TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Kebijakan Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Identitas Kota Makassar Satriani(1), Muh Alief Rusli Putra(1), Nurwahidah(1), Fadhil Surur(2) (1) (2)
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Laboratorium Keahlian Perencanaan Tata Ruang Pesisir dan Kepulauan, Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Abstrak Kota Makassar menyimpan nilai-nilai sejarah dan kearifan lokal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai wisata sejarah. Perkembangan perkotaan yang berdampak pada kebutuhan ruang terus mengekspansi dan merubah pola spasial kota. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan bangunan bersejarah sebagai identitas Kota Makassar di masa lalu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik cagar budaya dengan menggunakan metode skoring dan pendekatan spasial, menentukan hirarki kawasan cagar budaya dengan menggunakan penentuan kelas interval dan menetukan arahan penanganan cagar budaya menggunakan metode deksriptif kualitatif. Hasil analisis diperoleh bangunan yang memiliki nilai ideal yakni Gedung MULO, Fort Rotterdam, Museum Kota Makassar, Gereja Katolik Katedral dan Gereja Protestan Immanuel. Kawasan prioritas penanganan diarahkan pada kawasan pecinan dengan unit bangunan cagar budaya berupa Klenteng Xiang Ma, Klenteng Ma Tjo Poh dan Gedung Kesenian yang memiliki keaslian bangunan fisik dan arsitektur khas sebagai pembentuk citra kawasan. Arahan pelestarian terdiri atas rekontruksi pada bangunan golongan C dan konservasi pada golongan A, B dan C. Hasil penelitian diharapkan memberikan alternatif kebijakan kepada pihak pemerintah dalam upaya pelestarian cagar budaya sebagai modal awal dalam pengembangan wisata sejarah di Kota Makassar. Kata-kunci : cagar budaya, pelestarian, wisata
Pendahuluan Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan /atau kebudayaan melalui proses penetapan (UU No 11 Tahun 2010). Pelestarian terhadap bangunan bersejarah dapat didefinisikan sebagai suatu upaya memelihara dan melindungi suatu peninggalan bersejarah baik berupa artefak, bangunan, kota maupun kawasan bersejarah lainnya. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkannya sesuai dengan fungsi lama atau menerapkan fungsi yang baru untuk membiayai kelangsungan eksistensinya (Akbar dan Wijaya, 2008).
Kawasan bersejarah di Kota Makassar menyimpan nilai-nilai sejarah dan kearifan lokal sejak awal berkembangnya Kerajaan Gowa Tallo seperti kawasan Pecinan, Benteng Rotterdam, Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Gedung Mulo dan sebagainya. Bangunan tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai wisata sejarah dan identitas kota. Perkembangan perkotaan telah merubah pola spasial kota yang telah lama terbentuk, terutama di kawasan kota tua. Pengelolaan yang belum optimal serta fenomena alih fungsi bangunan dan lahan di perkotaan menjadikan peninggalan bersejarah tersebut tidak terpelihara dan bahkan beberapa telah dimusnahkan akibat kebutuhan ruang. Fenomena spasial yang terjadi akan terus mengancam eksistensi bangunan cagar budaya di Kota Makassar, sehingga perlu mengkaji alternatif kebijakan pelestarian terhadap bangunan cagar budaya. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | C 021
Kebijakan Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Identitas Kota Makassar
Penelitian merupakan upaya pelestarian terhadap kekayaan heritage building di Kota Makassar yang disajikan dalam informasi spasial menggunakan ArcGIS 10.3, sebagai langkah yang tepat untuk mengetahui prioritas pelestarian heritage building dan menjadi database informasi spasial terkait penyebaran bangunan cagar budaya. Informasi dan hasil analisis yang dibuat diharapkan memberikan alternatif kepada pemerintah dalam pelestarian bangunan cagar budaya untuk mempertahankan identitas Kota Makassar.
Kriteria dan langgam bangunan
Variabel Cukup Terwakili Terwakili
Kejamakan
Tidak dilestarikan
Cukup dilestarikan
Metode
Dilestarikan
Pengumpulan Data Metode pengumpulan yang digunakan meliputi obersevasi lapangan melalui pengamatan langsung, teknik wawancara kepada instansi terkait dan masyarakat sekitar, telaah pustaka untuk mendukung fakta yang diperoleh dan studi dokumentasi sebagai proses validasi data yang telah diperoleh. Metode Analisis Data 1.
Analisis Budaya
Karakteristik
Bangunan
Cagar
Karakteristik heritage building dianalisis dengan pendekatan deksriptif melalui pengamatan terhadap bangunan cagar budaya, yang dipadukan dengan kajian pustaka berdasarkan data dari UPTD Balai Cagar Budaya Kota Makassar. Selanjutnya data dianalisis dengan metode skoring (indikator pada Tabel 1) dan pendekatan spasial berbasis GIS (Geographic Information Sys-tem).
Kelangkaan
Tidak Langka
Cukup Langka
Langka
Peranan Bangunan Terhadap nilai sejarah
Tidak Berperan Cukup Berperan Berperan
Memperkuat Kawasan
Tidak Mempengar uhi Cukup Mempegaru hi
Mempengar uhi
Tabel 1. Skoring Cagar Budaya Kriteria Umur Bangunan
Variabel
Indikator
Nilai
Tidak kuno Cukup Kuno
Berumur < 50 tahun Berumur > 50 tahun dan belum dicantumkan sebagai bangunan cagar budaya Berumur > 50 tahun dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya Bangunan yang tidak mewakili masa dan langgam tertentu
1
Kuno
Estetika dan Periodeisasi terhadap gaya
Tidak Terwakili
C 022 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Keaslian
Cukup asli
2
Asli
3 Arsitektur 1
Tidak asli
Tidak bercorak Cukup
Indikator Bangunan yang mewakili masa dan langgam tertentu < 50 tahun Bangunan yang mewakili masa dan langgam tertentu paling singkat 50 tahun Bangunan-bangunan yang tidak dilestarikan karena mewakili kelas atau jenis khusus bangunan yang cukup berperan Bangunan-bangunan dilestarikan tetapi tidak mewakili kelas atau jenis khusus bangunan yang cukup berperan Bangunan-bangunan yang dilestarikan tetapi tidak mewakili kelas atau jenis khusus bangunan yang cukup berperan Menggunakan salah satu gaya arsitektur yang masih dalam jumlah cukup banyak Menggunakan salah satu gaya arsitektur dalam jumlah cukup banyak namun tidak sama persis Menggunakan gaya arsitektur yang tidak ditemukan pada bangunan lain Tidak berperan Berperan dalam cakupan lokal Berperan dalam tingkat nasional Bangunan-bangunan dan bagian kota yang tidak mempengaruhi lingkungan sekitarnya Bangunan-bangunan dan bagian kota yang karena potensi dan keberadaannya tetapi tidak mempenagruhi serta sangat bermakna Bangunan-bangunan dan bagian kota yang karena potensi dan keberadaannya mempengaruhi serta sangat bermakna untuk meningkatkan citra sekitarnya Mengalami perubahan dan cenderung berbeda secara fisik dengan keaslian bangunan Sebagian mengalami perubahan dan cenderung tidak berbeda dengan bangunan asli Tidak mengalami perubahan Tidak memiliki corak Perpaduan corak
Nilai 2
3
1
2
3
1
2
3
1 2 3
1
2
3
1
2
3 1 2
Satriani Kriteria
Landmark
Variabel bercorak Bercorak Tidak kuat Cukup kuat
Kuat
Indikator
Nilai
Mewakili salah satu corak Bukan sebagai landmark dan ciri tidak menonjol. Ciri bangunan dominan dan diulang pada bangunan sekitarnya Sebagai landmark kawasan
3 1 2
Tabel 2. Tahap Perkembangan Kota Makassar Tahap Perkembangan Awal Pertumbuhan Makassar
3
Sumber : Almadani dan Gunawan, 2013
2.
Analisis Hirarki Prioritas Penanganan Cagar Budaya Penentuan hirarki prioritas penanganan bangunan cagar budaya digunakan penentuan kelas interval pada kawasan yang memiliki nilai kriteria tertinggi berdasarkan nilai skoring bangunan cagar budaya yang ada di kawasan tersebut.
3.
Gemeente van Makassar
Analisis Deksriptif Penyusunan arahan pengembangan bangunan cagar budaya menggunakan analisis deskriptif berdasarkan kompilasi dari hasil analisis karakteristik dan analisis hirarki bangunan cagar budaya. Berdasarkan arahan tersebut dapat diketahui upaya yang dilakukan untuk melestarikan atau mening-katkan nilai bangunan cagar budaya.
Makassar Membentuk NKRI
Analisis dan Interpretasi Sejarah Perkembangan Kota Makassar Pengamatan sejarah perkembangan dan juga pertumbuhan kota dapat dilakukan dengan dilakukan dengan kajian diakronik Rahardjo (2007) dalam Mansyur (2010). Pertumbuhan kota dikaji berdasarkan tahap-tahap perkembangan sebuah kota, fenomena yang terjadi pada masa tersebut dan masa pembangunan gedung atau situs tersebut. Kota Makassar berkembang dari titik awal Kerajaan Gowa-Tallo sebagai bandar niaga hingga saat ini berkembang menjadi kota perdagangan dan jasa.
Perluasan Wilayah dan Arus Urbanisasi
Heterogenitas Makassar Makassar Terkini
Sumber : Mansyur,
Fenomena - Penyatuan dua kerajaan: Gowa dan Tallo - Peran Makassar sebagai bandar niaga - Konflik siri’ - Perpindahan pusat kekuasaan - Fort Rotterdam sebagai elemen awal pembentukan kota kolonial - Elemen pembentukan kota - Kehidupan sosial - Fasilitas kota - Makassar sebagai Ibukota Negara Indonesia Timur (NIT) - sebagai Ibukota Republik Indonesia Serikat (RIS) - Perjanjian Malino - Perluasan Wilayah Administratif - Proses Urbanisasi Etnis-etnis yang mendiami Kota Makassar - Visi dan Misi Kota Makassar - Bangunan Fisik - Budaya Masyarakat Kota 2010
Rentang Waktu Abad ke 16-17
Abad ke 19-20
NIT (19451946) RIS (19501951)
Tahun 19451970
-
Abad ke – 20
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | C 023
Kebijakan Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Identitas Kota Makassar Tabel 3. Karaktersitik Bangunan Cagar Budaya Kota Makassar Nama Bangunan Cagar Budaya Gedung MULO Kantor Balai Kota Makassar Kantor Pos Unit Divisi Paket Museum Kota Makassar Gereja Katholik Ketedral Gereja Protestan Imanuel
Fort Rotterdam Pengadilan Negeri Ujung Pandang Rumah Sakit Stella Maris Kantor Inspeksi Pajak Kantor Polisi Militer Kota Makassar Gedung CKC (Dirjen Anggaran) SMP Negeri 6 Makasssar SMU Negeri 16 Makassar Apatemen Sarang Semut Pavilun Hasanuddin Apotik Kimia Farma Batalyon Zeni Tempur 8/SMG KODAM VII Wirabuana SMP Negeri 5 Makassar Rumah Jabatan Gubernur Rumah Jabatan Walikota Makassar Gedung Dewan Kesenian Sulawesi-Selatan Mesjid Arab Klenteng Xiang Ma Klenteng “Ma Tjo Poh” Ibu Agung Bahari Perusahaan Daerah Air Minum Makassar Rumah Tinggal Jalan Datumuseng Rumah Dinas Militer Jalan Sungai Tangka Rumah Tinggal Daeng Tompo Bunker Jepang
a 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
b 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 3 2 3 2 3
c 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2 2 2 2 3 3 3 2 3 3 3 2 2 2 2 2 3 2 2
d 2 1 2 3 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 1 2 2 3 2 2 2 3 1 1 1 1 1 2 1 3
Kriteria e f 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1 3 3 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 1 1 2 1
g 3 2 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3 2 2 2 2 3 3 2 2 2 3 2 2 2 3 2 3 2 3
h 3 2 1 2 3 3 3 2 1 1 1 3 1 1 1 3 3 1 1 1 1 2 2 3 1 1 2 1 2 3
i 3 3 1 3 3 3 3 1 3 1 1 1 2 2 1 2 1 2 2 1 1 3 2 2 2 1 1 1 1 1
Jumla h 26 22 22 26 26 26 26 24 22 19 20 21 19 19 16 22 21 24 19 19 19 26 18 19 17 18 15 20 15 21
Sumber : Hasil Analisis, 2016 Keterangan: a; umur, b; estetika, c; kejamakan, d; kelangkaan, d; peranan bangunan, e; memperkuat kawasan, f; keaslian, g; arsitektur, dan h; landmark
Karakteristik Bangunan Cagar Budaya Bangunan cagar budaya di Kota Makassar memiliki karakteristik yang bervariasi berdasarkan umur, estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan bangunan, pengaruh terhadap kawasan, keaslian, arsitetur dan landmark. Berdasarkan penilaian tiap indikator menghasilkan nilai, dimana semakin tinggi nilai maka semakin banyak kriteria yang terpenuhi pada suatu bangunan cagar budaya. Bangunan yang memiliki nilai ideal yakni Gedung MULO, Museum Kota, Fort Rotter-
C 024 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
dam, Gereja Katolik Katedral dan Gereja Protestan Immanuel.
(a)
(b)
Satriani
(c)
(d)
(e)
Gambar 1. (a) Gedung MULO, (b) Museum kota, (c) fort roterdam, (d) Gereja Katolik dan (e) Gereja Protestan Imanuel
Penentuan Hirarki Kawasan Cagar Budaya Seluruh bangunan cagar budaya yang diidentifikasi kemudian dikelompokkan berdasarkan jarak kedekatan dengan bangunan cagar budaya yang lain, kesamaan karakteristik, kemiripan sejarah dan satuan unit kawasan eksisting saat ini. Sehingga diperoleh 9 unit kawasan dengan karakteristik masing-masing. Tabel 4. Nilai Kawasan Cagar Budaya Kawasan Ibadah Pemerintahan
Pecinan
Pertahanan Pengadilan
Rumah Jabatan
Rumah Sakit
Heritage Building Mesjid Arab Kantor Balai Kota Makassar, Gereja Protestan Imanuel, Kantor Pos Unit Divisi Paket, Apotik Kimia Farma, Museum Kota Makassar, SMP Negeri 6 Makasssar, Gereja Katholik Ketedral, Kantor Inspeksi Pajak Klenteng Xiang Ma (Vihara Istana Naga Sakti), Klenteng “Ma Tjo Poh” Ibu Agung Bahari, Gedung Dewan Kesenian SulawesiSelatan, Gedung CKC (Dirjen Anggaran)
Fort Rotterdam Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Bunker Jepang, SMU Negeri 16 Makassar, Apatemen Sarang Semut Rumah Jabatan Gubernur, Gedung MULO, Rumah Dinas Militer, Pavilun Hasanuddin, Rumah Dinas Militer Jalan Sungai Tangka Rumah Sakit Stella Maris, Rumah Jabatan Walikota
Nilai 18 83
181
26 80
107
Makassar, Rumah Tinggal Jalan Datumuseng, Rumah Tinggal Daeng Tompo PDAM Perusahaan Daerah Air Minum Makassar Batalyon Batalyon Zeni Tempur 8/SMG KODAM VII Wirabuana Sumber : Hasil Analisis, 2016
18 24
Berdasarkan analisis diperoleh kawasan yang memiliki nilai tertinggi yaitu kawasan Pecinan dengan skor akhir 181. Ciri bangunan cagar budaya merujuk pada bangunan yang didirikan pada masa pemerintahan Belanda dan perkampungan komunitas keturunan. Seluruh bangunan memiliki arsitektur yang khas dan kesamaan fungsi gedung baik saat ini maupun pada masa lalu. Sedangkan nilai terendah pada kawasan ibadah dengan nilai 18, karena hanya ditemukan 1 unit bangunan cagar budaya berupa Masjid Arab dan tidak memiliki kemiripan dengan bangunan cagar budaya di sekitarnya Tabel 5. Hirarki Prioritas Cagar Budaya Kawasan Pecinan Pengadilan, Rumah Jabatan dan Pemerintahan Ibadah, PDAM, Batalyon , Pertahanan dan Rumah Sakit Sumber : Hasil Analisis, 2016
Hirarki I II III
Hasil dari skoring kawasan kemudian dikelompokkan berdasarkan skor akhir untuk menentukan hirarki prioritas pelestarian dari ke 9 kawasan yang teridentifikasi. Hirarki III mencakup 18-78, hirarki II mencakup 79-132 dan hirarki I mencakup 133-181. Kawasan Pecinan merupakan kawasan yang paling prioritas untuk dilakukan pelestarian. Upaya pelestarian tidak hanya berfokus pada unit bangunan tetapi area sekitar bangunan juga perlu dilakukan penanganan agar tidak merubah citra kawasan yang diprioritaskan.
71
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | C 025
Kebijakan Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Identitas Kota Makassar
Arahan pelestarian bangunan cagar budaya dengan upaya konservasi yaitu:
(a)
(c)
Seluruh bangunan cagar budaya yang telah di identifikasi, kemudian digolongan berdasarkan persyaratan penggolongan bangunan cagar budaya menjadi Gologan A, B dan C. Arahan pelestarian bangunan cagar budaya dengan upaya rekontruksi. Usaha untuk melakukan rekonstruksi pada golongan C dengan ketentuan sebagai berikut:
-
-
Sekurang-kurangnya harus mempertahankan fasad bangunan dan atau bentuk atap bangunan sesuai dengan kondisi yang diketahui. Detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan gaya arsitektur bangunan disekitarnya untuk mencapai keserasian lingkungan. Perubahan tata ruang tanpa mengubah bentuk dan konstruksi bangunan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masa kini. Dalam persil bangunan cagar budaya yang bukan sebagai situs bangunan cagar budaya dimungkinkan untuk adanya penambahan bangunan yang terpisah dengan bangunan cagar budaya dengan pola selaras parsial.
C 026 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
-
Pemugaran yang bersifat konservatif ada bangunan cagar budaya golongan B dilakukan dengan ketat serta ketentuan lain yaitu: (i) Dimungkinkan perubahan tata ruang dari denah asli. (ii) Jika kondisi bangunan dan struktur rusak dapat dilakukan perbaikan atau pembangunan kembali sesuai dengan aslinya menggunakan komponen yang sama atau sejenis atau memiliki karakter yang sama. (iii) Perubahan tata ruang dan penggantian bahan tidak lebih dari 40% (Sari dan Indrajati, 2015).
(d)
Arahan Pengembangan Prioritas Penanganan Bangunan Cagar Budaya Kota Makassar
-
Pemugaran yang bersifat konservatif pada bangunan cagar budaya golongan A dilakukan dengan sangat terbatas, yaitu; (i) Denah bangunan tidak boleh diubah dari denah asli (ii) Komponen bangunan yang terdiri dari bahan, struktur / ornamen dan kelengkapan bangunan tidak boleh diganti. (iii) Jika kondisi bangunan dan struktur rusak dapat dilakukan sesuai asli dengan menggunakan komponen yang sama atau memiliki karakter yang sama dengan perubahan bahan paling banyak sebesar 20%.
(b)
Gambar 2. (a) Klenteng Xiang Ma, (b) Klenteng Ma Tjo Poh, (c) Gedung Dewan Kesenian, (d) Gedung CKC
-
-
Tabel 6. Upaya Pelestarian Cagar Budaya Nama Bangunan Cagar Budaya Gedung MULO Kantor Balai Kota Makassar Kantor Pos Unit Divisi Paket Museum Kota Makassar Gereja Katholik Ketedral Gereja Protestan Imanuel
Fort Rotterdam Pengadilan Negeri Ujung Pandang Rumah Sakit Stella Maris Kantor Inspeksi Pajak Kantor Polisi Militer
A
Upaya Pelestarian Konservasi
B
Konservasi
B
Konservasi
A
Konservasi
A
Konservasi
A
Konservasi
A
Konservasi
A
Konservasi
A
Konservasi
B
Konservasi
B
Konservasi
Golongan
Satriani Nama Bangunan Cagar Budaya Kota Makassar Gedung CKC (Dirjen Anggaran) SMP Negeri 6 Makasssar
Golongan
Upaya Pelestarian
B
Konservasi
B
Konservasi
SMU Negeri 16 Makassar
B
Konservasi
Apatemen Sarang Semut
C
Rekontruksi
B
Konservasi
B
Konservasi
A
Konservasi
B
Konservasi
B
Konservasi
B
Konservasi
Gedung Dewan Kesenian SulawesiSelatan
A
Konservasi
Mesjid Arab
C
Konservasi
B
Konservasi
C
Konservasi
C
Konservasi
C
Konservasi
B
Konservasi
Pavilun Hasanuddin Apotik Kimia Farma Batalyon Zeni Tempur 8/SMG KODAM VII Wirabuana SMP Negeri 5 Makassar Rumah Jabatan Gubernur Rumah Jabatan Walikota Makassar
Klenteng Xiang Ma (Vihara Istana Naga Sakti) Klenteng “Ma Tjo Poh” Ibu Agung Bahari Perusahaan Daerah Air Minum Makassar Rumah Tinggal Jalan Datumuseng Rumah Dinas Militer Jalan Sungai Tangka
Nama Bangunan Cagar Budaya Rumah Tinggal Daeng Tompo Bunker Jepang
Golongan
Upaya Pelestarian
C
Konservasi
B
Konservasi
Sumber : Hasil Analisis, 2016
Kawasan prioritas yang telah ditetapkan pada Kawasan Pecinan memiliki unit bangunan cagar budaya Klenteng Xiang Ma (Vihara Istana Naga Sakti), Klenteng “Ma Tjo Poh” Ibu Agung Bahari, Gedung Dewan Kesenian Sulawesi-Selatan, Gedung CKC (Dirjen Anggaran) dengan kebija-kan pelestarian yang dilakukan berupa upaya konservasi. Konservasi didefinisikan sebagai semua kegiatan pemeliharaan suatu tempat guna mempertahankan nilai budayanya, dengan tetap memanfaatkan untuk mewadahi kegiatan yang sama dengan aslinya atau untuk kegiatan yang sama sekali baru untuk membiayai sendiri kelangsungannya. Ketentuan teknis dalam konservasi diterapkan pada bangunan cagar budaya serta bangunan non cagar budaya yang berada pada satu kawasan untuk mempertahankan karakter masing-masing kawasan. Ketentuan teknis merupakan usaha yang dilaksanakan secara langsung secara fisik kepada obyek bangunan cagar budaya.
Gambar3.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | C 027
Kebijakan Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Identitas Kota Makassar
Kesimpulan Dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1.
Karakteristik bangunan cagar budaya di Kota Makassar sebagai indentitas kota pada umumnya telah mengalami perubahan baik dari segi pemanfaatan (fungsi) dan kondisi fisik bangunan itu sendiri. Adapun bangunan cagar budaya yang memiliki nilai ideal Gedung MULO, Fort Rotterdam, Museum Kota Makassar, Gereja Katolik Katedral dan Gereja Protestan Immanuel. Sedangkan bangunan yang memiliki nilai terendah adalah apartemen sarang semut. Sehingga kelompok bangunan tersebut merupakan bangunan yang prioritas dilestarikan.
2.
Kawasan yang menjadi prioritas penanganan adalah kawasan pecinan sebagai indentitas kota, yang didalamnya berupa Klenteng Xiang Ma dan Klenteng Ma Tjo Poh serta Gedung Kesenian yang memiliki keaslian bangunan fisik dan arsitektur yang khas untuk dapat membangun citra kawasannya.
3.
Arahan pelestarian bangunan cagar budaya terdiri atas rekontruksi pada golongan C yakni apartemen semut dan konservasi pada golongan A, B dan C. Kawasan prioritas penanganannya pada kawasan Pecinan seluruh unit bangunan perlu dilakukan konservasi.
Daftar Pustaka Akbar, R dan Wijaya, I.K. (2008). Manajemen Aset sebagai Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kota Bandung. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. SAPPK ITB. Bandung. Almadani, M. R. dan Gunawan I. (2013). Identifikasi Bangunan Cagar Budaya Bangunan Kuning Agung, Senghie, Pontianak. Jurnal Lanting 2. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Aryanto, R. and I.G So. (2012). Perencanaan Manajemen Lanskap Zonasi Destinasi Balai Pelestarian Cagar Budaya. (2013). Bangunan Bersejarah di Kota Makassar. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya. Makassar. C 028 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Hadinugroho, I. D. L., & Sutanto, M. S. (2015) Analisa Kriteria Bangunan Bersejarah. Handoko, I. (2006). Evaluasi Klasifikasi Bangunan Bersejarah Di Kota Tua Jakarta Berdasarkan Kebijakan Kawasan Cagar Budaya Melalui Penentuan Prioritas Konservasi. Diss. Universitas Diponegoro. Semarang. Mansyur, S. (2010). Kontruksi Baru dan Analisis Pameran Kota Makassar. FIB UI. Jakarta. Maulidya, S. (2011). Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Pusat Kota Banda Aceh Provinsi Banda Aceh. Departemen Arsitektur Lanskap ITB. Bandung. Sari, L.I. dan P.N Indrajati. (2014). Prioritas Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Kota Bandung. SAPPK ITB. Bandung. Undang-Undang No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.