1 LAMPAHAN RESI WISRAWA DALAM SERAT ARJUNASASRA GUBAHAN CAREL FREDERIK WINTER (Tinjauan Aksiologi Max Scheler)
MAKALAH
Disusun Oleh: Ngutsman Mukromin 10/306942/PFI/00302
PROGRAM PASCASARJANA ILMU FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012
2 BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Permasalahan Masyarakat Jawa termasuk bangsa besar yang memiliki kisah panjang di masa lalunya,
kisah-kisah tersebut dapat dirunut melalui berbagai peninggalan baik berupa naskah, prasasti maupun ceritera rakyat. Peninggalan-peninggalan kuno tersebut sayangnya tidak mudah langsung dipahami sebab tertuang dalam simbol-simbol maupun bahasa kuno yang saat ini sudah tidak lagi dipakai. Naskah-naskah tersebut sebagian sudah tidak utuh karena termakan usia, namun berkat kegigihan para sejarawan dan para pakar filologi warisan-warisan kuno tersebut dapat diselamatkan (Achadiati Ikram, 2002). Kehadiran naskah kuno tersebut, tak dapat dipungkiri telah memperkaya khazanah kepustakaan Indonesia. Kepustakaan Jawa tergolong kepustakaan purwa (awal) dalam konteks dunia pustaka Indonesia, melalui karya pustaka Jawa itulah dapat diperoleh berbagai informasi mengenai agama serta pemikiran-pemikiran yang berkembang di tanah Jawa waktu itu. Pustaka-pustaka Jawa pada umumnya berupa tembang dengan pola-pola tertentu,dinamakan macapat yang menurut Ahmadi berbentuk basa rinenggo.Bahasa yang terhias, yang indah karena rekayasa struktur serta diksi untuk mencapai tujuan estetik. Jenis geguritan (puisi), pembuatannya memerlukan ketelitian dalam purwakanthi: rima dan guru lagu serta guru wilangan (metrik/metrum). Kidung macapat Pangkur, sebagai misalnya, memiliki struktur: 8 a, 11 i, 8 u, 7 a, 12 u, 8 a, 8 i (Ahmadi, 2002). Salah satu jenis sastra Jawa ialahserat suluk. Istilah suluk memiliki 2 (dua) macam arti, yakni: karya sastra tulis (teks) serta suluk dalam sastra lisan seni pedalangan. Suluk dalam pedalangan bertujuan untuk membangun suasana cerita, yang ditembangkan mengimbangi suara gamelan (musik). Sastra suluk dalam sastra tulis (teks), memuat ajaran mistik (kepercayaan, keyakinan dan filsafat) berupa perenungan menemukan kebenaran mutlak, biasanya berkenaan dengan konsep sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup) dan manunggaling kawula gusti (menyatunya makhluk dengan Khalik), yang keduanya merupakan loro-loroning atunggal dalam kepribadian Jawa. Hakikat sastra menurut pandangan kearifan Jawa adalah sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu, yaitu sebagai pengetahuan yang mengandung kearifan. Sastra memiliki tugas jendra (harja indra), yakni mampu menyemangati kesejahteraan; hayuningrat: keselamatan dunia; serta pangruwating: mengubah, terhadap diyu: raksasa, sebagai lambang kegelapan, kebodohan, kekotoran, kekasaran dan keangkaramurkaan. Sastra Jawa singkatnya, harus berupa ajaran yang jelas arah dan tujuannya. Sastra haruslah berupa sastra cetha, yakni ajaran yang jelas serta luhur sebagai hasil olah cipta, rasa, dan karsa (Soembogo, tt: 13-14).
3 Satu jenis lain dalam sastra Jawa ialah serat pedhalangan, yakni suatu pedoman yang dipakai sebagai sumber dalam pagelaran wayang purwa. Lakon-lakon dalam pagelaran wayang purwa, menurut Magnis-Suseno (2001: 163-164), diambil dari 4 (empat) siklus, yaitu: (1) mitos-mitos pada masa permulaan kosmos (dewa, raksasa dan manusia), (2) siklus Arjunasasrabahu, (3) siklus Ramayana, dan (4) siklus Mahabharata. Masing-masing siklus tersebut sebagian besar berasal dari India, sementara pagelaran wayang purwa sendiri sebagaimana yang dapat disaksikan kini, merupakan hasil kreasi para pujangga Jawa. Pagelaran wayang purwa selain memperagakan kisah-kisah yang bersumber dari keempat siklus tersebut, juga memperagakan lakon-lakon carangan yang merupakan hasil kreasi para pujangga Jawa. Kats dalam Magnis-Suseno (2001) menuturkan bahwa di antara 149 buah lakon wayang purwa, 117 buahnya berupa lakon carangan, artinya 32 buah berupa lakon pokok dan sisanya berupa lakon carangan. Salah satu lakon wayang purwa yang berasal dari siklus Arjunasasrabahu ialah ‘Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ’ dikenal pula dengan lakon ‘ Alap-Alap Sukesi ’ . Lakon tersebut awalnya berasal kitab Uttarakandha (episode terpisah dari kitab Ramayana), digubah kembali oleh R. Ng. Yasadipura II dalam Serat Arjunasasra, sementara R. Ng. Sindusastra juga menggubahnya kembali dalam Serat Lokapala (Serat Arjunasasrabahu). Sastrajendra (Sastra Harjendra) adalah ‘serat pepakeming ratu ’
(Winter, 1994: 243). Soembogo dalam ‘ Primbon Qoraisyn Adammakna ’
menguraikan bahwa sastra artinya ajaran, jendra (harjendra) artinya raja, hayu (rahayu) artinya selamat, ningrat artinya jagat, pangruwat artinya melebur / mengubah, dan diyu (yaksa) artinya raksasa (hawa nafsu) (Soembogo, tt: 13-14). Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu merupakan ilmu rahasia para dewa yang tidak boleh dimiliki oleh sembarang manusia, sebab ilmu tersebut memuat berbagai rahasia alam dan kehidupan. “ Seorang ”
raksasa (denawa) apabila berhasil
menguasai Sastrajendra, maka dewata akan meruwatnya jadi manusia sementara manusia yang menguasai Sastrajendra maka dewata akan meruwatnya menjadi dewa. Kekhawatiran dewata terhadap kerahasiaan Sastrajendra sangatlah beralasan sebab apabila ilmu tersebut disalahgunakan oleh sembarang manusia maka akan berakibat fatal (Senawangi, 1999: 1157). Lakon ‘Alap-alap Sukesi’ tersebut berdasarkan pagelaran wayang purwa yang dibawakan oleh Ki Nartosabdo, diawali ketika sebuah sayembara diumumkan bahwa barangsiapa dapat mengalahkan Jambumangli (perwira Ngalengka) dan mengajarkan Sastrajendra, maka berhak memboyong seorang putri yang sangat cantik dari Ngalengka, bernama Dewi Sukesi. Resi Wisrawa yang sebetulnya telah lengser keprabon (turun tahta) dan menjalani hidup sebagai pertapa, terpaksa harus turun gunung karena memenuhi permintaan puteranya (Raja Danapati dari Lokapala), untuk melamarkan Dewi Sukesi sebagai permaisuri puteranya.
4 Resi Wisrawa pun berangkat menuju Ngalengka menemui Raja Sumali (ayahanda Dewi Sukesih) guna menyampaikan maksud kedatangannya. Resi Wisrawa akhirnya dipersilahkan oleh Raja Sumali untuk membawa Dewi Sukesih menuju suatu tempat khusus guna mengajarkan Sastrajendra (Senawangi, 1999: 158). Betara Guru ternyata tidak merestui bila Sastrajendra sebagai ajaran rahasia (sinengker) para dewa tersebut, dibocorkan kepada sembarang manusia sehingga Betara Guru dan isterinya (Batari Durga) turun untuk menggagalkan rencana Resi Wisrawa. Betara Guru masuk dalam tubuh Resi Wisrawa sementara Betari Durga masuk dalam tubuh Dewi Sukesih. Pengaruh Betara Guru dan Betari Durga menyebabkan kedua guru dan murid tersebut lupa daratan sehingga terjadilah hubungan “ yang tidak semestinya ” . Resi Wisrawa dan Dewi Sukesih baru menyadari kekeliruannya setelah pengaruh Betara Guru dan Betari Durga lenyap, akhirnya keduanya hanya dapat menyesali kejadian yang telah terjadi. Sebab kejadian tersebut, maka Resi Wisrawa harus menikahi Dewi Sukesih. Pernikahan antara Resi Wisrawa dan Dewi Sukesih melahirkan 4 (empat) orang anak, 3 (tiga) di antaranya berupa raksasa (denawa) yakni: Rahwana, Kumbakarna dan Sarpakenaka; serta seorang manusia biasa bernama Wibisana (Kartapradja, 1912: 10). Kisah Resi Wisrawa tersebut merupakan kisah klasik yang apabila disimak sekilas, tidak lebih sekedar cerita hiburan belaka. Kisah tersebut sebetulnya mengandung suatu pelajaran berharga apabila dikaji secara mendalam. Masyarakat Jawa memposisikan Sastrajendra sebagai suatu ajaran luhur dan sakral, bahkan Sastrajendra diyakini sebagai intisari pandangan hidup Jawa. Sastrajendra merupakan ilmu rahasia para dewa yang apabila dibocorkan kepada semabarang manusia akan berakibat fatal. Resi Wisrawa atas kesalahannya mengajarkan Sastrajendra kepada Dewi Sukesi menyebabkan lahirnya Dasamuka, Kumbakarna dan Sarpakenaka. Ketiga putra-putri Resi Wisrawa tersebut merupakan makhluk-makluk yang senantiasa mengumbar hawa nafsunya, mereka adalah simbol untuk pelampiasan hawa nafsu. Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi setelah menyadari kekeliruan tersebut, akhirnya bertobat dan kembali ke jalan yang lurus, dari pertobatan tersebut maka lahirlah Wibisana. Wibisana adalah seorang ksatria yang berbudi luhur (ksatria pinandita) (Kartapradja, 1928: 7).
B.
Rumusan Masalah Penelitian berjudul ‘Lampahan Resi Wisrawa dalam Serat Arjunasasragubahan Carel Frederik
Winter: Tinjauan Aksiologi Max Scheler’ tersebut mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana lampahan Resi Wisrawa dalam Serat Arjunasasra gubahan Carel Frederik Winter? 2. Apa nilai-nilai yang terkandung dalam lampahan Resi Wisrawa dalam Serat Arjunasasra gubahan Carel Frederik Winter?
5 C.
Landasan Teori Etika dalam sistem ilmu filsafat masuk dalam kajian aksiologi. Ilmu Filsafat dalam
perkembangan selanjutnya, dipecah menjadi 3 (tiga) cabang utama, yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi dikenal sebagai teori tentang segala ‘yang ada’, sementara epistemologi dikenal sebagai teori tentang pengetahuan, kemudian aksiologi dikenal sebagai teori tentang nilai. Aksiologi pun memiliki 2 (dua) cabang tersendiri, yaitu: etika (teori moral) dan estetika (teori keindahan).Kajian mengenai keindahan, kebaikan dan kekudusan telah lama disampaikan oleh Plato dalam beberapa karyanya, namun baru sekitar paruh kedua abad ke-19 tema-tema tersebut menjadi perhatian serius bagi beberapa filsuf. Kajian filosofis terhadap nilai-nilai kemudian disebut sebagai aksiologi. Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani yaitu; axios (layak, pantas) sedangkan logos (ilmu). Aksiologi sebagai suatu kajian filosofis mengenai hakikat nilai-nilai, jauh berbeda dengan ontologi (metafisika) dan epistemologi (teori pengetahuan). Bagus (2005: 33) mengungkapkan bahwa pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan 3 (tiga) cara: pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif, pasalnya nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai subjek. Pengikut-pengikut teori tersebut antara lain: positivisme logis, emotivisme, dan analisis linguistik. Aliran-aliran tersebut memandang nilai sebagai fenomena kesadaran, yakni sebagai pengungkapan perasaan psikologis subjek terhadap objek yang dinilainya. Kedua, nilai merupakan kenyataan dalam ruang dan waktu. Nilai dengan demikian, dapat diketahui dengan menggunakan akal sehat. Ketiga, nilai merupakan unsur objektif yang turut menyusun realitas (Bagus, 2005: 33-34). Salah seorang tokoh yang banyak membahas aksiologi ialah Frondizi, menyatakan bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak real, sebab nilai tidak menambah ataupun mengurangi kualitas substantif suatu objek. Persoalannya kemudian apakah nilai itu objektif ataukah subjektif? Frondizi menyatakan bahwa nilai disebut “ objektif ” bila tidak tergantung pada subjek (yang menilai) dan sebaliknya, nilai menjadi “subjektif” bila eksistensi, makna serta validitasnya tergantung pada subjek yang mengamati (Frondizi, 2007: 20). Kaum subjektivis tetap bersikukuh bahwa nilai tidak berada dalam dirinya sendiri namun bergantung pada subjek yang mengamatinya. Seorang wanita tidak akan disebut ‘cantik’ kecuali bila pengamatnya tertarik secara seksual, hal itulah yang mendorong sebuah keyakinan bahwa nilai tidak berada dalam dirinya sendiri. Ayer dalam Frondizi (2007), menegaskan bahwa subjek yang membuat pertimbangan nilai semata-mata hanya mengungkapkan, bukan menegaskan suatu perasaan tertentu. Ungkapan perasaan tersebut tidak bernilai benar ataupun salah, sebab hal tersebut merupakan persoalan yang tidak dapat diperdebatkan. Persoalan yang mengacu pada nilai, menurut Russel bukanlah fakta sehingga posisinya berada di luar bidang ilmu (Frondizi, 2007: 77, 85).
6 Scheler (1994: 117) melalui analisisnya terhadap pemikiran-pemikiran pendahulunya seperti: Immanuel Kant, Edmund Husserl, Hartmann dan Nietzsche, menawarkan sebuah pemahaman bahwa nilai tidak hanya tergantung pada pengamat, tetapi setiap objek pun memiliki nilainya sendiri. Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada objek, namun objek merupakan sesuatu yang bernilai. Nilai adalah kualitas yang independen, sama independennya dengan objek. Nilai sama sekali tanpa perbandingan, begitu pula nilai tidak tergantung pada tujuan namun demikian nilai pun tidak dapat berlaku tanpa tujuan. Scheler meyakini bahwa ada nilai yang tidak terbatas jumlahnya yang manusia belum dapat menangkap ataupun merasakannya.Scheler memahami bahwa nilai bukanlah hasil dari pengalaman (a posteriori) melainkan berupa a priori. Scheler mengenai kewajiban moral, menegaskan bahwa nilai selalu mendahului kewajiban dan hukum moral, bukan sebaliknya sebagaimana pandangan Kant. Scheler dalam Frondizi menegaskan bahwa nilai memiliki 5 (lima) kriteria yang khas, yaitu: (1) keabadian artinya nilai bersifat abadi; (2) divisibility (dapat dibagi) artinya nilai dapat dibagi dalam kategori-kategori tertentu, namun semakin sulit nilai itu dibagi berarti derajatnya semakin tinggi; (3) dasar artinya suatu nilai menjadi dasar ataupun juga didasari oleh nilai yang lain; (4) kedalaman artinya nilai mengandung kedalaman kenikmatan bagi setiap subjek; dan (5) relativitas yakni setiap nilai memiliki skala relativitas masing-masing, namun relativitas tersebut tidak menjadikan suatu nilai menjadi subjektif (Frondizi, 2007: 114, 119) Nilai memiliki 4 (empat) hirarkhi, yakni: pertama, nilai kenikmatan (pleasure-values). Kedua, nilai vital (welfare-values). Nilai vital tersebut tidak dapat direduksi dengan kenikmatan dan ketidaknikmatan, pasalnya memiliki posisi lebih fundamental. Nilai-nilai yang tergolong nilai vital, antara lain: kesehatan, kelelahan, kesakitan, usia tua dan kematian (Scheler, 1994: 121). Ketiga, nilai spiritual (disebut pula culture-values), yakni nilai yang ditangkap melalui preferensi spiritual, cinta dan benci. Nilai spiritual terdiri dari 3 (tiga) bagian, antara lain: (a) nilai estetis; (b) nilai etis; dan (c) nilai pengetahuan murni tentang kebenaran. Keempat, nilai kekudusan (holiness values), disebut pula nilai religius. Nilai tersebut menempati level tertinggi, memiliki kedudukan khas dan bersifat independen (Stark, 1954: xvi). Scheler meyakini bahwa kelebihan antara satu nilai dengan nilai lainnya sebetulnya mudah dipahami, sayangnya tidak semua orang memahami bagaimana cara mengetahuinya. Nilai merupakan fakta fenomenologis yang cara mengetahuinya menggunakan “preferensi”. Preference is not chioce, nor is it in any sense a conactive act, but an act of emotional cognition. We can prefer Beethoven to Brahms, for instance, without actually choosing anything. Choice is always relates to volition—never to objects as such. But preference always assumes the existence of two values A and B, of wich one is then preferred the other (Scheler, 1954: 153).
7 Gagasan Scheler mengenai preferensi dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl, yang menyarankan supaya manusia kembali pada “ benda-benda ” sendiri. Hakikat setiap benda (objek) sesungguhnya ada di balik
penampakannya, sehingga biarkanlah benda-benda itu mengungkapkan
dirinya sendiri. Manusia menurut Husserl, untuk memahami benda-benda harus melakukan epoche, yakni melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara waktu dan berusaha melihat objek tersebut secara langsung dengan intuisinya (Praja, 2005: 180). Scheler dalam hal ini, mengikuti pendapat Husserl dengan mengatakan bahwa untuk memahami nilai maka manusia harus menggunakan intuisi, bukan analisis rasional. Istilah “ preferensi ”
dalam teori Scheler memang
dimunculkan berdasarkan konsep “epoche” dalam teori Husserl. D.
Metode Penelitian 1.
Pengumpulan Data Penelitiantersebut merupakan pennelitian pustaka (library research), dalam arti naskah,
buku maupun dokumen-dokumen lain menjadi sumber datanya. Sumber primer penelitian ini berupa naskah Serat Arjunasasra gubahan Karel Fredrik Winter dan telah di-Indonesiakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah (PPBSID), Jakarta tahun 1980. Carel Frederick Winter adalah seorang juru tulis Keraton Surakarta, sekaligus sahabat seperjuangan R. Ng. Ranggawarsito. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan penelitian sebagai berikut: pertama, pengumpulan data, yakni mencari sebanyak mungkin data mengenai tema tersebut selanjutnya dikumpulkan berdasarkan kategori materialnya. Kedua, klasifikasi data. Semua data yang telah dikumpulkan dikaji secara keseluruhan dan mendalam kemudian dibuat klasifikasi menjadi data primer dan data sekunder. Ketiga, analisis data yakni menganalisis data berdasarkan metode yang telah dipilih. Keempat, penyusunan laporan penelitian. 2.
Analisis Data Metode analisis data untuk penelitian tersebut ialah deskripsi dan hermeneutika. Metode
deskripsi dipakai untuk memaparkan semua data yang ditemukan selama penelitian tersebut. Sementara metode hermeneutika dipakai guna mencari dan menemukan makna terdalam (objective geist) yang terkandung dalam objek penelitian. Setiap objek penelitian diasumsikan sebagai wacana yang terbuka bagi penafsiran apapun, asalkan sesuai dengan konteksnya. Metode tersebut berguna untuk meneliti simbol-simbol, bahasa ataupun teks-teks suatu karya budaya.
8
BAB II LAMPAHAN RESI WISRAWA
A.
Selayang Pandang Naskah Jawa Ann Kumar dalam Ikhram (2002: 5) mengemukakan bahwa bangsa Indonesia (terutama Jawa)
memiliki tradisi tulis yang dipandang dari segi estetika dan intelektual amat kaya. Tradisi tulis Jawa memang kurang dikenal, bahkan oleh ahli warisnya sendiri. Hal tersebut terjadi dikarenakan kurangnya apresiasi masyarakat Jawa terhadap kebudayaannya sendiri, selain itu pemerintah juga kurang tanggap dalam melestarikan khazanah warisan bangsanya. Padahal tulisan-tulisan yang dibuat di masa lalu, selain nilai ajarannya yang universal, material tulisannya dibuat menggunakan bahan yang relatif lestari, namun apabila kelestariannya tidak dipertahankan (dibiarkan lapuk) maka lama-lama akan punah juga. Naskah-naskah Jawa yang telah berhasil ditemukan oleh para peneliti berjumlah ratusan, naskah-naskah tersebut umumnya berbentuk tembang Macapat. Beberapa di antaranya, terutama naskah yang berasal dari zaman kerajaan Kediri hingga Majapahit tertulis dalam bahasa Jawa Kuno, sementara naskah yang berasal dari zaman Mataram Islam tertuang dalam bahasa Jawa Modern. Pembagian mengenai naskah kuno dan naskah modern sebetulnya ditinjau berdasarkan kurun waktu
9 penulisan naskah tersebut serta berdasarkan isi dan bentuknya (tipografi) (Suhendar dan Supinah, 1993: 79). Naskah Hindu berupa naskah sastra yang mengandung nilai-nilai budaya Hindu. Sastra hindu berkembang melalui bahasa Kawi, yang ditulis dalam huruf Jawa Kuno. Naskah-naskah yang berkembang pada masa Hindu ialah: (a) hikayat, misalnya cerita Ramayana karya Empu Walmiki, Mahabarata karya Empu Wayasa, Baratayuda karya Empu Sedah dan Empu panuluh, serta Arjunasasrabahu; (b) jangka / ramalan, misalnya Jangka Jayabaya karya Prabu Jayabaya, Jaka Lodang karya R. Ng. Ranggowarsito; (c) kitab, misalnya Negara Kretagama, Weda, Arjunawiwaha, dan Pararaton. Para pengarang sastra pada zaman ini umumnya berasal dari kalangan istana, dan untuk menjadi penyair istana bukanlah hal mudah sebab memerlukan syarat dan ketentuan yang selektif. Sastra Hindu dikenal sebagai karya sastra yang sarat akan misi kekuasaan dan keagungan pahlawan seperti yang terdapat dalam kitab Baratayuda, oleh karena itu, sastra Hindu dikenal bercirilan: istana sentris, bertema keagamaan, berkisah cerita asmara, bersifat menghibur, didaktis, dan menggunakan gaya bahasa superlatif (Suhendar dan Supinah, 1993:73-74). Sementara naskah Islam merupakan naskah-naskah yang beredar setelah kedatangan para pedagang muslim dari Gujarat dan kemunculan para wali, yang menyebarkan Islam di seluruh tanah Jawa. Naskah-naskah tersebut pada umumnya berisi ajaran moral Islam yang telah diadaptasi dengan nilai-nilai luhur ajaran setempat, yang bertujuan supaya dakwah Islam mudah diterima oleh masyarakat Jawa (Simuh, 1999: 6). Naskah Islam di Jawa yang paling terkenal ialah sastra suluk, yakni sastra yang berisi ajaran mistik khas Jawa (Kebatinan). Manunggaling Kawula Gusti, Kasyaf, ‘Ilmu Laduni, Sangkan Paraning Dumadi, Martabat Tujuh, Sarengat, Hakikat dan Makrifat, merupakan tema-tema penting dalam sastra suluk. Sastrajendrameskipun sangat jarang disebut-sebut, juga merupakan bagian dari tema penting dalam sastra suluk. Sastrajendra dijumpai dalam beberapa naskah Jawa, antara lain dalam Serat Darmagandul, Serat Arjunasasra, Serat Lokapala (Arjunasasrabahu) dan Primbon Qoraisyn Adammakna.Masyarakat Jawa memiliki kebiasaan unik untuk melesarikan ajaran-ajaran falsafah hidup, yakni selain ditulis dalam bentuk serat yang kemudian ditembangkan (macapat) juga diperagakan dalam pagelaran wayang. Pada umumnya serat yang ditulis oleh para pujangga Jawa berbentuk tembang macapat, namun Serat Arjunasasra yang digubah oleh Winter tersebut tidak berbentuk macapat, melainkan berbentuk prosa. Serat-serat Jawa yang ditulis dalam bentuk prosa memang banyak dijumpai di era Ranggawarsito, salah satunya ialah Serat Arjunasasra tersebut. Secara garis besar pagelaran wayang purwa memiliki sumber cerita yang sama, yakni: Ramayana, Mahabarata dan Arjunawiwaha. Secara garis besar pagelaran wayang purwa memiliki sumber cerita yang sama, yakni: Ramayana, Mahabarata dan Arjunawiwaha. Pasca-kedatangan para
10 wali naskah-naskah yang berasal dari India yang bercorak Hindu tersebut diadaptasi dengan ajaran Islam. Dengan demikian pagelaran wayang purwa yang beredar hingga sekarang merupakan sebuah pertunjukan yang bernuansa Hindu-Islam, inilah khazanah masyarakat Jawa yang tidak dijumpai duplikatnya di belahan dunia manapun. Pagelaran wayang terdapat ratusan varian di seluruh wilayah Asia Tenggara, mulai dari wayang purwa (wayang kulit purwa), wayang madya (wayang kulit madya), wayang menak, wayang beber, wayang suket hingga wayang orang, namun dari semua warian tersebut hanya wayang purwa yang memiliki unsur estetik dan unsur etik paling rumit (Kayam, 2001: 60). Pertunjukan wayang purwa yang tersebar di seluruh tanah Jawa memiliki gaya (gagrak) yang berfariasi, sedikitnya terdapat 5 (lima) gaya, yakni: gaya Surakarta, gaya Yogyakarta, gaya Banyumas, gaya Cirebon dan gaya Jawa Timur. Pertunjukan wayang purwa gaya Banyumas, Cirebon dan Jawa timur secara sepintas memang mirip dengan pakeliran gaya Yogyakarta, entah dalam hal cerita, sabetan, kecrekan, maupun gending pengiringnya. Sementara pagelaran wayang purwa yang memiliki banyak perbedaan dengan gaya Yogyakarta ialah pagelaran gaya Surakarta. Namun semenjak era 80-an, semenjak Ki Nartosabdho berkreasi (sanggit) menggabungkan berbagai gaya dari luar dalam gaya Surakarta, perbedaan antargaya menjadi semakin sulit dipetakan. Gaya masing-masing pertunjukan wayang purwa disesuaikan dengan dalangnya masing-masing. Kreasi Ki Nartosabdho dalam jagat pakeliran Surakarta rupanya menarik perhatian banyak kalangan, terbukti generasi pakeliran pasca-Nartosabdo muncul berbagai kreasi yang bermacam-macam. Ki Enthus Susmono misalnya, salah seorang dalang Pekalongan yang saat ini sedang naik daun, setiap pertunjukan wayangnya senantiasa dipenuhi oleh ceramah-ceramah dakwah Islam, khas gaya pesantren. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan baru dalam jagat pakeliran dewasa ini. B.
Naskah Lampahan Resi Wisrawa Naskah SeratArjunasasrayang digubah oleh Winter (1799-1859) kemungkinan besar berasal
dari Serat Arjunasasra karangan R. Ng. Yasadipura II (kakek R. Ng. Ranggawarsita). Winter sebagai abdi dalem (juru tulis) Keraton Surakarta yang sekaligus sahabat dekat Ranggawarsita sudah pasti memiliki akses terhadap perpustakaan keraton, dengan demikian tidaklah mustahil bila Serat Arjunasasra yang ditulis Winter merupakan Serat Arjunasasrayang pernah ditulis oleh Yasadipura II. Bila dilihat dari isinya, Serat Arjunasasra (baik karangan Winter maupun Yasadipura II) merupakan bentuk baru dari Kitab Uttarakanda yang ditulis oleh Resi Walmiki. Serat Arjunasasra bercerita tentang 3 (tiga) negara, yakni: Lokapala, Ngayodya dan Maespati. Lokapala merupakan sebuah negeri yang awalnya dipimpin oleh Raja Wisrawa, setelah turun tahta digantikan oleh anaknya, benama Raja Danapati. Wisrawa setelah turun tahta menjalani hidup sebagai pertapa di Amulayasa, sehingga bergelar Resi Wisrawa. Suatu ketika Resi Wisrawa diminta
11 oleh anaknya untuk melamarkan seorang puteri dari negeri Ngalengka, pasalnya Resi Wisrawa dulunya berkawan akrab dengan Raja Sumali yang sedang bertahta di negeri Ngalengka. Resi Wisrawa merupakan seorang pertapa yang waskitadan sakti mandraguna sehingga Raja Danapati tidak ragu-ragu untuk mengutus Resi Wisrawa dalam urusan yang sangat penting tersebut. Sesampainya di negeri Ngalengka ternyata Raja Sumali, berdasarkan permintaan puterinya, meminta Resi Wisrawa untuk mengajarkan ilmu rahasia dewata, yakni Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Kisah Resi Wisrawa tersebut menjadi pembuka Serat Arjunasasra, lengkapnya sebagai berikut: Diceritakan ada raja raksasa bernama Raja Sumali, yang menjadi raja di negeri Ngalengka. Raja Sumali mempunyai seorang puteri yang cantik sekali, bernama Dewi Sukesi. Tatkala Raja Danapati mendengar kabar tentang kecantikan wajah Dewi Sukesi, lalu dia berkata kepada ayahnya supaya bersedia melamarkannya. Resi Wisrawa menuruti keinginan puteranya, segera pergi ke negeri Ngalengka dan bertemu dengan Raja Sumali serta menjelaskan maksud kedatangannya. Raja Sumali berkenan berbesanan dengan Resi Wisrawa, akan tetapi sebelumnya ia meminta diajarkan suatu ilmu yang dapat membuat keselamatan diri serta mendapatkan anugerah kelak di alam baka. Resi Wisrawa tidak keberatan, lalu sang raja diajarkan suatu ilmu yang dimintanya tadi. Ketika mereka sedang memulai pelajaran tersebut, Dewi Sukesi duduk di belakang ayahnya. Tersebutlah Batara Guru dan Batari Durga turun ke dunia, menuju negeri Ngalengka. Batara Guru lalu masuk dalam tubuh Resi Wisrawa sedangkan Batari Durga masuk dalam badan Dewi Sukesi. Kemudian dia berkata kepada Raja Sumali bahwa jika diperkenankan puterinya itu akan diperisteri sendiri. Raja Sumali mengizinkan, lalu puterinya ditawari dan sang puteri menuruti kehendaknya. Kemudian Resi Wisrawa menikah dengan Dewi Sukesi. Tersebutlah Raja Danapati lama menanti-nanti kembali ayahnya, akhirnya dia mendapat kabar bahwa Dewi Sukesi sudah diperisteri ayahnya sendiri, maka dia sangatlah marah. Kemudian dia memerintahkan agar menyiapkan bala tentara untuk menyerang negeri Ngalengka, memerangi ayahnya. Belum sempat berangkat, Batara Endra mendatangi serta membisiki sang raja bahwa sudah takdirnya Dewi Sukesi menjadi jodoh Resi Wisrawa. Sang raja diminta mengurungkan niat penyerangan tadi. Batara Endra lantas memberikan isteri dua bidadari kepada Raja Danapati, bernama Dewi Nawangsih dan Dewi Sumitaningsih. Sang raja sangat senang hatinya dan seketika itu hilanglah marahnya. Diceritakan lagi negeri Ngalengka, ketika itu Dewi Sukesi sudah mengandung. Dan ketika saatnya lahirlah seorang putera laki-laki, akan tetapi berwujud raksasa berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh, kemudian diberi nama Rawana. Sesudah dewasa Rawana bertapa sampai lama sekali di Gohkarna. Dewi Sukesi berputera lagi laki-laki yang juga bersifat raksasa, besar dan tinggi seperti anak gunung, diberi nama Kumbakarna. Resi Wisrawa sangatlah sedih hatinya sebab kedua puteranya berwujud raksasa. Raja Danapati sudah mendengar berita bahwa ayahnya sangat bersedih hati, sebab kedua puteranya berwujud raksasa. Sang raja lalu pergi ke negeri Ngalengka untuk mengunjungi ayahnya. Setiba di negeri Ngalengka dan sudah bertemu dengan ayahnya, sang raja lalu memberi petunjuk kepada adiknya yang bernama Kumbakarna supaya menyusul kakaknya serta turut bertapa di gunung Gohkarna. Raja Danapati kemudian kembali ke Lokapala.
12 Dewi Sukesi melahirkan lagi, keluar seorang puteri yang juga berupa raksasa, diberi nama Sarpakenaka. Resi Wisrawa semakin mendalam dukanya sebab ketiga puteranya berwujud raksasa, kemudian dia masuk ke tempat pemujaan, memohon kepada dewa agar dapat berputera seorang laki-laki yang ketampanannya menyamai Raja Danapati di Lokapala. Samadi Resi Wisrawa diterima, lalu isterinya berputera seorang laki-laki yang tampan seperti Raja Danapati, serta diberi nama Wibisana. Tidak lama antaranya Resi Wisrawa meninggal dunia. C.
Makna Filosofis Lampahan Resi Wisrawa Lampahan Resi Wisrawa merupakan salah satu kisah yang sering dilakonkan dalam pagelaran
wayang purwa, oleh sebab itu berbicara tentang lampahanResi Wisrawa tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pagelaran wayang purwa. Resi Wisrawa dalam ensiklopedi wayang purwa dikenal sebagai seorang pertapa (resi) yang rajin bertapa (gentur tapane), oleh sebab itu menjadi waskita dan sakti mandraguna. Resi Wisrawa setelah bertapa selama bertahun-tahun, pada suatu hari didatangi oleh dewa dan dianugerahi sebuah ilmu rahasia para dewa, yaitu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu (Drewes, 1966: 366) Ilmu tersebut berguna untuk meruwat segala makhluk hidup, terutama manusia. Seorang raksasa (denawa) bila diruwat menggunakan ilmu tersebut maka dapat beruwah wujud menjadi manusia normal, sementara apabila manusia yang diruwat maka akan berubah menjadi dewa.Sedemikian ampuhnya ilmu tersebut sehingga tidak boleh dibocorkan kepada sembarang manusia, sebab apabila disalahgunakan akan berakibat sangat fatal. Resi Wisrawa dalam jagat pakeliran Jawa menjadi simbol ketekunan bertapa, berkat ketekunan itu maka tapabrata Wisrawa diterima oleh dewata sehingga dianugerahi sebuah ilmu khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain. Seorang pertapa biasanya tidak pernah keluar dari tempat pertapaannya, rupanya hal tersebut tidak berlaku bagi Resi Wisrawa, sebab kewajibannya sebagai seorang ayah maka Resi Wisrawa harus “ turun gunung ” , yakni melamarkan seorang puteri untuk anaknya. Resi Wisrawa dengan berbekal keilmuannya yang mumpuni akhirnya berangkat menuju negeri Ngalengka, negeri para raksasa (denawa). Dewi Sukesi yang hendak dilamar oleh Resi Wisrawa ternyata meminta persyaratan yang sangat berat, yaitu meminta diajari ilmu rahasia para dewa, Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Resi Wisrawa pada awalnya sangat bimbang karena mengajarkan Sastrajendra kepada sembarang orang akan berakibat sangat fatal, namun demi kewajibannya sebagai seorang ayah akhirnya Resi Wisrawa harus berani menanggung segala resiko yang akan terjadi. Setelah Sastrajendra diajarkan kepada Dewi Sukesi yang awalnya berupa raksasa, tiba-tiba Dewi Sukesi berubah menjadi seorang wanita normal yang sangat cantik. Barangkali kalau bukan sebab kemurkaan Betara Guru, Resi Wisrawa berhasil memboyong Dewi Sukesi untuk dinikahkan dengan Prabu Danapati di Lokapala. Setelah Dewi Sukesi berubah menjadi seorang wanita normal
13 yang sangat cantik, Resi Wisrawa malah jatuh hati terhadapnya. Hubungan asmara antara Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi membuahkan 4 (empat) orang putera, ketiganya berupa raksasa dan satu berwujud manusia normal. Resi Wisrawa adalah seorang manusia normal juga pertapa sementara Dewi Sukesi setelah diruwat menggunakan Sastrajendra juga telah berubah menjadi manusia normal, oleh sebab itu sudah sewajarnya bila pernikahan antara Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi juga melahirkan manusia normal. Namun kenyataan malah sebaliknya, Dewi Sukesi melahirkan anak pertamanya berupa reksasa, benama Rahwana (Dasamuka), anak keduanya berupa raksasa, bernama Kumbakarna dan anak ketiganya berupa wanita raksasa, bernama Sarpakenaka. Pembabaran Sastrajendra yang dilakukan oleh Resi Wisrawa dalam lakon ‘Alap-Alap Sukesi’ yang dibawakan oleh Ki Nartosabdho, mengakibatkan jagat dan seluruh isinya menjadi heboh, angin bertiup kencang, ombak samudera bergolak hebat, kawah Candradimuka bergetar bahkan kayangan pun menjadi geger. Batara Guru dengan mengajak Batari Uma (Batari Durga) akhirnya turun menuju negeri Ngalengka untuk menggagalkan usaha Resi Wisrawa tersebut. Mengenai gagal atau berhasilnya usaha Batara Guru dalam menggagalkan usaha Resi Wisrawa, beberapa sumber menceritakan hal berbeda. Winter dalam Serat Arjunasasra dan Ki Nartosabdho dalam lakon ‘ Alap-alap Sukesi ’ menuturkan bahwa Resi Wisrawa berhasil mengajarkan Sastrajendra, artinya upaya penggagalan Batara Guru gagal. Sebaliknya Ki Kasidi Hadiprayitno dalam lakon yang sama menuturkan bahwa upaya penggagalan Batara Guru dan Batari Uma berhasil, artinya Resi Wisrawa gagal dalam mengajarkan Sastrajendra kepada Dewi Sukesi, sebab kegagalan tersebut maka lahirlah ketiga anak yang berupa raksasa. Namun semua sumber sepakat bahwa Resi Wisrawa atas keberaniannya membocorkan Sastrajendra kepada Dewi Sukesi, mendapat murka dewata dan akhirnya lahirlah anak-anak berupa raksasa, anak-anak yang melambangkan nafsu angkara murka. Ketiga anak Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi tersebut menurut Poespaningrat (2005: 12), merupakan simbol nafsu manusia, yakni: amarah, luamah dan supiah. Ketiga nafsu tersebut memiliki kecenderungan ke arah angkara murka, oleh sebab itu bila manusia tidak dapat mengendalikan ketiga nafsu tersebut maka karakternya tidak lebih dari seekor binatang. Esensi “ meruwat ” dalam ajaran Sastrajendra ialah melebur ketiga nafsu buruk tersebut menjadi nafsu yang mulia (mutmainah). Lahirnya ketiga anak yang berupa raksasa tersebut membuktikan bahwa Resi Wisrawa meskipun telah berhasil meruwat Dewi Sukesi, namun sesungguhnya Resi Wisrawa belum berhasil meruwat dirinya sendiri. Seandainya Resi Wisrawa telah berhasil meruwat dirinya sendiri maka pengaruh godaan Betara Guru terhadapnya tidak akan mempan. Resi Wisrawa setelah menyadari keadaan tersebut akhirnya kembali melakukan tapabrata untuk bertobat dari kesalahan-kesalahan yang lalu, kemudian memohon kepada dewata supaya dikaruniai seorang anak yang mirip dengan Prabu Danapati, maka lahirlah Gunawan Wibisana. Wibisana merupakan simbol nafsu keutamaan yakni nafsu mutmainah.
14 Sastrajendra dengan demikian merupakan ajaran sufistik Jawa yang berisi tentang cara bagaimana mengubah nafsu-nafsu jahat menjadi nafsu mulia (mutmainah). Hal disimbolkan bahwa apabila raksasa menguasai Sastrajendra maka dewata akan meruwatnya menjadi manusia, sedangkan manusia yang berhasil menguasai Sastrajendra maka dewata akan meruwatnya menjadi dewa, yakni hidupnya sempurna sebagimana dewa. Penuturan Tandanagara (tt, 37) dalam Serat Darmagandul malah lebih dramatis, sebagai berikut: Nalika ejang-paduka Prabu Palasara ijasa kadaton wonten ing Gadjahoja, sato wana tuwin lelembut inggih dipun tjipta dados tijang, pramila gandanipun tijang satunggal-satunggalipun beda-beda, gandanipun kados dene nalika taksih dados sato kewan. Serat tapak Hjang, ingkang dipun wastani Sastradjendrajuningrat, dados saking sabda kun, ingkan dipun wastani djitok tegesipun namung pudji tok. Ketika eyang Prabu Palasara masih berkuasa di Gajahoya, hewan hutan serta lelembut dicipta menjadi manusia, oleh sebab itu aroma masing-masing manusia berbeda-beda, aromanya seperti ketika masih menjadi hewan (serta lelembut). Serat tapak dewa, yang disebut Sastrajendrayuningrat, menjadi dari sabda ‘kun’, yang disebut ‘jitok’ maksudnya hanya puji. Makna “ meruwat (melebur) ” dalam Sastrajendra apabila dimaknai secara lahiriah menjadi tidak masuk akal, pasalnya makhluk yang terlahir sebagai hewan biar bagaimanapun tidak dapat diubah menjadi manusia, demikian pula manusia tidak mungkin diubah menjadi dewa. Istilah “meruwat” dalam arti mengubah hawa nafsu (angkara murka) menjadi nafsu mulia (mutmainah) lebih dapat dipahami secara rasional, meskipun keberadaan nafsu itu sendiri tidak bisa diteliti secara positivistik. Istilah nafsu dengan berbagai varian serta penjelasannya selama ini lebih dikenal dalam kalangan mistik. Ajaran mistik Islam seperti Ibn Qayyim al-Jauziyah yang diikuti oleh Mirza Ghulam Ahmad mengenalkan 3 (tiga) macam jenis nafsu, yakni: nafsu ammarah, nafsu lawwamah dan nafsu muthmainnah. Nafsu ammarah sebagai nafsu yang senantiasa menuju angkara murka, sementara nafsu lawwamah sebagai nafsu yang telah mampu menyadari kesalahan dirinya meskipun terkadang masih tergelincir dalam kesalahan. Sedangkan nafsu muthmainnah merupakan nafsu yang telah stabil, yakni konsisten dengan tindakan mulia (Mukromin, 2009: 89). Sedangkan ajaran kebatinan (mistisime Jawa) memperkenalkan nafsu-nafsu manusia terbagi menjadi 4 (empat) macam, yakni: amarah, luamah, supiyah dan mutmainah. Menurut Supadjar, keempat jenis nafsu tersebut tidak dijumpai secara persis dalam mistik Islam (baik dalam al-Ghazali maupun Ibn ‘ Arabi) melainkan berasal dari ajaran mistik Yunani, yakni Plotinus. D.
Aksiologi Lampahan Resi Wisrawa Manusia merupakan makhluk yang terdiri atas unsur material dan unsur spiritual, kedua unsur
tersebut saling melengkapi satu sama lain, tidak dapat dipisah-pisahkan. Seseorang apabila tubuh materialnya mengalami gangguan pasti spiritualnya turut terganggu, demikian pula sebaliknya. Nilai dalam pandangan Scheler juga demikian, terdiri atas nilai material dan nilai spiritual. Nilai material
15 bersifat fana dan mudah dipecah-pecah berdasarkan unsur-unsur pembentuknya, sementara nilai spiritual bersifat mutlak dan tidak bisa dipecah-pecah sebab unsur pembentuknya juga bersifat spiritual. Scheler dalam hal ini membagi pengertian antara nilai itu sendiri (value itself) dan penilaian (valuation), nilai bersifat objektif sementara penilaian bersifat relatif. Nilai tidak bisa berdiri sendiri akan tetapi melekat pada suatu objek, dengan demikian penilaian seseorang terhadap nilai juga berbeda-beda. Nilai material semakin memunculkan relativitas, sebab nilai tersebut merupakan nilai yang dipengaruhi oleh unsur-unsur inderawi dan psikofisis. Sementara nilai spiritual bersifat objektif dan tidak dipengaruhi unsur-unsur inderawi maupun psikofisis. Nilai-nilai material melekat pada benda-benda yang berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan hidup, seperti rasa pedas, manis, asin, nikmat dan sebagainya. Sedangkan nilai spiritual melekat pada objek-objek yang bersifat abstrak, misalnya pandangan hidup, ajaran agama dan sebagainya. Scheler membagi nilai dalam 4 (empat) jenjang hirarkhi, antara lain: nilai kesenangan, nilai vitalitas, nilai spiritual dan nilai kekudusan. Keempat nilai tersebut sudah pasti melekat terhadap objek-objek yang berbeda, nilai kesenangan melekat terrhadap objek-objek yang mendatangkan kesenangan bagi manusia, nilai vitalitas melekat terhadap objek-objek yang dinilai vital bagi kehidupan, nilai spiritual melakat terhadap objek yang bersifat abstrak, sedangkan nilai kekudusan melekat pada objek yang bersifat absolut (Wahana: 2008: 61). Semakin tinggi hirarkhi suatu nilai maka semakin sulit ditangkap oleh panca indera, maka sebagai gantinya Scheler menawarkan konsep ‘preferensi’. Preference is not chioce, nor is it in any sense a conactive act, but an act of emotional cognition. We can prefer Beethoven to Brahms, for instance, without actually choosing anything. Choice is always relates to volition — never to objects as such. But preference always assumes the existence of two values A and B, of wich one is then preferred the other (Scheler, 1954: 153). Konsep “preferensi” Scheler, kalau dirunut sampai fenomenologi Husserl, memiliki pengertian yang sama dengan epoche, yakni tindakan melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara waktu dan berusaha melihat objek tersebut secara langsung melalui intuisi (Praja, 2005: 180). Preferensi dalam teori Scheler sangat berguna untuk menangkap keberadaan nilai-nilai spiritual, pasalnya nilai tersebut lolos dari cerapan panca indera, artinya preferensi bukanlah tindakan empirical melainkan tindakan intuitif. Lampahan (kisah) Resi Wisrawa ditinjau berdasarkan aksiologi Scheler tentu memiliki banyak pengertian, namun memasukkan kisah tersebut dalam hirarkhi nilai material tampaknya kesulitan sebab kisah sebagai kisah (story itself) merupakan objek abstrak yang tidak dapat dicerap oleh panca indera. Namun demikian ketika kisah tersebut dikisahkan secara lisan, baru dapat ditangkap secara inderawi: telinga menangkap suara dan mata melihat gerak bibir si penutur. Terlebih ketika kisah Resi Wisrawa tersebut dilakonkan dalam pagelaran wayang, tentu setiap subjek akan memiliki penilaian yang bervariasi. Kisah semacam itu masuk dalam hirarkhi pertama, yakni nilai kesenangan. Nilai
16 kesenangan merupakan nilai material yang dapat ditangkap melalui panca indera, seseorang yang menonton pagelaran wayang purwa dapat langsung menilai mengenai senang atau tidaknya terhadap pagelaran tersebut. Lampahan Resi Wisrawa dalam arti sebagai ajaran falsafah hidup mengandung nilai spiritual. Nilai spiritual dalam pandangan Scheler mengandung 3 (tiga) unsur penting antara lain: keindahan (estetis), kebaikan (etis) dan kebenaran kognitif, sebagian unsur tersebut dapat dijumpai dalam lampahan tersebut. Lampahan Resi Wisrawa mengandung suatu kebaikan, yakni kisah yang dijadikan sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia dalam berhubungan secara sosial. Lampahan Resi Wisrawa juga mengandung sutu kebenaran bahwa seseorang yang terlena dari kewajibannya (seperti Resi Wisrawa) pasti akan menanggung akibatnya, meskipun dia seorang resi yang dekat dengan dewa. Hukum kausalitas tetap berlaku bagi semua manusia, bahkan Resi Wisrawa yang waskita serta sakti mandraguna pun tak dapat mengingkarinya. Resi Wisrawa yang seharusnya melamar Dewi Sukesi untuk dijadikan menantu malah terlena sehingga melamar Dewi Sukesi untuk dijadikan isterinya sendiri. Resi Wisrawa tidak mampu menahan gejolak birahinya, terbukti bahwa ketiga anak yang dilahirkan Dewi Sukesi berupa raksasa. Sementara Prabu Danapati yang sejak awal berniat ingin menikah secara sah dengan Dewi Sukesi, berkat kesabarannya akhirnya mendapatkan 2 (dua) orang bidadari pemberian Batara Endra. Lampahan Resi Wisrawa awalnya merupakan sebuah kisah yang berasal dari India, yakni suatu episode yang berkaitan dengan kisah Ramayana. Para pujangga Jawa dengan model kejeniusan yang dimiliki berhasil menggubah kisah tersebut menjadi berbeda dengan kisah aslinya. Unsur-unsur Hindu yang mulanya demikian kental mewarnai kisah Ramayana, tiba-tiba tanpa berubah esensinya, kisah tersebut menjadi demikian Islami. Lampahan Resi Wisrawa yang berkaitan dengan Sastrajendra sebagai ilmu tentang pengendalian hawa nafsu, merupakan kisah yang sangat mistik. Para pujangga mistik (kaum sufi) selalu menekankan pentingnya mengendalikan hawa nafsu supaya manusia dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta, sehingga memahami sangkan paraning dumadi. Kelalaian manusia terhadap pengendalian hawa nafsunya akan berakibat sangat fatal, antara lain terjadinya keangkaramurkaan. Hal itu terbukti dalam lampahan Resi Wisrawa, tatkala Rahwana (Dasamuka)
berkuasa
di
negeri
Ngalengka
menggantikan
kakeknya
(Prabu
Sumali),
keangkaramurkaan terjadi di mana-mana. Sampai suatu ketika Prabu Sri-Rama menggelar pasukannya
untuk
menggempur
negeri
Ngalengka,
setelah
Rahwana
terbunuh
barulah
keangkaramurkaan itu terhenti. Sedangkan Sastrajendra sebagai ilmu rahasia dewata, menurut hirarkhi nilai Scheler, mengandung nilai kekudusan (holy value) dan bersifat absolut. Nilai tertinggi dalam hirarkhi nilai Scheler bersifat absolut, terlepas dari persoalan bagaimana seseorang menilainya. Seandainya tiada
17 seorangpun mengetahui, Sastrajendra tetap sebagai pengetahuan adiluhung dan sakral. Seandainya semua
orang mempelajarinya
sekalipun,
Sastrajendra tetap
sakral,
pasalnya
mempelajari
Sastrajendra membutuhkan syarat-syarat khusus yang tidak mudah dilakukan oleh sembarang manusia. Resi Wisrawa seandainya bukan seorang pertapa yang gigih, maka teori tentang Sastrajendra hanya akan menjadi “barang mentah” alias tidak berguna untuk meruwat Dewi Sukesi. Sastrajendra merupakan ilmu rahasia para dewa yang posisinya sangat sakral, sebagaimana sakralitas para dewa dalam pagelaran wayang purwa. Dewa merupakan makhluk paling mulia dalam jagat pakeliran Jawa, cara berkomunikasi dengan dewa juga harus menggunakan bahwa khusus (krama inggil) yang tidak dilakukan ketika berkomunikasi dengan sesama manusia. Istilah ulun, pikulun (aku) dan kito (kamu) merupakan kata ganti khusus untuk berkomunikasi dengan para dewa (Kayam, 2001: 109). Persoalan nilai merupakan persoalan rumit yang tidak mudah dipelajari, apalagi dilaksanakan. Kerumitan itulah yang telah menjadikan para pemikir aliran Wina mengeluarkannya dari persoalan ilmu pengetahuan, pasalnya nilai memang tidak dapat diverifikasi. Scheler sendiri mengakui bahwa nilai merupakan persoalan a priori yang tidak mudah dikenali, terlebih untuk nilai-nilai yang bersifat spiritual. Preferensi merupakan metode baru yang digagas oleh Scheler untuk memahami nilai, preferensi sama sekali bukan metode empiris melainkan intuitif. Bagi Scheler intuisi bersifat a priori, namun demikian intuisi juga tidak dapat ditempuh menggunakan analisis-rasional, pasalnya analisis-rasional senantiasa membutuhkan aturan-aturan ketat untuk mendapatkan kesimpulan. Sementara itu apabila nilai diperlakukan sebagaimana objek-objek abstrak-rasional lainnya menjadi semakin tak terpahami, oleh sebab itu metode yang diperlukan untuk memahami nilai ialah preferensi.
18
BAB III PENUTUP Resi Wisrawa merupakan seorang pertapa yang masa lalunya pernah menjadi raja di negeri Lokapala. Setelah turun tahta, kekuasaan Lokapala diserahkan kepada anaknya, Prabu Danapati. Resi Wisrawa “turun gunung” sebab mendengar kabar bahwa anaknya sedang jatuh cinta dan ingin segera menikah, maka naluri Resi Wisrawa sebagai seorang ayah tergugah untuk menjalankan kewajiban. Resi Wisrawa berangkat menuju Ngalengka menemui Prabu Sumali untuk melamar puterinya (Dewi Sukesi) dan akan dinikahkan dengan Prabu Danapati. Dewi Sukesi telah berumpah bahwa dirinya tidak bersedia dinikahi oleh siapapun kecuali bila orang tersebut dapat memedarkan Sastrajendra kepada dirinya. Resi Wisrawa sebab kenekatannya memedarkan Sastrajendra kepada Dewi Sukesi akhirnya mendapat murka dewata sehingga tergelincir dalam hubungan asmara denggan Dewi Sukesi. Setelah Resi Wisrawa menikahi Dewi Sukesi untuk dirinya maka lahirlah keempat orang
19 anak, ketiganya berupa raksasa (Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka) dan satu manusia normal (Wibisana). Lampahan Resi Wisrawa dikaji berdasarkan teori aksiologi Scheler, memunculkan kesimpulan sebagai berikut: 1.
Lampahan Resi Wisrawa sebagai lakon pagelaran wayang purwa mengandung nilai kesenangan atau ketidak-senangan, yakni nilai paling material dalam aksiologi Scheler. Seseorang yang menyaksikan pagelaran wayang akan mudah menilai apakah dirinya senang ataukah tidak senang terhadap pagelaran tersebut, tanpa perlu berpikir panjang-lebar.
2.
Lampahan Resi Wisrawa sebagai suatu ajaran luhur masyarakat Jawa mengandung nilai spiritual. Nilai tersebut juga mengandung 3 (tiga) unsur yakni: unsur etis, unsur estetis dan unsur kebenaran kognitif murni. Lampahan Resi Wisrawa merupakan suatu kisah yang mengandung pelajaran etis bagi masyarakat Jawa, selain itu kisah tersebut juga mengandung suatu kebenaran yang dapat dipahami secara kognitif.
3.
Sastrajendra sebagai ilmu kawaskitan yang dimiliki oleh Resi Wisrawa memuat nilai kekudusan (holy value). Sastrajendra adalah suatu ajaran mistik yang berfungsi untuk melebur nafsu angkara murka (amarah, luamah dan supiah) menjadi nafsu mulia (mutmainah). Apabila seseorang dapat mengendalikan ketiga nafsu tersebut maka hidupnya menjadi sempurna seperti dewa, oleh karena itu digambarkan bahwa manusia yang menguasai Sastrajendra maka akan diruwat menjadi dewa. Resi Wisrawa sendiri meskipun telah menguasai Sastrajendra tetap tergelincir hubungan asmara dengan Dewi Sukesi, artinya Resi Wisrawa pun belum sepenuhnya berhasil meruwat nafsunya sendiri. Persoalan nilai dalam teori Scheler merupakan persoalan penting yang sering disalahpahami,
pasalnya nilai sering diidentikkan dengan persoalan inderawi (empiris), padahal nilai merupakan persoalan a priori. Meskipun demikian bukan berarti nilai dapat dipahami melalui analisis-rasional, nilai tidak dapat dipahami secara analisis-rasional sebab membutuhkan syarat-syarat yang ketat untuk menemukan kesimpulan. Sementara nilai cukup dipahami melalui preferensi (metode intuitif), suatu metode a priori yang bersifat lebih ramah terhadap persoalan nilai.
20
DAFTAR PUSTAKA
Frondizi, Risieri, 2007, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ikhram, Achadiati, 2002, “Khazanah Naskah Indonesia” in Prosiding Pertemuan Ilmiah naskah Kuno “Merapi-Merbabu” Perpustakaan Nasional RI. Kayam, Umar, 2001, Kelir Tanpa Batas, Jakarta: Gramedia. Kelly, Eugene, 2011, Material Ethics of Value: Max Scheler and Nicolai Hartmann, New York: Springer. Laksono, Kardi, 2009, Ontologi Wayang Purwa: Relevansinya bagi Pembentukan Karakter Bangsa, Tesis Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada. Magnis-Suseno, Franz, 2001, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia. Mertosedono, Amir, 1986, Sejarah Wayang: Asal-usul, Jenis dan Cirinya, Semarang: Dahara Prize.
21 Mukromin, Ngutsman, 2009, Manusia menurut Mirza Ghulam Ahmad, Skripsi Fakultas Ushuliddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Poespaningrat, Pranoedjoe, 2005, Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat. Scheler, Max, Frings, Manfred S. and Funk, Roger L. (translators), 1973, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, USA: Northwestern University Press. ............, Coser, Lewis B., and Holdheim, William W. (translators), 1994, Ressentiment, USA: Marquette University Press. Solichin, 2011, Falsafah Wayang: Intangile Heritage of Humanity, Jakarta: Senawangi. Suparno, Slamet T, 2007, Seni Pedalangan Gagrak Surakarta: Butir-butir Kearifan Lokal Sebagai Solusi Problematik Mutakhir, Surakarta: Isi Press Solo. Tandanagara, K. R. T., tt, Darmagandul Gantjaran, Surakarta: Sadu-Budi. Wahana, Paulus, 2008, Nilai Aksiologis Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius. Winter, C. F. and Subadri, Roni (translator), 2011, Serat Arjunasasra, Jakarta: PPBSID. ……….., Ranggawarsita, R. Ng., Padmopuspito, Asia and Sarman Am, A. (translators), 1994, Kamus Kawi-Jawa, Yogyakarta: GMU Press. Wiliting, 1975, Kamus Idiom Inggris-Indonesia, Pekalongan: Harapan.