MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239
PIDANA MATI DI INDONESIA Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi
A. ABSTRACT Indonesia is still consistent death penalty despite the pros and cos. Implementation death penalty in Indonesia under law UU No.2/Pnps/1964 by the way was shot in front of a firing squad . There ia an opinion that states the implementation of the death penalty violetes human right and contrary to article 28 I UUD 1945. This study is a normative legal reseach and using qualitative analysis. The purpose of this study is to describe the implementation of the death penalty in Indonesia by being short to death a firing squad and explained that the implementation of capital punishment is not contrary to or not to Article 28 I UUD 1945. Implenmentation of the death penalty in Indonesia is not contrary to Article 28 I UUD 1945 begitu lama, kadang sampai sepuluh atau B. PENDAHULUAN dua puluh tahun, telah membuat siksaan 1. Latar Belakang Masalah Indonesia sampai saat ini rohani, psikis dan mental bagi orang yang merupakan salah satu negara yang masih dijatuhi pidana mati. konsisten dan mengakui legalitas pidana Pidana mati telah menjadi pro dan mati, walaupun terjadi pro dan kontra kontra sejak abad ke 17. Di Belanda tentang pidana mati ini sudah lama terjadi. sebagai penjajah Indonesia telah Bahkan keberadaan pidana mati di menghapus pidana mati sejak tahun 1870. Indonesia akan terus ada karena dalam Dahulu pidana mati dilaksanakan Rancangan KUHP yang baru pidana mati ditiang gantungan dengan algojo sebagai masih di berlakukan pelaksana di lapangan terbuka ditonton Pidana mati mempunyai ciri yang masyarakat umum, dengan tujuan khas (istimewah), berbeda dengan jenis menakuti-nakuti para calon penjahat. pidana lainnya. Begitu pidana mati Pada saat ini banyak cara dijalankan, tidak dapat diubah atau pelaksanaan pidana mati, antara lain diperbaiki lagi, jika ternyata ada digantung, dipenggal, ditembak, kursi kekeliruan atau kekhilafan ataupun bukti listrik, dimasukan gas beracun, disunti baru (novum) dalam kasus tersebut. Maka racun sampai mati. dapat dimengerti pidana mati tidak segera Pelaksanaan pidana mati di dilaksanakan dibandingkan pidana lainnya Indonesia dengan cara ditembak dihadapan seperti pidana penjara atau denda. Pidana regu tembak. mati juga tidak segera dilaksanakan Pelaksanaan pidana mati di Indonesia telah meskipun seorang yang telah dijatuhi menjadi pro dan kontra. Pro dan kontra ini pidana mati tidak menggunakan upaya tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, hukum berupa banding, kasasi dan grasi. yaitu dengan cara ditembak dihadapan Tidak ada peraturan yang mengatur regu tembak. Tembak mati dihadapan regu tentang kapan pelaksannaan pidana mati tembak adalah cara untuk melaksanakan dilaksanakan, kenyataannya sering kali pidana mati di Indonesia berdasarkan tenggang waktu pelaksanaan pidana mati Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 yang begitu lama dan tidak jelas apakah akan sampai saat ini masih berlaku. Pidana dilaksanakan atau tidak pidana mati mati dianggap bertentangan dengan tersebut. Pelaksanaan pidana mati yang falsafah negara yang menganut paham Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 Pancasila, yang selalu menjunjung tinggi rasa prikemanusiaan yang adil dan beradap. Namun pidana mati tetap dilaksanakan di Indonesia. Ada pendapat mengatakan pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati dihadapan regu tembak melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I UUD 1945, yang secara tegas menyatakan, “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pidana mati merupakan sanksi yang paling berat dalam hukum pidana, Pidana mati diberikan karena kejahatan yang dilakukan termasuk dalam kualifikasi kejahatan yang sangat serius. Pidana mati dalam sejarah hukum pidana sudah lama diperdebatkan, ada yang setuju (pro) dan tidak setuju (kontra) atas pidana mati. Alasan pendapat yang setuju (pro), karena menilai sanksi pidana mati tersebut sudah sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat, sehingga pidana mati masih relevan untuk dilaksanakan. Alasan pendapat yang tidak setuju (kontra), karena sanksi pidana mati tersebut sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah pelaksanaan pidana mati di Indonesia ? b. Apakah pidana mati bertentangan dengan Pasal 28 I UUD 1945 ? 3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah : a. Untuk menjelaskan pelaksanaan pidana mati di Indonesia b. Untuk menjelaskan pidana mati bertentangan atau tidak dengan Pasal 28 I UUD 1945 ? 4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang pelaksanaan pidana mati di Indonesia. b. Penelitian ini menjelaskan pelaksanaan pidana mati di Indonesia dalan hubungan nya dengan hak asasi manusia. c. Penelitian ini dapat menjelaskan hubungan pidana mati dengan Pasal 28 I UUD 1945. C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Teori Pemidanaan Menurut Effendi Erdianto (2009 : 7) , alasan pemidanaan di bagi menjadi tiga golongan, yaitu : yaitu teori pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan. a. Teori Pembalasan Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan tindak pidana. Penganjur teori ini antara lain Immanuel Kant yang mengatakan “Fiat justitia ruat coelum” (walaupun besok dunia akan kiamat, namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya). Kant mendasarkan teorinya berdasarkan prinsip moral/etika. Penganjur lain adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan. Menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan karena itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat. Teori absolut atau teori pembalasan ini terbagi dalam dua macam, yaitu: 1) Teori pembalasan yang objektif, yang berorientasi pada pemenuhan kepuasan dari perasaan dendam dari kalanagan masyarakat. Dalam hal ini tindakan si pembuat kejahatan harus dibalas dengan pidana yang merupakan suatu berencana atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan. Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 2) Teori pembalasan subjektif, yang berorientasi pada penjahatnya.Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus menndapat pembalasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yang besar disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan. b. Teori Relatif (Tujuan) Teori ini mendasarkan pandangan kepada maksud dari pemidanaan, yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Artinya, dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa mendatang. Penganjur teori ini antara lain paul Anselm van Feurbach yang mengemukakan hanya dengan mengadakan ancaman pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan pejatuhan pidana kepada si penjahat. Mengenai tujuan – tujuan itu terdapat tiga teori, yaitu : 1) Untuk menakuti, teori dari Anselm von Reuerbach, hukuman itu harus diberikan sedemikian rupa/cara, sehingga orang takut untuk melakukan kejahatan. Akibat dari teori itu ialah hukuman-hukuman harus diberikan seberat – beratnya dan kadang-kadang merupakan siksaan. 2) Untuk memperbaiki, hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk memperbaiki si terhukum sehingga dikemudian hari ia menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar pula peraturan hukum (Speciale Prevensi/pencegahan khusus). 3) Untuk melindungi, tujuan hukuman ialah melindungi masyarakat terhadap perbuatan- perbuatan jahat. Dengan diasingkannya si penjahat itu untuk sementara, masyarakat dilindungi dari perbuatan – perbuatan jahat orang itu (Generale Prevensi/pencegahan umum). c. Teori Gabungan
Pemidanaan merupakan perpaduan teori pembalasan dan teori tujuan, yang disebut sebagai teori gabungan. Penganutnya antara lain adalah Binding. Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang akan datang, karenanya pemidanaan harus dapat member kapuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun kepada masyarakat. 2. Sistem Pemidanaan di Indonesia Sistem pemidanaan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu UU No. 1 tahun 1946 dan aturan perubahanperubahannya, yaitu UU No. 73 tahun 1958 jo. UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP, UU No. 16 Prp tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP, UU No. 18 prp tentang perubahan jumlah maksimum pidana denda dalam KUHP. Jenis-jenis pemidanaan diatur Pasal 10 KUHP yaitu: 1). Pidana Pokok a). Pidana mati b). Pidana Penjara c). Pidana Kurungan d). Pidana Denda 2). Pidana Tambahan a). Pencabutan Hak-Hak Tertentu b). Perampasan Barang Tertentu c). Pengumuman Putusan Hakim Di Indonesia pidana mati diperbolehkan. Pasal 12 KUHP mengatur maksimum pidana penjara adalah dua puluh tahun atau pidana seumur hidup, minimum pidana penjara adalah satu hari. Pasal 18 KUHP mengatur pidana kurungan paling sedikit satu hari dan tidak boleh melebihi satu tahun empat bulan. 3. Syarat-Syarat Pemidanaan Sanksi pidana itu merupakan siksaan atau sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi terpidana, sehingga harus ditentukan terlebih dahulu syarat-syarat atau ukuran-ukurannya sebelum sanksi pidana dijatuhkan. Roelan saleh (1968:28), ditentukan syarat-syarat atau ukuranukuran pemidanaan. Baik yang Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku, pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas kesalahan Asas legalitas mengharuskan adanya ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana. Asas kesalahan mengharuskan hanya orang-orang yang bersalah sajalah yang dapat dijatuhi sanksi dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan 4. Dasar Hukum Berlakunya Pidana Mati Saat ini aturan hukum yang mengatur pidana mati di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964. Proses pembentukan Undang Nomor 2/Pnps/1964 berasal dari Penetapan Presiden tanggal 27 April 1964 Nomor 2 / 1964, Lembaran Negara Nomor 38 / 1964 tentang Pelaksanaan Hukuman Mati ditentukan ditembak sampai mati. Penetapan Nomor 2 / 1964 menjadi Undang Nomor 2/Pnps/1964. 5. Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati sebagai lex posteriori Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 11 menyatakan “ Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjerat tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”. Jadi menurut KUHP, pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung sampai mati. Selanjutnya menurut Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati. Ada dua aturan hukum yang mengatur hal yang sama, maka dapat berlaku asas hukum lex posteriori derogate legi lex priori (ketentuan perundang-undangan yang baru menggantikan ketentuan
perundang-undangan yang lama). Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati merupakan undang-undang yang baru menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) khusus pada tata cara pelaksanaan pidana mati. 6. Peraturan Perundangan yang Menerapkan Pidana Mati Peraturan perundangan yang menerapkan pidana mati, yaitu : a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pasal 111ayat (2) menyatakan “Jika perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun”. - Pasal 124 ayat (3) menyatakan “ pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun dijatuhkan jika sipembuat : 1) memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghacurkan atau merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, sesuatu alat perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun Angkatan laut, Angkatatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi, menghalang-halangi atau menggagalkan usaha untuk menggenangi air atau karya tentara lainnya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang ; 2) menyebabkan atau memperlancar timbulnya hura-hura, pemberontakan atau desersi di kalangan Angkatan Perang. - Pasal 340 menyatakan “barang sipa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembununhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. - Pasal 365 ayat (4) menyatakan “diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no.1 dan 3”. - Pasal 444 menyatakan “Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 – 441 mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka nakoda , komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama du puluh tahun”. b. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. - Pasal 2 ayat (2) menyatakan“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dijatuhkan”. Penjelasan Pasal 2 (2) menyatakan, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberantas bagi pelaku tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. - Pasal 6 menyatakan “ setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suassana teror atau rasa takit terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek – obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. - Pasal 8 menyatakan “ Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 setiap orang yang : a) Menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunanuntuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut. b) Menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau merusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut. c) Dengan sengaja dan melawan hukum mengahancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengaman penerbangan, atau mengagalkan pekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru. d) Karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
untuk pengamanan penerbangan yang keliru. Dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, mengahancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara. Karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yng dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan. Dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan. Dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan. Melakukan bersama – sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan
l)
m)
n)
o)
p)
direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan sesorang. Dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jikaperbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut. Dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan Dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan di tempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan. Melakukan secara bersama – sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan, lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n. Memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan
Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan q) Didalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara, dalam penerbangan. r) Di dalam pesawat udara melakukan perbuatan – perbuatan yang dapat menggangu ketertiban, dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan d. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Narkotika - Pasal 80 (1) menyatakan” Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum: memproduksi, mengolah, mengektraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00.(satu milyar rupiah)”. - Pasal 80 (2), menyatakan “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a didahului dengan permufakataan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00. (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”. - Pasal 80 (3), menyatakan “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
-
-
-
-
rupiah) dan paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah)”. Pasal 81 ayat (3)a menyatakan “apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidan mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.4.000.000.000,00 9empat milyar rupiah)”. Pasal 82 ayat (1)a, menyatakan “ barangsiapa tanpa hak dan melawan hokum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 82 ayat (1)b menyatakan “Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyakRp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Pasal 82 ayat (1)c menyatakan “ Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan III,
Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”. - Pasal 82 ayat (2)a, menyatakan “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. - Pasal 82 ayat (3)a menyatakan “ Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.500.000.000,00(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah)”. e. UU RI No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika - Pasal 59 ayat (2) menyatakan “ Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluhjuta rupiah)”. f. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia - Pasal 36 menyatakan “setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a,b,c,d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun”. - Pasal 37 menyatakan “setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a,b,c,d,e atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (duas puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun”. - Pasal 41 menyatakan “percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagimana dimaksud dalam pasal 8, atau pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, pasal 37, pasal 38, pasal 39, dan pasal 40”. - Pasal 42 ayat (3) menyatakan “perbuatan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 36,pasal 37, pasal 38, pasal 39 dan pasal 40”. D. METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder (bahan pustaka), maka tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji (2004:13) penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 2. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji (2004:7) pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang bertitik tolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan diteliti dilapangan untuk memperoleh faktor Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 pendukung dan hambatanhambatannya. 3. Sumber Data Sumber datanya adalah data sekunder, terdiri : a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan pidana mati di Indonesia. b. Bahan hukum sekunder, seperti buku-buku, jurnal. c. Tertier, yaitu kamus, ensiklopedi. 4. Analisis data Lexy J. leong (1990:3) analisis data adalah proses mengatur urutann data mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Model analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpulkan kemudian dikelompokan selanjutnya dihubungkan satu sama lainnya sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermakna serta dilakukan penilaian-penilaian kualitatif (non statistik). E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia Pelaksanaan pidana mati diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Pasal 1 dan 14 mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, sebagai berikut : Pasal 1: “ Dengan tidak mengurangi ketentuanketentuan hukum acara pidana yang ada tentang menjalankan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhi oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan dalam pasal pasal berikut” Pasal 14 : (1) Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. (3) Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, komandan regu Penembak memberkan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya keatas ia memerintahkan regunya untuk membididk pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya kebawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. (4) Apabila setelah setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komanda Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat diatas telinganya (5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter. Menurut Effendi Erdianto (2009 : 154) Undang-Undang Nomor 2 Pnps Tahun 1964 diatur ketentuan sebagai berikut: a. Dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau oleh jaksa tersebut. b. Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang dikandungnya telah lahir. c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman ( sekarang berganti nama menjadi Menteri Hukum dan Ham), yakni di daerah hukum dari pengadilan tingkat Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 pertama yang telah memutuskan pidana mati yang bersangkutan. d. Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari jaksa tinggi atau dari jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati atau peradilan tingkat pertama. e. Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi. f. Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) harus menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu, sedang pembela dari terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan dari terpidana dapat menghadirinya. g. Pelaksanaan pidana mati itu tidak boleh dilakukan di muka umum. h. Penguburan jenasah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat-sahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksanaan dari penguburan yang sifat demonstratif, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan dapat menenntukan lain. i. Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut, dimana isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan di dalam surat keputusan dari pengadilan yang bersangkutan. 2. Pidana Mati Bertentangan atau Tidak Dengan Pasal 28 I UUD 1945. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tetap mencantumkan pidana mati dalam peraturan perundang-undangannya , hal ini menimbulkan pro dan kontra atas pidana mati. Pendapat pidana mati dapat dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, pelaku melakukan perbuatan yang sangat membahayakan kepentingan umum, oleh
karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu hukuman mati. Pendapat yang lain mengatakan hukuman mati sebenarnya tidak perlu, karena mempunyai kelemahan, yaitu sekali pidana mati telah dijalankan, maka selesai, tidak ada kesempatan si terpidana untuk memperbaiki diri, pada hal salah satu tujuan penjatuhan pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Sedangkan tujuan utama pidana mati pada dasarnya agar masyarakat merasa takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam tersebut. Menurut The Indonesian Human Rights Watch dalam Waluyadi (2009:57) terdapat tiga alasan utama mengapa penjatuhan hukuman mati seringkali digunakan oleh pengadilan, yaitu: a. Hasil penerapan ancaman hukuman mati digunakan oleh rezim kolonial Belanda, kemudian dalam prakteknya terus digunakan sampai rezim otoritarian Orde Baru untuk memberikan rasa takut bahkan menghabiskan lawan politik. Hal ini dapat dilihat pada penerapan kejahatan politik Pasal 104 KUHP. b. Upaya menerbitkan beberapa katentuan hukum baru yang mencantumkan ancaman pidana mati sebagai langkah kopensasi politik akibat ketidakmampuan membenahi sistem hukum yang korup. Padahal ancaman pidana mati tidak pernah bias membuktikan efektifitasnya mengurangi angka kejahatan termasuk narkotika. c. Meningkatnya angka kejahatan dilihat semata sebagai tanggung jawab individu pelaku. Ada banyak cara pelaksanaan pidana mati seperti digantung, ditembak, kursi listrik dipenggal lehernya, dimasukan ruang gas beracun, disuntik/injeksi. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh membuat terpidana tersiksa sebelum menemui ajalnya, pelaksanaan pidana mati Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 yang ternyata terpidana masik tersiksa , menggelepar-gelapar menahan sakit sebelum menemui ajalnya, maka pelaksanaan pidana mati yang seperti itu melanggar hak asasi manusia yaitu hak untuk tidak disiksa. Di Indonesia pidana mati menimbulkan pro dan kontra karena berhubungan dengan hak untuk hidup, dan hak untuk tidak disiksa. Hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa diatur dalam Pasal 28 I UUD 1945. Pasal 28 I UUD 1945 menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hak nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun”. Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati dengan sasaran tepat mengenai jantung menjadi cara yang paling efektik dan manusiawi dalam menghilangkan nyawa manusia. Terpidana yang dihukum mati dengan cara ditembak tepat pada jantungnya, kecil kemungkinannya masih hidup. Dengan demikian pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati dengan sasaran tepat mengenai jantung tidak bertentangan dengan Pasal 28 I UUD 1945, karena terpidana tidak tersiksa dahulu baru mati. Dalam Pelaksanaan pidana mati kemudian terjadi keadaan darurat atau kondisi khusus, yaitu terpidana masih menunjukkan tanda tanda kehidupan, karena tembakan regu tembak meleset, maka menurut Pasal 14 ayat (5) UndangUndang Nomor 2/Pnps/1964 telah memberi solusinya, yaitu “Apabila setelah setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komanda Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat diatas telinganya”.
Tindakan ini jelas untuk menghindari penderitaan terpidana sebelum meninggal. Dengan demikian Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak dihadapan regu sampai mati dengan sasaran tepat mengenai jantung sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tidak bertentangan dengan Pasal 28 I UUD 1945, karena terpidana tidak disiksa. Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati pernah diajukan untuk dilakukan pengujian terhadap Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi oleh ketiga terpidana mati kasus Bom Bali, yaitu Amrozi bin Nurhasyim, Ali Gufron bin Nurhasyim, dan Abdul Aziz alias Imamm Samudra dengan perkara nomor 21/PUU-VI/2008. Adapun putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 21/PUU-VI/2008 adalah menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008, antara lain menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi karena hak untuk hidup dalam semangat UUD 1945 dan sejarah konstitusi Indonesia tidak dimaksudkan sebagai hak yang mutlak. Menurut Effendi Erdianto (2009 : 157) putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008, memberikan arahan agar konstruksi pidana mati ke depan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. b. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapatdiubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun. c. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 d. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Perasaan sakit yang dialami oleh terpidana mati akibat pelaksanaan eksekusi mati merupakan proses alamiah yang sudah pasti ada dan oleh hukum dapat dibenarkan, karena pemidaan pada hakekatnya adalah penderitaan. Sedangkan “penyiksaan” merupakan penderitaan pada diri seorang akibat perbuatan orang lain. Menurut hukum, “Penyiksaan” adalah hal yang dilarang. Setiap pelaksanaan pidana mati akan menimbulkan rasa sakit bagi terpidana, hal ini tidak dapat dihindari, namun demikian pelaksanaan pidana mati haruslah memperhatikan tujuan dilakukan pidana mati bukan untuk menyiksa siterpidana. Pelaksanaan pidana mati tidak diperbolehkan dilakukan dengan sadis, karena dapat mengganggu rasa keadilan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan. F. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Sampai saat ini Indonesia masih konsisten melaksanakan pidana mati, bahkan dalam Rancangan KUHP yang baru pidana mati masih di berlakukan. b. Pelaksanaan pidana mati di Indonesia dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati dihadapan regu tembak. c. Pidana mati tidak bertentangan dengan Pasal 28 I UUD 1945. 2. Saran-saran a. Saat ini sebagaian besar negar-negara di dunia telah mengghapus pidana mati, maka Indonesia sudah saatnya untuk menghapuskan pidana mati. Penhapusan Pidana mati memiliki arti penting dilihat dari sisi perlindungan hak asasi manusia, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun, termasuk kekuasaan Negara dengan atas nama hukum.
b. Selama aturan hukum yang mengatur pidana mati di Indonesia belum dicabut, maka hendaknya Presiden dapat memberikan salah satu dari amnesty, abolisi dan grasi kepada siterpidana mati, agar hukuman mati dapat dirubah, sehingga pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993. Arief Barda Nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Effendi Erdianto, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2005. J.E.Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998. Karjadi M dan Soesilo R,Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, Politeia, Bogor,1997. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Marpaung Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.2009. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Centra, Jakarta, 1968 Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia
MEDIA SOERJO Vol. 14 No. 1 April 2014 ISSN : 1978-6239 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, UNS, Surakarta, 2005. Soejono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press.Malang, 2009. Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung,2009. Peraturan perundang-undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). UU RI No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-Undang Nomor tentang Narkotika.
22 tahun 2007
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Heru Drajat Sulistyo, Pidana Mati Di Indonesia