PERENCANAAN LANSKAP DESA KONSERVASI MELALUI PENDEKATAN BIOREGION
TATI SUPARTINI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
LEMBAR PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap Desa Konservasi Melalui Pendekatan Bioregion adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Tati Supartini A44061747
RINGKASAN TATI SUPARTINI. A44061747. Perencanaan Lanskap Desa Konservasi Melalui Pendekatan Bioregion. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu dari 5 (lima) taman nasional yang dideklarasi oleh Pemerintah Indonesia tahun 1980. Masyarakat desa sekitar kawasan tersebut memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam Taman Nasional yang berpotensi munculnya konflik kepentingan dan mengancam keberadaan TNGGP. Desa konservasi merupakan model desa yang dapat menjamin komitmen jangka panjang untuk mendukung konservasi kawasan hutan terutama di Taman Nasional (Harmita 2009). Model Desa Konservasi direncanakan melalui pendekatan bioregion bertujuan untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat untuk mata pencaharian dan potensi sumber daya alam di wilayah mereka, yang ditetapkan berdasarkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial (Miller 1996). Perencanaan lanskap dilakukan dengan menganalisis, mendeskripsikan, menzonasikan hubungan keterkaitan antara ketersediaan sumber daya alam dan pola kehidupan lokal, kemampuan desa tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya serta pengaruhnya terhadap TNGGP. Perencanaan lanskap tersebut akan menghasilkan tata ruang lanskap desa sekitar Taman Nasioal, sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya sebagai pelaku utama sektor pertanian dalam menjaga kecukupan pangan dan juga berperan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Tujuan studi ini adalah menyusun rencana lanskap desa konservasi melalui pendekatan bioregion di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sekitar Taman Nasional, melestarikan lanskap desa serta kawasan penyangga Taman Nasional. Salah satu desa konservasi yang akan direncanakan melalui pendekatan bioregion adalah Desa Watesjaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Tahapan perencanaan terdiri dari inventarisasi, analisis, kemudian dilakukan sintesis dan dilanjutkan dengan perencanaan lanskap desa konservasi melalui pendekatan bioregion. Pada tahap inventarisasi dimulai dari penyusunan peta pendahuluan (preliminary map), selanjutnya dilakukan survey lapang untuk mengkonfirmasi dan verifikasi hasil interpretasi. Dalam tahapan inventarisasi dilakukan penyusunan kondisi umum, sosial budaya dan aspek biofisik untuk mempermudah dalam proses analisis rencana lanskap desa konservasi melalui pendekatan bioregion. Tahap analisis spasial dimulai dengan analisis (1) Analisis koridor ekologi dengan membuat perlindungan setempat menggunakan kriteria sempadan sungai dan badan air berdasarkan Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, (2) Penentuan kawasan lindung berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Penetapan kawasan yang dilindungi ditentukan berdasarkan hasil perhitungan dengan cara pembobotan dan skoring tiga peta tematik (kelerengan berbobot 20%, kepekaan terhadap erosi berbobot 15%, dan intensitas hujan berbobot 10%) (3) Analisis landcover dan landuse sebagai dasar pertimbangan penentuan perencanaan. Kemudian analisis deskriptif data
2
biodiversity, sosial dan budaya (sejarah, demografi, pola kehidupan masyarakat). Pada tahap sintesis dilakukan integrasi hasil analisis penentuan kawasan lindung, koridor ekologi dan zonasi taman nasional, sehingga diperoleh Peta Konservasi Desa Watesjaya sebagai dasar perencanaan. Pada tahapan perencanaan ditetapkan konsep Desa Konservasi berdasarkan pendekatan pola ruang bioregion menurut Miller (1999) dan Brunckhorst (2001) yaitu core zone, buffer zone, cooperation zone, dan ecological corridor. Kemudian ditentukan arah pengembangan tiap ruang berdasarkan prinsip konservasi yaitu: perlindungan, pelestarian, pemanfaatan, restorasi, rehabilitasi dan revitalisasi. Berdasarkan studi ini dapat disusun Rencana Lanskap Desa Konservasi yang ditunjukan kedalam 4 (empat) ruang, yaitu: (1) Ruang Inti Desa Watesjaya seluas 361,70 ha (21,93%) dengan empat subruang yaitu Hutan Rimba, Hutan Lindung, Hutan Desa, Danau Lido (2) Ruang Penyangga Desa Watesjaya seluas 338,27 ha (20,51%) dengan lima subruang yaitu Hutan Rehabilitasi, Hutan Campuran, Greenbelt Danau Lido, Kampung Konservasi, dan Kampung Penyangga (3) Ruang Koridor penyangga dengan panjang sungai 18, 23 km (17,50 mil) dengan perlindungan greenbelt seluas 22,45%, (4) Ruang Kerjasama Pengembangan Budidaya Desa Watesjaya seluas 578,90 ha dengan penambahan areal 109,10 ha dengan subruang meliputi Lahan Pertanian Lahan Kering, Lahan Pertanian Lahan Basah, Pemukiman, dan Resort.
PERENCANAAN LANSKAP DESA KONSERVASI MELALUI PENDEKATAN BIOREGION
TATI SUPARTINI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
© Hak Cipta Milik Tati Supartini, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seruruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Perencanaan Lanskap Desa Konservasi Melalui Pendekatan Bioregion
Nama Mahasiswa: Tati Supartini NRP
: A44061747
Disetujui, Pembimbing
Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si. NIP. 19620214 198703 1 002
Diketahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya skripsi dengan judul Perencanaan Lanskap Desa Konservasi Melalui Pendekatan Bioregion dapat diselesaikan dengan baik. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB. Selain itu penulis terdorong oleh keinginan untuk memberikan kontribusi positif bagi desa-desa di kawasan konservasi untuk melestarikan dan mengurangi dampak negatif kawasan. Penulisan ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat desa kawasan konservasi untuk dapat mengetahui potensi sumberdaya dan dampak dari tindakan yang dapat merusak sumber daya sehingga dapat menumbuhkan kepedulian dan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat untuk melestarikan desa beserta kawasan konservasi yang ada didalamnya terutama Taman Nasional. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua, Ibu, Bapak, Teteh, Aa dan Adik atas segala doa serta dukungan moril dan materil kepada penulis. 2. Ir. Qodarian Pramukanto, Dip. Env. M, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas kritik, saran dan kesabaran membimbing penulis selama berlangsungnya
penelitian,
sehingga penulis
dapat
menyelesaikan
penelitiannya. 3. Vera Dian Damayanti, SP, MLA selaku pembimbing akademik yang telah memberikan dorongan, masukan dan nasehat kepada penulis selama penulisan skripsi serta memberikan arahan dan perhatian selama penulis menjadi mahasiswa di Departemen Arsitektur Lanskap. 4. Dr. Ir. Afra D. N Makalew, M.Sc dan Dr. Ir. Alinda F. M Zain, M.Si. sebagai penguji atas kritik, saran dan masukannya. 5. Tiaraers dan kosan Bu Dewi yang selalu memberikan motivasi, dorongan dan keceriaan penghilang jenuh saat skripsi.
ii
6. Anggota Lawalata, LATIN (Bang Saburo, Mas Arif, Mas Rudi), Telapak (ka Sandi, mba Rina, bang Ghonjes), ka Sita RMI, mas Yoyon FWI yang telah membantu mengumpulkan data dan menemani ke lapangan, Alm.mas Agung. 7. Yofri dan Jupil, yang bersedia mengantarkan penulis dan memberikan dukungan moril selama penelitian. Hariman yang selalu bersedia jadi teknisi komputer dan printer. Ipay yang bersedia menjadi konsultan menerjemahkan maksud dosen saat penulis kehilangan arah. Ombud atas nasehat dan dukungannya. 8. Yudhi Hariningwan dan Medel yang selalu sabar untuk selalu hadir menemaniku, memberikan dukungan moril dan selalu memotivasi. 9. Babeh Warkop, Toko Oleh-oleh Nusantara Neng Lukcy dan BCD, Gunung, Pantai, sebagai tempat pengalihan pikiran kekesalan, penghilang jenuh dan stres selama penelitian. 10. Teman-teman sebimbingan yaitu Dian Khaerunnisa, Balqis Nailufar, Cici Nurfatimah, dan Nurika. 11. Teman-teman yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis Lidya Trioktavia, Vina Pratiwi, Purwanti Lukmanniah, Wiwiek Dwi Serlan, Presti Ameliawati, Maria Agustina Kaka dan teman-teman seperjuangan Tenk-tonk family (ARL43). 12. Teman-teman Arsitektur Lanskap lainnya dari angkatan 41, 42, 44, dan 45. 13. Pihak-pihak yang membantu selama penelitian yang tidak bisa disebutkan penulis satu-persatu.
Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar penulis dapat melakukan hal yang lebih baik lagi. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Februari 2013 Penulis
iii
RIWAYAT HIDUP Tanggal 14 Oktober 1987 penulis dilahirkan di kota kecil Pandeglang, Banten dari pasangan suami istri Ucu Sulaha dan Mudrikah. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Di kota ini pula penulis menghabiskan masa kecil dan mengawali jenjang pendidikan. Pendidikan penulis diawali dari TK Nasional yang kemudian dilanjutkan ke SD XIX Pandeglang tahun 1994 yang kini berganti nama menjadi SDN 2 Pandeglang. Setelah lulus tahun 2000, penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Pandeglang. Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA di SMA Negeri 1 Pandeglang dan berhasil menyelesaikan masa pendidikan SMA pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis di terima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada masa Tingkat Persiapan Bersama. Pada Tahun 2007 penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakulatas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis merupakan anggota LAWALATAIPB. Tahun 2007 penulis pernah menjadi anggota tim ekpedisi Pelestarian Jalak Bali di Pulau Nusa Penida. Di tahun yang sama penulis pernah menjadi pemandu pengenalan ekologi hutan bersama LATIN kepada sekolah dasar berbasis Internasional Cikal. Penulis juga pernah menjadi ketua pelaksana TAPAK BADUY 2008 (kegiatan pengenalan budaya Baduy berupa perjalanan dan pameran budaya setelahnya bersama mahasiswa dan umum). Tim support pendakian Rinjani Mountain Bike Tour dalam rangka sumpah pemuda mewakili pemuda/pemudi Indonesia mengenalkan sepeda sebagai kendaraan bebas polusi yang dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan termasuk refreshing (pendakian).
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................. DAFTAR GAMBAR .............................................................................. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ............................................................................... 1.2 Tujuan .......................................................................................... 1.3 Manfaat ......................................................................................... 1.4 Kerangka pikir ............................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Lanskap ..................................................................... 2.2 Desa .............................................................................................. 2.3 Konservasi .................................................................................... 2.4 Desa Konservasi ............................................................................ 2.5 Bioregion ...................................................................................... III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................................... 3.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 3.3 Metode Penelitian .......................................................................... IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Penelitian ........................................................................... 4.2 Akses dan Aksesibilitas ................................................................. 4.3 Aspek Sosial dan Budaya ............................................................... V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 DATA DAN ANALISIS ............................................................... 5.1.1 Topografi dan Kemiringan ................................................. 5.1.2 Geologi dan Tanah ............................................................. 5.1.3 Iklim dan Curah Hujan ...................................................... 5.1.4 Hidrologi ........................................................................... 5.1.5 Analisis Perlindungan Sungai dan Badan Air ................... 5.1.6 Biodiversity ....................................................................... 5.1.7 Penutupan dan Penggunaan Lahan .................................... 5.1.8 Utilitas dan Fasilitas........................................................... 5.1.9 Analisis Kawasan Lindung................................................. 5.2 SINTESIS ..................................................................................... 5.2.1 Penentuan Kawasan Lindung Desa Watesjaya ................... 5.2.2 Penentuan Kawasan Konservasi Desa ................................
i iii iv
1 2 3 4 5 5 6 10 12 16 17 18 26 27 29 32 32 34 35 36 40 43 45 49 50 52 52 54
ii
5.3 PERENCANAAN LANSKAP ....................................................... 5.3.1 Konsep Perencanaan .......................................................... 5.3.2 Rencana Pengembangan Konsep ....................................... 5.3.3 Perencanaan Lanskap ......................................................... VI. PENUTUP 6.1 Simpulan ....................................................................................... 6.2 Saran ............................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. LAMPIRAN ...........................................................................................
57 57 58 60 69 69 70 72
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1. Nilai Ekonomi Total Kawasan Konservasi Darat dan Laut ...................... 2. Jenis, Interpretasi dan Sumber Data Kegiatan Perencanaan Lanskap ....... 3. Klasifikasi Kelerengan............................................................................ 4. Klasifikasi Jenis Tanah Menurut Kepekaannya terhadap Erosi ................ 5. Klasifikasi Intensitas Hujan Harian Rata-Rata ........................................ 6. Skoring Kategori Kawasan ..................................................................... 7. Zonasi Ruang Bioregion Kawasan Konservasi ........................................ 8. Komposisi Pendidikan Desa Watesjaya .................................................. 9. Luas Kelas Lereng Desa Watesjaya ........................................................ 10. Hasil Analisis Skoring Kawasan Lindung ............................................. 11. Hasil Penentuan Kawasan Lindung ....................................................... 12.Tabel Matrik Overlay Analisis Penetapan Kawasan Lindung, Koridor Ekologi dan Zona TNGGP ...................................................... 13. Pola Ruang Bioregion Konservasi Desa Watesjaya ............................... 14. Subruang, Kondisi dan Arah Pengembangan Ruang Inti Desa .............. 15. Subruang, Kondisi dan Arah Pengembangan Ruang Penyangga Desa ... 16. Subruang, Kondisi dan Arah Pengembangan Ruang Koridor Lanskap .. 17. Subruang, Kondisi dan Arah Pengembangan Ruang Pengembangan Desa .....................................................................................................
8 17 22 23 23 24 25 30 32 50 52 54 58 62 66 67 68
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman 1. Kerangka Pikir ............................................................................................ 4 2. Pola Ruang Pendekatan Bioregion............................................................... 13 3. Lingkaran Konsentris Model Biosphere Reserve (Kiri) dan Penerapan Model Dalam Praktek (kanan) .................................................................... 14 4. Peta Lokasi Desa Watesjaya ........................................................................ 16 5. Alur Penelitian ............................................................................................ 18 6. Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ................... 26 7. Peta Batas antara Desa Watesjaya dan Taman Nasional .............................. 28 8. Aksesibilitas Lokasi Penelitian .................................................................... 29 9. Peta Topografi Desa Watesjaya ................................................................... 33 10. Peta Jenis Tanah ........................................................................................ 34 11. Peta DAS Jawa Barat ................................................................................ 37 12. Peta Subdas Desa Watesjaya ..................................................................... 38 13. Aliran Sungai Cisadane dan Aliran Irigasi ............................................... 39 14. PLTMH di Aliran Sungai Cikaweni .......................................................... 39 15. Peta DAS Desa Watesjaya......................................................................... 41 16. Peta Perlindungan Koridor Sungai............................................................. 42 17. Rumpun Bambu dan Tegakan Pinus .......................................................... 44 18. Rumput Fatimah dan Sarang Babi Hutan ................................................... 45 19. Peta Tataguna Lahan ................................................................................. 46 20. Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ...................................... 48 21. Sawah Irigasi dan Sawah Tadah Hujan ...................................................... 49 22. Peta Analisis Kawasan Lindung ................................................................ 51 23. Peta Kawasan Lindung Desa Watesjaya .................................................... 53 24. Peta Kawasan Konservasi Desa Watesjaya ................................................ 56 25. Diagram Konsep Pendekatan Bioregion .................................................... 58 26. Pola Ruang Konservasi Desa Watesjaya .................................................... 59 27. Rencana Lanskap Desa Konservasi ........................................................... 61 28. Tampak Potongan A-A’ dan B-B’ ............................................................ 62 29. Tata Letak dan Strata Vegetasi Hutan Rimba ............................................ 63 30. Perbesaran Kampung Konservasi .............................................................. 65
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sekitar 22 juta hektar kawasan konservasi. Sebagian besar kawasan tersebut terancam rusak, karena beberapa faktor, seperti tuntutan konversi lahan, perambahan, kebakaran hutan, illegal logging, perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa langka, serta tuntutan kebutuhan hasil hutan karena tingginya laju pertumbuhan penduduk. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) pada umumnya adalah masyarakat desa hutan yang mayoritas sebagai petani, sehingga tingkat ketergantungan masyarakat akan lahanpun cukup tinggi. Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat desa hutan terhadap sumber daya alam Taman Nasional banyak mengakibatkan munculnya konflik kepentingan dan mengancam keberadaan kawasan konservasi. Banyak kebutuhan masyarakat desa hutan yang dipenuhi dari hutan lindung, seperti pangan, obat-obatan, bahan konstruksi rumah dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Masyarakat desa hutan menganggap hutan adalah sumber mata pencaharian. Beberapa kegiatan pencaharian yang bergantung pada hutan adalah mencari kayu bakar, buah-buahan, bahan bangunan dan jenis tumbuhan dan satwa yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-harinya. Desa hutan TNGGP merupakan desa yang perlu dikonservasi dengan Model Desa Konservasi (MDK). Desa konservasi merupakan model desa yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh akses untuk pemanfaatan kawasan konservasi, sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan terutama di Taman Nasional (Harmita 2009). Struktur lanskap pedesaan seperti hutan, lahan pertanian dan pekarangan merupakan ruang terbuka hijau sebagai sumber plasma nutfah, habitat satwa, pembentuk iklim mikro, penghasil oksigen dan fungsi lainnya. Sementara itu, sumber air (badan air) yang berada di daerah pedesaan terutama di daerah hulu merupakan bagian penting dari sistem hidrologi suatu kawasan secara keseluruhan. Pengembangan model desa konservasi dapat dibangun berdasarkan batas sistem tata air seperti Daerah Aliran Sungai (DAS).
2
Perencanaan bioregional merupakan proses pengorganisasian yang memungkinkan orang untuk bekerja bersama-sama, memperoleh informasi, berpikir dengan hati-hati tentang masalah-masalah potensi dan wilayah mereka, tujuan dan sasaran, menetapkan kegiatan, mengimplementasi proyek, mengambil tindakan yang disepakati oleh masyarakat, mengevaluasi kemajuan, dan memperbaiki pendekatan masyarakat (Miller 1996). Bioregional bertujuan untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan warga masyarakat untuk mata pencaharian dan potensi sumber daya alam di wilayah mereka, yang ditetapkan berdasarkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial (Miller 1996). Salah satu model desa konservasi yang akan direncanakan melalui Pendekatan Bioregion adalah Desa Watesjaya kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Dengan menganalisis, mendeskripsikan, menzonasikan, serta menghubungkan keterkaitan antara ketersediaan sumber daya alam dan pola kehidupan lokal, serta kemampuan
desa
tersebut
dalam
memenuhi
kebutuhan
hidupnya
dan
pengaruhnya terhadap TNGGP, perencanaan lanskap desa konservasi melalui pendekatan bioregion ini disusun.
1.2 Tujuan Tujuan studi ini adalah untuk menyusun Rencana Lanskap Desa Konservasi Melalui Pendekatan Bioregion di Taman Nasional Gunung GedePangrango (TNGGP).
1.3 Manfaat Studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya: 1. Memberikan masukan dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah setempat dalam merencanakan dan mengembangkan potensi sekitar Desa dan bahan referensi bagi pemanfaatan dan pengembangan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) 2. Mencegah dampak negatif dari pemanfaatan sumber daya lahan yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP)
3
1.4 Kerangka Pikir Konsep Desa Konservasi berawal dari sebuah lanskap desa yang berada di sekitar kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang masyarakatnya memiliki ketergantungan dengan lahan yang berada di kawasan konservasi tersebut. Hal ini dikhawatirkan keseimbangan ekosistem akan terganggu. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rencana lanskap desa konservasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sekitar Taman Nasional, melestarikan Lanskap Desa, dan menjaga kawasan penyangga Taman Nasional. Tujuan tersebut diwujudkan dengan menganalisis desa penelitian berdasarkan ruang lingkup desa konservasi. Penataan ruang desa pertama-tama dengan menganalisis biofisik untuk mengetahui kawasan lindung secara fisik dengan penentuan zonasi dan skoring SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung, yang diterbitkan tanggal 24 Nopember 1980 sehingga diketahui kawasan lindung, penyangga dan budidaya. Selain itu dilakukan pula analisis sempadan sungai dan perairan sesuai dengan Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Hasil Penentuan kawasan lindung dan sempadan diintegrasikan dengan zonasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sehingga diperoleh Peta Kawasan Konservasi Desa Watesjaya sebagai dasar perencanaan. Perencanaan melalui pendekatan Bioregion dengan membentuk pola bioregion Miller (1999) untuk kawasan yang dilindungi yaitu: Core Zones (zona inti), Buffer Zones (zona penyangga) yang terhubung oleh Ecological Corridor (koridor ekologi) dan Cooperation Zones (zona kerjasama pengembangan desa). Perencanaan desa konservasi dengan sistem zonasi tersebut dapat membentuk jejaring ekologi hewan, tumbuhan dan manusia membentuk ruang hidup (bioregion) yang saling berdampingan, dan meminimalisir dampak negatif dari pemanfaatan sumber daya lahan yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP). Hasil akhir berupa Rencana Lanskap Desa Konservasi dapat disusun dengan proses yang telah dijelaskan.
4
Proses Perencanaan tersaji dalam kerangka dan alur pikir studi pada diagram di bawah ini (Gambar 1):
Gambar 1. Kerangka Pikir
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Lanskap Menurut Simonds (1983), perencanaan adalah suatu alat yang sistematik yang digunakan untuk menentukan saat awal yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan tersebut. Tujuan utama perencanaan adalah untuk menentukan tempat yang sesuai dengan daya dukung dan keadaan umum masyarakat sekitar. Merencana menurut Nurisjah (2007) adalah suatu proses pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep ke arah suatu bentuk yang nyata. Proses perencanaan yang baik haruslah merupakan suatu proses yang dinamis, saling terkait serta saling menunjang. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan sesuatu yaitu: 1. Memperlajari hubungan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar. 2. Memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan yang akan direncanakan. 3. Menjadikan objek (wisata) yang menarik 4. Merencanakan kawasan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu kawasan yang dapat menampilkan masa lalunya. Menurut Forman (1986), perencanaan suatu lanskap adalah saling keterkaitan antara bagaimana struktur dan fungsi lingkungan terbentuk dan bagaimana perubahan menyebabkan pembentukan suatu lanskap. Menurut Benson (2000) perencanaan haruslah berorientasikan pada masa depan. Untuk itu diperlukan suatu pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan maksunya suatu ideologi dan politik yang meliputi ekologi, ekonomi, dan sosial dimana ketiganya saling mempengaruhi. Isu-isu mengenai pembangunan berkelanjutan pun tengah hangat dibicarakan.
2.2 Desa Desa merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki tatanan hukum dan asal-usul yang jelas tidak dapat diatur terlalu jauh oleh pemerintah
6
kabupaten dan pusat, tetapi cukup dengan pengakuan keberadaanya yang berazazkan demokrasi, partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan menghargai keberagamaan. Desa terdiri dari sejumlah kampung. Kampung adalah kesatuan lingkungan tempat tinggal, biasanya dihuni oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari kesatuan keluarga. Menurut Peraturan menteri dalam negeri nomor 51 tahun 2007 pasal 1 yang dimaksud dengan kawasan pedesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Rencana pembangunan kawasan perdesaan berbasis masyarakat adalah hasil perencanaan pembangunan yang dilakukan bukan berdasarkan unit administratif desa, melainkan atas dasar kesamaan fungsi kawasan perdesaan. Pola tata desa adalah tata penggunaan lahan atau ruang desa untuk keperluan kegiatan ekonomi dan budidaya masyarakat, sarana dan prasarana pemerintahan desa, dan pusat layanan sosial. Komunitas kawasan perdesaan adalah masyarakat yang berdomisili di kawasan yang sama memiliki karakteristik tertentu sesuai ciri geografis kawasan perdesaan seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, pesisir pantai, pertambangan dan industri kecil, terpencil, suku terasing, dan sejenisnya. Ciri ekologi adalah ciri sumber daya alam yang dimilki desa seperti desa pesisir pantai, desa persawahan, desa pinggir dan dalam hutan, desa sekitar tambang dan industri, desa kawasan pariwisata, dan lain-lain. Ciri khas masyarakat pedesaan dan pegunungan yang terkait dengan hutan adalah keberadaan kampong sebagai ruang fisik. Ruang fisik tersebut menjadi tempat masyarakat beraktivitas mulai dari memenuhi kebutuhan hidup mereka hingga beraktualisasi (Harmita, 2009).
2.3 Konservasi Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save). Secara etimologi memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita puny a (keep/save what you have ) secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt yang
7
merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan
sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana). Konservasi menurut IUCN (1968) adalah manajemen udara, tanah, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survei, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan. Jadi, konservasi
merupakan pengelolaan alam oleh manusia guna
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Ada enam elemen penting dalam upaya-upaya konservasi alam, yaitu menejemen dan pengetahuan lokal; hak atas sumber daya alam; insitusi dan organisasi lokal; teknologi dan sumber daya yang tersedia yang tersedia di tingkat lokal; partisipasi lokal pada tahap perencanaan, menejemen, dan evaluasi; proyek yang bersifat luwes dan beroerientasi pada proses menurut Pretty dan Pimbert M (1995) dalam Wiratno (2004). Kegiatan konservasi selalu berhubungan dengan suatu kawasan, kawasan itu sendiri mempunyai pengertian yakni wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya (UU No. 24 Tahun 1992). Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Bentuk sumber daya buatan ini dapat dilihat pada kawasan budidaya, kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, maupun kawasan cagar alam. Fungsi kawasan-kawasan tersebut dapat sebagai pelindung kelestarian lingkungan hidup, dibudidayakan, permukiman, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan manusia dan kesinambungan pembangunan. Konservasi sumber daya buatan dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan yang mencakup preservasi,
8
restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Adapun kriteria konservasi sumber daya buatan dapat ditinjau dari estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan sejarah, memperkuat kawasan didekatnya, dan keistimewaan dari sumber daya buatan tersebut. Tabel 1. Nilai Ekonomi Total Kawasan Konservasi Darat dan Laut secara Keseluruhan Nilai Ekonomi total Nilai guna konsumtif Guna langsung
Guna tak langsung
Nilai guna non-konsumtif Nilai pilihan
Nilai warisan
Nilai keberadaan
Produk yang
Manfaat-manfaat
Nilai guna
Nilai guna langsung
Nilai
dikonsumsi
fungsional
langsung dan
dan tak langsung
keberlanjutan
secara
tak langsung di
dari sumber daya
akan sumber
langsung
masa yang
lingkungan
daya tertentu
akan datang Makanan,
Pengendalian banjir,
Keanekaragam
Konservasi habitat
Konservasi
biomassa,
perlindungan badai, siklus
an hayati,
upaya preventif
habitat dan
rekreasi
nutrisi, perikanan,
sumber daya
terhadap perubahan
spesies,
dukungan terhadap global,
genetik
yang tidak dapat
integrasi nilai
diperbaharui
sosial dan
pendidikan&penelitian, studi arkeologi, kesehatan
budaya
manusia
Sumber: Wiratno, 2004
Berdasarkan Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1990 dan Strategi Konservasi Dunia kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya meliputi kegiatan: a. Perlindungan proses-proses ekologis yang penting atau pokok dalam sistemsistem penyangga kehidupan. b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Strategi Konservasi Alam Dunia meliputi: 1. Konservasi sumber daya hayati untuk pembangunan berkesinambungan. 2. Perlindungan Proses Ekologi yang terutama dan Sistem Penyangga Kehidupan. 3. Pengawetan Keanekaragaman Plasma nutfah. 4. Pemanfaatan Jenis dan Ekosistem secara lestari. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mendifinisikan Hutan konservasi
sebagai
kawasan hutan yaitu wilayah tertentu yang
9
ditunjuk
dan
atau
ditetapkan
oleh
Pemerintah
untuk
dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Salah satu kawasan tersebut adalah kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan pengetahuan, pendidikan,
penelitian, ilmu
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Umumnya zonasi dapat berupa (a) zona inti yaitu bagian wilayah taman nasional yang mutlak atau harus dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya kegiatan manusia, (b) zona pemanfaatan yaitu zona wilayah yang digunakan untuk kepentingan wisata, (c) zona rimba yaitu zona yang berada diantara areal inti dan areal pemanfaatan yang memungkinkan adanya
kegiatan
manusia
yang menunjang budaya dan, (d) zona lainnya yaitu zona yang ditetapkan sesuai kepentingan-kepentingan tertentu seperti zona pemanfaatan tradisional, zona pemulihan, zona rehabilitasi, zona pemanfaatan khusus dan lain -lain. Menurut MacKinnon (1986), upaya untuk diterimanya suatu kawasan konservasi itu diantaranya sebagi berikut: 1. Menjelaskan mengapa pentingnya menetapkan kawasan yang dilindungi 2. Menunjukkan mengapa suatu kawasan ini dipilih. 3. Menunjukan keuntungan yang diperoleh masyarakat dan perekonomian setempat. 4. Mengidentifikasi sumber pengganti tanah, hutan dan lain-lain, yang dapat digarap (bila mungkin) atau dalam kasus tertentu, menjelaskan pemberian hak atas ganti rugi. 5. Mengembangkan rasa kebanggaan akan kekayaan alam setempat. 6. Menegaskan ketentuan yang dibuat pemerintah dalam upaya membuat agar wilayah konservasi berhasil. 7. Menjelaskan bahwa pelanggaran hukum bagi kepentingan pribadi yang merupakan pelanggaran terhadap masyarakat juga dan tidak semata-mata pelanggaran terhadap pemerintah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dibatasi oleh batas alam (topografi) di mana aliran permukaan yang jatuh akan mengalir ke sungai-
10
sungai kecil menuju ke sungai besar akhirnya mencapai danau atau laut. Pengelolaan DAS berupaya untuk menselaraskan dikotomi kepentingan ekonomi dan ekologi. Kepentingan ekonomi jangka pendek akan terancam bila kepentingan ekologi diabaikan. Sebaliknya gerakan perbaikan ekologi yang melibatkan masyarakat tidak akan terpelihara secara terus menerus tanpa memberi dampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS diperlukan upaya pokok dengan pengelolaan lahan, air, dan vegetasi.
2.4 Desa Konservasi Model Desa konservasi (MDK) dijadikan contoh bagi desa lain di sekitar kawasan konservasi baik yang di darat maupun yang di perairan dalam upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dengan memperhatikan aspek konservasi, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat (Upe, 2009). Model Desa konservasi adalah pendekatan model desa yang memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi dan memberi peluang kepada masyarakat untuk mendapat akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan. Kampung konservasi itu sendiri merupakan kampung yang di dalamnya bisa melakukan aktifitas perlindungan secara mandiri, menjaga ekosistem yang baik dan secara ekonomi bisa bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Kampung-kampung di desa konservasi difungsikan sebagai unit sosial, kelembagaan, intraksi sosial dengan alam (Harmita, 2009). Pembangunan dan pengembangan MDK mengutamakan 3 pilar konservasi yaitu perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan secara lestari. Pengembangan desa konservasi dimaksud dalam hal ini adalah terfokus pada aspek sosial ekonomi dan teknis yang menekankan kepada konsep pemberdayaan masyarakat. Segala upaya yang bertujuan untuk terus meningkatkan keberdayaan masyarakat di sekitar hutan konservasi dan memperbaiki kesejahteraannya juga meningkatkan partisipasi mereka dalam segala kegiatan yang mendukung kelestarian konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan (Harmita, 2009).
11
Pada prinsipnya penataan wilayah pedesaan tidak merubah kondisi yang sudah ada akan tetapi hanya menata atau memaksimalkan pemanfaatan ruang dengan berbagai kegiatan yang sesuai dengan kondisi ruang atau wilayah pedesaan, misalkan menentukan wilayah pengembangan hutan rakyat, agroforestry, penempatan lokalisaasi budidaya tanaman hias dan obat-obatan, penangkaran satwa, dan lain-lain. Kondisi umum lingkungan pedesaan dengan pemanfaatan ruang-ruang berikut pemukiman penduduk, lahan usaha tani basah (misal sawah dan rawa), lahan usaha tani kering (misal kebun, pekarangan, lahan garapan musiman, lahan garapan tahunan), lahan milik pemerintah desa (tanah bengkok), lahan bebas milik Negara (bukan kawasan hutan), lahan yang diperuntukan peternakan dan perikanan (Upe, 2009). Kriteria desa yang dapat menjadi lokasi MDK (Upe, 2009) yaitu: 1. Seluruh desa yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi 2. Desa yang secara ekologis akan berpengaruh dengan kawasan konservasi 3. Desa
yang
masyarakatnya
mempunyai
pendapatan
rendah
dan
ketergantungan hidupnya terhadap kawasan konservasi tinggi 4. Desa yang dapat difungsikan sebagai perlindungan atau dapat melindungi kawasan konservasi dari berbagai gangguan. 5. Desa yang dapat dikembangkan menjadi tujuan wisata alam 6. Desa yang menjadi potensi sumber daya alam (SDA) yang dapat dikembangkan 7. Bentuk kegiatan semaksimal mungkin berhubungan dengan program kehutanan. Rambu-rambu dalam pengembangan desa konservasi: 1. Tidak mengubah fungsi kawasan; 2. Tidak memberikan hak kepemilikan terhadap lahan; 3. Diberikan hak pemanfaatan kawasan; 4. Terintegrasi dengan program pembangunan daerah setempat; 5. Adanya komitmen para pihak terkait; 6. Masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan kawasan; 7. Masyarakat mendapatkan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung.
12
2.5 Bioregion Bioregion menunjukkan sebuah ruang geografis yang mengandung satu kesatuan ekosistem. Hal ini ditandai dengan bentuk muka bumi, tutupan vegetasi, budaya manusia, dan sejarah, seperti yang diidentifikasi oleh masyarakat lokal, pemerintah dan peneliti (Miller, 1996). Perencanaan bioregional merupakan proses organisasi yang memungkinkan orang untuk bekerja bersama-sama, memperoleh informasi, berpikir dengan hati-hati tentang masalah-masalah potensi dan wilayah mereka, tujuan dan sasaran, menentukan kegiatan, melaksanakan proyek, mengambil tindakan yang disepakati oleh masyarakat, mengevaluasi kemajuan, dan memperbaiki pendekatan mereka (Miller, 1996). Tujuan bioregional untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan warga masyarakat untuk mata pencaharian dan potensi sumber daya alam di wilayah mereka, yang ditetapkan berdasarkan oleh kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial (Aberley 1994 dalam Miller, 1996). Hal ini merujuk kepada daerah asal (homeland) sebagai ruang geografis yang meliputi sumber air mereka dan fitur kunci ekologi lainnya, produksi makanan, hutan rimba, desa dan infrastruktur. Menurut Miller (1996) terdapat 14 karakteristik mendefinisikan pekerjaan manajemen Bioregional dapat diidentifikasi: 1. Besar, wilayah yang layak secara biotik 2. Kepemimpinan dan manajemen 3. Sebuah struktur inti, koridor dan matriks 4. Ekonomi Sustainablility 5. Keterlibatan penuh dari pemangku kepentingan 6. Penerimaan Sosial 7. informasi yang komprehensif 8. Penelitian dan pemantauan 9. Penggunaan pengetahuan 10. Adaptif manajemen 11. Restorasi 12. Koperasi pengembangan keterampilan
13
13. Kelembagaan integrasi 14. Kerjasama internasional
2.5.1 Pola Ruang Bioregion Kawasan Konservasi Pola ruang menggunakan pendekatan bioregional terdiri dari daerah inti dan penyangga yang satu dengan daerah inti dan penyangga lain dihubungkan oleh koridor-koridor yang dapat digunakan oleh satwa liar untuk melakukan migrasi dan aktivitas-aktivitas lain dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim dan tantangan lingkungan lainnya (Gambar 2). Daerah koridor ini bisa dimanfaatkan oleh swasta dan masyarakat dan memungkinkan sebagai lahan yang digunakan untuk aktifitas ekonomi Koridor menghubungkan lanskap tercakup dalam wilayah biologi (bioregion) dimana terdapat pemukiman masyarakat, pemilik lahan maupun pengguna sumber daya alam yang bertempat tinggal dan bekerja (Wiratno, 2004). Koridor adalah Belt Biosfer internasional yang menggabungkan beberapa yang berbeda, masing-masing dengan iklim sendiri, vegetasi, geologi, hidrologi, kultur sumber daya. Manajemen Koridor Sungai akan dikelola untuk konservasi sumber daya sungai dan sekitarnya. Sumber daya alam seperti habitat riparian, langsung mengalir bebas, siklus erosi alam, kualitas air sehingga harus dipelihara. (Jones et al, 1998).
Gambar 2. Pola Ruang Pendekatan Bioregion Menurut Miller (1996) salah satu karakteristik manajemen Bioregional diantaranya struktur inti, koridor dan matriks. Struktur inti, koridor dan matriks ini termasuk hutan rimba (wildland) yang mewakili karakteristik keanekaragaman hayati. Kedua inti terdapat dalam matriks penggunaan lahan campuran dan pola
14
kepemilikan (Miller, 1996). Tahun 1984 Rencana Aksi cagar biosfer fungsi-fungsi ini menjadi umum untuk implementasi praktis dan perencanaan sebagai inti, buffer dan zona transisi (UNESCO dalam Brunckhorst 2001). Idealnya situs tersebut, yang mungkin sudah ditetapkan sebagai lindung, dihubungkan oleh koridor alam atau restorasi tutupan belantara untuk mengizinkan migrasi dan adaptasi terhadap perubahan global. Sub Region yang menggunakan zonasi cagar biosfer biasanya kawasan yang dilindungi salah satu diantaranya Kawasan Konservasi Taman Nasional. Satu decade semenjak kongres di Bali, Kongres Taman Nasional IV di Caracas, Venezuela pada tahun 1992 menegaskan agar pendekatan pengelolaan kawasan konservasi dilakukan dalam skala Bioregional.
(Sumber: Brunckhorst, 2001)
Gambar 3. Lingkaran Konsentris Model Biosphere reserve (kiri) dan Penerapan Model dalam Praktek (kanan)
Perencanaan bioregional terdiri atas kawasan kehidupan liar yang di dalamnya terdapat komunitas-komunitas tumbuhan dan satwa liar, dengan syaratsyarat kondisi habitat, situs-situs tertentu serta ekosistem yang di butuhkan untuk bertahan hidup (Wiratno, 2004).
15
Menurut UNESCO (1995) dan elemen cagar biosfer terdiri dari: 1. Satu atau lebih zona inti: situs aman dilindungi untuk konservasi keanekaragaman hayati, pemantauan ekosistem minimal terganggu, dan melakukan penelitian non-destruktif dan berdampak rendah menggunakan (seperti ekowisata dan pendidikan). Menurut Brunckhorst (2001) Zona inti adalah wilayah konservasi prioritas (yaitu, Taman Nasional atau kategori IUCN I atau III) keanekaragaman hayati regional mewakili dan sebagai lokasi pemantauan atau acuan bagi pengelolaan adaptif. 2. Zona Buffer (zona penyangga) didefinisikan dengan baik: yang biasanya mengelilingi atau bersebelahan dengan zona inti, dan digunakan untuk kegiatan koperasi kompatibel dengan praktek ekologi suara, termasuk pendidikan lingkungan, rekreasi, dan penelitian terapan dan dasar. Salah satu ujung wilayah transisi berkelanjutan, memperluas lebih jauh ke wilayah kerja sama, di mana pengaruh-mengancam keanekaragaman hayati pada inti dan pemandangan sekitarnya diminimalkan lihat Gambar 3 (tiga) (Batisse dalam Brunckhorst, 2001). 3. Sebuah wilayah fleksibel transisi: atau bidang kerjasama, yang mungkin berisi berbagai kegiatan pertanian, pemukiman dan pemanfaatan lain dan di mana masyarakat lokal, lembaga manajemen, ilmuwan, organisasi nonpemerintah, kelompok budaya, kepentingan ekonomi dan pemangku kepentingan lainnya bekerjasama untuk mengelola dan mengembangkan potensi sumber daya daerah itu. Menurut Brunckhorst (2001) Zona Kerjasama merupakan cagar biosfer menyediakan kepemilikan masyarakat meningkat dan tanggung jawab kawasan lindung maupun tanah pribadi, restorasi lingkungan, pemantauan dan proyek dengan mitra publik dan swasta.
III. METODOLOGI
3.1.Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Watesjaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar 4). Waktu persiapan, pengumpulan, dan pengolahan data dilakukan dari bulan Juli-Desember 2011 dan dilanjutkan dengan penyusunan skripsi yang dilakukan sampai November 2012.
Gambar 4. Peta Lokasi Desa Watesjaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
17 3.2 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam proses inventarisasi adalah meteran, alat tulis, alat gambar, GPS dan pengolahan analisis spasial menggunakan Geographic Information System (GIS) berupa hardware (PC komputer) dan software pengolahan data spasial (ArcView 3.2) dan Adobe Photoshop. Bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini, selain dilakukan pengkajian data lapangan juga dibutuhkan data dan peta pendukung sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis, Interpretasi dan Sumber Data Kegiatan Perencanaan Lanskap No I.
II.
Aspek
Jenis data Spasial Tekstual
Interpretasi
Sumber
Biofisik 1.Topografi
V
-
-elevasi dan -kemiringan lahan
2.Tanah
V
V
-Jenis tanah -Tipe iklim -Curah hujan -Temperatur -kelembapan -Batas Daerah Aliran Sungai (DAS) -Badan air -Drainase
Peta RBI skala 1:25.000 (Bakosurtanal), Puslitanak, survey BMKG, Stasiun Curah Hujan Pasirjaya
3.Iklim
-
V
4.Hidrologi
V
V
5.Penggunaan Lahan (land use)
V
V
Batas Administrasi Pola Pemanfaatan ruang
Peta RBI skala 1:25.000 (Bakosurtanal),
6.Penutupan Lahan (landcover)
V
V
Tutupan vegetasi
Google Earth
7. Biodiversity
-
V
Jenis vegetasi dan satwa Keanekaragaman jenis vegetasi
Survey,Balai TNGGP
1. Sejarah
-
V
Sejarah Desa
survey, balai Desa Watesjaya
2. Demografi
-
V
Daya dukung Desa
survey, balai Desa Watesjaya
3. Pola Kehidupan Masyarakat
-
V
Pola pemukiman, pola bertani, adat istiadat
survey, balai Desa Watesjaya
Balai Pengelolaan DAS, Survey
Sosial-Budaya
18 3. 3 Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui 5 (lima) tahapan yaitu persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan (Gambar 5).
Gambar 5. Alur Penelitian
19 3.3.1 Inventarisasi Inventarisasi merupakan tahapan pengumpulan data yang mencakup kondisi umum tapak, biofisik dan sosial. Data diperoleh dengan studi pustaka (data sekunder) dan dengan survey lapang untuk melihat secara langsung keadaan biofisik tapak saat ini serta dilakukan pula wawancara terhadap pihakpihak yang berhubungan dengan pengembangan tapak. Inventarisasi awal dilakukan untuk menyusun kondisi umum. Penyusunan
kondisi
umum
dimaksudkan agar mempermudah dalam proses penyajian data biofisik serta analisis karena dalam kondisi umum tersebut, memperlihatkan kondisi Desa Watesjaya secara garis besar.
Tabel 2 memperlihatkan jenis jenis data,
interpretasi dan sumber data yang digunakan dalam kegiatan perencanaan lanskap. Berikut data yang diinventarisasi yang dikumpulkan.
3.3.1.1 Kondisi Umum Inventarisasi awal dilakukan untuk menyusun kondisi umum. Penyusunan kondisi umum dimaksudkan agar mempermudah dalam proses penyajian data biofisik serta analisis karena dalam kondisi umum tersebut, memperlihatkan kondisi Desa Watesjaya secara garis besar seperti letak Desa Watesjaya, aksesibilitas dan data dosial ekonomi dan budaya. Data sosial, ekonomi, budaya bersumber dari data sekunder dan data primer. Perolehan data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur dan semi terstruktur dilakukan untuk menggali informasi yang secara validitas lebih terjamin karena diperoleh secara langsung dari sumber informasi (informan). wawancara akan dilakukan terhadap beberapa tokoh masyarakat, para ahli, dan perwakilan dari masyarakat baik yang terkait langsung secara administrasi maupun secara budaya. Data sosial, ekonomi, dan budaya deskriptif yang dikumpulkan adalah data sejarah, demografi, pola kehidupan masyarakat, struktur organisasi masyarakat, dan kegiatan pertanian. Data demografi dibutuhkan untuk mengetahui jumlah penduduk, umur dan jenis kelamin, pekerjaan, penyebaran penduduk, pertumbuhan dan perkembangan penduduk. Data budaya dilakukan berdasarkan etnik, adat-istiadat, dan kebiasaan di daerah tersebut dalam mengonservasi tapak/desa dimana mereka tinggal. Selanjutnya sebagian data
20 sosial, ekonomi budaya ini dapat dikelompokan nilai-nilai intrinsik dan dapat dijadikan bahan analisis dalam perencanaan desa konservasi berbasis bioregion adalah nilai intrinsik sejarah, budaya, pertanian, rekreasi. 3.3.1.2 Aspek Biofisik Penyusunan data biofisik pada lokasi penelitian dilakukan terhadap data yang berkaitan dengan kondisi tapak serta data untuk menyusun batas-batas fisik tapak.
Data yang dikumpulkan adalah peta topografi, peta batas administrasi
desa, geologi dan tanah, iklim, hidrologi, pemanfaatan ruang, penutupan lahan, infrastruktur dan utilitas dan biodiversity. a. Peta Batas Administrasi Peta batas administrasi desa yang telah ditetapkan pemerintah sebagai batasan yang akan direncanakan sebagai desa konservasi. Peta deliniasi desa ini berfungsi untuk mengetahui akses masuk desa dan luasan wilayah desa yang akan drencanakan b. Peta Topografi Tahap inventarisasi dimulai dari penyusunan peta pendahuluan (preliminary map) berupa peta topografi sebagai peta dasar. Peta dasar memuat informasi garis kontur lahan yang pada tapak yag dapat dibedakan kelas kemiringan lahannya. c. Tanah Data tanah dan geologi tanah digunakan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi geologi dan tanah pada lokasi penelitian. Data ini berguna untuk merencanakan pemanfaatan lahan pertanian yang sesuai berdasarkan jenis tanah dan jenis batuan. Berdasarkan jenis tanah dapat diindikasikan kepekaan erosi. d. Iklim Data yang dikumpulkan antara lain tipe iklim, temperatur udara bulanan rata-rata, curah hujan tahunan rata-rata, serta kelembaban udara rata-rata. Data tipe iklim diperlukan untuk mengetahui tingkat kenyamanan dan kesuaian penilaian lahan untuk membuat peta tematik berdasarkan curah data harian.
21 e. Hidrologi Data hidrologi yang digunakan berupa sebagai
daerah
tangkapan
air
yang
data
Hulu
perlu
DAS
Cisadane
di konservasi untuk
kelangsungan daerah tengah dan hilir, badan air, drainase. Batas DAS ditentukan melalui peta topografi. Peta DAS akan digunakan dalam penyusunan peta bioregion. Data kondisi sungai dan pemanfaatan sungai berguna dalam merencanakan pemanfaatan sungai serta upaya perbaikan sungai yang perlu dilakukan agar sungai tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dengan tetap mempertahankan fungsi ekologisnya. Peta DAS akan digunakan dalam penyusunan peta bioregion DAS desa Watesjaya sebagai koridor ekologi. f. Penutupan Lahan/ Penggunaan Lahan Data penutupan lahan diperoleh melalui interpretasi visual terhadap citra satelit yang di peroleh dari Google Earth. Citra satelit dalam penelitian ini berupa mosaik citra daerah penelitian yang utuh sehingga dapat dilakukan klasifikasi penggunaan lahannya. Peta
penggunaan
lahan
digunakan
dalam
interpretasi
penutupan/penggunaan lahan untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang, seperti lokasi pemukiman, pertanian, hutan, dan lain-lain. g. Biodiversity Kondisi
keanekaragaman
hayati
(biodiversity)
digunakan
untuk
mengetahui habitat asli vegetasi dan satwa agar ruang yang terencana tidak saling mengganggu sehingga manusia dan biota lain dapat hidup saling berdampingan. Vegetasi dan satwa diperoleh dari data Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan di cek ke lapangan.
3.3.2 Analisis Tahap
analisis
merupakan tahapan pengolahan data yang
telah
diinventarisasi. Mengingat tujuan bioregional untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan warga masyarakat untuk mata pencaharian dan potensi sumber daya alam di wilayah mereka, yang ditetapkan berdasarkan oleh kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial (Aberley dalam Miller, 1996). Maka kriteria yang dibangun
22 berdasarkan batasan spasial desa yang mewakili ekologi, sosial ekonomi yang tercermin pada kondisi fisik desa. Unit lanskap yang dapat mewakili kriteria tersebut yaitu topografi , jenis tanah, curah hujan (fisik), hidrologi, landcover (ekologi), land use (sosial ekonomi). Berikut aspek analisis spsial peta tematik dan analisis deskriptif: a. Peta Kemiringan Lahan Peta topografi yang memuat informasi garis kontur pada tapak dilakukan pengolahan menggunakan arcview untuk mendapatkan peta kemiringan lahan. Peta dasar (Topografi) di deliniasi kelas-kelas kemiringan lahan pada tapak untuk menentukan kepekaan erosi (Tabel.3). Kriteria penentuan
kawasan
yang
dilindungi
pemerintah
(SK
Mentan
No.837/Kpts/Um/II/1980). Tabel 3. Klasifikasi Kelerangan Kelas Kelerengan (%) Klasifikasi I 0–8 Datar II 8 - 15 Landai III 15 - 25 Agak Curam IV 25 - 40 Curam V > 40 Sangat Curam Sumber: SK Mentan No.837/Kpts/Um/II/1980.
Skor 20 40 60 80 100
b. Peta Jenis Tanah Peta jenis tanah berguna untuk mengetahui kerentanan tanah terhadap erosi. Pembuatan peta ini dibuat klasifikasi jenis tanah menurut kepekaan tanah terhadap erosi. Berikut klasifikasi jenis tanah menurut tingkat kepekaan erosinya. Tabel 4. Klasifikasi Jenis Tanah Menurut Kepekaannya terhadap Erosi Kelas
Jenis tanah
Klasifikasi
skor
I
Aluvial,Glei, Planosol,Hidromorf kelabu, Laterit air tanah
Tidak peka
15
Kurang peka Agak peka Peka Sangat peka
30 45 60 75
II Latosol III Brown forest soil, non calcic brown, IV Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, V Regosol, Litosol, Organosol, Rensina. Sumber: SK Mentan No.837/Kpts/Um/II/1980.
23 c. Peta Curah Hujan Data curah hujan yang didapat diklasifikasikan kedalam 5 (lima) kelas sebagaimaa disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Klasifikasi Intensitas Hujan Harian Rata-Rata Kelas Intensitas Hujan I 0 – 13,6 II 13,6 – 20,7 III 20,7 – 27,7 IV 27,7 – 34,8 V > 34,8 Sumber: SK Mentan No.837/Kpts/Um/II/1980.
Klasifikasi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
skor 10 20 30 40 50
d. Analisis Perlindungan Setempat Sungai dan Badan Air Pertama-tama dilakukan penentuan batas subdas untuk mengetahui daerah tangkapan air. Peta Hidrologi yang telah didapat dianalisis untuk mengetahui ruang hidup (bioregion) sebagai koridor ekologi. Analisis koridor ekologi dilakukan dengan menggunakan kriteria sempadan sungai dan badan air (danau) yang terdapat di Desa Watesjaya berdasarkan Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990 Tentang Penetapan Kawasan Lindung untuk Perlindungan Setempat. Kriteria sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman. Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50–100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. e. Analisis Tutupan lahan (landcover) dan Penggunaan Lahan (land use) Informasi penutupan lahan digunakan untuk analisis nilai kesesuaian lahan berdasarkan fungsi konservasi. Hal ini sebagai pertimbangan untuk menentukan pengelolaan pelestarian. f. Analisis Biodiversity Kondisi Keanekaragaman hayati (biodiversity) dapat dianalisis keberlanjutan lahan secara ekologis. Makin tinggi tingkat keragaman lahan makin tinggi nilai ekologis.
24 g. Analisis Kawasan Lindung/Konservasi Menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung, penetapan kawasan yang dilindungi ditentukan berdasarkan hasil perhitungan dengan cara pembobotan (1-5) menurut keadaan lereng berbobot 20% (Tabel 3), kepekaan terhadap erosi berbobot 15% (Tabel 4), dan intensitas hujan berbobot 10% (Tabel 5). Setelah itu ketiga variabel tersebut dijumlahkan untuk mengetahui kawasan yang dilindungi (skor > 175), kawasan penyangga (skor antata 125-175) dan kawasan budidaya (skor < 125 ) (Tabel 6). Tabel 6. Skoring Kategori Kawasan Lindung, Penyangga dan Budidaya. No.
Kategori Kawasan
Total Skoring
1.
Kawasan Lindung
2.
Kawasan Penyangga
125-175
3.
Kawasan Budidaya
<125
Penentuan Kategori Range nilai berdasarkan penjumlahan bobot tiga variabel (kelas lereng+jenis tanah+intensitas hujan) nilai terendah (45) dan tertinggi (225) dibagi 3.
>175
Sumber: SK Mentan No.837/Kpts/Um/II/1980.
3.3.3 Sintesis Sintesis dilakukan untuk mendapatkan Peta Kawasan Konservasi Desa Watesjaya. Kawasan Konservasi Desa Watesjaya diperoleh dengan melakukan integrasi antara zonasi kawasan konservasi (Taman Nasional) dan kawasan lindung. Kawasan lindung
merupakan hasil analisis kawasan lindung untuk
konservasi sumber daya alam hayati yang mengacu pada SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan hasil analisis kawasan lindung setempat untuk koservasi air (sungai dan danau) yang mengacu pada Kepres No.32 Tahun 1990, hasilnya berupa sempadan pada sungai danau. Sempadan sungai berfungsi sebagai koridor ekologi yang memanjang tempat berpindahnya/migrasi satwa yang menghubungkan inti konservasi satu dengan lainnya berupa greenbelt sungai, sedangkan sempadan danau dikelompokan menjadi area penyangga desa berupa greenbelt danau untuk megurangi dampak negatif ke danau. 3.3.4 Perencanaan 3.3.4.1 Konsep Rencana Konsep
dasar
rencana
Desa
Konservasi
adalah
Pemanfaatan
25 Sumberdaya Lanskap secara efisien dan berkelanjutan baik secara fisik, ekologi maupun ekonomi. Pengembangan konsep dasar Desa Koservasi dilakuka n melalui pendekatan kategori bioregion. Pengembangan terbagi kedalam 4 (empat) zonasi berdasarkan hasil modifikasi dari
klasifikasi Brunckhorst (2001) dan
Miller (1996). Konsep keempat zonasi sebagaimana disajikan Gambar 2 (dua) dan Gambar 3 (tiga). Klasifikasi keempat zona tersebut disajikan pada Tabel 7. Konsep zonasi tersebut menjadi dasar arahan pengembangan rencana lanskap. Tabel 7. Zonasi Ruang Bioregion Kawasan Konservasi Kategori
Kriteria
Core/Central Area*&**
- Wilayah prioritas konservasi, Biodiversity tinggi, Tingkat pelestarian maksimum, Tapak menghasilkan jasa lingkungan
Buffer Zones*&**
- Mengelilingi inti/berbatasan dengan kawasan konservasi, - Mengurangi dampak negatif ke pusat
Ecological Corridors*
Jalur dari tanah atau air untuk menghubungkan daerah inti dan zona transisi dengan bioregions berdekatan sehingga mereka dapat digunakan sebagai rute untuk migrasi dan untuk menyebarkan tumbuhan dan hewan selama pertumbuhan mereka dan evolusi. Contoh DAS
Cooperation Zones**
Wilayah fleksibel atau bidang kerjasama, yang mungkin berisi berbagai kegiatan pertanian, pemukiman dan pemanfaatan lain dan di mana masyarakat lokal, lembaga manajemen, ilmuwan, organisasi non-pemerintah, kelompok budaya, kepentingan ekonomi dan pemangku kepentingan lainnya bekerja sama untuk mengelola dan mengembangkan potensi sumber daya daerah
Keterangan: * Miller (1999) dan ** Brunckhorst (2001)
3.3.4.2 Perencanaan Lanskap Tahapan perencanaan dilakukan dengan mereklasifikasi masing-masing zona menjadi ruang yang dipertimbangkan berdasarkan penggunaan lahan eksisting. Hasil rencana lanskap Desa Konservasi diarahkan berdasarkan pengembangan tiap ruang berdasarkan prinsip-prisip perlindungan, pelestarian, pemanfaatan, restorasi, rehabilitasi dan revitalisasi. Hasil akhir berupa gambar rencana lanskap yang dilengkapi rencana program pengembangan lanskap Desa Konservasi.
IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Lokasi Penelitian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu dari 5 (lima) taman nasional yang dideklarasi oleh Pemerintah Indonesia tahun 1980. Seperti halnya kawasan konservasi lainnya di Indonesia, pengelolaan kawasan
TNGGP
merupakan
tanggungjawab
dari
Direktorat
Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Secara administratif, kawasan TNGGP berada di 3 kabupaten (Bogor, Cianjur dan Sukabumi) Propinsi Jawa Barat. SK. Menhut Nomor 174 dan 175 Tahun 2003, Tentang Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan Taman Nasional Gunung GedePangrango di BKPH Cicurug seluas 9.490,55 ha, BKPH Gede Barat seluas 3.807.53 ha, dan BKPH Palabuhanratu seluas 7.103,36 ha masuk rencana Perluasan Taman Nasional. TNGGP dikelola dengan sistem zonasi seperti Gambar 6.
Gambar 6. Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
27 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan ruang hidup (bioregion) yang membentuk 4 DAS yang ada di Jawa Barat yaitu DAS Citarum, Cisadane, Cimandiri, dan Ciliwung. Lokasi penelitian dilaksanakan di DAS Cisadane. Terdapat dua desa penyangga yang dilalui sungai Besar Cisadane yaitu Desa Pasir Buncir dan Desa Watesjaya. Desa Watesjaya merupakan Desa Peyangga yang terkena perluasan Taman Nasional. Kampung yang semula berada di luar Taman Nasional sekarang berada di dalam kawasan Taman Nasional di zona penyangga (zona tradisional) dan lahan pertanian berada di zona rehabilitasi dan pemanfaatan (Gambar 7). Berdasarkan t ipologi pemukiman menurut Adiwibowo (2008) Desa Watesjaya dapat dikategorikan kedalam pemukiman bertipe C (Lampiran 2). Kategori Pemukiman tipe C pada Desa Watesjaya tersebut berdasarkan keberadaan 2 (dua) dusun/ kampung (Kp. Lengkong dan Kp. Ciwaluh) yang terletak di dalam Taman Nasional. Sebagian lahan pertanian desa sebagian berada di Taman nasional dan sebagian Pemukiman berada di kawasan Taman Nasional. o
o
Desa Watesjaya terletak antara 106 49’ 48’’ – 106 55’ 48’’ Bujur Timur o
o
dan 6 45’36’’ – 6 47’24’’ Lintang Selatan. Secara administratif desa ini termasuk Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Desa ini memiliki luas sekitar 1421,43 ha. Berikut batas-batas administrasi desa: Sebelah barat : Jalan Raya Bogor-Sukabumi dan Desa Cigombong Sebelah utara : Desa Pasir Buncir, Kab.Bogor Sebelah Timur : Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Sebelah selatan : Desa Benda, Kec. Cicurug, Kabupaten Sukabumi
4.2 Aksesbilitas Desa Watesjaya dilalui Jalan Raya Sukabumi-Bogor, sehingga dapat diakses melalui dua kota yaitu Kota Bogor dan Kota Sukabumi. Jarak antara Desa Watesjaya dari kota Bogor kurang lebih 23 km dengan waktu tempuh ±1 jam dengan kendaraan pribadi ataupun kendaraaan umum berupa angkot/minibus. Jika ditempuh dari Sukabumi ± 2-3 jam dengan jarak 38 km dengan waktu tempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi ataupun minibus (Gambar 8).
28
29 Kondisi jalan raya kabupaten berupa aspal cukup baik. Sedangkan jalan penghubung dari jalan kabupaten menuju kantor desa/kelurahan berupa jalan beton. Jalan lokal yang menghubungkan antar kampung berupa jalan setapak tanah dengan kondisi kurang memadai.
Gambar 8. Aksesibilitas Lokasi Penelitian
4.3
Aspek Sosial dan budaya
4.3.1 Sejarah Desa Watesjaya adalah desa di kecamatan Cigombong, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Wates Jaya berasal dari dua kata yaitu Wates yang artinya batas sedangkan jaya berarti makmur, sejahtera. Secara etimologi Desa Watesjaya berarti Desa perbatasan yang makmur (kaya akan sumber daya). Desa di kabupaten Bogor paling selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi. Di desa ini terkenal dengan hasil perkebunannya: Di desa ini juga terdapat pusat konservasi alam hutan Bodogol (bagian dari Gede - Pangrango). 4.3.2 Demografi (potensi Sumber daya manusia, pendidikan dan mata pencaharian) Saat ini jumlah penduduk di Desa Watesjaya berjumlah 7.292 jiwa yang terbagi terdiri dari laki-laki 3.758 jiwa (51,5%) dan perempuan 3534 jiwa (48,5%). Dari data ini terlihat bahwa jumlah penduduk laki-lakilebih banyak dari perempuan. Jumlah kepala keluarga (KK) di desa Watesjaya berjumlah 1.796 KK. Termasuk kelompok dessa kurang padat yaitu dengan kepadatan penduduk 7 jiwa/ha (Laporan bulanan Desa Watesjaya, 2010). Masyarakat Desa Watesjaya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan dari petani tersebut sebagian besar adalah sebagai buruh tani 61%% dan penggarap 32%, 7% adalah pemilik. Berdasarkan hasil survey terhadap penggarap lahan pertanian diperoleh informasi bahwa lahan kering yang
30 diusahakan masyarakat untuk budidaya pertanian adalah milik PT PAP, PT Panggung dan CV Kertajaya dan masyarakat hanya bekerja sebagai penggarap lahan. Sementara untuk lahan sawah dan lahan pekarangan adalah milik pribadi. Selain petani mereka bekerja sebagai PNS, pedagang, buruh bangunan, ojek, berdagang dan karyawan. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam penerimaan inovasi dan perubahan perilaku yang berpengaruh pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan, akan semakin cepat pula menyerap dan melaksanakan inovasi yang diberikan baik melalui kegiatan penyuluhan maupun melalui pengamatan yang dilakukan masyarakat sendiri. Tingkat pendidikan yang tinggi merupakan potensi sumberdaya yang potensial dalam mengelola sumberdaya alam yang ada agar dimanfaatkan sebaik-baiknya. Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa jumlah terbesar penduduk Desa Watesjaya tamat SMP. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan di Desa Watesjaya masih rendah. Tabel 8. Komposisi Pendidikan Desa Watesjaya No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkat Pendidikan Belum sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Tamat Sarjana Tidak Tamat Sekolah Tidak sekolah Jumlah
Jumlah (jiwa) 630 730 767 592 141 70 651 107 3688
Persentase (%) 17 20 21 16 4 2 17 3 100
Salah satu masalah di bidang pendidikan adalah relatif tingginya angka putus sekolah setelah SD. Hal ini disebabkan oleh tidak meratanya
sarana
pendidikan setelah SD. SMP dan SMA hanya terfokus di pusat desa yang berada di Bojong Kiharib. Beberapa masyarakat kampung harus menempuh kurang lebih 10 Km untuk dapat bersekolah di SMA. Profil keluarga petani sebagian besar (74%) usia produktif yaitu dapat membantu mengerjakan
lahan
garapan
dan
memelihara
kegiatan lain yang membantu meningkatkan pendapatan keluarga.
ternak
serta
31 4.3.3 Pola kehidupan masyarakat Kebersamaan masyarakat Desa Watesjaya menunjukan sifat sosial dan kerabatan yang tinggi. Hal ini dapat terlihat dari kebiasaan berkumpul dan dudukduduk di bale dan cara menyelesaikan masalah dengan kekeluargaan sambil menikmati pemandangan pada halaman pekarangan rumah mereka. Kebersamaan ini dilakukan untuk saling berinteraksi maupun untuk melepas lelah setelah bertani. Masyarakat biasanya saling gotong royong tanpa harus dimintai bantuan. Tradisi masyarakat masih sangat dijaga, serta masih terdapat sesepuh yang disegani dan dihormati. Pola dan arsitektur rumah pada umumnya semi modern. Namun, di beberapa tempat masih tradisional, kompornya pun masih menggunakan hawu (tungku). Adat istiadat Desa Watesjya yang melekat dengan kehidupan sosial warga masyarakat yang bercirikan Islam terus terjaga dan dipertahankan, nampak dari aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Kesenian dari Lengkong, Desa Watesjaya berupa kesenian bela diri khas bogor bernama jojonggolan. Menurut salah satu warga para pemuda enggan melestarikan karena dianggap kuno. Sebagian besar masyarakat bertani, namun belum memperhatikan kelas kemampuan lahan dan belum menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang baik dalam usaha budidaya pertanian. Pembuatan teras masih sederhana sebagian belum diteras pada lahan yang bertopografi lebih besar dari 45%. Kelompok tani dibentuk pada tahun 2007 dari inisiatif masyarakat sendiri. Kelompok Tani merupakan suatu wadah yang digunakan untuk membangkitkan aksi bersama antara masyarakat dengan berbagai pihak. Tujuan akhir dari pembentukan kelompok tani ini adalah memfasilitasi para pihak dalam pengelolaan DAS di kawasan hulu dan pelestarian lingkungan. Desa Wates Jaya memiliki Kelompok Tani Barokatunnabaat. Di Kampung Ciwaluh petani dikoordinir oleh koperasi yang dipimpin oleh Bapak Empud. Koperasi ini hasil binaan Telapak (LSM) yang berhasil mengekspor kumis kucing yang mereka tumpang sarikan di hutan atau pun pinggiran sungai.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Inventarisasi umum wilayah penelitian berupa gambaran umum lokasi, aksesibilitas dan sosial ekonomi budaya telah dipaparkan di bab sebelumnya. Perencanaan lanskap desa dapat dilakukan apabila ada data kondisi biofisik Desa Watesjaya berupa topografi dan kemiringan, tanah dan geologi, iklim, hidrologi, penutupan lahan dan penggunaan lahan, keanekaragaman (biodiversity), utilitas dan fasilitas. Data-data tersebut dianalisis untuk mengetahui potensi, masalah dan kemungkinan pengembangan lain dari Desa Watesjaya. Berikut hasil inventarisasi dan analisis data penelitian:
5.1.1
Topografi dan Kemiringan Topografi Desa Watesjaya secara umum termasuk perbukitan dan
pegunungan dengan ketinggian 480 sampai 878 meter di atas permukaan laut Desa Watesjaya mempunyai titik tertinggi dikaki Gunung Gede yang merupakan perbukitan yang mencapai 878 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan peta topografi dapat dibuat 5 (lima) kelas lereng (Tabel 9 dan Gambar 9 merupakan peta dan kelas kemiringan lahan). Penentuan kelas-kelas kemiringan lereng dibagi menjadi 5 yaitu 0-8 %, 8-15 %, 15-25 %, 25-40% dan >40% menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980. Tabel 9. Luas Kelas Lereng Desa Watesjaya Kelas Lereng
Klasifikasi
Luas (ha)
0-8 % 8-15% 15-25 % 25-40 % >40% Total
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat curam
121,61 477,96 142,08 157,10 522,68 1421,43 ha
Persentasi Luas (%) 8,56% 33,63% 10,00% 11,05% 36,77% 100,00%
Skor 20 40 60 80 100
33
34
Ditinjau dari kepekaan terhadap erosi menurut SK Menteri Pertanian, presentasi luas tertinggi adalah kelas lereng sangat curam dengan kemiringan >40% sebesar 522,68 ha (36,77%) dari total area dengan skor nilai 100. Area ini sebagian berada di kawasan penyangga Taman Nasional. Sebagian lahan pertanian merupakan sawah tadah hujan. Lahan dengan kelerengan 8-15% (skor 40) sebagian besar milik swasta (PT PAP) yang telah mengalami perubahan lanskap untuk kebutuhan wisata, resort dan golf. Pemukiman di area ini terletak dipinggir lereng.Kelas lereng 0-8% merupakan kelas kemiringan dengan persentasi luasan terendah 8,56% dari total area dengan skor 20 yang berada di utara dekat dengan jalan raya (arteri). Area ini merupakan pusat pemerintahan desa. Sisa lahan dengan kemiringan agak curam (skor 60) sebesar 10% dengan luas 142,48 ha dan kelerengan curam (skor 80) sebesar 11,05% dengan luas 157,10 ha. Berdasarkan data tersebut sebagian besar Desa Watesjaya sangat potensial terjadi kerusakan lahan akibat laju erosi yang sangat tinggi terutama jika digunakan untuk pertanian intensif. 5.1.2 Geologi dan Tanah Jenis tanah di lokasi penelitian berdasarkan data Puslitanah Bogor terbagai atas jenis Distrudept dan Hidraquent (Gambar 10). Terlihat pada Gambar 10 sekitar 53,68% atau 763,02 ha area berwarna coklat merupakan tanah dengan jenis tanah Distrudept. Menurut sistem penamaan USDA jenis tanah tersebut termasuk ordo Inceptisol jika disetarakan dengan penamaan sistem DAS setara dengan tanah Alluvial (Hardjowigeno, 2007). Menurut klasifikasi jenis tanah SK menteri pertanian jenis Alluvial tergolong kedalam tidak peka terhadap erosi dengan nilai 15. Tanah jenis ini agak lapuk iklim panas dengan nilai jenuh tanah bawah basa yang rendah. Jenis tanah Hidraquent yang berwarna coklat 46,32% atau 658,41 ha. Menurut sistem penamaan USDA jenis tanah tersebut termasuk ordo Entisol jika disetarakan dengan penamaan sistem Dudal setara dengan tanah Regosol (Hardjowigeno, 2007). Menurut klasifikasi jenis tanah SK menteri pertanian jenis Regosol tergolong kedalam sangat peka terhadap erosi dengan nilai 75.
35
Gambar 10. Peta Jenis Tanah Desa Watesjaya Stuktur geologi daerah kajian berdasarkan peta geologi lembar Bogor (Effendi, 1986) termasuk batuan gunung api. Daerah disekitar outlet, termasuk batuan gunungapi tua (Qvt) yang mengandung tuff berbatuapung. Luas daerah yang termasuk Qvt. Daerah di sebelah selatan terdapat batuan gunung api gunung pangrango dengan endapan lava dan lahar yang lebih tua (Qvpy), mengandung basal andesit dengan ologoklas-andesin, labradorit, olovin, piroksen dan horenblenda. Formasi batuan ini umumnya memiliki tingkat fermeabilitas yang cukup tinggi sehingga kawasan tersebut berfungsi sebagai daerah resapan air yang baik. Sebagian besar daerah kajian ini termasuk batuan gunung api gunung pangrango dengan endapan lahar yang lebih muda (Qvpo) yang tersusun atas andesit. Daeran tangkapan air anak sungai Cipeucang termasuk dalam batuan gunung api gunung pangrango dengan endapan lahar yang lebih muda (Qvpo).
5.1.3 Iklim dan Curah hujan Kondisi iklim di Desa Watesjaya dianalisis dengan menggunakan data iklim yang diperoleh dari stasiun Pasir Jaya yang terletak didekat lokasi (berjarak sekitar 3 km dari lokasi penelitian) dan data BMG untuk curah hujan, temperatur
36
dan kelembaban. Distribusi hujan bulanan cukup merata, dengan bulan basah (bulan dengan jumlah hujan ≥ 200 mm) terjadi lebih dari 9 bulan yaitu dari bulan Juli sampai Mei dan bulan kering (bulan dengan curah hujan < 200 mm) hanya satu bulan, yaitu bulan Juni. Rata-rata curah hujan 5 tahun 2006-2010 adalah 4739.5 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 137,2 hari dalam setahun. Rincian data curah hujan 2006-2010 terlampir pada Lampiran 1. Sehingga dapat diperoleh hujan harian rata-rata 34,97mm/hari. Berdasarkan kriteria acuan SK Mentan Tabel 5 termasuk sangat tinggi dengan skor 50. Walaupun dengan kondisi curah
hujan demikian, maka berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, iklim
termasuk tipe B1 dan tidak menjadi faktor pembatas untuk pengembangan pertanian. Klasifikasi Oldeman merupakan sistem klasifikasi iklim yang dihubungkan dengan pertanian menggunakan unsur iklim hujan.Ia membuat dan menggolongkan tipe-tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering secara berturut-turut. Suhu udara rata-rata berkisar antara 21,8 – 25,4 oC. Kelembaban udara relatif bulanan rata-rata tersebar jatuh pada bulan Januari yaitu ± 88% dan terkecil pada bulan September yaitu ± 75% (data cuaca 2 tahun 2009-2010). 5.1.4
Hidrologi Desa Watesjaya terbagi menjadi 2 tubuh air yaitu Aliran Sungai Cisadane
dan Danau Lido. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah penerima air hujan yang dibatasi oleh punggung gunung atau bukit dimana semua curah hujan yang jatuh diatasnya akan mengalir di sungai utama dan akhirnya bermuara ke laut. Berdasarkan suatu sistem hidrologi DAS di Jawa Barat (Gambar 11), Desa Watesjaya termasuk dalam DAS Cisadane. Desa Watesjaya berada di sub DAS hulu Cisadane yang dilalui oleh aliran sungai Cisadane dan 8 anak sungai sebagai daerah tangkapan air. Daerah tangkapan air tersebut diantaranya Ciencred, Ciketug, Cisadane Besar, Cipeucang, Cikaweni, Ciawitali, Cikalewing kaler dan Cinagara (Gambar 12).
37
Gambar 11. Peta DAS Jawa Barat
Aliran air Sungai Cisadane mengalir dari Timur ke Barat Laut Tapak. Kualitas air dari Danau Lido memiliki nilai pH 6,5-7,5 artinya masih berada dalam kisaran baku menurut PP No.82 Tahun 2001. Perairan dengan nilai pH tersebut memungkinkan bagi pertumbuhan fitoplankton. Fitoplankton sangat diperlukan ikan dan organisme perairan. Dengan banyaknya fitoplankton banyak semkin tinggi pula keanekaragaman perairan danau lido. Air yang berasal dari kolam renang langsung dialirkan ke danau. Diperlukan penanganan sistem sanitasi yang baik agar limbah tidak langsung ke danau. Sumber air bagi Desa Watesjaya berasal dari sungai, sumur pompa, sumur gali, mata air. Aliran air Sungai Cisadane sebagian besar dipergunakan aliran irigasi pertanian (Gambar 13). Selain itu dipergunakan untuk minum dan kebutuhan rumah tangga seperti mandi, cuci, kaskus (MCK), kegiatan pertanian dan juga pembangkit listrik. Sumber air bersih yang berasal dari reservoir air yang menampung air (sungai dan mata air) di kawasan perencanaan, didistribusikan ke rumah-rumah penduduk melalui selang.
38
39
Gambar 13. Aliran Sungai Besar Cisadane (Kiri), Aliran Irigasi Pertanian (Kanan)
Kondisi air yang melimpah sangat potensial khususnya dalam pertanian dan budidaya ikan yang menjadi ciri khas dari Desa Watesjaya. Masyarakat sangat tergantung akan sumber air tersebut, terutama sungai yang merupakan sumber utama dalam irigasi pertanian, perkebunan, dan empang. Selain itu sungai juga dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang digunakan untuk kepentingan pertanian (Gambar 14 ).
Gambar 14 . Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di Aliran Sungai Cikaweni Kp. Ciwaluh, Desa Watesjaya
40
5.1.5 Analisis Perlindungan Sungai dan Badan Air Proses biologi seperti migrasi dan perpindahan satwa membutuhkan koridor. Koridor ini membantu menyeimbangkan ekosistem dan menjadi konektor daerah inti konservasi satu dengan lainnya yang sangat penting bagi kelangsungan hidup banyak spesies. Koridor ekologi secara alamiah terbentuk di alam berupa lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS). Koridor yang mengalir di Desa Watesjaya adalah koridor aliran sungai Cisadane bagian hulu yang juga dilalui oleh aliran beberapa anak sungai. Aliran DAS Watesjaya perlu dijaga dan dilestarikan karena kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah tengah dan hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan perpindahan sendimen serta material yang terlarut dalam sistem aliran airnya. DAS dapat pula dikatakan ruang hidup (bioregion) yang memiliki kesatuan ekosistem yang apabila terganggu akan mempengaruhi bagian lainnya. Letak Desa Watesjaya bagian hulu sangat berpengaruh terhadap desa-desa di bawahnya berpotensi merusak tengah dan hilir Cisadane apabila tidak dijaga dengan baik karena desa ini merupakan bagian dari satu kesatuan Bioregion DAS Cisadane (Gambar 15). Hasil analisis DAS Desa Watesjaya terdapat 8 Daerah Tangkapan Air (Gambar 16). Konservasi air untuk koridor ekologi dilakukan dengan menyangga aliran air dan mata air yang terdapat di Desa Watesjaya sesuai dengan Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990 Tentang Penetapan Kawasan Lindung untuk Perlindungan Setempat. Kriteria sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman. Kriteria kawasan sekitar danau adalah daratan sepanjang tepian danau lebarnya antara 50–100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. (Gambar 16). Aliran sungai utama sepanjang 11 Km yang diteruskan subdas 1 km menghubungkan Taman Nasional dan area lindung Desa Watesjayadi luar Taman Nasional.Namun secara administrasi hanya 6 Km yang termasuk Desa Watesjaya sungai sepanjang 6 km masuk kedalam dua desa. Daerah tangkapan air seluas 194,55 ha menjadi daerah kompromi antar desa untuk membuat wilayah management air bersama. Sekitar 84,23 ha di area kompromi sebaiknya digunakan untuk koridor hijau menyangga aliran sungai dan 109, 10 ha.
41
42
43
Keseluruhan koridor hijau sepanjang aliran sungai membutuhkan luasan sekitar 354,72 ha sekitar 21,67 % dari toatal luasan desa. Kondisi air yang melimpah sangat potensial untuk pertanian dan pembudidayaan. Masyarakat sangat tergantung akan sumber air tersebut terutama untuk minum, keperluan kebutuhan rumah tangga (MCK), kegiatan pertanian dan pembangkit listrik. Penampungan air didistribusikan secara merata ke rumahrumah dan area budidaya pertanian untuk irigasi. Aliran air sungai besar dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Cek dilapangan terdapat satu PLTMH yang sudah berjalan untuk kebutuhan produksi pertanian. Perlunya memaksimalkan PLTMH untuk keperluan fasilitas umum dan pemakain warga sekitar.
5.1.6
Biodiversity (Vegetasi dan Satwa) Biodiversity atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam
bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma
nutfah
yang
terkandung
didalarnnya
(Mackinnon,
1993).
Keanekaragaman hayati berhubungan dengan keanekaragaman variasi ekosistem dan
macam-macam tipe serta
perubahan hewan, tumbuh-tumbuhan dan
mikroorganisme yang hidup di dunia (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1992). Keanekaragaman TNGGP yang berada di Desa Watesjaya cukup tinggi dengan beragamnya strata tanaman yang dapat kita temukan. Berdasarkan peta zona vegetasi dan penyebaran flora TNGGP, hutan Taman Nasional yang berada di Desa Watesjaya terutama area rimba dan pemanfaatan termasuk ke dalam zona sub–montana dengan didominasi Rasamala (Altingia excelsa). Selain itu ditemukan Saninten (Castanopsis argenta), kayu Afrika (Maesopsis amini) dan Kiseer (Antidesma tetandrum) sebagai lapisan tajuk paling pertama. Sedangkan di area rehabilitasi terdapat Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis dammara) dan Puspa (Schima wallichii). Di pinggir sungainya terdapat banyak rumpun bambu (Gambar 17).
44
Gambar 17. Rumpun Bambu di sepanjang aliran sungai pinggir sungai (kiri) dan tegakan pohon pinus di sekitar area rehabilitasi (kanan) Jenis tajuk kedua berupa perdu dan semak menurut studi literatur Balai TNGGP diantaranya Ardisia fulginosa, Dichera febrifuga, Randus laizrox, Pinanga sp, dan Lapotea stimulans. Lapis tajuk paling bawah biasanya didominasi tumbuhan bawah, memanjat, epifit, paku-pakuan, dan lumut. Tumbuhan yang ditemui dilapangan diantaranya Rumput Fatimah menurut penduduk sekitar tanaman ini dapat mempercepat proses penyembuhan wanita pasca melahirkan, Poh-Pohan, Anggrek, Kaliandra digunakan untuk pengobatan luka dalam, Rane fungsinya sama seperti daun Fatimah, Takokak (Solanum torvum) dipergunakan untuk obat batuk, pandan memanjat (Freycinetia javanica) dan Strobilanthus cernua. Di area ini terdapat berbagai jenis satwa menurut data yaitumacan tutul (Panthera pardus), anjing hutan (Cuon alpinus), babi hutan (Sus sp.),owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung (Trachyphitecus auratus), kera (Macaca fascicularis) dan babi (Sus domestika) dan beberapa jenis burung alap-alap (Accipter soloensis), elang jawa (Spizetus bartelsi), kutilang (Pycnonotus aurigaster), cabai jawa, raja udang dan cekakak sungai. Ketika survey lapangan ditemukan sarang babi hutan dan rumput Fatimah (Gambar 18).
45
Gambar18. Rumput Fatimah (kiri) dan sarang Babi Hutan (kanan) Tipe vegetasi diluar taman nasional termasuk kedalam zona vegetasi hutan hujan dataran rendah (Lowland Tropical Forest). Penduduk memanfaatkan untuk tanaman budidaya terutama komoditas pertanian yang dapat dikomersilkan untuk keperluan pangan dan obat diantaranya kopi, kumis kucing, kapolaga, padi, jagung, talas, singkong, mentimun, dan tanaman buah-buahan lain.
5.1.7 Penutupan Lahan (Landcover) dan Penggunaan Lahan (Landuse) Penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1994). Penutupan lahan terbagi menjadi lahan terbangun dan terbangun. Penutupan lahan terbangun terdapat penggunaan lahan berupa permukiman dan gedung, dan kawasan tidak terbangun terdapat penggunaan lahan berupa sungai, danau, hutan, pertanian (perkebunan, tegalan, sawah, semak/belukar), dan non-pertanian (tanah kosong/rumput). Peta penggunaan lahan Desa Watesjaya terlihat pada Gambar 19. 5.1.7.1 Landuse Lahan Terbangun Lahan yang terbangun 4,76% dari luasan desa yaitu sekitar 67,69 ha terlihat pada gambar berwarna merah. Kawasan tersebut berupa permukiman dan gedung. Gedung berada di sebelah barat tapak sekitar badan air (Danau Lido) berupa resort yang dimiliki swasta.
46
47
Pemukiman di utara tapak merupakan pusat pelayanan informasi pemerintahan berupa kantor desa dan pusat fasilitas pendidikan terdapat TK, Sekolah Dasar hingga sekolah menengah atas (Kampung Bojongkiharib). Pemukiman di selatan pemukiman yang tersingkir akibat adanya lahan yang dimiliki swasta yaiutu Kampung Penjagaan, sedangkan pemukiman bagian utara sebelah timur tapak mengikuti aliran sungai/dipengaruhi sungai seperti kampung Lengkong dan Kampung Ciwaluh. Penggunaan lahan pemukiman umumnya merupakan pemukiman desa dengan pola yang tidak teratur dan luas areal diperkeras (jalan aspal, atap rumah, pavement) yang tidak terlalu dominan. Pemukiman sebagian besar tersebar dilahan-lahan dengan kemiringan landai sampai agak curam.
5.1.7.2 Landuse Lahan Tidak Terbangun Lahan tidak terbangun 95,24% atau sekitar 1353,74 ha dari luasan area/desa. Area perencanaan lahan tidak terbangun terbagi atas tubuh air, lahan pertanian (kebun/perkebunan, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan/ladang) dan non-pertanian (rumput/tanah kosong, belukar/semak, hutan lindung) (Peta RBI skala 1:25.000, 1999). Desa ini dialiri dua tubuh air yaitu danau lido dan sungai Cisadane. Danau lido dimanfaatkan untuk kepentingan rekreasi yang dikuasai oleh swasta. Sedangkan sungai Cisadane digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari dan subsungai termanfaatkan untuk pembangkit listrik. Hutan yang berada di desa berupa hutan lindung yang berada di kawasan Taman Nasional (Gambar 20). Hutan ini melindungi habitat vegetasi dan satwa didalamnya. Selain itu sebagai pencegah erosi sebagian besar berupa hutan pinus. Masyarakat sebagian memanfaatkan hutan ini untuk menambah nilai ekonomi mereka dengan menanm kumis kucing berkualitas ekport tanpa harus menebang pohon. Kumis kucing ditanam dengan tumpang sari yang berfungsi untuk menahan laju erosi yang tinggi.
48
Gambar 20. Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Penggunaan lahan untuk keperluan pertanian berupa kebun/perkebunan, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan/ladang berupa perkebunan. Penggunaan lahan perkebunan di sebelah utara tapak kepemilikin diatur oleh swasta. Sedangkan kebun masyarakat berada di sekitar sungai. Hasil kebun berupa singkong, pisang, talas, bengkoang, kacang. Tanaman yang dijumpai misalnya campuran antara tanaman tahunan seperti pisang dan kopi dengan tanaman semusim. Selain itu kebun campuran antara berbagai jenis tanaman tahunan umum dijumpai. Luasan kebun campuran ini sekitar 108,9 hektar atau 6.15 % dari luasan Sub DAS Cisadane Hulu, terutama dijumpai pada lahan dengan kemiringan curam dan sangat curam sehingga potensi kerusakan lahan juga sangat tinggi. Lahan tegalan tanaman yang diusahakan umumnya adalah jagung, kacang-kacangan (kacang panjang) dan ubi kayu. Ladang/tegalan ini terutama dijumpai pada lahan dengan kemiringan curam dan sangat curam. Oleh karena itu, lahan tegalan ini perlu mendapatkan perhatian serius karena potensi kerusakannya sangat tinggi. Belukar/semak sebagian telah berubah menjadi hutan campuran dengan pinus sebagai tanaman tahunan selingan tanaman berupa kumis kucing yang telah menjadi komoditi ekspor ke Perancis dan beberapa tanaman obat lainnya. Sawah terdiri dari sawah irigasi dan sawah tadah hujan (Gambar 21). Sebagian besar merupakan sawah tadah hujan atau irigasi semi teknis dan dijumpai memanjang di kiri kanan sungai (lembah sempit) dengan kemiringan lahan yang tidak terlalu curam.
49
Gambar 21. Sawah Irigasi (kiri) dan Sawah Tadah Hujan (kanan) 5.1.8 Utilitas dan Fasilitas Sistem utilitas kawasan perencanaan terbagai atas air bersih, persampahan dan air limbah (sanitasi). Sumber air bersih dikawasan perencanaan berasal dari aliran sungai Cisadane yang kemudian didistribusikan kerumah-rumah penduduk melalui selang-selang dan paralon. Selain itu sungai ini digunakan untuk air minum dan mandi cuci kakus. Sebagian penduduk membuang sampah dengan cara membakar/menimbun di pekarangan rumahnya masing-masing, namun masih ada juga penduduk yang membuang sampah disembarang tempat atau membuang ke sungai yang berada disekitar permukiman. Air limbah secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu air limbah rumah tangga dan air limbah swasta. Saat ini secara kasat mata pencemaran akibat limbah domestik telah menunjukkan tingkat yang cukup serius. Air limbah baik yang berasal dari rumah tangga maupun air limbah industri pada umumnya dibuang langsung kearah badan sungai tanpa melalui proses normalisasi terlebih dahulu. Walaupun air terbilang cukup jernih karena berada di daerah aliran sungai paling hulu namun air yang terbawa ke hilir akan keruh dan tidak sehat. Fasilitas/infrastruktur desa terdiri dari jaringan jalan, fasilitas pelayanan masyarakat (sekolah, puskesmas, dan lain-lain), mikrohidro. Jaringan jalan kawasan terbagi atas jalan utama, jalan lokal, jalan setapak. Masyarakat memperoleh pelayanan Puskesmas Keliling dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor setiap hari Rabu. Warga memanfaatkan fasilitas puskesmas yang ada di Cigombong berjarak 7 km dan di Cinagara jarak 10 km.
50
5.1.9 Analisis Kawasan Konservasi/Lindung Metode yang digunakan untuk mendapatkan kawsan lindung dan penyangga sumberdaya alam dapat diperoleh dengan overlay 3 peta tematik yaitu peta kemiringan lahan (Gambar 9), peta jenis tanah (Gambar 10) dan data intensitas curah hujan harianrata-rata dengan pemberian skor yang didasarkan pada kriteria penilaian berdasarkan Tabel 6 Menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Ketiga variabel tersebut dijumlahkan dan dibuat tiga range, sehingga diperoleh batasan skor kawasan yang dilindungi (skor > 175), kawasan penyangga(skor antara 125-175) dan kawasan budidaya (skor <125 ). Peta tematik yang telah di overlay menghasilkan peta komposit fungsi lahan dengan nilai skoring pada Tabel 10 dengan luas masing-masing kawasan sebesar 36,99% dengan luas 525,85 ha untuk kawasan lindung, 20,94% dengan luas 297,63 ha kawasan penyangga, dan kawasan budidaya sebesar 42,07% dengan luas 595,97 ha (Gambar 22). Tabel 10. Hasil Analisis Skoring Kawasan Lindung Nilai Komponen No
Kawasan
Luas
Kelerengan, Jenis Tanah, Intensitas Curah
Skoring
Hujan Harian Rata-rata (I) 1.
2.
3.
Kawasan
525,85 ha 1. >40% (100)+ Regosol (75)+ I = 34,97 (50)
225
Lindung
(36,99%) 2. 25-40% (80)+ Regosol (75)+ I = 34,97 (50)
205
3. 15-25% (60)+Regosol (75)+ I = 34,97 (50)
185
Kawasan
297,63 ha 1. 8-15% (40)+Regosol (75)+ I = 34,97 (50)
165
Penyangga
(20,94%) 2. 0-8% (20)+Regosol (75)+ I = 34,97 (50)
145
3. 25-40% (80)+alluvial (15)+ I = 34,97 (50)
145
4. 15-25% (60)+alluvial (15)+ I = 34,97 (50)
125
Kawasan
595,97 ha 1. 8-15% (40)+ alluvial (15)+ I = 34,97 (50)
105
Budidaya
(42,07%) 2. 0-8% (20)+ alluvial (15)+ I = 34,97 (50)
85
51
52
5.2 Sintesis Tahapan ini mencari kawasan konservasi yang berada di Desa Watesjaya dengan mengintegrasikan Peta Kawasan Lindung Desa Watesjaya dengan Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sehingga diketahui daerah yang perlu dilindungi, disangga, dan dibudidaya.
5.2.1 . Penentuan Kawasan Lindung Desa Watesjaya Kawasan lindung Desa Watesjaya merupakan kawasan yang mesti dilindungi/dikonservasi. Peta Kawasan Lindung diperoleh dengan mengoverlay hasil analisis kawasan perlindungan setempat pada Gambar 16 (penentuan sempadan sungai dan danau berdasarkan Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung) dan analisis kawasan lindung sumber daya alam berdasarkan penentuan kriteria berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980 (Gambar 22). Diperoleh Peta Kawasan Lindung Desa Watesjaya yang tersaji pada Gambar 23 dan area kawasan lindung dan luasannya yang terdapat pada Tabel 11. Peta Kawasan Lindung terdiri dari kawasan lindung yang berwarna merah, kawasan penyangga yang berwarna kuning untuk menyangga kawasan lindung, sempadan danau pada Tabel 11 dikategorikan kawasan penyangga yang berwarna kuning pada Gambar 23 yang berfungsi menyangga danau, sempadan sungai yang menjadi koridor lanskap penghubung kawasan lindung dan danau, dan kawasan budidaya yang berwarna hijau untuk pengembangan budidaya pertanian. Tabel 11. Hasil Penentuan Kawasan Lindung Kawasan Lindung
Area
Luas (ha)
Persentase
Kawasan Lindung
-
Sempadan sungai
370,12 ha
22,45%
Setempat
-
Sempadan danau
35,41 ha
2,15%
-
Kawasan Lindung
525,85 ha
31,89%
-
Kawasan Penyangga
245,00 ha
14,86%
-
Kawasan Budidaya
472,60 ha
28,66%
1648,98 ha
100%
Kawasan Lindung Sumber Daya Alam
Toatal Luasan Desa
53
54
5.2.2. Penentuan Kawasan Konservasi Desa Watesjaya Kawasan konservasi desa diketahui dengan cara mengintegrasikan dengan zona Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang berada di Desa Watesjaya.
Sempadan sungai merupakan koridor penyangga sungai. Adanya
perlindungan setempat berupa sempadan sungai yang sanggup menampung air, koridor ekologi lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) akan terus berlangsung. Struktur inti konservasi sumberdaya alam hayati merupakan prioritas konservasi yang memiliki biodiversity tinggi dengan tingkat pelestarian maksimum. Kawasan tersebut perlu dilindungi agar ekosistem terjaga serta kawasan penyangga untuk mencegah dampak negatif terhadap kawasan lindung. Lokasi Penelitian menurut zonasi Taman Nasional tidak termasuk kawasan inti. Area Taman Nasional yang berada di Desa Watesjaya termasuk kawasan penyangga dengan luas 550,16 ha. Berikut matriks acuan untuk menentukan zonasi struktur inti desa konservasi. Tabel 12 menyajikan Matriks Overlay Hasil Analisis perlindungan setempat sungai dan badan air (Keppres no.32 Tahun 1990, Analisis Penentuan Kawasan Lindung (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980), dan Zona TNGGP. Tabel 12. Matriks Overlay Hasil Analisis Penentuan Kawasan Lindung dan Zona TNGGP.
Zona inti (I) Zona Rimba (R) Zona Konservasi Owa Jawa (KO) Zona Rehabilitasi (Rh) Zona Khusus (K) Zona Tradisional (T) Zona Pemanfaatan (Pm)
NA R NA Rh NA NA L
NA NA NA NA NA TP NA
NA NA NA NA NA NA NA
Koridor Penyangga (KP)
(B)
Budidaya
Makin Konservatif
TNGGP
(P)
Zona
Penyangga
Zona SK Mentan
Lindung (L)
Makin Konservatif
NA KP NA KP NA KP KP
Keterangan: NA = Not Available, R=Rimba, L=Lindung, Rh= Rehabilitasi, TP=Tradisional Penyangga,KP=Koridor Penyangga.
55
Berdasarkan Matriks overlay diatas Kawasan Konservasi yang terdapat di Desa Watesjaya terdiri atas Area Lindung (L), Area Rimba (R), Area Rehabilitasi (Rh), Area Tradisional (TP), Area Penyangga desa (P), Koridor Penyangga (KP), Area Pengembangan Budidaya Desa (B). Sebagaimana disajikan Gambar 24. Karakter masing-masing area diuraikan sebagai berikut: -
Area Perlindungan (L) merupakan area konservasi yang mendukung perlindungan keanekaragaman hayati dan juga perlindungan badan air seperti sungai dan danau.
-
Area Rimba (R) merupakan area konservasi yang paling dekat dengan inti, hutan tropis.
-
Area Rehabilitasi (Rh) merupakan area yang memiliki lahan kritis untuk di hutankan kembali menjadi area penyangga guna melindungi tata air.
-
Area Penyangga (P) merupakan daerah transisi yang melindungi jaringan dari faktor luar yang dapat merusak inti disesuaikan dengan penggunaan lahan yang sesuai. Meningkatkan rasio pohon dan tutupan vegetasi untuk pemeliharaan keanekaragaman jenis dan keberlangsungan hidup manusia.
-
Area Tradisional (T) merupakan area penyangga sosial berupa kampung yang berdekatan dengan kawasan konservasi (kampung konservasi) maupun kampung yang berada di kawasan penyangga menurut analisis
-
Area Pengembangan Budidaya Desa Watesjaya (B) yang berkelanjutan merupakan area budidaya desa yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kebutuhan dan taraf hidup masyarakat desa. Sebagaian besar dimiliki swasta berupa resort dan sebagian lagi dimiliki masyarakat desa yang bisa dikembangkan untuk area pertanian.
- Koridor Penyangga (KP) merupakan koneksi ekologis vital berupa daerah aliran sungai cisadane yang menghubungkan daerah inti hulu, tengah dan hilir. Untuk menjaga keberlangsungan koridor lanskap di buat perlindungan setempat dengan pembagian koridor perlindungan berupa sungai yang mengalir dan koridor penyangga berupa koridor hijau di sepanjang aliran sungai.
56
57
5.3 Perencanaan Lanskap 5.3.1 Konsep Perencanaan Berdasarkan tipologi pemukiman yang berkaitan dengan Taman Nasional (Adiwibowo, 2008) Desa Watesjaya dapat dikategorikan kedalam pemukiman desa bertipe C. Kategori pemukiman tipe C pada Desa Watesjaya tersebut berdasarkan keberadaan 2 (dua) dusun/ kampung (Kp. Lengkong dan Kp. Ciwaluh) yang terletak di dalam Taman Nasional. Sebagian lahan pertanian desa sebagian berada di Taman nasional dan sebagian Pemukiman berada di kawasan Taman Nasional.(Lampiran 2). Menurut Upe (2009) Desa yang berada di kawasan konservasi (Taman Nasional) sebaiknya direncanakan dengan menggunakan konsep desa konservasi. Konsep dasar Desa Konservasi adalah pemanfaatan sumberdaya lanskap secara efisien dan berkelanjutan baik secara fisik, ekologi maupun ekonomi. Desa Konservasi memberikan peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi sehingga masyarakat bisa melakukan perlindungan secara mandiri, menjaga ekosistem, dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Pengembangan konsep
dasar desa konservasi
dilakukan melalui
pendekatan bioregion. Konsep Perencanaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan salah satu karakteristik management Bioreginal menurut Miller (1996) yaitu karakteristik struktur ruang berupa koridor ekologi, struktur inti dan matriks. Struktur inti terhubung oleh koridor ekologi sebagai ruang hidup (bioregion) dan matriks berupa gabungan pola pemanfaatan dengan status eksisting kepemilikan yang ada sesuai dengan aspek legal yang berlaku, juga berdasarkan analisis di lapangan. Berdasarkan management tersebut disusun konsep bioregion yang mengacu kedalam pola ruang konservasi bioregion menurut Miller (1999) dan Brunckhorst (2001) sebagaimana disajikan pada Gambar 25.
58
Gambar 25. Diagram Konsep Pola Ruang Konservasi Berdasarkan Pendekatan Bioregional 5.3.2
Rencana Pengembangan Konsep Berdasarkan karakteristik kawasan konservasi yang dituangkan dalam Peta
Kawasan Konservasi Desa Watesjaya (Gambar 24) dan konsep pola ruang bioregion (Gambar 25) dapat dihasilkan ruang bioregion sebagaimana disajikan pada Tabel 13. Konsep pola ruang bioregion yang dihasilkan tersebut berupa Ruang Inti Konservasi Desa Watesjaya (Core Zones), Ruang Penyangga Desa Watesjaya (Buffer Zones), Koridor (Ecological Corridor), Ruang Pengembangan Desa Watesjaya (Cooperation Zones).
Tabel 13. Konsep Pola Ruang dan Sub Ruang Bioregion Desa Konservasi Watesjaya No.
Ruang Bioregion
1.
Ruang Inti (Core Zones)
2.
Ruang Penyangga (Buffer Zones)
3.
Koridor (Ecological Corridor)
4.
Ruang Kerjasama Desa Watesjaya (Cooperation Zone)
Sub Ruang - Rimba - Pemanfaatan beralih menjadi lindung - Rehabilitasi - Sempadan Danau - Hutan Agroforestry
- Lindung (perluasan) - Danau Lido - Tradisional terdiri dari Kp.Konservasi dan Kp.Penyangga
Daerah Aliran Sungai Cisadane Koridor Hijau Sungai (Sempadan Sungai) - Area Pertanian Lahan Kering - Area Pertanian Lahan Basah
- Area terbangun (pemukiman) - Area Pengembangan Swasta ( Resort dan Lap.Golf)
59
Pengembangan konsep ruang bioregion terlihat pada Gambar 26. Pengembangan Konsep Bioregion tersebut akan mempertimbangkan pola penggunaan lahan.
Gambar 26. Konsep Pola Ruang Konservasi Desa Watesjaya Berdasarkan Pendekatan Bioregional
Perencanaan sumberdaya biofisik yang berkelanjutan merupakan hal yang paling essensial dalam konservasi. Konservasi perlu dilakukan pada lahan dengan topografi curam dan sangat curam, kawasan sempadan badan air (sungai, danau dan mata air), dan konservasi ruang terbuka hijau dengan tingkat keanekaragaman tinggi. Bentuk konservasi tiap zona dilakukan arah pengembangan berdasarkan 3 prinsip konservasi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 (perlindungan, pelestrian, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya), perbaikan berupa restorasi (rekomendasi kunci management bioregion Miller (1996)), rehabilitasi (perbaikan pada lahan yang kritis), dan revitalisasi (memvitalkan kembali kondisi yang kurang optimal).
60
5.3.3
Perencanaan Lanskap Tahap perencanaan dilakukan dengan menentukan peruntukan sub ruang
pada Konsep Pola Ruang Konservasi
Desa Watesjaya (Gambar 26).
Pembentukan sub ruang ditetapkan berdasarkan prinsip-prisip perlindungan, pelestarian, pemanfaatan, restorasi, rehabilitasi dan revitalisasi, sehingga dihasilkan Rencana Lanskap Desa Konservasi yang terdiri atas 4 (empat) ruang (Gambar 27), yaitu: (1) Ruang Inti Desa yang meliputi sub ruang Hutan Rimba, Hutan Lindung, Hutan Desa dan Danau Lido, (2) Ruang Penyangga Desa yang meliputi sub ruang Hutan Rehabilitasi, Hutan Campuran, Greenbelt Danau Lido, Kampung Konservasi dan Kampung Penyangga, (3) Ruang Koridor Lanskap yang meliputi sub ruang Sungai dan Greenbelt Sungai (4) Ruang Kerjasama yang meliputi sub ruang Pertanian Lahan Kering, Pertanian Lahan Basah, Pemukiman dan Resort 5.3.3.1 Rencana Ruang Inti Desa Watesjaya (Core Zones ) Ruang Inti Desa Watesjaya merupakan wilayah prioritas inti konservasi Desa Watesjaya yang memiliki total luasan 361,70 ha (21,93%). Ruang inti akan dikembangkan 4 area berdasarkan analisis dan status kepemilikan lahan yaitu Hutan Rimba, Hutan Lindung, Hutan dan Danau Lido. Ruang inti Desa Watesjaya memiliki fungsi dan peran vital dalam produksi air yang berkualitas. Ruang ini sebaiknya dijaga agar relatif bebas dari intervensi manusia, kecuali jika intervensi tersebut bertujuan untuk mencapai keberhasilan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat seperti ekowisata, penelitian, spiritual, dan budaya. Pembuatan jalan ditekan sampai sekecil mungkin. Hutan Lindung, Hutan Desa (Talun) terdapat pada Gambar 28. Vegetasi untuk ruang inti inti dipilih yang dapat mengkonservasi tanah dan memiliki sistem perakaran kuat dan dalam yang dapat menahan erosi dan meningkatkan infiltrasi air. Tutupan tajuk yang rapat dengan dominasi berbagai strata tanaman mulai dari pohon, perdu, semak maupun penutup tanah yang dibiarkan secara alami (Gambar 29). Sub ruang, kondisi dan arah pengembangan ruang inti Desa Watesjaya disajikan pada Tabel 14.
61
62
63
64
Tabel 14. Sub Ruang, Kondisi dan Arah Pengembangan Ruang Inti Desa No. 1.
2.
3.
4.
Sub Ruang Inti Desa
Kondisi
Arah Pengembangan
Hutan rimba paling dekat inti Perlindungan proses ekologi hutan TNGGP, keanekaragaman paling primer alami, pelestarian tinggi keanekaragaman hayati dengan membatasi intervensi manusia Hutan rimba di area pemanfaatan Perlindungan dan pelestarian Hutan Lindung TNGGP, banyak air terjunan, sumberdaya alami tapak, 197,47 ha keanekaragaman tinggi, sebagian pengalihfungsi pemanfaatan pertanian dijadikan lahan pertanian oleh dengan kegiatan ekowisata terbatas masyarakat berbasis masyarakat Keanekaragaman rendah namun Restorasi hutan dengan menghutankan Hutan Desa sangat rentan erosi berdasarkan lahan yang tidak sesuai, Reintroduksi 30,86 ha analisis termasuk kawasan yang tanaman native plant yang disesuaikan perlu dilindungi dengan ekosistem rimba dan lindung Memiliki borrowed view Menjaga kelestarian danau dengan pegunungan yang indah, pengelolaan tepat guna, perbaikan Danau Lido keanekaragaman ikan dan vegetasi sanitasi agar tidak mencemari, air beragam, sanitasi kolam renang Masyarakat dapat turut serta ambil 12,42 ha mencemari danau, kualitas air bagian dalam usaha pelestarian danau. tergolong baik dan merupakan sumber air minum beberapa satwa, Hutan Rimba 120,94 ha
5.3.2.1 Ruang Penyangga Desa Watesjaya (Buffer Zones) Ruang penyangga desa berfungsi mengurangi dampak negatif terhadap inti desa. Luas area penyangga keseluruhan adalah 338,27 ha atau 20,51 % dari luasan lahan. Ruang ini akan dikembangkan menjasi 4 area berdasarkan analisis dan fungsi yaitu Hutan Rehabilitasi, Hutan Campuran, Greenbelt danau lido, Kampung Konservasi (Gambar 30) dan Kampung Penyangga (Kp. Ciletuh) adanya pengarahan untuk memiliki pekarangan untuk setiap pemukiman dan penerapan sistem agroforestry, mempertahankan bentuk rumahan adat sunda guna pelestarian adat budaya, pengembangan pertanian organik tanpa pestisida. Penerapan sistem agroforestri kompleks berupa hutan campuran disarankan untuk area pemanfaatan taman nasional dengan sistem kombinasi pepohonan, perdu, tanaman musiman, dan rerumputan. Tampak potongan Hutan Rehabilitasi, Hutan Campuran (Agroforestry), Greenbelt Danau terdapat pada Gambar 28. Pemilihan vegetasi penyangga merupakan habitat satwa dan pelindung tanah yang baik dan memiliki nilai yang lebih dari segi ekonomi dengan ketentuan pohon tidak dimatikan dengan cara ditebang atau dibakar tapi, namun vegetasi untuk kampung penyangga sebaiknya dipilih tidak memiliki daya sebagai makanan satwa liar agar tidak membahayakan.
65
66
Tabel 15. Sub Ruang, Kondisi dan Arah Pengembangan Ruang Penyangga Desa No.
1.
2.
3.
4.
5.
Sub Ruang Penyangga Desa
Kondisi
Lahan kritis yang berada di TNGGP, jauh dari inti TN namun dekat dengan Hutan hutan rimba, keanekaragaman tinggi Rehabilitasi yang didominasi pohon Pinus 197,99 ha merkusii, beberapa perlu perbaikan akibat penggunaan lahan pertanian), Kondisi eksisting berupa semak Hutan ladang dan terdapat pemukiman di Campuran Kampung Ciletuh yang dijadikan (Agroforestry) kampung penyangga. Menurut hasil 73,13 ha analisis area ini merupakan kawasan penyangga Greenbelt Terdapat beberapa resort dan lahan Danau parking diarea penyangga danau 35,41 ha Dua kampung (Kp. Ciwaluh dan Kp. Lengkong)berada di area penyangga Kampung Taman Naional Konservasi 31,73 ha Kampung Penyangga 5 ha
Arah Pengembangan Pelestarian Sumberdaya alam dengan merehabilitasi/ memperbaiki lahan yang gundul.
Memaksimalkan pelestarian dan pemanfaatan hasil hutan campuran dengan reboisasi dengan sistem agroforestry
Pengalihan area resort dan parkir seluas 12 Ha dengan tegakan pohon Masyarakat menjadi bagian pengelola dan memonitor kawasan konservasi yang berbatasan dengan kampung, pelestarian adat budaya sunda, pemanfaatan secara maksimal Kampung Ciletuh yang berada di luar Kerjasama mengelola hutan dan taman nasional namun berada di area sungai, memaksimalkan penyangga desa pekarangan untuk RTH.
5.3.2.2 Koridor Ekologi (Ecological Corridor) Koridor lanskap merupakan koneksi ekologis vital berupa daerah aliran sungai yang menghubungkan daerah inti hulu, tengah dan hilir. Terdiri dari aliran sungai sepanjang 28,21 km atau 17,50 mil Sungai Cisadane (menghubungkan daerah inti dan penyangga yang termasuk kawasan TNGGP dengan daerah inti desa yang berada di luar taman nasional) dengan koridor utama Penghubung memiliki panjang 12 km dengan 6 km diluar batas administrasi desa. Greenbelt sebagai koridor hijau sungai seluas 370,12 ha dengan pengurangan area sawah untuk pengembangan desa. Sungai Cisadane menghubungkan daerah inti dan penyangga yang termasuk Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan daerah inti desa yang berada di luar taman nasional. Untuk menjaga keberlangsungan koridor lanskap Desa Watesjaya di buat perlindungan setempat dengan pembagian koridor perlindungan sungai Cisadane yang mengalir beserta anak sungai yang menjadi subdas Cisadane dan pembuatan koridor penyangga berupa koridor hijau di sepanjang sempadan aliran sungai yang berfungsi sebagai
67
migrasi satwa. Area koridor ini terdapat mekanisme insentif ekonomi yang dapat dikembangkan dengan bantuan teknologi untuk menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan seperti hidram dan mikrohidro. Vegetasi koridor yang disepanjang aliran sungai ditanami rumpun bambu karena tanaman ini dapat memperbaiki sumber tangkapan air yang sangat baik sehingga mampu meningkatkan aliran air. Hasil studi Akademi Beijing dan Xu Xiaoging melakukan inventarisasi dan perencanaan hutan dengan melakukan studi banding hutan pinus dengan bamboo pada DAS ternyata bamboo menambah 240% air tanah lebih besar dibandingkan hutan pinus (Garland 2004). Tanaman kumis kucing dapat ditanam sepanjang aliran sungai agar masyarakat tidak merambah hutan. Tabel 16. Sub Ruang, Kondisi dan Arah Pengembangan Ruang Koridor Lanskap Desa No. 1.
2.
Sub Ruang Koridor Lanskap Desa Sungai Cisadane Panjang sungai = 28.21 km (17,50 mil)
Greenbelt sungai (370, 12 ha)
Kondisi
Arah Pengembangan
Koridor utama Penghubung memiliki panjang 12 km dengan 6 km diluar batas administrasi desa.
Area koridor ini terdapat mekanisme insentif ekonomi yang dapat dikembangkan dengan bantuan teknologi untuk menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan seperti hidram dan mikrohidro. Vegetasi koridor yang disepanjang aliran sungai ditanami rumpun bambu karena tanaman ini dapat memperbaiki sumber tangkapan air yang sangat baik sehingga mampu meningkatkan aliran air. Tanaman ini tumbuh liar di daerah aliran sungai cisadane, tidak membutuhkan perawatan khusus, tidak membutuhkan investasi besar, pertumbuhan cepat, dapat dipanen tiap tahun tanpa merusak rumpun dan memiliki toleransi tinggi terhadap gangguan alam dan kebakaran. Bambu juga menghasilkan banyak oksigen.
Terdapat beberapa pemukiman dan sawah dengan perhitungan daya dukung ekologis bantaran sungai, penduduk yang ada tidak melebihi daya dukung 2.193 orang. Namun perlu ada pembatasan dan penyuluhan agar kedepan tidak over capacity.
5.3.2.3 Ruang Kerjasama Pengembangan Budidaya Desa (Cooperation Zones) Ruang Kerjasama Pengembangan Budidaya Desa
seluas 578,90 ha
dengan penambahan areal 109,10 ha. Pemanfaatan lahan budidaya secara optimal dapat menggunakan sistem agroforestri sederhana berupa perpaduan pepohonan yang memiliki peran ekologi, peran ekonomi dengan pohon atau tanaman pangan yang juga memiliki nilai ekonomi.sistem agroforestri dapat diterapkan pada ruang
68
hijau budidaya pekarangan, sawah, ladang kering, kebun. Lahan terbagi menjadi 4 area berdasarkan analisis eksisting dan penggunaan lahan meliputi pertanian lahan, pertanian lahan basah pemukiman dan resort.
Tabel 17. Sub Ruang, Kondisi dan Arah Pengembangan Ruang Pengembangan Desa No.
1.
2.
3.
4.
Sub Ruang Pengembangan Kondisi Desa Pertanian Lahan Tidak termanfaatkan kering maksimal, sebagian 191,09 ha masih menggunakan sistem pertanian monokultur, penggunaan pestisida berlebih mencemari aliran air.
Pertanian Lahan Terdiri dari sawah basah irigasi, sawah tadah 30,26 ha hujan, dan balong (empang)
Pemukiman 121,79 ha
Resort 235,81Ha
Jarak rumah tinggal berdekatan dengan arsitektur semitradisional sunda, pekarangan minim, hanya sebagian yang memiliki pekarangan
terdapat hotel, area wisata, lapangan golf milik PT. Pengembangan Agrowisata Prima (PT PAP)
Arah Pengembangan Penerapan sistem pertanian organik, Kebun/Ladang yang tidak termanfaatkan yang hanya ditumbuhi gulma dan alang-alang perlu dibuat kebun campuran untuk menghasilkan. Kebun campuran tersebut ditanami dengan pohon buah terutama kopi yang dikombinasikan dengan pohon komersil kehutanan seperti sengon dan suren dengan jarak tanaman yang diatur untuk peruntukan lahan dibawahnya. Selingan pohon tersebut yaitu talas trademark bogor, singkong untuk makanan pokok pengganti nasi, kumis kucing sebagai komoditi eksport, kapolaga untuk obat yang banyak ditanam di Desa Watesjaya dan tanaman palawija lain. Sawah dapat dioptimalkan dengan tumpangsari sayuran seperti genjer atau kangkung, pematang ditanami pohon peneduh dengan pola jarak tanam yang jarang atau ditanam kumis kucing yang merupakan komoditi ekspor kampung Ciwaluh, Desa Watesjaya. Jenis vegetasi yang di buat agroforestri untuk Desa Watesjaya berdasarkan daftar vegetasi penyangga Mackinnon (1993) adalah Eucalyptus/Melaleuca tidak ada manfaatnya bagi satwa namun baik untuk melindungi tanah digunakan untuk obat oles. diupayakan tiap rumah memiliki pekarangan sebagai ruang hijau dengan kombinasi bahan pangan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Jenis tanaman pangan yang dipilih mencakup tanaman yang diperlukan keluarga berupa berupa tanaman obat, aromatic, sayuran, buah-buahan ataupun tanaman hias untuk estetika sesuai kebutuhan. Tanaman antar kavling digunakan tanaman polong-polongan yang dapat menjadi makanan ternak seperti gliridsida perlindungan perbaikan sanitasi dengan tidak langsung membuang ke danau, penambahan area hijau, tidak menggunakan pestisida berlebih).
VI. PENUTUP
6.1 Simpulan Perencanaan lanskap desa konservasi di Desa Watesjaya dapat disusun melalui pendekatan bioregion. Perencanaan disusun dengan mengkombinasikan analisis penentuan kawasan perlindungan badan air (Keppres No.32 Tahun 1990) dan penentuan kawasan lindung (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980) yang diintegrasikan dengan zonasi Taman Nasional sehingga dapat ditentukan Kawasan Konservasi Desa sebagai dasar perencanaan. Berdasarkan karakteristik kawasan konservasi yang terdapat pada peta kawasan konservasi Desa Watesjaya yang diintegrasikan dengan konsep pola ruang bioregion (Miller, 1999 dan Brunckhorst, 2001) dihasilkan konsep Pola Ruang Konservasi Desa Watesjaya, yaitu: (1) Ruang Inti Desa (core zones), (2) Ruang Penyangga (buffer zones), (3) Ruang Koridor penyangga dengan perlindungan greenbelt, (4) Ruang Kerjasama Pengembangan Budidaya Desa (cooperation
zones). Rencana lanskap Desa
Konservasi Watesjaya disusun dengan menentukan peruntukan Ruang dan Sub Ruang Bioregioan berdaasarkan prinsip konservasi (perlindungan, pelestarian, pemanfaatan), restorasi, rehabilitasi dan revitalisasi.
6.2 Saran Berdasarkan penelitian ini disarankan adanya perluasan batas administrasi desa yang disesuaikan dengan batasan DAS dari 1421,43 ha menjadi 1648,98 ha. Perlu adanya kerjasama antar instansi untuk memperbaiki ekosistem dengan semua pihak yang terkait agar keseimbangan ekologis terjaga. Perbaikan ekosistem berupa restorasi dan rehabilitasi hutan sebaiknya melibatkan masyarakat untuk memotivasi mereka menjaga terus-menerus dan memelihara sumberdaya alam secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S. 2008. Konservasi Keanekaragaman Hayati Kawasan K onservasi dan Kawasan Perdesaan. Lokakarya Penataan Ruang Perdesaan. P4W, IPB, 26 Juni 2008. Bogor. Anonim. 2010. Desa Konservasi:Sebuah Inisatif Upaya Konservasi yang Partisipatif. http:// www.esp.or.id (11 Mei 2010). Benson, J and M. Roe. 2000. Landscape and Sustainability. Spon Press. Canada.
Brunckhorst, David. 2001. Building Capital Through Bioregional Planning And Biosphere Reserves. University of New England. Australia. Forman, R.T.T. dan M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. Jhon Willey & Son, Inc. Canada. Garland, L. 2004. Bamboo and Watersheds (a practical, economic solution to conservation and development). EBF. http://www.indonesiaforest.net ( 15 Desember 2011). Harmita, Dini. 2009. Model Kampung Konservasi. Balai Taman nasional Gunung Halimun Salak. Bogor. Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Jones, G., I. Jones, S. Durrant, S.K. Lee, A.K. Hardy, M.S. Atkinson, dan K.G Kim, 1998. Paju Ecopolis : Ecosystem Management Strategy for Environmentally Sound and Sustainable Development in Northern Kyunggi Province. UNDP. Korea. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 1992. Indonesian Country Study of Biological Diversity. Jakarta. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Lillesand, T. M. 1994. Penginderaan jauh dan Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. MacKinnon, J. et. al. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (diterjemahkan oleh Hary Harsano Amir). Judul Asli:
Managing Protected Areas In The Tropic. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Miller, K. R. 1996. Balancing The Scales: Guidlines for Increasing Biodiversity’s Chances Through Bioregional Mangement. World Resources Institute. New York. --------------1999. Bioregional Planning and Biodiversity Conservation. World Resources Institute. New York. Nurisyah,S. 2008. Penuntun Praktikum Perencanaan Lanskap. Institut Pertanian Bogor.Bogor.(tidak dipublikasikan). Pretty, JN and Pimbert M, 1995. Park, People and Profesionals: Putting Participation into Protected Area Management. Simonds, J.O. 1983. Landscape Architecture A Manual of Site Planning and Design. McGraw-Hill Company. New York. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Upe, Rachman, 2009. Pedoman Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi. Departemen kehutanan. Bogor. Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifudin, A. Kartikasari., 2004. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Curah Hujan dan Hari Hujan 2006-2010 Tahun 2006
2007
2008
2009
2010 ratarata
Ket CH (mm) HH CH (mm) HH CH (mm) HH CH (mm) HH CH (mm) HH CH (mm) HH
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
355
322
561
207
338
225
386
387
284
466
503
512
4548
10
8
20
7
10
6
8
8
7
10
16
20
130
489
305
447
426
432
254
382
111
113
378
425
597
4361
14
9
12
12
11
7
10
3
4
8
15
19
125
203
531
409
387
319
168
115
274
326
340
401
592
4066
6
13
8
9
7
5
4
5
6
7
7
21
98
379
717
240
539
407
63
287
154
385
303
412
535
4421
13
21
12
17
11
2
7
4
11
7
15
20
140
640
640
629
430.5
635.5
162
257
573
692
625
814
503
6601.5
21
23
21
8
15
5
8
12
19
18
23
21
199
413.2
503
457.2
397.9
426.3
174.4
285.4
299.8
360
422.4
511
547.8
4739.5
12.8
14.8
14.6
10.6
10.8
5
7.4
6.4
9.4
10
15.2
20.2
137.2
Lokasi Stasiun curah hujan di Desa Pasirjaya: 06º 43' 42" LS 106º 47' 48" BT
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Tahun
Lampiran 2. Tipologi Pemukiman Berkaitan dengan Taman Nasional
Tipe Pemukiman
Tipe A
Tipe B
Tipe C
Tipe D
Tipe E
Deskripsi Pemukiman • Desa penyangga sekitar Taman Nasional (TN) • Seluruh wilayah desa terletak di luar TN • Seluruh lahan pertanian, hukum adat dan pemukiman desa berada di luar TN • Desa penyangga sekitar TN • Sebagian lahan pertanian desa berada di dalam TN • Seluruh pemukiman penduduk desa berada berada di luar TN • Desa penyangga sekitar TN namun dengan 1-2 dusun terletak di dalam TN • Seluruh lahan pertanian dusun bersangkutan berada di dalam TN atau sebagian lahan pertanian desa berada di dalam TN • Seluruh areal pemukiman dusun berada di dalam di dalam TN atau sebagian pemukiman penduduk desa berada di dalam TN • Seluruh wilayah desa merupakan kantung pemukiman di dalam TN • Seluruh lahan pertanian desa berada di dalam TN • Seluruh pemukiman penduduk desa berada di dalam TN • Seluruh wilayah kecamatan dikelilingi oleh TN, dan/atau • Hampir seluruh wilayah kabupaten dikelilingi oleh TN.
Sumber. Adiwibowo (2008)
Lampiran 3. Kuisioner Penelitian KUISIONER PENELITIAN PERENCANAAN LANSKAP DESA KONSERVASI MELALUI PENDEKATAN BIOREGION
Pertanyaan untuk masyarakat:
Pertanyaan
Nama:
masyarakat:
Alamat:
Nama:
Pekerjaan:
Usia:
1. Pendudukasli/pendatang? 2. Sudahberapa
lama
tinggal
di
2. Bahasa 3. Adat istiadat
3. Pekerjaan:
4. Kebiasaan/kepercayaan yang
4. Lokasi tempat bekerja bahan
pokok
sesepuh/tokoh
1. Sejarah kawasan
kawasan tersebut?
5. Sumber
untuk
berkaitan dengan
pangan/kebutuhan
sehari-hari,
komoditi
pertanian.
a. Rumah tinggal b. Sungai c. Larangan
6. Sumber air dan pembuangan limbah?
d. Pekerjaan
7. Aktivitas yang dilakukan di sungai?
e. Kegiatanbertani/berkebun
8. Kepemilikan lahan?
f. Lingkungan (tumbuhan
9. Tempat pembuangan sampah/limbah rumah tangga 10. Adat
istiadat/kepercayaan
dan hewan) 5. Lokasi yang disakralkan?
dan
6. Kesenian/kerajinan yang khas ?
bahasa?
7. Komoditi pertanian utama?
-kebiasaan sehari-hari dalam bertani?
8. Kepemilikan lahan?
-berkaitan dengan sungai -berkaitan dengan rumah/pemukiman 11. Lokasi yang disakralkan? 12. seni/kerajinan yang khas?