-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
MEMOSISIKAN TEKS DAN KONTEKS JAN BLOMMAERT DALAM WACANA SASTRA INDONESIA I Nyoman Yasa, Anang Santoso, dan Wahyudi Siswanto Universitas Negeri Malang dan Undiksha
[email protected]
Abstract Indonesian literature is a critical discourse. He accumulates marginalized events and domination of society at a particular time. It reveals the practices of power and inequality that occurred in a certain group of people. It indicates that the Indonesian literature is very critical. However, the public appreciation of the literary work is still low or conventional: it is imaginative literature, consisting of intrinsic and extrinsic elements, and so forth. In other words, the process of intertextuality and entextualisation are not applied in interpreting literature. This paper presents the text and context in the study of critical discourse and its relation to Indonesian literature: Novel Siti Nurbaya and Salah Asuhan by Abdul Muis. Literature study was applied to conduct the study. The results of the study reveal the assumption that literary works of literature accumulated domination, hegemony, inequality, and the practice of power. It is also found that in interpreting literature intertextuality and entextualisation are involved. Finally, interpreting literary works can be conducted by inding the resource, text trajectory, and data history. Keywords: Text, Context, Indonesian Literature
Abstrak Kesusastraan Indonesia merupakan sebuah wacana kritis. Ia mengakumulasi peristiwa-peristiwa marginalitas dan dominasi kelompok masyarakat pada sebuah zaman tertentu. Ia mengungkap praktik-praktik kekuasaan dan inequality yang terjadi dalam kelompok masyarakat tertentu. Hal itu menandakan bahwa karya sastra Indonesia sangat kritis. Akan tetapi, tindak apreasiasi masyarakat terhadap karya sastra masih rendah atau masih konvensional: sastra itu imajinatif , terdiri dari unsur instrinsik dan ekstrinsik, dan lain-lain. Dengan kata lain, proses intertekstualitas dan entextualisation tidak dilakukan ketika menafsirkan karya sastra. Makalah ini memaparkan teks dan konteks dalam studi wacana kritis dan kaitannya pada karya sastra Indonesia: Novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Makalah ini menggunakan teknik studi pustaka. Berdasarkan hasil kajian, Pertama, asumsi bahwa karya sastra sastra mengakumulasi dominasi, hegemoni, inequality, dan praktik kekuasaan . Kedua, Memaknai karya sastra: melibatkan intertextuality dan entextualisation. Ketiga, memaknai karya sastra dengan menemukan resource, text trajectory, dan data history. Kata-kata Kunci: Teks dan Konteks, Karya Sastra Indonesia
Pendahuluan Makalah ini menguraikan teks dan konteks dalam Sudi Wacana Kritis (SWK). Istilah teks dan konteks dalam SWK berbeda dengan istilah teks dan konteks dalam pandangan tradisional. Beberapa pihak masih belum tepat menerapkan SWK pada teks yang seharusnya. Dalam makalah ini, fokus paparan terletak pada pandangan-pandangan Blommaert mengenai teks dan konteks dalam Studi Wacana Kritis dan pemosisiannya Novel Siti Nurbaya Karya Marah Rusli dan Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis. Pembahasan Studi Wacana Kritis memandang bahwa setiap penggunaan bahasa mengandung maksud tersembunyi sehingga diperlukan suatu sikap yang curiga, kritis, dan selalu mempertanyakan penggunaan bentuk bahasa tertentu oleh penutur. Agar memiliki kekritisan, ketelitian, dan pemaknaan yang baik, penting memahami teks dan konteks tuturan tersebut.
250
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
1. Teks Dalam pandangan Fowler, teks sebagai realisasi modus wacana. Ia ada dalam kondisi sosial, politik, ekonomi, dan ideologis terkontrol. Kajian terhadap teks bukan hanya untuk kajian teks itu sendiri, tetapi kajian teks merupakan kajian kewacanaan dengan mengikutsertakan dimensi politik, ideologis, dan kultural tentang bagaimana masyarakat dan institusi membangun makna melalui teks karena teks (wacana) dalam SWK dibangun oleh asumsi bahwa ada dominasi, hegemoni, dan ketidaksetaraan di dalamnya (Santoso, 2002). Jika dikaitkan dengan kelahiran Novel Siti Nurbaya atau Novel Salah Asuhan, dua novel tersebut sebagai teks yang mengandung dominasi, hegemoni, dan inequality dari kolonial Belanda. 2. Konteks Sebuah wacana dengan konteksnya memiliki hubungan yang erat dan melekat: wacana mengelaborasi konteksnya dan konteks membantu dalam melakukan interpretasi makna sebuah ujaran di dalam wacana. Partisipan dapat memahami ujaran karena ada situasi khusus yang ada dalam tuturan, yakni konteks (Georges, 2013: 2). Pengetahuan terhadap konteks merupakan premis analisis wacana (Song, 2010: 878). Cook (dalam Song, 2010: 876) menyatakan bahwa konteks adalah sebuah bentuk pengetahuan tentang dunia dan istilah konteks dapat digunakan, baik dalam makna sempit maupun luas. Blommaert dan Konteks dalam Studi Wacana Kritis Blommaert menyampaikan bahwa menganalisis wacana (discourse) tidak terlepas dari konteks. Konteks dalam pandangan Fairclough lebih dikenal sebagai dimensi wacana. Dimensi wacana menurut Fairclough, yakni (1) teks-teks bahasa, (2) praktik wacana (termasuk produksi dan interpretasi teks), dan (3) praktik sosiokultural. Istilah dimensi wacana Fairclough mengadaptasi istilah konteks yang diperkenalkan oleh M.A.K. Halliday (Santoso, 2002: 33). 1. Beberapa Hal Mendasar Tentang Konteks a. Penafsiran dan Pengontekstualan (Kontekstualiasi) Konteks secara mutlak diperlukan ketika melakukan kegiatan analisis (Blommaert, 2005: 40). Untuk menegaskan hal ini, Blommaert menggunakan konsep kontekstualisasi dari John Gumperz’s. Kontekstualisasi merupakan bagian dari semua kegiatan seorang penganalisis/ partisipan, dalam menghubungkan, menyejajarkan, merevisi, menunda, dan lain-lain, tuturan pada banyak konteks yang ada di dalamnya, dan mengaitkannya pada interpretasi ujaran. Menurut Blommaert (2005: 42), penginterpretasian atau pemahaman merupakan proses pengontekstualan teks (seperti ujaran atau pernyataan, baik lisan maupun tulisan) secara indeksikal yang tepat konteks oleh partisipan dalam interaksi. Seseorang partisipan dapat memahami sesuatu hal disebabkan oleh adanya sesuatu yang mengarahkan pada konteksnya (Blommaert, 2005: 43). b. Kontekstualisasi adalah Dialogis Prinsip kedua tentang kontekstualisasi adalah fenomena dialogis. Dialogis dalam hal ini bukan hanya pembicara saja yang menyampaikan pernyataan dan konteks umumnya, tetapi lawan bicara juga melakukan hal yang sama ketika berkomunikasi. Kontekstualisasi sering dilakukan oleh satu pihak yang menerima dan mendekode pesan- the uptake. Dalam katakata Gumperz “tanda-tanda memiliki makna yang mengacu pada objeknya bergantung pada interpreternya” (Blommaert, 2005: 43). Dalam upaya menangkap makna (uptake) ujaran, memerlukan waktu (melibatkan dimensi waktu). Blommaert (2005: 43) menyatakan bahwa proses membuat makna melibatkan serangkaian waktu. Dalam proses membuat makna, bukan hanya meresepsi makna, tetapi dalam proses dialogis antarpemikiran (dua atau lebih)
251
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
(Blommaert, 2005: 44). Dalam hal ini, ada proses intertextuality dan entextuality yang digunakan dalam membangun makna. Intertekstualitas mengacu pada fakta ketika kita berbicara kita memproduksi katakata dari orang lain. Kita secara konstan mengutip dan mengekpresikannya kembali hingga terbentuk makna yang dapat dipahami. Salah Asuhan adalah sebuah teks yang dikonstruksi oleh peristiwa (fakta atau imaji). Entextualisation mengacu pada proses dalam arti bahwa wacana secara simultan melakukan dekontekstualisasi dan secara metadiskursif melakukan rekontektualisasi, hingga wacana awal menjadi sebuah wacana (discourse) baru. Wacana baru ini menjadi sebuah teks: discourse tercipta dengan latar interaksi dan berubah secara bersamasama dalam sebuah konteks yang baru. 2. Memahami Konteks: Resource, Text Trajectorios, dan Histori Data Dua pendekatan tersebut menyampaikan pandangan tentang konteks sebagai lokus dalam analisis kiritis, fokus pada hubungan sederhana antara teks/discourse dan konteks seseorang. Blommaert menyampaikan beberapa hal tentang konteks. a. Resourses sebagai konteks Sarana bahasa yang kompleks dan keterampilan berkomunikasi selalu diidenti ikasi sebagai resources. Partisipan ada yang mampu/tidak mampu berbicara dengan ragam bahasa, dapat/tidak dapat membaca dan menulis, dan mereka ada yang mampu/tidak mampu dalam memobilisasi resources spesi ik yang dimilikinya ketika berperilaku dalam masyarakat. Semuanya berbeda –berbeda tingkatan profesionalitasnya –dari tidak profesional sama sekali hingga master—semuanya memiliki konsekuensi sosial. Resource memiliki tingkatan. Partisipan yang memiliki resources yang berbeda sering memperoleh resources yang tidak setara karena kesamaan akses untuk mendapatkan hak dan keuntungan sudah dikontrol oleh akses komunikasi resources yang lebih spesi ik. Pengembangan peran resources dalam konteks meluas dari teks atau wacana hingga pada struktur sosial dan kemasyarakatan. Pengembangannnya mengglobal (Blommaert, 2005: 61). b. Text Trajectories1 Satu hal yang menjadi fokus proses komunikasi dalam institusi adalah ada penggantian wacana yang melampaui konteks: berkomunikasi hanya melalui dengan notes, ringkasan, laporan kasus, sitasi, diskusi lainnya. Briggs (dalam Blommaert, 2005: 62) menyatakan bahwa penggantian antara teks dan konteks - praktik re-entextualisation- menyertakan pertanyaanpertanyaan dari kekuasaan yang krusial. Blommaert menyatakan bahwa tidak setiap konteks dapat diakses oleh setiap orang, dan re-entextualisation sangat bergantung pada siapa yang punya akses pada ruang kontekstual. Akses dalam hal ini sangat bergantung pada resource: reentextualisation sering melibatkan teknologi kontektualisasi, tingkat ahli, dan sangat eksklusif yang memperlihatkan ketidaksetaraan dalam masyarakat (misalnya re-extentualisation resmi menuntut adanya akses ahli yang resmi). Dinamika entextualisation secara jelas membawa pembedaan akses pada resources kekuasaan (power). Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, tercatat beberapa text trajectories, antara lain Salah Asuhan, Belenggu, dan Siti Nurbaya. Beberapa novel ini merupakan novel yang ditulis pengarangnya akibat campur tangan kolonial Belanda dengan pengarangnya. Akibat campur 1 Istilah trajectories dipopulerkan oleh Bordieu. Trajectories merupakan posisi yang dihasilkan dari perjuangan simbolik dalam ranah sosial budaya (Bordieu dalam Wahyuni, 2008). Konsep trajectories ini dapat diperjelas melalui maksud Wahyuni dalam disertasinya ketika meneliti konstruksi jender dalam media massa. Hubungan peran laki-laki dan perempuan (doxa, heterodoxa) tereksternalisasi menjadi suatu kaidah budaya. Kaidah budaya yang diterima sebagai suatu kebenaran tersebut terintrenalisasi menjadi habitus. Hasilnya adalah trajectories.
252
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
tangan kolonial, Siti Nurbaya dan Salah Asuhan bukanlah teks asli pertama kali dibuat oleh Marah Rusli dan Abdul Moeis, melainkan teks-teks (karya sastra) yang sudah menempati posisinya setelah melewati pertarungan simbolik, yakni text trajectories. Akses dan resource yang lebih kuat ketika masa Balai Pustaka adalah kolonial Belanda dan pengarangnya. Sarwadi (2004:28) menyatakan bahwa novel-novel tersebut sudah mengalami sensor sebelum dibaca oleh masyarakat pribumi. Dalam hal ini, keterlibatan pengarang dalam menanamkan ideologi kolonial Belanda juga tinggi. Peran Marah Rusli dan Abdoel Moeis tidak dapat dipisahkan. Mereka adalah dua pengarang yang bekerja untuk Balai Pustaka dengan upah yang tinggi. Blommaert menegaskan bahwa dalam studi wacana kritis, selalu disadari bahwa setiap teks dikontekstualisasi pada setiap fase atau tahap keberadaannya dan setiap tindakan memproduksi wacana, mereproduksi wacana, dan menyirkulasikannya atau mengonsumsinya menyertakan konteks. c. Histori (Rekam Jejak) Data Bagian ketiga adalah histori data wacana. Dalam bidang etnogra i, histori data merupakan elemen penting dalam membuat penafsiran/interpretasi. Waktu dan tempat memberikan pengaruh terhadap data. Data memberikan pengaruh pada konteksnya. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya meneliti hari itu juga, istilahnya this now! Dalam menlakukan analisis terhadap Siti Nurbaya dan Salah Asuhan sangat penting untuk melihat histori data yang ada pada masanya (masa kolonial Belanda): data sejarah, artefak yang relevan. Dalam hal ini, konteks penting untuk dicermati/dipertimbangkan. Penutup Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa hal penting yang dapat dibuat. Hal penting tersebut sebagai berikut. (1) Dalam pandangan Blommaert, Teks dan konteks memiliki hubungan yang erat. Konteks memberikan peran yang tinggi untuk memaknai teks atau discourse; (2) Siti Nurbaya dan Salah Asuhan adalah contoh wacana yang memuat dominasi, hegemoni, dan ketidaksetaraan antara kolonial Belanda dengan pribumi ketika karya sastra itu diproduksi dan diinterpretasi; (3) Guna mendapatkan makna pada discourse, ada dua konsep kritis yang perlu dipahami, yakni konsep intertekstualitas dan entextulaisation. Hal yang lebih penting lagi dilakukan dalam upaya membangun makna discourse untuk mengungkap dominasi dan ketidaksetaraan adalah melihat resources, text trajectories, dan histori data. Siti Nurbaya dan Salah Asuhan merupakan contoh text trajectories.
Daftar Pustaka Blommaert, Jan. 2005. Discourse Key Topics in Of Sociolinguistics. New York: Cambrige University Press. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS. Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. New York: Longman Inc. Georges, Ingrid de Saint. 2013. Context in The analysis of Discourse and Interaction. The Encyclopedia of Applied Linguistic. Blackwell Publishing Ltd. Santoso, Anang. 2002. Studi Bahasa Kritis Menguak Bahasa Membongkar Kuasa. Bandung: Mandar Maju. Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial Pandangan terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka.
253
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Sarwadi. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Song, Lichao. 2010. The Role of Context in Discourse Analysis. Journal of Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 6, pp. 876-879, November. Wahyuni, Lilik. 2008. Konstruksi Jender dalam Pertarungan Simbolik di Media Massa. Disertasi. Universitas Negeri Malang. Tidak Diterbitkan.
254