PENERAPAN LOGIKA SAMAR (FUZZY-LOGIC) PADA PENENTUAN SUBSIDI ANGKUTAN PENYEBERANGAN: STUDI KASUS ANGKUTAN PENYEBERANGAN PERINTIS Firmanto Hadi Department of Naval Architecture, Faculty of Marine Technology ITS-Surabaya, E-mail:
[email protected]
Abstract: This study aims to develop methodologies for crossing routes pioneering grouping according to the degree of commercialization by involving all elements of the welfare of the people who use criteria in addition to the operational fleet of ships (load factor) and financial criteria (profitability) fleet. The methodology was developed by applying the concept of Fuzzy-Logic, which is Multi Criteria Decision Making (MCDM). Some of the pioneers crossing the existing route is currently used as an example calculation. The results of calculations by applying the concept of fuzzy-logic suggests that the distribution of load between the government and the private sector (as operator) is more "fair" in comparison with conventional methods. In addition, this method is also more "fair" for service users because of their purchasing power is also a grouping variable in determining the route. Key words: Subsidies, transport pioneer, operational criteria fleet, route profitability, the welfare criterion, Fuzzy-Logic, the private sector
PENDAHULUAN
melaksanakan fungsinya tersebut, transportasi dapat dikelompokkan dalam dua kelompok utama yaitu transport follow the trade dan transport promote the trade. Kelompok pertama terjadi pada daerah yang telah maju dengan aktivitas ekonomi telah berkembang sehingga permintaan jasa transportasi merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi dan berlaku mekanisme pasar. Sebaliknya, kelompok kedua terjadi pada daerah yang belum maju dan umumnya di wilayah terpencil dengan aktivitas ekonomi belum berkembang. Umumnya pada kelompok ini terjadi ketidakseimbangan antara harga jasa transportasi dengan daya beli pengguna atau dengan kata lain effective purchasing power pengguna jasa berada di bawah tarif jasa transportasi. Pada kon-
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 80.000 km. Dengan kondisi geografis yang demikian, transportasi (khususnya transportasi laut) memiliki peranan yang vital dan strategis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak tergantikan (irreplaceable) yaitu aksesibilitas dalam melakukan aktivitas ekonomi dan sosial mereka yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Pada dasarnya fungsi utama tranportasi, termasuk transportasi laut adalah memindahkan barang dan/atau orang dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Dalam 61
disi demikian, mekanisme pasar tidak berlaku karena secara ekonomis pemberian jasa transportasi di wilayah ini akan merugi. Oleh karena itu pada kelompok kedua ini diperlukan intervensi pemerintah yang berupa pemberian subsidi melalui mekanisme Public Service Obligation (PSO). Kelompok kedua ini lebih dikenal dengan istilah transportasi perintis. Penentuan besaran subsidi hingga saat ini masih merupakan persoalan, khususnya antara pihak pemberi subisidi yaitu pemerintah dan penerima subsidi yaitu operator. Argumentasi yang sering muncul dari sisi pemerintah adalah bahwa terjadi inefisiensi internal pada pihak operator transportasi. Sebaliknya pihak operator berargumentasi bahwa subsidi yang diberikan oleh pemerintah tidak cukup untuk menutupi biaya operasionalnya. Hal ini terjadi karena selama ini penentuan perlu tidaknya subsidi pada suatu rute tertentu hanya didasarkan pada satu kriteria yaitu aspek keuangan saja (untung atau rugi). Namun dalam banyak kasus, sering terjadi sebuah rute terletak pada ’daerah perbatasan’ antara untung dan rugi, akibatnya sulit untuk menilai statusnya sehingga muncul keraguan pada penafsiran hasil analisis yang dapat disebabkan oleh ketersediaan data yang tidak memadai atau keraguan terhadap metode
pengambilan sampel. Selain itu, kebanyakan persoalan yang dianalisis merupakan persoalan multi-dimensi sehingga penggunaan satu parameter yang bersifat bivariate menyebabkan penyederhanaan persoalan atau fenomena yang bersifat kompleks dan multi-dimensi (Filippone, 2001). Penelitian ini akan membahas tentang penggunaan teori fuzzy-set yang merupakan dasar dari metode fuzzy logic (logika samar) dengan menggunakan kriteria jamak (multi criteria) karena teori ini mampu metoleransi data yang jatuh di daerah perbatasan. Teori Fuzzy pertama kali diungkapkan oleh Lofti Zadeh tahun 1965-an. Teori ini sebenarnya lebih membantu dalam menjelaskan masalah pengelompokan (clustering) dari beragam kelompok dengan ciri yang tidak terlalu jelas perbedaannya sehingga sulit dikelompokkan obyek mana yang masuk kepada himpunan yang mana. Logika fuzzy berbeda dengan logika klasik, logika klasik hanya mengenal dua keadaan yaitu: “Ya”“Tidak” atau “ON”-“OFF” atau “High”“Low” atau "1"-"0". Sedangkan logika fuzzy meniru cara berpikir manusia dengan menggunakan konsep sifat kesamaran suatu nilai. Pada logika fuzzy dapat memberikan suatu nilai dari nol secara kontinu sampai nilai satu. Nilai-nilai diantara nol dan satu ini terbagi menjadi cluster.
LOGIKA KLASIK
Profit
Loss
Loss
Profit
LOGIKA FUZZY Most Social More Social
Moderate Social
Less Social Least Social
Least Less Moderate More Most Commercial Commercial Commercial Commercial Commercial
Gambar 1. Perbedaan logika fuzzy dan logika klasik 62
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
Salah satu contoh penggunaan teori fuzzy adalah penelitian yang dilakukan Dridi dan Hewings (Januari, 2002) mengenai pengelompokan (clustering) industri di Amerika Serikat. Teori fuzzy-set juga digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Manca dan Demontis (1999) mengenai tendensi pembangunan di Italia. Demikian juga beberapa peneliti yang tergabung dalam Institute of Statistical, Social and Economic Research, University of Ghana melakukan analisis mengenai kemiskinan di Ghana. Berdasarkan pemikiran di atas, maka penilaian sebuah rute dalam studi ini menggabungkan berbagai unsur yang melekat pada sebuah layanan transportasi dalam pengambilan keputusan publik. Model pendekatan ini sering kali disebut sebagai pendekatan kriteria jamak atau Multi Criteria Decision Making (MCDM), dengan metode fuzzy logic adalah salah satunya. Pembagian kelompok (cluster) untuk setiap parameter dalam metode fuzzy logic mengalami normalisasi melalui pro1
ses yang disebut sebagai penskalaan (scaling), sebagaimana yang dikemukan oleh Jahan (Juli, 2000). Untuk setiap kriteria, batasan masing-masing cluster atau dalam metode fuzzy logic dikenal dengan istilah membership function dapat ditentukan dengan mengenali nilai maksimum, minimum, rata-rata (mean), dan standar deviasi dari data yang tersedia. Pendekatan untuk merepresentasikan fungsi keanggotaan sebuah input fuzzy yang umumnya digunakan representasi antara lain linier, kurva segitiga, kurva trapesium, kurva bentuk bahu, kurva-kurva S, dan kurva bentuk lonceng (bell curve) (Kusumadewi dkk., 2006). Nilai X yang jatuh di daerah perbatasan memiliki dua keanggotaan yang berdekatan: least dan less, less dan moderate, dan seterusnya yang nilai atau derajatnya terletak antara nilai 0 dan 1.
least
(x)
0 1
less
(x)
0 1
moderate 1
(x)
less
moderate
more
most
(x)
0 1
least
0
more 'daerah perbatasan'
(x)
0 1
most
(x)
0
x
Gambar 2. Membership function dalam metode fuzzy-logic Firmanto Hadi: Penerapan Logika Samar (Fuzzy Logic)
63
Gambaran Jaringan Angkutan Perintis Laporan Arus Barang & Penumpang Spesifikasi Alat Angkut
Kinerja Operasional
Pendapatan Operasional Subsidi
Kinerja Finansial
Biaya Operasional
Gambaran Sosial Ekonomi Daerah Jumlah Penduduk Daya Beli Transportasi
Angka Melek Huruf Tingkat Partisipasi Sekolah
Human Development Index
Harapan Hidup
Indeks Kesejahteraan Pengelolaan Murni Privat Bentuk-bentuk Partisipasi Sektor Privat (BOT dan variannya) Murni Pemerintah
Pengeluaran Per Kapita
Model Fuzzy-Logic
Kriteria Most Commercial More Commercial Moderate Commercial Less Commercial Least Commercial
Gambar 3. Bagan alir metode penelitian
METODE PENELITIAN Model perhitungan ini diawali dengan identifikasi lintasan angkutan perintis saat ini, berikut dengan kinerja operasional dan finansialnya sebagai parameter karakteristik operasional angkutan perintis. Parameter berikutnya adalah indeks kesejahteraan yang diukur berdasarkan
kondisi sosial ekonomi wilayah yang dilayani angkutan perintis. Proses komputasi dilakukan dalam model fuzzy. Output dari proses komputasi fuz-zy logic ini adalah pengelompokkan rute-rute dalam lima kelompok yaitu most commercial, more commercial, moderate commercial, less commercial dan least commercial berikut dengan bentuk pengelolaannya.
Gambar 4. Proses komputasi model fuzzy-logic 64
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokkan Angkutan Perintis Setiap parameter dalam tiga parameter yang ditinjau yaitu kriteria operasional, finansial dan kesejahteraan dilakukan pengelompokkan menjadi lima kelompok yaitu most, more, moderate, less
dan least commercial. Pengelompokkan dua kriteria pertama dilakukan berdasarkan kondisi operasional angkutan perintis, sedangkan kriteria ketiga yaitu kesejahteraan pengelompokkan dilakukan dengan mengacu pada standar yang dikeluarkan oleh UNDP tentang Human Development Index (HDI) seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengelompokkan indeks kesejahteraan Range Data 0.00 0.35 0.50 0.66 0.80
0.35 0.50 0.66 0.80 1.00
Karakteristik utama angkutan penyeberangan perintis adalah menghubungkan satu pelabuhan menuju ke pelabuhan lainnya (port to port). Oleh karena itu, parameter kinerja operasional yang digunakan untuk menilai tingkat kepeloporan angkutan perintis moda penyebe-
Kriteria Indeks Kesejahteraan Lower Lower Upper Lower Lower Medium Upper Medium High
rangan adalah Load Factor (LF atau faktor muat). Tabel 2 menunjukkan sebaran data Load Factor yang terjadi pada angkutan penyeberangan perintis yang dijadikan contoh dalam penelitian ini.
Tabel 2. Sebaran load factor Load Factor 0.00% 25.00% 50.00% 60.00% 80.00%
Jumlah Data 38 14 2 4 1 59
25.00% 50.00% 60.00% 80.00% 100.00% Total
Berdasarkan Tabel 2, membership function kinerja operasional angkutan penyeberangan perintis dapat dibagi seperti terlihat pada Tabel 3. Dengan cara
Proporsi 64.4% 23.7% 3.4% 6.8% 1.7% 100%
yang sama, maka sebaran kinerja finansial yang digambarkan dengan indeks profitabilitas berikut dengan membership functionnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Firmanto Hadi: Penerapan Logika Samar (Fuzzy Logic)
65
Tabel 3. Keanggotaan kinerja operasional Load Factor 0.00% 25.00% 50.00% 60.00% 80.00%
Derajat Kepadatan Least Less Moderate More Most
25.00% 50.00% 60.00% 80.00% 100.00%
Tabel 4. Sebaran data profitabilitas Profitabilitas -18.060 -2.128 -1.383 -0.639 0.106
Jumlah Data 7 4 10 28 10 59
-2.128 -1.383 -0.639 0.106 0.470 Total
Proporsi 11.9% 6.8% 16.9% 47.5% 16.9% 100%
Tabel 5. Keanggotaan kinerja finansial Profitabilitas -18.060 -2.128 -1.383 -0.639 0.106
Derajat Profitabilitas Least Less Moderate More Most
-2.128 -1.383 -0.639 0.106 0.470
Hasil Pengelompokan Angkutan Penyeberangan Perintis Hasil penggolongan rute penyeberangan perintis dapat dilihat pada Tabel 6. Tampak bahwa untuk menilai angkutan perintis tidak dapat hanya menggunakan
satu kriteria saja, misalnya besarnya keuntungan yang dihasilkan, tetapi terdapat faktor lainnya yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya tingkat kepadatan rute atau indeks kesejahteraan daerah.
Tabel 6. Hasil pengelompokkan rute angkutan penyeberangan perintis Rute Kalabahi – T. Gurita T. Harapan – T. Kalong Kupang – Kalabahi Baubau – Warra Kuala – Seberang Kalabahi – Baranusa Tayan – Terayu
66
P/L -0.1084 -0.0872 0.0330 -0.3146 0.0351 -0.1099 0.4521
Lf 41.55% 38.01% 33.20% 39.17% 23.97% 28.47% 13.03%
Ik Kategori / Derajat Komersial 0.6598 0.5523 Moderate 0.6440 0.5512 Moderate 0.6564 0.5503 Moderate 0.5948 0.5210 Moderate 0.7089 0.5141 Moderate 0.6500 0.4981 Less 0.6212 0.4957 Less
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
Rute P/L Lf Ik Kategori / Derajat Komersial Padang – TuaPejat -0.9245 26.98% 0.6827 0.4582 Less Larantuka – Waiwerang 0.0152 13.76% 0.6915 0.4577 Less Kendari – Lenggara (Wawoni) -1.9950 51.97% 0.5906 0.4394 Less Padang – Siberut -1.0277 22.12% 0.6827 0.4338 Less Padang – Sikakap -1.0143 22.04% 0.6827 0.4334 Less Waingapu – Aimere -0.1206 14.08% 0.6507 0.4267 Less Lewoleba – Baranusa -0.2983 8.92% 0.5873 0.4030 Less Sape – Waikelo -0.6883 19.71% 0.5598 0.3976 Less Waiwerang – Lewoleba -0.2305 7.32% 0.6618 0.3971 Less Waingapu – Sabu -0.3626 7.51% 0.6302 0.3968 Less Sadai – Tanjung Ru -0.5097 12.74% 0.6521 0.3819 Less Bitung – Melongguane -15.1899 0.07% 0.7132 0.3731 Less Ende – Waingapu -2.1957 14.68% 0.6059 0.3394 Less BauBau – Dongkala -18.0543 3.71% 0.5858 0.3009 Less Max 0.4521 51.97% 0.7132 0.5523 Min -18.0543 0.07% 0.5598 0.3009 Rata-rata -2.0332 21.09% 0.6434 0.4439 Keterangan: P/L= profitabilitas, LF = Load factor, IK = indeks kesejahteraan
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa walaupun rute tertentu mengalami kerugian, namun akibat Load Factor rata-rata yang cukup tinggi dan indeks kesejahteraan juga cukup besar, maka secara agregat rute tersebut termasuk dalam kategori Moderate. Sebagai contoh, rute Kalabahi – T. Gurita (provinsi NTT) mengalami kerugian secara finansial (ditunjukkan oleh nilai profitabilitasnya sebesar -0,1084), akan tetapi akibat dari Load Factor rata-rata rute tersebut cukup tinggi (41,55%) dan indeks kesejahteraan masyarakat pengguna angkutan perintis di kedua pelabuhan yang dimaksud juga cukup besar (0,6598), maka dalam model Fuzzy-Logic rute Kalabahi – T. Gurita memiliki derajat komersial yang digolongkan Moderate. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa rute Kalabahi – T. Gurita potensial untuk dikembangkan menjadi rute komersial berdasarkan fakta bahwa pada lintasan ini mempunyai permintaan yang cukup tinggi (ditunjukkan dengan besarnya LF) dan ditunjang oleh daya beli ma-
syarakat pengguna jasa transportasi di kedua daerah tersebut. Hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan angkutan penyeberangan perintis pada kasus rute seperti Kalabahi – T. Gurita adalah dilakukannya efisiensi armada kapal. Salah satu cara untuk melakukan efisiensi ini adalah dengan melakukan penggantian kapal dengan biaya operasional yang lebih ekonomis atau kapal dengan kinerja teknis yang lebih baik untuk menghindari kerugian finansial pada rute tersebut. Sebaliknya, terdapat kasus dimana rute tertentu dengan profitabilitas tinggi, namun Load Factor dan Indeks kesejahteraan yang cukup rendah, sehingga dalam penggolongan termasuk dalam kategori kurang komersial (Less). Sebagai contoh adalah rute Tayan – Terayu yang meraih profitabilitas terbesar yaitu 0,4521 dan menempati urutan ke-7. Dibandingkan dengan rute T. Harapan – T. Kalong yang berada di urutan ke-2 dan Baubau – Warra yang berada di urutan ke-4, rute Tayan – Terayu memiliki Load Factor yang
Firmanto Hadi: Penerapan Logika Samar (Fuzzy Logic)
67
lebih rendah, maka termasuk dalam kategori yang lebih rendah. Subsidi dan Kategori Rute Semakin tinggi nilai kriteria pengelompokan suatu rute yang mencerminkan derajat komersial, maka secara relatif rute tersebut lebih komersial daripada rute lain yang nilai kriterianya lebih rendah. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa rute tersebut seharusnya membutuhkan subsidi yang lebih rendah daripada rute lainnya. Hal ini karena semakin komersial suatu rute, kemampuan finansial angkutan perintis yang melayani rute tersebut juga semakin baik sehingga kebutuhan terhadap subsidi pemerintah juga rendah. Pemberian subsidi pada angkutan perintis yang selama ini dilakukan adalah hanya didasarkan pada selisih antara pendapatan operasional dengan biaya operasional. Dengan demikian, jika selisih tersebut semakin besar maka subsidi yang diperlukan juga semakin besar. Pada beberapa rute angkutan penyeberangan perintis yang menjadi sampel, tidak terlihat pola yang sesuai dengan kondisi di atas. Beberapa rute yang memiliki nilai kriteria pengelompokan yang ma-
suk dalam range commercial, menerima subsidi yang lebih tinggi dari rute lain yang mempunyai nilai kriteria berkategori less commercial. Sebagai contoh untuk rute Baubau – Dongkala yang mempunyai nilai kriteria terendah (least commercial 30,09), justru menerima subsidi yang paling rendah jika dibandingkan dengan rute lainnya yang mempunyai nilai kriteria commercial dan most commercial seperti rute Kupang – Kalabahi dan T. Harapan – T. Kalong. Rute ini mempunyai nilai kriteria commercial yaitu masing-masing 55,03 dan 55,12, namun menerima subsidi yang lebih tinggi dari pada rute BauBau – Dongkala. Hal ini tercermin dari besaran proporsi subsidi antara Bau-Bau – Dongkala terhadap biaya operasional total yang hanya sebesar 4,03%, sedangkan rute Kupang – Kalabahi dan T. Harapan – T. Ka-long masing-masing 41,83% sebesar 44,28%. Begitu juga jika dibandingkan dengan rute Kalabahi – T. Gurita, yang mempunyai nilai kriteria commercial, rute Baubau – Dongkala mempunyai proporsi subsidi jauh lebih rendah. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.
140 Moderate Commercial Less Commercial
Nilai Kriteria
%subsd of cost
128.2 3
105
70.70
Besaran
70.84
70.84
70
70.70
69.86 70.84
44.28
60.49
56.13
30.01 35
21.58 5.67
33.84
4.03 5.80
56.13
33.84
33.84
41.83
13.92
R u -W ai -M ke lo el on Ba gg uB u au an e -D on Ba gk al uB a au -W En d ar e T_ ra -W H Ke ar ai nd ap ng ar an ap i-T u Le _K ng a ga l o ra ng _( W aw Pa o da ni ng ) Pa -S da ib er ng ut -T Pa ua Pe da ng ja t -S Ku ik pa ak ng ap -K Ku al ab al ah a -S i eb er Ta an ya g n -T W ai er ng ay ap u W u ai -S ng a ap bu u -A im er e ng
Bi tu
pp da i
-T
an j
un g
a
a
Sa
-B
ar
an us
ol eb
-L ew
a ol eb
Sa pe
pp
pp g
pp we r
Le w
W ai
nt uk
a
an g
-W ai
we r
an
us a an
-B ar
ah i la b
Ka
La ra
Ka
la b
ah i
-T
_G
ur ita
pp
0
Rute
Gambar 5. Perbandingan subsidi dengan nilai kategori rute angkutan penyeberangan perintis 68
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
Fenomena ini merupakan indikasi awal perlu dilakukannya beberapa evaluasi terhadap operasionalisasi angkutan penyeberangan perintis saat ini, terutama untuk rute-rute dengan kategori komersial namun masih menerima subsidi lebih tinggi daripada rute yang berkategori less commercial atau least commercial.
beban pengelolaan angkutan penyeberangan perintis antara pemerintah sebagai pemilik proyek dengan sektor privat sebagai pelaksananya dengan nilai kategori rute sebagai acuan proporsi pembagian beban penyelenggaraan angkutan perintis. Berdasarkan hasil pengelompokan angkutan penyeberangan perintis yang telah dilakukan sebelumnya, nilai kategori rute perintis dapat digambarkan dalam garis kategori rute angkutan komersial seperti terlihat pada Gambar 6. Diagram pada gambar tersebut memiliki sumbu X yang mewakili besarnya porsi keterlibatan pemerintah, sedangkan sumbu Y adalah besarnya partisipasi sektor privat. Hubungan antara nilai kategori rute (n), porsi keterlibatan sektor pemerintah (Xpem), dan porsi partisipasi sektor privat (Ypriv) dapat ditulis dalam bentuk persamaan berikut ini :
Model Pengelolaan Angkutan Penyeberangan Perintis Pengelolaan angkutan perintis tidak dapat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akibat keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah. Sedangkan pengelolaan angkutan perintis yang sepenuhnya diserahkan pada pihak privat juga tidak memungkinkan karena secara ekonomis rute perintis belum tentu menguntungkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diusulkan untuk membagi Komersial Penuh (0,1)
t os M
Keterangan :
e or M a er od
Contoh : Angkutan Laut Rute R-6, Segmen Letung - Tarempa, Nilai : 0.472 Xpem = 0.528, Ypriv = 0.472
te
Sektor Privat
M
(0,1) = 0% Pemerintah, 100% Privat (1,0) = 100% Pemerintah, 0% Privat A = (Xpem, Ypriv) = titik kesetimbangan partisipasi pemerintah & privat
A ss Le
(0,Ypriv)
Garis Kategori Rute Angkutan KOMERSIAL
t as Le
Subsidi Penuh
(0,0)
(Xpem,0)
(1,0)
Sektor Pemerintah
Gambar 6. Diagram konsep hubungan kategori dan pengelolaan angkutan penyeberangan perintis
69
Sebagai contoh, untuk segmen Letung – Tarempa yang merupakan bagian dari rute R-6 memiliki nilai kategori rute (n) sebesar 0,472 maka porsi keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan angkutan perintis (Xpem) adalah sebesar 0,528, sedangkan partisipasi sektor privat (Ypriv) sebesar 0,472. Jika porsi keterlibatan pemerintah (Xpem) bernilai satu, maka hal ini menunjukkan bahwa angkutan perintis tersebut seharusnya disubsidi penuh oleh
pemerintah. Sebaliknya, jika porsi keterlibatan sektor privat (Ypriv) yang bernilai satu, maka hal ini menunjukkan bahwa angkutan perintis tersebut sudah bersifat komersial penuh sehingga tidak perlu subsidi pemerintah. Dengan demikian, pembagian beban biaya yang timbul akibat penyelenggaraan angkutan penyeberangan perintis dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut ini :
Cpem = Xpem x TC dan Cpriv = Ypriv x TC Dimana: Cpem = proporsi biaya yang ditanggung oleh pemerintah Cpriv = proporsi biaya yang ditanggung oleh sektor privat TC = total biaya 4,000
BIAYA PER TAHUN (J Rp)
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
Pemerintah
1,000
500
Privat 2028
2027
2026
2025
2024
2023
2022
2021
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
0
TAHUN
Gambar 7. Contoh pembagian beban biaya operasional (contoh Trayek R-12)
Selanjutnya, porsi keterlibatan pemerintah dan sektor privat dapat diatur lebih lanjut menggunakan opsi pengelo70
laan angkutan yang akan dijelaskan Gambar 8:
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
Kriteria PENGELOLA
MURNI PEMERINTAH
JENIS BARANG
BARANG PUBLIK
SIFAT LAYANAN KOMERSIALISASI
Investasi
Biaya
Investasi Pembiayaan Modal Biaya Tetap Opr. : - M&R - Asuransi - Pengawakan - Overhead Biaya variabel Opr. : - BBM & M. Plm - Penumpang - Pelabuhan
Least
BOT DAN VARIANNYA
MURNI PRIVAT BARANG PRIVAT
Less
Moderate
More
Most Mekanisme Pasar
Subsidi Penuh Pem
Priv
Pem
Priv
Pem
Priv
Pem
Priv
Pem
Priv
100%
0%
50% 75%
25% 50%
40% 50%
50% 60%
20% 40%
60% 80%
0%
100%
Gambar 8. Opsi model pengelolaan angkutan penyeberangan perintis
KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Penggunaan Fuzzy-Logic akan lebih tepat dibandingkan dengan logika klasik pada kasus penggolongan angkutan laut. Logika ini telah terbukti kompatibel untuk menentukan kriteria yang bersifat mendua dan telah mampu mentolerir data yang jatuh pada daerah perbatasan akibat dari keterbatasan informasi. Analisis kondisi dengan menggunakan metode Fuzzy-Logic menunjukkan hasil bahwa sebagian besar rute angkutan penyeberangan perintis masuk dalam kategori Less Commercial (Kurang Komersial) kurang lebih 75% dari total rute yang ditinjau. Hasil analisis menunjukkan bahwa beberapa rute yang mempunyai nilai kriteria pengelompokkan lebih tinggi, memperoleh subsidi yang lebih besar dari pada rute yang mempunyai nilai kriteria pengelompokkan yang lebih rendah. Penggunaan metode Fuzzy-Logic pa-
da pengelompokkan rute angkutan penyeberangan perintis dapat menghasilkan distribusi beban yang lebih adil antara pemerintah dan sektor privat serta bagi pengguna jasa transportasi angkutan perintis.
DAFTAR RUJUKAN Dridi, C and Hewings, G.J.D., 2002. Toward a Quantitative Analysis of Industrial Cluster: Fuzzy Clusters vs Crisp Clusters. Filippone, A. Bruno, C and D’Agostino, A., 2001. Addressing the Interpretation and the Aggregation Problems in Totally Fuzzy and Relative Poverty Measures, Working Papers of the Institute for Social and Economic Research, penelitian 2001-22. Colchester: University of Essex. Jehan, S. 2000. Measurements of Human Development Seven Questions, Oxford.
Firmanto Hadi: Penerapan Logika Samar (Fuzzy Logic)
71
Manca, G. Demontis, A. 1999. Economic Forecast and Fuzzy Spatial Analysis : Integrated Tools for Assessing the Development Tendency of an Italian Region, European Regional Science Association Conference, Dublin, Ireland.
72
Kusumadewi, S. Hartati, S. Harjoko, A dan Wardoyo, R., 2006. Fuzzy MultiAttribute Decision Making (Fuzzy MADM) Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011