JURNAL ILMIAH RANGGAGADING Volume 8 No. 1, April 2008 : 67 - 77
PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DAN UPAYA PENCEGAHAN KORUPSI Oleh: Sjahruddin Rasul
ABSTRACT Performance monitoring in care of performance measurement system makes up an extremely important thing and constitutes unseparated part of good management cycle. Performance information as yield of the application of good performance measurement system at government agency brings in transparent accountability on public fund using by means of targets achievement of non-finance performance indicator fixed before. In this case, a good performance accountability system will relate public fund using with benefit enjoyed by society. Performance monitoring in care of performance indicators and analysis on inter-relation of the indicators mentioned above, namely economical, efficiency, effectiveness, equity, and excellency carried out continuously will be able to prevent negative desire and opportunity of government apparatus to corrupt. In other words, Performance Accountability System of Government Agency by means of its parameter, that is performance indicators, will be able to prevent authority abuse that cause corruption if carried out properly. Keywords: Good governance; Clean governance; Corruption prevention; Accountability; Regional Autonomy.
PENDAHULUAN Tata kepemerintahan yang baik (good governance) sering kali disandingkan dengan pemerintah yang baik dan bersih (clean government). Seperti halnya pada awal perubahan di Indonesia pada tahun 1998, gerakan reformasi di segala bidang menghendaki adanya good governance dan clean government. Untuk mencapai tujuan antara tersebut dalam rangka menuju tujuan akhir negara ini diperlukan reformasi di sektor publik sehingga dapat tercipta good governance dan clean government. Sebenarnya apabila dilihat kembali kebelakang, Isu akan adanya tata kepemerintahan yang baik (good governance) mulai bergulir di akhir dekade 1980-an yang dipicu antara lain dengan runtuhnya tembok Berlin, kemiskinan di negara-negara Eropa Timur, Afrika, dan Asia, yang pada gilirannya telah memicu kesadaran masyarakat banyak
(khususnya di Eropa) akan perlunya pengelolaan politik dan ekonomi yang lebih baik. Menurut pandangan berbagai masyarakat dunia yang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik, sendi-sendi good governance meliputi : (1) kebijakan sosial dan ekonomi yang baik, (2) pengambilan keputusan yang demokratis, (3) transparansi pengelolaan pemerintahan, (4) pertanggungjawaban keuangan yang baik, (5) pengelolaan lingkungan ekonomi yang bersahabat dengan pasar, (6) hak azasi manusia, kebebasan pers, dan kebebasan ekspresi masyarakat. Berdasarkan definisi UNDP, governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sector swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat), yang saling berinterakasi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan
RASUL, Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Upaya Pencegahan Korupsi
pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik, termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Berdasarkan konsep-konsep good governance di atas, UNDP kemudian mengajukan sembilan karakteristik good governance yang saling terkait dan melengkapi, yaitu: 1.
Participation: Peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam memformulasikan kebijakan publik. 2. Rule of Law: Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. 3. Transparency: Informasi publik harus terbuka dan mudah diperoleh serta dipahami oleh masyarakat umum. 4. Responsiveness: Entitas publik harus mampu melayani semua stakeholdersnya. 5. Consensus Orientation: Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur. 6. Equity: Semua warganegara tidak terkecuali mempunyai kesempatan untuk meningkatkan dan menjaga kesejahteraan mereka. 7. Effectiveness and Efficiency: Entitas publik harus mampu menghasilkan sesuai dengan yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia sebaik mungkin. 8. Accontability: Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan stakeholders lainnya. 9. Strategic Vision: Para pemimpin entitas publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan sumber daya manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini. Atas dasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat. Oleh karena good governance meliputi sistem 68
administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh. Fakta menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, organisasi pemerintahan di seluruh dunia ‘beramai-ramai’ mentransformasi manajemen pemerintahan. Reformasi tersebut tidak hanya terjadi pada negara-negara maju, seperti: USA, Canada, negara-negara Eropah, New Zealand dan Australia tetapi juga meliputi negara-negara berkembang di benua Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Pada prinsipnya, transformasi manajemen pemerintahan meliputi berbagai aspek, mulai dari penataan kelembagaan (Institutional Arrangement), reformasi kepegawaian (Civil Servant Reform), reformasi atas pengelolaan keuangan negara (New Financial Management Reform) sampai kepada reformasi sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (The New Public Sector Accountability Reform). Transformasi manajemen pemerintahan (popular juga sebagai ’The New Public Management’) tersebut meliputi berbagai aspek, mulai dari penataan kelembagaan (Institutional Arrangement), reformasi kepegawaian (Civil Servant Reform) sampai kepada reformasi pengelolaan keuangan negara (New Financial Management Reform). Sebagai contoh, dalam reformasi administrasi publik terdapat kesamaan kecenderungan dari negara-negara tersebut di atas untuk menerapkan pola praktik manajemen stratejik termasuk sistem penganggaran berbasis kinerja dan akuntansi berbasis akrual secara double entry. Ringkasnya terdapat berbagai alasan yang menjadi latar belakang perubahan manajemen pemerintahan tersebut, antara lain: 1. Akuntabilitas yang tidak jelas, baik mencakup apa, mengapa, bagaimana maupun kepada siapa harus berakuntabilitas; 2. Tujuan dan sasaran-sasaran stratejik unitunit pemerintah cenderung untuk ditetapkan secara mengambang (umumnya tidak spesifik dan terukur); 3. Insentif cenderung menciptakan prilakuprilaku korup, seperti: dorongan untuk menghabiskan seluruh saldo anggaran pada saat-saat akhir periode anggaran;
Jurnal Ilmiah Ranggagading, Vol. 8 No. 1, April 2008
4.
Asset-asset pemerintah yang dipindahtangankan ke pihak ketiga (privatisasi) tanpa standar perlakuan yang jelas; 5. Defisit dan akumulasi jumlah hutang yang dikaburkan oleh sistem akuntansi berbasis kas; 6. Daya respons aparat yang umumnya cenderung lambat dalam menyikapi perubahan lingkungan. Agar implementasi good governance dapat secara efektif dapat mencapai apa yang diidam-idamkan masyarakat dunia, maka diperlukan komitmen dari semua pihak yang terkait, baik dari aparat pemerintah maupun dari masyarakat yang menjadi pelaku utama perekonomian dan pembangunan, sehingga akan tercipta penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggung jawab kepada publiknya. Oleh karena banyaknya pihak yang terlibat, maka koordinasi diantara sesamanya menjadi hal yang signifikan untuk mencapai tujuan tujuan dan sasaran sasaran sebagai implementasi dari pernyataan misi. Disamping itu perlu juga dipersiapkan moral dan keberanian untuk bertindak benar dan terbuka dalam menghadapi beragam permasalahan. Akuntabilitas dan Otonomi Daerah Secara konseptual, akuntabilitas publik senafas dengan semangat dari UU No. 22/1999 yang mentransformasi sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik. Pemerintahan desentralistik ini memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas dan akuntabel, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Penyusunan customer-driven strategic planning sebagai manifestasi otonomi daerah yang luas dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri, atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman wilayahnya. Sementara itu, pemerintah daerah yang akuntabel diwujudkan dalam penyampaian Laporan Pertanggungjawaban yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani dalam berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai-nilai good governance yang akan melahirkan nilai demokrasi dan sikap
keterbukaan, kejujuran, keadilan, berorientasi kepada kepentingan rakyat serta bertanggungjawab kepada rakyat. Dalam penjelasan Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, antara lain dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban pemerintah daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Propinsi, sedangkan dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah, di daerah Kabupaten dan Kota, Bupati atau Wali Kota bertanggung jawab kepada DPRD dan berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Dikaitkan dengan kinerja pemerintahan, maka baik pemerintah propinsi, kabupaten dan kota tetap berkewajiban untuk memberikan akuntabilitasnya secara berjenjang kepada presiden. Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD pada prinsipnya merupakan kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjelaskan kinerja penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat. Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD tidak semata-mata dimaksudkan sebagai upaya untuk menemukan kelemahan pelaksanaan pelaksanaan pemerintahan daerah melainkan juga untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, produktifitas dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta fungsi pengawasan DPRD terhadap jalannya pemerintahan. Sebagai tindak lanjut tata cara pertanggungjawaban Kepala Daerah ini, pemerintah telah mengeluarkan PP 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dan PP 108 tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Pada dasarnya kedua peraturan pemerintah ini mengatur ketentuan-ketentuan umum tentang tata cara pertanggungjawaban kepala daerah dan bentuk pertanggungjawaban keuangan daerah. Kedua PP tersebut juga mengisyaratkan adanya upaya untuk meningkatkan pertanggungjawaban kepala daerah yang tidak hanya melulu kepada jumlah uang atau sumber daya yang telah dibelanjakan (input oriented), akan tetapi lebih 69
RASUL, Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Upaya Pencegahan Korupsi
menitikberatkan pertanggungjawaban tersebut pada upaya pencapaian hasil kerja (outcome) dan atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Pada beberapa negara bagian di Amerika Serikat, Canada, Inggris, Australia dan Selandia Baru terdapat beberapa istilah untuk laporan pertanggungjawaban ini, seperti annual report, Performance Report dan accountability report. Namun demikian, bila dicermati terdapat kesamaan dalam susunan format dan isi laporan tersebut, yaitu terdiri dari financial report dan non financial/Performance Report. Laporan non financial mempunyai dua tujuan. Pertama, laporan ini merupakan bentuk pertanggungjawaban (accountability) atas capaian kinerja seperti yang disyaratkan oleh Government Accountability Act. Laporan ini menyajikan perbandingan antara tujuan yang telah ditetapkan dalam Government Business Plan atau Strategic Plan dengan hasil/result yang telah dicapai. Kedua, laporan ini membantu pihak eksekutif untuk meningkatkan kualitas program dan layanan kepada masyarakat. Melalui pengukuran dan penelusuran atas hasil/result, kita dapat melihat program apa yang telah dilaksanakan dengan baik dan program apa yang tidak. Dengan adanya laporan non financial ini maka pemerintah daerah sudah melaksanakan salah satu syarat adanya akuntabilitas kinerja terhadap pelaksanaan program dan kegiatan dalam setiap periodenya. Pengertian Akuntabilitas Kinerja Akuntabilitas kinerja merupakan suatu sistem yang membentuk suatu siklus yang dimulai dari proses penetapan visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi yang akan dicapai yang tercantum dalam perencanaan stratejik organisasi; pelaksanaan tugas dan penetapan pengukuran kinerja; pengumpulan data untuk menilai kinerja; menganalisis, mereviu dan melaporkan data kinerja; serta menggunakan data kinerja untuk memperbaiki kinerja organisasi pada periode berikutnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa akuntabilitas kinerja merupakan suatu proses yang hidup yang memerlukan peninjauan dan perbaikan terus menerus sehingga tidak berhenti pada satu titik disebabkan kondisi organisasi baik internal maupun eksternal yang
70
terus berkembang baik pada masa kini maupun masa mendatang. Keluaran utama dari sistem akuntabilitas kinerja adalah Laporan Akuntabilitas Kinerja. Laporan ini sangat penting untuk digunakan sebagai umpan balik bagi para penyelenggara pemerintah. Laporan akuntabilitas kinerja memuat informasi yang relevan bagi para pengguna laporan tersebut yaitu para pejabat atau unsur pimpinan eksekutif pemerintah, unsur pengawasan, dan unsur perencanaan. Informasi yang dimaksud tidak hanya bersifat masa lalu (historical), akan tetapi juga mencakup status masa kini, dan bahkan masa mendatang. Informasi kinerja yang dikandung dalam laporan akuntabilitas kinerja ini memiliki dua fungsi utama. Pertama, informasi kinerja ini disampaikan kepada publik sebagai bagian dari pertanggungjawaban penerima amanat kepada pemberi amanat. Kedua, informasi kinerja yang dihasilkan dapat digunakan oleh publik maupun penerima amanat untuk memicu perbaikan kinerja pemerintah. Melalui akuntabilitas kinerja akan dapat dinilai kinerja instansi pemerintah baik jangka pendek (tahunan) maupun dalam kaitan tujuan jangka panjangnya. Dengan demikian akan tumbuh suatu kondisi dimana semua organisasi pemerintah akan merasakan kebutuhan yang mendasar akan informasi kinerja organisasinya melalui mekanisme akuntabilitas kinerja. Tanpa akuntabilitas kinerja dan evaluasinya, tidak mungkin diketahui secara tepat peta permasalahan dan tindakan-tindakan tepat bagaimana yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka terdapat beberapa perubahan terhadap peraturan pemerintah mengenai pertanggungajawaban kinerja dan keuangan. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Bagaimana dengan Peraturan Pemerintah No.
Jurnal Ilmiah Ranggagading, Vol. 8 No. 1, April 2008
108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah?. Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2000 merupakan produk peraturan perundangan yang lahir sesuai dengan permintaan pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Dengan demikian, sesuai dengan perubahan terhadap undang-undang tersebut maka terdapat kemungkinan akan adanya perubahan terhadap Peraturan Pemerintah yang terkait dengan perubahan tersebut. Pertanyaan berikutnya yang tidak kalah menariknya dengan pertanyaan pertama di atas adalah bagaimana dengan pertanggungjawaban berdasarkan kinerja sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2000? akankah terjadi perubahan terhadap kebijakan pertanggungjawaban berdasarkan kinerja tersebut?. Mengenai laporan pertanggungjawaban yang disebut dengan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) memiliki beberapa karakteristik yaitu: 1.
2.
Merupakan media pelaporan guna menyempurnakan sistem manajemen kepemerintahan; Penyusunan laporan keterangan pertanggunggjawaban merupakan salah satu kewajiban dari Kepala Daerah sesuai dengan permintaan undang-undang. Selain itu, sesuai dengan siklus manajemen pemerintahan yang dimulai dengan perencanaan dan diakhiri dengan pelaporan maka laporan keterangan pertanggunggjawaban juga merupakan media akhir guna menutup siklus manajemen dalam setiap periodenya. Pada media inilah, kepala daerah dapat menyampaikan pelaksanaan program dan kegiatannya yang diikuti dengan hasil-hasil yang telah dicapai pada suatu periode. harus bermanfaat sebagai media untuk evaluasi kinerja pemerintahan daerah; Dengan dilaporkannya hasil-hasil pembangunan dalam bentuk indikatorindikator kinerja baik berupa output maupun outcome sebagai hasil pelaksanaan program dan kegiatan maka menyediakan dasar bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan daerah
pada periode yang bersangkutan. Tanpa adanya informasi kinerja tersebut akan sulit diharapkan untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan daerah karena laporan keuangan saja tidaklah cukup untuk dapat memberikan gambaran mengenai kinerja pemerintahan daerah. 3.
media penting akuntabilitas keuangan dan kinerja kepada daerah; Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah merupakan kombinasi dari laporan kinerja non-keuangan dan laporan keuangan daerah. Dengan demikian secara komprehensif dapat dilihat pencapaian kinerja suatu daerah berdasarkan anggaran yang telah dihabiskan untuk satu periode. Pelaporan kinerja non-keuangan dan keuangan sangatlah penting karena masyarakat tidak hanya puas dengan laporan yang hanya menyebutkan kegiatan yang telah dilaksanakan dan anggaran yang telah dihabiskan. Tuntutan masyarakat adalah sampai sejauhmana pemerintah daerah telah dapat memberikan hasil yang nyata atau manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat karena pada dasarnya anggaran yang digunakan merupakan uang masyarakat yang dikumpulkan dalam bentuk APBD.
4.
harus berguna untuk perbaikan kinerja pemerintahan daerah; Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah juga harus dapat memberikan solusi terbaik bagai perbaikan terhadap kinerja pemerintahan daerah yang akan dilaksanakan pada periode berikutnya. Tanpa adanya alternatifalternatif solusi yang akan dilaksanakan sebagai bagian dari penyempurnaan kinerja maka laporan pertanggungjawaban tersebut juga tidak akan bermanfaat banyak bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
5.
harus berguna untuk perbaikan perencanaan dan kebijakan daerah. Pertanggungjawaban kepala daerah harus dapat memberikan alternatif-alternatif solusi kepada perbaikan kinerja pemerintahan daerah yang dimulai dengan perbaikan dalam perencaan dan kebijakankebijakan yang akan diberlakukan pada 71
RASUL, Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Upaya Pencegahan Korupsi
periode-periode berikutnya. Perbaikan di bidang perencanaan memang harus di mulai terlebih dahulu karena siklus manajemen pemerintahan daerah dimulai dengan bidang perencanaan. Tanpa adanya perencanaan yang baik maka terdapat kemungkinan kinerja pemerintahan daerah tidak dapat diharapkan akan tercapai dengan baik. Dari penjelasan karakteristik di atas dapat diambil simpulan umum bahwa laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah haruslah mengandung informasi-informasi kinerja yang memang menyentuh kepada permasalahan mendasar yang ada di masyarakat. Tanpa adanya informasi kinerja yang memadai maka terdapat kemungkinan laporan pertanggungjawaban tersebut kurang bermanfaat karena:
kinerja yang dicapai oleh pemerintah daerah sebagai hasil pelaksanaan program dan kegiatan yang disertai dengan alternatif-alternatif solusi kedepan bagi kinerja yang belum dapat dicapai dengan baik. Dengan berdasarkan alternatif solusi tersebut maka kepala daerah dapat mengambil keputusan yang terbaik yang akan dapat dilaksanakan pada periode berikutnya.
1.
tidak dapat berfungsi sebagai alat pengawasan dari DPRD Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (DPR/DPRD) antara lain adalah sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kinerja eksekutif. Fungsi tersebut tidak akan dapat dipergunakan apabila laporan eksekutif dalam hal ini kepala daerah tidak mengandung informasi-informasi kinerja baik berupa output atau outcome. Informasi kinerja sangat penting guna dapat memberikan gambaran kepada wakil rakyat sudah sejauhmana eksekutif memberikan manfaat dari anggaran yang telah diberikan untuk sejauhmungkin kesejahteraan masyarakat. Tidak ada dasar bagi DPR/D untuk melaksanakan fungsinya sebagai pengawas terhadap kinerja eksekutif apabila laporan kepala daerah hanya berisikan pelaksanaan kegiatan dan program tanpa disertai dengan hasil-hasil yang telah dicapai.
tidak dapat digunakan sebagai instrumen pemantauan (monitoring) pelaksanaan kebijakan daerah Tanpa adanya informasi kinerja yang memadai, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah tidak akan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai status atau posisi pemerintahan daerah pada suatu periode sebagai hasil pelaksanaan kebijakan yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanakaan pemerintahan. Kepala Daerah dipilih langsung oleh masyarakat sehingga bukan merupakan bawahan dari DPRD, dengan demikian DPRD tidak dapat secara langsung meminta pertanggungjawaban dari kepala daerah karena hubungan diantara keduanya bukanlah atasan dan bawahan. Kepala Daerah bertanggungjawab kepada masyarakat namun demikian masih dirasakan bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengetahui secara baik mengenai pengertian kinerja sehingga pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah belum dapat secara langsung dilaksanakan. Dalam kondisi demikian, masyarakat dapat memberikan kewenangan kepada perwakilannya di DPRD untuk mengawasi kinerja eksekutif tersebut sebagai suatu mekanisme check and balances terhadap pelaksanaan pemerintahan di daerah.
2.
tidak dapat dipergunakan untuk perbaikan kinerja Tanpa disertai dengan informasi kinerja yang memadai, laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah tidak dapat dipergunakan sebagai alat untuk melakukan perbaikan terhadap kinerja pemerintahan daerah. Perbaikan kinerja hanya dapat dilakukan apabila terdapat informasi kinerja yang berisikan capaian
Pencegahan Korupsi Melalui Penerapan Akuntabilitas Kinerja Dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sistem administrasi publik yang ada dan berjalan selama ini berada pada titik lemah karena terlalu memfokuskan terlaksananya suatu kegiatan atau program tanpa memperhatikan pola kemanfaatannya bagi masyarakat banyak Pelaporan yag dihasilkan
72
3.
Jurnal Ilmiah Ranggagading, Vol. 8 No. 1, April 2008
dari sistem semacam ini terfokus kepada pelaksanaan program dan kegiatan dari suatu unit instansi pemerintah tanpa memperhatikan kinerja sesungguhnya dari instansi tersebut dalam rangka pelayanannya kepada masyarakat. Tidak pernah ada pembandingan antara realisasi dari kegiatan dan program dengan rencana yang ditetapkan sebelumnya. Hal ini menyebabkan setiap kegiatan dan program yang telah dilaksanakan disebutkan berhasil tanpa memperlihatkan perbandingan dengan rencananya. Sistem pelaporan yang sedang berjalan juga terlalu memfokuskan kepada pencapaian kinerja keuangan. Berhasil atau tidaknya suatu unit instansi pemerintah dinilai dari berapa besarnya dana yang dapat diserap sehingga semakin besar dana yang dapat diserap maka semakin bagus kinerja unit yang bersangkutan. Penyerapan dana ini kemudian dibandingkan dengan anggaran yang telah ditetapkan sehingga didapatkan rasio-rasio penggunaan anggaran dalam suatu unit instansi pemerintah. Pemakaian dana yang mencapai 100 % dianggap cukup menunjukkan kinerja unit yang berangkutan dalam pelayanan kepada masyarakat. Dilain pihak unit kerja yang tidak dapat menyerap dana mendekati 100 % dianggap kurang mampu memanfaatkan dana yang ada sehingga kemungkinan besar akan mengalami pengurangan anggaran pada tahun berikutnya. Pelaporan hasil kegiatan dan program serta penyerapan dana tidak diikuti oleh pertanggungjawaban yang memadai dari manfaat yang dihasilkan dari penggunaan dana tersebut. Sebagaimana telah diketahui bahwa belum ada suatu indikator yang jelas mengenai manfaat yang seharusnya dihasilkan oleh danadana masyarakat yang telah dipergunakan oleh suatu instansi pemerintah. Belum adanya kewajiban untuk melaporkan pemanfaatan yang jelas dari penggunaan dana menyebabkan timbulnya kesempatan bagi aparatur pemerintah yang ingin melakukan penyimpanan dalam penggunaan dana. Dari kondisi inilah korupsi mulai terjadi sehingga merajalela sedemikian rupa sehingga sudah sulit untuk dibedakan apakah suatu penggunaan dana yang tidak sesuai dengan aturan dapat dikategorikan korupsi atau hanya suatu kesalahan prosedural belaka.
Hasil evaluasi yang dilaksanakan beberapa waktu lalu terhadap pelaksanaan pertanggungjawaban berbasis kinerja menunjukkan bahwa keselarasan perencanaan dalam rangka mengoptimalkan kinerja instansi pemerintah pada umumnya belum terbentuk dengan baik. Hal ini disebabkan oleh: 1.
Belum seluruh sasaran yang diinginkan dalam Propenas/Propeda/RPJMD dan berbagai indikator kinerjanya dituangkan atau diterjemahkan dalam Renstra pemerintah daerah. Hal ini mengakibatkan Renstra pemerintah provinsi/kabupaten/kota tersebut belum menampung seluruh amanah yang ditegaskan dalam Propenas/Propeda/RPJMD.
2.
Sasaran stratejik pada unit kerja pendukung belum seluruhnya menunjang pencapaian sasaran stratejik pemerintah provinsi/ kabupaten/kota. Selain itu, hasil evaluasi juga menunjukkan bahwa pada umumnya instansi pemerintah belum berhasil mewujudkan sasaran stratejik yang telah ditetapkan. Ketidakberhasilan instansi pemerintah mewujudkan sasaran stratejik ini antara lain disebabkan oleh Renstra yang lebih mengakomodasikan berbagai pelaksanaan kegiatan rutin saja, tidak menitikberatkan pada suatu sasaran yang penting dan stratejik yang didasarkan pada isu stratejik dan core area dari suatu instansi pemerintah. Berbagai kelemahan yang dikemukakan di atas akan menjadikan kendala bagi implementasi sistem AKIP ini yang pada akhirnya akan sulit untuk dapat mewujudkan good governance di Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sistem yang belum berjalan juga akan menimbulkan atau mengarah kepada penyalahgunaan wewenang dari yang seharusnya sehingga mengarah kepada korupsi. Sistem yang baik seharusnya memberikan suatu kejelasan kepada pengguna sehingga tidak diperlukan adanya suatu kontak yang terlalu tinggi antara aparatur dan masyarakat. Dalam kaitannya dengan permasalahan ini, pemerintahan daerah sudah seharusnya mencari suatu sistem manajemen yang dapat menjembatani antara kebutuhan masyarakat akan suatu pertanggungjawaban yang 73
RASUL, Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Upaya Pencegahan Korupsi
transparan dan memberikan manfaat yang jelas dari instansi pemerintah dengan kemampuan instansi pemerintah dalam memperlihatkan kinerjanya dalam rangka melayani masyarakat sebagai stakeholder-nya. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah haruslah dapat menunjukkan indikator-indikator kinerja yang baik dan tepat kepada sasaran yang telah ditetapkan semula. Dengan menggunakan indikator kinerja yang tepat dalam proses pencapaian suatu sasaran yang diinginkan diharapkan bahwa penyalahgunaan aset dapat diminimalisir. Indikator kinerja sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya terdiri dari Input, output, outcome, dan Impact. Analisa yang tepat dari penggunaan indikator-indikator ini dan mengaitkannya dengan ekonomis, efisiensi, efektifitas, equality dan excellency dalam memantau kinerja instansi pemerintah dapat mengurangi penggunaan aset yang tidak sesuai dengan ketentuan. Analisis tersebut sebaiknya dilakukan oleh setiap organisasi pemerintah melalui suatu sistem pengukuran kinerja yang baik. Contoh-contoh Indikator yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat tentang korupsi atas beberapa pelayanan publik yang seharusnya disediakan oleh pemerintah, 2. Persepsi masyarakat mengenai korupsi berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap pengusaha atau perusahaan yang berhubungan dengan instansi pemerintah, 3. waktu dan biaya nyata yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh suatu perizinan dari suatu instansi pemerintah yang mengurusi masalah perizinan, 4. waktu dan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengakses kepada suatu fasilitas untuk umum yag disediakan oleh suatu badan usaha milik negara, 5. persentase anggaran pemerintah yang diaudit sesuai dengan standar yang telah ditetapkan pada tahun anggaran lalu, 6. persentase pengeluaran biaya melalui kontrak-kontrak yang diaudit oleh badan pengawasan pemerintah, 7. persentase atau jumlah temuan audit atas instgansi pemerintah,
74
8.
persentase efektivitas berjalannya suatu kebijakan pemerintah, 9. persentase penerimaan pegawai baru yang sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan melalui suatu ujian yang ”fair”. Excellency atau pelayanan prima yang merupakan suatu ukuran output dalam kaitannya dengan jasa yang disediakan oleh organisasi kepada para stakeholder-nya. Pelayanan prima merupakan harapan dari masyarakat terhadap pelaksanaan kegiatan organisasi sektor publik. Setiap organisasi sektor publik haruslah mulai mempertimbangkan faktor pelayanan prima karena adanya perubahan yang mendasar dalam kehidupan dimasyarakat. Tanpa adanya pelayanan yang baik dan bermutu dari organisasi sektor publik terdapat kemungkinan masyarakat akan mencari alternatif lain yang pada akhirnya akan merugikan organisasi itu sendiri. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada suatu instansi pemerintah yang bertugas untuk melayani kepentingan kepegawaian seluruh instansi pemerintah telah ditetapkan suatu standar waktu penyelesaian setiap surat-surat yang berkaitan dengan pegawa pemerintah. Perbedaan yang terjadi dengan standar waktu tersebut akan mendapatkan perhatian yang serius dan setiap aparatur yang bertanggungjwab akan dimintakan pertanggungjawabannya. Equity atau keadilan juga telah didefinisikan pada bagian sebelumnya yaitu merupakan suatu ukuran keadilan dimana pelayanan dari organisasi sektor publik haruslah dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat atau stakeholder lainnya tanpa kecuali. Tanpa adanya rasa keadilan dalam mendapatkan pelayanan, masyarakat akan mempertanyakan kebijakan organisasi sektor publik tersebut dan akibat yang lebih jauh mungkin akan mempertanyakan seluruh dana masyarakat yang telah dipergunakan dalam rangka menjalankan roda pemerintahan. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada suatu instansi pemerintah telah ditetapkan suatu standar pelayanan yang sama bagi setiap orang yang ingin mendapatkan jenis pelayanan pada kantor dimaksud misalnya standar pelayanan terhdap penanggulangan bencana yang sama bagi setiap orang yang
Jurnal Ilmiah Ranggagading, Vol. 8 No. 1, April 2008
mengalami tanpa memperhatikan status dan kondisi yang bersangkutan. Pemantauan kinerja melalui suatu sistem pengukuran kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting dan merupakan bagaian yang tak terpisahkan dengan suatu siklus manajemen yang baik. Informasi kinerja yang dihasilkan dari penerapan sistem pengukuran kinerja yang baik di instansi pemerintah dapat menghasilkan pertanggungjawaban yang transparan atas manfaat dari penggunaan dana masyarakat melalui pencapaian target-target indikator kinerja non-keuangan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini sistem akuntabilitas kinerja yang baik akan tetap mengaitkan penggunaan dana-dana masyarakat dengan hasil dan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Pemantauan kinerja melalui indikatorindikator kinerja dan analisis atas hubungan indikator-indikator tersebut yaitu ekonomis, efisiensi, efektifitas, equity, dan excellency yang dilaksanakan secara berkesinambungan akan dapat mencegah niat dan kesempatan dari aparatur pemerintah yang ingin melakukan korupsi. Dengan kata lain Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah melalui parameternya yaitu indikator-indikator kinerja dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan korupsi apabila dilaksanakan dengan baik. Kondisi tersebut dimungkinkan apabila adanya komitmen yang tinggi dari seluruh pihak terutama pimpinan untuk melaksanakan sistem manajemen kinerja yang baik pada seluruh instansi pemerintah yang ada. Melalui pemantauan kinerja secara sungguh-sungguh baik secara individual, lokal, unit kerja, wilayah, maupun nasional dapat dihasilkan suatu upaya yang optimal dalam rangka pemberantasan korupsi
DAFTAR PUSTAKA Government of Alberta, Canada, Accountability Report, Alberta, 2000. J.B. Ghartey, Crisis, Accountability and Development in the Third World, London, 1987. Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta, 2000. Lembaga Administrasi Negara, Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jakarta, 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat, Republik Indonesia, Tap MPR RI nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Jakarta, 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat, Republik Indonesia, Tap MPR RI nomor III/MPR/2000 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 2000. National Academy of Public Administration, Centre for Improving Government Performance, Annual Performance Report: Federal, State and Local Government, Washington DC, 2001. National Partnership for Reinventing Government, Balancing Measure: Best Practices in Performance Management, Washington DC, August 2000. Office Management and Budgeting, Guidance for GPRA Implementation, 1996. Presiden Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jakarta, 1999. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Jakarta, 2000 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pertangggungjawaban Kepala Daerah, Jakarta, 2000. Soegijanto, Peta Sistem Pertanggungjawaban Keuangan Pusat dan Daerah, Jakarta, 2000. Tim Evaluasi dan Pemantapan Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Draft Rancangan: Pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah, Jakarta, Juni 2001. UU nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Jakarta, 1999. Republik Indonesia (1999), Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang 75
RASUL, Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Upaya Pencegahan Korupsi
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ________________ (1999), Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ________________ (1999), Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ________________ (2000), Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
76
________________ (2000), Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ________________ (2000), Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah ________________ (2000), Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah