PERUMPAMAAN HUBUNGAN MANUSIA DENGAN TUHAN DALAM TEKS SERAT SASTRA GENDHING DAN LOKAJAYA, SEBUAH PERBANDINGAN
Oleh: Yuli Kurniati Werdiningsih Progdi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP PGRI Semarang Jl. Sidodadi Timur No 24 – Dr. Cipto Semarang Telp. (024) 8316377 Email:
[email protected] pos-el :
[email protected] Abstrak Suluk merupakan salah satu bentuk karya sastra Jawa yang banyak ditemukan seiring perkembangan agama Islam di Jawa. Suluk-suluk tersebut acapkali memiliki hubungan. Diantara sekian banyak suluk, terdapat Serat Sastra Gendhing dan Lokajaya. Kedua suluk tersebut memiliki hubungan tematik. Penelitian ini berupaya membandingkan teks Serat Sastra Gendhing dengan teks Lokajaya guna melihat sejauh mana hubungan keduanya. Penelitian ini menggunakan metode sastra bandingan dan pendekatan tematik. Hasil penelitian ini ialah ditemukannya hubungan antara kedua teks, khususnya berkaitan dengan pengungkapan hubungan antara Tuhan dan manusia. Kata kunci : suluk, Serat Sastra Gendhing, Lokajaya, sastra bandingan dan tematik.
I.
PENDAHULUAN Karya sastra Jawa merupakan salah satu bentuk kekayaan intelektual yang
dimiliki oleh masyarakat Jawa. Karya sastra Jawa memuat berbagai hal yang berkaitan dengan pola hidup dan pola pikir masyarakat Jawa. Perbedaan masa penciptaan karya sastra menggambarkan perbedaan pola pikir masyrakatnya. Menurut Pigeaud (1967:2-3), berdasarkan isinya karya sastra Jawa dapat digolongkan menjadi empat yakni religi dan etika; sejarah dan mitologi; belles-
1
lettres; pengetahuan, kesenian, hukum, cerita rakyat, adat istiadat dan campur baur. Religi
dan etika mencakup karya sastra berjenis tutur, mantra, suluk,
piwulang, niti, wirid, dan dongeng (Pigeaud, 1967:47-113). Berdasarkan pembagian tersebut, dapat diketahui bahwa suluk merupakan salah satu jenis karya sastra Jawa yang memuat unsur religi. Unsur religi yang melatarbelakangi lahirnya suluk adalah Islam, oleh karena itu suluk berisi ajaranajaran Islam. Ajaran yang mendominasi suluk adalah ajaran mengenai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup dalam konteks ini adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya. Hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya haruslah seimbang guna mencapai kesempurnaan hidup. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya atau antara kawula dengan Gusti-nya inilah yang akan mengantarkan seseorang mencapai kesempurnaan hidup atau manunggaling kawula Gusti. Konsep manunggaling kawula Gusti ini termuat dalam berbagai teks dengan cara yang beragam, salah satunya adalah dengan menggunakan perumpaman-perumpamaan. Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan dapat dijumpai pula pada Serat Sastra Gendhing dan Lokajaya. Serat Sastra Gendhing merupakan salah satu karya sastra Jawa yang diprakarsai oleh Sultan Agung Anyakrakusuma. Teks Serat Sastra Gendhing ditulis pada masa kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung yakni tahun 1613-1645 (Behrend, 1990:xviii). Teks Lokajaya merupakan hasil transformasi atas sumber utama teks mistik Dewaruci Macapat. Pentransformasian teks ini bersamaan
2
dengan masa kebangkitan kesusastraan Jawa Klasik di Surakarta pada abad ke-18 sampai 19 (Marsono, 1996:4). Kesamaan tema mengenai konsep manunggaling kawula Gusti dan cara mengungkapkan hubungan antara manusia dengan Tuhan yang terdapat dalam Serat Sastra Gendhing dan Lokajaya mengilhami peneliti untuk membandingkan kedua teks tersebut menggunakan metode perbandingan. Teks yang akan dibandingkan adalah teks Serat Sastra Gendhing yang merupakan hasil suntingan teks dan terjemahan yang telah dilakukan oleh peneliti dalam skripsi yang berjudul Serat Sastra Gendhing, Suntingan Teks dan Terjemahan (2006) dengan teks Lokajaya yang merupakan hasil suntingan yang dilakukan oleh Marsono dalam desertasinya yang berjudul Lokajaya, Suntingan Teks, Terjemahan, Struktur Teks, Analisis Intertekstual dan Semiotik (1996). Kedua teks ini seperti karya sastra yang lainnya, diciptakan tidak dalam keadaan kekosongan sosial budaya maupun kekosongan karya sastra (Pradopo, 1987: 125). Penulis dalam mencipta teks ini tidak terlepas dasi pandangan dunia pada zamannya dan sebelumnya. Teks lahir dari inspirasi atau latar dalam penciptaan, sehingga acapkali terdapat hubungan antara teks yang satu dengan teks yang lain. hubungan antar teks
terdapat pula
pada teks Serat Sastra
Gendhing dan Lokajaya Kesamaan tema dan cara pengungkapan hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya, serta perbedaan masa penulisan teks menjadi dasar pemilihan kedua teks sebagai objek. Selain itu, pemilihan kedua teks ini didasarkan pula pada hubungan antar teks. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mendapatkan
3
benang merah antara dua teks tersebut. Khususnya, yang berhubungan dengan perbandingan perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam teks Serat Sastra Gendhing dan teks Lokajaya. Berkaitan dengan tujuan penelitian, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ialah sejauh mana hubungan antara teks Serat Sastra Gendhing dengan teks Lokajaya. Hubungan tersebut dikhususkan pada hubungan tematik antar teks, yakni perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam teks Serat Sastra Gendhing dan teks Lokajaya. Teks Serat Sastra Gendhing dan Lokajaya telah digunakan sebagai objek kajian oleh beberapa peneliti sebelumnya. Beberapa peneliti tersebut diantaranya adalah Soebalidinata, Yuli Kurniati W, dan
Marsono. Soebalidinata dalam
skripsi sarjana mudanya melakukan suntingan teks Serat Sastra Gendhing dengan judul Tindjauan Filologis Kitab Sestragendhing Anggitan Sultan Agung (1966). Yuli Kurniati Werdiningsih dalam skripsinya melakukan suntingan dan terjemahan terhadap Serat Sastra Gendhing dengan judul Serat Sastra Gendhing, Suntingan Teks dan Terjemahan (2006). Dalam desertasinya Marsono melakukan penelitian terhadap teks Lokajaya dengan judul Lokajaya, Suntingan Teks, Terjemahan, Struktur Teks, Analisis Intertekstual dan Semiotik (1996). Kedua penelitiaan terakhir ini yang akan dijadikan sebagai objek kajian. Sejauh pengamatan peneliti, belum pernah ada peneliti yang membandingkan kedua teks ini.
4
II.
Metode Penelitian Guna mengungkapkan perbandingan hubungan antara teks Serat Sastra
Gendhing dengan teks Lokajaya, digunakan metode sastra bandingan. Menurut Wellek dan Warren (dlm Budianta, 1990:47-50), sastra bandingan dalam prakteknya menyangkut bidang studi dan masalah lain. Pertama, istilah ini digunakan untuk studi sastra lisan; kedua, istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih; ketiga, istilah sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh. Ilmu
sastra
menjadi
pijakan
sastra
bandingan.
Menurut
Crose
(Endraswara, 2003:128), sastra banding adalah kajian yang berupa eksplorasi perubahan, penggantian, pengembangan, dan perbedaan timbale balik diantara dua karya sastra atau lebih.masih pada halaman yang sama Endraswara menambahkan bahwa sastra bandingan akan terikat dengan tema dan ide sastra. Sastra banding masuk kesalam ilmu sastra yang mempelajari keterkaitan antar sastra dengan bidang lain. Kesusastraan bandingan melibatkan yang merentasi budaya, dengan ciri antara disiplin yang berkaitan dengan pola hubungan dalam kesusastraan yang merentasi ruang dan waktu (Bassnett,1999:1). Pernyataan ini dapat dimaknai bahwa sastra bendingan merupakan studi yang melibatkan budaya dalam sastra dengan hal-hal lain yang terdapat pada karya sastra lain yang memiliki hubungan. Sastra bandingan bertujuan untuk 1) mencari pengaruh karya sastra satu dengan yang lain dan atau pengaruh bidang lain, serta sebaliknya; 2) menentukan mana karya sastra yang benar-benar orisinal; 3) menghilangkankesan bahwa
5
kaarya sastra nasional tertentu lebih hebat jika dibandingkan dengan karya sastra nasional lain; 4) mencari keragaman budaya yang terpantul dalam karay satu dengan yang lain; 5) memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal sastra; 6) menilai mutu karya-karya dari negara-negara dan keindahan karya (Endraswara, 2003: 129). Menurut Clements (dlm Damono, 2009: 7), dalam sastra bandingan terdapat lima pendekatan yang dapat dipergunakan, yakni: 1) tema/mitos; 2) genre/bentuk, 3) gerakan/ zaman; 4) hubungan-hubungan antara seni dan disiplin ilmu lain; dan 5) pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus menerus bergulir. Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan yang pertama, yakni pendekatan tematik. Hal ini dikarenakan objek yang akan dibandingkan adalah kesamaan tema yang terdapat pada teks
Serat Sastra
Gendhing dengan teks Lokajaya, yakni perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tema merupakan pernyataan generalisasi dari aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia. Dalam perkembangannya, tema dapat dimaknai dengan gagasan utama atau gagasan pokok (Hartoko, 1998:67). Tema adalh faktor utama yang membuat suatu cerita menjadi terfokus. Tema membuat cerita memiliki konsep, sehingga mengerucut dan dari awal sampai akhir muncul kesesuaian. Tema yang terdapat dalam dua teks ini adalah hubungan antara Tuhan dengan manusia. Tema tersebut dituangkan dalam perumpamaan-perumpamaan hubungan
antara
Tuhan
dan
Manusia.
Kesamaan
tema
inilah
yang
6
melatarbelakangi perbandingan teks Serat Sastra Gendhing dengan teks Lokajaya, dengan pendekatan tematik.
III. Hasil dan Pembahasan A. Perumpamaan Hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam teks Serat Sastra Gendhing Pada dasarnya perumpamaan hubungan manusia dan Tuhan dalam Serat Sastra Gendhing, diibaratkan dengan hubungan antara gendhing dengan sastra. Dalam teks Serat Sastra Gendhing manusia diibaratkan dengan gendhing sedangkan Tuhan diibaratkan dengan sastra. Namun, secara khusus perumpamaan tersebut dijelaskan dengan sembilan hal, sehingga disebut nawa sanga. Adapun perumpamaan-perumpamaan tersebut adalah sebagai berikut; a. Sastra Bagaikan Cipta dan Gendhing Bagaikan Ripta Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan dengan hubungan antara ripta dengan cipta dalam teks Serat Sastra Gendhing terdapat pada bait 9 pupuh I metrum Sinom berikut ini. Bait 9: Tan pae rarasing Jawa / renggan wiramaning gendhing / kinarya ngimpuni basa / mamanise den reksaning / lamun bubrah kang gendhing / sastra ngalih raosipun / kang tumprap ing pradangga / swara nrus pinresing esthi / manrus kongas ruming langen keleng-lengan // (Werdiningsih, 2006: 48) Terjemahan : Tidak berbeda suara gamelan Jawa, dihiasi dengan irama gendhing yang dibuat dengan menghimpun kata, kata-kata yang manis dijaganya, jika rusak gendhing itu, sastrapun akan beralih rasa dari yang dimaksud oleh gamelan. Suara gamelan membangkitkan rasa kagum sehingga maksudnya
7
akan sampai dan menjadi sangat terkenal karena suaranya pelan dan manis membuat senang seperti orang yang gila asmara. (Werdiningsih, 2006:72)
b. Sastra dan Gendhing Bagaikan yang Disembah dan yang Menyembah Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan bagaikan yang menyembah dan yang disembah dalam teks Serat Sastra Gendhing tertuang pada bait 10 sampai 11 pupuh II dengan metrum tembang Asmaradhana berikut ini. Bait 10 : Rasa pangrasa upami / yekti dhingin rasa nira / pangrasaku kahanane / kang cipta kalawan ripta / sayekti dhingin cipta / kang rinipta gendhingipun / kang nembah lan kang sinembah // Bait 11: Yekti dhingin kang pinuji / kahanane kang anembah / saking kudrating Hyang Monon / mapan kinarya lantaran / sajatining panembah / wisesaning Dat mrih ayu / amuji ing dhewekIra // (Werdiningsih, 2006:51) Terjemahan : Bait 10 : Ibarat rasa dan pangrasa sesungguhnya dahulu rasanya, pangrasa itu adalah wujudnya. Yang cipta dengan ripta (fikiran), sebenarnya dahulu cipta, yang difikir (rinipta) adalah gendhingnya. Seperti yang menyembah dan Yang Disembah. Bait 11 : Jelas dahulu yang disembah, keadaannya yang menyembah. Dari kodratnya, Hyang Manon (Tuhan) merupakan tempat yang dijadikan sebagai perantara. Hakikat penyembahan adalah Dzat Yang Kuasa supaya selamat memujilah kepada-Nya. (Werdiningsih, 2006:76) c. Sastra dan Gendhing Bagaikan Cermin dan Bayangannya
8
Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan dengan hubungan antara bayangan dan cermin. Hal tersebut ditemukan pada bait ke-9 pupuh III dengan metrum tembang Dhandhanggula. Bait 9 : Mula jamah loroning atunggil / tunggal rasa raseng kawisesan / ing lamun dadi tuwuhe / pan wajib priyanipun / dadya ngakal kapurbeng alip / lir warna jro paesan / iku paminipun / kang ngilo jatining sastra / kang wayangan gendhing sirnanireng cremin / manjing jatining sastra // (Werdiningsih, 2006: 54) Terjemahan : Maka ketika sedang bercinta keduanya itu akan menjadi satu (menyatu), satu rasa dalam kebenaran. Tetapi jika jadi sesungguhnya menumbuhkan kewajiban pada lakilakinya, akal yang menjadi awal dari alip. Seperti gambar dalam kaca paesan itu umpamanya, yang bercermin itu sejatinya adalah sastra dan bayangannya adalah gendhing yang hilangnya dalam cermin lalu masuk kedalam kesejatian sastra (Werdiningsih, 2006:79). d. Gendhing dan Sastra diibaratkan dengan Ikan dalam Samudra Hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan dengan ikan dan samudra dalam teks Serat Sastra Gendhing terdapat pada bait 10 sampai 11 pupuh III dengan metrum tembang Dhandhanggula. Bait 10 : Lir kumandhang lan swara upami / kumandhang ibarat gendhing akal / sastra upama swarane / genging kumandhang barung / wangsul marang swara umanjing / lir mina jron samudra / mina gendhingipun / sastra upama mandaya / mina yakti ananya saking jaladri / myang kauripanira // Bait 11 : Pejahing mina awor jaladri / jron sagara pasthi isi mina / tan kena pisah karone / ....(Werdiningsih, 2006:54) Terjemahan : Bait 10 :
9
Bagaikan kumandang dan suara perumpamaanny. Kumandang ibarat gendhing akal, sastra ibarat suaranya. Besarnya kumandang bersama-sama, masuk kembali kesuara. Bagaikan ikan dalam samudra, ikan adalah gendhingnya, sastra diibaratkan samudra. Ikan sesungguhnya keberadaannya disamudra karena disanalah kehidupannya. Bait 11 : Kematian ikan bercampur dalam samudra. Di dalam samudra pasti berisi ikan, tidak boleh pisah keduanya . . . (Werdiningsih, 2006:79) e. Niyaga dan Gamelan bagaikan Sastra dan Gendhing Perumpamaan hubungan manusia dengan Tuhan bagaikan hubungan antara gamelan dan niyaga terdapat pada bait ke-11 pupuh III dengan metrum tembang Dhandhanggula berikut ini : Bait 11 : .... malih ngibaratipun / lir niyaga nabuh anggendhing / niyaga sastranira / gendhing-gendhingipun / barang reh purbeng niyaga / kasebuting niyaga dene kang nggendhing / panjang yen cinarita // (Werdiningsih, 2006:54) Terjemahan : Dan lagi ibaratnya seperti niyaga menabuh gendhing (gamelan). Niyaga adalah sastranya sedangkan gendhinggendhingnya adalah gendhingnya. Barang aturan yang mengawali niyaga. Disebut segai niyaga karena dia yang menggendhing, panjang jika diceritakan (Werdiningsih, 2006:79).
f. Sastra dan Gendhing diibaratkan dengan Papan dan Tinta Hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan tinta dengan papan termuat dalam bait 9 sampai 11 pupuh IV dengan metrum tembang Pangkur berikut ini. Bait 9 :
10
Dewa watak nawa sanga / wus kanyatan gumlar ing bumi langit / iku kawruhana sagung / endi luhur andhap / upamane papan lawan tulisipun / kanyatan ingkang anembah / kalawan ingkang pinuji // Bait 10 : Papan moting kawisesan / Manikmaya purbaning papan wening / tulise mangsi Hyang Guru / sastra upama papan / gendhing akal upama mangsi wus dhawuh / yen dhihina mangsinira / ngendi nggon tumibeng tulis // Bait 11 : Sayekti dhihin kang papan / kasebuting papan saka tinulis /... (Werdiningsih, 2006: 56-57) Terjemahan : Bait 9 : Dewa yang berwatak nawa sanga (berwatak sembilan), sudah menjadi kenyataan di seluruh permukaan bumi dan langit. Itulah hendaknya diketahui semua, mana yang luhur dan yang rendah. Perumpamaannya adalah yang menyembah dan Yang disembah. Bait 10 : Papan memuat keluhuran, Manikmaya awalnya dari tempat yang hening. Alat tulisnya atau tintanya adalah Hyang Guru. Sastra diumpamakan paapn sedangkan gendhing akal diumpamakan tinta. Sudah diperintah jika dahulu tintanya, dimana tempat jatuhnya alat tulis. Bait 11: Sebenarnya lebih dulu papannya, disebut papan karena ditulisi...(Werdiningsih, 2006:81-82) g. Sastra dan Gendhing bagaikan Dalang dengan Wayang Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan dengan hubungan antara wayang dengan dalang. Perumpamaan tersebut terdapat pada bait 11 pupuh IV metrum tembang Pangkur, berikut. Bait 11 : ... lan malih upamanipun / dhalang kalawan wayang / dhalang sastra wayang akal jatinipun / yekti dhihin dhalangira / amurba solahing ringgit // (Werdiningsih, 2006: 57) Terjemahan : ...Dan lagi umpamanya dalang dengan wayang. Dalang adalah sastranya, wayang adalah hakikat akal.
11
Sesungguhnya lebih dahulu dalang karena merupakan awal bergeraknya wayang (Werdiningsih, 2006:82)
h. Busur sang Arjuna bagaikan Sastra dan Srikandhi bagaikan Gendhing Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan dengan hubungan antara Srikandhi dengan busur sang Arjuna. Hal ini terdapat pada bait ke-12 pupuh IV dengan metrum tembang Pangkur berikut ini. Bait 12 : Lir nguni Sang resi Bisma / duk pinanah ing mring Sri Wara Srikandhi / watgatanira tinundhung / ing panah Sang Arjuna / gendhing akal ngibarat Srikandhi kang hru / sastra upama kang capa / Sang Parta titising lungit // (Werdiningsih, 2006: 57) Terjemahan : Bagaikan dahulu ketika Sang resi Bhisma yang dipanah oleh Sri Wara Srikandhi. Lukanya bagaikan diusir oleh panah Sang Arjuna. Gendhing akal ibarat panah Srikandhi, sastra ibarat busur Sang Parta (Arjuna) yang tepat pada sasaran dan tajam (Werdiningsih, 2006:82)
i. Wisnu dengan Kresna bagaikan Sastra dengan Gendhing Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan Kresna dengan Wisnu. Perumpamaan tersebut terdapat pada bait ke-13 pupuh IV dengan metrum tembang Pangkur berikut.
Bait 13 : Kayata narendra Kresna / lawan ri Sang Bathara Wisnumurti / iku ngibarat satuhu / karo-karoning tunggal / tunggil cipta sarasa sauripipun / Hyang Wisnu upama sastra / Sri Kresna upama gendhing // (Werdiningsih , 2006 : 57)
12
Terjemahan : Seperti halnya Narendra Kresna dengan sang Bathara Wisnumurti, itu ibarat bahwa sungguh-sungguh duaduanya adalah satu (dwi tunggal). Satu cipta satu rasa satu kehidupan. Hyang Wisnu bagaikan sastra dan Sri Kresna bagaikan gendhing (Werdiningsih, 2006:82).
B. Perumpamaan Hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam teks Lokajaya Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam teks Lokajaya dikemukakan pada bait 4 sampai 6, 8, dan bait 34 sampai 37 pupuh IX dengan metrum tembang Dhandhanggula. Pada bait 4 sampai 6, hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan dengan hubungan antara air dengan ombak. Pada bait enam, perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan asap dengan api dan minyak dengan air susu. Pada bait 8 pupuh IX, hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan dengan bayangan dan cermin. Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan wayang dengan dalang terdapat dalam bait 34 sampai 37. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini masing-masing perumpamaan tersebut dijabarkan dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. a. Perumpamaan hubungan antara bagaikan air dengan ombak
manusia
dengan
Tuhan,
Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan, bagaikan air dengan ombak dalam teks Lokajaya terdapat pada pupuh IX Dhandhanggula, bait ke-4 sampai bait ke-6. Bait 4 : ... Rupa ingkang sakbenere
13
Sinengker buwaneku Urip nora nana nguripi Datan antara mangsa Iya ananipun, Pan wus ana ing sarira Tuhu tunggal seksana lawan sireki Tan kena pinisahna Bait 5 : Datan waneh sangkanireng nguni Tunggal sapakartining buwana Pandulu pamiyarsane Wus ana ing sireku Pangrungune Suksma Sejati Nora anganggo netra Ing pandulunipun Iya datan mawi karna, Netranira karnanira kang kinardi Anane ana sira Bait 6: Laire Suksma ana sireku Batine Sukma ana ing sira Wus mengkono penggawene Kadi wreksa tinutu Ananging kukus teka geni Sorote kala wreksa Lir toya lan alun ... Terjemahan : Bait 4 : ... Rupa yang sesungguhnya meliputi pada segala yang ada di dunia hidup tidak ada yang menghidupkan tidak terikat oleh waktu Itulah adaNya sudah ada padamu sungguh manunggal tempat dengan engkau tidak dapat dipisahkan Bait 5 : Asal-usulmu dahulu tidak lain Satu dengan yang membuat dunia Penglihatan dan pendengarannya sudah ada pada engkau Pendengarannya Suksma Sejati Dalam melihat tidak memakai mata kepala tidak dengan telinga
14
mata dan telinga yang dipakaiNya Yang ada pada engkau Bait 6: Badan lahir Suksma ada pada engkau Batin suksma juga ada pada engkau Demikianlah adanya Bagaikan kayu yang dibakar Adanya asap dari cahaya api Ketika kayu dibakar Bagaikan air dengan ombak .... (Marsono, 1996: 210-212)
b. Perumpamaan Hubungan antara manusia dengan Tuhan antara manusia dengan Tuhan bagaikan asap dengan api Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan asap dengan api, pada teks Lokajaya dapat dilihat pada bait ke-6 Pupuh IX Dhandhanggula dibawah ini. Bait 6: Laire Suksma ana sireku Batine Sukma ana ing sira Wus mengkono penggawene Kadi wreksa tinutu Ananging kukus teka geni Sorote kala wreksa ... Terjemahan : Badan lahir Suksma ada pada Engkau Batin Suksma juga ada pada engkau Demikianlah adanya Bagaikan kayu yang dibakar Adanya asap dari cahaya api ketika kayu dibakar ... (Marsono, 1996: 212)
15
c. Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan minyak dengan air susu Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan minyak dengan susu terdapat pada bait 6, pupuh IX teks Lokajaya. Bait 6: ... Kadya lenga aneng puwan Raganira ing reh obah lawan osik Lawan kanugerahan Terjemahan : ... seperti minyak dengan dalam air susu Segala gerakan dan kehendak dirimu, karena anugerahNya (Marsono, 1996: 212)
d. Perumpamaan hubungan antara bagaikan bayangan dalam cermin
manusia
dengan
Tuhan
Perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan bayangan dalam cermin. Perumpamaan tersebut dalam teks Lokajaya tersurat dalam pupuh IX Dhandhanggula bait 8 berikut. .... Ingkang ngilo Yang Suksma, Wayangan puniku, Kang ana sakjroning kaca, Iya sira jenenge kawula Gusti Rupa sakjroning kaca Terjemahan : .... Yang berkaca adalah Yang Suksma. Bayangan itu yang berada di dalam cermin, ya engkaulah yang disebut hamba Tuhan, rupa di dalam cermin ( Marsono, 1996:212-214).
16
e. Manusia dan Tuhan bagaikan Wayang dan Dalang Perumpamaan hubungan manusia dengan Tuhan bagaikan wayang dengan dalang, terdapat pada pupuh IX Dhandhanggula bait ke-34 sampai bait ke-37. Bait 34 : aja kaya mangkono wong urip, badanira dipunkadi wayang, kinudang neng penggung nggone, arja tetali bayu, padhang aneng penggungereki, damare dadi wulan, kelir badanipun, kang nonton gedhong kalpika, debog bumi teteping adeging ringgit, sinangga ingkang nanggap. Bait 35 : Ingkang nanggap aneng dalem puri, datan osik pamolah sakarsa, Yang Permana dhedhalange wayang pangadegipun ana ngidul mengalor tuwin, mengkono kang sarira, ing sasolahipun, pinolahken ing ki dhalang, yen lumampah ing wau lambehaneki linembehken ki dhalang Bait 36: Pangucapae ingucapaken nenggih yen kumilat kinilatken dhalang tinutur anuturake sakarsa-karsanipun kang anonton pinolah asami rupane kang ananggap neng jero puri iku tanpa warna ing Yang Suksma warnanira warnane ingkang sejati yaiku kawruhana Bait 37 : Yang Permana denira ngaringgit ngucapaken ing sariranira tanpa eling wekasane, imbuh pan nora tumut, ing sarira... Terjemahan :
17
Bait 34 : Jangan demikianlah orang hidup Badanmu bagaikan wayang yang dipantaskan diatas panggung Keindahan tali pengikat kelir melambangkan angin Lampu yang menerangi panggung bentangan kelir melambangkan bulan. Yang menonton melingkari gedung Batang pisang sebagai bumi tempat tegaknya wayang disangga oleh yang menanggap Bait 35 : Yang menanggap ada di dalam rumah tidak menggerakkan wayang tapi permainan wayang Dalang lambangkan Yang Permana Wayang digerakkan dipentaskan ada yang ke utara dan ke selatan Demikianlah badanmu dalam segala tindakan tingkah lakunya digerakkan oleh dalang Jika engkau berjalan lenggangmu itu dilenggangkan oleh ki dalang Bait 36: Sungguh engkau berucap dan jika engkau bergerak bagai kilat adalah diucapkan dan digerakkan oleh dalang. Engkau berkata menurut kehendaknya. Semua tanggapan penonton juga ditentukan oleh dalang Rupanya yang nanggap ada di dalam rumah yang tidak kelihatan Tiada berwarna Yang Suksma Warnamu juga warna Yang Sejati Ketahuilah itu Bait 37 : Yang Permana yang mainkan wayang memperkatakan badanmu Akhirnya hal itu tiada terpikirkan Ia menyertai tapi tiada mengikuti pada badanmu . . . . (Marsono, 1996:232-234)
18
C. Perbandingan Perumpamaan Hubungan antara Manusia dengan Tuhan dalam teks Serat Sastra Gendhing dan teks Lokajaya Berdasarkan penjabaran mengenai perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam teks Serat Sastra Gendhing dan Lokajaya tersebut dapat diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaan yang
dijumpai adalah persamaan cara (teknik) pengungkapan hubungan manusia dengan Tuhan, yakni dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Perumpamaan-perumpamaan
digunakan
untuk
mempermudah
pembaca
memahami penggambaran hubungan antara manusia dangan Tuhan. Meskipun cara pengungkapan pada kedua teks sama, tetapi perumpamaan yang digunakan tidak sumuanya sama. Pada teks Serat Sastra Gendhing, hubungan antara manusia dengan Tuhan dibalik menjadi perumpamaan hubungan antara Tuhan dan manusia. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa kesemuanya (manusia) berasal dari Tuhan. Hubungan antara Tuhan dan manusia dalam teks Serat Sastra Gendhing diumpamakan dengan sembilan hal, yakni ; 1) bagaikan sastra dan gendhing; 2) bagaikan ripta dengan cipta; 3) bagaikan cermin dengan bayangan; 4) bagaikan samudra dengan ikan; 5) bagaikan niyaga dengan gamelan; 6) bagaikan papan dengan tinta; 7) bagaikan dalang dengan wayang; 8) bagaikan busur Arjuna dengan Srikandhi; 9) bagaikan Wisnu dengan Kresna. Kesembilan perumpamaan tersebut disebut nawa sanga. Dalam teks Lokajaya perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan tidak sebanyak yang tedapat dalam teks Serat Sastra Gendhing. Dalam teks Lokajaya hanya terdapat lima perumpamaan, yakni ; 1) bagaikan air dengan
19
ombak; 2) bagaikan asap dengan api; 3) bagaikan minyak dengan air susu; 4) bagaikan bayangan dengan cermin; 5) bagaikan wayang dengan dalang. Kelima perumpamaan tersebut terdapat dalam satu pupuh, yakni pupuh dengan metrum tembang Dhandhanggula. Lain halnya dengan kesembilan perumpamaan yang terdapat dalam teks Serat Sastra Gendhing termuat dalam empat pupuh, yakni pupuh pertama sampai keempat dengan metrum tembang yang berbeda-beda. Pupuh pertama bermetrum Sinom, kedua bermetrum Asmaradhana, ketiga metrum Dhandhanggula dan yang keempat adalah metrum Pangkur. Dari perumpamaan-perumpamaan tersebut dapat dijumpai beberapa perumpamaan yang sama, yakni bagaikan bayangan dengan cermin dan bagaikan wayang dengan dalang. Perumpamaan-perumpamaan
dalam
kedua
teks
tersebut
hampir
kesemuanya memiliki pola yang sama yakni semua yang dijadikan perumpaaan merupakan hal-hal yang memiliki hubungan secara mutlak. Contohnya, antara bayangan dengan cermin. Bayangan memiliki hubungan yang mutlak dengan cermin, setiap cermin memiliki bayangan, dan setiap bayangan selalu muncul di cermin. Demikian pula antara wayang dengan dalang, wayang akan selalu berhubungan dengan dalang. Dalang akan disebut dalang jika memainkan wayang, wayang akan disebut wayang jika dimainkan oleh dalang. Antara asap dengan api yang juga memiliki hubungan mutlak. Asap selalu muncul setelah ada api, asap berasal dari api, api menghasilkan asap. Perumpamaan yang terdapat dalam teks Serat Sastra Gendhing jauh lebih kompleks dibandingkan dengan perumpamaan yang terdapat dalam teks Lokajaya.
20
Berdasarkan analisis perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam kedua teks tersebut dan perbandingannya, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antar teks. Serat Sastra Gendhing dengan teks Lokajaya Hubungan tersebut dapat dijumpai dalam beberapa hal berikut : a. Hubungan antara manusia dengan Tuhan, bagaikan bayangan dengan cermin. Dalam kedua teks tersebut, terdapat perumpamaan yang sama yakni manusia dengan Tuhan digambarkan bagaikan bayangan dan cermin. Dalam teks Serat Sastra Gending perumpamaan tersebut dituangkan pada bait 9 pupuh III. Perumpamaan tersebut juga terdapat dalam teks Lokajaya, tepatnya pada bait ke-8 pupuh IX. b. Hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan wayang dengan dalang Hubungan antara manusia dengan Tuhan yang diibaratkan bagaikan wayang dengan dalang terdapat dalam dua teks tersubut. Dalam teks Serat Sastra Gendhing, perumpamaan hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan wayang dan dalang diungkapkan dalam bait 11 pupuh IV. Dalam teks Lokajaya perumpamaan tersebut terdapat pada bait ke-34 sampai 37. Perumpamaan ini dijelaskan paling luas dalam teks Lokajaya. c. Hubungan antara manusia dengan Tuhan bagaikan ikan dengan samudra dan bagaikan air dengan ombak. Dalam teks Serat Sastra Gendhing hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan bagaikan ikan dengan samudra, sedangkan dalam teks Lokajaya diibaratkan dengan air dan ombak. Meskipun tidak sama persis, tetapi jika dikaji maka kedua perumpamaan tersebut memiliki hubungan. Unsur yang
21
digunakan sama-sama unsur yang terkait dengan air, serta samudra. Jelas bahwa ikan hanya ada di samudra, demikian pula dengan ombak. Ombak didalamnya juga termuat unsur air, samudra juga mengandung unsur air. d. Cara pengungkapan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Cara pengungkapan hubungan antara manusia dan Tuhan dalam kedua teks tersebut sama. Baik dalam teks Serat Sastra Gendhing maupun dalam teks Lokajaya hubungan antara manusia dengan Tuhan dikemukakan dengan perumpamaan-perumpamaan. Meskipun jumlah perumpamaan dalam kedua teks tersebut tidak sama, tetapi pada dasarnya pengungkapan dilakukan dengan cara atau teknik yang sama. Perumpamaan digunakan untuk mempermudah para pembaca dalam memahami hubungan antara manusia dengan Tuhan. Persamaan cara pengungkapan ini menunjukkan adanya hubungan antara teks Serat Sastra Gendhing dengan teks Lokajaya.
IV. SIMPULAN Serat Sastra Gendhing dan Lokajaya merupakan salah satu karya sastra Jawa yang berbentuk suluk. Dalam teks Serat Sastra Gendhing dan Lokajaya terdapat ajaran Islam mengenai kesempurnaan hidup atau manunggaling kawula Gusti. Ajaran manunggaling kawula Gusti tersebut diungkapkan dalam perumpamaan-perumpamaan
hubungan
antara
manusia
dengan
Tuhan.
Keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan akan menciptakan kesempurnaan hidup.
22
Terdapat hubungan antara teks Serat Sastra Gendhing dengan teks Lokajaya.
Hubungan intertekstual tersebut dapat dilihat dari kesamaan cara
pengungkapan hubungan antara manusia dengan Tuhan, yakni dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Dalam teks Serat Sastra Gendhing terdapat sembilan perumpamaan yang kemudian disebut nawa sanga, sendangkan dalam teks Lokajaya hanya terdapat lima perumpamaan. Meskipun jumlah perumpamaan tidak sama, tetapi kedua teks menunjukkan hubungan erat. Hal ini dapat diketahui dari kesamaan unsur-unsur yang digunakan sebagai perumpamaan. Hampir semua unsur yang dijadikan sebagai perumpamaan memiliki hubungan yang mutlak. Demikian pula hubungan antara manusia dengan Tuhan yang sangat mutlak. Manusia ada karena Tuhan, Tuhanlah yang menciptakan manusia. Dalam kehidupan manusia, Tuhan tidak terlihat tetapi Tuhan yang mengatur segala yang terjadi pada manusia.
Daftar Pustaka Abrams. 1981. A Glossary of Literary Terms. Holt, Rinehart and Winston : New York. Bassnett, Susan. 1999. Pengenalan Kritis Kesusasteraan Bandingan.Terjemahan Shamsuddin Jaafar. Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka. Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sanabudaya. Jakarta : Djambatan bersama Ford Foundation. Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan Pengantar Ringkas. Jakarta : Editum. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Med Press. Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1998. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta : Kanisius.
23
Marsono, 1996. Lokajaya: Suntingan Teks, Terjemahan, Struktur Teks, Analisis Intertekstual dan Semiotik. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Pigeaud. 1967. Literature of Java vol. 1. The Hague : Martinus Nijhoff. Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Gramedia. Werdiningsih, Yuli Kurniati. 2006. Serat Sastra Gendhing, Suntingan Teks dan Terjemahan. Skripsi. Universitas Gadjah Mada.
24