PERGESERAN POLA PEMAHAMAN DAN PENGAMALAN SALAT TARAWIH: STUDI PADA MASYARAKAT KECAMATAN MEDAN AMPLAS DARI 23 RAKAAT KE 11 RAKAAT Pangeran Harahap1 Abstrak istilah pendekatan penelitian ini lebih populer digunakan pendekatan masalah. Tentang penelitian ini, jenisnya adalah penelitian hukum normatif-empiris. Oleh karena itu, dalam strategi penelitiannya adalah pendekatan normatif-terapan (applied law approach). Adapun temuan di lapangan menunjukkan bahwa berkenaan dengan sisi paham keagamannya tidak ada perubahan sama sekali. Yang ada perubahan hanya pada jumlah rakaat. Kalau hanya perubahan pada jumlah rakaat, tidak pada tata cara pelaksanaan salatnya, maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengatakan telah terjadi perubahan dan pergeseran paham keagaamannya. Kata Kunci: Pemahaman, Pengamalan, Sholat Taraweh A. Latar Belakang Masalah Salat tarawih adalah salat sunat yang dikerjakan oleh umat Islam pada setiap malam selama bulan Ramadhan. Salat ini merupakan bahagian dari ibadah qiyamullail secara umum. Oleh karena itu pula, maka salat tarawih ini dikenal dengan nama qiyamu Ramadhan. Hal ini dibuktikan dengan dalil Hadis yang umumnya dijadikan sebagai dalil bagi pelaksanaan salat tarawih itu sendiri. Rasul saw. bersabda “Barangsiapa melalukan qiyamullail (salat malam) pada bulan Ramadhan atas dasar iman dan mencari ridha Allah maka dosanya yang telah lalu akan diampuni”. 2 Dengan demikian, maka asal mula dari salat tarawih tersebut tidak lain adalah qiyamullail atau qiyamu Ramadan. Penamaan qiyamu Ramadan ini menjadi salat tarawih dalam riwayat yang masyhur adalah dimulai sejak zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Demikian dijelaskan di dalam Hadis riwayat Malik. Sehingga dapatlah dipastikan bahwa istilah salat tarawih ini belum digunakan pada zaman Nabi Muhammad Saw. 3 Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab mengumpulkan orang-orang di masjid untuk melaksanakan salat qiyamu Ramadhan tersebut dengan di belakang satu imam, dimana tadinya dilaksanakan secara sendiri-sendiri atau dengan berjamaah secara terpisah-pisah dalam jumlah yang kecil.Umar bin Khattab kemudian menunjuk sebagai imamnya Ubay bin Ka’ab.
1
Dosen UIN dan Ketua Pusat Pengabdiann Masyarakat LP2M UIN-SU Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibariy, Fath al-Mu’in, terjemahan Aliy As’ad, Fath al-Mu’in, Kudus: Menara, 1980, halaman 254, Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh as-Syafi’i al-Muyassar, terjemahan Muhammad Afifi dan Abdul Hafifiz, Fiqih Imam Syafi’i, Jakarta: Almahira, 2010, jilid 1, halaman 298. 3 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Cet.4, jilid 4, halaman 236. 2
Jika jumlah rakaat salat ini dilaksanakan di masjid pada awalnya sebanyak 8 rakaat dua kali salam, maka setelah upaya yang dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab menghimpun umat Islam untuk melaksanakan salat di masjid dalam satu jamaah dan satu imam seperti dikemukakan tadi, maka jumlah rakaatnya berubah menjadi 20 rakaat. Kemudian,dalam pelaksanaannya pun tidak lagi empat rakaat satu salam, melainkan berubah pula menjadi setiap dua rakaat salam serta pada setiap empat rakaat dilakukan istirahat. Pelaksanaan beristirahat setiap dua salam (empat rakaat) inilah yang kemudian menjadi dasar bagi penamaan salat yang awalnya qiyamu Ramadhan menjadi salat tarawih.4 Keempat mazhab besar dari mazhab sunni, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali bersepakat berpendapat bahwa jumlah rakaat salat tarawih itu adalah sebanyak 20 rakaat dengan 10 kali salam atau setiap dua rakaat salam.5 Jika mengacu kepada pendapat yang ada dalam empat mazhab tersebut di atas, tentu menurut logikanya dan juga menurut biasanya bahwa para pengikut mazhab itu akan beramal sebagaimana amalan dalam mazhab yang diikutinya. Masyarakat muslim Indonesia, termasuk mereka yang berdomisili di Kecamatan Medan Amplas adalah mayoritas bermazhab Syafi’i. Oleh karena dan atas dasar itu maka mestinya mereka semua melaksanakan shalat tarawih dalam jumlah 20 raka’at plus tiga rakaat salat witirnya sebagaimana yang sudah menjadi pemahaman dan pengamalan dalam mazhab Syafi’i. Akan tetapi dalam realitanya, ada sebahagian kecil dari masyarakat muslim yang berdomisili di Kecamatan Medan Amplas tersebut saat ini melaksanakan salat tarawih itu bukan dengan jumlah 20 rakaat melainkan dengan jumlah rakaat sebanyak 8 rakaat plus tiga rakaat dengan salat witirnya. Jika yang terjadi adalah hal seperti disebut di atas, maka masalah seperti ini tentu menjadi sangat menarik untuk ditelusuri, yaitu mengapa ketika mereka masih memposisikan dirinya sebagai pengikut mazhab Syafi’i, dalam hal pelaksanaan salat tarawih justru mereka mengambil posisi yang berbeda dengan (mufaroqoh dari) mazhab yang menjadi ikutannya. Pada mulanya mereka yang sekarang melaksanakan salat tarawih dengan jumlah delapan rakaat plus salat witir tiga rakaat itu, dulunya melaksanakan salat tarawih tersebut dengan jumlah 20 rakaat plus dengan salat witir sebanyak tiga rakaat. Sehingga yang terjadi di sini adalah adanya pergeseran pemahaman dan pengamalan sebahagian masyarakat tentang pelaksanaan salat tarawih tersebut yaitu dari 23 rakaat berubah ke dan menjadi 11 rakaat. B. Fokus Kajian Penelitian Berdasarkan konteks penelitian sebagaimana yang digambarkan dalam pendahuluan di atas, maka di sini dapat ditentukan apa yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Peneliti di sini menetapkan bahwa yang akan menjadi fokus penelitiannya adalah “Mengapa perubahan jumlah rakaat salat tarawih dari 21 rakaat ke 11 rakaat itu terjadi pada sebahagian masyarakat muslim Kecamatan Medan Amplas”. Untuk menggali dan menghimpun data sebanyak mungkin dalam rangka untuk pengambilan suatu kesimpulan sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang merupakan fokus 4
Lihat Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, halaman 298, Abdul Qadir ar-Rahbawi, As-Shalatu ‘Ala alMazahibi al-Arba’ah, terjemahan Ahmad Yaman, Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Mazhab, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet.2, 284-286, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, halaman 237. 5 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, terjemahan Syarif Hademasyah dan Luqman Junaidi, Kitab Shalat Fikih Empat Mazhab, Jakarta: Hikmah, 2010, halaman 284-289.
kajian tersebut di atas, maka berikut ini dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang berkaitan, yaitu: 1. Masjid mana saja yang pelaksanaan salat tarawihnya mengalami perubahan dari 23 rakaat menjadi 11 rakaat? 2. Sejak kapan terjadinya perubahan tersebut ? 3. Apa yang menjadi dasar pertimbangannya bagidilakukannya perubahan itu ? 4. Apa dampak dari perubahan tersebut bagi pelaksanaan salat tarawih pada masyarakat ? C. Tujuan Penelitian 1. Mengungkapkan tentang hal apa yang mendasari pertimbangan masyarakat untuk melakukan perubahan dalam hal jumlah rakaat pelaksanaan salat tarawih itu dari yang tadinya dipahami dan diamalkan dalam jumlah 23 rakaat menjadi hanya 11 rakaat. 2. Memahami relevansi dasar pertimbangannya dengan realitasnya sebagai dampak dari adanya rekayasa perubahan tersebut, yaitu dari 21 rakaat menjadi hanya tinggal dalam 11 rakaat. D. Manfaat Penelitian 1. Temuan mengenai adanya sejumlah masyarakat yang melakukan salat tarawih yang tadinya melaksanakannya dalam jumlah 23 rakaat sebagaimana ketentuan menurut paham mazhab yang diikutinya, lalu kemudian melakukan perubahan ke arah pengurangan jumlah rakaatnya itu menjadi 11 rakaat dengan tanpa merubah haluan pandangan mengenai mazhab ikutannya, berarti kita dapat mengetahui bahwa sebahagian masyarakat kita telah melakukan rekayasa terhadap ajaran agama. 2. Dalam hal untuk kebijakan, bahwa temuan mengenai negatif atau positifnya dampak rekayasa itu tadi, tentu akan bermanfaat bagi kegiatan melakukan penelitian lanjutan dalam mengkaji batasan-batasan tentang apakah ada ruang bagi manusia untuk melakukan rekayasa terhadap ajaran agama itu tadi. Lebih konkritnya, akan menjadi pendorong bagi peneliti berikutnya (khususnya dari kalangan fuqaha/ahli hukum Islam) untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hukum dari salat yang jumlah rakaatnya 8 rakaat dan dinamai salat tarawih tersebut. E. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada pergeseran jumlah rakaat dari 23 rakaat menjadi 11 rakaat dalam pelaksanaan salat tarawih. Adapun setting penelitiannya, sebagaimana yang tertuang di dalam judul adalah masjidmasjid/musholla yang ada di Kecamatan Medan Amplas. Wilayah dari Kecamatan Medan Amplas ini meliputi tujuh (7) Kelurahan. Di dalam tujuh kelurahan tersebut terdapat enam puluh dua (62) Masjid dan Mushalla.6Dari enam puluh dua masjid dan mushalla tersebut,hanya masjid dan mushalla yang pelaksanaan salat tarawih dan witirnya mengalami pergeseran dari yang tadinya 23 rakaat dan sekarang menjadi 11 rakaat sajalah yang menjadi fokus penelitian ini. Artinya, ada banyak masjid dan mushalla yang pelaksanaan salat tarawih dan witirnya 11 rakaat, akan tetapi tidak mengalami perubahan atau pergeseran dari 23 menjadi 11 rakaat, sebab pelaksanaan salat tarawih dan witir di masjid dan mushalla itu sudah 11 rakaat sejak dari awal berdirinya.
6
Sumber data dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian hukum, terhadap istilah pendekatan penelitian ini lebih populer digunakan pendekatan masalah. Tentang penelitian ini, jenisnya adalah penelitian hukum normatif-empiris. Oleh karena itu, dalam strategi penelitiannya adalah pendekatan normatifterapan (applied law approach). Untuk itu telah dirumuskan lebih dahulu fokus dan tujuan penelitiannya. 2. Gambaran Setting dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan secara terfokus di dua (2) masjid/mushalla yang di dalamnya dahulu dilaksanakan salat tarawih dengan jumlah rakaat dua puluh (20) ditambah dengan salat witir tiga (3) rakaat, kemudian sekarang telah bergeser menjadi delapan (8) rakaat ditambah tiga (3) rakaat salat witir. Kedua masjid/mushalla tersebut adalah; a. Mushalla Taqwa yang bertempat di jalan Garu IV, b. Masjid Ar-Rahman yang bertempat di jalan Damai. Di Kecamatan Medan Amplas, hanya ke dua (2) masjid/mushalla inilah yang dahulu melaksanakan salat tarawih dan witir dalam jumlah 23 rakaat kemudian sekarang menjadi 11 rakaat. Adapun sumber data penelitian ini berasal dari ungkapan para narasumber yang terdiri dari pengurus BKM dan tokoh agama/masyarakat setempat. Dalam rangka untuk menjaring informasi yang lebih kaya, tidak ditinggalkan pertimbangan masalah gender. Yaitu, diupayakan sebahagian narasumbernya adalah jamaah perempuan. 3. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Berkenaan dengan pengumpulan data penelitian, hal ini dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan wawancara secara mendalam (indepth interview), yaitu dengan cara mewawancarai para narasumber yang telah ditentukan. Kedua dengan cara turut serta dan mengikuti pelaksanaan salat tarawih itu (tehnik observasi) di masjid/mushalla yang menjadi subjek penelitian. Bahwa semua transkrip wawancara beserta field notes diseleksi dengan cara direduksi, diberi kode dan dikategorisasikan berdasarkan jenis dan relevansinya dalam menjawab pertanyaan penelitian. Selanjutnya, data yang telah terseleksi tersebut ditampilkan untuk memudahkan proses interpretasi dan penarikan kesimpulan. 4. Tehnik Penjaminan Keabsahan Data Untuk menjamin tingkat kepercayaan data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka peneliti melakukan triangulasi sumber dan metode. Yaitu, data yang diperoleh dan terkumpul dari lapangan kemudian dicek ulang dengan sumber berbeda (informan dan catatan hasil wawancara dan catatan observasi) dan dengan metode berbeda (observasi dan wawancara). G. Kerangka Teori Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis,
dan kebudayaan.Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Perubahan sosial dalam suatu masyarakat, termasuk dalam hal prilaku keberagamaannya (di dalamnya termasuk pula dalam hal memilih cara mengamalkan suatu ibadah yang memiliki nuansa beragam cara mengamalkannya menurut mazhab atau aliran yang berbeda), tentu dipengaruhi oleh beragam faktor. Adapun faktor-faktor penyebab perubahan sosial itu, adakalanya karena faktor intern dan adakalanya karena faktor ekstern. Salah satu di antara faktor penyebab perubahan sosial itu oleh faktor intern adalah dengan adanya penemuan baru. Dalam masalah jumlah rakaat salat tarawih sebagaimana kajian dalam penelitian ini, bisa jadi karena masyarakat yang selama ini mengetahui dan memahami bahwa jumlah rakaat salat tarawih itu adalah 20 rakaat, kemudian mendapatkan informasi baru apakah lewat pengajian, membaca buku dan lain sebagainya bahwa ada pelaksanaan salat tarawih dengan jumlah rakaatnya sebanyak 8 rakaat. Bahkan Nabi sendiri di masjidnya hanya melaksanakan 8 rakaat salat tarawih tersebut. Berkenaan dengan faktor ekstern, bahwa satu darinya adalah masuknya kebudayaan dari masyarakat lain. Jika dalam kebudayaan di sini dimasukkan tradisi, maka hal ini akan menopang terjadinya perubahan sosial khususnya dalam jumlah rakaat salat tarawih tadi terhadap perubahan sosial melalui faktor intern tersebut di atas. Umpamanya, ada sekelompok masyarakat yang pindah dan bergabung ke dalam masyarakat itu yang paham dan pengamalan keagamaan atau mazhab yang dianutnya sama tetapi sudah terbiasa di tempat asalnya melakukan salat tarawih itu dengan jumlah rakaatnya 8 rakaat. Jika kemudian dilihat pula dari sisi faktor pendorong bagi perubahan sosial tersebut, maka di sana ada disebutkan bahwa salah satu dari antara faktor pendorong perubahan sosial itu adalah adanya sistem terbuka dalam lapisan masyarakat (berpaham moderat). Kemudian adanya situasi penduduk yang heterogen, dan selain itu adanya kontak dengan kebudayaan lain atau tradisi beribadah masyarakat muslim lainnya. Dari teori-teori tentang terjadinya perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat seperti dikemukakan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai suatu kerangka teori bagi terjadinya perubahan atau tepatnya pergeseran pemahaman dan pengamalan umat Islam di Kecamatan Medan Amplas dalam hal pelaksanaan salat tarawih dari 23 rakaat ke dan menjadi 11 rakaat sebagai berikut: 1. Sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat, baik adanya masyarakat luar yang kemudian bergabung ke dalamnya maupun masyarakatnya yang melihat ke dunia luar mereka atau belajar kepada beberapa guru yang berbeda-beda dalam tingkatan ilmu dan cara pandang, yang moderat dan yang ekstrim, 2. Sepanjang masih ditemukan adanya sistem terbuka dalam lapisan masyarakat, 3. Dan sepanjang situasi penduduknya heterogen, maka sangat dimungkinkan terjadinya pergeseran pemahaman dan pengamalan pelaksanaan salat tarawih dari jumlah 23 rakaat ke atau menjadi 11 rakaat pada masyarakat muslim tak terkecuali pada masyarakat muslim yang berdomisili di Kecamatan Medan Amplas. Jika kerangka teori seperti dikemukakan di atas kemudian dihubungkan dengan Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya; “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang-orang yang hidup pada masaku (masa Rasul, yaitu sahabat), kemudian orang yang hidup pada masa sesudahnya (tabi’in), kemudian orang yang hidup pada masa sesudah mereka (tabi’it tabi’in), ...”, maka kerangka teorinya bisa ditambah dengan bahwa pergeseran pemahaman dan pengamalan umat Islam dalam pelaksanaan salat tarawih ke arah yang lebih sedikit jumlah rakaatnya atau ke arah yang lebih ringan, maka hal itu tentu sangat dimungkinkan karena semakin menipisnya semangat beramal umat.
1. Penamaan Salat Tarawih Salat tarawih adalah satu jenis salat sunat dari beragam jenis salat sunat. Salat ini dikerjakan oleh umat Islam pada setiap malam selama bulan Ramadhan. Semula salat tarawih ini dikenal dengan nama “qiyamu ramadhan”. Shalat malam yang dilaksanakan pada bulan ramadhan yang tadinya dinamai dengan “qiyamu ramadhan” itu, kemudian dinamai dengan shalat tarawih, hal itu karena shalat tersebut lama waktu mengerjakannya.Yaitu terdiri dari beberapa raka’at dan setiap selesai melakukan empat raka’at – atau dalam riwayat lainnya setiap selesai melakukan dua rakaat – sipelakunya istirahat dahulu kemudian melanjutkan shalatnya kembali. Kemudian, shalat di bulan ramadhan itu disebut tarawih karena orang-orang pada istirahat dulu setelah selesai mengerjakan empat rakaat (dalam satu riwayat dua rakaat). Ibnu Mandzur dalam lisanul Arab berkata : “tarawih adalah jama’ dari tarwiihah, berasal dari kata roohah. Sama dengan tasliimah yang berasal dari kata salam. Ibnu Mandzur selanjutnya berkata : “Roohah yang berarti istirahat adalah lawan kata dari ta’ab yang berarti letih atau capek.Itulah sebabnya salat yang tadinya disebut “qiyamu ramadhan” kemudian dia disebut dengan shalat tarawih. Penamaan salat ini (yaitu yang semula tadi qiyamu ramadhan) kemudian berubah menjadi atau dengan nama “salat tarawih”, dalam salah satu riwayat dikatakan dimulai sejak zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. 7 Salat sunat qiyamu ramadhan ini kemudian diubah namanya dan diberi nama baru dengan salat sunat tarawih, sebab bagi yang mengerjakannya merasakan rilek (istirahat) lantaran panjang (lama) mereka berdiri. Mengapa mereka merasakan rilek (istirahat) dalam masa lamanya mereka berdiri ketika mengerjakan salat tarawih tersebut, tentu karena mereka melakukan duduk istirahat setiap salam pada setiap dua rakaat,8 atau pada setiap dua kali salam (empat rakaat).9 Jadi, pada intinya bahwa oleh karena adanya istirahat yang berulang-ulang setiap salam pada setiap dua atau empat rakaat itulah yang menjadi dasar bagi salat sunat yang tadinya disebut qiyamu ramadhan kemudian diberi nama menjadi salat tarawih. Terlepas dari perbedaan informasi dan pendapat mengenai kapan waktu duduk istirahatnya, apakah setiap selesai salam pada setiap dua rakaat atau pada setiap selesai empat rakaat, yang pasti di sela-sela pelaksanaan salat itu ada duduk istirahatnya. Jika tidak ada duduk istirahatnya, semestinya tidak dapat diberi sebutan kepadanya sebagai salat tarawih, tetapi semestinya tetap memberi sebutan kepadanya dengan nama awalnya yaitu qiyamu ramadhan. Di sisi lain, oleh karena adanya duduk istirahat pada setiap dua atau empat rakaat itulah menjadi salah satu sebab tentunya bahwa mereka (umat Islam yang mengerjakan salat tarawih tersebut) merasa senang dan bersemangat dalam melaksanakan salat ini pada setiap malamnya di setiap bulan ramadhan. Demikianlah kiranya asal mula bagi pemberian atau penyebutan nama bagi salat sunat yang dikerjakan oleh umat Islam pada malam bulan ramadhan tersebut. Tadinya atau asalnya ia bernama salat qiyamu ramadhan, kemudian pada masa berikutnya sampai dengan sekarang berubah namanya menjadi salat sunat tarawih. 7
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, halaman 236. Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibariy, Fath al-Mu’in, halaman 254. 9 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh as-Syafi’i al-Muyassar, halaman 298. Lihat juga Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, halaman 289. 8
2. Penelitian Terdahulu Kajian terdahulu berkenaan dengan jumlah rakaat dari salat tarawih itu cukup banyak. Baik ia yang tertuang di dalam berbagai kitab fikih klasik dan modern, maupun dalam tulisan ulama-ulama mutaakhkhirin yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh ulama-ulama Indonesia. Berkenaan dengan kajian khusus tentang pergeseran pengamalan atau pergeseran pemahaman tentang pelaksanaan salat tarawih dalam satu masyarakat tertentu di wilayah tertentu, apalagi untuk masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Medan Amplas, peneliti belum pernah menemukan. Sebenarnya bukan hanya untuk wilayah Kecamatan Medan Amplas, bahkan untuk wilayah Kota Medan pun nampaknya belum ada dan yang pasti belum pernah peneliti temukan dan ketahui. H. Temuan dan Pembahasan 1. Jumlah Masjid dan Mushalla Wilayah dari Kecamatan Medan Amplas ini meliputi tujuh (7) Kelurahan. Di dalam tujuh kelurahan tersebut terdapat enam puluh dua (62) Masjid dan Mushalla. Keenam puluh dua masjid dan muhalla tersebut tersebar di tujuh kelurahan itu. Sebanyak 6 masjid dan mushalla berada di Kelurahan Amplas, 5 masjid dan mushalla berada di Kelurahan Siti Rejo II, 8 masjid dan mushalla berada di Kelurahan Siti Rejo III, 18 masjid dan mushalla berada di Kelurahan Harjo Sari I, 13 masjid dan mushalla berada di Kelurahan Harjo Sari II, 10 masjid dan mushalla berada di Kelurahan Timbang Deli, dan 2 masjid dan mushalla ada di Kelurahan Bangun Mulia.10 Nama-nama dan letak atau alamat serta Ketua atau Nazir Badan Kemakmuran Masjid (BKM) dari seluruh Masjid dan Mushalla se Kecamatan Medan Amplas sebagaimana yang dikemukakan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Data Mesjid di Kecamatan Medan Amplas A. Nama-Nama Mesjid Kelurahan Amplas No 1.
Nama Mesjid Amaliyah
2.
Nurul Barakah
3.
Al-Waqif
4. 5.
Al-Muslimin Jami’ Amplas
6.
Al-Mukhlisin
10
Alamat Jl. Panglima Denai Lk. V No.75 Jl. Panglima Denai Gg. Jala Jl. Tuar Komp. Astra Jl. Pengilar No.32 Jl. Panglima Denai Gg. Hasibuan Jl. Lukah No.37
Nazir Fuadi Zuami Muhammad Arsyad Ir. Irsyad H. Ismail Nst Drs. Sofyan Pala Jumiin
Sumber data dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan.
B. Nama-Nama Mesjid Kelurahan Siti Rejo II No 1.
Nama Mesjid Taqwa
2. 3. 4.
Jami’ Harjo Sari Musyawarah Al-Jihad
Alamat Jl. SM. Raja Gg. Supir Jl. SM. Raja Gg. Aman Jl. STM. Gg. Arifin Jl. Pembangunan
5.
Salman
Jl. STM Gg. Aman
Nazir Erwin H. Idrus Ibn Hajar H. Agus Salim Hrp. H. Bachtiar Daulay
C. Nama-Nama Mesjid Kelurahan Siti Rejo III No 1. 2. 3.
Nama Mesjid Al-Aqsha Nurhasanah Tarbiyah
4. 5. 6. 7.
Ittihadul Ikhwan Syi’ar Islam Ar-Rahman Amal Sholeh
8.
Rohaniyah
Alamat Jl, Selamat No.114 Jl. Garu I No. 18 Jl. SM.Raja Gg. Syahruddin Jl. Selamat No.107A Jl. Syahruddin Jl. Selamat Pulau Jl. Selamat Gg.Rukun Jl. Selamat Ujung
Nazir M. Sunaryo Abd. Karim Zulkarnain, SE. M. Yasin S. H.Syamsudin Abd. Malik Zakari Mhd. H. Hamdan Yazid
D. Nama-Nama Mesjid Kelurahan Harjo Sari I No
Nama Mesjid
Alamat
1.
Ikhlasiyah
Jl, Garu I
2.
Taqwa Muhammadiyah UNIVA
Jl. Garu II No. 13
3. 4. 5. 6.
Nurul Hidayah UMN Al-Washliyah Silaturrahim
Jl. SM. Raja (KampusUNIVA) Jl. Garu II A No.23 Jl. Garu II A No.93 Jl. Garu III No.71
Nazir H. Magrib Siregar Azwar Ahmad Yani H. Sobron Anwar Sadad M. Idris Hsb.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18
Nurul Tufail Khadijah Taqwa Ramadhan Ar-Rifai
Jl. Garu IV No.148 Jl. Garu IV Gg.Citra Jl. Garu VI No.6
H. Usman Mhd. Yunus Irsaluddin
Ridho Shobirin
Jl. SM. Raja Komp. TPI Jl. Garu VII No.34
Erli Ibrahim
Ismail
Jl. Garu III No.83
Drs. Sabar
Al-Hikmah
Jl. Garu II B
Amat Rejo
Al-Arid Bilah
Syamsul Ma’arif Awaluddin
Vila Harjosari
Jl. Garu II B Gg. Rahayu Jl. Garu I Gg. Semangka Jl. Garu II B
UMN I
Jl. Garu II A
Nurhasanah
Jl. Garu I No. 18
Al-Huda
M. Qadrisyah
Jasa Syamsudin Hasan Abd. Karim
E. Nama-Nama Mesjid Kelurahan Harjo Sari II No
Nama Mesjid
Alamat
Nazir
1.
Al-Hilal
Asrama Widuri
H. Bisman L
2.
Al-Huda
Jl. Bajak I Lk.1
Samir Dmnk
3.
Ar-Rahmat
Jl. Bajak Lk.14
4.
Baiturrahman
Jl. Bajak III Lk.7
M.Tholib Hr
5.
Taqwa Ar-Rodho
Jl. Bajak IV Lk.7
Mhd. Sururi
6.
Al-Muhajirin
Jl. Bajak II-H
Hermanuddin
7.
Ikhwatul Muslimin Darul Azhar Jadid
Jl. Swadaya Lk.9
M. Syahlani
Jl. Bajak II No.9
Amin, S.Ag.
9.
Al-Ikhsan
Jl. Sumber Amal
Sanian
10
Al-Ikhlas
Tugiman
11
An-Nur
Jl. Rahayu Lk.11 Jl. Bajak V Kom. Kehutanan
8.
II Batara Hrp.
Regen Hsb.
12
Al-Hikmah
Jl. Bajak V Lk.7
Joni Ramli H
13
Darul Iman
Jl. Bajak II - H
Joni Ramli
F. Nama-Nama Mesjid Kelurahan Timbang Deli No Nama Mesjid Alamat Nazir 1. As-Syuhada Jl. SM.Raja Kom. Rustam Barus PT. Asahan 2. Al-Ikhlas Jl. SM. Raja Gg. Dahmal Yusuf Ikhlas 3. Al-Hidayah Jl. Saudara Gg. Rozali SPd.I Mesjid 4. Nurul Iman Jl. SM.Raja Km.9 Sumiran 5. An-Nur Jl. Turi (Komp. M. Saidi Sir. Armed) 6. Ar-Rahman Jl. Damai Sumiyanto 7. Ramadhan Jl. Pertahanan H.M. Arlan 8. Miftahul Jannah Jl. Pertahanan Sudarma (Kom. PT.Nusira) 9. Al-Hidayah Jl. SM. Raja Parlautan Nst. (Komp. Polda) MA. 10 Ar-Rahmat Jl. Pertahanan 87 Sulam G. Nama-Nama Mesjid Kelurahan Bangun Mulia No Nama Mesjid Alamat Nazir 1. Al-Ba’arham Jl. Bendungan Sampai Tuah Sembiring 2. Ar-Raudah Jl. SM. Raja H. Ruslan (Komp. Rivera C) Effendi Sir. Pada bulan Ramadhan, di semua masjid dan mushalla yang berjumlah enam puluh dua tersebut di atas didirikan atau dilaksanakan salat tarawih oleh umat Islam yang berdomisili di sekitarnya. Pada umumnya, jamaah salat tarawih di bulan ramadhan itu memenuhi masjid-masjid dan mushalla-mushalla tersebut, sama seperti masjid-masjid dan mushalla-mushalla lainnya yang ada di Kota Medan ini terutama pada awal-awal Ramadhan. Namun pelaksanaan dari sisi jumlah rakaat dari salat tarawih yang dikerjakan oleh umat Islam pada enam puluh dua masjid dan mushalla itu tidak sama. Sebahagian masjid dan mushalla ada yang mengerjakan salat tarawih itu dalam jumlah 23 rakaat, yaitu dengan jumlah dua puluh rakaat salat tarawih ditambah dengan tiga rakaat salat witirnya. Dan ada pula pada sebahagian masjid dan mushalla yang mengerjakannya dalam jumlah 11 rakaat, yaitu dengan jumlah delapan rakaat salat tarawih ditambah dengan tiga rakaat salat witirnya. Masjid dan mushalla yang di dalamnya dilaksanakan salat tarawih dalam jumlah 23 rakaat merupakan jumlah yang mayoritas. Pelaksanaan salat tarawihnya 11 rakaat, yaitu dengan delapan rakaat tarawihnya ditambah dengan tiga rakaat salat witirnya, terdapat pula dua macam cara pelaksanaannya.
Macam yang pertama, melaksanakan salat tarawihnya itu dengan empat rakaat satu salam. Ini adalah tata cara pelaksanaan salat tarawih kelompok umat Islam di masjid atau mushalla Muhammadiyah. Sedang macam yang kedua, melaksanakan salat tarawih itu dengan dua rakaat satu salam, kemudian ditambah dengan salat witir dengan dua macam cara pula. Yaitu ada yang mengerjakannya dalam satu salam, dan ada pula yang melaksanakannya dengan dua salam.Tata cara pelaksanaan salat tarawih seperti ini adalah tata cara salat tarawihnyakelompok umat Islam yang melaksanakan salat tarawih di masjid-masjid atau mushalla-mushalla yang bukan Muhammadiyah, seperti Nahdhiyyin dan yang semisalnya. Masing-masing mereka tentulah punya dalil dan argumen yang menjadi pegangannya. 2. Masjid/Mushalla Yang Di Dalam Pelaksanaan Salat Tarawih dan Witirnya Terjadi Pergeseran Jumlah Rakaat Dari 23 ke dan Menjadi 11 Dari enam puluh dua masjid dan mushalla yang ada di wilayah Kecamatan Medan Amplas tersebut,maka terdapatlahsebanyak tujuh belas (17) masjid dan mushalla yang pelaksanaan salat tarawih di dalamnya oleh umat Islam dengan jumlah rakaatnya sebanyak delapan (8) rakaat plus salat witirnya tiga (3) rakaat. Ke tujuh belas (17) masjid dan mushalla di maksud adalah: 1. Yang Berdomisili di Kelurahan Amplas: No Nama Mesjid Alamat 1. Al-Waqif Jl. Tuar (Komp. Astra)
Nazir Ir. Irsyad
2. Yang Berdomisili di Kelurahan Harjo Sari I:
No 1. 2. 3. 4.
Nama Mesjid Nurul Tufail Khadijah Taqwa Ismail Vila Harjosari
Alamat Nazir Jl. Garu IV H. Usman No.148 Jl. Garu IV Mhd. Yunus Gg. Citra Jl. Garu III Drs. Sabar No.83 Jl. Garu II B Jasa
3. Yang Berdomisili di Kelurahan Harjo Sari II: No
Nama Mesjid
1.
Al-Hilal
2.
An-Nur
Alamat Asrama Widuri Jl. Bajak V Kom. Kehutanan
Nazir H. Bisman L Regen Hsb.
4. Yang Berdomisili di Kelurahan Timbang Deli: No Nama Mesjid Alamat Nazir 1. Al-Ikhlas Jl. SM. Raja Gg. Dahmal Yusuf Ikhlas 2. Al-Hidayah Jl. Saudara Gg. Rozali
3.
An-Nur
4. 5. 6.
Ar-Rahman Ramadhan Miftahul Jannah
7.
Al-Hidayah
8.
Ar-Rahmat
Mesjid Jl. Turi (Komp. Armed) Jl. Damai Jl. Pertahanan Jl. Pertahanan (Kom. PT.Nusira) Jl. SM. Raja (Komp. Polda) Jl. Pertahanan 87
SPd.I M. Saidi Siregar Sumiyanto H.M. Arlan Sudarma Parlautan Nst. MA. Sulam
5. Yang Berdomisili di Kelurahan Bangun Mulia: No Nama Mesjid Alamat Nazir 1. Al-Ba’arham Jl. Bendungan Sampai Tuah Sembiring 2. Ar-Raudah Jl. SM. Raja H. Ruslan (Komp. Rivera C) Effendi Sir. Kemudian, dari 17 masjid dan mushalla tersebut di atas yang melaksanakan salat tarawih dan witirnya sekarang ini berjumlah 11 rakaat, hanya ada dua (2) masjid/musholla saja di antaranya yang pelaksanaan salat tarawih dan witirnya mengalami pergeseran dari yang tadinya 23 rakaat dan sekarang menjadi 11 rakaat ( delapan rakaat salat tarawih plus tiga rakaat salat witir). Sedang ke-15 masjid dan mushalla lainnya, bahwa pelaksanaan salat tarawih di sana, memang sudah terlaksana 11 rakaat sejak dari awal mula berdirinya masjid atau musalla tersebut. Sehingga yang terjadi tidaklah pergeseran ke arah perubahan, melainkan sudah menjadi pemahaman dan pengamalan mereka dalam melaksanakan salat tarawih itu sedari awalnya. Adapun kedua masjid/mushalla yang pelaksanaan salat tarawihnya mengalami pergeseran ke arah perubahan dari 23 rakaat ke 11 rakaat tersebut, adalah: 1. Masjid Ar-Rahman yang beralamat di Kelurahan Timbang Deli, dan 2. Masjid Taqwa yang beralamat di Kelurahan Harjo Sari I. Pada kedua masjid ini memang benar-benar terjadi pergeseran pengamalan dalam pelaksanaan salat tarawih itu ke arah perubahan jumlah rakaatnya. Yaitu, semula oleh masyarakat muslim yang menjadi jamaah salat tarawih pada bulan ramadhan di kedua masjid ini melaksanakan salat tarawih dalam jumlah rakaat sebanyak dua puluh tiga (23) rakaat, kemudian pada tahun-tahun belakangan sampai dengan saat ini salat tarawih di dalam ke dua masjid itu dilaksanakan dengan jumlah rakaatnya sebanyak sebelas (11) rakaat. 1. Masjid Ar-Rahman Salah satu dari masjid atau musalla yang ada wilayah Kecamatan Medan Amplas yang di dalamnya oleh umat Islam yang merupakan jamaahnya melaksanakan salat tarawih dari yang awalnya berjumlah dua puluh tiga (23) rakaat dan sekarang mengalami perubahan ke dan menjadi sebelas (11) rakaat adalah Masjid Ar-Rahman. Adapun Masjid Ar-Rahman ini,adalah satu masjid yang berlokasi atau beralamat di Jalan SM. Raja Gang Damai, sekarang menjadi Jalan Damai. Alamat ini masuk ke dalam wilayah Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas Kota Medan.
Ketua Badan Kemakmuran (BKM) masjid Ar-Rahman ini sekarang adalah dipegang oleh Bapak Sumiyanto. Beliau ini, dengan kedudukannya sebagai Ketua BKM diposisikan menjadi salah seorang narasumber sekaligus menjadi informan bagi penelitian ini. Menurut informasi beliau, bahwa nara sumber lain yang dapat dimintai keterangan dan penjelasannya mengenai pelaksanaan salat tarawih di Masjid Ar-Rahman ini adalah: 1. Bapak Sidin, 2. Bapak Drs. Mulyono, 3. Bapak Agus, dan 4. Ibu Elvi. Menurut Bapak Sumiyanto (Ketua BKM Masjid ArRahman), keempat orang ini adalah orang yang cukup paham dan mengerti tentang perubahan jumlah rakaat dalam pelaksanaan salat tarawih tersebut di masjid ini. Sebab selain mereka berempat itu adalah orang lamayang berdomisili di kampung ini, juga mereka ini adalah jamaah yang aktif salat berjamaah di masjid di antara jamaah-jamaah lainnya. Secara khusus dengan bapak Drs. Mulyono, diinformasikan oleh bapak Sumiyanto bahwa beliau ini adalah merupakan ustadz atau ulamanya di kampung ini. Beliau ini, selain sebagai jamaah aktif dan sekarang juga bertindak sebagai penasehat BKM, beliau juga dengan posisinya sebagai ustadz di kampung ini diminta juga dan turut serta mengisi ceramah ramadhan menjelang tarawih sekaligus menjadi imam salat isya dan tarawih sekali seminggu di masjid ini. Atas dasar itu, beliau ini memang cukup tepat untuk dimintai informasinya serta mudah menjumpainya yaitu ketika giliran jadwal beliau menjadi imam dan penceramah dalam salat tarawih di masjid ini. Menurut penuturan dari Bapak Sumiyanto selaku Ketua BKM Masjid Ar-Rahman saat ini, bahwa: Sebelum tahun 1980-an, di masjid kita ini salat tarawih itu dilaksanakan dalam jumlah rakaatnya sebanyak dua puluh tiga (23) rakaat. Nah, setelah tahun 1980-an terjadi perubahan menjadi sebelas (11) rakaat. Perubahan itu terjadi setelah diadakan musyawarah oleh pengurus BKM bersama-sama dengan masyarakat yang disebabkan munculnya usulan dari sebahagian jamaah kira-kira lebih kurang sebulan lagi sebelum ramadhan, agar pelaksanaan salat tarawihnya dilaksanakan dalam jumlah rakaat yang sebelas (11) rakaat saja. Hasil musyawarah waktu itu, menyepakati usulan tersebut serta menetapkan bahwa sejak bulan ramadhan tahun itu pelaksanaan salat tarawih di masjid ini dilaksanakan dengan jumlah sebelas (11) rakaat.11 Ketika beliau ditanya mengenai tahun pasti dari perubahan tersebut serta alasan yang paling mendasar yang dikemukakan oleh jamaah pengusul bagi perubahan tersebut, beliau kemudian menunjuk ke Bapak Sidin yang paling paham dan punya banyak pengetahuan mengenai hal itu. Sebab Bapak Sidin ini, selain jamaah masjid yang cukup aktif mulai dari dulu sampai dengan saat ini, beliau itu adalah mantan Kepala Lingkungan dan pada masa perubahan itu beliau menjabat sebagai Kepala Lingkungan di kampung ini. Berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan yang mempengaruhi terjadinya perubahan pengamalan pelaksanaan salat tarawih dalam bentuk pergeseran jumlah rakaat dari dua puluh tiga (23) ke dan menjadi sebelas (11) rakaat yang disepakati di dalam rapat pengurus BKM dan masyarakat jamaah masjid itu tadi, beliau memberikan gambaran seperti berikut. Pertama bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar dan menjadi jamaah dari Masjid Ar-Rahman ini adalah bermazhab Syafi’i atau populernya dalam sebutan masyarakat di sini dengan berpaham kaum tua. Memang pada umumnya di Indonesia ini, khususnya di Sumatera Utara, sebutan kaum tua 11
Wawancara dilakukan pada hari Minggu tanggal 29 Juni 2014 dengan Bapak Sumiyanto selaku Ketua BKM di rumahnya.
dalam masalah paham keagamaan umat Islam merupakan sebutan yang populer sebagairival dari kelompok umat Islam yang diberi sebutan kaum muda yaitu Muhammadiyah. Kedua, bahwa mayoritas masyarakat yang berdomisili di lingkungan ini dan merupakan jamaah masjid ArRahman ini adalah para pekerja yang pulang dan sampai ke rumahnya maghrib. Jadi, dengan pertimbangan keadaan seperti yang disebutkan tadi, menurut dugaan kuat serta yang menjadi keyakinan beliau beliau, faktor keadaan pekerjaan tadilah kemungkinan yang paling kuat mempengaruhi keinginan dan usulan melakukan perubahan jumlah rakaat dalam pelaksanaan salat tarawih tersebut. Bukan karena perubahan paham keagamaan masyarakat muslim di sini dari paham kaum tua menjadi penganut paham kaum muda. Berkenaan dengan dampaknya, khususnya ke arah yang berkaitan dengan peningkatan jumlah jamaah yang mengikuti salat tarawih di masjid ini, atau mungkin dengan kebalikannya yaitu penurunan, maka kata bapak Sumiyanto sebenarnya tidak memberikan dampak yang signifikan. Kecuali, hanya untuk beberapa orang saja yang dahulunya ketika salat tarawih itu dilaksanakan dalam jumlah 23 rakaat, mereka pulang lebih dahulu setelah selesai delapan rakaat, dan sekarang mereka tidak keluar lagi. Akan tetapi, dengan model salat tarawih yang sekarang ini, ada juga beberapa orang jamaah yang lainnya yang keluar (pulang duluan) setelah selesai delapan rakaat, tidak ikut melaksanakan salat witir. Mungkin saja jemaah yang disebutkan ini adalah orang yang mengamalkan salat tarawih dalam jumlah 23 rakaat, sehingga mereka pulang duluan dan tidak ikut salat witir karena mereka akan menambah salat tarawihnya di rumah. Pada malam harinya, yaitu hari minggu malam senin tanggal 29 Juni 2014 tepatnya pada malam kedua ramadhan, peneliti mengikuti salat tarawih di Masjid Ar-Rahman tersebut. Jamaah salat tarawih pada malam itu cukup ramai, ruangan dalam masjid penuh yang terdiri dari orang tua, remaja, anak-anak, laki-laki dan perempuan. Bahkan sebahagian jemaah ada yang harus mengambil tempat di teras masjid terutama para anak-anak. Jumlah rakaat salat tarawihnya memang sebanyak delapan rakaat, kemudian ditambah dan dilanjutkan dengan salat witir tiga (3) rakaat dua kali salam. Dalam mengikuti pelaksanaan salat tarawih di Masjid Ar-Rahman ini, pada malam itu peneliti sengaja mengambil posisi pada shaf paling belakang dari jamaah laki-laki. Tujuannya agar bisa memantau tentang ada tidaknya jamaah yang keluar dan pulang lebih dahulu sebelum salat tarawih berakhir di pimpin oleh imam. Dalam pantauan peneliti, bahwa pada malam itu tidak satu jamaahpun yang keluar dari jamaah dan pulang sampai dengan selesai salat tarawih yang delapan (8) rakaat tersebut. Hanya saja, setelah selesai salat tarawihnya yang delapan rakaat tadi, sejumlah tiga orang kaum bapak berdiri, keluar dari dalam masjid serta meninggalkan masjid, dan patut diduga pulang ke rumahnya. Terhadap jemaah perempuan, karena dibatasi oleh tabir, maka luput dari pemantauan peneliti sehingga tidak dapat mengetahui apakah ada yang keluar atau tidak. Namun mengenai ini, peneliti akan mencari informasi melalui narasumber dari kalangan jamaah perempuan. Ketika selesai salat tarawih pada malam itu, peneliti diuntungkan dengan hadirnya dalam salat tarawih berjamaah di masjid itudua orang narasumber dari jamaah kaum bapak yang diinformasikan sebelumnya oleh bapak Sumiyanto. Mereka adalah Bapak Sidin dan bapak Agus. Kedua narasumber tersebut di atas, peneliti wawancarai secara bersamaan dalam rangka menggali serta menghimpun data yang dibutuhkan. Sebagaimana diungkapkan sbelumnya di
awal bahwa bapak Sidin adalah selain jamaah aktif di masjid ini juga beliau ini merupakan mantan Kepala Lingkungan di kampung ini. Pada masa beliau menjabat sebagai Kepala Lingkunganlah perubahan pelaksanaan salat tarawih itu dari dua puluh tiga (23) rakaat ke dan menjadi sebelas (11) rakaat dilakukan di masjid ini. Atas dasar itu peneliti memulai wawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada bapak Sidin mengenai kapan awal mula bagi pelaksanaan salat tarawih dalam jumlah sebelas rakaat di Masjid Ar-Rahman ini. Menurut penjelasan dari bapak Sidin, pelaksanaan salat tarawih di Masjid Ar-Rahman ini dahulunya yaitu di bawah tahun 1980-an dilaksanakan dalam jumlah rakaat sebanyak dua puluh tiga (23) rakaat. Kedua puluh tiga rakaat itu terbagi kepada dua puluh rakaat salat tarawih dengan cara setiap dua rakaat salam, lalu ditambah dengan tiga rakaat salat witir dengan dua salam, yaitu dua rakaat di tambah satu rakaat. Hal seperti itulah pelaksanaan salat tarawih itu berlangsung sejak dari awal berdirinya sampai dengan tahun 1980-an.Kemudian, lebih lanjut beliau mengatakan bahwa: Pada tahun 1980-an tepatnya pada tahun 1988, sebulan sebelum atau sebulan menjelang ramadhan kala itu, atas usulan sebahagian masyarakat sekitar yang merupakan jamaah masjid kita ini diadakanlah rapat bagi perubahan jumlah rakaat dalam pelaksanaan salat tarwih itu dari yang tadinya dua puluh tiga rakaat supaya dilaksanakan menjadi sebelas rakaat saja. Peserta rapatnya adalah masyarakat sekitar yang merupakan jamaah masjid ini bersama-sama dengan pengurus kenaziran masjid. Hasil rapat memutuskan bahwa usulan bagi perubahan itu diterima, dan sejak dari bulan ramadhan tahun 1988 tersebut di Masjid Ar-Rahman ini, pelaksanaan salat tarawih adalah dengan sebelas rakaat.12 Mendengar perubahan itu terjadi pada tahun 1988, maka hal itu kemudian mengingatkan peneliti kepada Masjid Ulul Albab IAIN-SU yang berada di kampus I jalan Sutomo, dimana pada tahun 1988 tersebut atas usul Rektor pada saat itu untuk dilakukan perubahan pola pelaksanaan dari salat tarawih tersebut. Ketika itu, peneliti merupakan salah seorang pengurus masjid Ulul Albab tersebut. Pola pelaksanaan dari salat tarawih itu sebagai suatu bentuk perubahan dari pola lama adalah dengan cara melaksanakan salat tarawih delapan rakaat, kemudian diberi kesempatan kepada mereka (jamaah) yang hendak melaksanakan salat tarawihnya dengan jumlah rakaat sebanyak delapan rakaat untuk melaksanakan salat witir dan dipimpin oleh imam khusus. Sementara bagi jamaah yang ingin melaksanakan dan melanjutkan salat tarawihnya dalam jumlah rakaat sebanyak dua puluh rakaat, dipersilahkan istirahat menunggu selesainya salat witir bagi mereka (jamaah) yang salat tarawihnya sebelas rakaat. Setelah selesai salat witir dari mereka yang bertarawih dengan sebelas rakaat, maka jamaah yang bertarawih dua puluh tiga rakaat, kembali melanjutkan salat tarawihnya yang dipimpin oleh imam tetapnya. Ketika hal seperti yang peneliti kemukakan di atas dipertanyakan kepada Bapak Sidin mengenai polanya, maka beliau menjawab bahwa pola perubahan pelaksanaan salat tarawih di masjid ini dari sisi pengurangan jumlah rakaatnya itu, langsung dibatasi menjadi sebelas rakaat. Persis sama seperti yang disaksikan dan dilaksanakan pada ramadhan sekarang ini. Ketika pertanyaan yang sama kemudian saya alihkan dan konfirmasi kepada bapak Agus, maka beliau 12
Wawancara dilakukan pada hari Minggu tanggal 29 Juni 2014 bertepatan dengan malam kedua ramadhan di dalam ruangan Masjid Ar-Rahman.
menguatkan dan mengiyakan apa yang menjadi penjelasan dari bapak Sidin tadi. Beliau mengatakan bahwa dia sudah tinggal di kampung ini sejak tahun 1979 bersama orang tuanya. Ketika itu, dia masih remaja dan aktif pada kegiatan remaja masjid. Bahkan ketika dilakukan perubahan pola pelaksanaan salat tarawih dari 23 rakaat menjadi sebelas rakaat itu, beliau mengatakan bahwa pada saat itu dia berkedudukan sebagai Ketua Remaja Masjid Ar-Rahman. Memang katanya, pada saat itu remaja masjid tidaklah dilibatkan dalam musyawarah tentang perubahan tersebut. Namun di kepanitiaan pelaksanaan salat tarawih pada bulan ramadan itu yang menjadi tulang punggungnya dipercayakan kepada remaja masjid. Seperti bilal, tadarusan dan kebersihan masjid. Jadi para remaja yang aktif pada kegiatan remaja masjidnya saat itu, tahu betul dengan perubahan pola pelaksanaan salat tarawih dari yang tadinya dua puluh tiga rakaat itu kemudian menjadi sebelas rakaat. Para remaja saat itu senang dengan perubahan itu, karena tidak merasa terlalu capek. Berkenaan dengan dasar pertimbangan yang menguatkan terjadinya hasil keputusan rapat yang menetapkan dilakukannya perubahan jumlah rakaat salat tarawih itu dari yang tadinya dua puluh tiga rakaat ke dan menjadi sebelas rakaat, bahwa menurut beliau berdua ini, pertimbangan yang paling mendasar itu adalah masalah ketahanan fisik. Bapak Sidin menjelaskan bahwa masyarakat di lingkungan ini khususnya yang merupakan jamaah masjid Ar-Rahman ini mayoritasnya sebagai pekerja yang bekerja di luar kampung dan kembali ke rumah sore hari dan setelah maghrib. Atas dasar pertimbangan seperti itu, maka masyarakat dan pengurus masjid peserta musyawarah tersebut dengan mudah dan cepat tanpa perdebatan yang alot menerima usulan yang berasal dari sebagian jemaah itu tadi, dan kemudian menetapkan bahwa mulai dari ramadhan tahun itu yang lebih kurang sebulan lagi akan tiba, salat tarawihnya dilaksanakan dengan pola baru yaitu dengan jumlah rakaat sebanyak sebelas rakaat. Pola baru dimaksudkan sebagaimana dikemukakan di atas, hanya pengurangan jumlah rakaatnya saja, sedangkan tata cara pelaksanaannya sama dengan pola yang lama, yaitu setiap dua rakaat salam. Setiap salam tetap ada istirahatnya dengan membaca zikir sebagaimana yang dilaksanakan dalam pelaksanaan salat tarawih dalam jumlah rakaat yang dua puluh tiga rakaat. Termasuk salat wiwirnya dilaksanakan dengan dua kali salam, yaitu dua rakaat salam, kemudian ditambah satu rakaat lagi sebagai rakaat penutup bagi keganjilan jumlah rakaat dari salat witir tersebut. Menurut bapak Agus, sebagai orang yang dari dulunya semenjak dari remaja adalah orang yang aktif menjadi jamaah di Masjid Ar-Rahman ini, yang dengan pekerjaannya yang sampai sore hari bahkan kadang-kadang bisa lewat sampai maghrib, dia merasa dapat mewakili jamaah yang lain bahwa dia merasa terbantu dengan perubahan jumlah rakaat salat tarawih tersebut. Beliau beralasan, dan menurutnya sudah pasti juga sama dengan alasan jamaah yang lainnya bahwa dengan adanya perubahan jumlah rakaat salat tarawih tersebut di masjid ini dari yang tadinya dua puluh tiga rakaat menjadi sebelas rakaat seperti sekarang ini, merasa sangat terbantu karena dapat beristirahat lebih panjang setelah capek bekerja selama seharian. Beliau menambahkan bahwa dirinya dan juga masyarakat yang menjadi jamaah dari Masjid Ar-Rahman ini bukanlah orang yang termasuk berpaham Muhammadiyah, tetapi semuanya berpaham kaum tua yaitu Nahdhiyyin dan Al-Washliyah. Kalau Muhammadiyah itu kan kata beliau melaksanakan salat tarawih itu dalam jumlah sebelas rakaat dengan tata cara setelah empat
rakaat salam, dan untuk salat witirnyapun hanya dalam satu kali salam, sehingga konsep salat tarawih merekapun adalah empat-empat tiga.Sedangkan kita (katanya) melaksanakan salat tarawih itu dalam jumlah sebelas rakaat, akan tetapi setiap dua rakaat salam, dan salat witirnyapun dua salam, bukan satu salam. Berkenaan dengan bertambahkah atau malah berkurangkah atau stabil jumlah jamaah salat tarawihnya ketika dibandingkan antara salat tarawih yang dilaksanakan dalam jumlah dua puluh tiga rakaat sebelumnya dengan yang sesudah dilaksanakan dengan jumlah sebelas rakaat, maka kedua nara sumber di atas menjelaskan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan. Sebab kata mereka, jamaahnya adalah orang yang sama juga. Hanya saja sangat dimungkinkan bahwa seandainya usulan perubahan jumlah rakaatnya itu dari dua puluh tiga menjadi sebelas rakaat dulu itu tidak diterima, bisa jadi jamaahnya tidak sebanyak yang ada seperti sekarang ini. Paling tidak yang mengikuti sampai selesai salat tarawihnya dalam jumlah yang dua puluh tiga rakaat itu. Kita duga kuat kata pak Agus, bahwa kalau dalam kondisi sekarang ini pasti kebanyakan dari jamaah kita ini akan keluar dan pulang duluan setelah selesai delapan rakaat. Seperti disebutkan tadi, karena mereka pada umumnya telah merasa kecapekan dalam pekerjaannya yang seharian. Salah seorang dari jamaah perempuan yang merupakan jamaah aktif di Masjid ArRahman ini adalah ibu Elvi. Beliau ini telah berdomisili di lingkungan ini sejak dari tahun 1982. Sejak saat itu, beliau tidak pernah tidak mengikuti salat tarawih dalam satu bulan ramadhan pada setiap tahunnya di masjid ini bersama dengan jamaah ibu-ibu dan remaja perempuan lainnya. Menurut ibu Elvi, pelaksanaan salat tarawih di Masjid Ar-Rahman ini dahulunya dilaksanakan dalam jumlah rakaat sebanyak dua puluh tiga (23) rakaat. Sekarang sudah sebelas (11) rakaat. Jamaahnya seramai yang seperti sekarang ini juga. Di awal ramadhan cukup ramai, akan tetapi semakin ke penghujung nantinya akan semakin sepi. Bisa nanti pada malam-malam terakhir ramadhan jamaah salat tarawih itu hanya tinggal satu shaf saja, baik pada jamaah lakilaki maupun pada jamaah perempuan. Benar juga yang disampaikan oleh sebagian ustadz penceramah ramadhan itu, jamaah ramadhan ini katanya makin ke ujung semakin mengalami kemajuan. Tapi yang semakin maju itu shafnya bukan jumlah jamaahnya. Hanya saja, jamaah yang perempuan sedikit lebih banyak yang bisa bertahan dibanding dari pada jamaah laki-laki. Ketika ditanya mengenai kapan persisnyaperubahan itu, mengapa dilakukan perubahan, bagaimana tata cara pelaksanaannya, dan bagaimana pula dampaknya terhadap jumlah jamaah salat tarawih setelah perubahan tersebut ? Beliau menjelaskan seperti berikut: Mengenai tahun pasti perubahan tersebut, saya tidak ingat persisnya tahun berapa. Yang saya ingat adalah sudah menjelang tahun 1990, tapi yang pasti seingat saya belum mencapai tahun 1990 itu. Tentang mengapa dilakukan perubahan, saya tidak tahu sebab saya tidak ikut rapat dan memang seingat saya pada waktu itu tidak ada kaum ibu yang diikutkan musyawarah. Biasanyapun, sampai dengan sekarang ini setahu saya tidak ada kaum ibu yang dilibatkan dalam rapat-rapat bagi kepentingan kemakmuran masjid, semuanya itu dimusyawarahkan oleh kaum bapak. Jadi, kaum ibu saya kira tidak ada yang tahu tentang hal itu. Soal tata cara pelaksanaan salat tarawihnya, tidak ada perbedaan antara waktu dua puluh tiga rakaat dengan yang setelah sebelas rakaat. Yaitu setiap dua rakaat salam dan tetap juga pakai zikir seperti bacaan “subhana malikil ma’bud” begitu. Witirnya juga sama yaitu dua satu, dua rakaat salam baru ditambah dan
diakhiri dengan satu rakaat terakhir. Hanya jumlah rakaatnya saja yang berubah, dulunya dua puluh tiga sekarang sebelas rakaat. Mengenai dampaknya terhadap jumlah jamaah, sama dari dulu sewaktu dua puluh tiga rakaat dengan sekarang yang sebelas rakaat. Pada waktu dua puluh tiga rakaat, tidak ada ibu-ibu yang pulang duluan, kecuali hanya anak-anak, dan itu saya kira biasa dan sama dimana-mana masjid. Setelah sebelas rakaat juga tidak ada yang pulang duluan sebelum selesai delapan rakaat, kecuali satu dua orang ibu-ibu yang keluar dan pulang lebih dulu setelah selesai delapan rakaat, tidak mengikuti salat witirnya. Saya kira ibu-ibu ini hendak melaksanakan salawat tarawihnya sebanyak dua puluh rakaat yang akan mereka lanjutkan di rumahnya. Sebab orangnya itu-itu saja dan tiap malam, serta pernah kayaknya saya dengar dari cerita kawan bahwa ibu-ibu tersebut melanjutkan salat tarawih mereka di rumahnya. Jadi, dalam pandangan saya tidak ada bedanya tentang ramenya jamaah salat tarawih itu antara sebelum dan sesudah berubah jumlah rakaatnya menjadi sebelas rakaat.13 Ketika pada tanggal 19 Juli 2014 tepatnya hari Sabtu malam Minggu bertepatan dengan malam ke dua puluh dua ramadhan, peneliti mengikuti salat tarawih berjamaah di Masjid ArRahman, benar bahwa imam salat dan penceramah tarawih dipimpin oleh Ustadz Drs. Mulyono. Beliau ini sebagaimana yang sebelumnya ditunjukkan oleh Bapak Sumiyanto (Ketua BKM Masjid Ar-Rahman) adalah salah satu dari beberapa orang yang akan dijadikan sebagai nara sumber bagi penelitian ini. Selesai pelaksanaan salat tarawih, peneliti menjumpai dan meminta kesediaan beliau untuk diwawancarai serta dimintai informasinya mengenai pergeseran pemahaman dan pengamalan pelaksanaan salat tarawih dari sisi jumlah rakaatnya di Masjid Ar-Rahman ini. Pertama, mengenai kapan persisnya perubahan itu, kedua mengapa dilakukan perubahan, ketiga bagaimana tata cara pelaksanaannya, dan keempat tentang bagaimana pula dampaknya terhadap jumlah jamaah salat tarawih setelah perubahan tersebut ? Beliau menjelaskan seperti berikut: Pertama, mengenai waktu terjadinya perubahan pengamalan pelaksanaan salat tarawih dari sisi jumlah rakaatnya itu dari dua puluh tiga ke dan menjadi sebelas rakaat. Menurut beliau, perubahan itu terjadi pada tahun 1988 yang bermula dari adanya usulan dari beberapa orang jamaah yang kebetulan mereka itu adalah jamaah yang aktif salat berjamaah terutama untuk salat tarawih, tetapi mereka bekerja dari pagi sampai sore, bahkan maghrib. Pada saat itu, oleh pengurus masjid yang didukung oleh bapak Sidin sebagai Kepala Lingkungan saat itu mengajak dan mengundang masyarakat untuk mengadakan musyawarah di masjid ini. Hasil kesepakatannya adalah bahwa usulan untuk merubah jumlah rakaat pelaksanaan salat tarawih itu dari yang sebelumnya dua puluh tiga menjadi sebelas rakaat diterima. Waktu pelaksanaan musyawarah itu dilaksanakan sebulan sebelum masuk bulan ramadhan. Jadi, sejak ramadhan tahun 1988 itu, salat tarawih di masjid ini dilaksanakan dalam jumlah rakaat sebanyak sebelas rakaat.
13
Wawancara dilakukan dengan ibu Elvi pada hari sabtu tanggal 05 juli 2014 tepatnya hari ke tujuh ramadhan di rumahnya. Dalam wawancara ini, beliau mengingatkan bahwa untuk nanti malam pada malam minggu yaitu malam ke delapan ramadhan yang akan bertindak menjadi imam dan penceramah salat tarawih di Masjid ArRahman ini adalah Ustadz Drs. Mulyono.
Kedua, berkaitan dengan alasan yang paling mendasar bagi diterimanya oleh peserta musyawarah usulan perubahan jumlah rakaat salat tarawih tersebut dari dua puluh tiga ke dan menjadi sebelas rakaat ituadalah sebagai berikut: Pertama, jamaah laki-laki sebahagian besar adalah bekerja di luar yang memakan waktu untuk sampai kembali ke rumah pada waktu sore menjelang maghrib, bahkan ada yang tibanya setelah maghrib. Mereka orang-orang yang bersemangat untuk mengikuti salat tarawih berjamaah di masjid ini, namun kalau ada kebolehan menurut syari’at dengan cara melaksanakannya dalam jumlah sebelas rakaat maka mereka berharap untuk dilaksanakan dalam jumlah rakaat yang sebelas saja. Sehingga mereka merasa tidak terlalu capek mengerjakannya setelah seharian bekerja, dan bisa pula lebih cepat istirahat dalam waktu yang lebih panjang. Kedua, Nabi dan sahabat pada masa awal mengerjakan salat tarawih itu dengan nama qiyamu ramahan dalam jumlah delapan rakaat yang memberi arti boleh dan sah dikerjakan dalam jumlah delapan rakaat. Ketiga, bahwa ditambah lagi mereka mendengar telah ada masjidmasjid di Kota Medan ini yang melaksanakan salat tarawih itu dalam jumlah sebelas rakaat, padahal sebelumnya mereka kerjakan dalam jumlah dua puluh tiga rakaat. Alasan kedua dan ketiga inilah yang merupakan alasan kuat bagi peserta rapat untuk menerima usulan bagi perubahan tersebut dan kemudian menetapkan bahwa dimulai dari bulan ramadhan tahun itu pelaksanaan salat tarawih di Masjid Ar-Rahman ini dilaksanakan dalam jumlah rakaat dengan sebelas rakaat.14 Ketiga, berkenaan dengan tata cara pelaksanaan dari salat tarawih itu sendiri di Masjid Ar-Rahman ini, sama seperti tata cara pelaksanaan salat tarawih dalam jumlah dua puluh tiga rakaat sebelumnya. Sebelum dimulai salat tarawihnya diawali lebih dulu pembacaan zikir-zkir oleh bilal, kemudian setiap dua rakaat salam yang diikuti dengan zikir yang dipimpin oleh bilal dan diikuti bersama oleh jamaah. Jadi salat tarawihnya yang berjumlah delapan rakaat itu terdiri dari empat kali salam. Sedang salat witirnya dilaksanakan dalam tiga rakaat yang terdiri dari dua salam, yaitu dua rakaat salam kemudian ditambah satu rakaat lagi sebagai rakaat penutup yang diakhiri dengan salam. Begitulah yang dimaksudkan dengan dua salam. Keempat, berkenaan dengan dampaknya terhadap jumlah jamaah yang mengikuti salat tarawih dengan pola baru dari segi jumlah rakaatnya ini yaitu hanya delapan rakaat jika dibandingkan dengan pola lama yang sebelumnya dalam jumlah dua puluh tiga rakaat, sebenarnya tidak terlihat dampak yang signifikan.Dikatakan tidak terlihat dampak yang signifikan artinya dulunyapun ketika dua puluh tiga rakaat jumlah jamaahnya penuh dan meluber sampai ke teras pada awal-awal ramadhan, kemudian shaf-shaf jamaahnya semakin ke ujung ramadhan semakin mengalami ke majuan. Bisa hanya tinggal kurang dari satu shaf di hari ke dua puluh lima sampai dengan akhirnya. Setelah adanya perubahan menjadi hanya delapan rakaat, jamaahnya yang melaksanakan salat tarawih itu juga sama. Yaitu di awal-awal ramadhan penuh dan sampai ke teras, sedang di penghujung ramadhan jamaahnya semakin menipis, tinggal hanya beberapa shaf seperti yang kita saksikan tadi, bahkan nanti bisa juga tinggal kurang dari satu shaf di penghujungnya.
14
Wawancara dilakukan dengan ustadz Drs. Mulyono di dalam ruangan Masjid Ar-Rahman pada tanggal 19 Juli 2014 hari Sabtu malam Minggu, bertepatan dengan malam ke dua puluh dua Ramadhan 1435 H.
Sebenarnya, masjid ini telah mengalami sedikit perluasan, namun jika dikatakan lebih banyak jamaahnya sekarang dibanding dengan dulu, tentu hal itu kurang tepat. Sebab perlu juga diperhatikan dan diperhitungkan bahwa jumlah masyarakatnya semakin hari semakin banyak. Jumlah penduduk kampung ini sekarang jauh lebih banyak dibanding dengan penduduknya dahulu, katakan sajalah sepuluh tahun yang lalu. Dalam logikanya, mestinya jamaah salat tarawihnyanya itu harus jauh lebih banyak yang sekarang, tetapi nyatanya sama, yaitu di awal penuh dan sampai ke teras dan tidak pernah harus membuat tenda tambahan, padahal perluasannya tidak terlalu lebar. Kemudian di penghujung ramadhannya juga sama yaitu hanya tinggal satu shaf bahkan lebih sering lagi kurang dari satu shaf.15 Informasi-informasi yang disampaikan oleh dan didapatkan serta dihimpun dari ke lima nara sumber tersebut di atas, kemudian dihubungkan dengan hasil pengamatan yang dilakukan, sangatlah mendukung bagi pengambilan kesimpulan nantinya bagi penelitian ini. hal itu terutama jika dilakukan analisa-analisa sbb. Pertama, berkenaan dengan tata cara pelaksanaan salat tarawihnya. Jika diamati secara cermat penuturan informasi dari para nara sumber diseputar tata cara pelaksanaan dari salat tarawih itu di Masjid Ar-Rahman ini bahwa mereka dahulunya melaksanakan salat tarawih itu dengan jumlah rakaat sebanyak dua puluh tiga rakaat dengan cara setiap dua rakaat salam, termasuk dengan salat witirnya yang diakhiri dengan satu rakaat.Sebelum berdiri melaksanakan salat tarawih dibacakan zikir berupa tasbih dan salawat yang dipimpin oleh seorang bilal dan diikuti secara bersama-sama oleh jamaah, demikian juga disetiap selesai dua rakaat, dan diakhir setelah salat witir ditutup dengan zikir pula berupa tahlil dan do’a. Setelah terjadi perubahan ke dan menjadi hanya dengan delapan rakaat, tetap juga dilaksanakan dengan cara setiap dua rakaat salam, termasuk dengan salat witirnya yang diakhiri dengan satu rakaat sebagai penutup. Kemudian, zikir-zikirnya seperti yang dilaksanakan pada pelaksanaan salat tarawih dan witir yang dua puluh tiga rakaat tetap juga dikerjakan dan tidak mereka tinggalkan. Dengan memperhatikan pengamalan mereka dengan pelaksanaan yang seperti demikian itu, maka kita bisa mengatakan seperti ini: a. dari sisi pengamalan dalam jumlah rakaat, sudah pasti terjadi perubahan berupa pergeseran dari dua puluh tiga (23) rakaat ke dan menjadi sebelas (11) rakaat. b, dari sisi tata cara dari pelaksanaan salatnya sendiri, tidak ada perubahan, sebab tetap dilaksanakan dengan cara setiap dua rakaat salam, salat witirnya dua salam yaitu dua satu, zikir-zikirnya juga tidak ditinggalkan dan persis sama seperti yang dilaksanakan pada dua puluh tiga rakaat. c, dari sisi pemahaman, di sini bisa dikatakan ada perubahan, namun bisa juga dikatakan tidak ada perubahan. Dikatakan ada perubahan, jika argumennya dengan logika bahwa jika pada waktu mereka melaksanakan salat tarawih itu dalam jumlah rakaat dua puluh tiga rakaat, mereka pahami hanya dengan seperti itulah baru sah dikatakan sebagai salat tarawih, jika tidak maka salat tarawihnya tidak sah. Dikatakan tidak ada perubahan, jika argumennya juga dengan logika bahwa pada waktu mereka melaksanakan salat tarawih itu dalam jumlah rakaat dua puluh tiga rakaat adalah karena mereka hendak beramal lebih serta nyaman dengannya, bukan karena memahami bahwa salat tarawih itu harus dengan dua puluh tiga rakaat, itu hanya bagi yang kuat, sedang bagi yang hanya sanggup sebelas rakaat boleh dan sah. Hal ini dibuktikan dengan ketika ada sebahagian jamaah yang menghendaki agar dilaksanakan dalam jumlah rakaat sebelas rakaat saja, mereka bersepakat menerimanya. 15
Ibid.
Kedua, berkenaan dengan perubahan pemahaman. Untuk melihat apakah ada perubahan atau pergeseran dari sisi pemahaman keagamaan mereka dalam hal pelaksanaan salat tarawih ini, tentu yang paling tepat untuk itu adalah dengan menganalisa bagaimana tata cara mereka melaksanakan salat tarawih itu sendiri. Jika diamati dari sisi bagaimana tata cara mereka melaksanakan salat tarawih tersebut sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tata caranya sama persis seperti tata cara pelaksanaan salat tarawih dalam jumlah rakaat yang dua puluh tiga rakaat sebelumnya, tidak ada perbedaannya. Yaitu, setiap dua rakaat salam, termasuk salat witirnya yang diakhiri dan ditutup dengan satu rakaat yang berarti dua salam, diawali dengan zikir dan setiap salam diikuti dengan berzikir serta diakhir dibaca juga zikir berupa tahlil yang diakhiri dengan do’a. Sebagai pembandingnya di sini jika kajiannya perubahan pemahaman keagamaan adalah pemahaman Muhammadiyah yang di Indonesia dikenal sebagai kaum modernis. Pelaksanaan salat tarawih di masjid-masjid Muhammadiyah itu dilaksanakan dalam jumlah rakaat sebanyak sebelas rakaat. Dalam jumlah rakaat ini memang sama, yaitu sama-sama sebelas rakaat. Namun dari sisi tata cara pelaksanaannya sama sekali berbeda. Yaitu di masjid-masjid Muhammadiyah salat tarawih dan witir itu dilaksanakan dengan konsep empat-empat tiga (4-4-3). Untuk salat tarawihnya dilakasanakan dalam dua salam dengan cara setiap empat rakaat salam, dan untuk salat witirnya dilaksanakan sekaligus ketiga rakaatnya dalam satu salam. Dengan demikian, jamaah di Masjid Ar-Rahman ini tidak berubah dan tidak bergeser pemahaman keagamaanya dalam masalah pelaksanaan salat tarawih ini dari pemahaman kaum tua (sesuai dengan paham empat mazhab besar sunni) ke dan mengikuti pahamnya Muhammadiyah. Ketiga, berkaitan dengan sisi dampak dari perubahan jumlah rakaat dalam pelaksanaan salat tarawih tersebut di Masjid Ar-Rahman ini. Berdasarkan informasi yang diperoleh dan dihimpun dari kelima nara sumber tersebut, kesemuanya tertuju kepada satu kesatuan yang menerangkan bahwa tidak terlihat adanya dampak yang signifikan khususnya ke arah yang positif berupa semakin bertambah jumlah jamaah yang mengikuti salat tarawih. Keadaannya bisa dikatakan stagnan, bahkan bisa dan lebih mungkin untuk dikatakanmenurun jika dibandingkan dengan jumlah pertambahan penduduknya yang semakin banyak, sementara jumlah jamaahnya tetap. Kalaupn ada pertambahan jumlah jamaah, namun tetap tidak sebanding dengan laju jumlah pertambahan penduduknya. 2. Masjid Taqwa Masjid ke dua yang di dalamnya oleh umat Islam melaksanakan salat tarawih dari yang awalnya berjumlah dua puluh tiga (23) rakaat dan sekarang mengalami perubahan ke dan menjadi sebelas (11) rakaat yang ada wilayah Kecamatan Medan Amplas adalah Masjid Taqwa. Adapun Masjid Taqwa ini awalnya berlokasi atau beralamat di Jalan Garu IV Gang Citra No. 70 dan sekarang pindah ke depan yaitu Jalan Garu V. Alamat ini masuk ke dalam wilayah Kelurahan Harjo Sari I, Kecamatan Medan Amplas Kota Medan. Ketua Badan Kemakmuran (BKM) masjid Taqwa ini sekarang adalah dipegang oleh Bapak Suwarno. Beliau ini, dengan kedudukannya sebagai Ketua BKM diposisikan menjadi salah seorang narasumber sekaligus menjadi informan bagi penelitian ini. Menurut informasi beliau, bahwa nara sumber lain yang dapat dimintai keterangan dan penjelasannya mengenai pelaksanaan salat tarawih di Taqwa ini adalah: 1. Bapak Ramli (ustadz), 2. Bapak Said Ismail, 3. Bapak Budi, dan 4. Ibu Aisyah.
Menurut Bapak Suwarno (Ketua BKM Masjid Taqwa tersebut), keempat orang ini adalah orang yang cukup paham dan mengerti tentang perubahan jumlah rakaat dalam pelaksanaan salat tarawih tersebut di masjid ini. Sebab selain mereka berempat itu adalah orang lama yang berdomisili di kampung ini, juga mereka ini adalah jamaah yang aktif salat berjamaah di masjid di antara jamaah-jamaah lainnya. Informasi awal dalam penuturan bapak Suwarno tentang Masjid Taqwa ini bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1994 dengan status Mushalla. Jadi, awalnya status masjid ini adalah mushalla. Sekalipun namanya Masjid Taqwa, bukan berarti masjid ini masjid Muhammadiyah melainkan masjidnya masyarakat yang berpaham kaum tua yaitu Nahdhiyin dan al-Washliyah. Hanya namanya saja yang kebetulan sama dengan masjid Muhammadiyah yaitu Masjid Taqwa. Oleh karenanya dari awal berdirinya pelaksanaan salat tarawih di masjid ini adalah dalam pola yang berjumlah dua puluh tiga rakaat, setiap dua rakaat salam serta witirnya dua salam yaitu dua satu dengan membaca zikir-zikir mulai dari sebelum salat, setiap selesai salam, dan diakhir salat. Pada tahun 2004 tepatnya sepuluh tahun kemudian, dipindahkanlah masjid ini yang ketika itu masih berstatus mushalla, dari Gang Citra Garu IV ke depan Gang yang langsung menghadap Jalan Garu V dan sekaligus perubahan statusnya menjadi Masjid. Maka sejak dari tahun 2004 itu ini menjadi masjid dengan nama Masjid Taqwa. Kemudian, seiring dengan perubahan statusnya tadi dari mushalla ke dan menjadi masjid pada tahun 2004 itu, dilakukan pula perubahan jumlah rakaat pelaksanaan salat tarawihnya pada bulan ramadhannya. Dari yang tadinya dua puluh tiga rakaat ke dan menjadi sebelas rakaat. Maka sejak dari tahun 2004 pelaksanaan salat tarawih di masjid ini adalah dengan jumlah sebelas rakaat. Perubahan tersebut dilakukan atas dasar musyawarah dan kesepakatan pengurus dan masyarakat sekitar yang merupakan jamaah Masjid Taqwa ini. Mengenai hal yang dijadikan dasar pertimbangan bagi perubahan jumlah rakaat dari salat tarawih itu dari yang tadinya dua puluh tiga rakaat ke dan menjadi sebelas rakaat adalah karena keinginan dari masyarakat dan pengurus itu tadi untuk melakukan penyetaraan jumlah rakaat salat tarawihnya dengan masjid jiran yang boleh dikatakan berdekatan yang berlokasi di Jalan Garu IV yang dibangun belakangan. Di masjid tersebut (yang bernama Masjid Nurul Tufail Katijah) sejak dari awal berdirinya melaksanakan salat tarawihnya dengan jumlah rakaat sebelas rakaat. Di sisi lain, ada kecenderungan masyarakatnya untuk melaksanakan salat tarawih itu dengan cara yang lebih simpel dan ringan. Sehingga ada kekhawatiran, jika pelaksanaan salat tarawih di masjid ini tetap dilaksanakan seperti semula, yaitu dua puluh tiga rakaat, maka sebahagian jamaahnya akan memilih untuk salat tarawih ke masjid jiran tetangga tadi. Akibatnya bisa dipastikan akan berkuranglah jumlah jamaah salat tarawih di masjid ini. maka dalam rangka untuk mempertahankan jumlah, bahkan untuk mendorong ke arah peningkatan bagi jumlah jamaah salat tarawih di masjid ini, maka diambil dan diputuskanlah dalam kesepakatan musyawarah itu bahwa di masjid ini salat tarawih dilaksanakan dalam jumlah sebelas rakaat tidak lagi dua puluh tiga rakaat. Jadi, inti atau yang menjadi dasar pertimbangan utamanya adalah karena masjid yang berdekatan dengannya telah melaksanakan salat tarawih itu dengan jumlah rakaat sebelas rakaat. Berkenaan dengan dampaknya yaitu apakah semakin banyak jamaahnya atau menjadi berkurang, menurut beliau sebenarnya pada kenyataannya tidak ada bedanya. Ini kemungkinan kata beliau tidak terlepas dari perkiraan yang dijadikan dasar pertimbangan bagi perubahan itu tadi. Yaitu supaya jamaah yang ada selama ini tidak berpindah ke masjid jiran itu tadi,
diputuskan pelaksanaannya menjadi sebelas rakaat. Ada memang di antara jamaah itu yang lebih menghendaki mengamalkan salat tarawih itu dengan dua puluh tiga rakaat, namun mereka tidak pindah ke masjid yang salat tarawihnya dua puluh tiga rakaat, tetapi nampaknya mereka kiati dengan cara keluar dan pulang lebih dahulu setelah selesai delapan rakaat tanpa mengikuti salat witir berjamaahnya. Mereka bisa jadi dan kita duga kuat menyambung salat tarawihnya lagi di rumah mereka masing-masing sampai dengan jumlah dua puluh tiga rakaat dengan witirnya.16 Selanjutnya, pada malam harinya yaitu pada malam Senin yang bertepatan pada malam ke sembilan ramadhan, peneliti mengikuti salat tarawih di Masjid Taqwa ini. Dalam pengamatan peneliti, jumlah jamaah salat tarawih di masjid ini pada malam itu lumayan ramai. Mereka terdiri dari kaum bapak, remaja laki-laki dan anak-anak, kaum ibu, remaja putri dan anak-anak. Ruangan masjid penuh dengan jamaah salat tarawih, dan sebahagian anak-anak ada yang di luar (di teras masjid) karena tidak muat di dalam. Setelah selesai delapan rakaat dan sebelum dilanjutkan untuk melaksanakan salat witir, beberapa orang memang terlihat keluar dan pulang lebih dulu. Kami tidak tahu apakah mereka jamaah yang akan melanjutkan salat tarawihnya di rumahnya atau bukan, namun tentu ada juga benarnya perkiraan bapak Ketua BKM tadi, bahwa bisa jadi mereka akan melanjutkan salat tarawihnya sampai dua puluh tiga rakaat di rumahnya. Ketika selesai pelaksanaan salat tarawihnya, oleh bapak Ketua BKM memberitahu dan mempertemukan peneliti dengan dua nara sumber lainnya yaitu bapak Said Ismail dan bapak Budi. Kepada mereka berdua, peneliti kemudian meinta waktu untuk dimintai informasinya seputar pelaksanaan salat tarawih di Masjid Taqwa ini. Alhamdulillah mereka berdua menyatakan kesediaannya untuk dimintai informasi pada malam itu di dalam masjid tersebut. Berkenaan dengan awal dimulainya pelaksanaan salat tarawih di masjid ini dalam sebelas rakaat, mereka berdua mengatakan bahwa dimulainya baru setelah tahun 2004. Sementara sebelum itu dilaksanakan dalam jumlah rakaat sebanyak dua puluh tiga rakaat yang ketika itu masih mushalla, dan seperti itu sejak dari awal dibangun pada tahun 1994. Dan saat itu masjid ini sewaktu masih mushalla berada di dalam gang yaitu Gang Citra. Tata cara pelaksanaannya, biasa seperti pada umumnya masjid-masjid dan mushalla lainnya yang melaksanakan salat tarawih itu dalam jumlah dua puluh tiga rakaat. Yaitu “sebelum berdiri memulai salat tarawih itu dibaca zikir berupa salawatan seperti “subhana malikil ma’bud”, lalu setiap dua rakaat salam, witirnya dua salam, dan ditutup dengan zikir lagi baerupa tahlil dan do’a”. Adapun dasar pertimbangan oleh masyarakat bersama pengurus masjid di sini dalam musyawarahnya pada tahun 2004 itu untuk memutuskan perubahan pelaksanaan salat tarawih itu dari sisi jumlah rakaatnyadari dua puluh tiga rakaat menjadi sebelas rakaat adalah seperti berikut: Bapak Said Ismail menuturkan bahwa “Masjid ini terutama sewaktu masih dalam gang dengan status mushalla, sangat dekat dengan masjid yang ada di Garu IV, serta salat jumat warga di sinipun ke sana. Di sana itu sudah melaksanakan salat tarawih itu dalam jumlah sebelas rakaat. Jadi ada kesan yang berkembang dalam benak warga saat rapat itu bahwa sebagian jamaah lebih cenderung menginginkan salat tarawih itu dengan jumlah sebelas rakaat. Karena adanya masjid yang dekat itu tadi yang melaksanakan salat tarawih itu dalam jumlah sebelas rakaat. Sehingga dikhawatirkan bahwa sebahagian masyarakat itu tadi akan lebih memilih salat tarawihnya ke sana nantinya, dan akibatnya akan berkurang dan sepi jamaah salat tarawih di masjid ini.
16
Wawancara dengan bapak Suwarno dilakukan di rumahnya pada hari Minggu tanggal 06 Juli 2014 bertepatan dengan tanggal 08 Ramadhan 1435 H.
Penuturan dari pak Said ini dikuatkan oleh bapak Budidengan mengatakan bahwa kalau di masjid sebelah yang paham keagamaan masyarakat dan jamaahnya sama dengan masyarakat dan jamaah masjid ini yaitu sama-sama kaum tua, lalu mereka telah melaksanakan salat tarawih itu dengan jumlah sebelas rakaat yang berarti bisa atau boleh menurut syari’at agama, mengapa di sini tidak dilaksanakan, padahal banyak warga yang menginginkannya. Pertimbangan seperti inilah “katanya” yang menguatkan kesepakatan mereka untuk mengambil keputusan di tahun 2004 tersebut untuk mengadakan perubahan pelaksanaan salat tarawih itu dari segi jumlah rakaatnnya. Yaitu dari dua puluh tiga rakaat menjadi hanya sebelas rakaat saja”. Sedang berkenaan dengan dampaknya, yaitu dampak dari perubahan jumlah rakaat salat tarawih tersebut dari dua puluh tiga menjadi sebelas rakaat, mereka berdua mengatakan bahwa perubahan itu tidak menimbulkan dampak yang positif maupun yang negatif. Artinya, bahwa jumlah jamaah salat tarawihnya ketika dua puluh tiga rakaat dengan setelah sebelas rakaat, di awal ramadhan sama-sama penuh sehingga sampai ke teras masjid, sedang pada akhir ramadhan jamaahnya sama-sama semakin menipis sehingga tinggal satu shaf lagi, bahkan kadang-kadang tidak cukup satu shaf.17 Pada hari Kamis tanggal 24 Juli, peneliti menemui dan menghimpun informasi dari jamaah perempuan, dalam hal ini Ibu Aisyah sebagaimana yang direkomendasikan oleh bapak Ketua BKM (bapak Suwarno). Sama seperti nara sumber lainnya, ibu Aisyah juga menjelaskan bahwa; pertama, pelaksanaan salat tarawih di Masjid Taqwa ini dulunya dua puluh tiga rakaat, tapi sekarang sudah menjadi sebelas rakaat. Kedua, tata cara pelaksanaannya sama saja antara yang sekarang dengan sebelas rakaat dengan yang dulu dua puluh tiga rakaat. Tidak seperti Muhammadiyah, sebab masjid ini bukan masjid Muhammadiyah, kebetulan saja namanya Masjid Taqwa. Hanya jumlah rakaatnya saja yang berganti, yaitu menjadi sebelas rakaat saja sekarang ini. Sedang tata caranya tidak berubah, yaitu sebelum berdiri untuk melaksanakan salat tarawih itu mebaca zikir berupa salawatan lebih dulu yang dipimpin oleh bilal dan diikuti oleh jamaah secara bersama-sama, kemudian bilalnya qamat lalu dilaksanakanlah salat tarawih. Pelaksanaan salat tarawihnya itu sendiripun termasuk nantinya dengan salat witirnya dilaksanakan dengan setiap dua rakaat salam. Untuk witir ditutup dengan satu rakaat terakhir, sehingga diistilahkan dengan dua satu. Artinya, dua rakaat dulu baru ditambah satu rakaat lagi penutup sehingga dia ganjil. Setiap selesai salam pada tiap-tiap dua rakaatnya tadi, dibacalah zikir bersama yang dipimpin oleh bilal, kecuali setelah dua rakaat pertama salat witirnya, di situ memang tidak pakai zikir dan langsung berdiri untuk menyelesaikan satu rakaat lagi untuk membuat salat witir itu ganjil. Setelah salam pada rakaat ketiga witir itu, lalu ditutuplah dengan zikir lagi berupa tahlil dan do’a. Inilah yang membedakan kita dari Muhammadiyah itu tadi, karena kita bukan Muhammadiyah. Ketiga, berkenaan dengan dampaknya, yaitu apakah jumlah jamaahnya menjadi bertambah atau menurun setelah diubah jumlah rakaatnya menjadi sebelas, nampaknya sepanjang pengetahuan kita dan berdasarkan yang kita lihat (kata beliau) tidak ada perubahan. 17
Wawancara dilakukan dengan bapak Said Ismail dan bapak Budi di Masjid Taqwa pada hari Minggu malam Senin tanggal 06 Juli 2014 bertepatan dengan tanggal 09 Ramadhan 1435 H selesai salat tarawih.
Pada awal-awal ramadhan, jumlah jamaah salat tarawih itu ramai sehingga masjid itu penuh dan sampai ke ruangan teras masjid. Namun makin ke ujung ramadhan biasanya semakin berkurang jumlah jamaah salat tarawihnya itu. Keadaan yang seperti ini, sama juga halnya dengan dulu ketika salat tarawihnya itu dilaksanakan dalam jumlah dua puluh tiga rakaat. Dulu, memang ada yang keluar dan pulang duluan sebelum selesai dua puluh tiga rakaat, khususnya setelah selesai delapan rakaat. Sekarang juga demikian, ada beberapa orang yang keluar dan pulang duluan setelah selesai delapan rakaat, tidak mengikuti salat witirnya. Ada kemungkinan memang yang dulu itu keluar dan pulang duluan setelah delapan rakaat karena tak kuat untuk sampai selesai dua puluh tiga rakaat, sedang yang sekarang mereka keluar dan pulang duluan karena dia kuat serta ingin melaksanakan salat tarawihnya dalam jumlah dua puluh tiga rakaat, sehingga akan dia lanjutkan di rumahnya.18 Pada hari kamis malam jumat tanggal 24 Juli 2014 bertepatan dengan malam ke dua puluh tujuh ramadhan, peneliti mengikuti salat tarawih di Masjid Taqwa ini. Waktu ini dipilih karena informasi yang didapatkan dari ketuaBKM dan nara sumber lainnya bahwa malam itu merupakan giliran Ustadz Ramli sebagai penceramah ramadhan sekaligus imam salat tarawihnya. Beliau ini adalah salah seorang nara sumber yang direkomendasikan oleh ketua BKM bagi penelitian ini. Berkenaan dengan perubahan pelaksanaan salat tarawih di Masjid Taqwa ini dari segi pengurangan jumlah rakaatnya, yaitu dari yang tadinya dilaksanakan dalam jumlah dua puluh tiga rakaat kemudian sekarang berubah dan menjadi sebelas rakaat, Ustadz Ramli memberika penjelasan sebagai berikut: Pertama, berkenaan dengan alasan yang menjadi pertimbangan bagi dilakukannya perubahan: Dasar pertimbangan perubahan itu sangat terkait dengan dua hal. Pertama berkaitan dengan perubahan status masjid ini dari yang tadinya mushalla lalu diubah menjadi Masjid. Kedua, berkaitan dengan lokasi masjid ini yang berdekatan masjid yang ada di Garu IV yang sudah sejak lama melakukan salat tarawihnya dengan jumlah rakaat sebelas rakaat saja. Sebahagian jamaah masjid ini mengemukakan, kalau masjid jiran itu bisa melaksanakan salat tarawih sebelas rakaat, kenapa kita tidak mengikutinya supaya tidak terlalu capek. Sangat tepat menurut mereka perubahan itu dilakukan beriringan dengan perubahan status masjid ini dari mushalla menjadi masjid. Atas dasar itu, apalagi kita lihat dari segi dasar hukumnya tidak ada yang menghalangi untuk melakukan salat tarawih itu sebelas rakaat dimana Nabi sendiripun melaksanakan salat tarawih itu dalam jumlah delapan rakaat di masjidnya, sehingga dikhawatirkan nantinya sebahagian jamaah kita ini akan lebih memilih bertarawih ke masjid sebelah. Apalagi sewaktu masjid ini masih berstatus mushalla, salat jumat warga di sini adalah ke sana, sehingga mereka menganggap masjid itu juga masjid mereka. Kedua, berkenaan dengan paham keagamaan masyarakat di kampung ini, khususnya yang menjadi jamaah masjid ini:
18
Wawancara dilaksanakan dengan Ibu Aisyah di rumahnya pada hari Kamis tanggal 24 Juli 2014.
Paham keagamaan masyarakat di kampung ini, khususnya jamaah Masjid Taqwa ini, adalah penganut paham kaum tua. Karena kalau dilihat dari sisi keorganisasian keagamaan Islamnya, jamaahnya ada yang Nahdhiyyin dan ada yang Al-Washliyah. Maka tata cara pelaksanaan salat tarawihnyapun yang sekarang ini tidak berbeda dengan tata cara pelaksanaan salat tarawih yang dulu ketika dilaksanakan dalam jumlah dua puluh tiga rakaat. Salatnya dilaksanakan dengan cara setiap dua rakaat salam. Sebelum berdiri melaksanakan salat tarawih, diawali lebih dulu dengan membaca zikir berupa tasbih dan salawat yang dipimpin oleh bilal, setelah itu bilal baru qamat dan dilaksanakanlah salat tarawih. Kemudian, setiap selesai salam pada tiap-tiap dua rakaatnya itu, dibaca zikir-zikir yang telah ditentukan. Sampai dengan selesai salat tarawih yang ditutup dengan salat witir dua satu itu, lalu ditutuplah juga dengan zikir-zikir berupa tahlil dan do’a. Tata cara yang seperti inilah yang membedakan salat tarawih di masjid ini dengan salat tarawih di masjid Muhammadiyah. Ketiga, berkenaan dengan dampak dari perubahan jumlah rakaat salat tarawih tersebut terhadap jumlah jamaah yang mengikuti salat tarawih, apakah semakin meningkat atau semakin menurun: Dalam pengamatan kami selama sudah sepuluh tahun terjadinya perubahan ini, semacam tidak terlihat perubahan apa-apa. Menurun tidak, meningkatpun tidak juga. Kalaupun hendak dikatakan dia ada berdampak positif, hal itu kalau dilihat dari sisi tidak menurunnya. Artinya, jamaahnya tidak menurun tetapi keadaannya tetap, hal itu sangat dimungkinkan karena sudah terpenuhi tadi keinginan sebahagian jamaahnya, yaitu dilaksanakan hanya dengan sebelas rakaat. Sebab, sangat dimungkinkan juga jika tidak diubah menjadi sebelas rakaat, maka bisa jadi sebahagian jamaahnya akan memilih bertarawih ke masjid sebelah tadi yang salat tarawihnya sebelas rakaat. Kemudian, kalaupun hendak dikatakan ada dampak positifnya karena ada pertambahan jamaahnya walaupun sedikit, akan tetapi kalau dibandingkan dengan laju pertumbuhan jumlah penduduknya, maka pertambahan jumlah jamaah yang sedikit itu tentu tidak sebanding.19 Dari informasi yang diperoleh dan terhimpun dari kelima narasumber serta pengamatan sendiri dari peneliti untuk Masjid Taqwa sebagaimana terpapar di atas, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan dengan analisa sebagai berikut: Pertama, dari sisi paham keagamaan dari masyarakat yang menjadi jamaah Masjid Taqwa ini dikaitkan dengan terjadinya pergeseran pengamalan dalam pelaksanaan salat tarawih tersebut. Yaitu dari yang tadinya dilaksankan dalam jumlah dua puluh tiga rakaat kemudian sekarang berubah dan bergeser ke dan menjadi sebelas rakaat. Jika kita cermati secara mendalam hasil informasi yang terhimpun dari para nara sumber tersebut, lalu dibandingkan juga dengan hasil pengamatan yang dilakukan, maka tata cara pelaksanaan salat tarawih mereka tidak seperti konsep pelaksanaan salat tarawih di masjid Muhammadiyah melainkan sama seperti tata cara pelaksanaan salat tarawih yang dua puluh tiga rakaat. Salat tarawih seperti ini dari segi tata caranya adalah salat tarawih menurut konsep kaum tua (Nahdhatul Ulama dan Al-Washliyah). Atas dasar fakta seperti itu, tentu kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa berkenaan dengan sisi paham keagamannya tidak ada perubahan sama sekali. Yang ada perubahan hanya pada jumlah rakaat. Kalau hanya perubahan pada jumlah rakaat, tidak pada tata cara pelaksanaan 19
Wawancara dilakukan dengan Ustadz Ramli, di Masjid Ar-Rahman selesai salat tarawih pada hari Kamis malam Jumat tanggal 24 Juli 2014 bertepatan dengan malam 27 Ramadhan.
salatnya, maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengatakan telah terjadi perubahan dan pergeseran paham keagaamannya. Kedua, berkenaan dengan sisi dampak yang ditimbulkannya sebagai akibat dari perubahan dan pergeseran jumlah rakaat dari pelaksanaan salat tarawihnya itu, yaitu dari yang tadinya dua puluh tiga rakaat ke dan menjadi sebelas rakaat. Ketika kita cermati secara mendalam inaformasi-informasi yang terhimpun serta hasil pengamatan yang terpapar di atas, maka yang terkesan adalah adanya kesamaran antara berdampak kepada peningkatan atau berdampak kepada penurunan. Kalau kita lihat dari sisi jumlah yang hadir pada awal-awal ramadhan saat ini, jamaah yang mengikuti salat tarawih itu cukup ramai. Demikian juga halnya dulu ketika salat tarawih itu dilaksanakan dalam jumlah dua puluh tiga rakaat sebagaimana dinformasikan oleh para nara sumber. Pada akhir ramadhan, jamaah itu berkurang drastis pada saat ini. Dalam informasi para nara sumber, sama juga keadaannya dengan dulu pada saat dilaksanakan dua puluh tiga rakaat. Dari fakta yang ada ini, dan dari informasi yang disampaikan, maka yang terlihat dan kemudian bisa disimpulkan tidak lain adalah tidak ada perubahan yang berarti tidak ada dampak.Namun, jika dilakukan analisa lebih lanjut dengan menghubungkannya dari sisi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang terus berkembang dari tahun ke tahun, sementara jumlah jamaah salat tarawihnya sama seperti dulu, maka dengan kondisi itu tentu dengan mudah bisa kita pahami bahwa tidak ada dampak ke arah kenaikan jumlah jamaah salat tarawih. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi tidak ada jamaah yang beralih ke masjid atau ke tempat lain setelah adanya perubahan, maka bisa dikatakan bahwa perubahan itu memberi dampak positif paling tidak untuk mempertahankan jumlah jamaah yang ada tidak sampai beralih atau pindah ke tempat lain yang mengakibatkan jamaah menjadi sepi. I. Kesimpulan Masjid dan mushalla yang ada di Kecamatan Medan Amplas berjumlah enam puluh dua (62). Tujuh belas (17) di antaranya melaksanakan salat tarawih dengan jumlah rakaat sebanyak sebelas (11) rakaat. Dari tujuh belas masjid dan mushalla tersebut, terdapat dua (2) masjid yang mengalami perubahan dalam pelaksanaan salat tarawihnya berupa pergeseran jumlah rakaat dari yang tadinya dua puluh tiga (23) rakaat ke dan menjadi sebelas (11) rakaat. 1. Masjid ArRahman yang beralamat di Jalan Damai Kelurahan Timbang Deli. 2. Masjid Taqwa yang beralamat di Jalan Garu V Kelurahan Harjo Sari I. Untuk Masjid Ar-Rahman, perubahan itu terjadi sejak tahun 1988. Adapun dasar pertimbangan yang paling mendasar bagi perubahan tersebut adalah karena permintaan dan desakan sebagian besar jamaah yang bekerja satu harian sehingga merasa terlalu berat untuk mengerjakan salat tarawih sampai dengan 23 rakaat seperti selama ini berlangsung. Harapannya bisa cepat istirahat, tetapi tetap dapat mengerjakan salat tarawih berjamaah. Sedang untuk Masjid Taqwa, perubahannya terjadi mulai dari tahun 2004. Pertimbangannya adalah karena masjid sebelah yang cukup dekat melaksanakan salat tarawihnya dengan jumlah sebelas rakaat, padahal paham keagamaannya sama dengan jamaah Masjid Taqwa ini. Karenanya, kalau tidak diubah ke sebelas rakaat dikhawatirkan sebahagian jamaah yang ada selama ini akan memilih salat tarawih ke sana sehingga akan berdampak kepada berkurang atau sepinya jamaah di masjid ini. Berkenaan dengan dampak yang ditimbulkannya terhadap penurunan atau peningkatan jumlah jamaah salat tarawih di kedua masjid tersebut, tidak ditemukan indikasi ke salah satu dari keduanya. Artinya, yang terjadi adalah stabil. Kecuali kalau yang dilihat adalah dari sisi positif
negatifnya, maka perubahan tersebut dapat dikatakan memberi dampak positif ke arah mempertahankan jamaah yang ada tidak pindah ke masjid atau tempat lain.
DAFTAR PUSTAKA Abd al-Qadir Syibat al-Hamd,Al-Jami’u al-Shahih lil Bukhari min Riwayati Abi Dzar alHarawiJuz I. Riyadh: Maktabah Al-Mulk,2008. Abdul Qadir ar-Rahbawi, As-Shalatu ‘Ala al-Mazahibi al-Arba’ah, terjemahan Ahmad Yaman, Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Mazhab, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet.2. Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksara, 1992. Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, terjemahan Syarif Hademasyah dan Luqman Junaidi, Kitab Shalat Fikih Empat Mazhab, Jakarta: Hikmah, 2010. Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail a-Bukhari,Al-Jami’us Shahih Juz I. Kairo: Al-Mathba’ah Al-Salafiyah. Tt. Abu Hafs Umar ibn Badr al-Mushili. Al-Jam’u baina al-Shahihain, Bab Qiyamu Syahri RamadhanJuz I. Beirut: al-Maktab al-Islami,1995. Al-Imam Al-Suyuti,Al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih. Oman: Dar Al-Qubs,1986. Andrian, Charles F, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1992. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Cet.4, jilid 4. Hooguelt, Ankle MM, Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995. Ibnu Qudamah, .Al-Mughni. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994. Ibnu Rusyid. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Kairo: Dar al-Salam,1995. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan. Malik ibn Anas. Al-Muwatta’. Ttp. Dar al-Kutub Al-Ilmiyah,1984. Samsuddin Al-Syarkhasyi,Al-Mabsuth. Beirut: Dar Al-Ma’rifah,tt. Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1974. Soerjono Soekanto, , Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press, 1987. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh as-Syafi’i al-Muyassar, terjemahan Muhammad Afifi dan Abdul Hafifiz, Fiqih Imam Syafi’i, Jakarta: Almahira, 2010, jilid 1. Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr,1985. Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibariy, Fath al-Mu’in, terjemahan Aliy As’ad, Fath al-Mu’in, Kudus: Menara, 1980.