0
POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA YANG TINGGAL DI DAERAH RAWAN PANGAN DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH
DEVI FAUZIAH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
1
ABSTRACT DEVI FAUZIAH. Food Consumption Pattern and Nutritional Status of Under-five Children in Food Insecurity Area in Banjarnegara District, Central Java. Under direction of DRAJAT MARTIANTO. The most basic need for a human being for its survival is food. Food consumption pattern of under-five children influenced by food consumption pattern of adult. Consumption of food have a relationship with nutritional status of under-five children directly. Under-five children is one of vulnerable groups of nutritional problem. Banjarnegara District was the one of food insecurity area in Indonesia. Household level food insecurity is generally caused by lack of livelihood opportunities and high food prices. At the individual level, aspects like consumption level of food, food taboo, education, etc. can influence the levels of food insecurity. The aim of this study was understand the correlation of food consumption pattern, food taboo and nutritional status of under-five children of household in food insecurity area in Banjarnegara District, Central Java. A cross sectional study design was applied on this study. The locations were purposively selected at two sub districts such as Pejawaran Sub District and Punggelan Sub District, in Banjarnegara District. Sample was chosen with simple random sampling which consists of 300 household with children 2-5 years old. Data collected including : household characteristic, under-five children characteristic, food consumption pattern (level consumption and food frequency consumption), food taboo and nutritional status of under-five children. Descriptive analytic was carried to all variables followed by bivariate test using Spearman correlation. Measurement of household food security in this study used household overall energy intake. In correlated analysis, household characteristic (father educational level, mothers educational level, fathers job, mothers nutritional knowledge, expenditure allocation for food and non food) was significantly positive correlated with under-five children energy and protein consumption. Food taboo have no relationship with energy and protein consumption and nutritional status by any indicators weight/age, height/age and weight/height. Household characteristic was significantly positive correlated with nutritional status by any indicators weight/age, height/age and weight/height but not with energy and protein consumption. Keywords : household food security, food consumption pattern, food taboo, under-five nutritional status
2
RINGKASAN DEVI FAUZIAH. Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Balita yang Tinggal di Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola konsumsi pangan, tabu makanan dan status gizi anak balita pada rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Adapun tujuan khususnya adalah (1) Mengetahui karakteristik rumahtangga (umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua dan alokasi pengeluaran rumahtangga untuk pangan dan non pangan) dan karakteristik balita (umur anak balita dan jenis kelamin), (2) Menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein anak balita, (3) Mempelajari pola konsumsi pangan anak balita, (4) Mengidentifikasi tabu makanan pada anak balita, (5) Mempelajari status gizi anak balita dan (6) Mempelajari hubungan karakteristik rumahtangga, tingkat konsumsi dan tabu makanan pada anak balita dengan status gizi anak balita. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Martianto et al. (2009) yang berjudul ”Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah”. Penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, pada bulan Februari sampai Maret 2009. Pemilihan contoh dilakukan dengan metode acak sederhana, dengan kriteria keluarga lengkap atau utuh yang tinggal dalam rumahtangga yang sama, mempunyai anak balita (anak usia 24-59 bulan), dan bersedia untuk dijadikan contoh. Contoh berasal dari dua kecamatan yang dipilih secara purposive, yaitu Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan. Setiap kecamatan diambil tiga desa yang sesuai dengan karakteristik ketahanan pangan wilayah kecamatan. Contoh di setiap desa berjumlah 50 keluarga, sehingga didapatkan total contoh sebanyak 300 contoh (6 desa). Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer mencakup karakteristik rumahtangga, karakteristik anak balita, tingkat ketahanan pangan rumahtangga, pola konsumsi pangan anak balita (tingkat konsumsi dan frekuensi konsumsi pangan) dan tabu makanan pada anak balita. Data primer dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner. Data status gizi anak balita dikumpulkan dengan menggunakan metode antropometri. Data sekunder adalah data keadaan umum geografis, karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat yang diperoleh dari kantor kecamatan masingmasing lokasi penelitian. Data selanjutnya diolah menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 13.0 for Windows dengan analisis deskriptif dan statistik menggunakan korelasi Spearman untuk menguji hubungan antar variabel. Kabupaten Banjarnegara merupakan daerah risiko tinggi rawan pangan berdasarkan Peta Kerawanan Pangan Departemen Pertanian 2007. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya persentase rumahtangga yang sangat rawan pangan (37,3%) dan rawan pangan (31,7%). Hanya 31,0 persen rumahtangga yang tahan pangan. Sebagian besar ayah contoh terkategori berusia dewasa madya (31-50 tahun) yaitu sebesar 63,8 persen. Sedangkan lebih dari separuh ibu terkategori berusia dewasa muda (20-30 tahun) yaitu sebesar 55,3 persen Sebagian besar rumahtangga terkategori keluarga kecil (59,3%). Tingkat pendidikan orang tua
3
sampel terkategori rendah, yaitu sebagian besar ayah (60,4%) dan ibu (62,0%) berpendidikan tamat sekolah dasar (SD)/sederajat. Pada umumnya tingkat pengetahuan gizi ibu terkategori rendah (64,3%) dengan rata-rata sebesar 39,3 persen. Pada umumnya ayah bekerja sebagai petani (52,9%) dan ibu tidak bekerja (45,7%). Rata-rata alokasi pengeluaran pangan sebesar 56,0 persen lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata alokasi pengeluaran non pangan sebesar 44,0 persen. Persentase anak balita hampir tersebar merata, berturutturut 36,7 persen untuk umur 24-35 bulan, 33,0 persen untuk umur 36-47 bulan dan 30,3 persen untuk umur 48-60 bulan. Anak balita yang berjenis kelamin lakilaki sebesar 45,0 persen, sedangkan anak balita berjenis kelamin perempuan sebesar 55,0 persen. Tingkat kecukupan energi anak balita rata-rata adalah 93,5 persen, sedangkan tingkat kecukupan protein anak balita adalah 97,3 persen. Tingkat kecukupan energi dan protein di Kecamatan Punggelan lebih tinggi daripada di Kecamatan Pejawaran. Hal ini dikarenakan kondisi ketersediaan dan akses pangan di Kecamatan Punggelan lebih baik daripada Kecamatan Pejawaran meskipun keduanya termasuk wilayah tidak tahan pangan. Rata-rata konsumsi energi dan protein anak balita adalah 975 kkal/hari dan 24,5 gram/hari. Frekuensi konsumsi nasi, ikan, sayur, minyak dan gula oleh anak balita adalah lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan. Frekuensi konsumsi jagung, singkong, ubi, roti, daging sapi/kambing, ayam, telur dan susu adalah kurang dari 1 kali per minggu. Frekuensi konsumsi mie, tempe/tahu dan buah adalah kurang dari 3 kali per minggu. Pola konsumsi pangan pokok dan pangan sumber protein terkategori beranekaragam. Pola konsumsi pangan pokok di Kecamatan Punggelan yaitu beras (nasi), mie dan roti sedangkan di Kecamatan Pejawaran yaitu jagung, mie, nasi dan roti. Pola konsumsi pangan sumber protein di Kecamatan Punggelan yaitu telur, tempe/tahu/kacangkacangan, ikan dan ayam sedangkan di Kecamatan Pejawaran yaitu ikan, tempe/tahu/kacang-kacangan, telur dan ayam. Tabu atau pantangan makanan masih dijalankan pada sebagian anak balita di lokasi penelitian. Bahan pangan yang ditabukan bagi anak bailta adalah sayap dan kaki ayam dengan alasan sudah menjadi tradisi, pisang emas dengan alasan pamali dimakan sampai setelah menikah, serta es karena dapat menyebabkan anak menjadi besar dan gendut. Namun demikian, tabu makanan yang ada tidak mempengaruhi status gizi karena anak balita masih dapat mengkonsumsi bagian lain atau jenis lain dari makanan yang ditabukan. Khususnya ayam dan jenis-jenis pisang lain masih dapat dikonsumsi. Sebagian besar (68,0%) status gizi balita berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) adalah gizi baik dengan rata-rata nilai z-skor -1,5 SD. Berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), sebagian besar (54,3%) berstatus gizi pendek/stunting dengan rata-rata nilai z-skor -2,1 SD. Dan berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), sebagian besar (86,3%) berstatus gizi normal dengan rata-rata nilai z-skor -0,5 SD. Tingkat kecukupan energi dan protein di wilayah penelitian berhubungan dengan karakteristik rumahtangga (tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pengetahuan gizi ibu, alokasi pengeluaran pangan dan non pangan). Tabu makanan tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi BB/U, TB/U dan BB/TB. Kemudian status gizi BB/U, TB/U dan BB/TB anak balita di wilayah penelitian berhubungan dengan karakteristik rumahtangga namun tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi dan protein.
4
POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA YANG TINGGAL DI DAERAH RAWAN PANGAN DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH
DEVI FAUZIAH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
5
Judul
Nama NRP
: Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Balita yang Tinggal di Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah : Devi Fauziah : I14052058
Disetujui, Dosen Pembimbimbing Skripsi
Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si. NIP. 19640324 198903 1 004
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. NIP. 19621204 198903 2 002
Tanggal Lulus :
6
PRAKATA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Balita yang Tinggal di Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah” berhasil diselesaikan. Skripsi ini merupakan syarat bagi penulis untuk dapat meraih gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si yang telah senantiasa sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian penulisan skripsi.
2.
Ibu Leily Amalia, STP, M.Si sebagai Dosen Pemandu Seminar dan Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS sebagai Dosen Penguji Skripsi, atas saran dan perbaikan untuk penyempurnaan skripsi ini.
3.
Ibu Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku Dosen Pembimbing Akademik.
4.
Ibu, Ayah, Aa dan adik-adikku yang sudah memberikan kasih sayang, dukungan dan doa.
5.
Teman-teman seperjuangan penelitian di Banjarnegara, The Rainbow, Rama, Nuy, Ima dan Esta, serta Dinda, Chandri dan Endah, untuk semua bantuan, kerjasama dan semangat yang diberikan.
6.
Asisten-asisten
penelitian
Kajian
Ketahanan
Pangan
dan
Alokasi
Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, Aqsa, Mbak Yuli, Teh Mey dan Mas Aris, atas semua bantuannya dalam memberikan data-data yang diperlukan. 7.
Sahabat-sahabatku DENITE, Nien, Utie, Adhis dan Iwan serta Rettha, Ardi, Jesa, Itong, Yulan, Martha, Mitha, Mbak El, Dias, Deni, Inda, Sofy, Nyit-nyit, Nca, Cuy, Ichi, Achi dan teman-teman GM 42 yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas kebersamaan, kekeluargaan, keceriaan dan kekompakannya.
8.
Teman-teman GM 43 dan 44 serta GMSK 39, 40 dan 41 yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
7
9.
Sarah, Wening dan Methy atas persahabatan kita selama ini.
10. Palupi, Inten, Nina, Afwan, Max, Gladys, Bhaskoro, Abon, Hafiz, Melvin, Febi dan keluarga besar Agriaswara. 11. Teman-teman di Pondok Putri Az-Zahra (Teh Fitri, Teh Wina, Mbak Ifi, Teh Nta, Mbak Tyas, Elis, Sandra, Iwing, Dine, Ocha, Ria, Kiki, Listia, Wiwin dan yang
lainnya
yang
tidak
bisa
disebutkan
satu
per
satu)
atas
persaudaraannya. 12. Para pengajar dan staf TU atas segala bantuannya dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap penelitian in dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bogor, September 2009
Devi Fauziah
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Desember 1986. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara dari Bapak Sunyoto dan Ibu Ayanah. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Bekasi Tengah 1, Bekasi. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Bekasi dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMA Negeri 1 Bekasi dan lulus pada tahun 2005. Pada bulan Agustus 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Kemudian pada bulan Agustus 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Agriaswara. Penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi dan Pertanian (HIMAGITA) periode 2006-2007 sebagai anggota divisi PSDM dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) periode 2007-2008 sebagai sekretaris Klub Peduli Pangan dan Gizi (KPPG). Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan, antara lain Gebyar Nusantara (2005), Masa Perkenalan Departemen Gizi Masyarakat OTAG (2007), Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia HERO 43 (2007), Fiagi Fieldtrip mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi (2007), Funny Fair (2008), seminar FRESH (2008) dan Hari Penglepasan Wisuda (HPS) program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Pada tahun 2007, penulis mengikuti kegiatan Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan dengan judul “Pemanfaatan Ekstrak Bunga Rosella dalam Pembuatan Es Krim dan Sirup”. Pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2008, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Cisarua dan Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Selain itu, penulis juga melaksanakan Internship Dietetic (ID) di RS Marzoeki Mahdi, Bogor pada bulan Februari 2009.
9
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 Latar Belakang .................................................................................. 1 Tujuan ............................................................................................... 3 Kegunaan .......................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5 Ketahanan Pangan Rumahtangga ..................................................... 5 Karakteristik Rumahtangga dan Konsumsi Pangan ........................... 6 Umur Orang Tua ......................................................................... 6 Besar Keluarga ........................................................................... 6 Pendidikan Orang Tua ................................................................ 7 Pengetahuan Gizi Ibu ................................................................. 8 Pekerjaan Orang Tua .................................................................. 8 Alokasi Pengeluaran Rumahtangga ............................................ 9 Karakteristik Anak Balita, Konsumsi dan Status Gizi .......................... 9 Umur Anak Balita ........................................................................ 10 Jenis Kelamin Anak Balita ........................................................... 10 Pola Konsumsi Pangan Anak Balita ............................................ 10 Tingkat Konsumsi Pangan Anak Balita .................................. 11 Frekuensi Konsumsi Pangan Anak Balita ............................... 12 Tabu Makanan ............................................................................ 12 Status Gizi Anak Balita ...................................................................... 14 KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................... 17 METODE
................................................................................................ 20
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ............................................... 20
10
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ................................................... 20 Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................... 21 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 22 Definisi Operasional ........................................................................... 26 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 28 Gambaran Umum Wilayah Penelitian ................................................ 28 Ketahanan Pangan Rumahtangga ..................................................... 30 Karakteristik Rumahtangga ................................................................ 32 Umur Orang Tua ......................................................................... 32 Besar Keluarga ........................................................................... 33 Pendidikan Orang Tua ................................................................ 34 Pengetahuan Gizi Ibu ................................................................. 36 Pekerjaan Orang Tua .................................................................. 37 Alokasi Pengeluaran Rumahtangga ............................................ 38 Karakteristik Anak Balita, Konsumsi dan Status Gizi .......................... 39 Umur Anak Balita ........................................................................ 39 Jenis Kelamin Anak Balita ........................................................... 40 Pola Konsumsi Pangan Anak Balita ............................................ 40 Tingkat Konsumsi Pangan Anak Balita ................................... 44 Frekuensi Konsumsi Pangan Anak Balita ............................... 46 Tabu Makanan ............................................................................ 47 Status Gizi Anak Balita ...................................................................... 48 Status Gizi Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U) ................ 49 Status Gizi Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) ............... 51 Status Gizi Indeks Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) .. 52 Hubungan Antar Variabel ................................................................... 54 Hubungan Karakteristik Rumahtangga dan Tabu Makanan dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Anak Balita ........ 54 .. Hubungan Karakteristik Rumahtangga, Tingkat Kecukupan dan Energi dan Protein serta Tabu Makanan dengan
11
Status Gizi Anak Balita ............................................................... 56 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 59 Kesimpulan ................................................................................... 59 Saran ............................................................................................ 60 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 61 LAMPIRAN ........................................................................................................ 66
12
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Angka kecukupan energi (AKE) dan protein (AKP) anak .............. 12 Tabel 2 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting dan wasting .................................................................... 16 Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data ............................................... 22 Tabel 4 Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS ..................... 25 Tabel 5 Sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Punggelan, Kecamatan Pejawaran dan Kabupaten Banjarnegara .................. 29 Tabel 6 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan ............... 32 Tabel 7 Sebaran rumahtangga berdasarkan umur orang tua .................... 33 Tabel 8 Sebaran rumahtangga berdasarkan besar keluarga ..................... 34 Tabel 9 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pendidikan orang tua. 35 Tabel 10 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu 36 Tabel 11 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan orang tua ............ 37 Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan alokasi pengeluaran rumahtangga ................................................................................ 39 Tabel 13 Sebaran anak balita berdasarkan umur ........................................ 40 Tabel 14 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin ........................... 40 Tabel 15 Pola konsumsi pangan anak balita di wilayah penelitian .............. 41 Tabel 16 Pola konsumsi pangan di kedua kecamatan berdasarkan kontribusi energi dan protein dalam konsumsi sehari ................... 42 Tabel 17 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi anak balita .... 44 Tabel 18 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan energi ........ 45 Tabel 19 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan protein ....... 45 Tabel 20 Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi konsumsi pangan ..... 47 Tabel 21 Bahan pangan yang menjadi tabu bagi anak balita ...................... 48 Tabel 22 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/U ....................... 49 Tabel 23 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi TB/U ....................... 52
13
Tabel 24 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/TB ...................... 53 Tabel 25 Hubungan antara karakteristik rumahtangga dan tabu makanan dengan tingkat kecukupan energi dan protein ............... 55 Tabel 26 Hubungan antara karakteristik rumahtangga, tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi anak balita dengan tabu makanan pada anak balita ....................................... 57
14
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Hubungan karakteristik rumahtangga, pola konsumsi pangan, tabu makanan dan status gizi anak balita ............................... 19 Gambar 2 Cara penarikan contoh ............................................................. 21 Gambar 3 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan rumahtangga ............................................................... 31 Gambar 4 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/U .......... 50 Gambar 5 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi TB/U ........ 52 Gambar 6 Kurva sebaran status gizi berdasarkan status gizi BB/TB.......... 54
15
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Peta tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Propinsi Jawa Tengah ........................................................ 67 Lampiran 2 Hasil uji korelasi Spearman antar variabel ............................. 68 Lampiran 3 Hubungan antara tingkat pendidikan ibu, umur ibu dan pekerjaan ibu dengan pengetahuan gizi ibu ........................... 68
16
PENDAHULUAN Latar Belakang World Declaration and Plan of Action yang dirumuskan pada International Conference on Nutrition (FAO/WHO 1992), mendefinisikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumahtangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat. Dalam sidang World Food Summit 1996, definisi ini diperluas dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai nilai budaya setempat (acceptable within given culture). Ketahanan pangan di Indonesia selama tiga dekade lalu berada dalam kondisi yang relatif baik, yaitu ditunjukkan dengan ketersediaan pangan per kapita meningkat dari 2000 kkal/hari pada tahun 1960 menjadi sekitar 2700 kkal/hari pada tahun 1990, dan tingkat kemiskinan menurun dari 40 persen pada tahun 1976 menjadi 11 persen pada tahun 1996. Hal tersebut membawa dampak pada peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi, pada tingkat nasional maupun rumahtangga. Namun, krisis ekonomi yang telah menerpa Indonesia pada akhir tahun 1990-an telah membawa dampak negatif terhadap ketahanan pangan, kemiskinan dan status gizi masyarakat (Tabor et al. 2000). Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten termiskin di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Survei Rumahtangga Miskin Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara tahun 2007 yaitu sebesar 62,6 persen dan termasuk dalam kategori wilayah risiko tinggi rawan pangan berdasarkan Peta Kerawanan Pangan Departemen Pertanian tahun 2007. Terjadinya keadaan food insecurity (rawan pangan) memberi konsekuensi pada menurunnya status gizi dan kesehatan pada rumahtangga terutama bagi kelompok usia rawan, misalnya anak balita. Memburuknya ketahanan pangan rumahtangga umumnya diikuti dengan meningkatnya jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang. Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007 menunjukkan prevalensi Kurang Energi Protein (KEP) Nasional pada anak balita dengan status gizi buruk sebesar 5,4 persen dan prevalensi status gizi kurang sebesar 13 persen. Sementara di Provinsi Jawa Tengah prevalensi status gizi buruk sebesar 4 persen dan prevalensi status gizi kurang sebesar 12 persen. Jumlah kasus gizi buruk indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) di Kabupaten Banjarnegara tahun 2008 meningkat dari 15 kasus pada bulan Januari menjadi 54 kasus pada bulan Desember (Dinkes Kabupaten Banjarnegara 2008).
17
Bila masalah KEP dibiarkan dan tidak segera ditanggulangi, maka perkembangan pembangunan menjadi terhambat karena masalah gizi memiliki dimensi yang luas, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga masalah
sosial,
ekonomi,
budaya
dan
lingkungan.
Faktor-faktor
yang
menyebabkan timbulnya masalah gizi antara lain adalah kemiskinan, daya beli, pengetahuan gizi, besar keluarga, kebiasaan makan dan faktor lainnya (Suhardjo 1989a). Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata terutama pada rumahtangga yang sangat miskin. Pemenuhan pangan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga, semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi setiap individu di dalamnya. Masalah gizi kurang sangat erat hubungannya dengan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi (Berg 1986). Faktor yang sangat menentukan kualitas pangan adalah tingkat pendapatan. Namun demikian, pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pola konsumsi pangan, karena meningkatnya pengeluaran pangan atau pendapatan tidak selalu diikuti dengan peningkatan kualitasnya. Hal ini dikarenakan peningkatan pengeluaran belum tentu digunakan untuk pangan. Selain tingkat pendapatan, faktor sosial budaya termasuk tabu atau pantangan makanan secara tidak langsung dapat menyebabkan timbulnya masalah gizi kurang. Jika ditinjau dari konteks gizi, bahan pangan yang dipantang tersebut seringkali justru mengandung zat gizi yang baik untuk pertumbuhan. Anak balita merupakan kelompok anggota rumahtangga yang paling rentan terhadap kemungkinan kurang gizi. Kondisi balita sangat peka terhadap jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi. Anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan, karena anak-anak yang paling kecil umumnya makan lebih lambat dan dalam jumlah yang kecil dibandingkan anggota rumahtangga yang lain, sehingga memperoleh bagian yang terkecil dan tidak mencukupi kebutuhan gizi anak yang sedang tumbuh. Menurut hasil penelitian, penderita KEP cenderung lebih banyak dan parah di lingkungan rumahtangga yang hidup dalam kemiskinan dan rawan pangan (Suhardjo 1989a). Umumnya rumahtangga ini memiliki daya beli kurang, jumlah anak banyak disertai tingkat pengetahuan yang rendah, sehingga kekurangan pangan yang dialaminya bersifat kronis dan pada akhirnya mengakibatkan KEP pada anak-anak mereka. Tetapi penelitian yang dilakukan
18
oleh Sanjaya et al. (1999) di Jawa Barat, mengenai positive deviance (penyimpangan positif) status gizi balita, bahwa pada keluarga yang kondisi ekonominya rendah, faktor perawatan yang baik, akan mampu mengoptimalkan status gizi balita. Dengan kata lain, anak-anak dengan keadaan gizi baik juga ditemukan pada rumahtangga miskin atau yang kondisi ekonominya rendah. Dengan adanya hal tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui karakteristik rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan, pola konsumsi pangan, adanya tabu makanan dan status gizi anak balita pada rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan serta hubungan hal-hal tersebut. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola konsumsi pangan dan tabu makanan dengan status gizi anak balita pada rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk : 1. Mengetahui karakteristik rumahtangga (umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua dan alokasi pengeluaran rumahtangga untuk pangan dan non pangan) dan karakteristik balita (umur anak balita dan jenis kelamin). 2. Menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. 3. Mempelajari pola konsumsi pangan anak balita. 4. Mengidentifikasi tabu makanan pada anak balita. 5. Mempelajari status gizi anak balita. 6. Mempelajari hubungan karakteristik rumahtangga, tingkat kecukupan energi dan protein serta tabu makanan pada anak balita dengan status gizi balita. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang hubungan antara pola konsumsi pangan dan tabu makanan pada anak balita dengan status gizi anak balita, khususnya pada rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan. Informasi ini sangat bermanfaat
bagi
instansi
terkait
(misalnya
Dinas
Kesehatan,
Kantor
Pemberdayaan Masyarakat dan sebagainya) dalam merumuskan upaya
19
pemberdayaan masyarakat rawan pangan, terutama dalam hal perbaikan gizi dan kesehatan. Diharapkan masyarakat dapat memperbaiki pola konsumsi pangan, meski dalam keadaan rawan pangan.
20
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga Konsep ketahanan pangan menurut World Food Conference on Human Rights 1993 dan World Food Summit 1996 memiliki arti setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat (Masithah 2002). Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah suatu keadaan dimana setiap rumahtangga mempunyai akses terhadap pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya. Menurut Engle et al. (1997), pada tingkat rumahtangga, ketahanan pangan ditentukan oleh kemampuan rumahtangga untuk mengelola dan mengalokasikan pendapatan untuk pangan bagi seluruh anggotanya, budaya serta kebiasaan makannya. Dalam mewujudkan ketahanan pangan, diperlukan upaya kerjasama yang baik antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha dan penduduk setempat. Pendekatan kerjasama (partnerships) tersebut dimaksudkan untuk penguatan sistem pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga dapat dicapai melalui berbagai kegiatan yaitu peningkatan infrastruktur lokal, peningkatan jaminan ekonomi dan pekerjaan, bantuan pengaman melalui jaring pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, pendidikan dan penyuluhan pertanian, monitoring dan evaluasi untuk membantu masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya (Masithah 2002). Kerawanan pangan rumahtangga umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh pendapatan yang mencukupi. Selain itu, kerawanan pangan rumahtangga juga disebabkan oleh tingginya harga pangan (Deptan RI 2002). Pengklasifikasian ketahanan pangan rumahtangga ke dalam food secure (tahan pangan) dan food insecure (rawan pangan) dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah pengukuran dengan indikator out put, yaitu konsumsi pangan (asupan energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil dan balita). Rumahtangga disebut rawan pangan jika asupan energi atau status gizi lebih rendah dari cut off point (kebutuhan minimum). Tujuh puluh persen dari kebutuhan energi biasanya digunakan sebagai cut off point untuk konsumsi pangan (Zeitlin & Brown 1990).
21
Karakteristik Rumahtangga dan Konsumsi Pangan Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama dalam satu rumahtangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak (BPS 2000). Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam hal konsumsi pangan. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh karakteristik keluarga tersebut, diantaranya umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua dan alokasi pengeluaran rumahtangga. Umur Orang Tua Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga
cenderung
menjadikan
seorang
ibu
akan
lebih
memperhatikan
kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008). Besar Keluarga Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran untuk pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita atau pengeluaran untuk pangan per kapita menurun dengan semakin besarnya keluarga, serta meningkatkan persentase pengeluaran keluarga untuk pangan (Sanjur 1982). Hasil penelitian Kigutha (1994), diacu dalam den Hartog, van Staveren dan
Broower
(1996)
menunjukkan
bahwa
peningkatan
besar
keluarga
berhubungan negatif dengan konsumsi pangan hewani dan pangan pokok, yang mengakibatkan menurunnya konsumsi energi dan protein. Keluarga yang mempunyai jumlah anggota kurang dari 4 orang, dapat menyediakan energi sebesar 181 persen dari kebutuhannya; keluarga yang mempunyai jumlah anggota 4 sampai 7 orang, dapat menyediakan energi sebesar 95 persen dari kebutuhannya; sedangkan keluarga dengan jumlah anggota lebih dari 7 orang, hanya dapat menyediakan energi sebesar 68 persen dari kebutuhannya. Hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa meningkatnya besar keluarga mempengaruhi pemilihan bahan pangan kepada yang lebih murah.
22
Senada
dengan
hasil
penelitian
di
atas,
Suhardjo
(1989b)
mengemukakan bahwa meningkatnya besar keluarga tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan, maka pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit, sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak cukup untuk mencegah kejadian kurang gizi. Besar keluarga juga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam merawat anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam merawat anaknya. Menurut Sukarni (1994), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari satu tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap perawatan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan ibu. Pendidikan Orang Tua Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan (Supariasa et al. 2001). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik (Suhardjo 1989a). Tingkat pendidikan yang rendah mempunyai konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan pangan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang rendah (Hartoyo et al. 2000, diacu dalam Nurmiati 2006). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004). Menurut Pranadji (1988), pendidikan formal seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan gizinya. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula. Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan. Tingkat pendidikan ibu lebih berpengaruh terhadap perbaikan konsumsi anggota keluarga, khususnya anak-anak, daripada tingkat pendidikan ayah (Sanjur 1982). Menurut Engle (1995), tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi mempunyai hubungan positif yang kuat dengan kesehatan anak dan gizi, terutama tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu. Oleh karena itu, peningkatan dan pengetahuan gizi ibu berdampak pada perbaikan gizi anak.
23
Pengetahuan Gizi Ibu Suhardjo (1996) mengemukakan bahwa pengetahuan gizi berhubungan positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hal ini didasarkan pada fakta walaupun rumahtangga memiliki daya beli yang cukup namun bila pengetahuan pangan dan gizi yang dimiliki masih rendah akan sangat sulit bagi rumahtangga yang bersangkutan dapat memenuhi kecukupan pangannnya, baik kualitas, kuantitas maupun ragamnya. Umumnya penyelenggaraan makanan dalam rumahtangga sehari-hari dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai kesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan sehat sedini mungkin kepada putra putrinya. Ibu berperan penting dalam melatih anggota keluarganya untuk membiasakan makan yang sehat. Untuk memperoleh pangan sehat dan sesuai dengan standar maka perlu menguasai pengetahuan tentang pemilihan bahan pangan (Nasoetion & Riyadi 1995). Riyadi
(2001)
menjelaskan
bahwa
perilaku
pemberian
pangan
berhubungan secara bermakna dengan tingkat pendidikan ibu dan status gizi anak. Gangguan status gizi pada anak balita umumnya dikarenakan keluarganya tidak memperhatikan perlunya gizi yang seimbang untuk pertumbuhan. Anak tidak akan tumbuh dengan baik tanpa perawatan dari keluarganya (Nurmiati 2006). Pengetahuan ibu tentang gizi adalah apa yang diketahui ibu tentang pangan sehat, pangan sehat untuk golongan usia tertentu (misalnya anak, ibu hamil dan menyusui) dan cara ibu memilih, mengolah dan menyiapkan pangan dengan benar. Pengetahuan ibu rumahtangga tentang bahan pangan akan mempengaruhi
perilaku
pemilihan
menyebabkan
kesalahan
dalam
pangan
dan
ketidaktahuan
pemilihan
dan
pengolahan
dapat pangan.
Pengetahuan tentang gizi dan pangan yang harus dikonsumsi agar tetap sehat, merupakan faktor penentu kesehatan seseorang (Notoatmodjo 2007). Pekerjaan Orang Tua Menurut Singarimbun (1988), diacu dalam Wahyuni (2008) pada masyarakat tradisional, suatu pembagian kerja yang jelas menurut jenis kelamin cenderung memaksimalkan waktu ibu untuk merawat anaknya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang ibunya sibuk bekerja maka waktu untuk merawat anaknya sangat kurang.
24
Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari 3 kali menjadi 2 kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga Menurut data Susenas (1996 & 1998), pengeluaran untuk pangan rumahtangga miskin berkisar antara 60-80 persen dari pendapatan dan bagi rumahtangga mampu berkisar antara 20-50 persen (Soekirman 2000). Sedangkan pengeluaran untuk pangan di Indonesia masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran rumahtangga yaitu lebih dari 50 persen. Anakanak yang tumbuh dalam sebuah keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Harper et al. 1986). Persen pengeluaran untuk pangan menunjukkan rumahtangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk pangan dari total pendapatan
sebesar
70
persen
atau
lebih.
Namun,
pada
keluarga
berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30 persen pendapatan dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70 persen (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995 dan Behrman 1995, diacu dalam Tanziha 2005). Karakteristik Anak Balita, Konsumsi dan Status Gizi Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan zat gizi karena masih dalam taraf perkembangan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama 2008).
25
Umur Anak Balita Biasanya anggota keluarga pria yang lebih tua (senior) mendapat jumlah dan kualitas pangan yang lebih baik daripada anak kecil dan wanita-wanita muda. Padahal anak-anak membutuhkan banyak zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Jelaslah keadaan tersebut akan mengakibatkan buruknya keadaan gizi pada anak. Pada banyak penelitian dilaporkan bahwa pada usia ini kebanyakan anak hanya mau makan satu jenis pangan selama berminggu-minggu (food jag). Orang tua tidak perlu gusar, asal pangan tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi anak. Sementara itu, orang tua (atau pengasuh anak) tidak boleh jera menawarkan kembali jenis pangan yang lain setiap kali makan (Arisman 2004). Jenis Kelamin Anak Balita Pada masyarakat tradisional, wanita mempunyai status yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Keadaan ini dapat mengakibatkan angka kematian bayi dan kurang gizi masih tinggi pada wanita. Berdasarkan penelitian di Jordan tahun 1964 diperoleh data bahwa kekurangan gizi banyak terdapat pada anak wanita daripada anak laki-laki. Dalam hal ini anak laki-laki mendapat prioritas dalam distribusi pangan lebih tinggi daripada perempuan (Sajogyo 1994). Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki, yaitu setiap saat harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup manusia. Kebutuhan pangan tersebut perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, yang layak, aman dikonsumsi dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Widowati & Djoko 2001). Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi yang disebut pola konsumsi pangan. Kebutuhan pangan harus diperoleh dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak terhadap kesehatan (Hardinsyah 2000). Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makannya (Suhardjo 1989a), selain itu juga akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan sehingga kecukupan konsumsi pangan perlu mendapat perhatian. Selanjutnya Khomsan (2003) menambahkan bahwa anak-anak yang
26
berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi pangan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada. Pada anak balita, perhatian terhadap pangan menurun secara makin nyata dan baru hilang setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Kesukaan serta ketidaksukaan terhadap pangan berubah dari hari ke hari dan dari minggu ke minggu. Selera makan biasanya tidak bisa diperkirakan. Anak bisa makan lahap pada waktu makan pertama tetapi menolak pada waktu makan berikutnya. Keluhan sebagian besar orang tua bahwa anak paling sulit makan malam. Ada kemungkinan bahwa seorang anak yang telah makan 2 kali dan mendapat beberapa jenis jajanan atau kudapan, telah terpenuhi kebutuhan energi dan zat-zat gizinya, sebelum waktu makan malam (Nasoetion & Wirakusumah 1990). Tingkat Konsumsi Pangan Anak Balita Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur kimia yang terkandung dalam pangan yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh secara normal. Manusia memerlukan zat gizi agar dapat hidup dengan sehat dan mempertahankan kesehatannya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan internal dan eksternal, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan, serta untuk aktivitas (Hardinsyah & Martianto 1992). Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5 tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya pada usia 1-3 tahun makanan yang dikonsumsi tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu, sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat memilih makanan yang disukainya (Supriatin 2004). Tahap awal dari kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan penilaian konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang kurang akan berdampak terhadap kurangnya zat gizi dalam tubuh. Secara umum terdapat dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu konsumsi energi dan protein. Kebutuhan energi biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur dan susu (Hardinsyah & Martianto 1992). Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi individu. Basis dari AKG adalah kebutuhan (Estimated
27
Average Requirement). Untuk mengetahui kecukupan gizi anak balita digunakan AKG tahun 2004, yang disajikan pada Tabel 1. Kecukupan gizi tersebut dianjurkan untuk dipenuhi dari konsumsi pangan anak balita setiap harinya. Tabel 1 Angka kecukupan energi (AKE) dan protein (AKP) anak Golongan Berat Badan Tinggi Badan Usia (kg) (cm) 0 - 6 bulan 6.0 60 7 - 11 bulan 8.5 71 1 - 3 tahun 12.0 90 4 - 6 tahun 18.0 110 7 - 9 tahun 25.0 120 Sumber: Hardinsyah dan Tambunan (2004)
AKE (kkal/kap/hari) 550 650 1000 1550 1800
AKP (g/kap/hari) 10 16 25 39 45
Frekuensi Konsumsi Pangan Anak Balita Khomsan (2003) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan pada anak, ada yang terikat pada pola makan 3 kali per hari tetapi banyak pula yang mengkonsumsi pangan antara 5 sampai 7 kali per hari atau lebih. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar. Suatu hasil pengamatan terhadap anak-anak di negara Barat memperlihatkan bahwa pada kelompok anak yang frekuensi konsumsi pangannya kurang dari 4 kali per hari mengkonsumsi energi, protein, vitamin C, dan zat besi (Fe) lebih rendah dari rata-rata konsumsi anak-anak yang seumur. Sedangkan konsumsi pada kelompok anak yang frekuensi konsumsi pangannya lebih dari 6 kali per hari ternyata lebih tinggi dari rata-rata konsumsi anak yang seumur (Nasoetion & Wirakusumah 1990). Tabu Makanan Pantangan
atau
tabu
makanan
adalah
suatu
larangan
untuk
mengkonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman budaya atau hukuman terhadap barangsiapa yang melanggarnya. Dalam ancaman ini, ada kekuatan supranatural dan mistik yang akan menghukum mereka yang melanggar aturan ini atau tabu (Susanto 1997). Dasar dan kebiasaan pangan dicirikan dalam suatu sistem nilai seseorang dalam memilih makanan yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi. Sistem nilai tersebut pada dasarnya berasal dari tiga sumber kebenaran yang dipercayai yaitu (1) agama dan kepercayaan kepada Tuhan, (2)
28
adat-adat yang berasal dari nenek moyang dan (3) pengetahuan yang diperoleh dari proses pendidikan formal dan sosialisasi dalam keluarga dan dari pendidikan informal melalui media massa (Nikmawati 1999). Tabu berasal dari Polynesia yang berarti suatu larangan yang ditujukan terhadap makanan tertentu atau benda tertentu yang tidak boleh disentuh atau dimakan. Larangan biasanya karena tradisi. Pantangan atau tabu makanan merupakan sesuatu yang diwariskan dari leluhur melalui orang tua, terus ke generasi-generasi yang akan datang. Orang tidak lagi mengetahui kapan suatu pantangan dimulai dan apa sebabnya. Orang yang menganut suatu pantangan biasanya percaya bahwa bila pantangan itu dilanggar akan memberikan akibat merugikan yang dianggap sebagai suatu hukuman. Pada kenyataannya hukuman ini tidak selalu terjadi, bahkan seringkali tidak terjadi sama sekali (Sukandar 2007). Masyarakat
mengenal
bermacam-macam
tabu
makanan
yang
diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu menurut waktu meliputi tabu yang bersifat permanen dan bersifat sementara; menurut besarnya kelompok dibagi dalam : tabu bagi seluruh anggota masyarakat, tabu bagi kelompok-kelompok tertentu di dalam sistem kekerabatan, tabu bagi kelompok profesional sosial, tabu berdasarkan kelas sosial, tabu menurut jenis kelamin dan tabu bagi individuindividu tertentu; serta menurut periode-periode di dalam lingkaran hidup, meliputi : tabu pada saat hamil, saat menyapih bayi, saat sesudah menyapih bayi, saat puber dan saat menderita penyakit. Beberapa jenis makanan dilarang untuk dikonsumsi oleh anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui atau pun kaum remaja. Jika ditinjau dari konteks gizi, makanan tersebut justru mengandung nilai gizi yang tinggi, tetapi tabu itu tetap dijalankan dengan alasan takut menanggung risiko yang akan timbul sehingga masyarakat yang demikian akan mengkonsumsi makanan yang bergizi dalam jumlah yang kurang, dengan demikian maka penyakit kekurangan gizi akan mudah timbul di masyarakat, terutama pada anak-anak. Tabu berkenaan dengan makanan banyaknya bersangkutan dengan emosi sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar tabu makanan terutama dianut oleh para wanita atau dikenakan bagi anak-anak yang masih di bawah perlindungan dan asuhan wanita tersebut. Praktis semua tabu tentang makanan berhubungan dengan status gizi dan kesehatan (Suhardjo 1989a).
29
Status Gizi Anak Balita Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah seseorang normal atau bermasalah (gizi salah). Gizi salah adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan dan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, kecerdasan, dan aktivitas atau produktivitas (Depkes RI 2001). Menurut Riyadi (2001), status gizi menggambarkan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang
yang
diakibatkan
oleh
konsumsi,
penyerapan,
dan
penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui baik atau buruk status gizinya. Faktor gizi yang mempengaruhi status gizi secara langsung yaitu konsumsi pangan dan keadaan kesehatan (Soekirman 2000). Status gizi balita dapat mencerminkan keadaan status gizi masyarakat (Suhardjo & Riyadi 1990). Bayi sampai anak berusia lima tahun (balita) dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan yang rawan terhadap kekurangan gizi, termasuk KEP. KEP adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan yang tidak cukup menjadi energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Menurut Engle, Manon dan Haddad (1997), anak balita yang mengalami KEP salah satunya disebabkan oleh kurangnya kepedulian ibu dalam merawat anak. KEP pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah dan masyarakat bahkan oleh keluarga. Artinya, andaikata di suatu daerah ada sejumlah anak yang menderita gizi kurang karena KEP, tidak segera menjadi perhatian karena anak tidak tampak sakit. Di samping itu, terjadinya KEP pada anak balita tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan. Artinya, dalam keadaan pangan di pasar melimpah pun masih mungkin terjadi kasus KEP (Soekirman 2000). Suhardjo (1989a) menambahkan pada umumnya KEP terjadi karena kemiskinan, pangan kurang tersedia, pengetahuan gizi rendah, kebiasaan makan dan faktor lainnya. Namun, ada fakta yang menunjukkan bahwa gizi kurang tidak selalu terjadi pada keluarga-keluarga miskin atau tinggal di lingkungan yang kumuh. Dengan kata lain, anak-anak KEP juga dapat ditemukan pada keluarga-keluarga mampu (tidak miskin) yang hidup di lingkungan masyarakat yang cukup baik. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan, antropometri, biokimia dan klinis (Riyadi 2001). Indikator yang digunakan
30
tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diinginkan, serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya. Antropometri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung yang umum digunakan untuk mengukur dua masalah gizi utama di dunia, yaitu masalah gizi buruk (terutama pada anak-anak dan wanita hamil) dan masalah gizi lebih pada semua kelompok umur (Jellife & Jellife 1989). Menurut Jellife dan Jellife (1989), pengukuran dengan cara antropometri memiliki beberapa keuntungan yaitu relatif murah, obyektif, mudah dilakukan pada populasi yang besar serta memberikan informasi gangguan pertumbuhan. Selanjutnya Gibson (1993) menambahkan bahwa cara antropometri relatif cepat pelaksanaannya dan tidak terlalu banyak membutuhkan alat. Selanjutnya, Jahari (1995), diacu dalam Briawan dan Herawati (2005) menjelaskan bahwa antropometri erat kaitannya dengan status gizi seseorang, terutama pada masa pertumbuhan. Selain itu, antropometri paling sesuai digunakan di negara berkembang, seperti Indonesia, daripada pengukuran secara klinis dan biokimia yang mahal dan sulit dilakukan. Antropometri digunakan untuk mengetahui keseimbangan antara asupan protein dan energi. Keseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan untuk menilai status gizi, diantaranya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa et al. 2001). Indeks berat badan menurut umur (BB/U) mencerminkan status gizi saat ini, karena berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak) yang sensitif terhadap perubahan yang mendadak, seperti infeksi otot dan tidak cukup makan (Tarwotjo & Djuwita 1990). Berat badan merupakan indikator yang sangat labil. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight (Riyadi 2001). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) mencerminkan status gizi masa lalu, karena pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu pendek (Supariasa et al. 2001). Defisit TB/U menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. Stunting merefleksikan proses kegagalan untuk mencapai
31
pertumbuhan linear sebagai akibat dari keadaan gizi dan atau kesehatan yang subnormal (Riyadi 2001). Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini, karena pada keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa et al. 2001). Wasting secara luas digunakan untuk menjelaskan proses yang mengarah pada terjadinya kehilangan berat badan, sebagai konsekuensi dari kelaparan akut dan atau penyakit berat (Riyadi 2001). Penentuan status gizi dengan cara z-skor lebih akurat. Karena hasil hitung telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri (Husaini 1988, diacu dalam Masithah 2002). WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei. Tabel 2 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting dan wasting Klasifikasi Berat Prevalensi Masalah Gizi Underweight (%) Rendah <10 Sedang 10-19 Tinggi 20-29 Sangat tinggi ≥30 Sumber : WHO (1995), diacu dalam Riyadi (2001)
Prevalensi Stunting (%) <20 20-29 30-39 ≥40
Prevalensi Wasting (%) <5 5-9 10-14 ≥15
32
KERANGKA PEMIKIRAN Masa balita merupakan masa pertumbuhan pesat. Untuk tumbuh optimal anak balita memerlukan pangan yang banyak mengandung cukup zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Namun justru pada masa ini banyak ditemui kendala dalam pertumbuhan dan perkembangannya, terutama dilihat dari segi konsumsi, sehingga banyak yang mengalami gizi kurang dan bahkan gizi buruk. Pola
konsumsi
pangan
balita
dipengaruhi
oleh
karakteristik
rumahtangga. Karakteristik rumahtangga meliputi umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pengetahuan gizi ibu dan alokasi pengeluaran rumahtangga. Besar keluarga berhubungan erat dengan tingkat pengeluaran rumah tangga, baik pengeluaran pangan maupun non pangan. Rumahtangga yang miskin, lebih mudah memenuhi kebutuhan makan apabila anggota rumahtangganya kecil. Menurut Sanjur (1982), besar keluarga mempengaruhi belanja pangan. Alokasi belanja pangan per kapita menurun dengan
meningkatnya
anggota
rumahtangga.
Rumahtangga
yang
berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari penghasilannya untuk membeli pangan. Semakin tinggi penghasilan, semakin menurun persentase penghasilan yang dipakai untuk membeli pangan (Suhardjo 1989a). Tingkat pendidikan keluarga juga berpengaruh terhadap tingkat pengeluaran rumahtangga. Tingkat pendidikan dapat dijadikan cerminan keadaan sosial ekonomi di masyarakat. Sariningrum (1990) menyatakan bahwa tingkat pendidikan istri di samping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumahtangga, juga berperan dalam penyusunan pola konsumsi pangan rumahtangga. Pengeluaran rumahtangga berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah perubahanperubahan dalam susunan pangan. Namun semakin tinggi alokasi pengeluaran untuk pangan tidak menjamin telah beragamnya konsumsi pangan. Perubahan utama yang terjadi dalam pola konsumsi pangan adalah pangan yang dimakan lebih berharga (Suhardjo 1989a dan Harper, Deaton, Driskel 1986). Selanjutnya faktor sosial budaya, seperti adanya tabu makanan dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Terutama bila bahan pangan yang dianggap tabu merupakan pangan yang mengandung zat gizi yang baik untuk
33
pertumbuhan, sehingga dapat menyebabkan masalah kekurangan gizi akibat tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Status gizi anak balita secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi pangan. Pola konsumsi pangan balita yang masih tergantung dari pola konsumsi pangan keluarga, dapat mempengaruhi tingkat konsumsi dan frekuensi konsumsi pangan. Tingkat konsumsi merupakan rasio atau perbandingan konsumsi aktual dengan angka kebutuhan. Frekuensi konsumsi merupakan jumlah kali makan anak balita. Tingkat konsumsi dan frekuensi konsumsi secara langsung mempengaruhi status gizi seseorang. Selain itu, infeksi juga mempengaruhi status gizi anak balita. Namun dalam penelitian ini, penyakit infeksi atau riwayat kesehatan merupakan variabel yang tidak diteliti. Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
34
Karakteristik rumahtangga : Umur orang tua Besar keluarga Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Pengetahuan gizi ibu Alokasi pengeluaran rumahtangga
Kebiasaan makan rumahtangga
Tabu makanan
Pola konsumsi pangan anak balita Tingkat konsumsi pangan anak balita Frekuensi konsumsi pangan anak balita
Status gizi anak balita
Gambar 1 Hubungan karakteristik rumahtangga, pola konsumsi pangan, tabu makanan dan status gizi anak balita
Keterangan :
= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang diteliti
35
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Pengamatan terhadap variabel bebas dan terikat dilakukan sekaligus pada suatu saat dan secara langsung. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Martianto et al. (2009) yang berjudul ”Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah”. Pemilihan Kabupaten Banjarnegara sebagai tempat penelitian dilakukan secara purposive. Hingga tahun 2006, Kabupaten Banjarnegara masih memiliki wilayah dengan rumah tangga berisiko defisit energi dan protein. Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Jawa Tengah disajikan pada Lampiran 1. Pada
kabupaten
ini
dipilih
dua
kecamatan
secara
purposive
berdasarkan tingkat ketahanan pangannya yaitu Kecamatan Pejawaran (daerah dataran tinggi) dan Kecamatan Punggelan (daerah dataran rendah) dengan risiko kerawanan
pangan
yang
tinggi.
Pemilihan
Kecamatan
Pejawaran
dan
Kecamatan Punggelan didasarkan karakteristik antar desa yang cenderung homogen. Tiga desa dipilih di setiap kecamatan berdasarkan kriteria yang sama. Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, yaitu pada bulan Februari sampai dengan Maret 2009. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh penelitian ini adalah anak usia di bawah lima tahun (balita) yang tinggal di lokasi penelitian. Pemilihan contoh dilakukan secara purposive, dengan kriteria keluarga lengkap atau utuh yang tinggal dalam rumahtangga yang sama, mempunyai anak balita (anak usia 24-59 bulan), dan bersedia untuk dijadikan contoh. Survei pendahuluan dilakukan untuk melakukan sampling, yang akan mengelompokkan keluarga yang memiliki balita. Contoh di setiap desa berjumlah 50 keluarga yang memiliki balita. Jumlah ini dapat diterima karena telah melebihi jumlah minimum sampel yang dapat dianalisis secara statistik (≥30 contoh). Selain itu, tingkat keragaman antar rumahtangga di setiap desa rendah sehingga jumlah contoh yang diambil dianggap dapat mewakili persentase populasi anak balita di wilayah tersebut. Pemilihan contoh dengan metode simple random sampling (acak sederhana)
36
dilakukan untuk memilih contoh dari kerangka contoh. Total contoh pada penelitian ini adalah 300 contoh yang didapatkan dari 6 desa. Kabupaten Banjarnegara (20 Kecamatan) Purposif Kecamatan Pejawaran
Kecamatan Punggelan
(20 Kecamatan)
(20 Kecamatan) Purposif
Pejawaran
Sidengok
Giritirta
Punggelan
Kecepit
Karangsari
Acak Sederhana
300 contoh Gambar 2 Cara penarikan contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer mencakup karakteristik rumahtangga, karakteristik anak balita, tingkat ketahanan pangan rumahtangga, pola konsumsi pangan anak balita dan tabu makanan pada anak balita. Data karakteristik rumahtangga terdiri dari umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pengetahuan gizi ibu dan alokasi pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rumahtangga meliputi pengeluaran pangan dan non pangan. Karakteristik anak balita mencakup umur anak balita dan jenis kelamin anak balita. Pola konsumsi pangan anak balita meliputi tingkat konsumsi pangan anak balita dan frekuensi konsumsi pangan anak balita. Tingkat ketahanan pangan rumahtangga didapatkan melalui wawancara menggunakan Food Frequencies Questionnaire (FFQ) konsumsi pangan rumahtangga selama seminggu terakhir. Data tabu makanan diperoleh dengan menanyakan kepada ibu anak balita mengenai bahan pangan apa yang dijadikan tabu atau dilarang diberikan kepada anak balita serta alasannya. Semua data tersebut dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data konsumsi pangan anak balita diperoleh dengan food recall 1 x 24 jam yang diambil selama dua hari, sedangkan data status gizi anak balita dikumpulkan dengan menggunakan metode antropometri
37
melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan. Data sekunder adalah data tentang keadaan umum geografis, karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat yang diperoleh dari kantor kecamatan masing-masing lokasi penelitian. Tabel 3 menunjukkan jenis data yang dikumpulkan dan cara pengumpulannya. Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data Data
Jenis Data
Cara Pengumpulan Data
Umur orang tua Besar keluarga Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Pengetahuan gizi ibu Pengeluaran rumahtangga
Primer
Wawancara
Primer
Wawancara
Variabel
Karakteristik rumahtangga
Karakteristik anak balita Tingkat ketahanan pangan rumahtangga Pola konsumsi pangan balita Tabu makanan pada anak balita Status gizi anak balita
Umur Jenis kelamin Tingkat konsumsi energi rumahtangga Tingkat konsumsi pangan Frekuensi konsumsi pangan
Primer Primer Primer
Wawancara
Primer
Antropometri
Sekunder
Kantor kecamatan dan desa
BB/U TB/U BB/TB
Keadaan umum lokasi penelitian
Wawancara menggunakan FFQ Recall 2x24 jam, wawancara
Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data meliputi entry, coding, editing dan analisis. Data
yang
terkumpul
diolah
dan
dianalisis
secara
deskriptif
dengan
menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan Statistical Program Social Sciences (SPSS) versi 13.0 for Windows. Analisis statistik korelasi Spearman digunakan untuk menguji hubungan antar variabel. Umur orang tua. Data umur orang tua yang diperoleh dikategorikan berdasarkan kelompok usia, yaitu remaja (13-19 tahun), dewasa muda (20-30 tahun), dewasa madya (31-50 tahun), dewasa lanjut (51-75 tahun) dan lansia (≥76 tahun) (Turner JS & Helms DB 1991, diacu dalam Gabriel 2008). Besar keluarga. Besar keluarga diketahui dengan menanyakan kepada responden jumlah anggota keluarganya. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5 sampai 7 orang) dan keluarga besar (≥8 orang) (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008). Pendidikan orang tua. Data tingkat pendidikan orang tua diolah dengan mengelompokkannya menjadi enam kategori, yaitu tidak sekolah, tidak
38
tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SLTP/sederajat, tamat SLTA/sederajat dan perguruan tinggi. Pekerjaan orang tua. Data jenis pekerjaan orang tua dikategorikan menjadi petani, buruh tani, buruh bangunan/industri, supir, guru, tukang ojek, wirausaha, penjaga toko, karyawan sekolah, perangkat desa, security, karyawan swasta, pegawai negeri sipil (PNS), pembantu rumah tangga (PRT) dan tidak bekerja. Alokasi
pengeluaran
rumahtangga.
Data
alokasi
pengeluaran
rumahtangga dibagi menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan yang dihitung persen per kapita per bulan. Pengetahuan gizi ibu. Pengetahuan gizi diperoleh dengan memberikan 10 pertanyaan kepada responden, dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan. Selanjutnya dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu baik (>80 persen), sedang (60-80 persen), dan rendah (<60 persen) (Khomsan 2000). Karakteristik anak balita. Data karateristik anak balita meliputi data umur dan jenis kelamin anak balita. Umur anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-59 bulan. Data jenis kelamin anak balita terdiri dari dua kategori yaitu laki-laki dan perempuan. Tingkat
ketahanan
pangan
rumahtangga.
Pengukuran
tingkat
ketahanan pangan rumahtangga berdasarkan pada Tingkat Kecukupan Energi (TKE) rata-rata rumahtangga yang diperoleh dari konsumsi pangan rumahtangga dengan metode Food Frequencies Questionnaire (FFQ) selama satu minggu. Untuk menilai TKE rata-rata rumahtangga diperlukan Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata rumahtangga (Hardinsyah & Martianto 1992). AKE dihitung dengan rumus sebagai berikut: AKERK = ΣAKEI n Keterangan: AKERK = Angka Kecukupan Energi Rata-rata Rumahtangga (Kal/Kap/hari) AKEI
= Angka Kecukupan Energi Individu
n
= Jumlah anggota rumahtangga TKE dihitung dengan membandingkan konsumsi dengan kecukupan
yang dianjurkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: TKE = rata-rata konsumsi energi aktual rumahtangga x 100% rata- rata AKE rumahtangga
39
Pengklasifikasian
tingkat
ketahanan
pangan
secara
kuantitatif
ditentukan dengan cut off point jumlah energi (kalori) rumahtangga menurut Zeitlin dan Brown (1990), yaitu tahan pangan jika TKE >90 persen, rawan pangan jika TKE 70-90 persen dan sangat rawan pangan jika <70 persen. Tingkat konsumsi pangan anak balita. Data konsumsi pangan anak diperoleh dengan metode food recall 1 x 24 jam selama dua hari yang meliputi jenis dan jumlah pangan. Kemudian dikonversikan ke dalam kandungan zat gizi, yaitu energi dan protein dengan menggunakan Microsoft Excel. Rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi konsumsi pangan yang berasal dari pangan yang beragam adalah : Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan : KGij = Kandungan zat gizi i dari bahan pangan j Bj
= Berat bahan pangan j (gram)
Gij
= Kandungan zat gizi i dari bahan pangan j
BDDj = Persen bahan pangan j yang dapat dimakan (Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994). Tingkat konsumsi energi dan protein dihitung dengan membandingkan konsumsi energi dan protein dengan AKG yang dianjurkan yang dinyatakan dalam persen. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Secara umum, tingkat konsumsi dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994) : Tingkat konsumsi zat gizi =
Konsumsi zat gizi aktual
x 100%
Angka Kecukupan Gizi (AKG) Untuk mengetahui angka kecukupan gizi individu atau anak digunakan rumus sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994): AKG koreksi = Berat badan aktual sehat (kg) x AKG Berat badan dalam daftar AKG Tingkat konsumsi energi dan protein dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu defisit berat (<70%), defisit sedang (70-90%) dan cukup (>90%) (Martianto et al. 2008).
40
Frekuensi
konsumsi
pangan
anak
balita.
Diperoleh
dengan
menanyakan berapa kali anak balita mengkonsumsi pangan dalam seminggu terakhir. Pola konsumsi pangan balita. Pola konsumsi pangan anak balita atas kelompok pangan pokok dan sumber protein berdasarkan kontribusi energi dan protein terhadap konsumsi sehari. Pengklasifikasian pola konsumsi pangan pokok dan pangan sumber protein anak balita adalah tunggal (memberikan kontribusi >95% kkal dan gram dalam sehari), ganda (pangan A memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan B, B≥10% kkal dan gram) dan beranekaragam (pangan A memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan B, dan pangan B memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan C, C≥5% kkal dan gram) (Martianto D 17 Agustus 2009, komunikasi pribadi). Tabu makanan. Diperoleh dengan menanyakan kepada ibu balita bahan pangan apa yang ditabukan atau menjadi pantangan makanan serta alasannya. Status gizi anak balita. Penilaian status gizi anak balita diperoleh dengan pendekatan antropometri berdasarkan pada simpangan baku (z-skor) menurut BB/U, TB/U, dan BB/TB dengan rumus sebagai berikut : z-skor = nilai individual subyek – nilai median baku rujukan nilai simpang baku rujukan Selanjutnya hasil perhitungan z-skor diklasifikasikan ke dalam baku WHO-NCHS yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS No
Indeks
Nilai z-skor > +2 SD -2 SD s/d +2 SD 1 BB/U -3 SD s/d < -2 SD < -3 SD ≥ -2 SD 2 TB/U < -2 SD > +2 SD -2 SD s/d +2 SD 3 BB/TB -3 SD s/d < -2 SD < -3 SD Sumber : Baku WHO-NCHS diacu dalam Riyadi 2004
Status Gizi Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang (Underweight) Gizi buruk Normal Pendek (Stunting) Gemuk Normal Kurus (Wasting) Sangat kurus
41
Definisi Operasional Anak balita adalah anak laki-laki atau perempuan dalam keluarga yang berusia antara 24-59 bulan. Karakteristik anak balita adalah ciri-ciri khas pada anak balita yang terdiri dari umur dan jenis kelamin. Umur anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-59 bulan, serta jenis kelamin anak balita terdiri dari dua kategori yaitu laki-laki dan perempuan. Karakteristik rumahtangga adalah ciri-ciri khas yang dipunyai oleh masingmasing rumahtangga, seperti umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pengetahuan gizi ibu, dan pengeluaran rumahtangga (pengeluaran pangan dan non pangan). Umur orang tua adalah umur yang dinyatakan dengan umur penuh dalam satuan tahun, yang dikategorikan berdasarkan kelompok usia, yaitu remaja (13-19 tahun), dewasa muda (20-30 tahun), dewasa madya (31-50 tahun), dewasa lanjut (51-75 tahun) dan lansia (≥76 tahun) (Turner JS&Helms DB 1991, diacu dalam Gabriel 2008). Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal menetap bersama dalam satu atap dan hidup dari penghasilan yang sama. Peubah besar keluarga diukur dengan mengelompokkannya menjadi keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5 sampai 7 orang) dan keluarga besar (≥8 orang) (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008). Pendidikan orang tua adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang ditempuh atau ditamatkan oleh individu yang bersangkutan, dikategorikan atas tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SLTP/sederajat, tamat SLTA/sederajat dan perguruan tinggi. Pekerjaan orang tua adalah pekerjaan utama orang tua (suami dan istri) yang memberikan penghasilan terbesar dan tetap bagi keluarga, dikategorikan atas petani, buruh tani, buruh bangunan/industri, supir, guru, tukang ojek, wirausaha, penjaga toko, karyawan sekolah, perangkat desa, security, karyawan swasta, pegawai negeri sipil (PNS), pembantu rumahtangga (PRT) dan tidak bekerja. Pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pemahaman ibu mencakup mengenal jenis makanan bergizi, mengenal ciri-ciri anak bergizi baik, mengenal jenis makanan sumber protein hewani dan nabati, mengenal jenis makanan sumber vitamin A dan vitamin C, mengenal jenis makanan yang
42
mengandung iodium, memahami makna garis merah dan hijau pada kartu menuju sehat (KMS) dan mengenal golongan yang rentan terhadap kekurangan gizi yang didapatkan dari penilaian atas jawaban ibu atas daftar pertanyaan yang diajukan, dinyatakan dalam persen dan dikategorikan yaitu baik (>80 persen), sedang (60-80 persen), dan rendah (<60 persen) (Khomsan 2000). Alokasi pengeluaran rumahtangga adalah alokasi pengeluaran rumahtangga untuk pangan dan pengeluaran untuk non pangan yang dihitung dalam persen per kapita per bulan. Tabu makanan adalah suatu larangan bagi anak balita untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya atas hukuman terhadap orang yang melanggarnya. Pola konsumsi pangan anak balita adalah bahan pangan yang menjadi pola di wilayah penelitian berdasarkan kontribusi energi dan protein dalam konsumsi sehari. Tingkat konsumsi energi (TKE) anak balita adalah total asupan energi aktual dengan angka kecukupan energi sehari anak usia 24-59 bulan dan dinyatakan dalam persen dengan metode food recall 24 jam selama dua hari berturut-turut. Tingkat konsumsi protein (TKP) anak balita adalah total asupan protein aktual dengan angka kecukupan protein sehari anak usia 24-59 bulan dan dinyatakan dalam persen dengan metode food recall 24 jam selama dua hari berturut-turut. Frekuensi
konsumsi
pangan
anak
balita
adalah
derajat
keseringan
mengkonsumsi pangan dalam satu minggu terakhir. Status gizi anak balita adalah keadaan tubuh anak balita yang ditentukan berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan menggunakan baku WHO-NCHS.
43
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Banjarnegara Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Banjarnegara terletak pada jalur pegunungan di bagian tengah Jawa Tengah sebelah Barat yang membujur dari arah Barat ke Timur. Terletak di antara 7º12’ - 7º31’ Lintang Selatan dan 109º29’ - 109º45’50” Bujur Timur. Sebelah utara Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan Kabupaten
Pekalongan,
sebelah
timur
berbatasan
dengan
Kabupaten
Wonosobo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas (BPS 2007). Luas wilayah Kabupaten Banjarnegara tercatat 106.970,997 hektar (Ha) atau sekitar 3,29 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah (3,25 juta Ha). Ditinjau dari ketinggiannya, Kabupaten Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100 sampai 500 m di atas permukaan laut (m dpl) sebesar 37,04 persen, kemudian antara 500 sampai 1.000 m dpl sebesar 28,74 persen, lebih besar dari 1000 m dpl sebesar 24,4 persen dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m dpl sebesar 9,82 persen. Berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografisnya dapat digolongkan menjadi daerah pegunungan relief bergelombang dan curam di bagian utara, wilayah dengan relief datar di bagian tengah, dan wilayah dengan relief curam di bagian selatan (BPS 2007). Kabupaten Banjarnegara beriklim tropis, musim hujan dan musim kemarau silih berganti sepanjang tahun. Bulan basah umumnya lebih banyak dari bulan kering. Curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Banjarnegara sebesar 4.269 mm per tahun, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Pejawaran sebesar 2.282 mm per tahun (BPS 2007). Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sampai akhir tahun 2007 adalah sebanyak 910.513 jiwa, terdiri dari 454.986 laki-laki dan 455.527 perempuan. Kepadatan penduduk akhir tahun 2007 sebesar 851 jiwa per km2. Kepadatan rumahtangga menurut kecamatan, tertinggi adalah Kecamatan Banjarnegara, Purworejo Klampok dan Rakit dengan kepadatan masing-masing sebesar 546 rumahtangga per km2, 535 rumahtangga per km2 dan 441 rumahtangga per km2. Pertumbuhan penduduk dari tahun 2002 sampai dengan
44
tahun 2007 secara umum mengalami penurunan. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan. Lokasi penelitian difokuskan pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran. Tabel 5 menyajikan sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Punggelan, Kecamatan Pejawaran dan Kabupaten Banjarnegara. Jumlah anak balita gizi buruk dan gizi kurang di Kecamatan Pejawaran (masing-masing sebesar 1,64% dan 11,01%) lebih tinggi daripada di Kecamatan Punggelan (masing-masing sebesar 0,65% dan 6,06%). Tabel 5 Sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Punggelan, Kecamatan Pejawaran dan Kabupaten Banjarnegara Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Gizi Baik (%) Punggelan 0,65 6,06 91,27 Pejawaran 1,64 11,01 85,96 Banjarnegara 0,56 8,6 89,68 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara (2008)
Gizi Lebih (%) 2,02 1,39 1,16
Kecamatan Punggelan Kecamatan Punggelan merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 10.284,01 Ha yang terdiri dari 17 desa. Batas wilayah Kecamatan Punggelan adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pandanarum dan Kecamatan Kalibening, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Wanadadi dan Kecamatan Rakit, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga. Kecamatan Punggelan merupakan wilayah yang topografinya bergelombang dan berbukit dan sebagian besar merupakan tanah kering, sehingga cocok untuk tanaman perkebunan dan kayu-kayuan (BPS 2007). Penduduk Kecamatan Punggelan pada akhir tahun 2007 sebanyak 70.877 jiwa, dengan jumlah rumahtangga 18.057 dan rata-rata anggota rumahtangga 4 orang serta kepadatan penduduk sebesar 689 jiwa per km2. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Punggelan adalah bekerja di sektor pertanian yang mencapai 43,8 persen, sektor jasa 5,50 persen, sektor perdagangan 3,96 persen, sektor transportasi dan industri masing-masing 0,97 persen dan 2,19 persen, sedangkan yang bekerja di sektor lainnya mencapai 41,08 persen. Sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai penentu
keberhasilan
sektor-sektor
lainnya
di
Kecamatan
Punggelan
digolongkan masih sangat rendah. Hal ini terlihat pada angka tingkat pendidikan yang masih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan
45
Tingkat Pertama (SLTP) yang mencapai 55,85 persen. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan tamatan Akademi maupun Perguruan Tinggi (AK/PT) masing-masing hanya sebesar 7,7 persen dan 1,37 persen. Kemudian yang masih sekolah atau belum tamat SD, tidak tamat SD dan yang tidak pernah sekolah atau tidak mengenyam pendidikan sama sekali masingmasing sebesar 17,31 persen, 13,45 persen, dan 5,07 persen. Kecamatan Pejawaran Kecamatan Pejawaran merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 5.224,97 Ha yang terdiri dari 17 desa. Kecamatan Pejawaran berbatasan langsung dengan tiga kecamatan dan satu kabupaten. Sebelah utara Kecamatan Pejawaran berbatasan dengan Kecamatan Batur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pagentan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wanayasa. Penduduk Kecamatan Pejawaran berjumlah 41.829 jiwa, dengan jumlah rumahtangga 11.929 dan rata-rata anggota rumahtangga 4 orang. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 21.056 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 20.773 jiwa. Rata-rata
tingkat
pendidikan
penduduk
Kecamatan
Pejawaran
didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) yang mencapai 46 persen. Dominasi mata pencaharian penduduk di Kecamatan Pejawaran adalah sebagai petani dan buruh tani dengan persentase 66,7 persen dan 29,7 persen (BPS 2007). Ketahanan Pangan Rumahtangga Ketahanan pangan memiliki arti setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya, untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Ketahanan pangan rumahtangga ditentukan berdasarkan tingkat konsumsi energi (TKE) sesuai dengan kecukupan gizi yang seharusnya dipenuhi. Ketahanan pangan rumahtangga dimasukkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) Rumahtangga dikatakan tahan pangan jika TKE anggota rumahtangga lebih besar dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE>90%), 2) Rumahtangga disebut rawan pangan jika TKE anggota rumahtanga antara 70-90 persen, dan 3) Rumahtangga disebut sangat rawan pangan jika TKE anggota rumahtangga kurang dari 70 persen (Zeitlin & Brown 1990).
46
Berdasarkan kriteria tersebut, ditemukan rumahtangga di wilayah penelitian yang terkategori sangat rawan pangan merupakan sebagian besar sebanyak 112 rumahtangga (37,3%), rawan pangan sebanyak 95 rumahtangga (31,7%) dan tahan pangan merupakan sebagian kecil sebanyak 93 rumahtangga (31,0%). Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangannya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan rumahtangga Tingkat kecukupan energi rumahtangga responden dalam penelitian ini diperoleh melalui metode Food Frequencies Questionnaire (FFQ) untuk rumahtangga selama seminggu terakhir, kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi rumahtangga yang dianjurkan. Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumahtangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Secara umum rumahtangga di wilayah penelitian belum mampu memenuhi kebutuhan energinya dengan rata-rata tingkat kecukupan rumahtangga hanya sebesar 83,8 persen. Rata-rata kecukupan rumahtangga di Kecamatan Punggelan (sebesar 92,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Pejawaran (sebesar 75,4%), seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan
Tabel
6
dapat
diketahui
bahwa
sebagian
besar
rumahtangga di wilayah penelitian masih berada pada kondisi rawan pangan, bahkan sangat rawan pangan. Sebagian besar rumahtangga di Kecamatan Pejawaran terkategori sangat rawan pangan, yaitu sebesar 50,0 persen,
47
sebaliknya di Kecamatan Punggelan, sebagian besar rumahtangga terkategori tahan pangan, yaitu sebesar 38,7 persen. Hal ini berarti kondisi rumahtangga di Kecamatan Punggelan lebih baik dibandingkan dengan di Kecamatan Pejawaran yang ditunjukkan dengan lebih banyaknya rumahtangga yang tahan pangan di Kecamatan Punggelan. Tabel 6 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan rumahtangga Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 37 24,7 75 50,0 55 36,7 40 26,7 58 38,7 35 23,3 150 100,0 150 100,0 92,2 ± 33,1 75,4 ± 30,0
Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Sangat Rawan Pangan Rawan Pangan Tahan Pangan Total Rata-rata ± SD
Total n % 112 37,3 95 31,7 93 31,0 300 100,0 83,8 ± 32,6
Karakteristik Rumahtangga Rumahtangga contoh merupakan keluarga inti (nuclear family), yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 300 keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 5 keluarga dengan status perkawinan cerai, sehingga jumlah keluarga yang lengkap sebanyak 295 keluarga. Umur Orang Tua Umur orang tua diklasifikasikan berdasarkan kelompok usia remaja (1319 tahun), dewasa muda (20-30 tahun), dewasa madya (31-50 tahun), dewasa lanjut (51-75 tahun) dan lansia (≥76 tahun) menurut Turner JS & Helms DB (1991), diacu dalam Gabriel (2008). Berdasarkan klasifikasi tersebut maka sebagian besar ayah terkategori berusia dewasa madya (63,8%) dengan usia rata-rata 35 tahun. Pada rumahtangga di kedua kecamatan, umur ayah juga terkategori dewasa madya, berturut-turut sebesar 66,2 persen pada Kecamatan Punggelan dan sebesar 61,2 persen pada Kecamatan Pejawaran, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu terkategori berusia dewasa muda (55,3%) dengan usia rata-rata 30 tahun. Baik rumahtangga di Kecamatan Punggelan maupun di Kecamatan Pejawaran, sebagian besar ibu terkategori dewasa muda, masing-masing sebesar 56,7 persen pada Kecamatan Punggelan dan 54,0 persen pada Kecamatan Pejawaran.
48
Tabel 7 Sebaran rumahtangga berdasarkan umur orang tua Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n %
Umur Orang Tua Ayah Remaja (13-19 tahun) Dewasa muda (20-30 tahun) Dewasa madya (31-50 tahun) Dewasa lanjut (51-75 tahun) Lansia (≥76 tahun) Total Rata-rata ± SD Ibu Remaja (13-19 tahun) Dewasa muda (20-30 tahun) Dewasa madya (31-50 tahun) Dewasa lanjut (51-75 tahun) Lansia (≥76 tahun) Total Rata-rata ± SD
Total n
%
0 0,0 47 31,8 98 66,2 3 2,0 0 0,0 148 100,0 34,8 ± 7,4
0 0,0 54 36,8 90 61,2 3 2,0 0 0,0 147 100,0 34,7 ± 7,2
0 0,0 101 34,2 188 63,8 6 2,0 0 0,0 295 100,0 34,7 ± 7,3
2 1,3 85 56,7 61 40,7 2 1,3 0 0,0 150 100,0 30,0 ± 7,1
3 2,0 81 54,0 66 44,0 0 0,0 0 0,0 150 100,0 29,9 ± 6,6
5 1,7 166 55,3 127 42,3 2 0,7 0 0,0 300 100,0 30,0 ± 6,8
Tidak terdapat ayah dan ibu contoh yang terkategori lanjut usia (lansia). Kategori umur remaja hanya terdapat pada ibu yaitu sebesar 1,7 persen, dan pada Kecamatan Pejawaran persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 2,0 persen. Faktor umur ibu berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak. Ibu yang lebih berumur cenderung lebih berpengalaman dalam merawat anak. Sedangkan ibu muda cenderung kurang pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008). Besar Keluarga Besar keluarga diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥8 orang) menurut Hurlock (1998), diacu dalam Gabriel (2008). Rumahtangga contoh merupakan keluarga inti (nuclear family), yaitu terdiri dari ayah, ibu dan anakanak. Dari Tabel 8 terlihat bahwa sebagian besar keluarga contoh pada kedua kecamatan terkategori keluarga kecil (59,3%) dengan rata-rata 5 orang, masingmasing sebesar 60,7 persen pada Kecamatan Punggelan dan sebesar 58,0 persen pada Kecamatan Pejawaran. Persentase terbesar untuk kategori keluarga besar terdapat di Kecamatan Pejawaran yaitu sebesar 4,7 persen. Hal ini berarti bahwa
49
rumahtangga di Kecamatan Pejawaran kurang dapat memenuhi kebutuhan gizi anggotanya. Tabel 8 Sebaran rumahtangga berdasarkan besar keluarga Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 91 60,7 87 58,0 54 36,0 56 37,3 5 3,3 7 4,7 150 100,0 150 100,0 4,5 ± 1,4 4,6 ± 1,4
Besar Keluarga Keluarga Kecil (≤4 orang) Keluarga Sedang (5-7orang) Keluarga Besar (≥8 orang) Total Rata-rata ± SD
Total n % 178 59,3 110 36,7 12 4,0 300 100,0 4,6 ± 1,4
Seperti yang dikemukakan oleh Suhardjo (1989a), hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata terutama pada rumahtangga yang sangat miskin. Pemenuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga, semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi setiap individu di dalamnya. Terutama anak balita yang merupakan golongan paling rawan terhadap kekurangan gizi. Pendidikan Orang Tua Menurut Berg (1986), tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas pangan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Tabel 9 menyajikan sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh. Tingkat pendidikan ayah dan ibu menyebar dari tidak sekolah sampai akademi/perguruan tinggi. Tingkat pendidikan ayah sebagian besar contoh relatif rendah.
Persentase
ayah
yang
berpendidikan
tamat
sekolah
dasar
(SD)/sederajat dan tidak tamat SD merupakan yang tertinggi (berturut-turut 60,4%
dan
14,3%)
sedangkan
yang
paling
sedikit
adalah
perguruan
tinggi/akademi (2,7%). Pada tiap kecamatan juga sebagian besar ayah berpendidikan tamat SD/sederajat, masing-masing sebesar 69,4 persen pada Kecamatan Punggelan dan 51,4 persen pada Kecamatan Pejawaran. Persentase ayah yang berpendidikan tamat SLTP/sederajat, tamat SLTA/sederajat dan perguruan tinggi pada Kecamatan Punggelan lebih tinggi dibandingkan pada Kecamatan Pejawaran, berturut-turut sebesar 17,6 persen tamat SLTP/sederajat, sebesar 10,8 persen tamat SLTA/sederajat dan sebesar 4,1 persen tamat perguruan tinggi.
50
Tabel 9 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pendidikan orang tua Tingkat Pendidikan (Tahun) Ayah Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD Ibu Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % N %
Total n
%
9 6.1 23 15.6 102 69.4 8 5.4 3 2.0 2 1.4 147 100.0 5.6 ± 2.4
5 3.4 19 12.8 76 51.4 26 17.6 16 10.8 6 4.1 148 100.0 7.1 ± 3.2
14 4.7 42 14.2 178 60.3 34 11.5 19 6.4 8 2.7 295 100.0 6.4 ± 2.9
6 4.0 12 8.0 113 75.3 18 12.0 1 0.7 0 0.0 150 100.0 6.0 ± 1.8
1 0.7 16 10.7 73 48.7 38 25.3 16 10.7 6 4.0 150 100.0 7.6 ± 2.8
7 2.3 28 9.3 186 62.0 56 18.7 17 5.7 6 2.0 300 100.0 6.8 ± 2.5
Tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu juga relatif rendah. Sebagian besar ibu berpendidikan tamat SD/sederajat (62,0%), hanya 5,7 persen yang tamat SLTA/sederajat dan 2,0 persen yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Menurut Sanjur (1982), tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan. Tingkat pendidikan ibu lebih berpengaruh terhadap perbaikan konsumsi anggota keluarga, khususnya anak-anak, daripada tingkat pendidikan ayah. Pada rumahtangga di tiap kecamatan juga sebagian besar ibu berpendidikan tamat SD/sederajat, masing-masing sebesar 48,7 persen pada Kecamatan Punggelan dan sebesar 75,3 persen pada Kecamatan Pejawaran. Ibu yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi hanya terdapat di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 4,0 persen. Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa tidak ada ibu dan sedikit sekali ayah (1,4%) pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran yang menempuh pendidikan hingga akademi atau perguruan tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan keluarga pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran lebih rendah dibandingkan keluarga pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan. Rendahnya tingkat pendidikan ibu berdampak pada kemampuan untuk menyediakan pangan dengan
kualitas
dan
kuantitas
yang
cukup
yang
terbatas,
sehingga
menyebabkan rendahnya konsumsi pangan dan gizi, dan berakibat buruk
51
terhadap status gizi anak balita. Pada ayah, tingkat pendidikan yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang relatif tinggi. Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Suhardjo (1996), pengetahuan gizi berhubungan positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Walaupun rumahtangga memiliki daya beli yang cukup namun bila pengetahuan pangan dan gizi yang dimiliki masih rendah akan sangat sulit bagi rumahtangga yang bersangkutan dapat memenuhi kecukupan pangannnya, baik kualitas, kuantitas maupun ragamnya. Sebaran tingkat pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 10. Pada umumnya tingkat pengetahuan gizi ibu berkisar antara 0 persen sampai 90 persen, dengan rata-rata sebesar 39,3 persen. Tingkat pengetahuan gizi ibu sebagian besar (64,3%) masih terkategori rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan tingkat pendidikan ibu yang rendah, yaitu sebagian besar (62,0%) berpendidikan tamat SD/sederajat. Menurut Pranadji (1988), pendidikan formal seseorang
dapat mempengaruhi pengetahuan gizinya.
Seseorang
yang
mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula. Pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, tingkat pengetahuan gizi ibu yang terkategori rendah (sebesar 42,7%) lebih sedikit daripada di Kecamatan Pejawaran (sebesar 86,0%). Tabel 10 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 64 42,7 129 86,0 71 47,3 18 12,0 15 10,0 3 2,0 150 100,0 150 100,0 52,2 ± 26,9 26,3 ± 24,2
Total n % 193 64,3 89 29,7 18 6,0 300 100,0 39,3 ± 28,7
Rata-rata tingkat pengetahuan gizi ibu di Kecamatan Punggelan lebih tinggi daripada tingkat pengetahuan gizi ibu di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 52,2 persen pada Kecamatan Punggelan dan 26,3 persen pada Kecamatan Pejawaran. Hanya 6,0 persen ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi baik, dan di Kecamatan Punggelan persentasenya lebih besar dibandingkan di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 10,0 persen. Sebagian besar ibu dianggap masih kurang dalam menjawab secara tepat beberapa pengetahuan gizi dari daftar pertanyaan yang diajukan. Beberapa pertanyaan yang dijawab
52
salah oleh responden seperti mengenal jenis makanan sumber protein nabati dan hewani, makna garis merah dan hijau pada kartu menuju sehat (KMS), serta mengenal jenis makanan yang mengandung zat besi dan vitamin A. Pertanyaan yang dijawab kurang tepat oleh responden seperti mengenal golongan yang rawan gizi, mengenal jenis makanan yang mengandung yodium, serta jenis makanan yang mengandung vitamin C. Pertanyaan yang dijawab tepat oleh responden seperti mengenal jenis makanan bergizi dan mengenal ciri-ciri anak yang bergizi baik. Pekerjaan Orang Tua Jenis pekerjaan ayah cukup bervariasi, diantaranya petani, buruh tani, buruh bangunan/industri, pedagang, wirausaha, supir, guru, PNS dan lain-lain. Dari Tabel 11 terlihat bahwa pada umumnya ayah bekerja sebagai petani (52,9%). Pada tiap kecamatan juga sebagian besar ayah bekerja sebagai petani, masing-masing sebesar 25,7 persen untuk Kecamatan Punggelan dan sebesar 80,3 persen untuk Kecamatan Pejawaran, lebih besar daripada Kecamatan Punggelan. Tabel 11 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan orang tua Pekerjaan Orang Tua Ayah Petani Buruh tani Buruh bangunan/industri Pedagang Supir Guru Tukang ojek Wirausaha Lainnya* Total Ibu Tidak bekerja Petani Buruh tani Buruh bangunan/industri Pedagang Guru Wirausaha Lainnya* Total
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n %
Total n
%
38 36 13 19 7 5 7 10 13 148
25,7 24,3 8,8 12,8 4,7 3,4 4,7 6,8 8,8 100,0
118 16 2 5 2 3 0 1 0 147
80,3 10,9 1,4 3,4 1,4 2,0 0,0 0,7 0,0 100,0
156 52 15 24 9 8 7 11 13 295
52,9 17,6 5,1 8,1 3,1 2,7 2,4 3,7 4,4 100,0
103 9 5 12 7 5 4 5 150
68,7 6,0 3,3 8,0 4,7 3,3 2,7 3,3 100,0
34 89 21 3 2 1 0 0 150
22,7 59,3 14,0 2,0 1,3 0,7 0,0 0,0 100,0
137 98 26 15 9 6 4 5 300
45,7 32,7 8,7 5,0 3,0 2,0 1,3 1,6 100,0
Keterangan: *lainnya = penjaga toko, karyawan sekolah, perangkat desa, karyawan swasta, PNS, pembantu rumahtangga
53
Berbeda dengan halnya ayah, sebagian besar ibu tidak bekerja (45,7%) atau bekerja sebagai ibu rumahtangga yang merawat dan mendidik anaknya. Hanya ada 32,7 persen ibu yang membantu suaminya bekerja sebagai petani. Persentase ibu tidak bekerja lebih banyak pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 68,7 persen. Hal ini diduga karena pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, pendapatan rumahtangganya telah mampu mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga ibu tidak perlu membantu ayah bekerja. Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari 3 kali menjadi 2 kali dalam sehari. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga Alokasi pengeluaran rumahtangga dibedakan ke dalam pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan. Persen pengeluaran untuk pangan menunjukkan rumahtangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk pangan dari total pendapatan sebesar 70 persen atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30 persen pendapatan dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70 persen (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995 dan Behrman 1995, diacu dalam Tanziha 2005). Sebaran alokasi pengeluaran pangan dan non pangan dapat dilihat pada Tabel 12. Sebagian besar (75,3%) rumahtangga terkategori pendapatan menengah (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995 dan Behrman 1995) karena mengalokasikan pengeluarannya untuk pangan sebesar 30-70 persen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harper et al. (1986) bahwa pengeluaran untuk pangan di Indonesia masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran rumahtangga yaitu lebih dari 50 persen, yang dapat dilihat dari rata-rata alokasi pengeluaran pangan di kedua kecamatan yang lebih dari 50 persen. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan
54
gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Alokasi pengeluaran non pangan berkebalikan dengan pengeluaran pangan. Sebagian besar (75,3%) rumahtangga juga terkategori berpendapatan menengah karena mengalokasikan pengeluaran untuk non pangan sebesar 3070 persen. Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan alokasi pengeluaran rumahtangga Alokasi Pengeluaran
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n %
Pengeluaran Pangan/Kapita/Bulan <30% 6 4,0 30-70% 109 72,7 >70% 35 23,3 Total 150 100,0 Rata-rata ± SD 59,3 ± 15,0 Pengeluaran Non Pangan/Kapita/Bulan <30% 35 23,3 30-70% 109 72,7 >70% 6 4,0 Total 150 100,0 Rata-rata ± SD 40,7 ± 15,0
Total n
%
14 9,3 117 78,0 19 12,7 150 100,0 52,6 ± 16,2
20 6,7 226 75,3 54 18,0 300 100,0 56,0 ± 16,0
19 12,7 117 78,0 14 9,3 150 100,0 47,4 ± 16,2
54 18,0 226 75,3 20 6,7 300 100,0 44,0 ± 16,0
Secara umum, rata-rata alokasi pengeluaran pangan sebesar 56,0 persen lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata alokasi pengeluaran non pangan sebesar 44,0 persen. Pada kedua kecamatan, persentase alokasi pengeluaran pangan tidak berbeda jauh, yaitu berada pada kategori menengah sebesar 30-70 persen, masing-masing sebesar 72,7 persen pada Kecamatan Punggelan dan 78,0 persen pada Kecamatan Pejawaran.. Keterkaitan antara pendapatan dan ketahanan pangan dapat dijelaskan dengan Hukum Engels. Hukum Engels menjelaskan bahwa pada saat terjadinya penurunan pendapatan, porsi yang dibelanjakan untuk pangan akan semakin meningkat. Sebaliknya jika terjadi peningkatan pendapatan, maka porsi yang dibelanjakan untuk pangan akan semakin mengecil. Hasil penelitian ini mendukung Teori Engels, yaitu rata-rata responden membelanjakan 56,0 persen dari total pendapatannya untuk kebutuhan pangan (Soekirman 2000). Karakteristik Anak Balita, Konsumsi dan Status Gizi Umur Anak Balita Anak yang diambil pada penelitian ini adalah yang berumur 24 hingga 59 bulan atau yang disebut anak balita (bawah lima tahun). Pembatasan umur
55
anak balita ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kelompok umur ini termasuk rawan terhadap kondisi kerawanan pangan rumah tangga yang penampakannya terlihat dari rendahnya status gizi anak. Jika umur anak balita dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok umur, yaitu kelompok umur 24-35 bulan, 36-47 bulan dan 48-59 bulan, maka kuantitas persentase anak balita hampir tersebar merata, yaitu berturut-turut 36,7 persen, 33,0 persen dan 30,3 persen, dengan rata-rata berumur 41 bulan. Sebaran anak balita berdasarkan umurnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran anak balita berdasarkan umur Umur Anak Balita 24-35 bulan 36-47 bulan 48-60 bulan Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 3 35,3 57 38,0 43 28,7 56 37,3 54 36,0 37 24,7 150 100,0 150 100,0 42,1 ± 10,6 40,1 ± 9,8
Total n % 110 36,7 99 33,0 91 30,3 300 100,0 41,1 ± 10,2
Rata-rata umur anak balita pada kedua kecamatan juga tidak berbeda jauh. Pada Kecamatan Punggelan rata-rata umur anak balita adalah 42 bulan dan pada Kecamatan Pejawaran adalah 40 bulan. Jenis Kelamin Anak Balita Jumlah anak balita yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah 300 anak. Setelah diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa anak balita yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 45,0 persen, sedangkan anak balita perempuan sebesar 55,0 persen. Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 64 42,7 71 47,3 86 57,3 79 52,7 150 100,0 150 100,0
Total n 135 165 300
% 45,0 55,0 100,0
Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki, yaitu setiap saat harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup manusia. Pangan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik, serta untuk memperoleh energi agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Terutama bagi anak balita yang
56
sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan serta membutuhkan cukup zat gizi untuk dapat tumbuh dan berkembang. Kebutuhan pangan tersebut perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, yang layak, aman dikonsumsi dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Widowati & Djoko 2001). Konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi yang disebut pola konsumsi pangan. Kebutuhan pangan harus diperoleh dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak terhadap gizi dan kesehatan (Hardinsyah 2000). Jenis dan jumlah pangan dalam pola konsumsi pangan di suatu wilayah biasanya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989a). Pola konsumsi pangan terkait dengan kualitas dan kuantitas zat gizi dari pangan yang dikonsumsi sehingga dapat mempengaruhi status gizi. Pola konsumsi pangan anak balita yang masih dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan orang tua disajikan pada Tabel 15. Pola konsumsi pangan anak balita didasarkan atas kelompok pangan pokok dan sumber protein berdasarkan
kontribusi
energi
dan
protein
terhadap
konsumsi
sehari.
Pengklasifikasian pola konsumsi pangan pokok dan pangan sumber protein anak balita adalah tunggal (memberikan kontribusi >95% kkal dan gram dalam sehari), ganda (pangan A memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan B, B≥10% kkal dan gram) dan beranekaragam (pangan A memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan B, dan pangan B memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan C, C≥5% kkal dan gram) (Martianto D 17 Agustus 2009, komunikasi pribadi). Tabel 15 Pola konsumsi pangan anak balita di wilayah penelitian Kelompok Pangan Pangan pokok Pangan sumber protein
Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Kecamatan Punggelan Kecamatan Pejawaran Jagung - mie – beras (nasi) – Beras (nasi) – mie – roti roti Telur – tempe/tahu/kacangIkan asin – tempe/tahu/kacangkacangan dan olahannya – ikan – kacangan – telur – ayam ayam
Pola konsumsi pangan pokok anak balita di wilayah penelitian terkategori beranekaragam, yaitu terdiri dari beras (nasi), jagung, mie dan roti. Bahan pangan pokok dianggap yang terpenting di dalam suatu susunan hidangan makanan, dan biasanya dapat segera terlihat di atas piring karena
57
merupakan kuantum terbesar di antara bahan pangan yang dikonsumsi. Bahan pangan pokok merupakan sumber utama kalori atau energi. Jenis pangan serealia (beras, jagung dan gandum) memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan kadar protein yang memadai sebagai sumber energi (Winarno 1995). Pola konsumsi pangan pokok anak balita di Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran cukup berbeda. Pola konsumsi pangan pokok anak balita di Kecamatan Punggelan terkategori beranekaragam, yaitu beras (nasi), mie dan roti. Pangan pokok utama di Kecamatan Punggelan adalah beras atau nasi. Beras (nasi) memberikan kontribusi 62 persen energi dalam konsumsi sehari dari kelompok pangan pokok, mie memberikan kontribusi 13 persen energi dalam konsumsi sehari dan roti memberikan kontribusi 6 persen energi dalam konsumsi sehari. Pola konsumsi pangan pokok anak balita di Kecamatan Pejawaran terkategori beranekaragam, yaitu jagung, mie, beras (nasi) dan roti. Pola konsumsi pangan pokok di Kecamatan Pejawaran didominasi oleh jagung. Jagung memberikan kontribusi 43 persen energi dalam konsumsi sehari, mie memberikan kontribusi 16 persen energi, beras (nasi) memberikan kontribusi 12 persen energi dalam konsumsi sehari dan roti memberikan kontribusi 5 persen energi dalam sehari. Kontribusi bahan pangan pokok dan sumber protein dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Pola konsumsi pangan di kedua kecamatan berdasarkan kontribusi energi dan protein dalam konsumsi sehari Kelompok Pangan
Pangan pokok
Pangan sumber protein
Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Kecamatan Punggelan Kecamatan Pejawaran Kontribusi Kontribusi Bahan Pangan Bahan Pangan (%) (%) Beras (nasi) 62 Jagung 43 Mie 13 Mie 16 Beras (nasi) 12 Roti 6 Roti 5 Telur 34 Ikan asin 51 Tempe/tahu/kacangTempe/tahu/kacangkacangan dan 33 kacangan dan 26 olahannya olahannya Ikan 17 Telur 11 Ayam 12 Ayam 9
Pola konsumsi pangan sumber protein anak balita terkategori beranekaragam,
yaitu
terdiri
dari
ikan
(ikan
asin
dan
ikan
segar),
tempe/tahu/kacang-kacangan, telur dan ayam. Golongan bahan pangan yang memberikan kontribusi protein adalah sumber protein hewani dan nabati, atau yang biasa disebut bahan pangan lauk pauk. Hasil ternak (daging) memiliki nilai
58
biologi protein tertinggi. Penelitian Puslitbang Gizi Bogor membuktikan bahwa penggunaan tempe sebagai salah satu bahan utama pangan tambahan dapat meningkatkan berat badan dan memperbaiki status gizi anak (Winarno 1995). Pola konsumsi pangan sumber protein di Kecamatan Punggelan tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Pejawaran, hanya berbeda persentase kontribusi proteinnya. Pola konsumsi pangan sumber protein di Kecamatan Punggelan yaitu telur, tempe/tahu/kacang-kacangan dan olahannya, ikan (baik ikan asin maupun ikan segar) dan ayam. Telur memberikan kontribusi 34 persen protein dalam konsumsi sehari, tempe/tahu/kacang-kacangan memberikan kontribusi 33 persen protein, ikan memberikan kontribusi 17 persen protein dan ayam memberikan kontribusi 12 persen protein dalam konsumsi sehari. Pola konsumsi pangan sumber protein di Kecamatan Pejawaran, yaitu ikan (baik ikan asin dan segar), tempe/tahu/kacang-kacangan, telur dan ayam. Ikan memberikan kontribusi
51
persen
kontribusi
protein,
tempe/tahu/kacang-kacangan
memberikan kontribusi 26 persen protein dalam konsumsi sehari, telur memberikan kontribusi 11 persen protein dalam sehari dan ayam memberikan kontribusi 9 persen protein dalam sehari. Ikan segar cukup banyak dikonsumsi oleh anak balita di Kecamatan Punggelan, namun di Kecamatan Pejawaran konsumsi ikan segar sangat sedikit, justru konsumsi ikan yang banyak adalah berupa ikan asin. Hal ini karena ikan asin mudah dalam pengangkutan dan pendistribusiannya serta dapat disimpan dalam waktu yang lama selama proses distribusi. Perbedaan pola konsumsi pangan pokok dan pangan sumber protein di kedua kecamatan disebabkan karena perbedaan daya beli. Daya beli dan keadaan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Punggelan lebih tinggi daripada di Kecamatan Pejawaran, sehingga pangan pokok dan pangan sumber protein yang dikonsumsi lebih beragam dan harganya lebih mahal atau dengan kata lain lebih baik secara kuantitas dan kualitas. Selain itu, perbedaan pola konsumsi ini juga disebabkan oleh perbedaan agroekologi di kedua kecamatan dan kemudahan akses. Tanaman jagung banyak ditanam di Kecamatan Pejawaran sehingga jagung dijadikan pangan pokok di sana. Proses distribusi, terutama distribusi pangan, di Kecamatan Punggelan lebih mudah karena merupakan dataran rendah, dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran yang merupakan dataran tinggi dan masih banyaknya jalan tanah.
59
Khomsan (2003) menambahkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi makanan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada atau dalam hal ini tahan pangan. Tingkat Konsumsi Pangan Anak Balita Tabel 17 menyajikan data mengenai rata-rata konsumsi serta tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Konsumsi energi anak balita rata-rata adalah 975 kkal per hari atau memenuhi 93,5 persen angka kecukupan gizi (AKG). Konsumsi protein rata-rata adalah 24,5 gram per hari atau memenuhi 97,3 persen AKG. Dilihat dari rata-rata konsumsi energi dan protein, dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi energi dan protein anak balita di wilayah penelitian sudah baik. Rata-rata konsumsi energi di Kecamatan Punggelan sebesar 1033,7 kkal per hari dan di Kecamatan Pejawaran sebesar 916,1 kkal per hari. Rata-rata konsumsi protein di Kecamatan Punggelan sebesar 27,1 gram per hari dan di Kecamatan Pejawaran sebesar 23,7 gram per hari. Tabel 17 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi anak balita Kecamatan Punggelan Pejawaran Tingkat Tingkat Konsumsi Konsumsi Kecukupan Kecukupan Zat Gizi Zat Gizi Zat Gizi Zat Gizi
Zat Gizi
Energi (kkal) Protein (g)
Total Konsumsi Zat Gizi
Tingkat Kecukupan Zat Gizi
1033,7
95,9
916,1
91,1
975
93,5
27,1
100,2
23,7
94,4
25,4
97,3
Jika tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menjadi defisit berat (<70%), defisit sedang (70-90%) dan cukup (>90%) (Martianto et al. 2008) berdasarkan kecamatan maka sebarannya dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19. Tingkat kecukupan energi anak balita sebagian besar terkategori cukup (45,3%), sebesar 22,0 persen terkategori defisit sedang dan 32,7 persen terkategori defisit berat. Rata-rata tingkat kecukupan energi adalah 93,5 persen, yang terkategori baik. Rata-rata tingkat kecukupan energi anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan memiliki rata-rata lebih tinggi (95,9%) dibandingkan dengan rumahtangga di Kecamatan Pejawaran yang rata-rata tingkat kecukupan energinya sebesar 91,1 persen.
60
Tabel 18 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Defisit berat (<70%) Defisit sedang (70-90%) Cukup (>90%)
Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 52 34,7 46 30,7 30 20,0 36 24,0 68 45,3 68 45,3 150 100,0 150 100,0 95,9 ± 43,6 91,1 ± 34,5
Total n % 98 32,7 66 22,0 136 45,3 300 100,0 93,5 ± 39,4
Persentase tingkat kecukupan energi defisit berat, lebih tinggi di Kecamatan Punggelan dibandingkan di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 34,7 persen. Persentase tingkat kecukupan energi defisit sedang, lebih tinggi di Kecamatan Pejawaran dibandingkan dengan di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 24,0 persen. Dan persentase tingkat kecukupan energi cukup, sama untuk kedua kecamatan, yaitu sebesar 45,3 persen. Tingkat kecukupan protein anak balita sebagian besar terkategori cukup (47,3%), sebanyak 20,3 persen terkategori defisit sedang dan sebanyak 32,3 persen yang terkategori defisit berat. Rata-rata tingkat kecukupan protein anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan memiliki rata-rata lebih tinggi (100,2%)
dibandingkan dengan rumahtangga di Kecamatan Pejawaran,
walaupun secara umum tingkat kecukupan protein anak balita pada tiap kecamatan adalah baik. Tabel 19 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan protein Tingkat Kecukupan Protein Defisit berat (<70%) Defisit sedang (70-90%) Cukup (>90%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 55 36,7 42 28,0 21 14,0 40 26,7 74 49,3 68 22,7 150 100,0 150 100,0 100,2 ± 54,1 94,4 ± 40,8
Total n % 97 32,3 61 20,3 142 47,3 300 100,0 97,3 ± 47,9
Persentase tingkat kecukupan protein cukup, lebih tinggi di Kecamatan Punggelan dibandingkan di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 49,3 persen. Persentase tingkat kecukupan protein defisit sedang, lebih tinggi di Kecamatan Pejawaran dibandingkan di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 26,7 persen. Dan persentase tingkat kecukupan protein defisit berat, lebih tinggi di Kecamatan Punggelan dibandingkan di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 36,7 persen. Dari rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein pada Tabel 18 dan 19 di atas,
61
dapat diketahui bahwa rumahtangga di Kecamatan Pejawaran memiliki tingkat kecukupan energi dan protein lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan. Frekuensi Konsumsi Pangan Anak Balita Terdapat prioritas pembagian makan kepada anak balita. Tabel 20 menunjukkan frekuensi konsumsi pangan anak balita di kedua kecamatan. Pangan pokok sebagai sumber karbohidrat yang paling sering dikonsumsi anak balita di wilayah penelitian adalah beras atau nasi. Frekuensi konsumsi pangan tersebut lebih dari 1 kali sehari atau selalu dikonsumsi setiap waktu makan. Namun terdapat perbedaan frekuensi konsumsi nasi antara Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran, frekuensi konsumsi nasi di Kecamatan Punggelan adalah lebih dari 1 kali sehari sedangkan di Kecamatan Pejawaran adalah kurang dari 1 kali per minggu atau sangat jarang. Jagung sering dikonsumsi oleh anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran dan menjadi pangan pokok, namun secara umum jagung dikonsumsi kurang dari 1 kali per minggu. Pangan sumber karbohidrat lain yang berasal dari umbi-umbian, seperti singkong dan ubi, lebih sering dikonsumsi di Kecamatan Peiawaran dibandingkan di Kecamatan Punggelan, yaitu dikonsumsi kurang dari 3 kali per minggu. Frekuensi konsumsi singkong dan ubi di Kecamatan Punggelan adalah kurang dari 1 kali per minggu. Pangan sumber karbohidrat lain yang berasal dari terigu, seperti roti, dikonsumsi oleh anak balita dengan frekuensi kurang dari 1 kali per minggu, sedangkan mie dikonsumsi kurang dari 3 kali per minggu. Pangan sumber protein nabati (kacang-kacangan dan olahannya) jarang dikonsumsi oleh anak balita, atau dengan frekuensi kurang dari 3 kali per minggu. Namun frekuensi konsumsi tempe atau tahu di Kecamatan Punggelan sangat sering yaitu lebih dari 1 kali sehari, sedangkan di Kecamatan Pejawaran sangat jarang yaitu kurang dari 1 kali per minggu. Biasanya orang tua berbelanja bahan pangan ini pada hari pasar, yaitu setiap lima hari sekali. Pangan sumber protein hewani (berupa daging, ayam, telur dan susu) sangat jarang dikonsumsi atau dengan frekuensi kurang dari 1 kali per minggu. Konsumsi daging sapi dan kambing di wilayah penelitian terbatas hanya pada saat hari raya. Anak balita sangat sering mengkonsumsi ikan (berupa ikan asin), dengan frekuensi lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan, terutama di Kecamatan Pejawaran. Di Kecamatan Punggelan frekuensi konsumsi ikan asin tidak sering seperti di Kecamatan Pejawaran, yaitu kurang dari 3 kali per minggu.
62
Tabel 20 Frekuensi konsumsi pangan anak balita di wilayah penelitian Jenis Bahan Pangan Nasi Jagung Singkong Ubi Mie Roti Tempe/tahu Daging sapi/kambing Ayam Ikan Telur Susu Sayur Buah Minyak Gula
Frekuensi Konsumsi Pangan Punggelan Pejawaran Total >1 kali sehari <1 kali perminggu > 1 kali sehari <1 kali perminggu >1 kali sehari < 1 kali perminggu <1 kali perminggu <3 kali perminggu < 1 kali perminggu <1 kali perminggu <3 kali perminggu < 1 kali perminggu <3 kali perminggu <3 kali perminggu < 3 kali perminggu <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu >1 kali sehari <1 kali perminggu < 3 kali perminggu <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu <3 kali perminggu >1 kali sehari > 1 kali sehari <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu >1 kali sehari >1 kali sehari > 1 kali sehari <3 kali perminggu <3 kali perminggu < 3 kali perminggu >1 kali sehari >1 kali sehari > 1 kali sehari >1 kali sehari <3 kali perminggu > 1 kali sehari
Sayur dikonsumsi dengan frekuensi lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan. Sayur dikonsumsi di setiap waktu makan, karena pada umumnya tiap rumah menanamnya di pekarangan rumah mereka. Jenis sayuran yang biasa dikonsumsi adalah daun singkong, kol, bayam, sawi putih, wortel dan daun melinjo. Jenis sayuran yang dikonsumsi tersebut bervariasi antar daerah penelitian, tergantung pada sayuran yang tersedia di lokasi masing-masing dan tergantung musim. Buah-buahan dikonsumsi dengan frekuensi kurang dari 3 kali per minggu. Jenis buah yang biasa dikonsumsi adalah pisang, duku, rambutan, salak, jeruk dan apel hijau, namun tergantung musim. Buah juga tergantung pada buah yang diproduksi di wilayah setempat. Minyak dan gula dikonsumsi lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan, hal ini dikarenakan kedua bahan pangan tersebut biasa dipakai saat masak dan gula sering digunakan untuk membuat teh manis, sedangkan frekuensi konsumsi gula di Kecamatan Pejawaran adalah kurang dari 3 kali per minggu. Tabu Makanan Tabu atau pantangan terhadap makanan masih dijalankan pada anak balita. Anak balita ditabukan makan sayap dan kaki ayam dengan alasan sudah menjadi tradisi sejak dahulu, walaupun orang tua balita tidak mengetahui alasannya dengan pasti. Orang tua balita juga menabukan pisang emas untuk anaknya dengan alasan pamali dimakan sampai setelah anak balita tersebut menikah. Jenis bahan pangan lain yang ditabukan pada anak balita adalah es.
63
Alasan yang dikemukakan oleh orang tua anak balita yaitu es dapat menyebabkan anak menjadi besar dan gendut. Bahan pangan yang ditabukan pada anak balita disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Bahan pangan yang menjadi tabu bagi anak balita Tabu Makanan
Kecamatan Punggelan
Kecamatan Pejawaran
Sayap dan kaki ayam
Tidak ada
Ada
Pisang emas
Ada
Tidak ada
Es
Ada
Tidak ada
Pantangan
atau
tabu
Catatan Tabu terhadap makanan ini tidak mempengaruhi status gizi karena anak balita masih dapat mengkonsumsi bagian lain dari daging ayam Tabu terhadap makanan ini tidak mempengaruhi status gizi karena anak balita masih dapat mengkonsumsi jenis pisang lain yang tidak jauh berbeda kandungan gizinya Tabu terhadap makanan ini tidak mempengaruhi status gizi karena es tidak mengandung zat gizi yang penting untuk pertumbuhan anak balita
makanan
adalah
suatu
larangan
untuk
mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Tabu atau pantangan makanan di wilayah penelitian terkait dengan budaya. Tabu makanan yang ada terkait dengan sistem nilai yang berasal dari adat-adat yang diwariskan nenk moyang kepada generasi penerusnya, namun tidak ada ancaman budaya atau pun hukuman jika melanggar tabu ini. Tabu makanan pada anak balita ini bersifat permanen karena telah ada sejak dahulu, namun dalam perkembangannya banyak masyarakat yang tidak menganut tabu makanan ini. Masyarakat tidak mengetahui alasan mengapa makanan tersebut ditabukan dan sejak kapan tabu makanan tersebut dimulai. Tabu yang berkenaan dengan makanan banyaknya bersangkutan dengan emosi sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar tabu makanan terutama dianut oleh para wanita atau dikenakan bagi anak-anak yang masih di bawah perawatan dan asuhan wanita tersebut (Suhardjo 1989a). Status Gizi Anak Balita Status gizi menggambarkan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang
yang
diakibatkan
oleh
konsumsi,
penyerapan,
dan
penggunaan zat gizi pangan (Riyadi 2001). Menurut Soekirman (2000), faktor gizi yang mempengaruhi status gizi secara langsung yaitu konsumsi pangan dan keadaan kesehatan. Status gizi balita dapat mencerminkan keadaan status gizi masyarakat (Suhardjo & Riyadi 1990).
64
Status gizi anak balita ditentukan dengan menggunakan beberapa indeks yang telah direkomendasikan oleh WHO (1995), yaitu indeks untuk berat badan menurut umur (BB/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Hasil pengukuran dengan indeks ini selanjutnya ditentukan dengan menggunakan nilai z-skor yang direkomendasikan oleh NCHS/WHO. Kelebihan menggunakan z-skor adalah hasil hitung telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri (Husaini 1988, diacu dalam Masithah 2002). Status Gizi Anak Balita berdasarkan Berat Badan menurut Umur Menurut Riyadi (2001), berat badan menurut umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi. BB/U dipengaruhi TB/U dan BB/TB. Jika di suatu masyarakat tidak ada wasting atau kurus, BB/U dan TB/U memberikan informasi yang sama, yaitu merefleksikan pengalaman gizi dan kesehatan jangka panjang. Perubahan jangka pendek, khususnya penurunan BB/U mengungkap perubahan BB/TB. BB/U rendah merefleksikan TB/U rendah, BB/TB rendah atau keduanya, maka istilah kurang gizi global telah digunakan untuk menjelaskan indikator ini, yang mencakup kurang gizi kronis dan akut. Status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menunjukkan bahwa ratarata nilai z-skor adalah -1,5 SD, yang diklasifikasikan sebagai status gizi baik (-2 ≤ nilai z-skor ≤ 2). Rata-rata nilai z-skor BB/U yang berasal dari rumah tangga di Kecamatan Punggelan lebih tinggi dibandingkan rumah tangga di Kecamatan Pejawaran, yaitu -1,4 SD. Sebaran anak balita berdasarkan status gizi indeks BB/U dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/U Status Gizi (BB/U) Gizi buruk (<-3 SD) Gizi kurang (-3 SD s/d <-2 SD) Gizi baik (-2 SD s/d 2 SD) Gizi lebih (>2 SD) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 10 6,7 21 14,0 32 21,3 32 21,3 107 71,3 97 64,7 1 0,7 0 0,0 150 100,0 150 100,0 -1,4 ± 1,1 -1,7 ± 1,1
Total n % 31 10,3 64 21,3 204 68,0 1 0,3 300 100,0 -1,5 ± 1,1
Klasifikasi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menunjukkan bahwa sebagian besar balita memiliki kategori status gizi baik (68,0%). Akan
65
tetapi masih terdapat balita dengan status gizi kurang (underweight, BB/U -3 ≤ nilai z-skor < -2 SD) (21,3%), balita yang terkategori status gizi buruk (severe underweight, BB/U z-skor < -3 SD) (10,3%) serta balita yang terkategori status gizi lebih (BB/U z-skor > 2 SD) (0,3%). Persentase kasus gizi baik pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan sebesar 71,3 persen lebih tinggi dibandingkan di Kecamatan Pejawaran. Hanya terdapat 0,7 persen kasus gizi lebih, terjadi pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan. Banyaknya kasus gizi buruk pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran sebesar 14,0 persen lebih tinggi dibandingkan rumahtangga di Kecamatan Punggelan sebesar 6,7 persen. Jumlah kasus gizi kurang di Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran adalah sama yaitu sebesar 21,3 persen. Berdasarkan kriteria WHO, masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi gizi kurang (underweight) di atas 30 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong sangat tinggi. Rata-rata nilai z-skor BB/U balita pada rumahtangga di wilayah penelitian menyebabkan kurva z-skor status gizi BB/U bergeser -1,5 ke kiri dibandingkan dengan standar WHO. Sebaran anak balita berdasarkan z-skor BB/U dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/U
66
Status Gizi Anak Balita berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal dan pertumbuhan kumulatif sejak lahir. Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) mencerminkan status gizi masa lalu, karena pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu pendek (Supariasa et al. 2001). Indeks TB/U di samping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Status gizi balita berdasarkan indeks TB/U menunjukkan bahwa rata-rata nilai zskor adalah -2,1 SD yang termasuk dalam kategori status gizi pendek (z-skor < 2). Rata-rata nilai z-skor TB/U anak balita pada kedua kecamatan tidak jauh berbeda, hanya rata-rata dari rumahtangga di Kecamatan Pejawaran yang lebih rendah, yaitu -2,5 SD. Tabel 23 menyajikan sebaran anak balita berdasarkan status gizi indeks TB/U. Tabel 23 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi TB/U Status Gizi (TB/U) Pendek (stunting) (<-2 SD) Normal (≥-2 SD) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 64 42,7 99 66,0 86 57,3 51 34,0 150 100,0 150 100,0 -1,7 ± 1,1 -2,5 ± 1,2
Total n % 163 54,3 137 45,7 300 100,0 -2,1 ± 1,2
Untuk menilai status gizi balita pada masa lampau, digunakan indeks TB/U. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan terdapat 45,7 persen balita berstatus gizi normal dan sebanyak 54,3 persen balita berstatus gizi pendek (stunting, TB/U z-skor < -2 SD). Berdasarkan kriteria WHO, masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi pendek (stunting) di atas 40 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong sangat tinggi. Kasus pendek (stunting) lebih besar terjadi pada rumahtangga di Kecamatan
Pejawaran
dibandingkan
pada
rumahtangga
di
Kecamatan
Punggelan, yaitu sebesar 66,0 persen, sebaliknya anak balita yang terkategori normal, prevalensinya lebih besar pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 57,3 persen, dibandingkan pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran. Rata-rata nilai z-skor TB/U balita pada rumahtangga di wilayah penelitian menyebabkan kurva z-skor status gizi TB/U bergeser -2,1 ke kiri
67
dibandingkan dengan standar WHO. Pergeseran kurva z-skor TB/U lebih jauh ke kiri dibandingkan dengan kurva z-skor BB/U. Hal ini menunjukkan status gizi berdasarkan indeks TB/U kondisinya lebih buruk dibandingkan indeks BB/U yang hanya bergeser sejauh -1,5 ke kiri jauhnya dari kurva standar WHO. Sebaran anak balita berdasarkan z-skor TB/U dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi TB/U Status Gizi Anak Balita berdasarkan Berat Badan menurut Tinggi Badan Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini, karena pada keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur (Supariasa et al 2001). Indeks BB/TB merupakan indikator kurang gizi akut yang paling sensitif dan paling umum digunakan. Status gizi balita berdasarkan indeks BB/TB menunjukkan rata-rata nilai z-skor adalah -0,5 SD, yang termasuk dalam kategori normal. Rata-rata nilai zskor BB/TB anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran lebih tinggi, yaitu -0,4 SD, dibandingkan rumahtangga di Kecamatan Punggelan. Rata-rata nilai z-skor BB/TB anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan rendah, yaitu -0,6 SD. Pada Tabel 24 disajikan sebaran anak balita berdasarkan status gizi indeks BB/TB.
68
Tabel 24 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/TB Status Gizi (BB/TB) Sangat kurus (<-3 SD) Kurus (wasting) (-3 SD s/d <-2 SD) Normal (-2 SD s/d 2 SD) Gemuk (>2 SD) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 4 2,7 3 2,0 14 9,3 12 8,0 129 86,0 130 86,7 3 2,0 5 3,3 150 100,0 150 100,0 -0,6 ± 1,3 -0,4 ± 1,3
Total n % 7 2,3 26 8,7 259 86,3 8 2,7 300 100,0 -0,5 ± 1,3
Klasifikasi status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB menunjukkan bahwa sebagian besar balita memiliki status gizi normal (86,3%). Akan tetapi masih terdapat 8,7 persen balita yang mengalami status gizi kurus (wasting, BB/TB z-skor < -2 SD), balita yang mengalami status gizi sangat kurus (severe wasting, BB/TB z-skor < -3 SD) (2,3%) serta balita yang terkategori gemuk (BB/TB z-skor > 2 SD) (2,7%). Status gizi kurus (wasting) dan sangat kurus (severe wasting) lebih banyak pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, yaitu berturut-turut sebesar 2,7 persen dan 9,3 persen. Status gizi normal paling banyak pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 86,7 persen. Status gizi gemuk paling banyak pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 3,3 persen. Berdasarkan kriteria WHO, masalah kesehatan masyarakat tergolong tinggi apabila prevalensi kurus (wasting) di antara 10-14,9 persen. Besarnya prevalensi kurus (wasting) di wilayah penelitian adalah sebesar 11 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong tinggi. Rata-rata nilai z-skor BB/TB balita pada rumahtangga di wilayah penelitian menyebabkan kurva z-skor status gizi BB/TB bergeser sedikit ke kiri, sejauh -0,5 dibandingkan dengan standar WHO. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi di daerah penelitian sudah hampir sesuai dengan standar gizi baik yang ditetapkan. Sebaran anak balita berdasarkan z-skor BB/TB dapat dilihat pada Gambar 6.
69
Gambar 6 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/TB
Hubungan Karakteristik Rumahtangga dan Tabu Makanan dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Anak Balita Anak balita adalah golongan yang berada dalam masa pertumbuhan yang pesat. Pada usia ini anak memerlukan asupan zat gizi yang cukup, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Konsumsi pangan anak balita sangat tergantung pada konsumsi pangan keluarga. Kekurangan konsumsi pangan di tingkat keluarga dapat menurunkan asupan zat gizi anak balita yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap status gizi anak balita (Winarno 1990). Tabel 25 menunjukkan bahwa karakteristik rumahtangga seperti tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan ayah, pengetahuan gizi ibu serta alokasi pengeluaran pangan dan non pangan memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah dan ibu memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan rumahtangga, khususnya anak-anak (Sanjur 1982). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka semakin tinggi tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Seperti yang dikemukakan oleh Berg (1986) bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas
70
dan kuantitas pangan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Tabel 25 Hubungan antara karakteristik rumahtangga dan tabu makanan dengan tingkat kecukupan energi dan protein Variabel Independen Umur ayah Umur ibu Jumlah anggota keluarga Tingkat pendidikan ayah Tingkat pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Pengetahuan gizi ibu Alokasi pengeluaran pangan Alokasi pengeluaran non pangan Tabu makanan Keterangan :
Variabel Dependen Tingkat Kecukupan Tingkat Kecukupan Energi Protein -0,037 0,002 -0,077 -0,054 0,054 0,049 0,272** 0,279** 0,319** 0,320** 0,131* 0,130* 0,068 0,099 0,249** 0,245** 0,183** 0,215** 0,183** 0,215** 0,500 -0,500
* Korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% (p<0,05) ** Korelasi nyata pada selang kepercayaan 99% (p<0,01)
Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ayah dengan tingkat kecukupan energi dan protein. Tingkat pendidikan ayah memiliki hubungan yang erat dengan pendapatan rumahtangga. Pendapatan rumahtangga tergantung pada kemampuan anggota rumahtangga memperoleh kesempatan kerja dan berpenghasilan cukup sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Hal ini berarti peningkatan pendapatan rumahtangga
akan
meningkatkan
kesejahteraan
rumahtangga,
sehingga
rumahtangga dapat memenuhi kecukupan energi dan protein anak balita. Pendapatan ayah, sebagai kepala keluarga, memiliki hubungan yang erat dengan pekerjaan ayah. Karena dengan tingkat pekerjaan yang tinggi cenderung akan mendapatkan pendapatan yang besar pula. Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 25, ada hubungan yang nyata antara pekerjaan ayah dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita di wilayah penelitian. Semakin tinggi pekerjaan ayah maka semakin tinggi pula tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan hubungan yang nyata antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita.
Hal ini berarti semakin baik pengetahuan gizi ibu akan
semakin tinggi tingkat kecukupan energi dan protein anak balitanya. Menurut
71
Sediaoetama (2006), bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi ibu akan semakin baik pula susunan menu keluarga. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi ibu (p<0,01). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh ibu akan semakin baik pengetahuan gizi ibu. Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi mempunyai hubungan yang kuat dengan gizi anak, terutama tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu (Engle 1995). Oleh karena itu, peningkatan dan pengetahuan gizi ibu berdampak pada perbaikan gizi anak. Hubungan antara pekerjaan ibu dengan pengetahuan gizi ibu adalah terbalik dan nyata (p<0,01). Hal ini bermakna bahwa ibu yang tidak bekerja memiliki tingkat pengetahuan gizi yang baik. Menurut Singarimbun (1988), diacu dalam Wahyuni (2008) pada masyarakat tradisional, suatu pembagian kerja yang jelas menurut jenis kelamin cenderung memaksimalkan waktu ibu untuk merawat anaknya. Ibu yang tidak bekerja memiliki lebih banyak waktu untuk mengikuti pendidikan gizi non formal. Hasil uji korelasi Spearman terhadap alokasi pengeluaran rumahtangga, baik pengeluaran untuk pangan maupun non pangan, menunjukkan hubungan yang nyata dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Hal ini mengandung arti bahwa peningkatan alokasi pengeluaran untuk pangan dan non pangan meningkatkan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita di wilayah penelitian. Semakin tinggi pengeluaran yang dialokasikan untuk pangan dan non pangan, maka semakin tinggi pula kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi. Tabu makanan dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita tidak memiliki hubungan. Hal ini dikarenakan rumahtangga yang menganut tabu makanan bagi anak balitanya sangat sedikit. Sementara itu, karakteristik rumahtangga yang lain seperti umur orang tua, jumlah anggota keluarga dan pekerjaan ibu juga tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Hubungan Karakteristik Rumahtangga, Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Anak Balita serta Tabu Makanan dengan Status Gizi Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap kekurangan gizi. Dalam kerangka pikir UNICEF, penyebab langsung terjadinya masalah gizi kurang pada anak balita adalah makanan dan penyakit infeksi yang
72
mungkin diderita anak balita. Tabel 26 menunjukkan hubungan antara karakteristik rumahtangga, tingkat kecukupan energi dan protein serta tabu makanan pada anak balita dengan status gizi anak balita. Tabel 26 Hubungan antara karakteristik rumahtangga, tingkat kecukupan energi dan protein serta tabu makanan anak balita dengan status gizi anak balita Variabel Dependen Status Gizi BB/U Status Gizi TB/U Status Gizi BB/TB Umur ayah 0,004 -0,067 0,044 Umur ibu 0,005 -0,066 0,032 Jumlah anggota keluarga -0,056 -0,044 -0,053 Tingkat pendidikan ayah 0,048 0,199** -0,073 Tingkat pendidikan ibu 0,149** 0,252** 0,019 Pekerjaan ayah 0,144* 0,198** 0,049 Pekerjaan ibu -0,002 -0,045 -0,007 Pengetahuan gizi ibu 0,119* 0,257** -0,009 Alokasi pengeluaran pangan -0,007 0,018 -0,026 Alokasi pengeluaran non pangan 0,007 -0,018 0,026 Tabu makanan -0,500 1,000 -0,500 Tingkat kecukupan energi -0,074 -0,042 -0,061 Tingkat kecukupan protein -0,078 -0,059 -0,059 Keterangan : * Korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% (p<0,05) ** Korelasi nyata pada selang kepercayaan 99% (p<0,01) Variabel Independen
Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pendidikan ayah dengan status gizi TB/U menunjukkan hubungan yang nyata. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi pendidikan ayah maka semakin baik status gizi TB/U anak balita di lokasi penelitian. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan berimplikasi terhadap pekerjaan yang lebih baik dan tingkat penghasilan yang lebih tinggi. Hal ini bermakna semakin tinggi tingkat pendidikan ayah maka akan semakin besar pula pendapatan yang diperoleh. Pendapatan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat mempengaruhi status gizi. Tingkat pendidikan ayah dan ibu pada rumahtangga anak berstatus gizi normal lebih tinggi daripada rumahtangga anak berstatus gizi buruk dan kurang. Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi BB/U dan TB/U menunjukkan hubungan yang nyata. Hal ini mengandung arti bahwa semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik status gizi BB/U dan TB/U anak balita. Ibu yang menempuh pendidikan tinggi lebih baik dalam merawat anaknya. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
megimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004). Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman terhadap pekerjaan ayah dengan status gizi BB/U dan TB/U, hubungannya nyata. Semakin tinggi
73
pekerjaan ayah maka semakin baik pula status gizi BB/U dan TB/U anak balita. Pekerjaan
ayah
berhubungan
dengan
pendapatan,
dan
pendapatan
berhubungan dengan kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi. Sehingga semakin tinggi pekerjaan ayah akan meningkatkan pendapatan ayah dan meningkatkan status gizi anak. Hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi BB/U dan TB/U anak balita sangat nyata berdasarkan hasil uji korelasi Spearman. Peningkatan pengetahuan gizi ibu dapat meningkatkan status gizi BB/U dan TB/U anak balita di lokasi penelitian. Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan pengetahuan gizi ibu. Tingkat pengetahuan gizi ibu pada rumahtangga anak berstatus gizi normal lebih tinggi dibangingkan dengan rumahtangga anak yang berstatus gizi buruk. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula (Pranadji 1988). Riyadi (2001) menjelaskan bahwa perilaku pemberian makanan berhubungan secara bermakna dengan tingkat pendidikan ibu dan status gizi anak. Melalui uji korelasi Spearman diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi anak balita, baik indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB. Hal ini dikarenakan metode food recall yang digunakan untuk menentukan tingkat kecukupan pangan tidak cukup menggambarkan status gizi anak balita, karena hanya dilakukan selama dua hari. Selain itu, status gizi tidak hanya berhubungan oleh konsumsi pangan tapi juga dengan infeksi yang diderita anak balita. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan antara tabu makanan dengan status gizi, baik indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB. Tabu makanan yang ada tidak mempengaruhi status gizi karena balita masih dapat mengkonsumsi jenis pangan lain yang sesuai atau memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan bahan pangan yang ditabukan.
74
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Umur ayah sebagian besar terkategori dewasa madya sedangkan umur ibu sebagian besar terkategori dewasa muda. Lebih dari separuh rumahtangga terkategori keluarga kecil. Tingkat pengetahuan gizi ibu terkategori rendah. Pada umumnya ayah bekerja sebagai petani dan ibu tidak bekerja. Rata-rata alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sebesar 56 persen dan 44 persen. Sebaran anak balita berdasarkan umur hampir merata. Anak balita laki-laki sebanyak 45 persen dan perempuan sebanyak 55 persen. 2. Tingkat kecukupan energi anak balita terkategori baik yaitu memenuhi 93,5 persen AKG. Begitu pula dengan tingkat kecukupan protein memenuhi 97,3 persen AKG. 3. Pola konsumsi pangan pokok di Kecamatan Punggelan yaitu beras (nasi), mie dan roti sedangkan di Kecamatan Pejawaran yaitu jagung, mie, nasi dan roti. Pola konsumsi pangan sumber protein di Kecamatan Punggelan yaitu telur, tempe/tahu/kacang-kacangan, ikan dan ayam sedangkan di Kecamatan Pejawaran yaitu ikan, tempe/tahu/kacang-kacangan, telur dan ayam. 4. Tabu makanan masih berlaku di wilayah penelitian, namun jumlahnya sangat sedikit. Selain itu, tabu makanan yang ada pada anak balita tidak mempengaruhi status gizinya karena anak balita masih dapat mengkonsumsi bagian lain atau jenis makanan lain yang kandungan gizinya tidak berbeda. 5. Sebagian besar (68,0%) status gizi balita berdasarkan indeks BB/U adalah gizi baik dengan rata-rata nilai z-skor -1,5 SD. Berdasarkan indeks TB/U, sebagian besar (54,3%) berstatus gizi pendek/stunting dengan rata-rata nilai z-skor -2,1 SD. Dan berdasarkan indeks BB/TB, sebagian besar (86,3%) berstatus gizi normal dengan rata-rata nilai z-skor -0,5 SD. Prevalensi gizi kurang dan buruk berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB masing-masing adalah 31,6 persen, 54,3 persen dan 11,0 persen. 6. Tingkat kecukupan energi dan protein di wilayah penelitian berhubungan erat dengan karakteristik
rumahtangga.
Kemudian prevalensi
gizi
kurang,
kurus/wasting serta pendek/stunting anak balita di wilayah penelitian berhubungan
erat
dengan
karakteristik
rumahtangga
namun
berhubungan dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita.
tidak
75
Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian antara lain: 1.
Persentase
rumahtangga
sangat
rawan
pangan
di
Kabupaten
Banjarnegara masih cukup besar. Dengan demikian diperlukan perhatian khusus dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas ketahanan pangan rumahtangga di wilayah tersebut, melalui upaya penanggulangan kemiskinan dengan kegiatan produktif yang dapat meningkatkan pendapatan dan peningkatan keterampilan dengan memprioritaskan istri dan kepala keluarga petani, buruh tani dan buruh bangunan/industri dengan tingkat pendapatan yang rendah dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga seperti pemberian modal dalam mendirikan usaha kecil dan menengah (UKM) dan Usaha Tani.. 2.
Melihat masih sedikitnya ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, maka diperlukan kegiatan pendidikan gizi dan kesehatan kepada ibu agar dapat meningkatkan kualitas status gizi keluarga, terutama anak balita. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain program konseling gizi, pelatihan pembuatan
dan
pemberian
makanan
tambahan
bagi
anak
balita,
suplementasi zat gizi mikro dan pengaktifan kembali program 5 meja posyandu dan Bina Keluarga Balita oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara bekerjasama dengan instansi terkait lainnya. Selain itu, diperlukan pendekatan kepada masyarakat, terutama ibu-ibu, agar dapat menghilangkan tabu makanan, khususnya yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi dan menurunkan status gizi. 3.
Mengingat masih tingginya angka anak balita yang berstatus gizi kurang, maka pemerintah harus memprioritaskan penanganannya. Usaha jangka pendek, khususnya untuk balita gizi buruk, dengan diberikan PMT pemulihan dan usaha jangka menengah berupa peningkatan pendidikan dan pengetahuan gizi, revitalisasi posyandu dan peningkatan pendapatan melalui usaha produktif.
76
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Penerbit Encourage Creativity (EGC). Atmarita, Fallah. 2004. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Dalam Soekirman et al., editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”; Jakarta 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI. Azwar. 2004. Aspek kesehatan dan gizi dalam ketahanan pangan. Dalam Soekirman et al., editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”; Jakarta 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI. Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Zahara DM, penerjemah. Jakarta : CV Rajawali. Terjemahan dari : The Nutrition Factor, It’s Role in National Development. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS. . 2007. Data dan Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS.
Informasi
Kemiskinan
Tahun
2007
Den Hartog, van Staveren, Broower. 1995. Manual for Social Surveys on Food Habits and Consumption Developing Countries. Germany : Margraf Verlag, Weikersheim. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2001. Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Indikator menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. [Deptan] Departemen Pertanian RI. 2007. Peta Kerawanan Pangan. Jakarta: Deptan [Dinkes] Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. 2008. Laporan Kasus Gizi Buruk Tahun 2008. Jawa Tengah : Dinas Kesehatan. Engle PL. 1995. Child Caregiving and Infant and Preschool Nutrition. In Child Growth and Nutrition in Developing Countries, Priorities for Action. Edited by Andersen, P Pinstrup, Pelletier D, and Alderman H. Ithaca and London : Cornell University Press.
77
, LP Menon, L Haddad. 1997. Care and Nutrition : Concepts and Measurement. Washington DC : International Food Policy Research Institute. [FAO & WHO] Food Agricultural Organization and World Health Organization. 1992. Nutrition and Development, A Global Assesment. Italy : Food Agricultural Organization and World Health Organization. Gabriel A. 2008. Perilaku keluarga sadar gizi (kadarzi) serta hidup bersih dan sehat ibu kaitannya dengan status gizi dan kesehatan balita di Desa Cikarawang, Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gibson RS. 1993. Principles of Nutrition Assesment. New York : Oxford University Press. Hardinsyah, D Briawan. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan (Diktat Ilmu Gizi Dasar). Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, D Martianto. 1992. Menaksir Angka Kecukupan Energi dan Protein Serta Penilaian Mutu Gizi Konsumen Pangan. Jakarta : Wirasari. ______, Tambunan V. 2004. Angka kecukupan energi, protein, lemak dan serat makanan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. Harper LJ, BJ Deaton, JA Driskel. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Husaini YK, Widodo Y, Triwinarto A, Salimar. 2000. Perubahan Pola Konsumsi Pangan Keluarga pada Sebelum dan Sewaktu Krisis Ekonomi. Penelitian Gizi dan Makanan 23 : 8-17. Jellife DB, EFP Jellife. 1989. Community Nutritional Assesment with Special Reference to Less Technically Develop Countries. New York : Oxford University Press. Khomsan A. 1993. Keragaan kebiasaan makan pada peserta dan bukan peserta proyek diversifikasi pangan dan gizi. Media Gizi dan Keluarga, XVII (2) : 1-10. . 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. . 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
78
Kompas Cyber Media. 2006. Penduduk miskin Banjarnegara naik 7,62 persen. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/31.Fokus/205308.htm. [16 April 2009]. Martianto D, Ariani M. 2004. Analisis perubahan konsumsi dan pola konsumsi pangan masyarakat dalam dekade terakhir. Dalam Soekirman et al., editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”; Jakarta 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI. Martianto D, Riyadi H, Hastuti D, Alfiasari. 2009. Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Masithah T. 2002. Hubungan ketahanan pangan rumah tangga dan pola pengasuhan dengan status gizi anak balita di Desa Mulya Harja, Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nasoetion A, H Riyadi. 1995. Gizi Terapan. Direktorat Jenderal Pendidikan Nasional dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Proyek Peningkatan Pendidikan dan Kejuruan Non Teknik II. , Wirakusumah ES. 1990. Pangan dan Gizi untuk Kelompok Khusus. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Nikmawati EE. 1999. Pola konsumsi pangan, kecukupan dan status gizi yang berhubungan dengan kebiasaan makan singkong di masyarakat Cirendeu, Cimahi, Jawa Barat [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta. Nurmiati. 2006. Pertumbuhan dan perkembangan anak balita dengan status gizi stunting dan normal [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pranadji DK. 1988. Perilaku konsumsi pangan keluarga peserta taman gizi [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sajogyo. 1994. Peran Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta : CV Rajawali.
79
Sanjaya et al. 1999. Penyimpangan positif (positive deviance) status gizi anak balita dan faktor-faktor yang berpengaruh. Bogor : Puslitbang Gizi. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. New York : PrenticeHall Inc., Engelwood Cliffs. Sariningrum I. 1990. Tingkat Pendapatan dan Pengetahuan Gizi tentang Pemberian Makanan Balita. Jakarta : Akademi Gizi Departemen Kesehatan. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi. Jakarta : PT Dian Rakyat. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Suhardjo. 1989a. Sosio Budaya Gizi. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. . 1989b. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. . 1996. Kerangka pikir ketahanan pangan rumah tangga. Makalah Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga, Yogyakarta, 26-30 Mei 1996. , H Riyadi. 1990. Metode Penilaian Gizi Masyarakat. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi, dan Sanitasi Petani Daerah Lahan Kering di Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman DA. 2008. Analisis alokasi pengeluaran keluarga peserta dan bukan peserta proyek penanggulangan kemiskinan perkotaan di Desa Gardusayang, Kabupaten Subang. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sukarni M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Supariasa B, Bakri, I Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Encourage Creativity (EGC). Susanto D. 1997. Fungsi-fungsi sosio budaya makanan. Dalam Sukandar D. Makanan tabu di Banjar, Jawa Barat. Jakarta : Jurnal Gizi dan Pangan, vol.1, No.1, Juli 2006.
80
Tabor S, Soekirman, Martianto D. Keterkaitan antara krisis ekonomi, ketahanan pangan, dan perbaikan gizi. Dalam Soekirman et al., editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”; Jakarta 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI. Tanziha I. 2005. Analisis peubah konsumsi pangan dan sosial ekonomi rumahtangga untuk menentukan determinan dan indikator kelaparan [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tarwotjo, R Djuwita. 1990. Penerapan prinsip epidemiologi dalam penilaian status gizi. Gizi Indonesia, X/V (2), hlm 15-25. Wahyuni S. 2008. Situasi konsumsi pangan dan status gizi anak balita peserta program orang tua asuh gizi (OTAG) di Kabupaten Bireun propinsi Nanggroe Aceh Darussalam [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Widowati S, Djoko SD. 2001. Menggali sumberdaya pangan lokal dan peran teknologi pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional. Jakarta : Majalah Pangan Media Informasi dan Komunikasi, Edisi No.36/X/Jan 2006. Winarno FG. 1995 Gizi dan Makanan bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. [WHO] World Health Organization. 2005. Global Database on Body Mass Index. [terhubung berkala] http://who.int/bmi/index.jsp?intropage=intro-3.html [10 Mei 2009] Zeitlin M, Brown L. 1990. Household Nutrition Security : A Development Dillema. Rome : Food Agricultural Organization.
81
82
83 Lampiran 1 Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Propinsi Jawa Tengah
84
Lampiran 2 Hasil uji korelasi Spearman antar variabel
Umur ayah Umur ibu Jumlah anggota keluarga Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Pengetahuan gizi ibu Alokasi pengeluaran pangan Alokasi pengeluaran non pangan Tabu makanan Tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan protein Keterangan :
Status Gizi BB/U 0,004 0,005
Status Gizi TB/U -0,067 -0,066
Status Gizi BB/TB 0,044 0,032
Tingkat Kecukupan Energi -0,037 -0,077
Tingkat Kecukupan Protein 0,002 -0,054
-0,056
-0,044
-0,053
0,054
0,049
0,048 0,149** 0,144* -0,002
0,199** 0,252** 0,198** -0,045
-0,073 0,019 0,049 -0,007
0,272** 0,319** 0,131* 0,068
0,279** 0,320** 0,130* 0,099
0,119*
0,257**
-0,009
0,249**
0,245**
-0,007
0,018
-0,026
0,183**
0,215**
0,007
-0,018
0,026
0,183**
0,215**
-0,500
1,000
-0,500
0,500
-0,500
-0,074
-0,042
-0,061
1,000
0,901**
-0,078
-0,059
-0,059
0,901**
1,000
* Korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% (p<0,05) ** Korelasi nyata pada selang kepercayaan 99% (p<0,01)
Lampiran 3 Hubungan antara tingkat pendidikan ibu, umur ibu dan pekerjaan ibu dengan pengetahuan gizi ibu Variabel Independen Tingkat pendidikan ibu Umur ibu Pekerjaan ibu
Variabel Dependen Pengetahuan Gizi Ibu 0,564** -0,135* -0,191**
Keterangan: * Korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% (p<0,05) ** Korelasi nyata pada selang kepercayaan 99% (p<0,01)