hidup maka pesantren memiliki keunggulannya sendiri yang tidak ada di tempat lain (Wahid, 2001:213-214). 12. Kurikulum Pesantren Kurikulum
yang
berkembang
di
pesantren
selama
ini
memperlihatkan sebuah pola yang tetap. Pola itu dapat diringkas ke dalam pokok-pokok berikut: a. Kurikulum ditujukan untuk “mencetak” ulama di kemudian hari b. Struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama
dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi oleh kyai/guru c. Secara keseluruhan, kurikulum yang ada berwatak lentur atau fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan pada pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbendtuk sekolah sekalipun (Wahid, 2001:145).
Ayat-ayat Al-Qur'an yang Berkaitan dengan Moral d. Surat Al-Qalam ayat 4:
Artinya: “Dan engkau benar-benar mempunyai budi pekerti pilihan”. (Q.S. Al-Qalam:4) (Surin, 1978:1323). Ayat di atas menjelaskan tentang sifat nabi yang paling mulia dan pujian yang tertinggi diberikan kepadanya. e. Surat Al-Ahzab ayat 21
Artinya : “Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik untuk kamu, bagi orang-orang yang mengharapkan
rahmat Allah dan hari kemudian, dan yang banyak memuja Allah” (Q.S. Al-Ahzab:21) (Surin, 1978:929). Ayat tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah merupakan suri teladan yang baik bagi orang-orang yang beriman.
Teori Perkembangan Moral 1. Dasar-dasar Moral Dasar-dasar moral berisi hal-hal yang paling mendasar dalam upaya pendidikan dan pembinaan moral. Dalam proses pembinaan moral, santri harus mengerti dan mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi dasar moral. Menurut Purwa Hadiwardoyo (1990:13), dasar-dasar moral tersebut adalah terdapat pada: a. Sikap batin dan perbuatan lahir Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda yakni segi batiniah dan segi lahiriyah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batiniah sering disebut hati nurani/kata hati. Orang yang baik dengan sikap batin yang baik akan dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik. Maka orang hanya dapat
dinilai secara tepat
apabila hati dan
perbuatannya ditinjau bersama. Secara umum
penilaian
terhadap orang lain hanya perilaku yang tampak dari luar
yaitu perbuatan lahiriahnya, sedangkan sikap batinnya hanya dapat diduga-duga saja. b. Ukuran moral Ukuran moral digunakan untuk menilai sikap batin maupun perbuatan lahiriah. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, sekurang-kurangnya ada dua ukuran yang berbeda, yakni ukuran yang ada dihati setiap pribadi dan ukuran dipakai oleh orang pada waktu mereka menilai orang lain. Dalam hati setiap pribadi ada ukuran subjektif, sedangkan orang lain memakai ukuran yang lebih objektif. Setiap pribadi menilai dirinya dengan ukurannya sendiri, sementara orang lain menilai pribadi seseorang dengan ukuran umum. c. Pertumbuhan hati nurani Hati nurani merupakan pusat kepribadian. Setiap seluruh kepribadian, hati nurani manusia juga mengalami pertumbuhan dan tergantung tanggapan lingkungan atau usaha sendiri. Lingkungan yang baik dapat mendukung pertumbuhan hati nurani secara positif, begitu pula sebaliknya, lingkungan yang buruk dapat memperburuk dan menghambat pertumbuhan hati nurani. Akan tetapi pertumbuhan hati nurani juga dapat ditentukan oleh masing-masing pribadi. Sebab orang juga
mempunyai
hati
nurani
walaupun
harus
hidup
dalam
lingkungan. 2. Teori Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget Tahap-tahap dalam perkembangan moral menurut Jean Piaget terdiri dari dua tahap, yaitu: a. Tahap Heteronomy (heteronomous morality) b. Tahap Otonomi (outonomous morality)
Dalam bukunya The moral Judgment Of The Child (1923), Piaget menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lebih tinggi. Sesuai dengan perkembangan umur, orientasi terhadap peraturan itu berkembang dari sikap heteronom, bahwa peraturan itu berasal dari diri seseorang ke sikap yang semakin otonom, bahwa peraturan ditentukan juga oleh subjek yang bersangkutan (Salam, 2000:67). Pada tahap heteronom, anak cenderung meniru begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang yang berkompeten dan aturan-aturan itu dipandang tidak bisa diubah. Oleh karena itu, pada tahap ini disebut juga masa realisme moral. Sedangkan pada tahap otonomi, anak sudah menyadari bahwa aturan-aturan itu dibuat oleh orang dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada atas dasar kesepakatan bersama dalam kelompok. Pada tahap heteronomi atau realisme moral, anak-anak merasa wajib mengikuti aturan-aturan, karena aturan itu adalah suci seperti Undang-Undang dewa, dan tidak dapat diubah. Mereka cenderung memandang peraturan-peraturan itu secara total adalah benar atau salah, dan mengira bahwa setiap orang
memandang aturan-aturan itu dengan cara yang sama. Mereka memutuskan kesalahan atau kebenaran suatu tindakan atas dasar besar kecilnya akibat-akibat yang ditimbulkannya, dan apakah tindakan-tindakan itu akan dihukum atau tidak. Pada tahap moralitas otonom atau moralitas bekerja sama, dimana aturanaturan dipandang sebagai persetujuan bersama, terpelihara dengan mantap melalui persetujuan sosial secara timbal balik serta dapat diubah atau dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan bersama. Mereka mengakui bahwa dalam hal ini kemungkinan ada perbedaan pandangan. Keputusan anak mengenai benar dan salah, ditekankan pada akibat-akibat yang ditimbulkan. Mereka percaya bahwa hukuman hendaknya berlaku secara timbal balik, dan dikaitkan dengan suatu tindakan tertentu.
3. Teori Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg Tahap-tahap dalam perkembangan moral menurut Kohlberg dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu : 1) Tingkat Prakonvensional 2) Tingkat Konvensional 3) Tingkat Pasca Konvensional, otonom atau yang berlandaskan prinsip. Dari ketiga tingkat perkembangan moral tersebut, oleh Kohlberg dibagi ke dalam enam tahap perkembangan moral yaitu: orientasi hukuman dan kepatuhan, orientasi relativis-instrumental, orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi anak manis, orientasi hukuman dan ketertiban, orientasi kontrak sosial legalitas, orientasi prinsip etika universal. Agar lebih jelasnya, maka akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut:
1) Tingkat Prakonvensional Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Jadi pada tahap ini, sebenarnya anak sudah mengetahui peraturan-peraturan serta kebudayaan-kebudayaan yang ada di lingkungannya, sehingga anak sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk tidak dilakukan. Dalam tahap prakonvensional terdapat dua tahap yaitu Tahap 1 : Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan Pada tahap ini, akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya perbuatan itu tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Dalam tahap ini Kohlberg berpendapat bahwa: Anak dalam tahap ini hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya, dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena insan hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas (Kohlberg, 1999:231). Tahap 2 : Tahap orientasi relativis-instrumental Pada tahap ini, perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadangkadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan ditempat umum. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu lebih banyak dilihat secara fisik pragmatic (physical pragmatic way), masalah timbal balik adalah soal timbal jasa, bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih dan keadilan. 2) Tingkat Konvensional Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau
bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang langsung dan nyata. Jadi sikap anak bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasi diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat. Tingkat ini mempunyai dua tahap yaitu : Tahap 3 : Tahap orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Tahap 4 : Tahap orientasi hukum dan ketertiban Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib sosial. Jadi perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri, individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu. 3) Tingkat Pasca Konvensional Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk memuaskan nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan telepas pula dari identifikasi individu dengan pribadi-pribadi atau kelompokkelompok tersebut. Ada dua tahap dalam tingkat ini yaitu :
Tahap 5 : Tahap orientasi kontrak sosial legalitas Pada umumnya tahap ini bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung di definisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan dipakai oleh seluruh masyarakat. Tahap 6 : Tahap orientasi prinsip etika universal Hak ditentukan oleh keputusan suara batin sesuai dengan prinsipprinsip etis, tidak sebagai penatanan moral konkrit. Pada hakikatnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resipositas dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual. Sehubungan dengan pentahapan perkembangan moral, Kohlberg mengidentifikasi adanya beberapa aturan perkembangan sebagai berikut: 1. Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya. 2. Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berpikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya. 3. Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertarik pada cara berpikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. 4. Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya terjadi apabila ia diciptakan suatu disequilibrium kognitif pada diri si anak didik (Salam, 2000:73).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak
banyak dipengaruhi oleh
lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orang tuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orang tua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, diantaranya sebagai berikut: d. Konsisten dalam mendidik anak Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain. e. Sikap orang tua dalam keluarga Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). f. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
g. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orang tua mengajarkan kepada anak agar berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama, tetapi orang tua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan (ketidak-ajegan) orang tua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan oleh orang tuanya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orang tuanya (Yusuf, 2005:133).
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Potret Pondok Pesantren Al Falah 9) Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al Falah Pondok Pesantren Al-Falah berdiri pada tahun 1986, yang dipelopori oleh KH. Zoemri RWS bersama istri beliau Hj. Nyai Latifah. Pondok pesantren tersebut berdiri diatas tanah milik pribadi yang mendapat dorongan dari masyarakat sekitar dan pemerintahan kota setempat. KH. Zoemri RWS pada mulanya menerima dan menampung para santri putra dan putri dari lingkungan sekitar, yang kemudian diikuti oleh
santri
putra-putri
dari
daerah
sekitarnya.
Seiring
dengan
berkembangan zaman, Pondok Pesantren Al Falah dituntut pula untuk menampung aspirasi masyarakat yang membutuhkan pendidikan lebih mapan lagi. Untuk itu pada tahun 1990, KH. Zoemri RWS mendirikan madrasah diniyah dengan materi pelajaran khusus pelajaran agama. Adapun frekwensi pendidikan adalah 6 tahun, pendidikan ini diwajibkan bagi santri putra maupun putri. Melihat keadaan santri Al Falah yang mayoritas berpendidikan formal, maka pengajian medrasah Diniyah dimulai ba’da Ashar (15.30 WIB), ba’da Magrib sampai ba’da Isya’ (+ jam 21.00), dan ba’da Subuh sampai jam 6 pagi. lima tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1995
pendidikan
Pondok Pesantren Al Falah menambah kurikulum pembelajaran berupa 47
ekstra pesantren antara lain : kursus bahasa Inggris, Kaligrafi, Khitobiyah, Qiro’atul Qur’an, Bahasa Arab, dan Menjahit. Pendidikan ekstra ini di dirikan dengan dasar, santri mampu berkreasi dan mempunyai skill untuk terjun di masyarakat. Dan mampu mengubah masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat yang berkembang. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2005 karena melihat tantangan zaman yang semakin menggejolak dan bahkan santri dituntut untuk bisa mensikapinya maka pada tahun tersebut didirikan SMK Al Falah dengan dua jurusan Otomotif dan Tata Busana. 10) Letak Geografis PP Al Falah Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al falah terletak di Jl Bima No. 2 Dukuh Salatiga terletak di ujung barat kota salatiga; yang berdekatan dengan kab.Semarang. 11) Dasar Dan Tujuan d. Dasar Al Qur’an dan As Sunnah merupakan landasan dasar yang dipakai oleh Pondok Pesantren Al Falah dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sehingga hasilnya akan lebih terarah dan fitrah yang dimilikinya akan lebih terjaga dari berbagai kemungkinan dalam perjalanan peradaban umat manusia dewasa ini. Pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah tersebut dijabarkan dalam sikap dan perilaku santri, maka dasar tersebut adalah sebagai berikut :
a. Dasar atau asas yang akan memberi ruh di Pondok Pesantren Al Falah Salatiga adalah Al Qur’an dan As Sunnah. b. Al Qur’an dan As Sunnah digunakan sebagai neraca dan ukuran dalam segala pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. c. Dengan dasar dan pengertian tersebut diatas, maka sikap dan perilaku sehari-hari yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al Falah Salatiga harus mencerminkan suatu pelaksanaan disiplin, yaitu disiplin terhadap diri sendiri dan disiplin terhadap Allah SWT. e. Tujuan Pada dasarnya tujuan Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam (PPTI) Al Falah mempunyai tujuan yang sangat signifikan f. Tujuan Umum Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. g. Tujuan Khusus a.
Pembinaan suasana hidup dalam Pondok Pesantren sebaik mungkin sehingga berkesan pada jiwa anak didiknya (santri)
b. Memberikan pengertian keagamaan melalui pengajaran Ilmu Agama Islam. c.
Mengembangkan sikap beragama praktek-praktek beribadah.
d. Mewujudkan ukhuwah islamiyah dalam pondok pesantren dan sekitarnya. e.
Memberikan
pendidikan
dan
keterampilan
civic
dan
kesehatan. Olahraga kepada anak didik. f.
Mengusahakan perwujudan segala aktivitas dalam pesantren yang mungkin pencapaian tujuan umum tersebut.
g. Membantu sumber daya santri yang memiliki nilai dan sikap agamawan, kemampuan
pengetahuan, komunikasi
kecerdasan, dan
kesadaran
keterampilan, akan
ekologi
lingkungan h. Melahirkan dan menciptakan alumni pesantren yang figur keilmuan yang begitu tangguh dan mampu memainkan propertinya pada masyarakat secara umum. i.
Menciptakan santri yang berbasis IMTAQ dan IPTEK.
12) Keadaan Ustadz dan Ustadzah (Pengajar) Adapun tenaga pendidik (ustadz) Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah terdiri dari lulusan pesantren Adapun nama-nama pengajar al falah dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel I No 1
Nama
Pendidikan
K.H.Abdullah
PonPes
Salam
Magelang, Banyuwangi
Mata pelajaran
Tegalrejo 1.
Safinatun Najah
2.
Arba’in Nawawi
3.
Qowa’idul I’rob
No
4
Nama
Pendidikan
Mata pelajaran 4.
Al Imrithi
5.
Fatkhul Qorib I
6.
Al Fiyah I
7.
Fatkhul Qorib II
8.
Fatkhul Mu’in I
9.
Al Fiyah II
Ust Nur Ahmad Al Pon Pes Al-Futhuhiyah,
13. Sulam Taufiq
Faruqi
14. Fasholatan
Mranggen
15. Tarikh Islam 16. Targhib Wa Targhib 5
Ust Edy Romly
6) Pon Pes Al-
d. Aswaja
Futuhiyah, Wonosobo 7) Masy’ul Huda Semarang 6
1. Risalatul Quro’
Ustadzah Zakiyyah Maghfur
7
Ustadzah Laelatul
3) Sifaul Jinan
Khasanah
4) Alala 5) Al Qur’an
8
Ibu Nyai Hj. Latifah
Pon Pes Mashithoh,
3) Risalatul Makhid
Salatiga
4) Mar’atus Solikhah
No 9
Nama Kh. Zoemri RWS
Pendidikan
Mata pelajaran
Pon Pes Tegalrejo,
6. Ta’limul Muta’alim
Magelang
7. Shorof 8. Matnul Ghoyah 9. Aqidatul Awwam 10. Al Jurumiyah 11. Riyadlus Sholihin
10
Ustadzah
d. Al Qur’an
Fatkhur
Rozakiyah
h. Keadaan Santri Keadaan santri Al Falah Dukuh Salatiga periode 2010 dengan jumlah 144 santri yang terperinci sebagai berikut: Tabel II Jumlah seluruh santri : 134 santri No.
Kelas
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1.
Kelas KP
20
30
50
2.
Satu Ula
28
31
59
3
Dua Ula
9
19
28
4.
Tiga Ula
6
29
35
5.
Satu Wustho
4
6
10
6
Dua Wustho
1
1
2
48
86
134
Total
i. Struktur Organisasi Kepengurusan Lembaga Pondok Pesantren dan lembaga madrasah yang ada di Dukuh Salatiga di bawah naungan Pondok Pesantren Al Falah yang diketuai Bapak K.H. Zoemri RWS. Adapun struktur organisasi Pondok Pesantren Al Falah terdiri dari pengasuh atau pelindung, yang membawahi secara langsung pengurus harian. Pengurus harian ini bertugas melaksanakan kebijaksanaan yang digariskan oleh pengasuhnya masing-masing tentang pengelolaan pondok, baik masalah pendidikan maupun masalah rumah tangganya. Pesonalia pengurus dipilih melalui rapat tahunan oleh wakil-wakil santri, untuk kemudian diminta persetujuan dan pengesahan dari pengasuh/pelindung. Pengurus tersebut terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris, Bendahara dan wakil-wakil ketua, Pembantu Umum serta dilengkapi dengan seksi-seksi. Wilayah Pondok Pesantren dibagi kepada komplek-komplek (unit bangunan asrama) yang setiap kompleknya dipimpin oleh seorang rais khas (ketua khusus)
Tabel III STRUKTUR KEPENGURUSAN PONDOK PESANTREN TARBIYATUL ISLAM AL FALAH PERIODE 2010/2011 PENGASUH Dewan Keamanan
Dewan Guru Ketua I
Sekretaris I
Bendahara I
Ketua II
Sekretaris II
Kebersihan & Kesehatan
Ketua Komplek A (Putra)
Bendahara II
Pembantu Umum
Keamanan
Ketua Komplek B (Putri)
Ketua Komplek C (Putra)
Diklat
Perlengkapan
Ketua Komplek C (Putri)
Ketua Komplek D (Putri)
Keterangan : 8.
Pengasuh/pelindung
:
Bapak K.H. Zoemri RWS
9.
Dewan Keamanan
:
K.H. Abdullah Salam
:
Ustadz Edi Romli
10. Dewan Asatidz
Ketua I
:
Nur Ahmad Al Faruqi
Ketua II
:
Laelatul Khasanah
Sekretaris I
:
Gunawan Laksono Aji
Sekretaris II
:
Zakiyah Maghfur
Bendahara I
:
Husein Samusti
Bendahara II
:
Zakiyatul Wakhidah
Seksi-Seksi
:
9. Diklat
I
: Nurul Isa
II
: Siti Manzilah
III
: Ana Masykuroh
I
: Ahmad Khozin
II
: Zahrotul Wakhidah
III
: Khusnul Khotimah
I
: M. Burhanudin
II
: Fitri Susiawati
III
: Nur Hasanah
10. Keamanan
11. Kebersihan
12. Perlengkapan I
: Agus Ristianto
II : Uswatun Khasanah
13. Ketua Komplek - Komplek A
: Dayu Mustafid
- Komplek C (Pa) : Imamuddin - Komplek B
: Nadziroh NC
- Komplek C(Pi) : Ida Khaizah - Komplek D
: Siti Malikhah.
j. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Al Falah Adapun sistem yang digunakan untuk mendalami kitab-kitab kuning adalah : a.
Sistem Sorogan
b.
Sistem Weton
Berikut ini akan diuraikan satu demi satu, yaitu : a.
Sistem Sorogan Adapun istilah sorogan adalah berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri bergilir menyodorkan kitabnya dihadapan Kyai atau badal (pembantunya) Dalam bentuknya yang asli, cara belajar pada pondok Pesantren dilukiskan oleh Aboebakar Aceh : Guru atau Kyai bisanya duduk diatas sepotong sajadah atau sepotong kulit kambing atau kulit biri-biri, dengan sebuah atau dua buah bantal dn beberapa kitab di sampingnya yang dipelukan, sedang murid-muridnya duduk mengelilinginya, ada yang bersimpuh, ada yang bertopang dagu, bahkan ada yang sambil bertelungkup setengah berbaring, sesuka-sukanya mendengar sambil melihat lembaran kitab, pada halaman yang dibaca gurunya dan dengan sepotong pensil murid-muridnya itu menuliskan catatan-catatan dalam kitabnya mngenai arti atau keterangan lainnya.
Sesudah guru membaca kitab-kitab arab yang gundul tidak berbaris itu, menerjemahkan dan memberikan keterangan yang perlu. Maka dipersilahkan salah seorang muridnya membaca kembali matan, lafadz yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian murid-murid itu terlatih dalam pimpinan gurunya tidak saja dalam mengartikan naskah-naskah arab itu, tetapi juga dalam membaca bahasa arab itu dengan mempergunakan pengetahuan ilmu bacanya atau nahwunya. Demikian ini dilakukan bergilir-gilir dari pagi sampai petang, yang diikuti oleh murid-murid yang berkepentingan sampai kitabkitab itu tamat bacaannya. Sistem ini tetap dipertahankan oleh pondok-pondok pesantren, karena banyak manfaat dan faedah yang mendorong santri untuk lebih giat dalam mengkaji dan memahami kitab-kitab kuning yang mempunyai nilai tinggi dalam kehidupan manusia. Sistem ini membutuhkan ketekunan,
kesabaran,
kerajinan,
ketaatan dan
kedisiplinan yang tinggi dari santri. Sistem sorogan amat intensif karena dengan sistem ini seorang santri dapat menerima pelajaran dan pelimpahan nilai-nilai sebagai proses delivery of culture di pesantren Metode ini dalam dunia modern dapat dipersamakan dengan istilah tutorship atau menthorship. Metode pengajaran semacam ini diakui paling intensif karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab secara langsung.
Tutor adalah guru yang mengajar di rumah, guru privat atau guru yang mengajar sekelompok murid di perguruan tinggi atau universitas. Sedangkan tutorship adalah jabatan atau tugas guru, pembimbing atau wali. b.
Sistem Weton Sistem weton atau biasa disebut juga bandungan atau halaqah, yaitu dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai atau dalam ruangan (kelas) dan kyai menerangkan penjelasan secara kuliah. Para santri menyimak kitab masing-masing dn membuat catatan atau mngesahi (jawa, mengesahkan) dengan memberi catatan pada kitabnya untuk mengesahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kyai. Sistem weton adalah sistem yang tertua di pondok pesantren menyertai sorogan dan tentunya merupakan inti dari pengajaran di suatu pesantren. Materi (kitab) yang pernah diajarkan kepada santri dari dahulu sampai sekarang sama, yaitu meliputi : Nahwu/Sharaf, tauhid, Tasawuf dan hadis. Tetapi dari satu periode ke periode berikutnya materi tersebut diatas tidak selalu diikuti oleh para santri adalah kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu alat. Sistem weton merupakan sistem yang banyak dipakai di berbagai pondok pesantren. Hal tersebut secara nyata bila kita lihat
dari tingkat perbandingan kyai’ustadz yang memakai sistem sorogan dan sistem weton adalah 5 : 35. kyai/ukstadz memiliki sejumlah santri dan kebanyakan pula para santri memiliki sistem weton. Sistem weton membutuhkan sarana yang tetap berupa ruangan kelas sebagaimana sistem madrasah. Karena jumlah pengikutnya lebih besar dari sistem sorogan. k. Kelembagaan Keberadaan
Pondok
Pesantren
Al
Falah
ditengah-tengah
masyarakat semakin dikenal baik di lingkungan Salatiga. Kenyataan ini mendorong untuk berupaya melayani seluruh lapisan masyarakat dari berbagai
kebutuhan,
mulai
dari
masalah
sosial,
keagamaan
/
kemasyarakatan, pendidikan dan lainnya. Upaya-upaya yang telah dilakukan diantaranya mendirikan Madrasah Diniyah Pondok Pesantren. Lama pendidikan adalah 6 tahun. Pendidikan Diniyah tersebut wajib diikuti oleh semua santri tanpa terkecuali. Disamping itu pada tahun 2005 didirikan SMK Al Falah dengan dua jurusan, yaitu jurusan otomotif dan tatabusana. SMK ini menggunakan kurikulum Pendidikan Nasional. l. Materi dan Kurikulum Pondok Pesantren Al Falah Digunakannya materi dan kurikulum ini adalah dengan harapan agar tujuan yang hendak dicapai dapat terarah dan bisa direalisasikan. Demikian halnya materi dan kurikulum yang diberikan di Pondok Pesantren (Madrasah Diniyah) Al Falah adalah sebagai berikut :
g. Tingkat Dasar (Kelas I Ula) Diberikan kepada santri awal sebagai dasar dalam mempelajari agama di Pondok Pesantren Al Falah ini. Pada tahap awal materi yang diajarkan antara lain : 4) Sifaul Jinan 5) Risalatul Quro’ 6) Aqidatul Awam 7) Fasholatan 8) Al Qur’an 9) Alala h. Kelas II Ula Setelah
menamatkan
tingkat
dasar,
maka
para
santri
melanjutkan ke tingkat II, yakni Kelas II Ula. Adapun materi yang diajarkan di tingkat II ini antara lain : 8) Ta’limul Muta’alim 9) Aswaja 10) Safinatun Najah 11) Risalatul Makhid 12) Al Qur’an i.
Kelas III Ula Setelah menamatkan tingkat II, maka santri melanjutkan ke tingkat setelahnya, yaitu Kelas III Ula. Adapun materi yang diajarkan di Kelas III Ula tersebut adalah :
c. Al Jurumiyah d. Targhib Wa Targhib e. Shorof f. Sulam Taufiq g. Arba’in Nawawi j.
Kelas I Wustho Setelah menamatkan Kelas III Ula, maka snatri melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu kelas I Wustho. Adapun pelajaran yang diterima santri di Kelas I Wustho adalah sebagai berikut : 1) Al Imrithi 2) Matnul Ghoyah 3) Fatkhul Qorib I 4) Qowa’idul I’rob
k. Kelas II Wustho Kelas lanjutan setelah Kelas I Wustho adalah Kelas II Wustho, adapun pelajarannya ntara lain : 1) Al Fiyah I 2) Fatkhul Qorib II l.
Kelas III Wustho Tingkat Kelas III wustho merupakan kelas yang tertinggi di Pondok Pesantren Al Falah. Adapun materi yang diajarkan di kelas tertinggi adalah :
14. Al Fiyah I 15. Fatkhul Mu’in I m. Umum Riyadlus Sholihin Dari tingkat kelas I Ula sampai Kelas III Wustho tersebut dilaksanakan pada waktu yang bersamaan yaitu pada : 1) Ba’da ashar, mulai pukul 15.30 WIB – 17.00 WIB 2) Ba’da Isya’, mulai pukul 19.15 WIB – 20.30 WIB 3) Ba’da Subuh, mulai pukul 05.00 WIB – 06.00 WIb m. Sarana dan Prasarana Unit-unit bangunan komplek Pondok (Madrasah Diniyah) dan SMK Al Falah yang terletak di Jalan Bima, No. 2, Kelurahan Dukuh, Kota Salatiga berada di atas tanah seluas + 4.000 m2, yang statusnya adalah hak milik yayasan AL Falah. Adapun mengenai sarana dan prasarana yang ada di Pondok Pesantren dan SMK Al Falah adalah sebagai berikut : e) Musholla, dengan luas bangunan 12 x 12 m.: 2 mushola f) Asrama komplek A dengan luas bangunan 4 x 9 m : 5 ruang g) Asrama komplek B, dengan luas bangunan 8 x 24 m :10 ruang h) Asrama komplek C putra dan putri, dengan luas bangunan : 8 ruang i) Asrama komplek D, dengan luas bangunan : 2 ruang besar j) Gedung madrasah: d.
Lantai I, 3 lokal , seluas 10 x 40 m
e.
Lantai II, 3 lokal, seluas 8 x 24 m
f.
Lantai III, 2 lokal, seluas 8 x 24 m
k) Sarana-sarana yang lain : 1)
Kamar mandi
2)
WC
3)
Dapur
4)
Sumur dan tempat cuci,
5)
Areal jemuran
6)
Kolam wudhu
7)
Mesin Jahit
8)
Aliran listrik 11.550 Watt
9)
Rang keterampilan dengan ukuran
10) Ruang perpustakaan 11) Ruang koperasi 12) Ruang kantor/ruang tamu a) Kantor Pondok
:2
b) Kantor SMK
:1
c) Kantor Yayasan : 1 d) Ruang tamu 13) Masjid
:1 :1
14) Pos kesehatan pesantren:1
B. Problematika dan Solusi Dalam mempersiapkan generasi Islam yang bermoral dan mampu menghadapi tantangan dunia pendidikan Islam yang modern, tidak hanya dituntut untuk mempelajari teorinya saja akan tetapi juga bisa menerapkan dan mempraktekkannya. Lebih dari itu sebuah lembaga pendidikan harus lebih menekankan pada pendidikan moral santri. Pendidikan Islam sebagai lembaga alternatif
diharapkan
mampu
menyiapkan
kualitas
generasi
yang
berkepribadian sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, akhir-akhir ini perlu akan penelaahan kembali pada lembaga pendidikan Islam mendapat perhatian serius pada pola pembinaan moral. Menyikapi realitas moral pada generasi zaman sekarang, fenomena yang terjadi dalam kehidupan adalah generasi pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai Al-Qur’an. Akibatnya bentuk penyimpangan terhadap nilai tersebut mudah ditemukan di kalangan santri. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang terjadi, yang menunjukkan penyimpangan terhadap nilai-nilai islam. Minimnya kesadaran santri akan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an, yang menyebabkan santri mengalami dekadensi moral. Oleh karena itu, untuk memurnikan kembali kondisi yang sudah tidak relevan dengan ajaran Islam, upaya yang harus di lakukan antara lain adalah melakukan pendekatan dengan santri, lebih memberikan motivasi dan membantu ketika santri mengalami kesulitan.Semua itu dilakukan agar santri merasa diperhatikan dan mudah untuk dibina serta mau kembali kepada ajaran-ajaran Islam. Kemerosotan
moral pada santri dapat dilihat dengan banyaknya santri yang melanggar peraturan pondok pesantren. Islam sebagai agama yang universal meliputi semua aspek kehidupan manusia mempunyai sistem nilai yang mengatur hal-hal yang baik, yang dinamakan dengan akhlak Islami. Sebagai tolok ukur perbuatan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, karena Rasulallah SAW adalah manusia yang paling mulia akhlaknya. Di dalam al-Qur'an terdapat perilaku (akhlak) terpuji yang hendaknya di aplikasikan oleh umat manusia, terutama pada generasi islam di kalangan pondok pesantren dalam kehidupan sehari-hari. Karena akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan, keamanan, ketertiban dalam kehidupan dan dapat dikatakan bahwa ahklak merupakan tiang berdirinya umat, sebagaimana shalat sebagai tiang agama Islam. Melihat fenomena yang terjadi nampaknya dizaman sekarang ini akhlak mulia adalah hal yang mahal dan sulit diperoleh, hal ini seperti telah penulis kemukakan terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap nilai akhlak yang terdapat dalam Al-Qur'an serta besarnya pengaruh lingkungan. Santri hanya mengikuti egonya sehingga susah untuk di atur dan di bina karena santri merasa benar dengan apa yang di lakukannya. Oleh karena itu sebagian santri melanggar peraturan pondok. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa dekadensi moral dilingkungan pondok pesantren Al Falah terjadi akibat adanya dampak negatif dari kemajuan di bidang teknologi dan tidak diimbangi dengan kedisiplinan terhadap peraturan.
Masalah di atas sudah tentu memerlukan solusi yang diharapkan mampu mengantisipasi perilaku yang mulai dilanda krisis moral itu, tindakan preventif perlu ditempuh agar dapat mengantarkan santri kepada terjaminnya moral pada generasi Islam yang dapat menjadi tumpuan dan harapan bangsa serta dapat menciptakan dan sekaligus memelihara ketentraman dan kebahagiaan di lingkungan masyarakat khususnya lingkungan pondok pesantren. Untuk dapat memiliki moral yang baik sesuai dengan tuntunan AlQur’an pastilah berpedoman pada Rasulallah SAW karena beliau memiliki sifat-sifat terpuji yang harus dicontoh dan menjadi panduan bagi umatnya. Nabi SAW adalah orang yang kuat imannya, berani, sabar dan tabah dalam menerima cobaan. Beliau memiliki akhlak yang mulia, oleh karenanya beliau patut ditiru dan dicontoh dalam segala perbuatannya. Akhlak al-karimah merupakan sarana untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat, dengan akhlak pula seseorang akan diridhai oleh Allah SWT, dicintai oleh keluarga dan santri pada umumnya. Ketentraman dan kerukunan akan diraih manakala setiap individu memiliki akhlak seperti yang dicontohkan Rasulallah SAW mengingat pentingnya pendidikan akhlak bagi terciptanya kondisi lingkungan yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan akhlak berfungsi sebagai panduan bagi santri agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan selanjutnya menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Pondok pesantren Al Falah sebagai lembaga dan wahana pendidikan Islam yang memiliki perpaduan sistem modern dan salafi yang tentu akan
ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, mentransfer ilmu-ilmu keislaman, memelihara tradisi keislaman, memproduksi ulama dan menciptakan generasi islam yang bermoral. Proses belajar mengajar dilakukan melalui struktur, metode, dan literatur tradisional, baik berupa pendidikan formal di Madrasah dengan struktur maupun pembelajaran dengan metode sorogan dan bandungan. Tata nilai yang dianut dan didukung dalam kehidupan pondok pesantren Al Falah adalah konsep ahlussunah waljama‟ah. Dengan kapasitas berpotensi mendidik
yang dimiliki,
pondok
pesantren Al Falah
dan membina generasi Islam
menjadi calon-calon
ulama. Potensi ini akan berkembang sekalipun dari luar
mengalir arus
pemikiran baru dan perubahan yang mengintervensi. Pondok pesantren Al Falah memang bukan lembaga eksklusif yang tidak peka terhadap perubahan yang terjadi disekitarnya, termasuk perubahan yang dibawa oleh arus globalisasi yang membawa pengaruh terhadap perkembangan sosial dan budaya yang beraneka ragam. Solusi yang ditempuh untuk memperbaiki moral santri
dipondok
pesantren Al Falah antara lain yaitu dengan melakukan pendekatan dari pengurus terhadap santri, dengan tujuan agar santri lebih mudah dibina dan diarahkan.Pendekatan tersebut diantaranya adalah memberikan motivasi kepada santri, membantu santri ketika ada masalah dan kesulitan, memberikan arahan dan bimbingan agar santri tersebut merasa diperhatikan dan lebih mudah untuk dibina.(Kyai Zoemri, 26 Juli 2010, 12:00 WIB).
Beliau menginginkan dengan adanya pembinaan tersebut santri bisa lebih terarah dan memiliki akhlak yang baik, patut dicontoh oleh masyarakat , juga bisa menjadi calon ulama dimasa yang akan datang. Akan tetapi apabila santri tersebut masih belum bisa dibina dan diarahkan pengurus mengambil langkah dengan cara takziran(hukuman) yang akan diberikan kepada santri yang telah melanggar peraturan tersebut. Dengan melakukan takziran yang sudah ditetapkan sebelumnya yang mana sudah disetujui oleh semua pihak baik pengasuh, pengurus, maupun santri itu sendiri. Sehingga tidak ada kesalahpahaman antara mereka. Tujuan dari adanya takziran tersebut adalah untuk memperbaiki moral bagi santri. Takziran dilakukan agar santri merasa jera
dan tidak akan melanggar
peraturan kembali. Setiap pelanggaran peraturan mempunyai takziran (hukuman)masing-masing. Akan tetapi takziran yang diberikan terhadap santri yaitu bersifat mendidik. Misalnya, tidak apabila tidak mengikuti sholat berjama’ah satu kali ditakzir membaca surat yasin 1x di depan podium putra. Agar santri merasa jera dan tidak akan mengulanginya lagi. Dan tentunya di sisi lain mendapat pahala juga melancarkan dalam membaca Al-Qur’an.
C. Pola Pembinaan Pada dasarnya dilaksanakan pembinaan moral santri karena tujuan pembinaan tersebut untuk menata moral santri. Karena pondok memiliki sistem pembinaan yang berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Moral santri di pondok pesantren Al Falah sudah dibina dengan baik melalui
metode keseharian, santri sudah diajarkan untuk bersopan-santun, tata krama, saling menghormati dan kekeluargaan. Bapak kyai juga mengajarkan santrinya untuk menghormati para ustadz, pengurus, dan orang yang lebih tua, serta menghargai dan menyayangi yang lebih muda. Di samping pola tersebut, para ustadz juga mengajarkan kitab-kitab yang berkaitan dengan moral dan akhlak. Seperti dalam kitab ta‟lim muta‟alim dan akhlakul banin. Ustadz berharap santrinya bisa mengamalkan dan melaksanakan teori yang sudah pernah diajarkan dan dikaji tersebut. Akan tetapi santrinya itu sendiri yang belum bisa menerima peraturan yang ada dipondok pesantren. Semua itu disebabkan oleh banyak faktor, antara lain yaitu santri tersebut dari awal masuk ke pesantren sudah kurang baik moralnya. Orang tuanya memasukkan anaknya di pesantren agar bisa berubah moralnya menjadi baik. Akan tetapi ada juga selama di pesantren moralnya semakin bertambah buruk. Dan ada juga yang awalnya sudah baik moralnya setelah masuk ke pesantren malah menjadi buruk karena faktor dari temannya. (Ustadz faruq, 26 Juli 2010, 13:00 WIB). Dengan adanya berbagai pembinaan itu ustadz Nur Ahmad Al Faruqi amengatakan jika santrinya bisa lebih baik dan lebih mudah diarahkan maka proses pembinaan moral pun akan lebih berjalan lancar sesuai dengan harapan pondok pesantren. Akan tetapi ada juga yang dari awalnya sudah baik dan selama ada di pesantren semakin bertambah baik. Dari pihak kyai, ustadz serta pengurus sudah berusaha melakukan pembinaan sebaik mungkin.
Dalam suatu pesantren tidak akan berhasil apabila tidak adanya pembinaan moral bagi santri, yang akan memberikan banyak hal dan pelajaran dalam pembinaan moral dan pendidikan tentang bagaimana bersikap dan bersopan-santun di dalam pondok pesantren, keluarga dan masyarakat.Adanya pembinaan moral di pesantren ini diharapkan santri bisa berakhlakul karimah, baik di pesantren maupun diluar pesantren, serta mampu meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT. (Ustadzah Ela, 25 Juli 2010, 14:30 WIB). Selain santri mempunyai akhlak yang baik, ustadzah ela juga mengatakan bahwa santri itu jangan hanya kelihatan baik sewaktu dipondok pesantren. Tetapi juga baik diluar pondok pesantren. Dalam pembinaan, banyak hal yang perlu diperhatikan diantaranya dalam bersikap dan bertingkahlaku dipesantren. Sikap yang harus di tunjukkan harus benar-benar sesuai dengan akhlak santri yang telah di tetapkan dalam tata tertib pesantren yaitu sebagai berikut: 7. Berakhlakul karimah 8. Mengikuti pelajaran sesuai kelas masing-masing 9. Mengikuti sholat berjamaah 10. Mengikuti semua kegiatan yang diadakan 11. Izin bila meninggalkan pondok atau pulang 12. Menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan keindahan pondok pesantren
13. Menjaga almamater pondok pesantren.
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS
11. KEADAAN PONDOK PESANTREN AL-FALAH Tidak dapat diragukan bahwa akhlak yang baik dan tingkah laku yang bagus merupakan buah dari iman yang mantap dan pertumbuhan agama yang benar. Tatkala santri diarahkan dan dibina berdasarkan iman dan di didik untuk mencintai Allah, takut kepada-Nya, dan merasakan pengawasan-Nya, tentu santri selalu terbuka untuk menerima setiap nasihat, pembinaan, arahan serta peraturan pondok pesantren dan juga terbiasa dengan berperilaku yang baik. Tujuan dilaksanakannya pembinaan moral yaitu untuk membina akhlak, menata akhlak yang belum baik menjadi baik, dan merubah yang tidak baik menjadi lebih baik. Santri selain dibina untuk memiliki akhlak yang baik, juga dibina supaya menjadi sosok santri yang berguna dimasyarakat kelak sesudah selesai menimba ilmu dipondok pesantren. Sesuai dengan penuturan bapak kyai bahwasanya tujuan pembinaan moral dipondok pesantren yaitu untuk membina akhlak. Jadi akhlak yang baik tentu akan membawa nama baik pondok pesantren itu juga. Melalui kajian kitab-kitab akhlak yang sudah diberikan dari ustadz, diharapkan santri bisa mengamalkan dan mempraktekkannya, baik dipondok pesantren maupun diluar pondok pesantren.
71
Santri sudah dibekali ilmu-ilmu agama melalui kajian kitab-kitab akhlak tersebut. Selain ustadz memberikan teori, santri juga diharapkan bisa mengamalkan ilmu yang sudah di dapatnya dari pondok pesantren. Santri
merupakan amanat dari orang tua yang diberikan kepada
pengasuh pondok pesantren, oleh karena itu santri harus siap untuk dibina dan diarahkan menuju kepada perkembangan moral yang lebih baik. Jika santri dibiasakan dan dibina dengan hal-hal yang baik, maka dia akan tumbuh dengan baik dan tentu akan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat begitu juga sebaliknya. Untuk itu membina dan menanamkan moral yang baik pada santri merupakan cara pembinaan moral yang berhasil. Pembinaan moral menjadi prioritas utama karena harapan terbesar bertumpu pada santri dimana santri adalah penerus generasi Islam. Cerminan akhlak yang baik bisa dilihat dari aktivitas ibadah dan kehalusan akhlak. Semakin tinggi atau semakin tebal akidah seseorang niscaya akan terlihat semakin tinggi semangatnya dalam beribadah dan semakin halus budi pekertinya. Dengan demikian maka dalam rangka menyelamatkan dan memperkokoh akidah islamiyah santri. Pembinaan moral harus dilengkapi dengan pendidikan akhlak yang memadai sehingga di kemudian hari akhlakul karimah santri benar-benar dapat diaplikasikan di dalam masyarakat, keluarga serta di lingkungan pesantren itu sendiri. Karena selain harus pandai berhubungan baik dengan sang pencipta, keshalihan santri
harus pula
dilengkapi dengan akhlaqul karimah dalam berhubungan dengan sesama manusia. Jadi aqidah sangat erat kaitannya dengan ibadah dan akhlak sesudah
kita diperintahkan untuk menyembah Allah dan dilarang menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. SBaik itu dilingkungan sekolah, keluarga dan lingkungan pondok pesantren. Selain itu santri juga diharapkan bisa berbakti kepada orang tua, kyai, ustadz, pengurus, serta menghargai yang lebih tua. Maka dalam rangka pembinaan moral terhadap santri,
selain kita
memberikan keteladanan yang baik, kita juga harus menunjukkan tentang bagaimana kita bersikap, bersopan santun, berakhlakul karimah serta bagaimana kita harus menghormati dan menghargai orang lain. Sebagaimana halnya masaldah ibadah, maka masalah akhlak pun harus diberikan dan diarahkan kepada santri. Teori keilmuan yang beraneka macam belum tentu menjamin santri dapat mengamalkan akhlak ini dengan baik dan benar tanpa dibarengi dengan pengamalan berupa pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dengan usaha pembinaan pada diri santri secara secara langsung lebih bisa diharapkan akhlakul karimah akan benar-benar mempribadi pada diri santri sehingga apa yang diharapkan oleh pengasuh, ustadz dan pengurus
akan terwujud yakni harapan yang nantinya akan
membawa kepada nama baik pondok pesantren. Soleh RM dalam buku Pesantren dan Transformasi Sosial „Studi Kasus atas Pemikiran KH. Abdullah Syafe‟i dalam Bidang Pendidikan Islam‟ (2005 : 208): “Dalam membentuk akhlak, anak didik dianjurkan agar selalu memberi salam bila berjumpa dengan seseorang. Pernah seorang santri melongok ke dalam ruangan dan melihat kyai, lalu santri itu masuk
kembali ke kelasnya. Melihat hal itu kyai memanggil santri itu, dan mengatakan, anda lain kali jangan begitu, anda masuk saja dan ucapkan salam”. Dalam pembentukan akhlak ini pula lebih lanjut Soleh RM menyatakan : bila anak didik tidak menunjukkan akhlak yang baik, seperti berperilaku amoral atau meminum-minuman keras, maka dia harus diberikan hukuman yang keras tanpa harus dikeluarkan dari sekolah, agar anak didik yang lain tidak melakukan hal yang sama. Hal ini selaras dengan pola pembinaan yang ada dipondok pesantren Al Falah bahwa dalam lingkungan pondok pesantren harus memberikan salam apabila bertemu atau berpapasan dengan bapak kyai,
ustadz, pengurus,
ataupun sesama santri. Baik itu di dalam pondok pesantren, maupun diluar pondok pesantren.Begitu juga dengan adanya santri yang melanggar peraturan pondok atau berperilaku amoral juga dikenai hukuman sesuai dengan apa yang sudah dilanggar dari santri tersebut. Karena dengan adanya hukuman dimaksudkan agar santri lebih mudah untuk dibina dan diarahkan menuju kepada pembentukan akhlak atau moral yang baik, yang sesuai dengan ajaran islam.
12. PROBLEMATIKA PEMBINAAN MORAL SANTRI Bagi seorang santri, pembina merupakan orang tua asuh mulai saat mereka memasuki pondok pesantren, oleh karena hubungan antara santri dan
para pembina sangatlah erat dan orang tua santri sangat percaya dan hormat kepada kyai dan para ustadz yang ada di pondok pesantren. Dalam banyak hal banyak orang tua santri yang menyerahkan “nasib” anaknya kepada kyai, mulai dari masalah belajar sampai masalah perjodohan dan lapangan kerja di masyarakat. Santri diajarkan untuk hidup sederhana, tetapi bukan berarti dilihat dari segi lahiriyah seperti sederhana yang diidentikkan dengan kemiskinan tetapi yang dimaksud dengan sederhana di dalam pondok pesantren adalah sikap yang sederhana, sikap yang memandang segala sesuatu secara wajar, tidak berlebih-lebihan, proporsional dan fungsional. Bahwa salah satu peraturan dipondok pesantren Al-Falah yaitu dilarang membawa HP dan alat-alat elektronik lainnya. Jadi santri PP Al-Falah diajarkan untuk hidup sederhana, tidak berlebihan, dan sewajarnya saja. Meskipun HP juga salah satu kebutuhan akan tetapi dengan diperbolehkannya membawa HP bagi santri yang masih pelajar bisa mengganggu aktifitas kegiatan belajar mengajar dipondok. Yang akibatnya pembelajaran tidak bisa berjalan dengan efektif sebaimana yang diharapkan dari pondok pesantren itu sendiri. Salah satu problematika yang dialami dipondok pesantren Al-Falah dalam pembinaan moral adalah HP. Santri dilarang membawa HP karena akan mengganggu berjalannya proses belajar mengajar, karena kalau proses belajar mengajar terganggu, proses pembinaan moralpun akan ikut terganggu. ,
Di dalam pondok pesantren juga melaksanakan prinsip-prinsip penilaian akademik, karena kelulusan dan kemampuan akademik seseorang atau potensi hasil pendidikan tidak ditentukan berdasarkan angka-angka yang diberikan oleh guru dan secara formal diakui oleh institusi yang bersangkutan, tetapi ditentukan oleh kemampuannya mengajarkan kitab-kitab atau ilmu yang diperolehnya kepada orang lain. Dengan kata lain, kompetensi lulusan pondok pesantren langsung ditentukan oleh masyarakat pemakai. Karena alumni atau lulusan pondok pesantren diharapkan bisa mengamalkan dan memberikan ilmunya untuk orang lain atau masyarakat. Dengan semua itu santri diharapkan bisa menerima peraturan pondok pesantren demi tercapainya proses pembinaan yang sesuai dengan harapan pondok pesantren. Akhlak yang baik juga tercantum dalam Undang-undang tentang tujuan pendidikan. Yaitu sebagai berikut: Tujuan Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 yaitu : "Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."(UU No. 20 Tahun 2003). Dari dasar pembinaan moral tersebut maka terlihat betapa pentingnya pembinaan moral yang harus dilakukan, dalam rangka mencapai suatu tujuan yaitu membentuk manusia pembangunan yang memiliki budi pekerti yang tinggi, serta kepribadian yang luhur yang kelak mampu menjadi generasi penerus bangsa selaku aset-aset pembangunan yang berkualitas. Begitu juga dengan santri, jika santri pondok
pesantren Al-Falah memiliki akhlak atau moral yang baik. Maka pondok pesantren akan menghasilkan santri-santri yang memiliki kualitas tinggi dalam budi pekertinya.
13. SOLUSI YANG DITEMPUH UNTUK MEMPERBAIKI MORAL SANTRI Adapun solusi yang ditempuh untuk memperbaiki moral santri yaitu melalui pendidikan kitab-kitab akhlak dan pembinaan yang diberikan dari bapak kyai, ustadz, serta pengurus pondok pesantren. Baik melalui pembinaan langsung maupun tidak langsung kepada santri. Kitab-kitab akhlak yang dikaji tersebut pada umumnya kitab taklim muta‟alim dan akhlakul banin. Dengan adanya pembinaan tersebut santri diharapkan bisa lebih mudah dibina dan diarahkan. Selain dengan cara itu pengurus juga memberikan suatu motivasi dan perhatian kepada santri agar santri bisa lebih berakhlak baik. Hal ini selaras dengan teori yang penulis ambil, menurut daradjat bahwa proses pembinaan moral itu ada dua macam, yaitu: 1). Melalui proses pendidikan Hal ini berarti bahwa pembinaan moral/mental agama harus dimulai sejak si anak lahir, oleh ibu/bapaknya. Karena setiap pengalaman yang dilalui oleh si anak baik melalui pendengaran, penglihatan, perlakuan, pembinaan dan sebagainya, akan menjadi bagian dari pribadinya yang akan bertumbuh nanti. Apabila orangtuanya mengerti dan menjalankan agama dalam hidup mereka,
yang berarti bermoral agama, maka pengalaman anak yang akan menjadi bagian dari pribadinya itu mempunyai unsur-unsur keagamaan pula. 3.) Melalui proses pembinaan kembali Yang dimaksud dengan proses pembinaan kembali ialah memperbaiki moral yang telah rusak, atau membina moral kembali dengan cara yang berbeda daripada yang pernah dilaluinya dulu. Biasanya cara ini ditujukan kepada orang dewasa yang telah melewati umur 21 tahun. Proses pendidikan disini yang penulis maksudkan yaitu proses selama di dalam pondok pesantren. Santri sebelum datang kepondok pesantren pasti sudah pernah mengalami adanya pendidikan dalam keluarga. Sebelum anaknya mondok, orang tuanya pasti sudah mengajari anaknya untuk berakhlak yang baik. Sedangkan pembinaan kembali yang dimaksudkan yaitu membina moral-moral yang telah rusak untuk dibina agar lebih baik. Atau santri dibina dengan cara lain yang berbeda untuk kebaikan santri agar lebih maju dan mudah untuk diarahkan kepada pembentukan moral yang lebih baik.
BAB V PENUTUP
12. Kesimpulan 1. Pembinaan moral santri di pondok pesantren Al Falah Salatiga diwujudkan dalam bentuk pengarahan-pengarahan serta bimbingan yang diberikan dari bapak kyai, ustadz, serta pengurus. Upaya itu dilaksanakan untuk membina moral santri agar lebih baik, tentang bagaimana bersopan santun, berakhlak yang baik, juga bagaimana cara menghormati dan menghargai orang lain. Karena tujuan dari pondok pesantren itu sendiri yaitu untuk membina akhlak. Alumni pondok pesantren Al falah diharapkan bisa memiliki
akhlak yang lebih baik dibanding dengan anak yang tidak
mondok. Karena santri sudah dibekali ilmu-ilmu agama dari pesantren. Baik itu melalui kajian kitab-kitab ataupun pembinaan langsung. 2. Adapun pola-pola pembinaan moral yang diberikan kepada santri yaitu melalui keteladan dari bapak kyai yang sudah diberikan dalam kehidupan sehari-hari dipondok pesantren. Selain itu ustadz juga memberikan pembinaan-pembinaan melalui kajian-kajian kitab akhlak yang sudah dikaji. Dari pengurus juga sudah memberikan pembinaan melalui takziran (hukuman) bagi santri yang melanggar peraturan pondok. Semua itu dilakukan demi tercapainya pola pembinaan akhlak yang benar-benar sesuai dengan harapan pondok pesantren yang bertujuan untuk membina
78
akhlak santri agar bisa menjadi lebih baik.walaupun terkadang masih ada santri yang melanggar peraturan pondok pesantren tetapi masih ada sebagian santri yang taat dalam mengikuti peraturan pondok. Pengurus melakukan banyak hal agar santri bisa dibina dengan baik. Dengan cara memberikan motivasi, perhatian dan membantu ketika ada santri yang mengalami masalah dan kesulitan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pondok pesantren dapat dikatakan sebagai lembaga yang dapat dibentuk sesuai keinginan pembentukannya, artinya suatu pondok pesantren sangat bergantung kepada kyainya. Keteladanan kyai tampak dalam disiplin beribadah, belajar, dan menggunakan waktu, sehingga mereka tampil sebagai pembina, motivator, dan teladan yang baik. Di pondok pesantren kyai memegang kekuasaan mutlak dan wewenang dalam kehidupan pondok. Karena kyai adalah figur yang berperan sebagai pamong agama dan budaya, menyaring nilai-nilai luar dan memerintahkan yang bermanfaat bagi masyarakat umum dan santri khususnya. 3. Kyai dan ustadz merupakan komponen penting yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan di pesantren. Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan suatu pesantren sangat tergantung dari figur kyai dan ustadz. Sehingga pertimbangan utama seorang santri yang akan memasuki suatu pesantren adalah berdasarkan kepada kebesaran nama yang disandang olek kyainya. Dalam membina nilai moral santri di pesantren, memang tidak hanya cukup dengan mengedepankan peranan keteladanan kyai, melainkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pembinaan
moral di pesantren tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan untuk membina dan membentuk pribadi santri yang bermoral baik adalah melalui pengembangan tata krama dan tata tertib yang dibuat dan dibakukan bersama. Tata krama dan tata tertib tersebut dimaksudkan sebagai rambu-rambu bagi santri, salam bersikap dan bertingkah laku, berucap, bertindak dan melaksanakan kegiatan sehari-hari di pesantren menuju pembinaan moral yang efektif. Tata krama dan tata tertib ini dibuat berdasarkan nilai-nilai yang dianut pesantren dan masyarakat sekitar, seperti meliputi: nilai ketakwaan, sopan santun, ketertiban, keamanan dan nilai-nilai yang mendukung dalam pembinaan moral. Proses pembinaan moral di lingkungan pesantren salah satunya bisa berlandaskan kepada tata krama dan tata tertib yang sudah dibakukan. Tata krama dan tata tertib tersebut adalah peraturan yang dibentuk untuk menanamkan pola pembinaan moral di pesantren.
13. Saran 17. Kyai 1. Sebagai upaya untuk membina santri, maka kyai diharapkan lebih meningkatkan
perhatian
dan
pembinaannya
demi
tercapainya
keberhasilan pembinaan moral yang sesuai dengan harapan pondok pesantren 2. Kyai dan ustadz merupakan cerminan dan teladan bagi santri, oleh karena itu hendaknya lebih memperhatikan hal-hal yang bisa diambil
contoh dari sikap dan perilakunya sehari-hari. 18. Pengurus Pengurus harus lebih tegas dalam memberikan hukuman kepada santri Pengurus harus lebih mengetahui hukuman apa yang pantas diberikan kepada santri yang melanggar peraturan Pengurus harus bisa lebih dekat dengan santri agar proses pembinaan lebih berjalan lancar. 19. Santri 14. Sebagai penanaman moral atau akhlak hendaknya santri mentaati peraturan-peraturan pondok pesantren yang sesuai dengan ajaran Islam 15. Apabila melakukan pelanggaran, santri kendaknya sadar bahwa sikapnya itu salah dan tidak mengulanginya lagi. 16. Santri harus patuh terhadap kyai dan pengurus demi keberhasilan pembinaan moral.
14. Penutup Syukur alhamdulillah atas rahmat dan hidayah dari Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan lancar tanpa suatu halangan apapun. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Baik dalam bidang
pendidikan maupun dalam bidang pembinaan moral yang dapat dijadikan dasar untuk kehidupan selanjutnya.