PERSPEKTIF KEARIFAN TEMPAT PENTING SUKU MALIND SEBAGAI ARAHAN DALAM PENYUSUNAN RENCANA DETIL TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MERAUKE
MARTHINUS CORNELES WATTIMENA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Perspektif Kearifan Tempat Penting Suku Malind Sebagai Arahan Dalam Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Marthinus Corneles Wattimena NRP A156110011
RINGKASAN MARTHINUS CORNELES WATTIMENA. Perspektif Kearifan Tempat Penting Suku Malind sebagai Arahan dalam Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan DJUARA P. LUBIS. Masyarakat Suku Malind di Kabupaten Merauke sudah sejak lama menjaga keseimbangan hidup dengan alam melalui kearifan lokal yang hidup dan dipegang kuat di Kabupaten Merauke. Sejak ditetapkannya Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) pada tahun 2011, telah memasuki babak baru dalam penataan ruang terutama dengan ditambahkannya cagar budaya dari hasil identifikasi ruang penting masyarakat adat Suku Malind yang kemudian disebut sebagai tempat penting. Dengan hadirnya investasi perkebunan dan kehutanan skala luas melalui projek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), muncul banyak permasalahan ditingkat lapangan ketika akan dilaksanakan kegiatan untuk mendapatkan izin dan pembukaan lahan. Banyak tempat penting suku Malind yang juga ikut dibuka dan tidak dianggap penting. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi, mendiskripsikan dan memetakan tempat penting Suku Malind, (2) menganalisis perubahan penutupan lahan sebelum dan sesudah RTRW Kabupaten Merauke ditetapkan dan seberapa jauh pola ruang tersebut memperhatikan keberadaan tempat penting Suku Malind, (3) menganalisis pendapat dan penilaian para pihak terhadap pemanfaatan dan Pengendalian ruang dalam kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke, (4) Merumuskan masukan berupa arahan dalam penyusunan rencana detil tata ruang Kabupaten Merauke yang telah mengakomodir nilai kearifan tempat penting Suku Malind. Identifikasi makna dan pandangan tentang tempat penting ditelusuri melalui wawancara mendalam dengan teknik bola salju dari tokoh kunci dan mereka yang dipilih memiliki pengetahuan adat di tingkat sub Suku dan marga-marga di tingkat kampung. Penutupan lahan diperoleh denggan melakukan interpretasi citra satelit ETM 5 dan ETM 7 untuk dua titik tahun yaitu tahun 2000 dan tahun 2012 yaitu data tutupan lahan sebelum dan sesudah RTRW ditetapkan. Analisis menyangkut pendapat dan pandangan berupa persepsi para pihak diperoleh dengan melakukan wawancara dengan dan Focus Group Discusion (FGD). Perangkuman hasil dilakukan untuk merumuskan arahan kebijakan yang tepat dalam memberikan solusi bagi pemangku kepentingan dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana tata ruang skala rinci yang mengakomodir tempat penting. Berdasarkan hasil penggalian dan identifikasi, tempat penting memiliki dua makna yaitu : Pertama makna identitas jati diri meliputi wilayah atau lokasi yang erat kaitannya dengan kisah penciptaan atau mitologi Suku Malind yang disakralkan. Kedua, makna yang berkaitan dengan tempat sebagai pemenuhan kehidupan sehari hari seperti hewan buruan, dusun sagu penghasil makanan nabati, kebun kumbili dan pisang, rawa tempat mengambil ikan, tanaman obat dan untuk ritual. Ada delapan tempat penting yaitu: Perjalanan atau Dema Kay dan persinggahan leluhur atau Demadap Mir, Dema Say atau tempat mitologi, Kuburan leluhur atau Amayen Sai, Tempat Ritual atau Pungga Sai, Dusun Sagu atau Dah Nanggaz, Sumber air atau Awamdka, Hutan berburu atau Aweawe sai,
Tempat pelestarian adat atau Pungga Sai. Tempat penting seluas 126,754 ha atau sekitar 36,35 % dari total luas keseluruhan kampung yaitu 348,660 hektar hasil identifikasi di 4 kampung yaitu kampung Zanegi, kampung Kaliki, kampung Kolam dan kampung Selauw dikategorikan sebagai kawasan Lindung dan kawasan yang dikelola sesuai nilai kearifan Suku Malind. Kawasan seluas 221,906 hektar atau 63,65 % dikategorikan sebagai kawasan budidaya dan wilayah yang diperuntukan untuk kegiatan pembangunan. Selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 pada beberapa tutupan lahan mengalami penurunan luas yaitu: 1) lahan hutan seluas 341,056.7 hektar, semak belukar 41,734.3 hektar, lahan terbuka 85,512.3 hektar, dan tubuh air 45,966.7 hektar. Penurunan luas lahan hutan terjadi diduga karena dibeberapa lokasi mengalami pembukaan lahan oleh aktivitas investasi kelapa sawit dan hutan tanaman indsutri yaitu di distrik Ngguti dan Animha mengakibatkan hilangnya sejumlah tempat penting marga seperti dusun sagu, dan tempat sakral. Peningkatan penggunaan lahan pada lahan pertanian mencapai 14,852 hektar didistrik Malind, Animha diakibatkan oleh pembukaan lahan pangan Nasional (MIFEE). Rencana aktifitas pemanfaatan lahan skala luas dalam program investasi komoditas seperti kelapa sawit, tebu, hutan tanaman dan pangan seluas 2,077,781 hektar membawa implikasi dibukanya area hutan alam sehingga mengancam keberadaan tempat penting karena tersebar di seluruh kawasan hutan. RTRWK Merauke sebagai produk tata ruang belum secara efektif dan konsekwen dilaksanakan. Hal ini karena kurangnya sosialisasi dan pelibatan aktif semua pihak dalam pemanfaatan ruang terutama dalam mengamankan keberadaan tempat penting. Para pihak juga mengharapkan sebagai pedoman pemanfaatan ruang maka RTRW harus diturunkan ke skala rinci untuk meminimalisir setiap konflik kepentingan yang terjadi di tingkat lapangan. Untuk meminimalisir konflik di tingkat lapangan maka perlu diidentifikasi secara detil tempat penting tingkat marga-marga di semua kampung. Menurut para pihak di kabupaten Merauke sebagai pedoman pemanfaaan ruang, RTRW Kabupaten perlu dirinci dalam bentuk Recana Detil Tata Ruang untuk meminimalisir setiap konflik kepentingan yang terjadi di tingkat lapangan. Tempat penting sebagai cagar budaya hasil pemetaan ditingkat marga-marga harus dimasukan dalam rencana detil tata ruang, sehingga dapat menjadi pedoman bagi semua pihak di Kabupaten Merauke. Tempat penting Suku Malind yang terdiri dari delapan Tempat penting hasil pemetaan partisipatif tingkat marga, khususnya 4 jenis yang berkaitan dengan spiritual pada fungsi kawasan lindung, dan 4 jenis Tempat penting yang bermakna pemenuhan kebutuhan sehari-hari, diarahkan pada fungsi kawasan budidaya baik dalam dokumen evaluasi dan penyempurnaan RTRW Kabupaten Merauke maupun dalam rencana detil tata ruangnya. Kata kunci: Kearifan Lokal, Tempat Penting, Penataan Ruang, RTRW, Rencana Detil
SUMMARY Wisdom Perspective of Malind Tribe Important Sites as Referrals in Detailed Land Use Plan Preparation of Merauke Regency. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS and DJUARA P. LUBIS. Malind Tribal Community in Merauke Regency since a long time ago has maintained life balance with nature through local wisdom living and it has been held strongly in Merauke Regency. Since the enactment of Regency Land Use Plan (RTRWK) in 2011, Merauke has entered a new phase in the spatial planning, especially with the addition of cultural heritage from the result of important space identification of Malind Tribe indigenous community then called as the important sites. With the presence of large-scale forestry and plantation investment through Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), there have been many problems arising at the field level when it is going to be conducted activities to obtain permits and land clearing. Many important sites of Malind tribe that have been also cleared and not considered important. This study aims to (1) identify, describe and map the important sites of Malind tribe, (2) analyze the land cover change before and after the Land Use Plan of Merauke Regency is set and how far that spatial patterns notice the existence of important sites of Malind tribe, (3) analyze opinions and assessments of several parties to the spatial use and control in Merauke Regency land use policy, (4) formulate inputs in form of referrals in the preparation of detailed land use plans of Merauke Regency accommodating wisdom values of the Malind tribe important sites. The meaning and views identifications concerning the important sites were traced using in-depth interviews with a snowball technique of key figures and those selected to have indigenous knowledge in the sub tribe level and clans in the village level. The land cover was obtained by ETM 5 and ETM 7 satellite image interpretation for two year points, they were 2000 and 2012, that was the land cover data before and after the regional space were set. The analysis covering opinions and views in form of perception of the parties was obtained by having interviews and Focus Group Discussion (FGD). Results summarizing was conducted to formulate appropriate policy direction in providing solutions for stakeholders in the preparation and implementation of detailed scale land use plans that accommodate the important sites. Based on the results of extracting and identification, the important sites have two meanings: First, the meaning of self identity covering areas or locations closely associated to the creation story or mythology of Malind tribe that is made sacred. Second, the meaning related to a place as a fulfillment of daily lives such as game animals, sago hamlets producing plant foods, kumbili and bananas garden, swamps to get fishes, medicinal plants, and for rituals. There are eight important sites, namely: ancestral journey or Dema Kay and ancestral stopover or Demadap Mir, Dema Say or mythology place, ancestral graves or Amayen Sai, Ritual Place or Pungga Sai, Sago Hamlet or Dah Nanggaz, water sources or Awamdka, Hunting Forest or Aweawe sai, the preservation of indigenous or Pungga Sai. The important sites area of 126.754 ha or approximately 36.35% of
the total area of all villages of 348.660 hectares as the result of identification in 4 villages namely Zanegi village, Kaliki village, Kolam village, and Selauw village are categorized as Protected areas and the areas managed according to the wisdom value of Malind tribe. An area of 221.906 hectares or 63.65% are categorized as cultivation areas and the areas allocated for development activities. During the period year of 2000 to 2012 land cover underwent decreases area as follows: 1) forest land area of 341,056.7 hectares, bushes of 41,734.3 hectares, open land of 85,512.3 hectares, and water bodies of 45,966.7 hectares. The decrease area in forest land occurred allegedly due to land clearing by the activities of palm oil and industrial plantation forest investments, that was in the district of Animha and Ngguti resulting the loss of a number of clan important sites such as sago hamlet, and sacred places. The increase of land use on agricultural land reaching 14,852 hectares in Malind district, Animha was caused by national food land clearing (MIFEE). The plan broad-scale land-use activity in the commodity investment programs such as oil palm, sugar cane, plantation and food forest covering 2,077,781 hectares bring the implication of clearing natural forest area that threatening the existence of important sites because they were scattered throughout the forest. Land Use Plan of Merauke Regency as a spatial product has not been effectively implemented consistently. This is due to the lack of socialization and active involvement of all parties in the use of space, especially to conserve the existence of the important sites. The parties also expect that, as the spatial guideline, the Land Use Plan must be relegated to a detailed scale to minimize any potential conflicts of interest in the field. To minimize conflicts in the field level, it is needed to identify in detail the important sites of clans level in all villages. The stakholder in Merauke regency also expect that, as the spatial land use guideline, the Regency Land Use Plan needs to be specified in the form of Detailed Land Use Plan to minimize any potential conflicts of interest in the field. The important sites as cultural heritage of the result of mapping in clans level must be included in the Detial spatial planning, so that it can be a guideline for all stakholder in the Regency of Merauke. The important sites of Malind tribe consisting of eight important sites as the result of participatory mapping of clan level, especially four types related to spiritual in the functions of protected areas, and 4 types of important sites meaning the fulfillment of daily needs to be directed in the function of cultivation area both in the evaluation and improvement document of Merauke Regency Land Use Plan and in its detailed land use plan. Keywords: Local Wisdom, Important Sites, Land Use, Land Use Plan, Detailed Plan
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERSPEKTIF KEARIFAN TEMPAT PENTING SUKU MALIND SEBAGAI ARAHAN DALAM PENYUSUNAN RENCANA DETIL TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MERAUKE
MARTHINUS CORNELES WATTIMENA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Setia Hadi, MS.
Judul Tesis
Nama NlM
Perspektif Kearifan Tempat Penting Suku Malind sebagai Arahan dalam Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke Marthinus Corneles Wattimena A156110011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr II Santun R.P. Sitorus Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
llmu Perencanaan Wilayah
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Tanggal Ujian : 31 Juli 2013
Tanggal Lulus:
U 3 SEP 2Ul3
Judul Tesis
Nama NIM
: Perspektif Kearifan Tempat Penting Suku Malind sebagai Arahan dalam Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke : Marthinus Corneles Wattimena : A156110011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua
Dr Ir Djuara P. Lubis, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 31 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji Syukur kepada Tuhan yang Maha Segala penulis panjatkan karena berkat rahmat dan karunia-Nya yang tiada henti sehingga penulis mempunyai kesempatan dan kemampuan guna menyusun Tesis penelitian ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu prasyarat guna menyelesaikan program magister Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini bertujuan secara ilmiah membuktikan bahwa pranata masyarakat adat dan nilai kearifannya untuk dijadikan bahan penting dalam penyusunan tata ruang kabupaten. Disamping itu untuk membangun kesadaran kritis masyarakat adat dalam partisipasi aktif terlibat dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Merauke. Penelitian ini menelaah dan menganalisis sejauhmana praktek implementasi pemanfaatan ruang telah menerapkan prinsip kearifan lokal yang telah dimasukan dalam RTRW Kabupaten. Diharapkan Tesis ini dapat menjadi masukan dalam arahan penyusunan rencana Detil Tata ruang Kabupaten, sehinggga dapat digunakan oleh berbagai pihak sebagai pedoman pelaksananaan rencana ruang di level Kabupaten Merauke. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, terutama tuntunan dan bimbingan dari Prof. Dr Ir. Santun R.P. Sitorus dan Dr. Ir. Djuara P. Lubis M.S selaku komisi pembimbing. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu (Rosina Wattimena-Sahureka), istri (Josefa Rumaseuw S.Hut) dan anak- anak (Joaena, Septian dan Mauren) untuk kasih sayang dan semua doa, dukungan yang sangat besar bagi penulis terutama dalam waktu-waktu tersulit. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf WWF di Kantor Merauke: Ibu Linke, Prasetyo, Bekti, Maria, Agatha, dan Weda yang sudah membantu selama pengumpulan data lapangan. Rekan-rekan satu angkatan di PWL 2011, secara khusus Aries Siubelan, Nugroho Adi Utomo dan Muhammad Siraz Tuni yang selalu memberikan semangat dan menyediakan waktu membantu dan berdiskusi menyempurnakan setiap bab dan Tesis selama ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan disana sini dalam penyusunan Tesis ini. oleh karena itu, sumbang saran dalam penyempurnaan sangat penulis harapkan. Harapan penulis, Tesis ini dapat menjadi referensi dalam setiap upaya advokasi dan penelitian berikutnya demi kemajuan ilmu pengetahuan, kelestarian lingkungan dan kearifan adat istiadat sebagai modal penting dalam pembangunan wilayah.
Bogor , Juli 2013
Marthinus C. Wattimena
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN . 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah . 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 3 4 4
6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan dan Pemanfaatan lahan Berkelanjutan 6 2.2 Sistem Informasi Geografi dan Analisis Spasial 9 2.3 Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan 9 2.4 Klasifikasi Penutupan Lahan dan penggunaan Lahan 10 2.5 Penataan Ruang Wilayah 11 2.6 Kearifan Lokal 12 2.7 Etnografi Berbasis Spasial 15 2.8 Konsensus Pemetaan Patisipatif Masyarakat adat Malind tentang 16 Kearifan Tempat Penting 2.9 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat 19 2.10 Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Peraturan Zonasi 20 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Disain Penelitian 3.2 Lokasi, Waktu dan Tahapan Periodisasi Penelitian 3.3 Jenis Data dan Alat 3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 3.4.1 Participatory Rural Appraisal / Rapid Rural Appraisal (PRA/RRA). 3.4.2 Pengelolaan Citra Penginderaan Jauh dan Klasifikasi Penutupan Lahan 3.4.3 Analisis Penilaian Masyarakat dan Para Pihak 3.4.4 Merumuskan Arahan Kebijakan Rencana Detil
23 23 23 25 25 25
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Geografi Wilayah 4.2 Iklim 4.3 Topografi, Flora dan Fauna 4.4 Kondisi Demografi
39 39 40 42 44
31 37 38
ii
4.5 4.6 4.7
4.8
Perekonomian Agama Bahasa dan Kepercayaan Masyarakat adat dan Tempat Pentinnya 4.7.1 Suku dan Pembagian Wilayah Adat 4.7.2 Kekerabatan Marga 4.7.3 Totemisme dan Tempat Yang dianggap Penting Penataan Ruang Kabupaten
45 46 47 47 49 50 50
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Kearifan Tempat Penting dan Penerapannya pada Rencana Detil Tata Ruang 5.2 Analisis Perubahan Penutupan Lahan 5.3 Pendapat dan Penilaian Para Pihak Terhadap Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang
54 54
Arahan dan Masukan dalam Penyusunan Kebijakan Rencana Rinci 5.4 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 6.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
74 78 78 78 80 83 100
71 73
iii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut BIG Susunan Marga-Marga dalam Masyarakat Malind Keterkaitan Jenis dan Sumber Data Serta Tujuan dan Output yang Diharapkan Daftar Informan Wawancara Mendalam ID Citra Landsat dan Perekaman kawasan Merauke Kelas Penutup lahan hasil penyederhanaan Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Luas Wilayah Distrik di Kabupaten Merauke Tahun 2011 Komposisi Kampung dan Jumlah Penduduk Asli Papua Simbol dan makna enam elemen Tempat Penting Luasan Klaster I-IV MIFEE Perhitungan Penggunaan Lahan Hasil Pemetaan Partisipatif Luasan Perubahan Tutupan Lahan di Kabupaten Merauke Persepsi Para Pihak di Kabupaten Merauke
11 18 26 31 32 35 45 48 51 52 69 73 74
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Denah Hubungan Kekerabatan Antara Alam dan Manusia Bagan Posisi Peraturan Zonasi Dalam Penataan Ruang Peta Lokasi Penelitian Diagram Alir Penelitian Peta Administrasi Kabupaten Merauke Grafik Peningkatan Curah Hujan dan Hari Hujan Grafik Trend Suhu dan Kelembaban Sepuluh Tahun Peta Kelas Lereng di Kabupaten Peta TransFly Visi Ekologi dan Adat Grafik Peningkatan PAD Selama Sepuluh Tahun Peta Distribusi Orang Asli Papua Sesuai Distrik Peta Kawasan Project MIFEE Postur dan Asesories Baju Adat Masyarakat Malind-anim Skema konstruksi Kearifan Suku Malind dengan Lingkungan Peta Posisi Wilayah adat Suku Muli anim, Malind anim, Mbian anim dan Nggawil anim Lokasi Perjalanan Leluhur/dema di Lapangan Lokasi Tempat Mitologi di Lapangan Lokasi Kuburan Leluhur di Alam Tempat Ritual Adat Lokasi Dusun Sagu Bentuk Sumber Air yang dibuat Secara Alami Lokasi Hutan Berburu Lokasi Pelestarian Adat Hasil Pemetaan Partisipatif Tempat Penting Marga di Kampung Zanegi Hasil Pemetaan Partisipatif Tempat Penting Marga di Kampung Kaliki
15 21 24 28 39 40 41 42 44 45 49 52 54 55 56 57 58 59 59 60 61 62 63 64 65
iv
26 27 28 29 30 31
Hasil Pemetaan Partisipatif Tempat Penting Marga di Kampung Kolam Hasil Pemetaan Partisipatif Tempat Penting Marga di Kampung Selauw Peta Hasil Pemetaan 4 Kampung Pola Ruang Tradisional Grafik Pie Persentase Pembagian Pola ruang Tradisional Hasil Interpretasi Tutupan Lahan Tahun 2000 Hasil Interpretasi Tutupan Lahan Tahun 2012
66 67 68 70 71 72
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pembagian Kelompok Marga Menurut Suku Kanume dan Yeinan Jenis dan Nama Tempat Penting Marga di Kampung Zanegi Perkembangan Investasi pada Project MIFEE Tahun 2012 Hasil Wawancara Pendapat Tentang Penataan Ruang Hasil Wawancara Persepsi Para Pihak Hasil FGD Persepsi Masyarakat Tentang Tempat Penting dan Implementasinya pada Rencana Rinci Skema Proses Alir Pembuatan Penutupan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Hasil pemetaan di kampung Kolam Hasil pemetaan di kampung Selauw Hasil pemetaan di kampung Kaliki Hasil pemetaan di kampung Zanegi Kodefikasi Tempat Penting Peta Lokasi kebun Sawit dan HTI Foto Kegiatan Pemetaan
83 84 85 86 87 89 90 91 92 93 95 96 97 98
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan dewasa ini membutuhkan lahan yang lebih luas sebagai media sumber daya fisik yang dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan manusia. Wujud pemanfaatan lahan dapat berupa perladangan, persawahan, pemukiman atau hasil langsung melalui ekstraksi hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu. Alam merupakan tempat hidup atau habitat dan memiliki keterkaitan erat dalam satu ekosistem, baik alami maupun buatan. Dalam kaitan pemanfaatan ruang alam untuk kepentingan ekonomi biasanya perhitungan kuantitatif dan asumsiasumsi ekonomi atau rasionalitas dalam capaian pembangunan akan mengindikasi tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang konon menjamin tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat. Melalui bingkai perencanaan teknokratik yang mengusung strategi “top down” sudah barang tentu aliran dampak kebawah atau trickle down effect diharapkan akan merata di semua level pembangunan. Anggapan-anggapan ini kemudian memunculkan banyak persoalan pada pencapaian tujuan pembangunan karena menjadi terkesan semu dimana aspek sosial budaya dan lingkungan tanpa sengaja telah dilupakan dan bahkan kurang diperhitungkan. Krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997 memunculkan bukan saja masalahmasalah finansial, tetapi juga kerusakan lingkungan dan degradasi moral terlebih identitas jati diri masyarakat di Indonesia. Berbagai konflik horisontal yang terjadi sepuluh tahun belakangan ini, kalau ditilik lebih jauh sumber persoalannya terletak pada pengelolaan sumber daya alam yang kurang bijaksana dan arif. Kesadaran untuk kembali ke pangkal nilai adat istiadat menjadi simpul dari dibangunnya usaha untuk kembali kepada budaya sebagai salah satu basis nilai yang penting terutama yang dilakukan di suatu wilayah dengan nilai kearifan lokal yang masih dipegang teguh. Geertz (2000) berpendapat bahwa kearifan lokal masyarakat adat merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. selanjutnya Nygren (1999) mengatakan bahwa pengetahuan lokal atau indigenous knowledge dicirikan sebagai pengetahuan yang berakar kuat pada tradisi lokal yang didasarkan atas “ cara-cara mengetahui yang bersifat holistik dan yang secara ekologis terbiasa hidup dalam keseimbangan dengan alam”. Selanjutnya dalam perkembangan peradaban manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengelola dan memanfaatkan alam agar lebih efisien. Hal ini dipertegas oleh Dove (1985) yang menganggap bahwa ini merupakan titik balik dari pandangan yang keliru terhadap pengetahuan lokal yang hanya menjadi penghambat proses modernisasi dan pembangunan yang membutuhkan lahan itu sendiri. Munculnya Krisis ekologi global dewasa ini membawa keprihatinan dan kesadaran kritis untuk mencari bentuk-bentuk pembangunan alternatif yang lebih berkelanjutan yang tentunya tetap berakar pada sistem kehidupan dan pengetahuan yang berlagsung di suatu wilayah tersebut. Suku Malind di Kabupaten Merauke termasuk suku dari rumpun melanesia yang terdiri dari delapan wilayah adat yaitu malind anim, Khima Khima, Muli anim, Makleuw, Mbian anim, Marori Mengey, Yeinan dan Kanume. Sudah sejak dahulu memanfaatkan ruang alam sebagai tempat mencari makan dengan nilai
2
kearifan Tempat penting yang dianut dan diyakini secara turun-temurun. Ruang alam yang digambarkan adalah tempat-tempat yang dianggap sakral dalam ritual agama Suku, kisah mitologi serta adanya tempat-tempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, penyimbolan di alam dari sistem boan/marga disebut Totemisme (Boelaars, 1986). Bagaimana mengintegrasikan visi ekologi dan nilai kearifan sebagai basis cara pandang dalam merencanakan ruang bagi pemenuhan kehidupan dan kesejahteran masyarakat di Kabupaten Merauke, menjadi tantangan tersendiri terutama setelah masyarakat secara sadar telah memetakan kawasan adat yang disebut sebagai Tempat penting masyarakat Malind melalui konsensus masyarakat adat tentang Tempat penting pada tahun 2006. Dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang Tata Ruang No. 26 Tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang No 24 Tahun 1992, sistem perencanaan tata ruang di Indonesia memasuki babak baru dengan proses penyusunan tata ruang dilakukan dalam tahapan skala Nasional, provinsi dan Kabupaten /Kota sampai pada rencana detil tata ruang. Pada bulan Agustus 2011 telah ditetapkan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merauke untuk periode 2011 – 2031, setelah sebelumnya proses pemanfaatan ruang di Kabupaten Merauke belum memiliki pedoman ruang yang mengatur perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam pembangunan. Pertanyaan penting kedepan adalah bagaimana dokumen RTRW yang telah mengakomodir Tempat penting masyarakat dapat dilaksanakan secara konsekwen dan efektif lewat kebijakan pemanfaatan dan pengendalian ruang sesuai amanat UU 26 Tahun 2007 dimana didalamnya terdapat cagar budaya yang harus dilestarikan. Jika kebijakan pemanfaatan ruang berkaitan dengan penyusunan dan pelaksanaan program serta pembiayaan pembangunan maka pengendalian pemanfaatan tata ruang berkaitan dengan mekanisme perizinan, peraturan zonasi, pemberian disinsentif dan insentif serta sangsi. Implementasi pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai tahapannya hanya dapat terealisasi dan dievalasi setelah disusunnya Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Kabupaten atau yang biasa disebut RDTR Kabupaten sesuai Permen PU No 20 Tahun 2011. Penelitian ini sangat dibutuhkan untuk menggali secara mendalam tentang kearifan lokal masyarakat adat Malind sesuai aspek pelestarian alam dan pemanfaatan ruang secara tradisional. Mengetahui sejauh mana proses implementasi tata ruang pada tahapan pemanfaatan dan pengendalian ruang, apakah kemudian konsisten dijalankan sesuai produk dokumen kebijakan RTRW yang telah ditetapkan, serta apa persepsi para pihak tentang praktek pemanfaatan ruang selama ini. Bagaimana arahan kebijakan dalam penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Kabupaten Merauke yang telah mengakomodir kearifan Tempat penting Suku Malind. 1.2 Perumusan Masalah Perkembangan pembangunan di Kabupaten Merauke pada periode sebelas tahun terakhir setelah dimekarkan tahun 2002 memperlihatkan peningkatan aktifitas pembangunan yang sangat cepat terutama pada sektor fisik seperti infrastruktur dan sektor pertanian dalam arti luas termasuk sektor jasa. Pembukaan lahan baru dalam optimasi pemanfaatan ruang disamping berefek positif juga memunculkan berbagai konflik lahan, baik antara kebijakan
3
pembangunan dengan pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat, misalnya setelah ditetapkannya kawasan Merauke sebagai salah satu tujuan investasi pangan dan energi skala luas. Peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Merauke pada 2011 yang telah mengakomodir kearifan Tempat penting Suku Malind dalam pola ruang, namun dalam praktek pelaksanaan tata ruang rupanya Tempat penting kurang diperhatikan sebagai salah satu arahan penting untuk melestarikan dan lebih jauh meminimalisir konflik-konflik yang selama ini terjadi di Kabupaten Merauke. Hal ini menunjukan masih kurangnya pemahaman pengguna ruang baik pemegang kewenangan, pemanfaat maupun masyarakat di Kabupaten Merauke akan keberadaan Tempat penting suku Malind dalam penataan ruang wilayah Kabupaten. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Kurangnya pemahaman mendalam dari para pihak dan pelaku kepentingan atas sumber daya alam akan kearifan Tempat penting Suku Malind terutama dalam implementasi pemanfaatan ruang tradisional dan belum terpetakan secara rinci Tempat penting skala detil di tingkat marga-marga. 2) Munculnya perbedaan kepentingan pemanfaatan lahan tradisional oleh masyarakat adat Malind dan peruntukan lahan untuk kepentingan pembangunan wilayah oleh pemerintah dan investor di Kabupaten terutama kebutuhan lahan skala luas untuk investasi perkebunan dan kehutanan serta lainnya. 3) Tingkat pemahaman, pendapat dan kapasitas yang berbeda dari para pihak penyelenggara, praktisi dan pengguna ruang di Kabupaten Merauke menyangkut perencanaan tata ruang dalam tahapan pemanfaatan dan pengendalian ruang. 4) Belum adanya Rencana Detil/Rinci Tata Ruang Kabupaten Merauke sebagai rencana operasional kawasan strategi Kabupaten dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang yang mengakomodasi keberadaan Tempat penting. Dengan memperhatikan permasalahan diatas maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan ‘Tempat penting’ masyarakat adat Malind dalam kearifan pemanfaatan ruang tradisional dan seperti apa bentuknya ? 2. Bagaimana bentuk perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten ditetapkan dan seberapa jauh pengaruh penggunaan tersebut memperhatikan keberadaan Tempat penting Suku Malind ? 3. Sejauh mana Pendapat dan penilaian para pihak tentang peran aktif, kepatuhan pada komitmen rencana tata ruang dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang di Kabupaten Merauke ? 4. Bagaimana arahan kebijakan dalam penyusunan rencana rinci tata ruang Kabupaten Merauke yang mengakomodir Tempat penting sebagai kearifan lokal masyarakat adat Malind ? 1.3 Tujuan Penelitian Dengan memperhatikan latar belakang dan perumusan masalah dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi, mendeskripsikan dan memetakan Tempat penting masyarakat adat Malind dalam bentuk nilai kearifan pemanfaatan lahan tradisional skala kampung di Kabupaten Merauke.
4
2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah RTRW Kabupaten Merauke ditetapkan dan seberapa jauh penggunaan tersebut memperhatikan keberadaan Tempat penting masyarakat adat Malind. 3. Menganalisis pendapat dan penilaian para pihak terhadap pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke. 4. Merumuskan arahan dalam penyusunan rencana detil tata ruang Kabupaten Merauke yang telah mengakomodir nilai kearifan Tempat penting masyarakat adat Malind. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada beberapa antara lain : a.
b. c.
d.
aspek
Dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah daerah dan para pihak tentang kerangka menata ruang berbasis pada nilai kearifan lokal Suku Malind yang Partisipatif Bahan pembelajaran dan evaluasi dalam perumusan kebijakan pembangunan wilayah melalui penataan ruang di Kabupaten Merauke. Membangun kesadaran kritis bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan keberadaan identitas kearifannya sebagai modal sosial-budaya dalam pembangunan di Kabupaten Merauke wilayah lainnya. Sebagai acuan dalam kegiatan penelitian selanjutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi batasan permasalahan yang membahas keberadaan kearifan Tempat penting Suku Malind, dan pendalamannya sebagai nilai luhur yang hidup dalam sistem adat istiadat Suku Malind. Suku Malind yang mendiami wilayah administrasi Kabupaten Merauke setelah pemekaran Kabupaten Merauke tahun 2002 terutama pada empat kampung sebagai lokasi penelitian. Pendekatan skala dalam membangun data penelitian disesuaikan dengan memperhatikan pedoman pada Undang Undang No 26 tahun 2007 tentang penataan Ruang, peraturan daerah No 14 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Merauke, Peraturan Mentri PU No 20 tahun 2011 tentang penyusunan Rencana Detil tata ruang dan strategi pengembangan aspek investasi daerah yaitu pada kawasan program percepatan lahan pangan atau yang biasa disebut Merauke Integrated Food and Energi Estate seluas 228.030 ha. Secara administratif pengumpulan data kualitatif dan spasial dilakukan di empat kampung yaitu kampung Kaliki, kampung Zanegi pada distrik Malind dan Animha, kampung Selauw dan kampung Kolam pada distrik Muting. Subjek sekaligus objek penelitian meliputi Tempat penting marga-marga dari dua sub suku yaitu Malind anim dan Mbian anim . Lingkup spasial akan melihat perubahan tutupan lahan sebelum dan sesudah dokumen kebijakan RTRW ditetapkan dengan perubahan tutupan lahan dari periode tahun 2000 dan 2012, dengan perkembangan kurang lebih dua belas tahunan.
5
Ruang lingkup keterlibatan para pihak dan persepsi dilakukan dengan menjaring pendapat dan penilaian para pihak yang difokuskan pada pertanyaan tentang Tempat penting, pelaksanaan penerapan kebijakan tata ruang, harapan dan komitmen para pihak dalam mendukung implementasi tata ruang dan temapt penting. Arahan yang diharapkan merupakan perangkuman dari hasil ketiga tujuan diatas, menyangkut bagaimana bentuk kebijakan tata ruang dan sejauh mana seharusnya keberadaaan Tempat penting diperhitungkan dan diakomodasi dalam penyusunan recana detil tata ruang kabupaten.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan dan Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan Pembangunan dalam pengertian sempit adalah upaya manusia secara terencana untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Definisi pembangunan berkelanjutan diberikan oleh World Commision on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan) sebagaimana tersaji dalam laporan Komisi yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia terangkum dalam buku Our Common Future, yang terumuskan berupa : “if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Faktor penting yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Ada dua gagasan penting yang harus menjadi perhatian yaitu gagasan tentang kebutuhan umat manusia untuk memenuhi hidupnya dan gagasan keterbatasan sumber daya yang menyediakan kebutuhan tersebut. Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep “pertumbuhan ekonomi” itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas. Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isuisu lingkungan, lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial budaya dan perlindungan lingkungan. Smith (1999) dalam kutipan Siahaan (2004) “Incorporating Sustainability Principles in Legislation”, mengartikan sustainable development sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan mencadangkan modal/sumber alam bagi generasi mendatang. Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat hal: a. Pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang dapat diperbarui; b. Melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat dapat habis (exhaustible resources); c. Pemeliharaan sistem pendukung ekologis; dan d. Pemeliharaan atas keanekaragaman hayati. Dua puluh tahun setelah konferensi Stockholm, PBB kembali melakukan konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, yang lebih popular dengan KTT Rio (Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio). KTT ini dihadiri oleh kurang lebih 100 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan seluruh dunia. Hasil yang dicapai dalam KTT Rio tersebut adalah : Deklarasi Rio (terdiri dari 27 Prinsip); Agenda 21; konvensi tentang perubahan Iklim; konvensi tentang keanekaragaman hayati; dan prinsip-prinsip tentang hutan. Dengan demikian "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual". dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan.
7
Aspek ekonomi dalam pembangunan menurut Rostow (1960) dalam Rustiadi (2011) secara sederhana mendefinisikan pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi dimana terjadi transformasi struktural masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern dengan melibatkan banyak sektor atau multi sektoral. Faktor produksi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan daya dukung alam serta peran sumberdaya manusia menjadi subjek utama penentu roda produksi dapat berputar. Lebih jauh Rustiadi (2011) menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan pada terjadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan. Sosiologi pembangunan mencoba melengkapi kajian ekonomi yang selama ini hanya didasarkan pada produktivitas dan efisiensi dalam mengukur keberhasilan pembangunan. Pembangunan sebagai sebuah perubahan sosial yang terencana tidak bisa hanya dijelaskan secara kuantitatif dengan pendekatan ekonomi semata, terdapat aspek tersembunyi jauh pada diri masyarakat seperti persepsi, gaya hidup, motivasi dan budaya yang mempengaruhi pemahaman masyarakat dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Sosiologi pembangunan juga berusaha untuk menjelaskan berbagai dampak, baik positif maupun negatif dari pembangunan terhadap sosial budaya masyarakat. Berbagai introduksi, baik yang berupa teknologi dan nilai-nilai baru dalam proses pembangunan tentu akan membawa dampak pada bangunan sosial yang sudah ada sejak lama. Menurut Cernea (1993) manusia pengguna sumberdaya alam seringkali sebagai penyebab kerusahan lingkungan. Ini berarti manusia merupakan pusat dari aktor sosial dan juga lembaga yang dibentuk mereka dalam pembangunan berkelanjutan harus menjadi perhatian. "konstruksi sosial" dalam pemahaman keberlanjutan yaitu, pengaturan yang bersifat sosial dan ekonomi harus dilakukan secara purposive (menurut keperluannya). Pendekatan aspek ekonomi, sosial dan ekologi bahkan terakhir ditambahkan budaya sebagai aspek ke empat patut dipertimbangkan dalam mengusung pemahaman pembangunan berkelajutan. Dua unsur untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam perspektif Sosiologis adalah. Pertama, adanya konsep yang mengatur tata kelola organisasi dalam kehidupan budaya, hubungan sesama manusia dan sumberdaya alam. Dari unsur pertama tersebut diharapkan menghasilkan “social organization” (organisasi sosial). Kedua, adanya teknik sosial yang tepat untuk mengkoordinasikan tindakan sosial untuk mencegah kerusakan perilaku dan mempercepat perkembangan pembentukan modal sosial. Modal sosial dapat terbentuk pada setiap individu dalam organisasi. Organisasi yang diinginkan adalah yang dapat meningkatkan kapasitas sosial setiap individu sehingga lebih berdaya dan tindakannya lebih terorganisir dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Sementara itu Brinkerhoff (1992) berpendapat salah satu kerangka strategi untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan adalah pada kerangka kelembagaan, yang meliputi : a) Sistem dengan fungsi yang mempunyai hubungan dengan lingkungannya, b) Struktur organisasi dan prosedur yang mengatur tugas, produk, masyarakat, sumberdaya serta tujuan organisasi tersebut, c) Menyiapkan ketahanan organisasi terhadap perubahan sumberdaya akibat hubungan ekonomi dan politik. Kerangka untuk memahami kelembagaan dalam pembangunan berkelanjutan adalah : 1) Looking Inward (melihat kedalam), yaitu melihat kompleksitas dalam kelembagaan itu, 2) Looking Outward (melihat keluar) yaitu melihat hubungan kelembagaan tersebut dengan lingkungannya, 3)
8
Institutional Strategy (strategi kelembagaan), dengan dua cara yaitu pertama, bertindak dan belajar, sedangkan kedua fokus pada masalah internal dan eksternal. Selama sepuluh tahun terakhir, lembaga-lembaga yang berbeda telah berusaha mengukur dan memantau perkiraan atas apa yang mereka pahami sebagai keberlanjutan dengan mengimplementasikan apa yang disebut dengan matrik dan indikator keberlanjutan. Bank Dunia misalnya yang berada dalam tekanan internasional oleh berbagai negara dan lembaga lingkungan non pemerintah melihat kinerja yang kurang mendukung upaya keberlanjutan dengan memberi bantuan keuangan bagi proyek dan program yang tidak ramah lingkungan. Dalam prosiding yang dikeluarkan oleh Dixon dan Steer (1993) menyampaikan bahwa langkah perubahan paradigma di Bank Dunia telah dimulai dengan memasukan konsep dan metodologi yang berhubungan dengan pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Empat agenda penting tersebut diharapkan dapat terwujud dalam prinsip dan kerja keseharian kepada seluruh negara provider. Keempat agenda tersebut adalah : 1). Membangun sinergi positif antara pembangunan dan lingkungan (konvensi Rio, 1992); 2). Mengasistensi negara dalam pengelolaan lingkungan ; 3) Mitigasi dampak yang merugikan ; 4) Berusaha mengatasi masalah global dan Regional. Sebagai catatan akhir dari sebuah paradigma bahwa pembangunan berkelanjutan dalam gagasan besarnya menghendaki tercapainya beberapa hal yang dianggap krusial yaitu : Suatu sistem politik yang menjamin partisipasi efektif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Suatu sistem ekonomi yang mampu menghasilkan surplus serta pengetahuan teknis berdasarkan kemampuan sendiri dan bersifat berlanjut. Suatu sistem sosial yang memberikan penyelesaian bagi ketegangan ketegangan yang muncul akibat pembangunan yang tidak selaras, Suatu sistem produksi yang menghormati kewajiban untuk melestarikan ekologi bagi pembangunan itu sendiri, Suatu sistem teknologi yang dapat menemukan terus menerus jawaban jawaban baru. Suatu sistem internasional yang dapat membantu pola pola perdagangan dan keuangan yang berlanjut dan, Suatu sistem adminstrasi yang luwes dan mempunyai kemampuan sungguhsungguh dalam memperbaiki diri secara terus menerus kearah yang lebih baik. Menurut Salim (2010) kesejahteraan yang dicapai manusia menjadi tidak bermakna bila kekuatan ekologis melemah, sebab kesejahteraan tadi harus dibayar dengan recovery cost (biaya pemulihan) untuk memulihkan serta menjaga kelestarian lingkungan dan bahkan dampak sosial yang dirasakan sulit dihitung tingkat kerugiannya. Kondisi ini menunjukkan perlunya model pembangunan yang berkelanjutan sehingga menghasilkan keberlanjutan dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan secara bersamaan dalam tiga jalur pertumbuhan yang terus bergerak maju. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang tepat dilaksanakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada sisi ekonomi, namun tidak merusak sisi lingkungan dan sosial-budaya. Konsep ini juga relevan dengan perkembangan dunia khususnya Indonesia yang pembangunannya terus meningkat, namun cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan serta kondisi sosial. Pendekatan sosial budaya menjadi modal dasar dalam memulai aktifitas
9
rencana pembangunan terutama bagaimana meletakan kebutuhan masyarakat baik tradisional maupun terkini pada pijakannya. Hal ini untuk memperkokoh daya bangun dan peletakan ruang pembangunan yang ramah lingkungan dan secara teruts menerus menyediakan jasa bagi pencapaian tujuan utama masyarakat adil da sejahtera jasmani dan rohani. 2.2 Sistem Informasi Geografis dan Analisis Spasial Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem perangkat kerja komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan data, analisis data dan tampilan geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Sistem komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia (personal) yang sengaja dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, menganalisis dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (Barus, 2000). Analisis dengan SIG dapat memperoleh jawaban dari permasalahan-permasalahan keruangan. Hal ini tergantung dari bagaimana analisis melakukan klasifikasi atau simbolisasi suatu fitur. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan (Mitchell, 2005). Analisis SIG dapat dipakai untuk mendukung berbagai aplikasi baik terhadap fenomena geografis yang penting dalam kegiatan pembangunan, misalnya dalam perencanaan tata ruang (spatial planning) yang dalam UU 26 Tahun 2007 diterjemahkan dalam penyusunan, pemanfaatan dan pengendalian Ruang. Dalam perencanaan pembangunan perlu dilakukan analisis spasial dari berbagai kondisi fisik dan sosial budaya dan ekonomi suatu daerah untuk dapat menentukan pemanfaatan sumberdaya yang optimal. Untuk keperluan analisis keruangan, SIG mempunyai kemampuan yang sangat fleksibel dan akurat. Menurut Barus (2000) tahapan dalam analisis SIG diawali dengan persiapan yaitu konversi data analog maupun dijital lain kedalam format yang diinginkan, dan yang berikut adalah identifikasi dan spesifikasi objek dalam data sumber sehingga bereferensi geografis. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi, 2001). Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti. Interpretasi secara digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. 2.3 Penutupan lahan dan Penggunaan lahan Menurut FAO (1994) Definisi lahan adalah “daerah di permukaan bumi bagian daratan yang disebut juga tanah, meliputi semua bagian biosfer tepat di atas atau di bawahnya, termasuk dari iklim, bentuk tanah, hidrologi pada permukaan yanag meliputi danau dangkal, sungai, rawa-rawa, dan rawa, lapisan sedimen dan terkait tanah cadangan, populasi tanaman dan hewan, pola permukiman manusia dan hasil fisik aktivitas manusia masa lalu dan sekarang” (terasering, penyimpanan air atau struktur drainase, jalan, bangunan, dll). Wolman (1987) dalam Widiatmaka (2007) mengartikan lahan merupakan
10
kumpulan bentangan sumber daya alam di profil tertentu dari mulai atmosfer. Dapat disimpulkan bahwa lahan merupakan tanah dengan segala ciri, kemampuan maupun sifatnya beserta segala sesuatu yang terdapat diatas termasuk didalamnya kegiatan manusia dalam memanfaatkan lahan. Lahan adalah lingkungan fisik yang mencakup tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi penggunaan lahan.(Wolman, 1987, 646 Penggunaan lahan atau land use merupakan aktifitas manusia dalam memanfaatkan lahan yang melibatkan pengelolaan dan modifikasi lingkungan alam atau hutan belantara ke lingkungan terbangun seperti padang rumput, dan permukiman. Penggunaan lahan juga telah didefinisikan sebagai "pengaturan, kegiatan dan masukan manusia dalam mengambil alih jenis tutupan lahan tertentu untuk menghasilkan, mengubah atau mempertahankannya" (FAO, 1997a, FAO / UNEP, 1999). Penggunaan lahan mencerminkan sejauh mana usaha atau campur tangan manusia dalam memanfaatkan dan mengelola lingkungannya. Banyak sumber yang sudah berusaha memisahkan dengan tegas batas antara penutupan lahan dan penggunaan lahan, Lillesand dan Kiefer (1979) memberi pengertian penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut. Townshend dan Justice (1981) juga berpendapat mengenai penutupan lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Barret dan Curtis (1982) mengatakan bahwa permukaan bumi sebagian terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain sebagainya, dan sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia (penggunaan lahan). Jika pada penutupan lahan dikatakan “tubuh air” (water body), maka penggunaan lahan dapat berarti sungai, danau, kolam, dan lain-lain. Dunggio (1991) dalam jurnal ilmiah Agropolitan melakukan analisis degradasi tutupan lahan di Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo yang menyimpulkan bahwa terjadi perubahan tutupan lahan sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan oleh manusia seperti pemukiman, perladangan berpindah, illegal logging dan perburuan illegal. Dari hasil pengertian dan penelitian tersebut menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan dapat dikatagorikan dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Sedangkan degradasi lahan memiliki kaitan erat dengan lahan yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui yang sangat bergantung dengan daya dukung lahan. Dengan demikian keputusan manusia untuk memperlakukan lahan bagi kepentingan mensejahterakan dirinya disamping sangat dipengaruhi oleh permintaan dan ketersediaan lahan maka dipengaruhi juga oleh faktor karakterisitik fisik lahan (suitability), feasibility berkaitan dengan lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor penting lainnya berikaitan dengan budaya masyarakat (culture) dan kebijakan pemerintah (policy maker). 2.4 Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan UNFAO mengembangkan standar internasional klasifikasi penutup lahan berdasarkan dokumen ISO 19144-1. Selanjutnya dikembangkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) Indonesia, acuan ini memungkinkan terjadinya
11
pemantauan dan pelaporan perubahan penutup lahan pada suatu negara yang memiliki penerimaan di tingkat internasional. Dalam sistem klasifikasi penutup lahan UNFAO, makin detail kelas yang disusun, makin banyak kelas yang digunakan. Kelas penutup lahan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu daerah bervegetasi dan daerah tak bervegetasi. Semua kelas penutup lahan dalam kategori daerah bervegetasi diturunkan dari pendekatan konseptual struktur fisiognomi yang konsisten dari bentuk tumbuhan, bentuk tutupan, tinggi tumbuhan, dan distribusi spasialnya. Dalam kategori daerah tak bervegetasi, pendetailan kelas mengacu pada aspek permukaan tutupan, distribusi atau kepadatan, dan ketinggian atau kedalaman objek. Klasifikasi tutupan disederhanakan dari skala peta 1:250.000 yang dikeluarkan oleh BIG, dengan maksud agar memudahkan pendetilan klasifikasi yang disusun. Klasifikasi tutupan lahan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Penutupan Lahan menurut BIG skala 1: 250.000 No. 1 1.1
Kelas Penutup lahan Daerah Bervegetasi Daerah Pertanian
No. 2.1.4 2.2
1.1.1 1.1.2 1.1.3 1.1.4 1.1.5
Sawah Sawah pasang surut Ladang Perkebunan Perkebunan campuran Daerah bukan Pertanian Daerah Bukan Pertanian Hutan Lahan kering hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Hutan Lahan Basah hutan lahan basah primer Hutan lahan basah sekunder Semak dan belukar Padang Rumput, alang-alang, sabana Rumput rawa Daerah tak bervegetasi Lahan terbuka Lahar dan lava Hamparan pasir pantai Beting pantai
2.3.2 2.3.3 2.3.4 2.3.5 2.3.6 2.3.7
1.1.6 1.2 1.2.1 1.2.1.1 1.2.1.2 1.2.2 1.2.2.1 1.2.2.2 1.2.4 1.2.5 1.2.6 2 2.1 2.1.1 2.1.2 2.1.3
Kelas Penutup lahan Gumuk pasir Permukiman dan lahan bukan pertanian yang berkaitan 2.2.1 Lahan terbangun 2.2.1.1 Permukiman 2.1.1.2 Bangunan industrial 2.2.1.3 Jaringan jalan 2.2.1.3.1 jalan arteri 2.2.1.3.2 jakal kolektor 2.2.1.3.3 jalan lokal 2.2.1.4 Jaringan jalan kereta api 2.2.1.5 Bandar udara domestik/internasional 2.2.1.6 Pelabuhan laut 2.2.2 Lahan tidak terbangun 2.2.2.1 Pertambangan 2.2.2.2 Tempat penimbunan sampah/deposit 2.3 Perairan 2.3.1 Danau atau waduk Tambak Rawa Sungai Anjir pelayaran Terumbu karang Gosong pantai
Sumber data : SNI BIG
2.5 Penataan Ruang Wilayah Rustiadi (2011) mengatakan ada dua kondisi yang harus dipenuhi dalam penataan Ruang wilayah: (i) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan
12
atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan dan (ii) adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Sasaran utama dari Penataan Ruang Wilayah pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan yang terbaik, namun biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum yaitu : (i) efisiensi, (ii) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, serta (iii) keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan sumberdaya diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Wilayah sebagai suatu matriks fisik harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan wilayah juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik-lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable). Proses pembelajaran yang berkelanjutan adalah buah pengalaman manusia yang didalam kehidupannya berada dalam siklus tanpa akhir berupa : pemanfaatan – monitoring (mengamati) – evaluasi (pembelajaran) – tindakan pengendalian – perencanaan (upaya memperbaiki, mengantisipasi masa depan dan memutuskan tindakan) – pemanfaatan dan seterusnya. Rangkaian siklus diatas dilakukan oleh manusia untuk menuju keseimbangan dalam penataan ruang yang lebih baik. Sebagai proses perubahan penataan ruang secara formal adalah proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial. Alasan yang melandasi pentingnya penataan ruang adalah perbedaan kepentingan antara individu dan masyarakat, ruang itu sendiri merupakan atmosfer bersifat public good, ruang sebagai bagian dari fungsi ekologis menjadi daya dukung dan berkelanjutan bagi suatu sistem. Penataan ruang di Kabupaten Merauke setelah kurang lebih sembilan tahun sejak pemekaran tahun 2002, tepatnya pada tahun 2011 ditetapkan Peraturan Daerah (PERDA) no 11 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Merauke (RTRW). PERDA ini dianggap unik dan bahkan mendapat penghargaan produk RTRW terbaik ketiga di Indonesia karena merupakan produk ruang yang mengadopsi dan memasukan dokumen Tempat penting masyarakat adat dalam bentuk lokasi dan pengetahuan nilai kearifan lokal Suku Malind. Menurut Rustiadi (2011) secara alamiah tanpa atau dengan keterlibatan manusia berlakunya hukum-hukum alam telah menyebabkan terdistribusinya segala benda ataupun sumberdaya alam dengan keteraturan yang dinamis, yang berpola dan terstruktur secara spasial maupun waktu sehingga membentuk pola ruang. Tempat penting masyarakat adat merupakan pola adaptasi turun-temurun dari nilai mitologi yang menjadi identitas penting Suku Malind ditanah animha di wilayah paling selatan Provinsi Papua. Sampai saat ini nilai tersebut masih dipertahankan dengan berbagai ritual dan aturan main adat yang diakui sebagai bagian dari keseimbangan fisik lingkungan dan sosial budaya. Dengan demikian proses penataan ruang di Kabupaten Merauke telah berpedoman pada pendekatan pembangunan berbasis pada nilai-nilai setempat atau lokal yang hidup dan berkembang dan dilestarikan. 2.6 Kearifan Lokal Keraf (2002), menyatakan bahwa kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan
13
atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sunaryo (2003), juga menjelaskan kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup lama. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Menurut Ardhana (2005), kearifan lokal dapat diartikan sebagai perilaku bijak yang selalu menggunakan akal budi, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam suatu wilayah geografis tertentu. Dalam kearifan lokal ada karya atau tindakan manusia yang sifatnya bersejarah, yang masih diwarisi masyarakat setempat. Perilaku bijak ini biasanya adalah tindakan, kebiasaan atau tradisi, dan cara-cara masyarakat setempat yang menuntun untuk hidup tenteram, damai dan sejahtera. Ardhana (2005), menjelaskan bahwa menurut perspektif kultural, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka, termasuk mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tatanan sosial. Memahami kearifan lokal dapat dilakukan melalui pendekatan struktural, kultural dan fungsional. Menurut perspektif struktural, kearifan lokal dapat dipahami dari keunikan struktur sosial yang berkembang di masyarakat, yang dapat menjelaskan tentang institusi atau organisasi sosial serta kelompok sosial yang ada. Di Suku Baduy, di desa Cikartawana, Cikeusik, Cibeo dan masyarakat Baduy Luar, mencirikan adanya sebuah struktur sosial yang unik. Ada beberapa penelitian ilmiah maupun makalah dalam jurnal yang mengemukakan betapa kuatnya kearifan dalam masyarakat dengan adat istiadat yang melekat dengan alamnya, misalnya Sasaoka (2012) mengenai praktek kearifan lokal masyarakat adat di Seram tengah Maluku dalam pengelolaan sumber daya alam; Byer et al. (2001) meneliti peran keyakinan agama tradisional dalam melestarikan hutan lahan kering di Zimbabwe utara. Virtanen (2002) melihat di Mozambik tentang berfungsinya kelembagaan sosial budaya atas hutan keramat. Contoh lain juga dipraktekan oleh masyarakat adat Yi di Yunan China melalui pemetaan kawasan penting mereka yang memiliki kearifan lokal yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan hutan yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam komunitasnya (Jinlong, 2012). Di Indonesia sendiri ada beberapa penelitian ilmiah seperti yang dilakukan oleh Wadley dan Pierce (2004) tentang hutan keramat di kalimantan barat yang adalah wilayah penting bagi satwa liar. Menurut perspektif fungsional, kearifan lokal dapat dipahami sebagai bagaimana masyarakat menjalankan fungsi-fungsinya, yaitu fungsi adaptasi,
14
integrasi, pencapaian tujuan dan pemeliharaan pola. Contohnya dalam hal beradaptasi menghadapi era globalisasi (televisi, akulturasi dan lain-lain). Sementara itu Nababan (2003) berpendapat bahwa sudah sejak lama masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati karena sebagian besar masyarakat adat memiliki sistemsistem lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus menerus secara turun temurun. Kearifan nilai adat Suku Malind di merauke melalui wujud ruang yang disebut ‘Tempat penting’ tidak terlepas dari kisah sejarah mula penciptaan, salah satu tokoh kunci Suku Malind menyatakan : Awal mula alam semesta ini masih diliputi oleh kabut yang luas menyelimuti bumi dan pada waktu itu bumi masih merupakan suatu cairan lumpur hidup yang bergoyang. Ketika sang pencipta atau di sebut “Ala-Alawi” melayang-layang di udara di antara kabut tebal dan menggalungi lehernya dengan kantong yang berisi bongkahan tanah atau “wan”. Gebze (2000) Mitologi ini merupakan sistem religi yang melekat dalam pemahaman budaya Suku Malind dan “Dema” adalah leluhur mereka, atau pusat dari sistem religi yang dianut. Seluruh tumbuhan dan satwa endemic dan benda benda lain bahkan gejala alam yang hidup di atas wilayah adat Malind telah dijelmakan untuk membantu manusia didalam setiap penamaan marga atau boan, semua sudah terbagi dalam kepemilikan marga. Oleh karena itu setiap marga sangat menjunjung tinggi dan menghargai serta melindungi wujud-wujud “Dema” mereka, terutama mereka menganggap sebagai lumbung sumber kehidupan yang tidak boleh diperlakukan sembarangan oleh siapapun dan dimanapun sampai kapanpun. Berdasarkan mitologi ini maka ajaran “Mayo” identik disebut sebagai suatu kepercayaan yang mengajarkan totemisme dan pelestarian alam. Pengelolaan komponen biologis yang menjadi simbol-simbol tersebut dianggap sebagai tugas suci sepanjang masa. Air penyubur kehidupan genetik dikelola dengan penuh kasih sayang, selanjutnya kata Gebze : Api penggerak kehidupan meliputi segala komponen kehidupan lainnya. Angin mengisi semua ruang kehidupan. Tanah oleh kelengkapan komponen-komponen kehidupan lainnya menumbuhkan aneka spesies tumbuhan, aneka spesies satwa, dan pengelompokan klen-klen/boan. Cakrawala pagi, siang, senja, malam, dan pagi penuh puja akan keagungan semesta buah karya abadi Amai yang tak terlihat. Cakrawala itu mahkota (gali) kehidupan yang terus berlanjut sepanjang masa. Sofyandi (2010) dalam tesisnya mengemukakan pengertian lingkungan dalam masyarakat hukum adat Malind dipahami dengan sebutan alam atau “unam”. Alam semesta mempunyai hubungan kekerabatan antara satu dengan yang lain terutama dengan manusia. Hubungan kekerabatan ini muncul dalam ajaran “totemisme”, dimana kekerabatan antara manusia dengan tumbuhan, manusia dengan hewan, tumbuhan dengan tumbuhan, hewan dengan hewan, tumbuhan dengan hewan, tumbuhan dengan unsur alam, hewan dengan unsur alam, manusia dengan unsur alam dan seterusnya. Gambar 1 menunjukan ilustrasi hubungan kekerabatan antara alam, manusia, tumbuhan, hewan. (Sofyandi 2010)
15
Alam “Unam”
Manusia “ Anim”
Pasangan “Nakali”
Hewan “ Awe”
Tumbuhan “Maru”
Gambar 1. Denah hubungan kekerabatan antara alam dan manusia
Pengetahuan tentang adat sangat tergantung dengan tingkatan status adat seseorang dalam kepengurusan adat. Seseorang yang telah mencapai tingkatan adat tertentu dapat menyampaikan cerita atau peristiwa tentang adat mereka kepada orang lain atau Suku lain, tetapi tidak semuanya dapat di ceritakan terutama yang menyangkut hal yang di anggap sakral. Hal ini tidak terlepas dari kepemilikan wilayah-wilayah adat yang sudah dibagi habis dan telah di atur berdasarkan mitologi Suku Malind. Secara bioetik masyarakat adat Malind terbingkai dalam aliran Totemisme yang menempatkan alam sebagai leluhur (amai) yang pemurah. Pelestarian alam dan komponen-komponen biologis merupakan kewajiban setiap orang dan hal tercermin dalam langgam lagu tradisional yang sering dikumandangkan dalam berbagai upacara adat. 2.7 Etnografi berbasis spasial Pendekatan penelitian kualitatif saat ini melalui pendekatan etnografi berbasis spasial, sebelumnya perlu dipahami tentang cabang ilmu antropologi tersebut sehingga ada penyamaan presepsi. Etnografi biasanya terdiri atas uraian terperinci mengenai aspek cara berperilaku dan cara berpikir yang sudah membaku pada orang yang dipelajari, yang dituangkan dalam bentuk tulisan, foto, gambar atau film. Karena kebudayaan meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan perilaku dan pemikiran, dan keyakinan suatu masyarakat, yang dipelajari oleh ahli etnografi bisa berbentuk bahasa, mata pencaharian, sistem teknologi, organisasi sosial, kesenian, sistem pengetahuan, bahasa dan religi. Untuk memahami unsur-unsur kebudayaan tersebut, peneliti biasanya tinggal bersama masyarakat yang diteliti dalam waktu yang cukup lama untuk mewawancarai, mengamati, dan mengumpulkan dokmen-dokumen tentang obyek yang diteliti. Istilah etnografi berasal dari kata Yunani ethnos yang berarti ‘orang’ dan graphein yang berarti ‘tulisan’. Istilah itu kemudian diartikan sebagai sejenis tulisan yang menggunakan bahan-bahan dari penelitian lapangan untuk menggambarkan kebudayaan manusia. Menurut Spradley (1980) kebudayaan merupakan seluruh pengetahuan yang dipelajari manusia dan digunakan untuk
16
menginterpretasi pengalaman dan membentuk tingkah laku, dan ethnografi merupakan penelitian yang membahas kebudayaan, baik yang eksplisit maupun implisit. Penelitian etnografi memusatkan perhatian pada keyakinan, bahasa, nilainilai, ritual, adat-istiadat dan tingkah laku sekelompok orang yang berinteraksi dalam suatu lingkungan sosial-ekonomi, religi, politik, dan geografis. Analisis etnografi bersifat induktif dan dibangun berdasarkan perspektif orang-orang yang menjadi partisipan penelitian. Karena obyek etnografi adalah kebudayaan yang memiliki unsur eksplisit dan implisit, proses pelaksanaannya menjadi unik dibandingkan dengan penelitian lain. Penelitian tentang unsur-unsur kebudayaan yang eksplisit dapat dilakukan dengan cukup mudah karena unsur-unsur kebudayaan seperti itu relatif dapat diungkapkan partisipan secara sadar. Namun bila penelitian berhubungan dengan unsur-unsur kebudayaan yang implisit, yang dipahami secara tidak sadar oleh pemiliknya, data dan makna harus disimpulkan secara hati-hati berdasarkan penuturan dan tingkah laku para patisipan. Hal inilah yang membuat seorang etnografer perlu terlibat dalam kehidupan masyarakat yang diteliti dengan berperan sebagai pengamat berparisipasi (participant-observer). Spradley (1980) menekankan: "participation allows you to experience activities directly, to get the feel of what events are like, and to record your own perceptions." Menurut Creswell (2008), penelitian etnografi dapat dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang atau pola ‘kaidah-kaidah’ yang mendasari sesuatu yang ‘dialami’ atau ‘dimiliki’ oleh sekelompok orang secara bersama, seperti tingkah laku, bahasa, nilai-nilai, adat-istiadat dan keyakinan. Penelitian etnografi memiliki beragam bentuk, akan tetapi jenis utama yang sering muncul dalam laporan-laporan penelitian pendidikan adalah etnografi realis, studi kasus, dan etnografi kritis. Penelitian ini kemudian akan mengarahkan tujuan pertama untuk menggali lebih jauh Tempat penting dengan menggunakan pendekatan kualitatif etnografi realis menggunakan teknik bola salju dan pemetaan partisipatif. Kajian budaya etnografis memusatkan diri pada penelitian kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks ‘ keseluruhan cara hidup ’, yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorientasi media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode kualitatif,termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah. Metode pengumpulan data yang utama adalah observasi atau wawancara yang kemudian melalui catatan lapangan semua hasil dicatat dan didokumenkan. Tahapan berikutnya adalah validisasi mengacu pada upaya membuktikan bahwa apa yang ada dalam dunia kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia mamang sesuai dengan sebenarnya ada atau terjadi. Tahap akhir adalah menganalisis dan membuat simpulan akhir yang memenuhi harapan objektifitas dalam penyimpulan hasil. 2.8 Konsensus Pemetaan Partisipatif Masyarakat adat Malind tentang kearifan Tempat penting Pemetaan Partisipatif (PP) atau participatory mapping sudah dikenal di dunia dalam perkembangan teori-teori sosial dan antropologi sejak dekade 1980an, dimana teori partisipatif diperkenalkan dengan melihat paham positivistik
17
lebih bersifat perencanaan teknokratik tanpa melihat perkembangan dan keberadaan masyarakat. Di Indonesia sejak tahun 1992 telah dipublikasi hasil pemetaan partisipatif di Long uli perbatasan Taman Nasional Kayang Mentarang, dan kemudian munculah forum Jaringan Komunikasi Pemetaan Partisipatif (JKPP) pada sekitar tahun 1996 memperkuat kegairahan dalam mengusung gerakan ini secara terkoordinasi dan lebih terogranisir. Tercatat sampai kini tercatat kurang lebih 510 komunitas yang telah melaksanakan kegiatan ini di seluruh Indonesia, dengan berbagai tujuan yang muaranya pada penyelesaian konfik lahan secara horisontal antar masyarakat maupun vertikal antar masyarakat dengan pihak pemerintah dan swasta, selain itu tujuan lain dari pemetaan adalah sebagai upaya mempersiapkan masyarakat melakukan langkah pengelolaan lahan secara spasial. Misalnya, peta digunakan untuk mengetahui pola pemanfaatan sumber daya alam secara tradisional, tetapi juga peta digunakan untuk membangun identitas seperti yang dilakukan di Jayapura, Papua oleh PtPPMA dengan masyarakat adat Nambluong. Contoh lain dapat dilihat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur serta banyak lagi daerah lainnya. (Safitri, 2009) High Conservation Value atau kawasan bernilai konservasi Tinggi adalah alat pendekatan yang digunakan oleh berbagai lembaga Swadaya Masyarakat seperti misalnya Yayasan WWF Indonesia melalui Panduan HCV yang dikeluarkan oleh konsorsium HCV Tolkit Indonesia. Konsep High Concervation Value (HCV) atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi muncul pada tahun 1999 sebagai ‘Prinsip ke sembilan (9)’ dari standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan oleh Majelis Pengurus Hutan (Forest Stewardship Council / FSC). Salah satu prinsip dasar dari konsep HCV adalah bahwa wilayah-wilayah yang dijumpai atribut dengan nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi daerah di mana pembangunan tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, konsep HCV mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan HCV tersebut. Dalam hal ini, pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang. (Konsorsium Toolkit HCV, 2008). Penyusunan dokumen kearifan nilai adat Malind dengan memasukan unsur HCV sebagai bagian dari pemikiran lingkungan diinisiasi dalam proses pemetaan partisipatif nilai kearifan dan pemetaan Tempat penting di Kabupaten Merauke. Hal ini merupakan alternatif menjawab kesiapan masyarakat Malind dalam memperjuangkan dihormati dan diakuinya hak atas pengelolaan sumber daya alam mereka dalam setiap kebijakan pembangunan terutama penataan ruang di Kabupaten Merauke. Pemetaan Partisipatif Tempat penting bagi Suku Malind sendiri bertujuan untuk mengidentifikasi semua Tempat penting dalam skala Suku dan wilayah adat Malind anim yang antara lain wilayah khima-khima, makleuw, Muli anim, Kum-anim/Malind anim, mbian anim, imbuti/rahuk anim, nggawil anim, Marori Mengey, Kanume dan Yeinan. Sejalan dengan inisiatif adat tersebut pada tahun 2006 telah dibangun ikrar bersama antara masyarakat adat dan para pihak di dua negara Indonesia dan Papua New Guinea melalui dokumen visimisi TransFly yang isinya merumuskan dan menghasilkan peta TransFly. Peta tersebut telah mengakomodir Tempat penting masyarakat adat dan visi ekoregion
18
sebagai penjabaran dari prioritas ekologi di wilayah sebelah Selatan pulau Papua. (WWF Indonesia, 2008) Pembagian wilayah adat sangat berpengaruh pada hak dan kekuasaan untuk mengatur wilayah masing-masing sehingga ada pembatasan ketika seorang pemimpin adat pada suatu wilayah akan berbicara tentang teritori di luar wilayah kekuasaannya. Kepemilikan ulayat Malind Anim berdasarkan genealogis teritorial ini di kenal sebagai kepemilikan empat penjuru mata angin. Adapun sistem golongan kemargaan/Famili disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Susunan Marga marga dalam Masyarakat Malind Susunan Marga I. Marga Besar Gebhae/Gebze 1. Gebhae-Dinolik 3. Gebhae-Walinaulik 5. Gebhae-Wabalik 7. Gebhae-Awabalik II. Marga Besar Samilik/Sami 1. Yolmen 3. Balagaihae 5. Kaholik 7. Basikbasik I. Marga Besar Gebhae/Gebze 1. Gebze 3. Kaize 5. Mahuze 7. Balagaize II. Marga Besar Samilik/Sami 1. Mahuze 3. Kaize 5. Basikbasik 7. Ndiken I. GEB 1. Nasemhe 3. Awabalik 5. Moyuend 7. Bilukande 9. Dinolik 11. Baodhe II. MAHUZE 1. Ndiwalik 3. Kidkidolik 5. Boilik 7. Matiwen
2. 4. 6. 8. 2. 4. 6. 8.
Gebhae-Honglik Gebhae-Nggaulamlik Gebhae-Bilukande Gebhae-Moyuend
Golongan Adat
MAYO
Maghuhae Kaize Samkakai Ndikend
2. Samkakai 4. Ndiken 6. Basikbasik
2. 4. 6. 8.
Zohe Samkakai Gebze Balagaize
2. 4. 6. 8.
Yamahe Ndiken Yawimahe Kaize 10. Samkakai
ZOSOM
EZAM
IMOH 2. 4. 6. 8.
Kaholik Kinamde Balagaize Basikbasik
Dalam pandangan Malind setiap keluarga dalam klen atau marga berhak menggarap tanah untuk menanam komoditi pertanian (umumnya pangan) untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, atau memangkur sagu didusun yang menjadi hak boan atau marganya. Contoh lain mengambil kulit kayu untuk menganyam noken/tas di hutan yang menjadi hak marganya. Dengan kata lain, akses setiap
19
anggota suku dan marga terhadap tanah dan sumberdaya agraria lainnya masih terbuka lebar. Menurut Boguma (2010) memperkuat argument tersebut orang Malind memiliki hubungan yang kuat dengan sumber-sumber agrarianya dalam sifat komunal sehingga ini memberi peluang akses yang luas. 2.9 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan memaknakan kesan-kesan indera untuk dapat memberikan arti terhadap lingkungannya. Apa yang seseorang persepsi terhadap sesuatu dapat berbeda dengan kenyataan dengan kenyataan yang objektif. Secara etimologi persepsi berasal dari bahasa latin perceptio yang berarti menerima atau mengambil. Persepsi adalah suatu proses dengan mana berbagai stimuli dipilih, diorganisir, dan diinterpretasi menjadi informasi yang bermakna. Menurut Stephen (1998), persepsi adalah suatu proses pengorganisasian dan pemaknaan terhadap kesan-kesan sensori untuk memberi arti pada lingkungannya. Fred (1992) mengatakan proses persepsi dapat didefinisikan sebagai interaksi yang rumit dalam penyeleksian, pengorganisasian, dan penafsiran stimulus. Demikian juga dengan Milton (1981) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses seleksi, organisasi dan interpretasi stimulus yang berasal dari lingkungan. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses dengan mana berbagai stimuli dipilih, diorganisir, dan diinterpretasi menjadi informasi yang bermakna. Kertapati (1981) menyatakan bahwa persepsi dapat diartikan sebagai proses untuk mengerti dan menyadari dunia luar diri sendiri. Menurut Schiffman, (1997) persepsi adalah bukan pembawaan dari lahir, sebagian besar dipelajari setelah dewasa. Berdasarkan tinjauan teori yang telah dikemukakan, yang dimaksud dengan persepsi masyarakat dalam penelitian ini adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan melalui penerimaan sejumlah sensasi dengan bekerjanya sistern syaraf, sehingga masyarakat dapat mengenal dan menyusun suatu pola tentang suatu hal dan tentang pilihan seseorang yang dikendakinya. Dibawah level persepsi ada pendapat atau opini, Pengertian Opini publik atau masyarakat menurut konteks berkaitan dengan dua pertanyaan yang berbunyi : "What public are we referring to (Publik apa yang kita maksud) dan "What is an opinion (Apa yang dimaksud dengan opini). Opini publik adalah terjemahan dari kosa kata Bahasa Inggris yakni public opinion. Ditinjau dari sudut asal katanya Public Opinion berasal dari bahasa latin yakni opinari dan publicus. Adapun Opinary berarti berfikir atau menduga. Dalam bahasa inggris juga menandung arti option and hope yang juga berasal dari bahasa latin yaitu optio. sedangkan publicus mempunyai arti milik masyarakat luas. Menurut Moore (2004) Opini lebih kuat dari pada sebuah kesan tetapi lebih lemah dari pada pengetahuan yang positif. Opini merupakan suatu kesimpulan yang ada dalam pikiran dan belum dikeluarkan untuk di perdebatkan. Pendapat masyarakat adalah ungkapan keyakinan yang menjadi pegangan bersama diantara para anggota sebuah kelompok atau public, mengenai suatu masalah kontroversial yang menyangkut kepentingan umum.
20
Penelitian ini kemudian akan digiring untuk mengetahui sejauh mana pemahaman, pengalaman dan harapan para pihak yang dikatagorikan sebagai publik atau masyarakat dalam koridor tata ruang. Persepsi masyarakat akan digali lebih dalam untuk mengetahui komposisi dominasi dari persepsi tentang pengetahuan, peran dan sikapnya dalam pemanfaaatan dan pengendalian ruang wilayah di Kabupaten Merauke. 2.10 Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Peraturan Zonasi Persoalan penataan ruang di Indonesia pada dasarnya berakar pada bagaimana pelaksanaan pembangunan dilakukan. Dalam pelaksanaannya suatu pengembangan kawasan seringkali tidak sejalan dengan rencana tata ruang yang telah disusun dan menjadikan keduanya sebagai suatu produk yang bertentangan. Rencana tata ruang yang telah disusun akan tetap menjadi suatu dokumen sedangkan pelaksanaan pembangunan tetap berjalan berdasarkan permintaan pasar. Ketidaksesuaian antara rencana tata ruang yang telah disusun dengan pelaksanaan pembangunan ini membutuhkan apa yang disebut dengan pengendalian. Dalam Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa pengendalian merupakan bagian dari proses penyelenggaraan penataan ruang yang berupaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memastikan bahwa proses pemanfaatan ruang telah sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan seringkali kawasan yang seharusnya menjadi kawasan pengembangan disalahgunakan oleh masyarakat setempat. Oleh karenanya zonasi kawasan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah menjadi berkurang dan akhirnya ditetapkanlah Penambahan Zonasi Pengembangan Kawasan. Dalam pelaksanaan pembangunan, pengendalian memiliki dua fungsi yaitu: (1) Fungsi untuk memperbaiki suatu kegiatan yang telah berlangsung lama namun keberadaanya tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ada. (2) Fungsi untuk mencegah terjadinya pembangunan yang tidak sesuai dengan acuan yang telah disusun. Kedua fungsi pengendalian tersebut pada dasarnya diarahkan untuk tujuan, mengarahkan dan mendorong pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada dan visi misi daripada pembangunan itu sendiri. Berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bentuk pengendalian penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya meliputi empat jenis, yaitu peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Peraturan Zonasi, merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang Perizinan, merupakan upaya untuk memperbolehkan atau tidak memperbolehkan suatu kegiatan berlangsung pada suatu wilayah sesuai dengan tata ruang, dengan mengeluarkan penerbitan surat izin. Pemberian Insentif dan Disinsentif, merupakan upaya untuk mengarahkan pembangunan dengan memberikan dorongan terhadap kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan upaya menghambat terhadap kegiatan yang bertentangan dengan rencana tata ruang.
21
Pengenaan Sanksi, merupakan upaya untuk memberikan tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dari semua bentuk pengendalian yang ada, peraturan zonasi merupakan salah satu alat untuk pengendalian pemanfaatan ruang yang kedudukannya setara perizinan, insentif/disinsentif, dan sanksi. Secara diagramatis kedudukan peraturan zonasi berdasarkan UU No. 26 Tahun 2009 tentang Penataan Ruang dapat digambarkan seperti Gambar 2.
Gambar 2. Bagan posisi peraturan zonasi dalam penataan ruang
Peraturan Zonasi (Zoning regulation) yang merupakan perangkat aturan pada skala blok yang umum digunakan di negara maju potensial untuk melengkapi Rencana Detil Tata Ruang Kabupaten/kota (RDTRK) agar lebih operasional. Penggunaan peraturan zonasi dapat dilakukan di negara-negara maju (Amerika Serikat dan Eropa Barat) dikarenakan pola ruang wilayah administratif pada negara-negara tersebut didasarkan pada pola pengembangan blok. Dengan pola ini, disertai dengan kelengkapan instrumen data dan kelembagaan, maka peraturan zonasi dapat ditegakkan sesuai dengan tujuan dari peraturan zonasi itu sendiri. Untuk penggunaannya di Indonesia, ternyata peraturan zonasi tersebut memerlukan modifikasi tersendiri dikarenakan pengembangan pola ruang di Indonesia masih didasarkan pada deliniasi administratif atau deliniasi kawasan yang berfungsi sama. Berdasarkan hal ini, maka tentunya pelaksanaan peraturan zonasi harus berusaha diadopsikan dengan pola perencanaan di Indonesia. Terhadap penerapan peraturan zonasi ditemui beberapa kesulitan mendasar untuk langsung diadopsikan pada perencanaan ruang di tingkat Nasional apalagi di daerah. Permasalah-permasalahan yang harus diantisipasi antara lain mencakup terlalu banyaknya varian sehingga memerlukan waktu dan biaya yang besar, pola penataan lama akan mengalami perbenturan konsep dengan pola yang baru, pengaturan ruang sangat rigit sehingga kurang pas pada Kabupaten/kota yang dinamis dan sedang berkembang. Peraturan zonasi di beberapa negara selain Indonesia diberlakukan dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain zoning code, land development code, zoning ordinance, zoning resolution, zoning by law, dan sebagainya (Zulkaidi, 2008). Peraturan zonasi lebih dikenal dengan istilah populer zoning regulation, dimana kata zoning yang dimaksud merujuk pada pembagian lingkungan Kabupaten/kota
22
ke dalam zona-zona pemanfaatan ruang dimana di dalam setiap zona tersebut ditetapkan pengendalian pemanfaatan ruang atau diberlakukan ketentuan hukum yang berbeda-beda (Barnet, 1982). Peraturan zonasi pada dasarnya mengatur tentang klasifikasi zona, pemanfaatan lahan, dan prosedur pelaksanaan pembangunan. Dalam Undang Undang nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, secara rinci disebutkan bahwa peraturan zonasi berisi: 1) Ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang, 2) Amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan), 3) Penyediaan sarana dan prasarana. Peraturan zonasi dapat menjadi rujukan dalam perizinan, penerapan insentif/disinsentif, penertiban ruang, menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, serta dapat Rencana rinci atau Detil tata ruang yang benar dan tepat menjadi prasyarat utama dalam penyusunan peraturan zona. Dalam konteks penelitian maka penyusunan dokumen rencana Detil atau rinci melalui perangkat pengendalian ruang setelah ditetapkan peraturan daerah RTRW sangat diharapkan disusun oleh semua level sesuai batasan ruang baik di level nasional maupun Kabupaten kota. Pentingnya produk rencana rinci agar supaya proses implementasi peruntukan ruang dalam kerangka pembangunan dapat berlangsung dengan baik dan memenuhi target demi kepatuhan pada tata kelola ruang.
23
3 BAHAN DAN METODE 3.1 Disain penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif etnografi berbasis spasial yang mengangkat fenomena sosial-budaya dalam penataan ruang wilayah. Metode ini ditentukan dengan tujuan untuk mendapatkan data dan informasi mendalam tentang fakta-fakta simbolisasi dalam nilai kearifan masyarakat adat Suku Malind. Sebagai teori etnografi tidak berusaha untuk menguji teori tertentu namun hanya melakukan rekonstruksi dan pendalaman sejarah yang kemudian diperbandingkan dengan realita terkini (Denzim, 2012). Pendekatan teknik pengumpulan data pada masyarakat adat dilakukan dengan observasi partisipatif dimana peneliti terlibat aktif melalui pemetaan partisipatif berbasis spasial. Perkembangan perubahan dan pemanfaatan lahan diperoleh melalui interpretasi citra landsat dan metode tumpang susun antara peta tematik eksisting dan dokumen pola ruang RTRW. Teknik berikutnya untuk mendapatkan data persepsi para pihak perencana dan pemanfaat ruang dilakukan dengan cara wawancara dan group diskusi terfokus sesuai katagori peran. Sebagai penunjang dilakukan juga pengumpulan data literatur melalui dokumen dan semua bukti tertulis lainnya yang relevan. Akhirnya untuk memberikan masukan pada kebijakan penataan ruang dilakukan analisa dan perangkuman hasil dari ketiga tujuan menjadi solusi dan arahan dalam penyusunan Rencana Detil tata Ruang Kabupaten yang telah mengakomodasi Tempat penting Suku Malind. 3.2 Lokasi, Waktu, dan Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dengan mengambil fokus pada lokasi utama yaitu kawasan yang masuk dalam adminsitrasi kampung-kampung pada wilayah projek percepatan lahan pangan atau biasa disebut Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE). Sampel lokasi dipilih di empat kampung yaitu kampung Kaliki distrik Kurik, kampung Zanegi di Distrik Animha dan kampung Selouw serta kampung Kolam di distrik Muting. Lokasi lainnya menjaring pendapat dan pengalaman para pihak difokuskan di ibukota Kabupaten Merauke. Beberapa pertimbangan selain kemudahan akses dipilihnya lokasi penelitian antara lain : 1. Kampung Kaliki dan Zanegi merupakan kampung lokal masyarakat Malind anim juga memiliki kedekatan marga karena merupakan kampung yang bersebelahan di antara DAS sungai kumbe dan sungai Bian. Kedua kampung ini juga merupakan kawasan yang diperuntukan untuk beberapa investasi besar seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. SIS, Perkebunan Tebu P.T. Rajawali Group untuk dan di kampung Kaliki terdapat satu unit kelola Kesatuan Pengelolaan Hutan Hutan “momake Unaf” merupakan kelompok marga Balagaize . 2. Kampung Selouw dan kampung Kolam merupakan kampung lokal masyarakat Mbian anim yang juga berkerabat dekat. Merupakan lokasi beberapa perusahaan antara lain Perkebunan Kelapa sawit PT. Merauke Rayon jaya, Perkebunan kelapa Sawit PT Agrinusa Persada dan PT. Agriprima Cipta Persada. Kedua kampung ini strategis karena berada di koridor kawasan konservasi Cagar Alam Bupul dan Suaka Marga Satwa sungai Bian.
24
3. Kota Merauke sekaligus administrasi dari Distrik Merauke, adalah ibukota Kabupaten sebagai pusat pemerintahan Kabupaten, tempat berbagai kebijakan pembangunan wilayah dicetuskan dan dilahirkan. Terdapat beragam Etnis baik pendatang maupun orang papua asli serta multi profesi, wilayah kota Merauke memiliki jumlah penduduk terbesar mencapai 86.924 jiwa (BPS 2011) atau 44.6 persen dari jumlah penduduk di Kabupaten Merauke yang tinggal di kota ini. Waktu penelitian mulai dari penyusunan proposal, penelitian lapangan sampai penulisan Tesis dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai bulan Mei 2013. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
25
3.3 Jenis Data dan Alat Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data Sekunder diperoleh dengan mengumpulkan dan mempelajari dokumen RTRW, RPJMK, visi misi pemerintah daerah Kabupaten Merauke, Data penduduk Merauke dalam angka untuk sepuluh tahun sejak tahun 2002 sampai 2011 dan data Provinsi Papua dalam angka, Laporan pemetaan partisipatif Tempat penting dan laporan kegiatan ditingkat kampung dari beberapa sumber, serta laporan dinas Kehutanan, dinas Pekerjaan Umum, dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dinas Pertanian tanaman Pangan, Balai Taman Nasional Wasur dan Badan Pengembangan Investasi Daerah. Sumber data perorangan berupa makalah dan tulisan serta buku cetak. Data primer kearifan Tempat penting dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam informan masyarakat adat baik di kampung maupun di kota. Data persepsi kelompok para pihak : Pemuda, Akademisi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, Tokoh perempuan, pengusaha dan pemerintah. Data perubahan tutupan dan penggunaan lahan sebelum dan sesudah RTRW ditetapkan Tabel 3 menyajikan Secara rinci dan terstruktur mengenai jenis data, sumber data, analisis data dan kelauran yang diharapkan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa hardware seperti Laptop dengan kapasitas memadai, tape recorder, alat tulis menulis, buku catatan lapangan. Software pembantu alat analisis berupa MS-Office 2007, ArcGIS dan printer Canon untuk mencetak berbagai hasil Penelitian. 3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis data Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan empat metode analisis, yaitu : Deskriptif Kualitatif Etnografi mengenai Tempat penting dan konsensus masyarakat adat, analisis interpretasi citra satelit untuk mendapatkan data perubahan tutupan dan penggunaan lahan sebelum dan sesudah ditetapkannya RTRW, analisis presepsi dengan menggunakan wawancara dan group diskusi terfokus (FGD) untuk mendapatkan arahan strategi implementasi kebijakan rencana detil yang telah mengakomodir Tempat penting Suku Malind.
3.4.1 Participatory Rural Appraisal /Rapid Rural Appraisal (PRA/RRA) Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Rapid Rural Appraisal (RRA) setelah diterapkan sebagai metode oleh banyak pihak, merasakan adanya proses pembelajaran timbal balik, antara pembawa program dan penerima program, antara yang di dalam (insider) dan yang dari luar (outsider), (Chamber, 1993). Suatu metode pendekatan dalam proses pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat, yang tekanannya lebih pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan pembangunan. Pemberdayaan masyarakat dan partisipasi merupakan azas dan strategi dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat. Metode PRA menekankan pada aspek keterlibatan aktif masyarakat dalam keseluruhan perencanaan disamping peningkatan kemandirian serta kekuatan internal.
26
Tabel 3. Keterkaitan Tujuan, Jenis dan, Sumber data, Analisis serta Keluaran yang Diharapkan No Tujuan 1 Mengidentifika
Analisis data keluaran Primer: Primer Penghitungan 1. Deskriptif a. Peta Partisipatif 4 1. Tempat penting luasan Tempat mendalam tentang si, kampung (1:40.000) marga kampung kaliki, penting dan pola makna, jenis mendeskripsika b. Wawancara 7 Zanegi, Kolam dan Tempat penting Tempat penting n & memetakan Selouw. dgn Softwere marga Malind Tempat penting tokoh kunci dan marga di 4 kampung 2. Tokoh adat dari sub ArcGis 9.3 dan 2. Peta hasil masyarakat adat Sekunder : Suku Malind (1), microsoft Excel pemetaan Malind dalam a. Laporan Mbian anim (1), • layout hasil partisipatif di 4 bentuk nilai lokakarya Pemetaan Yeinan (2), Kanume(1), Tempat penting kampung dan pola kearifan partisipatif Tempat Marori- Mengey(1) marga. ruang tradisional pemanfaatan penting Suku Sekunder : • Analisis lahan Malind. Konsensus bersama kualitatif etnografi b.Tulisan & pustaka Suku Malind Sejarah & kearifan tradisional Tulisan/pustaka tentang Tempat penting skala kampung tentang Malind Malind dan kearifan Malind di Kabupaten Malind Merauke.
2 Menganalisis perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah RTRW Kabupaten Merauke ditetapkan
Jenis data
Sumber data
1. Citra Landsat 1. data citra arsip 1. Koreksi Geometri 1. Peta perubahan ETM 5 & 7 tahun USGS. Gov. 2. Interpretasi visual tutupan lahan 2000 dan 2012 2. Laporan carbon citra 2 titik tahun 2. Luasan dan area 2. Peta tutupan counting WWF 3. Klasifikasi perubahan lahan (1:250.000) Indonesia. (2012). Tutupan lahan 8 penggunaan lahan 3. Peta 3. Arsip Landsat 7 2012 klas/jenis di Kabupaten Penggunakan lahan dari Kemenling RI 4. analisis Merauke hasil overlay Peta 4. Hasil analisis Peta penggunaan lahan Lahan dan pola pola ruang RTRW dan tumpang ruang RTRW. (BappedaKab), susun dgn Peta 4. Tabel excel Lahan. perubahan lahan antara tahun 2000 2012 Menganalisis 3 Primer : pendapat para 1. Wawancara 21 Pemda : Analisis Deskriptif Pendapat masyarakat pihak terhadap informan dari berbagai Bappeda, Kehutanan Kualitatif : tentang komitmen, pelaksanaan dan profesi dan peran Perkebunan, PU, pengelompokan peran dan pengendalian 2. Tiga Hasil Fokus PMK, BTNW, hasil pendapat dan pelibatannya dalam Ruang dalam Group diskusi BPMD, Pertanian. penilaian para tata ruang serta RTRW Kabupaten 3. Telaan literatur LSM : WWF, SKP- pihak upaya kedepan Merauke dokumen RTRW dan KAM pelestarian Tempat investasi Ketua LMA, tokoh penting masyarakat, dan Akademisi 4 Merumuskan Hasil analisis tujuan 1, Perangkuman Arahan RDTR yang Masukan berupa 2, dan 3 hasil dari 3 tujuan telah mengakomodir arahan penyusunan dan Uraian kearifan Tempat rencana Detil tata strategis dalam penting Malind ruang Kabupaten bentuk Deskriptif Merauke kualitatif
27
Proses penataan ruang di Kabupaten Merauke telah mencoba memasukan unsur kearifan lokal dalam kebijakan ruang yang kemudian menjadi pedoman utama dalam melaksanakan dimensi pembangunan wilayah di skala Kabupaten, baik dalam bentuk strategi program maupun penguatan kapasitas masyarakatnya. Sesuai dengan Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terdapat tahapan proses pelaksanaan penataan ruang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian ruang, dimana peran para pihak dan masyarakat sebagai pelaku berada pada seluruh aspek tahapan tersebut. Kemudian dalam tahapan pemanfaatan dan pengendalian ruang terutama sebagai dasar penyusunan zonasi maka perlu disusun rencana Detil tata ruang wilayah Kabupaten. Munculnya berbagai persoalan seperti konflik lahan, pro-kontra terhadap kebijakan pemerintah atas masuknya investasi skala luas sebagai implikasi percepatan pembangunan di Kabupaten Merauke. Suksesi regim pemerintahan yang sarat kepentingan kelompok tertentu dalam penguasaan ruang budidaya. Diharapkan penelitian ini dapat melakukan identifikasi nilai kearifan ruang Tempat penting masyarkaat adat Malind sampai skala kampung. Analisis spasial juga dilakukan untuk melihat perubahan pemanfaatan lahan yang disinkronkan dengan strategi kebijakan RTRW Kabupaten baik dalam upaya meningkatkan peran serta, kapasitas masyarakat adat dan para pihak di Kabupaten Merauke, maupun bagaimana mensinergikan kebijakan pembangunan skala nasional seperti perluasan lahan pangan dan energi skala luas. Disamping itu juga penelitian ini diharapkan dapat diketahui sejauh mana pendapat para pihak termasuk masyarakat adat tentang pandangan dan sikap mereka terhadap RTRW serta peran dan kepatuhan menjalankan kebijakan rencana tata ruang Kabupaten. Diharapkan akan dihasilkan arahan kebijakan dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Adapun alir penelitian yang disederhanakan melalui diagram pada Gambar 4. Chamber (1993) menggambarkan perbedaan RRA dan PRA sebagai berikut : RRA membawa orang luar untuk belajar dengan biaya yang sangat efektif sedangkan PRA memungkinkan orang-orang desa/kampung mengungkapkan dan menganalisis situasi mereka sendiri, dan secara optimal merencanakan dan melaksanakan tekad itu di desanya sendiri (Chamber dalam Mikkelsen, 2011). Selanjutnya Metode PRA atau RRA dari dua belas teknik, diambil empat pendekatan saja menyesuaikan dengan situasi masyarakat adat di Kabupaten Merauke disamping waktu penelitian yang terbatas. Selanjutnya sesuai katagori data maka dilakukan dengan cara : 1) Menggali sumber sekunder melalui literatur yang terdiri dari dokumen, statistik, laporan, bukti, arsip, petapeta dan seterusnya, 2) Pengumpulan data lapangan secara langsung dengan pendekatan : a. Penentuan variabel kunci b. Wawancara mendalam serta Focus Group Discusion (FGD) c. Pembuatan dan analisis peta partisipasi melalui pemetaan partisipatif.
28
Peta tempat penting
*Identifikasi nilai kearifan Tempat Penting (var: lokasi, makna dan pandangan adat)
Tujuan I
Profil penduduk & pandangan masyarakat ttg Tempat Penting
Makna dan keberadaan Tempat Penting
Level peta 1: 25.000 (Distrik dan kampung)
Data laporanWWF thn 2000 dan citra landsat ETM 7 thn 2012
Interpretasi citra & koreksi Geometri
Analisis Deskriptif Eksploratif
Pola dan Struktur RTRW, konsesi Pangan & Energi
*Peta prioritas lokasi pada Tahap I Peta & luasan Perubahan penggunaan
Overla y
Analisis kesesuaian lahan dan unsur Tempat Penting/cagar budaya
Tujuan II Level peta 1: 100.000 (Kabupaten) Tujuan III
Pendapat Para Pihak dalam tata ruang di kabupaten merauke
Variabel : pengetahuan, sikap & harapan penerapan ttg RTRW
Identifikasi para pihak
Output Analisis FGD
Tujuan IV Analisis Deskriptif kualitatif & perangkuman 3 Tujuan
Arahan kebijakan Rencana Detil Tata ruang kabupaten Merauke
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian
29
Penentuan Variabel Kunci Variabel dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang bisa berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan dipelajari sehingga bisa ditarik kesimpulan dari objek penelitian tersebut. Menurut Notoatmodjo (2002) variabel penelitian adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok yang lain. Selain itu juga dapat diartikan sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu. Misalnya umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, penyakit dan sebagainya. Selanjutnya ditentukan variabel kunci dalam tujuan satu (1) adalah : 1. Definisi dan pengetahuan tentang Tempat penting serta nilai keberadaannya sebagai kearifan lokal masyarakat Malind . 2. Kearifan masyarakat Malind dalam sejarah dan praktek pengelolaan lahan tradisional, bentuk nilai, simbolisasi, letak, luasan, arti, manfaat serta sangsi dan larangan. Pemetaan Partisipatif Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Penelitian ini menggunakan dua komponen penting kawasan bernilai konservasi tinggi sebagai pendekatan paradigma lingkungan, yaitu komponen 5 menyangkut kawasan penting sebagai jati diri atau identitas masyarakat dan komponen 6 atau mata pencaharian dalam pemenuhan kehidupan sehari hari. Metode Pemetaan Partisipatif (PP) yang diterapkan pada penelitian ini menggunakan lingkup batasan pemetaan yang disesuaikan dengan peraturan Mentri PU no 20 tahun 2011 tentang pedoman pelaksanaan rencana Detil Tata Ruang terutama menyangkut kodefikasi Tempat penting. Tahapan pelaksannaannya didekati dengan modifikasi menyesuaikan pemetaan terdahulu dalam skala Suku besar Malind atau skala Kabupaten yang diturunkan pada skala marga ditingkat kampung (katagori skala Detil 1: 50000 sampai 25000). Tahapan kegiatan pemetaan yang dilakukan sebagai berikut : a. Pembentukan tim pemetaan partisipatif dan penyiapan metode melalui persiapan dan penentuan lokasi kampung dengan melihat pemanfaatan ruang. b. Penyiapan Alat dan bahan serta logistik untuk proses pemetaan dikampung yang telah ditentukan sesuai pedoman pemetaan c. Penyiapan tim fasilitator dan pembekalan logistik serta peta tematik berbasis Sistem Informasi Geografi. d. Pendekatan ke tokoh kunci adat di kampung untuk memetakan para pihak yang akan terlibat dan sekaligus permohonan izin menyelenggarakan pemetaan partisipatif Tempat penting. e. Pemetaan partisipatif Tempat penting dilaksanakan dengan tahapan : sosialisasi maksud, pelatihan tentang peta dan pemetaan, pemetaan Tempat penting sampai dengan pleno konsensus bersama para pihak di kampung. f. Penyusunan laporan dan input data lapangan hasil pemetaan dan pengumpulan data lapangan untuk masing masing kampung. Pemilihan empat kampung dalam penelitian ini didasarkan dengan pertimbangan sehingga dapat dianggap mewakili kurang lebih 36 kampung yang berada di kawasan project MIFEE. Kriteria yang ditentukan sesuai faktor dalam
30
pandangan Singarimbun dan Effendi (1995) yang dterjemahkan oleh peneliti menjadi beberapa faktor yang dianggap penting yaitu : 1. Kawasan yang dipetakan adalah termasuk kampung lokal bermukimnya margamarga Suku Malind 2. Kawasan kampung merupakan bagian dalam kawasan project percepatan lahan pangan MIFEE seluas 228.000 ha 3. Tanah milik adat yang saat ini merupakan Konsesi beberapa investasi pangan, perkebunan dan kehutanan 4. Merupakan kawasan yang rawan konflik dan atau sedang terjadinya konflik lahan. 5. Aksesnya dapat dijangkau dan tidak terisolasi. Dalam kaitannya dengan Pola pemanfaatan ruang oleh masyarakat adat maka hasil pemetaan Tempat penting di empat kampung yang menggambarkan jenis dan area Tempat penting yang akan dianalisis untuk menghasilkan pola ruang tradisional. Setelah dilakukan kodefikasi Tempat penting diharapkan akan dihasilkan pola ruang tradisional yang membagi ruang kelola dalam fungsi ruang lindung dan budidaya sesuai dengan RTRW Kabupaten Merauke. Hal diperlukan untuk pembahasan yang menghasilkan arahan ruang berbasis kearifan Tempat penting masyarakat. Wawancara Mendalam (indepth interview) Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Pada ummnya dua orang atau lebih hadir secara fisikdalam proses tanya jawab dan masing-masing pihak dapat menggunakan saluran saluran komunikasi secara wajar dan lancar. Nasution dalam Tika (2005) jenis wawancara dalam penelitian ini dipilih wawancara tidak berstruktur. Hal ini berkaitan dengan upaya mendapatkan data yang lebih mendalam, dengan tetap memahami kondisi tingkat pengertian masyarakat di kampung. Menurut Moleong (2002) wawancara mendalam atau Indepth interview merupakan proses menggali informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian. Metode wawancara mendalam dilakukan dengan terlebih dahulu disusun secara bebas daftar pertanyaan, hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang mendalam dan terarah. Kenneth (1977) mengemukakan teknik snow ball random sampling atau teknik acak bola salju adalah pengambilan sampel dengan berusaha untuk menghubungkan informasi secara mendalam dari informan satu ke informan kunci yang lain sampai informasi yang didapatkan tidak menghasilkan informasi baru. Selain itu teknik ini dapat juga membantu penelusuran informan kunci, untuk membuktikan bahwa satu informasi dapat diuji kebenarannya setelah dinyatakan oleh beberapa informan yang berbeda. Sesuai tujuan penelitian maka wawancara mendalam lebih ditekankan pada informasi menyangkut pengetahuan akan Tempat penting dan pengakuan sejarah keberadaan Tempat penting sebagai kawasan kearifan lokal masyarakat adat Malind yang secara turun-temurun masih
31
diberlakukan dan memiliki arti penting bagi masyakakat adat Malind untuk tetap dipertahankan. Dalam melakukan penelitian alat yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu : 1) Pedoman wawancara mendalam ; 2) Lembar catatan wawancara ; 3). Alat penunjang berupa alat tulis dan tepe recorder untuk merekam; 4). Foto (untuk argumentasi berupa gambaran visual). Informan yang akan diwawancarai adalah tokoh adat kampung dan tokoh adat marga yang memiliki pengetahuan adat sesuai status tertinggi dalam inisiasi adat. Dengan teknis snow ball mempermudah memperoleh sampai informasi tentang Tempat penting tersebut didapatkan dan dianggap cukup dan memadai. Di kampung juga dikumpulkan tua marga dan kaum muda dari setiap marga dalam diskusi terfokus untuk mengetahui sejauh mana pemahaman, pendapat tentang Tempat penting dan harapan mereka terhadap perencanaan tata ruang seharusnya dilaksanakan di tingkat kampung. (Moleong, 2002) Dalam penelitian ini penulis telah mengupayakan untuk menggali berbagai informasi sesuai metode penelusuran tokoh kunci yang diseleksi untuk mendapatkan data secara mendalam dan dianggap sudah tidak menghasilkan informasi baru. Perlu dipahami bahwa dalam pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam biasanya tokoh kunci akan menyampaikan tidak secara terbuka namun ada juga yang menggunakan bahasa kiasan atau perumpamaan, hal ini karena mereka tetap menjaga sejumlah informasi yang dianggap sakral dan tidak bisa dibuka begitu saja kepada semua orang. Informan yang telah berusaha penulis wawancarai secara mendalam disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Daftar Informan Wawancara Mendalam No 1 2
3 4 5
Status Informan Ketua Lembaga Masyarakat Adat Kabupaten Merauke Ketua adat tingkatan Kunam dari Yeinan, Kanume, Marori, Malind, Mbian anim, khima khima Tokoh Adat Masyarakat Adat perwakilan marga Tokoh Perempuan Malind Jumlah
Jumlah (orang) 1 7
2 4 1 15
3.4.2 Pengolahan Citra Penginderaan Jauh dan Klasifikasi Penutupan Lahan Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam klasifikasi citra secara digital, bertujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap pixel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu. Analisis spasial penggunaan lahan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan interpretasi citra landsat Enhanced Thematic Mapper/ETM, yaitu dengan melihat data penutup lahan sebelum RTRW ditetapkan melalui Citra Landsat ETM 5 tahun 2000 yang telah diolah datanya melalui laporan
32
Penghitungan Karbon oleh WWF Indonesia (2012). Data penutup lahan sesudah RTRW ditetapkan menjadi Peraturan daerah yaitu melalui Citra Landsat ETM+ 7 tahun 2012. Kedua data ini diharapkan dapat menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang signifikan terjadi, yang berdampak bagi penutupan lahan dan kebijakan tata ruang terutama sistem tatanan nilai kearifan adat nantinya. Citra penginderaan jauh digunakan sebagai input untuk analisis perubahan penutup lahan tahun 2012 secara temporal. Pra pemrosesan citra menyangkut pemilihan input data citra penginderaan jauh, pemilihan daerah fokus pemetaan (Area of Interest), image correction, pengisian stripping citra Landsat, mosaicking, serta image cropping. Pemilihan input data citra penginderaan jauh disesuaikan dengan output skala pemetaan yang akan disajikan. Fokus daerah pemetaan dalam hal ini adalah satuan administrasi Kabupaten Merauke. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah Pasal 23 bahwa peta wilayah daerah Kabupaten berpedoman pada tingkat ketelitian minimal berskala 1:100.000. Pada pasal selanjutnya yakni Pasal 27 disebutkan bahwa dalam hal wilayah Kabupaten yang bentangan wilayahnya sempit dapat menggunakan peta wilayah dengan skala 1 : 50.000 sampai 1 : 100.000. Kabupaten Merauke dinilai memiliki cakupan wilayah yang tidak terlalu luas. Sesuai dengan aturan skala dan resolusi citra menurut Tobler (1987) bahwa untuk output peta 1 : 50.000, resolusi raster yang direkomendasikan untuk input data adalah 25 meter. Citra satelit yang mendekati nilai resolusi spasial tersebut adalah citra satelit Landsat-5 dan 7 dengan resolusi spasial 30 meter. Landsat memiliki lebar sapuan 165 km2 sehingga Kabupaten Merauke tercakup 6 scene citra Landsat-5 dan 7 ETM+. Tabel 5 menyajikan tanggal pengambilan data Citra yang digunakan. Tabel 5. ID Citra Landsat dan Perekaman kawasan Merauke Tipe Citra Landsat Landsat Landsat Landsat Landsat Landsat
ETM+ ETM+ ETM+ ETM+ ETM+ ETM+
Kode Citra 100 – 065 100 – 066 101 – 065 101 – 066 102 – 065 102 – 066
Tahun 2000
Tahun 2012
22 Oktober 2000 25 Oktober 2001 26 Agustus 2000 10 Agustus 2000 16 Mei 2001 16 Mei 2001
11 Maret 2011 1 September 2012 05 April 2012 06 September 2012 19 September 2012 26 Maret 2012
Koreksi Citra (Radiometri dan Geometri) Pemrosesan awal citra yang dilakukan adalah proses koreksi yang meliputi koreksi radiometri dan koreksi geometri. Koreksi radiometri menyangkut perbaikan nilai spektral citra. Citra Landsat yang digunakan telah terkoreksi secara sistematis sehingga tidak diperlukan proses koreksi radiometri (dapat dilihat dari distribusi nilai piksel citra telah berada pada rentang 0-255/8 bit). Meskipun citra telah mengalami koreksi secara sistematis, koreksi geometri masih perlu untuk dilakukan khususnya koreksi lokal agar sesuai dengan fokus daerah
33
penelitian. Koreksi geometri diperlukan untuk menghilangkan distorsi geometrik sehingga tiap piksel berada pada lokasi planimetrik di peta. Hal ini akan memudahkan dalam proses ekstraksi informasi yang berhubungan dengan peta tematik lain dalam pemrosesan dengan system informasi geografi (Jensen, 1986). Koreksi geometri pada data citra Landsat perlu dilakukan untuk mengurangi distorsi geometrik selama melakukan akuisis citra, adapun pengaruh seperti rotasi bumi, kecepatan scenning dari beberapa sensor yang tidak normal dan efek panoramik. Kesalahan geometrik menimbulkan efek terhadap variasi jarak, luasan, sudut, arah dan bentuk disemua bagian data citra sehingga sangat perlu dikoreksi sebagai data yang bisa digunakan kelak. Koreksi dilakukan agar semaksimal mungkin menyerupai keadaan aslinya dilapangan. Selanjutnya dilakukan proses rektifikasi yaitu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi pada citra output tidak sama dengan posisi piksel input atau aslinya maka piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus diresampling kembali. Acuan koreksi geometri menggunakan citra Landsat Orthorectified yang diakui secara nasional sebagai acuan standar pemetaan. Landsat Ortho telah dikoreksi dengan menggunakan aspek ketinggian sehingga distorsi topografi dapat diminimalisir. Proses koreksi geometri dilakukan dengan metode Image to Image yakni dengan mengambil Ground Control Points (GCP) serta menggunakan perhitungan matematis. GCP adalah lokasi dapat diidentifikasi pada citra yang akan dikoreksi dan secara akurat terdapat pada peta/citra yang telah terkoreksi. Pemilihan lokasi harus benar-benar sama dan diusahakan pada titik yang tidak memiliki perubahan secara temporal. Ukuran untuk menentukan citra telah terkoreksi secara tepat adalah pada angka Root Mean Square Error (RMSE). Menurut Jensen (2004) bahwa nilai RMSE kurang dari 1 piksel pada axis x dan y. Selanjutnya dilakukan persamaan transformasi yang berfungsi untuk interpolasi spasial, yaitu persamaan polinomial baik orde 1,2, maupun 3. Contoh rumus fungsi tersebut sebagai berikut : x= a0 + a1X +a2X + a3XY y= b0 + b1Y +b2Y + b3XY Dimana : x,y : Koordinat baris, kolom pada image yg belum terkoreksi X,Y : koordinat kolom pada image yng sudah terkoreksi (GCP) Pemilihan orde disesuaikan dengan kondisi topografi daerah penelitian. Kabupaten Merauke relatif memiliki topografi yang datar sehingga persamaan yang digunakan merupakan persamaan polynomial orde 1. Langkah terakhir adalah melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan) dengan salah satu metode Nearest Neighbour, Bilinear Interpolation dan Cubic Convolution dan membuat citra baru dengan sistem koordinat dan ukuran piksel output sesuai resolusi yang umumnya sesuai resolusi aslinya. Agar tidak terjadi perubahan nilai piksel digunakan interpolasi Nearest Neighbour yang memperhatikan piksel tetangga terdekat untuk proses interpolasi. Pengisian Strip Citra Landsat (Gap Filling) Citra Landsat sejak tahun 2003 mengalami kerusakan pada band SLC atau dikenal dengan istilah SLC-off sehingga perekaman citra setelah tahun tersebut mengalami strip/garis-garis hitam hasil pemotretan yang menunjukkan area yang
34
tidak terpotret oleh sensor. Hal ini dapat menganggu proses interpretasi baik secara visual maupun digital. Untuk memperbaiki stripping citra tersebut dilakukan proses pengisian gap dengan menggunakan citra yang tidak mengalamai stripping dengan memperhatikan temporal citra yang kurang lebih sama agar nilai piksel tidak terpaut jauh untuk pengisian nilai piksel citra yang kosong. Mosaik Citra Citra yang telah diisi stripping selanjutnya dilakukan penggabungan scene atau dikenal dengan proses mosaik. Proses penggabungan citra tidak ada aturan khusus namun harus memperhatikan beberapa hal seperti prioritas meletakkan scene yang memiliki tutupan awan rendah serta stripping yang lebih baik secara visual agar proses klasifikasi tidak memiliki gap yang cukup besar antar scene. Citra harus dilakukan penyesuaian histogram karena memiliki tingkat kecerahan yang berbeda. Hal ini dilakukan agar perbedaan nilai piksel antar scene bisa diminimalisir. Namun dalam kasus ini, penyesuaian histogram tidak bisa dilakukan karena terdapat beberapa scene yang berdekatan memiliki waktu perekaman yang berbeda sehingga nilai piksel tidak bisa disesuaikan karena memang merupakan obyek yang berbeda. Cropping Citra Setelah proses penggabungan citra, dilakukan proses pemotongan agar pemrosesan fokus pada area yang dipetakan yakni dengan melakukan tahap image cropping. Langkah ini berfungsi untuk mengurangi volume kerja komputer maupun waktu pemrosesan. Data pemotong yang digunakan adalah batas administrasi Kabupaten Merauke yang bersumber dari Bappeda Kabupaten Merauke. Processing Citra Processing citra untuk penyadapan informasi penutup lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi multispektral. Klasifikasi multispektral menggunakan pendekatan nilai piksel dalam mengelompokkan piksel yang dipandang memiliki karakteristik pantulan yang sama menggunakan aturan perhitungan statistik. Secara ideal asumsi dalam pendekatan klasifikasi multispektral adalah bahwa piksel yang membentuk satu obyek yang sama memiliki karakteristik spektral yang sama dan obyek yang berbeda akan memiliki perbedaan karakteristik spectral. Namun, dalam kenyataannya terdapat suatu fakta bahwa obyek yang sama belum tentu memiliki nilai pantulan yang sama ke sensor, dan obyek yang berbeda bisa memiliki nilai pentulan yang sama akibat dari gangguan respon spektral. Hal inilah yang menjadi kelemahan dengan pendekatan multispektral. Klasifikasi multispektral tidak menggunakan subyektivitas dominan dalam pengelompokan kelas kenampakan obyek dalam citra. Klasifikasi multispectral tergolong menjadi 2 pendekatan yaitu unsupervised dimana interpreter tidak terlibat langsung dalam proses klasifikasi (klasifikasi dilakukan oleh komputer berdasarkan pendekatan persamaan nilai piksel dan perhitungan statistik). Yang kedua adalah pendekatan supervised yaitu interpreter terlibat dalam proses klasifikasi. Dalam pendekatan supervised yakni interpreter
35
memiliki peran dalam mengambil piksel sample yang mewakili tiap kelas obyek. Dengan adanya peran interpreter ini, kesalahan komputer dalam mengkelaskan obyek dengan nilai pantulan berbeda namun merupakan obyek yang sama maupun sebaliknya dapat diminimalisir. Penentuan Kelas Penutup Lahan Kelas penutup lahan yang akan dicapai pada proses klasifikasi multispektral menggunakan acuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Klasifikasi Penutup Lahan 7645:2010 untuk skala 1 : 50.000. Klasifikasi penutup dari 17 kelas yang dibuat untuk data tahun 2000 disederhanakan menjadi hanya 8 tipe yaitu : 1) Lahan hutan, 2) Mangrove, 3) Semak Belukar, 4) Savana, 5) Tubuh air, 6) Lahan terbangun, 7) Lahan Pertanian, 8) Lahan terbuka dan tidak ada data (Awan, Bayangan Awan, No Value Area). Kelas penutup lahan secara rinci tersaji pada Tabel 6. (Laporan WWF Indonesia, 2011) Tabel 6. Kelas Penutup lahan hasil penyederhanaan No. 1.
Kelas Penutup lahan Daerah Pertanian
2.
Lahan Hutan
3.
Bakau (Mangrove)
4.
Semak dan belukar
5.
Sabana/Savana
6.
Lahan terbuka
7.
Lahan Terbangun
8.
Tubuh Air
Deskriptif Areal yang diusahakan untuk budidaya tanaman pangan dan hortikultura. Vegetasi alamiah telah dimodifikasi atau dihilangkan dan diganti dengan tanaman anthropogenik dan memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Antar masa tanam, area ini kadang-kadang tanpa tutupan vegetasi. Seluruh vegetasi yang ditanam dengan tujuan untuk dipanen termasuk dalam kelas ini. Hutan yang tumbuh dan berkembang di sesuai tipe habitat yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi. Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah, belum mengalami intervensi manusia dengan vegetasi dominan berupa bakau. Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami). Catatan : Semak belukar di Indonesia biasanya kawasan bekas hutan dan biasanya tidak menampakkan lagi bekas atau bercak tebangan. Areal terbuka yang didominasi berbagai jenis rumput yang tinggi serta rumput rendah heterogen. Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semi alamiah maupun artifisial. Menurut karakteristik permukaannya, lahan terbuka dapat dibedakan menjadi consolidated dan unconsolidated surface. Lahan terbangun dicirikan oleh adanya substitusi penutup lahan yang bersifat alami atau semialami oleh penutup lahan yang bersifat artifisial dan seringkali kedap air. Semua kenampakan perairan, termasuk laut, waduk, terumbu karang, dan padang lamun.
36
Pengambilan Training Sample Proses klasifikasi multispectral diawali dengan pengambilan training sample untuk tiap obyek. Pengambilan training sample menggunakan pendekatan deteksi visual kenampakan citra untuk mendefinisikan kelas tiap obyek. Klasifikasi yang digunakan mengacu pada Standar Nasional Indonesia tentang klasifikasi penutup lahan untuk skala 1 : 50.000. Proses pengambilan training sesuai aturan klasifikasi multispectral mengambil minimal 100 piksel murni dari obyek, namun dalam pemetaan ini, pengambilan sampel piksel murni tidak dilakukan pada semua obyek karena terdapat unsur situs dan asosiasi yang menjadi unsur pembeda utama antara beberapa kelas. Sebagai contoh untuk kelas Hutan Lahan Kering dan Hutan Rawa akan memiliki pantulan yang sama ketika waktu perekaman berada pada bulan kering. sehingga digunakan pendekatan asosiasi yaitu hutan rawa relatif dekat dengan objek rawa berbeda dengan hutan lahan kering yang jauh dari obyek rawa. Contoh lain adalah hutan rawa pasang surut akan memiliki pantulan yang sama dengan hutan rawa, namun dapat digunakan pendekatan situs bahwa hutan pasang surut akan berada di lokasi yang tidak jauh dari pantai akibat pengaruh proses pasang surut. Pengambilan training sample dilakukan dengan menggunakan pendekatan visual dengan komposit citra 543 untuk memudahkan dalam pembedaan tutupan vegetasi. Uji Keterpisahan Training Sample (ROI Separability) Proses kalkulasi tingkat keterpisahan antar sampel dilakukan untuk mengetahui tingkat pemisahan atau perbedaan antar kelas. Dengan dasar perhitungan statistik, komputer melakukan komputasi mengenai tingkat keterpisahan spektral pasangan antar Region Of Interest (ROI) yang terpilih untuk input file yang diberikan atau ROI Separability. Nilai ROI Separability ini dapat digunakan untuk menilai apakah training sample telah dapat diterima untuk proses eksekusi klasifikasi. Nilai ROI Separability mengindikasikan seberapa baik pasangan ROI dapat dipisahkan secara statistik yakni rentang antara 0-2. Nilai lebih dari 1,9 mengindikasikan bahwa pasangan memiliki keterpisahan yang baik. Pasangan ROI yang memiliki nilai lebih rendah/kurang dapat dilakukan pengambilan training sample ulang (Farda, 2008) Proses eksekusi hasil interpretasi dilakukan setelah diperoleh nilai ROI Separability yang dapat diterima, namun akan ada proses verifikasi secara visual mengenai hasil proses klasifikasi. Hal ini dikarenakan perbedaan temporal citra dalam scene yang overlap sehingga akan ada perbedaan kelas pada scene yang overlap. Metode klasifikasi yang digunakan adalah Maximum Likelihood yang relative memiliki keunggulan dalam hal akurasi dibandingkan dengan metode klasifikasi yang lain. Maximum Likelihood menggunakan criteria perhitungan statistic untuk membantu klasifikasi karakter piksel yang tumpang tindih yaitu piksel dengan nilai probabilitas tertinggi. Klasifikasi yang telah dilakukan perlu dilakukan evaluasi hasil dengan melihat dan membandingkan secara visual melalui kenampakan yang ada pada citra. Ketika terdapat kenampakan yang dinilai sama namun terklasifikasi berbeda maupun sebaliknya, akan dilakukan pengambilan ulang training sampel dan proses klasifikasi ulang hingga didapatkan citra hasil klasifikasi yang sesuai
37
dengan kenampakan secara visual citra. Proses ekstraksi penginderaan jauh citra Landsat menjadi informasi tutupan lahan dapat diilihat pada Lampiran 7. 3.4.3 Analisis Penilaian Masyarakat dan Para Pihak Analisis Pendapat dan penilaian para pihak terhadap penataan ruang berbasis Tempat penting di Kabupaten Merauke dihasilkan dari wawancara dan perangkuman setiap diskusi kelompok Terfokus/FGD. Wawancara dilakukan menggunakan jenis terstruktur dimana pertanyaan pertanyaan telah disusun sama untuk semua informan. Informan adalah Segementasi perorangan dalam katagori praktisi kebijakan ruang, pengambil kebijakan ruang dan pemanfaat ruang. Pertanyaan yang diajukan dikatagorikan dari dua tujuan utama antara lain pertanyaan no 1 sampai 5 bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pendapat, pemahaman dan pengalaman tentang dokumen RTRW dan implementasinya pada pemanfaatan ruang di Kabupaten merauke. Selanjutnya bagaimana hubungannya dengan pengendalian ruang melalui rencana rinci tata ruang. Focus Group Discussion (FGD) adalah sebuah teknik pengumpulan data dengan tujuan untuk menemukan makna dari tema tujuan dari pemahaman kelompok tertentu. Pemaknaan diperoleh dengan diskusi terarah dan terpusat terhadap suatu permasalahan dan mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang situasi dan bahkan bisa sampai pada kesimpulan tertentu dari apa yang diteliti dari kelompok terarah tersebut. Lebih jauh teknik ini dimanfaatkan untuk menarik kesimpulan terhadap makna inter subyektif yang sulit dimaknai sendiri oleh peneliti terhadap para pihak sekitar dalam perencanaan ruang, selebihnya adalah menghindari diri peneliti dari dorongan subjecktifitas (Bungin, 2003). Peserta yang terlibat dalam FGD biasanya terdiri dari 8-12 orang yang dipilih dari berbagai kalangan dengan pertimbangan keahlian, kepakaran, praktisi, ketokohan dan masyarakat awam. Pemilahan dari katagori dimaksud dapat dilakukan secara terpisah atau disatukan. Dalam penelitian ini pemilihan kelompok FGD menjadi penting untuk diperhatikan terutama berkaitan dengan beberapa hal sebagai pengaruh baik positif maupun negatif terhadap tujuan FGD mengenai siapa kelompok yang kena dampak langsung dan tidak langsung. Selanjutnya juga kelompok mana yang memutuskan dan memanfaatkan bahkan terlibat dalam keduanya. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka FGD yang disusun dikelompokan dalam lima kategari yaitu : 1. Pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan dan pengusaha selaku pemanfaat serta pemakai ruang terdiri dari : perwakilan Bappeda, dinas Pertanian, dinas Kehutanan, BPID, dan perwakilan Pengusaha yang berinvestasi di bidang perkebunan, pangan dan kehutanan. 2. Masyarakat adat, LSM dan akademisi selaku perencana, kelompok yang terkena dampak baik positif dan negatif serta kelompok yang mengkritisi kebijakan antara lain : LSM Yasanto, SKP-KAM, WWF Indonesia, Akademisi dari sekoalh tinggi maupun universitas, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, ormas pemuda seperti HMI. 3. Kelompok pemuda adalah mereka yang masuk dalam kelompok yang perlu mendapatkan pemahaman dan sekaligus yang akan menjalankan serta menikmati setiap kebijakan ruang dan dampaknya di masa depan. Terdiri dari pemuda Malind dan pemuda katholik.
38
Dalam melakukan analisis FGD, beberapa hal penting yang diperhatikan adalah : - Tercapainya tujuan FGD yang terlihat dari jumlah pertanyaan yang ditanyakan (dieksekusi) apakah sesuai dengan rencana awal? - Perubahan tujuan FGD yang terjadi karena input dari peserta? - Identifikasi masalah utama yang dikemukakan peserta dengan memperhatikan tema sentral. - Adakah variasi peserta dalam persoalan utama ini? Bagaimana variasinya? Mengapa? Perbedaan-perbedaan yang muncul tersebut ada yang sangat ekstrim sampai yang hanya berbeda sedikit saja. Jika perbedaan ini timbul, keduanya harus disajikan. - Selain persoalan utama itu, adakah persoalan lain (tema-tema lain) yang muncul dalam diskusi? Apa saja? Mana yang relevan dengan tujuan FGD? - Penyusunan kerangka prioritas dari persoalan-persoalan yang muncul. - Lakukan koding sesuai dengan faktor-faktor yang dikehendaki. - Setelah itu disajikan secara deskriptif dan dilakukan pembahasan atas hasil temuan sebagai bentuk arahan dalam penyusunan kerangka kebijakan rencana Detil tata ruang. (Irwanto , 2006) Setelah melalui tahapan analisis FGD dapat disusun pembahasan mendalam tentang sikap, pendapat dan penilaian peserta ataupun arah persepsi/pandangan kelompok serta alasan yang kuat berkaitan dengan peran, posisi dan pelibatan para pihak tentang praktek pemanfaatan dan pengendalian ruang. Harapan kedepan dalam mewujudkan tertib ruang yang telah mempertimbangkan kearifan Tempat penting Suku Malind di Kabupaten Merauke kedepan. 3.4.4 Merumuskan Arahan Kebijakan Rencana Detil Miles (1992) mengemukakan bahwa jalur penarikan kesimpulan adalah bentuk dari salah satu jalur analisis data kualitatif setelah reduksi data dan penyajian data. Hasil analisis dan pembahasan dari tujuan satu dari penelitian ini yaitu menelusuri sejarah dan pandangan tentan Tempat penting menurut adat Malind, tujuan dua yang memaparkan tentang perubahan tutupan lahan yang diakibatkan oleh pemanfaatan lahan serta tujuan tiga menyangkut pendapat dan persepsi masyarakat dan para pihak pelaku tata ruang terhadap pelaksanaan tata ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Merauke, maka dapat dirumuskan sejumlah pendekatan dan masukan sebagai arahan dalam membentuk kebijakan rencana Detil tata ruang di Kabupaten Merauke.
39
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4. 1 Geografi Wilayah dan Administrasi Kabupaten Merauke merupakan Kabupaten induk yang dimekarkan pada tahun 2002 menjadi empat Kabupaten yaitu Boven Digoel, Mappi dan Asmat. Luas Kabupaten Merauke 46.791,63 km2 atau 14,67 persen dari luas wilayah Provinsi Papua dan merupakan Kabupaten terluas di Provinsi Papua. Terletak diantara 137’0 - 1410 Bujur Timur dan 5’0 – 9’0 Lintang Selatan. Wilayah penelitian pada tahun 2007 mengalami pemekaran distrik dari 7 menjadi 20 distrik yang meliputi : Distrik Merauke, Distrik kimaam, Distrik Tabonji, Distrik Waan, Distrik Ilwayab, Distrik Okaba, Distrik Tubang, Distrik Ngguti, Distrik Kabtel, Distrik Kurik, Distrik Malind, Distrik Animha, Distrik Semangga, Distrik Tanah Miring, Distrik Jagebob, Distrik Sota, Distrik Naukenjerai, Distrik Muting, Distrik Eligobel dan Distrik Ulilin. Distrik Sota, Distrik Nokenjerai, Distrik ulilin dan Distrik Elogobel berada bersebelahan dengan negara Papua New Guinea (PNG). Secara administrasi wilayah studi terletak berbatasan di selatan dengan laut Arafura, sebelah utara dengan Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel, sebelah timur dengan negara Papua New Guinea serta sebelah barat dengan laut Arafura (Gambar 5). Komposisi 160 kampung yang tersebar di semua distrik. Distrik Waan merupakan daerah terluas yaitu 5.416,84 km2, Sementara itu distrik Semangga merupakan Distrik dengan luas wilayah terkecil, hanya mencapai 326,95 km2 atau hanya 0,01 persen dari total luas Kabupaten Merauke.
Gambar 5. Peta Administrasi Kabupaten Merauke
40
4.2. Iklim Iklim khususnya curah hujan sangat mempengaruhi pembentukan suhu dan keberadaan ekosistem di suatu wilayah tentunya hal ini berdampak pada pembentukan dan pemanfaatan lahan diwilayah tersebut. Kabupaten Merauke memiliki iklim yang sangat tegas antara musim penghujan dan musim kemarau. Menurut Oldeman (1975), wilayah Kabupaten Merauke berada pada zona Agroclimate Zone C yang memiliki masa basah antara 5-6 bulan. Dataran Merauke mempunyai karakteristik iklim yang agak khusus yang mana curah hujan yang terjadi dipengaruhi oleh Angin Muson, baik Muson Barat - Barat Laut (Angin Muson Basah) dan Muson Timur – Timur Tenggara (Angin Muson Kering) dan juga dipengaruhi oleh kondisi Topografi dan elevasi daerah setempat. Curah hujan per tahun di lokasi penelitian rata-rata mencapai 1.558,7 mm. Dari data yang ada memperlihatkan bahwa perbedaan jumlah curah hujan pertahun antara daerah Merauke Selatan dan bagian utara. Secara umum terjadi peningkatan curah hujan pertahun dari daerah Merauke Selatan (1000 - 1500) dibagian Muting, kemudian curah hujan dengan jumlah 1500-2000 mm/tahun terdapat di Kecamatan Okaba dan sebagian Muting, selebihnya semakin menuju ke Utara curah hujannya semakin tinggi. Perbedaan tersebut juga berlaku pada jumlah bulan basah yaitu semakin kebagian utara masa basah sangat panjang sedangkan pada bagian selatan terdapat masa basah yang relatif pendek. Kondisi iklim yang demikian berpeluang untuk dua kali tanam tanaman pertanian seperti padi dan palawija. Musim hujan yang terjadi merupakan kendala terhadap kondisi jalan-jalan tanah yang setiap tahun mengalami kerusakan dan kejadian banjir yang pada tahun 2012 telah melanda kota merauke dan sekitarnya. grafik cirah hujan pada Gambar 6 menunjukan trend peningkatan curah hujan tahunan dalam sepuluh tahun terakhir sampai tahun 2011 curah hujan mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya, sebesar 8,27 persen.
Gambar 6. Grafik Peningkatan curah hujan dan hari hujan Musim kemarau yang panjang justru mengakibatkan kekurangan air bersih dan air irigasi bagi masyarakat dan petani. Berdasarkan data iklim dari Kantor Meteorologi dan Geofisika Merauke tahun 2011 menunjukkan bahwa kecepatan angin hampir sama sepanjang tahun, di daerah pantai bertiup cukup kencang sekitar 4-5 m/det dan dipedalaman berkisar 2 m/det. Penyinaran matahari rata-rata di Merauke adalah 5,5 jam/hari pada bulan Juli dan yang terbesar 8,43 jam/hari
41
pada bulan September, dengan rata-rata harian selama setahun sebesar 6,62 jam. Tingkat kelembapan udara cukup tinggi karena dipengaruhi oleh iklim Tropis Basah, kelembaban rata-rata berkisar antara 78-81%. Musim kering atau kemarau dapat berlangsung selama 5 sampai 6 bulan pada bulan Juni sampai dengan November, di mana pada kondisi seperti ini nilai evapotranspirasi melebihi hujan, sedangkan musim hujan dimulai pada pertengahan desember sampai dengan april. Kabupaten Merauke berada di daerah tropis, dengan penyinaran cahaya matahari terjadi sepanjang tahun. Data yang ditunjukan grafik hari hujan pada Gambar 7 dalam sepuluh tahun jumlah hari hujan terbanyak terjadi di tahun 2011 pada Bulan Maret sebanyak dua puluh tiga hari, dan jumlah hari hujan paling sedikit terjadi pada bulan Agustus, yaitu hanya terjadi 6 hari hujan saja. Sementara itu banyaknya curah hujan yang turun setahun mencapai 2.165,7 mm. Curah hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember mencapai 438,7 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu hanya mencapai 6,1 mm. Fakta sebelumnya menunjukan hujan rata-rata selama 50 tahun hanya sekitar 1,523 mm, bahkan menurut laporan RePPProT dalam Silvius et al. (1989) wilayah Merauke merupakan daerah terkering karena hanya menerima curah hujan kurang dari 1500 mm/tahun. Fakta iklim tahun terakhir bertolak belakang dengan keadaan terdahulu diatas 2000mm/tahun, terutama dampak nyata yang ditimbulkan di tahun 2012 lalu, akibat peningkatan curah hujan yang tinggi tersebut telah terjadi dua kali banjir dengan ketingggian mencapai satu setengah meter di kota Merauke yang mengulangi kejadian terdahulu sekitar tahun 1989.
Sumber : data analisis tabulasi BPS 10 tahunan
Gambar 7. Grafik Trend Suhu dan Kelembaban Sepuluh Tahun Suhu udara dalam sepuluh tahun terakhir sejak tahun 2002 sampai 2011 terlihat adanya fluktuasi suhu rata-rata tahunan tertinggi sampai 27,4 derajat celsius, dan kelembaban relatif yang cenderung menunjukan peningkatan di tahun 2010 naik sampai 81,5 persen. Suhu udara maximum tahun 2011 dibulan november mencapai angka 33,5 derajat celcius dan suhu udara minimum 23,5 derajat celcius, data grafik Kelembaban udara pada Gambar 8 memperlihatkan pada tahun 2010 kelembaban mengalami puncaknya tertinggi sebesar 81,0 persen. Tentunya hal ini berimplikasi terjadinya kenaikan suhu dan kelembaban yang dapat berakibat pada perubahan secara penyeluruh situasi wilayah.
42
4.3. Topografi, Flora dan Fauna Kabupaten Merauke relatif datar dengan kelas ketinggian dari permukaan laut bervariasi antara 0 sampai dengan 60 meter. Keadaan topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa disepanjang pantai dengan kemiringan 0-3% kearah utara yakni mulai dari Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan Topografinya bergelombang dengan kemiringan 0 – 8%. Kondisi Geografis yang relatif masih alami, merupakan tantangan serta peluang pengembangan wilayah bagi Kabupaten Merauke yang masih menyimpan banyak potensi ekonomi untuk menunjang pembangunan daerah dan Nasional. Gambar 8 memberi gambaran kelas lereng di kabupaten Merauke.
Gambar 8. peta kelas lereng di Kabupaten Merauke Wilayah yang benar-benar datar berada sebagian besar pada daerah selatan dan tengah. Daerah tersebut merupakan sentra penduduk yang memulai usaha pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya dan konsentrasi pemukiman penduduk seperti di distrik Merauke, tanah miring, Jagebob, Kurik dan Okaba sampai ke pulau Kimaam. wilayah datar-berombak terdapat di bagian tengah wilayah Kabupaten Merauke, dimana wilayah tersebut merupakan bagian wilayah rawa dan bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) tiga sungai besar di Merauke yaitu Bian-Kumbe-Maro. Sungai – sungai besar yakni Bian, Maro, dan Kumbe merupakan potensi sumber air tawar untuk pengairan dan digunakan sebagai prasarana angkutan antara distrik dan kampung kampung disekitar DAS. Sumber air tawar dari rawa – rawa, air permukaan dan air tanah cukup tersedia untuk dimanfaatkan. Di beberapa tempat air tanah mengandung belerang panas.
43
Secara geologi Merauke merupakan dataran sahul yang pada ratusan tahun lalu bergabung dengan benua Australia. Fakta ini dikuatkan dengan kesamaan ekosistem dan budaya Suku Malind di Indonesia dengan Aborigin di Australia dan Suku boatsi di PNG. Ekosistem Wilayah selatan Papua yang disebut juga habitat TransFly terdiri dari empat wilayah ekoregion antara hutan hujan dataran rendah new Guinea /Southern New Guinea Lowland Forest, padang rumput sabana Transfly/Trans-Fly Savannas and grass land, /sungai dan lahan basah new Guinea /New Guinea Rivers and Streams, dan hutan Bakau/New Guinea Mangroves. Habitat dan keanekaragaman hayati dataran sahul merupakan rumah bagi lahan basah terbesar dengan kualitas baik di kawasan Asia Pacifik. Jutaan burung migran dan endemik tinggal di hamparan banjir dan sungai-sungai besar yang dikelilingi savanna seluas 8,4 ribu km2 terdapat pada hamparan horisontal memanjang dari Kabupaten merauke sampai ke wilayah PNG dan hutan yang dipengaruhi oleh iklim musim menjadikan wilayah ini habitat yang unik. Terdapat lebih dari 50 % jumlah total burung-burung New Guinea berada di ekoregion ini, termasuk 80 spesies endemik New Guinea. Lembaga lingkungan internasional BirdLife mengidentifikasi daerah burung endemik dan menurut the International Union for Conservation of Nature (IUCN) bahwa daerah ini termasuk salah satu pusat keanekaragaman tumbuhan endemik di dunia, sehingga pada sekitar tahun 2004 komite Ramsar dunia menunjuk sebagai kawasan lahan basah penting dunia. Keanekaragaman flora yang dimiliki seperti jenis anggrek, sagu, kayu gaharu, kayu putih, kayu komersil seperti merbau, rahai, serta Gambir, Masohi, lawang dan berbagai macam jenis buah menjadikan daerah ini penghasil komoditi kehutanan dan perkebunan penting di Papua. Fauna penting seperti kangguru, kasuari, ikan Arowana, ikan pelangi, berbagai jenis burung air endemik dan yang bermigrasi, juga reptil seperti ular pyton, Buaya muara dan Buaya Rawa, Kurakura leher panjang, dada merah dan moncong babi, dan yang paling khas di wilayah savana padang rumput adalah adalah rumah rayap. Berdasarkan High Conservation Value Tools (HCV) yang digunakan oleh WWF Indonesia untuk menganalisis kawasan hutan di Merauke, dari 6 kategori penilaian, Hutan di Kabupaten Merauke memiliki fungsi-fungsi konservasi tinggi yaitu : HCV 1, 2 dan 3 Wilayah hutan yang mengandung konservasi nilai-nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional atau nasional yang terdapat di dalam atau di dalamnya terdapat unit pengelolaan dimana keberlangsungan populasi secara alami (jika tidak mungkin semua paling tidak secara dominan) terdapat spesies dalam pola-pola distribusi dan jumlahnya alami. Contohnya: bentangan alam Savanna dan rawa-rawa di bagian timur Merauke sampai ke PNG yang menjadi rumah bagi berbagai spesies burung, mamalia dan satwa air tawar. HCV 4 Wilayah hutan yang menyediakan jasa-jasa lingkungan dalam situasi kritis (seperti perlindungan aliran sungai, mengontrol erosi dan perlindungan pantai). Contohnya: Hutan Mangrove yang ada di pinggiran Sungai Bian Hilir serta Hutan Mangrove di bagian barat Pulau Kimaam yang menjadi kawasan hutan perlindungan setempat. HCV 5 Wilayah hutan sebagai sumber kehidupan dasar bagi masyarakat lokal (misalnya : sumber makanan, sumber obat dan lain sebagainya). Hampir di
44
seluruh penjuru Kabupaten Merauke penduduk lokal mengambil hasil-hasil bumi seperti Sagu, ikan, Gambir dan tanaman obat seperti Minyak Kayu Putih serta bahan makanan lain seperti daging rusa, kangguru, babi dan lain-lain. HCV 6 Wilayah hutan sebagai identitas budaya (tempat-tempat sakral). Tersebar diseluruh wilayah sub Suku mulai tempat di rawa, perbukitan, wilayah hutan yang dianggap memiliki karakteristrik tertentu yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional secara turun-menurun. Contohnya seperti sumber mata air, tempat perjalanan nenek moyang dan lainlain. Gambar 9 menyajikan terjemahkannya 6 elemen HCV tersebut melalui peta TransFly Indonesia dan PNG, penggabungan visi ekologi dan adat yang dibangun dalam konsensus para pihak di dua negara PNG dan Indonesia. Fungsi-fungsi hutan yang khas, identitas cara pandang dan budaya masyarakat setempat, terutama hutan sebagai sumber kehidupan, dan perlindungan nilai-nilai keanekaragaman hayati.
Gambar 9 Peta Transfly visi Ekologi dan Adat PNG-Indonesia 4.4. Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kabupaten Merauke tahun 2011, tercatat sebanyak 203.092 orang atau bertambah 3,77 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Distrik Merauke mencapai 91.947 orang. Sedangkan Distrik Kaptel merupakan distrik dengan jumlah penduduk terkecil yaitu 1.774 orang. Luas wilayah kabupaten adalah 46.791,63 km2, dengan kepadatan penduduk berkisar 4,34 jiwa/km2. Tahun 2011, jumlah rumah tangga tercatat 47.814 ruta. Dengan jumlah penduduk laki-laki 106.963 jiwa dan perempuan 96.129 jiwa, rasio jenis kelamin di Kabupaten Merauke sebesar 111,51
45
yang berarti jumlah penduduk laki-laki lebih banyak 11,51 persen daripada penduduk perempuan. (BPS, 2011) Kelompok penduduk usia muda (0-14 tahun). Sementara itu kelompok penduduk usia tua (65 tahun keatas) mempunyai proporsi yang sangat kecil. Dengan proporsi ini menunjukan rasio ketergantungan di Kabupaten Merauke cukup tinggi, yaitu mencapai 56,91 persen. Data tersebut disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan luas wilayah Distrik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Distrik Kimaam Waan Tabonji Ilwayab Okaba Tubang Ngguti Kaptel Kurik Malind Animha Merauke Semangga Tanah Miring Jagebob Sota Naukenjerai Muting Elikobel Ulilin Jumlah
luas wil. 4,630.30 2,868.06 5,416.84 1,999.08 1,560.50 2,781.18 3,554.62 2,384.05 977.05 1,465.60 490.60 1,445.63 905.86 326.95 1,516.67 1,364.96 2,842.21 3,501.67 1,666.24 5,092.57 46,790.64
% laki-Laki perempuan Penduduk 9.90 3,039 2,744 5,783 6.13 242 2,143 4,563 11.58 2,594 2,566 5,160 4.27 2,845 2,449 5,294 3.34 2,567 2,276 4,843 5.94 1,131 1,046 2,177 7.60 965 901 1,866 5.10 958 816 1,774 2.09 7,126 6,337 13,463 3.13 468 4,249 8,929 1.05 1,016 913 1,929 3.09 48,155 43,792 91,947 1.94 7,142 6,249 13,391 0.70 9,344 794 17,284 3.24 3,673 335 7,023 2.92 1,569 1,326 2,895 6.07 989 912 1,901 7.48 2,636 2,407 5,043 3.56 2,071 1,695 3,766 10.88 2,154 1,907 4,061 100,684 85,857 203,092
% orang/km 2.85 1.25 2.25 1.59 2.54 0.95 2.61 2.65 2.38 3.10 1.07 0.78 0.92 0.52 0.87 0.74 6.63 13.78 4.40 6.09 0.95 3.93 45.27 63.60 6.59 14.78 8.51 52.86 3.46 4.63 1.43 2.12 0.94 0.67 2.48 1.44 1.85 2.26 2.00 0.80 4.34
Sumber : BPS, Kabupaten Merauke (2012)
4.5. Perekonomian Kabupaten Merauke sejak pemekaran tahun 2002 hingga 2012 selama masa pemerintahan politik tiga kali bupati telah mengalami banyak perubahan dalam bidang ekonomi , dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam PDB mencapai seratusan miliar sampai dengan tahun 2010 (BPS,2010), trend peningkatan dari tahun ketahun yang sangat progresif tersaji pada grafik pada Gambar 10.
Gambar 10. Grafik Peningkatan PAD Selama Sepuluh Tahun
46
Nilai tambah melalui Produk Domestik Bruto (PDB) hingga tahun 2010 mencapai 3,62 triliun rupiah atau meningkat sebesar 17,88 persen dari tahun 2009 dan telah berkembang menjadi 1,7 kali lipat dari tahun 2006. Tidak dipungkiri bahwa dengan nilai pendapatan perkapita sebesar Rp. 524.490,- dan trend peningkatan perkapita sampai tahun 2011 mencapai empat persen maka Kabupaten Merauke dianggap sebagai salah satu kabupaten ketiga tertinggi di Papua dan peringat 33 di Kabupaten se-Indonesia. Proyeksi sembilan sektor menunjukan sektor pertanian masih menjadi primadona dengan menyumbang sampai 50 persen dari total PDB daerah, yang didominasi pada sub sektor perikanan, pertanian bahan makanan, peternakan dan kehutanan perkebunan. 4.6. Agama, Bahasa dan Kepercayaan Penduduk di lokasi penelitian terdiri dari berbagai etnik, baik orang Papua asli maupun pendatang. Data statistik tahun 2010 jumlah pendatang yang terdiri dari etnik Maluku, China, Nusa Tenggara Timur, Bugis Makassar, Jawa, sumatra utara dan Bali rata rata memeluk beragam agama antara lain agama Islam tercatat 91.233 orang atau 46,82 persen dari total penduduk Kabupaten. Sementara Katholik dan protestan mencapai 37,27 persen, Hindu dan sisanya merupakan pemeluk agama Budha dan Konghucu 15,61 persen. Penduduk asli papua yang terdiri dari etnik Malind, Biak, Serui, Muyu, Mandobo, Asmat, Ayamaru, Wamena dan Jayapura mayoritas memeluk agama Katholik dan Protestan. (BPS, Kab.Merauke 2010). Etnik Malind pemilik tanah adat yang biasanya disebut juga dengan istilah animha memiliki kepercayaaan atau yang dianggap sebagai nilai kearifan adat setempat yang pada saat masuknya agama-agama modern di awal abad lalu mengalami banyak perbenturan. Nilai adat yang dipercaya secara turun-temurun ini dikenal dengan aliran Totemisme yang oleh tokoh penutur diungkapkan sebagai berikut : Malind-anim sebelum kedatangan para misionaris katolik, sudah mempunyai suatu kepercayaan yang berdasar pada Totemisme, kalau saya boleh katakan demikian ini, yang dalam Bahasa Marind sendiri disebut ‘Mayo’, yang terpecah dalam aliran-aliran : Imoh, Ezam, Sosom, Mayo-Bodol, Mayo Ndamand, Mayo Walamol dan aliran kebatinan kecil-kecil a.l. Arapa/Alapa. Kepercayaan ini sudah mengatur dirinya terhadap alam lingkungannya dan mengatur tata kemasyarakatannya, hingga dia memenuhi sayarat-syarat kehidupan bermasyarakat sabagai masyarakat manusia. Berdasarkan pandangan diatas maka orang Malind hidup selaras dengan alam karena mengemban tugas melestarikan bagi kelangsungan hidupnya. Bahasa yang biasanya digunakan sebagai alat komunikasi adalah bahasa Indonesia baik di kota maupun di kampung-kampung lokal walaupun tidak dipungkiri bahwa di kawasan transmigrasi misalnya juga menggunakan bahasa jawa, bahasa NTT atau bahasa lain sesuai etnik masing-masing. Bahasa adat orang Malind sendiri terbagi dalam wilayah perjalanan antara lain bahasa Woyu yang berkerabat dengan bahasa Yelmek atau makleuw termasuk wilayah pulau kimaamkolepom sampai dataran besar di distrik Tabonji dan sebagian distrik Okaba.
47
Wilayah kedua yang merupakan kelompok terbesar adalah bahasa Malind atau kondo-lek atau bahasa dari kondo, termasuk mereka yang tinggal di tanah besar di DAS kumbe, DAS Bian dan DAS bulaka. Kelompok ketiga adalah kelompok Suku-Suku kecil dengan bahasa mereka seperti Yey-nan atau maloh anim, Kanume, Marori, mbian anim dan Kuni anim atau boatzi di PNG. Data pewilayahan sesuai bahasa tersaji pada Lampiran 2. 4.7. Masyarakat adat dan Tempat pentingnya 4.7.1. Suku dan Pembagian wilayah Adat Menurut Flassy (2010) kata dan atau istilah Melanesia berasal dari bahasa Yunani μέλας melan (= hitam), νῆσος nesos (= pulau) adalah sebuah wilayah yang memanjang dari Pasifik barat sampai ke Laut Arafura, utara dan timur laut Australia. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Jules Dumont d'Urville pada 1832 untuk menunjuk ke sebuah etnis dan pengelompokan pulau-pulau yang berbeda dari Polynesia, Micronesia dan Indonesia (termasuk Philipina dan Formosa). Sekarang ini, klasifikasi rasial d'Urville dianggap tidak tepat sebab menutupi keragaman budaya, linguistik, dan genetik Melanesia maka sekarang hanya digunakan untuk penamaan geografis semata. Melanesia terdiri dari Papua Barat, Papua Nugini dan pulau-pulau di sekitarnya yaitu Kepulauan Solomon, Vanuatu, New Caledonia (Kanaki), Vanuatu (Eks-New Hebriden) dan kepulauan Fiji, tetapi juga ke arah barat yaitu terhadap Timor, Nusa Tenggara dan Maluku yang memiliki beberapa kesamaan antropologis. Melanesia memang corak tampil manusia yang unik, bukan rumpun Asia maupun Eropa, selain pada waktu yang sama tidak pula Afrika, Kaukasus maupun Polynesia (dan Micronesia). Bukan berkaitan dengan kulit terang saja karena sungguhpun di sana-sini ada juga orang Melanesia dengan warna kulit terang yang sangat umum (selain albino). Terdapat 9 aspek etnografis yang umum diketahui menggolongkan kelompok etnis yang beragam dengan karakteristik budaya serta kawasan pesebarannya sebagaimana yang diaktualisasikan yaitu: 1) Alam lingkungan dan pola pemukiman, 2) mata pencaharian dan pola ekonomi, 3) hubungan kekerabatan dan aliansi, 4) sistem kekuasaan, 5) agama dan kepercayaan, 6) pemanfaatan waktu luang, 7) seni dan 8) budaya, serta 9) bahasa. Topografi wilayah yang berlembah, bergunung-gunung, sungai-sungai besar dan kecil, pulau-pulau kecil dan besar, rawa payau dan hutan lebat serta savana telah menciptakan barikade dan isolasi yang kemudian timbul dalam keragaman budaya dan pola hidup. Pengungkapan melalui bahasa saja konon mencapai sejumlah lebih seribuan bahasa yaitu delapan ratus limapuluhan di Papua New Guinea dan hampir tiga ratusan di Papua. Sesuai pembagian menurut distribusi bahasa dan kelompok etnik diketahui di Kabupaten Merauke Suku Malind termasuk wilayah Ha-Anim yang disebut somhai Marind/Malind). Ha-anim atau Animha artinya tanah orang Malind, mengandung makna yang sangat dalam bagi kehidupan dan adat istiadat setempat, tanah sebagai simbol dari ibu yang memberi makan, yang terdiri dari wilayah kepemilikan dan identitas serta tempat mencari makan. Wilayah Suku Malind terbagi dalam delapan wilayah adat antara lain, khima-ima di pulau kimaam, Makleuw di selat mariana sampai wamal, muli anim dari wambi sampai
48
ke kali digoel, Malind anim di muara bian sampai kepala kali kumbe, mbian anim dari kali bian sampai ke hulu dan berbatas dengan muyu mandobo, Yeinan beraada di sungai mandom sepanjang perbatasan dengan PNG sampai di sungai Maro, Kanume di Taman Nasional Wasur sampai ke perbatasan di kali Torasi dengan PNG, Marori Men-Gey di kampung Wasur dan Nggawil sendawi anim dari kota merauke meyusuri pesisir pantai sampai di kampung Kondo di perbatasan dengan PNG bagian selatan. Menurut data sensus penduduk tahun 2010 Kabupaten Merauke, dari jumlah penduduk sebesar 194.835 jiwa sebagian besar terkonsentrasi di kota Merauke atau Distrik Merauke yaitu sekitar 86.924 jiwa, jumlah penduduk asli Suku Malind ditambah dengan papua lainnya hanya mencapai sekitar 38.1 %, atau 74,136 jiwa yang tersebar di 20 distrik, 8 kelurahan, dan dari seratus enam puluh kampung, seratus tujuhnya adalah kampung lokal atau kampung adat. (Tabel 8) Tabel 8. Komposisi kampung dan jumlah penduduk Asli Papua Distrik Ulilin Muting Elikobel Sota Jagebob Merauke Naukenjerai Tanah Miring Semangga Kurik Animha Malind Kaptel Okaba Tubang Ngguti Ilwayab Waan Tabonji
Kimaam
kampung lokal Kumaaf, Kindiki, Baidub, Kafyamke, Selil, Kandra-Kai. Muting, Pahas, Selow, Waan, Boha, Kolam. Sipias, Tanas, Kweel. Sota, Erambu, Torai, Yanggandur, Rawa Biru.
Luas (ha) Papua Jlh pddk 514,118.41 1,061 4,038 358,225.79 168,414.61 253,332.49
2,862 1,189 2,034
5,036 3,748 2,791
Nalkin, Poo Nasem, Ndalir. Onggaya, Kuler, Tomer, Tomerau, Kondo. Sermayam, Soa, Ngguti Bob, Tambat, Waninggap Sai Waninggap Kai, Kuper, Urumb, Matara, Waninggap Nanggo. Kaliki, , Ivimahad Wayau, Koa, Kaisah, Baad, Senegi, Wapeko.
141,479.97 187,129.28 90,053.82 155,230.72
1,059 26,944 1,193 2,368
6,943 86,924 1,830 16,670
33,312.02
2,626
12,816
101,270.87 147,824.11
1,545 1,859
13,162 1,881
Kumbe, Kaiburse, Onggari, Domande. Kaptel, Ihalik, Kaniskobat, Kwemsid, Buepe. Okaba, Alaku, Alatepi, Makaling, Iwol, Wambi, Sanggase, Dufmira Yowied, Dokib, Wamal, Woboyo, Dodalim, Welbuti. Yawimu, Poepe, Tagaepe, Nakias, Salamepe.
48,252.33 243,098.29 157,688.31
1,939 1,554 4,252
8,753 1,681 4,752
283,745.69
2,153
2,169
367,941.07
1,805
1,817
Wanam, Uli-Uli, Bibikem, Padua, Wogikel. Waan, Konorau, Sibenda, Wetau, Kawe, Toor, Sabon, Kladar. Tabonji, Bamol I, Bamol II, Yamuka, Iromoro, Wanggambi, Yeraha, Konjom Bando. Kimaam, Kiworo, Mambun, Woner, Deka, Sabudom, Teri, Turiram, Kalilam, Kumbis, Komolom Jumlah
200,829.83 544,521.20
3,087 4,361
4,914 4,364
294,112.18
4,939
4,941
468,474.84
5,306
5,605
74,136
194,835
Sumber : data olahan RTRW (2011), & penduduk thn 2010
4,759,056
49
Distribusi penduduk asli Papua (Suku Malind) jika dilihat dalam posisi di tingkat Distrik yang ditunjukan pada Gambar 11 memberi gambaran tentang posisi masyarakat adat yang sebagian besar terkonsentrasi di kampung-kampung lokal. Konsentrasi jumlah kampung lokal di satu distrik dengan nilai 31,8 – 99,9 persen menunjukan bahwa masyarakat adat masih absolut tinggak di wilayah kampung yang jauh dari pusat pengembangan yaitu dari ibukota Kabupaten merauke. Distribusi kampung orang Malind juga sangat dipengaruhi oleh lingkup wilayah adat masing-masing sub Suku Malind.
Gambar 11. Peta Distribusi Orang Asli Papua Sesuai Distrik 4.7.2 Kekerabatan Marga suku Malind Suku Malind termasuk Suku bangsa dalam rumpun Melanesia (Melanesia dari bahasa Yunani melas 'hitam' dan nesos 'pulau' karena penduduknya yang berkulit kelam (Flassy, 2010), bersama dengan maluku, orang PNG dan orang fijisolomon kepulauan. mengenal sistem pewilayah berdasarkan klan/boan (kelompok keluarga dalam ikatan kekerabatan ). pembagian marga-marga tersebut disesesuaikan dengan kewilayahan menurut golongan penjuru mata angin yaitu Malind Zosom di wilayah timur laut sampai ke selatan, Malind ezam di wilayah utara, Malind imo di wilayah barat dan Malind mayo di wilayah barat laut sampai ke bagian selatan. Setiap golongan terdapat kelompok marga-marga atau boan dan keluarga induk. Sedikit berbeda penamaan marga-marga dari Malind untuk dua sub Suku Yeinan dan terbagi atas kelompok Yanggib, Kabronain, Kaorkenan dan Yemunan, untuk kelompok marga di sub Suku Kanume dikenal masing masing terdiri dari mbanggu, Ndimar dan Ndipkuan. Pembagian kelompok marga menurut sub Suku Yeinan dan Kanume tersaji pada Lampiran 1.
50
4.7.3. Totemisme dan Tempat yang Dianggap Penting Dalam konteks mitologi Suku Malind pandangan totemisme yang disebutkan sebagai ‘Mayo’ meletakan manusia dalam hubungan transenden dengan leluhur dan bahwa seluruh bagian dari alam merupakan manifestasi dari leluhur yang menjaga kehidupan manusianya, sehingga sumber daya alam adalah merupakan kesatuan tak terpisahkan dengan manusianya/anim-ha. Dikenal dua kelompok marga besar yaitu Geb dan Sami yang selanjutnya diikuti sub marga dibawah kedua marga tersebut. Setiap marga memiliki keterikatan spesifik dengan unsur alamnya, seluruh marga yang ada baik dari Geb dan Sami memiliki nama dan simbol di alam. Hewan babi adalah penjelmaan dari dema basik-basik yang memberi kesempatan kepada marga tersebut memanfaatkan dan menjaga aturan pemanfaatan hewan ini oleh semua marga lainnya tetapi juga wilayah habitat dari babi menjadi bagian perlindungan dalam pelestarian hewan tersebut. Ini berlaku juga untuk flora dan gejala alam seperti air, guntur, kilat dan peristiwa-peristiwa alami yang terjadi lainnya. Ketergantungan terhadap alam yang memberi ruang hidup dan tempat mendapatkan berbagai hasil bumi membuat nilai kearifan juga menyangkut aturan main dan sangsi yang sangat jelas bagi mereka dan turunannya diberlakukan dan berinteraksi. Sistem membagi hak atas tanah untuk dikelola dan dimiliki sama untuk orang Melanesia dimana garis paternalistik dari bapak kepada anak laki laki, yang biasanya dilakukan dalam tradisi komunal atau kelompok marga dan individu si warga itu sendiri. Dalam memahami pandangan ruang menurut Malind disamping teritori dan habitat yang sudah dijelaskan diatas maka kewilayahan kelola alam juga dikenal dalam bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yaitu : tempat pemukiman, bevak/kebun/ladang, wilayah berburu, wilayah dusun sagu, tanaman obat, sumber air, dusun tanam wati/kumbili ubi ubian, tempat-tempat pamali atau dianggap sakral karena sangat berkaitan dengan penguburan, leluhur dan ritual tertentu. Wilayah-wilayah kelola tersebut merupakan dimensi eksistensi transenden dengan leluhur, ilmu pengetahuan yang diwariskan secara turuntemurun melalui inisiasi adat. Nilai yang dianut secara arif melalui wilayah kelola kemudian dipetakan secara partisipatif dan disepakati dalam konsesus bersama seluruh sub Suku sebagai ‘Tempat penting’ Suku besar Malind. Pemetaan partisipatif yang digagas sejak tahun 2006 lalu tersebut melahirkan dokumen peta Tempat penting masyarkat adat Malind besar skala satu Kabupaten. Gambaran Tempat penting tersebut tidak terlepas dari pandangan nilai kearifan lokal pelestarian alam yang mencakup enam aspek penting antara lain seperti yang disajikan pada Tabel 9. 4.8 Penataan Ruang Kabupaten Pelaksanaan penataan ruang disusun berdasarkan subsistemnya yang mencakup perencanaan, implementasi dan pengendalian. (Rustiadi, 2011) Perencanaan tata ruang melalui penyusunan dokumen RTRW ditingkat Kabupaten seperti di Kabupaten Merauke telah dilaksanakan sejak tahun 2006 sampai dengan ditetapkannya peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Merauke masa 2010-2030 pada November 2011. Pola lindung dalam kearifan
51
lokal Suku Malind yang disebut ‘Tempat penting’ telah masuk dan ditetapkan sebagai bagian pada kawasan lindung dengan nama cagar budaya. Tabel 9. Simbol dan makna enam elemen Tempat penting Simbol Jenis Arti simbol Tempat sakral
Persinggahan leluhur Perjalanan leluhur Dusun sagu
Sumber air
Kawasan konservasi adat
Segi 7 melambangkan 7 penjuru mata angin, warna merah merupakan warna sakral, dan titik hitam ditengah melambangkan patok tanda larangan dan sangat penting Segi 7 melambangkan 7 penjuru mata angin, warna merah artinya tidak boleh diganggu, namun tidak mendasar/ tidak terlalu penting warna merah merupakan salah satu warna adat penting dan garis perjalanan lebih tebal gambar pohon sagu dewasa dan tunas sagu, mengandung arti pohon sagu dewasa dapat diambil oleh generasi saaat ini, dan sagu anak untuk generasi mendatang lingkaran melambangkan air yang diam seperti sumur, danau , rawa dan gelombang cabang kecil melambangkan air mengalir seperti sungai diberi warna merah tapi agak mudah, menunjukkan kawasan yang penting untuk konservasi tetapi bukan daerah yang dilarang, oleh masyrakat dapat digunakan untuk mengambil hasil hutan.
Sumber : Hasil konsesus Suku Malind tahun 2006
Konsep perlindungan kawasan Tempat penting bagi suku setempat menjadi bagian yang harus dipertimbangkan secara baik dalam penataan ruang pembangunan. Beberapa pasal dalam perda RTRW dengan jelas telah menjelaskan tentang tempat penting yaitu : pasal 17 d, 20c, 21c, 35b dan lampirannya. Cagar budaya dalam pola ruang dengan simbol garis putus-putus berwarna ungu yang menunjukan keberadaaannya dalam peta RTRW Kabupaten masih bersifat imaginer. Berawal dari visi agropolitan tahun 2006 – 2011, perekonomian berbasis pertanian diupayakan dengan berbagai cara untuk berkembang dan menghasilkan pemasukan yang utama bagi daerah. Masuknya investasi skala luas di Kabupaten Merauke disatu sisi menunjukan bahwa Merauke memiliki kekayaan sumber daya alam berupa lahan yang sangat menjanjikan terutama bagi komoditi seperti kelapa sawit, tebu dan jenis tanaman pangan seperti padi dan palawija. Digelarnya rencana nasional perluasan lahan pangan yang disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate/MIFEE, disampbut pemerintah daerah dengan alokasi untuk tahap awal lahan seluas 228.023 ha. Lokasinya dibagi dalam empat klaster pengembangan yaitu : Klaster Merauke termasuk distrik Semangga, Tanah Miring, Jagebob; klaster Kali Kumbe termasuk Distrik Jagebob dan Sota, dan klaster Muting mencakup Muting, Eligobel dan Ulilin. Luasan lahan dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 12.
52
Tabel 10. Luasan Klaster I-IV MIFEE Klaster Klaster I Klaster II Klaster III Klaster IV Jumlah
APL 11,580 5,567 31,291 16,806 65,244
Fungsi Kawasan HPK 32,635 44,574 49,425 36,102 162,736
Air 24 0.04 1 18 43,04
Luas Klaster (Ha) 44,239 50,141 80,717 52,926 228,023
Gambar 12. Peta Kawasan Project MIFEE Sejauh ini perkembangan MIFEE sampai dengan tahun 2012 tercatat kurang lebih 19 perusahaan yang berada di 4 klaster MIFEE. Dalam praktek perolehan lahan produksi sebagian besar perusahaan mempunyai keluhan yang senada seputar pembebasan tanah dan belum jelasnya batas hak atas tanah dan kawasan tempat penting masyarakat di dalam lokasi konsesi. Persoalan lain dari sisi kebijakan adalah tentang perizinan seperti moratorium hutan lewat surat edaran Gubernur No.050/3595/Set tanggal 26 Oktober 2010, bahwa semua permohonan ijin yang menggunakan lahan skala luas harus menunggu Penetapan PERDA Provinsi Papua tentang RTRW Provinsi Papua Tahun 2010-2030 dan penundaan izin-izin karena belum ditetapkan RTRW Papua. Tentunya menimbulkan reaksi beragam dari berbagai pihak baik pengusaha, pemerintah maupun masyarakat. Persoalan lain yang juga penting adalah pengurusan dokumen lingkungan AMDAL yang belum bisa dipenuhi sebagian besar perusahaan karena adanya perubahan waktu perizinan menjadi hanya 14 hari.
53
Berdasarkan surat pernyataan sikap tertanggap 28 mei 2013 masyarakat adat melakukan pemalangan terhadap operasional perusahaan group Rajawali di klaster II Distrik Kurik dan Malind, akibat banyaknya janji-janji yang diberikan dan tidak dipenuhi kepada masyarakat kampung Domande sehingga berujung pada sengketa tersebut. Salah satu pemicu konflik adalah pelanggaran batas tanah dan ganti rugi harga kayu hasil tebangan hutan alam. Hampir pasti setiap investasi selama kurang lebih delapan tahun memiliki persoalan yang muaranya adalah konflik kepemlikan, transaksi lahan dan pemanfaatannya. Sebut saja beberapa kasus lain sebelumnya di Boepe distrik Kabtel tahun 2011 terhadap ganti rugi tanah yang tidak adil pembagiannya, pemberhentian besar-besaran masyarakat lokal sampai 60 orang dari kerja tetap beralih ke kerja harian oleh perusahan HTI. Di klaster 4 distrik Muting juga terjadi kleim masyarakat atas pelanggaran perjanjian pelepasan lahan garapan ke lahan garapan lainnya dari lahan milik marga mahuze ke lahan lain milik marga di Suku muyu, yang akhirnya memicu pemalangan dan protes marga Mahuze. Ini terjadi sekitar akhir Desember 2012 lalu, dan sampai saat ini masih berjalan terus penyelesaian kasus tersebut. Beberapa kasus ekstrim lainnya adalah terjadinya pembunuhan karena sengketa atas pembagian pembayaran ganti rugi kayu di Zanegi yang berakibat jatuh korban satu orang tokoh marga Balagaize. Peruntukan lahan sesuai fungsi kawasan pada masing-masing klaster pada Tabel 10 sebagian besar telah terbagi dalam wilayah konsesi investasi, baik perkebunan maupun kehutanan dan pangan antara lain dari Group Korindo, Group Rajawali, Group Wilmar dan Group Medco. Lampiran 3 memperlihatkan konsesi lahan investasi untuk keempat klaster mencapai 17 perusahaan baik komoditi Acacia untuk HTI, serta kelapa sawit dan tebu, total izin adalah seluas 145,541 hektar. Empat perusahaan belum berjalan atau tidak aktif salah satu penyebabnya adalah proses perizinan belum selesai. Lima perusahaan sudah mendapat izin Pemanfaatan Kayu (IPK) masing-masing seluas 40 hektar yang diberikan untuk pembibitan awal.
54
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kearifan tentang Tempat penting dan Penerapannya pada Rencana Detil Tata Ruang Kata Malind berasal dari kata Mayo atau maloh yang berarti keramat, sakral atau penting, dan Malind mengandung pengertian adalah orang dari mayo. Semua Penyebutan Malind anim punya kaitan dengan kateori bangsa melanesia karena orang papua bagian selatan disebut sebagai ha-anim, Pengertian sebenarnya dari Malind-anim adalah orang dengan ras bangsa melanesia yang menganut kepercayaan ‘mayo’. Gambar 13 memperlihatkan postur orang Malind dengan asesories yang dimodifikasi sesuai simbol marga masing-masing.
Gambar 13. Postur dan Asesories baju Adat Masyarakat Malind-anim Setiap marga memiliki kearifan tersendiri dalam memperlakukan nakali atau identiknya di alam terutama dalam pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti hewan buruan, tanaman obat dan seterusnya. Semua nakali diperlakukan dengan mekanisme aturan dan tata cara adat untuk menjaga kelestarian dan keseimbangannya di alam, jika ada keseimbangan maka alam dipercaya memberikan keberlimpahan. Wilayah adat Suku Malind di Kabupaten Merauke terbagi habis dalam sub suku dari tanah besar di daratan dan pulau Kimaam. Dusun marga biasanya digunakan untuk mendapatkan segala kebutuhan sehari-hari seperti daging dari hasil buruan, ikan di rawa, ubi-ubian dari kebun kumbili, bahan bangunan dan obat obatan yang didapatkan dari hutan dll. Gambar 14 menunjukan konstruksi nilai kearifan dalam dimensi lingkungan sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan karena ikatan-ikatan dalam nilai dan sistem yang identik dengan lingkungan alam yang dianut kuat oleh Suku Malind.
55
Gambar 14. Skema konstruksi kearifan Suku Malind dengan lingkungan alam Identitas jati diri setiap marga di sub Suku Malind anim tidak terlepas dari sistem totemisme/penyimbolan di alam melalui flora dan fauna serta gejala alam. marga gebze identik dengan kelapa, marga Balagaize identik dengan jenis elang bondol/elang laut, Samkakai dengan kangguru, Basik-basik identik dengan babi, kaize dengan hewan kasuari dan api, Mahuze identik dengan sagu dan seterusnya. Setiap totem memiliki aturan pemanfaatan secara adat yang ditentukan oleh setiap marga identiknya seperti yang disajikan pada Lampiran 2. Keraf (2005) dalam Marfai (2012), menyatakan bahwa kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan dalam komunitas ekologis. Nilai kearifan lokal masyarakat adat Malind secara antropologis dalam perspektif rumpun Melanesia mengenal empat aspek penting dalam hubungannya dengan tanah dan alam yaitu Hidup berlimpah, menyangkut ketersediaan alam yang utuh yang mencukupi semua kebutuhan hidup. Komunitas yang berkaitan dengan kehidupan bersama antar keluarga inti, antar marga dan antar Suku yang saling membantu, komunitas juga terkait bukan hanya dengan tumbuhan, hewan dan manusia hidup tetapi juga berkaitan dengan orang mati, leluhur dan yang ada didalam tanah. Relasi hubungan dan transaksi resiprositas atau memberi dan menerima bahwa ada transaksi yang selalu dilakukan antar marga atau Suku, baik dalam membangun persaudaraan maupun menjaga kekerabatan dan keturunan, biasanya dilakukan dalam bentuk kematian, perkawinan ada tukar anak, sistem pinjam pakai lahan dan sebagainya, prinsipnya supaya kita selamat untuk hari ini dan masa depan, ada timbal balik. Pada sub Suku Malind tanah besar, kepemimpinan adatnya disebut ‘pakas anim’. Dalam ‘pakas anim’ pembagian kewenangan dilakukan berdasarkan fungsi seseorang yang sudah melalui tahapan inisiasi atau pendidikan dan penobatan adat secara berjenjang, untuk memangku jabatan tertentu dalam kepemimpinan tersebut. Adapun urutan kepemimpinan dalam pengambilan keputusan dari tingkat lebih rendah sampai tertinggi adalah anim, mburaro, mitawal, kuunam dan wadikasi, dimana setiap ucapan yang keluar dari mulutnya adalah keputusan, nasehat dan pemutus perkara. Urutan kepemimpinan dan ketokohan ini memiliki kemiripan bagi sub Suku Malind baik wilayah pantai maupun bob/rawa dan dek/hutan, namun berbeda penyebutan untuk sub Suku lainnya seperti sub Suku Yeinan, Khima-khima dan Kanume.
56
Tempat penting menurut jenis pemaknaannya berkaitan dengan mitologi/sejarah , kisah perjalanan leluhur dan kejadian tertentu. Informasi ini dpertegas tokoh kunci Suku Malind yang mengatakan bahwa : Malind-anim sebelum kedatangan para misionaris katolik, sudah mempunyai suatu kepercayaan yang berdasar pada Totemisme, kalau saya boleh katakan demikian ini, yang dalam Bahasa Marind sendiri disebut ‘Mayo’, yang terpecah dalam aliran-aliran : Imoh, Ezam, Sosom, Mayo-Bodol, Mayo Ndamand, Mayo Walamol dan aliran kebatinan kecil-kecil a.l. Arapa/Alapa. Kepercayaan ini sudah mengatur dirinya terhadap alam lingkungannya dan mengatur tata kemasyarakatannya, hingga dia memenuhi sayarat-syarat kehidupan bermasyarakat sabagai masyarakat manusia. (Gebze, 2000) Wilayah adat dalam penelitian ini dibatasi pada sub Suku Malind anim, dan Mbian anim, seperti yang ditunjukan peta pada Gambar 15. Wilayah di pesisir pantai sampai hulu dari dua sungai : Kumbe dan Bian, dengan dialek bahasa yang berbeda, distribusi penduduk yang tinggal di pesisir pantai berbeda dengan masyarakat yang tinggal di rawa dan daratan lebih ke dalam atau ke hulu.
Gambar 15. Peta posisi wilayah adat Suku Malind anim, Mbian anim Tempat penting memiliki makna yang identik dengan tempat atau kawasan yang dianggap sakral, hubungannya dengan identitas diri atau jati diri margamarga berupa tempat ritual, daerah kuburan leluhur, kampung lama ataupun terjadinya kejadian tertentu yang berhubungan dengan akfititas leluhur yang
57
disebut ‘amai’, dan makna lainnya adalah tempat yang biasanya masyarakat mencari makan. Pembagian jenis Tempat penting sesuai dengan cerminan identitas adat Malind dan makna pemenuhan kehidupan sehari hari dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Perjalanan atau “dema kay” dan persinggahan leluhur atau “ Demadap Mir” Pada masa awal perjalanan satu sub Suku maka “dema” atau “amai” (baca: moyang atau leluhur) memiliki perjalanan panjang dan biasanya semua datangnya dari arah timur atau disebut wilayah matahari terbit dan menuju ke barat atau dari pesisir naik ke utara. Tempat yang merupakan perjalanan biasanya ditandai dengan garis perjalanan yang juga diselingi dengan tempat singgah sementara ataupun persinggahan terakhir dimana dema akhirnya menemui ajalnya dan mati. Ada jalur pergi dan jalur kembali. Simbolnya disepakati segi tujuh dengan warna merah (dohai) untuk persinggahan dan garis berwarna merah untuk perjalanan. Warna merah digunakan karena mengandung makna larangan atau sakral. Kepercayaan Malind tentang kematian mempercayai bahwa semua Suku Malind ketika mati akan kembali ke Kondo melalui jalur perjalanan yang disebut “Heiz pale” atau jalur roh yang ditandai dengan adanya urat tanah (urat tanah, baca: gundukan tanah yang biasanya akan saling sambung menyambung). Karena generasi suku masih hidup dan ada sehingga jalur dianggap sakral untuk tetap dijaga dan tidak boleh di hilangkan sehingga pada lokasi ini tidak diperbolehkan adanya aktiftas pemanfaatan lahan yang memutuskan jalur tersebut, biasanya hanya terbatas untuk pemanfaatan sehari hari bagi keluarga bukan komersil atau besar besaran. Gambar 16 menunjukan lokasi di alam biasanya merupakan satu hamparan atau pohon besar.
Gambar 16. Lokasi Perjalanan leluhur/dema di Lapangan
58
2. Dema Say tempat mitologi Wilayah ini berhubungan dengan terjadinya kejadian penting menyangkut asal usul manusia maupun hewan sebagai totem tertentu. biasanya tempattempat ini dipercaya sebagai tempat kediaman roh leluhur. Di semua marga tempat ini sangat disakralkan sehingga siapapun tidak boleh masuk di lokasi ini. Biasanya tempat sakral dilambangkan dengan simbol segi tujuh dengan warna merah/dohai dan titik hitam/koyhai ditengahnya. Gambar 17 menunjukan lokasi di alam yang biasanya tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang kecuali marga yang bersangkutan, bahkan difoto seperti ini juga tidak bisa sebelum mendapat izin dari marga yang menjaga tempat ini. Ada kepercayaan jika kita berbuat tidak baik di lokasi ini maka akan kena celaka dalam hidupnya.
Gambar 17 Lokasi tempat mitologi di lapangan 3. Kuburan leluhur atau Amayen sai Biasanya dimiliki oleh setiap marga di kampung karena ditempat ini merupakan tempat leluhur mati dalam perjalanannya. Wilayah ini biasanya harus dikomunikasikan kepada marga lainnya, sifatnya peringatan dari marga yang bersangkutan sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Gambar 18 memperlihatkan kawasan kuburan leluhur yang memang tidak nampak seperti kuburan secara fisik namun biasanya hanya bentuk area atau hutan tertentu dengan beberapa jenis pohon besar menjadi penandanya.
59
Gambar 18. Lokasi Kuburan Leluhur di Alam 4. Tempat Ritual atau Pungga Sai Kawasan ritual dianggap penting karena pada masa dahulu ketika masih terpencar di dusun-dusun, masyarakat secara rutin melakukan panen tahunan yang mengumpulkan berbagai golongan sebagai ikatan Suku, biasanya diadakan pesta dan ritual inisiasi untuk melestarikan adat melalui pendidikan kepada generasi muda ataupun penobatan dalam jabatan adat. Saat masyarakat sudah hidup dengan pola kampung maka ritual untuk golongan imo dapat difokuskan di kampung saja, setiap marga menjaga dan menggangap kawasan ini penting bagi adat sehingga harus dilestarikan. Golongan lain seperti zozom, ezam dan mayo masih melaksanakan ritual jauh dari kampung. Biasanya dikawasan yang terdiri dari satu hamparan luas yang disiapkan untuk ritual akan ditunjuk penyelenggaranya, yang ditunjuk oleh kelompok marga dalam sistem penjuru mata angin ataupun keputusan adat di kampung saja. Tempat ini juga harus representatif menampung setiap peserta untuk berada disana sampai upacara adat selesai dilaksanakan. (Gambar 19)
Gambar 19. Tempat Ritual Adat
60
5. Dusun Sagu atau Dah Nanggaz Masyarakat meyakini kawasan yang ditumbuhi dusun sagu selalu menjadi sumber kehidupan karena sagu sebagai tumbuhan yang menghasilkan bahan olahan pokok bagi mereka, kawasan ini juga menjadi tempat berteduh leluhur karena ada ikatan batin yang sangat kuat dengan nakali atau manusia yang memiliki daerah ini. Karena sagu juga merupakan salah satu totem penting dari marga Mahuze maka marga lain dalam memanfaatkan sagu dan wilayah sekitar dusun sagu harus menghormati. Kawasan ini juga secara ekologis sangat berguna untuk menyimpan air dan sebagai indikator ekuifer karena apabila ada dusun sagu biasanya airnya selalu baik dan berlimpah. Simbolnya yang disepakati antara marga dalam penggambaran adalah pohon sagu dewasa dan sagu anak atau yaang baru tumbuh. Filosofi simbol bahwa sagu dewasa menunjukan sagu yang dapat dikonsumsi oleh generasi kini dan menyisakan sagu anak atau baru tumbuh untuk generasi mendatang. merupakan pusat kawasan cari makan lainnya seperti berburu, biasanya terdapat bevak masyarakat atau persinggahan sementara selama mencari makan. (Gambar 20)
Gambar 20 Lokasi dusun Sagu
6. Sumber air atau awamdka Sumber air yang dimaksud Suku Malind ada dua macam berupa rawa permanen yang pada musim kemarau tetap menyediakan air dan sumber air buatan atau sumur yang sengaja dibuat oleh moyang dan penduduk namun biasanya punya sejarah dan selalu airnya tersedia sepanjang tahun. Simbolnya adalah bentuk sumur melingkar tanda air tenang dan tidak bergerak dengan
61
garis bergelombang yang menunjukan air yang dapat mengalir. Sumber air biasanya berada di dekat kawasan dusun sagu namun adakalanya juga berada di tengah-tengah rawa. (Gambar 21)
Gambar 21 Bentuk Sumber Air yg di buat secara alami 7. Hutan berburu atau Aweawe say Daerah ini ditandai dengan adanya hutan atau tempat biasanya hewan berada atau berkumpul, yang datarannya agak lebih tinggi, biasanya terdapat hewan seperti kangguru, babi hutan, rusa dan jenis marsupilia seperti bandikot. Pada musim penghujan ketika air mulai menutupi seluruh kawasan dan tergenang kawasan ini akan didatangi hewan untuk berlindung dari air. Berbagai jenis burung juga selalu mendatangi lokasi ini, padaawal musim penghujan saat rumput muda mulai tumbuh menunjukan ketersediaan pakan berlimpah dan menarik satwa dari jenis mamalia untuk memanfaatkan rumput muda sebagai sumber pangan utama. Masyarakat adat dalam setiap marga biasanya memiliki lokasi berburu sendiri-sendiri da juga secara bersama, kegiatan berburu masal dikenal dengan sebutan Ohan, yang biasanya dipraktekan sebagai bagian dari menjalin keeratan antar komunitas masyarakat di satu kampung. Ohan basik atau berburu babi dalam ritual Malind dilakukan untuk tetap menjaga kebersamaan yang dipimpin oleh kelompok marga Basikbasik karena babi merupakan totem mereka. Masyarakat mengkatagorikan kawasan hutan perburuan sebagai kawasan penting bagi mereka untuk mendapatkan sumber makanan dan cadangan makanan. Biasanya kawasan ini dapat merupakan hamparan terbuka dan juga hambaran hutan yang di laintai hutannya tidak rapat dan hanya terdapat alang-alang dan rumput rendah yang menjadi konsumsi hewan buruan. (Gambar 22)
62
Gambar 22. Lokasi hutan berburu 8. Tempat pelestarian adat atau Pungga Kawasan ini oleh sub Suku Malind dianggap sebagai kawasan yang punya hubungan dengan tempat tinggal roh-roh leluhur yang menjaga dan melindungi alam dengan segala isinya atau tempat duduk adat untuk penyepakati sesuatu hal. Nilai kearifan pada kawasan ini memberikan keleluasan bagi setiap marga untuk dapat memanfaatkan secara tradisional untuk kebutuhan pangan, pakai, obat-obatan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan konsumsi internal tanpa adanya intervensi pihak lain. Kawasan ini juga sering dipakai untuk tempat menyimpan benda-benda adat atau harta adat yang sakral, biasanya terlarang bagi orang lain selain marga yang bersangkutan atau Suku Malind. Dalam peruntukan kawasan marga marga sepakat untuk kawasan ini tidak digunakan atau dirubah untuk penggunaan lain. Tempat ini biasanya diberi tanda tertentu sesuai tanda marga (kulit bush atau alang-alang yang dibentuk sesuai totem) yang memberi peringatan pada setiap orang dari marga lain untuk tidak masuk ataupun berhati- hati jika memasuki wilayah ini. Kawasan ini biasanya ditunjukan dengan adanya bevak masyarakat, karena biasanya mereka tinggal dan menetap sementara sampai bahan makanan atau obat obatan sudah cukup dikumpulkan (Gambar 23)
63
Gambar 23. Lokasi Pelestarian Adat Marga-marga di empat kampung juga menyepakati bentuk pola ruang tradisional melalui kategori sakral dan keberadaan alam sebagai sumber makanan alami yang secara turun-temurun dijaga kelestariannya. Penyebaran Tempat penting dari hasil pemetaan di empat kampung yaitu Zanegi, Kaliki, Kolam dan Selauw (Gambar 24,25,26 dan 27) menunjukan indikasi tumpang tindih Tempat penting pada pola ruang lindung dan budidaya sesuai RTRWK untuk itu patut menjadi perhatian serius khususnya pada pola ruang budidaya karena berkaitan dengan lahan yang akan dimanfaatkan dan dirubah fingsinya. Diharapkan kedepan kawasan tersebut dapat dihindari sebagai bentuk pelestarian kawasan tempat penting ketika akan melakukan pemanfaatan lahan. Misalnya di Kampung Zanegi lahan kampung yang terbagi berdasarkan dua kelompok marga besar yaitu Sub Ndimarse dan Sub Haywse, yang membagi menjadi dua bagian wilayah (Gambar 24). Adanya pola penyebaran yang hampir merata menunjukan wilayah jelajah masyarakat dan mitologi sejarah leluhur yang memposisikan warga untuk mendiami kampung Zanegi khususnya kedua kelompok sub marga tersebut. Bentuk area, garis dan titik dalam penyimbolan yang menunjukan tingkat peta mental masyarakat dalam merumuskan pengalaman hidup yang menjadi jati diri dan kedekatan mereka dengan alam. Hal ini berlaku sama bagi 3 kampung lainnya walaupun berbeda cerita dan pengalaman namun punya keterkaitan dalam perjalanan leluhur dari satu lokasi ke lokasi berikutnya atau kampung ke kampung berikutnya (Peta tersaji pada lampiran 8,9, 10 dan 11) Secara teknis untuk melindungi jenis Tempat penting yang bersifat titik di peta seperti persinggahan leluhur, sumber air, tempat mitologi dan kuburan leluhur, atau yang di alam hanya ditunjukan dengan adanya pohon, sumur atau luasan area maksimum sampai 20 meter persegi, maka konsensus bersama masyarakat menentukan radius Tempat penting mulai dari 500 meter sampai dengan 2 kilo meter tergantung kesepakatan marga di masing-masing kampung. Pernyataan masyarakat adat juga menginginkan adanya pembangunan yang masuk ke kampung dan wilayah adat mereka dengan cara menghormati tempatTempat penting dengan tentunya mengajak mereka berdiskusi diawal kegiatan.
64
Gambar 24. Peta tempat Penting Kampung Zanegi
Gambar 25. Peta Tempat Penting Kampung Kaliki tempat Penting
65
66
Gambar 26. Peta Tempat penting Kampung Kolam
67
Gambar 27. Peta Tempat Penting Kampung Selouw Pemetaan yang dilakukan di empat kampung menunjukan pembagian pola ruang detil sebagai hasil kesepakatan tetapi juga merupakan proses bagaimana masyarakat memahami arti pentingnya ruang untuk pembangunan yang masuk ke kampung mereka. Ruang dimaksud dibagi dalam empat katagori kodefikasi yang diklasifikasi kedalam fungsi ruang lindung dan ruang budidaya. (Gambar 28)
68
Gambar 28. Peta Hasil pemetaan 4 kampung Hasil analisis empat kampung yang ditunjukan pada Tabel 11 memberikan gambaran rumusan bentuk pola ruang tradisional yang telah menyesuaikan dengan fungsi ruang lindung dan budidaya dengan masing-masing pembagian sebagai berikut : 1. Pola Lindung berkaitan dengan kawasan yang tidak diizinkan atau dilarang, kawasan bersyarat, dan kawasan terbatas. kawasan yang tidak diizinkan berupa kawasan lokasi sakral dan pelestarian adat, kawasan pengelolaan bersyarat yang meliputi lokasi ritual, kediaman leluhur, kawasan pengelolaan terbatas meliputi dusun sagu, sumber air , kawasan perburuan dan lokasi kebun serta dusun bevak.
69
2. Pola budidaya berkaitan dengan kawasan yang diizinkan untuk pengelolaan lahan baik skala kecil sedang maupun besar. Kawasan pengelolaan diizinkan adalah kawasan yang dianggap masyarakat dapat dinegosiasikan untuk keperluan yang lebih luas seperti mendukung pembangunan kampung dan pemukiman, pembangunan daerah dan swasta perkebunan dan kehutanan. (tabel kodefikasi pada Lampiran 11) Tabel 11. Perhitungan Pemanfatan Lahan hasil Pemetaan Partisipatif Kelas Pengelolaan setiap Kampung Luasan Kelas Pengelolaan Ruang Zanegi Pengelolaan Tidak Diizinkan Pengelolaan Bersyarat Pengelolaan Terbatas Pengelolaan Diizinkan Luas Total Kampung Hasil Pemetaan Luasan Kelas Pengelolaan Ruang Kolam Pengelolaan Tidak Diizinkan Pengelolaan Bersyarat Pengelolaan Terbatas Pengelolaan Diizinkan Jumlah luas Kampung Luasan Kelas Pengelolaan Ruang Selauw Pengelolaan Tidak Diizinkan Pengelolaan Bersyarat Pengelolaan Terbatas Pengelolaan Diizinkan jumlah luas Kampung Luasan Kelas Pengelolaan Ruang Kaliki Pengelolaan Tidak Diizinkan Pengelolaan Bersyarat Pengelolaan Terbatas Pengelolaan Diizinkan Jumlah Luas Kampung Rekaputilasi empat kampung Pengelolaan oleh masyarakat adat Pengelolaan kemitraan dengan pihak lain Luas Keseluruhan Kawasan 4 Kampung
Luas (Ha)
%
12,403 9,861 11,600 39,965 73,829
16.8 13.4 15.7 54.1
9,428 13,871 5,375 8,586 37,261
25.3 37.2 14.4 23.0
29,824 209 13,998 149,363
15.4 0.1 7.2 77.2
193,394 7,850 9,146 3,189 23,992 44,176
17.8 20.7 7.2 54.3
126,754 221,906 348,660
36.4 63.6 100.0
Gambar 29 berupa Grafik pie menunjukan luasan dan prosentasi jumlah masing masing pola ruang tradisional dari penggabungan luasan empat kampung. Luasan yang disepakati masyarakat menyangkut kawasan yang tidak diizinkan (17%) berupa kawasan lokasi sakral dan pelestarian adat, kawasan pengelolaan bersyarat (9 %) yang meliputi lokasi ritual, kediaman leluhur, kawasan pengelolaan terbatas (10 %) meliputi dusun sagu, sumber air , kawasan perburuan
70
dan lokasi kebun serta dusun bevak. Kawasan pengelolaan diizinkan (64 %) adalah kawasan yang dianggap masyarakat dapat dinegosiasikan untuk keperluan yang lebih luas seperti mendukung pembangunan kampung dan pemukiman, serta kegiatan pembangunan lainnya. Dengan kecendrungan ruang budidaya lebih besar luasanyanya mencapai 221,906 hektar atau sekitar 63,7 % dan luasan lindungan mencapai 126,754 atau 36.3 % dari total luas kampung.
Gambar 29 Grafik Pie Persentasi Pembagian Pola Ruang Tradisional Pola pengelolaan tradisional kawasan Tempat penting mengandung makna bahwa melalui pemetaan ini masyarakat secara arif memetakan Tempat penting mereka dan juga memberikan ruang yang cukup di kampung untuk proses negosiasi dengan pemerintah atau pihak ketiga dalam mendukung pembangunan kampung dan wilayah Kabupaten. Pengalokasian ruang bagi Tempat penting tidaklah mencakup seluruh kawasan kampung menunjukan bahwa masyarakat memiliki komitmen kuat untuk mendukung pembangunan daerah dengan menyediakan lahan pengelolaan untuk pengembangan wilayah, di samping mengamankan kawasan Tempat penting Mereka. Tempat penting sebagai sebagai makna dan nilai etnogradi yang dianut komunitas sebenarnya sulit untuk dibuat dalam urutan ranking yang lebih penting satu dengan lainnya dalam kepentingan perencanaan ruang. Jalan tengah bagi penyelesaian konflik tanah dan peruntukan ruang dalam pembangunan, kawasan yang dianggap zona Tempat penting yaitu : 1. Kawasan sakral berupa Persinggahan leluhur, tempat mitologi, kuburan leluhur dan tempat ritual dianggap zona yang sangat penting karena memberikan ruang kepada masyarakat adat agar dapat melaksanakan kegiatan budaya secara turun temurun dan melestarikan pusaka adat sebagai bentuk ekspresi praktek tradisi adat & budaya. Disatu sisi memberikan pendidikan bagi masyarakat umum untuk menghormati tempat-tempat sakral yang diyakini oleh masyarakat adat dan arah dalam kegiatan pembangunan agar menghindari dan tidak melakukan kegiatan konversi pada kawasan sakral. 2. Kawasan Pelestarian Adat dianggap zona penting kedua setelah Sakral karena melindungi keanekaragaman hayati yang menjadi identitas adat dan budaya, ketahanan pangan dan sumber obat tradisional masyarakat adat Malind. Wilayah ini tidak dapat diganti fungsi kawasannya selain komunitas adat marga pemilik kawasan. 3. Kawasan Perjalanan leluhur adalah zona yang melindungi alur perjalanan leluhur terutama menyangkut penyebaran dan asal muasal marga-marga dalam
71
sejarah dan indentitas budaya Malind khususnya setiap marga. Dalam peruntukannya selama tidak merubah fungsi sebagai penghubung satu lokasi ke lokasi lainnya dari tempat persinggahan leluhur dan telah mendapat izin dari marga pemilik lahan maka dapat dibijaki untuk kepentingan pemenuhan infrastruktur ruang. 4. Kawasan budidaya tradisional mencakup dusun sagu, sumber air dan hutan berburu mencakup zona yang melindungi sumber bahan pangan bagi masyarakat. Sebagai sumber bahan baku material bangunan. Mengatur sumber mata air selama musim kemarau. Melindungi nilai identitas budaya sebagai Totem dan kearifan lokal. Kemudian dapat diselaraskan untuk kepentingan pertanian terbatas yang berbasis pada kearifan setempat. 5. Zona lainnya yang berada di luar zona tempat penting diatas dapat dikatagorikan sebagai zona yang dapat dimanfaatkan dalam pola budidaya dengan keteraturan daya dukung alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat baik pemilik hak maupun semua pihak demi kemajuan wilayah kabupaten. 5.2 Analisis Perubahan Penutupan Lahan Penutupan Lahan dibagi dalam delapan jenis lahan yaitu Hutan (H), Hutan Bakau (HB), Savanna (S), Semak Belukar (SB), Tubuh Air (TA), Lahan Terbuka (LT), Lahan Pertanian (LP), Tidak ada data/Berawan (TAD). Tutupan lahan yang dengan dominan sangat luas adalah pada lahan Hutan (H), dengan simbol berwarna hijau tua. Bukaan hutan pada beberapa kawasan hutan mengakibatkan penyebaran tutupan hutan terfragmentasi dan berkurang jumlahnya. (Gambar 30 dan 31)
Gambar 30. Hasil Interpretasi Tutupan Lahan tahun 2000
72
Gambar 31. Hasil Interpretasi Tutupan Lahan tahun 2012 Tabel 12 memperlihatkan tutupan hutan berkurang pada periode 2000 – 2012 mencapai luasan 341,056 hektar, yang diakibatkan adanya pemanfaatan lahan oleh berbagai aktifitas pembangunan, seperti bertambahnya lahan pemukiman di kota Merauke, pemekaran distrik-distrik, dan pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit, tebu dan Hutan Tanaman Industri. Lahan pertanian tanaman pangan meningkat luasanya mencapai 14,852 hektar di distrik Malind, Animha. Hal ini diakibatkan oleh ekstensifikasi komoditi pertanian seperti ubiubian, jagung dan padi (43.000 hektar), sesuai dengan program percepatan lahan pangan Nasional atau yang dikenal dengan proyek MIFEE /Merauke Integrated Food & Energy Estate. Pola peningkatan kawasan pertanian, lahan terbangun menunjukan penyebab berkurangnya lahan hutan pada tahun 2012. Tabel 12. Luasan Perubahan tutupan Lahan di Kabupaten Merauke Jenis Lahan Hutan Bakau Semak Belukar Savanna Lahan Pertanian Lahan terbangun Lahan Terbuka Tubuh Air Tidak Ada data
luas thn 2000 Hektar (ha) (%) 2,565,347.4 55.9 329,818.6 7.2 352,021.2 7.7 708,279.5 15.4 27,188.1 0.6 60,171.7 1.3 147,056.3 3.2 402,102.9 8.8 0.4 0.0 4,591,986 100
Luas tahun 2012 Selisih Hektar (ha) (%) Hektar (ha) (%) 2,224,290.7 48.4 -341,056.7 (7.4) 288,084.4 6.3 -41,734.2 (0.9) 706,702.3 15.4 354,681.1 7.72 850,462.0 18.5 142,182.5 3.10 42,040.8 0.9 14,852.7 0.32 62,799.2 1.4 2,627.5 0.06 61,544.0 1.3 -85,512.3 -1.86 356,136.2 7.8 -45,966.7 -1.00 1.2 0.0 0.8 0.00 4,592,060.8 100
73
Tutupan/penggunaan lahan berpotensi mengalami perubahan yang cepat jika pencadangan dan pembukaan lahan baru skala luas terjadi untuk komoditi kelapa sawit (250.442 hektar), tebu (76.494 hektar) dan hutan tanaman (903.522 hektar). Berdasarkan citra tahun 2012 terlihat perubahan penggunaan lahan terjadi di beberapa lokasi antara lain Distrik Ngguti untuk lahan konsesi kelapa sawit dengan bukaan seluas 8.236 ha sejak tahun 2007 lalu menuai berbagai permasalahan di lapangan karena terjadi konflik antar marga pemilik tanah, konflik antar dua kabupaten karena wilayahnya adalah wilayah perbatasan kabupaten Merauke dan Mappi. Yang menarik adalah sejumlah besar kawasan dusun sagu dan tempat sakral masyarakat diwilayah itu telah ditiadakan dan dibersihkan menjadi lahan terbuka yang sangat luas. Pada tahun 2011 sampai dengan pertengahan tahun 2012 lalu di wilayah kampung Zanegi juga telah dibuka lahan untuk HTI seluas 3.207 ha dan menimbulkan konflik marga di kampung Zanegi, sejumlah besar lokasi Tempat penting masyarakat juga ikut tergerus oleh dibuatnya jalan login dan lokasi penanaman. Ketika dilakukan pemetaan partisipatif di kampung Zanegi terlihat bahwa beberapa lokasi yang teridientifikasi sebagai Tempat penting marga Gebze berada tepat diatas hamparan luasan yang dibuka tersebut. Beberapa kawasan yang masih berhutan milik marga Balagaize sudah ditandai untuk tahun 2013 akan dilakukan penebangan sesuai RKT tebang perusahaan, yang kalau dilihat maka kawasan tersebut masuk dalam hutan perburuan masyarakat (Lampiran 13). Indikasi fakta-fakta ini semua memberikan peringatan bahwa jika Tempat penting yang masih ada tidak cepat dipetakan di tingkat marga-marga di kampung maka ini juga akan bernasib sama dengan kawasan yang telah dibuka sebelumnya. Hal ini kemudian dapat menjadi ancaman serius bagi keberadaan kawasan Cagar Budaya dalam rencana pola ruang, yang penyebarannya berada di hampir semua distrik. Tempat penting skala marga yang berada di kampung-kampung lokal akan pertama kali terkena dampak perubahan karena proses pinjam pakai dan pelepasan lahan antara masyarakat pemilik tanah dan perusahaan maupun dengan pemerintah daerah. 5.3 Pendapat dan Penilaian para pihak terhadap keberadaan Tempat penting dalam Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang Persepsi masyarakat berupa pengalaman dan pendapat para pihak menyangkut proses pemanfaatan ruang dan implementasinya menjawab peraturan daerah tentang RTRW perlu diperhatikan karena berkaitan dengan dukungan aktif para pihak dan masyarakat. Dukungan mengenai keberadaan Tempat penting sebagai cagar budaya yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Melalui data wawancara dan FGD terhadap para pihak dengan segmentasi pemuda, akademisi, tokoh adat, tokoh agama, pemerintah daerah, tokoh perempuan, pengusaha dan LSM didapat hasil seperti tertera pada Tabel 13.
74
Tabel 13 Persepsi para pihak di kabupaten Merauke Jenis Persepsi
Persepsi Para pihak
Tempat penting
1. Tempat penting memiliki makna sakral dan mitologi dengan kepercayaan "mayo' yang sangat dalam bagi komunitas adat Malind. memiliki penamaan sesuai bahasa dari 4 wilayah adat : Khima-khima, Malind tanah besar, Yeinan, kanume 2. Merupakan jati diri dan identitas Malind yang harus dipertahankan dan dilestarikan 3. Memiliki dimensi nilai berupa kearifan aturan kepercayaan dan sanksi, dimensi ruang meliputi 6 kategori kawasan penting, dan dimensi lingkungan karena termasuk dalam kawasan bernilai konservasi tinggi 4. Bagian dari dokumen RTRW sebagai cagar budaya
RTRW dan Rencana Ditail tata ruang
1. RTRW adalah produk, alat rencana, implementasi dan pengendalian ruang yang telah mengakomodir Tempat penting. 2. RTRW merupakan produk arahan tata ruang yang perlu diturunkan ke skala rencana detil atau rinci sehingga dapat menjawab pemanfaatan ruang pada diskala operasional. 3. RTRW Merauke merupakan produk rencana yang partisipatif dari masyarakat dan para pihak.
Apa yang harus dilakukan kedepan
1. Sebagai bentuk perlindungan dan pelestarian Tempat penting maka RTRW perlu dirinci melalui program pemetaan detil sehingga dapat dijadikan acuan dalam pengendalian ruang. 2. Proses pemetaan detil Tempat penting perlu pelibatan semua pihak termasuk pemuda secara terpadu dalam kegiatan pemetaan Tempat penting ditingkat marga. 3. Perlu ada aturan daerah untuk menjadi payung hukum atas perlindungan dan pelestarian serta pengembangan Tempat penting
Persepsi para pihak dan masyarakat terhadap RTRW sebagai produk tata ruang harus menjembatani berbagai kepentingan atas ruang, terutama menyangkut hak pakai, hak akses, dan hak kepemilikan. Tempat penting sebagai cagar budaya perlu untuk dipertahankan dan dijaga keberadaannya saat ini dan selanjutnya. Adanya keterbukaan dan pelibatan para pihak dalam setiap upaya dan pembahasan menyangkut rencana rinci tata ruang dan menjadikan hasil identifikasi Tempat penting sebagai masukan penting dalam menyusun rencana rinci tata ruang sesuai dengan tahapan pengendalian tata ruang. Para pihak juga mengharapkan perlunya kerjasama semua pihak di Kabupaten yang diprakarsai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan program identifikasi Detil Tempat penting di tingkat marga-marga di kampung lokak Suku Malind melalui pemetaan partisipatif yang hasilnya dapat menjadi masukan dalam penyusunan rencana detil/rinci kawasan strategis. 5.4 Arahan dan masukan dalam penyusunan kebijakan rencana rinci Tempat penting sebagai kawasan cagar budaya sesuai RTRW dalam urgensi pengendalian ruang sudah menjadi kebutuhan untuk segera dimasukan dalam dokumen rencana detil kawasan strategis dengan memperhatikan pemanfaatan lahan dimasa yang akan datang. Berdasarkan pembahasan pada tujuan satu, dua dan tiga maka perlu ditarik kesimpulan yang merangkum menjadi
75
beberapa rumusan arahan sebagai masukan penting dalam penyusunan kebijakan tata ruang wilayah kabupaten. Makna, arti, dan sejarah mitologi Tempat penting Suku Malind yang disebutkan sebagai kearifan lokal Suku Malind di Kabupaten Merauke pada skala Suku maupun marga-marga ditingkat wilayah adat, adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat Malind yang masih hidup dan diyakini sampai saat ini. Alam sebagai Dema dan penjelmaan dari Nakali atau rekan pendamping manusia atau Anim merupakan kesatuan yang harus tetap memberi hidup dan kecukupan dalam semua kebutuhan baik sumber karbohidrat dan protein, papan, interaksi sosial maupun keperluan spiritualitas yang dicirikan dengan ritual dan tingkat kesakralan. Lahan kelola masyarakat adat melalui identifikasi Tempat penting marga marga ditingkat kampung memperjelas kawasan yang dianggap sakral karena bagian dari identitas dan jati diri, dan kawasan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang adalah bagian dari keseharian masyarakat yang masih berlaku dan dterapkan sampai saat ini. Selanjutnya diatur juga lebih jauh kawasan yang diperuntukan untuk pengembangan komoditi sektoral baik untuk pangan maupun energi serta mendukung pembangunan infrastruktur. Arahan pola ruang dalam penyusunan tata ruang detil perlu memasukan muatan pengaturan Tempat penting oleh masyarakat adat Suku Malind. Artinya bahwa kawasan lindung yang telah dipetakan marga-marga yang ditunjukan melalui empat kampung sebagai kawasan tidak diizinkan (-), kawasan bersyarat (B) dan kawasan Terbatas (T) hendaknya dimasukan dalam pola lindung. kawasan diizinkan hendaknya dimasukan dalam kawasan budidaya sesuai pola ruang peruntukan, terutama pada rencana detil kawasan strategis pangan dan kawasan lainnya. Delapan tempat yang telah dihasilkan dari dua makna penting diharapkan menjadi arahan dalam evaluasi tata ruang untuk penyempurnaan RTRW dan penyusunan rencana detil. Empat Tempat penting yang berhubungan dengan makna jati diri yang dianggap Sakral yaitu perjalanan-persinggahan leluhur, Kisah mitologi, Kuburan leluhur dan tempat Ritual perlu untuk dimasukan sebagai unsur penting dalam memperkaya rencana tata ruang kabupaten dan rencana detilnya pada pola ruang Lindung dengan peruntukan sesuai makna sakralnya. Khususnya bagi perjalanan leluhur dapat diarahkan sebagai kawasan yang dapat diakomodir dalam rencana jaringan Infrastruktur atau trase jalan baik jalan kampung, distrik atau kabupaten, baik untuk mempermudah akses ke dan dari kampung tetapi juga tetapi mempertahankan nilai sakral tersebut, karena sampai sekarang sebagian besar masyarakat adat masih memanfaatkan jalan tersebut untuk ke dusun mereka. Empat Tempat penting kaitannya dengan pemenuhan hidup sehari-hari, seperti dusun sagu, sumber air, hutan atau kawasan berburu dan kawasan pelestarian adat relevan menjadi bahan penyusunan ruang khususnya pola budidaya dimana hanya diarahkan untuk pemanfaatan lahan dengan penerapan kearifan nilai adat setempat.
76
Kebijakan penataaan ruang melalui rencana detil nantinya perlu mempertimbangkan pengaturan ruang secara rinci berdasarkan posisi keberadaan tempat penting suku Malind dalam setiap pola ruang sesuai sistem zonasi dan urutan kepentingan. Apabila dalam satu pola ruang terdapat beberapa tempat penting dengan zona sakral maka diharapkan untuk dilakukan enclave sedangkan untuk lokasi zona pelestarian adat diperuntukan masuk dalam zona lindung dengan pengeloaan terbatas sesuai nilai kearifannya. Wilayah zona budidaya tradisional dapat difungsikan dengan pengaturan bersama dengan masyarakat adat untuk pemenuhan kebutuhan mereka. Untuk Zona diizinkan dapat dikategorikan masuk dalam pola budidaya dengan mempertimbangkan daya dukung alam dan lingkungan. Hasil penutupan lahan berdasarkan interpretasi citra satelit dalam rentang waktu dua belas tahun antara tahun 2000 sampai 2012 signifikan menunjukan perubahan, khususnya terjadi pada kelas hutan dibandingkan pada kelas lainnya. Adanya bukti penurunan luasan hutan memberikan gambaran telah terjadi pemanfaatan lahan oleh aktifitas pembangunan di Kabupaten Merauke, salah satunya dengan kehadiran investasi skala luas untuk komoditas pertanian, kehutanan dan perkebunan. Arahan kebijakan yang sesuai dengan kondisi perubahan lahan baik di kawasan hutan, semak belukar, pertanian, lahan terbangun dan lahan terbuka adalah bahwa konsensi yang sudah ada dan beroperasi diharapkan untuk dapat melakukan enclave terhadap delapan Tempat penting tersebut. Setiap pihak yang berusaha dan mendapat konsesi lahan dapat secara mandiri melakukan pemetaan partisipatif Tempat penting sebagai upaya sadar ikut melestarikan cagar budaya Suku Malind yang berada di konsesinya. Kawasan yang masih menjadi target konsesi skala luas dimana didalamnya terdapat kawasan tempat penting oleh pemerintah daerah segera mengambil langkah pemetaan partisipatif di wilayah kampung-kampung yang masuk dalam rencana konsesi tersebut. Penetapan fungsi dan pola ruang yang diturunkan pada kawasan zonasi diharapkan dapat sesuai dengan peruntukan dan tidak merubah fungsi kawasan karena zona-zona tempat penting dalam perspektif nilai konservasi merupakan kawasan yang harus dilestarikan karena identik dengan wilayah resapan air, sempadan rawa dan sungai, sumber plasma nutfah dan pusat keanekaragaman hayati untuk beberapa spesies penting, baik yang hampir punah maupun yang bermigrasi. Arahan yang berkaitan dengan persepsi masyarakat di Kabupaten Merauke terhadap Tempat penting adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia, baik masyarakat adat maupun pemerintah dan praktisi tata ruang dalam memahami kebijakan pembangunan melalui penataan ruang wilayah kabupaten serta pendalaman tentang arti pentingnya tempat penting baik sebagai unsur dalam budaya maupun sebagai bagian dari konservasi sumber daya alam. Berkaitan dengan pelibatan dan partisipasi masyarakat perlu dijalin kerjasama para pihak melalui inisiatif pemerintah daerah dengan melaksanakan program identifikasi
77
pemetaan detil tempat penting di tingkat marga-marga di kampung-kampung Suku Malind secara partisipatif. Hasil tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam penyusunan rencana detil sesuai dengan sistem zonasi dan perizinan dalam rangka pengendalian tata ruang.
78
6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkaan hasil dan pembahasan yang dilakukan serta kaitannya dengan tujuan penelitian maka dapat disimpukan hal-hal sebagai berikut : 1. Identifikasi kearifan suku Malind berhasil memetakan delapan jenis Tempat penting yang terbagi dalam dua makna sentral yaitu, Tempat penting yang sebagai identitas jati diri atau spiritual yaitu : 1) Perjalanan atau Dema Kay dan persinggahan leluhur atau Demadap Mir, 2) Dema Say tempat mitologi, 3) Kuburan leluhur atau Amayen sai, 4) Tempat Ritual atau Pungga Sai, dan Tempat penting sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari terdiri dari : 5) Dusun Sagu atau Dah Nanggaz, 6) Sumber air atau Awamdka, 7). Hutan berburu atau Aweawe Sai, 8) Tempat pelestarian adat atau Pungga. Hasil identifikasi Tempat penting di 4 kampung menunjukan luas Tempat penting marga yaitu 126,754 hektar atau hanya 36,4 % dari luas keseluruhan empat kampung yaitu 348,660 hektar, sisanya seluas 221,906 hektar atau 63,7 % merupakan peruntukan untuk kawasan budidaya atau yang dapat dinegosiasikan untuk budidaya. 2. Selama periode tahun 2000 sampai 2012, telah terjadi penurunan tutupan lahan, yang terbesar dialami di lahan hutan mencapai 341.056,7 hektar, menunjukan terjadinya penurunan tutupan lahan akibat aktifitas penggunaan lahan yang belum sepenuhnya terarah dengan baik. Hilangnya kawasan Tempat penting di beberapa lokasi konversi menjadi peruntukan lain, dapat pula mengancam tempat penting di lokasi lainnya jika tidak segera di petakan. 3. Tempat penting dipersepsikan oleh masyarakat di kabupaten Merauke sebagai bagian dari kearifan lokal Suku Malind yang harus dipertahankan keberadaanya karena juga merupakan kawasan bernilai konservasi tinggi. Implementasi RTRW terutama melalui pemanfaatan dan pengendalian ruang Kabupaten Merauke perlu di optimalisasi melalui rencana detil tata ruang sehingga diharapkan dapat mengatasi konflik ruang yang terjadi. Perwakilan masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap perencanaan penataan ruang yang dilakukan. 4. Arahan penyempurnaan penataan ruang Kabupaten Merauke melalui rencana detil tata ruang perlu mempertimbangkan keberadaan Tempat penting, baik sebagai kearifan budaya maupun sebagai konservasi sumber alam. Terkait dengan makna jati diri/spiritual hendaknya dimasukan dalam pola ruang kawasan Lindung. Terkait makna mata pencaharian dimasukan dalam pola ruang kawasan budidaya dengan cara di-enclave. Sebagai bagian dari sebuah kebijakan ruang perlu diatur secara khusus peraturan tentang perlindungan Tempat penting. 6.2 Saran Dari kesimpulan penelitian ini maka saran peneliti adalah sebagai berikut : 1. Tempat penting Suku Malind sebagai cagar budaya harus dipetakan secara partisipatif di tingkat marga-marga diseluruh kampung dan ditetapkan melalui kebijakan tentang perlindungan terhadap kekayaan budaya suku Malind.
79
2. Sebagai pedoman pemanfaatan ruang, RTRW harus diturunkan ke skala rinci/detil melalui partisipasi aktif dan terpadu semua pihak di Kabupaten Merauke, dengan diprakarsai oleh pemerintah daerah.
80
DAFTAR PUSTAKA Arikunto S. 2003. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. Arifin. 2008. Koreksi Geometri Data Citra Raster. http://digilib.itb.ac.id. Diakses pada tanggal 4 Juni 2013. Ary D., Jacobs L.C, Razavich A. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan (penerjemah Furaham A.). usaha Nasional. Surabaya [BPS] Badan Pusat Statisitik. 2008. Sensus Penduduk Tahun 2007. BPS. Kabupaten Merauke. Merauke. Barus. B. 2000. Sistem Informasi Geografi; Sarana Manajemen Sumber Daya. IPB. Bogor [BSNI] Badan Standarisasi Nasional Indonesia. 2010. Klasifikasi Penutup lahan. BSNI. Jakarta Barnett J. 1982. An Introduction to Urban Design. Harper & Row Publisher. New York Barrett, E.C., Curtis L.F. 1982. Introduction to Environmental Remote Sensing, Second Edition. Chapman and Hall. London. Brinkerhoff D.W., Goldsmith A.A. 1992. “Promoting the Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy.” World Development. 20 3: 369-383. Boelaars J. 1986. Manusia Irian. PT. Gramedia. Jakarta. Bungin, B. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Dunggio I. 2011. Analisis Degradasi Tutupan Lahan di Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo. Jurnal Ilmiah Agropolitan Vol 04 : 02 Flassy D.A.L., Flassy M. 2010. Keragaman Budaya Papua Dalam Konteks Tradisi Dan Budaya Melanesia, Menuju Melanesianologi Dan Papuanistik. Makalah pada Konferensi Keragaman Budaya Papua-Melanesia Dalam Mosaik Budaya Indonesia. Jayapura. Geertz C. 2000. Local Knowledge, Further Essays in Interpretative Anthropology. 3rd Edition. New York Giddens A., Held D. 1987. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Konflik. Diterjemahkan oleh Vedi R. Hadiz. CV Rajawali. Jakarta Gebze Y. B. 2000. Gereja Katholik diantara Penduduk Malind-anim. Merauke Halsey W.D., Friedman E. 1984. The New Grolier Webster International Dictionary of the English Language-Volume 24 Macmillan Educational Co. Irlandia. Hardjowigeno S., Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Irwanto. 1998. Focus Group Discussion : Suatu Pengantar Praktis. Jakarta. Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat - Unika Atmajaya. Jakarta Irwanto. 2006. “Focus Group Discussion: A Simple Manual”. Yayasan Obor. Jakarta Jensen J.R. 1996. Introductory Digital Image Processing a Remote Sensing Perspective. Second Edition. Prentice Hall. London.
81
Jinlong L. , Renhua Z, Qiaoyun Z. 2012. Traditional Forest Knowledge of the Yi People Confronting Policy reform and Social Changes in Yunnan Province of China. Forest Policy and Economic 22 : 9–17. Kertapati, T. 1981. Dasar-Dasar Publistik. PT. Bina Aksara. Jakarta. Lillesand.T.M, Kiefer R.W. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. Jhon Willey and Son. New York. Marfai A. M. 2012. Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Michael M.C. 1993. “The Sociologist’s Approach to Sustainable Development.” Paper Series No.2. World Bank. Miles, M.B., Huberman A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode Metode Baru. UI-Press. Jakarta Mikkelsen B. 2011. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya Pemberdayaan: Panduan Bagi Praktisi Lapangan. Cetakan kelima. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Moleong L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi ke-16. P.T. Remaja Rosda Karya. Bandung Muslim E., Evertina V., Nurcahyo R. 2008. Structure, Conduct, and Performance Analysis in Palm Cooking Oil industry In Indonesia using Structure Conduct Performance Paradigm (SCP). Proceeding, International Seminar on Industrial Engineering and Managament Santika Hotel. Jakarta Nygren, A. 1999. Local Knowledge in the Environment-Development Discourse: From Dichotomies to Situated Knowledges Critique of Antropology. 19 3:267-288 Notoatmodjo S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta Overweel J.A., Gebze Y.B. 1992. Suku Marind Dalam Alam dan Lingkungannya yang Berubah. Yapsel. Merauke. Purwadhi, S H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo. Jakarta Raymond, C. M, Fazey I. ,Reed M., Stringer L.C., Robinson G.M., Evely A. C. 2010. Integrating Local and Scientific Knowledge for Environmental Management. Journal of Environmental Management. 91 : 1766-1777 Ridwan.N.A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal Ibda. Vol. 05: 01 Rumbiak W. 2010. Pemetaan partisipatif Tempat penting Masyarakat adat Malind Anim di Kabupaten Merauke. Tesis. UGM. Yogyakarta Rustiadi E., Saifulhakim S.,Panuju R. D. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta Sarwono. 1990. Pengantar Umum Psikologi,. Bulan Bintang. Jakarta Siahaan N.H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Edisi-2. Erlangga. Jakarta Shohibuddin M. 2003. Artikulasi Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Sebagai Proses Reproduksi Budaya. Tesis. Pascasarjana IPB Bogor Sirait E. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Kemasyarakatan dan Kearifan Lokal Kasus Pengelolaan Cendana di Kabupaten Mataram. Tesis IPB.Bogor Sofyandi D. 2010. Kearifan Lingkungan Masyarakat Adat Malind dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kabupaten Merauke Provinsi Papua. Tesis. UGM. Yogyakarta Spradley, J. P. 1997. Metode Etnografi. PT Tiara Wacana. Yogyakarta
82
Spradley, J.P. 1980. Participant Observation. Holt, Rinehart & Winston. New York. Sutarya.2005. Efektifitas Kearifan Lokal yang Dilakukan oleh Masyarakat Kampung Naga dalam Memelihara Lingkungan. Tesis. S2 Ilmu Lingkungan UGM. Yogyakarta. Sutanto. 1992. Penginderaan Jauh; Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Sunaryo, Joshi L. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal Dalam Sistem Agroforestri. Bahan Ajaran 7. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor. Tika M. P. 2005. Metode Penelitian Geografi. Bumi Aksara. Jakarta Tobler W.R. 1987. Measuring Spatial Resolution. In Proceedings: Land Resources Information Systems Conference. Beijing. China, 12–16. [W W F] World Wide Fund For Nature Indonesia. 2006. Hasil Identifikasi Tempat penting Masyarakat Suku Besar Malind Anim dalam Bio Visi Ekoregion TransFly. Tim WWF Kantor Merauke. Merauke [W W F] World Wide Fund For Nature Indonesia. 2011. Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke. Kerjasama WWF Indonesia-Institut Pertanian Bogor. Jakarta. Yusuf I.A. 2007. Focus Group Discusion (FGD). Ed Pitra Narendra, Metodologi Riset dalam Kajian Komunikasi. PKMBP dan BPPI. Yogyakarta. Yustus, 2004. Kearifan Tradisional Masyarakat dalam Konservasi Sumber Daya Hutan dan DAS (Kasus pada Masyarakat Mantembu). Tesis. IPB. Bogor Zakaria R.Y.2011. MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind. Yayasan Pusaka. Jakarta
83
Lampiran-Lampiran Lampiran 1. Pembagian kelompok marga menurut Suku Kanume dan Yeinan KANUME MBANGGU Ada 4 Sub M arga : YANGGIB 1.Kairer 2. Barkali 3. Nkutar 4. Almaki : M ayua NDIMAR Ada 4 Sub M arga : 1. M eningge (Kampung Onggaya) KABRONAIN 2. Semerki (Kampung Yanggandur) 3. Ndermbe (Kampung yerew) 4. Nggitua (Kampung Sota) 5. Kidup (Kampung Sota) 6. Koe (Kampung Sota) NDIPKUAN Ada 4 Sub M arga : KAORKENAN 1. Ndipkuan M anggo 2. M ayua Nggerbu (Onggaya) 3. Ngguntar Nggerbu 4. Bedi Nggerbu
YEMUNAN
YEINAN Ada 10 sub marga : 1. Gagujai 2. Gawaljai 3. Yoreljai 4. Webtu 5. Jelobarwbtu Ada 12 Sub M arga : 1. Kupeljai 2. Kwerkejai 3. Tabaljai 4. Wonjai 5. Blojai 6. Keijei Ada 16 Sub M arga : 1. M ahujei 2. M ago (Sarang semut) 3. Galjei (Busur) 4. Kwemoy 5. Talijei (Kelelawar) 6. Belmojai (Ikan arwana) 7. Kabujei ( Ikan Duri) 8. Gemter Ada 6 sub marga : 1. Wenanjai Darat 2. Wenanjai Rawa 3. Kwarjai
6. Kecibakwebtu 7. Dambujai 8. Kabarjai 9. M arpijai 10. Kosnan 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Dagijai Takuter Bakujai Jeguljai Ipijai Tangkajai
9. M urnan 10. Bhjei 11. Waliter 12. Yebze (Ular Boa Tanah) 13. Wanjei (Ikan Duri) 14. Samajay (Jahe ) 15. Coulgeljai 16. Kecanter (Kap-kap) 4. Dagaljai 5. Yoakjai 6. Kwipalo
84
Lampiran 2. Jenis dan Nama Tempat penting Marga di kampung Zanegi No Sub 1 Ndimarze
2 Ndimarze 3 Ndimarze 4 Ndimarze 5 Ndimarze 6 Ndimarze 7 Ndimarze
8 Ndimarze 9 Ndimarze 10 Ndimarze 11 Ndimarze
12 Ndimarze 13 Ayuze 14 Ayuze 15 Ayuze 16 Ayuze 17 Ayuze 18 Ayuze 19 Ayuze 20 Ayuze
21 22 23 24 25
Ayuze Ayuze Ayuze Ayuze Ayuze
26 Ayuze 27 Ayuze 28 Ayuze 29 Ayuze 30 Ayuze 31 Ayuze 32 Ayuze 33 Ayuze
Nama MOHA
Jenis tempat Tempat Sakral
keterangan Tempat kediaman leluhur Marga Samkakai selanjutnya Balagaize, dan Gebze. Dari tempat kemudian setiap marga berpencar. Dipercaya orang Malind sebagai tempat kutukan sehingga sekarang menjadi Anim BUD Tempat Sakral Tempat mandi dan urus diri leluhur Olriu sebelum pergi mengikuti pesta ke Moha YAWARTI Persinggahan leluhur Tempat berbaliknya leluhur tamu dari Yeinan karena mendengar pesta di Moha sudah selesai KWAHAB Persinggahan leluhur Tempat Akhir dari perjalanan panjang leluhur BAL'IK Persinggahan leluhur Tempat singgah sebentar leluhur dari Wayau dan selanjutnya kembali ke Wayau MBOR' Tempat Sakral Tempat melaksanakan Ritual penobatan anggota baru dalam Inisiasi adat malind PAYAS Tempat Sakral Tempat kejadian manusia jadi buaya dari marga Balagaize, termasu tempat tinggal leluhur dari berbagai tempat. Ada kaitan dengan marga Mahuze KWAROL Tempat Sakral Tempat musyawarah bagi leluhur untuk merencanakan suatu secara bersama setelah berpencar KAFAGNE Tempat Sakral Dusun dimana ada kuburan leluhur dari 'Morbu' LAR'MI Dusun Sagu Sakral Tempat kuburan leluhur bernama "Keva" KUT Tempat Sakral Tempat melaksanakan Ritual penobatan anggota baru dalam Inisiasi adat malind bagi golongan IMO, biasanya terjadi setahun sekali saat masa panen ladang dan kebun WAWOK Tempat Sakral tempat kejadian pembunuhan anak terhadap omnya, dimana anak AHEZEB tersebut lalu dibuang di Payes P. NDIKU Tempat Sakral lokasi tanah menumpang berbentuk pulau yang dipakai leluhur (ratu Imo) dari timur ke barat sampai ke sanggase AHOOM KIND Tempat Sakral Kuburan leluhur yang dianggap sangat sakral dan suci sehingga siapapun yang datang harus benar benar bersih. Bentuknya pohon besar MAR'I SARWAK Tempat Sakral Tempat tinggal leluhur yang menjadi eksekutor bagi Ahom Kind jika ada pelanggaran ZUKN Tempat Sakral Tempat ancang ancang leluhur untuk melompat atau berpindah dari kali bian ke arah barat untuk melakukan perjalanan ke Dikhu WAL'INAU Tempat Sakral Pijakan pertama leluhur sebelum ke arah barat lewat zug dan Ndiku MAYO Dusun Sagu Sakral Tempat peristirahatan awal dan akhir dari leluhur marga Gebze NDUANDEM Tempat upacara Tempat melaksanakan Ritual penobatan anggota baru dalam Inisiasi Ritual adat malind WAR'YAK GAN Tempat Sakral Waryak Gan berarti suara moyang, tempat sakral golongan sosom. Tempat dimana moyang menyerahkan parang untuk perlengkapan bekerja MANENGGIT Tempat Sakral tanah tinggi tempat perjalanan lewat leluhur ratu imo setelah dari Zug BOR'EK Tempat Sakral Kuburan leluhur WAR'KIND Dusun Sagu Sakral Tempat sejarah perjalanan leluhur yang disebut juga 'Namnes' SUBBOR Persinggahan leluhur Kampung lama tempat leluhur tinggal dalam persinggahannya IZO Persinggahan leluhur Tempat pertama leluhur keluar dari wilayah sosom masuk ke wilayah Imo terus kearah barat KAPE Tempat Upacara Tempat melaksanakan Ritual penobatan anggota baru dalam Inisiasi Ritual adat malind WAR'E AGAM Tempat Sakral BAYAB Tempat Sakral Tempat tinggal leluhur yang dianggap sebagai eksekutor juga dari Ahoom kind KABR'UB Tempat Sakral Tempat kampung lama leluhur golongan imo dan sekaligus jalan lewat leluhur dari golongan lainnya MANENGGEP Tempat Sakral Jalur lewatnya leluhur ratu Imo ke arah barat YAVUNMIT WATI Dusun Sagu Sakral Dusun dimana ada kuburan leluhur dari 'Morbu' OMANETOK Tempat Sakral Tempat singgah leluhur di kepala kali Awpart batas dengan Kaliki dimana leluhur akan melanjutkan perjalanan ke arah barat SAMBIR' Tempat Sakral Tempat kejadian pembunuhan leluhur Ayuzeh oleh leluhur dari suku Yeinan marga Basik Basik. Lokasi kuburan leluhur
85
Lampiran 3. Perkembangan Investasi pada project MIFEE tahun 2012 Claster
Nama Investor
Amdal
Tahap Sekarang
Belum
Perijinan & Survey Awal
PT. PAPUA DAYA BIO ENERGI (Tebu)
Belum
Pembibitan
PT. TEBU WAHANA KREASI (Tebu)
Belum
Pembibitan
PT.MUTING JAYA LESTARI (Jagung)
Belum
Tidak TidakAktif aktif
PT. CENDRAWASIH JAYA MANDIRI (Tebu) PT. KARYA BUMI PAPUA (Tebu)
Belum
Pembibitan
Tanah belum ada peta Hak Miring & ulayat dan tempat Animha penting Tanah belum ada peta Hak miring ulayat dan tempat penting Tanah belum ada peta Hak miring ulayat dan tempat penting belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting Domande IPK
Belum
Pembibitan
Domande
PT. SUMBER ALAM SUTERA (Tanaman Pangan)
Belum
Tidak TidakAktif aktif
-
PT. ANUGERAH REJEKI NUSANTARA (Tebu)
Belum
Perijinan & Survey Awal
PT. BHAKTI AGRO LESTARI (Tebu)
Belum
Proses Perizinan
Tanah Miring & Animha -
PT. RESKI KEMILAU BERJAYA (Tebu)
Belum
Proses Perizinan
-
PT. HARDAYA SUGAR PAPUA PLANTATI (Tebu)
Belum
Pengukuran Batas Hak Ulayat Proses Perizinan
Jagebob
KSPP I Greater PT. ANUGERAH REJEKI Merauke NUSANTARA (Tebu) (Semangga, Tanah Miring, Jagebob)
KSPP II Kali KUM (Malind, Kurik, Animha, Muting Muting)
KSPP III YEINAN
(Tanah Miring, PT. ANUGERAH REJEKI Jagebob, Sota) NUSANTARA (Tebu)
KSPP IV Muting
Belum
PT.HARDAYA SAWIT PAPUA PLANTATIO (Tebu)
Belum
PT. AGRINUSA PERSADA MULIA (Sawit)
Amdal sudah selesai
(Muting, PT. AGRIPRIMA CIPTA Elikobel, ulilin) PERSADA (Sawit)
PT. BIO INTI AGRINDO (Sawit)
Amdal sudah selesai Ada
PT. CENTRAL CIPTA MURDAYA (Sawit)
Belum
PT. ULILIN AGRO LESTARI (Sawit) PT. ULILIN AGRO LESTARI (Sawit)
Pengukuran Batas Hak Ulayat Pembenahan Infrastruktur & Pembinaan TK Lokal Pembenahan Infrastruktur & Pembinaan TK Lokal Beroperasi
Lokasi
Tanah Miring & Anim Ha Jagebob
Muting (SP II)
Kendala
Pelepasan kawasan (ha)
40,591
13,396
20,282
3
40
22,117
IPK
30
15,628
belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting
3
26,098
10
44,812
62
40
Muting (SP II)
belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting
34
Muting (SP II)
Izin IPK, belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting belum ada peta Hak ulayat dan tempat penting Tdk Aktif Tidak aktif
40
36,401
40
36,401
-
Belum
Pengukuran Batas Hak Ulayat -
Ada
Belum
-
-
Tidak aktif Tdk Aktif Total Luasan :
.
Izin lokasi (ha)
30 30 145,541
110,547
86
Lampiran 4. Hasil wawancara pendapat tentang penataan ruang No 1
Pertanyaan Apa yang anda ketahui tentang produk RTRW di Kabupaten Merauke ? apakah dokumen ini harus menjadi pedoman pemanfaatan ruang ? jelaskan jawaban anda.
a
RTRW adalah Produk hukum Struktur dan fungsi pemanfaatan tata ruang tidak tahu/tdk ada jawaban
37.5 43.8 18.8
b
Ya, sebagai pedoman bagi pemanfaatan & pengendalian ruang Ya, tetapi perlu pelibatan masyarakat tidak menjawab Pendapat anda tentang penerapan RTRW dalam programprogram sektoral khususnya investasi dibidang Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian di Kabupaten Merauke, apakah sudah berjalan dengan baik ? uraikan jawaban anda sesuai sektor pekerjaan anda. sudah berjalan dengan baik sudah disesuaikan perlu evaluasi dan sikronisasi belum berjalan baik ada tumpang tindih Apakah anda setuju sesuai dengan hirarki penataan ruang, RTRW Kabupaten Merauke sebaiknya diterjemahkan dalam skala rencana Detil (RDTR) untuk kawasan strategis Kabupaten baik pola lindung maupun budidaya ? jika ‘Ya/tidak’ uraikan jawaban anda. setuju, masih general harus Detil setuju, syarat utama setuju, turunannya Dalam mewujudkan tertib penataan ruang melalui pengendalian pemanfaatan ruang, dikenal peneparan sistem zonasi, mekanisme perinzinan, pemberian insentifdisinsentif serta pengenaan sangsi. Salah satu upaya implementasinya adalah melalui rencana rinci tata ruang. bagaiman menurut pendapat anda tentang hal ini. Segera dibuat untuk tertib tata ruang Ya Pemanfaatan dan dampak diketahui Ya upaya monitoring evaluasi Langkah dan program apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan para pihak berkaitan dengan penerapan pengendalian ruang di Kabupaten merauke sehingga tetap terararah dengan mengedapankan nilai kearifan tradisional Malind. Keterlibtan masyarakat dalam semua rencana ruang publikasi deseminasi tata ruang dan penguatan SDM penyelarasan kepentingan para pihak
73.7 10.5 15.8
2
3
4
5
%
31.3 25.0 43.8
58.8 17.6 23.5
38.9 33.3 27.8
42.9 35.7 21.4
87
Lampiran 5. Hasil Wawancara Persepsi Para Pihak No 1
Pertanyaan Apa yang anda ketahui tentang produk RTRW di Kabupaten Merauke ? apakah dokumen ini harus menjadi pedoman pemanfaatan ruang ? jelaskan jawaban anda.
a
RTRW adalah Produk hukum Struktur dan fungsi pemanfaatan tata ruang tidak tahu/tdk ada jawaban Ya, sebagai pedoman bagi pemanfaatan & pengendalian ruang Ya, tetapi perlu pelibatan masyarakat tidak menjawab Pendapat anda tentang penerapan RTRW dalam program-program sektoral khususnya investasi dibidang Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian di Kabupaten Merauke, apakah sudah berjalan dengan baik ? uraikan jawaban anda sesuai sektor pekerjaan anda. sudah berjalan dengan baik sudah disesuaikan perlu evaluasi dan sikronisasi belum berjalan baik ada tumpang tindih Apakah anda setuju sesuai dengan hirarki penataan ruang, RTRW Kabupaten Merauke sebaiknya diterjemahkan dalam skala rencana Detil (RDTR) untuk kawasan strategis Kabupaten baik pola lindung maupun budidaya ? jika ‘Ya/tidak’ uraikan jawaban anda. setuju, masih general harus Detil setuju, syarat utama setuju, turunannya Dalam mewujudkan tertib penataan ruang melalui pengendalian pemanfaatan ruang, dikenal peneparan sistem zonasi, mekanisme perinzinan, pemberian insentifdisinsentif serta pengenaan sangsi. Salah satu upaya implementasinya adalah melalui rencana rinci tata ruang. bagaiman menurut pendapat anda tentang hal ini. Segera dibuat untuk tertib tata ruang Ya Pemanfaatan dan dampak diketahui Ya upaya monitoring evaluasi
b
2
3
4
%
37.5 43.8 18.8 73.7 10.5 15.8
31.3 25.0 43.8
58.8 17.6 23.5
38.9 33.3 27.8
88
Lampiran 5 (lanjutan) No 5
6
7
Pertanyaan Langkah dan program apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan para pihak berkaitan dengan penerapan pengendalian ruang di Kabupaten merauke sehingga tetap terararah dengan mengedapankan nilai kearifan tradisional Malind. Keterlibtan masyarakat dalam semua rencana ruang publikasi deseminasi tata ruang dan penguatan SDM penyelarasan kepentingan para pihak Apa yang anda ketahui tentang Tempat penting Suku Malind yang disebut sebagai cagar budaya dalam RTRW ? dan Apakah anda setuju pemetaan Tempat penting harus dibuat kembali untuk skala marga di kampungkampung sehingga dapat menjadi input dalam rencana rinci tata ruang ? sebutkan alasan anda. setuju, Ada perlindungan dalam pemanfaatan setuju, pemetaan Detil memperhatikan tempat sakral yang spesifik setuju, fungsi kontrol dalam pemanfaatan ruang Saran dan masukan anda terkait pelestarian Tempat penting Suku Malind ? Pemetaan partisipatif Detil Tempat penting sebagai perlindungan wilayah sakral Perlu perda perlindungan hak-hak masyarakat adat Adanya deseminasi hasil melalui seminar tentang Tempat penting perlu adanya pendampingan terhadap pengamanan temapt penting
%
42.9 35.7 21.4
43.8 37.5 18.8
40.0 30.0 15.0 15.0
89
Lampiran 6. Hasil FGD persepsi masyarakat tentang Tempat penting dan Implementasinya pada rencana Tata ruang Detil/Rinci No
Kelompok FGD
1 Kelompok LSM, Tokoh Masyarakat, Akademisi, Tokoh pemuda, Perempuan, masyarakat adat
2 Investor perkebunan,
Tanggal kegiatan 27 Maret 2013, Ruang rapat kantor WWF
28 Maret 2013, Ruang kehutanan dan Pertanian, rapat kantor WWF Dinas Kehutanandan perkebunan, Bappeda, PU, Badan Penanaman Modal Daerah
Hasil Diskusi Terfokus Legislatif perlu didorong untuk mengeluarkan Regulasi yang melindungi orang malind Gereja perlu bangkit bersama dalam skala besar untuk mencari solusi pendekatan Pembagian suku besar Malind di kabupaten merauke harus diperjelas sehingga sistem kewilayahan menjadi lebih tegas karena dalam adat pembagian tersebut sangat jelas. (suku malind, yeinan, Kanume, Marori Mengey) Masyarakat adat perlu didampingi Perlu ada pemberdayaan masyarakat di kampungkampung. Orang malind harus merubah pandangan melalui proses pendidikan Formal dan Adat Pemerintah harus lebih melindungi keberadaan masyarakat malind yang sudah hidup dan berkembang sejak awal. Investasi yang masuk perlu memperhatikan dan menjamin aspek lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Perlu ada langkah pendekatan ke pihak investor untuk memberi warning dalam melindungi masyarakat adat. Mahasiswa diharapkan punya gerakan ketika KKN untuk wilayah kampung yang sudah masuk investasi sehingga bisa ikut menyuarakan. Perlu ada evaluasi terhadap luasan pencadangan area di kabupaten Merauke sehingga kita dapat melakukan koreksi atas data investasi. Model kurikulum harus diadaptasi di Papua, perlu dirancang yang sesuai dengan kabupaten Merauke. Kita tidak bisa saling menyalahkan tetapi harus banyak merefleksi tanda alam khususnya kepada masyarakat akademik Wacana keterpaduan dalam pembentukan tim pemetaan tempat penting dengan keterpaduan semua pihak (BKPRD dan forum lainnya) Pemetaan partisipatif memiliki beberapa kelemahan ketika dilakukan parsial dan tidak disiapkan dengan baik terutama metodologi pendekatan yang tidak mempertimbangkan Isyu gender dalam peran di adat, pembagian tugas, pembagian keputusan. Posisi LMA di tingkat kampung ? KKA perlu diperjelas lebih rinci sehingga tidak salah presepsi Perlu ditetapkan rencana rinci melalui tempat penting sehingga bisa diimplementasi ke depan oleh semua pihak Pemetaan Batas marga. Adanya keterbukaan data pemetaan yang telah dilkukan oleh perusahaan atau pihak manapun sehingga bisa dikoreksi atau dberi masukan untuk penyempurnaan Pemanfaatan peta harus disesuaikan dengan kewenangan instansi yang telah ditetapkan sesuai aturan tata ruang dan aturan pemetaan lainnya Diharapkan akan ada diskusi sherring metode pemetaan yang digunakan di masing instansi dan lembaga. Lembaga akademis harus kuat untuk menyuarakan secara ilmiah tentang pemanfaatan ruang yang berbasis tanah dan budaya malind. Pemetaan tempat penting sangat dibutuhkan untuk meletakan dasar filosofi tanah dan dasar perlindungan akan manusia dan alam. Pergesaran perubahan ruang cepat, upaya lambat dan bahkan kurang berkembang Perlu ada banyak refleksi terhadap kesadaran, merubah hati dan membentuk sikap. Perlu ada evaluasi terhadap metdologi pendampingan dan pendidikan yang kita buat terhadap basis.
90 Lampiran 6 (Lanjutan) No Kelompok FGD 3 Pemuda malind, pemuda Katholik
4
Tanggal kegiatan Hasil Diskusi Terfokus 20 Maret 2013, Secara garis besar pemuda berpendapat : Ruang rapat SKP 1. Merasa ditinggalkan dan hampir hilang arah dan memunculkan sikap KAM cuh tak acuh dan tidak peduli dengan ancaman hilangnya tempat penting masyarakat malind anim. 2. Pemuda sadar akan posisinya namun belum banyak berkiprah dan apalagi dilibatkan dalam setiap iven dalam mengerti dan menggali tempat penting. 3. Ada ketakutan besar konspirasi penguasa atas keberadaan masyarakat adat dan budayanya yang masu dimusnahkan dengan masuknya investasi skala besar. Pemuda berharap : 1. Pemda harus memfasilitasi masyarakat adat untuk melakukan pemetaan dan mengganggap para pihak terutama masyarakat adalah subjeck utama dari proses tersebut. 2. Pemuda siap untuk dilibatkan dalam setiap usaha mempertahankan tempat penting masyarakat. 3. Perencanaan kampung perlu digiatkan kembali. 4. Dalam semua rencana kebijakan di daerah harus melibatkan semua pihak tidak boleh secara diam diam diatur sendiri setelah ada konflik baru masyarakat dilibatkan.
Tim Kerja Pemetaan 30,31 Januari ditail Partisipatif 2013, Ruang rapat Temapt penting : WWF Bappeda, WWF dan Yasanto
Disepakati bahwa prioritas lokasi pemetaan adalah pada areal MIFEE Kluster I-IV yang meliputi 107 kampung yang terdiri dari 36 kampung lokal dan 71 kampung eks transmigrasi, dengan luasan areal + 1.750.000 Ha. Berdasarkan luasan ini, lokasi prioritas akan dibagi dalam 2 Blok besar dalam kaitannya dengan pembelian citra satelit. Selanjutnya disusun tahapan kegiatan mulai dari persiapan, pelaksanaan dan Finalisasi
91
Lampiran 7. Skema Proses alir pembuatan penutupan lahan dan perubahan penggunaan lahan
Penyiapan Data
Data citra 2000 terkoreksi & , 2012 belum terkoreksi
Koreksi radiometrik
Citra lokasi terkoreksi
Admin Kabupaten (data
Overlay
Data Referensi Klasifikasi citra supervice/terbimbi ng Citra hsl klasifikasi
Perbandingan tutupan lahan 2000 dan 2012
Overlay
Peta perubahan penutupan dan penggunaan lahan
Peta Pola ruang RTRW/Peta Investasi
92
Lampiran 8 Peta Partisipatif di kampung Kolam
Lampiran 9 Peta Partisipatif di kampung Selauw
93
94
Lampiran 10. Peta hasil pemetaan Tempat Penting di kampung Kaliki
Lampiran 11. Peta hasil pemetaan Tempat Penting di kampung Zanegi
95
96
Lampiran 12. Kodefikasi Pola Ruang Tradisional Tempat penting Kode
I
T
B
-
Sub Kode Tempat penting
Klasifikasi kegiatan: “I” : pemanfaatan diizinkan (dapat dilakukan aktifitas budidaya dengan persetujuan masyarakat adat dengan memperhatikan daya dukung alam) “T”: pemanfataan diizinkan secara terbatas (hanya melalui pemanfaatan tradisional untuk Budidaya Tradisional)
Klasifikasi pemanfaatan Kawasan yang tidak termasuk tempat penting
dusun sagu, sumber air, kawasan konservasi adat serta kawasan perburuan
T1 = Dusun Kawasan Sagu Budidaya Tradisional T2 = Sumber Air T3 = Hutan Berburu T4 = Kawasan Konservasi Adat
“B”: pemanfaatan memerlukan izin penggunaan bersyarat (hanya digunakan apabila diizinkan dan dilakukan sesuai aturan adat. “-”: Pemanfaatan yang tidak diizinkan (termasuk tempat sakral dan ritual)
Tempat Ritual adat seperti tempat main Si dan inisiasi anak adat
Skr 3 = Tempat Ritual
Tempat sakral, Perjalanan leluhur, persinggahan leluhur, dusun sagu sakral, kampung lama. Kuburan leluhur, kediaman leluhur dan tempat kisah kejadian tertentu moyang
Skr 1 = Kawasan Perjalanan Lindung Leluhur & Persinggahan Leluhur Skr 2 = Tempat Mitologi/Sejarah Skr 4 = Kuburan Leluhur
Keterangan : Skr:Sakral (1,2,3,4) , T: Terbatas (1,2,3,4)
Keterangan Kegiatan Pembanguna n serta budidaya skala luas
Kawasan Lindung
97
Lampiran 13 Peta Lokasi Kebun Sawit dan HTI
Peta lokasi konsesi bukaan lahan 2012
Tanda pohon yg siap ditebang
Lokasi Pembukaan lahan
98
Lampiran 14. Foto kegiatan pemetaan
Pemetaan di zanegi
Pemasangan tanda di lokasi
Penjelasan pemetaan Detil
persembahan untuk Leluhur
Penandatangan peta partisipatif di Selauw
Diskusi dengan Pemuda
Foto bersama di Selauw
Konsesi lahan HTI di Kaliki
99 Lampiran 14 (Lanjutan)
Latihan memakai GPS di kolam
Praktek memakai GPS di Zanegi
100
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Ambon, Provinsi Maluku pada tanggal 18 Maret 1971 dengan nama Marthinus Corneles Wattimena alias Marco, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Christian Wattimena (Almarhum) dan Rosina Sahureka. Pendidikan dasar ditempuh dan diselesaikan di SD Negeri Latihan II Ambon pada tahun 1984, kemudian penulis melanjutkan SLTP satu tahun di Ambon dan lulus di SMP Negeri II Bese’G Jayapura. Pada tahun 1990 Penulis menyelesaikan pendidikan SLTA di SMA Katholik Gabungan Jayapura, dan kemudian melanjutkan ke Perguruan tinggi di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Provinsi Jawa Tengah dengan mengambil jurusan Biologi Akuatik dan menerima gelar sarjana Sains Biologi pada tahun 1998. Selama menjadi pelajar dan mahasiswa penulis terlibat dalam berbagai aktifitas kemahasiswaan seperti pernah menjadi pengurus Osis SMA dan Kabid pada Bidang olah raga dan Seni pada Senat Mahasiswa UKSW. Disamping itu, penulis juga terlibat pada kegiatan paduan suara kampus dan mengikuti kejuaran di berbagai festival seIndonesia. Tahun 1999 Penulis bekerja sebagai relawan pertama kali di Yayasan WWF Indonesia kantor Papua di Jayapura dan kemudian diangkat sebagai staf tetap pada tahun 2000 dengan penempatan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Pada tahun 2007 dipromosikan sebagai Manager kantor Program site Merauke. Pada awal tahun 2011 menjadi pembicara pada konferensi budaya dan lingkungan se-Pasifik yang diselenggarakan oleh kerjasama pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Nasional dan UNESCO. Tahun 2011 tepatnya sekitar bulan Agustus mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah dan diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, Jawa Barat.