PERLUASAN BANGUNAN PERUMAHAN SWADAYA SEBAGAI RUANG FUNGSI HUNIAN DAN USAHA KOTA MAKASSAR
EXPANSION OF SELF SUPPORTING HOUSING BUILDING AS A SPACE FOR DWELLING AND BUSSINESS FUNCTION IN MAKASSAR CITY
Sari Widya Ningsi, Shirly Wunas, Abdul Mufti Radja Bagian Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi: Sari Widya Ningsi Poso HP: 085241104537 Email:
[email protected]
Abstrak
Perluasan usaha dan perubahan fungsi ruang yang tidak terencana dalam sebuah hunian berdampak pada tidak jelasnya batasan ruang publik dan privat dan terjadi penurunan kualitas ruang. Penelitian ini bertujuan mengetahui perluasan ditinjau dari batasan privasi dan publik, aspek kualitas ruang, serta pola sirkulasi dan pergerakan antar fungsi ruang hunian dan usaha. Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif, pengumpulan data dilakukan melalui; observasi, wawancara , pengukuran ruang, sketsa denah dan kajian pustaka. Analisis data secara deskriptif eksploratif yang ditinjau dari privasi dan publik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perluasan rumah swadaya terdapat tiga kondisi yaitu; kearah depan dalam wilayah Damija, ke arah samping karena memanfaatkan luas pekarangan yang masih ada dan ke arah depan dan samping bangunan dengan memanfaatkan pekarangan dan Damija. Perubahan fungsi ruang meliputi perubahan ruang tamu yang berubah menjadi ruang usaha, dan fungsi ruang tamu tergabung dalam fungsi ruang keluarga. Penghuni perluasan rumah swadaya yang disebabkan adanya kegiatan usaha cenderung tidak dapat menikmati sirkulasi udara karena bukaan tertutupi oleh perluasan ruang untuk usaha. Perluasan rumah swadaya dengan kegiatan usaha rumah tangga, ditinjau dari pola sirkulasi terhadap aspek akses pivasi (hunian) dan aspek akses publik (usaha), memiliki dua pola sirkulasi, yaitu (i) sirkulasi dengan akses yang sama antara hunian dan usaha atau pola sistim sirkulasi bercampur, dan (ii) sirkulasi dengan akses yang berbeda antara hunian dan usaha atau pola sistem sirkulasi terpisah. Menambahkan fungsi usaha dalam perumahan swadaya berupa perluasan bangunan kearah depan dan samping bangunan masuk dalam kategori tidak aman dan nyaman bagi penghuni, hal itu disebabkan fungsi ruang yang bercampur antara hunian dan usaha menjadikan kualitas ruang menurun dan tingkat hirarkhi ruang dan batasan wilayah untuk ruang privasi tidak didefinisikan secara tegas. Kata kunci; rumah swadaya, perluasan dan perubahan fungsi ruang dan kualitas ruang
Abstract Unplanned expansion and change of space function in self-supporting houses are supposed having an impact on unclear-cut of public and privacy space limitation and declining of space quality as well. The purpose of this study is to observe the impact, based on privacy and public space limitation, quality of space, and the patterns of circulation and movement between space function for dweller and business. The method of the reseach is discriptive- exploratory, in which data are collected through observation, interviews, space measurement, sketch, and study of literature. Data are analised by using descriptive and explanatory method. The results indicated that there are three type of expansion of self-suppoting houses, namely; in front of the building toward Road of Width (ROW), along the side of the building because of making use of available land, and in front of and along the side of the building by making use of land and toward ROW. The changing of space function includes alteration of a living room to become a business room, dan function of living room is mergered with function of family room. Resident of the expansion of the self-supporting houses due to business activity tends not to be able to get benefit from air circulation because the open space is covered by the space expansion.for business. The expansion of self supporting houses with home-based enterprises, viewed from the pattern of circulation for aspect of privacy (residency) access and aspect of public (business) access, has two patterns of circulation, namely: (i) circulation with same access between dwelling and business, that is mixed circulation system pattern, and (ii) circulation with separated access between dwelling and business, that is separate circulation system pattern. Increasing the function of the business in self supporting houses by enlarging the building to the front of and along the side of the building is categorised as an un-safe and un-comfortable for inhabitant, that is because: mixed space function between residency and business creates the declining of space quality, and the level of space hierarchy and the limitation of the territory for not privacy space is not firmly defined. Keywords; self supporting housing, expansion and space function shift, space quality and circulation pattern
PENDAHULUAN Konsep rumah sebagai hunian dan tempat usaha, bukanlah hal yang asing bagi masyarakat, baik dari strata menengah ke bawah maupun strata menengah ke atas. Aplikasi dari penambahan fungsi usaha dalam rumah swadaya umumnya tidak direncanakan dari awal sejak di bangunnya hunian, sehingga berdampak pada tidak jelasnya batasan ruang publik dan privat. Kondisi tersebut terkait dengan tuntutan untuk memperoleh tambahan penghasilan rumah tangga, selain itu juga dipengaruhi ketersediaan ruang dalam setiap unit rumah yang dapat di jadikan sebagai wadah untuk membuka usaha. Purwantiasning (2010) menjelaskan mengenai ruang/tempat kerja bagi masyarakat miskin adalah suatu ruang yang sesuai dengan jenis pekerjaannya, ada aktifitas yang memerlukan tempat untuk berlindung, dan ada juga yang tidak memerlukannya. Tempat yang diperlukan tidak hanya ruang kerja saja tetapi juga untuk menyimpan barang atau hasil pekerjaannya. Agar tempat kerja tersebut mudah dikunjungi orang, maka biasanya tempat kerja tersebut terletak langsung di jalan atau di depan rumah. Karena tuntutan aktifitas hunian dan kebutuhan usaha berbasis rumah tangga, hunian tersebut akan berubah menjadi tidak nyaman utamanya pada tata bangunan rumah yang terletak di jalan utama dengan lokasi strategis pada kawasan sekitar pasar tradisional atau pada pasar informal, Sesuai Wunas (2011), kasus tersebut umumnya terdapat pada kawasan sekitar pasar tradisional atau pada pasar informal, serta pada permukiman padat yang terletak pada jalan arteri ataupun pada jalan kolektor Kota Makassar. Terdapat 86,7% pemilik memperbaiki rumah dalam kurun waktu 5 tahun, pengembangan/ renovasi rumah (menambah ruang) dilakukan tanpa didahului dengan disain. Pemilik memperbaiki rumah dengan cara 60% memakai jasa tukang, dan 40%
mempergunakan jasa kekerabatan keluarga/tetangga,
renovasi unit rumah menjadikan kavling terbangun tanpa garis jarak bebas samping dan garis bebas jarak belakang yang seharusnya terdapat minimal 60% ruang terbuka dan 8% tata hijau private untuk satu kavling perumahan. Taufikurrahman dkk (2010) menjelaskan dalam wewenang atas rumah, penghuni mengendalikan proses pengambilan keputusan utama dan bebas memberikan masukan dalam perencanaan dan perancangan pembangunan atau pengelolannya. Dalam hal ini pada kasus yang terjadi di lokasi penelitian, masyarakat memenuhi kebutuhan ruang aktifitas usahanya dengan memanfaatkan lahan yang ada untuk menambah ruang ke samping bangunan atau mengadakan perluasan ke arah depan bangunan bahkan merubah fungsi ruang hunian menjadi ruang usaha tanpa melalui perencanaan organisasi ruang. Ini yang menyebabkan
menurunnya kualitas ruang dan mulai tidak jelasnya batasan antara ruang publik (fungsi hunian) dan ruang privat (fungsi usaha). Kasus tersebut terjadi pada lokasi yang dijadikan obyek penelitian di sepanjang Jalan Keamanan dan Jalan Perdamaian di Kelurahan Karuwisi (Lokasi pasar informal Karuwisi), perumahan swadaya yang awalnya hanya sebagai fungsi hunian kini berubah menjadi deretan rumah yang memiliki fungsi hunian dan usaha. Beberapa penelitian sejenis yang terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian ini adalah; 1) Penelitian tentang konsep rumah toko oleh Purwantiasning (2010), mengkaji pro dan kontra terhadap konsep rumah toko. Akhir dari kajian ini mengusulkan konsep rumah-toko. 2) Penelitian yang mengkaji transformasi penggunaan ruang hunian akibat usaha berbasis rumah tangga. Mengkaji perubahan dari pola tatanan ruang rumah tinggal sebagai Akibat Kegiatan Industri Rumah Tangga. Penelitian ini dilakukan oleh Soegiono dkk, (2011). Penelitian tersebut terfokus pada analisis proses transformasi penggunaan ruang hunian pengrajin dengan usaha yang bertumpu pada rumah tangga. Jenis penelitian tersebut adalah penelitian kualitatif dengan populasi penelitian adalah perumahan dengan usaha berbasis rumah tangga (UBR). 3) Penelitian tentang Rumah yang berfungsi sebagai hunian dan laundry, terfokus pada analisis strategi terhadap privasi ruang sebagai tempat tinggal dan bekerja. Penelitian ini dilakukan oleh Melina, (2011). Hasil penelitian yang ditemukan adalah pengguna ruang dapat beradaptasi terhadap pemisahan fungsi ruang. Hasil penelitian tersebut adalah
rekomendasi pengaturan ruang dan pengaturan waktu penggunaan ruang oleh
penghuni. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perluasan bangunan rumah swadaya dan perubahan fungsi ruang untuk hunian dan usaha terhadap kenyamanan penghuni batasan privasi dan kualitas ruang dan menganalisis pola sirkulasi unit bangunan rumah swadaya terhadap fungsi hunian dan aktifitas usaha yang dapat mendukung kenyamanan penghuni.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Lokasi penelitian di Kelurahan Karuwisi, Kecamatan Panakkukang Kota Makassar dengan pertimbangan adalah 1) perumahan swadaya dan fungsi produktif tumbuh kuat, 2) perumahan swadaya terletak pada lokasi strategis yaitu terletak dalam kawasan pasar informal dan permukiman padat.
Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif yang dilakukan dengan survei pengamatan dan wawancara dengan orang yang memiliki pengetahuan tentang subjek yang diteliti (Hendri,2009). Populasi dan Sampel Populasi
penelitian ini adalah seluruh penduduk yang tinggal dalam perumahan
swadaya, dan yang mempunyai kegiatan usaha dalam rumah yang berlokasi di pasar informal Karuwisi, Sampel dalam penelitian ditentukan beberapa perwakilan dari populasi yang diinginkan untuk menggeneralisasi (Lincoln dkk,1985) kepada kepala keluarga dan pelaku usaha yang tinggal dalam perumahan swadaya dengan kondisi hunian mulai darurat, semi permanen dan permanen, dan terletak pada jalan arteri atau jalan kolektor. Jumlah responden
yang ditetapkan adalah 20 % dari
Arikunto,2010), yaitu 31 KK dari 155 jumlah KK
populasi (Sesuai
yang menempati 24 bangunan di
perumahan swadaya. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui; Kajian kepustakaan dan Penelitian lapangan dengan teknik pengumpulan data; observasi, wawancara , pengukuran ruang, sketsa denah dan kajian pustaka. Analisis Data Teknik analisis data berdasarkan tahap pencapaian tujuan penelitian, sebagai berikut: 1) analisis perluasan bangunan rumah dan kualitas ruangannya mempergunakan analisis perbandingan terhadap standard perumahan swadaya berdasarkan peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat, No.22/Permen/M/2008, 2) analisis pembentukan ruang privasi dan publik, mempergunakan analisis deskriptif, 3) analisis orientasi matahari, arah angin terhadap beberapa tipe perluasan dan pembentukan ruang mempergunakan analisis perbandingan terhadap teori perencanaan kualitas dari Lengen (2008), 4) analisis jenis material pembentukan ruang terhadap dinding penerimaan panas mempergunakan analisis deskriptif, ditinjau terhadap luas bidang penerima cahaya matahari langsung dan tidak langsung 5) pola akses penghuni dan pelaku usaha, serta pola pergerakan antar fungsi ruang mempergunakan analisis deskriptif yang ditinjau terhadap kenyamanan privasi dan publik.
HASIL Karakteristik Responden
Populasi yang menjadi responden adalah rumah hunian yang di jadikan tempat usaha tanpa perencanaan, rumah usaha yang terbentuk seperti ruko tidak termasuk dalam sampel responden. Dalam hal ini peneliti lebih melihat bentuk dan pola ruang yang tercipta karena adanya kebutuhan ruang lain untuk mendukung aktifitas selain hunian. Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja terhadap 31 responden yang menempati 24 bangunan hunian dan usaha. Dari 24 rumah swadaya yang dijadikan sampel populasi 79,2 % bertipe rumah panggung dan 20,8 % non rumah panggung. Perluasan atau penambahan bangunan rumah swadaya ditujukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan ruang baru yang diikuti dengan perubahan fungsi untuk ruang kegiatan usaha maupun untuk hunian. Perumahan swadaya yang dominan 79,2 % melakukan perluasan ruang usaha adalah kearah depan dalam wilayah Damija, dikarenakan keterbatasan lahan dan peluang menarik konsumen di sepanjang jalan. Namun demikian masih terdapat 16,6% perumahan swadaya yang memperluas ruang usaha ke arah samping karena memanfaatkan luas pekarangan yang masih ada. Sebanyak 4,2% memilih memperluas ruang usaha ke depan dan ke samping yang memanfaatkan pekarangan dan Damija. Perluasan bangunan rumah swadaya terhadap kenyamanan ruang diukur berdasarkan pemisahan ruang, pembentukan hirarkhi ruang, ruang teritori/privasi untuk pemilik ruang dan perubahan fungsi ruang, keamanan dan kesehatan penghuni. Pemisahan Ruang antara Hunian dan Usaha Terdapat 3 karakter pemisahan ruang pada Perumahan Swadaya, yaitu; 1) ruang hunian semi bercampur dengan ruang usaha (62,5%), 2) ruang hunian dan ruang usaha bercampur secara kuat (29,2%), 3) ruang hunian dan ruang usaha terpisah secara kuat (8,3%). Pemisahan ruang dengan elemen massif (54,16%), elemen non-massif (29,17%), dinding non-masif (16,67%) dan perluasan rumah yang tanpa elemen pemisah antar hunian dan usaha masih terdapat 16,67%.
Pembentukan Hirarki Ruang Sebanyak 20,8% perumahan swadaya memiliki hirarki ruang yang sangat privasi, sebanyak 20,8% perumahan swadaya memiliki hirarkhi ruang yang cukup privasi, dan 58,4% perumahan swadaya memiliki hirarki ruang tidak privasi.
Ruang teritori/privasi Umumnya perumahan swadaya 25% memiliki tingkat teritori primer, 25% perumahan swadaya memiliki tingkat teritori sekunder dan terdapat 50% perumahan swadaya yang tidak memiliki ruang teritori. Perubahan fungsi ruang Karakteristik perubahan fungsi ruang pada perumahan swadaya adalah sebanyak 14,3% mengubah area privat menjadi area publik, 14,3% mengubah area publik menjadi area privat dan sebanyak 71,4% mengubah fungsi ruang semi publik menjadi fungsi publik. Keamanan penghuni dan usaha Tingkat keamanan penghuni dan usaha dalam perumahan swadaya dengan tingkat keamanan tinggi hanya 29,16% dan tingkat keamanan rendah 70,84%, dengan demikian penambahan ruang dengan fungsi usaha masuk kategori tidak aman. Kesehatan penghuni Penambahan/ perluasan perumahan swadaya untuk fungsi usaha umumnya tidak dapat memenuhi kesehatan dari penghuninya, karena minimnya bukaan ventilasi pintu dan jendela, dan bukaan hanya terdapat dalam 1 bidang saja, sehingga tidak terdapat pengalirah udara ruang yang sehat. Perluasan ruang ditinjau dari kualitas ruang dari aspek sirkulasi udara Rumah swadaya yang memiliki luasan lubang ventilasi udara diatas standar minimum 5% dari luas lantai ruangan sebanyak 87,5% dan hanya 12,5% rumah swadaya yang memiliki luasan lubang ventilasi udara dibawah standar minimum 5% dari luas lantai ruangan. Perluasan ruang ditinjau dari pola sirkulasi dari aspek akses privasi(hunian) dan publik (usaha). Terdapat 2 pola sirkulasi yang terjadi di perumahan swadaya karena adanya kegiatan usaha rumah tangga, yaitu; a) akses menuju area privasi(hunian) dan akses menuju area publik(usaha) melalui bukaan pintu yang sama menjadikan sistim sirkulasi bercampur sebanyak 62,5% dan b) akses menuju area hunian dan akses menuju area usaha, melalui bukaan pintu yang berbeda menjadikan pola sirkulasi dengan sistim sirkulasi terpisah sebanyak 37,5%.
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa perumahan swadaya melakukan 3 kategori perluasan ruang usaha, yaitu; kearah depan dalam wilayah Damija, ke arah samping karena memanfaatkan luas pekarangan yang masih ada dan ke arah depan dan samping bangunan
dengan memanfaatkan pekarangan dan Damija. Pemisahan ruang hunian dan usaha semi bercampur, dominan terjadi di perumahan swadaya dengan tingkat hirarkhi ruang yang tidak privasi karena teritori yang tidak tegas. Perubahan fungsi ruang terjadi pada area privat menjadi area publik dan semi publik menjadi ruang dengan fungsi publik. Secara umum penambahan fungsi usaha dalam perumahan swadaya masuk dalam kategori tidak aman dan nyaman bagi penghuni. Aktivitas usaha yang bercampur dengan hunian cenderung tidak menikmati pengaliran udara yang sehat dalam rumah dengan tingkat kualitas ruang yang cukup rendah. Sesuai dengan pendapat Ahrentzen dalam Melina (2011), bahwa mekanisme pemanfaatan rumah sebagai tempat kerja, seharusnya mempunyai ruang secara terpisah untuk kegiatan hunian dan usaha. Namun pada kasus pemisahan ruang pada perumahan swadaya ruang hunian semi bercampur dengan ruang usaha sebanyak 62,5 % dengan karakteristik ruang hunian menjadi satu dengan ruang usaha dan kegiatan bertempat tinggal masih menjadi fungsi yang dominan (Silas dkk.,2000). Ruang hunian dan ruang usaha bercampur secara kuat (29,2%), dalam hal ini ruang hunian berada dalam satu ruang hanya dibatasi oleh partisi dan ruang hunian dan ruang usaha terpisah secara kuat (8,3%) ditandai dengan terpisahnya 2 aktifitas hunian dan usaha, dimana aktifitas hunian berada di lantai 2 dan aktifitas usaha berada di lantai 1. (Holliss,2012) Adapun material pemisahan ruang tersebut menunjukkan 3 kategori, yaitu; elemen masif (54,16%), elemen non-massif (29,17%) dan tanpa elemen pemisah (16,67). Kondisi tersebut adalah sesuai Lang (1987) yang mana pemisahan ruang dapat dilakukan dengan elemen massif ataupun dengan elemen pemisah yang mudah diangkat atau keduanya. Terkait dengan teori lang (1987) , tentang kategori pemisahan ruang antara Fixedfeature space, semi Fixed-feature space dan informal space, jenis bahan dinding pemisah antara hunian dan tempat usaha masuk ke dalam kategorinya. Pembentukan hirarki ruang seharusnya memberikan kesan privasi sebesar mungkin kepada penghuninya (Laurens, 2004). sebanyak 20,8% perumahan swadaya memiliki hirarkhi ruang yang sangat privasi. Karena antar ruang usaha dan ruang hunian terpisah secara tegas dibatasi elemen masif dan memiliki akses yang berbeda, terdapat tingkatan ruang mulai dari publik (penghuni, tamu hunian dan pembeli), semi publik (penghuni dan tamu) dan privat (penghuni/pemilik ruang), Sebanyak 20,8% perumahan swadaya memiliki hirarkhi ruang yang cukup privasi karena ruang usaha dan ruang hunian semi bercampur, memiliki akses yang sama namun masih ada pembatas antar ruang publik dan semi publik memakai elemen non-masif dan 58,4% perumahan swadaya memiliki hirarki ruang tidak privasi dikarenakan
ruang hunian diakses dari ruang usaha, tidak memiliki elemen pemisah ruang untuk aktifitas usaha dan hunian serta tidak terdapat pengaturan sequence karena kebutuhan privasi bukan hal yang utama. Ruang teritori merupakan upaya untuk mempertegas batas-batas antara pemilik dan bukan pemilik serta tingkat privasi antar ruang (Laurens,2004). Kategori teritori tersebut adalah;teritori Primer mencakup tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya,teritori Sekunder mencakup tempat-tempat yang dimiliki bersama dan teritori Publik mencakup tempat-tempat terbuka untuk umum Perumahan swadaya yang memiliki teritori primer sebanyak 25% dimana penyewa dan pembeli tidak memasuki teritori hunian pemilik, karena adanya pemisahan ruang yang tegas. Sebanyak 25% memiliki teritori sekunder karena batas pemilik dan penyewa kurang tegas, disebabkan adanya ruang yang dipakai bersama antara pemilik dan penyewa dan rumah swadaya yang tidak memiliki ruang teritori sebanyak 50%, dikarenakan batas pemilik dan pembeli tidak ada, Kondisi ini berpengaruh terhadap keamanan dan kenyamanan bagi pemilik rumah karena sulitnya menghindari orang asing untuk tidak memasuki teritori hunian. Perubahan fungsi ruang pada perumahan swadaya ditujukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan ruang baru untuk ruang kegiatan usaha maupun untuk hunian (Sugiono dkk, 2011). karakteristik perubahan fungsi ruang pada perumahan swadaya adalah sebanyak 14,3% mengubah area privat (ruang tidur) menjadi area publik (ruang sewa), sebanyak 14,3% area publik (ruang usaha) menjadi area privat (ruang tidur) dan sebanyak 71,4% mengubah fungsi ruang semi publik (ruang keluarga/ruang tamu) menjadi fungsi publik (ruang usaha). Menurut Maslow dalam Prinz (1995) rumah seharusnya dapat menjamin keamanan dan kenyamanan penghuninya, serta dapat memberikan ruang untuk saling berinteraksi. Selain itu, rumah merupakan sebuah ruang kehidupan untuk berbagai aktifitas (bermain, bekerja, beristrahat dan tidur serta dapat hidup santai, dan relax sepanjang hari. Adanya tahapan ruang yang baik dapat memberikan ruang privasi sebesar mungkin sesuai yang diinginkan pada bangunan rumah fungsi usaha atau rumah antara fungsi hunian dan usaha tergabung, hal tersebut dapat diukur tingkat keamanan penghuni dan usaha Tingkat keamanan penghuni dan usaha dalam perumahan swadaya tergolong tidak aman, tingkat keamanan dengan kategori tinggi hanya 29,16%, hal ini didukung adanya hirarki ruang yang sangat privasi yaitu terdapat pemisahan ruang fungsi hunian dan ruang fungsi usaha yang dibatasi elemen massif maupun non-massif. Sedangkan tingkat keamanan dengan kategori kurang aman sebanyak 70,84%, sehingga dapat disimpulkan bahwa
penambahan fungsi usaha dalam perumahan swadaya tidak dapat memberikan rasa aman bagi penghuni Karena pembeli/orang tidak dikenal dapat mudah masuk ke dalam ruang teritori primer penghuni. Menurut Frick (2006), rumah memiliki empat fungsi pokok sebagai tempat tinggal yang layak dan sehat bagi setiap manusia, yaitu; rumah harus memenuhi kebutuhan pokok jasmani manusia, rumah harus memenuhi kebutuhan pokok rohani manusia, rumah harus melindungi manusia dari penularan penyakit dan rumah harus melindungi manusia dari gangguan luar. Adanya kegiatan berdagang (usaha) pada hunian menjadikan ruang hunian padat dengan berbagai barang kebutuhan usaha, sehingga udara tidak berganti dan sinar matahari tidak masuk ke dalam ruang hunian, sehingga menjadikan ruangan lembab dan bakteri dari material jualan berkembang, akibatnya penghuni mudah terserang penyakit saluran pernapasan (terjadi pada salah satu kasus dengan jenis usaha penjual telur dan pisang). Secara fungsi pokok akan sebuah hunian rumah ini tidak dapat melindungi pemiliknya dari penularan penyakit. Berdasarkan SNI sirkulasi udara yang baik diukur berdasarkan luasan lubang ventilasi udara (bukaan). Ventilasi udara pada rumah harus cukup mendukung proses sirkulasi udara yakni dengan luasan lubang ventilasi minimum 5% terhadap luas lantai ruangan yang membutuhkan ventilasi. Sebanyak 87,5% perumahan swadaya memiliki lubang ventilasi udara diatas 5%, namun hal ini tidak cukup mendukung dalam proses sirkulasi udara dalam ruang. Lubang penghawaan hanya berada pada bidang bukaan bagian depan rumah swadaya yang merupakan hasil perluasan karena kebutuhan ruang usaha. Tidak terjadi pertukaran udara karena tidak adanya ventilasi silang, udara yang masuk tak dapat menggantikan udara yang ada di dalam ruangan karena tidak adanya lubang ventilasi yang dapat mengeluarkan udara dari dalam ruangan. Adanya perluasan ruang karena adanya aktifitas usaha juga mengurangi fungsi ventilasi sebagai media sirkulasi udara, sehingga tidak terjadi pergantian udara pada ruang hunian karena terhalang ruang usaha dan perabot jualan yang padat. Pola sirkulasi yang terjadi di perumahan swadaya karena adanya kegiatan usaha rumah tangga, terdapat 2 sistim sirkulasi yaitu, 37,5% perumahan swadaya memiliki sisitim sirkulasi terpisah, karena terdapat lebih dari satu akses sirkulasi menuju bangunan sehingga memungkinkan dipisahkannya akses menuju hunian dan akses menuju tempat usaha dan 62,5% perumahan swadaya memiliki sistim sirkulasi bercampur, karena hanya memiliki satu akses kebangunan.
KESIMPULAN DAN SARAN Perluasan rumah swadaya terdapat 3 kondisi yaitu; a) kearah depan dalam wilayah Damija, ke arah samping karena memanfaatkan luas pekarangan yang masih ada dan ke arah depan dan samping bangunan dengan memanfaatkan pekarangan dan Damija. Perubahan fungsi ruang terjadi pada ruang tamu berubah menjadi ruang usaha dan fungsi ruang tamu tergabung dalam fungsi ruang keluarga. Perluasan rumah swadaya dengan adanya kegiatan usaha cenderung tidak dapat menikmati sirkulasi udara karena adanya perluasan ruang kedepan dan samping bangunan yang menghalangi bukaan pintu dan jendela. Perluasan rumah swadaya dengan kegiatan usaha rumah tangga ditinjau terhadap pola sirkulasi dari aspek akses pivasi (hunian) dan publik (usaha), terdapat 2 Pola sirkulasi yaitu sirkulasi dengan akses yang sama antara hunian dan usaha menjadikan sistim sirkulasi bercampur, sedang akses penghuni yang terpisah dengan akses pelaku usaha membuat pola sistim sirkulasi yang terpisah. Dari hasil penelitian, disarankan perluasan ruang usaha ke arah depan maupun samping bangunan dan perubahan fungsi
ruang seharusnya mempertimbangkan tingkat
hirarkhi ruang dan teritori sehingga terdapat batasan yang tegas antara fungsi privasi (hunian) dan fungsi publik (usaha). Perluasan ruang sebaiknya tidak menghalangi arah pergerakan angin yang masuk ke bangunan melalui bukaan pintu dan jendela sehingga memungkinkan terjadi pertukaran udara diruang hunian dan sirkulasi dengan pola akses terpisah menjadi rekomendasi untuk menciptakan batasan privasi yang tegas antara fungsi hunian dan fungsi usaha
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suhasimi. (2010). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rhineka Cipta. Frick, Heinz. (2006). Arsitektur ekologis. Yogyakarta: Kanisius Hendry, J. (2009). Riset kualitati. Diakses 25 Januari 2013. Available from: http://hendri.staff.gunadarma.ac.id Holliss, Frances. (2012). Journal of London Metropolitan University: Sociological Research online. Space, Buildings and the life world of Home-Based Workers: Toward Better Design. Diakses 01 Mei 2013. Available from: http://www.Socresonline,org.uk/17/12/24.html Lang, Jon. 1987. Creating Architectural Theory. New york: Van Nostrand Reinhold Company Inc. Laurens, J. M. (2004). Arsitektur dan perilaku manusia. Jakarta: PT. Grasindo. Lincoln, Y.S & Guba, E.G. 1985. Naturalistic Inquiry. California: Sage Publication, Inc. Melina, R. (2011). Jurnal teori dan desain arsitektur: Strategi Privasi pada Ruang Bertinggal dan Bekerja . Diakses 28 Januari 2013. Available from: http://arsitektur.net, Volume 5 No. 1
Prinz, Dieter. 1995. Stadtebauliches Entwerfen: 6. Auflage. Stuttgart Berlin Koln. Purwantiasning, W. (2010). Kajian tentang Alih fungsi hunian menjadi tempat usaha. Diakses 19 Januari 2013. Available from: http://www.scribd.com/doc/55154153 Silas, J. Wibowo, A.S, dan Setyawan, W. (2000), Rumah Produktif dalam bingkai tradisional dan pemberdayaan. Surabaya: UPT Penerbitan ITS Soegiono, B.S, Setijanti, P dan Faqih, M. (2011) Transformasi Penggunaan Ruang Hunian Akibat Usaha Berbasis Rumah Tangga, (online) . Diakses 25 januari 2013. Available from: http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master SNI 03-6572.2001. Tata cara perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian udara pada bangunan gedung. Diakses 14 Nopember 2013. Available from: http://ciptakarya.pu.go.id/pbl/doc/sni/SNI_VENTI.PDF Taufikurrahman, Faqih, M. dan Purnomo, H. (2010) . Perubahan pola tatanan ruang rumah tinggal Sebagai akibat kegiatan industri rumah tangga, Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota. Diakses 25 Januari 2013. Available from: http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master, Van Lengen, J. (2008). The Barefoot Architect. A Handbook for Green Building. Shelter Publications. California. USA: Bolinas Wunas, S. 2011. Kota Humanis, Integrasi Guna Lahan dan Transportasi. Brillian International. Surabaya