1
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
PERUBAHAN KURIKULUM DAN KINERJA GURU MIPA DI SMA NEGERI SE-KOTA MATARAM Lale S. Yasmin, Burhanuddin, Agus A. Purwoko*) Abstract. This research aimed to find out the impact of school curriculum change toward the performance of mathematics and science teachers at senior high schools in Mataram city, West Nusa Tenggara. The sample was selected by using purposive sampling technique, taking only teachers who have at least six years teaching experience. The data were collected using questionnaires which were developed from matrix instrument describing indicators and descriptors. Percentage per indicator was then calculated from respondens’ answers (scores), and was further converted to a certain performance category. The results showed that there was significant impact of curriculum change on teachers’ performance. The percentage of teachers performance change covered (1) teacher’s readiness (Pfh = 72.29%), (2) teaching planning (Pfh = 51.80 %), (3) syllaby development (Pfh = 50.90 %), (4) implementation of teaching and learning process (Pfh = 56.34%), and (5) evaluation and assessment process (pfh = 50.50 %). Keywords: Curriculum change, Mathematics and Science teachers’ performance
Perkembangan kurikulum bukan merupakan hal baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sejak masa kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan sekarang telah tercatat lebih dari delapan kali terjadi perubahan kurikulum; dimulai dengan Kurikulum Rencana Pelajaran 1947 yang terus disempurnakan sampai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekarang ini (Tiar, 2007). Perubahan atau penyempurnaan kurikulum merupakan suatu keniscayaan seiring dengan perubahan zaman dengan segala implikasinya. Dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir juga telah terjadi perubahan kurikulum. Kurikulum 1984, misalnya, diganti atau disempurnakan menjadi Kurikulum 1994. Pergantian kurikulum ini dilaksanakan sebagai bentuk implementasi dari Undang-undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun seperti diketahui bahwa setelah berjalan beberapa tahun, Kurikulum 1994 dinilai memiliki beberapa kelemahan yang terkait dengan kecenderungan pada pendekatan penguasaan materi (content oriented) dengan dampak seperti (1) beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya ragam mata pelajaran dan kepadatan materi pada setiap mata pelajaran; (2) materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan (3) kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari. Kelemah-
an-kelemahan inilah yang melatarbelakangi usaha untuk menyempurnakan Kurikulum 1994 yang diwujudkan dalam bentuk Suplemen Kurikulum 1999 (Soekisno, 2007). Seperti dimaklumi bahwa Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 mengalami penyempurnaan kembali, yang antara lain dimaksudkan sebagai respon dari perubahan sistem pemerintahan, yakni dari model pemerintahan sentralistik menjadi pemerintahan desentralistik. Perubahan model pemerintahan ini merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan kebijakan tentang otonomi daerah. Kurikulum baru tersebut kemudian dikenal sebagai KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar kinerja yang telah ditetapkan (kompetensi). Pengembangan KBK juga merupakan bentuk implementasi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam pasal 36 ayat 2 disebutkan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Namun, dalam kenyataannya KBK belum pernah secara resmi diluncurkan sebagai kurikulum sekolah pengganti Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999. Pemerintah pusat bersama-sama pemerintah daerah selama kurun
*) Lale S. Yasmin, Burhanuddin, Agus A. Purwoko adalah dosen Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Univ. Mataram 37
38 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
waktu 2003–2005 hanya melaksanakan uji coba KBK ke sebagian sekolah yang dimaksudkan sebagai sekolah rintisan pelaksanaan KBK. UU Sisdiknas kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam sejumlah peraturan, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Merujuk pada PP No.19/2005 maka perlu disusun dan dilaksanakan delapan Standar Nasional Pendidikan, yaitu (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian Pendidikan, yang terwujud dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran dalam KTSP masih tetap bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi yaitu (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; (3) penyampaian pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif; dan (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian kompetensi (Soekisno, 2007). Guru sebagai pelaksana proses pembelajaran di kelas dihadapkan secara langsung dengan adanya perubahan-perubahan di atas. Perubahan kurikulum dari Kurikulum 1994 ke KBK dan akhirnya ke KTSP sangat dimungkinkan mempengaruhi kinerja guru, yakni pengaruh yang dimulai dari tahap perencanaan kegiatan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran sampai pada tahap pengembangan bahan ajar. Perbedaan yang khas dalam ketiga kurikulum terakhir adalah pada pendekatan pengembangan kurikulum. Jika pada Kurikulum 1994 pengembangan bersifat sentralistik maka pengembangan KBK lebih bersifat desentralistik, akan tetapi aturan dan bagian-bagian Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pada silabus telah diatur secara lengkap dan guru cukup mencontoh pembuatan RPP dari contoh silabus tersebut. Pada KTSP selain bersifat desentralistik maka pengembangan silabus dan RPP disusun oleh guru atau kelompok guru sebidang yang didasarkan pada standar kompetensi dan kompe-
tensi dasar. Pengembangan tersebut disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dan kompetensi yang diinginkan sehingga masing-masing sekolah dimungkinkan memiliki silabus dan RPP yang berbeda. Terkait dengan perubahan kurikulum dengan segala implikasinya maka timbul pertanyaan penting tentang seberapa jauh pengaruh perubahan kurikulum terhadap kinerja guru MIPA dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran di kelas. Artikel ini menjelaskan hasil penelitian tentang perubahan sikap/kinerja guru MIPA SMA Negeri se-Kota Mataram dalam menghadapi perubahan kurikulum, dengan menitikberatkan pada tugas guru dalam merencanakan, mengimplementasikan dan mengadakan evaluasi kegiatan pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Populasi penelitian adalah seluruh guru MIPA di SMA Negeri se-Kota Mataram yang berjumlah 100 orang dengan tehnik pengambilan sampel purposive sampling. Sampel adalah guru MIPA yang memiliki pengalaman mengajar di atas 6 tahun dengan pertimbangan bahwa mereka telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan pergantian kurikulum dari Kurikulum 1994 sampai dengan Kurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP). Keseluruhan sampel berjumlah 64 orang yang terdiri atas guru kimia (13 orang), guru biologi (22 orang), guru fisika (13 orang), dan guru Matematika (16 orang). Data dikumpulkan dengan menggunakan angket yang dikembangkan dari kisi-kisi instrumen yang terdiri atas komponen penguasaan kurikulum dan penerapannya dalam pembelajaran. Validitas angket didasarkan atas kesesuaian butir-butir angket dengan kisi-kisi instrumen (validitas isi). Pemberian skor pada angket dilakukan berdasarkan skala Likert, dimana tiaptiap item diatur secara bertingkat dengan pilihan empat jawaban: selalu, sering, pernah, dan tidak pernah (Sugiono, 1999). Skala ini dikonversi ke dalam nilai (skor) berupa angka berturut-turut adalah 4 (selalu), 3 (sering), 2 (pernah), 1 (tidak pernah). Analisis data dilakukan secara kuantitatif untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pengaruh perubahan kurikulum terhadap kinerja
39 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
guru MIPA dalam proses pembelajaran dan proses evaluasi dalam pelaksanaan pembelajaran. Analisis dilakukan dengan menghitung persentase dengan menggunakan rumus:
Pfh
skor MxNxB.Maks
x100% .
(Tauhid dalam Zaidun, 2003) Keterangan: Pfh = persentase perubahan kinerja guru N = jumlah responden (keseluruhan sampel) B. Maks = skor maksimal nilai ideal item angket Σ skor = jumlah skor ΣM = jumlah butir soal/deskriptor
Hasil hitungan dari data nilai angket kemudian dikelompokkan berdasarkan deskriptor kemudian dihitung persentasenya berdasarkan rumus Pfh di atas, dan dikonversikan ke dalam kategori tertentu dengan menggunakan pedoman konversi seperti pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Pedoman Konversi Kinerja Guru Persentase Perubahan Tingkat Perubahan Kinerja Kinerja Guru 1 80 – 100 Sangat berubah 2 61 – 80 Berubah 3 41 – 60 Cukup berubah 4 21 – 40 Kurang berubah 5 0 – 20 Sangat tidak berubah Sumber : Tauhid dalam Zaidun (2003) No
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis data perubahan kinerja guru MIPA di SMA Negeri Se-Kota Mataram yang terkait dengan adanya perubahan kurikulum, khususnya dari kurikulum 1994 ke KBK sampai dengan KTSP, dapat dilihat pada Tabel 2. Seperti terlihat pada Tabel 2 maka harga pfh rata-rata per indikator tertinggi adalah kesiapan guru dalam menyikapi perubahan kurikulum, sedangkan indikator lainnya memiliki persentase rata-rata lebih rendah. Dalam setiap pergantian kurikulum isu pertama yang menjadi masalah adalah sosialisasi, yakni bagaimana kurikulum baru tersebut dapat dipahami dan diterima oleh guru sehingga mereka dapat menerapkannya sesuai dengan harapan dan tujuan kurikulum tersebut (Mulyasa, 2004). Isu ini terkait dengan kesiapan para guru
yang berfungsi sebagai subjek dalam menerima, memahami serta melaksanakan kurikulum. Idealnya mereka perlu secara aktif mencari dan memahami bagaimana esensi dari kurikulum, misalnya dengan mengikuti kegiatan ilmiah seperti seminar dan pelatihan. Kegiatan-kegiatan ilmiah seperti itu merupakan cara yang banyak digunakan terkait dalam pelaksanaan sosialisasi. Dari hasil kegiatan-kegiatan tersebut para guru seharusnya dapat menindaklanjuti dengan action plan atau implementasi dari apa yang telah didapatkannya. Selain itu, faktor kebijakan dari pihak manajemen sekolah juga menjadi bagian penting dalam hal sosialisasi dalam pelaksanaan kurikulum baru. Terkait dengan keterlibatan manajemen sekolah, pihak yang cukup berperan adalah keterlibatan kepala sekolah sebagai mediator antara pihak Dinas Pendidikan dan para guru yang ada di sekolahnya masing-masing. Jadi jelaslah bahwa keterlibatan semua stakeholder seperti diungkapkan oleh Yamin (2006) menjadi faktor penentu untuk keberhasilan pelaksanaan kurikulum; artinya bahwa agen kurikulum tidak hanya ada di tingkat sekolah, dinas pendidikan dan Depdiknas saja, namun harus tersebar luas pada semua lembaga seperti LPTK, komite sekolah/dewan pendidikan, organisasi profesi, dan lembaga lainnya. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pada dasarnya tahap sosialisasi telah dilaksanakan dengan baik, dengan nilai pfh=79,29% (masuk dalam kategori berubah). Artinya, proses dan tahap sosialisasi kurikulum yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Mataram terhadap guru-guru SMA Negeri se-Kota Mataram sudah terlaksana dengan baik. Terkait dengan sosialisasi Jamal (2008) melaporkan bahwa para guru mendapatkan pengetahuan tentang kurikulum baru baik melalui kegiatan formal (pelatihan) maupun dengan cara lain (informal) dengan tingkat pemahaman yang tidak berbeda signifikan pada kedua cara tersebut. Sementara itu hasil survei terkait dengan sikap guru terhadap perubahan kurikulum adalah cukup baik (Pfh=65,54 %). Artinya, responden telah menunjukkan perubahan sikap (positif) terkait dengan pemberlakuan kurikulum baru. Perubahan sikap ini diindikasikan dari jawaban angket yang menggambarkan bahwa responden/ guru peduli terhadap perubahan dengan melakukan beberapa adaptasi. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh responden adalah dalam hal seperti
40 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
Tabel 2: Persentase Perubahan Kinerja Guru MIPA No
Indikator
1
Kesiapan Guru
2
3
4
5
Perencanaan pembelajaran
pengembangan silabus (oleh tim guru atau MGMP) Penerapan silabus dalam proses pembelajaran di kelas Proses Evaluasi
Deskriptor A. B.
Pertukaran informasi Sikap guru dengan adanya pemberlakuan kebijakan yang baru C. Identifikasi kebutuhan pembelajaran D. Perumusan silabus E. Penyusunan silabus F. Penyusunan alat-alat evaluasi G. Pemilihan materi H. Penetapan Jam Semester I. Penetapan SKBM J. Proses pembuatan Rencana Pembelajaran. K. Proses Pembelajaran di kelas L. Proses pembuatan alat evaluasi M. Proses pelaksanaan evaluasi N. Proses pemberian nilai
usaha untuk memahami standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) yang selanjutnya berubah lagi menjadi kriteria ketuntasan minimal (KKM), dan lain-lain serta adanya perubahan format dalam pembuatan RPP. Pada aspek kinerja guru dalam perencanaan pembelajaran nilai Pfh rata-rata adalah 51,80%. Jawaban dari angket yang dominan terpilih adalah opsi “pernah” yang artinya responden merasa sedikit terganggu dengan pemberlakuan kurikulum baru. Resistansi ringan seperti ini wajar terjadi pada setiap kali terjadi perubahan dari sesuatu yang telah ada (dianggap mapan). Hasil ini juga mengindikasikan bahwa diperlukan waktu bagi para responden untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi; misalnya, keharusan bagi guru untuk membuat perangkat evaluasi yang sesuai dengan kurikulum baru, cara pembuatan RP/RPP, proses pelaksanaan pembelajaran sampai dengan proses penilaian. Hasil analisis ini senada dengan yang dilaporkan oleh Jamal (2008) bahwa terjadi penurunan kinerja para guru dari pemahaman kurikulum keimplementasinya di kelas; keadaan ini disebabkan antara lain oleh intensitas pelatihan yang kurang, jumlah siswa per kelas yang besar, dan minimnya fasilitas pendukung.
No. Soal
pfh (%)
1-3 4,5
79,05 65,54
6,7
72,30
8 9-11 12
41,22 54,50 39,19
14-16 22
62,16 51,35
13 17,18
39,19 50,68
19,20,21, 23 24,25
61,99
26
43,24
27,28
59,12
pfh rata-rata perindikator 72,29
Tingkat Perubahan Berubah
51,80
Cukup berubah
50,90
Cukup berubah
56,34
Cukup berubah
50,56
Cukup berubah
49,32
Pengembangan silabus bukan merupakan hal baru bagi para guru, karena pada Kurikulum 1994 pun mereka telah diharuskan untuk membuat Satuan Pelajaran (SP), Rencana Pelajaran (RP) dan Analisis Materi Pelajaran (AMP), namun perangkat tersebut dibuat dengan format yang baku atau sama, dan ditentukan secara terpusat tanpa mempertimbangkan kemampuan daerah. Ciri khas dari kebebasan daerah hanya diberikan pada pengembangan muatan lokal saja. Struktur pada KBK dan KTSP agak berbeda karena memiliki format yang lebih fleksibel. Dalam format seperti itu guru dituntut untuk mampu mengembangkan silabus sesuai dengan kebutuhan dan sumberdaya yang dimiliki oleh sekolah maupun daerah (Tiar, 2007). Pengembangan silabus yang dimaksud dalam instrumen penelitian terbagi dalam tiga bagian; yaitu pemilihan materi, penetapan jam semester, dan penetapan SKBM/KKM. Hasil analisis pada aspek pengembangan silabus menunjukkan nilai Pfh rata-rata 50,90%, dengan rincian pemilihan materi 62,16%, penetapan jam semester 51,35%, dan penetapan SKBM 39,19%. Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum kinerja responden/guru masuk dalam kategori cukup berubah. Perubahan ini diartikan sebagai reaksi responden/guru cukup positif terhadap
41 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
kebebasan bagi guru dan sekolah dalam mengembangkan silabus dan menetapkan indikator pembelajaran sendiri. Hasil analisis pada aspek perubahan kinerja guru yang berhubungan dengan proses pembelajaran (implementasi kurikulum) adalah 56,34%. Artinya, proses pengembangan silabus diikuti/diteruskan secara baik dengan pelaksanaan pembelajaran. Keadaan ini bertolak belakang dengan temuan yang dilaporkan oleh Jamal (2008) bahwa tingkat implementasi kurikulum kurang baik. Jika dianalisis lebih lanjut maka didapatkan bahwa adanya ketentuan untuk melakukan pengukuran ketuntasan belajar siswa memberikan kontribusi positif terhadap kinerja guru, misalnya dalam penyusunan/pengembangan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Kelengkapan sarana dan prasarana sebagai penunjang proses pembelajaran dirasakan sedikit menggangu kinerja guru dalam menciptakan proses pembelajaran siswa aktif. Situasi ini terkait dengan ketersediaan waktu dan kelengkapan alat/bahan sebagai media pembelajaran. Alokasi waktu tidak mencukupi jika dilaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi atau praktikum karena keterbatasan peralatan. Lebih-lebih data yang didapat dari lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar SMA Negeri di Mataram tidak memiliki laboran khusus yang dapat membantu untuk mempersiapkan praktikum. Selain itu pendapat responden juga mengindikasikan bahwa adanya Ujian Nasional (UN) kurang men-dukung pengembangan proses pembelajaran yang baik. Kebijakan UN ini memaksa para guru untuk mengefektifkan waktu dalam menyelesaikan materi yang disampaikan dan mengulangnya dari awal melalui latihan soal, terutama pada kelas XII, bukannya memfokuskan perhatian untuk mengembangkan proses pembelajaran yang bermutu seperti tuntutan kurikulum. Evaluasi merupakan salah satu tahapan akhir dalam suatu proses pembelajaran. Proses ini merupakan patokan dan gambaran dari apa yang telah dikerjakan baik oleh guru maupun siswa. Hasil angket untuk mengukur kinerja guru yang berhubungan dengan proses pembuatan alat evaluasi menunjukkan Pfh= 50,56%. Pengembangan alat evaluasi yang mengharuskan adanya penilaian dengan memperhatikan beberapa aspek sekaligus (seperti aspek kognitif, afektif dan psikomotorik) cukup membuat kinerja para guru berubah. Namun, hasil analisis
juga menunjukkan bahwa sebagian responden masih melakukan pola lama yaitu mengambil contoh alat evaluasi dari contoh silabus yang telah ada. Situasi ini dapat dimaklumi karena penilaian yang mengharuskan guru untuk menilai ketiga aspek ini masih baru, yang diberlakukan sebagai produk dari KBK dan KTSP. Menurut responden, aspek afektif dan psikomotorik yang penilaiannya membutuhkan pengamatan merupakan hal yang agak sulit untuk dilakukan. Hal ini cukup beralasan karena selain faktor penilaian yang bersifat subjektif, jumlah siswa dalam kelas (kelas gemuk) dan terbatasnya waktu yang tersedia untuk melaku-kan evaluasi secara maksimal juga dirasakan sebagai faktor penghambat bagi guru. Lebih jauh responden juga mengindikasikan adanya kesulitan untuk melakukan pengamatan pada tugas siswa. Kesulitan ini mudah dipahami karena diperlukan keahlian guru untuk membahasakan aspek penilaian yang bersifat teramati menjadi sesuatu yang dapat dinilai/ternilai (Farid, 2006). Faktor lain yang dirasakan memberatkan guru, terkait dengan proses evaluasi, adalah penggunaan portofolio; yaitu tugas yang berhubungan dengan hasil tulisan siswa baik berupa Lembar Kerja Siswa (LKS), laporan kegiatan/ praktikum ataupun karya tulis yang lain. Alasan yang dikemukakan responden menunjukkan bahwa penilaian dengan cara portofolio membutuhkan waktu yang lama, baik dalam mempersiapkan ataupun dalam pemeriksaan akhir. Semestinya penilaian model portofolio dapat membantu guru untuk melihat keaktifan siswa, paling tidak membantu penilaian untuk aspek pskimotorik dan kognitif siswa. Adanya ketentuan penetapan Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) dalam menentukan ketercapaian kompetensi dasar, yang kemudian dipakai sebagai dasar untuk menentukan perlu tidaknya tindakan remedi cukup berpengaruh positif terhadap kinerja guru. Artinya, dengan adanya keharusan guru untuk membuat SKBM, maka akan mempermudah guru untuk menentukan tindakan remedi pada siswa pada setiap kompetensi dasar yang belum tercapai. SIMPULAN DAN SARAN
Hasil analisis data yang terkumpul menunjukkan bahwa perubahan kurikulum yang terjadi pada kurun waktu kurang lebih sepuluh tahun terakhir telah direspon cukup baik oleh
42 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 1, SEPTEMBER 2008
para guru MIPA di SMA Negeri se-Kota Mataram. Respon yang dimaksud adalah terjadinya perubahan sikap yang meliputi aspek perencanaan pembelajaran, pengembangan silabus, pelaksanaan pembelajaran, dan proses evaluasi. Meskipun usaha sosialisasi oleh pemerintah dan sekolah terhadap adanya kebijakan baru yang diluncurkan dapat dilakukan dengan baik, namun dampak perubahan kurikulum tergolong masih belum memenuhi harapan seperti seharusnya. Beberapa kendala yang mengakibatkannya antara lain adalah minimnya sarana dan prasarana sekolah, aspek penilaian yang belum sinkron dengan kemampuan dan beban guru, serta kebijakan standarisasi mutu pendidikan yang berbentuk Ujian Nasional seperti sekarang ini. Untuk mengeliminasi beberapa kendala yang terungkap pada penelitian ini maka disarankan bahwa sebelum kurikulum diterapkan, selain faktor sosialisasi, terdapat faktor lain yang seharusnya terlebih dahulu dilakukan; yakni pengembangan sumber daya guru, khususnya dalam hal berbagai ketrampilan yang terkait, dan penyiapan sarana penunjang pelaksanaan pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Farid, H.N, 2006. Penilaian Sistem KBK Merepotkan Guru, http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0904/06/0309. Jamal, H. 2008. Kinerja Guru Dalam Mengadopsi Inovasi Kurikulum:Kasus KBK pada SMA Negeri di Provinsi Jambi, http://www.puslitjaknov.org/data/file/200 8, diakses: 30 April 2009. Mulyasa, E, 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Soekisno. Bambang R, 2007. Bagaimanakah Perjalanan Kurikulum Nasional (Pada Pendidikan Dasar dan Menengah), http://www.Rbaryans.wordpress.com, diakses: 10 Maret 2008 Sugiyono, 1999. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Tiar, 2007. Perkembangan Kurikulum di Indonesia, http//www. Si-jeddah.com, diakses: 3 Maret 2008. Undang - Undang No.20 / 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI No. 23/2004 tentang Otonomi Daerah Yamin, M., 2006. KBK: Antara Harapan dan Kenyataan, Wajah Pendidikan Indonesia, http://www.id.edublog.org, diakses: 30 April 2009. Zaidun, F., 2003. "Sikap Profesional Guru Kimia Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Kimia di SMU Se-Kota Mataram Tahun Ajaran 2002/2003" Skripsi UNRAM, Mataram.