MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
162
PEMBERHENTIAN PRESIDENDAN/ATAU WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi
A. ABSTRAC Dismissal of the President and / or Vice- President has been regulated in the Act of 1945 Dismissal of the President and / or Vice President shall be proposed by the House of Representatives (DPR) to the People's Consultative Assembly (MPR). Prior to the filing of the dismissal to the MPR, DPR must first submit an application to the Constitutional Court (MK). Dismissal of the President and / or Vice-President has been provided for in Article 7 B of the 1945 Constitution . Furthermore, the authors examine the relationship of the rule of law (Article 1 , paragraph 3 of the 1945 Constitution) with a mechanism impeach the President and/ or Vice President (Section 7 B 1945) in Indonesian The purpose of this study was to describe the use of the right of inquiry in the dismissal of the President and / or Vice President , and discover a new concept in the field of law relating to dismissal constitutional President and / or Vice President. This study is a normative legal research, and using qualitative descriptive analysis. Dismissal of the President and / or Vice President through several stages in the three state institutions , namely the Parliament, the Court and the Assembly as set in Section 7B of the 1945 Constitution. Article 78 paragraph ( 3 ) and paragraph ( 7 ) of the 1945 Constitution contrary to the principles of rule of law
B. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Secara konstitusional, aturan mengenaipemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bangsa Indonesia sejak merdeka tahun 1945, telah beberapa kali terjadi pember-
hentian Presiden. Presiden pertama Soekarno, diberhentikan berdasarkan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.Presiden Soeharto (presiden kedua) menyatakan berhenti sebagai Presiden setelah secara de facto rakyat tidak mendukungnya. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
sebutan “Gus Dur” diberhentikan berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001. Dalam perspektif UUD 1945 yang telah diamandemen, proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun sebelum proses pengajuan pemberhentian kepada MPR, terlebih dahulu DPRharus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelum upaya pengajuan pemberhentian diajukan ke MPR, maka DPR terlebih dahulu menggunakan hak angket sebagai upaya penyelidikan terhadap kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kemudian DPR menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai pintu masuk DPR untuk membawa Presiden dan/atau Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Praktek ketatanegaraan di Indonesia dalam penegakkan hukum dilakukan secara prosedural. Upaya DPR mengajukan ke Mahkamah Konstitusi mengenai dugaan DPR atas dugaan pelanggaran konstitusi oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden masih terkendala pada proses politik di DPR dengan mekanisme
163
pemungutan suara. Implikasinya terdapat kontradiksi antara ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 menyatakan “ Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam persidangan yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”. Kemudian, permohonan DPR atas pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah berhasil diajukan ke Mahkamah Konstitusi, selanjutnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah inkonstitusional dengan melanggar Pasal 7A UUD 1945, maka tidak serta merta Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan sejak dibacakan putusan Mahkamah Konstitusi. Proses selanjutnya pada sidang paripurna MPR. Pengambilan keputusan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir. Implikasinya, apakah MPR sebagai lembaga politik mampu menjunjung tinggi supremasi hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi ? Penulis melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”) dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah penggunaan hak angketdan hak menyatakan pendapat oleh DPR yang dilanjutkandengan proses pemerikasaan di Mahkamah Konstitusi ? b. Apakah ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 (mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di sidang paripurna MPR ) sudah sesuai denganPasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum) ? 3. Tujuan Penelitian
164
Adapun tujuan penelitian adalah : a. Untuk menjelaskan penggunaan hak angket dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. b. Untuk melakukan analisis mengenai prinsip negara hukum dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia. c. Untuk menemukan konsep baru dibidang hukum ketetanegaraan berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. 4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah a. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang seharusnya dilakukan dalam hukum ketatanegaraan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. b. Penelitian ini dapat menjelaskan hukum positif Indonesia berkaitan dengan mekanisme politik hukum pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Indonesia. c. Penelitian ini dapat menjelaskan implementasi praktek pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
Presiden di Indonesia sehingga tetap sesuai dengan asas negara hukum Indonesia. C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Teori Negara Hukum Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah sebab rumusan atau pengertian negara itu terus berkembang mengikuti perkembangam umat manusia, karena itu untuk memahami konsep negara hukum perlu mengetahui perkembangan politik hukum yang mendorong lahir dan berkembangnya konsep negara hukum. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan ketatanegaraan, gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang semenjak 1800 SM, akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa yunani kuno.Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi yunani kuno menjadi sumber gagasan kedaulatan hukum. (Jimly Asshidiqie,2010:11) Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh para filsuf besar Yunani seperti Plato (429347 SM), dan Aristoteles (384322 SM). Menurut Budiono Kusumo Hamidjojo (Budiono Kusumo
165
Hamidjojo,2004:56)dalam bukunya Politikos, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan, yaitu pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum. Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.Keadilan merupakan syarat tercapainya kebahagiaan hidup untuk warganya dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susilakepada setiap manusia agar menjadi warga negara yang baik.(Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim,1988:23) Selanjutnya teori negara hukummulai berkembang saat munculnya pemikiran tentang teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ketujuh belas hingga abad ke Sembilan belas.Secara umum dalam teori negara hukum dikenal adanya dua macam konsepsi tentang negara hukum, yang terdiri dari konsep negara hukum dalam arti rechstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of lawatau rule of law.Istilah rechstaat dikenal dalam negara-
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
negara Eropa Kontinental (Belanda, Jerman, Perancis). Konsep rechstaatmuncul dari Friedrich Julius Stahl yang diilhami oleh Immanuel Kant. Menurut Stahl (Ridwan HR,2006:3) unsur-unsur rechstaatyaitu: a. Perlindungan hak-hak asasi manusia; b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan dan d. Peradilan administrasi negara Selanjutnya, rule of law merupakan konsep negara hukum yang tumbuh dan berkembang di negara Anglo Saxon (Amerika Serikat dan Inggris). Menurut Albert Venn Dicey (I Dewa Gede Palguna,2000:112) unsur-unsur rule of law yaitu : a. Supremasi hukum (supremacy of law) dan tidak adanya kewenangan-kewenangan tanpa aturan yang jelas. b. Persamaan di muka hukum (equality before the law) dan c. Hak asasi manusia yang dijamin melalui undangundang. Doktrin rule of law makin berkembang dan menjadi topik pembahasan sejak Dicey mengemukakan pemikirannya
166
pada abad ke -19. Ketiga elemen unsur negara hukum yang dikemukakan Dicey hingga saat ini tetap merupakan warisan Dicey yang sangat berharga. Bukan hanya dalam memahami perkembangan pemikiran tentang negara hukum itu sendiri, tetapi juga dalam memahami demokrasi liberal yang kini dipraktikkan oleh negara-negara di dunia dan negara-negara yang baru terlepas dari sistem totoliter dan otoliter.(I Dewa Gede Palguna,2000:114) 2. Negara Hukum di Indonesia Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia merupakan the supreme law of the land.(Moh. Mahfud MD,2009:258) Pasca amandemen UUD 1945, telah dirumuskan dalam batang tubuh mengenai konsep negara, yang sebelumnya hanya dicantumkan dalam penjelasan UUD1945 sebelum amandemen. Salah satu upaya (prosedur dan mekanisme) untuk melindungi rakyat terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara dapat dilakukan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia. Konsep negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan negara kesejahteraan.Didalam konsep ini, negara atau pemerintah tidak hanya semata-
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat saja, tetapi juga memikul tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umum demi kemakmuran rakyat.(Jazim hamidi,2009:36) Menurut Frans Magnis Suseno (Lukman Hakim, 2009:47) negara hukum yang demokratis meliputi sebagai berikut : a. Fungsi-fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembagalembaga sesuai ketetapanketetapan sebuah undangundang dasar; b. Undang-undang dasar menjamin hak asasi manusia sebagai unsure yang paling penting; c. Badan-badan negara yang menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya atas dasar hukum yang berlaku; d. Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan negara; dan e. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. Negara Indonesia diidealkan untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 1UUD 1945, yaitu Kedaulatan di tangan rakyat dan
167
dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar, serta negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya, segala tindakan kekuasaan negara harus senantiasa berpegang pada hukum dalam mewujudkan demokrasi berdasarkan atas hukum (constituonal democracy), atau negara hukum yang demokrasi (democratiche rechtstaat). ((Jimly Asshidiqie, 2005:74) 3. Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Dewan Perwakilan Republik Indonesia memiliki beberapa hak dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, yaitu hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Hak angket merupakan manifestasi dari fungsi pengawasan DPR kepada Presiden. Peranan hak angket merupakan wujud dari suatu kekuasaan dengan mekanisme cheks and balances antar lembaga negara, termasuk antara DPR dengan Presiden.Hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 junto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Pemusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwkilan Rakyat Daerah. Penggunaan hak angket sebagai wujud dari fungsi pengawasan DPR merupakan
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
upaya untuk menghindari sentralisasi kekuasaan negara, termasuk kekuasaan Presiden. 4. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dan kewajiban sebagai berikut : (1)Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2)Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan konstitusional dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, yaitu:
168
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar c. memutus pembubaran partai politik d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Disamping itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki satu kewajiban konstitusional dalam Pasal 24 C ayat (2) untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam proses pemberhentian terhadap Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terlepas dari pengalaman masa lampau dan merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem ketataegaraan yang dikembangkan di Indonesia. Selain itu ada keinginan untuk memberikan pembatasan agar seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan alasan politik belaka, melainkan juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
Secara khusus keberadaan Mahkamah Kontitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kewajiban dan kewenangan Mahkamah Konstitusi kemudian dipertegas dan diuraikan lebih lanjut dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan : (1)Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar c. memutus pembubaran partai politik d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (2)Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
169
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan / tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar 1945. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka alasan-alasan seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dimintakan putusan oleh DPR Kepada Mahkamah Konstitusi adalah : 1. Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya 2. Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan tercela 3. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 10 ayat (3) UU No.23 tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan lebih lanjut maksud tindakan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu berupa : a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindakan pidana terhadap keamanan negara
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
sebagaimana diatur dalam undang-undang. b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang. c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. d. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945. 5. Dasar Hukum Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden UUD 1945 sebelum amandemen tidak ada aturan yang jelas untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatan.Implikasinya, proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presidendilakukan dengan kesepakatan politik tanpa adanya kejelasan status hukum. Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada waktu itu senantiasa tergantung pada konfigurasi politik sehingga Presiden dengan sangat mudah diberhentikan oleh parlemen ketika Presiden tidak mempunyai banyak pendukung di parlemen. Dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia, telah terjadi dua kali pemberhentian Presiden ditengah
170
masa jabatan, yaitu terhadap Presiden Soekarno tahun 1967 dengan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 dan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001 berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001. Keduanya diberhentikan ditengah masa jabatan oleh MPR tanpa alasan hukum yang jelas yang semata-mata didasarkan atas keputusan politik.Artinya pemeriksaan dan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam rapat paripurna MPR bukan persidangan judisial, namun forum ketatanegaraan. Pasca amandemen UUD 1945, telah diatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan ditengah masa jabatan. Setidaknya penyempurnaan ini dapat mencegah pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatannya karena ada kepentingan politik.Dalam Pasal 7A telah diatur alasan-alasan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden ditengah masa jabatan. D. METODE PENELITIAN Metode adalah alat untuk mencari jawab. Jadi menggunakan suatu metode (alat) harus mengetahui dulu apa yang akan dicari. (Setiono,2005:3)
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
Metode penelitian digunakan untuk mengumpulkan data guna mendapat jawaban atas pokok permasalahan, sehingga data yang diperoleh dari penelitian dapat dipertanggungjawabkan dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Penelitian adalah terjemahan dari istilah bahasa Inggris research, yang terdiri dari re dan search artinya mencari. Jadi research atau penelitian adalah kegiatan mencari ulang, mengungkapkan kembali gejala atau kenyataan yang sudah ada untuk direkontruksi dan diberi arti guna memperoleh kebenaran yang dipemasalahkan.(Abdul Kadir Muhammad,2004:7) 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dengan mengkaji dan menganalisis subtansi peraturan perundang-undangan atas pokok permasalahan atau isu hukum dalam konsistensinya dengan asas-asas hukum yang ada. 2. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini menggunakan dua macam pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan asasasas hukum (legal principle approach). 3. Metode Pengumpulan Data
171
Teknil pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka, dokumen dan arsip. 4. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yang terdiri dari : a. Non Bahan seperti arsip, dokumen. b. Bahan hukum, terdiri dari : (1) Primer, seperti peraturan perundang-undangan (2)Sekunder, seperti bukubuku, jurnal (3)Tertier, seperti kamus, ensiklopedia 5. Teknik Analisa Data Dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sitematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.Sitematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis. Sebelum analisis dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan untuk megetahui validasinya. Setelah itu keseluruhan data akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas.
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan menguraikan, menjabarkan, dan menjelaskan konsep dan teori. E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Penggunaan hak angket dan hak menyatakan pendapat oleh DPR yang dilanjutkan dengan proses pemerikasaan di Mahkamah Konstitusi a. Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Menurut Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, Hak angket merupakan hak konstitusional DPR sebagai wujud fungsi pengawasan DPR kepada pemerintah guna tercapainya mekanisme saling kontrol dan imbang (checks and balances mechanism).Hak angket dipergunakan oleh DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis, serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bangsa yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Hak angket diususulkan sedikitnya 25 anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi, selanjutnya hak angket akan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan
172
dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2(satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2(satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Selanjutnya usulan hak angket diterima maka dibentuk panitia angket yanganggotanya semua fraksi DPR dengan keputusan DPR. Kelanjutan hak angket DPR adalah hak menyatakan pendapat. Paling sedikit 25 (dua puluh lima) anggota DPR yang mengusulkan hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR. Rapat paripurna DPR dihadiri sekurang kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan sekurang kurangnya 3/4 jumlah anggota DPR yang hadir. Hak menyatakan pendapat diterima oleh DPR maka dibentuk panitia khusus yang anggotanya mewakili semua fraksi DPR dengan keputusan DPR.Selanjutnya dalam rapat paripurna DPR menerima laporan panitia khusus yang memberikan kesimpulan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Langkah berikutnya DPR meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut. Pengajuan pemintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dalam sidang paripurna DPR dengan dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, dan putusannya didukung 2/3 dari anggota DPR yang hadir. Ketika dalam rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam
173
hal DPR mengajukan permintaan kepada MK atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka harus berhasil mendapatkan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR b. Proses Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi. Setelah hak angket dan hak menyatakan pendapat disetujui DPR, maka langkah selanjutnya proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5) UUD 1945 juncto Pasal 24C ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya untuk melaksanakan kewenangan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut, Mahkamah Konstitusi menegeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden Dan/Atau Wakil Presiden. Pasal 3 ayat 3 dan 3 PMK menyatakan, permohonan dibuat dalam bahasa Indonesia, 12 rangkap 12 (dua belas) ditandatangani oleh Pimpinan DPR atau kuasa hukumnya. Pasal 4 PMK menyatakan, pendapat DPR berkaitan dengan dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, permohonan harus memuat secara rinci mengenai jenis, waktu dan tempat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal Pendapat DPR berkaitan dengan dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan tidak lagi dipenuhinya syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945, permohonan harus memuat uraian yang jelas mengenai syarat-syarat apa yang tidak dipenuhi. Pasal 7 PMK, menyatakan dalam permohonan DPR wajib menyampaikan alat bukti, yaitu : 1) Risalah dan/atau berita acara proses pengambilan Keputusan DPR bahwa pendapat DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
174
jumlah anggota DPR yang hadir dalam 2/3 dari jumlah anggota DPR; 2) Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan langsung dengan materi permohonan; 3) Risalah dan/atau berita acara rapat DPR; 4) Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menjadi dasar pendapat DPR. Pasal 9 ayat 1 dan 2 PMK, menyatakan Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim dengan sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) hakim konstitusi. Persidangan berlangsung dalam 6 tahap sebagai berikut: 1) Tahap I : Pemeriksaan Pendahuluan. 2) Tahap II : Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. 3) Tahap III : Pembuktian oleh DPR. 4) Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. 5) Tahap V : Kesimpulan. 6) Tahap VI : Pembacaan Putusan. Pasal 10 PMK menyatakan Pemeriksaan Pendahuluan wajib dihadiri oleh Pimpinan DPR dan kuasa hukumnya. Presiden
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
dan/atau wakil Presiden tidak wajib hadir pada Pemeriksaan Pendahuluan. Pada Pemeriksaan Pendahuluan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat menghadiri Pemeriksaan Pendahuluan, maka Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diwakili oleh kuasa hukumnya. Pasal 11 PMK menyatakan, pada Pemeriksaan Pendahuluan, Majelis Hakim memeriksaan kelengkapan materi permohonan dan memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk melengkapi dan /atau memperbaiki permohonan. Selanjutnya pimpinan DPR membacakan permohonannya. Setelah itu Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden atau kuasa hukum untuk bertanya tentang materi permohonan. Pasal 12 PMK menyatakan, pada Persidangan Tahap II, Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib menghadiri persidangan dan dapat didampingi kuasa hukumnya untuk menyampaikan tanggapan atas permohonanan DPR. Tanggapan yang disampaikan Presiden dan/atau Wakil Presidensebagai berikut :
175
1) Sah atau tidaknya pengambilan keputusan oleh DPR; 2) Materi Permohonan DPR; dan; 3) Alat-alat bukti tulis yang diajukan oleh DPR . Pasal 13 PMK menyatakan, persidangan Tahap II, Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk memberikan jawaban atas tanggapan Presiden dan/atau wakil Presiden, juga diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 14 PMK menyatakan, Persidangan Tahap III, DPR dapat menyampaikan alat –alat bukti berupa : 1) Alat bukti surat; 2) Keterangan Saksi; 3) Keterangan Ahli; 4) Petunjuk; 5) Alat bukti lainnya, seperti halnya informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu. Pasal 15 PMK menyatakan, Persidangan Tahap IV, Presiden dan/atau Wakil Presiden dan/atau kuasa hukumnya memberikan bantahan atas alat-alat bukti yang diajukan DPR, dan mengajukan bukti untuk membantah bukti yang
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
diajukan DPR.Ketua sidang memberikan kesempatan kepada DPR dan /atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan atas alat bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 16 PMK menyatakan, Persidangan Tahap IV adalah Kesimpulan. Kesimpulan disampaikan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan DPR.Kesimpulan disampaikan paling lama 14 hari setelah berakhirnya Sidang Tahap IV. Pasal 17 PMK menyatakan, apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada waktu pemeriksaan di mahkamah, maka pemeriksaan dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh mahkamah.Pernyataan penghentian pemeriksaan dan gugurnya permohonan dituangkan dalam Ketetapan Mahkamah yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum Pasal 18 PMK menyatakan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dilakukan untuk mengambil keputusan.RPH dilakukan secara tertutup dihadiri sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang hakim konstitusi.Pengambilan keputusan secara musyawarah dan mufakat.Dalam hal
176
musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka keputusan diambil dengan suara terbanyak.Dalam hal pengambilan putusan dilakukan dengan suara terbanyak, maka hakim konstitusi yang ingin menyampaikan pendapat yang berbeda, maka pendapat yang berbeda tersebut harus dimuat dalam putusan . Pasal 19 PMK menyatakan, Putusan paling lambat 90 hari sejak permohonan dicatat pada Mahkamah Konstitusi. Putusan dibacakan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. Adapun bentuk putusannya sebagai berikut : 1) Permohonan diterima ; 2) Permohonan tidak dapat diterima; 3) Permohonan ditolak. Pasal 19 PMK menyatakan, Putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat.Putusan Mahkamah yang menyatakan permohonan tidak diterima atau permohonan ditolak, maka proses penghentian Presiden dan/atau Wakil Presiden terhenti, tidak berlanjut ke MPR. Sebalik nya permohonan diterima maka proses penghentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berlanjut ke MPR. Keputusan MPR untuk memberhentikan Presiden
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
dan/atau Wakil Presiden terhenti diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurangkurangnya 3/4 anggota dari jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. 2. Ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 (mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di sidang paripurna MPR) di hubungkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum ). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “ Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Selanjutnya Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 menyatakan : “Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presidendiberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 bertentangan dengan
177
prinsip Negara hukum, karena Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, tetapi pada akhirnya yang menentukan pemberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah MPR, yaitu dengan cara menggelar sidang paripurna MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mekanisme pemberhentianPresiden dan/atau Wakil Presiden di MPR dilakukan dengan cara voting, yaitu keputusan diambil dengan dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir. Asas dari Negara hukum antara lain berdasarkan atas hukum, melaksanakan putusan pengadilan, maka seharusnya UUD 1945 memberikan ketentuan MPR harus melaksanakan putusan MK sebagai putusan badan peradilan. Kenyataannya UUD 1945 mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan dengan cara voting di MPR, dengan mengesampingkan adanya putusan MK. Akibatnya dapat terjadi MK memutuskan Presiden dan/atau Wakil
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, tetapi dengan mekanisme voting MPR, maka MPR tidak menyetujui pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.Disinilah letak runtuhnya asas Negara hukum oleh UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dijelaskan Indonesia adalah negara hukum. Namun pada Pasal yang mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presidenyaitu Pasal 7B ayat (7) UUD 1945, terjadi ketidaksesuaian atau pertentangan terhadap Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.Putusan MK bersifat final dan mengikat (finally binding) serta mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijdse) kenyataan pelaknaannya masih menunggu mekanisme voting di MPR. F. Penutup 1. Kesimpulan a. Penggunaan hak angket dan hak menyatakan pendapat oleh DPR hanya untuk menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum oleh DPR, selanjutnya di masalah pelanggaran hukum tersebut dibawa ke Mahkamah Konstitusi.Proses persidangan di Mahkamah
178
Konstitusi untuk menguji pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana di tuduhkan DPR. b. Ketentuan Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 (mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di sidang paripurna MPR) tidak sesuai / beretentangan denganPasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum) 2. Saran-saran a. Prinsip negara hukum di Indonesia dalam hubungan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada sidang paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) masih lemah, maka harus diperkuat . b. Untuk memperkuat prinsip Negara hukum dalam hubungan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presidenpada sidang paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945), maka ketentuan mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalamsidang paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) harus dirubah.
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
c. Adapun ketentuanpemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalamsidang paripurna MPR (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) harus dirubah, yang inti perubahannya adalah MPR wajib melaksanakan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah diputus MK . DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Budiono Kusumo Hamidjojo, Filsafat Hukum, Problematika Ketertiban yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004. IDewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan welfare State: Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Setjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2000. Jazim hamidi, Teori dan Politik Hukum Tata negara, Total Media, Yogyakarta, 2009. Jimly Asshsidiqie,Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Konstitusi Press, Jakarta, 2005. …………………., Perkembangan dan Kondisi
179
Lembaga Negar Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Lukman Hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pustaka Sutra, Jakarta, 2009. Moh.Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Sinar Bakti, Jakarta, 1988. Moh.Mahfud MD. Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,Rajawali Pers, Jakarta, 2009. RidwanHR. Hukum Adminstrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, UNS, Surakarta, 2005. Widodo Ekatjajana, Pengujian Peraturan Perundangundangan dan Sistem Peradilan di Indonesia, Pustaka Putra, Jakarta, 2008.
Peraturan undangan
perundang-
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
MEDIA SOERJO Vol. 13 No. 2. Oktober 2013 ISSN : 1978-6239
180
……….., Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ………., Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah. ……….., Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Heru Drajat Sulistyo, Pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945