PERSAMAAN DAN NUANSA PERBEDAAN ANTARA CORAK PERADILAN TATA USAHA NEGARA PERANCIS, BELANDA DAN INDONESIA Dahnial Khumarga (Dekan FH UPH ) ABSTRACT If we divide the global system of law just into two great Systems, namely Anglo American Law System and Roman Germanic Law System - not including the Islamic Law System and the Socialist law System - then Indonesia supposed to be included into the latter. This has happened because it was the Dutch colonial regime who introduce the Continental European legal system to the Netherlands East Indies some 150 years ago, while the Netherlands belonged to the Roman Germanic Law system country. Because of the annexation by France in the early 19 th century, the Dutch legal system it self was very much influenced by the French legal frame work, which respectively derived it from the Roman Law System. This had happened not only to the Civil and Commercial Law since the early 14 th century, but later also the Administrative Law including the Administrative Courts procedure. As far as Administrative Courts Rules are concerned, the influence of the French system to Indonesia has not just been of historical matter. The advancement and superiority of the French Administrative Courts Regulations had motivated the Indonesian as well as the Dutch government and scholars to make (comparison) studies in France with the possibility to adopt and adapt the France system into their Administrative Courts system. Nevertheless, it doesn't mean that the Dutch as well as the Indonesian Administrative Courts Rules are just a copy of the French one.
I. Pendahuluan Pertumbuhan hukum secara timbal balik dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terletak di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, nilai, dan waktu. Oleh karenanya untuk memahami pertumbuhan hukum dalam suatu masyarakat, kita tidak dapat hanya mengandalkan diri dari pendekatan ilmu hukum saja, tetapi harus dibantu oleh aspek-aspek lain seperti ilmu sosial, politik, ekonomi, antropologi, sejarah, dan lain sebagainya.
Pembahasan menganai sejarah hukum memiliki arti penting dalam tatanan hukum nasional terutama dalam hal pengembangan hukum tidak saja membutuhkan bahan-bahan mengenai perkembangan hukum masa kini saja, melainkan juga bahan-bahan mengenai perkembangan hukum dari masa lampau. Melalui sejarah hukum akan dilihat berbagai aspek hukum Indonesia pada masa yang lalu, yang akan dapat memberikan bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah
11
serta institusi-institusi atau lembaga Hukum adalah gejala sejarah, hukum yang ada dewasa ini dalam artinya ia tunduk kepada suatu perkembangan dan pertumbuhan yang masyarakat Indonesia. sifatnyaberkesinambungan Perkembangan kebudayaan (continuous).Pengertian bertumbuh suatu bangsa berlangsung seperti suatu mengandung 2 hal, yakni unsur perubahan dan stabilitas. Sesuatu yang " spirale ontwikkeling", yakni tumbuh dan berkembang adalah ajeg bergerak ke tingkat yang lebih tinggi walaupun ia berubah. Hukum tumbuh dengan tetap mempertahankan ciri dan berkembang, namun antara dasarnya. Bertolak dari pendangan hukum dewasa ini dan hukum masa tersebut, usaha pengembangan hukum lampau ada suatu ikatan yang tidak yang menuju modernisasi hukum terputus, ada suatu kesinambungan hams berpedoman pada prinsip serta atau hubungan keajegan. Hukum pandangan hidup bangsa Indonesia sekarang dan dewasa ini, dan hukum sebagaimana terkandung dalam masa lampau membentuk suatu kesatuan dalam keajegan. (Roeslan falsafah Negara Pancasila. Saleh, 1993:2) Dalam pengembangan hukum nasional yang modern tetapi yang berakar di Indonesia, diperlukan pemahaman tentang perkembangan pemikiran-pemikiran mengenai hukum di negara kita sejak masa lampau, baik mengenai perkembangan hukumnya sendiri maupun institusiinstitusi atau lembaga hukumnya. Namun tak dapat disangkal, bahwa dengan berkembangnya waktu dan perubahan dalam masyarakat Indonesia, banyak lembaga-lembaga hukum yang tidak dapat dipertahankan lagi karena kurang cocok dengan kebutuhan-kebutuhan masa kini.
Dalam uraian sejarah hukum akan terlihat adanya kaidah dan lembaga dalam hukum Indonesia yang masih dapat dikembangkan sehingga sesuai dengan apa yang dikenal sebagai hukum modern saat ini. Salah satu lembaga hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat modern adalah Peradilan Tata Usaha Negara, yang keberadaannya di Indonesia masih relatif muda. Oleh karena itu di bawah ini akan diuraikan mengenai sejarah Peradilan Tata Usaha Negara, yang menurut sistim hukum Indonesia terdapat dalam lingkup Hukum Tata Usaha Negara (Administrative Law).
12
II. Sejarah peradilan Tata Usaha Negara II. 1. Perkembangan Peradilan Administrasi di Perancis. Sebelum melangkah lebih lanjut pada pembahasan mengenai sejarah pemikiran dan ide atau gagasan-gagasan sehingga terbentuk Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia , di bawah ini akan diuraikan mengenai Peradilan Administrasi Perancis. Hali ini disebabkan kerena Peradilan Administrasi di Perancis inilah yang dipergunakan sebagai bahan perbandingan bagi para ilmuwan Hukum tata Usaha Negara Indonesia dalam mewujudkan Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Di samping itu dapat pula dikatakan, bahwa Peradilan Administrasi di Perancis merupakan cikal bakal Peradilan Administrasi di sebagian besar negara-negara dunia. Pada waktu kerajaan di bawah kekuasaan Raja Hugo Capet (kurang lebih tahun 967 AC ), dibentuk lembaga Curia Regis sebagai Dewan Raja. Peranan Curia Regis lebih nampak sewaktu Louis le Saint (12261270) memerintah, yaitu Curia Regis berperan sebagai pembantu Raja yang diberi wewenang: 1. Memberikan nasihat kepada raja, ketika menetapkan kebijaksanaan
berlakunya jenis mata uang. 2. Bertindak sebagai Mahkamah Banding terhadap putusan-putusan Hakim di daerah para feodal kecil. Pada masa monarki absolut, Curia Regis itu berubah menjadi Conseil du Roi sebagai badan penasihat Raja dalam masalahmasalah pemerintah, administrasi, dan keuangan. Pada saat Louis XIV memerintah, ke dalam Conseil du Roi dimasukkan beberapa orang ahli yang menjalankan fungsi yang ebrbedabeda dalam beberapa formasi. Salah satu formasi itu disebut Le Conseil d'Etatprive oudesparties, yang diberi tugas yurisdiksional. (Sjachran Basah, 1985:119). Pada tahun 1789 pecahlah Revolusi Perancis yang menentang kesewenang-wenangan raja. Rakyat menuntut persamaan hak dengan tidak melihat kedudukan atau keturunan, sehingga timbul semboyan liberte, egalite dan fraternite (kebebasan, persamaan hak, dan persaudaraan). Setelah Revolusi Perancis, pada saat kekuasaan dipegang oleh Napoleon Bonaparte, yang terkenal dengan kodifikasinya yang disebut Code Napoleon, bangsa Perancis merasa sebagai bangsa yang paling maju di bidang hukum, hak dan keadilan. Kemajuan tersebut meliputi bidang peradilan, karena sistem dan pola
13
peradilan Perancis banyak diterapkan yang menjadi pemisah mutlak antar di berbagai negara Eropa, bahkan kekuasaan eksekutif administrasi sampai Yunani dan negara-negara dengan kekuasaan yudikatif ( Trias Politika dari Montesquieu). Francophone di benua Afrika. Selanjutnya untuk menghindarkan kesewenang -wenangan raja terulang kembali, Napoleon Bonaparte pada tahun 1799 mengubah lembaga Conseil du Roi (Dewan Penasihat Raja) menjadi Conseil d'Etat (Dewan Penasihat Negara), yang bertugas utama memberikan nasihat kepada pimpinan negara, agar kesewenangwenangan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan (administrasi negara) tidak terulang kembali. Selanjutnya melalui berbagai perkembangan, antara lain perkembangan yang semula berfungsi tunggal sebagai penasihat pimpinan negara, kemudian berfungsi ganda sebagai penasihat dan berfungsi yudikatif. Akhirnya Conseil d'Etat berfungsi sebagai puncak dari lembaga peradilan administratif/tribunal administratif ( Baharuddin Lopa & Andi Hamzah, 1991:24-25 ). Perkembangan Conseil d'Etat menajdi puncak dari badan-badan peradilan administrasi yang muncul sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan menjalankan suatu pemerintahan yang baik, merupakan suatu konsekuensi logis dari ketentuan hukum dasar yang berlaku di Perancis sejak Revolusi
Untuk menampung pengaduan-pengaduan terhadap pelaksanaan tugas administrasi, maka di lingkungan Conseil d'Etat dibentuk suatu Comite de Contentiex ( Panitia Perselisihan ) yang kemudian berfungsi dalam bidang yudikatif. Comite de Contentiex merupakan cikal bakal lembaga yudikatif dalam bidang administrasi yang bertujuan untuk menampung pengaduan-pengaduan yang menyangkut bidang administrasi dan mengusulkan bentuk penyelesaiannya. Lembaga inilah yang mendasari keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia yang dibentuk untuk menyelesaikan dengan seadil-adilnya dan secepat-cepatnya, berdasarkan hukum yang berlaku sebagaimana sewajarnya dalam negara hukum. Sengketa antara pemerintah dengan anggota masyarakat yang kemungkinan timbul dalam rangka usaha pemerintah menata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Jadi di Perancis, lembaga peradilan administrasi banyak mememgang peranan dalam kehidupan ketatanegaraan sehari-hari. Fungsi peradilan administrasi ialah
14
menangani persoalan (hukum) yang terjadi antara pemerintah di satu pihak dengan warganya di pihak lain. Hal ini juga merupakan fenomena yang biasa terjadi di beberapa negara Eropa Barat, bahkan di benua Afrika seperti misalnya Aljazair dan Maroko. 11.2. Perkembangan Peradilan Administrasi di Belanda. Kondisi seperti ini juga sudah membudaya di negara Belanda, negara yang pernah menjajah Indonesia hingga kurang lebih 350 tahun lamanya. Setelah tahun 1848 dalam Grondwet Negara Belanda berdasarkan pasal 163 ayat 2 telah ditetapkan, bahwa sengketa wewenang antara administrasi dengan kekuasaan kehakiman akan diatur dengan Undang-undang. Ketentuan tersebut pada dasarnya sama dengan bunyi pasal 165 Grondwer Negara Belanda tahun 1815. Akan tetapi ternyata pasal 163 ayat 2 itu dalam kenyataannya tidak pernah dilaksanakan. Sehingga sampai dengan tahun 1887 Rajalah yang berhak memutuskan segala perselisihan di bidang pemerintahan. Namun kemudian kekuasaan raja itu menjadi terbatas sejak Grondwet tahun 1887, karena wewenang memutuskan perselisihan
tersebut diserahkan kepada Raad van State. Untuk keperluan itu dibentuklah Komisi Negara pada tahun 1894, yang menyebutkan perkara-perkara apa yang termasuk wewenang peradilan administrasi. Selanjutnya, karena dengan adanya Komisi Negara tersebut timbul banyak badan yang melakukan peradilan administrasi, maka pada tahun 1905 diajukan 3 Rancangan Undang-Undang yang isinya antara lain mengatur hukum acara administrasi dalam bentuk Wet Boek van Administratieve Rechtsvordering. Banyak timbul pertentangan terhadap rancangan undang-undang tersebut diatas, namun akhirnya pada tahun 1931 oleh J. Donner (selaku Menteri Kehakiman) dibentuk sebuah Komisi yang disebut Komisi Koolen pada tahun 1932. akhirnya Rancangan UU tersebut ditarik kembali, hingga kemudian pada tahun 1947 dibentuk Komisi Negara yqng diketuai oleh SJR de Monchy, komisi tersebut bertugas mencari dan menentukan hakekat dari peningkatan perlindungan hukum terhadap penguasa, tanpa mengubah apa yang telah ada sebagaimana telah terdapat perlindungan hukum yang dilakukan oleh hakim biasa, maupun melalui badan-badan tertentu, antara lain Raden van Beroep, Ambtenarengerechten dan raden van Beroep voor de Directe Belastingen.
15
Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa administratief beroep yang telah ada tetap dipertahankan. Dan ternyata hasil Komisi de Monchy itu merupakan hasil Komisi Koolen yang disempurnakan dengan memberikan klasifikasi bagi administratieve rechtspraak.
perlindungan hukum yaitu melalui: peradilan (hakim biasa), tribunal-tribunal administrasi (hakim administrasi) dan banding dalam pemerintahan sendiri (administratief beroep). Sehubungan dengan hal tersebut diatas, khususnya yang berhubungan dengan tribunal administrasi dan banding administrasi, Dari uraian tersebut diatas, maka menurut J. Van der Hoeven di amka dapat dikatakan bahwa sistem dalam praktek perlindunagn hukum itu Peradilan Administrasi di Belanda harus dilakukan melalui: agak berbeda dengan di Perancis. 1. Raden van Beroep, yang memutus Sebelum perkara masuk ke Peradilan segala perkara pelaksanaan Administrasi (administratieve jaminan sosial. Banding untuk rechspraak), maka perkara keperluan itu diajukan kepada administrasi diselesaikan terlebih Centrale Raad van Beroep yang dahulu melalui upaya administratif berkedudukan di Utrecht. (administratief beroep). 2. Ambtenarenge re cht en, yang memutus sengketa pegawai dengan Administratief beroep atau instatsi pemerintah atas dasar redres, ialah naik banding kepada Ambtenarenwet 1929, untuk tahap instansi pemerintah yang lebih tinggi banding diajukan kepada Centrale dan merupakan satu eselon atasan, Raad van Beroep. yang masih ada pada kesatuan 3. College van Beroep voor het administrasi yang sama. Sedangkan Bedrijfsleven, yang memutus administrastief rechspraak ialah suatu sengketa-sengketa tertentu antara cara mengajukan tuntutan melalui rakyat dengan badan usaha publik pengadilan (gewone rechter) atau berdasarkan Wet Administratieve kepada suatu badan khusus yang Rechspraak Bedrijfs Organisatie ditunjuk oleh Undang-undang atau ARBO 1954. ( Sjachran Basah, 1985: 127-128 ). 4. Afdeling Rechspraak van de Raad Selanjutnya dalam perkemvan State, yang memutus sengketabangan yang mutakhir di negara sengketa tertentu antara rakyat Belanda terdapat 3 macam dengan penguasa, sebagai akibat
16
dari ketetapan yang dibuat oleh alat-alat perlengkapan pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini diatur dalam Bab III Wet op de Raad van State jo Wet Administrative R e c h s p r a a k Overheidsbeschikkingen atau AROB ( S. 1975:284 ) yang mulai berlaku tanggal 1 Mei 1975 sebagai pengganti Wet Beroep Administrative Beschikkengen atau disingkat BAB). III. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia Di negara-negara yang telah maju, konsep tentang Welfare State dan perkembangan sosial telah sedemikian rupa sehingga mendesak pemikiran-pemikiran kembali mengenai Peradilan Tata Usaha Negara. Masalahnya adalah, peranan pemerintah yang bertambah besar dalam penciptaan Welfare State memerlukan kelincahan yang lebih besar daripada dalam suatu negara dimana pemerintah hanya bersikap sebagai polisi dan hanya bertindak atas permintaan perorangan atau apabila ada kepentingan yang dilanggar. Akan tetapi di lain pihak, terhadap kebebasan bertindak dan mengatur yang bertambah besar dalam negaranegara ini, perlu dipikirkan cara-cara tepat agar dapat dipelihara keseimbangan antara kepentingan
umum dan kepentingan warga negara. Campur tangan yang lebih besar dalam kegiatan-kegiatan kehidupan masyarakat sebenarnya merupakan masalah di negara-negara berkembang, di mana wewenang untuk mengatur dirasa sangat diperlukan untuk dapat menyelenggarakan pembangunan di segala bidang dalam rangka pembangunan nasional. Namun di negara-negara berkembang yang menunjang tinggi paham negara hukum, dirasakan perlunya mencari cara yang di satu pihak dapat menjamin wewenang bertindak dan mengatur dari pemerintah, dan di lain pihak dapat menjamin bahwa wewenang bertindak dan mengatur yang kian bertambah itu tidak sampai melanggar hak-hak asasi warga negara. Di negara Republik Indonesia kecendrungan akan pemeliharaan keseimbangan tersebut sudah diletakkan dasar-dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 10 ayat 1 UU tersebut menentukan, bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan Milker, d. Peradilan Tata Usaha Negara.
17
Selanjutnya Ketetapan MPRS Nomor 1I/MPRS/1960 menetapkan diadakannya Peradilan Administratif. Kemudian ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam tahun 1964 dengan diundangkannya UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan yang menjadi dasar hukum peradilan di Negara Republik Indonesia tercantum dalam pasal 24 UUD 1945 yaitu: 1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Iain-lain badan Kehakiman menurut Undang-Undang. 2. Susunan dan kekuasaan badanbadan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang. Selain itu pula keinginan untuk mewujudkan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dapat dijumpai dalam Ketetapan MPR Nomor IV/ MPR/1978 tenatng Garis-garis Besar Haluan Negara pada bagian dasar dan arah pembangunan serta pembinaan hukum, dengan kata-kata : " Mengusahakan terwujudnya Peradilan Tata Usaha Negara." Sesungguhnya niat untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara telah ada sejak Negara Republik Indonesia baru merdeka, yaitu terbukti dengan dicantumkannya •Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1945 mengenai Peraturan tentang Susunan dan kekuasaan Badan-Badan Kehakiman, yang dalam pasal 6 ayat 1 disebut dengan istilah Peradilan Tata Usaha Pemerintahan.
18
Namun akhirnya UU No. 19 Tahun 1948 dan UU No. 19 tahun 1964 tidak diberlakukannya lagi karena alasan politis. Peraturan lainnya yang memiliki arti penting dalam pembentukan PTUN adalah Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO) atau Peraturan Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Kehakiman, yaitu suatu peraturan produk kolonial yang belum pernah dicabut, jadi masih berlaku sampai sekarang berdasarkan Peraturan Peralihan pasal II UUD 1945. Keinginan membentuk Peradilan Tata Usaha Negara pernah dirumuskan juga dalam bentuk Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang sekarang bernama BPHN ( Badan Pembinaan Hukum Nasional ), pada tanggal 10 Januari 1966.
Pada tahun 1975, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung melakukan penelitian mengenai aspek pengaturan Peradilan Administrasi Negara dalam UndangUndang, dari pandangan-pandangan ahli di bidang Hukum Administrasi Negara dari masa ke masa, terutama pendapat ahli-ahli Indonesia. Kegunaan praktis penelitian adalah agar dapat terwujud Peradilan Administrasi yang memiliki wewenang konkrit dan tegas, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, serta bahan-bahan dan datadata yang diperoleh tersebut diharapkan dijadikan pedoman pengukuran yang akan memberikan manfaat kepada usaha penyempurnaan perundang-undangan di Indonesia, khususnya mengenai bentuk dan isi administrasi negara beserta pembentukan Undang-Undangnya. (Sjachran Basah, 1977:121-122). Keinginan untuk segera membentuk Peradilan Tata Usaha Negara ini dipertegas lagi dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI Soeharto di hadapan Sidang Pleno DPR pada tanggal 16 Agustus. Pidato ini direalisasikan ke dalam Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1978 tentang GBHN. (Benyamin Mangkoedilaga, 1983:40).
Final Draft RUU tentang PTUN pada tahun 1982 berada dalam penggodokan dan telah dibahas dalam forum DPR, namun karena keterbatasan waktu dan beratnya materi akhirnya DPR tidak dapat menyelesaikan pembentukan UndangUndang PTUN. Adanya keterlambatan dan kegagalan mengadakan suatu PTUN di Indonesia menurut Sunaryati Hartono bersumber pada pendapat dan kekhawatiran kalau-kalau (seperti halnya dengan perkembangan di Perancis, Belanda, Jerman dan negara-negara lain yang memiliki PTUN) pengadilan itu akan: 1. Merupakan manifestasi dari falsafah individualisme.sehingga bertentangan dengan Pancasila. 2. Merupakan pengawasan yang terlalu ketat terhadap kebijaksanaan lembaga-lembaga pemerintah sehingga akan sangat menghambat jalannya pemerintahan yang efektif dan efisien. 3. Menyulitkan pelaksanaan politik pemerintah, khususnya dalam hal pengambilan keputusan. Kekhawatiran ini sebenarnya tidak beralasan, karena pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia tidak akan mencontoh belaka pada sistem Peradilan Tata Usaha Negara di negara lain, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan situasi
19
disesuaikan dengan kebutuhan situasi dan kondisi serta perkembangan di Indonesia, bahkan akan diciptakan sistem sendiri yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Akhirnya pada bulan April 1986 pemerintah sekali lagi menyampaikan Rancangan UndangUndang tentang PTUN yang telah disempurnakan kepada DPR masa bakti 1982-1987, dan pada tanggal 20 Desember 1986 DPR menyetujui RUU tersebut menjadi UndangUndang, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri baru terbentuk pada tahun 1991, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
penilaian (hukum) terhadapa tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu, yang tindakan hukumnya berupa Keputusan Tata Usaha Negara. (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya Peradilan Tata Usaha Negara adalah bertujuan utnuk mengatur hubungan antara pejabat pemerintah dengan warga negara, atau tepatnya adalah untuk melindungi warga negara dari perbuatan pemerintah/penguasa yang memiliki kecendrungan menyalahkan kekuasaannya ( onrechtmatige overheids daad; detournement de pouvoir). Perlindungan warga negara (individu) dari penguasa ini dilandasi sejarah masa lalu, tepatnya pada saat kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang raja, ratu, kaisar dan sebagainya, yakni negara yang membentuk monarki (absolut).
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang dilakukan oleh hakim-hakim yang khusus diangkat untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara, yang diajukan ke pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh orang atau Badan Hukum Perdata terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara mengadakan
IV. Penutup Berdasarkan uraian di muka mengenai perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimulai dengan perkembangan di Perancis sampai dengan keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, maka di bawah ini disimpulkan beberapa hal: 1. Keberadaan lembaga Peradilan Tata
20
adanya campur tangan pemerintah Usaha Negara di Indonesia pada yang begitu besar terhadap segala tahun 1991 tidak lepas dari keadaan kehidupan masyarakat. Campur di masa lampau yang memiliki nilai tangan yang besar dari pemerintah historis, yakni asal mula berdirinya tersebut seringkali menimbulkan lembaga Peradilan Administrasi benturan kepentingan antara (PTUN) di Perancis, walaupun kepentingan umum dengan kelandasan berdirinya lembaga pentingan warga negara sehingga PTUN tersebut berbeda. menimbulkan sengketa. Sengketa 2. Perbedaan landasan berdirinya tersebut diatasi melalui lembaga lembaga Peradilan Administrasi di Peradilan Tata Usaha Negara yang Perancis dengan di Indonesia memang berkompeten mengenai disebabkan oleh situasi dan kondisi hal tersebut. yang berbeda, yang antara lain 4. Peradilan Tata Usaha Negara di Indisebabkan oleh faktor-faktor donesia berdasarkan Undangideologis, politis, sosiologis, Undang Nomor 5 tahun 1986 budaya dan lain sebagainya. adalah Peradilan Administrasi yang memiliki corak tersendiri sesuai 3. Peradilan Administrasi di Perancis dengan ideologi dan budaya bangsa didirikan sebagai akibat dari Indonesia. Padahal timbulnya kekuasaan raja yang absolut dan Peradilan tersebut secara langsung kesewenang-wenangan raja, atau tidak langsung dibawa atau sehingga menimbulkan kediperkenalkan oleh penjajah tidakpuasan rakyat terhadap Belanda melalui peraturanpenguasa/raja. Akhirnya raja peraturan dan praktek peradilan membentuk lembaga penasihat administrasi yang pernah berlaku di raja, yang pada mulanya memiliki Indonesia sebagai wilayah Hindiatugas utama sebagai penasihat raja, Belanda. namun lama kelamaan akhirnya 5.Peradilan Administrasi yang berlaku berfungsi ganda sebagai lembaga di Belanda, seperti negara-negara penasihat raja sekaligus sebagai di Eropa Barat pada umumnya, lembaga yudikatif. sesungguhnya juga berkiblat pada Sedangkan keberadaan lembaga Peradilan Administrasi di Perancis Peradilan Tata Usaha Negara di yang merupakan cikal bakal Indonesia adalah sebagai tuntutan Peradilan Tata Usaha Negara di Negara Kesejahteraan ( Welfare seluruh dunia, termasuk Peradilan State ) sesuai dengan UUD 1945, Tata Usaha Negara Republik Indonesia. yang memiliki konsekuensi logis
21
DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pembinaan Hukum Nasional 7. Lotulung, Paulus Effendi, Beberapa (BPHN). Simposium Sejarah Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Hukum. Jakarta: Binacipta, 1976. terhadap Pemerintah. Jakarta: PT Buana Ilmu Poluler, 1986. 2. . Simposium Peradilan Tata Usaha Negara. 8. Mangkoedilaga, Benjamin,Le/wi'agO Bandung: Binacipta, 1977. Peradilan Tata Usaha Negara suatu Orientasi Pengenalan. 3. Basah, Sjachran. Laporan Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993. Penelitian Peradilan Administrasi Negara. Jakarta: Binacipta, 1977. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1991 tentang Pelaksanaan 4. . Eksitensi dan Peradilan Tata Usaha Negara. Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. lO.Saleh, Roeslan, Bahan Kuliah Bandung: Alumni, 1985. Sejarah Hukum. (4 eksemplar). 5. Khumarga, Dahnial, Sejarah Hukum Sipil di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis UPH, 1998. 6. Lopa, Baharuddin & Hamzah, Andi,
Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.
11. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.