BAB II ASPEK FILOSOFIS PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Aspek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia. Apabila dipandang dari sudut filosofis, maka mempersoalkan hukuman mati berarti mempertanyakan, apakah adanya hukuman mati dapat dibenarkan atau dipertanggungjawabkan? Pertanyaan ini dapat dikemukakan dengan cara lain, yakni apakah hukuman mati mempunyai tempat di dalam gagasan tentang hukum itu sendiri? Jadi, dalam menentukan dapat atau tidak dapat dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia. Oleh karena itu, bila dicermati, apa yang menjadi motif penggunaan pidana mati di Indonesia tentunya berbeda-beda dari tiap masa atau konteks munculnya peraturan yang memberikan hukuman mati tersebut. Namun untuk memberikan gambaran yang sederhana maka akan dipaparkan beberapa motif utama dari penggunaan pidana mati tersebut. Di masa Daendeles, motif melakukan konsolidasi hukum pidana dan menerapkan kebijakan hukuman mati ini tak lain disamping karena ia sekedar menyesuaikan
Universitas Sumatera Utara
hukuman dalam hukum pidana tertulis dengan sistem hukum lokal. 50 Dimana menurutnya, banyak hukum lokal yang masih menerapkan hukuman mati dan hukuman badan (hukuman kejam). Daendeles mungkin juga tidak mengetahui alternatif lain selain menggunakan kebijakan tersebut. 51 Selain ia tidak memiliki pengalaman sedikitpun mengenai urusan di tanah jajahan. Kemungkinan lainnya mengapa Daendeles bertindak ganas dengan melakukan konsolidasi menerapkan hukuman mati (dan hukuman kejam lainnya) karena ia bertugas untuk mempertahankan pulau jawa dari serangan angkatan perang Inggris dan oleh sebab itu sangat takut akan kemungknan timbulnya pemberontakan rakyat jajahan. 52 Dimasa pembentukan kodifikasi hukum pidana (WvSI) dengan melakukan unifikasi hukum pidana. Pemerintah Kolonial belanda tetap mempertahankan hukuman mati tersebut di daerah jajahannya termasuk Indonesia. Berbeda dengan perkembangan kodifikasi Hukum Pidana di Belanda dimana pada tahun 1870 hukuman mati di Belanda justru dihapuskan. Motif pemerintahan Kolonial Belanda masih mempertahankan hukuman mati tersebut sangatlah beragam, namun pada intinya pencantuman hukuman mati tersebut memiliki: motif rasial, alasan karena faktor ketertiban umum dan konteks hukum pidana dan kriminologi pada masa itu. 53
50 51
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1950), hlm. 77. Supomo dan Djokosutono, Sejarah politik Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramita, 1982), hlm.
35 52 53
E. Utrecht, op.cit. JE. Sahetapy, op.cit, hlm. 152.
Universitas Sumatera Utara
Prasangka rasial yang diskriminatif tersebut pada intinya menganggap bahwa orang-orang pribumi tidak bisa dipercayai. 54 Bahwa pribumi suka berbohong di pengadilan dengan memberikan kesaksian palsu. 55 Orangorang pribumi mudah percaya dan menerima kebohongan sebagai kebenaran dan banyak orang pribumi bersifat buruk. 56 Pandangan yang diskriminatif tersebut karena para sarjana hukum belanda sudah memiliki perasaan yang superior sebagai bangsa penjajah. 57 Sedangkan alasan faktor-faktor ketertiban umum ini mencakup beberapa aspek lain misalnya. Adanya anggapan bahwa karena negara memiliki segala kewenangan untuk menjaga ketertiban umum oleh karena itu maka hukuman mati adalah sebuah keharusan dalam menjaga ketertiban umum tersebut. 58 Disamping itu karena Hindia Belanda adalah jajahan yang luas yang penduduknya terdiri dari berbagai suku
54
Ibid. Lihat pendapat Simons dalam J.E Sahetapy. Menururt Sahetapy sikap dan penilaian yang subjektif ini dapat dijelaskan. Karena para sarjana hukum Belanda yang bertugas di lembagalembaga penegak hukum belum menguasai bahasa melayu dan bahasa daerah setempat, ketergantungan pada penerjemah dapat memperbesar kecurigaan adanya kesaksian palsu. Di samping itu mereka juga belum memahami dan meresapi nilai-nilai sosial masyarakat pribumi pada waktu itu. Di tambah pula dengan kurang memadainya suatu hukum acara pidana dan tanpa adanya pembela atau penasihat hukum pribumi maka tidaklah mengherankan adanya anggapan da gambaran yang keliru yakni para saksi pribumi yang suka memberikan kesaksian palsu. 56 Lihat pendapat Kruseman dalam J.E Sahetapy. Kruseman selanjutnya membandingbandingkan sifat – sifat orang Belanda dengan orang Indo Belanda dan orang pribumi dan berpendapat bahwa orang belanda mempunyai sifat yang tenang. Diakui pula oleh Kruseman bahwa meskipun orang indo belanda memiliki darah pribumi lebih banyak dalam tubuh mereka jelas mereka tidak sama dengan orangorang pribumi. Kruseman juga menyatakan bahwa di samping dapat dibelinya dan oleh karena itu tidak dapat di percayainya para saksi pribumi, orangorang pribumi seringkali juga tidak berpendidikan dan dengan demikian tidak mempunyai pendirian 57 Lihat juga hipotesa yang dilakukan oleh Winckel dalam J.E Sahetapy, menurut Winckel orang eropa terhitung dalam kasta yang istimewa dan oleh karena itu perasaan hokum mereka yang dijajah tidak akan di kejutkan sekalipun pidana mati tidak diberlakukan bagi orang Eropa. Klientjes juga menyatakan bahwa orang pribumi memiliki pandangan yang berbeda sekali mengenai hidup orang Eropa. Ia mencontohkan bahwa apabila orang probumi dipidana mati maka mereka tidak akan mengajukan permohonan grasi. 58 J.E Sahetapy, op.cit. 55
Universitas Sumatera Utara
bangsa dan kondisi Hindia Belanda yang demikian ini sangat berbeda dengan kondisi di Belanda, di Hindia belanda tertib hukum sangat mudah terganggu dan karena itu keadaannya mudah mengalami krisis dan berbahaya di bandingkan dengan Belanda disamping itu juga adanya anggapan bahwa susunan pemrintahan dan saranasarana untuk mempertahankan kekuasaan di Hindia Belanda sulit untuk berkerja dengan dibandingkan dengan kondisi di belanda. 59 Di pertahankannya Hukuman mati di Hindia belanda jika dikaitkan dengan konteks permasalahan hukum pidana dan kriminologi pada masa itu bukanlah merupakan faktor yang terpenting. Faktor yang paling penting adalah tetaplah pada prasangka yang diskrimininatif dan alasan ketertiban umum. Hal ini mungkin wajar karena pada masa itu pidana mati sebagai sebuah unsur yang wajar dalam hukum pidana dan oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan. Pidana mati dianggap inherent dengan hukum pidana. Oleh karena itu maka wajarlah pilihan menetapkan digunakannya pidana mati pada saat ini karena besarnya kepentingan politik dan ekonomi Belanda sebagai negara kolonial di Hindia Belanda. Beberapa pemikiran sarjana hukum Belanda yang mencerminkan hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pernyataan yang di kutip oleh J.E Sehatapy yakni: bahwa pidana mati dapat menjamin bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi sehingga masyarakat tidak akan diganggu lagi oleh pelaku, pidana mati merupakan sebuah alat represi yang kuat bagi pemerintah Hindia Belanda dengan alat tersebut maka kepentingan masyarakat dapat dijamin sehingga dengan demikian ketertiban hukum 59
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dapat di lindungi, alat represi yang kuat ini sekaligus juga berfungsi sebagai prevensi umum sehingga diharapkan para calon akan mengurungkan niatnya mereka untuk melakukan kejahatan sehingga kejahatan akan berkurang, dengan dijatuhkannya pidana mati diharapkan adanya seleksi buatan sehingga masyarakat dapat dibersihkan dari unsurunsur yang jahat dan buruk dan seterusnya. 60 Setelah Indonesia merdeka sampai dengan saat ini motif maupun tujuan penghukuman mati dalam berbagai peraturan yang ada juga menunjukkan pola yang konsisten. Walaupun studi terhadap aspek ini sangatlah sedikti sekali namun dari berbagai bahan yang ada tersebut dapatlah di paparkan secara ringkas beberapa argumentasi mengapa pidana mati masih digunakan baik dalam peraturan maupun dalam prakteknya sampai saat ini. Ada beberapa Motif yang paling populer dalam menggunakan hukuman mati di Indonesia yakni: hukuman mati memiliki tingkat efektif yang lebih tinggi dari ancaman hukuman lainnya karena memiliki efek yang menakutkan (shock therapi) disamping juga lebih hemat. 61 Hukuman mati digunakan agar tidak ada eigenrichting dalam masyarakat. 62 Secara teoritis hukuman mati ini juga akan menimbulkan efek jera (detterent effect) yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana, sehingga bisa dijadikan
60
Ibid. Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, (Jakarta: Aksara persada, 1985), hlm 127. 62 Ibid. 61
Universitas Sumatera Utara
sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi khusus. 63 Disamping itu masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan (retributive), dan utamanya masih dipertahankannya. 64 Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka untuk mengetahui lebih lanjut berkaitan dengan aspek filosofis pidana mati dalam hukum pidana, maka harus dimulai dengan mengemukakan teori-teori pemidanaan itu sendiri. Dalam hukum pidana setidaknya ada 3 (tiga) teori tentang pemidanaan tersebut, dan teori-teori tersebut lahir didasarkan kepada persoalan mengapa suatu kejahatan harus dikenai sanksi pidana. Ketiga teori dimaksud adalah sebagai berikut: a. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien). Teori absolut ini lahir pada abad ke 18, yang dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Leo Polak, dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat katolik dan sudah tentu juga sarjana hukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran qisas dalam Al-Qur’an. 65 Teori absolut atau teori retributif atau dikenal dengan teori pembalasan (vergerldingstheori)
tujuan
pemidanaan
didasarkan
pada
alasan
bahwa
pemidanaan merupakan morally justified (pembalasan secara moral) karena 63
Menurut prevensi khusus maka tujuan pemidanaan ialah menahan pelanggaran mengulangi perbuatannya atau menahan calon pelanggara melakukan perbuatan jahat yang telah direncnakannya. Contoh Pemidanaan yang bersifat prevensi khusus yang digambarkan leh Van Hamel sebagai berikut: (1) pemidaana haruslah memuat sebuah anasir yang menakutkan agar sipelaku tidak melakukan niat yang buruk. (2) Pemidanaan juga harus memuat anasir yang memperbaki terpidana. (3) Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi. (4) Tujuan satusatunya dari pemidanaan ialah mempertahankan tata tertib hukum. Lihat Djoko Parkoso & Nurwahid, Studi tentang penapatpendapat mengenai efektifitas hukuman mati, op.cit. 64 Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, op.cit. 65 Andi Hamzah, op.cit, hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima atas kejahatan yang dilakukannya. 66 Menurut teori ini, bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Artinya teori absolut memandang, pidana dimaksudkan untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. Menurut teori diatas, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari dijatuhkannya pidana. Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa depan. 67 Dari uraian diatas, maka suatu pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsurunsur untuk dijatuhkannya pidana. Jadi, pidana secara mutlak harus ada karena dilakukannya suatu kejahatan. Karena itulah maka teori ini disebut dengan teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan, akan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan. 68 b. Teori relatif atau tujuan (doel theorien). Menurut teori ini, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah menghindarkan atau mencegah (prevensi) agar kejahatan itu tidak terulang lagi.
66
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy, (Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 68. 67 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm. 21. 68 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena telah dilakukannya kejahatan, melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana itu dimasa depan, baik bagi si penjahat maupun masyarakat. Oleh karena itu teori yang kedua ini disebut dengan teori tujuan. 69 Adapun wujud pidana menurut teori ini berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya, yaitu memperbaiki, menakutkan dan membinasakan. Kemudian hakikat pidana itu sendiri dibedakan kepada prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum (general) bertujuan agar masyarakat pada umumnya menjadi takut, sehingga mereka tidak melakukan tindak pidana yang sama pada masa yang akan datang. 70 Sedangkan prevensi khusus (special) seperti yang dianut oleh Van Hamel (Belanda) dan Von Liszt (Jerman) adalah bertujua untuk mencegah niat buruk pelaku kejahatan, juga agar sipelaku tidak mengulangi kejahatannya. Secara lebih terperinci Van Hamel mengemukakan bahwa prevensi khusus suatu pidana dalam teori relatif itu adalah: 1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya. 2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. 3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki. 4. Tujuan satu-satunya suatu pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum. 71 E. Utrecht menyebutkan bahwa: 69
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 34. Andi Hamzah, op.cit, hlm. 34. 71 Djoko Prakoso dan Nurwachid, op.cit, hlm. 23. 70
Universitas Sumatera Utara
Teori relatif atau tujuan menitikberatkan pada tujuan hukum. Ancaman hukuman dan hukuman perlu supaya manusia tidak berdosa (ne peccetur), supaya manusia tidak melanggar. Menurut teori ini maka tujuan hukuman ialah menakutkan manusia melakukan pelanggaran, yaitu pada ancaman hukuman ada pengaruh menakutkan orang melakukan pelanggaran, dan juga untuk memperbaiki dan mendidik manusia ia oleh masyarakat dapat diterima lagi sebagai anggota yang baik. 72
c. Teori gabungan (veriniging theorien) Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain untuk pembalasan kepada sipelaku juga
dimaksudkan
untuk
melindungi
masyarakat
dengan
mewujudkan
ketertiban. 73 Dalam teori gabungan (veriniging theorien) dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi disamping itu juga yang menjadi dasar adalah tujuan daripada hukuman. Teori gabungan diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) maupun teori relatif atau tujuan (doel theorien) dianggap berat sebelah, sempit dan sepihak..74 Adapun keberatan teori gabungan (veriniging theorien) terhadap teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) adalah: 75 1. Dalam menentukan balasan sulit sekali menetapkan batasan-batasannya atau sulit untuk menentukan beratnya hukuman. 72
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesembilan, (Jakarta: 1966), hlm.
366. 73
Mahmud Mulyadi, dan Feri Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi ,(Jakarta: PT. SOFMEDIA, 2010), hlm. 98. 74 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa), hlm. 64. 75 Ibid, hlm. 65.
Universitas Sumatera Utara
2. Apa dasar untuk memberi hak kepada negara untuk menjatuhkan hukuman sebagai pembalasan. 3. Hukuman sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. 4. Singkatnya dalam teori ini dasar pembalasan sama sekali tidak memberi kepuasan hukum bagi kepentingan masyarakat, sedang hukum pidana diadakan untuk kepentingan masyarakat. Sedangkan keberatan teori gabungan (veriniging theorien) terhadap teori relatif atau tujuan (doel theorien) adalah: 1. Dalam teori relatif hukum dipakai sebagai cara untuk mencegah kejahatan, yaitu: baik yang dimaksud untuk menakut-nakuti umum, maupun yang ditujukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan. 2. Hukuman yang berat itu dirasa tidak memenuhi rasa perikeadilan, apabila ternyata bahwa kejahatannya ringan. 3. Keberadaan hukum daripada masyarakat membutuhkan kepuasan, oleh karenanya hukum tidak dapat semata-mata didasarkan pada tujuan untuk mencegah kejahatan atau membinasakan penjahat. 76 Dengan demikian, teori yang ketiga ini mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Teori gabungan antara pembalasan dan prevensi ini kemudian bervariasi menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu: 1. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan. Akan tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. Variasi yang pertama ini dianut oleh Pompe. Pompe mengatakan sebagaimana dikutip Andi hamzah, ”bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang lanjutnya, pidana dapat
76
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap tidak dapat dipungkiri bahwa pidana berarti suatu pembalasan”. 77 Grotius sebagai penganut teori ini kemudian mengembangkan teori gabungan tersebut dengan menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, akan tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana menurutnya adalah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. 78 2. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Teori ini dianut oleh Thomas Aquino yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum diciptakannya sebuah Undang-Undang. Ia juga berpendapat bahwa tindak pidana, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela oleh pelaku, karena itu ia pantas dijatuhi pidana sesuai dengan perbuatannya. Masih menurut Aquino, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Sebab tujuan pidana adalah untuk melindungi kesejahteraan masyarakat. Senada dengan pendapat Aquino tersebut diatas, Vos berpendapat bahwa suatu pidana adalah dimaksudkan sebagai prevensi umum, bukan semata-mata
77 78
Andi Hamzah, op.cit, hlm. 36. Ibid, hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
ditujukan kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara, maka ia tidak terlalu takut lagi karena sudah berpengalaman. 79 3. Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus dititikberatkan sama. Beranjak dari ketiga teori pidana tersebut diatas, maka dapatlah diketahui mengapa pidana mati itu berlaku dalam hukum pidana . Untuk menemukan jawabannya, maka harus dikembalikan kepada persoalan apa sebenarnya tujuan diciptakannya hukum itu. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan diciptakannya hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban, keamanan dan keadilan ditengah-tengah masyarakat. 80 Untuk mewujudkan tujuan itu pulalah, pemerintah selalu mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku kejahatan yang mencoba mengganggu ketentraman masyarakat tersebut. Tindakan tegas yang diambil pemerintah dalam rangka melindungi, mengayomi masyarakatnya adalah dengan menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan tersebut. Dan dalam hal kejahatan tertentu (kejahatan berat) yang dapat mengganggu dan menbahayakan ketentraman masyarakat tersebut, maka pemerintah menetapkan pidana mati sebagai ganjarannya. Memang diakui, bahwa dalam teori relatif sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya tujuan pemidanaan itu adalah untuk memperbaiki si terpidana. Akan tetapi, pada sisi lain teori relatif itu juga menganut paham bahwa
79 80
Ibid, hlm. 37. Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, (Bandung: Remaja Karya, 1985), hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
salah satu wujud pemidanaan itu adalah untuk membinasakan terpidana. Hal ini kemudian diuraikan lebih jauh oleh Van Hamel yang berpendapat bahwa setidaknya ada 4 (empat) prevensi khusus suatu pidana, satu diantaranya adalah pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. Sedangkan yang kedua adalah pidana harus mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki. 81 Karena itu para ahli hukum pidana Indonesia berpendapat bahwa pidana tersebut (pidana mati) dimaksudkan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan umum yang bersifat kemasyarakatan yang dibahayakan oleh kejahatan yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Dan dengan dijatuhkannya pidana mati terhadap pelaku kejahatan tersebut, maka ketentraman masyarakat umumpun akan terwujud, sebab hal itu akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka, sehingga penjahat potensial lainnya akan takut untuk melakukan kejahatan yang sama. 82 Dengan demikian penjatuhan pidana mati dimaksudkan sebagai pembalasan (vergelding) terhadap pelaku kejahatan berat pada satu sisi, dan pada sisi lain dimaksudkan sebagai pencegahan atau prevensi bagi orang lain. Senada dengan hal diatas, ditegaskan pula bahwa sejak hukum pidana di Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetbook Van Strafrecht Voor Nederlansch Indie, tujuan diadakan dan dijatuhkannya pidana mati adalah supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya
81 82
Andi Hamzah, op.cit, hlm. 35. J.E. Sahetapy, op.cit, hlm. 149.
Universitas Sumatera Utara
gangguan terhadap ketentraman yang sangat ditakuti oleh masyarakat umum. Dengan suatu putusan yang kemudian harus dijalankan, pidana mati yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan berat lainnya, maka diharapkan masyarakat menjadi takut sehingga mereka tidak sampai melakukan tindakan-tindakan pidana yang dapat diancam dengan pidana mati tersebut. 83 Disamping itu, suatu pendirian dalam mepertahankan tata tertib hukum dengan mempidana mati seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan ada ditangan pemerintah. Karena itu, pidana mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya. 84 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ohoitimur, dimana ia mengemukakan bahwa: Para ahli hukum (yang pro dengan pidana mati) berpendapat bahwa pidana mati itu erat sekali kaitannya dengan kepentingan masyarakat untuk dilindungi keselamatannya, hukum merupakan sarana perlindungan tersebut. Dan karena hukum itu dilanggar, maka sipelanggar harus dijatuhi pidana sebagai penjeraan. Dalam kasus pidana mati, tentu bukan siterpidana yang dijerakan, melainkan penjahat-penjahat potensial yang ada didalam masyarakat. 85 Kemudian Hamzah dan Sumangelipu dengan menguti pendapat HG. Rambonnet, mengemukakan bahwa: Adalah tugas pemerintah untuk mempertahankan ketertiban hukum. Seperti yang kita lihat, untuk mempertahankan ketertiban hukum tiu diwujudkan 83
Ibid, hlm. 161. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 61. 85 Yong Ohoitimur, op.cit, hlm. 99. 84
Universitas Sumatera Utara
melalui pemidanaan. Berdasarkan hal ini, maka pemerintah mempunyai hak untuk memidana, artinya membalas kejahatan, karena hak pemerintah untuk memidana itu adalah akibat yang logis dari haknya untuk membalas dengan pidana. Karena kejahatan itu menyebabkan terganggunya ketertiban hukum tersebut dalam suatu bahagian tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dapat dipulihkan kembali dengan mengeluarkan atau tidak mengikutsertakan penjahat itu dalam pergaulan masyarakat. Hal itu dapat direalisasikan dengan merampas kemerdekaannya (dipenjara), mengambil harta bendanya dan sebagainya. 86 Apabila kejahatan tersebut tidak hanya menggangu ketertiban pada suatu hal tertentu, tetapi meluas, misalnya pengkhianatan terhadap negara, maka menurut Rambonnet tujuan pidana mati itu telah terjawab dengan melenyapkan penjahat itu dari turut sertanya dalam kesejahteraan umum. Dan menurutnya, satu-satunya cara untuk mengucilkan penjahat itu dari pergaulan masyarakat adalah dengan menjatuhkan pidana mati terhadapnya. 87 Prodjodikoro mengungkapkan bahwa Pidana mati itu masih diperlukan sebagai alat pencegahan (prevention) bagi orang-orang agar tidak melakukan kejahatan-kejahatan berat. Kemudian pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Seorang ahli hukum Belanda, van hattum, menurutnya, pidana mati merupakan sebuah pidana yang mutlak diperlukan sebagai tindakan dalam keadaan khusus pada taraf kemajuan zaman sekarang. 88 Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa hakikat pemberlakuan pidana mati itu adalah untuk mewujudkan cita-cita hukum itu sendiri yaitu menciptakan ketenteraman dan kedamaian ditengah-tengah 86
Andi hamzah dan Sumangelipu, op.cit, hlm. 27. Ibid. 88 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm. 165. 87
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Hal ini tidak akan terwujud bila dimana-mana terjadi kejahatan yang mengakibatkan terganggunya ketertiban masyarakat luas, terganggunya hak-hak mendasar (hak hidup), dan jatuhnya kewibawaan negara dalam arti banyak upaya menggulingkan pemerintahan yang sah. Ketentraman dan kedamaian ditengahtengah masyarakat itu merupakan dambaan semua pihak, baik pemerintah sebagai lembaga yang menetapkan hukum, maupun masyarakat yang melaksanakannya. Dengan dijatuhkannya pidana mati terhadap terpidana yang tidak memungkinkan untuk diperbaiki lagi, maka terhindarlah masyarakat dari gangguan kejahatannya. Pada sisi lain, dengan dieksekusinya terpidana, maka hal itu sekaligus sebagai penjeraan atau pencegahan dari orang lain, sehingga mereka tidak melakukan kejahatan yang sama. Dengan demikian terwujudlah ketentraman dan kedamaian masyarakat sebagaimana dikemukakan diatas. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, bahwa pidana mati merupakan pidana yang terberat dari semua jenis pidana yang berlaku dalam hukum pidana Nasional. Karena itulah, ancaman pidana terberat itu hanya dijatuhkan terhadap tindakan-tindakan pidana berat saja seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Mengingat demikian beratnya pidana mati itulah sehingga pidana tersebut dijadikan sebagai alternatif terakhir terhadap penjahat-penjahat yang menurut pertimbangan hakim tidak mungkin lagi untuk diperbaiki.89 Untuk itulah negara
89
Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasannya, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
(pemerintah) sebagai pengambil kebijakan melakukan upaya-upaya dalam rangka mengantisipasi penjatuhan pidana mati tersebut. Upaya-upaya dimaksud antara lain adalah bahwa dalam Pasal-Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang tindak pidana yang diancam pidana mati selalu diiringi dengan pidana lain sebagai alternatifnya, yaitu pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara selama 20 tahun. Jadi, hakim dalam hal ini dapat memilih antara 3 (tiga) kemungkinan tersebut. Pilihan hakim terhadap salah satu dari tiga kemungkinan tersebut didasarkan pada keadaan siterdakwa. Hakim pada umumnya tidak akan menjatuhkan pidana mati apabila ia melihat bahwa masih ada kemungkinan terdakwa dapat diperbaiki. Karena itu Hakim selalu melihat dan mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan teradakwa. 90 Apabila ternyata hakim menjatuhkan vonsi mati terhadap terpidana, maka masih ada upaya atau kebijakan lain yang dapat dilakukan oleh pihak eksekutif. Upaya itu adalah berupa pemberian grasi atau ampunan oleh presiden. Karena itu, pelaksanaan eksekusi mati itu belum dapat dijalankan sebelum adanya persetujuan dari presiden (flat executie). 91 Pemberian grasi itu dapat saja diberikan oleh presiden, walaupun terpidana tidak menggunakan hak grasi yang ada padanya dalam waktu yang telah ditentukan. 92 Roeslan Saleh dalam suatu tulisannya mengatakan: bahwa sering terjadi kepala negara (presiden) memberi 90
Andi Hamzah, 1985, op.cit, hlm. 35. Djoko Prakoso dan Nurwachid, op.cit, hlm. 9. 92 Ibid. 91
Universitas Sumatera Utara
grasi kepada terpidana dan mengubah vonis mati itu menjadi pidana seumur hidup. 93 Adanya grasi oleh presiden itu tidak terlepas dari salah satu faktor yang meringankan terpidana seperti dikemukakan diatas, terutama faktor bahwa ia masih memungkinkan untuk dibina atau diperbaiki.
B. Aspek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Islam. Tujuan syari’ (Tuhan) dalam mensyariatkan hukumnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dan sekaligus menghindarkannya dari mafsadat baik didunia maupun diakhirat. 94 Tujuan hukum seperti tersebut diatas oleh para pakar filsafat hukum Islam lazim juga disebut dengan at-tahsil wa alibqa atau jalb al-masalih al-mafasid, yaitu mengambil maslahat dan sekaligus mencegah kerusakan. 95 Dalam kaitan inilah Yusuf Hamid Al-Alim menegaskan bahwa tujuan utama (a’zam al-maqasid) diutusnya para Rasul As, oleh Tuhan adalah untuk menghilangkan kezaliman diantara manusia, sehingga terwujudlah ketentraman dan kedamaian diantara mereka. 96 Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan didunia dan akhirat sebagaimana disebutkan diatas, maka bukan hanya para ulama Islam, bahkan seluruh agamawan sepakat bahwa ada 7 (tujuh) unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Ketujuh unsur pokok dimaksud adalah: 93
Roeslan Salaeh, 1987, op.cit, hlm. 62. Pada dasarnya, Tuhan menginginkan agar manusia selamat dari azab-Nya diakhirat. Karena itulah tujuan hukum bukan hanya untuk kemaslahatan didunia, melainkan juga diakhirat. 95 Juhaya S. Praja, loc.cit. 96 Ibid. 94
Universitas Sumatera Utara
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Memelihara agama (hifz ad-din). Memelihara jiwa (hifz an-nafs). Memelihara akal (hifz al-aql). Memelihara keturunan dan atau kehormatan (hifz an-nasb/al-ird). Memelihara harta (hifz al-mal). Memelihara kesejahteraan umum. Memelihara lingkungan 97
Untuk memelihara ketujuh unsur pokok itulah maka Tuhan menetapkan pidana (uqubah) terhadap pelaku tindak pidana (al-jani) yang dapat menggangu atau menghambat terwujudnya tujuh kebutuhan dasar (iad-daruriyat) diatas. Karena itu ditetapkanlah pidana murtad (hadd ar-riddah) dalam rangka untuk memelihara agama, ditetapkan pula pidana qisas (uqubah al-qisas) untuk memelihara jiwa/nyawa manusia, untuk memelihara akal, maka ditetapkanlah pidana meminum minuman keras (hadd asy-syarb), untuk memelihara keturunan dan / atau kehormatan maka ditetapkan pidana zina (hadd az-zina), kemudian ditetapkan pula pidana pencurian (hadd as-sirqah) untuk memelihara harta. 98 Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah dipahami bahwa Tuhan dan RasulNya lewat Al-Qur’an dan Hadis sengaja menetapkan sanksi hukum yang tegas terhadap pelaku tindak pidana yang dapat merusak/mengganggu al-kulliyat alkhams diatas, mengingat kelima unsur tersebut adalah merupakan kebutuhan yang paling mendasar.
97 98
Fathurrahman Djamal, op.cit, hlm. 127. Ibid, hlm. 129.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Asy-Syatibi sebagaimana dikutip oleh Khalid Mas’ud mendefenisikan Jinayat (Hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana) adalah: Sebagai hukum-hukum yang memperhatikan kelima ad-daruriyat al-khams diatas dengan cara preventif. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam jinayat itu adalah dimaksudkan untuk mengantisipasi dan membersihkan apa-apa saja yang dapat menghalangi terwujudnya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut. 99 Dengan diberlakukannya sanksi hukum yang tegas dan berat berupa pidana mati terhadap tindak-tindak pidana (jarimah) tersebut baik yang tergolong kedalam jarimah qisas maupun hudud, maka diharapkan akan terpelihara dan terwujudlah kelima kebutuhan mendasar diatas. Sehingga dengan demikian terwujud pulalah tujuan disyariatkannya hukum itu (maqasid asy-syari’ah), yaitu kemaslahatan manusia itu sendiri dan sekaligus menghindarkannya dari mafsadat. Hal tersebut diataslah yang menjadi dasar mengapa pidana mati itu diterapkan secara tegas, baik terhadap jarimah qisas maupun hudud. Sebab, dengan diberlakukannya pidana terberat itu terhadap seorang penjahat yang melakukan kejahatan berat seperti yang tergolong dalam kedua jarimah diatas, maka hal itu akan menjadi i’tibar atau pelajaran yang sangat berharga bagi calon-calon penjahat lainnya untuk tidak mengikuti jejak si terpidana mati tersebut. Dengan demikian, pidana mati itu akan dapat berfungsi sebagai pencegahan bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama.
99
Yudian W. Asmin, op.cit, hlm. 230.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitan ini, Tuhan berfirman dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 179, yang artinya sebagai berikut: ”Dan dalam qisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orangorang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”. 100 Dalam ayat diatas terdapat satu kalimat yang menurut para mufasir sangat spektakuler, sekaligus menunjukkan esensi dan rasio pidana mati, yaitu fi al-qisas hayat (dalam qisas itu terdapat kehidupan). Tanpa rasionalisasi yang matang, maka hal itu sulit diterima. Bagaimana mungkin terdapat kehidupan dalam qisas, sedangkan qisas itu sendiri berarti menghilangkan nyawa orang lain. Ali As-sais dalam tafsirnya menjelaskan bahwa: Pemberlakuan pidana mati (qisas) itu adalah dimaksudkan untuk menjaga darah/nyawa umat manusia itu sendiri, sebab dengan menjatuhkan vonis mati terhadap pelaku pembunuhan, maka akan menjadi pelajaran dalam arti penjeraan bagi penjahat berpotensial lainnya untuk tidak melakukan kejahatan yang sama. Jadi, apanila eksekusi mati itu dijalankan sesuai dengan tuntutan Al-qur’an, maka akan dapat menghindarkan atau memperkecil kejahatan pembunuhan, sebab penjahat lainnya menyadari bahwa jika ia membunuh orang lain, maka iapun pasti akan dibunuh. Dengan demikian tercapailah kedamaian dan ketentraman bagi setiap individu dalam masyarakat luas. 101 Berkaitan
dengan
pidana
qisas
itu,
Al-Jurjawi
dalam
tulisannya
mengemukakan bahwa kemakmuran dunia ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Apabila keturunan manusia itu sedikit atau mengalami kepunahan, maka dunia akan mengalami kekacauan, dan hal itu tidak
100
Departemen Agama RI (Al-Qur’an dan Terjemahan), op.cit, hlm. 44. Muhammad Ali As-Sabuni, Rawai’ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an, (Suriah: Maktabah Al-Gazali, 1980), hlm. 184. 101
Universitas Sumatera Utara
dikehendaki oleh Tuhan. 102 Karena itulah, lanjutnya, Tuhan menetapkan sanksi hukum yang tegas berupa pidana mati (qisas) bagi orang yang melakukan pembunuhan agar tidak menimbulkan permusuhan dan saling dendam diantara mereka. 103 Sebab apabila pembunuhan itu tidak dipidana mati, maka akan menyalakan api permusuhan dan dendam diantara kedua belah pihak sebagaimana tersebut diatas. Hal itu akan mengakibatkan timbulnya kekacauan dan kerusuhan ditengah-tengah masyarakat, sehingga ketentraman dan kedamaian yang mereka dambakan tidak akan terwujud. 104 Demikian juga dengan ancaman pidana mati yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana yang tergolong kedalam jarimah hudud. Tuhan melalui Al-qur’an dan Hadis sengaja menetapkan pidana tersebut, agar orang lain merasa takut untuk melakukan kejahatan yang sama. Syariat Islam menginginkan agar manusia itu tidak terjebak kedalam perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan atau membinasakan dirinya sendiri dan orang lain. Dengan demikian, pidana mati itu dimaksudkan agar memiliki daya pencegahan (prevention/mawani) bagi orang lain. Para ulama mendefenisikan uqubah (pidana) itu sebagai balasan/ganjaran yang ditetapkan oleh Tuhan (syar’i) untuk mencegah agar mereka tidak melakukan hal yang dilarang Tuhan dan meninggalkan yang diperintahkanNya. 105
102
Ibid, hlm. 185. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazhi Al-Qur’an Al-Karim, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1987), hlm. 367. 104 Ibid, hlm. 369. 105 Karena itu, pelaksanaan eksekusi mati dalam hukum pidana Islam dilakukan didepan umum agar diketahui oleh masyarakat luas, sehingga dengan demikian pidana mati itu benar-benar dapat berfungsi sebagai general deterrence. 103
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitan ini,Wahbah Az-zuhaili menegaskan bahwa: Hakikat adanya sanksi pidana dalam syariat Islam adalah agar ia (pelaku kejahatan) dan calon penjahat lainnya menjadi jera, sehingga mereka tidak melakukan tindakan-tindakan pidana (jarimah) yang sama. Disamping itu, pidana tersebut juga dimaksudkan untuk tindakan-tindakan pidana berat lainnya (jaraim), dan untuk menghindarkan masyarakat dari kebinasaan (alfasad), serta kehancuran (al-fasad), serta membersihkan mereka dari dosadosa. 106 Karena itu, orientasi atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam, khususnya pidana mati adalah sebagai pencegahan (mawani/prevention) pada satu sisi sebelum tindak pidana itu dilakukan. Pada sisi yang lain sebagai penjeraan (zawajir/deterrence) bagi orang lain yang mengetahui atau menyaksikan pelaksanaan eksekusi mati itu. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pada hakikatnya pemberlakuan pidana mati dalam hukum pidana Islam adalah untuk mewujudkan cita-cita hukum/syariat itu sendiri, yaitu menciptakan kemaslahatan ditengah-tengah masyarakat. 107 Maslahat berarti terpenuhinya kelima unsur pokok yang merupakan kebutuhan dasar (ad-daruriyat al-khams) manusia itu, yaitu: memelihara agama (hifz ad-din), memelihara jiwa (hifz an-nafal), memelihara akal (hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz an-nasal), dan memelihara harta (hifz al-mal).
106
Muhammad Fuad Abdul Baqi, op.cit, hlm. 370. Sebab, dengan diterapkannya pidana mati secara tegas dan konsekuen, maka ia dapat berfungsi preventif atas kejahatan-kejahatan yang dapat mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat. Apabila kedamaian dan ketentraman itu terwujud, maka terwujud pulalah diciptakannya syariat itu, yaitu keselamatan bagi seluruh umat manusia baik didunia maupun diakhirat. 107
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, berbeda halnya dengan hukum pidana nasional , dalam hukum pidana Islam, tindak pidana yang diancam dengan pidana mati itu ada yang mengandung dimensi hukum publik dan ada pula yang mengandung dimensi hukum publik dan privat sekaligus. 108 Dari keenam tindak pidana yang dapat divonis pidana mati sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka tindak pidana pembunuhan dengan sengaja (al-qatl al-’amd) merupakan satu-satunya kejahatan yang tergolong kedalam dimensi hukum publik dan privat. Tindak pidana yang tergolong kedalam dimensi hukum publik (haqq li Allah) itu tidak mempunyai peluang untuk bebasnya si terdakwa dari ancaman pidana mati. Sebab sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa tindak pidana yang tergolong kedalam hudud merupakan hak Tuhan. Dengan demikian, pihak manapun
termasuk
eksekutif
tidak
berhak
memberikan
maaf/ampunan
terhadapnya. Hal ini berarti pihak eksekutif tidak boleh melakukan hal-hal yang sifatnya merubah atau bahkan membebaskan terdakwa dari ancaman pidana mati itu sebagaimana dalam hukum pidana nasional . Sebaliknya, tindak pidana yang tergolong kedalam dimensi publik dan privat tersebut sangat terbuka peluang untuk bebasnya terdakwa dari ancaman pidana mati seperti yang dikehendaki oleh Al-qur’an dalam surat Al-baqarah ayat 178,
108
Dimensi yang dimaksud disini adalah tindak-tindak pidana yang tergolong kedalam hudud yang merupakan hak Tuhan (haqq li Allah), sehingga tidak ada seorangpun yang dibolehkan untuk memaafkan/membebaskan tersangka dari tuntutan pidana yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Sebaliknya, hukum privat disini berarti tindak pidana yang tergolong kedalam kisas/diyat yang merupakan hak perorangan (haqq al-afrad al-adami). Sehingga tersangka dapat bebas dari hukuman mati apabila dimaafkan oleh keluarga korban.
Universitas Sumatera Utara
dan ini merupakan kebijakan dalam hukum pidana Islam dalam rangka menghindarkan seseorang dari pidana mati, yang artinya sebagai berikut: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas yang berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan itu mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. 109 Ibnu al-arabi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makna ayat yang berbunyi kutiba (diwajibkan) diatas adalah: furida wa ulzima iza aradtum istifa’ (difardukan dan diwajibkan atas kamu qisas itu apabila kamu ingin melaksanakannya). Hal ini karena menurutnya pelaksanaan eksekusi mati itu sangat tergantung pada keluarga korban. Keluarga korban dalam hal ini mempunyai hak memilih apakah qisas (pidana mati) itu dijalankan atau mereka memberikan maaf kepada tersangka pembunuhan, sehingga qisas itu tidak perlu dilakukan. 110 Senada dengan Ibnu Al-Arabi diatas, Al-qurtubi juga menerangkan dalam tafsirnya bahwa makna ayat faman ufiya dan seterusnya adalah bahwa dalam kasus pembunuhan itu, keluarga korban diberi kebebasan seluas-luasnya, apakah menuntut qisas sebagai balasannya atau menuntut diyat sebagai kompensasi, atau memaafkannya dalam arti membebaskan tersangka dari segala tuntutan. 111
109
Departemen Agama RI (Al-Qur’an dan Terjemahan), op.cit, hlm. 43. Ibn Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1988), hlm. 89. 111 Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1988), hlm. 171. 110
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ayat dan penafsiran seperti tersebut diatas, maka para Fuqaha menegaskan dalam kitab-kitab fikihnya bahwa pidana mati berupa qisas itu merupakan suatu pidana yang harus dijalankan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pidana mati tidak boleh dijalankan. Faktor-faktor tersebut adalah: 112 1. Tersangka pembunuhan itu meninggal dunia (maut al-qotil) 2. Tercapainya suatu perdamaian (as-sulh) dalam kasus qisas antara kedua belah pihak yang berperkara. 3. Adanya kemaafan (al-afw) dari pihak keluarga korban. Beranjak dari uraian diatas, maka dapatlah dipahami bahwa kebijakan yang ditawarkan dalam hukum pidana Islam untuk menghindari pidana mati itu adalah adanya anjuran kepada keluarga korban untuk memaafkan pelaku tindak pidana. Kebijakan lain adalah diupayakannya perdamaian antara kedua belah pihak yang ditandai dengan pembayaran diyat (kompensasi) kepada keluarga korban. Berdasarkan uraian diatas, kebijakan yang ditawarkan oleh hukum pidana Islam selain pidana mati adalah pembayaran diyat. Selain pidana pembayaran diyat, maka kebijakan yang lain adalah dengan memaafkan pelaku pembunuhan (membebaskan dari segala tuntutan). Hal yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa dalam hukum pidana Islam, bentuk vonis yang dijatuhkan oleh Hakim sangat tergantung pada sikap atau tuntutan keluarga korban. Ini berbeda dengan
112
Ibid, hlm. 91.
Universitas Sumatera Utara
ketentuan yang berlaku dalam hukum pidana nasional . Karena itu, dalam hukum pidana Islam pidana mati bukan hanya mengandung dimensi hukum publik melainkan juga dimensi hukum privat. Oleh karena itu, baik dilihat dari aspek filosofis pidana mati dalam hukum pidana Indonesia maupun aspek filosofis pidana mati dalam hukum pidana Islam, maka semuanya tidak terlepas dari tujuan hukum yang paling hakiki, yaitu demi terciptanya keadilan. Dalam ulasannya mengenai tujuan hukum, Aristoteles mengatakan bahwa tujuan hukum hanya dapat dicapai jika hukumnya mengandung keadilan, maksudnya adalah peraturan yang mampu memelihara keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bahagiannya sesuai dengan pengertian keadilan yang terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu: 1. Keadilan distributif, adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang sama banyaknya. 2. Keadilan kommulatif, adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya tanpa mengingat jasa-jasa perorangan. 113
Selanjutnya Aristoteles dalam Lili Rasjidi dan Arief Sidharta menyebutkan: Bila orang berbicara tentang keadilan, yang mereka anggap secara pasti adalah adanya suatu keadaan pikiran yang mendorong mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang adil, untuk bersikap adil, dan untuk tidak menginginkan hal yang tidak adil, karena keadilan adalah persoalan kita semua dan dalam suatu masyarakat setiap anggota berkewajiban untuk melaksanakan keadilan itu, orang tidak boleh netral apabila terjadi sesuatu yang tidak adil. 114
113
M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, (Medan: Pasca Sarjana USU), hlm. 22. Lili Rasjidi dan Arief Sidharta, Flsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, (Bandung: Remaja Karya CV, 1989), hlm. 25. 114
Universitas Sumatera Utara
Perlu dipahami bahwa ada 4 (empat) syarat minimum agar keadilan mendapat pernyataannya, yaitu: 115 1. Yang adil itu adalah sekaligus tengah-tengah dan kesebandingan. 2. Dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, ia harus mempunyai 2 (dua) ujung, dan diantara kedua ujung itu ia berada. 3. Dalam sifatnya sebagai yang sebanding, kesebandingan itu harus dinyatakan dalam 2 (dua) bagian yang sebanding dari apa yang dibagi. 4. Dalam sifatnya sebagai yang adil, harus ada orang-orang tertentu untuk siapa hal itu adil. Dalam hal ini, dapat diungkapkan bahwa keterkaitan makna keadilan sebagai landasan filosofis pidana mati adalah sebagai berikut: 116 1. Keadilan merupakan satu atau sehimpunan kaidah yang diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia. 2. Keadilan sebagai suatu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat diterima dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh ditempuh manusia dengan amannya. 3. Keadilan sebagai kebijaksanaan yang dicatat dari para budiman dimasa lalu. 4. Keadilan sebagai suatu himpunan persetujuan yang dibuat manusia didalam masyarakat yang diatur secara politik. 5. Keadilan dipikirkan sebagai satu pencerminan dari Illahi yang menguasai alam semesta, yaitu satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan. 6. Keadilan dipahamkan sebagai suatu perintah dari penguasa yang berdaulat didalam suatu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan. 7. Keadilan merupakan satu gagasan sebagai perintah dari Undang-Undang yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia didalam masyarakat.
115 116
Ibid, hlm. 26. Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982), hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara