PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENERBANGAN PERINTIS: STUDI KASUS 2013 PADA SUATU AIRLINES Khristian Edi Nugroho Soebandrija; Raisa Nurlatifah Industrial Engineering Department, Faculty of Engineering, Binus University Jl. K.H. Syahdan No. 9, Palmerah, Jakarta Barat 11480
ABSTRACT This study discusses the Pioneer Flight Development Planning, within the scope of the case studies in 2013 at an airline in Indonesia. Economic growth that is followed by the growth of air traffic growth certainly helps to improve both foreign tourists and local tourists. However, there are still some areas in Indonesia that still has a low connectivity or it could be said that has no connectivity. To overcome this, the government is required to hold a pioneering air transport as set out in Article 104 of Law No. I, year of 2009. The theory used in this study related to the preparation of air velocity diagram, budget planning, project feasibility evaluation, and preparation of income statement. The analysis in this pioneering flight route includes route of the development of targeted pioneering flight, such as KPA-Ternate with the route of Ternate-Gebe, TernateMangole, Ternate-Labuha, Ternate-Morotai, Ternate-Galela, Mangole-Sanana, and NAC Paludengan Buol, Palu -Tolitoli, Palu-Tarakan and Palu- Samarinda. The result is expected to be a reference and it was likely a reference to other studies and further, especially for the development and contribution to the Republic of Indonesia. Keywords: pioneering flight, airlines in Indonesia, air velocity diagram, project feasibility evaluation, preparation of income statement
ABSTRAK Penelitian ini membahas Perencanaan Pengembangan Penerbangan Perintis, dalam lingkup studi kasus 2013 pada suatu maskapai di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang disertai pertumbuhan lalu lintas udara tentu ikut meningkatkan pertumbuhan baik wisatawan asing maupun wisatawan lokal. Meski demikian, masih ada beberapa wilayah di Indonesia yang masih memiliki konektifitas yang rendah bahkan dapat dikatakan tidak ada konektifitas. Untuk mengatasi hal ini, maka pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan angkutan udara perintis seperti yang tertera pada pasal 104 Undang Undang Nomor I tahun 2009. Teori yang digunakan dalam penelitian ini terkait penyusunan diagram perputaran pesawat, penyusunan rencana anggaran biaya, evaluasi kelayakan proyek, dan penyusunan laporan laba-rugi. Analisa dalam penerbangan perintis ini mencakup Rute yang dijadikan sasaran pengembangan perintis KPA Ternate dengan rute Ternate-Gebe, Ternate-Mangole, Ternate-Labuha, Ternate-Morotai, Ternate-Galela, dan Mangole-Sanana, serta KPA Paludengan rute Palu-Buol, Palu-Tolitoli, Palu-Tarakan, dan Palu-Samarinda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan tidak tertutup kemungkinan acuan terhadap penelitian lain dan selanjutnya, terutama bagi perkembangan dan kontribusi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata kunci: penerbangan perintis, airlines di indonesia, diagram perputaran pesawat, evaluasi kelayakan proyek, laporan laba rugi
28
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 28-41
PENDAHULUAN Laporan statistik lalu lintas udara tahun 2011 menunjukkan adanya peningkatan di sektor pesawat dan penumpang sejak tahun 2007 (Angkasa Pura II, 2012). Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan kegiatan sosio-ekonomi pada wilayah-wilayah yang telah berkembang menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) di wilayah Indonesia (Kementerian Perhubungan, 2012). Perkembangan ini turut mendasari pembentukan koridor-koridor jaringan pelayanan transportasi udara yang menunjukkan keterkaitan antara simpul-simpul perkotaan dalam suatu wilayah berdasarkan sebaran kepulauan yang ada (Kementerian Perhubungan, 2012). Arus lalu lintas udara yang semakin ramai merupakan lampu hijau bagi maskapai-maskapai untuk turut memasuki pasar dan bersaing memperebutkan penumpang. Pertumbuhan ekonomi yang disertai pertumbuhan lalu lintas udara tentu ikut meningkatkan pertumbuhan baik wisatawan asing maupun wisatawan lokal (Angkasa Pura II, 2012). Meski demikian, masih ada beberapa wilayah di Indonesia yang masih memiliki konektivitas yang rendah bahkan dapat dikatakan tidak ada (Kementrian Perhubungan, 2012). Untuk mengatasi hal ini, maka pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan angkutan udara perintis seperti yang tertera pada pasal 104 Undang Undang Nomor I tahun 2009 (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2009). Dalam pasal ini disebutkan bahwa penerbangan perintis dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan pemerintah yang menyediakan subsidi dalam penerbangan perintis. Pelaksanaan perjanjian ini akan dievaluasi oleh pemerintah setiap tahunnya. Dengan kata lain, jangka waktu kontrak dalam penerbangan perintis hanya berlaku selama satu tahun. Pada tahun 2012, tercatat ada enam badan usaha angkutan udara nasional yang ikut andil dalam penerbangan perintis (Listriyarini & Bagus, 2012). Penerbangan ini mencakup 132 rute penerbangan pada 17 provinsi dengan 60% berada di daerah timur Indonesia. Salah satu maskapai yang mengoperasikan penerbangan perintis ialah PPA. Menyambut perjanjian kontrak yang akan diselenggarakan pada Desember 2012-Januari 2013 untuk penerbangan perintis tahun 2013, PPA mulai mempersiapkan rencana pengembangan rute yang siap diajukan pada pelelangan mendatang. Pengembangan dilakukan dengan menambah rute penerbangan yang disertai penambahan satu armada Casa-212. Penambahan armada ini dapat dilakukan dengan dua alternatif, yakni dengan memperbaiki pesawat milik PPA yang kini tidak dapat beroperasi atau menyewa pada suatu perusahaan leasing. Dengan adanya momen ini, penelitian di PPA berada pada bagian perencanaan produksi yang berfokus pada persiapan pengembangan rute penerbangan perintis dalam upaya memenangkan tender penerbangan perintis tahun 2013 sesuai dengan prosedur operasional standar (SOP) yang berlaku. Ada pun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Rute apa saja yang dijadikan sasaran pengembangan proyek penerbangan perintis? (2) Bagaimana hasil perhitungan uji kelayakan proyek pengembangan penerbangan perintis pada kedua alternatif? (3) Alternatif apa yang dipilih sebagai pengembangan proyek penerbangan perintis? (4) Berapa laba-rugi yang diproyeksikan untuk proyek penerbangan perintis?
Perencanaan Pengembangan … (Khristian Edi Nugroho Soebandrija; Raisa Nurlatifah)
29
METODE Metodologi utama dalam penelitian ini mengacu pada diagram alir dalam gambar 1. Secara lebih spesifik, perhatian utama terkait pada teori yang menjadi hal utama dalam penelitian ini. Teori tersebut dijabarkan lebih detail dalam bahasan teori.
Mulai Latar Belakang Penelitian(08/2012) Observasi Lapangan (08/2012 - 09/2012) Identifikasi Masalah (09/2012) Studi Pustaka (09/2012) Pengumpulan Data (09/2012) Tidak Data Cukup Ya Pengolahan Data (10/2012 – 11/2012) Pembahasan dan Analisa (11/2012)
SOP Penerbangan Perintis Rute Penerbangan Perintis Tarif Penerbangan Perintis Data Operasional Penerbangan Diagram Perputaran Armada Rencana Anggaran Biaya Evaluasi Investasi Laporan Laba-Rugi
Kesimpulan dan Saran (11/2012) Selesai
Gambar 1 Diagram Alir Penulisan
Teori Terdapat beberapa teori terkait PPA, dalam hal Evaluasi Investasi, Aliran kas, metode NPV menjadi landasan teori dan pertimbangan evaluasi terhadap PPA dan studi kasus di tahun 2013 ini. Evaluasi Investasi Kegiatan investasi merupakan kegiatan penting yang memerlukan biaya besar dan berdampak jangka panjang terhadap kelanjutan usaha (Giatman, 2006). Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan suatu kebutuhan usaha agar dapat beroperasi. Biasanya, biaya investasi dikeluarkan di awal suatu kegiatan usaha dalam jumlah relatif besar dan berdampak jangka panjang untuk kesinambungan usaha tersebut (Giatman, 2006). Oleh sebab itu, keputusan untuk
30
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 28-41
melakukan suatu investasi sebelum direalisasikan perlu dianalisis secara cermat, sistematis, dan rasional. Beberapa pertimbangan dalam pengambilan keputusan berinvestasi antara lain (Giatman, 2006): (1) Investasi selayaknya memberikan manfaat ekonomis terhadap suatu kegiatan usaha atau perusahaan. (2) Investasi merupakan pilihan yang optimal dari berbagai alternatif atau kemungkinan yang ada. Berdasarkan pertimbangan tersebut, investasi perlu dievaluasi berdasarkan keuntungan yang akan diperoleh. Sepatutnya, sebuah investasi harus memiliki keuntungan yang menjanjikan dalam jangka panjang. Aliran Kas Menurut Giatman (2006), aliran kas (cashflow) didefinisikan sebagai penghitungan data tentang aliran uang yang masuk (cash-in) dan aliran uang yang keluar (cash-out) untuk setiap periode waktu tertentu. Penyusunan metode dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan metode tabel dan metode grafts. Dalam penggunaannya, kedua metode dapat dikombinasikan. Untuk memahami aliran kas, ada beberapa terminologi yang harus diketahui. Istilah-istilah tersebut antara lain(Giatman, 2006), terutama dalam hal: (a) Bunga (interest), (b) Single cash flow (single payment) dan (c) Annual cash flow. Metode Net Present Value (NPV) Net present value (NPV) atau present worth (PW) adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kelayakan suatu investasi atau proyek yang hendak dilakukan. Metode ini dapat digambarkan sebagai kutipan dari Joel Dean (1954) yang menjelaskan bahwa pengeluaran modal saat ini akan menjadi dasar bagi efektivitas perusahaan di masa depan, maka keputusan hari ini harus didasarkan pada asumsi tentang keputusan yang akan dialami besok. Dengan kata lain, metode ini menunjukkan suatu nilai evaluasi dengan memindahkan aliran kas yang menyebar sepanjang umur investasi ke waktu awal investasi (t = 0) atau saat ini (present) (Giatman, 2006). Fungsi dari penghitungan nilai NPV antara lain (Grant, Ireson, & Leavenworth, 1996) adalah (1) Perbandingan seri-seri alternatif dari perkiraan penerimaan dan pengeluaran uang. (2) Memberikan taksiran untuk penerimaan-penerimaan uang bersih prospektif. Pemilihan Alternatif Seringkali suatu rencana investasi memiliki lebih dari satu alternatif dengan estimasi aliran kas yang berbeda. Untuk itu, perlu dilakukan analisis dalam memilih alternatif mana yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan alternatif lainnya. Hal ini bertujuan untuk menemukan alternatif yang optimal. Beberapa syarat dalam menyiapkan alternatif ialah sebagai berikut (Giatman, 2006): (1) Alternatif harus bersifat lengkap. (2) Alternatif harus bersifat mutually exclusive (tidak boleh muncul dalam dua alternatif). Menurut Eugene, dkk (1996), sebuah konsep mengenai perbandingan alternatif adalah dengan 10 langkah dan acuan, yang dimulai dengan menemukan dan menentukan alternatif, sampai dengan tahap segi pandangan terhadap sistem dalam pengambilan keputusan. Pemilihan Alternatif dengan Metode Net Present Value (NPV) Syarat utama dari pemilihan alternatif dengan metode NPV ialah bahwa semua alternatif yang ada harus memiliki umur yang sama. Ada tiga kategori umur alternatif (Grant, Ireson, & Leavenworth, 1996): (1) Umur masing-masing alternatif sama. (2) Umur masing-masing alternatif berbeda. (3) Umur alternatif tidak terhingga.
Perencanaan Pengembangan … (Khristian Edi Nugroho Soebandrija; Raisa Nurlatifah)
31
Jika umur masing-masing umur alternatif sudah sama, analasis pemilihan alternatif dapat dilakukan dengan prosedur analisis berikut (Giatman, 2006): (1) Hitung NPV dari masing-masing alternatif dengan formula NPV = ICF (FBP), dengan FBP = faktor bunga present. (2) Bandingkan NPV masing-masing alternatif. (3) NPV terbesar merupakan alternatif terbaik. Proyeksi Laba-Rugi Proyeksi laba rugi adalah langkah pertama untuk menggambarkan aliran kas yang dapat diandalkan. Berbeda dengan laporan laba-rugi, proyek laba-rugi tidak memerlukan perhitungan keuangan yang terlalu mendetail.Tujuan dari penyusunan proyeksi laba-rugi adalah sebagai panduan yang digunakan untuk melakukan peramalan (forecasting) suatu kegiatan usaha.Penyusunan proyeksi laba-rugi memproyeksikan aliran keuangan suatu usaha dalam satuan periode tertentu selama periode tertentu. Berikut ini adalah empat langkah untuk membuat proyeksi laba-rugi (Bangs & Pallechia, 1999), yang dapat diringkas dalam pembahasan dan evaluasi: (a) Forecast sales. (b) Forecast expense. (c) Compare and review best and worst. (d) Look at the profit level Penjadwalan dan Perputaran Pesawat Penjadwalan bisa disebut sebagai titik awal dari seluruh perencanaan (Barnhart, 2008). Pada tahap penjadwalan, sebuah tabel waktu atau biasa disebut time table disusun untuk menjelaskan asal dan tujuan penerbangan beserta dengan waktunya. Penyusunan jadwal penerbangan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya kebutuhan pasar, ketersediaan pesawat, peraturan yang berlaku, dan kondisi persaingan yang ada (Bazargan, 2010). Berdasarkan Sistem Jaringan Penerbangan, pada dasarnya, suatu penjadwalan penerbangan akan membuat sebuah jaringan penerbangan. Menurut Bae (2010), ada beberapa sistem pembangunan jaringan penerbangan. Beberapa sistem tersebut antara lain (Bae, 2010), pertama, sistem jaringan huband-spoke. Pada sistem hub-and-spoke, hub berperan sebagai pusat dari suatu regional yang dilayani. Setiap hub melayani sekumpulan kota di dalamnya. Kota-kota inilah yang biasanya disebut spoke. Sistem ini biasa digunakan oleh angkutan udara dengan pesawat berukuran kecil. Keunggulan dari sistem ini ialah menghasilkan pendapatan yang lebih besar, lebih efisien, dan membutuhkan lebih sedikit pesawat daripada sistem lainnya. Kendati demikian, sistem ini memiliki kemungkinan untuk mengurangi kenyaman penumpang akibat diperlukannya transit pada beberapa hub yang berbeda, keterlambatan pada bandar udara yang berperan sebagaihub, serta utilisasi armada yang lebih rendah. Gambar 2 menggambarkan sistem jaringan hub-and-spoke.
Gambar 2 Sistem Hub-and-Spoke Sumber: Integrated Airline Operations: Schedule Design, Fleet Assignment, Aircraft Routing, and Crew Scheduling, (Bae, 2010)
32
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 28-41
Kedua, sistem jaringan point-to-point. Berbeda dengan sistem hub-and-spoke, point-to-point merupakan sistem jaringan yang independen. Dengan kata lain, hubungan antar titik saling terhubung secara langsung. Berbeda dengan sistem sebelumnya, penerbangan dengan pangsa pasar yang baik serta pesawat berkapasitas besar biasa menggunakan sistem jaringan ini. Keunggulan dari sistem ini ialah penumpang memiliki waktu tempuh yang lebih efisien daripada hub-and-spoke serta utilisasi armada yang lebih tinggi.Namun sebaliknya, dibutuhkan banyak armada untuk memenuhi seluruh jaringan sehingga berpengaruh pada biaya yang lebih besar. Sistem jaringan point-to-point digambarkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Sistem Point-to-Point Sumber: Integrated Airline Operations: Schedule Design, Fleet Assignment, Aircraft Routing, and Crew Scheduling, (Bae, 2010)
Proses Penjadwalan Penerbangan Menurut Bazargan (2010), ada dua tipe pengembangan rute, yaitu pengembangan strategis dan taktis. Pengembangan strategis berfokus pada penjadwalan di masa mendatang yang memiliki rentang waktu berbeda-beda tergantung pada kebijakan perusahaan penerbangan. Pengembangan strategis digunakan untuk merespon perubahan baik pada sektor bisnis maupun operasional. Di sisi lain, pengembangan taktis berfokus pada adanya perubahan jangka pendek pada penjadwalan ataupun rute yang terkadang bersifat harian. Hal ini dilakukan dengan secara konstan mengawasi pergerakan pasar, kompetitor, maupun operasi yang dilakukan. Pengembangan taktis meliputi penambahan, pengurangan, dan melakukan perubahan pada jaringan penerbangan serta frekuensinya. Dalam memilih metode pengembangan rute yang akan digunakan, ada beberapa fase dalam pengembangan penjadwalan penerbangan. Fase-fase ini akan menjadi pertimbangan dalam memilih metode yang tepat. Gambar 4 adalah uraian mengenai hierarki perencanaan dalam industri penerbangan yang meliputi fase pengembangan penjadwalan penerbangan dan keputusan yang diambil pada setiap fase tersebut (Bazargan, 2010).
Perencanaan Pengembangan … (Khristian Edi Nugroho Soebandrija; Raisa Nurlatifah)
33
Gambar 4 Hierarchi of Airline Planning Sumber: Airline Operation and Scheduling Second Edition, Bazargan 2010
Perputaran Pesawat Udara Perputaran pesawat udara, biasa disebut dengan aircraft routing atau aircraft rotation adalah suatu upaya untuk menentukan secara spesifik penugasan suatu armada dengan nomor penerbangan dan segmen yang telah ditentukan (Bazargan, 2010). Tujuan utama dari penyusunan perputaran pesawat ialah untuk memaksimalkan pendapatan atau meminimalisir biaya operasional dengan pertimbangan-pertimbangan berikut ini (Bazargan, 2010): (1) Flight coverage: cakupan segmen penerbangan harus ditangani oleh satu pesawat udara. (2) Aircraft load balance: armada yang bersangkutan harus memiliki utilisasi muatan yang telah diseimbangkan. (3) Maintenance requirements: setiap armada harus dipastikan mengoperasikan rute-rute yang memungkinkan armada tersebut untuk melakukan perawatan yang dibutuhkan pada waktu dan hanggar yang telah ditentukan. Pasalnya, sebuah perusahaan penerbangan memiliki hanggar tersendiri untuk melakukan perawatan armadanya dan tidak semua bandar udara memiliki fasilitas untuk pengecekan maupun perawatansemua jenis pesawat udara. Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menyusun perputaran pesawat (Kabanni & Patty, 1992). Salah satu model yang dapat digunakan adalah pendekatan matematis oleh Kabbani dan Patty (1992). Pendekatan ini menggunakan formulasi set-partitioning, yakni sebuah kondisi khusus di mana setiap anggota dari suatu kelompok dipasangkan atau ditugaskan pada satu dari anggota kelompok lainnya(Bazargan, 2010). Pada pendekatan ini, seluruh kemungkinan rute penerbangan yang memenuhi klasifikasi akan dijabarkan dalam sebuah matriks yang nantinya akan mengidentifikasikan rute terbaik yang telah memenuhi kebutuhan perawatan, turn-around time, siklus rotasi, dan sebagainya.
34
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 28-41
HASIL DAN PEMBAHASAN Penerbangan Perintis Airlines (PPA) Suksesnya pembangunan Jembatan Udara Kalimantan yang dibangun oleh Perdana Menteri Ir. H. Djuanda dan Angkatan Udara Republik Indonesia pada awal November 1958 bisa dikatakan sebagai peristiwa yang paling bersejarah bagi PPA. Perkembangan dari upaya AURI untuk menghubungkan daerah-deaerah terpencil di Kalimantan yang sulit dijangkau membawa sebuah perusahaan negara lahir di industri penerbangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1962, maka pada tanggal 6 September 1962, ditetapkan pendirian Perusahaan Negara Merpati Nusantara yang bertugas menyelenggarakan perhubungan di daerah-daerah dan penerbangan serbaguna serta memajukan segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan dalam arti yang seluasluasnya (Merpati Nusantara, 2007). Memenuhi tujuan semula, dengan empat pesawat De Havillang Otter (DHC-3) milik AURI dan pesawat Dakota (DC-3), PN PPA menjembatani daerah-daerah terisolasi dengan membuka rute penerbangan Jakarta-Banjarmasin, Pangkalanbun-Sampit, dan Jakarta-Pontianak. Dari sisi Pemilihan Rute Pengembangan Proyek, Berdasarkan Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. KP.458/2011, penyelenggaraan rute penerbangan perintis tahun anggaran 2012 meliputi 20 Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dengan 131 rute penerbangan perintis. Pada tahun yang sama, andil PT Merpati Nusantara Airlines dalam tender penerbangan perintis tahun 2012 mencakup 6 (enam) KPA dengan 26 rute penerbangan. Setiap rute penerbangan berlaku visa versa. Penerbangan dilaksanakan dengan menggunakan 4 (empat) pesawat De Havilland Canada-6 (DHC-6) dan 1 (satu) pesawat Casa-212 (C-212). Tabel 1 menguraikan rute-rute perintis yang kini di bawah naungan PPA.
Tabel 1 Penerbangan Perintis Tahun Anggaran 2012 No.
Lokasi*
1
MKQ
2
DJJ
3
MKW
4
NBX
5
AMQ / LUV
6
KOE / SAU
TOTAL
Rute Perintis* MKQ-OKQ MKQ-KMM MKQ-BXG MKQ-MDP TMH-BXG DJJ-BXM DJJ-DRH DJJ-SEH SOQ-AYW SOQ-INX SOQ-TMX SOQ-KBX NBX-NKD NBX-ILA NBX-IUL NBX-FAW NBX-UGU AMQ-KSX KSX-SXK SXK-LRT LUV-LRT KOE-ABU KOE-SAU SAU-WGP SAU-ENE KSX-ABU 26
Frek.
A/C yang Dibutuhkan
2 2 1 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 1 1 1 1 3 1 1 1 41
DHC-6
DHC-6
DHC-6
DHC-6
CS-212
CS-212
* Kode IATA dan ICAO seluruh bandar udara dilampirkan
Perencanaan Pengembangan … (Khristian Edi Nugroho Soebandrija; Raisa Nurlatifah)
35
Menyambut pelaksanaan tender penerbangan perintis tahun anggaran 2013, PPA berencana untuk mengembangkan cakupan rute penerbangan dengan menambah satu armada C-212. Dalam menentukan rute penerbangan, berikut adalah beberapa hal yang dijadikan pertimbangan: (1) Kemampuan armada. (2) Panjang landasan bandar udara atau pesawat (aircraft) yang dibutuhkan. (3) Memiliki kualifikasi rute (route qualification). (4) Nilai estimasi Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) tahun anggaran 2013. (5) Tidak adanya positioning (penempatan pesawat). Pengumpulan dan Pengolahan Data Pertimbangan hal yang disebutkan dapat dilakukan dengan acuan dokumen Estimasi Daftar Isian Pelaksana Anggaran Penerbangan Perintis Tahun Anggaran 2013 yang telah disusun oleh PT PPA (terlampir). Mengacu pada dokumen tersebut, berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya memilih rute penerbangan, pertama, mengeliminasi rute-rute penerbangan yang tidak memiliki bandar udara dengan panjang landasan yang memadai untuk pesawat C-212 atau tidak sesuai dengan kebutuhan pesawat yang beroperasi. Dengan kata lain, seluruh rute dengan kebutuhan pesawat selain C-212 akan dieliminasi dari daftar Progress Kesiapan Armada Penerbangan Perintis Tahun Anggaran 2013 untuk memperkecil alternatif rute yang akan dipilih. Kedua, Langkah selanjutnya adalah mempersempit daftar melalui penguasaan medan oleh kru yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan. Pada proyek penerbangan perintis tahun 2012, seluruh penerbangan yang dilakukan oleh PPA berada di Indonesia bagian timur seperti Papua, Nusa Tenggara, dan sekitarnya. Hal ini turut menunjukkan bahwa penguasaan kru pesawat PPA berada di daerah timur Indonesia. Dengan demikian, daftar wilayah yang tidak mencakup Indonesia bagian timur dihilangkan. Ketiga, alternatif yang tersisa diurutkan berdasarkan nilai estimasi DIPA dari yang terbesar hingga terkecil. Pilihan utama dalam daftar rute yang tersedia ialah rute-rute dengan nilai DIPA terbesar. Dalam praktiknya, pemilihan rute tidak mencakup keseluruhan KPA sehingga rute penerbangan yang dipilih tidak harus mencakup seluruh rute yang terdaftar sebagai rute perintis pada suatu KPA. Sebagai langkah terakhir adalah mempertimbangkan kembali rute yang dipilih. Rute yang dipilih sebaiknya tidak ada positioning atau penempatan pesawat. Positioning adalah satu istilah penerbangan yang menggambarkan suatu aktivitas apabila suatu pesawat melakukan penerbangan dari satu noda ke noda lainnya tanpa adanya penumpang dengan tujuan untuk memposisikan pesawat di noda tertentu baik untuk menjembatani pengoperasian suatu rute ataupun dengan tujuan perawatan mingguan yang wajib dilakukan. Namun hal ini dapat diatasi jika rute penerbangan perintis disisipkan dengan rute penerbangan komersil yang membantu pesawat mencapai posisi yang diharuskan. Dari penjelasan di atas, maka rencana rute penerbangan beserta total estimasi nilai DIPA penerbangan perintis tahun 2013 dijabarkan pada Tabel 2.
36
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 28-41
Tabel 2 Progress Kesiapan Armada Penerbangan Perintis Tahun Anggaran 2013
No.
Lokasi*
1
MKQ
2
DJJ
3
MKW
4
NBX
5
AMQ/LUV
6
TTE
7
KOE/SAU
8
PLW/TLI
TOTAL
Rute Perintis* MKQ-OKQ MKQ-KMM MKQ-BXG MKQ-MDP TMH-BXG DJJ-BXM DJJ-DRH DJJ-SEH SOQ-AYW SOQ-INX SOQ-TMX SOQ-KBX NBX-NKD NBX-ILA NBX-IUL NBX-FAW NBX-UGU AMQ-KSX KSX-SXK SXK-LRT LUV-LRT TTE-GEB TTE-MAL TTE-LAH TTE-OTI TTE-GLX MAL-SQN KOE-ABU KOE-SAU SAU-WGP SAU-ENE KSX-ABU PLW-UOL PLW-TLI TLI-TRK TLI-SRI
Frekuensi 2 2 1 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 3 1 1 1 1 2 2 1 59
Estimasi DIPA (Rp)
A/C yang Dibutuhkan
12.000.000.000
DHC-6
12.000.000.000
DHC-6
10.000.000.000
DHC-6
16.000.000.000
DHC-6
8.000.000.000
CS-212
19.000.000.000
CS-212
9.000.000.000
CS-212
15.000.000.000
CS-212
101.000.000.000
* Kode IATA dan ICAO seluruh bandar udara dilampirkan
Berdasarkan pengembangan rute dan penjabaran mengenai pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan rute apa yang akan dijadikan sasaran pengembangan rute penerbangan perintis untuk tahun 2013, maka dengan menambah satu buah pesawat udara C-212, rute yang ditambahkan dalam daftar rute penerbangan perintis PPA adalah sebanyak dua KPA dengan 10 rute penerbangan yang memiliki total estimasi nilai DIPA sebesar Rp34 miliar. Untuk area Ternate, rute yang dipilih mencakup Ternate-Gebe, Ternate-Mangole, Ternate-Labuha, Ternate-Morotai, Ternate-Galela, dan Mangole-Sanana dengan nilai sebesar Rp19 miliar. Untuk area Palu, rute yang dipilih mencakup PaluBuol, Palu-Tolitoli, Palu-Tarakan, dan Palu-Samarinda. Untuk memastikan bahwa pengembangan rute dapat ditangani oleh armada yang tersedia, maka dibuatlah diagram rotasi atau diagram perputaran pesawat.Tujuan dari penyusunan ini alah untuk memastikan bahwa utilisasi pesawat terbang memenuhi rute-rute yang dipilih. Pada penyusunannya, terdapat empat pesawat DHC-6 dan dua pesawat C-212. Terlihat pada perputaran pesawat udara seluruh pesawat DHC-6, bahwa penerbangan yang ditangani bukan hanya sebatas penerbangan perintis saja. Hal ini dikarenakan PPA menggunakan pesawat yang sama dalam melayani proyek penerbangan lainnya. Oleh karena itu diagram rotasi pesawat DHC-4 yang dilampirkan tidak diberikan perubahan dari diagram rotasi yang sedang diberlakukan.
Perencanaan Pengembangan … (Khristian Edi Nugroho Soebandrija; Raisa Nurlatifah)
37
Pada penyusunan diagram rotasi kedua pesawat C-212, dapat dilihat bahwa ada beberapa rute komersil yang ditambahkan, yakni Palu-Luwuk, Luwuk-Manado, Manado-Ternate dan AmbonLabuha. Rute yang ditambahkan merupakan keputusan yang telah ditentukan oleh salah seorang staff PPA. Rute ini dipilih karena dianggap memiliki pangsa pasar yang cukup baik untuk dimasuki sekaligus menjembatani pesawat udara ke hanggar yang terletak di Manado untuk menerima pengecekan dan perawatan. Berdasarkan penyusunan diagram rotasinya, kedua pesawat udara C-212 diberlakukan sistem siklus mingguan. Setiap daily operational schedule (DOS) mewakili satu hari selama tujuh hari kerja.Hari pertama adalah hari Senin dan hari ketujuh adalah hari Minggu.Kedua pesawat C-212 memiliki utilisasi rata-rata sebesar 7 jam 10 menit dan 6 jam per hari.Hasil dari penyusunan ini menunjukkan bahwa kedua pesawat udara ini mampu melayani rute yang semula dipilih dengan memenuhi batasan-batasan yang telah ditentukan. Jika kecukupan utilisasi seluruh pesawat sudah teruji, maka langkah berikutnya ialah menyusun rencana anggaran biaya (RAB) serta perhitungan kebutuhan subsidi yang nantinya akan diserahkan ketika pelelangan berlangsung. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, nilai penghitungan ini akan menjadi nilai proyek yang disubsidikan. Karena itu penghitungan RAB dan kebutuhan subsidi harus dilakukan secara cermat karena akan menentukan nilai proyek yang akan didapat. Pada dasarnya, keseluruhan penghitungan nilai proyek dipengaruhi oleh biaya operasional yang ditawarkan.Keputusan penggunaan nilai TOC sebesar Rp15.000.000,00 per jam adalah berdasarkan pertimbangan yang ada, yakni memenuhi batasan-batasan yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, perlu diketahui bahwa proyek penerbangan perintis adalah bukan tanpa kompetitor.Tentu saja penawaran nilai proyek harus mempertimbangkan persaingan yang ada sehingga PPA dapat memenangkan tender penerbangan perintis. Nilai TOC yang terlalu besar dan dimaksimalkan hingga batas nilai DIPA akan menurunkan peluang untuk memenangkan tender. Hal ini dapat terjadi jika nilai yang ditawarkan kompetitorkompetitor yang ada lebih menjanjikan. Sebaliknya, nilai yang terlalu rendah akan memperkecil keuntungan. Oleh karena itu, setelah dilakukan pertimbangan-pertimbangan baik secara kualitiatif maupun kuantitatif, nilai Rp15.000.000,00 dianggap sebagai nilai TOC yang tepat. Dengan TOC yang telah ditentukan, perhitungan nilai total penawaran subsidi seluruh KPA sebesar Rp87.857.255.000,00 setelah dikenakan PPN 10%. Nilai ini diperoleh dari penjumlahan nilai penawaran subsidi pada masing-masing KPA. KPA Merauke menghasilkan nilai subsidi sebesar Rp11.181.861.600,00 KPA Jayapura sebesar Rp6.379.235.200,00 KPA Merauke sebesar Rp7.192.120.000,00 KPA Nabire sebesar Rp15.272.400.000,00 KPA Langgur sebesar Rp6.731.961.600,00 KPA Ternate sebesar 7.880.059.200,00 KPA Sabu sebesar Rp15.935.337.600,00 dan terakhir KPA Tolitoli sebesar 9.297.256.800,00. Berdasarkan hasil Perhitungan Kelayakan Proyek dan dalam upaya menambah rute penerbangan perintis, PPA harus menambah satu armada C-212.Untuk memenuhi kebutuhan ini, PPA memiliki dua alternatif yang dapat dipilih. Alternatif pertama ialah memperbaiki pesawat yang kini mengalami kerusakan sehingga tidak dapat beroperasi dan yang kedua adalah menyewa pesawat C212 pada sebuah perusahaan leasing. Perlu diketahui bahwa dalam semua perhitungan pengujian kelayakan proyek dan besar profit yang akan diperoleh dari proyek ini adalah nilai sebelum pajak 10%. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pajak pembelian tiket angkutan udara ditanggung oleh penumpang. Selain itu, nilai RAB yang ditawarkan kepada pemerintah adalah nilai RAB setelah penghitungan pajak 10%. Oleh karena itu seluruh penghitungan dilakukan tanpa memasukkan pajak PPN 10%.
38
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 28-41
Dalam menguji kelayakan proyek, pada alternatif pertama, biaya perbaikan harus dilakukan di awal agar pesawat udara bisa kembali dioperasikan.Berdasarkan wawancara dengan seorang staff di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang aircraft services, biaya perbaikan sebuah pesawat yang rusak diperkirakaan sebesar 40-80% dari harga sebuah pesawat udara baru. Jika sebuah harga C212 sebesar US$6 juta atau sebesar Rp59,7 miliar, maka diperkirakan biaya perbaikan setidaknya sebesar Rp23,16 miliar. Dengan melakukan perbaikan armada yang sudah ada, perkiraan biaya operasional per jam sebesar Rp9,5 juta. Jika dihitung berdasarkan frekuensi masing-masing rute setiap bulannya, maka total biaya operasional seluruh rute mencapai Rp4.775.333,333,00 per bulan. Jika PPA memilih alternatif kedua, yakni menyewa pesawat C-212 pada sebuah perusahaan leasing, maka biaya sewa operasional per jamnya memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan menggunakan pesawat C-212 milik perusahaan. Dengan biaya sewa sebesar Rp10,5 juta per jam, berdasarkan frekuensi masing-masing rute setiap bulannya, total biaya operasional seluruh rute mencapai Rp5.278.000.000,00 per bulan. Dalam perjanjian yang diajukan, uang muka yang harus dibayarkan oleh peminjam adalah sebesar dua kali biaya sewa per bulan.Biaya ini merupakan biaya sewa di bulan pertama dan bulan terakhir sebagai safety deposit. Namun ada beberapa kondisi yang tidak berubah pada kedua alternatif ini. Kondisi pertama yakni bahwa pendapatan per bulan untuk kedua alternatif senilai Rp1.396.136.000,00. Nilai ini diperoleh dari hasil penghitungan total target minimum penumpang yang dikalikan dengan nilai tarif dan frekuensi penerbangan setiap bulannya pada seluruh rute dan dijumlahkan dengan perkiraan muatan yang juga dikalikan nilai tarif dan frekuensi penerbangan per bulan pada seluruh rute. Kondisi yang kedua adalah bahwa PPA telah menetapkan bahwa tingkat pengembalian minimum yang diharapkan adalah sebesar 15% per tahun. Karena periode penghitungan cash flow yang digunakan adalah dengan periode bulanan, maka nilai tingkat pengembalian menjadi 1,25% per bulan. Dengan kondisi-kondisi inilah, kelayakan proyek diperhitungkan. Kondisi ketiga adalah nilai subsidi yang akan diterima. Disebutkan dalam prosedur pengelolaan perintis, bahwa 25% subsidi dicairkan di awal dan sisanya akan dicairkan di akhir periode. Oleh karena itu, nilai subsidi yang akan diterima di awal adalah sebesar Rp19.967.580.800 dan Rp59,902,742,400,00 di akhir periode. Setelah mengevaluasi kedua alternatif, pada perhitungan kelayakan alternatif yang pertama, nilai NPV yang dihasilkan adalah Rp10.975.127.116,00. Pada perhitungan kelayakan alternatif kedua, nilai NPV yang dihasilkan sebesar 27.769.808.200,00. Dengan selisih sebesar Rp16.794.681.084,00 nilai NPV alternatif kedua lebih besar daripada nilai NPV alternatif pertama. Dengan demikian, mengacu pada teori pemilihan alternatif dengan metode NPV, alternatif yang dipilih adalah alternatif kedua, yakni PPA melakukan penyewaan pesawat C-212 kepada sebuah perusahaan leasing. Untuk mengetahui seberapa besar seberapa besar profit yang dihasilkan, maka dilakukanlah penghitungan proyeksi laba-rugi dari alternatif yang terpilih. Penghitungan dilakukan secara sederhana karena beberapa variabel dalam penghitungan bersifat rahasia.Penghitungan dilakukan dalam dua bentuk periode, yakni bulanan dan tahunan. Pada perhitungan proyeksi laba-rugi dengan periode tahunan, nilai yang dicapai sebesar Rp29.507.504.000,00 sedangkan pada perhitungan proyeksi laba-rugi dengan periode bulanan, nilai profit yang dicapai sebesar Rp33.381.560.000,00. Ada perbedaan di antara kedua perhitungan proyeksi laba-rugi. Hal ini disebabkan oleh perhitungan jumlah minggu yang ada. Pada perhitungan periode bulanan, satu bulan terdiri dari empat minggu. Sehingga dalam satu tahun, jumlah minggu yang ada adalah sebanyak 48 minggu. Sedangkan dalam penghitungan proyeksi laba-rugi periode tahunan, jumlah minggu kerja dalam satu tahun sebanyak 52 minggu dengan
Perencanaan Pengembangan … (Khristian Edi Nugroho Soebandrija; Raisa Nurlatifah)
39
perhitungan 365/7 hari. Membandingkan keduanya, maka hasil penghitungan nilai laba-rugi yang digunakan adalah proyeksi laba-rugi dengan nilai tahunan. Sebab, dalam praktiknya, pelayanan penerbangan perintis dilakukan dalam siklus mingguan dengan total 7 hari kerja. Dengan kata lain, dalam satu tahun, satu pesawat mengalami 52 siklus. Oleh karena itu, proyeksi total laba yang diraih pada proyek penerbangan perintis dengan menambah armada C-212 melalui penyewaan dengan sebuah perusahaan leasing adalah Rp29.507.504.000,00.
SIMPULAN Dari hasil pengumpulan dan pengolahan data, serta analisa dan hasil, dalam penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal terkait dan juga saran yang perlu dilakukan. Adapun Kesimpulan dalam penelitian ini mengacu pada: (1) Rute yang dijadikan sasaran pengembangan perintis mencakup KPA Ternate dengan rute Ternate-Gebe, Ternate-Mangole, Ternate-Labuha, Ternate-Morotai, Ternate-Galela, dan Mangole-Sanana, serta KPA Paludengan rute Palu-Buol, Palu-Tolitoli, PaluTarakan, dan Palu-Samarinda. (2) Hasil uji kelayakan proyek dengan perbaikan pesawat C-212 sebesar Rp10.975.127.116,00 dan uji kelayak proyek dengan penyewaan pesawat C-212 sebesar Rp16.794.681.084,00. (3) Alternatif yang terpilih adalah pengembangan penerbangan perintis dengan melakukan penyewaan pesawat C-212. (4) Laba-rugi yang diproyeksikan pada penerbangan perintis dengan alternatif penyewaan pesawat C-212 adalah laba sebesar Rp29.507.504.000,00. Kemudian, selain simpulan di atas, maka Saran dan masukan yang dapat disampaikan kepada PPA berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Berdasarkan hasil penelitian, maka PPA disarankan untuk melaksanakan pengembangan penerbangan perintis pada tahun 2013 dengan menyewa sebuah pesawat C-212. Jika proyek ini dilakukan maka PPA akan menghasilkan laba sebesar Rp 29,5 miliar. (2) Penyediaan lapangan kerja praktek akan lebih bermanfaat jika perusahaan dapat membantu mengembangkan potensi mahasiswa kerja praktek secara efektif meski dalam waktu singkat.
DAFTAR PUSTAKA Angkasa Pura II. (2012). Statistik Angkutan Udara PT Angkasa Pura II (Persero) Tahun 2011. Angkasa Pura II. Bae, K.-H. (2010). Integrated Airline Operations: Schedule Design, Fleet Assignment, Aircraft Routing, and Crew Scheduling. Virginia: Virginia Polytechnic Institute and State University, Industrial and System Engineering. Bangs, D. H., & Pallechia, M. (1999). Financial Troubleshooting. Glodhirsh Group Inc. Barnhart, C. (2008). CPAIOR '08: Integration of AI and OR Techniques in Constraint Programming for Combinatorial Optimization Problems. 5th International Conference. Bazargan, M. (2010). Airline Operation and Scheduling Second Edition. Burlington: Ashagate Publishing Company. Dean, J. (1954). The Concept and Economic Significance of Regularization of Business Investment. National Bureau of Economic Research, 37-74
40
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 28-41
Grant, E. L., Ireson, W. G., Leavenworth, R. S. (1996). Dasa-Dasar Ekonomi Teknik Jilid 1. Jakarta: Rineka Cipta. Giatman, M. (2006). Ekonomi Teknik. Jakarta: Raja Gravindo Perkasa. Kabanni, N. M., Patty, B. W. (1992). Aircraft Routing at American Airlines. AGIFORS. Budapest. Kementerian Perhubungan. (2012). Studi Integrasi Pengembangan Konektivitas Pelayanan Jasa Angkutan Udara di Koridor (Bali-Nusa Tenggara) dan Koridor 6 (Papua - Maluku) dalam Upaya Mendukung MP3EI. Jakarta: PT Amethys Utama. Listriyarini, T., Bagus, W. (2012, Februari 29). Enam Maskapai Peroleh Subsidi Perintis Rp265 Miliar, diakses November 12, 2012, dari http://www.beritasatu.com/bisnis/34347-enammaskapai-peroleh-subsidi-perintis-rp-265-miliar.html Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Jakarta. Merpati Nusantara. (2007, November 1). Sejarah Singkat PT Merpati Nusantara Airlines, diakses November 12, 2012, dari http://profilemerpati.blogspot.com/2008/01/sejarah-singkatptmerpati-nusantara.html.
Perencanaan Pengembangan … (Khristian Edi Nugroho Soebandrija; Raisa Nurlatifah)
41