1
Perbandingan Pesan Moral Teks Serat Sri Rama Candra Gubahan Wirya Saputra dengan Teks Ramayana Gubahan Sunardi D.M.
Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti Prapto Yuwono Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424 Email:
[email protected] Abstrak
Artikel ini membahas perbandingan pesan moral yang terdapat dalam Teks Serat Sri Rama Candra gubahan Wirya Saputra dengan Teks Ramayana gubahan Sunardi D.M. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Intertekstual. Penelitian ini dilakukan dengan prosedur kualitatif dan analisis deskriptif. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perbandingan pesan moral Teks Serat Sri Rama Candra gubahan Wirya Saputra dengan Teks Ramayana gubahan Sunardi D.M. Dari perbandingan analisis tersebut dilihat terdapat perbedaan pesan moral dalam kedua teks tersebut. Perbedaan tersebut didukung oleh latar belakang waktu penulisan kedua teks tersebut.
The Comparative of moral message contained in Serat Sri Rama Candra by Wirya Saputra and Ramayana by Sunardi D.M.
Abstract This article discusses the comparative of moral message contained in Serat Sri Rama Candra by Wirya Saputra and Ramayana by Sunardi D.M. The theory used in this article is the theory of intertextuality. This research was conducted with qualitative and descriptive analysis procedures. The purpose of this research is to analyze the moral comparison between Serat Sri Rama Chandra by Wirya Saputra and Ramayana by Sunardi D.M. Comparative analysis of the moral differences seen in the two texts. The differences are supported by the background of the time of writing the text.
1. Pendahuluan Pesan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti perintah, nasihat, amanat yang disampaikan lewat orang lain. Moral menurut KBBI berarti baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Pesan moral merupakan amanat atau hikmah yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karakter para tokoh yang digambarkan dalam cerita. Terdapat tiga cara pengarang dalam memberikan pesan moral dalam
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
2
cerita; 1. Dalam penggambaran tokoh dan penokohan, 2. Dalam dialog antar tokoh, 3. Dalam plot cerita. Ramayana merupakan epik yang sangat dikenal dan diingat tidak hanya oleh masyarakat Jawa saja, namun juga seperti Laos, Kamboja, Thailand, Burma, Filipina, China. Epik Ramayana ini berasal dari India. Menurut C. Rajagopalachari, berdasarkan pandangan ortodoks tradisional, kisah Ramayana diciptakan oleh Walmiki pada masa Ramachandra. Akan tetapi apabila ditelaah berdasarkan sudut pandang kesejarahan, dapat dikatakan bahwa kisah Rama ini telah ada jauh sebelum Walmiki menuliskan epik ini, meskipun kisah tersebut tidak dalam bentuk tertulis. Walmiki tampaknya hanya mewadahi sebuah kisah yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.1 Perkembangan kisah Ramayana diperkirakan telah ada sejak periode tua (600 SM 200 SM).2 Kisah Ramayana dijadikan sebagai kitab suci terapan umat Hindu, karena dianggap dapat merepresentasikan kehidupan kemanusiaan. Selain itu terkandung banyak nilai moral yang dapat diambil sebagai pedoman hidup. Di dalam kitab itihasa (epik) kitab-kitab kuno dan legenda-legenda, manusia dikisahkan begitu bagus, dan sangat mendalam, sehingga itihasa ini merupakan Veda (kitab suci umat Hindu) bagi kaum awam, yang boleh disebut ‘veda terapan’.3 Dalam Serat Sri Rama Candra, naskah yang dijadikan objek penelitian ini, kisah yang diceritakan sebagian besar sama dengan cerita Ramayana pada umumnya, tetapi terdapat beberapa episode dalam Serat Sri Rama Candra yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah bagian yang penting dalam kisah Ramayana. Kisah Ramayana yang dianggap sebagai veda terapan dengan mengisahkan kehidupan manusia yang begitu bagus ditampilkan berbeda. Penggambaran setiap tokoh dan peristiwa digambarkan lebih nyata. Seperti dalam bagian penutup cerita, sudah seharusnya Sita dan Rama akan kembali hidup bahagia bersama, tetapi dalam Serat Sri Rama Candra dikisahkan Rama memilih untuk berpisah dengan Sita agar menjaga nama baik di antara keduanya. Melihat perbedaan ini, perubahan yang dibuat oleh 1
C. Rajagopalachari, Kitab Epos Ramayana (Yogyakarta, IRCiSoD, 2012), hlm. 21.
2
I Ketut Nyadeva Natih, Agama Hindu: Sejarah, Sumber, Ruang Lingkup dan Mitologi Agastya (Jakarta, Universitas Indonesia, 2004), hlm. 12 3
Ibid, hlm. 12-13.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
3
pengarang Serat Sri Rama Candra menjadi hal yang kontroversial. Sudah seharusnya Rama pada akhirnya kembali hidup bersama dengan Sita. Kebersamaan mereka bagaikan keseimbangan alam, apabila mereka berpisah maka akan terjadi kerusakan alam. Akan tetapi gejala seperti ini tidak hanya terjadi pada kisah Ramayana saja, tetapi juga pada tradisi perkembangan jenis karya sastra lainnya. Gejala seperti ini disebabkan oleh kebiasaan para pujangga untuk mengambil bahan tekstual lama sebagai acuan dari ciptaan baru. Sebagian besar karya sastra Jawa juga berkembang atas dasar interaksi yang terus menerus antara kreasi dan resepsi yang pada gilirannya menjelma kembali dalam bentuk kreasi baru, yang kemudian ditanggapi lagi dan seterusnya (Teeuw, 1984: 214). Terbukti bahwa tiada suatu teks yang lahir mandiri. Dalam proses penciptaan suatu teks dilakukan dengan teks lain yang dijadikan sebagai acuan, contoh teladan atau kerangka. Dalam menelaah dan memahami teks sastra seutuhnya, tentu harus mengerti latar belakang waktu, keadaan sosio-budaya masyarakatnya, serta tahap bahasa yang digunakan. Serat Sri Rama Candra selesai ditulis pada tahun 19234, maka dapat diperkirakan latar belakang waktu yang digunakan dalam penulisan ini pada awal abad ke-20. Menurut G. Moedjanto dalam buku Indonesia abad ke-20, Pada awal abad ke-20, setelah sifat perlawanan di Indonesia berubah, dianggap bahwa perlawanan yang positif dengan senjata dan taktik yang modern berupa diplomasi atau silat lidah bukan lagi bergantung kepada kekuatan pemimpin atau yang disebut sebagai perlawanan irasionil. Hal demikian terjadi akibat dari penderitaan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia membuat bangsa Indonesia bangkit dan tumbuhnya pergerakan nasional untuk perlindungan bagi bangsa Indonesia. Pada saat itu rakyat sudah berani untuk mengungkapkan pendapat atau aspirasi mereka. Bahkan perubahan ini tidak hanya dirasakan oleh bangsa atau rakyat Indonesia saja, tetapi juga masyarakat pada belahan dunia lain. Pada abad ke-20 dirasakan banyaknya perubahan yang terjadi di dunia. Perubahan yang dialami tersebut dapat diperkirakan membuat pengarang Serat Sri Rama Candra berani untuk menciptakan bentuk baru dari kisah Ramayana. Banyaknya
4
Terdapat penjelasan oleh pengarang di akhir halaman Serat Sri Rama Candra bahwa Serat ini selesai ditulis pada 20 Desember 1923.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
4
perbedaan-perbedaan di dalam Serat Sri Rama Candra dapat diperkirakan bentuk dari sudut pandang pengarang yang berbeda dalam meresepsi kisah Ramayana. Bahasa yang digunakan dalam penulisan Serat Sri Rama Candra adalah bahasa Jawa Baru. Bahasa yang digunakan dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi perbedaan antara bahasa yang digunakan sehari-hari (natural) dengan bahasa yang digunakan dalam karya sastra adalah bahwa pengarang menggunakan bekal bahasa natural yang disesuaikan dengan sistem sastra. Dalam penyesuaian dengan sistem sastra, pengarang menjadikan bahasa sebagai milik individual yang digali dengan makna yang lebih dalam, menambah makna, atau mengasingkan dari makna yang dipakai oleh masyarakat. Seperti pendapat Waluyo (1990) yang menyatakan bahwa karya sastra adalah ekspresi individual pengarang dengan menggunakan bahasa yang bersifat idionsinkretik.5 Semula orang berpendapat bahwa cerita-cerita Rama atau kisah Ramayana di Indonesia adalah hasil perombakan atau transformasi yang dilakukan oleh pengarang Indonesia. Perkiraan ini muncul atas dasar perbedaan yang terlihat mencolok antara
Ramayana karya Walmiki
sebagai versi asli atau baku dengan Hikayat Sri Rama, Serat Kanda, Rama Keling dan versi cerita Rama lainnya. Bahkan Rassers dengan menggutip pendapat Kern dan Hazeu mengutarakan pendapat bahwa perbedaan-perbedaan itu memang sengaja diadakan untuk menyesuaikan cerita Rama dengan struktur cerita Panji, agar dengan demikian menjadi cocok dengan alam pikiran dan tata nilai bangsa Indonesia (Ikram, 1980:2). Sama halnya dengan segala kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia (khususnya Pulau Jawa) akan diterima apabila ia cukup matang untuk diresapi. Menghadapi karya-karya sastra yang berada dalam situasi kesejarahan yang demikian yang harus disadari adalah penguasaan terhadap segi-segi kontekstual jamannya.6 Segala bentuk dari transformasi atau perombakan, dalam hal ini saduran, adalah representasi dari keadaan lingkungan atau masyarakat pada saat karya sastra itu dibuat. Dalam penyaduran tentu tidak menghilangkan garis besar inti cerita, meskipun terlihat banyak pencocokan dengan 5
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Yogyakarta, Aditya Media Publishing, 2013), hlm. 18.
6
Prapto Yuwono, Penguasaan Teks dan Wawasan Dasar Penelitian Kesusteraan Jawa dalam Kibas Unggas Budaya Jawa, (Depok, Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1999), hlm. 234.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
5
perkembangan sosio-budaya yang lebih luas serta norma-norma baru yang berlaku. Budaya penyaduran ini melekat dengan studi perbandingan teks yang biasa disebut dengan prinsip intertekstualitas. Prinsip intertekstualitas apabila diartikan secara luas adalah jaringan antara satu teks dengan teks lain. Prinsip ini pertama kali diciptakan berdasarkan hasil gagasan pemikiran dari filsuf Rusia Mikhail Bakhtin. Kemudian dikembangkan oleh peneliti Prancis Julia Kristeva. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor dalam Alfian Rokhmansyah, 2007: 4-5). Sedangkan Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponenkomponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, serta jika perlu mungkin ditambah agar menjadi sebuah karya yang utuh. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton dalam Alfian Rokhmansyah, 1990: 1). Dalam prinsip ini dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna antara dua teks. Mengingat bahwa tidak ada satupun teks yang mandiri, studi ini sangat berfungsi untuk menemukan hubungan antar teks yang bersangkutan. Studi ini menjadi sangat menarik untuk diteliti, karena peneliti dapat mengerti penyebab latar belakang terjadinya transformasi dalam suatu karya sastra. Hal ini terbukti karena suatu penulisan karya sastra tidak jarang memiliki kaitan dengan unsur kesejarahan, maka peneliti harus mengerti sejarah karya sastra itu dibentuk dan latar belakang lingkungan saat proses pembuatan teks.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
6
Juynboll pernah mengadakan perbandingan episode antara cerita Rama Jawa Kuna dengan versi dalam bahasa Jawa dan Melayu.7 Dari contoh perbandingan karya sastra ini kita dapat mengemukakan apa saja yang dapat kita teliti dari perbandingan ketiga bentuk teks tersebut; 1. Latar belakang waktu pembuatan yang mempengaruhi isi dari cerita, 2. Sosio-budaya dan norma-norma yang berlaku ketika proses pembuatan teks, 3. Tahap bahasa yang digunakan. Ketiga unsur tersebut tentu saling mendukung dalam melakukan penelitian berbasis studi intertekstual. Akan tetapi ada atau tidak adanya hubungan antar teks yang diteliti tergantung pada niatan dari pengarang dan penafsiran dari pembaca. Hal ini juga bergantung pada pengalaman membaca yang dimiliki, pembaca dapat mengidentifikasi unsur-unsur teks lama yang terkandung dalam teks baru. Mengingat bahwa dalam menelaah suatu teks harus ditelaah dengan latar belakang teksteks lainnya yang memiliki hubungan dengan teks yang ditelaah. Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada Serat Sri Rama Candra juga harus ditelaah dengan latar belakang teks lainnya yang memiliki hubungan dengan Serat Sri Rama Candra. Perbedaan-perbedaan ini yang membuat penulis tertarik untuk memperdalam bagaimana pesan moral Serat Sri Rama Candra dan Ramayana gubahan Sunardi D.M. Perbedaan latar belakang waktu penulisan tentu mempengaruhi suatu bentuk dari karya sastra.
2. Tinjauan Teoritis Penulisan artikel ini berdasar pada prinsip Intertekstualitas menurut Culler dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra yang ditulis oleh A. Teeuw (Culler dalam Teeuw , 2003: 120). Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastera dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lainnya; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaanya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teksteks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan terlebih dahulu; tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada
7
Achadiati Ikram, Hikayat Sri Rama Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur (Jakarta, Universitas Indonesia, 1980), hlm. 2.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
7
memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi. Dan pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya. Jadi yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah perbandingan antara Teks Serat Sri Rama Candra gubahan Wirya Saputra dengan Teks Ramayana gubahan Sunardi D.M. Perbandingan tersebut dilakukan untuk menganalisis pesan moral yang terdapat dalam kedua teks tersebut.
3. Metode Penelitian dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan dengan prosedur kualitatif dan analisis deskriptif. Metode kualitatif deskriptif adalah data yang terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka. Data pada umumnya berupa pencatatan, bukan dalam bentuk angkaangka. Dalam penelitian kualitatif pelaporan dengan bahasa verbal yang cermat sangat dipentingkan karena semua interpretasi dan kesimpulan yang diambil disampaikan secara verbal. Pendekatan kualitatif yang deskriptif ini berpandangan bahwa semua hal yang berupa sistem tanda tidak ada yang patut diremehkan, semuanya mempunyai pengaruh dan kaitan dengan yang lain. Dengan mendeskripsikan segala macam sistem tanda (semiotik) mungkin akan memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif mengenai apa yang sedang dikaji. 8 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Serat Sri Rama Candra yang ditulis oleh Wirya Saputra pada tanggal 20 Desember 1923. Serat Sri Rama Candra merupakan koleksi dari R.M. Sayid ini ditulis di atas kertas bergaris dengan aksara Jawa Serat Sri Rama Candra, sebagai bentuk saduran dari kisah Ramayana, memiliki perbedaan yang cukup mencolok dengan Ramayana gubahan Sunardi D.M. Ramayana gubahan Sunardi D.M. pertama kali diterbitkan pada tahun 1979 di Jakarta oleh PT Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka. Adapun dalam artikel ini, yang merupakan ringkasan dari skripsi dengan judul yang sama, hanya menampilkan perbandingan dari satu bab dalam kedua teks yaitu Bab Saking Wana Lajeng Jumeneng Narendra (Dari Hutan Kemudian Menjadi Raja). 4. Ringkasan Cerita 8
M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra (Bandung, CV Angkasa, 2012), hlm. 30-31.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
8
Pada Bab ini diceritakan bahwa Rama yang pada waktu mudanya sudah mendekati puncak kemuliaan. Rama dianggap sebagai orang yang pemberani yang belajar meluhurkan pelajaran kuna. Rama tidak pernah mengucapkan kata-kata yang kasar serta bertindak jahat. Rama sudah sempurna menguasai kitab Wedha, menunggang serta pandai melatih kuda dan gajah, serta sakti dalam peperangan. Sang Prabu sangat senang hatinya dan ingin meletakkan jabatannya untuk digantikan dengan Rama. Rama ingin dinobatkan sebagai raja Ayodya karena sudah terlihat kesempurnaan dan keutamaannya. Penobatan Rama sebagai raja diharapkan dapat menjaga keselamatan negara. Kabar mengenai penobatan tersebut didengar oleh semua orang di seluruh negeri. Matara, dayang-dayang Dewi Kekayi juga mengetahui kabar tersebut. Setelah mengetahui kabar tersebut Matara bergegas menghadap Dewi Kekayi dan memberitahukan mengenai kabar tersebut. Dewi Kekayi senang hatinya mendengar kabar tersebut, karena penobatan Rama sebagai raja dianggapnya sebagai anugerah yang besar. Rasa sayang Dewi Kekayi kepada Rama tidak berbeda dengan rasa sayang Dewi Kekayi kepada Barata. Matara kecewa dengan tanggapan Dewi Kekayi mengenai penobatan Rama. Matara menjelaskan lagi kepada Dewi Kekayi bahwa penobatan Rama akan membawa kesengsaraan Barata dan Kekayi hanya akan menjadi pembantu dari Dewi Kusalya saja. Matara membujuk-bujuk Dewi Kekayi hingga lama-kelamaan timbul angkara murka Dewi Kekayi yang hendak menggagalkan penobatan Rama agar Barata yang dinobatkan. Dia langsung bergegas menemui Dasarata dan membujuk Dasarata agar Barata yang berhak menggantikan posisi ayahandanya sekarang. Kekayi mengingatkan Dasarata akan janjinya dahulu kepada Kekayi bahwa apabila Kekayi akan menikahi dirinya, maka nantinya anak dari Kekayi akan dinobatkan sebagai raja Ayodya pengganti dirinya. Mengingat hal itu Dasarata menyetujui gagasan istrinya tersebut meskipun dirinya mengalami gejolak batin yang cukup kuat. Kekayi bahkan meminta agar Rama diasingkan dari istana ke hutan selama 14 tahun. Dasarata sedih hatinya, tetapi dirinya tetap harus menjalankan permintaan Dewi Kekayi. Dasarata menjelaskan hal ini kepada Rama. Rama menjalankan perintah tersebut. Rama pergi ke hutan yang diiringi oleh Sita dan Laksmana. Mereka pergi menaiki kereta ke tempat pembuangan. Ketika itu Sang Prabu Dasarata jatuh kemudian diusung ke dalam istana. Sang Prabu meminta supaya dibawa ke tempat tidur Dewi Kusalya karena tempat itu yang dirasakan membawa ketentraman bagi sang Prabu. Sesampainya di tempat tidur Kusalya, sang Prabu sangat terpukul dan Kusalya menangis di dekatnya. 5. Analisis Perbandingan Pesan Moral
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
9
Dalam bagian analisis penelitian ini, akan dibahas tentang perbandingan antara Teks Serat Sri Rama Candra gubahan Wirya Saputra (1923) dan Teks Ramayana gubahan Sunardi D. M (1979). Serat Sri Rama Candra sebagai hasil saduran dari kisah Ramayana akan dibandingkan dengan Ramayana karya Sunardi D.M. sebagai representasi dari Kisah Ramayana baku (karya Walmiki). Ramayana gubahan Sunardi D.M. dijadikan sebagai hipogram dalam penelitian perbandingan sastra ini. Ramayana gubahan Sunardi D.M. memiliki beberapa perbedaan dengan versi bakunya, tetapi perbedaan yang terdapat dalam Ramayana karya Sunardi D.M. tidak terlalu signifikan. Sebagian besar alur ceritanya sama dengan versi bakunya. Oleh karena itu dalam penelitian ini Ramayana karya Sunardi D.M. dijadikan sebagai hipogram yang dianggap sebagai representasi dari versi baku kisah Ramayana. Berbeda halnya dengan Serat Sri Rama Candra yang memiliki perbedaan yang cukup mencolok dari versi baku Ramayana. Meskipun keduanya bersumber dari induk teks yang sama, tetapi terdapat beberapa bagian cerita yang berbeda. Latar belakang waktu pembuatan, keadaan soiso-budaya, dan sudut pandang penulis yang membuat terjadinya perbedaan di antara keduanya. Hal yang menarik perhatian dari hasil saduran menurut para peneliti adalah bahwa pengarang merujuk kepada teks lama dalam suatu bentuk teks yang baru tetapi terdapat penyesuaian terhadap lingkungan sosio-budaya dengan sudut pandang pengarang. Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri (Siswanto, 2013: 137). Harry Shaw (dalam Siswanto, 2013: 138) menyatakan sudut pandang terdiri atas (1) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga. Sudut pandang pribadi dibagi atas (a) pengarang menggunakan sudut pandang tokoh, (b) pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, (c) pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal: ia sama sekali berdiri di luar cerita. Sudut pandang dapat berasal dari berbagai pihak: pencerita yang memberi sudut pandang yang mencakup, atau salah seorang tokoh. Pihak yang kita anggap sebagai sumber ungkapan bahasa yang membangun cerita kita sebut dengan istilah pencerita, demikian pula ada istilah
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
10
teknis untuk sumber sudut pandang. Subjek sudut pandang yaitu orang yang melihat disebut fokalisator (Luxemburg, 1989: 124). Sudut pandang tersebut ada yang berupa bentuk pemberontakan, penyimpangan atau peneladanan kepada teks lama yang sebelumnya. Dalam hal ini difokuskan pada bentuk penyimpangan. Penyimpangan itu sering kali disebut defamiliarisasi atau deotomatisasi, istilah yang pertama-tama dipakai oleh ahli sastra Rusia dari mazhab formalis, bernama Victor Shklovsky (Erlich dalam Teeuw, 1991: 4). Penyimpangan pada karya sastra tersebut akan membuat karya yang biasa, yang normal, yang otomatis dibuang, yang dipakai harus khas, aneh, menyimpang, luar biasa. Seniman sedunia telah menemui dan insaf akan efek baik dari kejutan, si pembaca sastra harus dan ingin dikejutkan. Pada segala sistem sastra dan sistem bahasa tersedia atau disediakan alat untuk menghasilkan efek itu. Dan membaca adalah usaha untuk mengembalikan segala yang menyimpang itu kepada yang jelas, yang terang, yang dapat dipahami (Culler dalam Teeuw, 1991: 4). Dengan analisis perbandingan karya sastra ini diharapkan dapat menemukan pesan moral apakah yang ingin disampaikan pengarang. Perbandingan antara teks Serat Sri Rama Candra dengan Teks Ramayana gubahan Sunardi D.M. terlihat cukup mencolok perbedaannya. Penggambaran tokoh Dewi Kekayi terlihat sangat berbeda. Pada Teks Ramayana gubahan Sunardi D.M., Dewi Kekayi digambarkan muncul angkara murkanya setelah mendengar kabar bahwa Rama yang akan dinobatkan sebagai pengganti raja Ayodya. Hal ini bukan berarti Dewi Kekayi merupakan ibu tiri yang jahat terhadap Rama. Akan tetapi Dewi Kekayi merasa Dasarata berdusta terhadap janji lamanya dahulu ketika Dasarata berhasil disembuhkan oleh Dewi Kekayi dan melamarnya dengan menjanjikan anak dari Dewi Kekayi nanti akan dinobatkan sebagai raja Ayodya selanjutnya. Tidak heran dia berusaha agar penobatan Rama menjadi pengganti raja Ayodya digagalkan. Pada teks Serat Sri Rama Candra, Dewi Kekayi digambarkan senang hatinya ketika mendengar kabar dari Matara bahwa Rama yang akan dinobatkan sebagai pengganti ayahnya menjadi raja Ayodya. Dewi Kekayi tidak membeda-bedakan kasih sayang kepada Barata (anak kandungnya) dan Rama. Rama dianggapnya memiliki budi pekerti yang luhur dan berbakti kepada orang tuanya. Oleh karena itu Dewi Kekayi merasa Rama memang pantas menggantikan posisi ayahnya yang sekarang. Matara sebagai pengasuh Dewi Kekayi dari sejak dia kecil tidak tinggal diam. Menurutnya apabila Rama yang akan menggantikan posisi ayahnya sekarang, maka nantinya Barata akan sengsara dan Dewi Kekayi hanya menjadi pembantu dari Dewi Kusalya.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
11
Matara membujuk Dewi Kekayi agar dia setuju dengan pendapatnya dan agar Barata yang akan dinobatkan sebagai raja. Pada awalnya Dewi Kekayi masih setuju dengan keadaan semula yaitu Rama yang akan dinobatkan sebagai raja. Akan tetapi akibat dari bujukan Matara Dewi Kekayi timbul angkara murkanya dan ingin menggagalkan penobatan Rama sebagai raja, meskipun dia masih belum tahu bagaimana caranya. Matara akhirnya memberi ide bahwa sebaiknya Dewi Kekayi mengingatkan Dasarata kembali terhadap janjinya dahulu kala yang akan mengabulkan dua permohonan apapun dari Dewi Kekayi, karena sudah berhasil menyembuhkan dirinya. Dua permohonan tersebut antara lain; 1. Barata diizinkan untuk menggantikan Dasarata sebagai raja Ayodya, 2. Rama diasingkan ke hutan selama 14 tahun. Permohonan kedua diajukan agar setelah Rama kembali ke kerajaan Ayodya, Barata sudah kuat dalam mengurus pemerintahan. Permohonan tersebut membuat kejolak batin Dasarta yang sangat kuat. Dasarata menyanggupi kedua permintaan tersebut, tetapi di sisi lain dia khawatir dengan keadaan Rama. Hal ini yang membuat Dasarata akhirnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Dalam Serat Sri Rama Candra dijelaskan secara runtut bagaimana cara Dewi Kekayi membujuk Dasarata agar mengabulkan kedua permohonannya. Dasarata juga diceritakan akan menjelaskan tentang penobatkan Rama sebagai raja Ayodya kepada Dewi Kekayi setelah dirinya mengatur perayaan untuk penobatan Rama sebagai raja. Dalam teks Ramayana gubahan Sunardi D.M., Dewi Kekayi langsung bergegas menemui Dasarata dan menagih janji lamanya agar Barata yang dinobatkan sebagai raja. Perbedaan yang terlihat jelas adalah bentuk dari janji lama Dasarata kepada Dewi Kekayi. Dalam Serat Sri Rama Candra, Dasarata berjanji akan mengabulkan dua permohonan Dewi Kekayi. Dalam Ramayana gubahan Sunardi D.M., Dasarata berjanji bahwa nantinya anak dari Dewi Kekayi setelah dewasa akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin kerajaan Ayodya. Pada Ramayana gubahan Sunardi digambarkan fenomena politik kekuasaan di dalamnya. Kekuasaan adalah suatu hal yang patut diperebutkan untuk mendapat posisi teratas. Penguasa dapat melakukan apapun baik itu hal yang baik atau buruk apabila itu sudah menjadi kehendaknya. Dalam Serat Sri Rama Candra juga masih digambarkan fenomena politik kekuasaan di dalamnya, tetapi Dewi Kekayi pada awalnya tidak peduli akan hal tersebut karena Rama dianggap seperti anaknya sendiri. Hasutan dari Marata mengenai politik kekuasaan tersebut yaitu
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
12
bahwa apabila Rama akan menjadi raja Ayodya, Barata akan hidup sengsara dan Dewi Kekayi hanya akan menjadi pembantu dari Dewi Kusalya yang menggambarkan bahwa adanya fenomena politik kekuasaan. Pesan moral yang diberikan pengarang adalah sebuah hasutan yang belum tentu kebenarannya jangan dituruti, karena nantinya hanya akan membawa kesengsaraan bagi dirinya sendiri. Terbukti setelah Rama diasingkan ke hutan, Dasarata jatuh sakit dan meninggal dunia akibat tidak kuat menahan kesedihan. Kemudian Barata juga tidak setuju dengan perlakuan ibunya terhadap Rama. Hal ini yang membuat akhirnya Dewi Kekayi sadar dan menyesal akan perbuatannya sendiri. Sadumugining ngarsanipun Dewi Kekayi, pun pikun wau matur sarwi menggehmenggeh suraos atur uninga manawi Rama badhe ngasta pusaraning kaprabon ingkang wekasanipun badhe adamel sangsaranipun Dewi Kekayi kalayan putranipun ananging Dewi Kekayi kados punapa sukaning panggalihipun nalika mireng pawartos wau, amargi jumenengipun Rama punika kagalih kanugrahan ageng tumrap sariranipun sanadyan aturipun Matara kalayan panjerit pangandikanipun.(Serat Sri Rama Candra: 60-61) Terjemahan bebas: Sesampainya di hadapan Dewi Kekayi, si tua bangka berkata sambil terengahengah yang isinya memberitahukan bahwa Rama akan dinobatkan menjadi raja yang nantinya akan membuat sengsara Dewi Kekayi dan putranya. Akan tetapi Dewi Kekayi hatinya senang mendengar berita tersebut, sebab penobatan Rama itu dirasa sebagai anugerah besar bagi dirinya, walaupun Matara berkata seraya menjerit. Matara kendelanggenipun nangis lajeng matur dhateng Dewi Kekayi kalayan aris sarwi amela, sarta angicuk-icuk, dangu-dangu Kekayi lajeng madeg angkaraning driya, nedya damel piawon dhateng Rama ingkang boten dosa, murih Brata saged jumeneng.(Serat Sri Rama Candra: 61) Terjemahan bebas: Matara berhenti menangis kemudian berkata kepada Dewi Kekayi dengan pelan merayu serta membujuk-bujuk. Lama-kelamaan Kekayi timbul angkara murkanya hendak berbuat kejahatan kepada Rama yang tidak berdosa agar Barata dinobatkan’. Pada waktu itu Dewi Kekayi yang sedang berada di kaputren baru saja mendengar tentang adanya upacara tersebut, bahwa Rama sekarang telah menggantikan ayahnya menjadi raja. Dewi Kekayi marah sekali. Ia datang pada Sri Dasarata. Ia menagih janjinya dahulu. Dewi Kekayi yang sedang marah itu mengatakan kepada Sri Dasarata bahwa mestinya yang menjadi raja Ayodya menggantikan ayahnya itu Raden Barata yang dilahirkannya. Ia meminta agar Rama segera meninggalkan istana dan masuk ke hutan. (Ramayana: 31) Pesan moral dalam bab ini pada Serat Sri Rama Candra adalah janganlah kita menuruti hasutan dari orang lain tanpa kita pikir dampak yang akan terjadi. Dewi Kekayi yang menuruti hasutan Matara sangat menyesal karena Barata tidak ingin dan meminta untuk dinobatkan
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
13
sebagai raja Ayodya. Dasarata yang sangat menyangi Rama juga pada akhirnya meninggal dunia karena rasa sedihnya akan Rama yang diasingkan ke hutan selama 14 tahun. Pesan moral dalam bab ini pada teks Ramayana gubahan Sunardi D.M. adalah sebaiknya janganlah berbuat janji kepada seseorang apabila kita tidak dapat menepatinya. Dasarata yang lupa dengan janjinya dengan Dewi Kekayi, Dasarata seharusnya tidak menobatkan Rama sebagai raja apabila dirinya sudah memiliki janji lama dengan Dewi Kekayi tentang penobatan anak dari Dewi Kekayi sebagai raja Ayodya untuk menggantikan tahtanya.9 6. Kesimpulan Serat Sri Rama Candra merupakan salah satu dari puluhan versi Ramayana yang ada. Serat ini ditulis oleh Wirya Saputra dan selesai ditulis pada tanggal 20 Desember 1923. Naskah yang merupakan koleksi dari R.M. Sayid ini ditulis di atas kertas bergaris dengan aksara Jawa. Serat Sri Rama Candra termasuk ke dalam hasil karya saduran dari teks Ramayana karya Walmiki. Akan tetapi di dalam Serat Sri Rama Candra terdapat beberapa perubahan yang cukup mencolok dengan versi baku Ramayana. Perubahan tersebut adalah bentuk dari pemberontakan terhadap kisah Ramayana versi baku atau sebelumnya. Bentuk dari pemberontakan ini tentu mengandung cara pandang pengarang dalam meresepsi kisah Ramayana. Pengarang memiliki cara pandang yang berbeda dalam menilai kisah Ramayana. Dengan mengetahui pesan moral pengarang Serat Sri Rama Candra, penulis membandingkan Serat Sri Rama Candra dengan Ramayana gubahan Sunardi D.M. Sebagian besar alur ceritanya sama dengan versi baku, meskipun tahun terbitnya lebih baru yaitu tahun 1979. Perbandingan antara Serat Sri Rama Candra dengan Ramayana gubahan Sunardi D.M. tersebut dibagi ke dalam tujuh bab. Analisis perbandingan sastra ini dikaji dengan prinsip intertekstual dari Culler yang dikemukakan A. Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra. Pesan moral dalam Bab Saking Wana Lajeng Jumeneng Narendra pada Serat Sri Rama Candra adalah janganlah kita menuruti hasutan dari orang lain tanpa kita pikir dampak yang akan terjadi. Dewi Kekayi yang menuruti hasutan Matara sangat menyesal karena Barata tidak ingin dan meminta untuk dinobatkan sebagai raja Ayodya. Dasarata yang sangat menyangi Rama juga pada akhirnya meninggal dunia karena rasa sedihnya akan Rama yang diasingkan ke hutan 9
Lihat Tabel Perbandingan Pesan Moral ketujuh bab dalam Lampiran
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
14
selama 14 tahun. Sedangkan pada teks Ramayana gubahan Sunardi D.M. adalah sebaiknya janganlah berbuat janji kepada seseorang apabila kita tidak dapat menepatinya. Dasarata yang lupa dengan janjinya dengan Dewi Kekayi, Dasarata seharusnya tidak menobatkan Rama sebagai raja apabila dirinya sudah memiliki janji lama dengan Dewi Kekayi tentang penobatan anak dari Dewi Kekayi sebagai raja Ayodya untuk menggantikan tahtanya. Serat Sri Rama Candra dibuat berbeda dengan gubahan Sunardi D.M. karena pengarang Serat Sri Rama Candra dan Ramayana gubahan Sunardi D.M. memiliki cara pandang dan interpretasi yang berbeda setelah membaca kisah Ramayana. Hal itu membuat penulis menampilkan kisah Ramayana dalam bentuk yang baru dan berbeda. Kisah Ramayana yang dianggap sebagai veda terapan bagi umat Hindu diceritakan lebih nyata pada Serat Sri Rama Candra. Setiap tokoh dan peristiwa pada Serat Sri Rama Candra digambarkan selayaknya manusia biasa, meskipun tetap memiliki kemuliaan pada dirinya. Perbedaan tersebut didukung oleh latar belakang waktu penulisan Serat Sri Rama Candra, yaitu pada awal abad ke-20, dimana terdapat banyak perubahan di dunia termasuk di Indonesia. Setelah sifat perlawanan berubah, dianggap bahwa perlawanan yang positif dengan senjata dan taktik yang modern berupa diplomasi atau silat lidah bukan lagi bergantung kepada kekuatan pemimpin atau yang disebut sebagai perlawanan irasionil. Pada saat itu rakyat sudah berani untuk mengungkapkan pendapat atau aspirasi mereka. Dapat disimpulkan bahwa pengarang berani dalam mengungkapkan cara pandang yang berbeda dengan kisah Ramayana. Didukung dengan perkembangan zaman pada awal ke-20 yang membebaskan rakyat untuk memberikan aspirasinya.
7. Daftar Referensi Buku: Achadiati Ikram. 1980. Hikayat Sri Rama Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur. Jakarta: Universitas Indonesia. C. Rajagopalachari. 2012. Kitab Epos Ramayana. Yogyakarta: IRCiSoD. Franz Magnis Suseno. 1991. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia. I Ketut Nyanadeva Natih. 2004. Agama Hindu: Sejarah, Sumber, Ruang Lingkup dan Mitologi Agastya. Jakarta: Universitas Indonesia.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
15
Luxemburg, Jan van; Bal, Mieke; dan Weststeijn, Willem G. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. M. Atar Seni. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: CV Angkasa Maria Josephine Kumaat Mantik. 2006. Gender dalam Sastra: Studi Kasus Drama Mega-Mega. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Moedjanto. 1991. Indonesia Abad Ke-20 I. Yogyakarta: Kanisius. Muji Rahayu. 1998. Serat Sri Rama Candra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Parnickel, Boris. 1995. Perkembangan Sastera Nusantara Serumpun (Abad Ke-7 - Ke-19). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Prapto Yuwono. 1999. “Penguasaan Teks dan Wawasan Dasar Penelitian Kesusteraan Jawa” dalam Kibas Unggas Budaya Jawa. Depok: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. R.M. Sayid. Serat Sri Rama Candra. Kebonan Kadipolo III/19. Sala. Sunardi D.M. 2000. Ramayana. Jakarta: Balai Pustaka. Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Wahyudi Siswanto. 2013. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Aditya Media Publishing. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia. Kamus: Sutrisno Sastro Utomo. 2009. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ed. Ke-4). Jakarta: Balai Pustaka. W.J.S. Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen Batavia. Sumber Internet:
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
16
Alfian Rokhmansyah. 2012. Teori Intertekstual .
LAMPIRAN
Tabel perbandingan Pesan Moral dalam Serat Sri Rama Candra dan Ramayana gubahan Sunardi D. M.
Teks A: Serat Sri Rama Candra Teks B: Ramayana No. 1.
Episode
Teks A
Teks B
Keterangan
Bab Nem-neman tuwin pikramanipun
Pada Teks Serat Sri Rama Candra pesan moral yang terdapat dalam bab ini adalah kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Dasarata yang sangat prihatin dengan keadaan anaknya, Rama, yang tergolong belum dewasa untuk diminta tolong melawan kedua raksasa yang mengganggu upacara sesaji. Dasarata khawatir dengan keadaan Rama apabila mendapat serangan dari kedua raksasa tersebut. Pada akhirnya Dasarata merelakan Rama yang ikut membantu Bagawan Wisaswamitra dalam melawan kedua raksasa tersebut. Bagawan Wisaswamitra meyakinkan Dasarata bahwa hanya Rama yang dapat mengalahkan kedua raksasa tersebut
Pada Teks Ramayana pesan moral yang terdapat dalam bab ini adalah kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Dasarata yang sangat prihatin dengan keadaan anaknya, Rama, yang tergolong belum dewasa untuk diminta tolong melawan kedua raksasa yang mengganggu upacara sesaji. Dasarata khawatir dengan keadaan Rama apabila mendapat serangan dari kedua raksasa tersebut. Pada akhirnya Dasarata merelakan Rama yang ikut membantu Bagawan Wisaswamitra dalam melawan kedua raksasa tersebut. Bagawan Wisaswamitra meyakinkan Dasarata bahwa hanya Rama yang dapat mengalahkan kedua raksasa tersebut
Plot dalam bab di antara kedua teks sebagian besar sama. Oleh karena itu pesan moral yang terdapat dalam Teks A. sama dengan pesan moral yang terdapat dalam Teks B.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
17
2.
Bab Saking Wana Lajeng Jumeneng Narendra
Pesan moral dalam bab ini pada Serat Sri Rama Candra adalah janganlah kita menuruti hasutan dari orang lain tanpa kita pikir dampak yang akan terjadi. Dewi Kekayi yang menuruti hasutan Matara sangat menyesal karena Barata tidak ingin dan meminta untuk dinobatkan sebagai raja Ayodya. Dasarata yang sangat menyangi Rama juga pada akhirnya meninggal dunia karena rasa sedihnya akan Rama yang diasingkan ke hutan selama 14 tahun.
Pesan moral dalam bab ini pada teks Ramayana gubahan Sunardi D.M. adalah sebaiknya janganlah berbuat janji kepada seseorang apabila kita tidak dapat menepatinya. Dasarata yang lupa dengan janjinya dengan Dewi Kekayi, Dasarata seharusnya tidak menobatkan Rama sebagai raja apabila dirinya sudah memiliki janji lama dengan Dewi Kekayi tentang penobatan anak dari Dewi Kekayi sebagai raja Ayodya untuk menggantikan tahtanya
Pada teks A, Kekayi digambarkan sebagai ibu tiri Rama yang menyayanginya seperti anak kandungnya sendiri. Akibat ulah Matara, Dewi Kekayi timbul angkara murka dan berniat menggagalkan penobatan Rama seperti yang Matara katakan bahwa apabila Rama memegang tahta nantinya Dewi Kekayi dan putranya (Batara) akan jatuh sengsara. Sedangkan pada teks B, Dewi Kekayi marah sekali ketika mendengar bahwa Rama akan dinobatkan sebagai raja Ayodya dan menagih janji Dasarata kepada Dewi Kekayi agar Barata dinobatkan sebagai raja Ayodya menggantikan ayahnya.
3.
Bab Sihing Kakadangan
Pesan moral dalam Serat Sri Rama Candra pada bab ini adalah meskipun kita harus waspada terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar kita, meskipun dia adalah orang yang terdekat dengan kita, tetapi kita jangan berburuk sangka kepada seseorang tanpa tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan atau akan perbuat. Seperti halnya Laksmana yang berburuk sangka pada tujuan Barata menemui Rama. Laksmana awalnya berpikir bahwa Barata hendak mencelakakan Rama, Sita dan dirinya. Akan tetapi kenyataan berkata lain, bahwa maksud dan tujuan Barata datang menemui
Pesan moral pada bab ini dalam Teks Ramayana gubahan Sunardi D.M. adalah hormat adik kepada kakaknya. Barata merasa kurang pantas dinobatkan sebagai raja Ayodya, menurutnya Rama yang pantas dinobatkan. Oleh karena Rama diasingkan ke hutan, Barata pergi menyusul ke hutan menemui Rama agar Rama ingin kembali ke Ayodya dan bertahta sebagai raja Ayodya.
Pada Teks B digambarkan bahwa Lesmana yang awalnya terkejut dengan kedatangan pasukan yang besar. Awalnya dia berjaga-jaga apabila mendapatkan serangan dari pasukan besar tersebut. Setelah ia tahu bahwa pasukan tersebut merupakan pasukan kehormatan dari Ayodya untuk mengiringi Barata, ia segera memberitahukan Rama akan hal tersebut. Berbeda halnya dengan yang tergambar pada teks A. Laksmana (Lesmana) mempunyai dugaan buruk tentang kedatangan Barata. Barata didakwa mempunyai keinginan jahat kepada Rama
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
18
Rama adalah agar Rama bersedia kembali ke Ayodya dan memimpin kerajaan Ayodya.
sehingga ia memerintahkan Rama untuk menyiapkan senjata dan menyembunyikan Dewi Sita ke dalam goa agar aman.
4.
Bab Icalipun Sita
Pada bab ini dalam Serat Sri Rama Candra, pesan moral di dalam cerita adalah amanat yang diberikan oleh orang lain kepada kita hendaknya dijalankan dan jangan diingkari. Laksmana yang terhanyut dalam kemarahan dan tuduhan Sita terhadap dirinya, membuat dirinya tidak menjalankan amanat dan perintah dari Rama untuk terus menjaga Sita sampai dia kembali. Pada akhirnya Sita diculik oleh Rahwana dan hal itu yang membuat Rama sangat kecewa terhadap adiknya tersebut.
Pada Teks Ramayana gubahan Sunardi D.M., pesan moral yang terdapat dalam cerita sama dengan pesan moral yang terdapat pada Serat Sri Rama Candra, tetapi reaksi dari Rama atas hilangnya Sinta digambarkan berbeda.
Pada teks B, Rama hanya digambarkan tertekan setelah mendengar kabar bahwa Sita hilang. Rama bersiap menarik panah untuk melampiaskan kesedihannya. Sedangkan pada teks A, Rama menyalahkan Lesmana sebagai penyebab hilangnya Sita. Dia menganggap bahwa Lesmana kalah oleh seorang perempuan yang sedang marah-marah sehingga pada akhirnya Lesmana meninggalkan Sita sendirian dan tidak memenuhi amanat yang Rama berikan kepadanya.
5.
Bab Kasetyanipun Sita
Sebuah kesetiaan dan keteguhan hati seorang istri kepada suaminya. Hal ini tergambar dalam penolakan Sita terhadap rayuan Rahwana. Setiap kali Rahwana mencoba untuk merayu Sita, Sita tidak menghiraukannya. Sita tetap teguh kepada kesetiaan dirinya terhadap Rama. Sita bahkan tidak bosan-bosannya bersemedi agar Rama tetap diberi perlindungan oleh para Dewa.
Sebuah kesetiaan dan keteguhan hati seorang istri kepada suaminya. Hal ini tergambar dalam penolakan Sita terhadap rayuan Rahwana. Setiap kali Rahwana mencoba untuk merayu Sita, Sita tidak menghiraukannya. Sita tetap teguh kepada kesetiaan dirinya terhadap Rama. Sita bahkan tidak bosan-bosannya bersemedi agar Rama tetap diberi perlindungan oleh para Dewa.
Pada kedua teks memiliki pesan moral yang sama, karena plot cerita dan penokahan Sita pada teks digambar kurang lebih sama. Hanya peristiwa ketika Sita dirayu oleh Rahwana pada kedua teks yang digambarkan sedikit berbeda.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
19
6.
Bab Paprangan
Pesan moral dalam bab ini pada Serat Sri Rama Candra adalah kesombongan hanya akan membawa kesengsaraan. Rahwana yang merasa kuat dan meremehkan Rama karena Rama dianggapnya hanya sebagai manusia, pada akhirnya mati di peperangan melawan Rama. Rahwana juga terlihat sombong pada awal peperangan dengan merasa dirinya bisa melawan semua bala prajurit Kera. Rahwana tidak mengizinkan prajuritnya untuk ikut turun ke peperangan setelah sudah berhadapan dengan musuh.
Pesan moral pada Teks Ramayana adalah perjuangan dan pengorbanan yang besar akan membawa kita kepada kesuksesan. Rama yang terus berusaha agar Sita dapat kembali ke sisinya, pada akhirnya berhasil mengalahkan Rahwana yang telah menculik Sinta.
Berbeda dengan teks B. Pada teks A, bagian awal peperangan Rahwana sendiri yang akan melawan musuh dan menyuruh para prajurit untuk tidak membantu untuk melawan musuh. Pada teks B, Rahwana terjun ke peperangan setelah semua bupati-bupati, yang dia percaya akan kekuatan mereka, mati di tengah peperangan. Oleh karena strategi perang yang berbeda pada kedua teks, pesan moral yang didapatkan juga berbeda.
7.
Bab Sesampunipun Manggih Unggul
Pesan moral pada Serat Sri Rama Candra dalam bab ini adalah pengorbanan yang besar demi keselarasan hidup. Rama yang sangat mencintai Sita rela berpisah dengan Sita karena Rama ingin menjaga nama baik Rama dan juga Sita. Rama sudah berkorban banyak untuk mendapatkan Sita kembali, tetapi dirinya juga pada akhirnya berkorban untuk mementingkan keselarasan hidup bagi
Pesan moral pada Ramayana gubahan Sunardi D.M. adalah bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Rama yang berkorban banyak untuk mendapatkan Sinta kembali butuh proses yang cukup lama dan tidak mudah. Rama mempertaruhkan Sinta dengan rela berperang dengan musuh besar Rama, Rahwana. Rahwana juga bukan musuh yang mudah dikalahkan. Rahwana dapat mengalahkan para dewa, hal ini terbukti
Teks A dan B bertentangan. Pada teks B dijelaskan bahwa Rama menerima Sinta kembali. Sedangkan pada teks A, Rama memilih untuk berpisah dengan Sinta demi nama baik Sinta dan juga Rama.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014
20
Rama dan Sita. Rama tentu sangat sedih setelah melepaskan Sita, bahkan dirinya merasa dirinya menjaga keselamatan semua orang di seluruh negeri tetapi tidak bisa menjaga keselamatan istrinya.
bahwa Rama cukup tangguh dan sakti hingga dapat mengalahkan Rahwana di medan perang. Pada awalnya Rama belum bisa menerima Sinta kembali, tetapi setelah Sita membakar dirinya ke api Rama dapat menerima Sinta kembali dan mereka hidup bahagia.
Perbandingan pesan..., Irianti Anggun Ciptaningsih Bhakti, FIB UI, 2014