PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG
ANIEF NUGROHO
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRAK ANIEF NUGROHO. Persepsi Masyarakat terhadap Hama Permukiman serta Pengendalian Tikus di Bogor dan Tangerang di bawah bimbingan SWASTIKO PRIYAMBODO. Hama permukiman telah menjadi masalah serius pada zaman modern ini, sehingga pengendalian hama permukiman cukup penting. Pandangan masyarakat terhadap kehadiran hama permukiman sangat beragam, tergantung tingkat pendidikan dan ekonomi, sehingga diperlukan pengetahuan khusus untuk menanggapinya. Tikus merupakan hama penting pada habitat permukiman karena dapat menimbulkan kerugian bagi manusia. Pengendalian tikus yang banyak dilakukan saat ini adalah dengan cara kimiawi yaitu dengan menggunakan rodentisida, dan pengendalian fisik mekanik yaitu dengan menggunakan perangkap. Pada penelitian ini, digunakan dua macam perangkap yaitu multiple live trap dan single live trap. Umpan yang digunakan yaitu kelapa bakar, selai kacang, dan ikan asin. Sedangkan rodentisida yang digunakan adalah bromadiolon 0,005% dan brodifakum 0,005% yang berbentuk blok berwarna biru. Sebelumnya, dilakukan survei mengenai hama permukiman di Wilayah Bogor dan Tangerang. Perlakuan pertama adalah pengujian efektivitas umpan dan perangkap dengan membandingkan kombinasi kedua perangkap dengan tiga umpan tersebut. Umpan diletakkan dalam perangkap dan diberi jarak 3 sampai 5 meter antar perangkap. Perlakuan kedua adalah pengujian efektivitas rodentisida dengan meletakkan kedua jenis rodentisida berlainan pada wadah tertutup yang diberi lubang tempat masuknya tikus dengan jarak antar perlakuan sama dengan perlakuan perangkap. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SAS dan uji Duncan dengan perlakuan kombinasi dua perangkap dengan tiga umpan, dan dua rodentisida racun kronis dengan jumlah ulangan masing-masing sebanyak sepuluh kali dan tiga time series. Single live trap dan multiple live trap dengan umpan ikan asin cukup efektif bila diterapkan di permukiman. Jumlah populasi tikus yang tertangkap paling tinggi terdapat di Sindang Barang, Bogor. Aplikasi rodentisida paling efektif dilakukan di Ciledug.
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG
ANIEF NUGROHO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Persepsi Masyarakat terhadap Hama Permukiman serta Pengendalian Tikus di Bogor dan Tangerang
Nama Mahasiswa
: Anief Nugroho
NIM
: A34060725
Program Studi
: Proteksi Tanaman
Disetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si NIP 19630226 198703 1001
Diketahui Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Dadang M. Sc NIP 19640204 199002 1002
Tanggal lulus: 5 Mei 2010
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis bernama Anief Nugroho, adalah mahasiswa di Departemen Proteksi Tanaman (DPT), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 April 1988 sebagai putra kedua dari pasangan Bapak Supriyono S.Pd, M.Si dan Ibu Soeter Tarsini. Penulis bertempat tinggal di Komplek Japos Graha Lestari, Jl. Kutilang D II/20, Ciledug – Tangerang 15223. Penulis mempunyai dua orang saudara yaitu Arsi Subandoro dan Anatrias Safa Andini. Penulis menempuh pendidikan formal di TK Surya Insan Komplek Japos Graha Lestari, SDN Joglo 01 Pagi Jakarta Barat, SLTP Negeri 142 Jakarta Barat, dan SMA Negeri 63 Jakarta Selatan. Penulis lulus sekolah menengah atas pada tahun 2006 dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Selama menempuh studi di IPB, penulis mendapat beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) selama satu tahun.
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Persepsi Masyarakat terhadap Hama Permukiman serta Pengendalian Tikus di Bogor dan Tangerang”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada September 2009 sampai Januari 2010, bertempat di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, dan Kabupaten Bogor dan Kota Tangerang. Dana penelitian berasal dari dana pribadi, beasiswa, dibantu perangkap dan rodentisida dari Laboratorium Vertebrata Hama IPB. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya; Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan semangat, cinta, doa, dan kasih sayangnya; Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si. selaku dosen pembimbing penelitian yang telah memberikan bimbingan, kritik, saran, dan masukan selama berlangsungnya penelitian hingga penyusunan skripsi ini; Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik; Dr. Ir. Giyanto, M.Si selaku dosen penguji skripsi, seluruh staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menuntut ilmu di IPB; Bapak Ahmad Soban, selaku laboran Laboratorium Vertebrata Hama; semua rekan PTN’43, TPB’A14, dan A13; serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkannya, terutama di bidang hama permukiman.
Bogor, Mei 2010 Anief Nugroho
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI……………………………………………………………………. iii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………. vi DAFTAR TABEL………………………………………………………………. viii PENDAHULUAN………………………………………………………............ 1 Latar Belakang………………………………………………………………….
1
Tujuan Penelitian……………………………………………………………….
2
Manfaat Penelitian……………………………………………………………...
2
Hipotesis………………………………………………………………………..
3
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………..
4
Persepsi masyarakat terhadap hama permukiman…………………………….
4
Hama permukiman……………………………………………………………
4
Tikus Rumah (Rattus rattus diardii)…………………………………………
5
Klasifikasi dan morfologi…………………………………………………....
5
Biologi dan Ekologi ……………..………………………………….............
5
Indera Tikus……………………………………………………...……….....
6
Metode Pengendalian tikus rumah di permukiman……………………….…
7
Perangkap……………………………………………………………………
8
Rodentisida………………………………………………………………….
8
BAHAN DAN METODE……………………………………………….……
9
Waktu dan Tempat……………………………………………………….…
9
Bahan dan Alat…...………………………………………………………...
9
Single live trap dan multiple live trap……………………..……………….
9
Rodentisida bromadiolon 0,005% dan brodifakum 0,005%…..…..……..
10
Timbangan electronic top-loading balance for animal …………………
10
Metode Penelitian………………………………………………………….
10
A. Wawancara..…………………………………………………………..
10
B. Pengujian perangkap………………………………………………....
11
Pembuatan Umpan…………………..…………………………..
11
Pengujian keefektifan perangkap di permukiman…..…………..
11
Penggantian umpan dan pembersihan perangkap……………….
12
C. Pengujian Rodentisida……………………………………………….
12
Peletakkan rodentisida………………………………………….
12
Penggantian rodentisida……………………………….………..
12
Rotasi pengujian perangkap dan rodentisida…………………..
12
Analisis Data……………………………………………………………..
13
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………
14
A. Karakteristik responden……………………………………………
14
B. Hasil survei…………………………………………………………
14
Jenis hama yang terdapat di permukiman………………………….
15
Jenis hama yang paling banyak terdapat di permukiman………….
16
Hama yang sering dikendalikan……………………………………
17
Tempat yang dijadikan sarang hama……………………………....
18
Penyebab timbulnya hama di permukiman ……………………….
19
Bentuk formulasi pestisida yang sering digunakan……………….
20
Sumber informasi jenis pestisida yang dapat digunakan oleh masyarakat………………………………………………………..
21
Waktu aplikasi pestisida………………………………………….
22
Kesesuaian penggunaan pestisida dengan aturan pakai………….
23
Tindakan pengendalian tikus yang dilakukan oleh masyarakat….
23
Tindakan alternatif yang dilakukan untuk mengendalikan hama permukiman………………………………………………..…….
24
Tempat penyimpanan pestisida oleh masyarakat ……………….
25
Biaya yang dikeluarkan per bulan oleh masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman………………………………
26
C. Hasil perlakuan perangkap………………………………………
27
D. Hasil perlakuan rodentisida……………………………………..
30
PEMBAHASAN UMUM………………………………………………
33
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….….
38
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….
39
LAMPIRAN…………………………………………………………...
40
Lampiran 1. Kuisioner wawancara …………………………….
40
Lampiran 2. Data identifikasi tikus……………………………..
43
Lampiran 3. Analisis ragam…………………………………….. .
46
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Single live trap dan multiple live trap ………………………………
9
Gambar 2 Rodentisida bromadiolon 0,005% dan brodifakum 0,005% ………. 10 Gambar 3 Timbangan electronic top-loading balance for animal …………….
10
Gambar 4 Hasil survei mengenai tingkat pendidikan masyarakat di Bogor dan Tangerang …………………………………………………………..
14
Gambar 5 Hasil survei mengenai tingkat pendapatan masyarakat di Bogor dan Tangerang …………………………………………………………... 15 Gambar 6 Kategori jenis hama yang terdapat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang ………………………………………………………
16
Gambar 7 Kategori jenis hama yang paling banyak terdapat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang ……………………………………..
17
Gambar 8 Hama yang sering dikendalikan di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang ………………………………………………………….. 17 Gambar 9 Kriteria tempat yang merupakan sarang hama di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang …………………………………….
19
Gambar 10 Kriteria penyebab timbulnya hama di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang …………………………………………………….. 20 Gambar 11 Kriteria jenis pestisida yang biasa digunakan oleh masyarakat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang ……………………..
21
Gambar 12 Kriteria sumber informasi masyarakat mengenai jenis pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama ………………. 21 Gambar 13 Kriteria waktu aplikasi pestisida yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang…………………….. 22 Gambar 14 Kesesuaian penggunaan pestisida oleh masyarakat dengan aturan pakai yang dianjurkan di permukiman……………………………. 23 Gambar 15 Tindakan pengendalian tikus yang biasa dilakukan masyarakat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang………………….
24
Gambar 16 Tindakan alternatif yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman di Bogor dan Tangerang…….
25
Gambar 17 Kriteria tempat penyimpanan pestisida oleh masyarakat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang…………………….
25
Gambar 18 Biaya per bulan yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman di Bogor dan Tangerang…… Gambar 19 Jumlah tikus yang tertangkap dari hasil kombinasi antara dua jenis di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang……………
27
Gambar 20 Jumlah tikus yang tertangkap dari hasil pemerangkapan setiap time series di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang…….
30
Gambar 21 Jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus dengan interaksi antara jenis rodentisida dan lokasi perlakuan di Wilayah Bogor dan Tangerang………………………………………………….
31
Gambar 22 Grafik jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus pada setiap lokasi…………………………………………………………..
32
26
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Pengaruh faktor kombinasi perangkap terhadap rata-rata jumlah tikus yang tertangkap……………………………………………….
27
Tabel 2 Persentase keberhasilan pemerangkapan kedua jenis perangkap pada empat lokasi yang berbeda…………………………………….
28
Tabel 3 Pengaruh faktor lokasi terhadap jumlah tikus yang tertangkap…….
29
Tabel 4 Pengaruh faktor lokasi terhadap jumlah rodentisida yang dikonsumsi Tikus………………………………………………………………….
32
PENDAHULUAN
Latar Belakang Hama permukiman telah menjadi masalah serius pada zaman modern ini. Berbagai jenis hama dapat dijumpai permukiman, di antaranya nyamuk, lalat, kecoa, rayap, cicak, dan tikus. Bila musim hujan, pertumbuhan rata-rata populasi hama tersebut meningkat. Bila tidak dicegah, maka akan timbul berbagai masalah di kehidupan masyarakat seperti menyebarnya wabah penyakit yang disebabkan oleh hama permukiman. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengendalian yang tepat serta berkelanjutan, demi menjaga kelestarian lingkungan serta meningkatkan kualitas hidup umat manusia. Tindakan antisipatif perlu dilakukan agar populasi hama tersebut dapat dikendalikan dan tidak menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Perbedaan tingkat ekonomi dan pendidikan merupakan alasan utama masyarakat dalam melakukan tindakan pengendalian. Masyarakat yang tingkat ekonomi dan pendidikannya rendah umumnya kurang mempedulikan keberadaan hama-hama tersebut. Sebagian besar dari mereka hanya melakukan pencegahan seadanya dan tidak berkelanjutan, sehingga populasi hama tidak bisa dikendalikan dan akhirnya menyebabkan dampak serius di daerah permukimannya. Masyarakat yang memiliki tingkat perekonomian dan pendidikan yang cukup tinggi sudah mulai memandang keberadaan hama dapat menjadi masalah serius dalam kehidupannya. Pada umumnya mereka memilih tindakan pengendalian yang efektif dan berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan agar populasi hama dapat ditekan, sehingga masalah yang timbul dapat dicegah. Tikus merupakan hama penting pada habitat permukiman. Tikus dianggap sebagai hama, karena banyak menimbulkan kerugian bagi manusia. Kerugian yang ditimbulkan yaitu adanya kerusakan yang berupa keratan pada berbagai benda rumah tangga yang terbuat dari kayu, kain, kertas, plastik, logam, dan alat-alat listrik, serta adanya kontaminasi berupa rambut, feses, dan urin tikus pada berbagai bahan
makanan manusia. Kerugian lain yang ditimbulkan oleh tikus yaitu adanya beberapa patogen penyakit seperti Salmonella sp., Leptospira sp., Yersinia sp., yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan ternak (zoonosis). Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengendalikan tikus di permukiman, antara lain dengan cara sanitasi, kultur teknis, fisik mekanik, hayati, dan kimiawi. Pada pengendalian tikus di permukiman biasanya metode yang banyak digunakan adalah pengendalian kimiawi dengan menggunakan umpan beracun dan pengendalian fisik mekanik dengan menggunakan perangkap. Pengendalian tikus dengan menggunakan umpan yang dicampur dengan rodentisida memiliki beberapa kekurangan yaitu: 1) tikus dapat menjadi resisten karena sering terpapar oleh racun, sehingga tikus tidak akan mati apabila diberi umpan beracun, 2) bahan kimia yang terkandung dalam rodentisida akan mencemari lingkungan, dan 3) penggunaan rodentisida yang berlebihan dan tidak didasari dengan pengetahuan yang cukup akan menyebabkan keracunan bagi pengguna dan hewan bukan sasaran. Perangkap banyak digunakan untuk monitoring kehadiran tikus dan sebagai salah satu metode untuk mengendalikan populasi tikus pada suatu wilayah. Penggunaan perangkap untuk pengendalian tikus pada habitat permukiman merupakan metode pengendalian yang sederhana dan mudah untuk diaplikasikan. Selain itu penggunaan perangkap merupakan suatu metode yang aman dan tidak beresiko terhadap lingkungan dan penggunanya.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi masyarakat terhadap kehadiran dan pengendalian hama permukiman di Wilayah Bogor dan Tangerang, serta menguji kombinasi dua jenis perangkap, tiga jenis umpan, serta dua jenis rodentisida pada habitat permukiman.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui persepsi dan tindakan masyarakat dalam mengendalikan hama permukiman, menghasilkan kombinasi yang tepat dari
dua jenis perangkap dan tiga jenis umpan, serta rodentisida, sehingga dapat digunakan sebagai sarana untuk pengendalian tikus yang efektif, efisien, serta aman terhadap lingkungan dan pengguna.
Hipotesis Pentingnya pengendalian hama di permukiman bagi masyarakat pada umumnya kurang disadari. Tindakan pengendalian yang dilakukan berkaitan erat dengan tingkat pendidikan dan ekonomi. Masyarakat belum mengetahui dampak yang mungkin timbul karena kehadiran hama permukiman. Penggunaan perangkap sebagai salah satu metode pengendalian tikus pada habitat permukiman merupakan teknik pengendalian yang aman, efektif, dan efisien, tetapi pengendalian dengan cara ini dapat menyebabkan jera perangkap (trap-shyness). Pemanfaatan rodentisida dalam pengendalian tikus di permukiman memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya dapat memberikan efek mortalitas yang cukup tinggi dalam waktu singkat
dan
aplikasinya
mudah.
Sedangkan
kekurangannya
adalah
dapat
menimbulkan residu, menyebabkan pencemaran lingkungan, keracunan pada organisme bukan sasaran, resistensi pada tikus, jera umpan, dan biaya yang dikeluarkan cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai keefektifan kombinasi perangkap dan umpan serta rodentisida yang digunakan untuk pengendalian tikus di permukiman.
TINJAUAN PUSTAKA
Persepsi Masyarakat terhadap Hama Permukiman Keberadaan hama permukiman (urban pest) mulai meresahkan masyarakat di berbagai wilayah di kota besar karena hama tersebut dapat menimbulkan masalah seperti rusaknya perabot rumah tangga, menyebarnya berbagai macam penyakit, serta gangguan langsung pada manusia seperti nyamuk, lalat, kecoa, rayap, cicak, dan tikus. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengendalian yang tepat serta berkelanjutan, demi menjaga kelestarian lingkungan serta meningkatkan kualitas hidup umat manusia. Tindakan antisipatif perlu dilakukan agar populasi hama tersebut dapat dikendalikan dan tidak menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Perbedaan tingkat ekonomi dan pendidikan merupakan alasan utama masyarakat dalam melakukan tindakan pengendalian. Masyarakat yang tingkat ekonomi dan pendidikannya rendah umumnya jarang mempedulikan keberadaan hama-hama tersebut, sedangkan masyarakat yang memiliki tingkat perekonomian dan pendidikan yang cukup tinggi sudah mulai memandang keberadaan hama dapat menjadi masalah serius dalam kehidupannya. Filosofi pengendalian hama saat ini bukan lagi bertujuan untuk membersihkan atau memusnahkan organisme pengganggu, melainkan melakukan usaha pengendalian yang harmonis dengan kehidupan ekologis lingkungan, tanpa harus mengalami kerugian secara ekonomi (Martono 2003), konsep tersebut berlaku untuk bidang pertanian, tetapi untuk hama permukiman sulit diterapkan.
Hama Permukiman (urban pest) Hama permukiman (urban pest) adalah suatu organisme yang pada suatu tempat (permukiman) dan waktu, tidak dikehendaki karena secara langsung dapat mengancam kesehatan, harta benda atau hanya sekedar gangguan kenyamanan atau estetika (Chalidaputra 2007). Kehadiran hama permukiman mulai dirasakan
menimbulkan masalah bila populasinya telah melampaui batas dan menimbulkan problematika kesehatan dan aspek kebersihan lingkungan. Berbagai kerugian ekonomi dapat ditimbulkan, demikian pula berbagai penyakit tanaman, hewan maupun manusia dapat ditularkan oleh hama tersebut, seperti tipes, kolera, pes, malaria, dan demam berdarah. Tindakan antisipatif untuk menekan akibat langsung ataupun tidak langsung perlu diupayakan pengelolaan yang komprehensif dan terpadu antara lain dengan program pengendalian hama terpadu (integrated pest management). Program pengelolaan ini dapat meliputi pengendalian hama serangga (lalat, kecoa, dan nyamuk), serta pengendalian hama rodensia atau tikus (Praja 2007).
Tikus Rumah (Rattus rattus diardii Linn.) Klasifikasi dan Morfologi Berdasarkan karakter dan ciri morfologi yang dimiliki, tikus rumah (R. rattus diardii) digolongkan ke dalam Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, dan Famili Muridae. Tikus rumah (R. rattus diardii) memiliki panjang tubuh 100 – 190 mm, dan panjang ekor lebih panjang atau sama dengan panjang tubuh. R. rattus diardii memiliki ciri morfologi antara lain rambut bertekstur agak kasar berwarna coklat kehitaman pada bagian dorsal dan warna pada bagian ventral hampir sama dengan warna rambut pada bagian dorsal. Bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, ekor tidak ditumbuhi rambut, serta memiliki bobot tubuh berkisar antara 70 – 300 g (Priyambodo 2003).
Biologi dan Ekologi Tikus rumah memiliki kemampuan bereproduksi tinggi, selain itu tikus dapat berkembangbiak dan melahirkan anak sepanjang tahun tanpa mengenal musim, oleh sebab itu, tikus disebut hewan poliestrus. Tikus rumah mampu melahirkan anak, sebanyak 5 – 8 ekor dalam sekali melahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan tergantung ketersediaan makanan. Masa bunting tikus selama 21 hari dan pada saat dilahirkan, anak tikus tidak memiliki rambut dan matanya tertutup. Rambut tumbuh pada umur 1 minggu setelah dilahirkan dan mata akan terbuka pada umur 9 – 14 hari, kemudian tikus mulai mencari makan di sekitar sarang. Pada umur 4 - 5 minggu tikus
mulai mencari makan sendiri, terpisah dari induknya. Pada usia tersebut tikus dapat dengan mudah diperangkap. Tikus rumah mencapai umur dewasa setelah berumur 45 – 65 hari (Priyambodo 2003). Pada umumnya tikus menyukai makanan yang dimakan manusia karena tikus merupakan hewan omnivora (pemakan segala). Tikus rumah menyukai makanan yang berasal dari biji – bijian, buah – buahan, sayur – sayuran, kacang – kacangan, umbi – umbian, daging, ikan, dan telur. Dalam sehari tikus biasanya membutuhkan pakan sebanyak 10% dari bobot tubuhnya jika pakan dalam keadaan kering, namun bila pakan dalam keadaan basah kebutuhan pakan dapat mencapai 15% dari bobot tubuhnya. Tikus rumah biasanya akan mengenali dan mengambil pakan yang telah tersedia atau yang ditemukan dalam jumlah sedikit, untuk mencicipi atau mengetahui reaksi yang terjadi akibat mengonsumsi pakan yang ditemukan. Jika tidak terjadi reaksi yang membahayakan, maka tikus akan menghabiskan pakan yang tersedia atau yang ditemukan (Priyambodo 2003).
Indera Tikus Indera penglihatan tikus rumah kurang berkembang dengan baik bila dibandingkan dengan kemampuan indera lainnya. Selain itu tikus rumah memiliki kemampuan memanjat dan mengerat sangat baik. Aktivitas mengerat tikus tersebut merupakan perilaku tikus untuk mengurangi pertumbuhan gigi seri, sehingga tikus tetap bertahan hidup (Priyambodo 2003). Tikus rumah merupakan hewan nokturnal, yaitu hewan yang aktif pada malam hari. Tikus rumah memiliki habitat di sekitar permukiman terutama di daerah yang jarang dilalui oleh manusia. Tikus rumah biasanya memiliki jalur yang tetap untuk berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lain. Tikus dapat masuk ke dalam rumah melalui celah di sekitar lantai dan saluran air, serta mampu memanjat dinding untuk masuk ke dalam rumah melalui celah di sekitar atap. Tikus rumah memiliki daerah aktivitas yang bervariasi, tergantung jenis kelamin, kerapatan populasi, persediaan makanan, keberadaan pemangsa, dan waktu. Menurut seorang antropolog Mc Neely dan seorang psikolog Watchel, dalam bukunya yang berjudul The Soul of the Tiger
(1988), tikus merupakan hewan liar yang paling menikmati dampak positif dari kemajuan ekonomi di negara-negara Asia. Bumi Asian merupakan tempat kelahiran tikus sekitar 10 juta tahun yang lalu, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia. Penyebaran tikus ke seluruh dunia berlangsung bersama dengan migrasi manusia antar pulau dan benua (Priyambodo 2006).
Metode Pengendalian Tikus Rumah di Permukiman Pengendalian tikus rumah dapat dikelompokkan ke dalam beberapa metode antara lain: Pengendalian secara kultur teknis, fisik mekanik, hayati, dan kimia. Pengendalian tikus rumah di permukiman dilakukan dengan mengombinasikan beberapa teknik pengendalian, antara lain memodifikasi lingkungan atau sanitasi, penggunaan perangkap dan umpan beracun (rodentisida). Modifikasi lingkungan atau sanitasi merupakan pengendalian jangka panjang, sedangkan penggunaan perangkap dan umpan beracun merupakan pengendalian jangka pendek (Priyambodo 2003). Pengendalian secara fisik mekanis bertujuan untuk mengubah faktor lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus dan juga merupakan usaha manusia untuk mematikan atau memindahkan tikus secara langsung dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat (Priyambodo 2003). Pengendalian secara fisik mekanis adalah pengendalian yang secara langsung mempengaruhi keadaan fisik tikus yang dikendalikan. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain penggunaan perangkap, gelombang suara ultrasonik, gelombang elektromagnetik, sinar ultraviolet, penghalang, dan berburu (Priyambodo 2003). Penggunaan umpan beracun merupakan metode yang banyak dilakukan, karena metode ini sangat mudah diaplikasikan dan didapatkan hasil yang nyata. Namun, pengunaan umpan beracun dapat menimbulkan beberapa masalah yaitu dapat meracuni hewan bukan sasaran, serta berbahaya bagi lingkungan. Untuk mengurangi penggunaan pestisida yang berlebihan, maka digunakan istilah pest management yaitu pendekatan pengendalian hama secara bijaksana dalam arti melakukan tindakan pengendalian secara kimiawi sesuai anjuran serta penuh kehatihatian dan perhitungan (Sigit 2006).
Perangkap Ada beberapa jenis perangkap tikus yaitu perangkap hidup, perangkap mati, dan perangkap berperekat. Beberapa jenis perangkap baru telah diproduksi walaupun pada kenyataanya perangkap tersebut kurang efektif bila dibandingkan dengan perangkap-perangkap sebelumnya (Meehan 1984). Penggunaan perangkap sebagai teknik pengendalian tikus di permukiman merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis karena perangkap dapat digunakan beberapa kali. Di dalam melakukan pemerangkapan tikus, perlu diperhatikan sifat trap shyness yaitu kejadian di mana tikus tidak mau masuk ke perangkap yang disediakan. Hal ini berhubungan dengan sifat genetik tikus. Pada awal pemerangkapan tikus mudah ditangkap, tetapi pada pemerangkapan berikutnya tikus sulit tertangkap (Priyambodo 2003).
Rodentisida Pengendalian dengan rodentisida merupakan alternatif terakhir pada konsep PHT, jika semua cara lain yang digunakan belum memberikan hasil yang optimal. Berdasarkan cara kerjanya, racun tikus dibagi menjadi dua yaitu racun akut dan kronis. Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak sistem syaraf dan melumpuhkannya. Sedangkan racun kronis (antikoagulan) bekerja lebih lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003). Racun kronis juga dibagi dua yaitu racun kronis generasi I dan generasi II. Kumatetralil merupakan racun antikoagulan generasi I yang dibuat sebelum brodifakum dan bromadiolon, yang merupakan racun antikoagulan generasi II. Racun antikoagulan generasi II dibuat karena sudah terjadi atau diperkirakan akan terjadi resistensi tikus terhadap racun antikoagulan generasi I. Dengan diproduksinya racun antikoagulan generasi II ini, diharapkan resistensi tikus dapat dihindari.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari September 2009 sampai Januari 2010 di Kabupaten Bogor, yaitu di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Kota Tangerang di Daerah Ciledug, serta Laboratorium Vertebrata Hama Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor
Bahan dan Alat Perangkap tikus single live trap merupakan perangkap yang biasa dijual di pasar, terbuat dari kawat baja berbentuk persegi, dengan model satu pintu dan berukuran panjang 40 cm serta lebar dan tinggi 20 cm. Perangkap ini hanya mampu menangkap satu ekor tikus dalam sekali aplikasi. Sedangkan multiple live trap merupakan perangkap yang terbuat dari kawat dengan model pintu yang membuka ke bawah. Pintu masuk perangkap berukuran 5 cm x 5 cm, panjang daun pintu masuk perangkap adalah 13 cm, panjang perangkap 38 cm, lebar 23 cm, dan tinggi 16 cm, serta terdapat satu buah pintu yang berada satu sisi perangkap yang berhadapan dengan pintu masuk. Pintu ini berguna untuk memasukkan umpan ke dalam perangkap, dan mengeluarkan tikus yang terperangkap. Perangkap ini dilengkapi dengan pemberat pada pintu masuknya untuk menutup kembali pintu yang terbuka oleh tikus, sehingga dapat menangkap lebih dari satu ekor tikus dalam sekali aplikasi. (Gambar 1). a
b
Gambar 1 Single live trap (a) dan multiple live trap (b)
Rodentisida yang digunakan adalah rodentisida yang mengandung bahan aktif bromadiolon 0,005% dan brodifakum 0,005% yang keduanya berbentuk blok berwarna biru. (Gambar 2).
a
b
Gambar 2 Rodentisida bromadiolon 0,005% (a) dan brodifakum 0,005% (b) Umpan yang digunakan dalam pengujian perangkap adalah kelapa bakar, selai kacang, dan ikan asin. Timbangan yang digunakan adalah electronic top-loading balance for animal untuk menimbang bobot rodentisida sebelum dan sesudah perlakuan (Gambar 3).
Gambar 3 Timbangan electronic top-loading balance for animal
Metode Penelitian A. Wawancara Wawancara dilakukan terhadap 30 penghuni rumah pada setiap lokasi. Masing-masing lokasi mewakili kriteria yang berbeda: Sindang Barang mewakili daerah persawahan, Cibanteng mewakili daerah permukiman dan pemancingan, Balio
mewakili daerah yang banyak terdapat kebun dan pekarangan, dan Ciledug yang mewakili daerah permukiman cukup mewah, jauh dari persawahan, dan pekarangan. Kondisi pada setiap rumah dalam satu lokasi umumnya relatif sama, sehingga dapat dikatakan kondisi satu rumah dengan yang lainnya homogen. Daftar pertanyaan (kuesioner) terlampir pada Lampiran 1.
B. Pengujian Perangkap Pembuatan Umpan Kelapa bakar dibuat dengan cara membakar kelapa tua yang sudah dibuang air beserta kulitnya. Kelapa tua dibakar selama kira-kira 10 menit sampai menimbulkan bau hangus yang khas. Satu kelapa dibelah menjadi beberapa potong dengan ukuran masing-masing 2 cm x 2 cm. Selai kacang dioleskan pada roti tawar dan digantungkan pada perangkap. Ikan asin yang tidak menggunakan bumbu dibungkus dengan kertas selama tiga hari sampai mengeluarkan bau yang menyengat, kemudian diaplikasikan dalam pengujian perangkap.
Pengujian Keefektifan Perangkap di Permukiman Perangkap single live trap (SLT) dan multiple live trap (MLT) yang masingmasing berisi umpan kelapa bakar, selai kacang, dan ikan asin diletakkan pada plafon rumah, gudang penyimpanan, pekarangan, teras, ataupun dapur rumah tangga. Penempatan antara satu perlakuan dengan perlakuan lain berjarak 3-5 m. Jarak terdekat dan terjauh peletakan perangkap dari sawah atau pekarangan di Sindang Barang adalah sekitar 3 m dan 100 m, di Cibanteng sekitar 5 m dan 80 m, di Balio 3 m dan 80 m, sedangkan di Ciledug tidak diketahui karena letak sawah dan pekarangan sangat jauh. Persentase keberhasilan pemerangkapan (trap success) : Σ tikus yang tertangkap Σ perangkap yang dipasang x Σ hari pemasangan
X 100%
Penggantian Umpan dan Pembersihan Perangkap Penggantian umpan dan pembersihan perangkap dilakukan setiap hari. Perangkap dibersihkan dengan menggunakan air panas dan atau air sabun dengan cara menyikat seluruh bagian perangkap. Umpan dan perangkap yang telah dibersihkan diletakkan kembali pada malam hari setelah pukul 18:00 pada tempat yang telah ditetapkan. Pengambilan perangkap dilakukan pada pagi hari pukul 08:00 atau sore hari pukul 17:00, dengan asumsi bahwa ada kemungkinan tikus tertangkap pada sore hari.
C. Pengujian Rodentisida Peletakan Rodentisida Masing-masing rodentisida diletakkan di tempat yang sama pada perlakuan perangkap dan umpan serta dalam kondisi yang sama pula. Rodentisida diletakkan di atas plafon atau lantai rumah (tempat tersembunyi) yang jauh dari jangkauan anakanak dan binatang, misalnya di sudut rumah. Rodentisida disimpan dalam wadah tertutup yang terdapat lubang tempat masuknya tikus.
Penggantian Rodentisida Penggantian rodentisida dilakukan tiga hari sekali. Rodentisida yang telah terpakai, akan dibuang dan diganti dengan yang baru. Rodentisida yang telah diganti, diletakkan kembali pada malam hari setelah pukul 18:00 pada tempat-tempat yang telah ditetapkan.
Rotasi Pengujian Perangkap dengan Rodentisida Pada pengujian perangkap, masing-masing perangkap (single live trap dan multiple live trap) dikombinasikan dengan tiga jenis umpan yaitu kelapa bakar, ikan asin, dan selai kacang yang dilakukan selama satu hari pada tempat yang sama dalam tiga time series. Setelah itu, perangkap diambil dan diganti dengan perlakuan rodentisida. Pada perlakuan ini dilakukan pengujian rodentisida dengan cara meletakkan rodentisida dalam nampan plastik yang telah diberi lubang sebagai
tempat masuknya tikus. Rodentisida dibiarkan selama tiga hari, kemudian dilakukan pengujian perangkap kembali sampai tiga kali time series.
Analisis Data Analisis data dengan menggunakan program SAS dan uji Duncan dengan perlakuan kombinasi dua perangkap dengan tiga umpan, dan dua rodentisida racun kronis dengan jumlah ulangan masing-masing sebanyak sepuluh kali dan tiga time series.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Karakteristik Responden Hasil survei terhadap 30 responden di setiap lokasi mengenai tingkat
pendidikan masyarakat di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Ciledug dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4
Hasil survei mengenai tingkat pendidikan masyarakat di Bogor dan Tangerang
Latar belakang tingkat pendidikan masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang sangat berbeda. Di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio umumnya jarang yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Di Sindang Barang, umumnya hanya menempuh hingga tingkat SMP, di Cibanteng rata-rata menempuh hingga SD, dan di Balio hanya menempuh tingkat SMA. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat di Ciledug. Umumnya di Ciledug menempuh tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi. Tentunya latar belakang pendidikan sangat berkaitan dengan pandangan, sikap, dan tindakan masyarakat terhadap keberadaan hama permukiman.
Tingkat pendapatan masyarakat di Daerah Bogor dan Tangerang sangat beragam. Di Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio umumnya berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000,- dan ada pula yang berkisar antara 2 sampai 3 juta. Hanya sedikit masyarakat yang berpendapatan di atas 3 juta per bulan. Di Daerah Ciledug, pendapatan masyarakatnya cukup tinggi yaitu berkisar antara 2 juta sampai 4 juta bahkan banyak yang lebih. Hal ini yang mendasari tindakan pengendalian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap hama permukiman. Tingkat pendapatan masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5
Hasil survei mengenai tingkat pendapatan masyarakat di Bogor dan Tangerang
B.
Hasil Survei
1.
Jenis hama yang terdapat di permukiman Jenis hama yang terdapat di perumahan di Daerah Sindang Barang, Cibanteng,
Balio, dan Ciledug dapat diketahui bahwa jenis hama yang paling banyak terdapat di daerah tersebut adalah tikus, lalu diikuti oleh nyamuk, lalat, kutu, dan kecoa. Hampir semua jenis hama permukiman terdapat di perumahan Wilayah Bogor, namun di Ciledug-Tangerang, hama semut tidak ditemukan.
Jenis kecoa yang ditemukan adalah kecoa amerika (Periplaneta americana) dari Famili Blattidae, dari yang berukuran kecil (nimfa), hingga yang sudah imago bersayap. Nyamuk yang ditemukan merupakan jenis nyamuk rumah Culex quinquefasciatus, nyamuk kebun Armigeres subalbatus yang berukuran lebih besar dibanding nyamuk rumah. Jenis kutu yang ditemukan di antaranya kutu busuk Cimex (Hemiptera: Cimicidae) dan kutu hewan piaraan, misalnya kutu kucing Xenopsylla sp. (Siphonaptera: Pulicidae). Laba-laba juga cukup banyak ditemukan di permukiman. Laba-laba ini membuat sarang di langit-langit, dan mengotori atap rumah. Lalat yang banyak ditemukan merupakan golongan lalat rumah Musca domestica (Diptera: Muscidae). Rayap juga banyak ditemukan karena banyak gejala serangan rayap pada kayu plafon, perabot rumah tangga, kusen, dan pintu rumah. Sedangkan jenis semut yang banyak dijumpai adalah semut hitam dan semut rangrang pada pohon-pohon besar. Jenis tikus yang terdapat di permukiman Wilayah Bogor adalah tikus rumah (R. rattus), tikus sawah (R. argentiventer), tikus riul (R. norvegicus), dan tikus pohon (R. tiomanicus), sedangkan di Daerah Ciledug hanya ditemukan tikus rumah (R. rattus). Hasil survei mengenai jenis hama yang terdapat di permukiman warga di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Kategori jenis hama yang terdapat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang
2.
Jenis hama yang paling banyak terdapat di permukiman Jenis hama yang paling banyak terdapat di perumahan untuk Wilayah Bogor
adalah kecoa, nyamuk, lalat, dan semut, sedangkan di Daerah Ciledug adalah nyamuk dan lalat. Selain itu, hama tikus juga menjadi masalah terutama di Daerah Bogor, terutama di Sindang Barang dan Balio. Hampir di setiap rumah dapat ditemukan tikus, terutama tikus rumah (R. rattus) dan tikus riul (R. norvegicus). Namun di Daerah Ciledug, cukup sulit ditemukan, meskipun ada beberapa keluhan warga yang menyampaikan masalah gangguan hama tikus di rumahnya. Hasil survei mengenai jenis hama yang paling banyak terdapat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Kategori jenis hama yang paling banyak terdapat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang 3.
Hama yang sering dikendalikan Jenis hama yang sering dikendalikan oleh masyarakat di Wilayah Bogor
terutama Daerah Sindang Barang dan Balio adalah kecoa, nyamuk, rayap, dan lalat, meskipun tikus juga banyak ditemukan di daerah tersebut. Hal ini karena warga setempat belum mengetahui teknik pengendalian yang tepat diterapkan untuk mengendalikan tikus. Sebelumnya, masyarakat pernah melakukan pengendalian dengan menggunakan perangkap, tetapi tikus mengalami jera perangkap, sehingga tidak ada tikus yang tertangkap lagi setelah pemerangkapan pertama. Oleh sebab itu,
sebagian warga di daerah ini lebih mengutamakan pengendalian kecoa, nyamuk, dan lalat dengan menggunakan pestisida cair. Pengendalian rayap dilakukan warga dengan menggunakan insektisida anti rayap yang tidak diketahui jenisnya. Di daerah Cibanteng, hama yang paling sering dikendalikan adalah kecoa dan semut, padahal lalat juga cukup banyak ditemukan di daerah tersebut. Hal ini karena daerah tersebut cukup kotor dan banyak terdapat tumpukan sampah rumah tangga yang membusuk, sehingga pengendalian lalat cukup sulit dilakukan. Hasil survei mengenai jenis hama yang sering dikendalikan di permukiman warga di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Hama yang sering dikendalikan di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang Untuk Wilayah Tangerang jenis hama yang paling sering dikendalikan adalah nyamuk, semut, lalat dan rayap. Pengendalian nyamuk dan lalat dilakukan dengan menggunakan pestisida cair, walaupun ada sebagian warga yang menggunakan perangkap lem untuk mengendalikan lalat. Pengendalian semut dilakukan dengan menggunakan pestisida cair dan kapur anti serangga. Sedangkan pengendalian rayap dilakukan dengan menggunakan insektisida anti rayap. Hama tikus cukup jarang dikendalikan, kalau pun ada pada umumnya mereka menggunakan perangkap dan hampir tidak pernah menggunakan rodentisida.
4.
Tempat yang dijadikan sarang hama Tempat yang sering dijadikan sarang oleh hama, dapat diketahui bahwa di
Daerah Bogor, lokasi kamar mandi dan kamar tidur sering dijadikan sarang hama. Hama yang terdapat di kamar mandi adalah kecoa dan tikus, sedangkan di kamar tidur adalah nyamuk, kecoa, dan kutu busuk. Di dapur, hama yang sering terlihat adalah tikus dan kecoa, sedangkan di tempat sampah hama adalah tikus, kecoa, dan lalat. Selokan sering dijadikan sarang oleh nyamuk, tikus, dan kecoa. Selain itu, gudang dan plafon juga sering dijadikan sarang tikus, kecoa, dan laba-laba. Hasil survei mengenai tempat yang dijadikan sarang hama di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Kriteria tempat yang merupakan sarang hama di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang Menurut masyarakat Bogor, kamar tidur, kamar mandi, dapur, tempat sampah, dan selokan merupakan tempat yang sering dijadikan sarang hama karena di tempat tersebut hama seperti nyamuk, tikus, dan kecoa sering muncul. Hal ini berhubungan dengan kebersihan lingkungan rumah dan sekitarnya, oleh karena itu, sanitasi perlu dilakukan untuk membersihkan sisa makanan, maupun perabot rumah tangga bekas.
5.
Penyebab timbulnya hama di permukiman Berdasarkan hasil survei, ada responden yang menyebutkan beberapa alasan
penyebab timbulnya hama di permukiman yaitu makanan, sampah, lingkungan dalam dan luar rumah yang kotor, serta selokan. Menurut masyarakat yang tinggal di Wilayah Bogor, sebagian besar mengatakan bahwa makanan, lingkungan luar serta dalam rumah yang kotor merupakan penyebab utama munculnya hama. Sedangkan menurut masyarakat yang tinggal di Wilayah Tangerang, sampah menjadi penyebab utama timbulnya hama permukiman. Pendapat masyarakat tersebut berhubungan dengan kondisi lingkungan perumahan di wilayah tersebut yang masih terdapat banyak sampah. Banyak pekarangan yang tidak terawat serta terdapat tumpukan barang bekas. Hasil survei mengenai penyebab timbulnya hama di permukiman warga di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Kriteria penyebab timbulnya hama di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang
6.
Bentuk formulasi pestisida yang sering digunakan Sebagian besar masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang menggunakan
pestisida dalam bentuk cair (aerosol) untuk mengendalikan nyamuk, lalat, dan kecoa. Hal ini kemungkinan karena formulasi pestisida dalam bentuk cair lebih mudah diaplikasikan serta mudah diperoleh di pasaran, dan harganya pun relatif terjangkau. Untuk pengendalian tikus, digunakan formulasi pestisida padatan (rodentisida), sedangkan untuk pengendalian jentik nyamuk, digunakan formulasi berbentuk serbuk (abate). Hasil survei mengenai bentuk formulasi pestisida yang sering digunakan di permukiman warga Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11
7.
Kriteria jenis pestisida yang biasa digunakan oleh masyarakat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang
Sumber informasi jenis pestisida yang dapat digunakan oleh masyarakat Sumber informasi yang diperoleh masyarakat mengenai jenis pestisida yang
dapat digunakan untuk mengendalikan hama permukiman, masyarakat di Daerah Sindang Barang mendapakannya dari pengalaman pribadi, toko kimia, dan supplier. Masyarakat di Cibanteng memperolehnya dari tetangga dan pengalaman. Di Daerah Balio, sebagian besar didapat dari teman dan pengalaman. Sedangkan di Ciledug, umumnya didapat dari tetangga atau teman. Tetangga di daerah tersebut saling memberi tahu jika ada suatu jenis pestisida yang efektif. Setelah mendapat informasi
tentang pestisida tersebut, mereka langsung mencari di toko terdekat sesuai dengan jenis yang direkomendasikan oleh tetangga atau kerabatnya. Hasil survei mengenai sumber informasi jenis pestisida yang dapat digunakan oleh masyarakat di permukiman warga Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Kriteria sumber informasi masyarakat mengenai jenis pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama 8.
Waktu aplikasi pestisida Sebagian besar masyarakat melakukan aplikasi pestisida pada malam hari,
meskipun ada beberapa masyarakat yang melakukannya pagi, siang, dan sore hari. Alasan mereka melakukan aplikasi pestisida pada malam hari karena dirasakan cukup efektif. Jika dilakukan pada pagi atau siang hari, banyak pestisida yang terbuang karena hama jarang muncul di saat itu. Sebagian besar hama permukiman seperti tikus, kecoa, dan nyamuk aktif di malam hari sebagai hewan nokturnal. Hasil survei mengenai waktu aplikasi pestisida oleh masyarakat di permukiman warga Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Kriteria waktu aplikasi pestisida yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang 9.
Kesesuaian penggunaan pestisida dengan aturan pakai Hasil survei mengenai kesesuaian penggunaan pestisida dengan aturan pakai di
permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Kesesuaian penggunaan pestisida oleh masyarakat dengan aturan pakai yang dianjurkan di permukiman Sebagian besar masyarakat di Daerah Bogor belum memperhatikan aplikasi pestisida yang tepat, yaitu tepat sasaran, dosis, konsentrasi, dan waktu aplikasi. Hal ini tentu berkaitan dengan tingkat kesadaran masyarakat itu sendiri. Aplikasi pestisida
yang tidak tepat sasaran ini dapat membahayakan diri sendiri, hewan bukan sasaran, dan lingkungan sekitar. Penggunaan pestisida oleh sebagian besar masyarakat di Bogor yang tidak sesuai dengan aturan pakai berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat tersebut mengenai dampak dan bahaya pestisida terhadap diri sendiri dan lingkungan. Sedangkan masyarakat yang tinggal di Ciledug relatif lebih banyak yang melakukan aplikasi pestisida sesuai anjuran, walaupun ada sebagian kecil responden yang kurang peduli akan bahaya aplikasi pestisida yang tidak benar.
10.
Tindakan pengendalian tikus yang biasa dilakukan oleh masyarakat Hasil survei mengenai tindakan pengendalian tikus yang biasa dilakukan oleh
masyarakat di permukiman warga Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Tindakan pengendalian tikus yang biasa dilakukan oleh masyarakat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang Masyarakat di Daerah Bogor dan Tangerang biasa menggunakan perangkap hidup. Perangkap hidup yang banyak digunakan adalah multiple live trap. Meskipun demikian, ada beberapa masyarakat yang menggunakan lem tikus maupun perangkap mati. Alasan mereka menggunakan perangkap hidup (multiple live trap) adalah bisa didapatkan lebih dari satu ekor dalam sekali aplikasi, sedangkan alasan penggunaan lem adalah praktis, tidak berbau, dan harganya relatif murah. Dalam aplikasi lem tikus, masyarakat menggunakan triplek sebagai alas. Setelah tertangkap, tikus
dimatikan terlebih dahulu kemudian dibuang, dan triplek dicuci kemudian digunakan kembali. Hal ini menyebabkan aplikasi lem tikus kurang efektif, karena tikus yang sebelumnya tertangkap telah mengeluarkan urin dan hormon tanda bahaya (alarm hormone), sehingga tikus lain sulit tertangkap.
11.
Tindakan alternatif yang dilakukan masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman Tindakan alternatif yang dilakukan oleh masyarakat di Daerah Bogor dan
Tangerang untuk mengendalikan hama permukiman berbeda-beda.
Hasil survei
menunjukkan bahwa pengendalian yang sering dilakukan adalah dengan cara menyiram dengan air panas dan sanitasi. Pukul langsung dilakukan untuk mengendaliakan tikus di dalam rumah dan pekarangan. Sedangkan penyiraman air panas hanya untuk pengendalian tikus di dalam rumah. Sanitasi yang dilakukan terutama dalam pembersihan sisa makanan dan barang bekas yang menumpuk dan sudah tidak terpakai yang dilakukan untuk mengendalikan nyamuk, kecoa, lalat, dan tikus. Hasil survei mengenai tindakan alternatif yang dilakukan masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Tindakan alternatif yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman di Wilayah Bogor dan Tangerang
12.
Tempat penyimpanan pestisida oleh masyarakat Hasil survei mengenai tempat penyimpanan pestisida oleh masyarakat di
Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada gambar 17.
Gambar 17 Kriteria tempat penyimpanan pestisida setelah pakai oleh masyarakat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang Pada umumnya, sebagian besar masyarakat di Daerah Bogor menyimpan pestisida di dalam rumah, seperti dapur, gudang, kamar tidur, bahkan ruang keluarga, dengan alasan agar mudah dicari dan aman dari pencurian. Di Ciledug, sebagian besar warga menyimpan pestisida di luar rumah, karena alasan resiko keracunan. Warga takut jika pestisida yang disimpan di dalam rumah dapat meracuni anggota keluarganya. 13.
Biaya yang dikeluarkan per bulan oleh masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman Hasil survei mengenai biaya yang dikeluarkan per bulan untuk mengendalikan
hama permukiman oleh masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Biaya per bulan yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman di Wilayah Bogor dan Tangerang Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dalam melakukan pengendalian terhadap hama berbeda-beda tergantung dari pendapatan masyarakat tersebut. Untuk masyarakat di Wilayah Bogor, yaitu Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio, biaya yang dikeluarkan < Rp 10.000,-. Sedangkan untuk masyarakat di Ciledug-Tangerang, biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp 10.000,- hingga Rp 50.000,- atau lebih. Hal ini berhubungan dengan tingkat ekonomi setiap warga yang berbeda-beda.
C.
Hasil Perlakuan Perangkap Berdasarkan hasil pemasangan single live trap di Wilayah Bogor dapat
diketahui bahwa perbandingan jumlah tikus yang tertangkap dengan menggunakan umpan selai kacang, kelapa bakar, dan ikan asin relatif sama. Tikus yang terperangkap dalam perangkap ini kebanyakan adalah tikus rumah (R. rattus). Jumlah tikus yang tertangkap pada kombinasi antara dua jenis perangkap (SLT dan MLT), tiga jenis umpan, dan lokasi di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Jumlah tikus yang tertangkap dari hasil kombinasi antara dua jenis perangkap (SLT dan MLT), tiga jenis umpan, dan lokasi perlakuan di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang Multiple live trap cukup efektif diterapkan di permukiman dengan menggunakan umpan ikan asin dan kelapa bakar. Dalam sekali aplikasi, tikus yang dapat terperangkap dapat mencapai empat ekor. Perlakuan multiple live trap dengan umpan ikan asin berbeda sangat nyata dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah tikus yang tertangkap dibanding perlakuan perangkap yang lainnya. Sedangkan aplikasi multiple live trap dengan umpan kelapa bakar dan selai kacang, serta single live trap dengan umpan selai kacang, kelapa bakar, dan ikan asin tidak memberikan pengaruh yang nyata. Jumlah tikus yang tertangkap dari perlakuan tersebut tidak melebihi jumlah tikus yang tertangkap dari aplikasi multiple live trap dengan umpan ikan asin. Kombinasi perangkap dan umpan yang paling disukai tikus adalah perangkap multiple live trap dengan umpan ikan asin. Ikan asin yang digunakan sudah mengeluarkan bau yang tajam karena sebelumnya dibungkus kertas koran selama 3 hari agar pembusukan lebih cepat terjadi. Tikus yang didapat dari aplikasi kombinasi perangkap dan umpan ini sebanyak 29 ekor. Hal ini pula yang menjadi alasan utama bagi sebagian warga di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang untuk menggunakan jenis perangkap ini sebagai tindakan pengendalian tikus di
permukiman. Kombinasi perangkap multiple dan kelapa bakar juga dapat menjadi alternatif pengendalian tikus di permukiman. Hal ini dikarenakan umpan kelapa bakar tidak mengeluarkan bau busuk menyengat seperti ikan asin, tetapi justru mengeluarkan bau yang harum, sehingga dapat menarik perhatian tikus dari jarak yang cukup jauh. Tabel 1. Pengaruh faktor kombinasi perangkap terhadap rata-rata jumlah tikus yang tertangkap Kombinasi Perangkap
Rerata tikus yang tertangkap
SLT – Selai Kacang
0,03333 b
SLT – Kelapa bakar
0,02500 b
SLT – Ikan Asin
0,04167 b
MLT – Selai Kacang
0,01667 b
MLT – Kelapa Bakar
0,10000 b
MLT – Ikan Asin
0,24167 a
Hasil tangkapan tikus terbanyak terdapat di Daerah Sindang Barang yaitu 23 ekor, lalu diikuti Balio sebanyak 19 ekor, Cibanteng 10 ekor, dan Ciledug 3 ekor. Daerah Sindang Barang merupakan daerah yang dekat dengan persawahan. Pada saat melakukan pengamatan, sawah di daerah tersebut sudah mengalami masa panen. Hal ini mungkin menjadi penyebab migrasinya tikus dari sawah ke permukiman penduduk karena persediaan makanan di sawah sedikit. Di Daerah Cibanteng, dan Balio merupakan daerah kost, kurang terjaga kebersihannya, banyak terdapat pekarangan, dan lokasinya dekat dengan sawah. Sedangkan di Daerah Ciledug, lingkungannya cukup terawat, kebersihan terjaga, tidak terlalu padat penduduknya (dalam satu rumah umumnya terdapat 4-5 anggota keluarga), dan masyarakatnya peduli akan kesehatan lingkungan, sehingga populasi hama tikus tidak terlalu tinggi.
Tabel 2 Persentase keberhasilan pemerangkapan kedua jenis perangkap pada empat lokasi yang berbeda Lokasi
Keberhasilan Pemerangkapan (%)
SindangBarang
12,8
Cibanteng Balio Ciledug
5,6 10,6 1,7
Aplikasi perangkap single yang cukup efektif adalah kombinasi single live trap dengan ikan asin. Ikan asin yang digunakan dalam perlakuan ini sama dengan ikan asin yang dikombinasikan multiple live trap. Namun bedanya, single live trap ini hanya mampu menangkap satu ekor tikus dalam sekali aplikasi, dan kurang efektif untuk menangkap tikus yang berukuran besar seperti tikus wirok (Bandicota indica) dan tikus riul (R. norvegicus). Tabel 3 Pengaruh faktor lokasi terhadap jumlah tikus yang tertangkap Lokasi
Rerata tikus
Sindang Barang
0,12778 a
Cibanteng
0,05556 ab
Balio
0,10556 a
Ciledug
0,01667 b
Berdasarkan hasil pemerangkapan yang dilakukan pada setiap time series, dapat diketahui bahwa jumlah tikus yang tertangkap semakin sedikit dari waktu ke
waktu di setiap lokasi, kecuali di Cibanteng. Penurunan grafik ini menunjukkan adanya pengaruh sifat jera perangkap (trap shyness), yaitu kejadian di mana tikus tidak mau masuk ke dalam perangkap yang telah disediakan. Hal ini berhubungan dengan sifat genetik tikus. Pada awal pemerangkapan tikus mudah ditangkap, tetapi pada pemerangkapan berikutnya tikus sulit tertangkap (Priyambodo 2003). Tikus yang telah terperangkap sebelumnya telah mengeluarkan alert hormone sebagai tanda bahaya kepada tikus lainnya, sehingga tikus lainnya tidak mau masuk ke dalam perangkap yang sama. Di Daerah Cibanteng, tikus yang tertangkap pada time series ke 2 tidak mengalami penurunan. Hal ini disebabkan pengaruh jera umpan tetap terjadi, tetapi bukan pada titik sama, melainkan titik yang berbeda pada setiap rumah. Sedangkan di Sindang Barang, Balio, dan Ciledug, penurunan jumlah tikus yang tertangkap sudah terlihat dari setiap time series. Grafik hasil tangkapan tikus pada setiap time series dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Jumlah tikus yang tertangkap dari hasil pemerangkapan setiap time series di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang Penyebaran spesies hama tikus yaitu tikus sawah (R. argentiventer), tikus pohon (R. tiomanicus), tikus rumah (R. rattus), tikus ladang (R. exulans), dan tikus riul (R. norvegicus) umumnya menyebar, tetapi pada permukiman yang cukup terawat dan jauh dari sawah dan pekarangan, hanya dijumpai tikus rumah (R. rattus).
D.
Hasil Perlakuan Rodentisida Perlakuan rodentisida cukup efektif dilakukan di Ciledug dengan rodentisida
berbahan aktif bromadiolon dan brodifakum, sedangkan untuk Daerah Cibanteng dan Balio, perlakuan rodentisida kurang efektif, dan di Sindang Barang sangat tidak efektif. Hal ini dikarenakan Daerah Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio merupakan kawasan yang cukup terbuka dan dekat dengan pekarangan. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketertarikan tikus dalam mengonsumsi rodentisida karena banyak faktor luar yang mempengaruhinya. Sebaliknya, di Ciledug merupakan kawasan yang cukup mewah bila dibandingkan dengan ketiga kawasan tersebut. Lokasinya tertutup dan pengaruh faktor luar sangat kecil, sehingga ketertarikan tikus untuk mengonsumsi rodentisida cukup tinggi. Kandungan bahan aktif dan umpan dalam rodentisida tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah konsumsi rodentisida oleh tikus. Hal ini dibuktikan dengan jumlah konsumsi kedua rodentisida oleh tikus yang tidak terlalu besar. Jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus dengan interaksi antara jenis rodentisida dan lokasi perlakuan di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus dengan interaksi antara jenis rodentisida dan lokasi perlakuan di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang
Pengaruh faktor lokasi terhadap jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Pengaruh faktor lokasi terhadap jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus Lokasi
Rerata konsumsi rodentisida
Sindang Barang
0,0000 b
Cibanteng
0,0974 b
Balio
0,0363 b
Ciledug
2,3695 a
Selama dilakukan survei, belum pernah ada masyarakat yang menggunakan jasa pembasmi hama atau pest control untuk mengendalikan hama di rumahnya. Hal ini mungkin disebabkan faktor ekonomi yang kurang memadai. Ketidakmampuan masyarakat dalam membayar jasa pest control menjadi masalah utama. Oleh karena itu, masyarakat di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Ciledug lebih mengutamakan teknik pengendalian dengan caranya sendiri seperti sanitasi, fisik mekanik, dan kimiawi. Jumlah konsumsi rodentisida pada perlakuan di Daerah Sindang Barang adalah nol. Di Daerah Cibanteng mengalami kenaikan pada time series kedua, kemudian menurun pada time series ketiga. Di Daerah Balio, jumlah konsumsi rodentisida pada time series kedua mengalami penurunan dan meningkat pada time series ketiga. Sedangkan di Ciledug, jumlah konsumsi rodentisida dari setiap time series mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan pada setiap lokasi sangat mempengaruhi. Pengaruh faktor lingkungan di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio cukup besar, sehingga pengaruh jera umpan (bait shyness) antar perlakuan relatif kecil. Sedangkan di Ciledug, pengaruh lingkungan relatif kecil,
sehingga sifat jera umpan tikus dapat diketahui secara langsung. Jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus pada setiap time series dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22 Grafik jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus pada setiap lokasi
PEMBAHASAN UMUM Kehadiran dan aktivitas hama di permukiman memang menjadi masalah bagi penghuni rumah, karena hama tersebut dapat menimbulkan dampak yang negatif diantaranya
penyakit
berbahaya,
rusaknya
perabot
rumah
tangga,
dan
ketidaknyamanan tempat tinggal. Permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya hama permukiman dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu berdasarkan tingkat bahaya, kerugian, atau gangguan yang kemungkinan dapat ditimbulkan oleh hamahama tersebut (Sigit 2006). Contoh terjadinya kasus demam berdarah. Selanjutnya, berdasarkan tingkat populasi hama-hama tersebut di lingkungan permukiman. Terakhir, berdasarkan tingkat toleransi pemukim terhadap keberadaan hama di lingkungannya. Dalam hal ini terkait dengan nilai ambang toleransi pemukim terhadap keberadaan hama di lingkungan sekitarnya. Suatu keadaan dapat menjadi masalah bagi seseorang tetapi tidak bagi orang lain. Tempat yang disukai oleh hama diantaranya kamar tidur, kamar mandi, dan selokan (Gambar 9). Lokasi-lokasi tersebut cukup mendukung untuk perkembangan
hama karena biasanya tempat tersebut merupakan tempat beraktivitas dan tempat pembuangan. Timbulnya berbagai macam hama di permukiman dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu makanan, sampah, lingkungan yang kotor, dan selokan. Sisa makanan yang tercecer di lantai dapat menjadi pemicu datangnya hama (Gambar 10), misalnya ceceran makanan yang manis di lantai dapat mendatangkan semut dan lalat. Ketersediaan makanan yang berlimpah bagi hama serta kondisi lingkungan yang tidak sehat mendukung perkembangan populasi hama. Kondisi rumah dan lingkungan yang kurang baik dapat memicu perkembangan populasi hama. Kondisi rumah yang kurang baik diantaranya lembab, kurang ventilasi, kotor, kurang cahaya, dan penuh dengan barang yang tidak tertata rapi. Semua kondisi tersebut sangat disukai oleh hama. Selain itu, kondisi di sekitar lingkungan permukiman yang padat penduduk, banyak sampah, selokan tidak lancar dapat menjadi pemicu munculnya hama. Berbagai tindakan pengendalian telah dilakukan diantaranya dengan sanitasi lingkungan, kimiawi, maupun fisik mekanik. Sanitasi lingkungan diantaranya melakukan penguburan barang bekas untuk menghindari hama nyamuk dan tikus, membersihkan selokan, dan membersihkan sampah di sekitar permukiman. Pengendalian kimiawi yang dilakukan misalnya dengan aplikasi pestisida untuk hama tertentu, misalnya nyamuk, kecoa, lalat, dan tikus.
Berdasarkan hasil survei,
masyarakat lebih menyukai melakukan pengendalian dengan sanitasi lingkungan. Tindakan pengendalian ini dilakukan untuk hama seperti nyamuk, kecoa, dan tikus. Alasan masyarakat menggunakan teknik pengendalian sanitasi karena biayanya murah dan mudah dilakukan Penggunaan pestisida cukup banyak ditemukan di masyarakat, tetapi ada sebagian warga yang tidak mau mengaplikasikan pestisida di rumahnya. Hal ini dikarenakan pestisida akan berdampak bagi anggota keluarganya. Selain itu, mereka juga khawatir pestisida dapat meracuni hewan bukan sasaran apabila dikonsumsi. Alasan penggunaan pestisida karena biayanya relatif terjangkau dan mudah diaplikasikan.
Bentuk formulasi pestisida yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah cair (Gambar 11). Masyarakat banyak menggunakan pestisida dalam bentuk cair dengan alasan efektivitas, kemudahan dalam penyimpanan, kemudahan aplikasi, keamanan, dan biaya (Wirawan 2006). Dalam mendapatkan pestisida, masyarakat biasanya mendapat rekomendasi dari tetangga, teman, dan pengalaman pribadi (Gambar 12). Setelah mendapatkan rekomendasi jenis pestisida yang tepat, mereka langsung mencarinya di toko terdekat. Pada umumnya aplikasi pestisida dilakukan pada malam hari karena hama permukiman sebagian besar pada aktif pada malam hari (Gambar 13). Pada umumnya, masyarakat kurang memperhatikan cara aplikasi yang tepat dari suatu jenis pestisida tertentu (Gambar 14). Hal ini disebabkan kurangnya tingkat pendidikan dan kepedulian akan kesehatan diri sendiri dan lingkungan. Selain itu, sebagian besar masyarakat juga tidak memperhatikan aspek penyimpanan pestisida setelah digunakan (Gambar 15). Di Daerah Bogor, pestisida kebanyakan disimpan di dalam rumah seperti kolong tempat tidur, dapur, dan ruang keluarga. Sedangkan di Ciledug, masyarakatnya cukup memperhatikan dampak dari pestisida tersebut, sehingga mereka menyimpan dengan lebih hati-hati, seperti di luar rumah, garasi, dan ada pula yang menyimpan di gudang. Teknik pengendalian yang dilakukan untuk mengendalikan tikus yaitu dengan menggunakan perangkap hidup (multiple live trap) dan lem tikus (sticky trap). Perangkap hidup digunakan karena murah harganya, mudah didapat, dan efektif karena dalam sekali aplikasi mampu menangkap lebih dari satu ekor tikus. Sedangkan lem tikus cukup banyak digunakan karena tidak berbau, mudah dalam aplikasi, dan harganya murah. Sebagian besar masyarakat lebih menyukai menggunakan perangkap tikus dibanding dengan menggunakan racun tikus. Hal ini karena bila menggunakan racun tikus maka bangkai tikus yang mati tidak terlihat sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap dan sulit untuk ditemukan. Selama dilakukan survei, belum pernah ada masyarakat yang menggunakan jasa pembasmi hama atau pest control untuk mengendalikan hama di rumahnya. Hal ini mungkin disebabkan faktor ekonomi yang kurang memadai. Ketidakmampuan
masyarakat dalam membayar jasa pest control menjadi masalah utama. Oleh karena itu, masyarakat di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Ciledug lebih mengutamakan teknik pengendalian dengan cara seperti sanitasi, fisik mekanik, dan kimiawi. Tikus hasil pemerangkapan yang dilakukan di Sindang Barang cukup efektif, yaitu 23 ekor, namun semua tikus tersebut belum sempat diidentifikasi, sehingga belum diketahui secara pasti jenis tikus apa saja yang tertangkap. Hasil perlakuan rodentisida justru berlawanan dengan perlakuan perangkap. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ada satupun rodentisida yang dimakan oleh tikus selama aplikasi. Hasil pemerangkapan di Cibanteng menunjukkan bahwa tikus yang tertangkap sebagian besar adalah tikus rumah (R. rattus) dengan peletakan titik lokasi perangkap yang berbeda-beda seperti di pekarangan, dekat lokasi pemancingan, dan dapur rumah. Tikus pohon (R. tiomanicus) didapat dari peletakan perangkap di pekarangan dekat dengan kolam pemancingan, sedangkan tikus riul (R. norvegicus) didapat dari peletakan perangkap di kamar mandi. Hasil perlakuan rodentisida di Cibanteng tidak terlalu berbeda nyata dengan daerah Sindang Barang, karena hanya sedikit rodentisida yang dimakan dan ada beberapa rodentisida yang hilang. Pada perlakuan perangkap di Balio, tikus yang paling banyak tertangkap adalah tikus rumah (R. rattus) dengan jumlah total sebanyak 8 ekor. Lokasi pemerangkapannya pun berbeda-beda yaitu dapur, ruang makan, ruang tamu, dan teras rumah. Tikus pohon (R. tiomanicus) didapat dari hasil pemerangkapan di dapur, ruang makan, dan pekarangan rumah. Tikus ladang (R. exulans) didapat dari hasil pemerangkapan di pekarangan rumah. Sedangkan tikus sawah (R. argentiventer) didapat dari hasil pemerangkapan di teras rumah. Hasil pemerangkapan di daerah Ciledug menunjukkan bahwa tikus yang tertangkap hanya tikus rumah (R. rattus) yang terperangkap di dapur dan pekarangan rumah. Hasil perlakuan perangkap di daerah Balio juga tidak berbeda nyata dibanding daerah sebelumnya yaitu Sindang Barang dan Cibanteng. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah rodentisida yang dimakan, walaupun ada sebagian rodentisida yang hilang. Pada tempat aplikasi rodentisida yang hilang, terdapat tanda-tanda kehadiran tikus, sehingga jumlah
konsumsi dalam perhitungan dicantumkan bobot awal dikurangi bobot rodentisida dikali 25%. Sedangkan di Ciledug, aplikasi rodentisida sangat berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya rodentisida yang dikonsumsi oleh tikus, dengan satu rodentisida bromadiolon yang hilang. Jumlah konsumsi rodentisida yang dikonsumsi terbanyak terjadi pada perlakuan time series kedua, dan mengalami penurunan pada time series ketiga. Rendahnya jumlah rodentisida yang dikonsumsi oleh tikus dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor lingkungan. Faktor lingkungan sangat menentukan jumlah konsumsi rodentisida, karena lingkungan yang terbuka dapat mempengaruhi daya tarik umpan terhadap tikus. Hal ini dibuktikan dengan jumlah konsumsi yang rendah di daerah Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio. Daerah ini cukup terbuka, banyak terdapat semak dan pohon besar. Oleh sebab itu, ketertarikan tikus terhadap rodentisida sangat kecil. Sedangkan di Ciledug merupakan daerah yang cukup padat dan tertutup, tidak banyak pohon besar, maupun semak. Hal ini dapat memicu ketertarikan tikus terhadap rodentisida dalam mengkonsumsinya. Oleh sebab itu, aplikasi rodentisida di permukiman yang relatif terbuka kurang efektif.
KESIMPULAN
Persepsi masyarakat terhadap hama permukiman berbeda-beda. Masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan yang tinggi lebih peduli terhadap gangguan hama permukiman dibandingkan yang rendah. Pengendalian tikus di permukiman dengan menggunakan multiple dan single live trap dengan umpan ikan asin cukup efektif. Teknik pengendalian rodentisida yang efektif dilakukan di daerah yang tidak terbuka. Jumlah tangkapan tikus terbanyak didapat di Sindang Barang dan jumlah konsumsi rodentisida terbanyak terjadi di Ciledug.
Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai preferensi umpan dan jenis rodentisida lain, serta modifikasi jenis perangkap, dan inovasi teknik pengendalian hama permukiman yang efektif dan ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
Chalidaputra M. 2007. Pengenalan dan pengendalian hama permukiman. www. Hama permukiman. mht [31 Mei]. Dadang. 2007. Bahan Kuliah Pestisida dan Teknik Aplikasi (Insektisida). Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agromedia Pustaka. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. [terjemahan]. Van der laan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van hoeve. Martono E. 2003. Pemahaman tentang hama: batasan dan arti. Kuliah dasar-dasar perlindungan tanaman. Meehan AP. 1984. Rat and Mice, Their Biological and Control. East Griendstead : Rentokill limited. Mutiarani H. 2009. Perancangan dan Pengujian Perangkap, Pengujian Rodentisida dalam Pengendalian Tikus Pohon (Rattus tiomanicus), Tikus Rumah (Rattus rattus diardii), Tikus Sawah (Rattus argentiventer) di Laboratorium [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Praja I. 2007. Upaya Pengendalian Serangga, Rayap, dan Tikus di Lingkungan Permukiman maupun Komersial. Medan: Mabindo. Priyambodo S. 2006. Tikus. Di dalam Singgih HS dan Upik KH, editor. Hama Permukiman Indonesia: Pengenalan, biologi, dan pengendalian Bogor: Unit Kajian dan Pengendalian Hama Permukiman, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hlm 195-258. Priyambodo S. 2003. Swadaya.
Pengendalian Hama Tikus Terpadu.
Jakarta: Penebar
Sigit SH. 2006. Masalah hama permukiman dan falsafah dasar pengendaliannya. Di dalam: Singgih HS dan Upik KH, editor. Hama Permukiman Indonesia: Pengenalan, biologi, dan pengendalian Bogor: Unit Kajian dan Pengendalian Hama Permukiman, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hlm 1-13.
Lampiran 1 SURVEI PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN (PERSEPSI) MASYARAKAT TERHADAP KEHADIRAN HAMA PERMUKIMAN Kota Kotamadya/Kabupaten Tanggal wawancara Waktu wawancara
: : : :
KARAKTERISTIK RESPONDEN Nama : Umur : Alamat : Pendidikan : ( ) Tidak sekolah/tidak tamat SD ( ) SD ( ) SMP ( ) SMA ( ) Perguruan Tinggi Pekerjaan
Pendapatan
:( ( ( ( :( ( ( ( ( (
) PNS ) Swasta ) Pensiunan ) Dll ) < 1.000.000 ) 1.000.000-2.000.000 ) 2.000.000-3.000.000 ) 3.000.000-4.000.000 ) 4.000.000-5.000.000 ) > 5.000.000
PENGETAHUAN HAMA PERMUKIMAN 1. Apa yang Anda ketahui tentang gangguan yang disebabkan oleh hama permukiman? ……………………………………………………………………………… 2. Jenis hama permukiman seperti apa yang Anda ketahui? (jawaban boleh lebih dari 1) a. Kecoa f. Rayap b. Nyamuk g. Tungau c. Kutu (manusia, anjing, kucing) h. Caplak d. Laba-laba i. Semut e. Lalat j. Tidak menjawab 3. Apakah hama permukiman berikut ini terdapat di rumah Anda? a. Kecoa f. Rayap b. Nyamuk g. Tungau
c. Kutu (manusia, anjing, kucing) h. Caplak b. Laba-laba i. Semut c. Lalat j. Tidak menjawab 4. Hama apa yang paling banyak terdapat di rumah/tempat kerja Anda? a. Kecoa f. Rayap b. Nyamuk g. Tungau c. Kutu (manusia, anjing, kucing) h. Caplak d. Laba-laba i. Semut e. Lalat j. Tidak menjawab 5. Hama permukiman apa yang sering dikendalikan? a. Kecoa f. Rayap b. Nyamuk g. Tungau c. Kutu (manusia, anjing, kucing) h. Caplak d. Laba-laba i. Semut e. Lalat j. Tidak menjawab 6. Di mana Anda melihat hama tersebut? a. Kamar tidur b. Kamar mandi c. Dapur d. Tempat sampah e. Selokan f. ………………….. g. Tidak menjawab 7. Menurut Anda, apakah yang menyebabkan hama-hama tersebut muncul? a. Makanan b. Sampah c. Tetangga d. Lingkungan yang kotor e. dari luar rumah f. Tidak menjawab 8. Apakah menurut Anda hama permukiman tersebut cukup meresahkan? a. Ya b. Tidak 9. Kerugian apa yang dapat ditimbulkan karena adanya hama permukiman? ……………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………………. 10. Tindakan apa yang Anda lakukan ketika mengetahui kehadiran hama permukiman? …………………………………………………………………………… 11. Apakah Anda mengetahui musuh alami dari hama-hama tersebut? a. Ya b. Tidak 12. Apakah hewan yang berguna untuk mengendalikan hama permukiman? 13. a. Kucing b. Ular c.……………….. d. Tidak menjawab
14. Apakah Anda pernah menggunakan pestisida/bahan kimia untuk mengendalikan hama permukiman? b. Ya b. Tidak Jika ya, jenis pestisida/bahan kimia seperti apa yang biasa Anda digunakan? a.cair b.padat c.serbuk 15. Dari mana Anda mengetahui pestisida tersebut? a. Suplier f. Penyuluh b. Tetangga g. Majalah/brosur c. Teman h. Radio d. Toko kimia i. Pengalaman e. TV j. …………………. 16. Apakah dalam penggunaannya sesuai dengan aturan pakai? a. Ya b. Tidak 17. Kapan Anda menggunakan pestisida tersebut? a. Pagi b. Siang c. Malam d. ……………….. 18. Di mana Anda menyimpan pestisida tersebut? a. Dalam rumah b. Luar rumah c. Dapur 19. Apakah Anda juga sering menggunakan perangkap? a. Ya b. Tidak Jika ya, jenis perangkap seperti apa yang biasa Anda gunakan? a. Perangkap mati b. Perangkap hidup c. Lem tikus d. ………………….. 20. Cara pengendalian lain yang sering Anda gunakan adalah (Jawaban boleh lebih dari satu) a. Pukul langsung b. Siram air panas c. Sanitasi d. ………………. 21. Apakah Anda pernah menggunakan jasa pest control (pembasmi hama)? a. Ya b. Tidak Jika ya, perusahan pest control apa yang biasa Anda gunakan? ……………………………………………………………………………. 22. Berapa biaya yang Anda keluarkan untuk mengendalikan hama permukiman tersebut? a. < 10.000 b. 10.000-50.000 c. > 50.000 d. ………………….
23. Apa saran Anda untuk mengatasi masalah tersebut? …………………………………………………………………………… ………….., September 2010
(
)
Lampiran 2
ANALISIS PERANGKAP FAKTORIAL RAL 3 FAKTOR (DATA TRANSFORMASI) Analisi Ragam (Anova) : SK
Db
Model
71
Lokasi Perangkap
F
Pr > F
1.76601671 0.02487347
1.01
0.4510
3
0.27597716 0.09199239
3.75
0.0109
5
0.89265943 0.17853189
7.27
<.0001
15
0.25575928 0.01705062
0.69
0.7911
Waktu
2
0.08971083 0.04485541
1.83
0.1616
Lokasi*Waktu
6
0.01511889 0.00251982
0.10
0.9961
Perangkap*Waktu
10
0.01966915 0.00196692
0.08
0.9999
Lokasi*Perangkap*Waktu
30
0.21712196 0.00723740
0.29
0.9999
Lokasi*Perangkap
KT
JK
Galat
648 15.90387097 0.02454301
Total
719 17.66988768
ANALISIS RODENTISIDA FAKTORIAL RAL 3 FAKTOR (DATA TRANSFORMASI) Analisis Ragam (Anova) : SK
db
KT
JK
Model
23 2.60724892 0.11335865
F
Pr > F
26.87 <0.0001
Rodentisida
1 0.011935
0.011935
Lokasi
3 2.519454
0.839818
Rodentisida*Lokasi
3 0.016428
0.005476
1.30
0.2760
Waktu
2 0.004436
0.002218
0.53
0.5918
Rodentisida*Waktu
2 0.005090
0.002545
0.60
0.5479
Lokasi*Waktu
6 0.015374
0.002562
0.61
0.7242
Rodentisida*Lokasi*Waktu
6 0.03452855 0.005754
1.36
0.2303
Galat
216 0.91114850 0.00421828
Total
239 3.51839742
2.83
0.0940
199.09 <0.0001