ANALISIS PENGARUH FINANCING TO DEPOSIT RATIO (FDR), NILAI TUKAR RUPIAH (KURS), INFLASI, DAN BI RATE TERHADAP NON PERFORMING FINANCING (NPF) SEKTOR UKM PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA (Periode Tahun 2012-2015)
Oleh :
Henry Fajarianto NIM :109081000157
JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
DAFTAR RIWAYAT HIDUP (Curriculum Vitae)
Data Pribadi Nama Lengkap
: Henry Fajarianto
Tempat & Tanggal Lahir
: Jakarta, 1 November 1991
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Musyawarah No.25 RT.02 RW.01 Kelurahan Ragunan. Kecamatan Pasar Minggu. Jakarta Selatan. 12550
Telepon
: 087885044520
Email
:
[email protected]
Pendidikan Formal 1997-2003
: SD Swasta Pelita
2003-2006
: SMP Negeri 41 Jakarta
2006-2009
: SMA Negeri 55 Jakarta
2009-2016
: Program Sarjana (S-1) Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Organisasi 1. Anggota Kuliah Kerja Nyata Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Anggota Basket Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Anggota Basket SMAN 55 Jakarta 4. Anggota Basket SMAN 41 Jakarta 5. Anggota Pramuka SD Swasta Pelita Jakarta Keahlian Komputer
: Microsoft Office, Adobe, Internet
Bahasa
: Inggris v
ABSTRACT
This study aimed to analyze the influence of variables FDR (Financing to Deposit Ratio), exchange rate (exchange rate), inflation, and the BI Rate to financing problems (NPF) SME sector in Islamic banking in Indonesia. By using time series data for each month of the year January 2012 to December 2015. The analysis method used in this research is multiple linear regression with SPSS version 23 software applications and Microsoft Office Excel 2010 with statistical science approach to financing problems of SME sector in Islamic banking the period 2012 to 2015. The results showed that the variables FDR, exchange rates, inflation and the central bank jointly Rates significant effect on the financing problems in the SME sector. Partially exchange rates had no significant effect, while FDR, inflation, and Bi Rate significant negative effect on financing problems of SME sector in Islamic banking in Indonesia. Keywords: FDR, Exchange Rate, Inflation, BI Rate, NPF SME sector
vi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari variabel FDR (Financing to Deposit Ratio), nilai tukar rupiah (kurs), inflasi, dan BI Rate terhadap pembiayaan bermasalah (NPF) sektor UKM di perbankan syariah di Indonesia. Dengan mengunakan data time series pada setiap bulannya dari tahun Januari 2012 sampai Desember 2015. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu regresi linier berganda dengan aplikasi software SPSS versi 23 dan Microsoft Office Excel 2010 dengan pendekatan ilmu statistik terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah periode 2012 sampai dengan 2015. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel FDR, kurs, inflasi dan BI Rates secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah di sektor UKM. Secara parsial kurs tidak berpengaruh signifikan, sedangkan FDR, inflasi, dan Bi Rate berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia. Kata Kunci : FDR, Kurs, Inflasi, BI Rate, NPF Sektor UKM
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan anugerah dan nikmatnya pada diri ini sehingga dalam menjalani aktivitas dapat berjalan sesuai apa yang diharapkan dan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan dengan kekuatan doa dan ijin dari Allah SWT, akhirnya skripsi ini diberi kemudahan dan kelancaran dalam menyusunnya. Tak lupa Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad Saw berserta keluarga dan seluruh pengikutnya sepanjang masa. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Bisnis di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya penyusunan skripsi ini bukan merupakan satu hasil dari usaha beberapa orang, karena manusia adalah makhluk sosial dimana keberhasilan manusia tidak pernah lepas dari bantuan orang lain. Oleh karena itu dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang telah memberikan masukan yang berarti dalam proses penelitian, penyusunan, dan penyelesaian skripsi ini. Untuk itu ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis ucapkan kepada: 1.
Teristimewa untuk kedua orang tua saya, Mommy Damayanti dan almarhum Papi Steve Rompies, yang selalu mengawasi, mendukung, menjaga, menasehati, menemani, menyayangi, merawat dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang tanpa kenal lelah dari saya lahir sampai sekarang ini, setiap hari doa-doanya selalu
viii
mengiri langkah saya untuk meraih cita-cita yang saya impikan terimakasih Mommy Papiku tersayang . 2.
Kakak-kakaku yang tersayang, Mbok Indri Putrianti dan BigBro Bayu Adrianto, almarhum eyang kakung, eyang uti, Caci, om Kris, mba Uwi, mas Guguh, mas Aries, mba Ning, mas Toing, Rina, dan saudara-saudaraku tersayang lainnya yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan yang selalu menghibur, menyemangati, menasehati, menjaga, mendukung, dan membantu saya selama ini.
3. Bapak Dr. M. Arif Mufraini, Lc., MA selaku dekan fakultas ekonomi dan bisnis, Bapak Dr. Amilin, SE.Ak., M.Si selaku wakil dekan I fakultas Ekonomi dan Bisnis, Bapak Dr. Ade Sofyan Mulazid, MH selaku wakil Dekan II fakultas ekonomi dan bisnis, dan bapak Dr. Desmadi Saharuddin, Lc., MA selaku wakil dekan III fakultas ekonomi dan bisnis, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Pak Prof. Dr. Ahmad Rodoni selaku pembimbing I sebelumnya, saya akan ingat terus perkataan bapak ketika sedang bimbingan skripsi selama ini. Mudahmudahan saya dapat mengamalkan sehingga ilmu tersebut dapat bermanfaat selama hidup saya. 5.
Bapak Adhitya Ginanjar, selaku pembimbing II dulu dan sebagai pembimbing I saya sekarang yang telah memberikan bimbingan, arahan, perhatian, pengarahan, motivasi, ilmu, serta saran dengan meluangkan waktu dan pikirannya untuk mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6.
Ibu Titi Warninda SE, M.Si selaku ketua jurusan manajemen, dan ibu Ir Ela Patriana, MM selaku sekretaris jurusan manajemen, dan yang selalu menyemangati dan membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
ix
7.
Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan waktu dan ilmunya yang bermanfaat bagi saya. Dan juga seluruh staff dan karyawan UIN terutama jurusan ekonomi dan bisnis yang telah memberikan pelayanan yang terbaik bagi setiap mahasiswa.
8. Terimakasih untuk teman – teman manajemen D yang telah memberikan semangat, dukungan, bantuan, keceriaan, dan rasa persaudaraan yang indah, banyak kenangan-kenangan bersama kalian yang tidak bisa saya lupakan. 9.
Sahabat- sahabat seperjuangan saya sesama jurusan perbankan yang tidak dapat satu persatu saya sebutkan namanya, namun tidak mengurangi rasa sayang dan terima kasih saya.
10. Seluruh keluarga besar angkatan 2009, kenangan selama ini tidak akan terlupakan oleh saya. Baik didalam kelas, saling bertukar pikiran dan saling mengeluarkan pendapat suka maupun duka telah kita rasakan bersama dalam selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Ekonomi dan Bisnis. Penulis memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan penulis selama ini dan mengucapkan terimakasih banyak kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan oleh penulis.
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ......................................................... i LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ............................. ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ............................................. iii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ...................... iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... v ABSTRACT ................................................................................................... vi ABSTRAK ................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ................................................................................. viii DAFTAR ISI ............................................................................................... . xi DAFTAR TABEL ....................................................................................... . xiv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. . xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... . xvi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................... 14 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 16 1. Tujuan Penelitian ................................................................. 16 2. Manfaat Penelitian .............................................................. 17 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. UKM........................................................................................... 18 1. Pengertian UKM................................................................... 18 2. Kriteria UKM........................................................................ 19 3. Karateristik UKM................................................................. 20 B. Bank Syariah............................................................................... 22 1. Pengertian Bank Syariah ...................................................... 22 2. Jenis-jenis Risiko Bank Syariah............................................ 23 C. Manajemen Risiko Pembiayaan.................................................. 27 1. Konsep dan Definisi.............................................................. 27 2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan................ 30
xi
3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan ............................. 29 4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan................ 31 5. Fungsi Manajemen Risiko................................................... 32 D. Pembiayaan Bermasalah............................................................ 32 1. Konsep Pembiayaan Bermasalah ........................................ 32 2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah...................................... 34 3. Dampak Pembiayaan Bermasalah ....................................... 35 E. Financing to Deposit Ratio ....................................................... 35 1. Definisi FDR........................................................................ 35 2. Penilaian Tingkat FDR......................................................... 35 3. Hubungan antara FDR terhadap NPF Perbankan Syariah.................................................................................. 38 F. Nilai Tukar (Kurs)...................................................................... 39 1. Definisi................................................................................. 39 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs.............................. 40 3. Hubungan Kurs dengan NPF Perbankan Syariah................. 42 G. Inflasi.......................................................................................... 43 1. Pengertian Inflasi................................................................. 43 2. Jenis-jenis Inflasi.................................................................. 44 3. Efek Buruk Inflasi................................................................ 45 4. Hubungan Inflasi dengan NPF............................................. 46 H. Tingkat Suku Bunga................................................................... 47 1. Konsep Tingkat Suku Bunga ............................................... 47 2. Faktor yang Mempengaruhi Kurs ........................................ 48 3. Hubungan BI Rate Terhadap Pembiayaan Bermasalah........................................................................... 51 I. Penelitian Terdahulu .................................................................. 52 J. Kerangka Pemikiran ................................................................. 54 K. Hipotesis .................................................................................... 59
xii
BAB III. METODELOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................
62
B. Metode Penentuan Sampel ....................................................... 62 C. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 63 1. Data Sekunder .................................................................... 63 2. Metode Studi Pustaka ........................................................ 63 3. Internet .............................................................................. 63 D. Metode Analisis Data .............................................................. 64 E. Pengujian Hipotesis .................................................................. 69 1. Uji Hipotesis Secara Simultan (Uji F) ................................ 70 2. Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t) .................................... 71 3. Koefisien Determinasi ........................................................ 72 F. Definisi Operasional Variabel ................................................... 72 BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ............................. 74 1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia.............................................................................. 74 B. Analisis dan Pembahasan .......................................................... 78 1. Analisis Deskriptif .............................................................. 78 2. Analisis Pengujian Statistik ................................................ 94 3. Pengujian Hipotesis ............................................................ 100 C. Intepretasi ................................................................................. 105 BAB V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan .............................................................................. 109 B. Implikasi .................................................................................. 110
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
113
LAMPIRAN .............................................................................................
116
xiii
DAFTAR TABEL
No 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12
Keterangan Halaman Data Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia................................ 3 Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2012-2015 (dalam miliar rupiah) ................................................. 4 Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan........ 9 Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan ............................................................................................... 11 Perkembangan variabel-variabel yang mempengaruhi Non Performing Financing................................................................................. 14 Tingkat Loan to Deposit Ratio................................................................... 37 Penelitian Terdahulu ................................................................................. 52 Perkembangan Financing to Deposit Ratio Periode 2012-2015................ 79 Perkembangan Tingkat Kurs Indonesia Periode 2012-2015...................... 80 Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2012-2015............... 83 Perkembangan BI Rate Periode 2012-2015............................................... 86 Non Performing Financing (NPF) sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia Periode 2012-2015.................................................................... 90 Uji Kolmogorov-Smirnov ......................................................................... 94 Uji Multikolineritas.................................................................................... 95 Uji Durbin-Watson .................................................................................... 96 Uji Park ..................................................................................................... 99 Uji F ........................................................................................................... 101 Uji t ............................................................................................................ 102 Uji Adjusted R Square................................................................................. 105
xiv
DAFTAR GAMBAR
No
Keterangan
Halaman
1.1 2.1 4.6 4.7 4.8
Tren Perkembangan FDR Perbankan Syariah .......................................... Kerangka Pemikiran ................................................................................. Histogram ................................................................................................. Grafik p plot ............................................................................................. Uji Heterokedatisitas ................................................................................
6 58 92 93 98
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Data-data variabel penelitian dari tahun 2012-2015 ....................... Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien .................................. Uji Normalitas ................................................................................. Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi ........................................... Uji Heterokedatisitas .......................................................................
121 123 124 126 127
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana yang menimpa Indonesia tahun 1998, telah menghancurkan kehidupan perekonomian di Indonesia. Tidak terkecuali negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak luput dari krisis ekonomi dan moneter. Namun negara Indonesia yang paling lama melaksanakan proses pemulihan ekonomi. Hal ini antara lain disebabkan oleh parahnya tingkat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), sehingga perbaikan ekonomi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Krisis ekonomi juga menyebabkan terjadinya krisis-krisis lain yang bersifat multi dimensional, berupa krisis yang mengarah pada krisis kepercayaan dan krisis moral. Perbankan juga tidak luput dari krisis, yakni ditandai dengan banyaknya bank-bank yang dilikuidasi, dibekukan, ataupun digabung dengan bank-bank lain (merger). Hal ini lebih disebabkan oleh adanya praktik perbankan yang sangat kurang menerapkan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking principle) dalam mengelola kegiatan usaha, khususnya dalam hal penyaluran dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Lemahnya analis kredit pada perbankan ikut andil dalam menyebabkan terjadinya krisis dimaksud. Memburuknya situasi perekonomian Indonesia akibat kebijakan suku bunga tinggi dan depresiasi nilai tukar mata uang rupiah ternyata justru membawa akibat yang sangat buruk pada dunia perbankan (Riawan, 2003) dan salah satu permasalahan utama yang dialami ialah NPL (Non Performing Loan). Masalah ini muncul sebagai akibat terjadinya kontraksi output disatu pihak dan meningkatnya beban utang perusahaan karena meningkatnya suku bunga di lain pihak. Dengan
1
demikian, maka kemampuan perusahaan membayar kredit menjadi berkurang. Konsekuensinya, bank menanggung jumlah NPL yang lebih besar. Dan pembiayaan atau kredit bermasalah adalah masalah utama yang paling dihindari oleh semua bank. Akan tetapi bank tidak bisa terlepas dari kredit macet yang selalu terjadi. Menurut Rose (2002:326) risiko kredit berupa pembiayaan bermasalah berbahaya bagi eksistensi suatu bank dalam menepati kewajibannya, mengurangi profitabilitas dan membahayakan kelangsungan hidupnya. Kredit macet merupakan risiko bisnis yang mau tidak mau harus ditanggung oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang perkreditan atau pembiayaan. Hal inilah yang juga melanda sektor perbankan syariah di Indonesia sejak pertama kali kemunculannya. Perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan dan terus-menerus mengalami perkembangan sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yakni bank konvesional yang mendasarkan pada prinsip bunga dan bank berdasarkan prinsip syariah atau yang kemudian lazim dikenal dengan bank syariah (dual banking system). Di dalam undang-undang tersebut telah diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Masyarakat dan pihak penyelenggara kegiatan bank memberikan respon yang positif yang membuat berbagai bank baik BUMN maupun swasta sering mmengadakan kegiatan jasa perbankan dengan sistem syariah. Disertai dari pihak masyarakat yang menunjukan minat yang besar terhadap bank syariah karena suatu implikasi dari bukti nyata ketahanan perbankan syariah terhadap dampak langsung krisis keuangan global sudah terbukti. Unsur spekulatif yang tidak ada 2
pada produk-produknya, dan bank syariah juga belum terlalu masuk dalam pasar keuangan global yang menyebabkan tidak terlalu menerima dampak langsung dari krisis global merupakan sumber dari minat masyarakat terhadap bank syariah. Bertambahnya jumlah bank syariah, unit usaha syariah, dan bank umum syariah menjadi suatu indikasi dari perkembangan bank syariah di Indonesia. Perkembangan dari perbankan syariah dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1.1. Data Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia Jenis Bank Bank Umum Syariah Unit Usaha Syariah BPRS
2012 11 24 158
2013 11 23 163
2014 12 22 163
2015 12 22 163
Sumber: Laporan Statistik Perbankan Syariah 2015 Tabel di atas menjelaskan dari tahun 2012 hingga Desember 2015 jumlah bank umum syariah adalah 12 bank, bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah sebanyak 22 bank. Dan jumlah BPRS juga mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya menjadi 163 bank di Desember 2015. Ditambah dengan meningkatnya minat dari masyarakat terhadap perbankan syariah membuat semakin besar dana yang terkumpul dari pihak ketiga. Dari data Bank Indonesia perbankan syariah di Indonesia mempunyai dana pihak ketiga sebesar Rp 4.801.888.000.000. World Bank (2012) mengungkapkan bahwa 30 persen nasabah bank syariah lebih mementingkan faktor Islami guna mengatur keuangannya dan sektor UKM juga lebih banyak memilih perbankan syariah dalam kegiatan bisnisnya dikarenakan kebijakan dan administrasi daripada manajemen dari regulator pemerintah yang selalu mendukung UKM. Ghozali (2012:48) juga mengungkapkan penyebab utama masyarakat memilih bank syariah dikarenakan pelayanan yang diberikan dan kepercayaan terhadap bank syariah, dan menurut 3
Antonio (2012:7) pesatnya pertumbuhan perbankan syariah disebabkan karena kesesuaian dengan ajaran mayoritas penduduk Indonesia. Berikut ini merupakan tabel perkembangan aset dan dana pihak ketiga perbankan syariah di Indonesia. Tabel 1.2. Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode Tahun 2012-2015 (dalam miliar rupiah) Indikator 2012 2013 2014 2015 195.018 242.276 272.343 272.389 Aset 147.512 183.534 217.858 215.339 DPK Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia 2015
Tabel di atas menggambarkan, total aset dan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, seperti periode 2012 hingga 2013 posisi aset mengalami peningkatan sebesar 24,23% dan 24,41% di segi dana pihak ketiga , meskipun pada tahun 2014 hingga Juni 2015 dari segi aset tidak terlalu mengalami kenaikan dan terjadi sedikit penurunan di segi dana pihak ketiga yang terhimpun sebesar 1%, dana pihak ketiga yang terkumpul harus segera disalurkan dananya guna memperoleh kesempatan mendapat keuntungan untuk perbankan syariah melalui prinsip bagi hasil maupun jual beli. Agar bank tidak terkena biaya dana yang besar dikarenakan uang yang mengendap dari dana pihak ketiga. Hal tersebut menyebabkan bank-bank syariah di Indonesia menyalurkan dana pihak ketiga yang terkumpul melalui produk-produk pembiayaan yang mereka tawarkan kepada para nasabahnya. Perbankan syariah memiliki fungsi menyalurkan dana kepada nasabahnya (intermediasi) yang berjalan dengan sangat baik. Hal ini dapat dilihat oleh tingginya presentase Loan to Deposite Ratio (LDR) atau dalam terminologi perbankan syariah disebut Financing to Deposite Ratio (FDR). Pada tahun 2012, 4
rasio FDR perbankan syariah di Indonesia mencapai 100%. Di tahun 2013 berhasil mencapai 100,32%, dan mengalami kenaikan di tahun 2014 yang mencapai 91,5%, di akhir Desember 2015 FDR perbankan syariah mengalami sedikit penurunan ke 88,03% Gambar 1.1. Tingkat Perkembangan FDR Perbankan Syariah di Indonesia 110.00% 105.00% 100.00%
100%
100,32% 91,5%
95.00%
88,03%
90.00% 85.00% 80.00% 75.00% 70.00% 2012
2013
2014
2015
Sumber:
Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia, data diolah dengan excel
Perbankan syariah mengeluarkan pembiayaan kepada sektor-sektor bisnis di Indonesia yang salah satunya adalah sektor UKM. UKM merupakan salah satu pemimpin penggerakan ekonomi riil dengan berbasis pada ekonomi kerakyataan. Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dalam membangun perekonomian suatu negara ataupun daerah, termasuk di Indonesia. Kredit atau pembiayaan UKM adalah pembiayaan kepada debitur usaha mikro, kecil dan menengah yang memenuhi definisi dan kriteria usaha mikro, kecil dan menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UKM. Berdasarkan UU tersebut, UKM adalah usaha produktif yang memenuhi kriteria usaha dengan batasan tertentu kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan.
5
Perkembangan potensi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit atau pembiayaan kepada UKM. Setiap tahun pembiayaan kepada UKM mengalami pertumbuhan dan secara umum pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total pembiayaan perbankan. Usaha mikro kecil menengah menjadi salah satu prioritas dalam agenda pembangunan di Indonesia hal ini terbukti dari bertahannya sektor UKM saat terjadi krisis hebat tahun 1998 dan tahun 2008 silam, bila dibandingkan dengan sektor lain yang lebih besar justru tidak mampu bertahan dengan adanya krisis. Kuncoro (2008:75) mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga, menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor. Di sinilah peran besar perbankan syariah dalam menjalankan fungsi intermediasi sesungguhnya yang menyentuh sektor ekonomi akar rumput. Dilihat dari berbagai skema pembiayaan yang dikembangkan, bank syariah hanya menyalurkan pembiayaan pada sektor riil. Pembiayaan melalui akad murabah, salam, dan ijarah hanya dapat disalurkan apabila ada barang atau jasa (sektor riil) yang bisa dibiayai. Bahkan terbentuk korelasi sempurna antara biaya modal dengan pengembalian atas modal pada pembiyaan dengan akad musyarakah dan mudharabah. Jika dibandingkan dengan perbankan konvesional akan tampak perbedaan yang jelas. Penyaluran pembiayaan atau kredit dari dana pihak ketiga banyak yang masuk pada sektor keuangan dengan transaksi yang penuh dengan ketidakpastian 6
dan aksi spekulasi. Sebagian besar dana yang disalurkan oleh perbankan konvensional tidak memiliki dampak pada ekonomi riil, hal tersebut merupakan dampak dari penyaluran dana pada sektor bebas resiko seperti Sertifikat Bank Indonesia. Dan yang lebih memperparah kinerja perbankan konvensional adalah besarnya dana yang disalurkan ke pasar uang dengan dasar spekulasi. Mubyarto (2004:6), seorang tokoh ekonomi kerakyatan, meragukan peranan perbankan sebagai agent of development dalam pengentasan kemiskinan melalui senjata kredit. Beliau mengkritik beberapa bank daerah yang lebih suka mengirim dana ke pusat untuk diinvestasikan di surat hutang yang lebih aman seperti SBI. Padahal harapan UKM terhadap terhadap peranan bank sangat tinggi, namun sayang mereka tidak dianggap “bankable”. Fenomena itu terjadi pada level bank daerah, yang memang fungsi utamanya memajukan ekonomi daerah. Perbankan syariah bukanlah financial sector based banking sebagaimana yang diterapkan perbankan konvensional. Sebaliknya perbankan syariah merupakan real sector based banking yang menjalankan pembiayaan pada sektor riil dan salah satunya adalah sektor UKM. Perbankan syariah memiliki peran yang cukup besar dalam mengembangkan ekonomi riil di Indonesia berpadu dengan potensi ekonomi kerakyatan dan UKM. Produk-produk pembiyaan dengan skim profit and lost sharing dengan paradigma kemitraan dinilai sangat tepat untuk mengembangkan usaha mikro masyarakat. Dengan pendekatan pembiayaan lembaga keuangan mikro sebagai kepanjangan tangan dari bank-bank syariah diharapkan upaya untuk menjangkau UKM bisa dioptimalkan. Perbankan syariah bisa lebih aktif menjalin kerjasama dengan UKM yang berada ditengah-tengah masyarakat. UKM-UKM tersebut dapat dirangkul sebagai
7
mitra kerja potensial untuk membangkitkan kembali perekonomian masyarakat. Stigma bahwa sektor UKM sangat beresiko merupakan argumentasi yang tidak beralasan. Bertahannya Bank BRI yang bergerak di sektor tersebut pada krisis tahun 1998 membuktikan bahwa risiko pada sektor UKM lebih terdiversifikasi (Antonio 2009:7). Penyaluran pembiayaan perbankan syariah ke sektor UKM dari tahun 2012 hingga akhir tahun 2015 tergolong tinggi. Dan selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut ini tabel lengkap komposisi pembiayaan perbankan syariah di Indonesia berdasarkan golongan pembiayaan.
Tabel 1.3. Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan Tahun 20122015 (Dalam Miliar Rupiah) Golongan 2012 2013 2014 UKM 90.860 110.086 59.806 Selain UKM 56.645 74.034 139.524 Total 147.505 184.120 199.330 Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia 2015
2015 51.603 152.291 203.894
Pada tahun 2012 pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah pada sektor UKM adalah sebesar Rp 90.860.000.000.000 Dan meningkat sebesar 21,16% atau sebesar Rp 110.086.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada akhir tahun 2015 dana yang disalurkan melalui pembiayaan ke sektor UKM oleh perbankan syariah di Indonesia telah mencapai Rp 51.603.000.000.000. Keputusan menyalurkan besarnya pembiayaan ke berbagai sektor bisnis tidak selalu terjadi sesuai seperti yang diharapkan, karena ada berbagai resiko yang harus ditanggung oleh perbankan. Salah satunya adalah resiko kredit yang tercermin oleh rasio kredit bermasalah. 8
Besarnya pertumbuhan aset dan penyaluran pembiyaan perbankan syariah di Indonesia dari tahun 2012 sampai tahun 2015 ternyata tidak diikuti dengan kualitas pembiayaan yang baik. Terjaganya fungsi intermediasi perbankan syariah ternyata juga dibarengi dengan memburuknya kualitas pembiayaan. Hal tersebut ditunjukan dengan meningkatnya angka pembiayaan bermasalah atau Non performing Loan yang dalam terminologi perbankan syariah disebut Non Performing Finance (NPF ). NPL menimbulkan permasalahan bagi pemilik bank dan pemilik deposito. Pertama bagi pemilik bank, dengan semakin tinggi NPL mereka tidak menerima return pasar dari modal mereka. Kedua untuk pemilik deposito tidak menerima return pasar dari deposito atau tabungan mereka. Bank membagi kegagalan kredit atau pembiayaan mereka kepada pemilik deposito dengan cara menekan tingkat suku bunga atau tingkat bagi hasil. (Nasution, 2007:1) Dalam kasus yang lebih buruk, jika bank mengalami kebangkrutan deposan akan kehilangan aset atau dihadapkan dengan jaminan yang tidak seimbang. Bank juga membagi risiko kerugian mereka kepada debitur lain dengan cara menetapkan suku bunga pinjaman, margin, tingkat bagi hasil yang tinggi. Non performing loan akan mengakibatkan jatuhnya sistem perbankan, mengkerutnya pasar saham dan bahkan mengakibatkan kontraksi dalam perekonomian. Tabel 1.4. Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan Tahun 2012-2015 (Dalam Miliar Rupiah) Golongan UKM Non UKM
2012 2060 1209
Total 3269 Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia
2013 2879 1950
2014 3875 4757
2015 4150 5557
4828
8632
9707
9
Pada
tahun
2.060.000.000.000.
2012
NPF
perbankan
Dan
meningkat
syariah
sebesar
39%
adalah
sebesar
Rp
atau
sebesar
Rp
2.879.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada tahun 2015 yang merupakan akhir periode pengamatan, jumlah NPF perbankan syariah di Indonesia meningkat menjadi Rp 4.150.000.000.000. UKM di Indonesia memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Namun demikian hal tersebut tidak mampu mencerminkan kelancaran debitur-debitur dalam melakukan pembayaran atas pembiayaan yang diberikan. Selain Produk Domestik Bruto, salah satu variabel yang memengaruhi tingkat non performing finance adalah ekuivalen tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga merupakan hal yang diperhatikan oleh debitur dalam menerima suatu pembiayaan. Meskipun perbankan syariah tidak mengenal sistem bunga, kinerja pembiayaan sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga yang diberikan bank sentral, maka dapat mempengaruhi tingkat bagi hasil yang diminta oleh bank sehingga tingkat non performing financing akan semakin meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi NPF pada perbankan syariah salah satunya ialah financing to deposit ratio (FDR).FDR adalah rasio antara jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. FDR ditentukkan oleh perbandingan antara jumlah pinjaman yang diberikan dengan dana masyarakat yang dihimpun yaitu mencakup giro, simpanan berjangka (deposito), dan tabungan. FDR tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang
10
diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin besar kredit maka pendapatan yang diperoleh naik, karena pendapatan naik secara otomatis laba juga akan mengalami kenaikan. (IlmuPerbankan, 2010:03). Faktor penyebab berikutnya dari non performing loan atau non performing financing adalah inflasi. Jakubik (2010) melakukan penelitian di Ceko menemukan jika inflasi berpengaruh terhadap resiko kredit. Hogart (2007), yang melakukan penelitian di Inggris raya menemukan pengaruh yang signifikan antara inflasi dengan pembiayaan bermasalah yang diproksikan dengan peningkatan jumlah penghapusan pinjaman. Faktor lainya yang juga memengaruhi tingkat NPF adalah tingkat suku bunga atau dalam perbankan syariah ditunjukan dengan tingkat bagi hasil dan margin. Saba (2012) menemukan terdapat pengaruh negatif yang signifikan tingkat suku bunga terhadap tingkat NPL, beberapa literatur menunjukan adanya pengaruh yang ditimbulkan dari tingkat suku bunga terhadap perbankan syariah. Hakan (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat suku bunga terhadap perbankan syariah Turki. Hasil penilitian menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan yang dihasilkan dari tingkat suku bunga terhadap kinerja perbankan syariah. Di negara dengan dual banking system seperti Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja bank syariah selain dipengaruhi oleh faktor internal manajemen bank syariah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti Ekonomi Makro. Faktor eksternal dari makro ekonomi adalah tingkat suku bunga, nilai tukar, PDB, jumlah uang beredar, dan inflasi (Hakan, 2011). Pada teori bejana yang berhubungan Karim (2004:254), mengungkapkan bahwa kebijakan moneter konvensional akan mempunyai pengaruh terhadap perbankan syariah seperti misalnya tingkat suku bunga. Kebijkan monenter
11
mempengaruhi variabel-variabel neraca bank konvensional (suku bunga kredit, suku bunga deposito, dan sekuritas yang dimiliki). Pada umumnya mekanisme tersebut ditransmisikan melalui suku bunga kredit. Di pihak lain, perbankan syariah yang notabene tidak mengenal bunga dalam praktek operasionalnya juga terpengaruh oleh kebijakan moneter tersebut (Adi, 2012:14). Pengaruh tersebut terlihat pada kondisi neraca bank syariah. Yakni pada tingkat nisbah bagi hasil deposito investasi mudharabah. Sementara pengaruh suku bunga SBI terhadap nisbah pembiayaan bank syariah ditransmisikan melalui suku bunga kredit. Tabel 1.5. Perkembangan variabel-variabel yang mempengaruhi Non Performing Financing Tahun 2012 2013 2014 2015
FDR (%) 100 100,32 91,5 96,52
Kurs BI 10.194 10.934 10.164 10.010
Inflasi (%) 4,30 8,38 8,36 3,35
BI Rate (%) 5,75 7,50
7,75
Total Pembiayaan (Miliar Rupiah) 3.269 4.828 8.632 9.707
7,50 Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia dan bi.go.id
Berdasarkan data non performing financing, keragaman argumentasi (research gap) penelitian yang ada, ditambah dengan tingkat financing to deposit rate (FDR), inflasi, BI Rate, dan total pembiayaan yang disinyalir memiliki pengaruh terhadap pembiayaan bermasalah (NPF), Membuat penulis ingin meneliti lebih lanjut dengan membuat penelitian berjudul : “Analisis Pengaruh Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar Rupiah (KURS), Inflasi, dan BI Rate Terhadap Pembiayaan Bermasalah (NPF) di Sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia”. B. Rumusan Masalah Kredit macet atau pembiayaan bermasalah dalam dunia perbankan syariah (NPF) ialah masalah yang muncul sebagai akibat terjadinya konstraksi output disatu pihak. NPF ini juga lebih disebabkan oleh pengelolaan perbankan yang 12
kurang dalam mengaplikasikan prinsip kehati-hatian (prudential
banking
principles), padahal bank merupakan institusi keuangan yang sarat dengan batasan dan perturan (the most regulated industry in the world). Di samping itu juga, kurang ditaatinya Kode Etik Bankir Indonesia yang diharapkan dapat menjadi pedoman moral bagi para bankir dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sementara di sisi lain, kalangan usaha kecil dan menengah ternyata lebih mampu bertahan menghadapi krisis. Hal ini lebih disebabkan karena mereka bergerak di sektor riil, sehingga mereka mempunyai ketergantungan kepada perbankan yang renda, dan pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah ke sektor UKM sangat besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal tersebut tentunya membuat risiko kegagalan bayar pembiayaan sektor UKM menjadi tinggi. Dari latar belakang masalah menjelaskan bahwa kondisi ekonomi negara dan spefikasi bank berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya non performing finance pada perbankan syariah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan suatu permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Apakah financing to deposit ratio berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ? 2. Apakah nilai tukar rupiah (KURS) berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ? 3. Apakah inflasi berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ? 4. Apakah BI Rate berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ? 5. Apakah FDR, Kurs, inflasi, dan BI Rate berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara simultan ? 6. Variabel bebas apa yang paling berpengaruh terhadap tingkat NPF ?
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh FDR, Kurs, inflasi,dan BI Rate dari masing-masing variabel terhadap pembiayaan bermasalah (NPF) pada sektor UKM perbankan syariah di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh FDR, Kurs, inflasi, dan BI Rate secara bersamaan dari setiap variabel terhadap pembiayaan bermasalah (NPF) pada sektor UKM perbankan syariah di Indonesia. 3. Serta menganalisis variabel apa yang paling memiliki pengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, yaitu: 1. Memberikan ilmu pengetahuan dan masukan tentang permasalahan yang dihadapi oleh praktisi perbankan syariah di Indonesia dalam mengambil keputusan berkaitan risiko dalam pembiayaan agar bisa meminimalisir potensi kredit atau pembiayaan bermasalah. 2.
Dapat memperkaya pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari dengan membandingkannya dalam praktik perbankan khususnya berkenaan dengan tema perbankan syariah dan non performing financing
3. Diharapkan penelitian ini berguna bagi penelitian kedepannya berkenaan dengan topik penelitian ini.
14
4. Memberikan suatu pandangan bagi masyarakat dalam menilai kondisi perbankan konvensional dan perbankan syariah yang baik yang tercermin dari potensi risiko kredit masing-masing bank.
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. UKM 1. Pengertian UKM Usaha kecil di Indonesia belum pasti dan masih sangat beragam pengertiannya, sebelum dikeluarkannya UU No 9/1995 terdapat lima instansi yang merumuskan usaha kecil dengan caranya masing-masing, kelima instansi tersebut adalah Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian, Bank Indonesia, Departemen Perdagangan dan Kamar dagang dan Industri. (Adi 2012:48) Departemen Perindustrian dan Bank Indonesia mendefinisikan usaha kecil berdasarkan nilai asetnya. Menurut kedua instansi ini yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha yang assetnya (tidak termasuk tanah dan bangunan) bernilai kurang dari Rp 600 juta. Departemen perdagangan membatasi usaha kecil berdasarkan modal kerjanya, yakni usaha (dagang) yang modal kerjanya bernilai kurang dari Rp 25 juta. Sedangkan KADIN membedakan usaha kecil menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang bergerak dalam bidang perdagangan, pertanian dan industri. Kelompok kedua adalah yang bergerak dalam bidang konstruksi. Menurut Kadin yang dimaskud dengan usaha kecil untuk kelompok pertama adalah yang memiliki modal kerja kurang dari Rp 150 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp 600 juta. Adapun untuk kelompok kedua yang dimaksud dengan usaha kecil adalah yang memiliki modal kerja kurang dari Rp 250 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp 1 milyar. Berbeda dari keempat instansi tersebut BPS
16
mengemukakannya untuk usaha kecil sektor industri. Menurut BPS yang dimaksud dengan industri kecil adalah usaha industri yang melibatkan tenaga kerja antara lima sampai 19 orang. Sedangkan yang dimaksud dengan industri rumah tangga adalah usaha industri yang memperkerjakan kurang dari lima orang. 2. Kriteria UKM Berdasarkan kelima batasan tersebut dapat kita katakan betapa sangat beragamnya pengertian usaha kecil yang berlaku di Indonesia. Tetapi diluar kelima pengertian tersebut pemerintah telah menetapkannya dalam rumusan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 . Menurut UU ini yang dimaksud dengan usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, diantaranya: a. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut: 1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). b. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut: 1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). c. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
17
1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar
lima
ratus
juta
rupiah)
sampai
dengan
paling
banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). 3. Karakteristik UKM Dari definisi-definisi tersebut dapat digambarkan bahwa UKM bisa menjadi sebuah lokomotif penting dalam pertumbuhan ekonomi bangsa, menurut (Tambunan, 2009:40) UKM sangat penting karena karakteristik-karekteristik utama mereka yang berbeda dengan usaha besar, diantaranya: a. Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah usaha besar) terutama dari kategori usaha mikro dan usaha kecil. Dan hal ini juga didasarkan pada karakter usaha mikro dan usaha kecil yang tersebar diseluruh pelosok pedesaan termasuk diwilayah-wilayah yang relatif terisolasi. b. Karena sangat padat karya,berarti mempunyai suatu potensi pertumbuhan kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari kebijakan-kebijakn nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan, terutama bagi masyarakat miskin. c. Kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok UMKM pada umumnya dari berbasis pertanian. Oleh karena itu upaya-upaya pemerintah mendukung UMKM sekaligus juga merupakan cara tak langsung, tetapi efektif untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi disektor pertanian.
18
d. UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih “cocok” terhadap proporsiproporsi dari faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang ada di negara sangat berkembang, yakni sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja berpendidikan rendah yang berlimpah. e. Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa bertahan pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar pada tahun 1997/1998. f. Walaupun pada umumnya masyarakat pedesaan miskin, banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa menabung dan mereka mau mengambil risiko dengan melakukan investasi. Dalam hal ini, UMKM bisa menjadi suatu titik permulaan bagi mobilisasi tabungan/investasi di perdesaan dan disisi lain bisa meningkatkan kemampuan berwirausaha dari orang-orang desa. g. Kelompok usaha ini dapat memainkan suatu peran penting lainnya, yaitu sebagai suatu alat untuk mengalokasikan tabungan-tabungan perdesaan, yang kalau tidak akan digunakan untuk maksud-maksud yang tidak produktif. h. Walaupun banyak barang yang diproduksi oleh UMKM juga untuk masyarakat kelas menegah dan atas, tetapi terbukti secara umum bahwa pasar utama bagi UMKM adalah untuk barang-barang konsumsi sederhana dengan harga relatif murah seperti pakaian jadi,mebel dari kayu,alas kaki dan lainnya yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dari masyarakat miskin atau berpendapatan rendah. i. Sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM yang mampu meningkatakan produktivitasnya lewat investasi dan perubahan teknologi j. Seperti sering dikatakan dalam literature, satu keunggulan dari UMKM adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relatif terhadap pesaingnya (usaha besar).
19
Kelompok usaha ini dilihat sangat penting di industri-industri yang tidak stabil atau ekonomi-ekonomi yang menghadapi perubahan-perubahan kondisi pasar yang cepat, seperti krisis ekonomi 1997/98 yang dialami oleh beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu dengan menyadari betapa pentingnya UMKM secara potensial seperti yang diuraikan diatas tersebut tidak heran kenapa pemerintah-pemerintah dihampir semua negara berkembang termasuk Indonesia sudah sejak lama mempunyai berbagai macam program, dengan skimskim
kredit
bersubsidi
sebagai
komponen
terpenting untuk
mendukung
perkembangan dan pertumbuhan UMKM (Tambunan, 2009:50).
B. Bank Syariah 1. Pengertian Bank Syariah Perbankan adalah lembaga yang mempunyai peran utama dalam pembangunan suatu negara. Peran ini terwujud dalam fungsi bank sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution), yakni menghimpuin dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. (Khotibul 2016) Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berdasarkan prinsip operasionalnya bank dibedakan menjadi dua, yakni bank konvesional yang mendasarkan pada prinsip bunga dan bank berdasarkan prinsip syariah atau yang kemudian lazim dikenal dengan bank syariah.Bank syariah terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah atau yang saat ini disebut sebagai Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
20
Perbankan syariah merupakan institusi yang memberikan layanan jasa perbankan prinsip syariah. Dalam UU No. UU No. 21 Tahun 2008 prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Prinsip ini menggantikan prinsip bunga yang terdapat dalam sistem perbankan konvensional. Konsekuensi hukum dari penggunaan prinsip syariah dalam operasional perbankan adalah bahwa produk perbankan syariah lebih bervariasi dibanding produk perbankan konvensional. Bahwa produk perbankan konvensional, khususnya produk penghimpunan dana dan penyaluran dana hanya mendasarkan pada sistem bunga sebagai bentuk prestasi dan kontraprestasi atas penggunaan dana, sedangkan pada perbankan syariah mendasarkan pada akad-akad tradisional Islam yang mana keberadaannya sangat tergantung pada kebutuhan riil nasabah. 2. Jenis-jenis Risiko Bank Syariah a. Risiko Pembiayaan Risiko pembiayaan muncul akibat adanya kegagalan counterpary dalam memenuhi kewajibannya. Karim (2007: 260) membagi jenis-jenis resiko pada bank syariah menjadi risiko terkait produk dan risiko terkait korporasi. Risiko yang terkait dengan produk ditimbulkan oleh jenis produk pada perbankan syariah yang mempunyai karakteristik yang khas yakni pembiayaan Natural Certainty Contracts (seperti akad murabahah, ijarah, salam, istishna) dan Natural Uncertainty Contracts (mudharabah dan musyarakah). Sementara itu pada risiko terkait pembiayaan korporasi muncul sebagai akibat dari perubahan kondisi bisnis setelah pembiayaan, komitmen modal yang terlalu berlebihan, dan lemahnya analisis bank.
21
b. Risiko Pasar Risiko pasar adalah risiko kerugian yang terjadi pada portofolio yang dimiliki oleh bank, penyebabnya adalah karena terjadi pergerakan variabel pasar berupa suku bunga dan nilai tukar. Menurut Karim (2007:272) risiko pasar terdiri dari empat hal, yaitu risiko tingkat suku bunga, risiko pertukaran mata uang risiko harga dan risiko likuiditas. 1) Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk) Risiko tingkat suku bunga merupakan risiko yang harus dihadapi bank dikarenakan terjadinya fluktuasi tingkat suku bunga. Dalam hal ini, meskipun bank syariah tidak menetapkan suku bunga pada sisi pendanaan dan pembiayaan, namun bank syariah tidak akan dapat terlepas dari risiko tingkat suku bunga. Hal ini disebabkan pangsa pasar yang disasar oleh bank syariah tidak hanya nasabah-nasabah yang loyal penuh terhadap sistem syariah. 2) Risiko Pertukaran Mata Uang (Foreign Exchange Rate) Risiko ini merupakan suatu konsekuensi yang berkaitan dengan adanya pergerakan nilai tukar terhadap rugi laba bank. Meskipun aktivitasaktivitas pendanaan bank syariah tidak terpengaruhi fluktuasi kurs secara langsung karena tidak dibolehkan melakukan transaksi yang bersifat spekulasi, namun bank syariah tidak dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta asing. Mengingat bank syariah tidak berkenan berspekulasi, maka transaksi seperti forward, margin trading, option, dan swap tidak boleh dijalankan. Yang diperkenankan adalah untuk kebutuhan transaksi atau berjaga-jaga dan
22
transaksi tersebut harus dilakukan secara tunai atau spot. Seperti pembayaran dengan cek, pemindahbukuan, transfer, dan sarana pembayaran tunai lainnya. c. Risiko Likuiditas Menurut Arifin (2009:245) risiko likuiditas adalah risiko yang muncul manakala bank tidak mampu memenuhi kebetuhan dana (cash flow) dengan segera, dan dengan biaya yang sesuai, baik untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana yang mendesak. Menurutnya, besar-kecilnya risiko ini ditentukan oleh: 1) Kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus dana (fund flow) berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana (volatility of funds). 2) Ketepatan dalam mengatur struktur dana, termasuk kecukupan dana-dana non profit and loss sharing. 3) Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas. 4) Kemampuan menciptakan aset ke pasar antarbank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort. d. Risiko Operasional Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakcukupan proses internal, human error, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasi bank (Greuning, 2008:174). Menurut Greuning, terdapat beberapa hal yang dapat memicu peningkatan risiko operasional pada bank Islam, diantaranya adalah: 1) Risiko pembatalan perjanjian pada pembiayaan yang tidak mengikat seperti murabahah (partenership) dan istishna (manufacturing).
23
2) Kegagalan sistem pengendali internal dalam mendeteksi dan mengelola masalah potensial pada proses operasional. 3) Potensi menghadapi kesulitan dalam penguatan akad atau kontrak pada lingkungan legal yang lebih lebih luas. 4) Kebutuhan
untuk
memelihara
dan
mengelola
komoditas
yang
diinventorisasikan pada pasar yang tidak likuid. 5) Kegagalan mematuhi persyaratan syariah. Menurut Arifin (2008:271) terdapat empat risiko yang berkaitan dengan risiko operasional diantaranya adalah: 1) Risiko Reputasi: adalah risiko yang disebabkan oleh adanya publikasi negatif terkait dengan kegiatan bank. 2) Risiko Kepatuhan: adalah risiko yang muncul akibat dari ketidakpatuhan ketentuan-ketentuan internal dan eksternal seperti GWM, batas pemberian pembiayaan, ketentuan dalam akad, fatwa Dewan Syariah Nasional dan lain sebagainya. 3) Risiko Strategi: risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan yang salah, atau bank tidak mematuhi perubahan perundang-undangan dan ketentulan lain. 4) Risiko Hukum: risiko ini muncul sebagai akibat dari adanya kelemahan aspek yuridis seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan undangundang yang mendukung suatu kebijakan dan kegiatan pembiayaan.
C. Manajemen Risiko Pembiayaan 1. Konsep dan Definisi
24
Dalam menjalankan fungsinya yakni memberikan pembiayaan kepada masyarakat oleh bank syariah selalu berdampingan dengan risiko. Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan bahwa: Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengukuran terhadap risiko perbankan. Hal-hal seperti jumlah pembiayaan yang diberikan, kuantitas dan kualitas risiko. Secara keseluruhan risiko pembiayaan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan risiko-risiko lainnya, karena ketidakmampuan nasabah memenuhi kewajiban pembiayaannya dapat mengakibatkan bank merugi dan mengikis permodalan bank yang berujung pada kebangkrutan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan sebuah upaya manajerial terhadap risiko yang muncul akibat dari penyaluran pembiayaan. Hal ini dimaksudkan agar kualitas pembiayaan senantiasa dalam keadaan lancar. Senada dengan hal yang dinyatakan oleh Tampubolon (2004:35) dalam bukunya dijelaskan bahwa: Manajemen risiko merupakan sejumlah kegiatan yang bersifat proaktif dan terarah yang ditujukan untuk mengakomodasi kemungkinan gagal pada salah satu atau sebagian dari sebuah transaksi atau instrumen. Karena itu manajemen risiko
25
haruslah dinamis tidak statis, dan berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan dan risiko usaha. Resiko kredit atau pembiayaan berbahaya bagi kelangsungan hidup bank karena dapat menyebabkan bank gagal memenuhi kewajibannya dan menggerus profitabilitas bank (Rose, 2002:326). Risiko kredit adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak lawan memenuhi kewajibannya. Risiko ini dapat timbul karena kinerja satu atau lebih debitur yang buruk. Kinerja debitur yang buruk ini dapat berupa ketidakmampuan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh isi perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya. Bank Indonesia mendefininisikan manajemen risiko sebagai serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. 2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan Secara umum manajemen risiko merupakan serangkaian proses yang diawali dengan proses identifikasi, pengukuran, monitoring dan pengelolaan terhadap risiko-risiko portofolio. Dengan demikian pengelola bank dapat selalu memantau agar risiko tidak mempengaruhi tingkat likuiditas bank itu sendiri. Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi, bank selalu dihadapkan pada risiko – risiko bisnis. Risiko bisnis yang dihadapi mencakup diantaranya risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko legal. Untuk menjaga dan mengurangi risiko kerugian, bank wajib melaksanakan transaksi yang berpedoman pada kebijakan dan penerapan manajemen risiko yang telah ditetapkan pemerintah yang berlandaskan pada prinsip kehati – hatian. Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 mengidentifikasikan empat aspek pokok yang sekurangnya tercakup dalam manajemen risiko, yaitu
26
diantaranya, pertama adalah pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi. Kedua adalah kebijakan, prosedur dan penetapan limit. Ketiga adalah proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi manajemen risiko kredit. Keempat adalah Pengendalian Risiko Kredit. 3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 pada tanggal 19 Mei 2003 tentang “Penerapan Manajemen Risiko Untuk Bank Umum”, merupakan wujud keseriusan Bank Indonesia dalam masalah manajemen risiko perbankan. Keseriusan tersebut dipertegas
lagi
dengan
dikeluarkannya
Peraturan
Bank
Indonesia
No.
7/25/PBI/2005 pada Agustus tahun 2005 tentang “Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus Dan Pajabat Bank Umum”, yang mengharuskan seluruh pejabat bank dari tingkat terendah hingga tertinggi untuk memiliki sertifikasi manajemen risiko yang sesuai dengan tingkat jabatannya. Tujuan dari manajemen risiko menurut Tampubolon (2004 :34) adalah pengelolaan risiko yang mencakup atas prosedur dan metodologi yang digunakan sehingga kegiatan usaha bank tetap dapat terkendali pada batas / limit yang dapat diterima serta menguntungkan bank. Penerapan manajemen risiko tersebut akan memberikan manfaat, baik kepada perbankan maupun otoritas pengawasan bank. Bagi perbankan, penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses pengambilan yang sistematis yang didasarkan atas ketersedian informasi, digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank dan untuk menilai risiko yang melekat pada instrument atau kegiatan usaha bank yang relatif kompleks, serta
27
menciptakan infrastruktur infrastruktur yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank. Dalam proses penerapan manajemen risiko, bank dapat menggunakan berbagai pendekatan pengukuran risiko, baik dengan metode standar yang direkomendasikan oleh Basel Committee on Banking Supervison. Kesepakatan Basel mencetuskan 2 kesepakatan (Basel I dan Basel II). Dalam kesepakatan Basel I hanya mencakup risiko kredit, modal yang disediakan hanya dikaitkan dengan risiko kredit, dan dalam mengukur kecukupan modal menurut risiko kredit didasari oleh beberapa kalkulasi yang terdiri dari bobot risiko aktiva dan bobot risiko, penyetaraan dengan risiko kredit, target rasio modal dan kalkulasi konsumsi modal yang memenuhi syarat, kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat, struktur modal (El Tiby, 2011:102). Dalam kesepakatan Basel II digunakan pendekatan baru dalam hal pengawasan bank. Kerangka baru Basel II dirancang mencakup tiga konsep yang dikenal sebagai tiga pilar. Ketiga pilar tersebut diantaranya adalah pilar 1 yaitu Kewajiban penyediaan modal minimum. Pilar 2 yaitu tinjauan berdasar regulasi dari kecukupan modal dari masing – masing bank dan proses penilaian internal. Dan pilar 3 yaitu disiplin pasar yang efektif sebagai pengungkit untuk memperkuat keterbukaan dan mendorong agar bank lebih aman dalam prakteknya (El Tiby, 2011:107).
4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan Agar efektif, dalam proses manajemen risiko perlu adanya kerangka kerja, diantaranya. Memahami rantai risiko, dengan pehaman ini satuan kerja manajemen risiko wajib terlebih dahulu melakukan analisis lingkungan untuk menetapkan
28
masalah atau peluang, cakupan dan konteks serta isu yang berhubungan dengan risiko, seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Menurut Tampubolon (2004:41) bkerangka kerja manajemen risiko pembiayaan atau kredit adalah sebagai berikut: a. Melakukan analisis terhadap stakeholder (deposan, debitur, pemilik saham) untuk menetapkan atau mengkaji toleransi risiko, posisi dan perilaku dari para stakeholder. b. Memahami situasi atau peristiwa yang pernah diambil perusahaan yang dapat mendatangkan kerugian. c. Melakukan penilaian atas risiko dan pengendalian yang ada. Menyusun tanggapan atas risiko yang ada. d. Menetapkan aktivitas pengendalian berupa program mitigasi risiko. e. Mengkomunikasikan risiko dan manajemen risiko. Melakukan pemantauan terhadap risiko dan pengelolaanya. 5. Fungsi Manajemen Risiko Manajemen risiko adalah sebuah pola pikir, oleh karena itu semua pejabat bank bisa atau mampu mewaspadai risiko dan menerapkan manajemen risiko dengan baik. Fungsi manajemen risiko tidak hanya sekedar memelihara tingkat profitabilitas dan kesehatan bank, namun juga untuk memelihara integritas dan stabilitas sistem keuangan yang kritis terhadap kesehatan perekonomian nasional. Secara garis besar, menurut Tampubolon (2004:45) manajemen risiko berfungsi untuk: a. Menunjang ketepatan proses perencanaan dan pengambilan keputusan b. Menunjang efektifitas perumusan kebijakan sistem manajemen dan bisnis. c. Menciptakan Early Warning System untuk meminimumkan risiko.
29
d. Menunjang kualitas pengelolaan dan pengendalian pemenuhan tingkat kesehatan bank. e. Menunjang penciptaan/pengembangan keunggulan kompetitif. f. Memaksimalisasi kualitas portofolio perkreditan bank. D. Pembiayaan Bermasalah (NPF) 1. Konsep Pembiayaan Bermasalah Suatu kredit dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak mampu mengahadapi risiko yang ditimbulkan oleh kredit tersebut. Risiko kredit atau pembiayaan didefinisikan sebagai risiko yang muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan bunga dari pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya (Arifin, 2008:263). Sebagai indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit adalah tercermin dari besarnya non performing loan (NPL), dalam terminologi bank syariah disebut non perfoming financing (NPF). Non Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet. Dalam peraturan bank indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pasal 9 ayat (2), bahwa kualitas aktiva produktif dalam bentuk pembiayaan dibagi dalam 5 golongan yaitu lancar (L), dalam perhatian khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan (D), macet (M). Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31 tentang akuntansi perbankan butir 24 menyebutkan bahwa:
30
“Kredit non performing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan/atau bunganya telah terlewat sembilan puluh hari atau lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit non performing terdiri atas kredit yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.” Sedangkan Sutojo (2008:13) menyatakan jika “pengertian kredit bermasalah adalah suatu keadaan di mana debitur mengingkari janji mereka membayar bunga dan atau kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran”. Dari kelima kualitas pembiayaan yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet, yang tergolong dalam pembiayaan bermasalah atau non performing financing adalah pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet. Berdasarkan surat Edaran Bank Indonesia Nomor7/56/DPbS tanggal 9 Desember 2005, pedoman untuk perhitungan rasio non performing finance (NPF) dihitung dengan cara sebagai berikut:
NPF =
Pembiayaan yang bermasalah
X 100%
Total Pembiayaan Disalurkan Rasio ini menunjukan kualitas pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan. Semakin tinggi rasio NPF maka kualitas pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah semakin memburuk. Kelancaran kegiatan usaha bank syariah dapat terganggu apabila rasio semakin meningkat dan dapat berakibat pada tingkat kesehatan bank itu sendiri.
31
Bank Indonesia sebagai regulator yang turut mengatur perbankan syariah di Indonesia menetapkan bahwa batas maksimum tingkat pembiayaan yang bermasalah sebesar 5% dari total pembiayaan yang diberikan. 2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah Pembiayaan bermasalah merupakan sumber permasalahan bank. Adanya pembiayaan bermasalah ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Sutojo (2008:18) menuturkan terjadinya kredit bermasalah disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya: a. Faktor Internal: 1) Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis kelayakan permintaan kredit yang diajukan oleh calon debitur. 2) Lemahnya sistem administrasi kredit atau pembiayaan serta sistem administrasi bank. 3) Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham 4) Pengikatan jaminan kredit yang kurang sempurna b. Faktor debitur 1) Salah urus atau mismanagement 2) Kurangnya pengalaman dan pengetahuan pemilik dalam bidang usaha yang dijalani. 3) Penipuan c. Faktor Eksternal 1) Perkembangan kondisi ekonomi atau bidang usaha yang merugikan. 2) Bencana alam 3) Regulasi pemerintah 3. Dampak Pembiayaan Bermasalah
32
Adanya pembiayaan bermasalah ini akan memberikan dampak negatif kepada beberapa pihak, Sutojo (2008:25) menjelaskan bahwa terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari pembiayaan bermasalah diantaranya adalah: a. Bank yang bersangkutan akan mengalami gangguan profitablitias untuk menutupi cadangan pembiayaan bermasalah. b. Jumlah modal bank akan terkikis dan menurunkan rasio kecukupan modal bank. c. Nasabah sendiri akan kehilangan kepercayaan pihak luar dan relasi bisnis, serta citra dan nama baik yang rusak. Sementara nasabah lainnya akan kesulitan mendapatkan pembiayaan dari bank yang bersangkutan. d. Perputaran dana bank di masyarakat akan terhenti. e. Pengusaha di dalam negeri akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan untuk ekspansi usahanya. E. Financing to Deposit Ratio (FDR) 1. Definisi FDR Perbankan syariah tidak mengenal kredit (loan) dalam penyaluran dananya, karena itu aktifitas penyaluran dana yang dilakukan bank syariah lebih mengarah kepada pembiayaan. FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. (Muhammad, 2005:55) FDR disebut juga rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga yang digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit. Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama bank yang berasal dari kegiatan ini. Deposit atau simpanan masyarakat pada suatu bank membawa konsekuensi semakin besarnya resiko yang ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Tinggi
33
rendahnya rasio ini menunjukan tingkat likuiditas bank tersebut. Berdasarkan surat edaran bank Indonesia No 26/5/BPPP tanggal 29 mei 1993, besarnya FDR telah ditentukan oleh bank Indonesia tidak boleh melebihi 110%. Yang berarti bank boleh memberikan kredit atau pembiayaan melebihi jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun asalkan tidak melebihi 100% (Muhammad, 2005:56) 2. Penilaian Tingkat Financing to Deposit Ratio Secara sistematis financing to Deposit Ratio (FDR) dapat dirumuskan sebagai berikut: (Sesuai SE No.6/23/DPNP Tanggal 31 Mei 2004)
Tujuan penting dari perhitungan FDR adalah untuk mengetahui serta menilaisampai berapa jauh bank memliki kondisi sehat dalam menjalankan operasiatau kegiatan usahanya. Dengan kata lain FDR digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia tanggal 29 Mei 1993, termasuk dalam dana yang diterima bank adalah sebagai berikut: 1. KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) (jika ada). 2. Giro, deposito, dan tabungan masyarakat. 3.Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan,tidak termasuk pinjaman subordinasi. 4. Deposito dan pinjaman dari bank lain yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan. 5. Surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan 6. Modal pinjaman. 7. Modal inti. 34
Batas aman tingkat LDR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 110%. Tolok ukur untuk tingkat LDR atau istilah perbankan syariah FDR yang baik menurut BI tampak pada tabel : Tabel 1.6 Tingkat Loan to Deposit Ratio
Sumber : www.bi.go.id Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah pula kemampuan likuiditas bank (Dendawijaya, 2004:97). Rasio yang tinggi menunjukkan bahwa bank meminjamkan seluruh dananya atau relatif tidak likuid. Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan. Oleh karena itu, rasio ini juga dapat untuk member isyarat apakah suatu pinjaman masih dapat mengalami ekspansi atau sebaliknya dibatasi. Jika bank syariah memiliki FDR yang terlalu kecil maka bank akan kesulitan untuk menutup simpanan nasabah dengan jumlah pembiayaan yang ada, Jika bank mempunyai FDR yang sangat tinggi, maka bank akan mempunyai risiko tidak tertagihnya pinjaman yang tinggi pada titik tertentu bank akan mengalami kerugian (Susilo, 1999:24).
35
Selanjutnya FDR dapat pula digunakan untuk menilai strategi manajemen suatu bank. Manajemen bank konservatif biasanya cenderung memiliki FDR yang relatif rendah. Sebaliknya bila FDR melebihi batas toleransi dapat dikatakan manajemen bank yang bersangkutan sangat expansif atau agresif. (Siamat, 2001:32) 3. Hubungan antara Financing Deposit to Rasio (FDR) terhadap Non Performing Financing Perbankan Syariah FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. (Muhammad, 2005:55). Hubungan antara financing deposit to rasio (FDR) terhadap non performing financing (NPF), FDR adalah rasio dana pihak ketiga terhadap pembiayaan, FDR ada karena ada aktifitas dana pihak ketiga, ketika dana pihak ketiga (DPK) tinggi maka secara teori pembiayaan pun akan ikut meningkat, karena DPK yang ada akan disalurkan pada sector riil, namun ketika rasio pembiayaan (FDR) yang cukup tinggi, akan muncul permasalahan pokok utama bank syariah adalah meningkatnya NPF atau pembiayaan non lancar karena dalam menjalankan bisnis perbankan yang penuh dengan resiko, bank syariah juga tidak terlepas dari resiko pembiayaan bermasalah karena pembiayaan bermasalah tidak akan terjadi tanpa adanya aktivitas pembiayaan yang disalurkan sehingga bank syariah perlu mengatur strategi agar tingkat NPF di bank syariah tidak dalam kondisi yang menghawatirkan. Penelitian yang dilakukan oleh Maryanto (2010) yaitu meneliti tentang pengaruh FDR terhadap non performing financing perbankan syariah dengan menggunakan model regresi linier berganda menunjukan bahwa variabel FDR secara simultan terdapat pengaruh yang nyata terhadap non performing financing
36
perbankan syariah dan FDR secara parsial mempunyai pengaruh signifikan dan berkoefisien negatif. F. Nilai Tukar (Kurs) 1. Definisi Nilai Tukar Kurs (exchange rate) atau nilai tukar sering didefinisikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya (Salvatore, 1997:9). Nilai tukar valuta asing adalah harga satuan mata uang dalam satuan mata uang lain. Nilai tukar valuta asing ditentukan dalam pasar valuta asing yaitu pasar tempat berbagai mata uang yang berbeda diperdagangkan (Samuelson dan Nordhaus, 2004:604). Kurs dibagi menjadi dua, yaitu: kurs nominal dan kurs riil, berikut pengertian kurs menurut para ahli : Nominal exchange rate and real exchange rate. The nominal exchange rate is the relative price of two different kinds money, as set in the foreign exchange maket ( DeLong, 2002:29) Exchange rate changes have their own terminology. Depreciation of a curerency refers to the fact that one currency has become cheaper in terms of another currency. (Schiller, 2003:441). The other side of defreciation is appreciation, an in crease in value of one currency as expressed in another country”s currency. Whenever one currency depreciates, another currency must appreciate. When the exchange rate changed from 2 euros = $1 to 1 euro=$1, not oly did the euro of a dollar fall, the dollar price of a euro rise. Hence, the euro appreciated as the dollar depreciated. (Schiller, 2003:442) Kurs valuta asing diklasifikasikan kedalam kurs jual, kurs beli, dan kurs tengah, untuk melihat pengertian dari kurs jual dan kurs beli maka lihatlah dari sudut pandang bank. Kurs jual adalah yaitu kurs yang digunakan apabila bank atau money changer menjual valuta asing atau apabila kita akan menukarkan rupiah
37
dengan valuta asing yang kita butuhkan (masyarakat membeli mata uang asing). Begitu pula sebaliknya dengan kurs beli, kurs beli yaitu kurs yang digunakan apabila bank atau money changer membeli valuta asing atau apabila kita akan menukarkan valuta asing yang kita miliki dengan rupiah. (masyarakat menjual uang asing). Kurs tengah yaitu kurs antara kurs jual dan kurs beli (penjumlahan kurs beli dan kurs jual yang dibagi dua) (www.mypanjimshs. blogspot.com). Menurut Kuncoro (2008:42) kurs rupiah adalah nilai tukar sejumlah rupiah yang diperlukan untuk membeli satu US$ (US dollar). Nilai tukar tersebut ditentukan oleh kekuatan dan penawaran pasar atau istilah lainnya adalah mekanisme pasar. Kurs adalah harga dari asset domestic (deposito bank, obligasi, saham, dan lain-lain yang didenominasikan dalam mata uang domestik) dinyatakan dalam asset luar negeri (asset serupa yang dengan didedominasi dalam mata uang asing). (Miskhin, 2008:116) 2. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kurs Valuta Asing Menurut Sukirno (2004:402) perubahan dalam permintaan dan penawaran suatu valuta asing yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam kurs valuta asing, disebabkan oleh banyak faktor. Yang terpenting diantaranya adalah seperti sebagai berikut: a. Perubahan dalam cita rasa masyarakat. Citarasa masyarakat mempengaruhi corak ekonomi mereka. Maka perubahan cita rasa masyarakat akan mengubah corak konsumsi mereka atas barang-barang yang diproduksi didalam negri maupun yang diimpor.Jika kualitas barang impor lebih berkualitas daripada barang-barang yang diproduksi dalam negri akan menyebabkan keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi barang-barang impor bertambah besar sehingga permintaan barang impor akan bertambah besar,
38
perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing. b. Perubahan harga-harga barang ekspor dan impor. Harga suatu barang merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah suatu barang akan diimpor atau diekspor. Barang-barang dalam negeri yang dapat dijual dengan harga yang relatif lebih murah akan menaikan ekspor dan apabila haragnya naik maka ekspor akan berkurang. Pengurangan harga barang impor akan menambah jumlah impor. Dan sebaliknya, impor akan menyebabkan perubahan dalam penawaran dan permintaan uang negara tersebut. c. Kenaikan-kenaikan harga umum (inflasi) Inflasi sangat besar pengaruhnya kepada kurs pertukaran valuta asing. Inflasi yang berlaku pada umumnya cenderung untuk menurunkan nilai suatu valuta asing. Kecendrungan seperti ini disebabkan efek inflasi yang berikut: inflasi menyebabkan harga barang-barang ekspor menjadi lebih mahal. Oleh karena itu, inflasi berkecendrungan mengurangi ekspor, keadaan ini menyebabkan permintaan valuta asing bertambah dan akhirnya harga valuta asing akan bertambah. d. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi. Suku bunga dan tingkat pengembalian sangat penting dalam mempengaruhi aliran modal. Suku bunga dan tingkat pengembalian yang sangat rendah cenderung akan menyebabkan modal dalam negeri akan mengalir keluar negeri. Begitupun sebaliknya, suku bunga dan pengembalian investasi yang tinggi akan menyebabkan modal luar negeri masuk kenegera tersebut. Apabila lebih banyak modal mengalir kesuatu negara, permintaan keatas maka uangnya bertambah maka nilai mata uang tersebut akan bertambah.
39
e. Pertumbuhan ekonomi Efek yang akan diakibatkan oleh suatu kemajuan ekonomi yang berlaku. Apabila kemajuan itu ternyata diakibatkan oleh perkembangan ekspor, maka permintaan keatas maka uang negara tersebut bertambah lebih cepat dari penawarannya dan oleh karenanya nilai mata uang negara bersangkutan akan meningkat. 3. Hubungan Kurs dengan Non Performing Financing Perbankan Syariah Kurs (exchange rate) atau nilai tukar adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya (Salvatore, 1997:9). Hubungan kurs dengan non performing financing dapat dilihat dari kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing, ketika terjadi perubahan kurs rupiah terhadap asing sangat berpengaruh kepada kelancaran usaha nasabah. Jika nilai rupiah jatuh dibandingkan dengan valuta asing dan jika usaha tersebut dijalankan menggunakan bahan impor, maka akan memukul usaha nasabah sebagai kreditur, sehingga mempersulit mereka untuk mengembalikan kredit yang telah diberikan oleh bank dan mendongkrak nilai NPF perbankan syariah. Penelitian yang dilakukan Taufan Verdino (2009:100) tentang nilai kurs terhadap non performing loan perbankan Indonesia, hasil dari penelitian menunjukan bahwa nilai kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap Non performing loan. G. Inflasi 1. Pengertian Inflasi Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Manurung, 2008:359). Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi
40
jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Manurung lebih lanjut menggambarkan inflasi sebagai salah satu dari persoalan politik yang sering diangkat menjadi komoditas politik. Sebuah pemerintahan dianggap gagal bila tidak bisa mengatasi masalah inflasi. Setidaknya terdapat dua efek utama yang disebabkan oleh inflasi, yaitu redistribusi dan distorsi. Inflasi mengakibatkan efek distribusi pendapatan dan kemakmuran karena terjadinya perbedaan pada aset dan utang yang dipegang masyarakat. Inflasi mengakibatkan efek distorsi karena perekonomian mengalami masalah efisiensi dan masalah penilaian total output. Masalah efisiensi ekonomi terjadi karena adanya distorsi pada harga dan penggunaan uang, sedangkan masalah penilaian total output terjadi karena adanya inflasi mendorong pelaku ekonomi menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 2. Jenis-jenis Inflasi Dalam teori ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis: a. Penggolongan inflasi didasarkan sifatnya, inflasi dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu (Putong, 2002:260) 1) Inflasi Merayap (creeping Inflation) Biasanya ditandai dengan laju inflasi yang rendah, yaitu kurang dari 10% per tahun. 2) Inflasi Menengah (galloping inflation) Ditandai dengan meningkatnya harga yang cukup besar dan kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi,
41
yang artinya harga pada bulan/minggu berikutnya selalu lebih tinggi dari waktu sebelumnya. 3) Inflasi Tinggi (hyper inflation) Inflasi jenis ini sangat mengkhawatirkan, karena harga-harga barang meningkat sampai dengan lima atau enam kali, sehingga nilai uang turun secara tajam. Inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang panas (over heated), artinya permintaan atas produk melebihi kapasitas penawaran produknya. b. Penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi dua, yaitu: (Sukirno, 2006:333). 1) Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan terlalu kuatnya peningkatan agregat permintaan terhadap komoditi-komoditi di pasar barang. 2) Cost low inflation, yaitu inflasi yang dissebabkan bergesernya kurva agregat penawaran ke arah kiri atas. Penyebabnya adalah meningkatnya harga-harga faktor produksi sehingga menaikan harga komoditi di pasar. 3.
Efek Buruk Inflasi Ledakan inflasi telah membuat rumit perekonomian dan meningkatkan angka
kemiskinan. Inflasi dua digit yang dipicu oleh melambungnya harga minyak dunia telah terbukti menjadi peristiwa yang banyak mengacaukan perekonomian dunia selama beberapa dekade terakhir sehingga banyak menimbulkan persoalan. Bahkan dampak inflasi yang dirasakan oleh masyarakat miskin jauh lebih besar dibandingkan dengan angka inflasi itu sendiri. Inflasi telah mendepresiai nilai kekayaan dan pendapatan riil masyarakat sehingga terjadi penurunan daya beli. Dalam kondisi demikian perusahaan dililit oleh
biaya – biaya produksi dan
pemasaran yang makin naik. Sehingga pendapatan perusahaan makin menurun.
42
Manurung (2008:371) mengungkapkan setidaknya ada tiga biaya sosial yang harus ditanggung dari tingginya angka inflasi. Dampak sosial tersebut ialah menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, memburuknya distribusi pendapatan, dan terganggunnya stabilitas ekonomi. Inflasi dapat menimbulkan beberapa efek buruk terhadap kegiatan ekonomi dan kemakmuran individu dan masyarakat (Sukirno 2006:338). a. Efek Buruk Inflasi terhadap Perkembangan Ekonomi Biaya yang terus menerus naik menyebabkan kegiatan produktif sangat tidak menguntungkan. Maka pemilik modal biasanya lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Kegiatan ekonomi semacam ini dapat menyebabkan produktivitas dan berakibat pada peningkatan pengangguran. Naiknya harga barang lokal menyebabkan produk dalam negeri tidak bisa bersaing diluar negeri sehingga ekspor akan menurun. b. Efek Buruk Inflasi terhadap Kemakmuran Masyarakat Inflasi dapat menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap. Selain itu inflasi dapat mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang. Sebaliknya harta-harta tetap seperti rumah dan tanah akan terus mengalami kenaikan harga. Hal demikian dapat menyebabkan tidak meratanya kekayaan di masyarakat. 4. Hubungan antara Inflasi dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM Dalam perekonomian, inflasi merupakan hal yang wajar. Kehadirannya bisa menggairahkan perekonomian atau justru menghancurkannya. Kenaikan hargaharga yang disebabkan oleh inflasi juga akan dirasakan oleh para pengusaha, terutama dalam memperoleh bahan baku untuk usaha. Inflasi mendorong pelaku ekonomi menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian itu
43
membutuhkan biaya yang tidak sedikit (Manurung, 2008:260). Selain itu inflasi juga mengharuskan pengusaha untuk menaikan gaji para pegawainya. Kedua hal tersebut dapat berdampak pada kegiatan usaha yang dilakukan. Selain dapat menurunkan keuntungan perusahaan, inflasi juga dapat mengurangi kemampuan pengusaha untuk melunasi pembiayaan yang telah diberikan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan kenaikan tingkat pembiayaan bermasalah yang dihadapi oleh perbankan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hoggart et al. (2005) peningkatan penghapusan pinjaman meningkat setelah terjadi kenaikan inflasi harga eceran. Sementara Babouček dan Jančar (2005) mengukur efek dari guncangan makroekonomi pada kualitas kredit dari sektor perbankan Ceko untuk periode 1993-2006 menemukan bukti laporan korelasi positif dari non-performing loan dengan Tingkat pengangguran dan inflasi harga konsumen.
H. Tingkat Suku Bunga 1. Konsep Tingkat Suku Bunga Sebagai lembaga perantara keuangan akan memperoleh keuntungan dari selisih bunga yang diberikan kepada penyimpan dengan bunga yang diterima dari peminjam. Keuntungan tersebut disebut dengan spread based. Selain itu bank memperoleh dari jasa-jasa bank lainnya yang disebut fee based. Kegiatan utama bank sebagai lembaga intermediasi keuangan adalah menghimpun dan menyalurkan dana, maka menurut Kasmir (2003: 134) bunga merupakan komponen biaya dan pendapatan bagi bank. Kasmir (2003: 133) menyatakan bunga bank merupakan balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Atau bisa diartikan sebagai harga yang harus
44
dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memiliki pinjaman). Adapun beberapa macam teori mengenai tingkat bunga yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain (Amalia, 2010:75): a. Teori Keynes Menurut keynes tingkat bunga merupakan hasil interaksi antara tabungan dan investasi. Tingkat bunga menurut Keynes merupakan suatu fenomena moneter artinya tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan akan uang. Menurut Keynes uang merupakan salah satu bentuk kekayaan yang dipunya seseorang (portofolio) seperti halnya kekayaan dalam bentuk tabungan di bank, saham atau surat berharga lainnya dengan memperoleh keuntungan. Apabila suku bunga naik maka harga surat berharga akan turun, sehingga menyebabkan orang tertarik untuk membeli surat berharga. b. Teori Klasik Pendapat kaum klasik mengenai harga, bahwa fluktuasi bunga dapat mempengaruhi perilaku penabung maupun investor. Bunga adalah ”harga” dari penggunaan (loanable funds) atau ”dana yang tersedia untuk dipinjamkan”, sebab menurut teori klasik bunga adalah ”harga” yang terjadi di ”pasar” dana investasi. Harapan tingkat suku bunga di masa yang akan datang mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan uangnya. Namun dalam jangka panjang pendapatanlah yang mempengaruhi kegiatan seseorang dalam perekonomian. Untuk menentukan besar kecilnya tingkat bunga simpanan dan pinjaman sangat dipengaruhi oleh keduanya. Artinya baik bunga simpanan maupun pinjaman saling mempengaruhi disamping pengaruh faktor-faktor lainnya.
45
2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Suku Bunga Menurut Kasmir dalam bukunya Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi keenam (2002:122) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya tingkat suku bunga, antara lain : a. Kebutuhan dana Apabila bank kekurangan dana, sementara permohonan pinjaman meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana tersebut cepat tepenuhi dengan meningkatkan suku bunga simpanan. Peningkatan suku bunga simpanan secara otomatis akan meningkatkan bunga pinjaman. b. Persaingan Dalam memperebutkan dan simpanan, maka disamping faktor promosi, yang paling utama pihak perbankan harus memperhatikan pesaing. Dalam arti jika untuk bunga simpanan rata-rata 16%, maka jika hendak membutuhkan dana dengan cepat sebaiknya bunga simpanan dinaikkan diatas bunga pesaing misalnya 16%. Namun sebaliknya untuk bunga pinjaman harus dibawah bunga pesaing. c. Kebijakan Pemerintah Dalam arti baik untuk bunga simpanan maupun bunga pinjaman tidak boleh melebihi bunga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. d. Target Laba yang diinginkan Sesuai dengan target laba yang diinginkan, jika laba yang diinginkan besar maka bunga pinjaman ikut besar dan sebaliknya. e. Jangka waktu Semakin panjang jangka waktu pinjaman, maka akan semakin tinggi bungannya, hal ini disebabkan besarnya kemungkinan resiko dimasa
46
mendatang. Demikian pula sebaliknya jika pinjaman berjangka pendek, maka bunganya relatif rendah. f. Kualitas jaminan Semakin likuid jaminan yang diberikan, maka semakin rendah bunga kredit yang dibebankan dan sebaliknya. g. Reputasi perusahaan Bonfiditas suatu perusahaan yang akan memperoleh kredit sangat menentukan tingkat suku bunga yang akan dibebankan nantinya, karena biasanya perusahaan yang bonafit kemungkinan risiko kredit macet relatif kecil dan sebaliknya. h. Produk yang kompetitif Maksudnya adalah produk yang dibiayai tersebut laku dipasaran. Untuk produk yang kompetitif, bungan kredit yang diberikan relatif rendah jika dibandingkan dengan produk yang kurang kompetitif. i. Hubungan baik Biasanya bank menggolongkan nasabahnya antara nasabah utama (primer) dan nasabah biasa (sekunder). Penggolongan ini didasarkan kepada keaktifan serta loyalitas nasabah yang bersangkutan terhadap bank. j. Jaminan pihak ketiga Dalam hal ini pihak yang membarikan jaminan kepada penerima kredit. Biasanya pihak yang memberikan jaminan bonafit, baik dari segi kemampuan membayar, nama baik maupun loyalitasnya tehadap bank, maka bunga yang dibeban pun juga berbeda. Sementara itu dalam situs resminya Bank Indonesia mendefinisikan Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia sebagai suku bunga kebijakan yang mencerminkan
47
sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
3. Hubungan BI Rate terhadap Pembiayaan Bermasalah Dalam penelitiannya yang dilakukan oleh Haron dan Shanmugam (1997) menemukan bahwa suku bunga berpengaruh bagi perbankan syariah baik pada sisi pengumpulan dana maupun pembiayaan. Meskipun Perbankan syariah tidak menetapkan tingkat bunga baik pada sisi pembiayaan maupun pendanaan, tetapi dalam dual banking system, bank syariah tidak bisa lepas dari risiko tingkat bunga. Pasar yang dijangkau oleh perbankan syariah bukan hanya yang loyal terhadap syariah, melainkan menjangkau pula pihak yang mengharap keuntungan dari bank syariah. Karim (2007: 272) menjelaskan apabila terjadi bagi hasil pendanaan syariah lebih kecil dari tingkat bunga maka nasabah akan berpindah ke bank 48
konvensional, sebaliknya pada sisi pembiayaan, apabila margin yang dikenakan lebih besar dari tingkat bunga maka nasabah akan beralih ke bank konvensional. Oleh sebab itu agar bank syariah lebih kompetitif, maka suku bunga acuan atau BI Rate biasa digunakan sebagai benchmark dalam penentuan tingkat pengembalian dan yang utama adalah margin keuntungan murabahah. Apabila tingkat pengembalian tinggi maka kemungkinan terjadi default juga akan meningkat.
I. Penelitian terdahulu Berikut studi-studi yang dilakukan untuk meneliti mengenai pembiayaan bermasalah perbankan di suatu negara. Variabel-variabel tersebut seperti Inflasi, nilai Kurs, GDP, tingkat suku bunga negara, pengangguran, FDR, dan pertumbuhan pembiayaan. Tabel di bawah akan mencakup penjelasannya :
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu
o.
N Nama dan Tahun 1 Vighnes wara Swamy (2012)) Impact of macroeconomic and endogenous factors on non performing bank assets (Jurnal Asing)
Variabel Metode yang digunakan Analisis Variabel Regresi Independent Linear Berganda Inflasi, pertumbuhan kredit, asset bank, dll dependen: NPL
Hasil Inflasi tidak berpengaruh terhadap NPL, Pertumbuhan kredit dan bank size berpengaruh negatif signifikan terhadap NPL
49
o.
N Nama dan Tahun 2 Irum Saba, Rehana Kouser, dan Muhammad Azeem (2012) “Determinants of Non Performing Loans: Case of US Banking Sector”(Jurnal Asing) 3 Etem Hakan, Ergec, dan Bengul Gulumser (2011)
Variabel Metode Hasil yang digunakan Analisis GDP, Total Ordinary Terdapat Loans, dan least square pengaruh yang Interest Rate Regression signifikan antara NPL sebagai variabel dependent dengan GDP, Total pinjaman, dan tingkat suku bunga sebagai variabel independent. Variabel Independen: Interest Rate Variabel Dependen: Deposits and Loan in Islamic bankin
Vector Kinerja Error Correction bank syariah di (VEC) Turki di sisi methodology pendanaan dan pembiayaan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga
Saiful Anwar (2010)
Bursa efek Jakarta, Inflasi, Kurs, tingkat bunga SBI, dan jumlah uang beredar Variabel Dependen : Pengembalian Bank dari rasio NPF
5 Rahmaw ulan (2008)
GDP, Inflasi, Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). LDR atau FDR Variabel Dependen : NPL dan NPF perbankan konvensional dan
Artificial Melihat Netral Networks ramalan untuk (ANN) masa akan datang, nilai tukar dan Jumlah uang beredar tingkat pertama mempengaruhi, suku bunga SBI, bursa efek Jakarta dan inflasi tingkat 2 terhadap kredit perbankan Vector Membandi Autoregression : ngkan variabel Impulse Response dependen terhadap kredit macet bank syariah dan konvensional dengan NPF/NPL, pembiayaan tidak berpengaruh terhadap kredit bermasalah, GDP, dan Inflasi, tapi
4
50
Syariah.
o.
N Nama dan Tahun 6 Khemraj dan Pasha (2006), melakukan penelitian yang berjudul “The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana”. (Jurnal Asing) 7 Muham mad Imaduddin (2006) “Determinants of banking credit default in Indonesia: a comparative analiysis” (Jurnal Indonesia) 8 Tarron Khemraj dan Sukrishnalall Pasha (2004) The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana.
Variabel Metode yang digunakan Analisis Variabel Panel data independen: regresi GDP, Interest Rate, dan pertumbuhan kredit. Variabel dependen: NPL
NPL, Bank Size, Ordinary Total Loan, GDP, least square dan Indeks Regression industrial
Variabel Regresi Independen: Linear Berganda Inflasi, Bank size, dan pertumbuhan kredit Variabel Independen: NPL
berpengaruh terhadap NPL dan NPF. SBI berpengaruh positif terhadap NPL.
Hasil Secara parsial GDP berpengaruh negatif signifikan terhadap NPL, interest rate berpengaruh positif terhadap NPL, dan pertumbuhan kredit berpengaruh negatif. Secara simultan berpengaruh signifikan positif terhadap NPF. Secara parsial Bank size berpengaruh signifikan positif, Total loan negatif signifikan, dan GDP berpengaruh positif. Inflasi tidak signifikan terhadap NPL, Pertumbuhan kredit berpengaruh signifikan negatif terhadap NPL, Bank size tidak berpengaruh terhadap NPL. 51
(Jurnal Asing)
J. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan sintesa dari serangkaian teori yang tertuang dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran sistematis dari kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari serangkaian masalah yang ditetapkan (Rodoni, 2010:15) Financing deposit to rasio (FDR) adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. (Muhammad, 2002:55) rasio ini menggambarkan alokasi dana pihak ketiga terhadap pembiayaan yang dilakukan oleh bank, berdasarkan bank indonesia FDR perbankan syariah mencapai >100% yang berarti bank syariah sebagai lembaga intermediasi baik dalam menjalankan operasionalnya dalam sector riil. Tingginya FDR bank syariah ini tidak terlepas dari karakteristik utama bank syariah yang senantiasa mengaitkan kegiatan perbankan dengan aktivitas sector rill, hal ini didasari pada prinsip-prinsip perbankan syariah yang dalam kegiatan operasionalnya tidak dibenarkan melakukan pembiayaan (investasi) pada jenis usaha yang dapat menimbulkan kemudharatan, seperti melakukan maghrib yakni maysir, gharar, riba, dan bathil serta ikhtikar (spekulasi) dll. Sebagai akibat dari pertumbuhan pembiayaan FDR yang cukup tinggi, maka yang menjadi permasalahan pokok utama bank syariah adalah meningkatnya NPF
52
atau pembiayaan non lancar karena dalam menjalankan bisnis perbankan yang penuh dengan resiko, bank syariah juga tidak terlepas dari resiko pembiayaan bermasalah karena pembiayaan bermasalah tidak akan terjadi tanpa adanya aktivitas pembiayaan yang disalurkan sehingga bank syariah perlu mengatur strategi agar tingkat NPF di bank syariah tidak dalam kondisi yang menghawatirkan. Variabel berikutnya yang turut mempengaruhi pembiayaan bermasalah ialah kurs. Kurs adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya (Salvatore, 1997:9). Nilai tukar valuta asing adalah harga satu satuan mata uang dalam satuan mata uang lain. Nilai tukar valuta asing ditentukan dalam pasar valuta asing yaitu pasar tempat berbagai mata uang yang berbeda diperdagangkan (Samuelson dan Nordhaus, 2004:604) Perubahan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing sangat berpengaruh kepada kelancaran usaha nasabah. Jika nilai rupiah jatuh dibandingkan dengan valuta asing dan jika usaha tersebut dijalankan menngunakan bahan impor, maka akan memukul usaha nasabah sebagai kreditur, sehingga mempersulit mereka untuk mengembalikan kredit yang telah diberikan oleh bank dan mendongkrak nilai NPL perbankan. Variabel berikutnya yang turut mempengaruhi pembiayaan bermasalah ialah inflasi. Inflasi merupakan salah satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda suatu negara. Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Manurung, 2008:359). Pada tahun 2012 yang merupakan awal periode penelitian ini Inflasi IHK mencapai 2,78% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan dengan sasaran inflasi yang
53
ditetapkan oleh Pemerintah sebesar 4,5%±1% (yoy). Penyebabnya adalah penurunan harga komoditas global, terutama harga energi, telah membuka peluang bagi Pemerintah untuk menurunkan harga BBM yang diikuti dengan penurunan tarif angkutan masing-masing 14,1% dan 12,1%. Inflasi dapat menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat sehingga menyebabkan penurunan permintaan barang yang ditawarkan produsen. Inflasi juga mengharuskan pengusaha untuk menyesuaikan gaji pegawainya karena naiknya harga-harga bahan kebutuhan. Hal tersebut dapat mengakibatkan menurunnnya keuntungan usaha, sehingga risiko pembiayaan bermasalah menjadi meningkat. Variabel berikutnya yang turut mempengaruhi pembiayaan bermasalah ialah tingkat suku bunga acuan atau BI Rate. Meskipun perbankan syariah tidak menggunakan variabel tingkat suku bunga dalam aktivitas pengumpulan dan pembiayaan. Namun secara tidak langsung, para pelaku perbankan syariah menjadikan BI Rate sebagai benchmark dalam menentukan ekuivalen tingkat bagi hasil maupun margin pada akad jual beli. Digunakannya BI Rate sebagai acuan dalam penentuan ekuivalen nisbah bagi hasil, menyebabkan perubahan tingkat suku bunga atau BI Rate turut memengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah. Tingginya ekuivalen bagi hasil maupun margin pembiayaan dapat menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar atau default pada pembiayaan. Penulis membuat penelitian ini didasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya dengan penambahan beberapa variabel dan metode penelitan yang berbeda. Setelah peneliti mengumpulkan beberapa buku, jurnal, tesis, dan skripsi peneliti mengambil beberapa variabel dari penelitian terdahulu kemudian membuat
54
paradigma penelitian yang berbeda dimana penelitaian ini menggunakan Ordinary least square dan dengan menggunakan bantuan alat SPSS versi 23. Berikut ini adalah kerangka pemikiran yang peneliti gambarkan secara sederhana untuk menjelaskan proses penelitian ini. Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Perbankan Syariah Indonesia
Variabel Makro Ekonomi
FDR
Kurs
Inflasi
Tingkat Suku Bunga
Non Performing Financing Sektor UKM Uji asumsi klasik regresi linear berganda
1. 2. 3. 4.
Normalitas Multikolinearitas Heterokedatisitas Autokorelasi
Uji statistik regresi berganda
Uji signifikasi model
Uji F
Uji T
Uji Adjusted R2
Analisis
Kesimpulan
55
K. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara atas suatu persoalan yang masih perlu dibuktikan kebenarannya dan harus bersifat logis, jelas, dan dapat diuji. Berdasarkan kerangka teoritis yang telah disajikan, hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara FDR, Kurs, Inflasi, dan Tingkat Suku Bunga secara simultan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah. H02 : Terdapat pengaruh antara FDR, Kurs, Inflasi, dan Tingkat Suku Bunga secara simultan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah. 2. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara FDR terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial. H02 : Terdapat pengaruh antara FDR terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial. 3. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara Kurs terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial. H02 : Terdapat pengaruh antara Kurs terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial. 4. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial. H02 : Terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial. 5. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara Tingkat Suku Bunga terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial.
56
H02 : Terdapat pengaruh antara Tingkat Suku Bunga terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial.
57
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah, penelitian ini berobyek kepada Perbankan Syariah di Indonesia yang terdiri dari Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dan dibatasi selama periode tahun 2012-2015. Dengan menggunakan data time series yang diperoleh dari Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS). Penelitian ini menggunakan variabel terikat (dependent variables) yaitu pembiayaan bermasalah sektor UKM di perbankan syariah. Sedangkan variabel bebasnya (independent variables) yaitu FDR, Kurs, inflasi, dan BI Rate.
B. Metode penentuan sampel Sugiyono (2008:61, 62) mengungkapkan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karaketristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bank umum Syariah dan Unit usaha syariah yang beroperasi di Indonesia yang telah memperoleh ijin resmi dari Bank Indonesia pada periode Januari 2012 sampai Desember 2015. BUS dan UUS dipilih karena sesuai dengan undang-undang. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sample data dalam rentang waktu 48 bulan. Penelitian ini menggunakan data dari tahun 2012-2015 karena pada masa
58
tersebut berada di dalam siklus pertumbuhan ekonomi yang sedang berkembang setelah tahun 2009 yang mengalami krisis ekonomi di dunia dan Indonesia. C. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan oleh peneliti melalui pihak kedua atau tangan kedua (Usman, 2006:20). Peneliti menggunakan data sekunder berupa data runtun waktu (time series) dengan skala bulanan yang dihimpun oleh Bank Indonesia pada laporan statistik perbankan syariah dari bulan Januari 2012 sampai dengan Desember 2015 yang diperoleh dari www.ojk.go.id dan www.bi.go.id. 2. Metode Studi Pustaka Yaitu dengan melakukan telaah pustaka, eksplorasi, dan mengkaji berbagai literatur pustaka seperti berbagai majalah, jurnal, dan sumber-sumber yang berkaitan dengan penelitian. 3. Internet Yaitu mengumpulkan data dengan cara mencatat dan mengumpulkan dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdapat dalam publikasi Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Bank syariah yang termasuk dalam sampel dalam situs-situs internet masing-masing lembaga. Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penelitian ini sangat bergantung pada sumber-sumber berikut: a. Laporan tahunan perbankan tahun 2012-2015 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI). b. Beberapa laporan statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). 59
D. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode analisi Regresi Linier Berganda Sederhana (Ordinary Least Square). Dalam melakukan analisis regresi linier berganda, metode ini mensyaratkan untuk melakukan uji asumsi klasik agar mendapatkan hasil regresi yang baik (Ghozali, 2005:94 ). 1. Uji asumsi Klasik Dalam menganalisis model regresi linear berganda agar menghasilkan estimator yang baik, yaitu linier tidak bias dengan varian yang minimum (bestlinier unbiased estimator = blue) adalah terpenuhinya asumsi dasar regresi yaitu dengan melakkukan serangkaian uji asumsi klasik sebagai berikut: a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variable pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak (Ghozali, 2005:147), yaitu: 1. Analisis Grafik Uji normalitas dapat dideteksi dengan melihat histogram yang membandingkan antara observasi dengan distribusi yang mendekati normal yaitu simetris dan tidak menceng ke kanan atau ke kiri. Atau dengan melihat grafik normal probability plot, jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Bila data menyebar jauh
60
dari garis diagonalnya dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. 2. Uji Statistik Normalitas Untuk mendeteksi normalitas data dengan cara uji statistik penelitian ini menggunakan analisis statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov test (K-S) Uji K-S dilakukan dengan membuat hipotesis: Ho = data residual terdistribusi normal Ha = data residual tidak terdistribusi normal Dasar pengambilan keputusan dalam uji K-S adalah sebagai berikut: a) Apabila probabilitas uji K-S signifikan secara statistik (p<0,05) maka Ho ditolak, yang berarti data terdistribusi tidak normal b) Apabila probabilitas uji K-S tidak signifikan statistik(p>0.05) maka Ho diterima, yang berarti data terdistribusi normal. b. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel independen. Untuk mendeteksi ada dan tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai berikut (Gujarati 2007, 205) : 1) Nilai r2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen. 2) Menganalisis matrik korelasi variabel – variabel independen. Jika antara variabel independen ada korelasi cukup tinggi (umumnya diatas 0,80) maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.
61
3) Pengujian korelasi parsial 4) Regresi subsider atau tambahan. Mengingat multikolinieritas muncul karena salah satu atau lebih variabel penjelas adalah kombinasi pasti linear, salah satu cara untuk mengetahui variabel bebas mana yang sangat kolinear dengan variabel bebas lainnya adalah dengan meregresikan masing-masing variabel bebas terhadap variabel bebas lainnya untuk mengetahui R2 terkait. 5) Multikolinieritas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan (2) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Tolerance mengukur variabel independen yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen lainnya, jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi (karena VIF = 1/tolerance). Nilai cutoff
yang
yang
umum
dipakai
untuk
menunjukkan
adanya
multikolonieritas adalah nilai tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10. c. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time series) atau ruang (cross section). Salah satu penyebab munculnya masalah autokorelasi adalah adanya kelembaman (inertia) artinya kemungkinan besar akan mengandung saling ketergantungan pada data data observasi sebelumnya dan periode sekarang.
62
Salah satu metode analisis untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah dengan melakukan pengujian nilai durbin watson (DW test) (Ghozali, 2005:100). Hipotesis yang akan diuji adalah: H0 = tidak ada autokorelasi (r = 0) Ha = ada autokorelasi (r ≠ 0) Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah sebagai berikut: Hipotesis nol Keputusan Jika Tidak ada Tolak 0 < d < dl autokorelasi positif Tidak ada Tanpa keputusan dl ≤ d ≤ du autokorelasi positif Tidak ada korelasi Tolak 4 – dl < d < 4 negatif Tidak ada korelasi Tanpa keputusan 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl negatif Tidak ada Terima du < d < 4 – du autokorelasi positif atau negatif Sumber: Gujarati, Damodar N (United States Military Academy, West Point). Essentials of Econometrics. Third Edition. McGraw-Hill International Edition. 2006.
d. Uji Heteroskedaskitas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi yang baik adalah homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. 1) Analisis Grafik Untuk mendeteksi ada tidaknya heterokedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis grafik, yaitu melihat grafik scartter plot antara nilai prediksi variabel dependen yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID, dimana sumbu y adalah y yang telah diprediksi, dan sumbu x adalah residual (y prediksi – y sesungguhnya) yang telah di-studentized. Deteksi
63
ada tidaknya heterokedastisitas dapat dilakukan sebagai berikut: (Ghozali, 2005: 126) a) Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu
yang
teratur,
maka
mengidentifikasikan
telah
terjadi
heterokedastisitas. b) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu y, maka tidak terjadi heterokedastisitas. 2) Metode Park Metode uji Park yaitu dilakukan dengan meregresikan nilai residual (Lnei2) dengan masing-masing variabel dependen (LnX1, LnX2, LnX3, dan LnX4). Apabila koefisien parameter beta dari persamaan regresi tersebut signifikan secara statistik, hal ini menunjukan bahwa dalam data model empiris yang diestimasi terdapat heterokedastisitas, dan sebaliknya jika parameter
beta
tidak
signifikan
secara
statistik,
maka
asumsi
homokedastisitas pada data model tersebut tidak dapat ditolak (Ghozali, 2005:128) Setelah melakukan serangkaian uji asumsi klasik diatas, maka data yang sudah dikumpulkan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Persamaan regresi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: NPF = α + b1FDR + b2Kurs + b3Inflasi + b4BIRate + Keterangan
NPF
: Non Performing Financing
FDR
: Finance to Deposit Ratio
Kurs
: Nilai Mata Uang Rupiah Dollar
Inflasi
: Nilai Inflasi
64
BIRate
: Tingkat Suku Bunga Riil
α
: Konstanta Regresi
b1 b2 b3 b4
: Koefisien Regresi : Variabel yang berpengaruh di luar variabel yang tidak dimasukan di atas
E. Pengujian Hipotesis Untuk menguji bisa atau tidaknya model regresi tersebut digunakan dan untuk menguji kebenaran hipotesis yang dilakukan, maka diperlukan pengujian statistik, yaitu: 1. Uji Hipotesis Secara Simultan (Uji F) Uji F untuk menguji asumsi mengenai tepatnya model regresi untuk diterapkan terhadap data empiris atau hasil observasi. Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel dependen (Ghozali, 2005:88). Untuk pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai F Statistik dengan F Tabel. F Hitung dapat diperoleh dengan rumus: F Hitung =
R2/(k-1) 1-R2/(n-k)
Keterangan
R2
= Koefisien determinasi
k
= Jumlah variabel independen
n
= Jumlah sampel
Langkah langkah yang ditempuh dalam pengujian adalah:
65
a. Menyusun hipotesis nol H0 dan Hipotesis alternatif (Ha): 1) H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = 0 : artinya secara bersama-sama variabel indepeden tidak berpengaruh terhadap variabel independen 2) Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0, artinya secara bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap variabel independen b. Menetukan tingkat signifikansi yaitu sebesar 0,05 (α) c. Membandingkan f-hitung dengan f-tabel 1) Bila fhitung < ftabel maka H0 diterima dan ditolak Ha, artinya bahwa secara bersama-sama variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen 2) Bila fhitung > ftabel, maka H0 ditolak dan menerima Ha artinya bahwa secara bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen d. Berdasarkan probabilitas Ha akan diterima jika nilai probabilitas kurang dari 0,05 (α). 2. Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t) Uji t merupakan pengujian terhadap variabel independen secara parsial (individu) dilakukan untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel independen secara individual terhadap variabel dependen. Untuk pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t Statistik dengan t Tabel. t Hitung dapat diperoleh dengan rumus: b
t=
Sb
Dimana b adalah nilai parameter dan Sb adalah standar error dari b. Standar error dari masing-masing parameter dihitung dari akar varians masingmasing.
66
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengujian adalah (Ghozali, 2005:88): a. Menyusun hipotesis nol dan hipotesis alternatif: 1) Ho : b1 = 0: artinya bahwa variabel independent tidak berpengaruh terhadap variabel dependen 2) Ha : b1 ≠ 0 : artinya bahwa variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen b. Menentukan tingkat signifikansi α sebesar 0,05 c. Membandingkan thitung dengan ttabel 1) Jika thitung < ttabel atau -thitung > -ttabel maka H0 diterima atau menolak Ha, artinya bahwa variabel independent tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. 2) Jika thitung > ttabel atau -thitung < -ttabel maka H0 ditolak atau meneria Ha, artinya bahwa variabel independent berpengaruh terhadap variabel dependen. d. Berdasarkan probabilitas Ha akan diterima jika nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 (α) 3. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel - variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2005:87).
67
F. Definisi Operasional Variabel Operasional variabel merupakan definisi dari serangkaian variabel yang digunakan dalam penulisan (Hamid, 2010:20). Pengertian operasional variabel adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat yang diamati. Dari definisi operasional tersebut dapat ditentukan alat pengambilan data yang cocok dipergunakan. Berikut ini mengenai definisi operasional variabel yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu:
1. Rasio Non Perfoming Financing Variabel non performing financing (NPF) menggambarkan pembiayaan bermasalah pada bank syariah yang meliputi pembiayaan kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M). Rasio NPF diperoleh dengan rumus berikut: NPF=
x 100 %
Pembiayaan yang bermasalah Total Pembiayaan Disalurkan Dalam penelitian ini rasio NPF merupakan variabel dependen yaitu variabel yang keberadaannya dapat dijelaskan oleh sejumlah variabel independen. Variabel ini dinotasikan dengan notasi NPF. 2. Financing to Deposit Ratio (FDR) FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. (Muhammad, 2002:55) Data FDR di peroleh dari bank yang bersangkutan yang akan diteliti dengan satuan persen. (www.bi.go.id) 3. Kurs Kurs (Nilai Tukar Mata Uang) adalah perbandingan nilai mata uang suatu negara dengan mata uang negara lainnya (Sukirno, 2004:397). Pada
68
penelitian ini yang digunakan adalah nilai tukar Rupiah terhadap US$. menurut Bank Indonesia dengan memakai kurs tengah (kurs BI) dengan memakai skala pengukuran nominal pada setiap tahun yang diperoleh dari website
Bank
Indonesia
dengan
menggunakan
data
kurs
tengah
(www.bi.go.id). 4. Inflasi Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling mempengaruhi. (Adi 2012:74) 5. Tingkat Suku Bunga Menurut Bank Indonesia, BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.
69
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang sebelumnya yang dimana berdasarkan prinsip operasionalnya bank dibedakan menjadi dua, yakni bank konvesional yang mendasarkan pada prinsip bunga dan bank berdasarkan prinsip syariah atau yang kemudian lazim dikenal dengan bank syariah. Bank syariah terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah atau yang saat ini disebut sebagai Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. (Khotibul 2016:1) Sebelumnya sistem perbankan syariah sudah mulai dikenal luas di Indonesia pada tahun 1992 dengan momen dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 yang memungkinkan bank-bank di Indonesia menjalankan kegiatan operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Menurut Siregar (2002:2) upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia tidak semata hanya merupakan konsekuensi dari UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif (maysir). Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan 70
dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang. Ketahanan ekonomi nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang tangguh, yaitu perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan pertumbuhan sektor riil. Pada tahap awal, landasan hukum bagi pengembangan perbankan syariah adalah UU No. 7 tahun 1992 yang mengizinkan bank untuk memberikan pinjaman kepada nasabah dengan prinsip bagi hasil. Sejak tahun 1992-1998 dapat dikatakan tidak banyak kemajuan dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia terutama karena belum ada landasan hukum yang jelas mengenai keberadaan bank syariah. Dengan lahirnya UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 23 tahun 1999 keberadaan bank syariah diakui secara eksplisit dan memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi Bank Indonesia dalam pengembangan perbankan syariah. (Adi 2013:77) Tahun 1992 merupakan tahun yang menggembirakan dalam sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk (BMI). Siregar (2002:4) berpendapat bahwa dalam periode 1992-1998 tidak terdapat hal berarti dalam perkembangan bank syariah yang disebabkan oleh beberapa hal: a.
Rendahnya pengetahuan dan kesalahpahaman masyarakat mengenai bank syariah.
b.
Belum tersedianya ketentuan pelaksana terhadap operasional bank syariah.
c.
Terbatasnya jaringan kantor perbankan syariah.
71
d.
Kurangnya sumber daya insani (SDI) yang memiliki keahlian perbankan syariah. Bank Muamalat Indonesia, adalah bank umum pertama di Indonesia yang
menerapkan prinsip Syariah Islam dalam menjalankan operasionalnya. Didirikan pada tahun 1991, yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia. Mulai beroperasi pada tahun 1992, yang didukung oleh cendekiawan Muslim dan pengusaha, serta masyarakat luas. Pada tahun 1994, telah menjadi bank devisa. Produk pendanaan yang ad menggunakan prinsip Wadiah(titipan) dan Mudharabah (bagi-hasil). Sedangkan penanaman dananya menggunakan prinsip jual beli, bagi-hasil, dan sewa. Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank
Indonesia
mulai
memberikan
perhatian
lebih
serius
terhadap
pengembangan perbankan syariah, yaitu pada bulan April 1999 membentuk satuan kerja khusus yang menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001. Sebagai hasil dari upaya pengembangan perbankan syariah yang dilaksanakan secara intensif sejak dikeluarkannya UU No. 10 tahun 1998 maka pertumbuhan perbankan syariah relatif pesat sejak tahun 1999. Pada awal tahun 1999 jumlah bank syariah baru terdapat 1 bank umum syariah dengan 9 kantor cabang serta 76 BPRS. Sementara itu pada tahun 2012 yang merupakan periode awal penelitian ini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tiga
72
belas tahun sejak amandemen UU No. 10/1998, jumlah bank syariah di Indonesia meningkat menjadi 11 bank sedangkan jumlah unit usaha syariah sebanyak 24 bank. Membaiknya perekonomian dunia pasca krisis di tahun 2009 membuat optimisme menghampiri perkembangan perbankan syariah di tanah air. Seperti digambarkan pada bab 1, dijelaskan bahwa jumlah Bank Umum Syariah adalah sebanyak 12 bank dan Unit Usaha Syariah sebanyak 22 unit di Juni 2015. Meskipun dalam perkembangannya perbankan syariah selalu “diintai” oleh siklus krisis ekonomi baik di dalam maupun luar negeri namun perbankan syariah justru mengalami perkembangan yang baik, bahkan industri perbankan syariah sering disebut sebagai ”the fastest growing industry” yang sempat menyentuh angka pertumbuhan aset di atas 20% setiap tahunnya. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang notabene masih tergolong masa awal perkembangan cenderung belum memiliki tingkat integrasi dengan sistem keuangan global dan eksposur valas yang dimiliki oleh perbankan syariah di Indonesia pun masih belum signifikan. Hal tersebut berdampak pada terhindarnya dari dampak langsung krisis global yang terjadi. Penelitian ini berobjek pada bank umum syariah dan unit usaha syariah yang memperoleh ijin operasional dari Bank Indonesia yaitu sebanyak 12 bank umum syariah dan 22 unit usaha syariah. B. Anaslisis dan Pembahasan 1. Analisis Deskriptif Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan pengolahan data SPSS 23 dan Microsoft Excel 2010. Variabel-variabel yang diteliti yaitu terdiri dari variabel independent; FDR, Kurs, Inflasi, dan BI
73
Rate. Sedangkan variabel dependennya adalah tingkat Non Performing Financing Sektor UKM. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: a. Financing to Deposit Ratio (FDR) FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. (Muhammad, 2002:55) Tujuan penting dari perhitungan FDR adalah untuk mengetahui serta menilai sampai berapa jauh bank memliki kondisi sehat dalam menjalankan operasi atau kegiatan usahanya. Dengan kata lain FDR digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank syariah. Besarnya FDR telah ditentukan oleh bank Indonesia tidak boleh melebihi 110%. Yang berarti bank boleh memberikan kredit atau pembiayaan melebihi jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun asalkan tidak melebihi 100% (Muhammad, 2005:55). Perkembangan FDR Januari 2012 sampai Desember 2015 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 4.1 Perkembangan Financing to Deposit Ratio Terhadap Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2012-2015 Bulan Januari Febuari Maret April Mei Juni July Agustu s Septem ber Oktobe r
FDR (%) 2012 87,27 90,49 87,13 95,39 97,95 98,59 99,91 101,03
2013 100,63 102,17 102,62 103,08 102,08 104,43 104,83 102,53
2014 100,07 102,03 102,22 95,50 99,43 100,80 99,89 98,99
2015 88,85 89,37 89,15 89,57 90,05 92,56 90,13 90,72
102,10
103,27
99,71
90,82
100,84
103,03
98,99
90,67
74
Novem 101,19 102,58 94,62 ber Desem 100,00 100,32 91,50 ber Sumber : Bank Indonesia dan Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
90,26 88,03
Dari tabel 4.1 dapat dilihat perkembangan FDR di Indonesia pada tahun 2012 hingga tahun 2015 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun pengamatan tingkat FDR tertinggi pada Juli 2013 yaitu FDR perbankan syariah menempati 104,83% melewati batas aman bank indonesia yaitu dibawah 93.75%, dengan rasio NPF 4.76% hampir mendekati batas aman kesehatan bank syariah 5%, yang artinya bank syariah harus lebih berhati-hati dalam penempatan dana pada sektor riil, karena resiko yang besar. FDR terendah terjadi pada November 2012 tingkat FDR pada 87,13% yang artinya bank syariah lebih berhati-hati dalam pembiayaan sekor riil dan lebih memilih instrument moneter yaitu sebagai wadah over likuiditas yang mana resiko SBIS lebih kecil dibanding resiko pembiyaan riil. Tingkat FDR dari tahun Januari 2012-Desember 2015 dalam rata-rata 87-105 %.
b. Kurs (Rupiah/US$)
Nilai tukar berarti nilai pada tingkat mana dua mata uang yang berbeda diperdagangkan satu sama lainnya. Pasar valuta asing adalah pasar dimana mata uang asing diperdagangkan pada tingkat harga yang dinyatakan dalam nilai tukar. (Rizhard
Lipsey,
1995:413).
Perkembangan
nilai
tukar
rupiah
(kurs
Rupiah/US$) periode 2005- 2011 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.2 Perkembangan Kurs Indonesia Periode 2012-2015 Bulan Januari Febuari
Kurs 2012
2013
2014
2015
9622 9790
9753 9890
10238 10457
9778 9957 75
Maret April Mei Juni July Agustu s Septem ber Oktobe r Novem ber Desem ber
10627 10834 10760 11321 10968
10057
9974
9978 10023 10149 10165 10210
9643
10175
11016
10009
9821
10132
10710
10322
9632
10097
10717
9736
9523
10075
10445
9886
9897
10178
10164
10010
9810 9975 9236 9754
10278 10075 10271 9903
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa angka nilai tukar rupiah (kurs) tertinggi terjadi pada bulan Juni 2014 yaitu sebesar Rp.11.321,26 dan nilai tukar rupiah terendah terjadi pada bulan Mei 2012 yaitu sebesar Rp. 9.236,68 Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai tukar rupiah (kurs Rupiah/US$) berfluktuasi. Pada tahun 2014 hingga Desember 2015 kurs Rupiah/US$ kembali stabil dan gambar di atas menunjukkan bahwa pergerakan yang stabil sepanjang tahun tersebut karena berada pada kisaran Rp.10.000,00. Pada tahun 2013 hingga 2014 kurs Rupiah/US$ cenderung melemah dengan rata-rata diatas Rp.10.200,00. Kecenderungan melemahnya nilai tukar Rupiah tersebut terkait dengan kondisi sosial
politik
yang
bergejolak.
Dan
pada
pertengahan
2014
kurs
Rupiah/US$ kembali menguat hingga mencapai kisaran Rp. 10.164,00. dan dari pertengahan 2014 sampai akhir 2015 rupiah stabil dan menguat cukup signifikan sesuai pada gambar 4.2 yang menunjukkan bahwa pergerakan yang stabil sepanjang tahun tersebut karena berada pada kisaran Rp.10.000,00 sampai Rp.10.200,00.
76
Selama tahun 2015 penguatan nilai tukar rupiah tidak terlepas dari prospek dolar AS yang sedang mengalami depresiasi. Dari sisi domestik, solidnya fundamental ekonomi dan prospek pencapaian Investment Grade Indonesia yang membaik menjadi faktor penarik bagi aliran modal masuk. Sehingga, nilai tukar rupiah ini yang menguat cukup signifikan terutama disebabkan oleh derasnya aliran masuk modal asing yang ditopang oleh keseimbangan interaksi permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik serta fundamental perekonomian domestik yang kuat. (www.bi.go.id) c. Inflasi Menurut Miskhin (2008:13) inflasi yaitu kegiatan kenaikan harga-harga secara
terus
menerus,
mempengaruhi
individu,
pengusaha
dan
pemerintah.Dalam ilmu ekonomi, inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi rendahnya tingkat harga. Artinya tingkat harga yang dianggap tinggi belum dianggap inflasi. Inflasi dianggap terjadi apabila proses kenaikan harga berlangsung secara terus menerus dan saling mempengaruhi. (Sukirno, 2004:27) Angka inflasi sebagai salah satu indikator stabilitas ekonomi selalu menjadi pusat perhatian. Inflasi dapat dikaitkan dengan gejolak ekonomi yang selalu mengitu perjalanan perekonomian suatu negara yang dinamis. Tekanan inflasi menjadi tinggi dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi berbagai subsidi guna mendorong pembentukan harga berdasarkan mekanisme pasar.
77
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%-30% setahun; inflasi berat antara 30%-100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tidak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun. Data inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perkembangan inflasi per bulan periode Januari 2012 hingga Desember 2015. Data tersebut diperoleh dari situs www.bi.go.id. Tabel 4.3. Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2012-2015 Bulan
Inflasi (%) 201 2
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
201 3
3,65 3,56 3,97 4,50 4,45 4,53 4,56 4,58 4,31 4,61 4,32 4,30
201 4
4,57 5,31 5,90 5,57 5,47 5,90 8,61 8,79 8,40 8,32 8,37 8,38
201 5
8,22 7,55 7,32 7,25 7,32 6,70 4,53 3,99 4,53 4,83 6,23 8,36
6,96 6,29 6,38 6,79 7,15 7,26 7,26 7,18 6,83 6,25 4,89 3,35
Sumber: Bank Indonesia dan Statistik Perbankan Syariah (data diolah) Dari tabel 4.2 dapat dilihat perkembangan inflasi di Indonesia pada tahun 2012 hingga tahun 2015 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun 2012, inflasi meningkat secara signifikan, inflasi tertinggi terjadi pada bulan Oktober dengan tingkat inflasi sebesar 4,61% Penyebab awalnya adalah faktor non fundamental seperti anomali cuaca baik lokal maupun global yang menyebabkan harga pangan melonjak. Komoditas bahan pokok seperti beras dan bumbu-bumbuan
78
memberi kontribusi kenaikan harga yang sangat besar pada inflasi volatile food selama tahun 2012. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga barang atau jasa yang bersifat strategis seperti tarif dasar listrik kelompok rumah tangga ikut memengaruhi tingkat inflasi. Pada tahun 2013 inflasi mencapai angka tertinggi pada bulan Agustus yakni sebesar 8,79% dan inflasi terendah terjadi pada bulan Januari sebesar 4,57% dan jauh dari sasaran inflasi pemerintah yaitu 4,5% Inflasi terutama dipicu oleh kawasan Sumatera yang dipengaruhi oleh tingginya inflasi volatile food dan inflasi administered price, dan berakibat pada tertahannya tren perbaikan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di tahun 2013. Pada tahun 2014 dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 7,5% sepanjang Januari sampai Desember, tingkat BI Rate ini dipandang masih konsisten dengan upaya mencapai sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5%. Di bulan November 2014 pemerintah menyikapi kebijakan kenaikan BBM bersubsidi, BI menaikkan BI Rate menjadi 7,75%. Kenaikan ini ditempuh untuk mematahkan risiko kenaikan ekspetasi inflasi dan memastikan bahwa tekanan inflasi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi tetap terkendali, temporer, dan dapat segera kembali pada lintasan sasarannya. Dan pada tahun 2015 inflasi tercatat sebesar 3,35% dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2015. Terkendalinya inflasi dipengaruhi oleh faktor global dan domestik. Di sisi global menurunnya harga minyak dunia memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk menurunkan harga BBM domestik dan harga LPG 12 kg serta menyesuaikan tarif tenaga listrik. Penurunan tersebut dimungkinkan sejalan dengan reformasi energi yang mengatur penentuan harga energi berdasarkan harga keekonomiannya.
79
Penurunan harga komoditas global, termasuk harga pangan, menyebabkan inflasi volatile food yang relatif terkendali. (Laporan Perekonomian Indonesia Tahunan Periode 2012-2015) d. BI Rate BI Rate merupakan suku bunga dengan tenor 1 bulan yang diumumkan oleh bank Indonesia secara periodik yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan moneter. Secara sederhana, BI rate merupakan indikasi dari suku bunga jangka pendek yang diinginkan Bank Indonesia dalam upaya untuk mencapai target inflasi. (Adi 2012:89) BI rate digunakan sebagai acuan dalam operasi moneter untuk mengarahkkan agar suku bunga SBI 1 bulan hasil lelang operasi pasar terbuka berada disekitar BI rate. Selanjutnya suku bunga BI rate diharapkan mempengaruhi PUAB, suku bunga simpanan, dan suku bunga lainnya dalam jangka panjang. Sasaran akhir suatu kebijakan moneter dalam arti luas mencakup stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, keseimbangan neraca pembayaran, stabilitas pasar uang, dan stabilitas pasar valuta asing. Data dari perhitungan tingkat suku bunga bank Indonesia diambil setiap akhir bulan mulai dari bulan Januari tahun 2012 sampai dengan bulan Desember tahun 2015, data diperoleh dari laporan moneter Bank Indonesia.
80
Tabel 4.4. Perkembangan BI Rate Periode 2012-2015
Bulan 201
BI Rate (%) 201 201 3 4 5,75 7,50 5,75 7,50 5,75 7,50 5,75 7,50 5,75 7,50 6,00 7,50 6,50 7,50 7,00 7,50 7,25 7,50 7,25 7,50 7,50 7,75 7,50 7,75
2 Januari 6,00 Februari 5,75 Maret 5,75 April 5,75 Mei 5,75 Juni 5,75 Juli 5,75 Agustus 5,75 September 5,75 Oktober 5,75 November 5,75 Desember 5,75 Sumber: Bank Indonesia dan Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
201 5 7,75 7,50 7,50 7,50 7,50 7,50 7,50 7,50 7,50 7,50 7,50 7,50
Dari tabel 4.4 dapat dilihat perkembangan BI Rate di Indonesia pada tahun 2012 hingga tahun 2015 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun 2012 hingga tahun 2015 terus mengalami peningkatan. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 Januari 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,0%. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih sejalan dengan pencapaian sasaran inflasi ke depan, upaya menjaga stabilitas sistem keuangan serta tetap kondusif dalam mendukung ekspansi ekonomi domestik di tengah ketidakpastian perekonomian global. Selama tahun 2012, perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang menggembirakan dengan tingkat inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, nilai tukar Rupiah yang stabil, dan stabilitas sistem keuangan yang terjaga. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko memburuknya perekonomian global.
81
Di sisi kebijakan, Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Dewan Gubernur meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang bersifat counter-cyclical sangat diperlukan dalam pengelolaan makroekonomi secara keseluruhan serta untuk membawa inflasi pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 4,5%±1% pada tahun 2012 dan 2013. Pada tahun 2014 Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 11 Desember 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 8,00% dan 5,75%. Tingkat suku bunga tersebut masih konsisten untuk memastikan tekanan inflasi jangka pendek pasca kebijakan realokasi subsidi BBM yang ditempuh Pemerintah akan tetap terkendali dan temporer sehingga akan kembali menuju ke sasaran 4±1% pada 2015. Kebijakan tersebut juga sejalan dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh selama ini untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Kebijakan moneter yang cenderung ketat tetap dilanjutkan untuk mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan, sementara kebijakan makroprudensial yang akomodatif ditempuh agar pengetatan moneter tersebut tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas sistem keuangan. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk mendukung penyaluran program sosial Pemerintah dan memperluas Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT).
82
Selain itu, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah juga terus diintensifkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya dalam mengendalikan tekanan inflasi pasca kebijakan realokasi subsidi BBM dan defisit transaksi berjalan, serta mempercepat kebijakan reformasi struktural untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Dan pada Desember 2015 Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 Desember 2015 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Deposit Facility 5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%. Bank Indonesia memandang bahwa ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya inflasi akhir tahun 2015 yang akan berada di bawah 3% dan defisit transaksi berjalan yang akan berada pada kisaran 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Indonesia akan mencermati perkembangan pasar keuangan global pascakenaikan suku bunga Bank Sentral AS (Fed Fund Rate) dan kondisi ekonomi domestik dalam jangka pendek ke depan. Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dengan stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan yang tetap terjaga. (Laporan Perekonomian Indonesia Periode 2012-2015) e. Pembiayan Bermasalah (NPF) UKM Kredit atau pembiayaan yang disalurkan dikatakan bermasalah menurut Manurung dan Rahardja (2004:196) jika pengembaliannya terlambat dibanding jadwal yang direncanakan, bahkan tidak dikembalikan sama sekali. Dalam
83
konteks Indonesia, kredit atau pembiayaan bermasalah dapat dikelompokan menjadi kredit tak lancar dan macet. Kredit tak lancar adalah kredit yang masih dilakukan pembayarannya, tetapi lebih lambat dari jadwal yang seharusnya. Kredit tak lancar dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu: kredit kurang lancar, diragukan, dan macet. Data NPF yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat NPF bulanan pada sektor ukm perbankan syariah Indonesia periode Januari 2012 hingga Desember 2015. NPF tersebut diperoleh dari total pembiayaan non lancar sektor UKM dibagi dengan total pembiayaan yang disalurkan yang tercatat dalam Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasi dalam situs www.bi.go.id. Tabel 4.5 Non Performing Financing (NPF) sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia Periode 2012-2015 Bulan
Rasio Pembiayaan Bermasalah (%) 2013 2014
2012 Januari 2.722 3.725 5.455 Februari 2.930 4.197 6.425 Maret 3.011 4.434 5.953 April 3.098 4.664 6.554 Mei 3.304 4.883 7.624 Juni 3.384 4.518 7.542 Juli 3.533 4.798 8.354 Agustus 3.468 5.249 8.890 September 3.575 4.962 9.175 Oktober 3.499 5.302 9.341 November 3.506 5.561 9.642 Desember 3.269 4.828 8.632 Sumber: Bank Indonesia dan Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
2015 9.608 10.081 9.650 9.312 9.707 9.755 10.010 10.007 9.851 9.852 9.752 9.248
Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa rasio pembiayaan bermasalah atau NPF pada tahun 2012 hingga tahun 2015 mengalami peningkatan yang cukup besar. Hingga akhir tahun 2015 yang merupakan batas tahun penelitian, Rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah Indonesia cenderung meningkat yakni dengan rata-rata NPF sebesar 9,73 % dengan jumlah 84
pembiayaan yang bermasalah sebesar Rp 4.728.410.000.000,- (Statistik Perbankan Syariah, data diolah). Pada tahun 2012 sampai 2015 terjadi penurunan kinerja perbankan syariah secara signifikan yang tercermin pada meningkatnya pembiayaan bermasalah. Dengan mengacu perkembangan pada rasio non performing financing (NPF) yang meningkat menjadi sebesar 10%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perbankan syariah sedang mengalami kendala di bagian pembiayaan yang terus meningkat setiap tahunnya. Akan tetapi pada akhir tahun 2015 terjadi penurunan dari total pembiayaan bermasalah pada sektor UKM menjadi 9,2% di bulan Desember 2015, kondisi ini
memperlihatkan
bahwa
bank
menyalurkan pembiayaannya dan
syariah
semakin
berhati-hati
dalam
dan kemampuan pengelolaan risiko
perbankan syariah.
2. Analisis Pengujian Statistik a. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah variabel bebas dan variabel terikat mempunyai distribusi normal. Maksud dari distribusi normal adalah data akan mengikuti garis diagonal dan menyebar disekitar garis diagonal. Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah nilai residual yang telah distandarisasi pada model regresi berdistribusi normal atau tidak. Nilai residual dikatakan berdistribusi normal jika nilai residual terstandarisasi tersebut sebagian besar mendekati nilai rata-ratanya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji normalitas dengan analisis grafik dan uji Kolmogorov-Smirnov.
85
1) Analisis Grafik Histogram Gambar 4.6. Histogram
Berdasarkan grafik histogram pada gambar 4.6. tampak bahwa residual terdistribusi secara normal dan berbentuk simetri tidak menceng ke kanan atau ke kiri atau dapat dikatakan histogramnya menunjukan pola distribusi normal.
86
2) Analisis Grafik dengan Normal Probability Plot Gambar 4.7. Grafik P-Plot
Hasil uji normalitas data di atas, menunjukan bahwa data menyebar dan mengikuti arah garis diagonal. Maka, dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan dalam analisis ini telah memenuhi asumsi normalitas data.
87
3) Uji Kolmogorv-Smirnov Tabel 4.6. Uji Kolmogorov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N
48
Normal Parameters
a,b
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
,0000000 1160,28981093
Absolute
,099
Positive
,064
Negative
-,099
Test Statistic Asymp. Sig. (2-tailed)
,099 ,200
c,d
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. c. Lilliefors Significance Correction. d. This is a lower bound of the true significance.
Berdasarkan tabel 4.5 di atas, maka dapat disimpulkan data dalam penelitian ini berdistribusi normal dilihat dari nilai Sig > α atau 0,200> 0,05. b. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas diperlukan untuk mengetahui ada atau tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam suatu model. Kemiripan antar variabel independen dalam suatu model menyebabkan terjadinya korelasi yang sangat kuat antara satu variabel independen dengan satu variabel yang lain. Selain itu, deteksi terhadap uji multikolieneritas juga bertujuan untuk menghindari kebiasan dalam proses pengambilan kesimpulan mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
88
Mengukur multikolinieritas dapat dilihat dari nilai Tolerance dan Variance InflationFactor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi karena VIF=1/tolerance. Nilai cut off yang umum dipakai untuk menunjukan adanya multikolinieritas adalah nilai tolerance<0,010 atau sama dengan VIF< 10. Berikut ini adalah hasil dari uji Multikolinieritas: Tabel 4.7. Uji Multikolineritas dengan Nilai Tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor)
Coefficients
a
Collinearity Statistics Model 1
Tolerance
VIF
(Constant) FDR
,455
2,200
Kurs
,415
2,412
Inflasi
,445
2,246
BiRate
,225
4,436
a. Dependent Variable: NPF
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, nilai Tolerance variabel bebas FDR = 0,455, Kurs = 0,415, Inflasi = 0,455, dan BI Rate = 0,225. Sedangkan nilai VIF variabel bebas FDR= 2,200, Kurs = 2,412, Inflasi = 2,246, dan BI Rate = 4,436. Dapat disimpulkan bahwa model regresi dinyatakan bebas dari multikolineritas karena nilai tolerance > 0,01 dan nilai VIF < 10. c. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time series) atau ruang (cross section). Salah satu penyebab munculnya masalah otokorelasi adalah adanya kelembaman (inertia) yang artinya 89
kemungkinan
besar
akan
mengandung
saling
ketergantungan
(interdependence) pada data observasi periode sebelumnya dan periode sekarang.Salah satu ukuran dalam menentukan ada tidaknya masalah otokorelasi adalah dengan menguji Durbin-Watson (DW). Berikut ini adalah hasil uji aotokorelasi dengan metode Durbin-Watson (DW) pada tabel di bawah ini: Tabel 4.8. Uji Durbin-Watson (DW)
M odel
DurbinWatson
1
0,261 Berdasarkan
pada tabel 4.7. di atas, nilai Durbin-Watson (DW) sebesar 0,261 dan dari tabel Durbin-Watson test 5% significance level dengan jumlah sampel 48 dan jumlah variabel 5, didapat dL=1,36192 dan dU=1,72061 berikut penjabarannya. Uji autokorelasi positif, jika 0< d < dL maka terjadi autokorelasi positif dan hasil : 0 < d = 0,261 < dL=1,36192 Uji autokorelasi negatif, jika (4-d) > dL dan (4-d) > dU maka tidak terdapat autokorelasi negatif dan hasil : 4-d = 3,739 > dL=1,36192 4-d = 3,739 > dU=1,72061
90
Maka pada model regresi ini terdapat autokorelasi positif dan tidak terdapat autokorelasi negatif, dan dapat disimpulkan analisis regresi ini terdapat autokorelasi positif. d. Uji Heterokedastisitas Heterokedastisitas yaitu kondisi di mana semua residual atau error mempunyai varian yang berubah-ubah atau tidak konstan. Untuk mengetahui apakah suatu data bersifat heterokedastisitas atau tidak, maka perlu pengujian. Pengujian heterokedastisitas dalam pada penelitian ini menggunakan metode analisis grafik scatterplot dan metode park. Berikut hasil dari metode yang dilakukan:
1) Grafik Scatterplot Ada atau tidaknya heterokedatisitas pada suatu model dapat dilihat dari pola gambar scatterplot model tersebut. Analisis pada gambar scatterplot yang menyatakan model regresi linear berganda tidak terdapat heterokedatisitas jika: a) Titik-titik menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar angka 0. b) Titik-titik data tidak mengumpul hanya di atas atau di bawah saja. c) Penyebaran
titik-titik data tidak boleh
membentuk pola
bergelombang melebar kemudian menyempit dan melebar kembali. d) Penyebaran titik-titik data sebaiknya tidak berpola.
91
Gambar 4.8 Hasil Uji Heterokedatisitas
Gambar 4.8. menunjukan bahwa titik-titik data menyebar di atas, di bawah, dan disekitar angka nol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model
regresi
berganda
ini
terbebas
dari
asumsi
klasik
heterokedatisitas dan layak digunakan dalam penelitian. 2) Uji Park Metode uji Park yaitu dilakukan dengan meregresikan nilai residual (LRES_2) dengan masing-masing variabel dependen (Lnx1, Lnx2, Lnx3, dan Lnx4). Kriteria pengujian dengan menggunakan metode park adalah sebagai berikut: Ho : tidak ada gejala heteroskedastisitas Ha : ada gejala heteroskedastisitas Ho diterima bila –t tabel < t hitung < t tabel berarti tidak terdapat heteroskedastisitas dan Ho ditolak bila t hitung > t tabel atau -t hitung < -t tabel yang berarti terdapat heteroskedastisitas. Berikut ini adalah hasil uji heterokedatisitas dengan menggunakan metode park. 92
Tabel 4.9. Tabel Uji Park
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
18,380
95,376
Lnx1
-17,235
8,446
Lnx2
8,428
Lnx3 Lnx4
Coefficients Beta
t
Sig. ,193
,848
-,416
-2,041
,047
12,858
,141
,656
,516
4,152
1,813
,473
2,291
,027
-6,220
5,508
-,327
-1,129
,265
a. Dependent Variable: LNRES_2
Berdasarkan tabel 4.8 di atas, dapat dilihat bahwa nilai t hitung FDR (Lnx1) = -2,041, Kurs (Lnx2) = 0,656, Inflasi (Lnx3) =
2,291, dan BI
Rate (Lnx4) = -1,129. Sedangkan nilai t tabel dapat dicari pada tabel t dengan df = n-2 atau 48-2 = 46 dengan signifikansi 0,05 maka di dapat nilai t tabel sebesar 2,329. Karena nilai t hitung masing-masing variabel bebas berada pada –t tabel < t hitung < t tabel, maka Ho diterima artinya pengujian dengan menggunakan metode park disimpulkan tidak ada gejala heteroskedastisitas. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukannya masalah heteroskedastisitas pada model regresi ini.
93
3. Pengujian Hipotesis a. Uji F Uji Fhitung digunakan untuk menguji pengaruh secara simultan variabel bebas terhadap variabel terikatnya untuk menguji ketepatan model (goddes of fit). Jika variabel bebas memiliki pengaruh secara simultan (bersama-sama) terhadap variabel terikat maka model persamaan regresi masuk dalam kriteria cocok atau fit. Sebaliknya, jika tidak terdapat pengaruh secara simultan maka model masuk dalam kategori tidak cocok atau not fit. Adapun cara untuk melakukan pengujian uji F ini, dengan menggunakan tabel ANOVA (Analysis of Variance) dengan melihat nilai signifikasi (Sig < 0,05 atau 5%). Jika nilai signifikasi >0,05 maka H1 ditolak, sebalikya jika nilai signifikasi <0,05 maka H1 diterima. Berikut adalah tabel ANOVA pada tabel 4.9 di bawah ini:
Tabel 4.10.
Uji F
a
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
df
Mean Square
269893899,069
4
67473474,767
63274804,931
43
1471507,091
333168704,000
47
F 45,853
Sig. ,000
b
a. Dependent Variable: NPF b. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs
Berdasarkan tabel 4.9. di atas nilai Fhitung diperoleh 45,853 α 5%. Numerator adalah (jumlah variabel – 1) atau 5-1 = 4 dan Denumerator adalah (jumlah kasus – jumlah variabel bebas) atau 48-4 = 44 maka Ftabel 94
adalah 2,59. Sementara nilai sig sebesar <0,05 (0,000< 0,05) maka Ho ditolak, sehingga hipotesis yang menyatakan Tidak ada pengaruh antara FDR, Kurs , Inflasi, dan BI Rate terhadap NPF Sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia ditolak. Dengan demikian terbukti bahwa terdapat pengaruh antara FDR, Kurs, Inflasi, dan BI Rate terhadap NPF Sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia.
b. Uji t Setelah melakukan uji koefiensi regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu atau uji t. Uji t digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh masingmasing variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikasi 0,05 maka variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen. Tabel 4.11. Hasil Uji t Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
2533,399
4966,408
FDR
-91,886
46,831
Kurs
,034
Inflasi BiRate
Coefficients Beta
t
Sig. -,510
,613
-,193
-1,962
,049
,658
,005
,052
,958
-319,355
164,653
-,193
-1,940
,043
2842,818
442,118
,900
6,430
,000
a. Dependent Variable: NPF
Berdasarkan tabel di atas, besarnya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel dependen dapat dijelaskan sebagai berikut: FDR, dari pengujian hipotesis 95
menunjukan bahwa t hitung < t tabel (-1,962 < 2,024) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,049 lebih kecil dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig < α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H01 ditolak dan H02 diterima. Artinya, FDR mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah. Dan koefisien regresi sebesar
-91,886
menunjukan hubungan yang negatif. Artinya jika terjadi kenaikan FDR sebesar 1% maka NPF sektor UKM akan mengalami penurunan sebesar 91,886%. Pada tabel 4.10. di atas diketahui bahwa Kurs menunjukan bahwa t hitung < t tabel (0,052 < 2,024) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,958 lebih besar dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig> α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H01 diterima dan H02 ditolak. Artinya, Kurs tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan koefisien regresi sebesar
0,034
menunjukan hubungan yang positif. Variabel inflasi menunjukan bahwa t hitung < t tabel (-1,940 < 2,024) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,043 lebih besar dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig> α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H01 ditolak dan H02 diterima. Artinya, inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan koefisien regresi sebesar -319,335
menunjukan hubungan yang negatif.
Artinya jika terjadi kenaikan inflasi sebesar 1% maka rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM akan mengalami penurunan sebesar 319,335%. Sementara itu pada tabel 4.10. di atas menjelaskan bahwa variabel BI Rate menunjukan t hitung > t tabel (6,430 > 2,024) dan tingkat
96
signifikasinya sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig< α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H01 ditolak dan H02 diterima. Artinya, BI Rate mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan koefisien regresi sebesar 2842,818 menunjukan hubungan yang positif. Konstanta sebesar 2533,399 menyatakan bahwa jika variabel independen yaitu: FDR, Kurs, Inflasi, dan BI Rate bernilai tetap atau konstan, maka nilai variabel dependen yaitu rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM adalah 2533,399. c. Uji Adjusted R Square (R2 adj) Koefisien determinasi atau R Square (R2) merupakan besarnya kontribusi variabel bebas terhadap terikatnya. Semakin tinggi koefisien determinasi,
semakin
tinggi
kemampuan
variabel
bebas
dalam
menjelaskan variasi perubahan pada variabel terikatnya. Koefisien determinasi memiliki kelemahan, yaitu bias terhadap jumlah variabel bebas yang dimasukkan dalam model regresi di mana setiap penambahan satu variabel bebas dan jumlah pengamatan dalam model akan meningkatkan nilai R2 meskipun variabel yang dimasukkan tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya. Untuk mengurangi kelemahaan tersebut maka digunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan, Adjusted R Square (R2adj). Koefisien determinasi yang telah disesuaikan berarti bahwa koefisien tersebut telah dikoreksi dengan memasukkan jumlah variabel dan ukuran sampel yang digunakan. Dengan menggunakan koefisien determinasi yang disesuaikan maka nilai koefisien determinasi yang disesuaikan itu dapat
97
naik atau turun oleh adanya penambahan variabel baru dalam model. Selengkapnya mengenai hasil uji Adj R2 dapat dilihat pada tabel 4.11 di bawah ini.
Tabel 4.12. Uji Adjusted R Square (R2adj) b
Model Summary
Model 1
R
R Square ,900
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,810
,792
1213,057
a. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs b. Dependent Variable: NPF
Besarnya angka Adjusted R Square adalah 0,792 atau sebesar 79,2%. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh FDR, Kurs, Inflasi dan BI Rate terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM perbankan syariah Indonesia adalah 79,2% , sedangkan sisanya sebesar 20,8% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam penelitian ini. Adapun angka koefisien korelasi (R) menunjukan nilai sebesar 0,900 yang menandakan bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat adalah kuat karena memiliki nilai lebih dari 0,5 (R>0,5) atau 0,900 > 0,5. C. Interpretasi Berdasarkan tabel 4.10 hasil uji t. di atas, maka dapat disusun persamaan regresi untuk penelitan ini adalah sebagai berikut.
Y = 2533,4 - 91,9 X1 - 319,3 X3 + 2842,8 X4
98
Dimana: Y
= Rasio Pembiayaan Bermasalah sektor UKM (dalam persentase)
X1
= Tingkat FDR Bulanan (dalam persentase)
X2
= Tingkat Kurs Bulanan (dalam persentase)
X3
= Tingkat Inflasi (dalam persentase)
X4
= Tingkat Suku Bunga Bulanan (dalam persentase)
Persamaan regresi diatas didapat dari hasil variable NPF sebagai variable dependen dan test variable konstanta dengan Y = 2533,4 didapat dari hasil regresi NPF dengan menggunakan data tingkat pembiayaan bermasalah periode Januari 2012 sampai Desember 2015 di tabel 4.4 yang berarti setiap 1 % kenaikan dalam tingkat NPF akan menambah NPF sebesar 2533,4 miliar dalam setiap periodenya , variable yang mempengaruhi Y sebagai pembiayaan bermasalah dikarenakan tingkat signifikasinya <0,05 ialah X1= -91,9 sig= 0,049 sebagai regresi dari tingkat FDR tabel 4.1, X3= -319,3 sig= 0,043 sebagai regresi dari tingkat inflasi tabel 4.2 dan X4= 2842,8 sig= 0,000 sebagai regresi tingkat suku bunga bulanan. Variabel yang tidak mempengaruhi Y dikarenakan tingkat signifikasinya >0,05 ialah X2 = 0,034 sig= 0,958 sebagai regresi tingkat kurs bulanan. Berikut interpretasi penulis terhadap hasil penelitian ini : 1. Pengaruh FDR terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Koefisien regresi dari FDR sebesar -91,9 dan berdasarkan pada tabel 4.10, variabel FDR mempunyai nilai signifikasi 0,049 < 0,05.Hal ini berarti menerima H1, sehingga dapat disimpulkan bahwa FDR berpengaruh signifikan terhadap NPF sektor UKM di perbankan syariah Indonesia. Hubungan FDR dan NPF bersifat negatif yaitu Y= 2533,4 - 91,9 X1, dengan melihat FDR (X1) sebagai
99
variabel yang berpengaruh, dapat disimpulkan bahwa setiap 1% kenaikan tingkat FDR akan mengurangi pembiayaan bermasalah sebesar 91,9 miliar rupiah. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Khodijah (2010), Wulandari (2012), dan Halim (2007) yang menyimpulkan bahwa tingkat FDR berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. 2. Pengaruh Kurs terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Berdasarkan pada tabel 4.10. di atas, variabel Kurs mempunyai nilai signifikasi 0,958 > 0,05. Hal ini berarti menerima H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa Kurs tidak berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Mutamimah (2012), Siti Nurzaidah (2012), Verdino (2009) menyimpulkan bahwa pembiayaan bermasalah sektor UKM tidak bergantung pada nilai mata uang atau Kurs. 3. Pengaruh Inflasi terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Berdasarkan pada tabel 4.10. di atas, dan menggunakan data tingkat Inflasi dari periode Januari 2012 sampai Desember 2015 koefisien regresi Inflasi -319,3 sebagai variable X3 dalam persamaan regresi di atas,dan variabel inflasi mempunyai nilai signifikasi 0,043 < 0,05. Hal ini berarti menerima H1 sehingga dapat disimpulkan bahwa inflasi berpengaruh signifikan terhadap NPF (2533,4) sektor UKM. Hubungan inflasi dan NPF sektor UKM bersifat negatif yaitu Y= 2533,4 – 319,3 X3, dengan melihat inflasi (X3) sebagai variabel yang berpengaruh terhadap tingkat NPF dapat disimpulkan bahwa setiap 1 % kenaikan dalam tingkat inflasi akan mengurangi pembiayaan bermasalah sebesar 319,3 miliar rupiah.
100
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Hogart et al (2005), Khemraj dan Pasha (2006), Tanujaya (2006), Cahyo (2011), dan Swamy (2012) menyimpulkan bahwa inflasi mempunyai pengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. 4. Pengaruh BI Rate terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Berdasarkan pada tabel 4.10. di atas, dan dengan menggunakan data tingkat variabel BI Rate periode Januari 2012 sampai Desember 2015. Dengan koefisien regresi 2842,8 nilai signifikasi 0,000 < 0,05. Hal ini berarti menerima H1 sehingga dapat disimpulkan bahwa BI Rate berpengaruh signifikan terhadap NPF sebesar 2533,4 sektor UKM. Hubungan antara BI Rate dan pembiayaan bermasalah sektor UKM bersifat positif yaitu Y= 2533,4 + 2842,8 X4 dengan BI Rate sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah, maka dapat disimpulkan setiap kenaikan 1% dalam tingkat suku bunga akan meningkatkan NPF sebesar 2842,8 miliar rupiah. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Badrudin (2008), Arifah (2011), dan Mahmud (2006) yang menyimpulkan bahwa tingkat suku bunga akan meningkatkan pembiayaan bermasalah sektor UKM.
101
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh dari financing to deposit ratio, nilai tukar rupiah atau kurs, tingkat inflasi, dan tingkat suku bunga atau BI Rate terhadap pembiayaan bermasalah atau NPF dengan menggunakan data time series pada sektor UKM perbankan syariah di Indonesia periode Januari 2012 sampai dengan Desember 2015. Dari pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Secara parsial dari perumusan permasalahan sebelumnya, menghasilkan bahwa hasil dari uji F yang telah dilakukan menunjukkan variabel FDR, Kurs, Inflasi, dan BI Rate berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap pembiayaan bermasalah di sektor UKM di sektor UKM perbankan syariah Indonesia periode 2012-2015. 2. Secara parsial hasil dari uji t juga menunjukkan variabel FDR, Inflasi, dan BI Rate berpengaruh secara signifikan terhadap pembiayaan bermasalah yang dimiliki oleh sektor UKM pada perbankan syariah Indonesia periode 20122015, dan juga hasil penelitian menunjukkan bahwa, tidak berpengaruhnya tingkat perubahan dari Kurs terhadap tingkat perubahan NPF sektor UKM, terdapatnya hubungan yang negatif dari variabel FDR dan variabel Inflasi, dan hubungan positif dari variavel BI Rate terhadap NPF dari sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia. 3. Nilai Adjusted R Square dari hasil sebelumnya dalam penelitian ini adalah sebesar 0,792 artinya sebesar 79,2% dari variasi pembiayaan bermasalah yaitu FDR, Kurs, Inflasi, dan BI Rate berpengaruh terhadap NPF sektor
102
UKM perbankan syariah Indonesia, sedangkan sisanya sebesar 20,8% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam penelitian ini. Adapun angka koefisien korelasi (R) menunjukan nilai sebesar 0,900 yang menandakan bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat adalah kuat karena memiliki nilai lebih dari 0,5 (R>0,5) atau dari hasil adalah 0,900 > 0,5. B. Implikasi Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa implikasi yang harus diperhatikan, karenanya peneliti mencoba mengemukakan implikasi yang mungkin bermanfaat kedepannya, di antarnya: 1. Perbankan Syariah Dari adanya temuan, bahwa FDR, Inflasi, dan BI Rate berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Sementara itu, Kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM dengan tingkat kontribusi yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk evaluasi pertumbuhan pembiayaan di sistem Perbankan Syariah. Ukuran aset bank dapat meningkatkan pengawasan terhadap rasio NPF di perbankan syariah dengan manajemen risiko secara efisien. Sehingga semakin besar suatu bank dapat memanfaatkan aset yang dimilikinya untuk mengunakan, mengawasi, dan mengontrol pembiayaan yang disalurkan bank tersebut. Penulis menyarankan agar pihak perbankan syariah terus meningkatkan fungsi manajemen pembiayaannya dengan bijak kedepannya. Baik sebelum maupun sesudah pembiayaan disalurkan pada sektor UKM dengan memanfaatkan sistem informasi yang memadai. Di samping itu dalam menjalankan manajemen risikonya, perbankan syariah
103
juga disarankan untuk ikut serta memperhatikan kondisi pasar dengan merespon kebijakan yang dikeluarkan oleh bank sentral agar bank-bank syariah dapat terus bersaing di tengah konsumen dan nasabahnya yang beraneka ragam. 2. Bagi Nasabah Debitur Implikasi bagi debitur sektor UKM khususnya dalam pembiayaan perbankan syariah agar debitur sektor UKM harus lebih memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran bisnis yang dijalankan guna memenuhi kewajibannya untuk membayarkan angsuran dari pembiayaan yang telah disalurkan. Dan disarankan agar menjauhi perilaku moral hazard yang dapat berpotensi besar merugikan pihak perbankan syariah selaku pemberi pembiayaannya. Disarankan pula bagi pihak debitur agar memilih pembiayaan yang tepat dan sesuai dengan karateristik bisnis yang dijalankan dan sesuai dengan kapasitas kemampuannya dalam mengelola sumber dana agar tidak terjadi default atau pembiayaan yang tergolong bermasalah. 3. Bagi Akademisi Penelitian ini akan menambah jumlah pustaka ilmu perekonomian di bidang manajemen khususnya bidang perbankan syariah dan dapat dijadikan bahan bacaan dan referensi untuk menambah wawasan dan pengetahuan, khususnya tentang manajemen risiko dan manajemen pembiayaan yang terdapat pada perbankan syariah. Untuk peneliti selanjutnya, para peneliti sebaiknya memperbanyak jumlah variabel moneter, misalnya: trend perekonomian terbaru, stock dan harga minyak dunia, PDB dan lainnya. Selain itu bisa dengan menambah variabel spesifikasi bank seperti biaya
104
operasional, profitabilitas, pertumbuhan pembiayaan, struktur kepemilikan, kebijakan jenis pembiayaan, indikasi moral hazard dan lainnya.
105
DAFTAR PUSTAKA Maryanto, Supriyono. “buku Pintar Perbankan ”, Andi Yogyakarta Publisher, 2011. Kasmir, “Manajemen Perbanakan edisi revisi”, Rajawali Pers, Jakarta, 2015. Khotibul, Umam, “Perbankan Syariah”, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016. Arifin, Zainul. “Dasar Dasar Manajemen Bank Syariah”, Azkia Publisher, Jakarta, 2009. Boediono, “Ekonomi Moneter”, BPFE, Yogyakarta, 1989. El Tiby, Amr Mohammed. “Islamic Banking: How to Manage Risk and Improve profitability”, Willey Finance, New Jersey, 2011. Ghozali, Imam, “Aplikasi Analysis Multivariate dengan program IBM SPSS 19”, Edisi ke 5, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011. Greuning, Hennie Van, dan Zamir Iqbal. “Risk Analysis for Islamic Banks”, The World Bank, Washington DC, 2008. Gujarati, Damodar. “Ekonometrika Dasar”, Erlangga, Jakarta, 2006. Hakan, Etem, Ergec, dan Bangil Gulumser. “Impact of Interest Rate on Islamic and Conventional Banks: The Case of Turkey”, MPRA Paper No. 29848, Turkey, 2012. Hogart, Glenn. Steffen Sorensen, dan Lea Zicchino. “Stress tests of UK banks using a VAR approach”, Working Paper no. 282, ISSN 1368-5562, England, 2005. Imaduddin, Muhammad. “Determinants of Banking Credit Default in Indonesia: a Comparative Analysis”, Journal of Markfield Institute of Higher Education (Loughborough University) United Kingdom, 2006. Jakubik, Petr. “Macroeconomic Environment and Credit Risk”, Jurnal. Czech National Bank, and the Institute of Economic Studies of Charles University, Prague, 2007. Karim, Adiwarman A. “Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Kasmir. “ Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya”, Rajawali Press, Jakarta, 2008. Khemraj, Tarron dan Sukrishnalall Pasha. “The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana”, Jurnal. Guyana, 2006. Maski, Ghozali. “Analisis Keputusan Nasabah Menabung: Pendekatan Komponen dan Model Logistik Studi pada Bank Syariah di Malang”, Jurnal. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2012. 106
Minnan, Ahmad Abdul Jalil “Pengaruh Makro Ekonomi terhadap Kinerja Keuangan PT Bank Muamalat Indonesia”. Tesis (Magister) program Pasca Sarjana Timur Tengah dan Islam FE UII, 2008. Miskhin, Frederic. S. “Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan”, Edisi 8, Salemba 4, Jakarta, 2008 Nopirin. “Ekonomi Moneter Buku II”, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta, 1990. Putong, Iskandar. “Ekonomi Mikro dan Makro “, Edisi kedua. Penerbit Ghala Indonesia, Jakarta, 2002. Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. “Pengantar Ilmu Ekonomi”, LPFEUI, Jakarta, 2008. Rajan, Rajiv dan Sarat Chandra Dhal. “Non Performing Loans and Terms of Credit Public Sector Banks in India: an Empirical Assesment”, Reserve Bank of India Occasional Papers Vol. 24, No. 3, India, 2003. Rose, Peter S. “Commercial Bank Management”, Mc Graw Hill, New York , 2002. Saba, Irum, Rehana Kouser, dan Muhammad Azeem, “Determinants of Non Performing Loans: Case of US Banking Sector”, The Romanian Economic Journal. Year XV no. 44. Rumania. 2012. Siamat, Dahlan. “Manajemen Lembaga Keuangan”, Edisi ke 5, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta, 2005. Singgih, Santoso. “Buku Latihan SPSS Parametrik”, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000. Siregar, Mulya. “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah Untuk Mendukung Sistem Ekonomi yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek, dan Arah Kebijakan”, IQTISAD Journal of Islamic Economics Vol. 3, No. 1, Jakarta, 2002. Sugiyono, “Statistika untuk penelitian”, CV Alfabeta, Bandung, 2008 Sukirno, Sadono. “Pengantar Teori Ekonomi Makro”, Rajawali Press, Jakarta 2004. Sutojo, Siswanto. “Menangani Kredit Bermaslah Konsep dan Kasus”, PT Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2008. Swamy, Vighneswara. “Impact of macroeconomic and endogenous factors on non performing bank assets”, International Journal of Banking and Finance Volume 9 Issue 1, India, 2012. Tampubolon, Robert. “Manajemen Risiko Pendekatan Kualitatif untuk Bank Komersial”, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004. 107
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady. “Pengantar Statistika”, Bumi Aksara, Jakarta, 2006. “Statistik Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2012”. OJK, Jakarta, 2012. “Statistik Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2013”. OJK, Jakarta, 2013. “Statistik Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2014”. OJK, Jakarta, 2014. “Statistik Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2015”. OJK, Jakarta, 2015. “Laporan Perekonomian Indonesia Periode 2012-2015”. Bank Indonesia, Jakarta, 2015.
http//: www.bi.go.id/statistikkeuangan http//: www.bps.go.id http//: www.ojk.go.id http//: www.karimconsulting.com http//: www.ilmuperbankan.blogspot.co.id http//: en.wikipedia.org
108
Lampiran 1: Data-data variabel penelitian dari tahun 2012-2015
No
Waktu
1
NPF UKM Y (%)
4
Apr-12
6
5,39
3.304
7,95
Sept-12 3.575
02,10
3.499
00,84
1
4.197
02,17
4.434
02,62
2 2
03,08
9236
4,45
5,75
9754
4,53
5,75
9974
4,56
5,75
9643
4,58
5,75
9821
4,31
5,75
9632
4,61
5,75
9523
4,32
5,75
9897
4,30
5,75
9753
4,57
5,75
9890
5,31
5,75
9978
5,90
5,75
10023
5,57
5,75
10149
5,47
5,75
10165
5,90
6,00
10210
8,61
6,50
10175 10132
8,79 8,40
7,00 7,25
1 02,08 1 04,43 1 4.798
04,83
5.249 4.962
02,53
1
Agt-13 Sept-13
5,75
1
Jul-13
0
4,50
1
Jun-13
9
9975
1
4.518
1
00,63
Mei-13
8
5,75
1
4.883
1
00,00
Apr-13
7
3,97
1
4.664
1
01,19
Mar-13
6
9810
1
Feb-13
5
5,75
1
Jan-13
4
3,56
1
3.725
1
01,03
Des-12
3
9790
1
3.269
1
9,91
Nov-12
2
6,00
9
3.506
1
8,59
Okt-12
1
3,65
9
3.468
0
9622
9
Jul-12
9
1
7,13
Jun-12
Agt-12
1
0,49
3.098
3.533
1
7,27
Mei-12
8
3 (%)
9
3.384
7
BI Rate X4 (%)
8 3.011
5
X
9 2.930
Mar-12
Inflasi X2(Rp )
8
Feb-12
3
Kurs
X 1 (%)
Jan-12 2.722
2
FDR
1
109
03,27
1 2
Okt-13
2
Nov-13
2
5.302
3 2 2
5.561
02,58
4.828
00,32
2
Apr-14
7
2 3
6.554
5,50
7.624
9,43
3
Agt-14
3
Sept-14
2
Jan-15
3
Feb-15
7
9,71
9.341
8,99
4
4
Jul-15
2
10627
7,32
7,50
10834
7,25
7,50
10760
7,32
7,50
11321
6,70
7,50
10968
4,53
7,50
11016
3,99
7,50
10710
4,53
7,50
10717
4,83
7,50
10445
6,23
7,75
1,50
10164
8,36
7,75
8,85
9778
6,96
7,75
9957
6,29
7,50
10057
6,38
7,50 7,50
10278
6,79
10075
7,15
8 10.081
9,37
9.650
9,15
8 8 9,57 9 0,05
7,50
9 9.755
3
7,50
8
9.707
Jun-15
4
4,62
Mei-15
4
7,55
9
9.312
1
10457
9
Apr-15
0
7,50
9
Mar-15
9 4
8,99
9.175
9.608
8
8,22
9
8.632
3
9,89
Des-14
3
10238
9
9.642
6
7,50
9
Nov-14
5 3
00,80
Okt-14
4
8,38
1
8.890
3
10178
9
8.354
3
02,22
Jul-14
1
7,50
9
7.542
3
02,03
Jun-14
0 3
00,07
Mei-14
9
8,37
1 5.953
8
10075
1 6.425
Mar-14
7,25
1
Feb-14
2
8,32
1
5.455
6
10097 1
Jan-14
5 2
03,03
Des-13
4
4
1
2,56
7,50 10271
7,26
9 10.010
0,13
10.007
0,72
7,50 9903
7,26
9
Agt-15
7,50 10009
7,18 110
4 5 4
0,82
9.852
0,67
10322
6,83
9736
6,25
7,50
9 9.752
4
7,50
9
Nov-15
7 8
9.851
Okt-15
6 4
9
Sept-15
0,26
7,50 9886
8
Des-15 9.248
8,03
10010
4,89 3,35
7,50
111
Lampiran 2: Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien
b
Model Summary
Model
R
1
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square ,900
a
,810
,792
1213,057
a. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs b. Dependent Variable: NPF
a
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
df
Mean Square
269893899,069
4
67473474,767
63274804,931
43
1471507,091
333168704,000
47
F
Sig.
45,853
,000
b
a. Dependent Variable: NPF b. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
2533,399
4966,408
FDR
-91,886
46,831
Kurs
,034
Inflasi BiRate
Coefficients Beta
t
Sig.
-,510
,613
-,193
-1,962
,049
,658
,005
,052
,958
-319,355
164,653
-,193
-1,940
,043
2842,818
442,118
,900
6,430
,000
a. Dependent Variable: NPF
112
Lampiran 3: Uji Normalitas
113
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N Normal Parameters
48 a,b
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
,0000000 1160,28981093
Absolute
,099
Positive
,064
Negative
-,099
Test Statistic Asymp. Sig. (2-tailed)
,099 ,200
c,d
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. c. Lilliefors Significance Correction. d. This is a lower bound of the true significance.
114
Lampiran 4: Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi
Uji Tolerance & VIF
Coefficients
Unstandardized Coefficients Model 1
B
(Constant)
Std. Error
a
Standardized
Collinearity
Coefficients
Statistics
Beta
2533,399
4966,408
FDR
-91,886
46,831
Kurs
,034
Inflasi BiRate
t
Sig.
Tolerance
VIF
-,510
,613
-,193
-1,962
,049
,455
2,200
,658
,005
,052
,958
,415
2,412
-319,355
164,653
-,193
-1,940
,043
,445
2,246
2842,818
442,118
,900
6,430
,000
,225
4,436
a. Dependent Variable: NPF
Uji DW
b
Model Summary
Model 1
R ,900
R Square a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,810
,792
1213,057
Durbin-Watson ,261
a. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs b. Dependent Variable: NPF
115
Lampiran 5: Uji Heterokedatisitas
Uji Park
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
18,380
95,376
Lnx1
-17,235
8,446
Lnx2
8,428
Lnx3 Lnx4
Coefficients Beta
t
Sig. ,193
,848
-,416
-2,041
,047
12,858
,141
,656
,516
4,152
1,813
,473
2,291
,027
-6,220
5,508
-,327
-1,129
,265
a. Dependent Variable: LNRES_2
116