PERTANIAN : KENAPA MASIH TERABAIKAN? Oleh: Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis (MB-IPB) Pertanian memiliki peranan yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang.
Xenophon, filsuf dan
sejarawan Yunani yang hidup 425-355 SM meyakini bahwa “Agriculture is the mother and nourishes of all other arts. When agriculture is well conducted, all other arts prosper; when agriculture is neglected, all other arts decay, on the land and on the sea”. Pertanian adalah ibu dari segala budaya. Jika pertanian berjalan dengan baik, maka budaya-budaya lainnya akan tumbuh dengan baik pula, tetapi manakala sektor ini diterlantarkan, maka semua budaya lainnya akan hancur, baik di darat dan di lautan. Pada bulan Agustus yang lalu, saya sempat ke Taiwan mempelajari kebijakan pembangunan pertanian di negara ini. Sektor pertanian sangat dilindungi, diperlakukan sebagai ibu dari segala budaya. Para pengambil kebijakan di negara ini menganggap bahwa pertanian mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi mereka. Keyakinan mereka antara lain dinspirasi oleh filsuf terkenal Lao Tze, yang hidup sekitar 600 tahun SM. Ia mengatakan bahwa “There is nothing more important than agriculture in governing people and serving the Heaven”, Tidak ada suatu pun yang lebih penting di dunia ini selain pertanian, jika ingin masuk surga. Walaupun keyakinan dua filsuf besar Xenophon dan Lao Tze telah berusia lebih dari dua milenium, pernyataan ini masih sering terdengar sampai sekarang. Di banyak negara, pernyataan ini masih dipegang, termasuk di negara-negara yang industrinya sudah demikian maju. Bahkan banyak yang meyakini prinsip bahwa tidak ada negara maju yang pertaniannya tidak kuat. Mereka meyakini bahwa pertanian tetap menjadi penyedia sumber utama bahan mentah dan makanan, penyedia lapangan pekerjaan dan penyedia devisa. Jika pendapatan (daya beli) para petani meningkat, hal ini merupakan sumber permintaan bagi produk-produk industri dan jasa dalam negeri. Mengingat pertanian
1
merupakan penyedia bahan makanan, maka ketersediaan pangan menjamin stabilitas sosial dan politik. Keamanan pangan menjamin ketahanan bangsa dan negara. Pertanian Belum Diperlakukan Sebagai Ibu Segala Budaya Banyak bukti empiris yang justru menunjukkan bahwa sektor pertanian yang mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa ternyata belum mendapatkan perhatian yang selayaknya. Malahan di banyak negara berkembang sektor ini diremehkan (underestimated). Dalam peradigma ekonomi pembangunan kita mengenal paradoks pembangunan (development paradox) yang sangat mengganggu. Di satu pihak, negaranegara maju yang mengandalkan industri sebagai motor pertumbuhan ekonomi pada umumnya memproteksi para petaninya, yang nota bene hanya sedikit jumlahnya. Di lain pihak. negara-negara berkembang yang perekonomiannya masih berbasiskan pertanian justru kebijaksanaan ekonominya tidak ramah terhadap sektor pertanian (biased against the agricultural sector). Ketidakramahan kebijaksanaan terhadap sektor pertanian inilah yang menyebabkan sektor ini tidak dapat berperan banyak sesuai dengan potensi yang seharusnya dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa. Ada banyak cerita keberhasilan tentang pertanian sebagai mesin pertumbuhan awal dalam proses pembangunan dan tentang pertanian sebagai kekuatan utama dalam pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan pertanian juga merupakan perintis jalan bagi percepatan pertumbuhan industri, persis seperti revolusi pertanian mendahului revolusi industri yang menyebar di hampir seluruh penjuru dunia mulai dari Ingrris pada pertengahan abad ke18 hingga Jepang pada akhir abad ke-19. Pertanian juga menawarkan peluang bisnis yang menarik, terutama produk-produk bernilai tinggi bagi pasar domestik, seperti misalnya susu, daging, telur, sayur mayur, akuakultur, jagung untuk pakan ternak, tebu atau kelapa sawit untuk bahan bakar nabati. Suatu hal yang ironis bahwa tiga dari empat orang miskin di negara-negara berkembang tinggal di wilayah perdesaan. Jumlahnya masih sangat besar, sekitar 880 juta penduduk. Sebagian besar penduduk miskin ini bergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian mereka, langsung atau tidak langsung. Mengingat jumlah penduduk miskin yang masih
2
besar jumlahnya di negara-negara berkembang, sekali lagi membuktikan bahwa pertanian belum diperlakukan sebagai layaknya ibu dari segala budaya. Beberapa kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang yang seringkali tidak bersahabat dengan sektor pertanian adalah (a) kebijakan pemerintah yang bersifat “double squeeze”, (b) kebijakan pemerintah yang bersifat “price scissors”, (c) salah mengartikan proses perubahan struktural dalam perekonomian, dimana sumbangan relatif sektor pertanian dalam GDP semakin lama semakin menurun, (d) belanja publik yang belum memadai dan (e) adanya penurunan bantuan donor bagi sektor pertanian dan pembangunan perdesaan. Saya telah menguraikan dengan lebih rinci kelima fenomena tersebut, yang melandasi adanya sikap agripesimisme terhadap sektor pertanian dalam tulisan saya di TROBOS edisi bulan yang lalu. Kembali Ke Pertanian Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report/WDR) terbaru, yang bertemakan ”Agriculture for the Development” menyatakan bahwa investasi yang lebih besar dan lebih baik dalam bidang pertanian di negara-negara berkembang, yang sebagian besar berada di Asia, merupakan langkah vital dan stratejik bagi kesejahteraan 600 juta penduduk miskin yang hidup di negara-negara tersebut. Negara-negara berkembang diperkirakan akan sulit mencapai targetnya untuk mengurangi sampai setengah penduduk dunia dari tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah pada tahun 2015, kecuali jika sektor pertanian dan pedesaan tidak diabaikan. Pertumbuhan pertanian berdasarkan penelitian-peneltian yang sangat ekstensif (lebih dari 700 studi) sangat diyakini masih merupakan cara paling efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin di perdesaan. Sebenarnya kinerja sektor pertanian Indonesia saat ini dapat dikatakan baik. Kita berhasil mencapai kembali swasembada beras pada tahun 2008. Tetapi banyak hal yang masih harus dikerjakan mengingat kita masih mengimpor bahan dan produk pangan (antara lain susu, daging sapi, gandum, jagung dan kedelai) yang sangat besar sekitar Rp 50 trilyun rupiah. Untuk lebih meningkatkan kinerja pertanian ke depan, maka peningkatan investasi dan iklim investasi merupakan faktor yang sangat krusial yang harus segera
3
ditangani secara serius. Peningkatan investasi untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri, memperbaiki tataniaga pertanian, memperkuat stok penyangga merupakan suatu keharusan. Pertanian kita tidak tumbuh dengan baik dan berkelanjutan jika infrastruktur, transportasi, pendidikan, perbankan, energi, tidak berkembang. Pertanian sulit maju dalam lingkungan iklim investasi yang tidak kondusif dan tidak mendukung. Menurut WDR, di dunia ini ada tiga kelompok negara, yaitu Agricultural based countries (ABC), Transforming countries (TC) dan Urbanized countries (UC). Indonesia dikelompokkan sebagai transforming countries. Indonesia, sebagai negara transforming countries, dicirikan dengan adanya fakta bahwa sebagian besar petani menggarap kurang dari setengah hektar lahan dan hasil panen tradisional hanya menyediakan sedikit peluang penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan. Strategi baru yang seyogyanya diadopsi oleh Pemerintah kita adalah perubahan orientasi pembangunan pertanian yang selama ini terfokus pada tanaman dan ternak bernilai rendah (low-value commodities) ke yang bernilai tinggi (high-value commodities), dari orientasi pasar domestik ke pasar internasional, dari pertanian ke agroindustri dan sektor non-pertanian (agribisnis) di pedesaan yang menciptakan nilai tambah (value added) yang lebih tinggi. Kehidupan para petani tradisional dapat ditingkatkan dengan meningkatkan produktivitas yang membutuhkan investasi besar dalam perbaikan infrastruktur pertanian, pengelolaan lahan dan air serta penelitian pertanian. Hal ini juga membutuhkan peningkatan iklim investasi untuk sektor pertanian dan agribisnis. Laporan Bank Dunia tersebut sebenarnya mempertegas kesadaran kita bahwa sektor pertanian dapat dijadikan sektor andalan perekonomian bagi Indonesia yang kaya dengan sumberdaya alam. Rekomendasi Bank Dunia juga sejalan dengan keyakinan kita selama ini bahwa Indonesia perlu merevitalisasi pertanian untuk menciptakan pembangunan yang menciptakan pertumbuhan sekaligus pemerataan (growth with equity). Pertumbuhan pertanian yang berkelanjutan membutuhkan dukungan investasi yang lebih baik dan lebih besar. Selama ini pembangunan pertanian kita tidak ditopang dengan tingkat investasi yang memadai (under investment). Bahkan investasi di bidang pertanian yang sangat terbatas tersebut dialokasikan secara tidak benar pula (mis-investment).
4
Last but not the least, percayalah, jika semua bersatu padu memajukan pertanian, sektor lain juga akan maju. Seperti kata Xenophon, “when agriculture is well conducted, all other arts prosper; when agriculture is neglected, all other arts decay”. Kembali ke khitah sebagai negara pertanian yang kuat merupakan kunci keberhasilan pembangunan ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi, pencipataan lapangan pekerjaan sekaligus mengurangi kemiskinan di perdesaan.
5