Buletin InfO Krisis Kesehatan
Gempa 8,5SR Kembali Guncang Pulau Sumatera
EDISI II - AGUSTUS 2012
Dibalik Keindahan Gunung Salak dan Fenomena “Wisata Bencana”
Penanganan Kecelakaan
Pesawat Sukhoi SJ100 Kunjungan Delegasi Timor Leste ke PPKK
“Berhenti Jadi Bupati, Bukan Berarti Berhenti Mengabdi “
GREAT LOVE WITHOUT BOUNDARY –
Tim Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana Indonesia Menuntut Ilmu di Negeri Cina
Buletin InfO Krisis Kesehatan
dari Redaksi.....
M
anusia memang tidak bisa tahu kapan musibah akan terjadi, begitu juga dengan kejadian bencana yang masih berulang di bumi Nusantara. Pada hari Selasa tanggal 12 Juni 2012, pulau Sumatera diguncang gempa bumi dengan kekuatan yang terbaca pada alat alarm BMKG di Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, sebesar 8,6 SR (gempa juga dirasakan di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung). Kekuatan gempa yang berpusat di Provinsi Aceh, mengakibatkan kecemasan yang sangat dalam bagi masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Bayangan kejadian gempa bumi dan tsunami tahun 2004 dengan kekuatan 8,9 SR, muncul kembali. Kecemasan dan ketakutan masyarakat di Aceh terlihat sangat jelas dari ekpresi wajah dan sikap mereka sebagaimana yang ditayangkan beberapa media elektronik. Alarm tsunami pun berbunyi untuk mengingatkan masyarakat agar segera menjauh dari tepi pantai untuk menghindari terjangan tsunami. Masyarakat dengan panik berbondong-bondong menuju tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri. Gempa yang terjadi mengakibatkan tsunami setinggi 6 meter di Banda Aceh. Dari pemantauan yang dilakukan Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan tercatat jumlah korban meninggal 8 orang, luka berat 6 orang dan luka ringan 101 orang. Fasilitas kesehatan yang rusak di Banda Aceh 1 Puskesmas, di Kab Aceh Jaya 3 Puskesmas, dan Kab Simeulue 3 puskesmas, 30 pustu dan 2 rumah dinas. Upaya yang dilakukan kementerian kesehatan melalui Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan adalah pengiriman segera 7 personil untuk bergabung dengan PPKK Regional Sumatera Utara guna menyiapkan sumber daya yang akan dimobilisasi secepatnya ke lokasi gempa.
Yablontsev yang memiliki pengalaman 10.000 jam terbang, secara tak diduga jatuh dan menghantam Gunung Salak. Kejadian itu menyebabkan pesawat hancur berkeping-keping dan tidak satu pun penumpangnya selamat. Begitu berita beredar di media massa, ratusan relawan spontan menuju gunung Salak dan bahu membahu dengan Tim SAR melakukan pencarian dan evakuasi korban. Jajaran kesehatan yang dipimpin langsung oleh Kepala Pusat Penanggulangan Krisis, dr. Sri Henny Setiawati, MHA dan dibantu 7 orang staf serta 1 orang petugas KKP Pelabuhan Ratu bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor segera memobilisasi sumber daya, tenaga, dan ambulans ke lokasi Posko Cidahu, Sukabumi untuk bersiaga dan memberikan dukungan pelayanan kesehatan. Sehari kemudian kamis (10/6/2012) setelah diketahuinya posisi jatuhnya pesawat, posko dipindahkan ke Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor tepatnya di Balai Embrio Peternakan Sapi dan Pasir Pogor. Proses evakuasi yang menggunakan Helikopter milik TNI AU berlangsung dengan dramatis, dan sangat bergantung pada kebaikan alam. Selama kurang lebih dua pekan, semua jenazah korban akhirnya berhasil diketemukan dan dievakuasi.
Hampir sebulan setelah kejadian gempa bumi di pulau Sumatera, tepatnya hari Rabu tanggal 9 Mei 2012, masyarakat Indonesia dikejutkan kembali dengan kejadian kecelakaan transportasi, yaitu Jatuhnya pesawat Shukoi Super Jet 100 buatan Rusia di Gunung Salak. Pesawat melakukan kontak komunikasi terakhir dengan menara pengawas di ATC Cengkareng pada pukul 14.30 WIB saat melakukan Joys Flight, sekitar Gunung Salak yang merupakan bagian dari promosi penjualan pesawat kepada calon konsumennya di Indonesia. Jumlah penumpang yang ikut serta dalam penerbangan itu 45 orang, yang terdiri dari kru pesawat berkebangsaan Rusia, pengusaha penerbangan Indonesia, PT DI serta reporter media cetak dan elektronik. Pesawat yang diakui memiliki teknologi canggih dan dipiloti oleh Alexander
Di tengah kesibukan penanggulangan berbagai kejadian bencana, Kementerian Kesehatan mendapat kepercayaan menerima kunjungan delegasi dari negara Timor Leste. Delegasi berjumlah 5 orang yang berasal dari Kementerian Kesehatan (2 orang), Rumah Sakit Nasional (1 orang), Kementerian Sosial (1 orang),, dan perwakilan WHO Timor Leste (1 orang). Selama di Indonesia dari tanggal 7 s.d. 11 Mei 2012, mereka mendatangi Kementerian Kesehatan (khususnya PPKK) dan BNPB untuk mempelajari pengalaman Indonesia dalam upaya penanggulangan krisis kesehatan. Pada kesempatan yang sama, mereka juga mengunjungi ruang pemantauan Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, BNPB, AHA Center, PPKK Regional Bali, dan Pusdalops Pemprov Bali.
Kejadian - kejadian itu membuat kita kembali diingatkan untuk tetap melakukan upaya kesiapsiagaan dan mengasah kemampuan dan keterampilan dalam upaya penanggulangan krisis kesehatan. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan selalu berkomitmen untuk memberikan kesempatan kepada sumber daya manusia untuk menimba ilmu walau sampai ke negeri China dan atas dukungan World Bank, Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan mengirim 2 orang staf untuk mengikuti pelatihan Emergency Response Relief, di Beijing dari tanggal 14 s.d. 18 Mei 2012.
Daftar Isi 03
Kunjungan Delegasi Timor Leste Ke Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan
05
Rencana Kontinjensi Sebagai Instrumen Kesiapsiagaan Sudah Siapkah Anda?
07
Integrasi Pelayanan Kesehatan Reproduksi Dalam Situasi Bencana
08
GREAT LOVE WITHOUT BOUNDARY —Tim Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana Indonesia Menuntut Ilmu di Negeri Cina
10
Gempa 8,5 SR Kembali guncang Pulau Sumatera
Susunan
Redaksi
l l l
12 14 15 18 22 23 24
Peran Kementerian Kesehatan dalam Penanganan KecelakaanJatuhnya Pesawat Sukhoi SJ100 Lesson Learn Wawancara Khusus dengan dr. Harsono Mantan Bupati Ngawi ( 1999 —2004 dan 2005 —2010 ) Hasil Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Pemantauan dan Informasi di PPK Regional/Sub Regional Ke Daerah Bencana bisa bikin badan langsing ? Di Balik Keindahan Gunung SaLaK dan Fenomena “Wisata Bencana” Kerentanan atau Ketahanan?
Penanggung Jawab : dr. Sri Henni Setiawati, MHA l Redaktur : Maryani SKM, M.M. l Penyunting : Dodi Irianto Desain Grafis : Antonius Sunar Wahyudi l Fotografer : dr. Adi Sopiandi M.Kes l Sekretariat : Dra. Titik Nurhaeraty Editor : Palupi Widyastuti, SKM.
02
Berita Utama
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Kunjungan Delegasi Timor Leste Ke Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan oleh : Yuniyati, S.Sos., M.Si Indonesia merupakan salah satu Negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan BangsaBangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR), sebagai konsekuensinya Pemerintah Indonesia aktif menetapkan kebijakankebijakan penurunan risiko bencana di seluruh tingkatan. Keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam mengurangi risiko bencana dan penanganan bencana yang efektif, diakui dunia dengan diberikannya penghargaan Global Champion of Disaster Risk Reduction dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) oleh Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon, di Bali International Convention Center, Nusa Dua Bali, pada tanggal 19 November 2011.
D
engan adanya pengakuan dunia itulah, Indonesia menjadi salah satu tempat tujuan belajar tentang pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana. Pada tanggal 7-11 Mei 2012 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan menerima kunjungan Delegasi Timor Leste yang berjumlah 5 orang terdiri dari 1 orang dari Kementerian Sosial, 2 orang dari Kementerian Kesehatan, 1 orang dari RS Nasional dan 1 orang perwakilan WHO Timor Leste. Maksud dan tujuan kunjungan tersebut adalah dalam rangka studi banding sekaligus belajar lebih banyak kepada Pemerintah Indonesia khususnya Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan, mengenai upaya penanggulangan bencana. Kedatangan Delegasi Timor Leste diterima oleh dr. Ratna Rosita, M.P.H selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan dan beberapa Pejabat Eselon II di Kementerian Kesehatan di Ruang Prof. Dr. Maharmarjono. Dalam sambutannya Sekretaris Jenderal menyambut baik kunjungan tersebut dan sangat menghargai atas dipilihnya Indonesia sebagai negara tempat menimba ilmu di bidang kebencanaan. Sekertaris Jenderal dan Delegasi Timor Leste kemudian mengunjungi kantor Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan
sekaligus melihat ruang pameran peralatan dan ruang pemantauan penanggulangan krisis kesehatan, serta melihat sistem informasi yang dimiliki Kementerian Kesehatan. Kunjungan di Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, juga diisi dengan paparan mengenai Kebijakan Penanggulangan Krisis Kesehatan di Indonesia yang disampaikan oleh dr. Sri Henni Setiawati, MHA (Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, sementara perwakilan dari Ditjen BUK menyampaikan paparan mengenai Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Acara dilanjutkan dengan pengenalan sistem informasi penanggulangan krisis kesehatan. Selain mengunjungi Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Delegasi Timor Leste mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Pusdalops Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Center), Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, RSUP. Sanglah Bali dan Pusat Penanggulangan Krisis Regional Bali. Acara hari kedua diawali dengan kunjungan ke Pusat Penanggulangan
03
Krisis Kesehatan (PPKK). Delegasi diberikan paparan mengenai Benchmarking Penanggulangan Krisis Kesehatan yang disampaikan oleh drg. Moh. Nur Nasiruddin, M.Kes, selaku Kepala Bagian Tata Usaha PPKK. Delegasi melanjutkan kunjungan ke Pusdalops Bencana BNPB. Rombongan disambut oleh Dr. Ir. Agus Wibowo, M.Sc, Kepala Bidang Data dan Ir. Neulis Zuliasri, M.Si Kepala Bidang Informasi. Delegasi mendapatkan penjelasan mengenai sejarah pembentukan dan kebijakan serta produk-produk yang telah dihasilkan BNPB dan meninjau ruangan Pusdalops Bencana BNPB. Kemudian Delegasi melanjutkan kunjungannya ke Ditjen P2PL. Delegasi diterima oleh Direktur Surveilans, Imunisasi, Karantina dan Kesehhatan Matra, dr. H. Andi Muhadir dan Direktur Penyehatan Lingkungan, drh. Wilfried Hasiholan Purba, MM, M.Kes.
Ruang Radio Kumunikasi Pusdalops BNPB
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Pada hari ketiga, Delegasi Timor Leste didampingi perwakilan PPKK dan perwakilan WHO di Indonesia berkesempatan mengunjungi kantor ASEAN Coordinating Center for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Center). AHA Center merupakan pusat koordinasi ASEAN untuk bantuan kemanusiaan dalam penanggulangan bencana yang bertujuan untuk memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antara para pihak stakeholder, dengan PBB dan organisasi internasional terkait dalam mempromosikan kerja sama regional. Pada kunjungan ini delegasi Timor Leste dan rombongan mendapatkan penjelasan tentang keberadaan serta peran AHA Center di lingkungan negara-negara ASEAN oleh Mr. Said Faisal selaku Executive Director of AHA Center. Delegasi beserta rombongan mendapatkan kesempatan meninjau Operation Room AHA Center yang dilengkapi fasilitas yang dapat memantau kejadian bencana alam dan penanggulangannya khususnya di kawasan ASEAN.
sehari-hari dan pengalaman yang pernah terjadi seputar penanggulangan bencana. Pusdalops PB Provnisi Bali berdiri pada tanggal 25 Agustus 2008 dan memiliki 4 fungsi yaitu sebagai Pusat Data dan Informasi. Kebencanaan, Sistem Peringatan Dini, Pengendali Operasi Tanggap Darurat, dan Pelayanan Kegawatdaruratan. Secara Struktural Pusdalops PB berada di bawah BPBD Prov. Bali yang dipimpin oleh seorang Kepala UPT setingkat Eselon III. Jam operasional dibagi menjadi 3 shift yaitu Shift I (07.00 – 16.00 WITA), Shift II (16.00 – 23.00 WITA), Shift III (23.00 – 07.00 WITA). Setiap shift terdiri dari 6-7 personel dengan tugas: operator telepon (1 orang), operator radio (1-2 orang), pemantauan Web dan CCTV (2 orang), pemantauan Tsunami Earling Warning (2 orang). Sebagai Pusat Data dan Informasi, Pusdalops dilengkapi dengan server sebagai penyimpan data dan informasi, database dan peta bencana serta buku perpustakaan tentang kebencanaan, jaringan komunikasi (telepon/faksimilis,
Ruang Monitoring EHA Center
Ruang Pemantauan Pusdalops Prov. Bali
Selanjutnya Delegasi Timor Leste langsung bertolak menuju Bali untuk meninjau Pusat Penanggulangan Krisis Regional Bali, Pusdalops Penanggulangan Bencana Provinsi Bali, dan RSUP Sanglah Denpasar. Di Provinsi Bali, Delegasi dan rombongan disambut oleh Kepala Pusat Pengendali Operasional Penanggulangan Bencana, Kasie Kedaruratan Pusdalop PB, dan Kasie Data dan Informasi Pusdalop PB Provinsi Bali. Mereka juga meninjau beberapa ruangan seperti ruang server, ruang operasional, ruang peringatan dini tsunami, ruang radio, dan ruang CCTV.
sms, radio, TV, internet, jaringan informasi masyarakat), work station, dan operator data dan informasi (Minimal D3 IT), serta SOP.
Bertempat di ruang rapat, Kepala Pusdalop PB memberikan penjelasan mengenai operasional Pusdalop PB
Sebagai Peringatan Dini, Pusdalops dilengkapi dengan server BMKG/ INA TEWS dan CCTV, menara pemantau, CCTV dan workstation CCTV, workstation BMKG dan aktivasi sirine tsunami, sirine peringatan dini, layar proyektor CCTV & LCD TV, terminal informasi digital, radio komunikasi, telepon/ faksimilis/internet serta SOP dan SDM (D3 IT)
04
Sebagai Pengendali Operasi Tanggap Darurat, Pusdalops dilengkapi dengan data base kebencanaan (kapasitas instansi terkait, peta rawan bencana, sejarah bencana, dst), computer client, alat komunikasi dan desiminasi tindakan tanggap darurat (line telepon, PABX, pesawat telepon), workstation BMKG dan aktivasi sirine tsunami, alat kebutuhan dasar tanggap darurat, GPS, Ruang rapat tanggap darurat, SDM dan SOP Sebagai Pelayanan Kegawatdaruratan, Pusdalops dilengkapi dengan data kapasitas instansi, alat komunikasi, sarana kesehatan (ambulan), sarana pemadam kebakaran, sarana pengamanan lokasi TKP, SDM dengan kualifikasi yang dibutuhkan (fungsi kesehatan, Keamanan, kebakaran), dan SOP. Untuk pelayanan kegawatdaruratan, Pusdalops memiliki layanan free call . Delegasi dan rombongan melanjutkan kunjungannya ke RSUP Sanglah dan diterima oleh Direktur IRD RS Sanglah. Mereka mendapatkan pelajaran tentang pelaksanaan Sistem Penanganan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dan Hospital Disaster Plan (HOSDIP) di RSUP Sanglah. Kunjungan Delegasi Timor Leste diakhiri dengan peninjauan gedung kantor, gudang, dan wisma transit PPK Regional Bali. Pada tanggal 11 Mei 2012 Delegasi Timor Leste kembali ke negaranya. Melalui kunjungan tersebut, diharapkan mereka mendapat banyak pelajaran dari Pemerintah Indonesia khususnya Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, dalam hal upaya penanggulangan bencana sehingga dapat diaplikasi di Timor Leste untuk pengurangan risiko dan penanganan bencana yang lebih efektif dan efisien.
Kesiapsiagaan
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Rencana Kontinjensi Sebagai Instrumen Kesiapsiagaan Sudah Siapkah Anda? oleh: dr. Rakhmad Ramadhanjaya Bencana Letusan Gunung Merapi.
B
agi masyarakat di sekitar gunung berapi seperti di sekitar kaki gunung Merapi di DI Yogyakarta, gunung Bromo di Jawa Timur, gunung Lokon di Sulawesi Utara dan di sekitar gunung berapi lainnya, tanah yang terdapat di sekitar gunung berapi merupakan tanah yang subur untuk dipakai bercocok tanam karena mineral yang dihasilkan dari gunung berapi. Ternak-ternak mereka pun dapat hidup dengan sehat karena ketersediaan makanan yang cukup di sekitar gunung berapi. Tidak hanya itu, perekonomian di daerah sekitar gunung berapi akan meningkat dengan menjadikan gunung berapi sebagai obyek wisata yang membuat wisatawan lokal ataupun asing berdatangan ke daerah tersebut. Namun di balik berkah yang melimpah tersebut, gunung berapi juga menyimpan potensi bencana apabila ia memuntahkan “isi dapurnya”. Seringkali kita tidak dapat memprediksi kapan bencana akan terjadi. Ilmu yang dimiliki manusia sangat terbatas untuk hal tersebut. Yang bisa dan harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri kita untuk menghadapi potensi bencana di lingkungan kita. Semua pihak harus terlibat dalam kesiapsiagaan ini sehingga semua potensi sumber daya yang ada dapat digunakan untuk meminimalisasi dampak
bencana yang mungkin timbul. Agar dampak bencana dapat dikurangi, kita perlu meningkatkan kesiapsiagaan kita. Inti dari kesiapsiagaan ini adalah lebih kepada suatu kesiapan dan kemampuan kita untuk mengenali potensi bencana, mengurangi dampak apabila terjadi bencana, menangani secara efektif ketika terjadi bencana, serta melakukan pemulihan diri dari dampak yang dirasakan. Perencanaan yang baik dibutuhkan agar kita siap-siaga menghadapi potensi bencana. Dengan demikian perencanaan siaga/ perencanaan kontinjensi dapat diartikan sebagai suatu proses perencanaan ke depan, dalam keadaan yang tidak menentu, saat skenario dan tujuan disepakati, tindakan teknis dan manajerial ditetapkan, dan sistem tanggapan dan pengerahan potensi disetujui bersama untuk mencegah, atau menanggulangi secara lebih baik dalam situasi darurat atau kritis. Melalui perencanaan kontinjensi, akibat dari ketidakpastian dapat diminimalisasi melalui pengembangan skenario dan asumsi proyeksi kebutuhan untuk tanggap darurat. Dari definisi tersebut, dapat diambil beberapa butir penting bahwa perencanaan kontinjensi:
Pemanfaatan teknologi untuk memantau kondisi cuaca merupakan bagian dari kesiapsiagaan.
1. Dilakukan sebelum keadaan darurat berupa proses perencanaan ke depan. 2. Lebih merupakan proses untuk menghasilkan dokumen. 3. Merupakan suatu proses pembangunan konsensus untuk menyepakati skenario dan tujuan yang akan diambil. 4. Merupakan suatu kesiapan untuk tanggap darurat dengan menentukan langkah dan sistem penanganan yang akan diambil sebelum keadaan darurat terjadi.
05
5. Mencakup upaya-upaya yang bersifat mencegah dan juga membatasi konsekuensi yang kemungkinan akan terjadi. Rencana kontinjensi dibuat sesegera mungkin setelah ada tanda-tanda awal akan terjadi bencana atau adanya peringatan dini (early warning). Beberapa jenis bencana sering terjadi secara tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu (misalnya gempa bumi). Kondisi tersebut sulit dibuat rencana kontinjensinya, tetapi tetap dapat dibuat misalnya dengan menggunakan data kejadian bencana di masa lalu. Adapun jenis-jenis bencana tertentu dapat diketahui tanda-tanda awal kejadiannya. Sehingga penyusunan rencana kontinjensinya dapat dilakukan dengan mudah. Pada umumnya, penyusunan rencana kontinjensi dilakukan pada saat segera akan terjadi bencana (jenis ancamannya sudah diketahui). Pada situasi ini rencana kontinjensi langsung segera disusun tanpa melalui penilaian/analisis ancaman/ bahaya. Akan tetapi kenyataan di lapangan hal tersebut sulit dilakukan karena keadaan sudah chaos atau panik. Akan lebih baik apabila rencana kontinjensi dibuat pada saat sudah diketahui adanya potensi bencana.
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Kegiatan Gladi Lapang untuk Meningkatkan Pengetahuan dan Keterampilan Menghadapi Bencana
Rencana kontinjensi disusun berdasarkan perkiraan situasi (asumsi-asumsi) dengan mengembangkan skenario yang disepakati. Oleh karena dinamika kerentanan dan kapasitas yang sangat cepat, maka rencana kontinjensi perlu dilakukan penyesuaian dan pemutakhiran skenario. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa secara prinsip dalam penyusunan rencana kontinjensi selain disusun bersama oleh seluruh pemangku kepentingan, juga disusun skenario dan dilakukan analisis kebutuhan. Setelah kebutuhan dihitung secara rinci, ditentukan siapa saja pelakunya, dan tidak lupa dilakukan penilaian (ketersediaan) sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku/pemangku kepentingan. Dari kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya tersebut akan diketahui kesenjangannya yang perlu dipenuhi dari berbagai sumber dengan mengutamakan sumberdaya (dan potensi) lokal dan sekitarnya. Proses penyusunan rencana kontinjensi secara diagramatis digambarkan dalam gambar 1: Gambar 1. Proses Peyusunan Rencana Kontijensi
mendekati peristiwa/kejadian dalam skenario. Apabila tidak memungkinkan, dapat diambil sebagian dari luas yang sesungguhnya. Kegiatan Gladi Lapang untuk Meningkatkan Pengetahuan dan Keterampilan Menghadapi Bencana. Setelah selesai penyusunan rencana kontinjensi, terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu terjadi bencana atau tidak terjadi bencana. a. Apabila terjadi bencana: • Jenis bencana yang terjadi sama/ sesuai dengan jenis ancaman sebagaimana diperkirakan sebelumnya, maka rencana kontinjensi diaktivasi menjadi Rencana Operasi Tanggap Darurat. Rencana operasi tersebut menjadi pedoman bagi POSKO untuk penanganan darurat yang didahului dengan kaji cepat untuk penyesuaian data dan kebutuhan sumberdaya. • Jenis bencana yang terjadi tidak sama dengan jenis ancaman yang diperkirakan dalam rencana kontinjensi, komponen kebutuhan sumberdaya mengalami perubahan sesuai dengan jenis ancaman dan kebutuhan berdasarkan hasil kaji cepat. b. Apabila tidak terjadi bencana: • Apabila waktu kejadian bencana yang diperkirakan telah terlampaui (tidak terjadi bencana), rencana kontinjensi dapat diberlakukan atau diperpanjang untuk periode tertentu berikutnya. • Apabila setelah melalui kaji ulang dan perpanjangan masa berlaku ternyata tidak terjadi bencana, rencana kontinjensi dapat dideaktivasi (dinyatakan tidak berlaku) dengan pertimbangan bahwa potensi bencana tidak lagi menjadi ancaman. Rencana kontinjensi yang telah dideaktivasi dapat diaktifkan kembali setiap sat jika diperlukan.
Untuk menguji ketepatan Rencana Kontinjensi yang dibuat, perlu dilakukan uji coba dalam bentuk simulasi atau gladi. Dalam gladi diusahakan supaya besaran dan skalanya
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2010 tentang Rencana Strategis Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, mulai dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014,
06
telah ditetapkan 300 kabupaten/kota rawan bencana. Mulai tahun 2010 sampai dengan akhir tahun 2011, PPKK sudah mendampingi 50 kabupaten/kota rawan bencana dalam penyusunan rencana kontinjensi bidang kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pendampingan penyusunan rencana kontinjensi kesehatan di kabupaten/ kota rawan bencana lainnya guna memenuhi target rencana strategi. Pada tanggal 7 s.d. 11 Mei 2012, PPKK melakukan pendampingan penyusunan rencana kontinjensi bagi kabupaten/kota rawan bencana di dua provinsi yaitu Riau dan Nusa Tenggara Timur. Di Riau, terdapat 7 kabupaten/kota rawan bencana yang didampingi, yaitu Siak, Dumai, Bengkalis, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan dan Kampar. Sedangkan di NTT terdapat 7 kabupaten/kota rawan bencana yang didampingi, yaitu Sumba Timur, Alor, Kupang, Ende, Timor Tengah Selatan, Belu, dan Rote Ndao. Instansi yang diundang dalam penyusunan rencana kontinjensi ini berasal dari Dinas Kesehatan, RSUD, BPBD dan Bappeda Kabupaten/Kota. Rencana Kontinjensi idealnya disusun bersama oleh berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang dikoordinasi oleh BPBD Kabupaten/Kota, Lembaga Non-Pemerintah dan Organisasi kemasyarakatan lainnya. Setelah selesai disusun, Rencana Kontijensi harus disepakati dan ditandatangani oleh setiap pihak yang terlibat serta dikukuhkan oleh Pimpinan Daerah (Bupati/Walikota). Untuk menindaklanjuti Rencana Kontijensi, dilakukan pertemuan sesuai kebutuhan untuk pemutakhiran/validasi data dan lain-lainnya. Rencana Kontijensi dapat diujicobakan bila terjadi bencana dengan melaksanakan kegiatan yang tercantum dalam rencana kontijensi sesuai kebutuhan dari masingmasing sektor. Baik buruknya perencanaan kontinjensi akan menentukan kualitas penanganan darurat ketika terjadi bencana serta menentukan cepat lambatnya pemulihan dari dampak yang dirasakan. “He who fails to plan, plans to fail.” “Seseorang yang gagal dalam perencanaan, berarti merencanakan untuk gagal”
Kesiapsiagaan
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Integrasi Pelayanan Kesehatan Reproduksi Dalam Situasi Bencana
Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi oleh : Supatmi Arif
Kerawanan Indonesia terhadap bencana menuntut kesiapsiagaan kita dalam segala bidang, termasuk di bidang kesehatan. Perhatian pada bidang kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting karena cakupannya meliputi kelompok paling rentan dalam masyarakat. Namun pada respon penanggulangan bencana di Indonesia, pelayanan kesehatan reproduksi melalui Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) masih belum terintegrasi ke dalam respon bencana di bidang kesehatan sehingga belum ada jaminan akan tersedianya layanan tersebut. Pelatihan Kesehatan Reproduksi (PPAM) di Kab. Mamasa
B
erbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, seperti seminar nasional kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana, lokakarya nasional penyusunan rencana kesiapsiagaan kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana sekaligus pembentukan tim nasional kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana, dan upaya memberikan payung hukum bagi tersedianya PPAM dengan memasukkan komponen PPAM ke dalam SK Menkes tentang Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan. Dengan payung hukum tersebut nantinya diharapkan PPAM menjadi bagian dari perencanaan Pusat Penanggulangan Krisis Kementerian Kesehatan. Dalam upaya mengintegrasikan kesehatan reproduksi pada awal respon bencana, diperlukan adanya peningkatan pengetahuan dan kemampuan dari pihak-pihak yang bekerja langsung dalam penanganan permasalahan di bidang kesehatan, khususnya untuk bidang kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana. Untuk itu, beberapa upaya juga sudah dilakukan, seperti pembuatan pedoman kesehatan reproduksi bagi pengungsi yang kemudian dilengkapi pula dengan pedoman praktisnya, mengikuti ToT Minimum Initial Service Package (MISP,
PPAM) Kesehatan Reproduksi dan Seksual pada Situasi Darurat Bencana (oleh IPPF Regional Asia Tenggara & Oceania), yang kemudian dilanjutkan dengan ToT Nasional PPAM Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana. ToT Nasional tersebut, telah menghasilkan 28 Fasilitator Nasional, yang berasal dari lintas-program, lintas-sektor, organisasi profesi, dan LSM terkait, serta perwakilan dari 9 PPKK Regional se-Indonesia. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, dan United Nations Population Fund (UNFPA), dengan dukungan dana dari UNFPA. Sebagai tindak lanjutnya, agar PPAM Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana tersebut dapat diimplementasikan di daerah, akan dilaksanakan pelatihan PPAM di 9 Regional dan 2 Sub Regional Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Pelatihan ini ditujukan kepada pihak-pihak terkait yang nantinya akan berfungsi sebagai koordinator kesehatan reproduksi di daerah bencana, dengan peserta berasal dari seluruh provinsi wilayah kerja regional.
07
Tujuan umum pelatihan ini adalah meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penanganan permasalahan kesehatan khususnya untuk bidang kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana. Adapun tujuan khususnya antara lain: meningkatkan pemahaman akan pentingnya kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana sehingga dapat melakukan advokasi ke pihak lain; memahami secara mendetail komponen-komponen dari PPAM Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana melalui pembelajaran di kelas dan praktek langsung; dan meningkatkan kemampuan untuk dapat berperan sebagai koordinator pelaksanaan PPAM Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana.
Pelatihan PPAM di Kab. Mamasa
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Kesiapsiagaan
GREAT LOVE WITHOUT BOUNDARY –
Tim Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana Indonesia Menuntut Ilmu di Negeri Cina oleh: dr. Rakhmad Ramadhanjaya
Ni hao ma? Apa kabar?
A
nda pasti sudah pernah mendengar kalimat bijak yang berbunyi : “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China”. Terlepas dari pertentangan apakah kalimat tersebut merupakan hadits Nabi Muhammad SAW atau bukan, kalimat tersebut mengandung hikmah, sebab negeri Cina banyak memiliki khazanah kekayaan ilmu pengetahuan. Cina adalah salah satu negara di Asia yang terkena dampak bencana alam. Hampir setiap jenis bencana alam terjadi setiap tahun di Cina, termasuk gempa bumi, banjir, kebakaran, kekeringan, angin topan, badai hujan es, badai salju, dan tanah longsor. Dari tahun 1990 sampai 2008, 300 juta orang terkena dampak bencana alam setiap tahunnya. Bencana tersebut menyebabkan kerusakan permanen pada lebih dari 3 juta bangunan dan membuat lebih dari 9 juta orang kehilangan tempat tinggal. Oleh karena itu, pengembangan sistem tanggap darurat dan pembentukan sumber daya manusia yang terlatih dalam Penanggulangan Bencana
merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan kemampuan merespon dan memulihkan diri dari bencana. “Great Love Without Boundary” adalah tema dalam kegiatan Emergency Response Relief Training, suatu pelatihan respon tanggap darurat yang diadakan oleh The China Emergency Relief Training Center (CERT) yang didukung/didanai oleh Bank Dunia dan Global Facility for Disaster Reduction & Recovery (GFDRR). Didirikan oleh CERT (HK) Ltd., The China Emergency Relief Training Center atau CERT adalah lembaga pendidikan yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak asing. CERT mengembangkan kurikulum dan pendekatan pengajaran melalui kerjasama dengan Chinese Medical Doctors Association, Universitas Oxford, Universitas Cambridge dan Universitas China Hong Kong. Program pelatihan respon tanggap darurat yang diadakan oleh CERT memungkinkan anggota tim satuan reaksi cepat untuk mengetahui dan akrab dengan konsep penyelamatan
08
internasional seperti Standar Internasional USAR (Urban Search and Rescue) serta memperkaya mereka dengan pemahaman tentang teknik – teknik penyelamatan profesional di lokasi bencana. Jika terjadi bencana alam, anggota tim satuan reaksi cepat diharapkan mampu memberikan dukungan medis dan penyelamatan praktis serta efektif sehingga lebih banyak lagi korban yang mendapatkan pertolongan selama “Golden Hour”. Hal ini bertujuan untuk sebanyak mungkin menyelamatkan kehidupan dan mengurangi sebesar mungkin angka kematian. Pelatihan ini diadakan di Pusat Pelatihan CERT di Beijing, pada tanggal 14 sampai 18 Mei 2012. Bahasa Inggris merupakan bahasa pengantar yang digunakan selama pelatihan “tapi tentu saja para peserta memakai bahasa Indonesia untuk saling berkomunikasi dan contek-mencontek sewaktu ujian, hehehe”. Sebanyak 16 orang peserta mengikuti pelatihan ini, ditambah 1 orang observer dari Bank Dunia Jakarta. Peserta tersebut berasal dari BNPB (2 orang), BPBD (2 orang), BASARNAS (3
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Simulation Site
orang), TNI-AD (4 orang), Dinas Damkar dan PB Provinsi DKI Jakarta (2 orang), PPKK Kementerian Kesehatan (2 orang) dan Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM (1 orang). Guna memandu 16 orang peserta ini, CERT menerjunkan 4 orang instruktur yang terdiri dari 3 orang instruktur medis dan 1 orang instruktur rescue. Para instruktur sangat berpengalaman di bidangnya masing-masing. Selain itu, CERT juga menyediakan area simulasi penanganan bencana yang mirip keadaan riil, seperti reruntuhan bangunan, bangkai kendaraan dan lainnya. Pusat pelatihan CERT juga dilengkapi dengan ruang kelas dan asrama yang sangat jauh dari kata “mengecewakan”. Untuk urusan kantong tengah (perut), CERT memenuhi permintaan peserta yang umumnya menginginkan menu halal yang dimasak oleh koki muslim. Secara keseluruhan, kami sangat puas dengan pelayanan yang diberikan oleh CERT. Dalam pelatihan selama lima hari ini, sebanyak 30% materi diberikan dalam bentuk perkuliahan di dalam kelas dan 70% materi diberikan dalam bentuk praktik/simulasi. Proporsi materi tentang medis adalah sebanyak 80% sedangkan materi tentang rescue sebanyak 20%. Berikut adalah agenda harian pada pelatihan ini : Hari 1: Students Registration, Background of Risk and Disaster Medicine, Emergency Response Management, Rescue, Scenario 1Reconnaissance Rescue, Scenario 2Indoor Reconnaissance and Triage
Simulasi Penanganan Korban
Hari 2: Rescue, Scenario 3- Stretcher movement over uneven ground, Medicine Patient Assessment and Field Diagnostics Hari 3: AHA BLS Provider Course Chain of survival, Skill assessment Written test, Scenario 4- Field Trauma Care Hari 4: Scenario 5- Vehicle accident, Medicine - Public health on disaster site, Scenario 6- Psychological support for victims, Rescue and Skill Assessment Night Drillings Hari 5: Daytime Field Exercise, Debriefing, Course Evaluation and Feedback. Di akhir perjalanan kami di Cina, kami berkesempatan mengunjungi The Great Wall, Forbidden City, Tian An Men Square dan Temple of Heaven. Tak lupa, kami juga mengunjungi Silk Market untuk membeli buah tangan untuk keluarga dan teman-teman di tanah air. Berkaca dari perjalanan kami di Cina, alangkah baiknya apabila Indonesia juga memiliki lembaga semacam CERT ini, mengingat Indonesia juga seringkali mengalami kejadian bencana.
09
BNPB sebagai leading sector dalam penanggulangan bencana, melalui Pusdiklatnya dapat bekerjasama dengan Kementerian terkait dan lembaga akademik, mengembangkan kurikulum pelatihan yang komprehensif, kemudian disertifikasi oleh lembaga profesi yang kompeten. Peserta pelatihan yang menjadi target sasarannya adalah tim SRC-PB yang telah dibentuk sebelumnya. Instruktur pelatihan dapat berasal dari BNPB, Kementerian, maupun lembaga akademik terkait. Sudah banyak ilmu yang kami peroleh dari perjalanan di Cina ini dan kami sudah menjalankan “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China”. Akan tetapi, yang terpenting bukanlah dimana kita memperoleh suatu ilmu, yang terpenting adalah dimana kita bisa mengaplikasikan ilmu itu.
Tetap Semangat Kawan
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Tanggap Darurat
Gempa 8,5 SR Kembali guncang Pulau Sumatera oleh: dr. Willy Pandu Ariawan
Peta Daerah Terdampak Akibat Gempa
“Ada gempa besar di Aceh....!!!!” kata salah seorang rekan kerjaku tiba – tiba dengan setengah berteriak, memecah suasana rapat bidang yang tengah berlangsung di ruang rapat utama kantor Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK) Kementerian Kesehatan. Kamipun segera menuju ke ruang pemantauan tempat kami dapat memperoleh keterangan dari beberapa sumber informasi di media elektronik dan internet. Di ruangan itu terdapat beberapa layar LCD, tersambung dengan beberapa stasiun televisi yang secara live memberitakan situasi terakhir di wilayah Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, dan Lampung. Beberapa staf PPKK pun segera mencoba mencari informasi melalui internet, radio komunikasi, dan menelepon beberapa kontak person di daerah guna memperoleh informasi terakhir terkait gempa yang baru saja terjadi.
H
ari itu, 11 April 2012 tepat pada pukul 15.38 WIB, kembali terjadi gempa dengan kekuatan 8,5 skala richter pada kedalaman 10 km yang dirasakan cukup kuat di pantai barat Sumatera, Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung. Tampak di layar kaca televisi, banyak orang di daeah–daerah tersebut panik dan berlarian menuju tempat–tempat yang dirasa aman.
Mereka sepertinya masih trauma dengan apa yang pernah terjadi tahun 2004 yang lalu, dimana gempa yang kemudian disusul dengan terjangan tsunami di Provinsi Aceh meluluh- lantakkan semua yang dilaluinya. Belum lagi surut air mata akibat duka yang dialami masyarakat Aceh, pada tahun 2009 gempa kembali mengguncang pesisir Sumatera, kali ini Provinsi Sumatera Barat mengalami dampak yang parah 10
akibat kejadian tersebut. Seperti kita ketahui, kepulauan di Indonesia merupakan wilayah rawan bencana geologi khususnya gempa bumi dan tsunami karena merupakan tempat pertemuan empat lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Samudera Pasifik, dan lempeng Filipina. Interaksi yang terjadi di antara keempat lempeng dunia terbagi menjadi tiga.
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Tipe pertama adalah lempeng bergerak saling menjauh. Tipe kedua adalah pertemuan batas dua lempeng yang bergerak saling mendekati dan bertumbukan sehingga menciptakan zona subduksi. Tipe ketiga adalah sebuah lempeng menabrak secara menyerong lempeng yang berbeda sehingga tercipta dua komponen. Sesar Sumatera merupakan salah satu contoh pergerakan lempeng tersebut. Garis yang memanjang dari Teluk Semangko, Provinsi Lampung, hingga Aceh lebih kurang sepanjang 1.650 km terbagi menjadi 19 segmen. Pergeseran lempeng pada sesar sumatera sangat aktif, dengan kecepatan dua sentimeter per tahun. Pesisir barat sumatera merupakan daerah yang sering dilanda gempa, lihat table 1. Tabel 1. Catatan Gempa Besar yang terjadi di Sumatera sejak Tahun 2004 (Sumber : http://www. setkab.go.id/berita-4053-gempa-simeulue-buktibanyaknya-potensi-gempa-di-sumatera.html) Tanggal Kejadian
Kekuatan Gempa
26 Des 2004
8,9 SR di Sumatera Bagian Utara
12 Sep 2007
8,4 SR di Sumatera Bagian Selatan
12 Sep 2007
8,2 SR di Sumatera Bagian Selatan
13 Sept 2007
7,2 SR di Sumatra Bagian Selatan
20 Sept 2007
7,1 SR di Sumatera Bagian Selatan
20 Feb 2008
7,2 SR di Sumatera Bagian Utara
25 Feb 2008
7,4 SR di Sumatera Bagian Selatan
30 Sept 2009
7,7SR di Sumatera Bagian Selatan
6 April 2010
7,6 SR di Sumatera Bagian Utara
9 Mei 2010
7,8 SR di Sumatera Bagian Utara
11 Januari 2012
7,1 SR di Tengah Laut Pesisir Sumatera Bagian Utara
11 April 2012
8,5 SR di Tengah Laut Pesisir Sumatera Bagian Utara
11 April 2012
8,1 SR di Tengah Laut Pesisir Sumatera Bagian Utara
Barat dan di Kota Sabang Provinsi Aceh. Satu orang korban terpaksa dirawat inap di RS harapan Bunda Provinsi Aceh serta terjadi pengungsian di Provinsi Aceh (Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Simelue) dan Provinsi Sumatera Barat (Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman). Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan melalui PKKK Regional Sumatera Utara dan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh selaku perpanjangan tangan dari Pemerintah Provinsi Aceh segera melakukan beberapa upaya penanggulangan krisis kesehatan, di antaranya melakukan proses evakuasi penduduk di lokasi bencana untuk mengantisipasi terjadinya tsunami dan menyiagakan fasilitas pelayanan kesehatan. Kementerian Kesehatan pun segera mengirimkan 7 petugas untuk melakukan pemantauan di Provinsi Aceh dan memastikan kesiapan PPKK Regional Sumatera Utara dalam menghadapi kejadian ini. Potensi bencana gempa bumi yang ada di wilayah Sumatera semestinya membuat kita semua lebih waspada. Di sektor kesehatan tentunya dengan meningkatkan kapasitas seluruh sumber daya kesehatan baik yang ada di wilayah Sumatera itu sendiri maupun di wilayah lain yang kemungkinan dapat dijadikan sebagai pendukung yang sewaktu–waktu dapat memberikan dukungan serta bantuannya dalam upaya penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Upaya tersebut dapat dimulai dengan melakukan proses identifikasi, daerah mana saja yang memiliki tingkat kerawanan dan kerentanan terhadap bahaya gempa bumi, kemudian dibuat prioritas wilayah yang selanjutnya akan diperkuat dari aspek peningkatan kapasitas sumber daya kesehatannya. Dari wilayah yang telah ditetapkan menjadi prioritas, dapat kita identifikasi berapa fasilitas kesehatan yang dimiliki baik negeri maupun swasta, sumber daya manusia baik medis maupun non medis serta sumberdaya lain yang menunjang pelayanan kesehatan. Dari beberapa data tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk pemetaan sehingga kita dapat dengan lebih mudah mengetahui kekuatan sumber daya kesehatan yang ada di wilayah rawan bencana gempa yang telah kita tentukan sebelumnya.
Gempa yang terjadi kali ini merupakan gempa besar yang kesekian kali terjadi di wilayah pesisir barat Sumatera. Selanjutnya terjadi 12 kali gempa susulan dengan kekuatan antara 5,2 – 8,1 SR (rata-rata 6,2 SR). Gempa susulan dengan kekuatan 8,1 SR terjadi pada pukul 17.43 WIB dengan kedalaman 10 km dan berpotensi tsunami. Akibat kejadian ini sedikitnya 2 orang meninggal dunia, yaitu di Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera 11
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Tanggap Darurat
Peran Kementerian Kesehatan dalam Penanganan Kecelakaan Jatuhnya Pesawat Sukhoi SJ100 oleh: Willy Pandu Ariawan
Kepala Pusat Penanggulangan Beserta Tim Evakuasi Korban Jatuhnya Pesawat Sukhoi SJ100
Telah sering kita dengar kecelakaan transportasi di berbagai wilayah di Indonesia baik itu kecelakaan transportasi darat, laut maupun udara. Masih segar dalam ingatan kita kecelakaan yang melibatkan bus dan beberapa kendaraan di daerah Cisarua Bogor yang merenggut banyak korban meninggal dan luka-luka. Penyebabnya adalah kelalaian dan sistem pemeliharaan alat transportasi yang masih jauh dari apa yang diharapkan. Belum lagi tuntutan akan pendapatan perusahaan yang sudah pasti akan banyak dibebankan kepada para pegawai yang bertugas di bagian operasional alat transportasi. Beberapa hal tersebut sering menjadi permasalahan sehingga banyak alat transportasi publik yang jauh dari kata aman dan laik jalan. Belum lagi kasus beberapa pilot dari maskapai penerbangan lokal yang kedapatan tengah menkonsumsi narkotika jenis sabu, justru beberapa saat sebelum pilot tersebut menerbangkan pesawat yang membuat kita menjadi semakin was was saat menggunakan jasa pelayanan transportasi udara.
T
ragedi kembali terjadi, pesawat jenis Sukhoi Superjet 100 buatan Rusia pada tanggal 9 Mei 2012 sekitar pukul 14.33 WIB dikabarkan hilang kontak dengan menara pengawas saat melakukan penerbangan “Joy Flight” yang kedua setelah kembali ke Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma dari penerbangannya yang pertama. Penerbangan yang membawa 45 orang penumpang (sesuai data terakhir setelah proses identifikasi oleh DVI) ini semestinya dilakukan sebagai bagian dari tur perusahaan untuk mempromosikan pesawat Sukhoi yang pertama kali dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar komersial. Karena seperti kita ketahui bahwa sebelumnya perusahaan asal Rusia tersebut memproduksi pesawat tempur yang beberapa di antaranya telah dibeli oleh Indonesia untuk memperkuat sistem pertahanan yang dimiliki oleh TNI Angkatan Udara. Sebelum dikabarkan hilang kontak, menara pengawas melaporkan bahwa
pilot pesawat Sukhoi sempat meminta izin untuk turun dari ketinggian 10.000 kaki menjadi 6.000 kaki pada posisi di 10 nautical mile dari Atang Sanjaya. Posisi terakhir inilah yang menjadi petunjuk penting pada proses pencarian dan evakuasi selanjutnya. Pada hari yang sama Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Daryatmo bersama KNKT dan PT Trimarga Rekatama sebagai perusahaan rekanan yang mendatangkan pesawat Sukhoi dari Rusia melaksanakan jumpa pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Kepala Basarnas menuturkan pesawat hilang kontak tetapi belum bisa dipastikan jatuh. Basarnas kemudian langsung menerbangkan 2 heli Bronco dan Super Puma begitu mendapat info hilang kontak pesawat Sukhoi Superjet 100 tersebut. Namun, karena kondisi awan yang begitu pekat dan angin yang terlalu kencang, pencarian udara dihentikan pada Rabu malam dan dilanjutkan keesokan paginya.
12
Segera setelah mengetahui berita ini dan menerima laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan segera melakukan langkah– langkah penyiapan dukungan operasional dalam upaya pencarian dan evakuasi korban. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor selaku perpanjangan tangan pemerintah daerah Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor selaku perpanjangan tangan pemerintah daerah Kabupaten Bogor dan penanggung jawab upaya penanggulangan krisis kesehatan di wilayahnya segera dimintakan informasi terkait situasi terakhir di lokasi serta kemungkinan adanya kebutuhan dukungan sumber-sumber daya kesehatan dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK) Kementerian Kesehatan. Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, dr. Sri Henni Setiawati, M.H.A segera menginstruksikan untuk mengirim tim dukungan managemen. Pada hari Kamis tanggal 10 Mei 2012, dikirim tim yang beranggotakan 2 orang staf PPKK untuk melakukan assessment awal dan dukungan managemen. Kepala PPKK bersama 2 orang staf PPKK dan 1
Buletin InfO Krisis Kesehatan
orang staf Ditjen P2PL segera bergerak menuju Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, untuk bergabung dengan tim pertama yang tiba terlebih dahulu di lokasi. Upaya yang Dilakukan oleh Jajaran Kesehatan Segera setelah diketahui kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di wilayah Gunung Salak Kabupaten Bogor, seluruh jajaran kesehatan segera melakukan beberapa langkah antisipasi sejak awal kejadian hingga operasi pencarian secara resmi ditutup, diantaranya : Kesiapsiagaan di Lokasi Sekitar 1. Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dan Dinas Kesehatan Kota Bogor menyiagakan RS Rujukan yaitu RS Sekarwangi Cibadak Kabupaten Sukabumi dan RS PMI Kota Bogor. 2. Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menyiagakan sejumlah Puskesmas dan mobil ambulans untuk menerima korban. Nama Puskesmas tersebut antara lain, Puskesmas Tamansari, Puskesmas Tenjolaya, Puskesmas Pamijahan dan Puskesmas Ciampea di Kabupaten Bogor serta Puskesmas Cijeruk, Puskesmas Cigombang, Puskesmas Ciburayut dan Puskesmas Caringin di Kabupaten Sukabumi. 3. Dinas Kesehatan Kota Bogor dan PMI Kota Bogor menyiagakan masingmasing 2 unit mobil ambulans di RS PMI Kota Bogor. 4. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor membuka 3 Pos Kesehatan berlokasi di Balai Embrio, Desa Pasir Pogor, Desa Curug Nangka sejak tanggal 11 Mei 2012. 5. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor memberikan alkohol dan povidon iodine antiseptik masing-masing 1 dus kepada Tim SAR. 6. Penyiagaan 11 unit mobil ambulans di lokasi transit di Kecamatan Cijeruk dengan rincian: 2 unit mobil ambulans dari TNI, 1 unit ambulans dari Polri, 1 unit mobil ambulans dari PMI dan 7 unit mobil ambulans dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (Poskes Embrio 2, Poskes Cimelati 2, mobile 1, dan siaga di Puskesmas Curug Nangka 2).
7. PPKK Kementerian Kesehatan telah mengirimkan 3 tim ke lokasi kejadian dengan rincian, tim 1 beranggotakan 6 orang, tim 2 beranggotakan 2 orang dan tim 3 beranggotakan 2 orang. 8. PPKK Kementerian Kesehatan mengirimkan bantuan Alkohol 10 btl @1ltr, betadine 5 box (1box @30btl), lysol 5 box, Handscoen disposible L 5 box, Paket Obat-obatan PKD (Pelayanan Kesehatan Dasar ) 3 Paket, rompi Kesehatan 35 buah, topi 25 buah Masker 3 box @50 buah) Kesiapsiagaan di Bandara Halim Perdana Kusuma 1. Pendirian Posko DVI dan antemortem di Bandara Halim Perdana Kusuma (ditutup pada tanggal 12 Mei 2012). 2. Pendirian Pos Pelayanan Kesehatan KKP Halim Perdana Kusuma (ditutup pada tanggal 14 Mei 2012).
Pos Kesehatan di Halim Perdana Kusuma
Upaya yang dilakukan oleh seluruh jajaran kesehatan dengan Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan sebagai koordinator di tingkat pusat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor selaku penanggung jawab wilayah dipusatkan untuk memberikan dukungan terhadap segala upaya pencarian dan evakuasi korban. Pada awal kejadian, beberapa rumah sakit yang berada di sekitar lokasi kejadian disiapkan untuk menerima seandainya ada korban selamat yang membutuhkan penanganan medis lebih lanjut. Hal ini dilakukan berdasarkan informasi yang diterima dari Basarnas yang menyebutkan bahwa masih ada kemungkinan korban selamat dari kejadian tersebut. Namun seiring berjalannya proses pencarian dan evakuasi, terlebih saat ditemukannya lokasi jatuhnya
13
pesawat di jurang dengan kedalaman 500 meter dari tebing Gunung Salak membuat harapan akan adanya korban selamat kian menipis. Kemudian saat tim evakuasi telah mencapai lokasi jatuhnya pesawat dan mulai melakukan evakuasi korban meninggal, jajaran kesehatan menjadi lebih terfokus pada dukungan kesehatan bagi para anggota tim evakuasi yang terdiri dari TNI, POLRI, PMI, LSM dan relawan lainnya. Pos kesehatan yang telah didirikan sebelumnya di Posko Embrio Cijeruk, Posko Helipad Cijeruk, dan Posko Halim segera diperkuat untuk mengantisipasi tim evakuasi dan anggota keluarga korban yang membutuhkan pelayanan kesehatan dasar. Sistem rujukan dari pos kesehatan menuju rumah sakit pun telah disiapkan berikut beberapa ambulans gawat darurat seandainya diperlukan. Operasi pencarian dan evakuasi dihentikan pada tanggal 21 Mei 2012, dari kegiatan operasi tersebut telah dievakuasi sebanyak 35 kantong jenazah ke Bandara Halim Perdana Kusuma yang kemudian dibawa ke RS Pusat Polri Bhayangkara Tingkat I Dr. R.S. Soekamto Kramat Jati (30 kantong berisi bagian tubuh korban dan 5 kantong berisi properti). Total jumlah pasien yang dilayani dari semua pos kesehatan yang didirikan sejak tanggal 11 hingga 16 Mei 2012 sebanyak 223 pasien dan telah dilakukan penyuntikan vaksin Tetanus Toksoid guna mengantisipasi kemungkinan akan adanya kontaminasi kuman tetanus kepada personil tim evakuasi yang tiba di Poskes Helipad Cijeruk. Tim DVI pun akhirnya selesai melakukan identifikasi terhadap 45 korban pesawat Sukhoi Superjet 100.
Proses Evakuasi Korban dari Lapangan Cijeruk ke Halim Perdana Kusuma.
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Tanggap Darurat
Lesson Learnt Banyak hal yang dapat kita pelajari dari peristiwa ini dan banyak peristiwa kecelakaan transportasi lain yang sebelumnya terjadi. Oleh karena itu kita harus dapat selalu memperbaiki sistem pelayanan serta keamanan transportasi, terutama kualitas dari sumber daya manusia yang banyak dikatakan sebagai “penyebab” terjadinya sebuah kecelakaan transportasi atau yang sering kita dengar sebagai “human error”.
H
al lain dari sisi penanggulangan krisis kesehatan yang dapat kita lihat dan rasakan adalah betapa informasi itu menjadi sangat penting sebagai bagian dari dasar penggerakkan sumberdaya guna mengatasi segala permasalahan yang timbul dari sebuah kejadian. Semakin cepat dan akurat informasi tersebut kita terima, semakin cepat dan tepat pula respons yang kita berikan. Takkalah pentingnya SOP penggerakan sumber daya yang akan selalu dapat berubah dengan semakin seringnya SOP tersebut diuji baik melalui simulasi maupun kenyataan dilapangan. Tidak ada SOP yang statis, SOP akan selalu berubah seiring adanya evaluasi dan perbaikan yang dilakukan setelah SOP tersebut teruji.
Tim Kesehatan dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor
Sistem koordinasi juga perlu mendapatkan porsi perhatian yang cukup, baik koordinasi lintas program maupun sektor terkait, tidak hanya pada saat dilakukannya upaya tanggap darurat, tetapi juga pada saat pra dan pasca penanggulangan krisis kesehatan. Ke depan diharapkan akan semakin Tim Evakuasi Korban Sebelum Berangkat Kelokasi sering dilakukan pengujian Jatuhnya Pesawat Sukhoi sistem koordinasi baik di internal PPKK, lintas program maupun lintas sektor melalui kegiatan table top dan lain sebagainya guna meningkatkan kualitas dari sistem koordinasi itu sendiri.
Teknis proteksi diri petugas medis dan petugas evakuasi juga perlu dikaji kembali karena petugas yang menjadi ujung tombak jalannya operasi pencarian dan evakuasi merupakan kelompok rentan yang memiliki risiko tinggi terkontaminasi bakteri, virus, dan kontaminan lain yang dapat berasal dari korban, baik korban hidup maupun korban meninggal. Kelompok tersebut harus diberikan pengetahuan, kemampuan, dan alat proteksi yang memadai sehingga dapat meminimalisasi risiko yang mereka terima. Rapat Koordinasi Antara Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan dengan Pusat Kedokteran dan Kesehatan Mabes Polri
14
SOSOK
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Wawancara Khusus dengan dr. Harsono Mantan Bupati Ngawi (1999 – 2004 dan 2005 – 2010)
“Berhenti Jadi Bupati, Bukan Berarti Berhenti Mengabdi “ oleh: Dodi Iriyanto “Saya sendiri dalam bekerja tidak punya keinginan apa-apa, tapi mengalir begitu saja layaknya air, filosofi yang orang tua berikan saya maknai betul, sehingga aplikasinya bagi saya adalah melaksanakan setiap pekerjaan dengan sungguhsungguh dan penuh tanggung jawab disertai dengan keikhlasan.”
M
asyarakat Kabupaten Ngawi tahu betul dengan sosok laki-laki yang bernama dr. Harsono, karena selama 10 tahun, sejak tahun 1999 – 2004 dan 2005 – 2010 dipercaya memimpin Kabupaten Ngawi menjadi seorang Bupati. Ada hal yang menarik bisa diungkapkan dari seorang dr. Harsono, dimulai dari perjalanan karirnya sebagai seorang dokter disebuah Puskesmas sampai menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi. Kemudian seiring dengan perjalan waktu, kehidupannya mengalir seperti air sampai akhirnya beliau berhasil mencapai puncak karier pengabdian sebagai Bupati dengan masa bhakti dua periode. Setelah beliau menyelesaikan masa bakti, anak pertama beliau Oni Anwar Harsono, terpilih menjadi Wakil Bupati Ngawi untuk perionde 2011 – 2016. Untuk mengetahui lebih dekat dengan beliau, staf Buletin Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan menuliskan kisahnya secara singkat, berikut petikannya : Dapatkah diceritakan secara sekilas perjalanan karir Bapak ? Saya terlahir sebagai anak tunggal dari orang tua yang bermata pencaharian sebagai pedagang di Ngawi, dengan status tersebut tidak berarti saya menjadi anak yang dimanja, sebaliknya
dr. Harsono, sewaktu menjadi Bupati dalam kesempatan program predator alami dengan melepas burung hantu untuk membasmi hama tikus
kedua orang tua mengajarkan dalam berkehidupan harus berjuang untuk mewujudkan suatu keinginan dengan apa yang dimilikinya, apapun hasilnya dari perjuangan itu saya harus ikhlas menerimanya. Dalam bekerja , saya tidak punya keinginan apa-apa, tapi mengalir begitu saja layaknya air, filosofi hidup yang orang tua berikan saya maknai betul, sehingga aplikasinya bagi saya adalah melaksanakan setiap pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab disertai dengan keikhlasan, itulah makna dari perjuangan. Hidup sebagai seorang dokter tidak membuat saya berbeda dengan orang lain, yang membedakan hanya kebetulan saya diberikan kelebihan sehingga bisa membantu masyarakat untuk sembuh dari sakitnya. Dalam menjalani hidup, terus terang saya tidak punya apa-apa, semua yang saya miliki merupakan pemberian dari orang tua. Mereka selalu wanti-wanti ( berpesan ), bila saya perlu sesuatu mintalah pada orang tua. Jadi tidaklah salah bila ada sebagian orang menilai saya sebagai anak manja. Mereka tidak ingin saya menjadi orang yang tidak memiliki “derajat”.
15
Banyak orang yang memiliki jabatan tinggi dalam pemerintahan, karena sikap dan perilakunya tidak terpuji, memanfaatkan jabatan untuk memuaskan nafsunya sehingga tergelincir, bermasalah dengan hukum. Akibat dari perbuatannya itu akhirnya dicemooh oleh masyarakat. Beranjak dari hal itulah, kedua orang tua saya mendorong anaknya untuk bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Saya mensyukuri betul apa yang sudah Allah berikan sehingga bisa menjadi seperti saat ini, ujar dari suami ibu Ulfainun Maysaroh. Perjalan karir saya dimulai dari Kepala Puskesmas Sine di Kabupaten Ngawi tahun 1983 - 1987, kemudian tahun 1987 – 1991 di Puskesmas Ngawi, tahun 1991 - 1999 dipercaya sebagai Kasie Pemulihan dan Yankes Dasar, kemudian tahun 1999 ditetapkan sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi. Saat reformasi bergulir pada tahun 1999, masyarakat Kabupaten Ngawi melalui perangkat legislatif, mencari putra daerah untuk diusung menjadi Bupati periode 1999 - 2004, saya termasuk calon yang akan diusulkan. Namun karena jabatan tersebut bukan merupakan pilihan, maka tawaran tersebut saya tolak secara halus dengan
Buletin InfO Krisis Kesehatan
alasan ingin berkonsentrasi menempuh pendidikan jenjang S2 di FKM di Universitas Gajah Mada. Tawaran untuk menjadi Bupati berhasil saya hindari, dan selama satu Semester masa perkuliahan, saya sangat menikmati betul menjadi mahasiswa. Teman-teman kuliah banyak yang seprofesi dan tidak sedikit menjabat Kepala Dinas Kesehatan di daerahnya masing-masing, kondisi ini bagi saya merupakan suatu kemudahan dalam berinteraksi dan bertukar pengalaman, sehingga semakin memperkaya pengetahuan untuk melengkapi tugas sebagai Kepala Dinas Kabupaten Ngawi. Dalam mengarungi hidup dan berkehidupan manusia boleh berencana tetapi hasil akhir Tuhan yang menentukan. Selama masa perkuliahan pada Semester I, Tuhan merubah pilihan hidup saya. Tawaran menjadi Bupati yang sebelumnya saya tolak, akhirnya saya terima. ( beliau berhenti berbicara kemudian tertawa), sambil menahan tawanya. Selama proses pembelajaran saya menghadapi kesulitan, karena tidak mampu untuk mengikuti mata kuliah Statistik, bukan karena dosennya yang “killer”, tapi karena saya tidak mampu, yang ada dalam pikiran saya waktu itu adalah menghindar alias berhenti kuliah (droup out). “Menjadi Bupati tidak sesulit mengerjakan tugas statistik”, akhirnya saya memutuskan menerima pinangan menjadi Bupati yang diusung partai Golkar,PDIP,PKS dan PKB”, demikian yang dikisahkan. Sebagaimana kita ketahui banyak Bupati yang tersangkut masalah korupsi, karena adanya politik balas budi kepada partai politik pendukungnya, bagaimana dengan bapak? Saya menjadi Bupati tidak mengeluarkan uang sepeserpun, dan bukan berarti berkompromi dengan partai-partai politik yang mengusung saya. Selama menjabat sebagai Bupati,
kebijakan dibuat tujuannya adalah untuk mensejahterakan rakyat, namun bila dalam pelaksanaan kebijakan tersebut dari unsur legislatif banyak melakukan intervensi, maka saya lawan dengan ancaman mengundurkan diri. Ancaman ini bukan gertak sambal tapi betul-betul akan saya lakukan. Saya berani bersikap tegas karena rakyat yagn memilih saya bukan DPRD. Sebagai bupati yang berprofesi seorang dokter adakah pengaruhnya terhadap pembangunan Kabupaten Ngawi sewaktu bapak pimpin, khususnya di bidang Kesehatan ? Di awal masa tugas, masyarakat masih menganggap saya sebagai seorang dokter bukan seorang Bupati. Selama kurun waktu dua tahun, masih banyak pasien-pasien saya datang berobat ke kantor. Kedatangan mereka tidak bisa saya tolak, di dalam ruang kantor Bupati saya menerima pasien. Tidak saja pasien umum yang datang tetapi juga pegawai Pemda Kabupaten Ngawi yang sebelumnya sudah menjadi pasien saya, beliau menceritakan kisahnya diiringi tawa lepas. Terkait dengan kapasitas saya sebagai dokter, “saya percaya betul dengan teman-teman di jajaran kesehatan, mereka punya kemampuan untuk merencanakan program pembangunan kesehatan dan melaksanakannya dengan baik”. Oleh karena itu fokus pembangunan di Kabupaten Ngawi saya arahkan pada sektor pertanian dan perekonomian rakyat. Buah dari kepercayaan itu terbayar dengan penghargaan di bidang kesehatan pada tahun 2005 dan 2007, Kabupaten Ngawi menerima Anugrah Ksatria Bhakti Husada dari Kementerian Kesehatan. Terkait dengan kesiapsiagaan penanggulangan bencana, Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi telah memiliki Brigade Siaga Bencana (BSB) Siaga 24 Jam tesebar di 24 Puskesmas, telah memiliki BLC, mendapat pelatihan pertolongan di perairan ( water rescue ) dan pelatihan bencana.
16
Hanya ada satu hal penyesalan yang masih tertanam dalam hati, saya merasa sangat berdosa sekali ketika terjadi bencana banjir di Kabupaten Ngawi pada tahun 2007, 76 desa terendam banjir, 22 rumah hanyut, 113 rumah roboh, 1.256 rumah rusak berat, 1.555 rumah rusak ringan dan 20.784 rumah terendam banjir dengan kerugian ditaksir mencapai 100 milyar rupiah.Tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu masyarakat. Ketika itu, banyak fasilitas umum termasuk fasilitas kesehatan yang mengalami kelumpuhan, sehingga masyarakat tidak bisa memperoleh pelayanan sebagaimana mestinya. Kabupaten Ngawi termasuk daerah yang rawan bencana banjir. Sejujurnya Pemerintah daerah dan saya khususnya sebagai Bupati pada waktu itu, tidak memiliki kemampuan dalam upaya kesiapsiagaan penanggulangan bencana banjir. Akibatnya adalah penanganan bencana banjir pada masa tanggap darurat amburadul. Sistim informasi tidak berjalan sebagaimana diharapkan, banyak logistik yang tidak dapat disalurkan karena koordinasi antar lembaga sangat lemah. Hal itu saya sadari setelah memperoleh pengetahuan tentang manajemen bencana, dengan bekerja kembali di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur membantu Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Regional Jawa Timur. Apakah Bapak sebagai mantan Bupati tidak merasa malu ketika memutuskan untuk bekerja kembali di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai staf biasa yang ditempatkan di PPKK Regional Provinsi Jawa Timur ? Saya sampaikan kembali, bahwa bagi saya bekerja itu adalah suatu pengabdian dan kebetulan saya adalah
Buletin InfO Krisis Kesehatan
seorang dokter, sehingga saya bisa memahami tentang makna pengabdian itu. Apa yang sudah ditanamkan orang tua saya tentang hidup adalah bagaimana kita bisa melaksanakan setiap pekerjaan dengan sungguhsungguh, bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan ikhlas. Dan bekerja di daerah bencana antara harapan dengan kenyataan terkadang berbeda sehingga ketika kita memutuskan ikut dalam Tim yang bertugas di daerah bencana jangan pernah mengharapkan apa-apa tapi kita harus ikhlas untuk menerima kondisi apa adanya, siap mengorbankan waktu untuk orang lain , bahkan materi. Oleh karena itu bekerja di daerah bencana harus atas kemauan diri sendiri tidak boleh dipaksa. Jadi keputusan saya untuk mengabdi kembali setelah usai menjabat sebagai Bupati bukanlah hal yang memalukan, bahkan dengan posisi sebagai mantan Bupati bisa saya manfaatkan untuk advokasi ke Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan dalam pembangunan kesehatan khususnya dalam hal pengetahuan penanggulangan krisis kesehatan, hitung-hitung untuk menghapus dosa ketika menjadi Bupati tidak bisa berbuat lebih baik menolong masyarakat yang terkenan bencana banjir. Dan selama hampir dua tahun saya mengabdikan diri di Regional PPKK Provinsi Jawa Timur saya melihat, upaya pemerintah daerah dalam penanggulangan krisis kesehatan masih perlu ditingkatkan, bahwa dengan terbentuknya BPBD memberikan harapan untuk memperbaiki tingkat pemahaman kita tentang ilmu kebencanaan tidak saja di jajaran pemerintah tetapi juga keterlibatan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Harapan saya dengan terbentuknya BNPB dan Regional PPKK Provinsi Jawa Timur bisa membangun jejaring koordinasi dan kerjasama yang baik, dan saling melengkapi, karena Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
diwilayahnya sudah terbentuk BPBD sulit memperoleh alokasi khusus dari APBD untuk upaya penanggulangan krisis kesehatan, baik pada masa pra, saat maupun paska. Karena penanggulangan krisis kesehatan bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja tetapi juga menjadi tanggung jawab lintas sektor dan lintas program, maka Kementerian Kesehatan, BNPB maupun BPBD bisa memfasilitasi kebutuhan Dinas Kesehatan dalam upaya penanggulangan krisis kesehatan, baik dalam peningkatan kapasitas petugas terlatih, pembuatan rencana kontijensi dan kegiatan lainnya.
Gunung Ijen di Kabupaten Bondowoso dan yang lebih mengesankan adalah ketika ikut dalam kegiatan Tanggap Darurat Gunung Merapi di Provinsi DIY. Selama bertugas 3 minggu di tiga lokasi yaitu : Cangkringan, Mukir Sari dan Stadion Maguwoharjo. Saat itu awan panas masih menjadi ancaman tidak saja bagi para pengungsi tapi juga relawan maupun tim kesehatan yang membantu pelayanan kesehatan pengungsi. Yang sangat dramatis adalah ketika awan panas turun menyebabkan beberapa bagian atap tenda inflatabel PPKK Regional hangus terkena pasir panas, sementara Tim Kesehatan sudah menyelamatkan diri.
Pengalaman pertama bapak terlibat langsung bersama Regional PPKK Provinsi Jawa Timur dalam masa tanggap darurat bencana ?
Dari pengalaman itu, saya banyak memperoleh pengalaman baru bersama teman-teman di PPKK Regional jawa Timur yang sudah tebih dulu berkecimpung di dunia bencana, dan selama ini komunikasi saya dengan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi maupun drg. MVS Mahanani cukup baik, tidak ada batas atau rasa sungkan, sebaliknya sebagai staf beliau saya juga harus manut apa yang diperintahkan.
Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kalau pengalaman menghadapi musibah bencana saya sudah pernah ketika Kabupaten Ngawi tahun 2007 dilanda banjir, namun untuk pengalaman bersama PPKK Regional Jawa Timur, pada tahun 2010 saya ikut terlibat dalam kegiatan siaga darurat Gunung Bromo di Kababupaten Probolinggo kemudian
17
Buletin InfO Krisis Kesehatan
RAGAM INFO
Hasil Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Pemantauan dan Informasi di Ppk Regional/Sub Regional Oleh: Dr. Ina Agustina Isturini, MKM
D
ata dan Informasi adalah faktor terpenting dalam pengambilan keputusan sebagai unsur dalam menentukan kebijakan strategis dan operasional, tidak terkecuali dalam upaya penanggulangan krisis kesehatan di Indonesia Dalam upaya penanggulangan krisis kesehatan sangat diperlukan data dan informasi pada saat Pra Bencana, Tanggap Darurat dan Pasca Bencana. Pada tahun 2006-2007 telah dibentuk 9 PPK Regional dan 2 PPK Sub Regional yang bertujuan untuk mempercepat dan mendekatkan fungsi bantuan pelayanan kesehatan dalam penanggulangan krisis kesehatan. Sesuai Kepmenkes No. 783 tahun 2006, salah satu tugas PPK Regional dan Sub Regional tersebut yaitu untuk menyediakan informasi kesiapsiagaan (termasuk analisis risiko dan peta rawan bencana di wilayah regionalnya) dan upaya penanggulangan krisis kesehatan serta ikut membantu melakukan pemantauan pada saat dan pasca bencana. Namun hingga saat ini, PPK Regional maupun Sub Regional belum melaksanakan fungsinya tersebut dengan optimal. Untuk itu PPK Regional dan Sub Regional perlu diperkuat peranannya dalam upaya pengembangan sistem informasi penanggulangan krisis kesehatan sehingga informasi yang dihasilkan baik pada pra bencana, saat tanggap darurat maupun pasca bencana dapat lebih cepat, tepat dan akurat. Salah satu upaya untuk meningkatkan peranan PPK Regional/sub regional yaitu dengan melakukan monitoring dan evaluasi secara langsung oleh pusat untuk melihat kendala-kendala kegiatan pemantauan dan informasi di lapangan serta menentukan rekomendasi langkah-langkah strategis dalam rangka peningkatan kualitas pemantauan dan informasi oleh PPK Regional/Sub Regional.
Tabel 1 Jumlah Tenaga Pengelol Pemantauan dan Informasi No
PPK Reg/ Sub Reg
Rentang Jumlah Tenaga
Rata-rata Jumlah Tenaga
1
9 PPK Regional
5 – 28 orang
14 orang
2
2 PPK Sub Regional
6 – 10 orang
8 orang
Latar belakang pendidikan tenaga pengelola pemantauan dan informasi di PPK Regional bervariasi dari SMA hingga S3. Tingkat pendidikan terbanyak yaitu SMA (38%) dan S1 (32%). Sedangkan latar belakang pendidikan di PPK Sub Regional dari SMA hingga S2, dengan proporsi terbesar yaitu S1 (44%) dan SMA (31%). Untuk jelasnya dapat dilihat pada grafik 1 dan 2. Grafik 1 Proporsi Latar Belakang Pendidikan Tenaga Pengelola Pemantauan dan Informasi di PPK Regional/ Sub Regional
Grafik 2 Jumlah Tenaga di PPK Regional/Sub Regional Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
Hasil dari monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut: 1. Sumber Daya Manusia
Jumlah tenaga yang mengelola PPK Regional bervariasi dengan rentang 5 orang hingga 28 orang dan rata-rata 14 orang. Sedangkan PPK Sub Regional jumlah rata-rata tenaga pengelola lebih sedikit yaitu 8 orang.
Lebih dari separuh tenaga pengelola pemantauan dan informasi PPK Regional/Sub Regional merupakan PNS, sebagaimana grafik berikut ini.
18
Buletin InfO Krisis Kesehatan
3. Kepemilikan Sarana Informasi yang
Grafik 3 Status Kepegawaian Tenaga di PPK Regional/Sub Regional
Rusak/Hilang Sejak tahun 2007, PPK Regional/Sub Regional telah dilengkapi sarana informasi berupa antara lain HT, HP Satelit, Radio Komunikasi, Komputer, Laptop, Printer, TV, Tsunami Early Warning System dan sebagainya. Kelengkapan sarana informasi tersebut tidak selalu sama tiap PPK Regional/Sub Regional. Sejumlah sarana informasi mengalami kerusakan berat yaitu printer, radkom, PC, laptop dan TEWS. Beberapa di antaranya mengalami rusak ringan yaitu HT, handycam, camera digital dan CPU. Selain itu juga terdapat sarana informasi yang hilang yaitu printer dan laptop. Rincian wilayah PPK Regional yang memiliki sarana informasi yang rusak yaitu di tabel 2.
2. Kepemilikan Pos Informasi 24 Jam Sebanyak 4 PPK Regional telah memiliki Pos Informasi 24 jam yang rutin ada baik saat bencana maupun tidak, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan. Sedangkan 4 PPK Regional lainnya hanya mengaktifkan Pos Informasi 24 jam pada saat kondisi tanggap darurat. Selain itu terdapat 1 PPK Regional yang belum memiliki Pos Informasi yaitu PPK Regional Bali. Hal ini dapat dilihat pada grafik 4.
Tabel 2 Kepemilikan Sarana Informasi yang Rusak/Hilang
No
Grafik 4 Kepemilikan Pos Informasi 24 Jam
Sejak tahun 2007, PPK Regional/Sub Regional telah dilengkapi sarana informasi berupa antara lain HT, HP Satelit, Radio Komunikasi, Komputer, Laptop, Printer, TV, Tsunami Early Warning System dan sebagainya. Kelengkapan sarana informasi tersebut tidak selalu sama tiap PPK Regional/Sub Regional. Sejumlah sarana informasi mengalami kerusakan berat yaitu printer, radkom, PC, laptop dan TEWS. Beberapa di antaranya mengalami rusak ringan yaitu HT, handycam, camera digital dan CPU. Selain itu juga terdapat sarana informasi yang hilang yaitu printer dan laptop. Rincian wilayah PPK Regional yang memiliki sarana informasi yang rusak yaitu di tabel 2.
19
Nama PPK Reg/ Sub Reg
Kepemilikan Sarana Informasi Rusak Berat
Rusak Ringan
Hilang
1
Sumut
√
√
-
2
Sumsel
√
√
-
3
DKI Jakarta
√
-
-
4
Jateng
√
√
-
5
Jatim
-
√
-
6
Kalsel
-
-
-
7
Bali
-
√
-
8
Sulut
-
-
-
9
Sulsel
√
√
√
10
Papua
√
√
-
11
Sumbar
-
-
-
4. Kepemilikan Email Khusus PPK Regional/Sub Regional
Sebagian besar PPK Regional telah memiliki email khusus atas nama PPK Regional yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Bali. Di samping itu seluruh PPK Sub Regional telah memiliki email khusus. Jelasnya dapat dilihat pada grafik 5.
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Grafik 5
Grafik 7
Kepemilikan Email Khusus PPK Regional/Sub Regional
Kepemilikan Data Pra Bencana
5. Kepemilikan Media Penyebarluasan Informasi
Sebagian besar PPK Regional dan seluruh PPK Sub Regional memanfaatkan media penyebarluasan milik Dinkes Provinsi sebagai media penyebarluasan informasi, seperti leaflet, brosur, banner, poster maupun buku. Terdapat 2 PPK Regional yang memiliki media penyebarluasan informasi khusus yaitu Jawa Timur (website ppkregjatim.dinkes. jatimprov.go.id) dan Jawa Tengah (blog ppkkr_semarang). Jelasnya dapat dilihat pada grafik 6. Grafik 6
Sebagian besar PPK Regional telah melakukan pemantauan kejadian krisis kesehatan di seluruh wilayah regionalnya. Terdapat 2 PPK Regional yang hanya memantau kejadian di Pusat Regional saja yaitu Sumatera Selatan dan Sulawesi Utara. Sedangkan Sumatera Utara melakukan pemantauan di sebagian wilayah regionalnya. Sebagai catatan, dalam implementasi di lapangan Provinsi Bengkulu masih dianggap sebagai bagian dari PPK Regional Sumatera Selatan. Padahal dalam Kepmenkes 1228 tahun 2007 telah dinyatakan bahwa Provinsi tersebut merupakan anggota dari PPK Sub Regional Sumatera Barat yang merupakan bagian dari PPK Regional Sumatera Utara. Meskipun sebanyak 6 PPK Regional telah melakukan pemantauan di seluruh wilayah regionalnya, namun hanya 3 di antaranya yang melakukan pencatatan kejadian krisis kesehatan tersebut dalam bentuk tabel bencana yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Sedangkan 3 PPK Regional lainnya yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan hanya melakukan pencatatan kejadian di Pusat Regional atau sebagian wilayah regionalnya saja.
Kepemilikan Media Penyebarluasan Informasi
Grafik 8 Pendataan Kejadian Krisis Kesehatan di PPK Regional
6. Pendataan dan Pelaporan 6.1 PPK REGIONAL Sebanyak 7 PPK Regional telah melakukan pendataan kesiapsiagaan wilayah regionalnya walau belum seluruh wilayah regional. Sebagian besar baru memiliki data kesiapsiagaan pusat regionalnya saja. Sebanyak 2 PPK Regional belum melakukan pendataan kesiapsiagaan yaitu Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Terkait kepemilikan peta rawan bencana, terdapat 1 PPK Regional yang sama sekali belum memiliki peta rawan bencana wilayahnya, yaitu Bali. Sedangkan 2 PPK Regional yaitu Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan telah memiliki peta rawan bencana di seluruh wilayah regionalnya. Jelasnya dapat dilihat pada grafik 7.
Seluruh PPK Regional telah menggunakan format pelaporan yang terdapat dalam Kepmenkes No. 064 tahun 2006 tentang Sistem Informasi PKAB. Sebanyak 8 PPK Regional selalu melaporkan kejadian krisis kesehatan ke PPKK baik itu laporan awal maupun perkembangan. Hanya 1 PPK Regional saja yang kadang-kadang melaporkan yaitu Sulawesi Utara.
20
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Grafik 9
Grafik 11
Pelaporan Kejadian Krisis Kesehatan di PPK Regional
Pelaporan Kejadian Krisis Kesehatan di PPK Sub Regional
Kesimpulan dari kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan pemantauan dan informasi di ppk regional/sub regional :
6.2 PPK SUB REGIONAL Seluruh PPK Sub Regional baru memiliki peta rawan bencana di sebagian wilayah sub regionalnya. Untuk data kesiapsiagaan, hanya Sumatera Barat yang telah memiliki data tersebut untuk seluruh wilayah kerjanya. Seluruh PPK Sub Regional telah melakukan pemantauan di seluruh wilayah kerjanya, namun hanya Papua yang telah mencatat kejadian krisis kesehatan di wilayahnya dalam bentuk tabel bencana. Untuk jelasnya dapat dilihat di grafik 10.
1. Sistem pelaporan PPK Regional/sub Regional belum ditetapkan dalam Sistem Informasi PKKAB yang berlaku. Selain itu belum ada biaya khusus untuk sistem informasi di PPK Regional/Sub Regional. Sehingga terjadi beberapa masalah dalam implementasi, seperti : a. Tidak ada PPK Regional yang telah mendata kesiapsiagaan di seluruh wilayah kerjanya dan hanya 2 PPK Regional yang memiliki peta rawan bencana di seluruh wilayahnya. b. Baru sebagian kecil yang telah melakukan pencatatan kejadian krisis kesehatan di seluruh wilayah kerjanya. c. Provinsi anggota maupun PPK Sub Regional tidak otomatis melaporkan kejadian krisis kesehatan pada PPK Regional tempat mereka bernaung.
Grafik 10 Pendataan Pra Bencana serta Kejadian Krisis Kesehatan di PPK Sub Regional
2. Sarana komunikasi yang ada masih belum memadai. Belum ada jaringan telpon dan faksimili di sejumlah PPK Regional. Selain itu beberapa sarana komunikasi di PPK Regional/ Sub Regional mengalami kerusakan berat maupun ringan
Seluruh PPK Sub Regional selalu melaporkan kejadian krisis kesehatan baik awal maupun perkembangan pada PPKK Kemenkes. Namun mereka hanya kadang-kadang saja melaporkannya pada PPK Regional mereka. Hal ini terlihat pada Grafik 11
3. Posisi Bengkulu dalam Kepmenkes No. 783/2006 merupakan bagian dari PPK Regional Sumatera Selatan. Kemudian dalam Kepmenkes No. 1227/2007, Bengkulu ditetapkan sebagai bagian dari PPK Sub Regional Sumatera Barat yang merupakan bagian dari PPK Regional Sumatera Utara. Dalam Kepmenkes terbaru tersebut tidak ditegaskan apakah posisi Bengkulu berubah dari Sumsel menjadi Sumut. Hal ini menimbulkan kerancuan dalam implementasi pelaksanaan pemantauan dan informasi di lapangan. Karena posisi Bengkulu menjadi berada dalam 2 PPK Regional.
Monev Pemantauan dan Informasi di PPKK Sub Regional Papua
Rekomendasi Rencana Tindak Lanjut a. Agar ditetapkan posisi PPK Regional dan Sub Regional dalam sistem informasi PKKAB b. Agar dilakukan pemantauan kondisi sarana komunikasi secara berkala dan dilakukan pemeliharaan. c. Agar disediakan biaya khusus terkait pemantauan dan informasi. d. Agar ditetapkan secara tegas posisi bahwa sejak ditetapkannya Provinsi Bengkulu sebagai bagian dari PPK Sub Regional Sumbar maka otomatis Provinsi tersebut menjadi bagian dari PPK Regional Sumatera Utara.
21
Buletin InfO Krisis Kesehatan
RAGAM INFO
Ke Daerah Bencana bisa bikin badan langsing ? oleh: Dodi Iriyanto Tim Kesehatan Kementerian Kesehatan bersama TNI memindahkan jenazah korban Shukoi SJ 100 di Posko Pasir Pogor, Cijeruk, Bogor ke pesawat Helikopter untuk di evakuasi ke Jakarta. (dok.PPKK-Kemkes)
B
agi petugas kesehatan yang biasa bertugas di daerah bencana, memiliki berat badan melebihi berat ideal akan sangat mempengaruhi gerak tubuh, ketika beraktifitas pada kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan fisik. karena kondisi di daerah bencana banyak keterbatasan, misalnya akibat terputusnya jalur transportasi sehingga sulit memperoleh sarana angkutan, minimnya ketersediaan air dan listrik, rusaknya infrastruktur ekonomi masyarakat dan instalasi kesehatan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan bencana, sebagai contoh saat kejadian banjir bandang di Wasior yang merusakkan infrastruktur pelayanan masyarakat seperti kantor pemerintah, pasar, Puskesmas sangat menyulitkan petugas kesehatan yang bertugas untuk memberikan pelayanan kesehatan. Pemulihan pelayanan Puskesmas yang terkubur lumpur menuntut tenaga kesehatan bekerja ekstra keras secara fisik untuk membersihkan Puskesmas dengan peralatan tradisonal, begitu juga kondisi udara yang cukup panas serta ketersediaan bahan pangan sangat sulit didapat, menuntut ketahanan fisik yang prima. Kondisi tersebut, banyak dijumpai pada daerah yang mengalami bencana dan menjadi tantangan tersendiri bagi siapapun untuk bisa beradaptasi dalam keterbatasan, tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Dampak bencana sebagaimana tersebut di atas secara tidak langsung
dapat mengakibatkan berkurangnya berat badan. Pernyataan ini masih memerlukan pembuktian melalui penelitian. Akan tetapi dari kisah yang dituturkan oleh Tim Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan yang kerap bertugas ke daerah bencana, pernyataan di atas ada benarnya. Lalu faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab menurunnya berat badan itu. Inilah penyebab : 1.
Aktifitas kerja fisik dan fikiran yang tidak mengenal waktu, dimulai pukul 08.00 sampai larut malam diakhiri dengan kegiatan koordinasi dan evaluasi, menyiapkan laporan kegiatan harian, yang dilakukan secara berulang-ulang selama masa penugasan menyebabkan kelelahan fisik dan berakibat berkurangnya nafsu makan.
2.
Tuntutan tugas yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan sarana, bisa menyebabkan seseorang berada dalam tekanan secara kejiwaan sehingga menyebabkan stress dan depresi. Keadaan ini dapat berakibat berkurangnya nafsu makan dan tidak jarang diikuti dengan diare.
3.
Penugasan ke daerah bencana yang terlalu lama, menyebabkan seseorang merindukan kampung halamannya ( homesickness ). Akumulasi rasa rindu yang tidak
22
dapat diwujudkan menyebabkan berkurangnya nafsu makan. 4.
Pola makan yang tidak teratur sebagai akibat tuntutan tugas dan tidak adanya pilihan jenis makanan yang memenuhi menu sehat dapat menyebabkan berkurangnya asupan gizi.
5.
Kondisi cuaca panas bila tidak diimbangi dengan asupan air yang mencukupi dapat menyebabkan kekurangan cairan menyebabkan dehidrasi, dan dapat menyebabkan sakit yang pada akhirnya berpengaruh pada berat badan.
6.
Kondisi lingkungan yang rusak dan tidak sehat, akibat bencana memunculkan ancaman terjangkit penyakit yang dapat menyebabkan berkurangnya berat badan, contohnya diare.
Apa yang tertulis di atas merupakan rangkuman dari cerita pengalaman yang disampaikan oleh teman-teman tim kesehatan, dan selalu berulang ketika mendapat penugasan kembali. Bagi siapa saja yang punya keinginan untuk membuktikannya bisa ikut terlibat dalam kegiatan penanggulangan krisis kesehatan di daerah bencana. Anjuran dari penulis sebaiknya dihindari terjadinya penurunan berat badan secara tidak wajar, antisipasi dan kesiapan diperlukan bagi siapa saja yang akan bertugas ke daerah bencana, semoga bermanfaat.
RAGAM INFO
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Di Balik Keindahan Gunung SaLaK dan Fenomena “Wisata Bencana” oleh: dr. Adi Sopiandi
Gunung salak merupakan salah satu gunung berapi yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Karena keindahan gunung yang memiliki ketinggian 2.221 meter ini, sering menjadi salah satu tempat pendakian bagi para pecinta alam. Sekitar kaki Gunung Salak memiliki obyek alam yang menjadi daya tarik wisatawan di antaranya Kawah Ratu, Curug seribu, Curug Ngumpet, dan Curug Ciganea.
N
amun di balik keindahan Gunung Salak ini sering terjadinya kecelakaan pesawat yang berujung maut. Beberapa kejadian kecelakaan pesawat yang terjadi di sekitar Gunung Salak antara lain: 1. Helikopter Sikorsky S-38 jenis Twinpac dengan nomor H-3408 milik TNI Angkatan Udara jatuh di pangkalan udara militer Atang Sanjaya Bogor yang terletak di kaki Gunugn Salak pada tanggal 29 Oktober 2003. Kecelakaan ini menyebabkan tujuh anggota TNU AU meninggal dunia. 2. Pesawat Cessna 185 Skywagon jatuh di Danau Lido Cijeruk, Bogor pada tanggal 20 Juni 2004. 3. Pesawat Cassa TNI AU A212-200 jatuh di kawasan Gunung Salak Bogor pada tanggal 26 Juni 2008 yang menyebabkan 18 penungpang tewas. 4. Pesawat latih jenis Sundowner jatuh di daerah Tenjo, Bogor pada tanggal 30 April 2009 5. Heli Puma milik TNI AU jatuh dikawasan Lanud Atang Senjaya. Dalam kecelakaan ini menyebabkan 2 orang tewas dan 5 orang mengalami luka-luka. 6. Pesawat Sukhoi Superjet 100 yang sedang joy flight jatuh di lereng Gunung Salak. Kejadian ini terjadi pada tanggal 9 Mei 2012 yang menewaskan seluruh penumpang yang berjumlah 45 orang.
Kejadian terakhir yaitu jatuhnya Pesawat Sukhoi Superjet 100 merupakan kejadian yang paling banyak menelan korban. Pesawat ini dikabarkan hilang kontak dengan menara pengawas saat melakukan penerbangan “Joy Flight” yang kedua setelah kembali ke Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma pada tanggal 9 Mei 2012 sekitar pukul 14.33 WIB. Kejadian ini mendapatkan perhatian khusus bagi Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Rusia. Tim SAR terus malakukan pencarian tempat jatuhnya pesawat. Setelah ditemukan titik jatuh pesawat, ditetapkan lapangan bola di Pasir Pogor, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor menjadi Pos Evakuasi untuk mengevakuasi korban ke Lanud Halim Perdanakusuma. Sehentak desa ini menjadi ramai dipadati oleh anggota TNI, anggota Polri, anggota SAR, Tim Kesehatan, relawan, wartawan serta masyarakat yang datang untuk melihat langsung proses evakuasi. Tidak dapat terelakan jalan menuju lokasi ini mengalami kemacetan karena padatnya lalu lintas oleh kendaraan baik kendaraan petugas, wartawan maupun warga. Warga yang melihat kelokasi bukan hanya warga sekitar, akan tetapi tidak sedikit warga yang berasal dari Kota Bogor, Sukabumi, Jakarta bahkan dari Bandung. Dari kejadian jatuhnya pesawat Sukhoi ini penulis melihat adanya sebuah fenomena yang menarik, yaitu ”wisata bencana”. Masyarakat berbondongbondong ke lokasi Pos Evakuasi bukan untuk menolong petugas dalam proses evakuasi tetapi hanya untuk menonton dan melihat helikopter yang datang
23
dan pergi silih berganti. Kedatangan masyarakat ini menyebabkan petugas yang bekerja harus ektra keras karena petugaspun harus mengatur dan mengawasi “penonton” agar tidak terjadinya “bencana” susulan. Namun disisi lain penulis juga melihat dengan adanya “wisata” ini menjadi berkah tersendiri bagi pedagang yang menyajikan minuman maupun makanan menjadi laris. Wisata bencana ini merupakan kondisi yang kontraproduktif. Bagi “penonton” bencana menjadi sarana hiburan yang murah meriah, bagi pedagang merupakan berkah karena larisnya barang dagangan. Namun bagi petugas, wisatawan bencana ini mengganggu kerja mereka yang mengakibatkan penangulangan bencana bertambah sulit dan terhambat. Sedangkan bencana membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Para “penonton” terkadang sangat sulit diatur serta himbauan dari petugas pun sama sekali tidak dianggap. Apabila terjadi “bencana” susulan siapa yang harus dipersalahkan?
Kerumunan Warga “Menonton” Proses Evakuasi Korban Jatuhnya Pesawat Sukhoi
Buletin InfO Krisis Kesehatan
RAGAM INFO
Kerentanan atau Ketahanan? oleh: dr. Mohammad Imran S. Hamdani
B
encana gempa terjadi dengan kekuatan yang dapat merubuhkan beberapa rumah yang belum berkonstruksi tahan gempa. Tidak semua rumah rusak, masih banyak yang tampak berdiri tegar, hanya terlihat sedikit keretakan. Beberapa orang tertimpa reruntuhan rumahnya akibat gempa yang datang tanpa peringatan saat warga sedang terlelap. Sesaat setelah itu, suasana hening menguasai udara dini hari. Hanya terdengar suara-suara retakan bata dan genteng diiringi hembusan debu yang terlepas dari dinding rumah yang retak. Tak lama mulai terdengar beberapa orang berteriak mencari keluarganya. Warga, sesuai pengetahuan yang
Berbicara mengenai kerentanan masyarakat maka kita akan meletakkan titik tumpu pada dampak bencana atau kerusakan lingkungan terhadap masyarakat atau pada kebutuhan mereka dalam keadaan darurat dan pasca bencana.
pernah dilatihkan, mulai bergerak tanpa komando untuk mencari dan menyelamatkan tetangganya yang mungkin tertimpa reruntuhan. Beberapa orang terlihat membantu korban yang terluka dan mencoba menenangkan kerabatnya. Ketua RT mengkoordinir warganya memberikan bantuan dan melaporkan kejadian yang dialami kepada level yang lebih tinggi. Masyarakat menolong dirinya sendiri. Masyarakat mandiri yang berusaha keluar dari permasalahan yang dihadapi saat terjadi bencana dengan kesadaran penuh. Seseorang menolong tetangganya yang berada dalam kesusahan meskipun dia sendiri
dan keluarganya sedang mengalami kesusahan yang sama. Dalam konteks bencana, masyarakat dalam arti yang lebih spesifik memiliki makna sekelompok orang yang hidup dalam wilayah yang sama dan berada dekat dengan risiko bencana. Oleh karena itu, masyarakatlah yang paling depan - face to face dengan dampak bencana. Mereka berisiko menjadi korban baik meninggal, cedera maupun pengungsi saat bencana menyerang. Kerentanan ini ditambah lagi dengan kondisi geografis Negara kepulauan ini yang dikepung oleh lempeng aktif dan gunungapi yang dapat menyergap setiap saat. Berbicara mengenai kerentanan masyarakat maka kita akan meletakkan titik tumpu pada dampak bencana atau kerusakan lingkungan terhadap masyarakat atau pada kebutuhan mereka dalam keadaan darurat dan pasca bencana. Disisi lain, masyarakat memiliki potensi positif untuk mencegah bencana, mengurangi dampak bencana, bergotong royong menjadi responder, dan berpartisipasi aktif dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Potensi positif tersebut sudah dimiliki oleh bangsa ini sejak nenek moyang kita lahir. Sayang sekali bahwa nilai-nilai ini mulai memudar ditengah badai modernisasi yang menuntut perubahan yang cepat seiiring dengan perkembangan teknologi yang tidak bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Kemampuan masyarakat untuk kembali menjalankan fungsi dasarnya saat bencana dan mampu bangkit kembali setelah terjadi bencana dikenal dengan ketahanan masyarakat terhadap bencana. John Twigg menggambarkan
24
bahwa ketahanan masyarakat terhadap bencana dapat dipahami sebagai (a) kemampuan masyarakat mengantisipasi, meminimalisir, dan beradaptasi terhadap tekanan atau dampak bencana; (b) kemampuan masyarakat untuk mengelola atau mempertahankan fungsi dasar saat bencana; dan (c) kemampuan masyarakat untuk melenting kembali untuk menjadi lebih baik setelah bencana. Berfokus kepada ketahanan berarti bahwa menempatkan penekanan lebih besar pada apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri dan bagaimana memperkuat kapasitas mereka. Kerentanan dan ketahanan masyarakat seperti dua sisi mata uang yang berbeda namun memiliki keterkaitan. Kerentanan masyarakat dapat tereduksi dengan meningkatkan ketahanannya. Seperti halnya kerentanan, ketahanan juga bersifat kompleks dan multi sektor. Visi Kemenkes dalam krisis kesehatan Visi Kementerian Kesehatan adalah masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Masyarakat yang mandiri dimulai dari masyarakat yang sehat. Hanya masyarakat yang sehat yang dapat berperan aktif dalam mengurangi,
Berfokus kepada ketahanan berarti bahwa menempatkan penekanan lebih besar pada apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri dan bagaimana memperkuat kapasitas mereka.
Buletin InfO Krisis Kesehatan
beradaptasi terhadap tekanan, menjalankan fungsi dasarnya dan melenting kembali pada kehidupan yang lebih baik setelah bencana. Masa depan penanggulangan bencana yang dapat mengakibatkan krisis kesehatan dapat dicapai secara lebih cepat dan efektif dengan cara mempertajam fokus pada penanggulangan bencana yang berbasis ketahanan masyarakat. Mengapa bukan berbasis pada kerentanan? Tentu saja bukan berarti bahwa kerentanan tidak perlu diperhatikan. Pendekatan kerentanan merupakan bentuk respon kepada masyarakat saat terkena bencana. Pendekatan ini melihat masyarakat sebagai objek yang perlu mendapat bantuan bukan subjek yang dapat berperan aktif dalam penanggulangan bencana. Dapat dikatakan bahwa pendekatan kerentanan merupakan pendekatan berbasis kebutuhan masyarakat pada saat terjadi bencana. Visi Kemenkes dapat diurai menjadi dua hal yaitu masyarakat sehat yang mandiri dan masyarakat sehat yang berkeadilan. Masyarakat sehat yang mandiri, mencerminkan pencapaian partisipasi masyarakat secara aktif dalam menyehatkan diri dan lingkungannya termasuk dalam aktivitas penanggulangan bencana oleh masyarakat. Masyarakat sehat yang berkeadilan dapat mengandung makna bahwa setiap orang dalam berbagai tingkatan dan status dalam masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan perlakuan yang sama terkait kesehatan. Termasuk didalamnya adalah mendapatkan pelayanan kesehatan saat bencana tanpa melihat statusnya dalam masyarakat. Dus, ketahanan masyarakat merupakan prioritas diikuti dengan perhatian terhadap kerentanannya yang tersirat dalam visi Kemenkes. Pendekatan berbasis ketahanan masyarakat Pendekatan untuk membangun daya tahan masyarakat terhadap bencana dapat dilakukan dengan cara (a) pengembangan kebijakan, strategi dan penguatan komitmen; (b) alokasi tanggungjawab pada setiap level; (c) mengintegrasikan ketahanan masyarakat terhadap bencana dalam kebijakan dan strategi umum; dan (d)
mengembangkan partnership dengan akademisi, LSM dan sektor swasta. Nilai-nilai dasar dan budaya yang sudah berakar ditengah-tengah masyarakat dapat dikembangkan sebagai bentuk awareness masyarakat sendiri dalam memandang lingkungannya yang rawan. Sebagai contoh, masyarakat yang hidup di kaki Gunung Merapi tidak memandang Gunung Merapi sebagai bahaya sehingga dapat dipahami mengapa masyarakat disana tetap kembali ke rumahnya meskipun lingkungannya hancur dihempas awan panas. Gunung Merapi yang sedang mengeluarkan kepulan asap, oleh
...masyarakat yang hidup di kaki Gunung Merapi tidak memandang Gunung Merapi sebagai bahaya sehingga dapat dipahami mengapa masyarakat disana tetap kembali ke rumahnya meskipun lingkungannya hancur dihempas awan panas. masyarakat dianggap bahwa Merapi sedang melangsungkan hajat. Merapi akan mengeluarkan berkah pasir dan material lain yang dapat menyuburkan tanah ladangnya dan menghidupkan perekonomian. Masyarakat pun melakukan interaksi yang terlihat sebagai proses ritual -yang tidak lekang oleh perkembangan kehidupan modern, dengan harapan bahwa hajatan Merapi tersebut dapat melimpahkan keberkahan di tanah mereka sekaligus memohon agar terhindar dari marabahaya. Aktivitas masyarakat di Gunung Merapi tersebut dapat dikonversi ke dalam bentuk kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman letusan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dipergunakan dengan sebaik dan sebijak mungkin untuk membantu masyarakat meningkatkan kewaspadaannya. Banyak nilai-nilai dan budaya luhur dalam masyarakat yang dikenal dengan kearifan lokal terkait dengan bencana. Masyarakat di sekitar Gunung Awu memandang Gunung Awu sebagai penjaga nilai-nilai moral mereka, letusannya merupakan tanda adanya pelanggaran terhadap nilai moral. Kita masih teringat masyarakat
25
Pulau Simeleu yang selamat dari terjangan tsunami pasca gempa pada akhir tahun 2004 karena mengikuti nilai-nilai dan budaya yang tetap terjaga sampai saat ini. Pemerintah termasuk Kementerian Kesehatan dan jajarannya harus jeli membaca dan menyikapi nilai-nilai dan budaya lokal dalam rangka perumusan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana (krisis kesehatan) berbasis ketahanan masyarakat yang implementatif. Mengintegrasikan kegiatan-kegiatan penanggulangan bencana ke dalam program Desa Siaga merupakan salah satu bentuk pengejawantahan pengurangan risiko bencana berbasis ketahanan masyarakat bidang kesehatan. Perlu penguatan perumusan kebijakan dan strategi serta penyusunan langkah-langkah konkrit yang berbasis bukti ilmiah dan ilmu pengetahuan dengan melibatkan peneliti dan akademisi. Langkahlangkah itu dapat berupa penilaian risiko berbasis karakteristik wilayah dan kependudukan, pengembangan pengetahuan dan edukasi berbasis kultur dan perilaku, dan integrasi manajemen risiko ke dalam programprogram reguler. Tidak ada masyarakat yang aman secara penuh dari ancaman bencana baik alam, non alam maupun manusia. Namun demikian, bukan hal yang mustahil, bahwa suatu saat kemandirian masyarakat terhadap kejadian bencana -seperti cerita singkat pada paragraf awal - dicapai dengan diawali oleh komitmen bersama semua pihak dan diikuti dengan langkah-langkah yang konkrit. Cerita itu mungkin pernah terjadi atau hanya khayalan tentang masa depan. Hal yang terpenting adalah apa yang bisa kita lakukan saat ini untuk masa depan yang lebih baik. Referensi: Indiyanto, Agus. Kajian Integratif Ilmu Agama, Sosial dan Budaya: Respon Masyarakat Lokal Atas Bencana. Jakarta. 2012 Kartasasmita, Ginanjar. Karakteristik dan Struktur Masyarakat Indonesia Modern. Disampaikan pada uji sahih penyusunan konsep GBHN 1998. Yogyakarta. 1997 Twigg, John. Characteristics of a DisasterResilient Community. Page 8-14. London. 2009
Buletin InfO Krisis Kesehatan
Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian KeSehatan Jl. HR. Rasuna Said Blok X5, Kav. No. 4-9, Blok A Lantai VI Ruang 601, Jakarta 12950 Telp. (021) 5265043, 5210411, 5210394 Fax. (021) 5271111, 5210395 E-mail :
[email protected] Website : www.penanggulangankrisi.depkes.go.id