TERBIT DUA BULANAN
EDITORIAL
Bencana: Konsep Penanganan dan Mitigasinya Pembaca yang budiman,
mang hidup di wilayah yang rawan bencana.
Setelah letusan Gunung Api Merapi mereda, tanah air Indonesia kembali diguncang bencana alam besar: gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami di kawasan selatan Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah. Sementara itu, bencana yang berkaitan dengan fenomena geologi, seperti semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, belum juga berhenti. Dalam suasana duka karena bencana-bencana tersebut, Warta Geologi (WG) kini hadir kembali menemui Anda semua.
Dalam literatur-literatur tentang mitigasi bencana (lihat misalnya: Wikipidea) dinyatakan bahwa mitigasi (bencana) adalah bagian dari manajemen bencana (disaster management) atau manajemen darurat (emergency management). Manajemen bencana meliputi: penyiapan, dukungan, dan pembangunan kembali suatu masyarakat yang terkena bencana alam (natural disaster) atau bencana buatan (man-made disaster). Manajemen bencana adalah suatu proses yang harus diselenggarakan terus menerus oleh segenap pribadi, kelompok, dan komunitas dalam mengelola seluruh bahaya (hazards) melalui usaha-usaha meminimalkan akibat dari bencana yang mungkin timbul dari bahaya tersebut (mitigasi).
Kita memang hidup di kawasan rawan bencana. Karena itu, upaya-upaya pemahaman yang mendalam tentang bahaya-bahaya kebumian (geo-hazards) dan konsep penanganan bencana yang ditimbulkannya sangat penting untuk terus menerus ditingkatkan. Di dalam peraturan tentang organisasi tatalaksana kepemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, aspek terkait geo-hazards ini tercakup dalam istilah “bencana geologi”. Dalam peraturan tersebut, salah satu satuan kerja di bawah Badan Geologi bernama “Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi”. Kinerja yang optimal dalam penanganan bencana memerlukan pemahaman yang lengkap tentang makna berbagai istilah dan implikasinya. Istilah-istilah seperti “bahaya” dan “bencana” menyiratkan tahap-tahap tertentu dari langkah penanggulangan kejadian bencana, baik sebelum, selama, dan sesudahnya. Semuanya harus dipahami secera proporsional. Sementara itu, hasil-hasil di bidang penanganan bencana, perlu disosialisasikan untuk diketahui bersama seluruh komponen masyarakat. Dengan demikian, sesesuai dengan falsafah bahwa penanganan bencana merupakan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat, setiap anggota masyarakat berpeluang mengetahui dan berkontribusi dalam penanganan bencana. Fokus Kita WG edisi keempat ini memperbincangkan konsep penanganan bencana, bahaya geologi dan mitigasi bencana geologi di Indonesia. Melalui kaji ulang tentang kebencanaan ini, khususnya bencana geologi, akan diperoleh umpan balik gambaran tentang apa yang dimiliki, kerangka persoalan yang dihadapi, agenda, dan prioritas pelaksanaan upaya dalam rangka mitigasi bencana geologi dan kinerja manajemen bencana yang baik. Pembaca yang budiman, Tatanan geologi Indonesia yang terletak di atas tiga lempeng tektonik, selain memberikan sumber daya kebumian (geo-resources) yang kaya, dan lingkungan bumi (geo-environment) yang beranekaragam, juga ancaman bahaya kebumian (geo-hazards) yang sangat tinggi, baik ragam maupun persebarannya. Besarnya bahaya geologi Indonesia dan tingginya frekuensi kejadian bencana yang diakibatkannya merupakan bukti bahwa kita memang me-
Mitigasi adalah bagian atau salah satu tahap dalam penanganan bencana. Tahap mitigasi - dalam maknanya yang berarti kesiapsiagaan atau kewaspadaan - adalah cara yang murah dalam mengurangi akibat bahaya-bahaya yang dihadapi masyarakat dibandingkan dengan tindakan lainnya, seperti: evakuasi, rehabilitasim dan rekonstruksi. Mitigasi harus dilakukan baik secara bersama-sama melalui agenda Pemerintah, maupun sendiri-sendiri; baik saat dan paska kejadian, maupun sebelum kejadian. Karena itu, konsep mitigasi dan tahap lainnya dari manajemen bencana, serta irisan dan kesalingterkaitan diantara tahapan-tahapan tersebut perlu dipahami sebelumnya oleh siapa pun yang terlibat dalam penanganan bencana. Seluruh geo-hazards atau potensi bencana (disaster) tersebut harus dinilai atau dievaluasi serta dikelola dengan baik agar tidak berkembang menjadi bencana. Penilaian tersebut berkenaan dengan aspek fisik bumi sebagai fokus perhatiannya dikenal sebagai analisis geo-risk. Identifikasi geo-risk, sebagaimana identifikasi resiko-resiko lainnya, memang merupakan salah satu indikator berlangsungnya suatu mitigasi bencana dalam makna yang luas. Profil WG kita kali ini tentang tokoh yang banyak berkiprah dalam kajian geo-risk melengkapi informasi yang diperlukan tentang mitigasi bencana, khususnya bencana geologi. Pembaca yang budiman, Selain menampilkan profil kita kali ini, Ir. Hardoyo R, fokus kita, beberapa artikel khas kegeologian, WG edisi keempat ini juga menyajikan berita-berita di sekitar aktivitas unit-unit berikut staf-stafnya di lingkungan Badan Geologi menjelang peringatan ulang tahun kemerdekaan Republuk Indonesia yang ke-61, 17 Agustus 2006. Dalam WG edisi kali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporanlaporan kegiatan koordinasi, dan kepemerintahan Badan Geologi. Selain itu, WG edisi ke-4 ini mulai menyajikan rubrik baru, yaitu: geologi populer dan wawasan. Selamat menikmati Warta Geologi edisi keempat! Oman Abdurahman WARTA GEOLOGI, JULI 2006
1
PROFIL Ir. Hardoyo Rajiowiryono, M.Sc.
Mengenalkan Geo-risk sebagai bagian dari Mitigasi Bencana Dalam rangka menyiapkan bahan Profil, WG yang diwakili oleh Joko Parwata dan Bunyamin, telah diterima oleh Pak Hardoyo di gedung Pusat Lingkungan Geologi (PLG) untuk wawancara. Berikut ini transkripsi wawancara dengan beliau: Tanya (T): Bisa bapak ceritakan tentang keluarga Bapak?
Profil dalam kesempatan kali ini menampilkan Pak Hardoyo. Beliau memiliki nama lengkap Ir. Hardoyo Rajiowiryono, M.Sc., dan saat ini menyandang tugas sebagai Kepala Bidang Informasi pada Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi. Dalam lingkup tugas yang diembannya, Pak Hardoyo sebelumnya hingga saat ini terlibat secara aktif dalam kegiatan geo-risk (geohazard risk) yang merupakan kerja sama di bawah payung GTZ antara Pemerintah Jerman yang diwakili oleh BGR dan Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh DESDM (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral). Kegiatan geo-risk sangat erat terkait - bahkan merupakan bagian dari - mitigasi bencana. Sebagaimana akan kita lihat nanti, apa yang terkandung dalam Profil kali ini menunjang Fokus Kita nomor ini yang membahas seputar mitigasi bencana geologi, khususnya berkenaan dengan aspek geo-risk. Dalam pencarian bahan sumber penulisan Profil WG kali ini, redaksi menggunakan metode wawancara seperti biasanya, namun dalam penuangannya ada sedikit perbedaan. Kali ini redaksi mencoba menurunkan hasil wawancara dengan cara hampir apa adanya sebagaimana wawancara tersebut telah dilakukan. Beberapa tambahan narasi sebagai pengantar atau catatan, apabila dipandang perlu, disertakan pada setiap pertanyaan atau butir-butir substansi yang ditanyakan dalam wawancara (tulisan miring). Selamat membaca!
2
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
Jawaban ( J): Istri saya satu, namanya Endang Lestari sebagai ibu rumah tangga. Anak saya dua dan keduanya laki-laki. Anak-anak saya tidak ada yang mengikuti jejak bapaknya. Anak yang pertama namanya Aditio Baskoro Hardoyo, bulan Agustus lalu baru lulus dari Desain Komunikasi Visual, STISI, Bandung. Dia memang punya hobby fotografi. Anak yang kedua, Pradipto Isworo Hardoyo, juga kuliah di jurusan yang sama dengan kakaknya tetapi sekarang baru Semester 5 di STTN. Sama dengan kakaknya, dia suka gambar tetapi gambar yang bergerak, ya mungkin di bidang film. Pak Hardoyo bersama keluarga bertempat tinggal di Jln. Sepakbola No. 7 Arcamanik, Bandung 40293, Telepon: 022-7208732. T: Asal Bapak? J: Saya lahir di Solo. Istri juga asal Solo. Kami bertemu saat kuliah di UGM. Pak Hardoyo lahir di Surakarta (Solo) tanggal 30 Oktober 1950. T: Apa obsesi Bapak yang belum tercapai?
PROFIL Dalam jawaban Pak Hardoyo di bawah ini tergambar cita-cita beliau tentang peran geologi dalam pembangunan. Geologi seharusnya menjadi dasar pengembangan wilayah/penataan ruang. J: Saya ingin Peranan Geologi dalam Penataan Ruang dan Lingkungan menonjol dalam pembangunan. Selama ini di Indonesia peranannya sangat kurang, karena disini kita punya kebiasaan “sesuatu” kalau belum diatur oleh institusinya, maka dianggap belum ada peraturannya. Kelemahannya di situ. Saya ambil contoh, di Malaysia ada yang namanya Town Planning Act. Di situ disebutkan bahwa “setiap pembangunan kota baru atau perluasan wilayah perkotaan harus memperhatikan kondisi bawah permukaan (sub surface)”. Dan setiap orang di sana sudah tahu bahwa kalau berbicara bawah permukaan itu berarti berbicara geologi. Dan departemen yang menangani hal ini adalah Departemen Geologi Malaysia. Jadi kalau ada apa-apa ya... langsung ke Departemen Geologi-nya bukan ke yang lainnya. Sementara di Indonesia masing-masing sektor berusaha membuat peraturan, masing-masing peraturan itu tumpang-tindih dan berbeda. Dan kita (Badan Geologi red.) yang belum memiliki Undang-Undang Geologi, oleh orang dianggap tidak memiliki kewenangan untuk mengatur Geologi untuk macam-macam kegunaan, nah ini yang jadi masalah utama. T: Oh, ya...bagaimana ceritanya Bapak bisa tertarik menjadi geolog? Selain menceritakan asal mula ketertarikannya dalam bidang geologi, Pak Hardoyo dalam jawaban beliau di bawah ini menceritakan hasil temuan (metode) beliau yang dijadikan rujukan dalam aplikasi geologi untuk tata ruang di Indonesia. Riwayat pendidikan dan karir beliau selengkapnya disertakan di bagian akhir jawaban ini sebagai catatan tambahan. J: Saya memang beda, sejak kelas 3 SMA saat kumpul-kumpul bersama teman dan ditanya mau milih melanjutkan sekolah kemana. Kita berpikir bahwa Indonesia itu sumber dayanya sangat banyak. Kita ngertinya waktu itu cuman
sumber daya, belum tahu bagian-bagiannya, apa yang di bawahnya, dll. Ya…. Sebetulnya saya sudah berpikir untuk mengembangkan resources Indonesia, khususnya bawah permukaan. Setelah menamatkan SMA-nya, Pak Hardoyo melanjutkan pendidikannya di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada dan selesai sebagai sarjana geologi pada Tahun 1980. Kemudian beliau melanjutkan studinya di Department of Geology, University of Wollongong, Australia dengan meraih gelar master science (honours) in geology, majoring in environmental geology, pada Tahun 1990. Tahun 1978 sewaktu kuliah tingkat 5 saya bersama teman-teman diajak Caltex untuk keliling Indonesia melihat pertambangan minyak. Ada 15 mahasiswa dari UGM, 15 dari ITB. Ya, ceritanya mau direkrut mereka. Setelah jalan-jalan
itu bukannya tertarik bekerja di perminyakan tetapi justru saya tidak tertarik kerja di sana karena suasana kerja yang tidak sesuai dengan hati. Waktu itu aturannya memang amat ketat. Para pegawai ditempatkan di mess khusus dan tidak bercampur dengan dunia luar. Setelah itu saya mulai membaca mengenai berbagai hal, terutama tulisannya Pak Suharto Wongso Sentono dan Pak Mulyono Purbo, yang secara tidak langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian waktu membuat tesis, saya mengajukan judul Geologi untuk Tata Ruang, dan saya kira waktu itu merupakan tesis yang pertama dibuat mahasiswa. Kemudian kerja membawa saya masuk ke Geologi (DGTL: Direktorat Geologi Tata Lingkungan) tahun 1981 dan kebetulan ditempatkan di geologi lingkungan. Apa yang membuat semakin mantap adalah hasil survei saya tahun 1983, dipaWARTA GEOLOGI, JULI 2006
3
PROFIL kai dasar untuk penyusunan Tata Ruang Kabupaten Serang dan Kota Cilegon. Semua departemen yang terlibat dan terkait melakukan rapat dipimpin langsung oleh Bapak Emil Salim. Hasil rapat ternyata memilih usulan metode dan survei saya. Ya, bangga karena dianggap terbaik oleh Bapak Emil Salim mengalahkan yang lain termasuk dari Kimpraswil. Kelebihan survei saya adalah adanya faktor pendukung (supporting factor) dan faktor kendala (risk factor). Saya tunjukkan dalam usulan saya bagaimana topografinya, fondasinya, air tanahnya, dan rawan longsor atau tidak. Saya udah bisa ngomong begitu waktu itu. Di sini pantainya lunak..jadi rawan erosi. Ya..setiap tempat saya kasih skor, atau bobot sehingga rapat yang dipimpin Bapak Emil Salim memilih usulan saya. Ini yang sekarang saya tekuni dan kembangkan, apalagi dengan adanya Sistem Informasi Geografis menjadi tool untuk analisis, metode ini jadi semakin berkembang. Sejak masuk di DGTL (PLG sekarang), DESDM, 1981, riwayat pekerjaan Pak Hardoyo berturut-turut adalah sebagai berikut: Staf Seksi Geologi Lingkungan Pantai (1981-1993), Kepala Seksi Geologi Lingkungan Perkotaan (1993-1998), Kepala Sub Dit Analisis dan Informasi (19982001), Pejabat Harian (PH) Kepala Sub Direktorat Geologi Lingkungan Perkotaan dan Daerah (2000-2001), Kepala Sub Direktorat Geologi Lingkungan Perkotaan dan Regional (2001-2005), dan Kepala Bidang Informasi (2001-sekarang). Di lingkungan tugas-tugas non struktural, Pak Hardoyo juga sangat aktif. Hal ini terlihat dari karir beliau sebagai berikut: Anggota Tim Teknis Amdal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (1993–kini), Pimpinan Redaksi Buletin Tata Lingkungan (1994-1998), Anggota Tim Penelitian Laut Indonesia (19941996), Anggota Tim Evaluasi Pembangunan Bandung Utara dan Kawasan Puncak (1977), Anggota Tim CCOP Coastplan Project (1997-1999), Anggota Redaksi Buletin Geologi Tata Lingkungan (19992005), PH Sekretaris Tim Teknis Amdal Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral (2000-2005), dan Kepala Tim Indonesia untuk Geo-risk Project (2003–sekarang).
4
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
T : Selama ini (aplikasi metode tersebutred) untuk daerah lain atau skala regional bagaimana? J: Kelihatannya ada hal yang menggembirakan. Dengan adanya kegiatan sosialisasi kami juga mengundang sektorsektor lain yang terkait seperti LH, PU, Bappeda, Bappedal, dan NGO ternyata banyak permintaan metode saya gunakan untuk diterapkan. Satu lagi hal yang menggembirakan, ketika saya mewakili departemen untuk
“Saya ingin Peranan Geologi dalam Penataan Ruang dan Lingkungan menonjol dalam pembangunan” presentasi-presentasi di Bappenas, saya banyak ketemu dengan NGO (LSM) dan salah satu dosen Planologi senior dari ITB Pak Tjuk Kuswartoyo yang tertarik dengan metode saya. Kebetulan beliau bekerja untuk UNDP, beliau selalu meminta bantuan saya untuk menerapkan metode saya untuk Indonesia Timur. Dan kemarin saat kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, ternyata hasil survei di Aceh banyak sekali permintaan dan telah beredar luas di badanbadan internasional yang beroperasi di Aceh. T: Dulu Bapak menjadi Kasubdit Geologi Lingkungan sekarang namanya menjadi Pokja, terobosan apa yang sedang Bapak kerjakan? J: Sub bidang yang sedang saya pegang sekarang adalah Sub Bidang Informasi. Jadi saya mempunyai keleluasaan melakukan dalam penyebarluasan informasi. Rencananya akan memperbanyak kegiatan sosialisasi. Karena kebutuhan masyarakat memang ada dua
jenis: hasil-hasil survei dan hasil pengembangan. Masyarakat membutuhkan hasil-hasil survei geologi juga hasil pengembangan atau riset di bidang Tata Ruang dan Lingkungan. Saya memberikan masukan agar pekerjaan teman-teman di bagi dua: tetap melakukan survei dan terus melakukan in-house riset untuk pengembangan. T: Kerjasama atau koordinasi dengan Departemen PU bagaimana? J: Secara umum belum, tetapi setelah berbagai kejadian bencana, kelihatannya teman-teman dari PU mulai menyadari pentingnya zoning bencana. Kita sambil menyiapkan rancangan Perpres Kawasan Lindung Geologi. Tampaknya peraturan ini banyak diadopsi oleh PU, kebetulan mereka sedang merevisi PP Tata Ruang dan menjanjikan peran aspek geologi akan semakin kuat. Terobosan yang telah dirintis Pak Hardoyo dalam bidang sosialisasi aplikasi geologi untuk tata ruang diyakini akan terus berlanjut mengingat hubungan dan aktivitas beliau dalam organisasi-organisasi profesi dan kemasyarakatan cukup luas dan banyak. Diantaranya, beliau telah dan sedang aktif dalam organisasi profesi dan kemasyarakatan berikut: Anggota Pemuda Pelajar Indonesia (PP) Australia (1988 – 1990), Sekretaris PPI University of Wollongong (1989 – 1990), Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) (1995 – sekarang), Anggota Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) (1977 – sekarang), Kepala Biro Publikasi IAGI merangkap Pimpinan Redaksi Majalah Geologi In-
PROFIL donesia (1999 – 2002), dan Humas IAGI Pusat (2003 – 2005). T: Apakah geo-risk itu? Dalam jawaban Pak Hardoyo atas pertanyaan tentang geo-risk di bawah ini tergambar bagaimana posisi kegiatan analisis georisk dalam mitigasi bencana atau lebih luas lagi: dalam manajemen bencana. Diketahui pula dari uraian beliau yang sejak Tahun 1993 sampai sekarang mengepalai Tim Indonesia untuk Geo-risk Project, bahwa mitigasi bencana atau manajemen bencana dengan geo-risk sebagai salah satu bagian kegiatannya merupakan alat ukur pencapaian ‘good local government’. J: Geo-Risk ini sebetulnya kependekan dari Geohazard Risk. Artinya, resiko ketika kita berdiam atau mengembangkan kawasan yang rawan bencana. Georisk adalah nama kerja sama di bawah Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) – badan milik pemerintah Jerman yang menangani kerja sama teknik internasional – yang merupakan program kerja sama teknis antara Pemerintah Jerman yang diwakili Bundesanstalf für Geowissenschaften und Rohstoffe (BGR) – Lembaga Pemerintah Jerman yang menangani Geosains dan Sumber Daya Alam – dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili DESDM. Ada satu program utama yang bernama “Good Local Government”. Isi program tersebut adalah agar kinerja pemerintah daerah menjadi lebih baik, meningkat, dan lebih bijaksana. Salah satu kunci untuk mencapai good local government tersebut adalah jika Pemerintah Daerah mau mengembangkan wilayah dan tata ruangnya secara benar, maka harus mempertimbangkan aspekaspek geologi baik supporting mau pun geo-hazardnya. Jika hal itu dilaksanakan, berarti kita sudah melakukan mitigasi. Personil yang terlibat dalam kerja sama tersebut adalah gabungan dari Indonesia dan Jerman. Melalui kerja sama terebut, diharapkan baik transfer ilmu maupun bantuan bagi daerah. Ada 2 hal utama yang kita inginkan: 1) menghitung economic losses, dan 2) menyiapkan dan membantu Pemda untuk mempersiapkan masyarakat agar mampu bertahan atau mampu memanage daerahnya apabila terjadi bencana. Dengan cara itu masyarakat
yang terkena bencana mampu dan cepat melakukan recovery. Ini yang dinamakan community base disaster risk management. Proyek (geo-risk) ini mencakup rentang waktu yang panjang (multiyears), diawali tahun 2003 sampai 2005, diperpanjang lagi sampai 2006, dan jika memungkinkan akan diperpanjang sampai 2009. Ada 3 expatriat yang terlibat secara long term, yaitu: Manager Proyek (Dr. Ranke), 1 orang ahli database, dan 1 orang ahli GIS. Namun, yang disayangkan justru expert datangnya tidak pasti kadang 3 bulan sekali, sehingga kita tidak dapat melakukan transfer knowledge setiap saat. T: Apa kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam geo-risk tersebut dan apa produkproduknya? Dalam paragraf di bawah, Pak Hardoyo mengelaborasi lebih lanjut sekitar kegiatan geo-risk di 5 daerah di Indonesia sebagai percontohan. J: Ada 5 (lima) pilot project geo-risk yang sudah dan sedang digarap. Yang sudah selesai kegiatannya adalah di Ende dan Maumere (NTT). Dari hasil yang sudah dicapai, dampaknya untuk Pemda cukup bagus dan metodenya banyak diaplikasikan. Bahkan sewaktu melakukan sosialisasi ke daerah, DPRDnya langsung memutuskan untuk menaikkan dana satlak dan memerintahkan Bappeda-nya untuk menggunakan informasi geologi sebagai basis penataan ruang. Untuk tim Aceh kemarin memang kegiatan geo-risk tidak terkait, tapi ada kerjasama khusus antara PLG dengan Pemda Aceh terkait aplikasi geologi lingkungan dalam penataan ruang, terutama dalam pengembangan aspek geotekniknya. Kembali ke geo-risk. Jadi, fokus georisk adalah memang menghindari bencana tetapi berbasis tata ruang dan peningkatan atau penguatan kesadaran masyarakat. Dengan banyaknya bencana akhir-akhir ini juga ada perluasan minatan kerja. Walaupun fokusnya tetap di lima lokasi tadi, tapi daerah-daerah lainnya yang potensial terkena bencana juga menjadi fokus garapan ke depan.
J: (Sambil tersenyum) Saya tidak ada pesan, nanti takut dianggap menggurui. Pak Hardoyo memang rendah hati. Beliau enggan menyampaikan pesan apa-apa karena khawatir dianggap menggurui. Namun, kita dapat menyimak pemikiran-pemikiran beliau lebih lanjut dalam karya tulis-karya tulis beliau yang cukup banyak jumlahnya. Beberapa karya tulis beliau dalam 3 (tiga) tahun terakhir adalah: - 2004, Makalah berjudul Klasifikasi Sebagai Dasar Kebijakan Konservasi dan Pengembangan Kawasan Karst dalam Kumpulan Makalah Workshop Nasional Pengelolaan Kawasan Karst. - 2005, Makalah berjudul Evaluation of Engineering Geology on Landslide Occurred at The Gombel Hill Area – Semarang dalam Proceeding of 3nd International Conference on Geotechnical Engineering (ISBN) No. 979-97161-2-8 - 2005, Buku Profil Lingkungan Geologi Pulau Jawa (sebagai Penyunting), - 2005, Atlas Informasi Geologi Lingkungan untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi NAD dan Pulau Nias (sebagai Penyunting), - 2005, Atlas Informasi Geologi Lingkungan untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Alor dan Nabire (sebagai Penyunting). Demikian melalui wawancara, kita telah mengenal Pak Hardoyo sebagai salah seorang yang telah merintis aplikasi geologi (lingkungan) dalam Tata Ruang di Indonesia berikut selintas gambaran pemikirannya di bidang tersebut. Semoga beliau yang akan memasuki masa pensiun pada akhir bulan Oktober 2006 nanti panjang umur, sehat selalu, dan senantiasa dalam lindungan Allah SWT serta tetap berkiprah dalam bidang geologi dan implementasinya untuk pembangunan. Oman Abdurahman, Joko Parwata, Bunyamin
T: Terakhir kali, pak. Mungkin ada pesan dan kesan dari bapak? WARTA GEOLOGI, JULI 2006
5
SEPUTAR KITA
MENYAMAKAN PANDANGAN MENGENAI GEORISK PROJECT Kerja Sama Teknik Jerman – Indonesia
PADA tanggal 6 – 8 Juni 2006 bertempat di gedung Badiklat-ESDM Jln. Gatot Subroto, Jakarta telah dilaksanakan Target Oriented Project Planning Workshop on Natural Disaster Management. Pembukaan dilakukan oleh Kepala Badan Geologi, Bambang Dwiyanto M.Sc, dan setelah itu diikuti dengan sambutan-sambutan dari Andrea Heyn selaku Konsul Bidang Keilmuan dari Kedutaan Besar Jerman; Dr. Manfred Poppe, Good Local Governance-GTZ Projects; Dr. Volker Steinbach, Head of Section International Cooperation Europe, Asia, Oceania; dan Dr. Ulrich Ranke, Georisk Project Manager. Tujuan dari rapat kerja ini adalah untuk menyamakan pandangan mengenai Georisk Project termasuk rencana kerja, susunan anggota tim, bidang yang akan dikembangkan dan penyediaan pera-latan, pelatihan serta penentuan tolok ukur dalam pemantauan dan evaluasi kemajuan proyek. Proyek ini membantu pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten untuk menyusun pedoman dan memberikan rekomendasi dalam pengurangan resiko bencana sejak tahun 2003, dan pada saat ini telah memasuki fase ke-2. Proyek ini dikelola di bawah kerja sama teknik antara Indonesia dan Jerman dengan Deutsche Gessellschaaft fuer Technische Zusammenarbeit (GTZ) dari pihak Jerman sebagai pelaksananya.
6
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan kepada Pemerintah Jerman pada tahun 1998 untuk mengembangkan kerja sama antara kelompok masyarakat dan pemerintah daerah melalui suatu kegiatan pengelolaan perkotaan yang lebih efektif dan difokuskan dalam pengelolaan resiko akibat bencana alam geologi. Pemerintah Indonesia menugaskan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, yang sekarang menjadi Badan Geologi dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVG) dan Pusat Lingkungan Geologi (PLG) untuk mencari bantuan teknik dalam bidang ini melalui Kerja Sama Teknik Jerman-Indonesia. Di pihak Jerman, Federal Geological Survey (Bundensanstalt fuer Geowissenschaften und Rohstoffe, BGR) ditunjuk sebagai pelaksana. Perjanjian antara kedua belah pihak diimplementasikan dalam kerja sama teknik untuk pengembangan wilayah timur Indonesia (NTB-NTT). Sejak awal 2003 sampai akhir 2004 dan sejak Desember 2005 hingga saat ini, kegiatan pemberian bimbingan untuk membantu daerah – daerah terpilih dalam meningkatkan kemampuan teknis dan kompetensi kelembagaan menjadi lebih baik dan lebih beorientasi ke masyarakat dalam bidang pengelolaan bencana alam telah dilakukan. Daerah yang menjadi wilayah kerja adalah Sema-
rang (Jawa Tengah), Yogyakarta, Kabupaten Ende, dan Kabupaten Sikka. Georisk Project telah memetakan wilayah rawan bencana gunung api dari 3 gunung api (Iya, Kelimutu, dan Egon), kerentanan terhadap longsor, zona gempa dan tsunami di daerah Kabupaten Ende dan Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Satu tim juga bekerja untuk Community Base Disaster Risk Management (CBDRM) di Kabupaten Sikka and Yogyakarta, dan tim lainnya bekerja meneliti amblesan tanah di daerah Semarang. Pengalaman-pengalaman itu memberikan indikasi yang jelas bagi arah proyek ini kedepan yang di diskusikan dalam rapat kerja ini. Dalam kesempatan ini, mewakili Pemerintah Jerman, Mrs. Andrea Heyn secara simbolis menyerahkan beberapa seismograf kepada Badan Geologi yang diterima oleh Kepala Badan Geologi untuk dipasang dalam usaha pemantauan gunung–gunung api di Flores, dan dalam sambutannya Kepala Badan Geologi meminta agar proyek ini sampai tahun 2009 dapat menjadi tempat tukar menukar informasi yang pada gilirannya dapat menghasilkan suatu visi kedepan bagaimana dan dengan target apa pengelolaan bencana yang berhubungan dengan geologi ini dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia. WG(Igan SS).
SEPUTAR KITA
TEKNOLOGI TERKINI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI 4th Indonesia PPM Case Study Workshop, 13-17 Juni 2006, Jakarta
WORKSHOP ke-4 studi kasus cekungan Kutai–Indonesia telah dilaksanakan dengan sukses pada tanggal 13 – 17 Juni 2006 di Hotel Ciputra, Jakarta. Workshop yang berjudul IOR/EOR technologies and the role of the government in attracting additional/new investments in a mature basin diikuti oleh 42 peserta berlatar belakang teknis dan manajemen, perwakilan dari 8 negara CCOP. Workshop ini diselenggarakan atas kerja sama antara CCOP dan PPTMBG “LEMIGAS”, terdiri dari presentasi, diskusi kelompok, dan kunjungan lapangan. Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Kepala Badan Geologi, Bambang Dwiyanto, M.Sc. selaku Wakil Tetap Indonesia untuk CCOP. Hadir pula pada saat pembukaan Ms Marte Gerhardsen, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta, Dr Evita H Legowo, Kepala PPTMGB “LEMIGAS”, para tamu dari institusi yang berhubungan dengan minyak bumi di Indonesia, dan para peserta workshop. Pembicara utama dalam workshop ini adalah Mr Gunnar Soi-
land, ahli geologi senior dari Norwegian Petroleum Directorate (NPD) dan Mr Egil Meisingset, Wakil Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementrian Minyak Bumi dan Energi, Norwegia. Keduanya membagi pengalaman Norwegia dalam pengelolaan yang baik sumber daya minyak bumi, bagaimana mereka mempromosikan pengembangan dan penerapan dari teknologi baru untuk mendapatkan tambahan minyak bumi yang diambil dari lapisan batuan, dan bagaimana pemerintah bekerja sama dengan perusahaan minyak bumi berusaha untuk mencapai tujuan utama yaitu menciptakan nilai maksimum untuk masyarakat dari sumber daya minyak bumi. Presentasi dari negara-negara CCOP menitikberatkan pembahasan pada teknologi IOR/EOR, baik yang telah diterapkan ataupun yang masih dalam penelitian. Beberapa presentasi juga menyoroti kerja sama dan strategi pemerintah, yang didukung oleh kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi minyak bumi yang pada gilirannya da-
pat meningkatkan kondisi ekonomi negara yang bersangkutan. Diskusi kelompok dan presentasi disiapkan untuk membuka kesempatan bagi para peserta bertukar pengetahuan dan pengalaman dalam berbagai bidang yang berhubungan dengan topik workshop. Secara umum, workshop ini memberikan kesempatan kepada para peserta untuk belajar dan mendapatkan informasi dalam penerapan teknologi baru dalam meningkatkan produksi minyak dan gas, dan juga informasi mengenai strategi pemerintah untuk menarik investasi tambahan maupun baru dalam bidang minyak dan gas bumi yang seperti yang telah dilakukan oleh Norwegia dan negara-negara CCOP lainnya. Workshop ini diakhiri dengan kunjungan ke Taman Safari Indonesia yang berlokasi di Bogor. Workshop ini juga merupakan workshop terakhir dalam rangkaian studi kasus PPM Indonesia. (Prima M. Hilman)
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
7
SEPUTAR KITA CERAMAH BAHAYA NARKOBA DAN PERMASALAHANNYA DI BADAN GEOLOGI
JANGAN SALAH PILIH TEMAN HATI-hati memilih teman. Salah memilih teman bahaya akibatnya. Ini berlaku terutama bagi anak-anak muda yang masih berjiwa labil dan kurang perhatian orang tua. Data sebuah polling terhadap para pecandu narkoba yang tertangkap mengungkapkan penyebaran narkoba paling banyak bermula dari ajakan teman. Demikian disampaikan pada acara ceramah “Bahaya Narkoba dan Permasalahannya” (4/7) di Auditorium Badan Geologi yang diikuti oleh 267 putra-putri pegawai Badan Geologi. Hadir sebagai penceramah AKBP Drs. Asep Jaenudin dari Kasat Narkoba Polwiltabes Bandung dan Drs. Jhoni Alwi, S.H., Ketua Dewan Pengurus Pusat Gerakan Narkoba
Propinsi Jawa Barat. Lebih lanjut, Drs. Jhoni Alwi mengutarakan, untuk mencegahnya adalah dengan memperkuat keimanan, memilih lingkungan pergaulan yang sehat, dan menjalin komunikasi yang baik antar anggota keluarga. Dalam acara tanya jawab ditampilkan tiga orang remaja yang pernah terjerumus menjadi pemakai narkoba, dan saat ini sembuh setelah menjalani pengobatan. Selain itu digelar pula acara pemutaran film tentang bahaya narkoba dan hiburan. Acara yang digelar oleh Sub Unit Nasional Korpri Badan Geologi Bidang Pemberdayaan Perempuan ini ditutup dengan acara Door Prize. *** (Lilies Marie)
Tanya jawab dengan tiga remaja yang pernah terjerumus narkoba.
Para peserta sedang menyaksikan pemutaran film tentang bahaya narkoba.
GEMPA BUMI GUNCANG YOGYAKARTA DAN BANTUL SAAT perhatian pemerintah dan masyarakat Indonesia tercurah kepada letusan dan penanganan letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, pada hari Sabtu (27/05) bencana gempa bumi berkekuatan 6,2 Mw atau 5,6 Skala Richter secara tiba-tiba mengguncang Yogyakarta dan Bantul. Akibat bencana ini sebanyak 5.400 orang tewas dan puluhan ribu rumah termasuk prasarana publik rusak. Gempa bumi yang terjadi sekitar pukul 05.54 WIB pagi ini disebabkan oleh aktivitas patahan/sesar aktif di daerah bagian selatan Yogyakarta berarah barat daya-timur. Berdasarkan pusat informasi gempa bumi USGS Amerika Serikat, gempa itu terjadi pada kedalaman 17,1 kilometer dengan lokasi pusat gempa terletak di dekat pantai pada koordinat 8,0070 LS - 110,2860 BT atau terletak pada posisi kurang lebih 25 kilometer
8
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
barat daya Yogyakarta dan sekitar 115 kilometer selatan Kota Semarang. Getaran gempa bumi itu dirasakan oleh masyarakat Yogyakarta, pantai selatan Yogyakarta, Jawa Timur bagian Selatan serta sebagian wilayah di Jawa Tengah. Goncangan gempa itu terasa kuat pada daerahdaerah yang disusun oleh endapan batugamping dan endapan gunungapi yang bersifat urai, sehingga rentan terhadap guncangan gempa bumi dan berpotensi merusak bangunan di atasnya. Gempa bumi itu bersumber di dekat pantai, sehingga tidak berpotensi menimbulkan tsunami, namun getaran gempa tersebut sangat besar, disebabkan oleh getaran yang besar dan kedalaman yang dangkal, maka gempa seperti ini dikategorikan sebagai gempa bumi yang merusak.
Dalam peta wilayah gempa bumi merusak di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Geologi, gempa bumi di Yogyakarta termasuk dalam gempa bumi merusak tingkat tujuh dengan skala MMI (kerusakan) mencapai 6-7, dan Badan Geologi melalui PVG telah mengirimkan tim tanggap darurat ke lokasi gempa tersebut. Patahan aktif yang terpantau di daerah tersebut membentang mulai dari batas pantai Sabden-Bantul-Yogyakarta hingga mencapai Prambanan. Pada zona patahan tersebut terjadi kerusakan bangunan dan infrastruktur yang parah sehingga menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa. (Prima M. Hilam)
GEOLOGI POPULER
EVOLUSI DAN JEJAK PARA AHLI GEOLOGI Oleh: Joko Parwata
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal“ (QS. Ali Imran 192)
EVOLUSI adalah masalah klasik. Banyak orang menganggapnya sebuah teori belaka dan tak lebih dari cerita masa lalu. Karena itu, hanya segelintir orang yang mau menggalinya lebih jauh. Namun, sesungguhnya, sangatlah menarik untuk mempelajari berbagai teori asal-usul kehidupan serta spekulasinya terhadap perubahan-perubahan di permukaan bumi. Sejarah geologi dan aspek biologi menantang untuk dipelajari guna mengungkap sejarah kehidupan di alam.
Henry Fairfield Osborn (1857-1935) Peneliti paska Darwin mencari formula baru untuk mempelajari evolusi dengan berusaha mencari kronologi-kronologi yang paling tepat. Ahli evolusi berbeda pendapat dalam mengungkap teori tersebut. Banyak di antara kita sudah familiar dengan Henry Fairfield Osborn, penulis The History of Natural Science. Osborn mampu bercerita berbagai teori kehidupan di alam yang semuanya mengandung argumen
dalam berbagai citarasa. Akan tetapi, manakah diantara teori-teorinya itu yang benar? Apakah hanya sebuah whitewash atau kamuflase? Scientific blunder dan teori evolusi organik Akhir-akhir ini banyak ilmuwan mengungkapkan bantahan terhadap teori-teori tentang evolusi yang telah bertahun-tahun dianut para ilmuwan. Hal itu merupakan dinamika ilmu pengetahuan. Namun, ketika penemuan-penemuan baru dikemukakan dan membantah teori yang ada, biasanya pemilik atau penganut teori lama memberikan argumen yang merujuk ke peristiwa masa lalu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Jadilah hal itu sebuah spekulasi. Teori-teori yang dipertahankan semacam itu sekarang dikenal sebagai The Chief of Scientific Blunder: kekeliruan ilmiah karena beberapa ketidaktelitian di awal tetapi dianggap benar, dianut terus menerus dan tidak ada yang berusaha mengungkapkan kebenarannya. Banyak penulis mengatakan bahwa orang-orang Yunani Kuno adalah kaum evolusioner. Hal tersebut hanya sebagian yang benar. Orangorang Yunani Kuno itu adalah pemuja dewa dan mereka tentu mempercayai berbagai hal yang terkait dengan kisah para dewa. Layaknya terhadap teori evolusi, mereka taat dan mempercayai para dewa secara turun-menurun. Aliran semacam ketaatan kepada para dewa dari orangorang Yunani Kuno inilah yang merupakan bagian terpenting dari sebuah kisah tentang teori evolusi organik. Oleh karena itu, hanya metoda naturalistiklah yang menstimulasi mereka menyusun skema perkembangan evolusi. Orang-orang Yunani telah
percaya secara turun-temurun bahwa hanya skenario evolusi organik yang mampu menjelaskan asal-usul kehidupan. Bukan hanya katak dan makhluk melata lainnya, tetapi juga kehidupan kuda dan gajah di masa lalu --jika anda hanya memiliki sedikit waktu- apakah kesemuanya akan tumbuh spontan dari tanah yang lembab? Bagaimana dengan manusia? Seperti yang mereka katakan tentang sebuah daratan yang tidak memiliki habitat asli, siapa yang tumbuh dari dalam tanah? Mereka – orang-orang Yunani itu - menyebutnya autochtones, berasal dari dua kata yang artinya tumbuh dari tanah oleh kekuatan dalam tanah itu sendiri. Dan, Nobel Athena digunakan untuk pakaian kebesaran pasukan “belalang” tempurnya untuk menunjukkan bahwa mereka bukan manusia asli dari Daratan Troya. Dengan kata lain, mereka adalah autochtones dari Yunani. Kalau kita cermati, kisah tersebut memang dipenuhi nuansa takhayul. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Louis T. Moore, Bangsa Yunani sebenarnya tidak pernah punya bukti nyata skema evolusi organik. Tak seorang pun mampu mengemukakan bukti hingga ilmu kebumian - yang memberikan petunjuk penempatan fosil dalam suatu urutan waktu - sedikit demi sedikit berkembang. Metode fosil ini memberikan gambaran mengenai sekuen sejarah yang memungkinkan skema evolusi yang baik dapat disusun. Osborn dan para ahli evolusi mungkin tidak melihat kenyataan sejarah itu ketika mereka mengklaim bahwa leluhur Yunani juga mempercayai segala sesuatu tentang skema kehidupan berdasarkan interpretasi fakta-fakta geologis dan biologis. WARTA GEOLOGI, JULI 2006
9
GEOLOGI POPULER dengan mineral dan batuan. Kebenarannya terungkap setelah adanya pengajaran-pengajaran ilmu kebumian secara bertahap pada abad ke-19 M. Pendidikan dan penelitian mendorong orang untuk mempelajari lebih lanjut tentang batuan dan susunan batuan di sekitar lingkungannya.
Buffon sebagai peneliti pertama sejarah geologi Peneliti pertama yang mempelajari sejarah geologi adalah Count de Buffon (1707-1788), seorang ilmuwan yang hidup sebelum Revolusi Perancis atau 101 tahun sebelum Charles Darwin. Buffon adalah ilmuwan terkemuka. Ia mampu membangun museum sejarah Kerajaan Perancis di Paris. Ia juga produktif menulis, di antaranya adalah 15 volume sejarah kehidupan yang kemudian disusun menjadi “Outline of Science”.
Scientific blunder dalam teori kulit bawang
Abraham Gottlob Werner (1749-1817)
Count de Buffon (1707-1788) Buffon banyak melakukan penelitian tentang teori kebumian, yang pada masa itu ilmu kebumian masih dipandang sebelah mata oleh para ilmuwan. Ilmuwan pada masa itu lebih tertarik untuk mempelajari botani atau zoologi dan apa yang mereka pelajari itu selalu menentukan terhadap spekulasi teori-teori pembentukan bumi tanpa ada sanggahan bahkan spekulasi-spekulasi itu tetap dikuti hingga para ilmuwan tersebut meninggal. Tulisan Buffon kemudian menjadi sangat terkenal dan berpengaruh terhadap cara pandang ilmuwan terkait batuan dan sejarah kehidupan di bumi. Untuk itu, Buffon-lah yang pantas diakui sebagai penemu teori evolusi organik. Teori kulit bawang Wagner hingga Skala Mohs Abraham Gottlob Werner (17491817), seorang guru mineralogi di Friberg, Jerman, dikenal sebagai penemu ilmu geologi sebagai bagian terpisah dari ilmu alam. Werner sangat
10
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
menyenangi pelajaran tersebut dan mampu memikat murid-muridnya terhadap konsep baru yang berbeda dengan doktrin-doktrin lama. Konsep inilah yang kemudian dikenal sebagai Geognosy dan dipopulerkan oleh seorang muridnya Friderich Mohs (1773-1839), ahli mineralogi terkenal penemu Skala Mohs (skala geologi untuk menyatakan kekuatan mineral). Pada masa itu terkenal semboyan para penganut Werner berikut: “The evil that men do lives after them, The good is of it interred with their bones”. Melalui teori “Onion Coat” yang amat terkenal di masanya, Werner mencoba mengemukakan tentang berbagai batuan yang terbentuk di tempat asal. Dia meyakinkan bahwa material-material penyusun permukaan bumi terbentuk pada media cair terlarut dan terendapkan di bawah laut. Berbagai macam batuan mengalami rombakan dan presipitasi secara bertahap sesuai kekuatannya. Batuan yang banyak mengandung mineral kuarsa dan mineral bersifat asam lainnya lebih tahan daripada batuan yang bersifat basa. Material-material tersebut terendapkan di lautan bebas sebagai senyawa kimia terlarut dan otomatis akan ditemukan secara alami sebagai sebuah urutan sejarah pengendapan dari setiap jenisnya sesuai tempat asalnya di seluruh bumi, semacam selubung kulit bawang. Konsep onion coat masih dipakai dalam skala kecil hingga sekarang untuk menyebut pelapukan fisik batuan beku, disebut onion coat weathering. Sungguh sayang perkembangan teori onion coat lamban di antara berbagai studi dan teori lainnya berkaitan
Ada beberapa kontradiksi dari teori Werner. Faktanya, Werner tidak pernah bepergian jauh dari tempat tinggalnya dan tentu saja ia tidak diberkati kekuatan supranatural untuk mengetahui kejadian di masa lampau. Kerena itu, beberapa peneliti menyatakan bahwa teorinya hanyalah sebuah perkiraan yang tak akan valid lagi terhadap fakta-fakta yang mungkin ditemukan suatu saat di Australia, India, Perancis atau sebagian tempat di ujung Benua Eropa. Charles Lyell mengatakan, bisa jadi tidak jauh dari rumah Werner akan terlihat sekumpulan batuan yang sangat kontradiktif dengan teorinya. Namun, Alex van Humboldt dan beberapa ahli ilmu alam mengatakan, mereka menemukan susunan batuan yang cocok dengan teori Werner. Ditinjau dari aspek metodologi ilmiah modern, Werner melakukan kesalahan fatal. Ia mengambil kesimpulan universal berdasarkan data yang terbatas dan mengabaikan berbagai hal yang kontradiktif dan belum ditemukan pendekatannya. Scientific blunder semacam ini banyak dilakukan oleh ilmuwan dahulu sesuai perkembangan pada zamannya. Dalam hal ini boleh kita katakan, bahwa mungkin kita masih hidup dalam kepopuleran teori kulit bawang. Ya, kulit bawang yang terdiri dari komponen kulit bawang biologi dan mineralogi. William Smith penemu teori kesamaan waktu pembentukan lapisan batuan Secara bertahap selama dan setelah berakhirnya Perang Napoleon, sistem Werner mulai disesuaikan para peneliti untuk melakukan pendekatan klasifikasi strata batuan berdasar jenis-jenis fosil yang terkandung. Metode baru ini dikembangkan oleh Sir William Smith (1769-1838), seorang ahli bangunan dari Inggris Selatan. Smith sangat menyukai pela-
GEOLOGI POPULER
Sir William Smith (1769-1838) jaran matematik untuk membantu pekerjannya sebagai konsultan sipil yang bertugas menggali kanal dan bendungan. Dia harus lebih banyak belajar untuk mengembangkan pengetahuannya terhadap kondisi bawah tanah di berbagai tempat. Dia melakukan perjalanan keliling Inggris bagian selatan dan tengah hanya untuk menambah pengetahuannya. Smith akhirnya menemukan sesuatu yang aneh dalam batuan yang ia tidak tahu namanya, yang juga sama ditemukan pada singkapan batuan di tempat lain yang letaknya sangat jauh. Kedunya juga mengandung material (baca: fosil) yang sama. Dia mulai berpikir dan menarik kesimpulan bahwa dua lapisan di dua tempat berbeda itu sesungguhnya bersambung di bawah tanah. Lahirlah metode baru penyelidikan lapisan batuan tertentu berdasarkan kandungan fosilnya yang tak terbatas oleh jarak, bahkan sampai ratusan mil atau lebih jarak pemisah itu. Metode Smith terbukti dapat diterapkan secara universal dan sejak itu para ahli geologi memiliki sebuah sistem geologi yang dapat mengasumsikan bahwa batuan di negara lain yang jauh, India, Inggris atau Amerika Latin dan di tempat lainnya yang menunjukkan kandungan fosil sama, terbentuk pada waktu yang sama. Implikasinya, metode ini juga mengasumsikan bahwa batuan yang mengandung berbagai jenis fosil berlainan tidak diendapkan secara simultan, melainkan pada interval waktu sebelum atau sesudahnya. Panjang interval waktu ini kemudian dikenal sebagai “Smith Strata”, ditentukan melalui skema kronologis berdasarkan jenis-jenis fosil yang hidup
Sketsa ketidakselarasan (unconformity) di Frederick Street, Edinburg digambar oleh James Hutton (sumber: koleksi USGS Museum). dan terkubur dari masa ke masa. Kerancuan ilmiah Smith cikal bakal lahirnya Teori Darwin William Smith mengatakan bahwa ia menemukan gejala umum di Inggris. Bahwa, menurutnya, lapisan batuan di Inggris memiliki kemiringan ke timur atau tenggara dan ia membayangkan kalau di seluruah dunia lapisan-lapisan batuan akan selalu ditemukan dalam kondisi mirip: tidak hanya kesamaan sekuen, tapi semuanya memiliki kemiringan ke timur!! Itulah gambaran lain dari absurditas dari seorang yang dijuluki sebagai “Father of English Geology”. Baron Cuvier (1769-1832) seorang ilmuwan besar Perancis, sangat mengagumi teori Smith dan menjelaskan keberadaan fosil dengan pendekatan ilmiah. Ia mengajarkan konsepnya keseluruh dunia. Tetapi, kita harus memberikan catatan panjang tentang bagaimana kerancuan ide Smith menjadi dasar bagi Charles Darwin untuk mengambangkan teori evolusinya. Catatan panjang juga harus kita berikan tentang bagaimana Darwin mempertahankan teorinya, mengingat prestasi teori tikus Darwin (Darwin’s Pet Theories) sebetulnya tidak terlalu baik.
biologis yang telah dijabarkan dalam konsep teori kulit bawang dengan menambahkan bahwa semua perubahan geologis di waktu lampau harus dapat dijelaskan oleh proses-proses yang terjadi di lautan, sungai dan angin di masa kini dengan asumsi tidak adanya katastropis yang terjadi di masa lampau, tetapi mengakomodasi metode dan gaya-gaya alam yang berpengaruh dan dapat mengubah kondisi geologis dari waktu ke waktu. Sejak itu kita mempunyai konsep geologi modern yang disebut “Theory of Uniformity”, sebagai kebalikan dari paham katastropisme, yang sempat populer di antara para ahli geologi pada pertengahan abad ke-19 M. Teori kulit bawang Werner menjadi lebih jelas dan nyata, setelah para ahli geologi di masa itu mengadopsi metode baru untuk mengidentifikasi strata; tetapi penganut lama kurang
Charles Lyell penemu “Theory of Uniformity” dan sanggahan terhadapnya Orang yang benar-benar meletakkan fondasi awal dan menyatakan kaitan penting antara geologi dan evolusi di dunia adalah Charles Lyell (1797-1875). Lyell adalah ilmuwan dan hulubalang Ratu Victoria yang dikebumikan di Westminster Abbey. Dia menempatkan fosil atau jejak
Sir Charles Lyell (1797-1875), pencetus teori Uniformitarianism (sumber: Wikipedia). WARTA GEOLOGI, JULI 2006
11
GEOLOGI POPULER berfikir dan keras hati memegang skema suksesi dari teori kulit bawang universal. Lebih nyata lagi ketika Herbert Spencer mengkritik tajam metode Lyell dan geolog lainnya yang sepaham – mereka yang tidak mampu menjelaskan katastropisme - dengan kata-katanya yang pedas: ”Must we not own that, though the onion coat hypothesis is dead, its spirit is traceable under a transcendental form, even in the conclusion form, even the conclusion of its antagonists?”
lapisan maupun tahapan evolusi yang sangat berbeda dengan kondisi standar. Kenyataan ini menjadi diskusi yang amat menarik dalam buku “The New Geology, a Textbook for Colleges” (1923) dan “Evolutionary Geology and New Catastrophism” (1926) yang mengupas tuntas kontradiktif teori evolusi. Penutup
Charles Darwin dan Teori Evolusinya, sebuah suplemen? Charles Darwin (1809–1882) memulai petualangan studinya di Edinburgh, tetapi setelah dua tahun mempelajari ilmu dasar ia jenuh dan bosan. Darwin lalu pindah ke Cambridge untuk belajar Ilmu Teologi dan berhasil menamatkan studinya di usia 22 tahun. Ia kemudian ditugaskan sebagai penyiar agama dan bergabung dengan awak kapal “Beagle” yang mengantarnya mengelilingi Samudera Selatan selama lima tahun. Tahun 1836 Darwin kembali, dan semenjak itu ia tidak pernah keluar dari Inggris. Sebagai seorang misionaris, tugas-tugas Darwin sebetulnya kurang berhasil. Ia hanya melakukan observasi dan mencatat untuk dirinya saja. Darwin sama sekali tidak punya latar belakang pendidikan tentang binatang, sehingga apa yang ia amati dan interpretasikan sebetulnya patut dipertanyakan. Darwin hanya mendapat sedikit bimbingan pengetahuan geologi dari Sedgwick, seorang pengajar di Universitas Cambridge. Untuk itu nampak jelaslah pada diri Darwin muda, dengan sedikit sentuhan ilmu geologi dan dasar-dasar biologi, berupaya mereformasi teori saintifik. Sebuah skema baru yang dikreasi oleh seorang pemuda yang belum genap tigapuluh tahun. Darwin mulai mempelajari konsep Lyell “Principles of Geology” dalam perjalanannya ke Amerika Latin. Sekembali dari perjalanan ia berusaha menggali konsep “Biological OnionCoat Theory” dan “The Theory of Geologic Uniformity” yang tidak mampu menjelaskan adanya peristiwa katastropisme di dunia. Dari hasil kajiannya ia berhasil mengemukakan konsep baru yang ia sebut “Natural Selection” yang merupakan teori le-
12
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
Charles Darwin (1809-1882) bih meyakinkan untuk menjelaskan bagaimana perubahan spesies terjadi dari waktu ke waktu. Jadi makin jelaslah bahwa anti pandangan Bible tentang geologi ditambah dengan sedikit sentuhan konsep geologi yang ia dapatkan dari Lyell maupun ilmuwan lain sebelumnya, merupakan pondasi dasar Teori Evolusi Darwin. Teori ini sebetulnya hanyalah suplemen untuk menjelaskan metode yang lebih tepat tentang fakta-fakta yang diperoleh di alam berdasarkan teori-teori kebumian sebelumnya. Teori kulit bawang Werner maupun teori evolusi nampak kontradiktif dan tidak mampu menjelaskan ketika dari fakta yang ditemukan di alam, ditemukan beberapa contoh fosil yang sama pada batuan dengan
Kupasan ini masih banyak meninggalkan pertanyaan dan belum ada jawaban pasti mengenai evolusi makhluk hidup di alam. Belum ada bukti dan data saintifik serta intelejen yang nyata dan dapat diamati untuk mendukung teori evolusi dalam menjelaskan perkembangan makhluk hidup di alam dari waktu ke waktu, terkecuali sebagian kecil dari skenario skematis Darwin. Bagaimana dengan teori “The Creation of God” yang dikumandangkan oleh ilmuwan Turki Harun Yahya dan akhir-akhir ini banyak menjadi perbincangan para ilmuwan? Konsep “Spontaneous Generation” juga pernah dilontarkan oleh Louis Pasteur setengah abad yang lalu. Faktanya, sekarang banyak juga yang menganut ajaran-ajaran agama bahwa Tuhan menciptakan makhluk tidak hanya sekali, tetapi dari waktu ke waktu. Evolusi geologi dan biologi kini membuka banyak peluang bagi para ahli untuk mengembangkan konsep-konsep pemikiran baru dan menyajikan data-data saintifik untuk mendukung konsep tersebut. Selamat Berburu! (Dari berbagai sumber)
WAWASAN
UU KEGEOLOGIAN: Bukankah suatu keniscayaan? Oleh: M. Taufik
Pendahuluan Peranan geologi sampai saat ini dirasakan belum optimal dalam menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Banyak permasalahan yang berkaitan dengan kegeologian dirasakan belum dikelola secara tepat dan profesional sehingga diperlukan usaha untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan bidang geologi. Dijumpai banyak masalah yang menjadi kendala belum optimalnya pemanfaatan profesi, keahlian, data dan informasi geologi untuk menunjang pembangunan dan membantu masyarakat yang memerlukan peranan disiplin kegeologian. Salah satu kendala yang dihadapi saat ini antara lain pemecahan permasalahan yang sangat erat hubungannya dengan masalah kegeologian yang belum terintegrasi secara nasional. Secara kelembagaan, kendala tersebut adalah dijumpainya banyak kerancuan yang menyangkut kewenangan berbagai instansi yang menangani hal-hal yang berhubungan dengan masalah geologi. Sebagai contoh, suatu lembaga yang tugas dan fungsinya bukan menangani bidang kebencanaan geologi, telah memberikan pernyataan berkaitan dengan kejadian gempa bumi yang menimpa beberapa wilayah di Indonesia akhirakhir ini. Banyak lembaga yang telah memberikan pandangan yang berbeda terhadap masalah aktual yang sangat berhubungan erat dengan kegeologian, misalnya gempa bumi yang menyebabkan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 di Aceh dan Nias, gempa yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya tanggal 27 Mei 2006 dan kejadian geologi lainnya di beberapa wilayah di Indonesia. Memang, sudut pandang terhadap suatu kejadian geologi sangat multi interpretative
karena memang banyak faktor yang mempengaruhi peristiwa tersebut. Akan tetapi, analisa yang mendekati ketepatan sangat diperlukan terutama yang menyangkut kepentingan publik, misalnya mitigasi dalam menangani bencana untuk meminimalkan korban atau kerugian harta benda akibat bencana tersebut. Contoh betapa pentingnya peranan geologi ditunjukkan oleh beberapa kejadian yang menjadi topik pemberitaan di beberapa media. Antara lain, terjadinya beberapa kali peristiwa amblesan pada jalan tol Cipularang sekitar Km 91,6 yang kurang memperhitungkan data dan informasi geologi, yaitu adanya sungai purba dan dijumpainya expansive clay di bawah fondasi jalan tol tersebut yang memerlukan special treatment (terlepas dari konstruksi fondasi jalan yang kurang tepat). Demikian pula peristiwa semburan lumpur panas bercampur gas di Porong, Sidoarjo, yang sudah berlangsung sejak 29 Mei 2006 dan telah menggenangi desa-desa di Kecamatan Porong dan sekitarnya hingga setinggi 6 meter (terlepas dari kemungkinan kesalahan teknik pemboran). Contoh lain adalah kasus Busang yang terjadi sekitar tahun 1997, dimana terjadi penentuan besar cadangan emas yang sangat over estimate sehingga saham perusahaan tersebut diperebutkan oleh banyak pihak dan sempat mempengaruhi bursa saham di New York. Kasus-kasus yang dicontohkan di atas berturut-turut menunjukkan belum optimalnya pemanfaatan data dan informasi geologi untuk kepentingan konstruksi jalan, eksplorasi migas, dan perhitungan cadangan mineral yang potensial. Apa yang menjadi fokus perhatian kita dalam uraian tersebut di atas adalah seberapa jauh kompetensi profesi, data
dan informasi geologi dalam mengatasi kasus-kasus seperti yang dicontohkan di atas. Beberapa landasan pemikiran Kejadian longsor atau gerakan tanah di beberapa tempat di Indonesia terbukti telah banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang cukup besar. Kejadian bencana alam tersebut merupakan representasi dari kemampuan dan daya dukung alami dalam mengkonservasi air, mencegah banjir dan longsor yang semuanya sangat berkaitan dengan jenis tanah, kondisi geologi, topografi, hidrologi, dan faktor iklim. Pembangunan atau pengembangan sebuah kegiatan fisik di lingkungan yang geologinya tidak mampu mendukung atau menampung beban-beban tersebut menyebabkan bencana. Sebuah bencana akibat gabungan antara alam dan perbuatan manusia. Kondisi yang demikian mendorong diperlukannya Peraturan Daerah yang mengatur wilayah-wilayah (zoning regulation) rawan bencana longsor atau gerakan tanah. Tentunya Peraturan Daerah tersebut memerlukan payung hukum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam bentuk Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah atau bahkan Undang-Undang untuk memperkuat landasan yuridisnya dan konsekwensi hukumnya jika terjadi pelanggaran. Kondisi lain yang dijumpai saat ini adalah belum maksimalnya penggunaan data dan informasi geologi sebagai dasar perencanaan pembangunan wilayah (regional development act). Padahal, dalam forum Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) pernah ditegaskan bahwa dalam penyusunan atau perencanaan Tata Ruang nasional yang menjadi WARTA GEOLOGI, JULI 2006
13
WAWASAN basis Rencana Tata Ruang Wilayah jangan sampai melupakan data dan informasi kegeologian. Dalam konteks penentuan zonasi kawasan peruntukan pertambangan, memang kita agak kesulitan menentukan batas-batas zona tersebut, kecuali untuk lokasi dimana penyebaran mineralnya sudah diketahui melalui kegiatan eksplorasi. Pengalokasian suatu kawasan untuk peruntukan tambang mineral yang baru pada tahap inventarisasi, dimana lokasi dan penyebarannya belum diketahui secara pasti, sulit dilakukan. Dalam kaitan ini yang menjadi kendala dalam pengembangan sumber daya geologi yang potensial adalah munculnya UU tentang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 yang melarang kegiatan penambangan terbuka di daerah hutan lindung. Meskipun tujuan UU ini pada prinsipnya meminimalisir tingkat kerusakan kawasan hutan khususnya hutan lindung, tetapi secara alamiah kontradiktif dengan pola penyebaran mineral, terutama mineral logam yang umumnya menempati daerah bertopografi tinggi dan mempunyai kelerengan yang terjal. Daerah-daerah tersebut biasanya sudah ditetapkan sebagai hutan lindung, sehingga kegiatan eksplorasi bahkan identifikasi sumber daya mineral di daerah tersebut sulit dilakukan. Masalah yang tak kalah pentingnya adalah kaitan antara cekungan geologi, terutama cekungan Tersier, dalam hubungannya dengan cekungan yang diidentifikasi mengandung cadangan minyak dan gas bumi (migas), baik yang cadangannya sudah terbukti (proven reserve) maupun yang baru bersifat potensi (potential reserve). Peranan informasi geologi untuk identifikasi cekungan migas tersebut menjadi sangat penting dan bersifat strategis terutama yang menyangkut daerah frontier atau wilayah yang berbatasan dengan negara lain, karena sifat penyebaran cekungan yang tidak mengenal batas wilayah negara. Beberapa pertimbangan diperlukannya UU Kegeologian Wilayah Indonesia memiliki tatanan geologi yang khas dan rumit sebagai akibat interaksi pertemuan antara tiga mega lempeng tektonik dunia, yaitu Lempeng Samudra Pasifik, Lempeng Benua Indo-Australia, dan Lempeng Benua Eurasia.
14
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
Tatanan geologi tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam dalam wujud mineral dan sumber daya energi yang bernilai ekonomi tinggi. Namun, kondisi tersebut juga menyimpan elemen dinamika bumi yang memunculkan daerah-daerah rawan bencana alam (bencana geologi) yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta cukup besar. Disamping hal-hal tersebut diatas, interaksi antara ketiga megalempeng dunia itu telah menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis dan geologis mempunyai tatanan yang unik dan kompleks, sehingga memiliki spektrum yang sangat beraneka ragam ditinjau dari pola penyebaran penduduk, adat-istiadat, sumberdaya mineral dan energi, peluang terjadinya bencana geologi, dan keanekaragaman flora-fauna tropis yang jarang atau bahkan tidak dijumpai di belahan dunia yang lain. Potensi yang besar ini merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dari beberapa contoh yang telah diuraikan di atas, kebutuhan akan pengaturan masalah kegelogian secara nasional dirasakan cukup mendesak. Dalam hal ini kebutuhan terhadap suatu Undang Undang (UU) sangat ditentukan oleh aspirasi para pemangku kepentingan (stake holder). Sebab, UU tersebut akan mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh anggota masyarakat. Hal ini membawa kepada konsekuensi adanya reward-punishment, sehingga masyarakat dapat mengerti dan mematuhi UU tersebut. Bagaimana dengan UU Kegeologian? Masyarakat mana yang kirakira memerlukan UU tersebut untuk membantu mereka menyelesaikan semua permasalahan yang berkaitan dengan kegeologian di Indonesia? Dalam hal apa kira-kira masyarakat tersebut memerlukan keberadaan UU tersebut? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut harus diakomodasikan secara tepat agar UU tersebut betul-betul dapat diimplementasikan dan digunakan secara efektif sebagai payung hukum bagi peraturan di bawahnya (PP, Perpres, Perda, dan lain-lain). Perlu dipikirkan juga apakah jika geologi
diundangkan malah dapat mempersempit ruang gerak kegiatan bidang tersebut? Dan apakah aspek geosains dari kegeologian dapat dibuat regulasinya? Selanjutnya, pembuatan suatu undang-undang harus mempertimbangkan beberapa aspek yaitu: aspek hukum, ekonomi, sosiologi dan politik. Aspek hukum menyangkut dukungan keterkaitan kaitan dengan UU lain, terutama UUD. Aspek ekonomi mempertimbangkan apakah produk hukum tersebut dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat? Adapun ditinjau dari aspek sosiologi mempertimbangkan apakah produk hukum ini akan memberikan manfaat dalam peningkatan kesejahteraan sosial? Adapun indikator politik yang diperlukan antara lain dukungan politik dan dukungan aspirasi masyarakat terhadap pentingnya diterbitkan RUU Kegeologian. Peraturan dalam bidang kegeologian di beberapa negara Di bawah ini diberikan beberapa contoh regulasi di bidang kegeologian di beberapa negara, terutama yang menyangkut peranan/fungsi data dan informasi geologi: a. United Stated Geological Survey (Amerika Serikat) telah mengeluarkan regulasi di bidang geologi yang sangat spesifik misalnya yang menyangkut perencanaan tata ruang berbasis lingkungan geologi (environmental geology); b. Republik Rakyat Cina dalam Mineral Resources of Law menekankan tentang tugas pemerintah dalam penyusunan rencana pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral. Pemanfaatan sumber daya mineral oleh perseorangan atau badan usaha harus mendapatkan ijin dari pemerintah, dan pemerintah harus melakukan pengawasan yang serius dalam pemanfaatan sumber daya mineral tersebut. c. Pemerintah Cina juga telah menetapkan Regulation on Administration of Geological Data yang bertujuan untuk membenahi sistim pengadministrasi-an data geologi serta memberikan perlindungan secara penuh terhadap data geologi yang diterima. Data geologi yang dimaksud adalah berupa laporan final yang berisi diagram, gambar, produk au-
WAWASAN dio visual, medium elektromagnetik, data fisik berupa: inti pemboran, spesimen, sayatan tipis dan contoh yang dihasilkan dari penyelidikan geologi. Disamping itu pemerintah diharuskan melakukan penyusunan suatu sistim informasi data geologi dan mensosialisasikan sistim penyusunan atau pelaporan data geologi yang seragam. Data geologi yang dimaksud meliputi data geologi migas, coal bed methane dan mineral radioaktif; dan data geologi kelautan. Penutup Pengaturan dalam bidang kegeologian yang lebih tegas dan komprehensif terhadap aspek-aspek yang menjadi fokus perhatian sebagaimana dalam uraian diatas menjadi kebutuhan dengan memperhatikan kondisi bidang kegeologian saat ini yang terkait erat dengan hak, kewajiban dan peran masyarakat pemangku kepentingan (stake holder) di bidang kegeologian. Dari pembahasan sebelumnya mengenai beberapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan bidang kegeologian dan beberapa kondisi nyata yang menyangkut pengelolaan kegeologian secara nasional, maka di masa mendatang ”Keberadaan UU Kegeologian merupakan suatu keniscayaan untuk direalisasikan“. Untuk itu, Rancangan Undang-undang (RUU)
Nasruddin Hoja
Kegeologian sudah semestinya dipersiapkan sejak saat ini. Beberapa hal yang penting sebagai muatan materi dalam penyusunan RUU Kegeologian adalah sebagai berikut: • Masalah penetapan kawasan rawan bencana geologi yaitu letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor (yang dalam RUU Penataan Ruang dimasukkan sebagai kawasan lindung); dalam RUU Kegeologian harus didefinisikan secara lebih lengkap supaya lebih implementatif. Meskipun bencana geologi tersebut sulit diprediksi kapan terjadinya, tetapi dengan pendekatan kegeologian diharapkan ada langkahlangkah lebih kongkrit yang tujuannya untuk mengurangi dampak merusak bencana tersebut dan jatuhnya korban. • Penggunaan data dan informasi geologi yang saat ini belum dilakukan secara optimal sebagai dasar perencanaan pembangunan wilayah agar ditingkatkan pengaturannya dalam UU Kegeologian tersebut. • Diperlukannya pengaturan dalam penyusunan rencana pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral secara sistimatik, meliputi pengaturan administrasi, penyeragaman dalam penyusunan data dan informasi geologi beserta upayaupaya sosialisinya. • Mengoptimalkan kompetensi bi-
dang kegeologian dalam mengatasi atau memecahkan permasalahan untuk kepentingan konstruksi (prasarana jalan, jembatan, bangunan); dan eksplorasi migas dan penentuan cadangan mineral yang potensial sesuai standard minimal yang harus dipenuhi. • Menonjolkan peranan informasi geologi untuk identifikasi cekungan migas yang penting dan strategis terutama yang menyangkut daerah frontier atau wilayah yang berbatasan dengan negara lain. Untuk mempersiapkan RUU Kegeologian tersebut langkah yang paling penting saat ini adalah menyusun Naskah Akademis yang merupakan bahan materi sebagai dasar perumusan pengaturan hukum. Naskah Akademis RUU Kegeologian harus memuat informasi tentang geologi secara komprehensif dan mencakup seluruh aspek-aspeknya, mudah dipahami baik oleh masyarakat umum maupun oleh aparatur negara sehingga dapat ditindaklanjuti secara efektif. Konsepsi pengaturan penyelenggaraan bidang kegeologian harus merupakan penjabaran dari berbagai konsep atau teori yang terkait dan analisis terhadap berbagai aspek yang perlu dikembangkan dalam penyelenggaraan bidang kegeologian.
Seorang filsuf termasyur dan beradab ketika datang berkunjung ke kampung Nasruddin bertanya tempat yang enak untuk makan. Nasruddin memberitahu sebuah tempat dan sang filsuf, yang haus akan perbincangan, mengajak Mullah Nasruddin untuk menemaninya. Sebagai sebuah kewajiban, Mullah Nasruddin menemani sang filsuf ke restoran tersebut, lalu bertanya kepada pelayan hidangan spesial hari itu. “Ikan! Ikan segar!” jawab pelayan. “Pesan dua,” mereka berkata. Beberapa menit kemudian, si pelayan membawa sebuah piring besar dengan dua ekor ikan di atasnya, ukuran salah satu ikan lebih kecil daripada yang satunya lagi. Tanpa ragu-ragu, Mullah Nasruddin mengambil ikan yang lebih besar dan meletakkannya di piringnya. Sang filsuf, melihat Nasruddin dengan tatapan penuh tidak percaya, kemudian mengatakan bahwa tindakan Nasruddin itu selain egois juga melanggar prinsip-prinsip umum mengenai moral, agama, dan etika. Nasrudin dengan tenang mendengarkan seluruh penjelasan sang filsuf, dan saat sang filsuf itu selesai mengeluarkan nasehat-nasehatnya, Nasruddin bertanya, “Jadi anda sendiri akan memilih ikan yang mana?” “Sebagai manusia yang alim, tentu saya akan memilih ikan yang lebih kecil.” “Kalau begitu ambillah ikan yang kecil itu,“ kata Nasruddin seraya meletakkan ikan yang kecil itu dalam piring filsuf yang alim itu.
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
15
FOKUS KITA
MENGENAL KONSEP PENANGANAN BENCANA, BAHAYA GEOLOGI, DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA Oleh: Eddy Mulyadi, Oman Abdurahman, Prima Muharam Hilman, Priatna
“KINI pendapatan wisata di lereng Gunung Api Merapi itu berkalikali lipat dari pendapatan sebelum terjadinya letusan gunung tersebut bulan Mei yang lalu”, demikian seorang rekan kerja sekaligus sahabat kami dari BPPTK Yogyakarta, membuka pembicaraan pada suatu kesempatan belum lama ini. “Padahal waktu kami nyatakan status lokasi tersebut sebagai status awas, di saat Merapi sedang dalam puncak letusannya, para petugas wisata tersebut seolah tak berkenan”, sang sahabat melanjutkan ceritanya. “Begitulah keadaan alam, berkah dan bencana seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kita harus sadar, waspada, dan siap siaga bahwa kemurahannya sekali waktu dapat berganti dengan bahayanya yang mungkin berkembang menjadi bencana”. Demikian rekan kerja tadi menutup cerita sekitar Merapi setelah gunung api tersebut melewati masa pertunjukan bahayanya di bulan Mei 2006. Cerita di atas mengantarkan kita pada perbincangan di seputar bencana geologi sebagai bagian tak terpisahkan dari aspek geologi lainnya. Bencana geologi berkembang dari bahaya geologi (geo-hazard) yang menimbulkan korban jiwa maupun harta benda. Geo-hazard adalah potensi yang secara inheren terkandung dalam fenomena geologi. Kondisi geologi Indonesia memang mengandung potensi bahaya geologi (geo-hazard) yang sewaktu-waktu dapat berkembang menjadi bencana (disaster) seperti letusan gunung api. Karena itu, mitigasi bencana geologi sangat penting untuk melindungi kehidupan dan penghidupan masyarakat Indonesia. Fokus kita kali ini akan bertamasya di seputar khazanah konsep penanganan bencana (manajemen
16
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
bencana), bahaya geologi, dan mitigasi bencana geologi kita. Pembahasan dimulai dengan penyamaan persepsi tentang istilah-istilah baku dalam mitigasi bencana, mengenal konsep penanganan atau manajemen bencana, identifikasi bahaya dan bencana geologi, serta mitigasi bencana geologi. Bagian pertama dan kedua dari tulisan ini lebih banyak disarikan dari beberapa rujukan penting, terutama Modul Pelatihan Manajemen Bencana (Disaster Management Training Programme; DMTP), PBB (http:// www.undmtp.org) dan kamus online Wikipedia (http://en.wikipedia.org/ wiki/Emergency_management). GEOLOGI, GEO-HAZARD, “BENCANA GEOLOGI”, DAN PEMBANGUNAN Bahaya dan Bencana: Terminologi dan Penyamaan Persepsi Kata “bencana geologi” terdiri atas kata “bencana” dan “geologi”. Terdapat istilah lain yang terkait dengan “bencana geologi”, antara lain: “bahaya” atau “risiko” (geo-hazard, georisk) dan “mitigasi” (mitigation). Sebelum kita menyoroti persoalan bencana geologi, kiranya kita perlu menyamakan persepsi terlebih dahulu tentang istilah-istilah atau terminologi terkait bencana geologi. Dengan demikian kita harapkan terbangun satu pemahaman yang sama manakala istilah-istilah tersebut digunakan dalam tulisan ini selanjutnya. Geologi Geologi menurut definisi umum adalah: “sains atau studi ilmiah tentang komposisi, struktur, dan sejarah bumi (science of composition, structure, and history of the earth)”. Istilah “geologi” terkadang dimaksud-
kan sebagai: “gambaran keadaan tentang bawah permukaan bumi”. Contoh: Geologi Indonesia: gambaran keadaan bawah permukaan bumi Indonesia, Geologi Amerika: gambaran keadaan bawah permukaan bumi Amerika, dst. Berdasarkan definisi geologi, aspek bahaya atau bencana alam yang bersumber dari atau terjadi di bumi relevan untuk diterangkan oleh geologi, yakni dari segi komposisi dan struktur (batuan) penyusun tempat terjadinya bencana, proses yang menimbulkannya, dan sejarah kejadiannya di masa lalu. Bahaya atau bencana alam yang dimaksud adalah letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, dan gerakan tanah atau tanah longsor. Selain informasi aspek bahaya geologi (geo-hazard), terdapat dua manfaat atau aplikasi umum lainnya dari kajian geologi, yaitu: sumber daya geologi (geo-resources), dan lingkungan geologi (geo-environment). Ketiga aspek pemanfaatan informasi geologi tersebut tentu saja didasari oleh sains geologi (geo-science) sebagai dasar keilmuannya. Kajian sains geologi dan aplikasinya sudah seharusnya ditujukan untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Hubungan ini dilukiskan sebagaimana pada Gambar 1. Selain istilah “geologi”, ada istilah penting lainnya yang perlu dipahami terlebih dahulu makna dan penggunaannya yang umum dalam kaitannya dengan perbincangan seputar bahaya atau bencana geologi dan mitigasinya. Fenomena Alam Suatu gempa bumi yang dahsyat pada suatu area yang tidak berpenghuni adalah sebuah fenomena alam saja dan tidak termasuk bahaya
FOKUS KITA
Gambar 1. Geo-hazards, geo-resources, geo-environment, dan geo-science yang seharusnya dikelola secara terintegrasi agar memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada masyarakat (Jahmasy).
maupun bencana. Dengan demikian fenomena alam adalah: “proses alam yang ekstrim yang tidak memberikan ancaman terhadap manusia dan harta bendanya”. Demikianlah, sebuah peristiwa banjir yang tejadi di daerah yang tidak berpenghuni adalah satu contoh fenomena alam. Keberadaan manusia atau penduduk dengan perilaku serta harta benda yang dimilikinya di suatu tempat serta fenomena alam yang terjadi di tempat tersebut merupakan faktor-faktor sebab akibat munculnya kondisi bahaya atau bencana geologi dari peristiwa alam tersebut. Bahaya Geologi (geo-hazards) Hazards menurut kamus, An English – Indonesian Dictionary (John M. Echol dan Hassan Shadily, 1975), misalnya, diartikan sebagai “bahaya” atau “risiko”. Dalam bentuk kata kerja transitif, kata hazard berarti: “mengambil risiko”. Adapun kata sifat dari kata tersebut (hazardous) bermakna: “berbahaya”, “penuh risiko”, atau “risiko”. Dalam modul pelatihan manajemen bencana dari DMTP (Disaster Management Training Programme), PBB, terdapat definisi-definisi yang terkait dengan “bahaya” dan sejenisnya dalam kerangka mitigasi bencana. “Bahaya” – menurut modul tersebut – adalah: “kejadian yang jarang atau ekstrim dari lingkungan karena ulah manusia atau karena alam yang merugikan dan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas pada tingkat yang menye-
babkan satu bencana” Dalam Wikipedia, hazard diartikan sebagai: “bahaya-bahaya” (dangers), “risiko-risiko” (risks), masalah-masalah (problems). Selanjutnya, disebutkan bahwa “bahaya” adalah: “suatu sumber dari kerugian atau kerusakan atau kejahatan (harm) yang potensial” (http://en.wikipedia.org/wiki/ Hazard). A natural hazard, misalnya, didefinisikan sebagai (terjemahan): “sebuah bahaya atau sumber bahaya alam terutama yang mengancam keselamatan hidup manusia”. Dengan demikian, geo-hazards, bermakna: “bahaya-bahaya atau risiko-risiko yang berhubungan dengan fenomenabumi atau bahaya beraspek geologi”. Selanjutnya, dalam kamus online Wikipedia tersebut dikemukakan bahwa bahaya (hazard) memiliki tiga model: 1. Model Dormant: “Apabila tidak ada orang di sekitar, maka tidak ada risiko” (there are no people around; there is no risk), 2. Model Armed: “Apabila ada seorang manusia atau sebuah masyarakat di sekitar, maka terdapat risiko (there is a person or people in the vicnity; there is risk), 3. Model Aktif: “waktu reaksi manusia yang terlalu lamban dalam menghadapi efek dari bahaya tertentu, maka sangat terlambat untuk mencegah akibat-akibat dari bahaya tersebut” (human reaction time is too slow to combat the effect of the hazard; it is too late to prevent the consequences of the hazard). Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, tampak bahwa dalam penggunaan istilah “bahaya” (hazard) berlaku hal-hal berikut: mengandung pengertian potensi terjadinya bencana atau ancaman bagi kelangsungan hidup manusia dimana tingkatan bencananya sangat bergantung pada keberadaan orang dan kecepatan waktu reaksi manusia dalam menghadapinya; pengertiannya belum menyiratkan adanya korban atau kerugian harta benda dan lingkungan, melainkan baru sampai tahap ancaman. Bencana Kata “bencana” dalam bahasa Inggris, sebagaimana menurut kamus, adalah disaster. Kata yang aslinya dari bahasa Latin itu menurut kamus berarti: “bencana”, “kemalangan”, atau “malapetaka”. Arti kata tersebut dalam bahasa Inggris adalah:
great destruction, distress, misfortune, dengan sinonimnya: calamity, cataclysm, catastrophe, tragedy (The American Heritage Dictionary). Dalam kaitannya dengan mitigasi, secara teknis, bencana (disaster) bermakna: “akibat dari bahaya alami (natural hazards) atau bahaya karena perbuatan manusia (man-made hazard) yang bersifat negatif pada kehidupan masyarakat dan lingkungannya” (http://en.wikipedia.org/wiki/Disaster_management). Dalam modul pelatihan mitigasi bencana dari DMTP, bencana didefinisikan sebagai: “gangguan serius yang menimpa suatu masyarakat yang mengakibatkan kerugian besar, baik manusia, harta benda, maupun lingkungannya dengan besaran yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk menanggulanginya secara mandiri”. Definisi tersebut menyiratkan bahwa peristiwa bencana melibatkan waktu yang intens (“sangat”: sangat pendek, sangat dahsyat, dst) dan tingkat urgensi tertentu. Dalam kaitannya dengan bahaya dan kerentanan, bencana yang dialami oleh suatu masyarakat secara sederhana dapat didefinisikan sebagai akibat bertemunya bahaya yang menimpa dan kerentanan terhadap bahaya tadi yang melekat pada masyarakat tersebut. Secara “matematis” definisi ini dirumuskan sebagai: bencana = bahaya + kerentanan. Kita akan mengupas lebih lanjut definisi tersebut pada bagian selanjutnya dari tulisan ini. Berdasarkan sumbernya, terdapat tiga jenis bencana: Pertama, bencana alam (natural disaster), yaitu bencana yang murni disebabkan oleh peristiwa alam, contoh gempa bumi yang menelan korban. Kedua, bencana akibat ulah manusia (man-made disaster) seperti kebakaran. Ketiga, bencana kompleks, yaitu bencana yang diakibatkan oleh gabungan antara perilaku alam dan ulah manusia, sebagai contoh: banjir akibat hujan diluar normal dan penggundulan hutan. Namun sebuah definisi bencana yang lebih luas menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua bencana itu disebabkan oleh ulah manusia. Sebab, manusia yang tertimpa bencana itu sebelumnya telah memilih, apapun alasannya, berdomisili atau berada di tempat kejadian alam yang menyebabkan bencana. Dari definisi bencana dan apa yang WARTA GEOLOGI, JULI 2006
17
FOKUS KITA tersirat di dalamnya, tampak bahwa dalam penggunaan istilah “bencana” (disaster) terkandung makna atau pengertian berikut: 1) gangguan yang serius terhadap berfungsinya masyarakat; 2) kerugian besar pada manusia (terbunuh atau luka-luka), harta benda, dan lingkungannya; dan 3) masyarakat yang mengalaminya tak mampu menanggulangi gangguan tersebut apabila hanya mengandalkan kekuatannya sendiri. Darurat (Emergency) Terkait keadaan “bencana” adalah suatu keadaan “darurat”. Suatu bencana dapat berupa bagian dari satu keadaan darurat (emergency). Manajemen bencana (disaster management) - yang meliputi kegiatan mitigasi - adalah bagian dari manajemen darurat (emergency management). Suatu keadaan darurat (emergency) adalah sebuah situasi yang merupakan ancaman serta merta (saat itu juga) bagi hidup manusia atau kerusakan serius pada harta benda dan lingkungan manusia (http:// en.wikipedia.org/wiki/Emergencies). Atau, suatu situasi seperti bencana alam atau bencana buatan yang menuntut bantuan segera (http:// en.wiktionary.org/wiki/emergency). Suatu keadaan darurat ditandai dengan: - Kondisi penurunan kemampuan penanganan bencana atau bahaya yang jelas dan nyata dari satu kelompok manusia atau masyarakat - Kemampuan penanganan bahaya atau bencana hanya bersifat bertahan karena bantuan-bantuan atau inisiatif-inisiatif kelompok manusia atau masyarakat lain (intervensi dari luar) Penyamaan Persepsi: Bencana Geologi Istilah “bencana geologi” saat ini telah resmi digunakan oleh Pemerintah sebagaimana dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 30 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM No. 30 Tahun 2005). Dalam Pasal 503 peraturan tersebut dinyatakan bahwa salah satu unit di lingkungan Badan Geologi adalah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG-singkatan resminya: PVG). Istilah “bencana geologi” dan bagian-bagiannya, seperti “bencana
18
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
gunung api”, “bencana gempa bumi”, “bencana tsunami”, dan “bencana gerakan tanah”, termuat dalam pasal 542, pasal 543, pasal 544, pasal 557, pasal 558, pasal 559, dan pasal 560 dari Permen ESDM No. 30 Tahun 2005. Terkait dengan semakin banyaknya bencana alam beraspek geologi akhir-akhir ini serta sering tampilnya wakil-wakil dari pihak Pemerintah untuk memberi penjelasan terhadap peristiwa tersebut di berbagai media masa, istilah bencana geologi pun kini sudah mulai dikenal masyarakat luas. Untuk penyamaan persepsi dan pemahaman tentang “bencana geologi”, kita akan merujuk kembali definisi geologi dan bencana yang telah dikutip di atas. Dengan demikian, “bencana geologi” adalah “akibat dari bahaya (hazard) alam beraspek geologi (geo-hazards) dan bahaya akibat ulah manusia berkaitan dengan kesiapan menghadapi bahaya tersebut yang bersifat negatif pada kehidupan masyarakat dan lingkungannya”. Atau, “bencana geologi” adalah “gangguan serius yang timbul dari peristiwa geologi dan ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapinya yang mengakibatkan kerugian besar baik pada manusia, harta benda, maupun lingkungannya dengan intensitas yang melampaui kemampuan masyarakat
tersebut untuk menanggulanginya secara mandiri”. Secara sederhana bencana geologi dapat disebutkan sebagai: “bencana alam yang disebabkan oleh proses geologi”. Meskipun bencana geologi adalah bencana alam, tetap berlaku prinsip bahwa bencana selalu terkait dengan perbuatan atau pilihanpilihan yang dilakukan oleh manusia sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Dari semua paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomena alam dapat berkembang menjadi bahaya, misalnya bahaya gunung api. Sebagian dari bahaya tersebut kemudian berubah menjadi bencana, dan dari keadaan bencana tersebut mungkin muncul keadaan darurat (Gambar 2). Di antara bahaya dan bencana mungkin berupa bahaya dan bencana beraspekkan geologi yang kita menyebutnya masing-masing sebagai “bahaya geologi” (geo-hazard) dan “bencana geologi”. Dalam Gambar 2, sebagian dari perbuatan manusia sangat membahayakan dan di antara yang membahayakan tersebut berkembang menjadi bencana karena ulah manusia (man-made disaster). Selanjutnya, keadaan bencana ini mungkin berkembang menjadi keadaan darurat. Irisan di antara dua rangkaian kejadian tersebut memun-
Gambar 2. Ilustrasi dalam siklus kejadian alam (A) dan siklus perbuatan manusia (B) masing-masing terdiri atas: fenomena alam (1A), fenomenana ulah manusia (1B), bahaya alam (2A), bahaya akibat ulah manusia (2B), bencana alam (3A), bencana ulah manusia (3B), gabungan bencana alam dan bencana ulah manusia (4); dan keadaan darurat (5). Keadaan darurat (5) dan bencana gabungan (4) adalah bagian dari bencana (3), sebagaimana bencana adalah bagian dari bahaya (2), dan bahaya ialah bagian dari fenomena (1); hal itu berlaku baik untuk siklus kejadian alam (A) maupun siklus perbuatan manusia (B).
FOKUS KITA culkan urutan yang sama: bencana gabungan, maupun keadaan darurat gabungan akibat alam dan akibat ulah manusia. Persoalan Bencana Dari pemahaman kita tentang terminologi tampak bahwa sampai tahap bahaya, suatu kejadian alam atau perbuatan manusia belumlah menimbulkan korban manusia atau kerugian harta benda dan lingkungan. Namun, ketidak-siapan dalam menghadapi suatu bahaya dapat mengakibatkan bahaya tersebut berkembang menjadi bencana. Dengan kata lain, tingkatan skala bencana akan sangat bergantung pada kondisi masyarakat, lokasi kejadian dan lingkungannya, kecenderungan bencana sebagai interaksi diantara manusia dan lingkungannya, serta siapa saja yang paling terpengaruh oleh bencana-bencana itu. Aspek-aspek tersebut merupakan masalah dalam kebencanaan. Bencana adalah “Bagian” dari Kehidupan Normal Dalam modul pelatihan manajemen bencana dari DMTP dinyatakan sejak awal bahwa salah satu sebab mengapa masyarakat rentan terhadap bencana adalah karena bencana-bencana dan emergensi terlalu sering dianggap sebagai kejadiankejadian yang menyimpang atau di-
pisahkan dari keadaan sebaliknya: “kehidupan normal”. Padahal, seharusnyalah bencana dianggap sebagai bagian dari kehidupan normal dan harus dikelola sehari-hari sebagaimana bagian kehidupan normal lainnya. Dalam pandangan bencana sebagai bagian dari kehidupan normal, bencana dianggap sebagai konsekuensi-konsekuensi dari cara-cara masyarakat membangun diri mereka sendiri, baik secara ekonomi maupun sosial; pola interaksi antara masyarakat dan negara; dan polapola hubungan yang terjadi antara para pembuat keputusan. Dengan demikian, suatu bencana banjir atau letusan gunung api, misalnya, bukanlah bencana dalam dan dari dirinya sendiri. Bencana muncul dari fakta bahwa masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu manusia terpaksa menetap di daerah-daerah yang rentan terhadap dampak dari sungai yang mengamuk atau letusan gunung api. Gambar 3 di bawah ini, yang dikutip dari modul mitigasi bencana DMTP. memberikan diagram dalam pandangan bencana sebagai bagian dari kehidupan normal. Dalam ilustrasi tersebut telah dinyatakan dengan tegas perbedaan yang penting antara bahaya (hazard) dan bencana (disaster). Ilustrasi dalam Gambar 3 juga menyatakan pengaruh dari ba-
haya terhadap bencana sebagai tolok ukur yang penting untuk mengetahui kerentanan masyarakat. Dalam diagram tersebut tampak kombinasi dari kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan; dan kerentanan dilihat sebagai gerak maju dari tiga tahapan: 1. Penyebab-penyebab yang mendasari, yaitu: sekumpulan faktor-faktor yang sudah mengakar dalam masyarakat yang secara bersama-sama membentuk dan mempertahankan kerentanan 2. Tekanan-tekanan yang dinamis: satu proses perubahan yang memungkinkan penyebab negatif masuk ke dalam kondisi-kondisi yang tidak aman. Proses ini disebabkan mungkin karena kurangnya pelayanan-pelayanan atau fasilitas dasar atau mungkin sebagai akibat dari serangkaian kekuatan makro. 3. Kondisi-kondisi tidak aman: konteks kerentanan ketika orangorang atau harta benda terbuka terhadap risiko bencana. Dalam hal ini, lingkungan fisik yang mudah rusak adalah satu bagiannya, sedangkan faktor-faktor yang lain mencakup ekonomi yang tidak stabil dan tingkatan pendapatan yang rendah. Faktor-faktor Sebab-Akibat Bencana Telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa besarnya bencana diukur dari jumlah kematian, kerusa-
RANGKAIAN KERENTANAN
1 Penyebab yang mendasari * Kemiskinan * Akses yang terbatas terhadap - tenaga listrik - sumber daya * Ideologi * Sistem Ekonomi * Faktor-faktor pra Kondisi umum
2 Tekanan-tekanan yang Dinamis -Institusi lokal -Pendidikan -Pelatihan -Keterampilan yang memadai -Investasi lokal -Pasar lokal -Kebebasan pers -Kekuatan makro (ekspansi penduduk, urbanisasi, degradasi lingkungan)
3 Kondisi-kondisi Tidak Aman * Lingkungan fisik yang rentan: - lokasi yang berbahaya - infrastruktur & bangunan yang berbahaya * Ekonomi lokal yang rentan:
BENCANA = KERENTANAN + BAHAYA
Kejadian-kejadian pemicu: -Gempa bumi -Angin kencang -Banjir -Letusan gunung api -Tanah longsor -Kekeringan -Perang, Konflik sipil -Kecelakaan teknologi
Gambar 3. Diagram yang memperlihatkan rangkaian kerentanan dengan puncaknya yang berpadu dengan bahaya menimbulkan bencana (Sumber: DMTP). WARTA GEOLOGI, JULI 2006
19
FOKUS KITA kan, atau biaya-biaya kerugian yang ditimbulkannya. Namun demikian, tingkat keamanan terhadap bencana dan intensitas bencana itu sendiri terkait erat dengan kondisi kondisi masyarakat dan lingkungan yang terkena bencana tersebut. Sebagai contoh, peluang ekonomi telah memaksa penduduk menempati daerah pantai jauh sampai ke bibir pantai, sehingga pada saatnya bahaya tsunami muncul, terjadi bencana besar karena banyaknya korban jiwa dan harta benda yang diakibatkannya. Jelaslah, bahwa terdapat sebab-akibat kejadian dan intensitas bencana yang mengukuhkan kembali kenyataan bahwa pada dasarnya bencana terjadi tidak semata-mata karena faktor alam. DMTP mengenali tujuh faktor yang menyebabkan dampak bencana menjadi lebih besar dalam kehidupan suatu masyarakat. Ketujuh faktor itu adalah: 1) Kemiskinan, 2) Pertambahan penduduk, 3) Urbanisasi yang cepat, 4) Perubahan-perubahan dalam praktek budaya, 5) Degradasi lingkungan, 6) Kurangnya kesadaran dan informasi, dan 7) Perang dan kerusuhan sipil. Kemiskinan adalah faktor utama dari dampak suatu bencana. Kemiskinan pada umumnya menjadikan orang rentan terhadap dampak bahaya. Kemiskinan menjelaskan mengapa orang-orang terpaksa hidup di atas bukit-bukit yang cenderung terkena bencana tanah longsor. Atau, mengapa orang-orang tinggal di dekat sebuah gunung api walaupun mereka tahu bahwa gunung api tersebut sering meletus dan menimbulkan bencana. Pertambahan penduduk yang cepat mengakibatkan besarnya kerugian-kerugian dari satu bencana. Hal ini dapat dimengerti sebab semakin banyak orang atau bangunan berada di suatu tempat kejadian bencana, maka semakin besar kemungkinan korban atau kerugian akibat bencana tersebut, baik jiwa maupun harta benda. Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan lebih banyak orang akan terkena pengaruh dari suatu bencana, sebab pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan lebih banyak orang yang terpaksa hidup dan bekerja di daerah-daerah yang tidak aman. Urbanisasi yang cepat merupakan salah satu faktor pertumbuhan penduduk yang cepat di suatu
20
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
daerah atau lokasi dan terkait erat dengan kemiskinan di daerah asal. Keadaan ini umumnya terjadi di negara-negara berkembang. Urbanisasi yang cepat menyebabkan konsentrasi manusia pada daerah-daerah urban tertentu, umumnya di perkotaan, menempati daerah yang rawan bencana seperti daerah rawan banjir. Jumlah penduduk kota yang banyak juga menimbulkan kemiskinan perkotaan yang pada akhirnya menyebabkan bencana gabungan antara bencana alam dan bencana karena ulah manusia. Perubahan budaya - tidak terelakkan terjadi di semua masyarakat. Transisi-transisi ini disebabkan baik oleh urbanisasi (perubahan cara hidup pedesaan kepada cara hidup perkotaan), peningkatan kehidupan ekonomi, dan – secara umum – transisi dari masyarakat non-industri ke masyarakat industri. Satu contoh dari dampak perubahan budaya adalah penggunaan bahan-bahan dan desain-desain bangunan yang baru dalam satu masyarakat yang sudah terbiasa dengan materimateri dan desain tradisional. Hal ini sering meningkatkan kerentanan terhadap bencana. Pada akhirnya masa bencana pun seringkali lebih panjang karena mekanisme penanggulangan bencana secara tradisional dalam masyarakat berdsangkutan pun sudah hilang seiring perubahan budaya tersebut. Degradasi lingkungan telah terbukti banyak menimbulkan bencana. Penggundulan hutan yang menyebabkan bencana tanah longsor dan banjir adalah contoh nyata. Demikian pula rusaknya lingkungan pantai – sebagai contoh rusaknya rawa-rawa bakau - menurunkan kemampuan wilayah pantai tersebut dalam menahan gelombang tsunami. Kurangnya kesadaran dan informasi dapat pula menjadi penyebab terjadinya bencana. Dalam situasi ini, orang-orang yang rentan terhadap bahaya-bahaya tidak tahu bagaimana cara melepaskan diri atau mengambil tindakan-tindakan perlindungan dari bencana. Ketidaktahuan ini tidak selalu berkorelasi dengan kemiskinan, melainkan dapat semata-mata akibat kurangnya kesadaran akan tindakan-tindakan yang aman dalam keadaan bencana. Misalnya, kesadaran untuk mendirikan bangunan yang aman terhadap
bencana. Dalam situasi yang lain, sebagian orang mungkin tidak tahu tentang arah-arah evakuasi dan prosedur-prosedur yang aman dalam penyelamatan diri. Atau, sebagian penduduk mungkin tidak tahu kemana mereka meminta bantuan pada saat mengalami tekanan berat akibat bencana. Kurangnya pemahaman terhadap ancaman bencana dapat mengakibatkan menipisnya kesadaran terhadap upaya penyelamatan diri dari bencana. Perang dan kerusuhan sipil dapat dianggap sebagai bahaya, yaitu kejadian-kejadian yang ekstrim yang pada saatnya dapat mengakibatkan bencana. Faktor-faktor sebab dan akibat dari perang dan perselisihan sipil mencakup kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, kurangnya toleransi terhadap agama atau etnis, dan perbedaan-perbedaan ideologis. Banyak dari kondisi tersebut merupakan hasil sampingan dari faktor-faktor sebab akibat bencana yang telah disebutkan sebelumnya. Bencana dan Pembangunan Hubungan antara bencana dan pembangunan akhir-akhir ini telah menjadi perhatian utama organisasiorganisasi pemerhati bencana di tingkat internasional. PBB melaui DMTP, misalnya, menjadikan topik hubungan bencana dan pembangunan sebagai sokoguru konsep dan materi pelatihan manajemen bencana yang dikembangkannya. Hal ini karena banyak bencana yang menyebabkan kematian, kehancuran, terhapusnya hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan selama bertahun-tahun, dan kemunduran pembangunan di dunia ketiga. Pada akhirnya, bencana menjadikan pemborosan sumber-sumber daya pembangunan yang berharga. Lama sebelumnya, hubungan sebab akibat antara bencana dan pembangunan ekonomi dan sosial banyak diabaikan. Para perencana pembangunan seolah-olah tidak mempedulikan bencana, kecuali berharap bahwa di masa yang akan datang bencana serupa tidak terulang lagi. Atau, kalau pun terjadi lagi, diharapkan ada negara-negara donor yang akan membantu pemulihan akibat bencana tersebut. Program-program pembangunan tidak
FOKUS KITA dinilai dalam konteks pembangunan. Tidak diperhitungkan apakah pengaruh bencana terhadap program-program pembangunan atau pengaruh pembangunan terhadap munculnya faktor-faktor yang mempengaruhi bencana. Bencana hanya dilihat dari sisi respon darurat bukan dalam konteks pembangunan jangka panjang yang menganggap bencana sebagai bagian dari keadaan normal. Komunitas yang berada di bawah tekanan bencana dianggap tak layak terlibat dalam peningkatan pembangunan jangka panjang. Hal demikian kini mulai ditinggalkan. Konsep hubungan pembangunan dengan bencana yang didukung oleh PBB sekarang ini telah mempertimbangkan bencana sebagai bagian dari keadaan normal. Yakni, bahwa bencana beserta segenap potensinya harus dikelola. Konsep tersebut telah melibatkan hubungan yang lengkap antara bencana dana pembangunan sebagaimana dalam Gambar 4. Dalam gambar tersebut, hubungan antara bencana dan pembangunan tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut: 1) Pembangunan dapat menyebabkan kerentanan masyarakat terhadap bencana (-+); 2) Pembangunan dapat mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bencana (++); 3) Bencana dapat memberikan peluang pada pembangunan (+-); 4) Bencana dapat memundurkan pembangunan (--). Sebagai contoh kasus negatif positif (-+) adalah: penataan ruang pantai yang tidak mempertimbangkan potensi bencana tsunami di pantai tersebut dapat menyebabkan banyaknya jumlah korban pada saat terjadi tsunami di pantai tersebut. Ulasan selengkapnya tentang empat hubungan
antara bencana dan pembangunan (hubungan ++, +-, dan -+) dapat dilihat pada (http://www.undmtp.org). Dalam manajeman bencana yang menganggap bencana sebagai bagian dari kehidupan normal, pembangunan diarahkan untuk mempertinggi aspek + dari pembangunan dan mengurangi aspek negatif nya; serta meningkatkan sisi negatif dari bencana dan mengukuhkan sisi postif (+) dari bencana. Peraturan Perundang-undangan tentang Manajemen Bencana Hingga saat ini indonesia belum memiliki landasan hukum yang terkait dengan kebencanaan sebagai dasar hukum pengelolaan bencana. Di sisi lain, kejadian bencana dengan korban jiwa maupun harta benda besar akhir-akhir ini sering terjadi dan sangat memerlukan penanganan yang terkonsep, terintegrasi, dan efektif. Akibat belum adanya landasan hukum kebencanaan, maka pelaksanaan mitigasi dan penanganan bencana dirasakan belum fokus, menyeluruh, dan menyentuh kepentingan langsung korban beserta masyakat di sekitarnya yang terkena dampak bencana. Masyarakat pun belum terlibat secara penuh dengan mobilisasi potensinya masing-masing. Kini sudah saatnya landasan hukum penanganan bencana diterbitkan. Sebagai dasar penyusunan landasan hukum (peraturan perundangundangan) tentang mitigasi dan penanganan bencana adalah UU Dasar 1945 Pasal 28G, ayat 1 (amandemen kedua). Dalam ketentuan tersebut diamanatkan bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak memGambar 4. Hubungan antara bencana dan pembangunan. Dalam gambar, bencana dianggap sebagai unsur negatif (-) dan pembangunan sebagai unsur positif (+). Matrik irisan dari dua bidang – dan + tersebut menghasilkan 4 hubungan sebagaimana telah dsiebutkan sebelumnya. Pengaruh bencana yang negatif (--) pada pembangunan, misalnya: hilangnya sumber-sumber daya, gangguang terhadap program-program pembangunan, menurunnya iklim invenstasi, menurunnya sektor informal, dan destabilisasi politik. Sumber: DTMP (http:// www.undmtp.org).
peroleh rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Untuk itu, berkaitan dengan bencana, sudah saatnya diterbitkan landasan hukum guna pelaksanaan mitigasi yang terintegrasi dengan mempertimbangkan tugas dan fungsi berbagai instansi Pemerintah/Negara serta masyarakat umum dalam penanganan bencana. Meskipun sampai saat ini belum terdapat landasan hukum penanganan bencana, namun perbincangan dan usaha-usaha ke arah itu sudah mulai menggelinding. Antara lain usulan-usulan yang disampaikan oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana yang telah menyusun sebuah draft terkait (Bakornas PB). Landasan hukum tersebut terdapat dalam konsep “Mitigasi Bencana” yang dihasilkan oleh Bakornas PB. BENCANA DAN KONSEP LANGKAHLANGKAH PENANGANANNYA Bencana sudah tentu memerlukan penanganan yang serius. Karakteristik umum bencana - yang disarikan dari pengantar modul manajemen bencana PBB - menjadikan penanganan bencana harus dilakukan secara terkonsep dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Hal ini mengingat bahwa: 1) bencana adalah masalah yang berkembang yang akan menarik perhatian terus menerus secara meningkat bagi pemerintah nasional maupun internasional; 2) Program-program pembangunan di daerah yang cenderung terkena bencana akan terpengaruh oleh bencana-bencana; dan, 3) bencana adalah kejadian yang tidak biasa yang memerlukan tanggapan yang tidak biasa pula. Karena itu, dalam melaksanakan tanggapan yang memadai terhadap bencana, Pemerintah dan siapa pun yang terlibat tidak dapat menggantungkan pada prosedur normal. Dengan kata lain, siapa pun atau lembaga apa pun yang akan menangani bencana haruslah belajar dan mempraktekkan keterampilan dan perilaku khusus dalam menangani bencana; Lebih jauh lagi, bencana terkait dengan empat prioritas penting: 1) orang-orang yang terusir, 2) pengungsi dan mereka yang kembali (dari pengungsian), 3) wanita dan WARTA GEOLOGI, JULI 2006
21
FOKUS KITA pembangunan, 4) perlindungan lingkungan. Keempat isu tersebut saling terkait dan saling melengkapi. Masyarakat dunia sangat menaruh minat dalam persoalan bencana. Setiap pemerintahan pun dituntut untuk membuktikan kemampuan mereka dan memperlihatkan citra yang positif terhadap penanganan bencana. Kinerja penanganan bencana pada akhirnya menjadi ukuran penting keberhasilan suatu Pemerintahan (good governance). Berdasarkan kenyataan di atas, bencana-bencana dapat dipandang sebagai serangkaian tahap-tahap (fase-fase) dalam rentangan (kontinum) waktu. Mengidentifikasi dan memahami tahap-tahap bencana tersebut diperlukan untuk mengenali kebutuhan-kebutuhan terkait dengan penanganan bencana dan memberikan konsep tentang aktivitas manajemen bencana yang memadai. Bagian dua tulisan ini mengupas selintas tentang tahapan manajemen bencana sebagai dasar memahami penempatan peran dan langkahlangkah bidang geologi dalam mitigasi bencana. Tahap-tahap Penanganan Bencana (Manajemen Bencana) Manajemen Bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusankeputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan (penanganan)
a
bencana. Manajemen bencana meliputi mitigasi bencana. Dalam tinjauan mitigasi bencana selanjutnya, kita akan menganggap bahwa bencanabencana pada dasarnya mewujud sebagai akibat ulah manusia. Hal ini karena manusia telah memilih - apa pun alasannya – untuk berada atau bertempat tinggal dimana fenomena alam yang menyebabkan pengaruhpengaruh merugikan terhadap dirinya itu terjadi. Terkait dengan tahapan manajemen, harus dipahami pula makna dari istilah-istilah risiko, kerentanan, dll.. Siklus pada Gambar 5 menggambarkan tahapan-tahapan manajemen bencana sebagaimana diusulkan oleh modul pelatihan manajemen bencana dari PBB, yaitu: “United Nations Disaster Management Training Programme (DMTP). Tahapan bencana dari DMTP tersebut membedakan jenis bencana yang datang secara cepat (Gambar 5a.) dan bencana yang datang secara lambat (Gambar 5b.). Jenis bencana yang cepat meliputi semua bencana geologi (letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, dan gerakan tanah). Bencana yang lambat antara lain: kelaparan dan wabah penyakit. Berdasarkan pada Gambar 5a, pada serangan bencana yang cepat, terdapat lima tahapan manajemen bencana, dengan satu fase kejadian bencana itu sendiri dengan dampaknya. Kelima tahapan tersebut sesuai urut-urutannya dan bergerak secara melingkar (siklus) adalah: Fase Bantuan, Fase Rehabilitasi, Fase Rekon-
b
Gambar 5. Siklus manajemen bencana: a. serangan bencana yang cepat, b. serangan bencana yang lambat (Sumber DMTP, http://www.undmtp.org/ modules_i.htm )
22
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
struksi, Fase Mitigasi, dan Fase Kesiapan. Adapun dalam serangan bencana yang lambat, terdapat enam fase (termasuk satu fase dalam keadaan bencana). Keenam fase tersebut secara berurutan dan bergerak melingkar (siklus) adalah: Fase Emergensi atau Darurat (di tengah keadaan bencana), Fase Bantuan, Fase Rehabilitasi, Fase Mitigasi, Fase Kesiapan, dan Fase Peringatan Dini. Dalam serangan bencana yang cepat pada umumnya sangat sulit untuk melakukan peringatan dini dan tindakan darurat. Dalam siklus manajemen bencana, urutan-urutan sebagaimana disebutkan di atas bergerak dari keadaan yang paling kritis, yaitu keadaan tertimpa bencana (dampak bencana, dan atau emergensi) sampai pada keadaan aman dan kesiapan. Dalam siklus tersebut terlihat pula bahwa tindakan mitigasi dilakukan pada keadaan jauh dari bencana, yaitu sebelum atau sesudah datang bencana. Namun, kesimpulan yang terakhir ini tidak mutlak, karena, dalam berbagai definisi sebagaimana akan dibahas selintas nanti, ada pendapat yang menyebutkan bahwa tindakan mitigasi mencakup pengertian umum, yaitu tindakan mengurangi dampak bencana kapan saja dan dimana saja, sehingga pada prinsipnya semua tahapan penanganan bencana dapat disebut sebagai mitigasi bencana. Siklus manajemen bencana seperti diuraikan di atas juga menunjukkan bahwa dalam konsep pengelolaan bencana, perhatian terhadap bencana tidak dilepaskan dari pembangunan sehari-hari. Dengan kata lain, bencana dianggap sebagai bagian dari situasi normal yang harus senantiasa diperhatikan baik dalam keadaan aman (sebelum terjadinya bencana) maupun dalam keadaan mulai adanya ancaman bahaya dan berlanjut sampai terjadinya bencana, saat bencana, dan setelah keadaan bencana. Siklus manajemen bencana dari DMTP sebagaimana pada Gambar 5 bukanlah siklus yang baku yang telah disepakati oleh semua kalangan. Tahapan tersebut lebih merupakan usulan yang diharapkan mengarah kepada suatu konsensus bersama langkah-langkah penanganan bencana. Walau demikian, sebuah siklus tahapan manajemen darurat – yang didalamnya terkandung manajemen
FOKUS KITA
Gambar 6. Siklus tahapan dalam manajemen darurat: Tanggap darurat, pemulihan, Mitigasi, dan Kesiapan (Sumber: Wikipedia: http:// en.wikipedia.org/wiki/Mitigation) bencana - mengingat keadaan darurat adalah bagian dari keadaan bencana - yang lebih sederhana sekurang-kurangnya tetap mengandung beberapa tahapan bagian dari siklus seperti pada Gambar 6. Tahapan-tahapan tersebut selalu diperlukan dalam manajemen bencana. Berdasarkan Gambar 6, manajemen bencana sekurang-kurangnya harus terdiri atas langkah-langkah: Tanggap Darurat, Pemulihan, Mitigasi, dan Kesiapan. Sebuah siklus tahapan penanganan bencana yang lebih sederhana dikemukakan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVG, Badan Geologi sekarang), DESDM dalam buku “Gempa Bumi dan Tsunami”, hasil kerjasama instansi tersebut dengan PGRI dan Yayasan SAMPAI, Jakarta, Tahun 2005. Dalam siklus penanganan bencana – yang dikhususkan untuk bencana alam (terkait fenomena atau bahaya) geologi - itu, langkah penanganan bencana hanya dibedakan menjadi tiga tahap (Gambar 7). Ketiga tahap tersebut adalah: 1) Saat terjadi bencana, meliputi: tanggap darurat dan evakuasi; 2) Sesudah terjadi bencana, meliputi: penyelidikan, rehabilitasi, dan rekonstruksi, dan 3) sebelum terjadi bencana atau mitigasi. Ilustrasi pada Gambar 7 menunjukkan siklus tahapan penanganan bencana dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Benca-
Gambar 7. Tahapan manajemen bencana (Sumber: Buku “Gempabumi dan Tsunami, DVMBG, DJGSM, DESDM bekerjasama dengan PGRI dan Yayasan SAMPAI) na Geologi (DVMBG), Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (DJGSM), 2005 (sekarang: PVG, Badan Geologi). Penanganan bencana dibagi menjadi 3 langkah: 1) saat terjadi bencana, 2) saat sesudah bencana, dan 3) mitigasi (sebelum terjadi bencana). Pengertian Tahapan-tahapan dalam Manajemen Bencana Di bawah ini dikemukakan pengertian-pengertian istilah yang digunakan dalam tahapan penanganan bencana. Pengertian yang dibahas dibatasi pada tiga tahapan saja, yaitu: Tanggap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi, dan Mitigasi. Hal ini mengingat ketiga tahapan tersebut sudah merangkum tahapan-tahapan lainnya. Tanggap Darurat mencakup atau menjelaskan juga tahapan Peringatan Dini, Evakuasi dan Bantuan; tahapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi meliputi tahapan Pemulihan (Recovery); dan tahapan Mitigasi mencakup tahapan Kesiap-siagaan (Preparedness) sampai Peringatan Dini. Rujukan pengertian tersebut adalah tiga sumber, yaitu: 1) materi pelatihan manajeman bencana dari PBB (DMTP), 2) Ensiklopedia online Wikipedia (Wikipedia), dan 3) buku “Gempabumi dan Tsunami” dari DESDM, 2005 (DESDM, 2005). Dalam setiap tahapan diupayakan suatu identidikasi tentang kaitan atau kontribusi informasi geologi terhadap langkah-langkah kegiatan dalam tahapan penanganan bencana.
• Tanggap Darurat Tahapan “tanggap darurat” berkaitan dengan tindakan yang harus didahulukan saat menjelang, berhadapan dengan, dan setelah kejadian bencana. Dalam modul DMTP, tanggap darurat bencana adalah jumlah total tindakan yang dilakukan oleh orang-orang atau institusi-instutusi dalam menghadapi bencana. Tindakan-tindakan tersebut meliputi: peringatan dini akan datangnya suatu kejadian yang mengancam atau kejadian itu sendiri jika kejadian itu muncul tanpa peringatan, tindakan-tindakan darurat, dan bantuan. Tanggap darurat adalah implementasi dari rencana-rencana kesiapan menghadapi bencana dan prosedur-prosedurnya sehingga sangat erat terkait dengan tahapan kesiap-siagaan menghadapi bencana. Akhir dari tahapan tanggap darurat adalah tahapan rehabilitasi bencana. Menurut Wikipedia, tanggap darurat (respon) meliputi mobilisasi pelaku-pelaku pertama tanggap darurat dan pelayanannya (tim SAR, polisi, relawan) yang diperlukan dalam wilayah bencana. Rencana latihan tanggap darurat perlu dikembangkan dan dilaksanakan dalam tahap kesiapsiagaan. Jenis, jumlah, dan besaran bantuan yang diberikan juga satuan yang dilibatkan sangat bergantung kepada intensitas dampak atau kerugian akibat bencana. Menurut modul DMTP, tujuan tanggap darurat adalah: 1) menjamin WARTA GEOLOGI, JULI 2006
23
FOKUS KITA jumlah korban yang mungkin dapat diselamatkan secara maksimal, menjaga kesehatan mereka dalam segala kondisi dengan peluang yang terbaik, 2) menetapkan kembali kemandirian pelayanan yang penting secepat mungkin untuk semua kelompok populasi dengan perhatian khusus terhadap mereka yang kebutuhannya paling banyak; yang paling rentan dan kurang mampu; 3) memperbaiki kembali atau mengganti infrastruktur yang rusak dan menggerakkan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi, melaksanakan kegiatan yang menunjang tujuan-tujuan pembangunan jangka panjang dan mengurangi kerentanan terhadap bahaya-bahaya yang berpotensi merusak yang mungkin muncul kambali. Tindakan-tindakan dalam tanggap darurat meliputi: 1) peringatan (penyebaran informasi untuk bencana dengan serangan mendadak, dan peringatan dini untuk bencana dengan sarangan lambat), 2) evakuasi atau migrasi, 3) menggerakkan tim SAR, 4) pengkajian paska bencana, 5) bantuan emergensi, 6) komunikasi dan manajemen informasi, 7) respon terhadap yang selamat dan penanganannya, 8) keamanan, 9) manajemen operasi-operasi emergensi, dan 10) rehabilitasi dan rekonstruksi. Tahapan tanggap darurat memang lebih banyak terkait dengan manajemen penanganan korban bencana langsung saat kejadian. Dalam hal ini, keterkaitan langsung bidang geologi dengan tahapan tersebut ada pada tujuan-tujuan nomor 2) dan 3) pada uraian tersebut di atas. Sedangkan kontribusi bidang geologi dengan lingkup kegiatan tahapan tanggap darurat secara khusus antara lain dalam: peringatan dan peringatan dini, pengkajian paska bencana, komunikasi dan manajemen informasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Bentuk-bentuk kontribusinya secara nyata antara lain: penilaian besarnya kerusakan secara keseluruhan dari aspek geologi, identifikasi dan pengembangan sumber daya untuk mengurangi risiko-risiko yang mendesak (misal: air tanah sebagai sumber air keperluan para korban dan kebutuhan tahap rekonstruksi, rehabilitasi), pencarian lokasi untuk evakuasi yang aman dari sudut pandang geologi, serta kontribusi dalam mengantisipasi masalah serius yang mungkin timbul. Dalam fase peringatan, misalnya,
24
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
kajian geologi dapat berkontribusi terhadap perkiraan ancaman bencana untuk menentukan tindakan-tindakan perlindungan kehidupan. Sedangkan dalam fase emergensi, informasi geologi dapat memberikan masukan bagi upaya identifikasi, gambaran dan pengukuran populasi penduduk yang berisiko terhadap bahaya atau bencana. • Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rehabilitasi dan rekonstruksi adalah tahapan berikutnya setelah fase “tanggap darurat” menurut modul DMTP dan tahap setelah terjadinya bencana dari DESDM. Dalam modul tersebut dinyatakan bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan bagian terbesar dari tahapan pemulihan (recovery). Karena itu, padanan untuk kedua tahapan tersebut adalah tahapan pemulihan sebagaimana dalam Wikipedia. Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi dilaksanakan segera setelah tahapan darurat dan difokuskan pada aktivitas-aktivitas yang memungkinkan para korban dapat memulai lagi kehidupannya dan sarana-sarana penghidupannya berlangsung kembali secara normal. Dalam modul DMTP, rehabilitasi dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan setelah terjadi suatu bencana untuk memungkinkan pelayanan-pelayanan dasar berfungsi kembali, membantu para korban dengan usaha mandiri mereka memperbaiki tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas masyarakatnya dan memberikan fasilitas guna kebangkitan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi mereka sehari-hari (termasuk pertanian). Rehabilitasi memusatkan tindakan-tindakannya pada upaya mengembalikan penduduk yang terkena dampak bencana untuk memulai kehidupan yang kurang lebih normal. Dengan demikian, tahap rehabilitasi dapat dianggap sebagai fase transisi antara bantuan segera (darurat) dan bantuan yang lebih besar dari rekonstruksi jangka panjang dan upaya-upaya pembangunan berkelanjutan. Adapun rekonstruksi adalah kontruksi permanen atau penggantian bangunan-bangunan fisik yang rusak parah, pembangunan kembali semua sarana pelayanan-pelayanan dan infrastruktur lokal secara total, dan penguatan ekonomi. Rekonstruksi harus secara penuh dipadu-
kan kedalam rencana pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan dengan memperhatikan risiko-risiko bencana di masa mendatang, dan mengurangi risiko-risiko tersebut melalui tindakan-tindakan mitigasi yang memadai. Bangunan yang rusak tidak mesti dibangun kembali sesuai aslinya dan di lokasi sebelumnya. Rekonstruksi mungkin meliputi penggantian pengaturan sementara yang dibuat sebagai tindakan tanggap darurat atau rehabilitasi. Dalam Wikipedia dinyatakan bahwa tujuan dari rehabilitasi dan rekonstruksi (pemulihan) adalah untuk mengembalikan daerah yang terkena bencana pada keadaannya semula. Fokus pemulihan berbeda dengan fokus tanggap darurat. Usaha-usaha pemulihan sangat fokus pada isu-isu dan keputusan yang harus dibuat setelah kebutuhan mendadak terpenuhi. Usaha pemulihan pertama-tama ditujukan pada tindakan-tindakan yang melibatkan pendirian kembali bangunanbangunan/harta benda yang hancur, penciptaan kembali lapangan kerja, dan perbaikan terhadap infrastruktur penting. Dinyatakan pula bahwa salah satu aspek yang penting dalam upaya pemulihan adalah mengambil keuntungan dari kesempatan yang terbuka untuk mengimplementasikan langkah-langkah mitigasi yang mungkin tidak populer. Sebab, penduduk yang terkena bencana lebih mungkin menerima perubahan yang mengandung langkah mitigasi ketika sebuah bencana yang baru terjadi masih segar dalam ingatan mereka. Dalam tindakan pemulihan geologi dapat berperan dalam proses mendirikan kembali bangunan-bangunan dan infrastruktur, terutama dalam hal pemilihan lokasi yang relatif aman dari risiko bencana, dan penataan ruang. Geologi juga dapat memberikan kontribusinya untuk implementasi langkah-langkah mitigasi yang diterapkan dalam tahapan tersebut. Dengan kata lain, geologi dapat berperan dalam dan kajian dampak dari bencana terhadap program-program pembangunan yang sedang berjalan dan identifikasi peluang-peluang pembangunan yang baru yang muncul karena bencana • Mitigasi Bencana - Makna luas dan makna sempit, risiko dan kerentanan (DMTP)
FOKUS KITA Mitigasi secara ringkas bermakna tindakan pengurangan. Dalam kaitannya dengan bencana, mitigasi berarti upaya untuk mengurangi dampak atau akibat bencana. Sebagaimana dinyatakan dalam modul DMTP, mitigasi adalah salah satu hubungan positif antara bencanabencana dengan pembangunan. Pemerintah, institusi-institusi di tengah masyarakat dapat menggunakan sumber daya pembangunan yang tersedia untuk mengurangi risiko melalui proyek-proyek mitigasi. Ada dua pengertian mitigasi yang perlu dipertimbangkan: Mitigasi dalam pengertian luas dan mitigasi dalam arti yang sempit. Mitigasi dalam pengertian yang paling luas mencakup seluruh upaya-upaya atau tindakan-tindakan yang ditujukan guna mengurangi akibat atau dampak dari suatu bencana. Dalam pengertian pertama ini, mitigasi dilaksanakan pada waktu jauh sebelum terjadi bencana (tindakan pra-bencana). Namun, keadaan pra bencana ini sesungguhnya juga merupakan keadaan setelah bencana dari bencana periode sebelumnya. Pengertian mitigasi yang paling luas mencakup semua tindakan-tindakan kesiapan dan pengurangan risiko jangka panjang. Mitigasi dalam arti yang sempit dimaksudkan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengurangi baik penderitaan manusia maupun kerugian harta benda sebagai akibat dari fenomena alam yang ekstrim (bencana). Dalam pengertian sempit ini, mitigasi bermakna: pengurangan risiko (jangka pendek). Dalam hal ini mitigasi meliputi aktivitas-aktivitas, tindakan-tindakan dan dukungan bagi perlindungan yang luas mulai dari pembangunan fisik untuk meredam gelombang tsunami, bangunan tahan gempa, sampai pada prosedur seperti teknik-teknik yang standar untuk menggabungkan penilaian bahaya kedalam perencanaan penggunaan lahan (tata ruang). Beberapa prinsip mitigasi sebagaimana dalam modul DMTP adalah: 1) pemahaman yang penuh terhadap sifat bencana, mengingat tipe-tipe bahaya yang dihadapi tidaklah sama untuk setiap daerah/wilayah, 2) prioritas pada penyelamatan hi-dup manusia dan mengurangi gangguan ekonomi akibat bencana, dan 3) menjadikan daerah-
daerah yang paling banyak terancam oleh bahaya atau dipengaruhi oleh bencana seba-gai sasaran utama mitigasi. Pemahaman sifat-sifat bencana meliputi: bagaimana bahaya itu muncul (penyebab bencana), kemungkinan terjadinya bencana dan besarannya (penyebaran geografis, ukuran atau tingkat keparahan, dan kemungkinan frekuensi kemunculannya), mekanisme fisik kerusakan, unsur-unsur dan aktivitas-aktivitas yang paling rentan ter-hadap pengaruh-pengaruhnya, dan kemungkinan konsekuensi-konsekuensi kerusakan (akibat sosial ekonomi dari bencana). Dalam upaya pemahaman menyeluruh terhadap sifat bencana, suatu sajian informasi dengan bahasa yang sedapat mungkin dipahami berbagai pihak yang terlibat perlu disusun oleh institusi yang bertanggungjawab dan disampaikan kepada pihak-pihak terkait untuk digunakan dalam rangka penanganan bencana. Tabel 1 menyajikan bentuk sajian informasi untuk pemahaman sifat bencana dimaksud. Risiko adalah kerugian-kerugian yang diperkirakan (kehilangan kehidupan, orang-orang yang terluka, kerusakan properti dan gangguan aktivitas ekonomi) yang disebabkan oleh satu bahaya khusus. Risiko adalah hasil dari adanya bahaya dan kerentanan. Adapun Kerentanan adalah tingkat kerugian sebagai akibat dari satu fenomena yang berpotensi merusak. Kerentanan biasanya dinyatakan dengan angka persentase,
contoh: mulai dari 0% hingga 100%. Penilaian kerentanan merupakan aspek penting dari perencanaan mitigasi yang efektif. Kerentanan secara tidak langsung menyatakan baik kerawanan terhadap kerusakan fisik dan kerusakan ekonomi dan kurangnya sumber-sumber daya untuk pemulihan (akibat bencana) secara cepat. Upaya mitigasi yang efektif adalah dengan cara mengurangi tingkat kerentanan masyarakat dan unsurunsur yang berisiko daripada mengurangi tingkat bahaya (beberapa jenis bahaya - seperti gempa bumi - bahkan tidak mungkin dicegah atau dikurangi). Upaya pengurangan risiko dengan meminimalkan tingkat kerentanan akan lebih efektif berhasil apabila dilakukan dengan caracara aktif atau apa yang diidentifikasi oleh DMTP sebagai “tindakan-tindakan mitigasi aktif”. - Langkah fisik dan tak fisik, risiko bahaya spesifik, dan kesiapan (Wikipedia) Dalam Wikipedia, usaha mitigasi dinyatakan sebagai upaya untuk mencegah bahaya secara serempak berkembang menjadi bencana atau mengurangi efek dari bencana ketika hal itu terjadi. Tahapan mitigasi dibedakan dari tahapan yang lain oleh karena fokusnya pada langkahlangkah jangka panjang dalam rangka pengurangan atau penghilangan risiko. Implementasi strategi mitigasi dapat dianggap sebagai bagian dari proses pemulihan jika hal itu di-
Tabel 1. Jenis Bencana dan Parameter untuk Pemahaman Bencana Jenis Bencana
:
.....................................
Mekanisme Kerusakan
:
.....................................
Parameter Kedahsyatan
:
.....................................
Penyebab
:
.....................................
Pengkajian Bahaya dan Teknik-Teknik Pemetaan
:
.....................................
Potensi Pengurangan Bahaya
:
......................................
Serangan dan Peringatan
:
......................................
Elemen-elemen yang paling berisiko
:
......................................
Strategi-strategi Mitigasi Utama
:
......................................
Partisipasi Masyarakat
:
......................................
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
25
FOKUS KITA laksanakan segera setelah kejadian bencana. Namun, usaha-usaha untuk mengurangi atau menghilangkan risiko yang dilakukan sepanjang waktu atau dalam tahap apa pun tetap dapat dianggap sebagai usaha mitigasi. Wikipedia membagi mitigasi kedalam langkah-langkah mitigasi fisik (structural mitigative measures) dan langkah-langkah mitigasi tak fisik (non-structural mitigative measures). Mitigasi fisik menggunakan solusi teknologi, seperti bendungan pengelak banjir. Sedangkan langkah mitigasi tak fisik meliputi peraturan, rencana tata guna lahan, tata ruang, dan asuransi, sebagai contoh: pencadangan lahan tak penting – seperti taman – untuk digunakan sebagai zona penampung banjir. Mitigasi adalah metode yang paling efisien untuk pengurangan dampak dari bahaya. Namun, mitigasi tak selamanya cocok, khususnya mitigasi fisik yang dapat menimbulkan pengaruh buruk pada ekosistem. Satu penanda bahwa mitigasi telah dilaksanakan adalah kegiatan identifikasi risiko. Pengkajian risiko fisik merujuk kepada proses identifikasi dan evaluasi bahaya-bahaya. Dalam kajian risiko, diidentifikasi berbagai bahaya, seperti gempa bumi, letusan gunung api, banjir, di suatu wilayah tertentu. Setiap bahaya tersebut memberikan sebuah risiko bagi penduduk di daerah yang dikaji. Risiko bahaya khusus (Rh) menggabungkan kemungkinan (probabilitas) bahaya (H) dan tingkatan dampak dari bahaya tertentu (Vh), sebagaimana dalam persamaan di bawah ini: Rh = H x Vh. Dalam persamaan, Risiko dari suatu bahaya (Rh) sama dengan hasil perkalian antara bahaya tersebut dengan kerentanan penduduk terhadapnya. Untuk menghitung nilai risiko sebagaimana dalam persamaan di atas dapat digunakan pemodelan katastrofi (catastrophe modeling). Semakin tinggi risiko tersebut, maka semakin mendesak untuk mendahulukan kerentanan bahaya khusus tersebut sebagai target mitigasi dan usaha-usaha kesiapan. Demikian pula, tidak ada kerentanan berarti tidak ada risiko yang harus diperhitungkan, contoh: gempa bumi di pulau yang tidak didiami penduduk. Mitigasi dapat pula meliputi tahapan Kesiapan. Dalam tahap Kesiapan, pengelola keadaan darurat
26
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
mengembangkan rencana aksi yang akan dijalankan ketika serangan bencana tiba. Langkah-langkah Kesiapan yang umum meliputi: pemeliharaan harta benda, pelatihan pelayanan darurat, pengembangan latihan tentang metode-metode pemberian peringatan darurat, perlindungan darurat, dan rencana evakuasi bagi penduduk; persediaan pasokan makanan dan peralatan, pengembangan dan praktek koordinasi lintas institusi, dst. Satu langkah yang efisien dalam Kesiapan adalah pembentukan dan operasi sebuah Pusat Operasi Darurat (POD) yang digabung dengan praktek dari azas “luas daerah” (region-wide) untuk mengelola keadaan darurat. Tujuan pembentukan institusi sejenis POD adalah untuk mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas dari tahapan tanggap darurat berikut bagian-bagiannya. - Upaya-upaya mengurangi akibat bencana sebelum terjadi bencana (DESDM) Sebagaimana tampak pada Gambar 7, konsep mitigasi bencana-khususnya bencana geologi, lebih khusus lagi gempa bumi dan tsunami – dari DESDM lebih menitikberatkan pada mitigasi dalam arti yang luas. Dalam hal ini, mitigasi adalah bagian dari manajeman penanggulangan bencana yang ditempatkan sebagai upayaupaya sebelum terjadinya bencana. Mitigasi dalam konsep DESDM ini meliputi: a) penyelidikan, b) pemetaan, c) pemantauan, d) komunikasi, e) pelatihan, f) sosialsiasi, dan g) peringatan dini. Adapun strategi yang diambil adalah strategi kewilayahan. Yakni, bahwa mitigasi bencana geologi (gempa bumi dan tsunami, letusan gunung api dan tanah longsor) menitikberatkan pada identifikasi tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap terjadinya bencana tersebut, serta menyiapkan masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana. Paparan selanjutnya tentang mitigasi bencana (geologi) dari ESDM akan dikemukakan pada Bagian Mitigasi Bencana Geologi. Konsep dan Strategi Penanganan Bencana Geologi Sebuah konsep dan strategi penanganan, penanggulangan atau manajemen bencana geologi barang-
kali diperlukan jika istilah “bencana geologi” secara konsisten terus digunakan. Konsep dan strategi dimaksud secara substansi sudah termuat dalam modul-modul atau rujukan-rujukan terkait manajemen bencana alam atau secara umum: manajemen bencana (disaster management). Bencana geologi oleh PBB dimasukkan sebagai jenis bencana alam dengan serangan bencana yang cepat dan tingkat bahayanya tidak memiliki peluang untuk dicegah atau dikurangi. Konsep dan strategi manajemen bencana geologi sudah tentu mengandung konsep dan strategi mitigasi bencana geologi. Dalam kaitannya dengan maksud mitigasi bencana sebagai langkah terus menerus dilakukan guna mengurangi risiko bencana melalui berbagai kegiatan, maka bidang geologi sudah nyata merupakan rujukan yang penting dalam setiap langkah mitigasi tersebut. Bidang geologi menempati peran yang sangat besar dalam memberikan pemahaman mengenai: penyebab bahaya; penyebaran geografis, ukuran atau tingkat keparahan, dan kemungkinan frekuensi kemunculan bahaya; mekanisme fisik kerusakan, unsur-unsur dan aktivitas-aktivitas yang paling rentan terhadap pengaruh-pengaruhnya. Idealnya konsep dan strategi mitigasi bencana geologi menyediakan informasi fisik alam yang komprehensif guna mengurangi tingkat kerentanan masyarakat yang dikelilingi oleh potensi dan ancaman bencana alam letusan gunung api, gempa bumi dan tsunami, dan tanah longsor. BAHAYA DAN BENCANA GEOLOGI: RISIKO HIDUP DI ATAS MEGA LEMPENG TEKTONIK Posisi geografis Indonesia terletak di atas tiga mega lempeng tektonik besar yang aktif - lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik - menghasilkan variasi dan kompleksitas geologi, konfigurasi, struktur, proses, dan dinamika geologi yang tinggi. Kondisi ini, di satu sisi, memberikan keuntungan berupa kekayaan berbagai sumber daya geologi (geo-resources), lingkungan geologi (geo-environment), selain tentunya sains geologi (geoscience). Di sisi lain, kondisi geologi yang kompleks dan dinamis terse-
FOKUS KITA but menyebabkan begitu rentannya wilayah Indonesia terhadap bahaya geologi (geo-hazard) seperti letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, gerakan tanah. Itulah kenyataan yang harus selalu disadari oleh kita. Bahwa sebenarnya ancaman bahaya geologi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Bahaya geologi dan bencana yang ditimbulkannya merupakan risiko kita yang hidup di atas tiga lempeng tektonik aktif di dunia. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, dalam manajemen bencana sangatlah penting membedakan antara bahaya dan bencana. Karena, berdasarkan hal itu kita dapat mengetahui tingkat potensi bencana dan langkah mitigasinya, di antaranya melalui pengurangan kerentanan masyarakat terhadap ancaman bencana tersebut. Identifikasi bahaya dan bencana diperlukan baik dalam rangka mitigasi bencana, maupun manajemen bencana. Bagian ini akan mengulas bahaya dengan penekanan pada bahaya dan bencana geologi yang terjadi di wilayah Indonesia. Posisi dan Fungsi Identifikasi Bahaya dalam Manajemen Bencana Gambar 8 menyajikan kembali tahapan-tahapan manajemen bencana kaitannya dengan bahaya (B, BB, dan BBB). Berdasarkan batasan setiap tahapan, informasi tentang bahaya sangat diperlukan terutama pada tahapan pemulihan (meliputi tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi), miti-
BBB
gasi, dan kesiapsiagaan. Pada Gambar 8, implementasi dan informasi bahaya geologi diperlukan dalam penanganan bencana tahap pemulihan dengan besaran yang relatif rendah (B), pada tahap mitigasi dengan intensitas lebih tinggi (BB), dan dalam tahap kesiapan dengan intensitas paling tinggi (BBB). Hal itu apabila kita meninjau mitigasi dalam arti yang sempit. Adapun dalam arti mitigasi yang luas, implementasi informasi bahaya geologi diperlukan setiap waktu dengan intensitas yang relatif sama guna pengurangan risiko bencana jangka panjang secara optimal. Dalam tahapan pemulihan, informasi geologi diperlukan misalnya dalam penempatan bangunan-bangunan infrastruktur, tata ruang untuk pemukiman kembali, dll. Pada tahap mitigasi dalam makna yang sempit, informasi geologi sangat berperan antara lain dalam pembuatan bangunan peredam gelombang tsunami, bangunan tahan gempa, dll. Adapun dalam tahapan kesiapan, informasi geologi diperlukan untuk penyebaran informasi adanya ancaman bencana secara cepat, namun tidak menyebabkan kepanikan, penyusunan rencana evakuasi, pemberian bantuan, dan tindakan-tindakan emergensi lainnya. Bahaya Geologi di antara Bahaya Alam Lainnya Bahaya geologi sebagaimana di-
B
BB
Gambar 8. Ilustrasi menunjukkan posisi dan fungsi identifikasi bahaya dalam tahapan penanganan bencana.
nyatakan dalam modul pelatihan manajemen bencana dari PBB (Disaster Management Training Programme; DMTP) meliputi gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan tanah longsor. Dalam modul DMTP tersebut, PBB membagi bahaya ke dalam lima kelompok penting dan harus diperhatikan berdasarkan kriteria tertentu. Kelima kelompok bahaya itu adalah: 1) Bahaya Geologi (gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan tanah longsor); 2) Bahaya Iklim (badai tropis, banjir, kekeringan); 3) Bahaya Lingkungan (polusi lingkungan, penebangan hutan, desertifikasi atau penggurunan, dan wabah hama); 4) Wabah Penyakit; dan 5) Kecelakaan industri dan Kimia. Adapun kriteria yang dimaksud adalah bahwa bahaya tersebut paling banyak muncul, tingginya frekuensi jenis bahaya tersebut berkembang menjadi bencana, dan seringnya bahaya tersebut mendapat perhatian skala internasional. Dalam penjelasan lebih lanjut tentang kriteria “mendapat perhatian yang luas”, PBB dalam DMTP telah menyusun bahaya-bahaya ke dalam kategori berikut: 1) Serangan bahaya mendadak, 2) Serangan bahaya yang perlahan-lahan, 3) Bahaya teknologi, 4) Bahaya perang dan kerusuhan sipil, dan 5) Epidemi. DMTP selanjutnya menyatakan bahwa bahaya geologi (gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, tanah longsor); merupakan serangan bahaya mendadak. PBB selanjutnya sangat menganjurkan agar setiap masyarakat/negara mengenali dan menentukan bahaya apa yang harus menjadi perhatian utama untuk masing-masing masyarakat/bangsa/ negara. Bahaya-bahaya alam yang menjadi perhatian PBB terkait erat dengan bencana-bencana yang besar dan manarik perhatian komunitas luas, yakni bahaya-bahaya yang mempengaruhi populasi yang besar dan yang memerlukan bantuan dari luar komunitas yang terkena. Karena tingkat kerentanan yang melekat pada masyarakat terkena bahaya tersebut, bahaya-bahaya itu pun menjadi bencana besar. Memang sangatlah tipis perbedaan antara bahaya dan bencana ketika tingkat kerentanan masyarakat yang menghadapinya sudah sedemikian tinggi. Pada gilirannya, bahaya pun menjadi bencana. Dalam modul DMTP disajikan data 15 gempa bumi besar yang terWARTA GEOLOGI, JULI 2006
27
FOKUS KITA jadi di 15 negara dalam kurun waktu 1972 – 1995 yang menyebabkan total kematian sebanyak 1,5 jiwa, dan total kerugian harta benda mencapai nilai US $ 200 juta. Sumber yang sama menyajikan data kejadian tsunami besar antara 1945 - 1994 sebanyak 9 kejadian yang terjadi di 9 wilayah negara berbeda dengan jumlah korban meninggal sebanyak lebih dari 15.000 orang dan kerugian harta benda antara 1992-1993 saja mencapai US $ 1 juta. Dalam aspek bencana letusan gunung api, DMTP dalam modul yang sama menyajikan data pilihan sejak tahun 79 sampai 1991 yang mencatat 10 kejadian letusan gunung api dengan korban meninggal lebih dari 211.000 orang. Dalam data bencana letusan gunung api tersebut, Indonesia menduduki dua tempat teratas dalam hal jumlah korban, yaitu: letusan Gunung Tambora (1815) dengan korban sebanyak 95.000 orang dan Gunung Krakatau (1883) dengan korban sebanyak 36.000 orang. Penyebab kematian untuk Tambora adalah tefra, tsunami, dan kelaparan; sedangkan untuk Krakatau adalah tsunami yang dipicu oleh letusan gunung api. Dalam modul yang sama, DMTP menyajikan data 6 kejadian longsor besar di 5 negara yang berbeda antara 1970 – 1991, dengan kematian yang diakibatkannya total mencapai 33.000 orang dan kerugian lebih dari US$ 21 juta. Jumlah korban dan kerugian akibat bahaya geologi yang berkembang menjadi bencana akan meningkat berlipat ganda apabila catatan data dilanjutkan sampai Tahun 2005. Terutama setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami yang paling dahsyat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara pada akhir Tahun 2004. Paparan pada sub bagian ini menegaskan kembali dua hal. Pertama, bahwa, bahaya geologi merupakan jenis serangan bahaya mendadak. Secara umum, kecil peluang untuk implementasi peringatan dini secara efektif, terutama pada kasus gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor. Kedua, bahaya gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan tanah longsor merupakan bahaya alam yang menjadi perhatian dunia. Hal itu mengingat bahwa bahaya geologi sering berubah menjadi bencana yang menimpa suatu masyarakat,
28
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
merusak populasi besar serta memerlukan bantuan pihak luar masyarakat itu dalam usaha pemulihan paska bencana. Karakteristik Geologi
Umum
Bahaya
DMTP merekomendasikan satu penyajian indikasi tentang karakteristik dasar dari setiap jenis bahaya dan berbagai tindakan yang diperlukan untuk menghadapi bencana yang ditimbulkannya (Tabel 2 sampai Tabel 5). Dipesankannya bahwa bencana mempunyai pengaruh-pengaruh tidak langsung yang dapat bertahan bahkan setelah bencana tersebut secara serta merta ditangani. Masalah perpindahan penduduk setelah serangan bencana yang mendadak, seperti gempa bumi dan tsunami mungkin terus berlanjut meskipun telah dilaksanakan tindakan bantuan darurat, program-program pemulihan, dan bahkan rehabilitasi. Dampak tambahan dapat mengubah serangan bencana mendadak menjadi situasi darurat yang berkesinambungan. Isu lebih lanjut yang harus diingat adalah berkenaan dengan konsekuensi dari satu serangan bencana yang mendadak ketika bantuan pertolongan terhambat oleh adanya konflik sipil yang menyebabkan akses ke lokasi bersangkutan menjadi tidak mungkin. Dengan kata lain, dalam penanganan bencana, terdapat banyak pertentangan. Meskipun demikian, karakteristik dasar dari setiap jenis bencana khusus dan emergensi dan tindakan-tindakan respon yang memadai dapat disusun berdasarkan kriteria dari masing bahaya sebagaimana berikut ini: • Fenomena sebab akibat • Pengaruh dan karakteristik umum • Kemungkinan peramalan • Faktor-faktor yang memberi andil pada kerentanan • Pengaruh-pengaruh khusus (yang ditimbulkannya) • Tindakan pengurangan risiko yang mungkin • Tindakan kesiapan khusus • Kebutuhan umum paska bencana Dijelaskan lebih lanjut dalam model DMTP bahwa jenis-jenis bencana yang berbeda-beda mempunyai pengaruh-pengaruh khusus yang
unik. Semua tindakan-tindakan kesiapan, pengaruh risiko, dan respon paska bencana dan emergensi harus mempertimbangkan dan mengantisipasi hal-hal berikut: 1) Pengaruh gabungan dari jenis bencana yang berbeda muncul secara gabungan, misal: gempa bumi dan tanah longsor; 2) Pengaruh bencana yang berurutan, yaitu etika satu bencana menyebabkan muncul bencana yang lain yang mengikutinya, sebagai contoh: gempa bumi yang menyebabkan tsunami; 3) Kedahsyatan dari dampak aktual sebuah bencana terhadap masyarakat bergantung pada faktorfaktor organisasi dan manusia serta faktor-faktor topografis dan alam. Karakterisasi dasar dari setiap jenis bahaya (potensi bencana) adalah salah satu hal yang harus dilakukan dalam urutan tahap-tahap manajemen bencana. Tabel penyajian karakteristik umum bencana geologi di bawah ini dikutip dari modul DMTP beberapa modifikasi (perbaikan dan konsistensi terjemahan). Implementasi karakter bahaya tersebut harus pula disesuaikan dengan kekhasan dari kondisi setempat. Setiap potensi bahaya atau bencana geologi pada kenyataannya memiliki karakter khas masing-masing. Dengan demikian, Tabel 2 sampai Tabel 5 itu merupakan panduan umum untuk penyajian karakter dasar setiap bahaya geologi. Bahaya Geologi Indonesia Bangsa Indonesia memang ditakdirkan untuk hidup di wilayah tektonik aktif yang setiap saat berpotensi menimbulkan bencana geologi. Oleh karena itu, kita memang harus mengenal dan akrab dengan potensi bencana geologi atau fenomena geologi yang berpotensi menimbulkan bahaya geologi (geo-hazards). Beberapa fenomena geologi yang sewaktu-waktu dapat berkembang menjadi bahaya geologi dan berlanjut menjadi bencana geologi yang berada di sekitar kita adalah: • Sebanyak 79 gunung api aktif yang tersebar di Busur Vulkanis Sumatera-Jawa-Bali -NTT-Sulawesi sampai ke Maluku. Sebaran dan jumlah gunung api aktif (Tipe-A) beserta gunung api jenis lainnya. Akhir-akhir ini empat di antaranya, yaitu Gu-
FOKUS KITA Tabel 2. Karakteristik dasar (karakteristik umum) bahaya Letusan Gunung Api Jenis bahaya geologi I Fenomena sebab akibat
Letusan Gunung Api :
Magma dan gas-gas yang terlarut terdorong oleh tekanan hingga keluar lewat lubang vulkanik (kawah) • •
Pengaruh dan karakteristik umum
:
•
• Kemungkinan Peramalan
Faktor-faktor yang memberi andil pada kerentanan
:
:
•
• • • • • •
• Pengaruh-pengaruh khusus yang merugikan
: •
•
Kemungkinan tindakan pengurangan risiko
:
Tindakan-tindakan kesiapan khusus
:
Kebutuhan-kebutuhan khusus paska bencana
:
Alat-alat penilaian dampak
:
• • • • • • • • • • • •
Tipe gunung api Magma yang mengalir keluar pada permukaan adalah lava dan semua partikel padat yang dikeluarkan adalah tephra Kerusakan sebagai akibat dari jenis material yang dikeluarkan seperti: abu, aliran abu panas (ledakan gas yang mengandung abu dan bagian-bagian kecil partikel; awan panas), lahar, runtuhan, dan aliran lava Studi sejarah geologi tentang gunung api – terutama sekali yang terletak di jalur vulkanik yang dapat diidentifikasi dengan jelas, seiring dengan aktivitas seismic dan observasi-observasi lainnya, dapat mengindikasikan satu gunung api yang akan muncul Tidak atau belum ada indikator yang dapat dipertanggungjawabkan yang telah ditemukan dan tanda-tanda awal letusan gunung api tidak selalu muncul Tempat hunian yang berada di lereng gunung api Tempat hunian pada jalur aliran lahar dan jalur aliran lava Bangunan dengan rancangan atap yang tidak kuat menampung akumulasi debu Adanya material yang dapat terbakar Tidak-adanya rencana evakuasi atau sistem peringatan Korban dan kesehatan – Kematian yang disebabkan oleh aliran abu panas, aliran lahar dan kemungkinan aliran lava dan gasgas beracun. Luka-luka yang disebabkan oleh batu-batu yang berjatuhan, terbakar; kesulitan bernafas karena gas dan abu Hunian, infrastruktur dan pertanian – Kerusakan total atas segala sesuatu yang berada pada jalur abu/awan panas, lahar, atau aliran lava (daerah bahaya); runtuhnya bangunan karena beban lahar/ abu basah, banjir, tertutupnya jalan atau sistem komunikasi Tanaman pangan dan cadangan pangan – Rusaknya tanaman pangan yang berada pada jalur aliran abu dapat mematahkan atau mematikan padi dan cabang-cabang pohon, ternak mungkin menhirup gas beracun atau abu; sawah dan lahan berumput dapat terkontaminasi atau hancur terkena abu/awan panas Perencanaan penggunaan lahan untuk tempat tinggal di sekitar gunung api Tindakan-tindakan perlindungan struktural Rencana-rencana darurat gunung api nasional Pengawasan gunung api dan sistem peringatan Pelatihan aparat pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam SAR, pemadaman api Peringatan dan evakuasi Bantuan medis SAR Pemberian makanan, air dan tempat perlindungan Relokasi korban Menyediakan bantuan finansial Survei udara dan daratan untuk menilai kerusakan Evaluasi rencana evakuasi dan respon emergensi
Salah satu karakter khas bahaya Gunung Api Merapi adalah awan panas (Gambar 9A) dan karakter khas bahaya Gunung Api Kelut adalah danau kawah (Gambar 9B).
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
29
FOKUS KITA Tabel 3. Karakteristik dasar (karakteristik umum) Bahaya Gempa Bumi
Jenis bahaya geologi II
:
Gempa bumi
Fenomena sebab akibat
:
Pergeseran atau perpindahan batuan kerak bumi di sepanjang daerah patahan yang bergetar hingga kembali kedalam susunan kesetimbangan yang baru •
Pengaruh dan karakteristik umum
Kemungkinan peramalan
Faktor-faktor yang memberi andil pada kerentanan
:
• • • • • •
:
Kemungkinan pemunculannya dapat ditentukan, tetapi waktu yang tepat kemunculannya tidak dapat dipastikan. Peramalan didasarkan pada pemantauan aktivitas seismik, sejarah gempa yang sudah terjadi dan daerah yang dipengaruhinya, dan observasi
:
• • • •
Lokasi hunian di daerah seismik Bangunan-bangunan yang tidak tahan terhadap gerakan tanah Kompleks bangunan yang padat dengan tingkat hunian yang tinggi Kurangnya akses terhadap informasi tentang risiko gempa
•
Kerusakan fisik – Kerusakan atau hilangnya bangunan atau infrastruktur; kebakaran, jebolnya bendungan, tanah longsor, kemungkinan terjadinya banjir Korban – Sering kali banyak, khususnya di dikat pusat gempa atau pada daerah-daerah yang berpenduduk tinggi atau di sekitar bangunanbangunan yang tidak tahan gempa Kesehatan umum – Luka karena retak tulang merupakan masalah umum. Ancaman berikutnya: banjir, cadangan air yang terkontaminasi, dan rusaknya fasilitas-fasilitas sanitasi Cadangan air – Kemungkinan munculnya masalah serius yang disebabkan oleh rusaknya sistem-sistem air (perpipaan, irigasi), polusi pada sumbersumber air dan perubahan tata air
• Pengaruh-pengaruh khusus yang merugikan
Bergetarnya bumi yang disebabkan oleh gelombang pada bagian bawah hingga bagian permukaan bumi Kerentanan permukaan bumi Goncangan Tsunami Gempa bumi, vibrasi Likuifaksi Tanah longsor
:
• •
Kemungkinan tindakan pengurangan risiko
:
• • • • •
Tindakan-tindakan kesiapan khusus
:
Peringatan akan bahaya gempa dan program-program
Kebutuhan-kebutuhan khusus paska bencana
:
• • • • •
Mencari dan menyelamatkan (SAR) Bantuan medis emergensi Kebutuhan-kebutuhan pemulihan kerusakan dan survei penilaian Reparasi dan rekonstruksi Pemulihan ekonomi
Alat-alat penilaian dampak
:
•
Skala (Mercalli kerusakan
30
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
Pemetaan bahaya Pelatihan dan program kesadaran umum Penilaian dan pengurangan kerentanan struktural Kontrol penggunaan lahan atau zonasi, peraturan Pembangunan dan asuransi
yang
dimodifikasi,
MSK),
formulir
kegunaan
dan
FOKUS KITA Tabel 4. Karakteristik dasar (karakteristik umum) bahaya Tsunami
Jenis bahaya geologi III
Tsunami • •
Fenomena sebab akibat
:
• • • •
Pengaruh dan karakteristik umum
: •
• • Kemungkinan peramalan
: •
Faktor-faktor yang memberi andil pada kerentanan
Pengaruh-pengaruh yang merugikan
khusus
:
:
•
Kerusakan fisik – Kekuatan air dapat meruntuhkan segala sesuatu yang berada pada jalurnya, tetapi sebagian besar kerusakan bangunan dan infrastruktur adalah karena banjir yang ditimbulkannya. Berbaliknya gelombang dari pantai dapat menghilangkan batuan di permukaan bumi, menghancurkan pelabuhan dan bangunan-bangunan, serta menyebabkan kapal-kapal saling bertabrakan Korban dan kesehatan umum – Kematian muncul terutama karena hanyut & luka-luka akibat benturan dengan puing-puing Cadangan air – Kontaminasi karena garam dan puing-puing atau sampah dapat menyebabkan kekurangan air bersih yang layak dikonsumsi Tanaman pangan dan cadangan pangan – Hasil panen, cadangan pangan, alat-alat pertanian, nelayan, dan ternak mungkin hilang. Lahan dapat menjadi tidak subur karena terkontaminasi oleh air garam
•
•
Tindakan-tindakan kesiapan khusus
:
Kebutuhan-kebutuhan khusus paska bencana
:
Alat-alat penilaian dampak
:
Sistem peringatan tsunami di Pacifik memantau aktivitas seismik dan menyatakan peringatan dan pengawasan Gelombang yang digerakkan oleh gempa lokal dapat menghantam pantai terdekat dalam hitungan menit sehingga tidak memungkinkan untuk memberi peringatan Peramalan-peringatan dini efektif untuk daerah yang jauh dari sumber gempa yang menimbulkan tsunami; dan tidak efektif untuk daerah yang dekat sumber gempa tsb. Lokasi hunian pada daerah pantai yang rendah Kurangnya bangunan yang tahan terhadap tsunami Kurangnya sistem peringatan dini & rencana evakuasi yg tepat Ketidaksadaran umum akan kekuatan tsunami yang dapat merusak (bahaya tsunami)
•
:
Gelombang tsunami jarang tampak di luat yang dalam Banyak gelombang tsunami yang berukuran panjang gelombang sampai 160 km; terdiri atas 10 atau lebih puncak gelombang bergerak pada kecepatan 800 km/jam dalam perairan laut dalam, dan kecepatan tersebut berkurang ketika mendekati pantai Banyak gelombang tsunami menghantam pantai dalam bentuk gelombang yang pecah atau mungkin membanjir daratan. Pengaruh banjir bergantung pada bentuk garis pantai dan tinggi gelombang tsunaminya
• • • •
•
Kemungkinan tindakan pengurangan risiko
Gerakan patahan di dasar laut yang disertai gempa Tanah longsor yang muncul di bawah laut, atau di atas laut yang kemudian masuk ke dalam laut Aktivitas volkanik di laut, pantai atau di dekat pantai Meteor yang jatuh ke dalam laut
•
Perlindungan bangunan dan rumah-rumah di sepanjang pantai yang berada pada jangkauan gelombang tsunami Membangun penghalang: bangunan pemecah gelombang, dll
• •
Pemetaan bahaya, perencanaan arah (rute) evakuasi Pendidikan masyarakat (sosialisasi)
• • • • • •
Peringatan dan evakuasi SAR Bantuan medis Melakukan penilaian bencana Menyediakan makanan, air, dan tempat berlindung Survei udara daerah pantai, survei kerusakan, evaluasi sistem, peringatan, dan rencana evakuasi
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
31
FOKUS KITA Tabel 5. Karakteristik dasar (karakteristik umum) bahaya Tanah Longsor Jenis bahaya geologi IV
Tanah Longsor (gerakan tanah)
Fenomena sebab akibat
Meluncurnya tanah dan bebatuan pada lereng sebagai akibat getarangetaran yang muncul secara alami, perubahan-perubahan secara langsung kandungan air, hilangnya daya dukung sekitar, pengisian beban, pelapukan, atau perubahan yang dilakukan manusia terhadap jalur-jalur air dan komposisi penyusun lereng tempat tanah dan batuan tersebut berada
:
• Pengaruh dan karakteristik umum
: • •
Kemungkinan peramalan
:
•
• • Faktor-faktor yang memberi andil pada kerentanan
:
• • • • •
Pengaruh-pengaruh khusus yang merugikan
: •
Tanah longsor berbeda-beda jenisnya (luncuran, jatuhan/ tumbang, menyebar kesamping, mwngalir), dan mungkin factor yang tak langsung mempengaruhinya berupa badai yang kencang, gempa bumi, dan letusan gunung api Kejadian tanah longsor lebih menyebar dibanding kejadian geologi lainnya Frekuensi kemunculan, tingkat dan konsekuensi dari tanah longsor dapat diperkirakan Daerah-daerah yang berisiko tinggi dapat ditetapkan berdasarkan informasi dari bidang geologi, geomorfologi, hidrologi, hidrogeolog, klimatologi, dan kondisi vegetasi Tempat tinggal yang dibangun pada lereng terjal, tanah lembek, atau puncak batu karang Daerah hunian yang dibangun pada dasar lereng yang terjal, sekitar muara-muara sungai di lembah-lembah Jalan-jalan & jalur-jalur komunikasi di daerah pegunungan Bangunan dengan pondasi yang lemah Jalur-jalur pipa yang ditanam dalam tanah, dan pipa-pipa tersebut mudah patah Kurangnya pemahaman akan bahaya longsor Kerusakan fisik – Segala sesuatu yang berada di atas atau pada jalur tanah longsor akan mengalami kerusakan. Puing-puing dapat menutup jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi atau jalur pipa air. Pengaruhpengaruh tidak langsung dapat berupa kerugian produktivitas pertanian atau lahan-lahan hutan, banjir, dan berkurangnya nilai-nilai harta benda atau kekayaan Korban – Kematian terjadi karena runtuhnya lereng. Luncuran puingpuing atau aliran lumpur yang hebat telah membenuh beribu-ribu orang
:
• • •
Pemetaan bahaya Legislasi dan peraturan penggunaan lahan Asuransi
Tindakan-tindakan kesiapan khusus
:
• • • •
Pendidikan masyarakat (sosialisasi) Pemantauan Sistem peringatan Sistem evakuasi
Kebutuhan-kebutuhan khusus paska bencana
:
• • •
SAR (penggunaan peralatan untuk memindahkan tanah) Bantuan medis Emergensi tempat berlindung bagi yang tidak memiliki tempat tinggal
Alat-alat penilaian dampak
:
•
Formulir-formulir pengkajian kerusakan
Kemungkinan tindakan pengurangan risiko
32
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
FOKUS KITA
Gambar 9. A. Gunung Merapi, Jawa Tengah saat letusannya tahun 2006. Awan panas yang disemburkannya merupakan karakter khas bahaya Gunung api Merapi. B. Gunung Kelut, Jawa Timur, merupakan gunung yang menyimpan potensi bahaya. Riwayatnya mencatat ribuan korban akibat letusannya sejak 1586 nung Talang, Gunung Merapi, Gunung Guntur, dan Gunung Karangetan sedang dimonitor secara intensif karena peningkatan aktivitasnya; • Ribuan kilometer jalur patahan regional yang membentang dari Sabang sampai Jayapura yang berasosiasi dengan ratusan patahan aktif sebagai sumber gempa bumi. Beberapa patahan besar di lepas pantai juga berpotensi menimbulkan gempa bumi yang dapat memicu tsunami. • Ribuan titik kawasan rawan longsor yang tidak saja berasosiasi dengan kemiringan lereng, namun juga diakibatkan oleh karakteristik sifat fisik batuan, kondisi hidrogeologi dan kehadiran jalur patahan. Jumlah 79 gunung api aktif di Indonesia tersebar mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, hingga Halmahe-
ra, sebagaimana pada Tabel 6. Pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah gunung api aktif terbanyak, yaitu sebanyak 21 buah. Dari jumlah 79 gunung api aktif tersebut, 11 di antaranya saat ini merupakan gunung api yang terus diwaspadai oleh PVG karena aktivitasnya. Kesebelas gunung api tersebut adalah: Karangetang (Sulawesi Utara), Talang (Sumatera Barat), Dempo (Sumatera Barat), Bromo (Jawa Timur), Merapi (Jawa Tengah), Semeru (Jawa Timur), Anak Krakatau (Lampung), Lokon (Sulawesi Utara), Soputan (Sulawesi Utara), Dukono (Maluku Utara), dan Ibu (Maluku Utara). Selain itu, akhir-akhir ini, empat gunung api sebagaimana disebutkan sebelumnya sedang diawasi secara ketat mengingat aktivitasnya. Keempat gunung api tersebut adalah:
Tabel 6. Jumlah dan Sebaran Gunung api & Gunung api Aktif (Tipe – A) di Indonesia Daerah Sumatera Jawa Bali Lombok Sumbawa Flores Laut Banda Sulawesi Kepulauan Sangihe Halmahera Jumlah
Tipe – A 13 21 2 1 2 16 8 6 5 5 79
Tipe – B 12 9 3 1 2 2 29
Tipe – C 6 5 5 5 21
Jumlah 31 35 2 1 2 24 9 13 5 7 174
Sumber: ”Gunungapi”, Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, DESDM
Gunung Talang (Sumatera Barat), Gunung Guntur (Jawa Barat), Gunung Merapi (Jawa Tengah), dan Karangetang (Sulawesi Utara). Potensi gempa bumi dan tsunami, serta tanah longsor yang tinggi di seluruh wilayah Indonesia sebagai akibat dari posisi geologis dan geografis Indonesia. Secara geologi, Indonesia terletak di zona tumbukan 3 mega lempeng tektonik yang aktif. (Gambar 10). Ketiga zona tumbukan lempeng tektonik tersebut adalah: 1) Zona tumbukan yang memanjang mulai dari Barat di sebalah barat Pulau Sumatera ke selatan Pulau Jawa, Bali, Kepulauan NTB, NTT dan terus berlanjut sampai ke Pulau Banda. Zona tumbukan ini merupakan hasil dari pertemuan antara lempeng Australia yang menunjam ke lempeng Eurasia di lepas pantai bagian barat Pulau Sumatera. Peristiwa bencana dahsyat tsunami Aceh yang baru lalu adalah akibat dari aktivitas tumbukan ini yang menghasilkan gempa dan tsunami; 2) Zona tumbukan tumbukan antara lempeng Pasifik dengan lempeng Eurasia dan lempeng Australia. Lokasinya terletak di bagian utara Papua, dimulai dari sebelah timur Pulau Mindanau, ke selatan, berbelok ke timur di sekitar leher Papua. Zona tumbukan ini aktif dan sering menimbulkan bencana, antara lain gempa Nabire; 3) Zona tumbukan di sebelah utara Pulau Sulawesi yang merupakan penunjaman lempeng Pasifik ke lempeng Eurasia (Pulau Sulawesi). Beberapa patahan besar di leWARTA GEOLOGI, JULI 2006
33
FOKUS KITA pas pantai yang berasoasi dengan zona tumbukan tersebut juga berpotensi menimbulkan gempa bumi yang dapat memicu tsunami. Akibat dari akivitas lempeng tektoniknya, di wilayah Indonesia terdapat jalurjalur patahan aktif yang berasosiasi dengan sumber-sumber gempa bumi. Sedikitnya, terdapat 11 jalur patahan aktif yang sewaktu-waktu dapat memicu sumber-sumber gempa bumi (Gambar 11) juga tanah longsor. Kesebelas jalur patahan atau sesar aktif tersebut adalah: 1) Sesar Besar Sumatera (J.A. Katili, 1973) atau Sesar Semangko. Sesar ini merupakan sesar geser jenis dekstral, berasosiasi dengan zona tumbukan di sebelah barat Pulau Su-
matera. Sesar ini memanjang mulai dari wilayah Aceh melalui Tarutung, sebelah barat Danau Toba, Padang, wilayah sekitar Kerinci, Bengkulu sampai Lampung dan berasosiasi dengan munculnya pegunungan Bukit Barisan. Sesar ini sering menimbulkan bencana (Gempa bumi Tarutung, Liwa, dll.) 2) Sesar Cimandiri (Puslitbang Geologi/Pusat Survei Geologi). Sesar ini memanjang mulai dari sekitar Sungai Cimandiri (sekitar perbatasan Bogor-Pandeglang) sampai laut di selatan Pelabuhanratu (Sukabumi), merupakan sesar naik dan sesar geser; 3) Sesar Baribis (Puslitbang Geologi/Pusat Survei Geologi). Se-
sar ini memanjang arah barat laut – tenggara, melintas wilayah Brebes sampai Cilacap, Jawa Tengah 4) Sesar Naik Busur Belakang Flores (Silver, 983). Sesar ini merupakan sesar naik, terdapat di sebelah utara Pulau Flores dengan bagian selatan relatif; 5) Sesar Palu – Koro (J.A. Katili, 1978). Sesar ini merupakan sesar geser yang memanjang mulai dari bagian sebelah barat lengan utara Pulau Sulawesi, melintasi kota Palu, bagian tengah Sulawesi hingga ke teluk Bone (Gambar 12); 6) Sesar Sorong (W. Hamilton, 1978), merupakan sesar geser yang melintasi Papua bagian Barat (Kabupaten Sorong);
Gambar 10. Zona subduksi yang mengelilingi wilayah di Indonesia. Sumber: Courtesy, J. A. Katili, 2006.
Gambar 11. Ribuan titik pusat sumber gempa bumi besar-kecil di wilayah Indonesia. Sumber: Courtesy, J. A. Katili, 2006.
34
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
Gambar 12. Sesar Palu, salah satu bahaya geologi yang harus diwaspadai berikutnya. Pada Gambar diperlihatkan hasil foto citra landsat daerah Palu, Sulwesi Tengah. Tampak sesar Palu – Koro yang memanjang mulai dari bagian sebelah barat lengan utara Pulau Sulawesi, melintasi kota Palu, bagian tengah Sulawesi hingga ke teluk Bone. Sesar aktif ini meupakan bahaya geologi yang harus diwaspadai, terutama karena melintasi daerah-daerah padat penduduk seperti Kota Palu. Sumber: Courtesy J.A. Katili.
FOKUS KITA 7) Sesar Ransiki (W. Hamilton, 1978), merupakan sesar geser lanjutan Sesar Sorong yang melintasi lengkungan kepala burung Papua bagian timur, arah utara selatan; 8) Sesar Tarera – Aiduna (Visser dan Hermes, 1962), merupakan sesar geser timur – barat di bagian leher selatan kepala burung Papua (wilayah Kabupaten Nabire); 9) Sesar di Pegunungan Jayawijaya, merupakan sesar geser yang memanjang arah timur – barat, terdapat di sepanjang pegunungan Jawawijaya, Papua bagian tengah (Kabupaten Timika dan sekitarnya); 10) Sesar Sorong – Maluku (Hamilton, 1978), merupakan sesar geser lanjutan dari sesar Sorong, memanjang arah timur – barat, mulai dari kepala burung (Sorong) sampai ke Kepulauan Maluku (sebelah utara Pulau Bacan); 11) Sesar Sula – Sorong (Hamilton, 1978), merupakan sesar geser lanjutan sesar Sorong dan Sorong – Maluku, memanjang arah timur – barat mulai dari Pulau Bacan (Maluku) hingga lengan timur Pulau Sulawesi – laut Banggai – Sula, Sulawesi Tengah; Tatanan tektonik Indonesia sebagaimana disebutkan di atas menyebabkan beberapa daerah di Indonesia rawan terhadap bencana gempa bumi. Tingkat kerawanan tersebut didasarkan kepada kejadian gempabumi di masa lalu. Wilayah yang rawan bencana gempa bumi di Indonesia tersebar mulai dari Pulau Sumatera sampai Papua, yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan wilayah Papua. Selain kasus tsunami Krakatau, 1883, seluruh bencana tsunami di Indonesia disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi di lautan. Bencana tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh gempa bumi dangkal, kurang dari 33 km yang terjadi di dasar laut. Besarannya berkisar 6 hingga 9 Skala Richter (SR), intensitas gempa antara VII hingga IX skala MMI (Modified Mercalli Intensity), dan jenis mekanisme adalah patahan naik. Wilayah rawan bencana tsunami ditentukan berdasarkan sejarah kejadian tsunami, morfologi pantai, mi-
salnya pantai landai atau teluk, dan berhadapan langsung dengan sumber gempa bumi penyebab tsunami. Di Indonesia wilayah rawan bencana tsunami meliputi 18 wilayah, yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, BiakYapen, Fak-Fak (Papua) dan Balikpapan (Kalimantan Timur). Berdasarkan data dari NOAA – USA, 2005, kejadian tsunami di Indonesia mencapai 11% dari seluruh kejadian tsunami di seluruh dunia selama 400 tahun. Angka persentase frekuensi tsunami ini menempati urutan ke-4 setelah Jepang (17%), Amerika Selatan (15%), dan Kepulauan Solomon (13%). Aktivitas pusat-pusat gempa dan patahan bergabung dengan kondisi iklim dan tatanan air, serta vegetasi tutupan lahan di Indonesia telah menyebabkan kawasan kita ini banyak memiliki daerah rawan bencana tanah longsor. Hasil penelitian PVG dan PLG (dalam periode sebelum tahun 2006), telah mengidentifikasi lebih dari 800 lokasi bahaya tanah longsor, yang tersebar mulai dari Sumatera hingga NTT. Daerah rawan bahaya longsor tersebut adalah: Jawa Tengah (327 lokasi), Jawa Barat (276 lokasi), Sumatera Barat (100 lokasi), Sumatera Utara (53 lokasi), Yogyakarta (30 lokasi), Kalimantan Barat (23 lokasi), dan sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Timur. Tingkat bahaya geologi sebagaimana tersebut dan kerentanan masyarakat di sekitarnya dengan intensitasnya masing-masing telah menyebabkan risiko bencana geologi. Dalam beberapa kejadian fenomena alam ekstrim dari bahaya geologi tersebut telah menyebabkan bencana geologi, mulai dari tingkat biasa sampai dahsyat. Bencana Geologi Bahaya geologi – suatu ancaman laten untuk wilayah Indonesia - dalam perjalanan sejarah, beberapa di antaranya berkembang menjadi bencana geologi. Letusan Gunung Krakatau, 1883 dengan korban tercatat 36
ribu orang; gempa bumi Yogyakarta, 2006, dengan korban jiwa saja mencapai lebih dari 6.000 orang. Gempa bumi hebat yang disusul dengan tsunami dahsyat di Aceh, Desember 2004, telah menelan korban terbesar hingga saat ini, lebih dari 250.000 orang meninggal dan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Bencana tanah longsor di daerah Sinjai, Sulawesi Selatan, 2006, dengan korban jiwa ratusan orang. Letusan gunung api Bencana akibat letusan gunung api mungkin muncul dari karakteristik bahaya gunung api sebagai berikut (lihat pula Tabel 1, baris ketiga): jenis gunung api, aliran lava, tefra, aliran abu panas, aliran awan panas, aliran lahar, dan runtuhan. Adapun faktorfaktor yang memberi andil pada kerentanan – sehingga apabila bahaya datang akan menimbulkan bencana – adalah (Tabel 1, baris kelima): tempat hunian yang berada di lereng gunung api, tempat hunian pada jalur aliran lahar dan jalur aliran lava, bangunan dengan rancangan atap yang tidak kuat menampung akumulasi debu, adanya material yang dapat terbakar, dan tidak-adanya rencana evakuasi atau sistem peringatan. Bahaya gunung api telah menyebabkan bencana gunung api dalam skala kecil hingga besar. Catatan akibat letusan gunung api sebagaimana dalam buku ”Data Dasar Gunung api”, Direktorat Vulkanologi (DV), Ditjen Pertambangan Umum (DPU), Dep. Pertambangan dan Energi (DPE), atau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, DESDM sekarang, 1979, telah memberikan data mengenai korban jiwa akibat bencana alam sejak tahun 1586 (letusan yang tercatat menyebabkan korban manusia). Tidak kurang dari 62.000 orang telah menjadi korban sejak tahun 1586 sampai 1994 akibat letusan dari 12 gunung api yang tersebar mulai dari Sumatera hingga Maluku Utara. Tabel 7 menyajikan bahaya yang telah berkembang menjadi bencana geologi letusan gunung api yang besar di Indonesia berdasarkan rujukan tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 7, kita mengetahui daerah rawan bencana gunung api di masa lalu sampai 25 tahun terakhir adalah wilayahwilayah: Tapanuli Selatan (Sumatera WARTA GEOLOGI, JULI 2006
35
FOKUS KITA Utara), Rejang Lebong dan Selat Sunda, Banten dan Jawa Barat bagian barat laut (Bengkulu dan Lampung; Banten dan Jawa Barat), Cikunir dan Cisurupan dan (Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat), Sleman (Yogyakarta), Magelang, Boyolali dan Klaten (Jawa Tengah), Kediri (Jawa Timur), Karangasem (Bali), Bima, Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok (NTB), Kepulauan Sangihe (Sulawesi Utara), dan Halmahera, Pulau Ternate (Maluku Utara). Adapun jenis penyebab utama kematian korban beragam mulai dari letusan langsung, lahar
letusan, aliran lava, awan panas, dan lahar hujan; masing-masing bergantung jenis gunung api dan tipe letusannya. Gempa bumi Gempa bumi besar di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pulau Nias dan sebagian Sumatera Utara, Desember 2004, merupakan bagian dari bencana gempa yang sering melanda wilayah Indonesia, khususnya Pulau Sumatera. Catatan gempa bumi di Indonesia dapat ditelusuri mulai Tahun 1775, yaitu
ketika gempa bumi tektonik di laut sekitar Gunung api Gamalama terjadi dan mengakibatkan tanah amblas yang menelan korban sebanyak 141 orang (”Data Dasar Gunung api”, Direktorat Vulkanologi (DV), Ditjen Pertambangan Umum (DPU), Dep. Pertambangan dan Energi (DPE), 1979). Catatan gempa bumi yang relatif lengkap adalah gempa bumi yang terjadi di jaur-jalur gempa Pulau Sumatera yang diselidiki oleh Dr. Danny H. Natawijaya bersama koleganya dari ”Earthquake Research Team”, LIPICALTECH, 2004. Gambar 13 mem-
Tabel 7. Bencana letusan gunung api di Indonesia antara 1500 – 2000 M. (Sumber: Buku ”Data Dasar Gunungapi Indonesia”, DV, 1979, dan sumber lainnya) No
Tahun
Gunung api
Tipe Gunung api
Lokasi
1586 1
1919
Kelut
Strato + danau kawah
Kediri, Jawa Timur
300
1672 1930 - 1931 Merapi
Strato + kubah
1954
Perbatasan: DIY, Magelang, Boyolali, Klaten, Yogyakarta – Jawa Tengah
Awu
Strato + danau kawah
Kep. Sangihe Tahuna (Taruna), Peta, Sulawesi Utara
1892
4
1775
Gamalama
Strato
Halmahera, Maluku Utara
2.806 1.532
30-40 2.000
1760 5
64
3.000
1711 1856
1.369
66
1994
3
10.000 (kl) 5.160 210
1966
2
Jumlah Korban (jiwa)
Kie Besi
Strato + danau
P. Makian, Maluku Utara
1861
300
Keterangan (Lokasi Bencana, Penyebab Utama Kematian) ? ? ? ? Jatilengger & Kedawung Lahar letusan ? Awan panas, lahar hujan ? Lahar hujan ? Awan panas ? Awan panas Kendhar (2030 org), Koloza (70 org), Taruna (408 org) Awan panas, lahar letusan Trijang, Pembalarian, dll Awan panas, lahar letusan, lahar hujan Mala, Akembuala, dll Lahar Halmahera Aliran lava P. Makian (?) ? P. Makian (?) Lahar (?), terkubur dalam laut
6
1815
Tambora
Strato + kaldera
Sangar, Bima, P. Sumbawa NTB
7
1822
Galunggung
Strato + kubah dan sumbat lava
Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat
4.011
Cikunir, Tasikmalaya: Awan panas, hujan abu, banjir lahar (lahar hujan)
8
1833
Kaba
Strato
Rejang Lebong, Bengkulu
36
Kp. Talang : Banjir danau kawah, genangan air 36 kaki
9
1871
Ruang
Strato + doma lava
Kep. Sangihe Sulawesi Utara
4 - 400
Buhias, Sangihe: Tsunami karena gempa pra letusan di laut (?)
10
1879
Sorik Marapi
Kota Nopan dan Natal, Tapanuli Selatan
180
11
1883
Krakatau
Strato
Selat Sunda, Lampung
36.417
12
1963
Agung
Strato
Rendang, Karangasem, Bali
1.148
36
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
Strato + danau kawah
92.000
Sanggar, P. Sumbawa, dan P. Lombok : Letusan (10.000 org), kelaparan dan penyakit (38.000 org & 44.000 org)
Sibangor, Tapanuli Selatan Lahar hujan Pantai Selat Sunda dan Barat Laut Jawa : Tsunami akibat runtuhan Rendang dan sekitarnya: Awan panas, (820), piroklastika 163 org), lahar (165 org)
FOKUS KITA
Gambar 13. Peta catatan gempa bumi di Pulau Sumatera, 1822 – 1997. Elip berwarna kuning menunjukkan gempa bumi – gempa bumi besar sepanjang patahan Sumatera. Warna-warna bayangan di sepanjang lepas pantai Sumatera menunjukkan gempa-bumi besar yang terjadi di sepanjang zona subduksi Sumatera. Sumber: Courtesy Katili, 2006. perlihatkan posisi dan tahun kejadian gempa bumi di Pulau Sumatera yang mencatat sebanyak 25 kali kejadian gempa bumi mulai 1822 hingga 1997. Bencana gempa bumi muncul dari sumber-sumber atau “mesin pembunuh” yang dipicu gempa, antara lain: reruntuhan bangunan, jatuhan benda-benda, kecelakaan lalu lintas, serta kepanikan massa. Selain
itu, tanah amblas, likuifasi, retakan tanah, pergeseran tanah dan longsoran akibat gempa bumi dapat menyebabkan korban jiwa disamping kerugian harta benda. DVMBG, DJGSM (PVMBG sekarang) dalam buku “Gempa bumi dan Tsunami”, 2005 menyajikan data bencana gempa bumi yang pernah terjadi di Indonesia sejak 1924 hingga 2004, sebagaimana disajikan pada
Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, di luar kejadian gempa Aceh yang disusul oleh tsunami dahsyat, bencana gempabumi di Indonesia telah mencapai korban meninggal lebih dari 7.755 orang. Wilayah persebaran bencana tersebut mulai dari Aceh (NAD), Nias (Sumatera Utara), Padang (Sumatera Barat), Kerinci (Jambi), Bengkulu, Liwa (Lampung), Bantul, Sleman (Yogyakarta), Wonosobo, Klaten (Jawa Tengah), Alor (NTB), Majene (Sulawesi Tengah), Nabire dan Kurima (Papua). Adapun besaran gempanya bervariasi mulai dari 6 SR sampai dengan 9 SR. Dalam website PVMBG, http:// www.vsi.esdm.go.id, disajikan informasi tentang “gempa bumi yang merusak” di Indonesia yang dibagi kedalam 17 wilayah gempa bumi (WGB). Ketujuh belas WGB tersebut adalah: 1) Aceh, 2) Sumatera Utara, 3) Sumatera Barat dan Jambi, 4) Bengkulu, 5) Lampung (dan Sumatera Selatan), 6) Jawa Barat (termasuk DKI Jakarta), 7) Jawa Tengah bagian Utara, 8) Jawa Tengah bagian Selatan dan Yogyakarta, 10) Bali, 11) NTT (termasuk NTT), 12) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, 13) Sulawesi Tengah, 14) Sulawesi Utara), 15) Maluku Selatan, 16) Maluku Utara, dan 17) Papua. Rentang tahun kejadian gempa yang tercatat tidak seragam untuk seluruh wilayah, ada yang mulai dari tahun 1756 (untuk WGB Bengkulu) sampai tahun 2005 (untuk WGB Maluku Selatan). Berdasarkan data tersebut, diolah suatu data yang menyajikan data rentang waktu kejadian gempa, jumlah total kejadian gempa dalam rentang waktu tersebut; rentang koordinat gempa, rentang kedalaman pusat gempa, rentang besaran (Skala Richter) dan tingkat kerusakan akibat gempa (Skala MMI), jumlah kerugian
Tabel 8. Beberapa kejadian gempa bumi dan korbannya di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tahun 1924 1926 1969 1989 1994 1995 1998 2000 2004 2004 2004 2006
Lokasi Wonosobo, Jawa Tengah Padang Panjang, Sumatra Barat Majene, Sulawesi Tengah Kurima, Papua Liwa, Lampung Kerinci, Jambi Mangole, Maluku Selatan Bengkulu Nabire, Papua Alor, NTB Nias, Aceh, Sumatera Utara Yogyakarta – Klaten
Kekuatan (SR) 7 6 6,8 7 8,3 7,3 7 7,5 9,0 6,9
Jumlah Korban 727 354 64 120 207 84 34 99 33 33 > 250.000 > 6.000
Keterangan
Gempa disusul tsunami besar
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
37
FOKUS KITA yang dibatasi hanya pada korban manusia meninggal dan luka-luka; serta lokasi yang paling sering mengalami gempa yang tercatat untuk setiap wilayah gempa. Keseluruhan data yang diolah dari sumber website PVG tersebut disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan data pada Tabel 9, jumlah korban manusia akibat bencana gempa di Indonesia sejak Tahun 1756 hingga Tahun 2005 ada sebanyak lebih dari 7.932 orang meninggal (sebagian di antaranya hilang), dan 15.665 orang luka-luka berat dan ringan. Angka yang akurat boleh jadi lebih dari catatan tersebut, mengingat luasnya cakupan wilayah pencatatan dan perkembangan teknologi yang tidak merata untuk setiap wilayah gempa. Akibat bencana dalam data tersebut tidak mencantumkan besaran kerugian (dalam nilai uang) harta benda (rumah dan bangunan lain yang rusak, sarana dan fasilitas umum) yang karena struktur data sumbernya belum memungkinkan hal itu dilakukan. Data pada Tabel 9 juga menginformasikan rentang koordinat lokasi kejadian gempa, kedalaman pusat gempa, besaran gempa, dan lokasi yang paling sering mengalami gempa untuk setiap wilayah gempa di Indonesia. Suatu sumber catatan gempa yang patut dijadikan rujukan adalah website kamus terbuka atau kamus online Wikipedia (http://en.wikipedia. org/wiki/Earthquakes) dalam sebuah link yang ada pada website tersebut tersedia data dan informasi gempa yang terjadi di wilayah Indonesia. Data yang tercatat dalam sumber tersebut ada sebanyak 318 kejadian gempa yang meliputi rentang waktu mulai dari Tahun 1629 sampai Tahun 2006, mulai dari koordinat latitude – 15,000 sampai 14,080 dan longitude mulai dari 94,600 sampai 139,200. Struktur data berturut-turut menyajikan informasi sbb: waktu kejadian (tahun, bulan, hari, jam, menit, dan detik), asosiasi gempa (tsunami atau vulkanisme), lokasi gempa (nama, latitude, longitude), parameter gempa (kedalaman pusat gempa, besaran dalam skala Richter, tingkat keruksakan atau skala MMI), dan akibat gempa yang memuat informasi korban meninggal, korban luka-luka, nilai kerusakan, dan rumah yang hancur yang masing-masing dinyatakan dalam jumlah dan skala “De”. Dengan kelengkapan data
38
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
tidak seluruhnya tersedia, kecuali nama gempa dan tahun kejadian. Berdasarkan analisis singkat terhadap data yang bersumber dari Wikipedia tersebut diperoleh informasi sebagai berikut (dalam kurun waktu 1629 – 2006, jumlah kejadian gempa 318 kali): 1) terdapat sebanyak 167 kejadian gempa (52,5%) yang berasosiasi dengan tsunami, dua peristiwa gempa (0,6%) berasosiasi dengan vulkanisme (dan tsunami sekaligus), dan sisanya tidak ada data; 2) dari 177 (55,7% data) kejadian gempa yang memiliki data kedalama pusat gempa, diperoleh kedalaman pusat gempa 0 – 30 km sebanyak 56 peristiwa gempa (31,6%), kedalaman 31 60 km sejumlah 82 peristiwa (46,3%), kedalaman 61 – 90 km sebanyak 20 peristiwa (11,3%), dan kedalaman lebih dari 90 km sejumlah 19 peristiwa gempa (10,7%). Dari analisis yang sama diperoleh informasi tentang pengaruh gempa dalam kurun waktu 1629 – 2000 terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya sbb: 1) korban manusia meninggal total tercatat sebanyak 153.440 orang (skala De 1 sampai 3), 2) korban luka-luka total tercatat sejumlah 42.181 orang (skala De 1 sampai 3) kerusakan rumah tercatat sebanyak 139.666 buah (skala De 1 sampai 3); dan 4) nilai kerugian total tercatat sebanyak US $ 3,712,000,000 (skala De 1 sampai 4). Bencana gempa bumi muncul dari sumber-sumber atau “mesin pembunuh” yang dipicu oleh gempa tersebut, antara lain: tanah longsor, tsunami, reruntuhan bangunan, jatuhan benda-benda, kecelakaan lalu lintas, serta kepanikan massa. Selain itu, tanah amblas, likuifasi, retakan tanah, dan pergeseran tanah akibat gempa bumi dapat menyebabkan korban jiwa disamping kerugian harta benda. Untuk kepentingan mitigasi, setiap gempa bumi idealnya tercatat dalam katalog gempa bumi untuk setiap daerah. Catatan dimaksud memuat informasi: waktu kejadian, nama, lokasi, dan koordinat pusat gempa, kedalaman pusat gempa, parameter pengaruh bagi kehidupan manusia (jumlah korban meninggal, luka-luka, kerusakan harta benda, dan nilai seluruh kerusakan). Informasi tersebut sangat diperlukan, baik untuk ketajaman peramalan kejadian gempa yang akan datang maupun dalam menentukan lang-
kah-langkah bantuan peringatan dini (jika memungkinkan), tanggap darurat, evakuasi, rekonstruksi, pemulihan, rehabilitasi, dan kesiapsiagaan (sosialisasi, dll). Tsunami Bencana tsunami di Indonesia sebagaimana di tempat lain pada umumnya berkaitan dengan kejadian gempa bumi, yaitu gempa bumi dangkal, kurang dari 33 km yang terjadi di dasar laut. Magnituda gempa tersebut berkisar 6 hingga 9 Skala Richter, intensitas gempa antara VII hingga IX skala MMI (Modified Mercalli Intensity), dan jenis mekanisme adalah patahan naik. Kejadian tsunami diakibatkan oleh letusan gunung api di Indonesia hanya tercatat ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus tahun 1883. Sebagaimana dalam uraian tentang gempa bumi, dalam kurun waktu antara 1629 sampai 2006 di Indonesia tercatat sebanyak 167 gempa bumi berasosiasi dengan kejadian tsunami dan sebanyak 2 kejadian gempa bumi berasosiasi dengan kejadian tsunami dan vulkanisme. Dengan demikian, Indonesia dalam kurun waktu antara 1629 sampai 2006 mengalami tidak kurang dari 169 kejadian tsunami besar dan kecil, baik yang menimbulkan korban maupun tidak. Tidak semua tsunami menimbulkan korban manusia maupun kerusakan harta benda. Tsunami NAD, Pulau Nias dan sebagian Sumatera Utara, Desember 2004, merupakan tsunami terbesar di Indonesia bahkan di dunia dengan korban yang meninggal tidak kurang dari 250.000 orang (Gambar 14). Tabel 10 bersumber dari buku “Gempa bumi dan Tsunami”, DVMBG, 2005 ditambah dengan data terakhir peristiwa tsunami Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, menyajikan data bencana tsunami yang pernah terjadi di Indonesia sejak 1883 hingga 2006. Berdasarkan Tabel 10, peristiwa tsunami di Indonesia antara 1883-2006 sedikitnya telah menyebabkan bencana korban manusia meninggal lebih dari 289.626 orang. Berdasarkan sejarah dan catatan bencana tsunami (morfologi pantai, jarak landaan, dll), DVMBG (PVG sekarang) telah mengidentifikasi wilayah rawan bencana tsunami. Di Indonesia wilayah rawan bencana
FOKUS KITA Tabel 9. Gempa bumi dan akibatnya di 17 wilayah gempa bumi Indonesia diolah dari sumber: http://www.vsi.esdm. go.id Wilayah Gempa
No
Rentang Catatan Waktu Kejadian
Jumlah Total Kejadian
Rentang Koordinat Pusat Gempa
Rentang Kedalaman Pusat Gempa (KM)
Rentang Besaran dan Kerusakan Gempa (SR/MMI)
Jumlah Kerugian (OM = orang meninggal; OL = orang lukaluka*)
Lokasi paling sering terkena gempa
Keterangan (kelengkapan data)
1
Aceh
1907 s.d. 2003
8
5,8º LU - 93,27º BT s.d. 6,1º LU - 97,7º BT
32 - 132
5,2–6,8 SR V–VIII MMI
OM = 12 OL = 179
Banda Aceh (3x)
- KP = 1
2
Sumatera Utara
1843 s.d. 1987
15
1,0º LU - 90º BT s.d. 2,0º LU - 99,3º BT
30 - 62
5,4–6,6 SR V- VIII MMI
OM = 69 OL = 145
Tapanuli (8x)
- KP = 7 - KD = 11 - BG = 11
3
Sumatera Barat dan Jambi
1822 s.d. 2004
13
0,4º LU - 99,7º BT s.d. 2,1º LS - 101,3º BT
12 - 54
3,3–7,0 SR III – IX MMI
OM = > 749 OL = > 1900
Padang (3x)
- KP = 4 - KD = 5 - BG = 3
4
Bengkulu
1756 s.d. 1979
15
3,5º LS - 100,5º BT s.d. 3,8º LS - 102,8º BT
33 - 70
5,8 – 8,8 SR VI - IX MMI
OM = 24 OL = 20
Bengkulu (5x)
- KP = 5 - KD = 4 - BG = 3
5
LampungSumatera Selatan
1852 s.d. 1994
4
5,0º LS - 104,2º BT s.d. 4,97º LS - 104,3º BT
5,9 SR VII - IX MMI
OM = 207 OL = > 2000
Sumatera Selatan (2x)
- KP = 2 - KD = 3 - BG = 3
6
Jawa Barat
1833 s.d. 2005
29
6,5º LS -105,3º BT s.d. 8,25º LS - 108,8º BT
<10 - 73,3
4,4–6,4 SR III – IX MMI
OM = 22 OL = 72
Bandung (4x)
- KP = 13 - KD = 15 - BG = 14
7
Jawa Tengah bagian Utara
1821 s.d. 1992
13
7,3° LS - 108,09° BT s.d. 8,7° LS - 110.43° BT
35 - 58,3
5,2–5,6 SR VI – IX MMI
OM = 728 OL = 6
Bantar Kawung (2x)
- KP = 6 - KD = 10 - BG = 10
8
Jawa Tengah bag. Selatan Yogyakarta
1926 s.d. 1981
12
-
5,6 SR IV – IX MMI
OM = 218 OL = 2.096
Yogyakarta (3x)
9
Jawa Timur
1926 s.d. 2003
17
18 - 33
5,9 – 7,2 SR IV - IX MMI
OM = 273 OL = 545
Tulungagung (2x), Malang (2x)
10
Bali
1862 s.d. 2004
12
-
5 SR VII – IX MMI
OM = 2059 OL = 4050
-
11
NTB dan NTT
1837 s.d. 2004
21
12
Sulawesi SelatanSulawesi Tenggara
1828 s.d. 1985
4
3,1º LS - 118,5º BT s.d. 2,1º LS - 119,67º BT
13
Sulawesi Tengah
1910 s.d. 1968
16
2,9° LS - 118,7° BT s.d. 0,9 ° LS - 123,4° BT
14
Sulawesi Utara
1845 s.d. 1991
11
1,4° LU - 121,1° BT s.d. 3,6°LU - 126,7°BT
15
Maluku Selatan
1830 s.d. 2005
19
16
Maluku Utara
1858 s.d. 2003
15
17
Papua
1914 s.d. 2002
20
8,6º LS - 109,9º BT s.d. 7,7º LS - 109,2º BT 8,62° LS - 111,25° BT s.d. 8,5° LS - 113,5° BT 8,25° LS - 115,3° BTs.d. 8,9° LS - 115,8° BT 8,2º LS - 115,9º BT s.d. 10,2° LS - 126,36° BT
2,1o LS - 124,9o BT s.d. 5o LS - 131,5o BT 2o LS - 126o BT s.d. 2,4o LU - 128,8o BT 1,71º LS - 134,97º BT s.d. 4,45o LS - 143,9o BT
23
- KP = 8 - KD = 12 - BG = 11 - KP = 7 - KD = 15 - BG = 14 - KP = 5 - KD = 7 - BG = 6 - KP = 3 - KD = 6 - BG = 3 - KP = 1 - KD = 2 - BG = 3
5,0 – 7,0 SR V – IX MMI
OM = 2734 OL = 2383
17 - 51
5,7 SR V – IX MMI
OM = 122 OL = 197
5 - 95
4,7 - 6 SR IV – IX MMI
OM = 304 OL = 433
Mamaju (2x) Una-una (2x) Donggala(2x)
- KP = 1 - KD = 5 - BG = 5
26 - 118
4,9 – 7 SR V – IX MMI
OM = 9 OL = 140
Gorontalo (4x)
- KP = 2 - KD = 5 - BG = 5
13 - 33
5 – 8,5 SR IV – IX MMI
OM = 41 OL = 221
Ambon (8x)
10 - 64
5,1 – 7 SR VI – VIII MMI
OM = 43 OL = 172
Ternate (4x) Sanana (3x)
5,2 – 8,2 SR V – IX MMI
OM =318 OL = 1106
Rasinki (4x) Sentani (3x) Biak (2x) Wamena (2x) Nabire (2x)
10 - 179
10 - 102
Flores (4x)
-
- KP = 12 - KD = 13 - BG = 12 - KP = 6 - KD = 6 - BG = 6 - KP = 3 - KD = 4 - BG = 3
Keterangan: - Jumlah total kejadian gempabumi meliputi gempabumi susulan - Rentang waktu catatan akhir untuk beberapa wilayah gempa belum memasukkan data terbaru - Rentang koordinat lokasi pusat gempa berdasarkan bujur timur terkecil sampai terbesar untuk setiap wilayah - KM = kilometer; SR = Skala Richter; MMI = Modified Mercally Intensity atau satuan tingkat kerusakan akibat goncangan gempa bumi. - Kerugian tidak termasuk kerusakan hartabenda; OM = orang mati termasuk yang hilang; OL = orang luka baik berat maupun ringan - Kelengkapan data: - KP = data pusat gempa yang tidak tersedia; - KD = data kedalaman gempa yang tidak tersedia; - BG = data besaran gempa yang tidak tersedia. Contoh: - KP = 6 maksudnya: dalam rentang waktu catatan gempa bersangkutan tidak tersedia data pusat gempa sebanyak 6 kejadian gempa. - Data untuk Jawa Tengah-Yogyakarta tidak termasuk gempabumi Yogyakarta, Tahun 2006.
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
39
FOKUS KITA Tabel 10. Korban tsunami yang signifikan di Indonesia (Sumber: DVMBG, 2005 dengan tambahan data Tahun 2006)
Tempat
Besaran Gempa Pemicu (SR)
Korban meninggal (orang)
No.
Tahun
1
1883
Gunung Krakatau
2
1833
Sumbar, Bengkulu, Lampung
8,8
3
1938
Kep. Kai-Banda
8,5
4
1967
Tinambung
-
58
5
1968
Tambu, Sulteng
6
200
6
1977
Sumbawa
6,1
161
7
1992
Flores
6,8
2.080
8
1994
Banyuwangi
7,2
9
1996
Toli-toli
10
1996
Biak
8,2 7,3
-
36.000 Tak tercatat Tak tercatat
377
7
11
2000
Banggai
12
2004
Nanggroe Aceh Darussalam
13
2006
Pengandaran
tsunami tersebut meliputi 18 wilayah, yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak-Yapen, Fak-Fak, dan Balikpapan. Tanah Longsor Bencana tanah longsor atau gerakan tanah merupakan akibat serangan bahaya tanah longsor terhadap suatu komunitas berpadu dengan tingkat kerentanan komunitas tersebut yang berada pada keadaan tidak aman. Bahaya gerakan tanah itu
9 Gambar 14. Kerusakan akibat bencana tsunami Aceh di Sungai Krueng Raya, Banda Aceh: menunjukkan bagaimana muara sungai memudahkan masuknya landaan tsunami hingga jauh ke daratan. (Sumber: Dok. DESDM, 2005)
166 50
9
250.000
7,2
525
sendiri adalah bahaya yang muncul dari perpindahan materi pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau campuran material-material tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah- batuan. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor adalah: hujan, lereng terjal, tanah yang kurang padat dan tebal, batuan yang kurang kuat, jenis tata
lahan, getaran, susut muka air danau atau bendungan, adanya beban tambahan, pengikisan atau erosi, adanya material timbunan pada tebing, bekas longsoran lama, dan adanya bidang tidak sinambung (diskontinuitas). Bencana tanah longsor sering terjadi dan cukup banyak menimbulkan korban. Kejadian tanah longsor ini tidak hanya berkaitan dengan fenomena geologi (jenis batuan, tatanan hidrogeologi, patahan aktif sebagai pemicu, dst), namun dipengaruhi pula oleh kondisi-kondisi geografi (curah hujan), dan tataguna lahan (kondisi tutupan lahan/vegetasi, dll). Pada Tabel 11 disajikan kejadian bencana alam tanah longsor di beberapa tempat di Indonesia dari 2003 sampai 2005. Berdasarkan tabel tersebut,
Tabel 11. Daftar kejadian, korban, dan kerugian harta benda akibat bencana tanah longsor di Indonesia, 2003 – 2005
No
PROPINSI
MD
LL
RH
RR
RT
LPR (Ha)
JL (m)
1
JAWA BARAT
77
166
108
198
1751
2290
140
705
2
JAWA TENGAH
15
17
9
31
22
200
1
75
3
JAWA TIMUR
1
3
-
-
27
-
70
-
4
SUMATERA BARAT
5
63
25
16
14
-
540
60
5
SUMATERA UTARA
3
26
-
1
40
8
-
80
6
SULAWESI SELATAN
1
33
2
10
-
-
-
-
7
PAPUA
1
3
5
-
-
-
-
-
103
411
149
256
1854
2498
751
920
JUMLAH
40
Korban Jiwa
Jml Kejadian
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
FOKUS KITA dalam 3 tahun di Indonesia terjadi 103 kali kejadian bencana tanah longsor dengan totak korban meninggal sebanyak 411 orang, luka-luka sejumlah 149 orang, rumah hancur sebanyak 256 buah, dan lahan pertanian yang rusak seluas 751 hektar. Dari Tabel 9 juga kita peroleh beberapa lokasi yang sering dilanda bencana tanah longsor, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Jumlah korban akan semakin bertambah banyak apabila catatan kejadian bencana dilanjutkan sampai Tahun 2006. Beberapa kejadian tanah longsor besar di Tahun 2006 telah menimbulkan korban meninggal ratusan orang seperti di Sinjai, Sulawesi Selatan, dan Jember, Jawa Timur. Bencana tanah longsor, meskipun kejadiannya dipengaruhi pula oleh kemiringan lereng dan kondisi tanah tutupan, namun juga diakibatkan oleh karakteristik sifat fisik batuan, kondisi hidrogeologi dan kehadiran jalur patahan. Oleh karen itu, kontribusi bidang geologi dalam manajemen penanganan becana tanah longsor sangat diperlukan. ---------------Bahaya dan bencana geologi serta kondisi geografis Indonesia yang terletak di daerah tropis, benar-benar menjadikan wilayah Indonesia rawan bahaya dan bencana geologi. Suatu risiko yang nyata dari kenyataan hidup di atas lempeng tektonik aktif. Untuk kepentingan mitigasi, data dan informasi setiap bencana tersebut harus tersedia dan disajikan dengan standar penyajian sebagaimana disarankan oleh PBB atau badan resmi dunia lainnya terkait bencana. MITIGASI BENCANA GEOLOGI: DARI PENYELIDIKAN HINGGA PERINGATAN DINI Mitigasi mencakup makna yang luas. Setiap usaha yang ditujukan guna mengurangi dampak atau risiko bencana merupakan bagian dari langkah mitigasi. Bagian ini akan mengemukakan beberapa langkah mitigasi yang sudah dilaksanakan di Indonesia melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG, temasuk nama-nama organisasi tersebut sebelumnya), Badan Geologi, DESDM. Sebelumnya, kita
akan mengulang kembali pengertian mitigasi – untuk mengingatkan kembali cakupan maknanya – dan melihat prinsip-prinsip mitigasi bencana tsunami serta lingkup kegiatan mitigasi. Mengulang Pengertian Mitigasi Mitigasi secara bahasa adalah kata serapan dari Bahasa Inggris “Mitigation”. Menurut Merriam-Webster Online Dictionary “Mitigation” memiliki arti: 1. to cause to become less harsh or hostile dan 2. to make less severe or painful. Jika diartikan secara bebas arti kata mitigasi dalam bahasa Indonesia adalah: “suatu tindakan untuk membuat suatu kondisi menjadi kurang kasar, kurang merusak, atau tidak terlalu menyakitkan”. Dengan berjalannya waktu, istilah mitigasi umumnya selalu dikaitkan dengan kebencanaan baik itu bencana alam (natural disasters) maupun bencana akibat perbuatan manusia (man-made disasters). Sebagaimana menurut DMTP, PBB, 1994, mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan guna mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka panjang” Sedangkan Encyclopedia Online Wikipedia mendefinisikan mitigasi sebagai: “usaha untuk menghindarkan berkembangnya bahaya menjadi bencana, atau mengurangi risiko saat terjadinya bencana”. Mitigasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu usaha pengelolaan bencana (disaster management) dengan fokus utama pada pengamatan jangka panjang untuk mengurangi atau menghilangkan risiko. Penerapan strategi mitigasi yang dilakukan setelah terjadinya bencana merupakan bagian dari proses pemulihan. Akan tetapi, karena usaha-usaha tersebut ditujukan guna mengurangi atau menghilangkan risiko, maka semuanya dapat disebut sebagai usaha-usaha mitigasi. Dari dua definisi di atas tampak jelas bahwa tujuan utama dari mitigasi adalah mengurangi atau bahkan menghilangkan risiko yang diakibatkan oleh suatu bencana, baik pada saat sebelum terjadi, saat terjadinya, maupun setelah terjadinya bencana. Jika dihubungkan dengan tugas dan
fungsi dari Badan Geologi melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) maka mitigasi bencana yang dikelola oleh institusi ini adalah mitigasi bencana geologi yang meliputi mitigasi untuk gunung api, gempa bumi, tsunami, dan gerakan tanah (tanah longsor). Prinsip-prinsip Mitigasi: Tinjauan khusus untuk Bencana Tsunami Setiap usaha jangka panjang, apalagi usaha yang berkenaan urusan penyelamatan kehidupan dan penghidupan manusia dari suatu serangan bahaya, tentulah memiliki prinsip-prinsip atau langkah-langkah dasar. Demikian pula, mitigasi bencana geologi, ia telah diupayakan berlandaskan pada prinsip-prinsip tertentu yang sudah teruji sebelumnya. Namun, mengingat sumber bencana itu banyak dan kompleks, penetapan prinsip-prinsip tersebut bukanlah hal yang mudah. Di bawah ini disajikan prinsip mitigasi bencana berkenaan dengan bencana tsunami sebagai perbandingan, dikutip dari buku ”Tsunami”, karya Subandono Diposaptono dan Budiman, 2006: ”Amerika Serikat sejak Maret 2001 mengembangkan program mitigasi bencana tsunami. Program itu didesain oleh tim yang berasal dari pakarpakar NOAA, Oregeon, dan Washington. Tujuannya, membantu masyarakat pesisir mengenali bahaya tsunami, kerentanan, dan melakukan upaya mitigasi melalui perencanaan tata guna lahan, perencanaan wilayah, dan desain bangunan. Pedoman ini ditujukan kepada pemerintah daerah yang terkait dengan fungsi perencanaan, permintakatan, pengaturan bangunan, community development, tata guna lahan, dan fungsi terkait lainnya di wilayah pesisir. Secara umum, pedoman itu disusun berdasarkan tujuh prinsip dasar. Prinsip pertama, mengetahui risiko tsunami baik tingkat bahaya, kerentanan, maupun ketahanannya. Proses untuk memperoleh informasi bahaya tsunami lokal dilakukan dengan mempersiapkan studi skenario kerusakan akibat tsunami. Strategi penerapan informasi untuk mengurangi kerusakan di masa mendatang meliputi empat hal. Pertama, memasukkan informasi bahaya tsunami dalam proses perencanaan jangka pendek dan panjang.
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
41
FOKUS KITA Kedua, menggunakan informasi bahaya tsunami untuk membangun dukungan publik dan politik terkait dalam upaya-upaya mitigasi. Ketiga, memperkirakan kerusakan yang akan datang dengan mengevaluasi tingkat efektivitas upaya-upaya pencegahan kerusakan. Dan keempat, secara periodik melakukan evaluasi kembali tingkat kerentanan masyarakat pesisir dan ketahanannya. Prinsip kedua, menghindari pembangunan baru di daerah run-up tsunami untuk meminimalkan kerugian akibat tsunami pada masa mendatang. Proses memahami konteks lokal, memahami trade-off, melakukan review dan up dating safety element, melakukan review dan up dating tata guna lahan yang ada dan rencanarencana yang lain, melakukan review dan up dating zonasi yang ada, subdivisi dan peraturan lainnya, serta merencanakan rekonstruksi paska tsunami. Sementara itu, strategi khusus yang dipakai dalam perencanaan tata guna lahan guna mengurangi risiko tsunami terdiri dari: (a) merancang daerah rawan tsunami untuk penggunaan ruang terbuka, (b) mendapatkan daerah rawan tsunami untuk penggunaan ruang terbuka, (c) memperketat bangunan melalui pengaturan tata guna lahan, (d) mendukung perencanaan tata guna lahan melalui penganggaran, serta (e) mengadaptasi program-program lain. Prinsip ketiga adalah menata pembangunan baru di daerah runup tsunami untuk meminimalkan kerusakan tsunami di masa depan. Proses penerapan strategi perencanaan wilayah meliputi pembuatan project review process yang kooperatif, komprehensif, dan integratif, pemahaman kondisi aerah lokal, serta pemilihan strategi mitigasi. Strategi khusus yang bisa diterapkan dalam perencanaan wilayah untuk mengurangi risiko bahaya tsunami adalah dengan cara menghindari daerah genangan, memperlambat arus, mengarahkan gelombang, dan memblok gelombang. Prinsip keempat: merancang dan membuat bangunan baru untuk meminimalkan kerusakan akibat tsunami. Proses penerapan strategi perancangan konstruksi meliputi: (a) mengadopsi dan menerapkan aturan bangunan (building code) dan standar perancangan yang sesuai, (b) aturan dan standar semua bahaya-bahaya potensial, (c) menerapkan informasi
42
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
bahaya tsunami lokal yang valid, (d) memilih intensitas kejadian, dan (e) mendefinisikan tingkat kinerja bangunan. Strategi khusus yang bisa dilakukan dalam perancangan dan pembangunan dalam rangka mengurangi risiko bahaya tsunami dilakukan dengan memilih desain yang sesuai berdasarkan efek tsunami yang bisa ditimbulkan. Strategi ini merancang bangunan-bangunan besar. Di samping itu perlu juga melakukan pengawasan terhadap pembangunan untuk menjamin persyaratan terpenuhi. Prinsip kelima adalah melindungi aset-aset yang sudah dibangun dari kerusakan akibat tsunami. Upaya itu meliputi pembangunan kembali, retrofitting, dan perencanaan kembali tata guna lahan. Tingkat kerawanan bisa meminimalkan melalui upaya-upaya pembaruan yang meliputi: (a) inventarisasi daerah rawan tsunami dan properti yang ada di dalamnya, (b) mengevaluasi dan merevisi rencana dan peraturan berkaitan dengan isuisu pembangunan kembali, retrofitting, an reuse, serta (c) menerapkan informasi bahaya tsunami lokal yang valid. Strategi khusus yang perlu diperbaharui guna mengurangi risiko bahaya tsunami bisa ditempuh dengan mengadopsi program khusus dan peraturan pembangunan, menggunakan strategi pembangunan kembali untuk mengurangi risiko tsunami, menggunakan insentif atau dukungan dana lainnya guna mendukung upaya pencegahan kerusakan, serta mengadopsi dan menjalankan aturan khusus mengenai retrofitting bangunan yang sudah ada. Selain itu, juga dibutuhkan arsitektur dan ahli bangunan untuk merancang upaya perlindungan pembangunan yang efektif. Prinsip keenam, lebih hati-hati dalam menempatkan dan merancang infrastruktur dan fasilitas-fasilitas penting sehingga bisa meminimalkan kerusakan akibat tsunami. Proses penerapan strategi penerapan infrastruktur dan lokasi fasilitas penting meliputi: (a) memahami mitigasi tsunami, (b) memahami karakteristik bahaya tsunami terhadap infrastruktur dan fasilitas penting, (c) mengadopsi kebijakan manajemen risiko yang komprehensif. Strategi khusus di bidang infrastruktur dan fasilitas penting guna mengurangi risiko bahaya tsunami diantaranya dengan menempatkan infrastruktur dan fasilitas penting baru di luar daerah rawan tsunami atau
melakukan perancangan yang dapat menahan gaya-gaya tsunami, melindungi atau merelokasi infrastruktur dan fasilitas penting yang sudah ada, serta merencanakan tanggap darurat dan pemulihan. Prinsip ketujuh, merencanakan evakuasi. Proses penerapan strategi evakuasi secara vertikal meliputi: (a) inventarisasi bangunan-bangunan yang ada, (b) menjamin standar yang memadai untuk diterapkan pada bangunan-bangunan baru, (c) menunjuk personil pelayanan tanggap darurat untuk memimpin program evakuasi, dan (d) memecahkan kembali isu-isu terkait. Strategi khusus secara evakuasi vertikal guna mengurangi risiko bahaya tsunami dilakukan dengan cara: (1) mengidentifikasi bangunan-bangunan spesifik yang digunakan sebagai vertical shelter, (2) bekerja sama membuat prosedur dengan pemilik bangunan, (3) menjamin adanya prosedur untuk menerima dan menyebabkan peringatan, (4) menerapkan infornmasi yang efektif dan program-program pendidikan, serta (5) memelihara program alam jangka panjang”. Lingkup Mitigasi Sebagaimana telah disampaikan dalam bagian 2, Gambar 7, konsep mitigasi bencana-khususnya bencana geologi, lebih khusus lagi gempa bumi dan tsunami – dari PVMBG, Badan Geologi, DESDM – lebih menitikberatkan pada mitigasi dalam arti yang luas. Dalam hal ini, mitigasi adalah bagian dari manajeman penanggulangan bencana yang ditempatkan sebagai upaya-upaya sebelum terjadinya bencana. Berdasarkan konsep dan pengalaman yang telah dilaksanakan, sebagaimana disajikan pada Gambar 7, maka lingkup mitigasi bencana geologi adalah: 1) penyelidikan, 2) pemetaan, 3) pemantauan, 4) komunikasi, 5) pelatihan, 6) sosialisasi, dan 7) peringatan dini. Ketujuh langkah mitigasi ini dipadukan dengan strategi kewilayahan. Yakni, mitigasi bencana geologi (gempa bumi dan tsunami, letusan gunung api dan tanah longsor) menitikberatkan pada identifikasi tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap terjadinya bencana masingmasing bencana, serta menyiapkan masya-rakat dan Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi kemungkinan
FOKUS KITA terjadinya bencana tersebut. Mitigasi yang telah banyak dilakukan, meli puti ketujuh lingkup tersebut di atas adalah mitigasi di bidang bencana letusan gunung api. Hasil-hasil dari upaya mitigasi yang telah dilaksanakan sebagaimana dalam lingkup kegiatan di atas, dipaparkan di bawah ini dengan penyajian lebih menitikberatkan pada lingkup penyelidikan dan pemetaan. Mitigasi Bencana Geologi Mitigasi Bencana Gunung Api Di dalam buku kecil (panduan sosialisasi bencana) ”Gunungapi”, PVMBG, dikemukakan langkah-langkah mitigasi bencana gunung api yang meliputi tindakan sebelum, selama, dan sesudah gunung api meletus. Langkah mitigasi sebelum gunung api meletus meliputi: 1) pemantauan dan pengamatan kegiatan pada semua gunung api aktif, 2) pembuatan dan penyediaan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api dan Peta Zona Risiko Bahaya Gunung Api yang didukung dengan Peta Geologi Gunung Api; 3) Melakukan penyelidikan dan penelitian geofisika dan geokimia gunung api, 4) Melaksanakan prosedur tetap penanggulangan bencana letusan gunung api, 5) Melakukan pembimbingan dan pemberian informasi gunung api, dan 6) Melakukan peningkatan sumber daya manusia dan pendukungnya (sarana dan prasarana untuk pengamatan, penyelidikan dan penelitian kegunungapian). Menjelang dan selama terjadinya bencana letusan gunung api, langkah-langkah berikut dilaksanakan: 1) Membentuk tim gerak cepat, 2) Meningkatkan pemantauan dan pengamatan didukung oleh peralatan yang memadai, 3) Meningkatkan pelaporan dan frekuensi pelaporan sesuai kebutuhan, dan 4) Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah terkait sesuai prosedur. Adapun langkah mitigasi sesudah bencana letusan gunung api meliputi: 1) Menginvetarisir data mencakup data sebaran dan volume hasil letusan, 2) Mengidentifikasi daerah yang terkena dan terancan bahaya, 3) Memberikan saran penanggulangan bahaya berikutnya, 4) Memberikan rekomendasi penataan kawasan jangka pendek dan jangka panjang, 5) Memperbaiki fasilitas pemantauan gunung api yang rusak, 6) Menurun-
kan status kegiatan gunung api bila keadaan aktivitas gunung api sudah menurun, dan 7) Melanjutkan langkah pemantauan rutin. Sebagian besar letusan gunung api diawali dengan berubahnya kondisi geokimia dan geofisika yang dapat diukur, untuk itu usaha mitigasi yang paling utama dalam mengurangi risiko akibat letusan gunung api adalah dengan melakukan pemantauan dan pengamatan yang terus menerus terhadap kondisi geokimia dan geofisika berupa monitoring seismik, pengukuran perubahan bentuk puncak gunung api, pencatatan perubahan kondisi geokimia dan geoelektrik, dan lainlain. Dengan melakukan hal tersebut maka status dari gunung api dapat ditentukan dan prakiraan mengenai kemungkinan terjadinya letusan dapat diramalkan. Usaha mitigasi bencana gunung api di Indonesia melalui langkah pengamatan gunung api telah dilaksanakan sejak jaman Hindia Belanda dengan dibangunnya beberapa pos pengamatan gunung api dari tahun 1920 - 1941, yaitu Pos Gunung Krakatau di Pulau Panjang, Pos Gunung Tangkubanparahu, Pos Gunung Papandayan, Pos Kawah Kamojang, Pos Gunung Merapi (Babadan, Krinjing, Plawangan, Ngepos), Pos Gunung Kelut, Pos Gunung Semeru, dan Pos Kawah Ijen. Saat ini PVMBG telah memiliki 69 pos pengamatan gunung api di seluruh wilayah Indonesia untuk mengamati gunung-gunung api yang dianggap memiliki potensi membahayakan bagi manusia dan harta benda. Dalam usaha mitigasi, PVMBG telah melakukan pemetaan kawasan rawan bencana untuk setiap gunung api tersebut. Secara umum, ketujuh lingkup mitigasi tersebut di atas telah dilaksanakan dalam mitigasi bencana letusan gunung api. Penyelidikan telah menghasilkan data dasar gunung api Indonesia sebagaimana tersaji dalam buku ”Data Dasar Gunungapi Indonesia”, terbitan Direktorat Vulkanologi (PVMBG sekarang), 1979 dan disusul oleh berbagai penyelidikan yang intensif hingga sekarang, khususnya untuk sejumlah gunung api Indonesia yang sangat aktif (http://portal. vsi.esdm.go.id/joomla/). Pemetaan menghasilkan peta-peta yang termasuk kategori peta kawasan rawan bencana gunung api. Dalam tahap
awal telah tersedia peta daerah bahaya atau daerah bahaya sementara untuk 65 buah gunung api yang ada di Indonesia sebagaimana disajikan dalam buku ”Data Dasar Gunungapi Indonesia” tersebut diatas dan saat ini sebanyak 21 dari daerah-daerah tersebut telah diperbaharui dan diberi nama baru sebagai ”kawasan rawan bencana gunung api”. Pemetaan juga telah menghasilkan Peta Geologi Gunung Api yang diperlukan untuk bahan dasar pemantauan dan pengamatan gunung api. Hingga saat ini telah diselesaikan sebanyak 11 lembar Peta Geologi Gunung Api, 13 Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api, dan 1 Peta Risiko Bencana Gunung Api. Kesemua peta-peta tersebut disajikan dalam website PVMBG (http://www.vsi.esdm.go.id). Pemantuan telah dilaksanakan secara rutin untuk seluruh gunung api Indonesia sebagaimana telah disinggung di muka. Demikian pula komunikasi, pelatihan, dan sosialisasi rutin dilaksanakan oleh PMVBG, terutama dalam kondisi menghadapi ancaman bahaya dari gunung api yang aktivitasnya mulai menunjukkan peningkatan dari keadaan normal. Dalam langkah peringatan dini, PVMBG, Badan Geologi, telah menetapkan satu standar yang berkaitan dengan tingkat aktivitas sebuah gunung api, terdiri atas 4 tahapan, yaitu: tahap-tahap aktif normal, waspada, siaga, dan awas (http://merapi. vsi.esdm.go.id/?volcano/early_warning.htm). Implementasi dari peringatan dini tersebut telah cukup berhasil dalam mitigasi bencana Gunung Api Merapi, Pulau Jawa. Memang, mitigasi bencana gunung api yang lebih komprehensif telah dilakukan untuk gunung api Merapi berkaitan dengan karakter gunung api tersebut yang frekuensi letusannya termasuk tinggi (4 – 5 tahun sekali untuk letusan besar). Sejumlah informasi penting contoh upaya mitigasi gunung api dari Gunung Api Merapi dapat dilihat dalam website BPPTK, PVMBG (http://www.bpptk.esdm.go.id//). Salah satu contoh Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api adalah adalah Peta Daerah Bahaya Gunung Api Guntur, Jawa Barat, sebagaimana pada Gambar 15. Dari peta tersebut tampak bahwa daerah bahaya dalam warna merah muda adalah daerah yang harus diwaspaWARTA GEOLOGI, JULI 2006
43
FOKUS KITA
Gambar 15. Peta Daerah Bahaya Gunung Api Guntur, Jawa Barat.
dai terhadap ancaman awan panas, aliran lava, dan lontaran piroklastik, sedangkan daerah waspada dibagi menjadi tiga, yang pertama merupakan daerah yang memiliki potensi terkena lontaran piroklastik berupa lingkaran konsentris berjari-jari 5 km yang dibatasi oleh wilayah berarsir. Daerah kedua adalah daerah dengan potensi terkena jatuhan piroklastik berupa lingkaran konsentris berjari-jari 8 km yang dibatasi oleh garis berwarna kuning. Sedangkan, daerah ketiga yang dibatasi oleh wilayah berwarna biru adalah daerah yang harus diwaspadai karena berpotensi sebagai wilayah yang terkena lahar bila turun hujan. Dalam peta itu, juga dicantumkan lokasi dari pemukiman atau perkampungan berupa titik berwarna hitam, sehingga dapat diperkirakan kampung-kampung mana saja yang masuk ke dalam daerah bahaya dan daerah waspada, dari sisi mitigasi informasi ini sangat penting mengingat fungsi mitigasi adalah untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan risiko akibat bencana bagi manusia. Dari peta ini dapat diperkirakan wilayah mana saja yang harus dikosongkan jika terjadi letusan, serta wilayah mana saja yang aman dan
44
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
dapat dipakai sebagai tempat pengungsian, selain itu juga dengan dicantumkannya infrastruktur dalam hal ini jalan maka dapat pula dibuat rute pengungsian dan rute pemberian bantuan dengan lebih efektif dan efisien. Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Indonesia yang terletak di antara tumbukan tiga lempeng, lempeng
benua Eurasia, lempeng samudera Pasifik, dan lempeng samudera IndoAustralia merupakan wilayah yang sangat aktif secara seismik. Kondisi ini menyebabkan seluruh wilayah Kepulauan Indonesia, kecuali Pulau Kalimantan, memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya suatu gempa bumi (Gambar 16). Dari gambar di atas tampak bahwa wilayah yang dibatasi dengan garis merah merupakan wilayah yang aktif secara seis-
Gambar 16. Kawasan rawan bencana Geo-Teknik.
FOKUS KITA mik, titik-titik kuning menunjukkan pusat gempa yang pernah terjadi, titik berwarna merah adalah lokasi dari gempa-gempa dalam. Beberapa dari gempa yang pernah terjadi diikuti pula oleh terjadinya tsunami. Kejadian terbesar gempa bumi yang diikuti oleh tsunami yang terjadi di Indonesia adalah gempa bumi di Aceh dan Sumatera Utara yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dengan magnitudo mencapai 9,1 (skala USGS) dan mengakibatkan jatuhnya korban meninggal Indonesia saja sebanyak 167.000 orang lebih dan total korban meninggal mencapai 250.000 orang lebih di 14 negara. Dengan melihat kondisi Indonesia yang aktif secara tektonik maka usaha mitigasi gempa bumi sangat diperlukan. Sampai saat ini, teknologi yang ada belum dapat meramalkan kapan suatu gempa bumi akan terjadi, yang dapat dilakukan dalam usaha mitigasi adalah: 1) memetakan wilayah rawan gempa bumi dari hasil studi gempa bumi yang pernah terjadi dan melakukan studi mengenai pergerakan lempeng tektonik serta penelaahan patahan-patahan aktif, 2) memantau aktivitas seismik dengan menggunakan seismograf atau alat-alat lainnya, dan 3) melakukan obervasi ilmiah berbasis masyarakat seperti melakukan pengamatan peningkatan kekeruhan air sumur dan melakukan pencatatan tingkat gas radon yang masuk ke dalam sumur. Gempa bumi dan dengan demikian juga tsunami merupakan peristiswa alam yang kejadiannya sulit diramalkan. Hingga saat ini belum ada seorang pun ilmuwan yang mampu memprediksikan secara tepat waktu terjadinya gempa bumi. Namun, dengan mengamati catatan sejarah gempabumi dan tsunami, para ilmuwan dapat mengetahui tempat-tempat yang rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Untuk itu, dalam rangka mitigasi diperlukan upaya-upaya pengamatan tinggi gelombang dan batas landaan dari kejadian tsunami masa lalu yang akan berguna untuk memperkirakan dan mengurangi dampak tsunami di masa depan. Secara langkah pembangunan fisik, mitigasi gempa bumi berhubungan dengan bidang-bidang di luar ilmu kebumian terutama dengan bidang teknik sipil dan arsitektur
menyangkut pada penentuan spesifikasi struktur bangunan tahan gempa. Beberapa jenis bangunan seperti bangunan pemecah gelombang, bangunan tempat penyelamatan diri, dinding penahan laju tsunami, dan rumah-rumab atau bangunan fasilitas umum dengan tiang-tiang yang tinggi dan kokoh perlu dilaksanakan dalam rangka mengurangi korban dan kerugian akibat bencana tsunami. Usaha lain yang harus dilakukan dalam rangka mitigasi adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya-bahaya yang terkait dan mitigasi bencana serta tindakan-tindakan kesiapan. Mitigasi untuk bahaya tsunami dapat ditempuh dengan melakukan pengamatan terjadinya gempa bumi,
terutama yang terjadi di laut dan memiliki kriteria untuk membangkitkan tsunami. Salah satu pusat pengamatan tsunami di dunia adalah Indian Ocean Tsunami Warning System (IOTWS) yang dibangun oleh UNESCO setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami di Aceh. Pusat peringatan ini mulai beroperasi pada bulan Juni 2006, sistem peringatan ini terdiri dari 25 stasiun seismograf dan 3 sensor laut dalam yang menyampaikan data pengukuran ke Pusat Informasi Tsunami di 26 negara. Gambar 17 menunjukkan sistem peringatan dini untuk tsunami yang diterapkan oleh IOTWS. Gambar 18 adalah peta yang menunjukkan daerah rawan gempa bumi berdasarkan data gempa bumi
Gambar 17. Sistem Peringatan Dini untuk Tsunami IOTWS.
Gambar 18. Peta wilayah rawan Gempa Bumi. WARTA GEOLOGI, JULI 2006
45
FOKUS KITA
Gambar 19 . Peta Wilayah Rawan Tsunami Indonesia.
Gambar 20. Peta Sesar Aktif dan Sebaran Pusat Gempa Bumi merusak wilayah Indonesia.
merusak yang terjadi dari tahun 1756 – 2004 yang terdapat dalam Katalog Gempa Bumi Merusak Indonesia yang diterbitkan oleh PVMBG. Wilayah rawan ditunjukkan dengan kotak bergaris merah. Gambar 19 adalah peta yang menunjukkan wilayah rawan tsunami di Indonesia berdasarkan pada data tsunami yang pernah terjadi dan ketinggian muka air yang pernah tercapai. Wilayah rawan ditunjukkan dengan kotak bergaris merah. Sedangkan Gambar 20 adalah peta yang menunjukkan sesar-sesar yang dapat mengakibatkan gempa atau terpicu oleh gempa. Sesar aktif digambarkan sebagai garis berwarna merah, sedangkan sesar-sesar tidak aktif, akan tetapi memiliki potensi menjadi aktif jika terpicu oleh gempa digambarkan sebagai garis berwarna
46
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
abu-abu. Salah satu contohnya adalah Sesar Opak di Yogyakarta yang bergerak akibat terpicu oleh gempa dan menyebabkan kerusakan yang cukup besar ketika terjadi gempa pada tanggal 27 Mei 2006 di daerah tersebut. Mitigasi Bencana Gerakan Tanah Berbeda dari bencana gunung api maupun gempa bumi dan tsunami, bencana gerakan tanah yang umumnya berupa longsoran tanah merupakan suatu bencana yang sebaran wilayah terjadinya cukup luas sehingga menyebabkan kerugian properti yang lebih banyak dibandingkan dengan bencana geologi lainnya. Langkah-langkah mitigasi gerakan tanah sebagaimana dalam buku kecil ”Gerakan Tanah ” (PVMBG) di-
bagi menjadi langkah-langkah sebelum, saat terjadi dan sesudah terjadi bencana. Langkah-langkah sebelum terjadi bencana meliputi: pemetaan, penyelidikan, pemeriksaan, pemantauan, dan sosialisasi. Adapun langkah-langkah selama dan sesudah terjadi bencana meliputi: tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Tahapan tanggap darurat adalah penyelematan dan pertolongan korban secepatnya supaya korban tidak bertambah banyak. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tindakan tanggap darurat antara lain adalah: kondisi medan, kondisi bencana, peralatan, dan informasi tentang bencana. Tahapan tanggap darurat dilaksanakan melalui koordinasi dengan instansi lain dan Pemerintah Daerah yang mengalami bencana. Upaya pemulihan korban dan prasarananya meliputi pemulihan kondisi sosial, ekonomi, pemukiman penduduk, dan sarana transportasi. Kontribusi bidang geologi dalam tahapan rehabilitasi antara lain terdapat dalam upaya pengkajian kondisi tanah longsor dan teknik pengendaliannya agar tanah longsor tidak berkembang, serta penentuan lahan untuk relokasi penduduk apabila tanah longsor sulit dikendalikan. Dalam tahapan rekonstruksi, penguatan bangunan infrastruktur di daerah rawan gerakan tanah tidak menjadi pertimbangan utama mengingat kerentanan bangunanbangunan yang berada pada jalur tanah longsor hampir 100%. Beberapa tindakan yang penting dilakukan dalam tahap rekonstruksi adalah: 1) perbaikan drainase tanah dengan cara menambah material yang mampu menyerap air; 2) momodifikasi lereng, yakni pengurangan sudut lereng sebelum dilakukan pembangunan di atas lereng tersebut; 3) penghijauan kembali lereng-lereng yang berpotensi mengalami longsor, dan 4) menstabilkan lokasi hunian, antara lain dengan pembangunan beton penahan tembok. Mitigasi bencana gerakan tanah sangat penting untuk menghindari terjadinya kerugian harta dan nyawa yang lebih banyak lagi. Perkiraan potensi bahaya gerakan tanah dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa faktor, yaitu: 1. Faktor geologi berupa pengamatan: a) litologi dengan mengetahui
FOKUS KITA kekuatan, daya serap, dan sensifitas terhadap pelapukan kimia dan fisika yang dapat mempengaruhi stabilitas lereng; b) struktur batuan dan tanah yang dapat mempengaruhi stabilitas mencakup urutan stratigrafi, perubahan fasies, rekahan dan lipatan. 2. Faktor geomorfologi, informasi geomorfologi yang paling penting dalam memperkirakan potensi tanah longsor adalah sejarah terjadinya longsor pada suatu daerah. Informasi geomorfologi lainnya mencakup ketajaman dan bentuk lereng juga penting dalam memperkirakan potensi longsor. 3. Faktor hidrologi dan klimatologi, pengamatan sumber, gerakan, jumlah dan tekanan air menjadi faktor penting, selain itu pola iklim yang digabung dengan tipe tanah dapat menyebabkan tipe longsor yang berbeda-beda. 4.Faktor vegetasi, tanaman yang terdapat di lereng dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif
bagi kestabilan lereng. Sebagai contoh, akar dapat mengurangi aliran air permukaan dan meningkatkan kohesi tanah, sebaliknya akar juga dapat memperbesar retakan pada batuan dan meningkatkan peresapan. PVMBG dalam usaha mitigasi bencana gerakan tanah telah menerbitkan Peta Prakiraan Wilayah Potensi Terjadinya Gerakan Tanah, salah satu contoh adalah Gambar 21. Dalam gambar di atas tampak wilayah yang memiliki potensi gerakan tanah rendah digambarkan sebagai wilayah yang dibatasi oleh daerah dengan simbol arsir mendatar, wilayah dengan potensi gerakan tanah sedang dengan simbol arsir miring, dan wilayah dengan potensi gerakan tanah tinggi digambarkan dengan simbol arsir menyilang. Dengan adanya peta tersebut maka dapat diantisipasi wilayah mana saja yang memiliki potensi gerakan tanah tinggi dan mempersiapkan masyarakat di tempat-tempat
tersebut untuk mewaspadai terjadinya longsoran tanah, terutama pada saat musim penghujan. PENUTUP: URGENSI DATA, INFORMASI, DAN SOSIALISASI UNTUK MITIGASI BENCANA GEOLOGI Mitigasi bencana geologi merupakan bagian dari manajemen bencana. Dalam pengelolaan penanganan bencana ini prinsip dasar yang harus dianut adalah bahwa penanganan bencana merupakan tanggung jawab bersama. Kebersamaan dan sinergi, baik antar instansi Pemerintah, antara Pemerintah dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun antar berbagai komponen masyarakat dalam penanganan bencana mutlak diperlukan untuk seluruh jenis bencana. Untuk itu, peranan data dan informasi serta sosialisasi mutlak sangat diperlukan.
Gambar 21. Peta Prakiraan Wilayah Potensi terjadi gerakan tanah pada bulan Nopember 2005, Jawa Barat dan Banten. WARTA GEOLOGI, JULI 2006
47
FOKUS KITA Bagian akhir tulisan tentang pengenalan konsep penanganan, bahaya dan bencana geologi ini meringkaskan salah satu unsur yang penting dalam mitigasi bencana, yaitu: data, informasi dan sosialisasi. Penyajian Data dan Informasi Seluruh langkah dalam tahapan mitigasi bencana sangat bergantung kepada beberapa lengkap data dan informasi tentang bahaya dan bencana di suatu lokasi, tak terkecuali untuk kasus mitigasi bencana geologi. Dalam kaitannya dengan bencana, UNDP (salah satu badan dari PBB) melalui Disaster Manajemen Training Programme (DMTP) telah menyusun modul pelatihan manajemen bencana. Dalam modul tersebut terdapat struktur informasi dasar yang perlu disediakan di setiap wilayah negara terkait bencana yang sering muncul di masing-masing wilayah negara di dunia. Dipandang dari sudut data dan informasi, seluruh kandungan isi modul tersebut dapat dipandang sebagai saran untuk setiap Pemerintahan agar menyediakan sumber daya informasi bencana-bencana yang sering atau potensial terjadi di wilayahnya masing-masing sesuai dengan struktur data dan informasi tersebut. Salah satu struktur data dan informasi tersebut berkenaan dengan bahaya dan bencana geologi. Untuk keperluan tersebut, basis data tentang bencana juga perlu dilengkapi. Di bawah ini beberapa cuplikan dari struktur data dasar yang diperlukan dalam kaitannya dengan bahaya dan bencana geologi menurut DMTP dan sumber lainnya yang relevan. -
Data dan Informasi Bahaya Geologi Dalam penyajian data dan informasi bahaya geologi, selain data dan informasi yang sifatnya teknis ilmiah, koordinasi dan kebersamaan penanganan bencana geologi sangat memerlukan data dan informasi mendasar yang sifatnya umum dan mudah dipahami. DMTP telah merekomendasikan suatu penyajian data dan informasi dasar yang bersifat umum dan mudah dipahami tersebut yang mengandung butir-butir berikut ini guna kepentingan mitigasi: jenis bahaya geologi, fenomena sebab akibat, pengaruh dan karakteristik umum, mungkinan peramalan, faktor-faktor yang memberi andil
48
WARTA GEOLOGI, JULI 2006
pada kerentanan, pengaruh-pengaruh khusus yang merugikan, kemungkinan tindakan pengurangan resiko, tindakan-tindakan kesiapan khusus, kebutuhan-kebutuhan khusus paska bencana, dan alat-alat (instrumen) penilaian dampak. Tampak bahwa dalam upaya melengkapi format data tersebut, tidak ada satu instansi pun yang dapat bekerja secara sendirian. Kerjasama sangat diperlukan dari berbagai instansi Pemerintah, bahkan antar Pemerintah, LSM, swasta dan masyarakat luas guna memperoleh data dan informasi selengkap-lengkapnya. Sebagai contoh, apabila terdapat 79 gunung api yang aktif dan perlu diwaspadai, maka akan terdapat sebanyak 79 tabel bahaya gunung api. Demikian pula untuk jenis bahaya geologi lainnya, masing-masing harus memiliki database bahaya sebagaimana tabel 3-5. -
Data dan Informasi Bencana Geologi Dalam penyajian data dan informasi bencana geologi, sebagaimana dalam penyajian data bahaya geologi dalam kaitannya dengan koordinasi manajemen bencana, selain data dan informasi yang sifatnya teknis ilmiah, diperlukan juga struktur dan format data yang sifatnya umum, namu mendasar. Salah satu format data tentang bencana geologi yang disarankan oleh UNDP, PBB melalui DMTP adalah data dan informasi yang meliputi: mekanisme kerusakan, parameter kedahsyatan, penyebab, pengkajian bahaya dan teknik-teknik pemetaan, potensi pengurangan bahaya, serangan dan peringatan, elemen yang paling berisiko, strategistrategi utama untuk mitigasi, partisipasi masyarakat (Lihat Tabel 1). Sebagaimana halnya data dan informasi bahaya geologi, dalam upaya melengkapi format data bencana geologi pun meniscayakan suatu kerjasama antar berbagai instansi Pemerintah, Pemerintah dengan LSM, swasta dan masyarakat luas guna memperoleh data dan informasi tersebut. Dalam konteks Otonomi Daerah, setiap Pemerintah Daerah dituntut untuk memahami data dasar untuk setiap bencana yang sering atau potensial terjadi di daerahnya masing-masing, meliputi baik bencana gunung api, gempa bumi, tsunami, maupun tanah longsor atau gerakan tanah.
Sosialisasi Aspek terakhir yang perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan mitigasi bencana adalah sosialisasi. Urgensi sosialisasi sedemikian nyata dalam manajemen bencana, mengingat penanganan bencana pada prinsipnya adalah tanggungjawab bersama. Sedikitnya ada empat alasan lain mengapa sosialisasi bencana sangat penting dan mendesak untuk senantiasa dilaksanakan, yaitu: - Untuk membangun pemahaman bersama tentang berbagai aspek, meliputi sebab-sebab, karakter, dan potensi keruksakan akibat bencana secara ilmiah sehingga terbangun kesadaran pentingnya kesiapsiagaan di tengah masyarakat dan menghindarkan jatuhnya korban akibat panik dan implikasi ketidaktahuan lainnya; - Untuk membangun kerjasama dan koordinasi perencanaan penanggulangan bencana secara mandiri setiap kelompok masyarakat untuk wilayahnya masing-masing, sehingga pada saatnya datang bencana masyarakat tidak terlalu bergantung kepada pihak luar. Dengan demikian, jatuhnya korban yang lebih banyak akibat bencana dapat dihindari; - Untuk saling tukar informasi antara informasi yang sifatnya ilmiah dan teknis dengan informasi kekayaan budaya atau kearifan lokal yang telah terbukti atau potensial mampu berperan dalam mitigasi bencana. Melalui sosialisasi, kearifan lokal dapat diintegrasikan dan dikukuhkan dalam program mitigasi bencana, serta disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat; - Untuk menyediakan bahan dan materi guna keperluan simulasi menghadapi bencana. Melalui sosialisasi, simulasi-simulasi yang dilaksanakan oleh berbagai pihak yang peduli terhadap bencana dapat lebih terarah. Berbagai media dapat digunakan untuk keperluan sosialisasi, mulai dari media klasik seperti buku, sampai media komunikasi modern seperti film dan animasi. Berbagai kelompok sasaran masyarakat dapat dilibatkan dalam sosialisasi dimaksud seperti para guru dari berbagai tingkatan sekolah, anak-anak sekolah berbagai tingkatan, para pemuda, karang taruna, ibu-ibu PKK, kelompok ulama dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, serta aparat Pemerintah Daerah. **