1
PERANAN VISUM ET REFERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM OLEH
HISAR SITUMORANG
NIM : 030200167 JURUSAN
: HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
2
PERANAN VISUM ET REFERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM OLEH
HISAR SITUMORANG
NIM : 030200167 JURUSAN
: HUKUM PIDANA
KETUA DEPARTEMEN
ABUL KHAIR, SH, M.Hum Nip. 131 842 854
Pembimbing I
Tambah Sembiring, SH Nip. 130 809 983
Pembimbing II
Berlin Nainggolan,SH,M.Hum Nip. 131 572 434
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
3
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penggolongan berbagai tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada dasarnya merupakan upaya pembentuk undangundang untuk membedakan antara jenis tindak pidana yang satu dengan yang lain. Penggolongan jenis tindak pidana tersebut terasa sangat urgen, mengingat begitu banyaknya tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP. Secara prinsip penggolongan berbagai tindak pidana dalam KUHP didasarkan pada kepentingan umum yang ingin dilindungi. 1 Atas dasar kepentingan hukum yang ingin dilindungi tersebut dikenal berbagai penggolongan tindak pidana dalam KUHP yaitu tindak pidana terhadap harta benda atau harta kekayaan, tindak pidana terhadap nyawa, tindak pidana terhadap kehormatan dan tindak pidana terhadap badan atau tubuh. Penulis dalam hal ini mencoba memberi penjelasan mengenai tindak pidana terhadap badan atau tubuh yaitu tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan bagaimana peranan Visum et Refertum dalam tindak pidana tersebut. Sebagai mana kita ketahui bahwa tujuan umum dari hukum acara pidana adalah berupaya untuk mencari dan menemukan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil yaitu kebenaran sejati (matriel warheid). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Van Bemmelan dalam bukunya Strafordering Leerbook van Het Nederlandsch Procesrecht (Undang-undang di Belanda yang memuat
1
Tongat, Hukum Pidana Materil, Djambatan, Jakarta, 2003, hal 1.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
4
Hukum Acara Pidana) yaitu bahwa yang terpenting dalam hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran. Upaya mencari kebenaran yang materil ini menjadi salah satu perbedaaan antara hukum pidana dengan hukum perdata. Dalam hukum acara perdata kebenaran yang akan dicapai adalah kebenaran formal yaitu kebenaran yang didasarkan pada formalitas hukum, sementara hukum pidana tidak hanya mendasar pada formalitas hukum semata, tetapi juga harus ditunjang dengan penggunaan formalitas hukum tersebut disidang pengadilan dan fakta yang ditemukan dalam sidang pengadilan menjadi bahan masukan bagi hakim dalam memutuskan perkara. Dalam hukum acara pidana ada beberapa pihak yang terlibat didalamnya yaitu: 1. Polisi; 2. Jaksa; dan 3. Hakim. Ketiga hal inilah yang nantinya diharapakan dapat mewujudkan tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri dengan menerapkan secara jujur dan tepat ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam suatu perkara pidana sehingga siapa yang bersalah dapat dijatuhi hukuman dan sebaliknya yang tidak bersalah dibebaskan dari hukuman. Dalam melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim tidak terlepas dari ilmu pengetahuan lain dalam melaksanakan ketiga hal tersebut dibidangnya masing-masing. Salah satunya adalah ilmu kedokteran kehakiman atau kedokteran forensik. Ilmu
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
5
kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan pengadilan yang mana ilmu kedokteran kehakiman itu sangat berperan dalam membantu pihak Kepolisian, Kejaksaaan dan Kehakiman untuk menyelesaikan segala persoalan yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan ini. Ilmu kedokteran kehakiman sangat berperan untuk membantu dunia peradilan dalam peristiwa: 1. Terlukanya seseorang; 2. Terganggunya kesehatan seseorang; dan 3. Mati/meninggalnya seseorang. Dimana dari akibat yang terjad tersebut ada dugaan dari penyidik bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Untuk itu diperlukan bantuan dari seorang ahli untuk memecahkan persoalan tersebut, Permintaan bantuan ahli ini dinyatakan dalam KUHAP yang salah satunya adalah Pasal 133 ayat (1) yang menyatakan: “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.” Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli kedokteran kahakiman atau dokter atau ahli lainnya atas korban atau barang bukti yang dikirim oleh penyidik, maka ahli tersebut akan membuat laporan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya dan kesimpulan dari ahli bersangkutan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Laporan dari ahli ini disebut dengan istilah Visum et Refertum. Visum bukanlah istilah hukum melainkan visum itu sendiri merupakan istilah kedokteran. Oleh karena itu dapat dimaklumi bahwa masyarakat pada Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
6
umumnya kurang memahami/mengetahui apa sebenarnya pengertian dan sejauh mana peranan Visum et Refertum dalam tindak pidana khususnya tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Didalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga tidak ditemukan istilah maupun pengertian Visum et Refertum, tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yaitu apa yang seorang ahli nyatakan dipersidangan baik tulisan dalam bentuk laporan maupun lisan yang disampaikan langsung di persidangan, dimana keterangan ahli yang diberikan dalam bentuk laporan ini telah tercakup di dalam Visum et Refertum. Meskipun pengertian Visum et
Refertum dalam KUHAP tidak
dicantumkan secara tegas, namun sebagai pedoman dapat dijelaskan bahwa pengertian Visum et Refertum itu adalah: “Hasil dari pemeriksaan yang dibuat oleh dokter berdasarkan apa yang dilihatnya dan diketahuinya berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya guna kepentingan pengadilan.” Visum et Refertum sangat penting dalam suatu perkara pidana khususnya untuk peristiwa matinya seseorang yang diakibatkan oleh penganiayaan yang dilakukan dengan berbagai modus operandi. Karena umumnya barang bukti peristiwa tersebut tidak memungkinkan untuk dihadirkan dalam persidangan.
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan hal diatas maka dapat dirumuskan yang menjadi pokok permasalahan adalah: 1. Bagaimana hubungan kausalitas penganiayaan dengan meninggalnya korban
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
7
2. Bagaimana peranan Visum et Refertum sebagai alat bukti dalam menentukan tindak pidana yang terjadi, apakah penganiayaan yang mengakibatkan kematian; atau pembunuhan
C. KEASLIAN PENULISAN Skripsi ini berjudul “Peranan Visum et Refertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian” Penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi tersebut belum ada dan belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Bila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.
D. TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban; 2. Untuk mengetahui kedudukan Visum et Refertum sebagai alat bukti dalam perkara pidana; 3. Untuk mengetahui bagimana peranan Visum et Refertum dalam menentukan hubungan kausalitas penganiayaan dengan meninggalnya korban dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian; 4. Untuk mengetahui peranan Visum et Refertum dalam menentukan tindak pidana yang terjadi, apakah penganiayaan yang mengakibatkan kematian atau pembunuhan Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
8
E. MANFAAT PENULISAN Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Secara teori diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum serta perkembangan ilmu hukum acara pidana secara khusus. 2. Manfaat secara praktis dari adanya penulisan skripsi ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai peranan Visum et Refertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dalam proses pembuktian di pengadilan.
F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Pengertian Tindak Pidana a. Pengertian dan Istilah Tindak Pidana Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. 2 Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah “Een strafbaar feit”. Akan tetapi ada beberapa terjemahan dari istilah strafbaar feit tersebut yaitu: 1. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum 2. Peristiwa pidana 3. Perbuatan pidana 4. Tindak pidana. 3
2 3
Suharto RM, Hukum Pidana Materil, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 28. E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 204.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
9
Dimana para peterjemah atau yang menggunakan istilah tersebut memberikan sandaran masing-masing dan bahkan perumusan/pembatasan pengertian dari istilah tersebut. Didalam perundang-undangan Indonesia sendiri telah menggunakan keempat istilah tersebut dalam berbagai Undang-undang, misalnya: 1. Perbuatan yang dapat dihukum, dalam Pasal 13 Undang-undang No. 14 Tahun 1947 (Undang-undang Pajak Pembangunan); 2. Peristiwa pidana, dalam Pasal 14 Konstitusi RIS; 3. Perbuatan pidana, dalam Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1958 (Undang-undang Penghapusan Tanah Partikulir); 4. Tindak pidana, dalam Pasal 11 Undang-undang No. 14 Tahun 1962 (Undang-undang Mobilitas Umum) 4. Para sarjana Indonesia juga telah menggunakan beberapa atau salah satu dari istilah tersebut diatas dan telah memberi pendapat atau alasan-alasan mengapa harus menggunakan istilah tersebut sebagai terjemahan dari “strafbaar” dan “feit” yang kemudian dimajemukkan. Beberapa diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Prof. Moeljadno Dalam bukunya “Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana”, beliau menggunakan istilah “perbuatan pidana” dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut: 5 a) Terjemahan yang paling tepat untuk istilah “strafbaar” adalah “pidana” sebagai singkatan dari “yang dapat dipidana” 4 5
Ibid, hal. 206. Ibid, hal. 207
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
10
b) Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan seharihari seperti: perbuatan tak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya, dan juga
sebagai
istilah
teknis
seperti:
perbuatan
melawan
hukum
(onrechtmatige daad). Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang melakukan maupun pada akibatnya. Sedangkan pernyataan peristiwa tidak menunjukkan, bahwa yang menimbulkannya adalah “handeling” atau “gedraging”
seseorang,
mungkin juga hewan atau alam. Dan perkataan tindak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah laku.
2. Utrecht Beliau menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah peristiwa itu meliputi perbuatan (handelen atau doen, positif) atau melalaikan (Visum et Refertumzuim atau nalaten atau niet doen, negatif) maupun akibatnya.
3. Satochid Satochid Kartanegara dalam rangkaian kuliahnya menganjurkan pemakaian istilah tindak pidana, karena istilah tindak (tindakan), mencakup pengertian melakukan atau berbuat (actieve handeling) dan/atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat suatu perbuatan (passieve handeling). Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat (actieve handeling) tidak mencakup pengertian mengakibatkan/tidak melakon. Istilah peristiwa, tidak menunjuk kepada hanya tindakan manusia.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
11
Sekiranya adalah lebih tepat menggunakan istilah “Tindak Pidana” seperti diuraikan Satochid dengan tambahan penjelasan, bahwa istilah tindak pidana dipandang diperjanjikan sebagai kependekan dari Tindak-an yang dilakukan oleh manusia, untuk mana ia dapat di-Pidana atau pe-Tindak yang dapat di-Pidana. Kepada istilah tersebut harus pula diperjanjikan pengertiannya dalam bentuk perumusan dalam perumusan tersebut harus tercakup semua unsur-unsur dai delik (tindak pidana), atas dasar mana dapat dipidananya petindak yang telah memenuhi unsur-unsur tersebut. 6
b. Unsur-unsur Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur objektif. 7 1. Unsur subjektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur tesebut meliputi: a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lainlain; 6 7
Ibid. hal 208. P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 193.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
12
d. Merencanakan lebih dahulu (voorbedachte raad) seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut (vress) seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. 2. Unsur objektif. Unsus-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur tesebut meliputi: a. Sifat melanggar hukum (wederrechttelijkheid); b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP; c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Perlu diingat bahwa unsur wederrechttelijk selalu harus dianggap disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk uu telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan. Dewasa ini hukum kita telah menganut apa yang disebut “paham materieele wederrechttelijkheid”. Menurut paham ini, walaupaun sesuatu tindakan itu telah memenuhi semua unsur dari suatu delik dan walaupun unsur wederrechttelijk itu telah tidak dicantumkan sebagai salah satu unsur dari delik, akan tetapi tindakan tersebut dapat hilang sifatnya sebagai suatu tindakan yang bersifat wederrechttelijk bilamana hakim menemukan sutau dasar yang meniadakan sifatnya yang wederrechttelijk dari tindakan tersebut, baik
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
13
berdasarkan suatu ketentuan maupaun berdasarkan asas-asas hukum yang bersifat umum dari hukum yang tidak tertulis. 8
2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah: “Perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni
yang termasuk
menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Sedangkan penganiayaan yang dimaksud dalam Hukum Pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana, Doktrin, dan penjelasan Menteri Kehakiman. Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut: “Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.” 9 Menurut ilmu pengetahuan (Doktrin) pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut: “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.”
8 9
Ibid, hal. 195. Mr. M.H. Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta, 1955, hal. 174.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
14
Sedangkan
menurut
Penjelasan Menteri Kehakiman pada
waktu
pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain: 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau 2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain. 10 Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran kepada Hakim. Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat pada penjelasan resmi Pasal 451(20.01) dimuat antara lain sebagai berikut: “Perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat kemungkinan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya serta perkembangan dalam dunia kedokteran dan teknologi.” Kurang dapat dimengerti, apa sebabnya RUU-KUHP tersebut tentang pengertian
penganiayaan,
menyangkutkan
kepada
perkembangan
dunia
kedokteran sebab menurut pendapat umum bahwa penganiayaan tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran berkenaan dengan kesehatan manusia, bukan dikaitkan dengan penganiayaan 11.
3. Pengertian Visum et Refertum Pada latar belakang telah dijelaskan bahwa istilah Visum et Refertum bukanlah istilah hukum melainkan Visum et Refertum itu sendiri merupakan istilah kedokteran. Oleh karena itu dapat dimaklumi bahwa masyarakat pada umumnya kurang memahami/mengetahui apa sebenarnya pengertian dan sejauh 10 11
Tongat, op. cit. hal 69 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.5.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
15
mana peranan Visum dalam tindak pidana khususnya tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Didalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga tidak ditemukan istilah maupun pengertian Visum et Refertum, tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yaitu apa yang seorang ahli nyatakan dipersidangan baik tulisan dalam bentuk laporan maupun lisan yang disampaikan langsung di persidangan, dimana keterangan ahli yang diberikan dalam bentuk laporan ini telah tercakup di dalam Visum et Refertum. Istilah Visum et Refertum itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu Visum=something seen, appearance (sesuatu yang dilihat), et=and (dan), Refertum=invention, find out (ditemukan). Jadi pengertian Visum et Refertum adalah apa-apa yang dilihat dan ditemukan pada korban. Dalam pengertian bebas Visum et Refertum adalah keterangan tertulis dari seorang Dokter atas sumpah jabatannya dengan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, mengenai apa yang dilihat dan/atau ditemukan pada barang bukti baik orang hidup atau mati untuk kepentingan peradilan (pro justitia).
G. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap azas-azas hukum yang ada. 2. Metode pengumpulan data
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
16
a. Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu penelitian terhadap berbagai buku ilmiah, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. b. Field Research (Penelitian Lapangan) yaitu dengan melakukan studi kasus terhadap kasus yang telah duputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan sebagai bahan perbandingan. 3. Analisa Data Data yang telah dikumpulkan, kemudian dianalisa secara kualitatif, yakni diteliti serta dipelajari sebagai sesuatu yang utuh yang menggambarkan bagaimana peranan Visum et Refertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
H. SISTEMETIKA PENULISAN Dalam pendahuluan penulisan ini, disusun sestematika sebagai berikut: BAB I
:merupakan pendahuluan dengan materi uraian meliputi latar belakang,
perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistemetika penulisan. BAB II
:tentang tinjauan mengenai tindak pidana penganiayaan dan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, dengan materi uraian meliputi tindak pidana penganiayaan, dan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
BAB III
:membahas mengenai hubungan kausalitas penganiayaan dengan meninggalnya korban, dengan materi uraian meliputi pentingnya
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
17
ajaran kausalitas, macam-macam ajaran kausalitas, hubungan kausal antara sebab dan akibat, dan sebab akibat dalam praktek hukum. BAB IV
:membahas mengenai peranan visum et refertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, dengan materi uraian meliputi kedudukan Visum et Refertum sebagai alat bukti, menentukan hubungan kausalitas penganiayaan dengan meninggalnya korban, dan menentukan tindak pidana yang terjadi, apakah penganiayaan yang mengakibatkan kematian atau pembunuhan.
BAB V
:diuraikan tentang kasus dan analisa kasus
BAB VI
:merupakan kesimpulan dan saran.
Demikianlah sistematika penulisan skripsi ini yang merupakan sub bab terakhir dari bab pendahuluan.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
18
BAB II TINJAUAN MENGENAI TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN, TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN, DAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN.
A. TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN 1. Pengertian Penganiayaan Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah: “Perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang termasuk menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Sedangkan penganiayaan yang dimaksud dalam Hukum Pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana, Doktrin, dan penjelasan Menteri Kehakiman. Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, Pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut: “Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
19
lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.” 12 Sedangkan
menurut
Penjelasan Menteri Kehakiman pada
waktu
pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain: 1) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau 2) setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain. 13 Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit ataupun luka tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana. Sebagai contoh dapat dikemukakan: i. Seorang guru yang memukul muridnya karena tidak mengerjakan tugas ii. Seorang dokter yang melukai tubuh pasien dalam operasi. Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar tersebut, dalam perkembangannya muncul yurisprudensai yang mencoba menyempurnakan Arrest Hooge Raad tanggal 10 Februari 1902, yang secara substansial menyatakan:
12
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal.5. 13 Ibid, hal. 6. Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
20
Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak. 14 Berdasarkan yurisprudensi ini tersimpul pendapat, bahwa tidak setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan. Berdasarkan Arrest Hooge Raad dan doktrin diatas, maka menurut Adami Chazawi penganiayaan dapat diartikan sebagai: “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak” 15
2. Unsur-unsur Penganiayaan Berdasarkan pengertian tindak pidana penganiayaan diatas maka rumusan penganiayaan memuat unsur-unsur sebagai berikut: d. Unsur kesengajaan; b. Unsur perbuatan; c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu: i. rasa sakit, tidak enak pada tubuh; ii. luka tubuh; d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai diatas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut. 14 15
Tongat, op.cit. hal. 71 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya , Malang, 1999, hal. 14.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
21
a. unsur kesengajaan Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan sebagai sebagai kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, unsur kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa ogmerk), maka seorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh. Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan. 16 Hal ini pernah dilakukan Hooge Raad dalam arrestnya tanggal 15 Januari 1934, yang menyatakan: Kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindak pidana yang besar kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam kasus ini opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi. 17 16 17
Tongat , op. cit., hal. 73. Ibid, hal. 74.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
22
Bertolak dari Arrest Hoge Raad diatas tersimpul, bahwa kemungkinan terhadap terjadinya rasa sakit yang semestinya dipertimbangkan oleh pelaku tetapi tidak
dilakukannya
sehingga
karena
perbuatan
yang
dilakukannya
itu
menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai penganiayaan. Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud untuk menimbulkan rasa sakit dalam perbuatannya,
tetapi
ia
tetap
dianggap
melakukan
penganiayaan
atas
pertimbangan, bahwa mestinya ia sadar bahwa perbuatan yang dilakuaknnya itu sangat mungkin menimbulkan rasa sakit. Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas terhadap unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah merupakan tujuan pelaku.
b. unsur perbuatan Yang dimaksud dengan perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
23
c. unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderiataan. Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanay perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misanya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebaginya. Unsur akibat – baik berupa rasa sakit atau luka – dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tanpa adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan adanya tindak pidana penganiayaan.
d. akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa dasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku.
Artinya pelakku
memang
menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku. Apabila akibat yang berupa rasa sakit atatu luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuyk mencaoai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
24
Dalam praktek penegakan hukum, persoalan yang muncul adalah apa yang menjadi ukuran atau kriteria dari tujuan yang patut itu? Persoalan itu mudah dijawab, sebab tidak ada ukuran atau kriteria umum baku yang dapat dipakai sebagai pedoman. Oleh karena tidak ada ukuran yang bersifat yang secara umum dapat diterapkan, maka ukuran atau kriteria patut atau tidak patut itu diserahkan pada akal pikiran dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Jadi, sifatnya sangat kasuistis dan tergantung dari kebiasaan dalam masyarakat setempat. Sebagai contoh perbuatan orang tua memukul anaknya. Menurut kebiasaan dalam masyarakat (mungkin untuk seluruh masyarakat di Indonesia), perbuatan tersebut diperbolehkan sepanjang tidak berlebihan. Artinya, sepanjang perbuatan pemukulan terhadap anak tersebut tidak melampaui batas-batas yang wajar, maka perbuatan tersebut (dianggap) tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dalam masyarakat. Perbuatan pemukulan terhadap anak tersebutr tidak dapa dianggap sebagai perbuatan yang wajar dan menurut akal pikiran sudah berlebihan, dan karenanya tidak lagi dipandang sebagai perbuatan untuk mencapai tujuan yang patut, apabila perbuatan pemukulan tersebut misalnya dilakukan dengan menggunakan sepotong besi.
3. Jenis-jenis Penganiayaan Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia. Didalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
25
Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut: a. Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP b. Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP c. Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP d. Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP e. Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap tindak pidana tersebut, dibawah ini akan diuraikan satu persatu jenis tindak pidana tersebut. a. Penganiayaan Biasa Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUHP. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut jenis tindak pidana ini adalah tindak pidana penganiayaan dalam bentuk pokok. Apabila dibandingkan dengan
perumusan tentang tindak pidana lain
dalam KUHP, maka perumusan tentang tindak pidana penganiayaan biasa merupakan perumusan yang paling singkat dan sederhana. Ketentuan Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan kualifikasinya saja tanpa menguraikan unsurunsurnya. Oleh karena Pasal 351 hanya menyebutkan kualifikasinya saja, maka berdasarkan rumusan Pasal 351 tersebut tidak jelas perbuatan seperti apa yang sebenarnya dimaksud. Sebagai kelaziman yang berlaku dalam hukum pidana, dimana terhadap rumusan tindak pidana yang hanya menyebut kualifikasinya biasanya ditafsir
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
26
secara historis, maka penafsiran terhadap Pasal 351 KUHP tersebut juga ditempuh berdasarkan penafsiran historis. Untuk memberikan gambaran awal tentang perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 351 KUHP diatas, akan dikutip ketentuan dalam Pasal tersebut. Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan : 1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. 2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan penjara paling lama lima tahun. 3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan. 5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 351 KUHP diatas terlihat bahwa rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang dimaksudnya. Ketentuan Pasal 351 KUHP tersebut hanya merumuskan kualifikasinya saja dan pidana yang diancamkan. Tindak pidana dalam 351 KUHP dikualifikasi sebagai penganiayaan. Apabila ditelusuri sejarah pembentukan Pasal 351 KUHP diatas pada awalnya juga terdapat rumusan Pasal sebagaimana lazimnya rumusan Pasal-Pasal lain dalam KUHP yang merupakan unsur-unsur perbuatan dan juga akibat yang dilarang. Rumusan awal Pasal 351 KUHP yang diajukan oleh Menteri Kehakiman Belanda ke Parlemen saat itu terdiri dari dua rumusan, yang pada intinya
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
27
memberikan batasan sekaligus menguraikan unsur-unsur perbuatan penganiayaan, yaitu: 1) Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan pada tubuh orang lain. 2) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh orang lain. Rumusan awal Pasal 351 KUHP yang diajukan Menteri Kehakiman diatas sebenarnya
cukup
memberikan
kejelasan
tentang
apa
yang
dimaksud
penganiayaan oleh karena dalam rumusan tersebut sudah memuat unsur-unsur perbuatan maupan akibat. Namun oleh karena sebagian parlemen menganggap istilah rasa sakit atau penderitaan tubuh memuat pengertian yang sangat bias atau kabur, maka parlemen mengajukan keberatan atas rumusan tersebut. Sehingga perumusan Pasal 351ayat (1) hanya menyebut kualifikasinya saja, yaitu penganiayaan didasarkan atas pertimbangan, bahwa semua orang dianggap sudah mengerti apa yang dimaksud dengan penganiayaan. Berdasarkan uraian tersebut, bahwa dalam konteks historis istilah penganiayaan diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan pada tubuh. Adapun unsur-unsur dari penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP adalah sama dengan unsur-unsur penganiayaan pada umumnya yaitu: a. Unsur kesengajaan; b. Unsur perbuatan;
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
28
c. Unsur akibat perbuatan berupa rasa sakit, tidak enak pada tubuh, dan luka tubuh, namun dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP ini tidak mempersyaratkan adanya perubahan rupa atau tubuh pada akibat yang yang ditimbulkan oleh tindak pidana penganiayaan tersebut. d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku. Dengan selesainya pembahasan mengenai Pasal 351 ayat (1) KUHP, maka dibawah ini akan dibahas penganiayaan dalam Pasal 351 dalam ayat-ayat berikutnya.
Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat Pasal 351 ayat (1) Merujuk pada pengertian penganiayaan sebagaimana diuraikan diatas, maka apabila dirinci maka unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) adalah i.
unsur kesengajaan;
ii.
unsur perbuatan;
iii.
unsur akibat, yang berupa rasa sakit atau luka berat. Apabila dilihat unsur-unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) diatas
maka terlihat unsur-unsur dalam Pasal 351 ayat (2) hampir sama dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Perbedaan antara kedua penganiayaan tersebut terletak pada akibatnya. Pada penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (2) akibat dari perbuatan tersebut haruslah berupa luka berat. Apakah perbedaan antara luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2) dengan luka dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP? Secara yuridis formal sebenarnya tidak ada Pasal atau ayat yuang menunjukkan adanya perbedaan antara kedua istilah tersebut sebab dalam konteks
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
29
KUHP, tidak ada batasan tentang apa yang dimaksud dengan luka. KUHP hanya memberikan gambaran tetang apa yang dimaksud luka berat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 90 KUHP. Sementara tentang luka
sama sekali tidak
disinggung. Secara doktrin, istilah luka dalam konteks pada 351 ayat (1) KUHP diartikan sebagai luka ringan. Penggunaan istilah luka ringan tersebut atas pertimbangan, bahwa dalam konteks Pasal 351 ayat (2) dikenal istilah luka berat. Dengan demikian, menurut doktrin istilah luka dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP harus diartikan sebagai luka ringan sebagai lawan dari istilah luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2). Secara yuridis formal, luka berat dijelaskan didalam Pasal 90 KUHP yang menyatakan, bahwa luka berat mengandung arti: i. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; ii. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; iii. Kahilangan salah satu panca indera; iv. Mendapat cacat berat; v. Menderita sakit lumpuh; vi. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; vii. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan. 18 Dengan merujuk Pasal 90 KUHP diatas nampak jelas apa yang dimaksud dengan luka berat. Oleh karena secara doktriner, luka ringan merupakan istilah yang dilawankan dengan istilah luka berat, maka luka ringan dapat diartikan 18
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1994, hal. 90.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
30
sebagai luka pada tubuh yang tidak berupa luka-luka sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 KUHP. Juga dengan merujuk Pasal 352 KUHP, maka yang termasuk luka ringan adalah luka yang tidak termasuk dalam pengertian Pasal 90 KUHP dan juga tidak termasuk pengertian luka dalam konteks penganiayaan ringan sebagai mana dimaksud Pasal 352 KUHP. Menurut ketentuan Pasal 352 KUHP penganiayaan dikualifikasi sebagai penganiayaan ringan apabila luka yang ditimbulkan itu tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaaan jabatan atau pencaharian. Merujuk pada Pasal 90 dan 352 KUHP diatas tersimpul pendapat, bahwa luka ringan yang dimaksud dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP adalah luka (ringan) yang menimbulkan penyakit atau menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaaan jabatan atau pencaharian yang bersifat sementara. Patut kiranya menjadi catatan, bahwa timbulnya luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2) KUHP bukanlah merupakan tujuan dari pelaku. Tujuan yang ingin dituju oleh pelaku adalah rasa sakit atau luka tubuh saja. Jadi, dalam konteks penganiayaan biasa yang menimbulkan luka berat harus dibuktikan bahwa luka berat tersebut bukanlah tujuan dari pelaku. Sebab apabila luka berat itu menjadi tujuan dari pelaku atau merupakan akibat yang dimaksud oleh pelaku, maka yang terjadi bukan lagi penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, tetapi yang terjadi adalah penganiayaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 353 KUHP. 19
19
Tongat, op.cit. hal. 81
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
31
Dengan selesainya pembahasan mengenai Pasal 351 ayat (2) KUHP ini, maka akan dilajutkan dengan membahas Pasal 351 ayat (4) KUHP karena Pasal 351 ayat (3) KUHP akan dibahas dalam pembahasan tersendiri.
Penganiayaan yang berupa perbuatan sengaja merusak kesehatan 351 ayat (4) Penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP merupakan penganiayaan yang mana akibat dari penganiayaan tersebut berupa rusaknya kesehatan dari korban merupakan akibat yang dikehendaki dari pelakunya. Apabila dikaitkan dengan teori kehendak dan teori pengetahuan, maka penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (4) mempersyaratkan, bahwa pada saat melakuakan
perbuatannya
(penganiayaan)
pelaku
memang
menghendaki
dilakukannya perbuatan tersebut serta ia mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan itu akan menimbulkan rusaknya kesehatan. Unsur rusaknya kesehatan yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP berbeda dengan unsur rasa sakit dan luka tubuh yang menjadi unsur penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Sekalipun secara logika sangat mungkin terjadinya rasa sakit atau luka tubuh itu sekaligus merupakan perbuatan yang merusak kesehatan, namun merusak kesehatan yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat ayat (4) mempunyai makna yang lain dari makna dua unsur tersebut yang bersifat memperluas unsur rasa sakit atau luka tubuh. Secara doktriner, merusak kesehatan diidentikkan dengan merusak kesehatan fisik. Merusak kesehatan bukan saja berarti sakit (secara fisik), tetapi juga mengandung arti melakukan perbuatan menjadikan orang yang sudah sakit menjadi tambah sakit. Secara yuridis formal merusak kesehatan tidak ada
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
32
perumusannya didalam undang-undang. Namun secara doktrin, merusak kesehatan dapat diartikan sebagai merusak fungsi organ atau sebagian dari organ tubuh manusia.
b. Penganiayaan Ringan Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Berbeda dengan penganiayaan lain yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi, maka penganiayaan ringan merupakan pengecualian dari asas konkordansi 20. Jenis tindak pidana ini dalam WvS tidak dikenal. Dibuatnya ketentuan tentang penganiayaan ringan dan tindak pidana ringan pada umumnya di dalam KUHP yang diberlakukan di Indonesia adalah atas dasar adanya perbedaaan kewenangan mengadili dari Pengadilan Polisi (Land gerecht) dan Pengadilan Negeri (Landraad) yang sengaja dibentuk oleh pemerintah kolonial di Indonesia. Pengadilan Polisi berwenang mengadili perkara-perkara ringan sedang untuk Pengadilan Negeri untuk perkara-perkara yang lain. Rumusan tentang penganiayaan ringan yang terdapat dalam Pasal 352 KUHP adalah sebagai berikut: 1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. 2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
20
Ibid, hal. 84.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
33
Berdasarkan ketentuan Pasal 352 KUHP diatas tersimpul, bahwa yang dimaksud dengan penganiayaan adalah penganiayaan yang tidak termasuk dalam: 1) Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP. 2) Penganiayaan terhadap orang yang mempunyai kualifikasi tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP yaitu penganiayaan terhadap: i. Ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya; ii. Pegawai negeri yang sedang atau karena menjalankan tugasnya yang sah iii. Nyawa atau kesehatan, yaitu memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan atau dimakan atau diminum. 3) Penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. Berdasarkan rumusan dalam Pasal 352 ayat (1) tersimpul, bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian sepanjang penganiayaan itu tidak dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu, demikian juaga apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan dan jabatan atau pencaharian itu dalam makanan atau minuman, penganiayaan itu merupakan penganiayaan ringan. Dengan kata lain dapat dikemukakan, bahwa sekalipun penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau mata pencaharian, tetapi apabila penganiayaan itu dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu, demikian juga apabila penganiayaan itu dilakukan dengan cara memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
34
kesehatan, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian itu bukan penganiayaan ringan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 352 KUHP diatas, sangat mungkin menimbulkan pertanyaan, apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian itu dengan berencana atau dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu demikian juga apabila penganiayaan itu dilakukan dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa dan kesehatan, masuk dalam penganiayaan yang mana? Dalam hal ini apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian itu dilakukan dengan berencana, maka penganiayaan itu masuk dalam rumusan Pasal 353 KUHP. Dalam konteks penganiayaan ringan yang dilakukan dengan berencana, barang kali tidak menimbulkan kesulitan dalam penerapan hukum. Persoalan akan muncul manakalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian itu dilakukan terhdap orang-orang yang berkualitas tertentu. Mengingat, penganiayaan
yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhdapa orang yang mempunyai kualitas tertentu itu dikecualikan sebagai penganiayaan ringan. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya orang tua yang memukul anaknya, sehingga karena pukulan itu menimbulkan rasa sakit atau luka pada anak
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
35
tersebut. Dapat juga misalnya seorang suami yang memukul istrinya, sehingga karena pukulan itu istri merasa kesakitan atau tubuh istri terluka. Apabila bertolak dari rumusan Pasal 352 ayat (1) KUHP diatas, dua contoh penganiayaan itu yaitu penganiayaan orang tua terhadap anaknya dan penganiayaan suami istrinya bukanlah merupakan penganiayaan ringan. Lantas masuk mana penganiayaan tersebut? Secara logika, yang paling mungkin adalah bahwa dua contoh penganiayaan diatas masuk kedalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu penganiayaan biasa. Namun, oleh karena penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) secara doktriner dan berdasarkan yudisprudensi ditafsir sebagai penganiayaan yang menimbulkan rasa sakit atau luka tubuh, semntara luka tubuh dalam konteks Pasal 351 ayat (1) harus ditafsir sebagai luka yang menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian meski harus bersifat sementara. Oleh karena itu secara logika penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu hanya mugkin dianggap sebagai penganiayaan biasa. Apabila penganiayaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu hanya menimbulkan rasa sakit atau luka yang tidak menjadi halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu dianggap sebagai penganiayaan biasa bukan sebagai penganiayaan ringan apabila akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu hanya berupa rasa sakit atau berupa
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
36
luka pada tubuh, luka tersebut merupakan luka yang menghalangi untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian meski hanya sementara. Secara implisist ketentuan dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP mengandung pemahaman, bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhadap orangorang yang tidak mempunyai kualitas tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 356 bukanlah merupakan penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1), tetapi termasuk penganiayaan ringan sebagimana diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP.
c. Penganiayaan berencana Jenis penganiayaan ini diatur dalam Pasal 353 KUHP yang menyatakan: (1)
Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2)
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana paling lama tujuh tahun.
(3)
Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Berdasarkan rumusan Pasal 353 KUHP diatas tersimpul pendapat bahwa
penganiayaan berencana dapat berupa tiga bentuk penganiayaan, yaitu: (1) Penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan akibat akibat luka berat atau kematian, yaitu diatur dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP. Apabila dikaitkan dengan Pasal sebelumnya khususnya Pasal 351 ayat (1) KUHP yang mengatur penganiayaan biasa, maka penganiayaan berencana yang
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
37
tidak menimbulkan luka berat atau kematian tersebut berupa penganiayaan biasa yang direncanakan lebih dahulu. Dengan demikian jenis penganiayaan dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP berupa penganiayaan biasa berencana. Jenis penganiayaan adalah penganiayaan yang menimbulkan akibat rasa sakit atau luka tubuh yang dilakukan secara berencana. Luka tubuh dalam konteks Pasal 353 ayat (1) adalah luka tubuh yang tidak termasuk luka menurut Pasal 90 KUHP dan tidak termasuk dalam pengertian menurut ketentuan Pasal 352 ayat (2) KUHP. (2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat yang diatur dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP. (3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian yang diatur dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP. Apabila dilihat lebih lanjut, maka penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP mempunyai persamaan dan perbedaan dengan Pasal 353 ayat (1) KUHP. Persamaan dan perbedaan antara dua jenis penganiayaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 21 Persamaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana: 1. Sama-sama tidak mengkibatkan luka berat atau kematian; 2. Memiliki kesengajaan yang sama baik terhadap perbuatan maupun akibatnya; 3. Bila penganiayaan tersebut mengakibatkan luka, maka luka tersebut harus luka yang tidak termasuk luka berat sebagimana diatur dalam Pasal 90 KUHP.
21
Ibid, hal 92
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
38
Perbedaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana: Penganiayaan biasa
Penganiayaan berencana
Pasal 351 ayat (1)
Pasal 353 ayat (1) PERBEDAAN
1. Tidak ada unsur lebih dahulu
1. Ada unsur lebih dahulu
2. Dapat terjadi pada penganiayaan 2. Tidak ringan,
yaitu
menimbulkan halangan
dalam
hal
terjadi
pada
tidak
penganiayaan ringan, sebab Pasal
atau
353 disebut sebagai pengeculaian
penyakit
untuk
mungkin
menjalankan
dari penganiayaan ringan.
pekerjaan jabatan atau pencaharian. 3. Merupakan
penganiayaan
dalam 3. Merupakan
bentuk pokok. 4. Percobaannya tidak dipidana.
penganiayaan
yang
dikualifilasi 4. Percobaannya dipidana
d. Penganiayaan Berat Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Tindak pidana penganiayaan berat ini terdiri dari dua macam yaitu: (1) Tindak pidana penganiayaan berat biasa (yang tidak menimbulkan kematian) diatur dalam Pasal 354 ayat (1). (2) Tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, diatur dalam Pasal 354 ayat (2). Rumusan tentang tindak pidana penganiayaan berat dalam Pasal 354 adalah sebagai berikut:
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
39
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Apabila diuraikan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 354 ayat (1) memuat unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur kesalahan, berupa kesengajaan; b. Unsur melukai berat (perbuatan) c. Unsur tubuh orang lain; d. Unsur akibat yang berupa luka berat. Dalam Pasal 354 KUHP akibat luka berat merupakan maksud dan tujuan dari sipelaku yaitu bahwa sipelaku memang menghendaki terjadinya luka berat pada korban. Berbeda dengan penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, dimana luka berat bukanlah akibat yang dimasuk oleh sipelaku. Dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, kematian bukanlah merupakan akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat. Dalam tindak pidana ini harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kesengajaan untuk menimbulkan kematian, baik kesengajaan sebagi maksud, sebagai kemungkinan atau sebagai kepastian.
e. Penganiayaan berat berencana Jenis penganiayaan berat berencana diatur dalam Pasal 355 KUHP. Penganiayaan ini pada dasarnya merupakan bentuk penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana. Jenis penganiayaan ini merupakan gabungan antara
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
40
penganiayaan berat dengan penganiayaan berencana. Dengan demikian untuk dapat terjadinya penganiayaan berat berencana dalam Pasal 355 KUHP, maka niat pelaku atau kesengajaan pelaku tidak cukup bila ditujukan terhadap perbuatannya dan terhadap luka beratnya, tetapi kesengajaan itu juga harus ditujukan terhadap unsur berencananya. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa baik terhadap perbuatannya maupun terhadap luka beratnya, pelaku mempunyai kehendak untuk mewujudkannya yang kemudian direncanakannya. Menurut ketentuan Pasal 355 KUHP, penganiayaan berencana dapat dirumuskan sebagai berikut: (1)
Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2)
Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama kima belas tahun. Berdasarkan
rumusan
Pasal
355
KUHP
diatas
terlihat,
bahwa
penganiayaan berat berencana terdiri atas dua macam, yaitu: 1)
Penganiayaan berat berencana yang tidak menimbulkan kematian. Jenis penganiayaan ini sering disebut sebagai penganiayaan berat berencana biasa. Dalam penganiayaan ini luka berat harus benar-benar terjadi yang juag harus dibuktikan, bahwa luka berat itu memang merupakan akibat yang dikehendaki oleh sipelaku sekaligus direncanakan.
2)
Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian. Namun matinya korban dalam tindak pidana ini bukanlah akibat yang dikehendaki oleh sipelaku. Kematian yang timbul dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang tidak dituju sekaligus tidak direncanakan. Sebab
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
41
apabila kematian merupakan kaibat yang dituju maka yang terjadi bukanlah penganiayaan melainkan pembunuhan (Pasal 338 KUHP).
f. Penganiayaan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu Jenis penganiayaan ini diatur dalam ketentuan Pasal 356 KUHP yang menyatakan: “Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga” ke-1
Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau anaknya;
ke-2
Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
ke-3
Jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum
Apabila dicermati,
maka Pasal 356
merupakan ketentuan yang
memperberat berbagai penganiayaan. Berdasarkan Pasal 356 KUHP ini terdapat dua hal yang memberatkan berbagai penganiayaan yaitu: a. Kualitas korban, yaitu apabila korban penganiayaan tersebut berkulaitas sebagai ibu, bapak, istri atau anak serta pegawai negeri yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah. b. Cara atau modus penganiayaan, yaitu dalam hal penganiayaan itu dilakukannya dengan cara memberi bahan untuk dimakan atau untuk diminum.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
42
B. TINDAK
PIDANA
PENGANIAYAAN
YANG
MENGAKIBATKAN
KEMATIAN Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan yang mana akibat kematian yang timbul bukanlah merupakan tujuan dari sipelaku. Tindak pidana ini diatur dalam beberapa Pasal dalam KUHP yaitu: 1)
Pasal 351 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian
2)
Pasal 353 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian
3)
Pasal 354 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian
4)
Pasal 355 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian
1. Unsur-unsur Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian a. Pasal 351 ayat (3) KUHP Apabila
dilihat
unsur-unsurnya,
maka
penganiayaan
biasa
yang
mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan penganiayaan dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 351 (1) KUHP. Secara
substansial,
perbedaan
antara
penganiayaan
biasa
yang
mengakibatkan kematian dengan penganiayaan biasa yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) adalah terletak pada akibat yang terjadi. Pada penganiayaan biasa Pasal
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
43
351 ayat (1) akibat yang timbul hanyalah rasa sakit atau luka pada tubuh. Sementara penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP akibat yang timbul adalah kematian. Namun akibat yang berupa kematian itu bukanlah merupakan akibat yang dituju oleh pelaku. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak untuk menimbulkan kematian. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan, bahwa pelaku hanya bermaksud menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh saja. Sekalipun akibat berupa matinya orang tersebut dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP bukan merupakan akibat yang dikendaki, namun akibat kematian tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akibat kematian itu benar-benar akibat dari perbuatan pelaku. Dengan kata lain, antara perbuatan penganiayaan dengan akibat yang yang ditimbulkan (berupa kematian) harus ada hubungan kausal. Dalam hal ini, untuk membuktikan hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban, aparat hukum dapat meminta bantuan kepada yang berkompeten, yaitu dokter.22 b. Pasal 353 ayat (3) KUHP Apabila diperhatiakan maka penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian seperti yang dimaksud dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP tindak pidana pokoknya adalah tindak pidana penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP. Jadi penganiayaan benrencana yang mengakibatkan kematian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP merupakan tindak pidana
22
Ibid, hal 82.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
44
penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian seperti yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu. Dalam konteks penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian perlu menjadi perhatian bahwa akibat berupa matinya korban tidak dikehendaki oleh pelaku. Demikian juga unsur berencana juag tidak ditujukan terhadap akibat matinya korban. Dalam konteks ini, kesengajaan dan unsur rencana lebih dulu tidak ditujukan terhadap matinya orang, tetapi hanya ditujukan terhadap timbulnya rasa sakit atau luka tubuh. c. Pasal 354 ayat (2) KUHP Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 354 ayat (2) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan penganiayaan berat dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 354 (1) KUHP. Namun dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian akibat yang ditimbulkan adalah matinya orang, akan tetapi kematian bukanlah akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat. d. Pasal 355 ayat (2) KUHP Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 355 ayat (2) KUHP sering disebut dengan penganiayaan berat berencana yang diperberat. Faktor pemberatnya adalah timbulnya kematian. Namun kematian bukanlah akibat yang dikendaki pelaku. Kematian dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang tidak dituju sekaligus tidak direncanakan.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
45
2. Perbedaan antara Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian dengan Tindak Pidana Pembunuhan Perbedaan antara Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian dengan Tindak Pidana Pembunuhan adalah terletak pada unsur-unsurnya. Adapun yang menjadi unsur penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah: a. Unsur kesengajaan b. Unsur perbuatan c. Unsur akibat perbuatan Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, yang menjadi akibat dari tindak pidana ini adalah matinya orang. Namun yang perlu ditekankan bahwa kematian tersebut bukan merupakan akibat yang diikehendaki oleh sipelaku. d. Unsur akibat mana menjadi satu-satunya tujuan pelaku. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, yang menjadi tujuan pelaku hanyalah rasa sakit atau luka tubuh. Akibat kematian yang timbul bukan merupakan tujuan pelaku. Sedangkan yang menjadi unsur-unsur tindak pidana pembunuhan adalah: a. Unsur obyektif: menghilangkan nyawa orang lain; b. Unsur subyektif: dengan sengaja Menghilangkan nyawa orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP harus memenuhi 3 syarat yaitu: a. Adanya wujud perbuatan b. Adanya akibat berupa kematian (orang lain)
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
46
c. Adanya hubungan sebab akibat (causalitas Verband) antara perbuatan dengan akibat yang berupa kematian Wujud perbuatan tersebut diatas tidak menunjuk pada perbuatan tertentu, tetapi bersifat abstrak sehingga wujud perbuatan menghilangkan nyawa dalam konteks Pasal 338 KUHP tersebut dapat berupa bermacam-macam perbuatan, seperti membacok, memukul, dan lain sebagainya. Selain
mensyaratkan
adanya
“wujud
perbuatan”,
tindak
pidana
pembunuhan juga mensyaratkan timbulnya akibat, yaitu berupa hilangnya nyawa orang lain, artinya tindak pidana pembunuhan itu baru terjadi setelah terjadi akibat hilangnya nyawa orang karena suatu perbuatan tertentu. Dalam tindak pidana pembunuhan akibat hilangnya nyawa orang merupakan tujuan pelaku. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa perbedaan antara tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dengan tindak pidana pembunuhan adalah sebagai berikut: 1. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, akibat matinya korban bukan merupakan tujuan pelaku, sedangkan dalam tindak pidana pembunuhan matinya korban merupakan tujuan pelaku. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya niat dari pelaku untuk membunuh korban yang diwujudkan dengan perbuatan. 2. Dalam pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, antara perbuatan dengan meninggalnya korban mempunyai jangka waktu, artinya korban tidak meninggal seketika perbuatan dilakukan, sedangkan dalam tindak pidana pembunuhan matinya korban seketika itu juga.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
47
BAB III HUBUNGAN KAUSALITAS PENGANIAYAAN DENGAN MENINGGALNYA KORBAN
A.
PENTINGNYA AJARAN KAUSALITAS Tidak dapat disangkal, bahwa suatu kejadian atau peristiwa selalu ada
penyebabnya. Apabila ditelusuri penyebab-penyabab dari suatu kejadian, dengan cara menjadikan penyebab yang terdekat. Apabila diteliti hakekat dari penyebabpenyebab tersebut, akan ternyata bahwa penyebab-penyebab tersebut pada suatu saat dapat berupa suatu perbuatan tertentu, pada saat lain berupa suatu kehendak, suatu keadaan, suatu dorongan, dan sebagainya. Pencarian penyebab tidak terbatas kepada hanya suatu tindakan yang dapat dipidana saja, melainkan berlaku untuk semua kejadian/peristiwa. Setiap penyebab mengandung suatu akibat, ibarat hukum alam yang menentukan adanya reaksi terhadap setiap aksi. Dilihat dari cara merumuskannya, maka tindak pidana dapat dibedakan antara tindak pidana yang dirumuskan secara formil disebit dengan tindak pidana formil (formeel delicten), dan tindak pidana yang dirumuskan secara materiil disebut dengan tindak pidana materiil (materieel delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan tingkah laku tertentu, artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya wujud perbedaan tertentu yang dilarang. Perbuatan tertentu inilah yang menjadi pokok larangan dalam tindak pidana formil. Dalam hubungan dengan penyelesaian tindak pidana formil kriterianya ialah pada perbuatan yang dilarang
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
48
tersebut. Apabila perbuatan terlarang selesai dilakukan, maka selesai pulalah tindak pidana, tanpa melihat atau tergantung pada akibat apa dari perbuatan itu. Sedangkan tindak materil ialah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat terlarang (unsur akibat konstitutif). Walupun dalam rumusan tindak pidana tersebut juga unsur tingkah laku (misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), namun untuk penyelesaian tindak pidana tidak bergantung pada selesainya mewujudkan tingkah laku, akan tetapi apakah dari wujud tingkah laku telah menimbulkan akibat terlarang ataukah tidak in casu pada pembunuhan hilangnya nyawa orang lain. Mewujudkan tingkah laku menghilangkan nyawa, misalnya dengan wujud konkritnya: menusuk (dengan pisau) tidaklah dengan demikian melahirkan tindak pidana pembunuhan, apabila dari perbuatan menusuk itu tidak melahirkan akibat matinya korban. Dalam hal percobaan tindak pidana materiil juga digantungkan pada unsur akibat konstitutif, bukan pada tingkah laku. Tingkah laku telah diwujudkan misalnya, melepaskan tembakan, tetapi dari wujud tingkah laku itu tidak atau belum menimbulkan akibat terlarang yakni matinya korban, maka yang terjadi barulah percobaan pembunuhan. Terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna adalah apabila akibat terlarang telah terwujud dari tingkah laku. Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan tiga syarat esensial, 23 yaitu: 1. Terwujudnya tingkah laku;
23
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.214.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
49
2. Terwujudnya akibat (akibat kontitutif atau constitutief gevolg); dan 3. Ada hubungan kausal (causaal Verband) antara wujud tingkah laku dengan akibat kontitutif. Tiga syarat inilah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak pidana materiil. Untuk menentukan (dalam praktek digunakan istilah untuk membuktikan) terwujudnya tingkah laku dengan terwujudnya akibat, tidaklah terdapat kesukaran. Akan tetapi untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar disebabkan oleh terwujudnya tingkahlaku adalah mendapatkan kesukaran, berhubung disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Contohnya, seorang bapak mengendarai sebuah sepeda motor hendak menyebrang – mengambil jalur lain dengan berbelok kekanan tanpa memperhatikan kenderaan dari arah belakang – dan ketika itu ada sebuah mobil yang melaju dari arah belakang. Menghadapi keadaan itu si pengendara mobil menginjak rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban di jalan yang keras, yang mengakibatkan bapak tersebut terkejut. Walupun mobil tidak sampai menabrak sepeda motor, namun tiba-tiba didepan mobil yang berhenti, bapak itu rubuh dan jatuh pingsan. Kemudian segera dilarikan kerumah sakit. Di rumah sakit ia tidak segera mendapatkan pertolongan, setengah jam kemudian meninggal dunia. Penyidikan dilakukan terhadap pengendara mobil dengan sangkaan kurang hati-hati menyebabkan orang lain meninggal dunia (Pasal 359 KHUP). Hasil otopsi menyebutkan bahwa “kematian korban, disebabkan karena serangan jantung”. Terbukti secara medis, bapak tadi mengidap penyakit jantung, yang
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
50
sewaktu-waktu
dapat
kambuh
dan
menyebabkan
kematiannya.
Dengan
berdasarkan hasil otopsi tersebut, penyidikan dihentikan. Peristiwa diatas merupakan satu contoh yang sulit dalam praktek hukum untuk menentukan ada tidaknya causaal Verband antara wujud perbuatan (pada contoh diatas: mengemudikan mobil dengan tiba-tiba mengijak rem) dengan akibat yang timbul yakni kematian bapak tadi. Pada peristiwa diatas, terdapat beberapa faktor yangn berpengaruh sehingga ujungnya menimbulkan kematian. Rangkaian faktor itu ialah: 1. Korban berbelok kanan – menyebrang dengan tiba-tba; 2. Pengemudi mobil dengan sekuat tenaga mengijak rem 3. Adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal; menyebabkan 4. korban terkejut; menyebabkan 5. kambuhnya penyakit jantung korban; 6. tidak segera mendapatkan pertolongan medik. Dalam peristiwa diatas ada enam faktor yang ikut mempengaruhi sehingga pada
ujungnya
ada
kematian.
Dalam
hubungannya
dengan
penentuan
pertanggungjawaban pidana, tidaklah mudah untuk menentukan faktor yang manakah yang menyebabkan kematian. Dalam menghadapi persoalan mencari dan menetapkan adanya hubungan kausal anatara wujud perbuatan dengan akibat semacam contoh diatas, ajaran kausalitas menjadi penting. Ajaran kausalitas adalah ajaran yang berusaha untuk mencari jawaban dari masalah seperti peristiwa diatas. Ajaran kausalitas dapat membantu para praktisi hukum terutama hakim dalam mencari dan menentukan ada atau tidaknya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat yang timbul. Ajaran
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
51
kausalitas juga penting dalam hal mencari dan menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana yang yang dikualifisir oleh unsur akibatnya. Tindak pidana yang dikulifisir oleh unsur akibatnya ialah suatu tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) yang ditambah dengan satu unsur khusus yakni unsur akibat yang timbul dari perbuatan, baik unsur akibat yang menjadikan tindak pidana lebih berat maupun lebih ringan. 24 Contoh unsur akibat yang menjadikan lebih berat dari bentuk pokonya yakni pada penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHP) yanmg mengakibatkan luka berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP), atau menimbulkan kematian (Pasal 351 ayat (3) KUHP). Luka berat atau kematian adalah unsur khusus dari penganiayaan yang menyebabkan penganiayaan itu lebih berat dari pada bentuk pokoknya. Untuk menentukan apakah luka berat atau kematian, disebabkan oleh wujud tingkah laku misalnya memukul dengan kayu dalam penganiayaan, juga ajaran kausalitas penting dan berguna.
B.
MACAM-MACAM AJARAN KAUSALITAS Untuk mencari faktor yang menjadi penyebab dari akibat digunakan ajaran
kausalitas. Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dikelompokkan dalam tiga teori yang besar 25, yaitu: 1. Teori conditio sine qua non 2. teori-teori yang mengindividualisir (individualiserede theorien) 3. teori-teori yang menggeneralisir (generalisirende theorien) 24 25
Ibid, hal. 217 Ibid, hal. 218
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
52
1. Teori Conditio Sine Qua non Teori ini berasal dari VON BURI, seorang ahli hukum Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden Reichtsgericht (Mahkamah Agung Jerman). Menurut teori ini, tidak membedakan mana faktor syarat dan yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, menurut teori ini, keenam faktor yang menjadi contoh dalam peristiwa matinya bapak tadi, diantara sekian dari rangakaian faktor, tidak ada yang merupakan syarat, semuanya menjadi faktor penyebabnya. Semua faktor dinilai sama pengaruhnya atau andil/peranannya terhadap timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah satu dari rangkaian faktor tersebut tidak akan terjadi akibat menurut waktu, tempat dan keeadaan senyatanya dalam peristiwa itu. Teori ini disebut juga dengan teori ekivalensi (Aquivelenz-theorie) atau bedingungtheorie. Disebut dengan teori ekivalensi, oleh karena ajaran von Buri ini menilai semua faktor adalah sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut dengan bedingungtheorie oleh karena dalam ajaran ini tidak membedakan antara faktor syarat (bedingung) dengan faktor penyebab (causa). Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Pada contoh tadi, sipengemudi dipertanggungjawabkan atas kematian bapak tadi, dipandang tidak adil, karena pada dirinya tidak ada kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dalam hal terjadinya peristiwa kematian bapak tadi, dan artinya bertentangan dengan azas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
53
zonder schuld). Untuk mengatasi kelemahan ajaran von Buri ini, maka VAN HAMEL salah seorang penganutnya melakukan penyempurnaan dengan menambahkan kedalam ajaran von Buri, ialah tentang ajaran kesalahan. Menurut van Hamel ajaran von Buri sudah baik, akan tetapi haruslah dilengkapi dengan ajaran tentang kesalahan (schuldleer). Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor diantara rangkaian sekian faktor dalam suatu peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggung jawab akibat timbulnya akibat itu, melainkan apabila pada diri sipembuatnya dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapat unsur kesalahan baik kesengajaan maupun kealpaan. Berdasarkan pendapat van Hamel ini maka dalam contoh diatas tadi sipengendara mobbil tidak perlu dipertanggungjawabkan atas kematian bapak itu, karena pada peristiwa itu tidak ada unsur kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dari sipengendara mobil.
2. Teori-Teori Yang Mengindividualisir (Individualiserede Theorien) Disamping ajaran VON BURI terdapat berbagai ajaran lainnya, yang pada intinya dalam mencari sebab dari pada suatu akibat dibatasi pada suatu atau beberapa peristiwa/faktor saja yang dianggap berpadanan, paling dekat atau seimbang dengan timbulnya suatu akibat. Berlainan dari teori van Buri, Traeger mengadakan perbedaan antara rangkaian peristiwa-peristiwa/kelakuan-kelakuan dan mencari diantara peristiwa-peristiwa tersebut, yang paling dekat menimbulkan akibat yang terlarang itu oleh undang-undang. Ia tidak menganggap semua peristiwa yang mendahului sebagai syarat dari timbulnya akibat. Ia membedakan
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
54
antara syarat dengan alasan (voorwaarde en aanleiding). Traeger hanya mencari satu peristiwa saja, yang dianggap sebab dari akibat itu. 26 Kemudian teori khusus ini berkembang dan yang termasuk padanya antara lain adalah: a. Teori pengaruh terbesar atau “die meist bedingung” atas nama Birk Meyer. Sarjana ini menentukan sebagai sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang paling besar pengaruhnya kepada timbulnya akibat itu. Sebagai contoh yang dia buat yaitu: jika dua kuda mengela sebuah kereta, maka berjalannya kereta itu adalah disebabkan oleh tarikan dari salah seekor kuda yang terkuat diantaranya. b. Teori yang paling menentukan die doorslag geeft; de theorie van het “Gleichgewicht”; Overwicht van positieve over negatieve voorwaarden atas nama Binding. Sarjana ini mengatakan, peristiwa yang harus dianggap sebagai adalah peristiwa positif (yang menjurus kepada timbulnya akibat) yang lebih menentukan dari pada peristiwa negative (yang menahan supaya akibat tidak timbul). c. Teori kepastian “die Art des Werdens” atas nama Kohler. Dikatakannya bahwa yang harus dianggap sebagai sebab adalah peristiwa yang pasti menimbulkan suatu akibat. Diutarakannya bahwa jika kita menanam bibit bunga dan kemudian berkembang, maka peristiwa-peristiwa/syarat-syarat untuk pertumbuhannya dapat disebut antara lain, hujan, sinar matahari, tanah dan lain-lain. Tetapi yang paling menentukan perkembangannya
26
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 127.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
55
adalah bibit bunga tersebut. Teori ini lebih menonjol jika peristiwa/syaratsyarat itu hampir sama nilainya.
3. Generaliseerende theorie (teori umum) Penganut lainnya yang juga menganut ajaran pembatasan, mendasarkan penelitiannya kepada fakta sebelum delik terjadi (ante factum), yaitu pada fakta yang pada umumnya menurut perhitungan yang lain, dapat dianggap sebagai sebab/kelakuan yang menimbulkan akibat itu. Fakta yang dianggap sebagai itu mencakupi (strekken) dan selanjutnya menimbulkan akibat itu. Mengenai teori ini dikenal beberapa teori yang berbeda. Perbedaannya bertolak pangkal pada pengertian dari istilah “perhitungan yang layak” a. Adaequatie theorie atau teori keseimbangan atas nama Von Kries dan yang pertama-tama mengemukakannya. Ajarannya ialah bahwa yang timbul, adalah kelakuan yang menurut perhitungan yang layak seimbang dengan akibat itu. Sedangkan yang dimaksudkan dengan perhitungan yang layak ialah peristiwa yang diketahui atau yang harus diketahui oleh pelaku. Disebut juga sebagai “subjektieve prognose” atau teori kesembuhan subjektif. Dalam hal ini sebenarnya Von Kries memasukkan unsur “kesalahan” dalam ajarannya, karena pengetahuan pelaku erat sekali hubungannya dengan “hubungan batin pelaku terhadap akibat yang dikehendaki”. b. Teori keseimbangan objektif
atas nama Rumelin. Sarjana ini
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan perhitungan yang layak bukan hanya apa yang diketahui pelaku, tetapi apa juga yang kemudian
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
56
diketahui oleh hakim, walaupun hal ini tidak diketahui oleh pelaku sebelumnya. c. Teori keseimbangan gabungan (aturan subjektif dan objektif) atas nama Simons. Menurut sarjana ini yang dimaksud dengan perhitungan yang layak adalah menurut pengalaman manusia
C.
HUBUNGAN KAUSAL ANTARA SEBAB DAN AKIBAT Antara sebab (motif), tindakan dan akibat (sebagai tujuan yang
dikehendaki yang terjadi) harus ada hubungannya. Hubungan itu disebut dengan hubungan- kausal (hubungan sebab akibat). Misalnya jika seutas tali dihubungkan dengan timba dan ujung lainnya dihubungkan dengan pengerek, dengan mudah terlihat, bahwa tali itu yang menghubungkan antara timba dan pengerek. Tetapi dalam suatu kasus hubungan penyebab (motif), tindakan dan akibat hanya dapat dibayangkan dalam diri pelaku. Hubungan motif (penyebab) dengan tindakan ialah bahwa motif itu merupakan “pendorong” bagi pelaku untuk melakukan tindakan tersebut. Hubungan tindakan dengan akibat adalah bahwa akibat itu dalam beberapa hal (atau delik) merupakan perwujudan dari kehendak pelaku, sedangkan dalam hal lainnya, akibat itu adalah kelanjutan logis dari suatu tindakan yang merupakan sebab. Untuk tersebut dapat juga dikatakan sebagai akibat dari akibat, dimana akibat yang terakhir berada diluar kehendak pelaku. Demikianlah jika seorang dokter mengoperasi pasiennya, akibat dari pisau yang digunakan, terdapat luka pada pasien tersebut. Jika operasi gagal, dapat mengakibatkan matinya pasien, yang tentunya diluar kehendak sang dokter.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
57
Juga jika A hendak menyakiti B yang kemudian memukulinya. Ada kemungkinan pemukulan itu kemudian mengakibatkan matinya B. Hal ini diluar kehendak A. Nyatalah bahwa pembedahan yang dilakukan oleh sang dokter, dengan terjadinya luka pada pasien mempunyai hubungan kausal, yaitu justru pembedahan itu sengaja dilakukan dalam rangka penyembuhan penyakit yang diderita pasien. Akan tetapi bahwa ternyata pasien kemudian mati, tidak ada hubungan kausal dengan usaha sang dokter untuk menyembuhkan penyakit. Dalam hal ini kematian pasien adalah sebagai akibat dari akibat. Demikian juga pemukulan A terhadap B mempunyai hubungan kausal terhadap sakitnya B. Apabila kemudian ternyata B mati, maka kematiannya itu merupakan akibat. Dalam hal ini dalam suatu perumusan undang-undang, biasanya akibat (dari akibat) seperti itu dijadikan sebagai syarat atau unsur yang memberatkan ancaman pidana. Nyatalah bahwa hubungan satu sama lain antara sebab, tindakan dan akibat, dilihat dari sudut ajaran sebab akibat ada yang mempunyai hubungan kausal dalam pengertian hukum pidana tetapi ada juga yang mempunyai hubungan dalam arti yang luas, yang apabila tidak ada pembatasannya, maka akan lebih mengaburkan penerapan ketentuan-ketentuan hukum pidana. Sudah barang tentu, dalam rangka pemidanaan hal tersebut diatas, harus masih dikaitkan dengan kesalahan pelaku dan apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Perumusan-perumusan delik sehubungan dengan motif, tindakan dan akibat, dilihat dari ajaran sebab akibat terdapat perbedaan-perbedaan. Umumnya motif itu tidak dimasukkan sebagai unsur dalam perumusan delik, walaupun adakalanya motif itu dapat dirasakan sebagai sebab (dari suatu tindakan).
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
58
Suatu tindakan yang dirumuskan dalam suatu delik, dapat juga dipandang sebagai sebab (oorzaak) dari suatu akibat tertentu, dapat disimpulkan sebagai paduan dari sebab akibat, dan dapat pula dipandang hanya sebagai tindakan saja yang tidak mempersoalkan sebab dan akibat. Sedangkan mengenai perumusan akibat, adakalanya hanya dapat disimpulkan dari suatu tindakan saja yang dirumuskan, dengan catatan bahwa walaupun akibat itu belum terjadi, dengan terjadinya tindakan tersebut, telah merupakan tindakan pidana yang sempurna. Misalnya dalam Pasal 351 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 291, 213 KUHP dan sebagainya. Adakalanya tindakan itu baru merupakan tindak pidana yang sempurna setelah terjadi akibatnya seperti tersebut dalam Pasal 338 KUHP, dan adakalanya tindakan seseorang itu belum merupakan suatu tindak pidana jika akibat yang ditentukan tidak ada.
D.
SEBAB AKIBAT DALAM PRAKTEK HUKUM Sering menjadi bahan perdebatan yang hangat antara penuntut umum
disatu pihak dengan terdakwa dan pembelanya dipihak yang lain dalam suatu persidangan pengadilan mengenai: sejauh manakah hakekat dari sebab akibat yang terkandung dalam perumusan suatu delik/kejahatan, dan sejauh manakah pengaruhnya untuk menentukan pertanggungjawaban terdakwa. Dalam delik-delik materiel pihak terdakwa sering tidak membatasi diri untuk hanya menanggapi perumusan suatu kelakuan/perbuatan/tindakan dalam undang-undang (yang dengan tegas ditentukan sebagai sebab dari akibat). Mereka cenderung untuk menjelajahi kejadian/perbuatan lainnya, situasi dan kondisi yang mendahului tindakan yang dilakukan yang sesuai dengan perumusan undang-undang. Hal ini
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
59
dimaksudkan agar fakta/data itu dapat diterima sebagai sebab dari tindakan yang dilakukan itu, bahwa juga sebagai sebab dari akibat yang terlarang. Tentunya yang dikemukakannya itu adalah hal-hal/keadaan-keadaan yang akan menguntungkan pihak terdakwa. Dalam hal ini fakta/data yang dikemukakan itu ada kemungkinan dimaksudkan untuk memberikan “bukti – perlawanan” tentang ketidakadaan atau peniadaan kesalahan pelaku, atau juga untuk meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan pelaku tersebut. Mungkin, dan minimal sebagai keadaan-keadaan yang dapat memperingan pertanggungjawaban pidana pelaku atau dalam rangka permohonan clementie (belas kasihan) hakim. Bahkan tidak jarang fakta/data semacam itu sengaja dikemukakan seakanakan telah pernah ada/terjadi, padahal tidak lain dari pada suatu khayalan atau suatu perandaian saja. Demikianlah dalam pemeriksaan persidangan perkaraperkara pemberontakan G.30.S., sering terdengar dalam jawaban-jawaban atau tangkisan para terdakwa, seakan-akan ada “Dewan Djenderal” yang hendak melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah. Kemudian dikatakan bahwa “kehendak kudeta” tersebut, merupakan penyebeb bagi mereka untuk melakukan apa yang mereka sebut sebagai “tindakan mendahului kudeta”. Nyatanya merekalah yang berkehendak untuk melakukan kudeta dengan mempersiapkan alasan-alasan yang dikarang untuk mengelabui keadaan yang sebenarnya. Pengutaraan dari khayalan tersebut dimaksudkan oleh mereka, untuk meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan mereka, atau dengan perkataan lain sebagai alasan pembenar dari tindakan mereka. 27
27
Ibid, hal 138
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
60
Sebagai contoh lain misalnya, karena G menghina P, lalu P memukul G dan pemukulan itu mengakibatkan matinya G. Pemukulan itu merupakan sebab (causa) dari matinya G. Pihak terdakwa akan menggunakan delik penghinaan G sebagai penyebabdari sebab (dalam hal ini pemukulan) dan kemudian sebagai salah satu dasar untuk meniadakan sifat melawan hukum dari pemukulan tersebut, atau setidak-tidaknya untuk memperingan pertanggungjawaban P. Penuntut umum sebaliknya akan menyorot delik penghinaan itu sebagai suatu tindak pidana tersendiri. Selanjutnya “penghinaan” yang dilakukan oleh si G adalah sebagai motif atau pendorong bagi P untuk melakukan pemukulan tersebut yang dalam hal ini dinilai sebagai penentuan/pembuktian tingkat kesalahan (schuld) dari P. Dalam Pasal-Pasal undang-undang, ada kalanya akibat itu ditentukan sebagai kehendak dari pelaku (Pasal 338 KUHP), tetapi dalam pasal lain akibat itu sebenarnya berada diluar kehendak pelaku, akan tetapi telah merupakan suatu kenyataan. Hubungan kausal antara sebab dan akibat dalam hal tersebut, ditinjau dari kehendak pelaku, memang tidak ada. Kalaupun hal ini dikatakan ada hubungan kausal, maka dasarnya adalah “hubungan kausal” dalam ilmu pengetahuan alam atau dalam ilmu pengetahuan biologis yang tidak selalu dapat disadari oleh pelaku pada saat ia melakukan tindakannya. Karena sekiranya akibat itu tidak secara tegas dicantumkan dalam undang-undang, maka perbedaan maksimum ancaman pidana dalam undang-undang seperti yang terdapat dalam Pasal 351 KUHP tidak perlu ada. Sejanjutnya, sekalipun “hubungan kasus” tidak terkait dengan kehendak atau kesadaran pelaku, namun hal-hal yang sudah menjadi pengetahuan umum, tidak dapat diabaikan begitu aja. Adalah merupakan pengetahuan umum bahwa suatu penganiayaan, walaupun mungkin jarang terjadi, dapat mengakibatkan
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
61
matinya orang yang dianiaya. Dan sudah seyogyanya jika pelaku/penganiaya harus dipertanggungjawabkan, walaupun tidak sama dengan pertanggungjawaban yang diminta oleh Pasal 338 KUHP dalam hal akibaynyaitu sama, yaitu matinya seseorang. Delik-delik formal selalu terbatas hanya pada perumusan delik. Namun demikian, tidak jarang terjadi pengutaraan sebab dan akibat dari delik tersebut. Misalnya seorang, yang membutuhkan uang untuk merawat keluarganya yang sakit, mencuri kuda andong. Pencuri akan mengutarakan apa sebabnya ia mencuri, yaitu untuk menggunakan hasil curiannya itu untuk merawat keluarganya yang sakit. Sudah barang tentu yang dimaksud dalam hal “merawat orang sakit” bukan merupakan tindakan yang tercela, bahkan sebaliknya hal mana diharapkan dapat diterima sebagai sebab dari pencurian tersebut. Sekiranya sebab seperti ini dapat diterima sebagai perluasan unsur delik, maka akan terjadi keragu-raguan, apakah pencuri itu telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum atau tidak. Sudah barang tentu pihak penuntut umum akan mengambil sikap yang berbeda seperti telah diutarakan diatas.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
62
BAB IV PERANAN VISUM ET REFERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN
A. KEDUDUKAN VISUM ET REFERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI 1. Alat Bukti Dalam KUHAP Pasal 183 KUHAP berbunyi bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh kenyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwanyalah yang bersalah melakukannya ”. Alat bukti yang sah dalam proses pembuktian di pengadilan diatur dalam Pasal 184 KUHAP ayat (1) yaitu: 1) keterangan saksi; 2) keterangan ahli; 3) surat; 4) petunjuk; dan 5) keterangan terdakwa. Dalam pembahasan ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah mengenai alat bukti surat yaitu Visum et Refertum yang dibuat oleh dokter ahli kehakiman. Menurut Andi Hamzah, surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. 28
28
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 2005, hal 271.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
63
2. Kedudukan Visum et Refertum Sebagai Alat Bukti Semenjak berlakunya Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mencabut HIR jo Undang-undang Nomor 1/Drt tahun 1951 jo Ketentuan perihal macammacam alat bukti yang sah tentang pembuktian dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan menjadi lebih lengkap, yaitu dengan dimasukkannya secara tegas alat bukti keterangan ahli didalam Pasal 184 ayat (1) hurub b KUHAP. Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli (pakar) itu bagi kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustisia dan pemeriksaan di sidang pengadilan, amat membantu dalam usaha untuk menembah keyakinan Hakim dalam hal pengambilan keputusan. Didalam pemeriksaan oleh Hakim di persidangan, suatu berkas pidana, apakah ada atau tidak ada Visum et Refertum, maka perkara yang bersangkutan tetap harus periksa dan diputus. Kelengkapan Visum et Refertum dalam berkas perkara terdakwa yang diperiksa oleh hakim, diserahkan kepada Penuntut Umum yang mulai diserahkan kepadanya berkas perkara Pro Yustisia tersebut oleh Penyidik Penuntut Umum memang berusaha untuk membuktikannya dalam sidang agar Majelis Hakim yakin perihal terbuktinya kesalahan terdakwa tersebut. Dalam beberapa kasus yang diperiksa di pengadilan, Majelis Hakim sendiri tidak mutlak harus mendasarkan diri pada Visum et Refertum. Kekuatan pembuktian (bewijskracht) dariVisum et Refertum diserahkan saja pada penilaian Hakim (Majelis Hakim). Oleh karena Penuntut Umum berusaha membuktikan kesalahan Terdakwa dipersidangan, berarti beban pembuktian bagi perkara pidana ada pada Penuntut
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
64
Umum, dalam usaha mencari kebenaran materil, dan Hakim tetap dibatasi pada alat-alat bukt i yang diajukan olehnya. Dan seumpamanya Penuntut Umum tidak bersedia menambah alat bukti yang hanya minimum, maka Hakim tidak dapat mencari sendiri alat bukti tambahan, sedangkan terdakwa mungkin. Sedangkan BAP Penyidik, jika terdakwa disitu mengaku, maka BAP Penyididk merupakan surat, yang dapat dipergunakan untuk alat bukti: “Petunjuk”. 29 Hal tersebut diatas sesuai dengan asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of innocence) menurut azas hukum Acara Pidana, yaitu bahwa seorang terdakwa pada azasnya harus dianggap tidak bersalah, sebelum kesalahan tersebut dinyatakan terbukti oleh suatu putusan hakim serta telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Karena itu KUHAP menentukan dalam Pasal 66 KUHAP: Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa yang diperlukan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang adalah: a. Adanya dua alat bukti yang sah (sekurang-kurangnya); b. Kenyakinan; c. Bahwa tindak pidana itu benar terjadi; d. Bahwa terdakwalah yang bersalah berbuat. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa ketentuan tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
R. Suparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Refertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 131. Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
65
hukum bagi seseorang. Dalam acara pemeriksaan cepat, kenyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. 30 Dalam persidangan, maka terhadap alat bukti yang ada dalam suatu berkas perkara dengan hasil-hasil pemeriksaan yang ada dalam berkas itu Hakim akan memeriksa, menilai dan menentukan alat bukti yang ada, apakah dari alat bukti yang ada itu dalam pemeriksaan di persidangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan batas minimum pembuktian seperti ditentukan Pasal 183 KUHAP (Penjelasan Pasal 184 KUHAP dalam perkara cepat) dan bukan untuk mencari alat bukti. Didalam dunia ilmu Pasal 183 KUHAP ini dikenal dengan sistem/stelsel Negative Wettelijk dalam hukum pembuktian pada acara pidana. Teori Negative Wettelijk tentang pembuktian (Negative Wettelijk bewijs theorie) menentukan syarat alat bukti, disertai adanya kenyakinan yang diperoleh Hakim sebagai unsur-unsur yang memegang peranan penting. Menurut sistem KUHAP, ketentuan-ketentuan Undang-undang (KUHAP) tidak boleh dilanggar, artinya Hakim tidak boleh dan dilarang “melanggar batas minimum pembuktian” dan Hakim wajib (imperatif) mengikuti dan menaati Pasal 183 jo. Pasal 184 KUHAP. Contohnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menentukan, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Hal ini dikenal dengan istilah Unus Testis Nullus Testis (seorang saksi bukan saksi). Pasal 183 diperlukan untuk mencapai batas minimum pembuktian guna menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa; hal ini untuk menjamin tegaknya
30
Penjelasan Pasal 184 KUHAP.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
66
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang hakim wajib memegang teguh hal tersebut dan dilarang untuk dilanggar.
3. Pengaturan Visum et Refertum Dalam Perundang-Undangan Indonesia a. Dalam KUHAP Visum et Refertum diatur dalam beberapa Pasal yaitu: Pasal 133 ayat (1) berbunyi: Dalam hal penyelidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban, baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Ayat (2), berbunyi: Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat. Pasal 134 ayat (1) berbunyi: Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Ayat (2) berbunyi: Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelasjelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. Pasal 135 berbunyi: Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan pasal 134 ayat (1) undang-undang ini. b. Dalam KUHP juga terdapat pengaturan Visum et Refertum yakni Pasal 222 berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menghalang-halangi, merintangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau setinggi-tingginya Rp. 4.500,-
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
67
Pasal 216 ayat (1) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja tidak menurut perintah atau tuntutan, yang dilakukan menurut peraturan undang-undang oleh pegawai negeri yang diwajibkan mengawasi-awasi pegawai negeri yang diwajibkan atau yang dikuasakan untuk menyelidiki atau memeriksa perbuatan yang dapat dihukum, demikian juga barangsiapa dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagal sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang pegawai negeri itu, dalam menjalankan sesuatu peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda setingi-tingginya Rp. 9.000,Ayat 2 berbunyi: Yang disamakan dengan pegawai negeri yang dimaksud dalam bahagian pertama dari ayat diatas ini, ialah segala orang yang menurut peraturan undang-undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan sesuatu pekerjaan umum.
4. Nilai Pembuktian Visum et Refertum Dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa: Dalam hal penyelidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban, baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Ayat (2), berbunyi: Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat. Sementara itu penjelasan Pasal 133 ayat (2) menyebutkan bahwa keterangan yang diberikan ahli kedokteran kahakiman tersebut disebut keterangan. Sedangkan dalam Pasal 186 KUHAP menyebutkan bahwa pengertian keterangan ahli yaitu apa yang seorang ahli nyatakan dalam siding pengadilan. Untuk lebih jelas tentang uraian diatas, penulis membuat skema seorang dokter sebagai pembuat Visum et Refertum dan seorang dokter yang menjadi saksi ahli (keterangan ahli) dalam membant tegaknya suatu keadilan. Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
68
Skemanya adalah seperti dibawah ini:
Penyidik (POLRI)
Permintaan Visum et Refertum
Dokter Kehakiman
Membalas Visum et Refertum Mengirim ke dokter
Jaksa Penuntut Umum
Korban (Penganiayaan yang mengakibatkan kematian)
memeriksa
Pengiriman berkas dan Visum et Refertum (Pasal
Melengkapi berkas Serta Visum et Refertum
s a k s i a h l i
Hakim/ Pengadilan
Keputusan
Keterangan: Polisi sebagai penyidik dalam tindak pidana umum, sudah lazim untuk pertama sekali mengetahui suatu tindak pidana, misalnya: tindak pidana pembunuhan, maka untuk keperluan penyidikan, polisi berdasarkan wewenangnya (Pasal 133 KUHP) mengirim korban pembunuhan kepada dokter kehakiman untuk meminta Visum et Refertum sebagai pengganti alat bukti, kemudian dokter kahakiman memeriksa korban pembunuhan, dan dari hasil pemeriksaaannya dibuat dalam bentuk Visum et Refertum dan dengan secepatnya diserahkan kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan. Selanjutnya barang-barang yang diperiksa oleh dokter, baik itu orang hidup, jenazah, organ tubuh, atau benda yang didapat dari dalam tubuh adalah merupakan barang bukti. Kedudukannya tidak berbeda seperti benda bukti lainnya
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
P a s a l 1 8 6 K U H A P
69
yang didapat dari tempat kejadian atau tempat lain yang disita oleh penyidik 31. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 KUHP yang berbunyi: Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana: b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana: d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindakn pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Disini orang yang menderita luka, organ tubuh, atau benda lain yang didapat dari tubuh merupakan barang atau benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. Sedangkan maksud penyitaan adalah untuk keperluan penyidikan, penuntutan dan periksaan di dalam sidang pengadilan nanti. Selanjutnya untuk menjaga serta mencegah adanya kekeliruan dengan benda lain, atau bertukar dengan benda lain yang tidak ada hubungan dengan perkara yang bersangkutan, benda sitaan itu harus disegel 32 seperti yang disyaratkan oleh Pasal 130 KUHAP yang berbunyi: (1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, cirri maupun sifat khas, tempat, hari, dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditanda tangani penyidik. (2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberikan catatan sebagaimana dalam ayat (1), yang ditulis diatas label yang ditembelkan atau dikaitkan pada benda tersebut. Dalam sidang nanti benda-benda tersebut oleh hakim ditunjuk kepada dan bila perlu kepada saksi-saksi seperti disebut dalam Pasal 181 KUHAP yang berbunyi:
31
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal. 116 32 Ibid hal. 116. Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
70
(1) Hakim Ketua memperilatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal barang tersebut dengan memperlihatkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini. (2) Bila perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi. (3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan tentang hal itu. Fungsi alat barang-barang bukti tersebut dapat menambah keyakinan hakim tentang tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. 33 Masalahnya sekarang, apakah mungkin menyita atau menyegel orang yang luka atau jenazah? Karena seorang yang luka-luka apabila tidak mendapat pengobatan, keadaannya akan memburuk, atau sipenderita luka meninggal dunia. Sedangkan atas jenazah tidak mungkin menunggu sampai perkaranya disidangkan Kemudian hasil pemeriksaan pendahuluan yang telah dituang kedalam berkas penyidikan dilimpahkan oleh penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum untuk penyusunan surat dakwaan. Antara penyidik dan jaksa penuntut umum mempunyai hubungan yang timbal balik dan sebelum jaksa melimpahkan berkas perkara termasuk Visum et Refertum kepengadilan, dan setelah dipersidangan Visum et Refertum masuk kedalam Pasal 187 KUHAP, sedangkan apabila hakim memanggil langsung pembuat Visum et Refertum itu didalam persidangan maka keterangan yang diberikan oleh dokter menjadi keterangan ahli. Setelah melalui beberapa tahap atau proses, sebagai akhir dari proses/tahapan itu adalah pembuat keputusan oleh hakim. Keputusan yang dibuat oleh hakim sebagai kesimpulan dari seluruh proses pemeriksaan terhadap alat-alat bukti, yang didasarkan pada kenyakinannya.
33
Ibid, hal. 117
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
71
Prof. Sutomo Tjokronegoro menguraikan bahwa sesuai dengan arti yang terkandung didalamnya yakni, apa yang dilihat dan ditemukan, maka maksud Visum et Refertum adalah memberi rencana (Visum et Refertumlag) yang sesungguhnya dan seobjektif-objektifnya
tentang apa yang dilihat dan
didapatinya pada waktu ia melakukan pemeriksaan rencana itu, yang mana hal tersebut bertujuan untuk: a. Memberi kenyataan-kenyataan (feiten) kepada hakim yang memimpin pengadilan agar berdasarkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dengan jalan lain, serta berdasarkan hubungan sebab akibat (leer der causaliteit) dapat diambil keputusan yang tepat. b. Memungkinkan
ahli
kedokteran
lain
yang
dipanggil
hakim
untuk
mempertimbangkan kesimpulan ahli kedokteran yang membuat Visum et Refertum itu. Hal ini bisa terjadi bila hakim tidak setuju dengan kesimpulan pembuat Visum et Refertum itu, tidak dapat hadir, sedangkan diperlukan keterangan lebih lanjut. 34 Dari penjelasan diatas dapatlah dikatakan bahwa Visum et Refertum itu harus dapat mengganti sepenuhnya benda yang diperiksa dan yang menjadi tanda bukti dalam tindak pidana. Hal ini harus diinsafi benar-benar. Pada tindak pidana pencurian atau pemalsuan maka barang yang dicuri atau dipalsukan itu dapat diajukan sebagai bukti dimuka pengadilan, tetapi dalam terdapat tubuh, buktibukti ditubuh manusia itu sudah berubah atau lebih buruk dari semula, atau dengan kata lain tanda bukti yang demikian itu tidak dapat diajukan kemuka persidangan. 34
Prof. Sutomo Tjokronegoro, Beberapa Hal Tentang Ilmu Kedokteran Kehakiman, Pustaka Rakyat, NV. Jakarta, 1952, hal. 45.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
72
Hal yang sering dijumpai dalam Visum et Refertum yang dapat berpengaruh terhadap kelancaran pemeriksaan perkara pada umumnya dan memungkinkan hakim memanggil kembali pembuat Visum et Refertum adalah: 1.
Terdapatnya istilah-istilah kedokteran, atau istilah-istilah asing di dalam Visum et Refertum yang pada umumnya kurang dipahami oleh hakim, oleh karena itu memerlukan penjelasan lebih lanjut sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh hakim sebagai tenaga-tenaga nonmedik.
2.
Terdapatnya kolom-kolom yang sering dibiarkan tidak diisi atau dicoret sesuai hasil pemeriksaan dokter atas korban terutama pada bagian kesimpulan dari Visum et Refertum sehingga tidak jelas apakah ada hubungan perbuatan pidana dengan akibat yang timbul.
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, menyatakan bahwa dari sudut materil alat bukti surat yang terdapat dalam pasal 187 KUHAP bukan merupakan alat bukti yang mengikat, dimana kekuatan pembuktian alat bukti surat bersifat bebas artinya hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. 35
B. HUBUNGAN
KAUSALITAS
PENGANIAYAAN
DENGAN
MENINGGALNYA KORBAN Dalam beberapa Pasal KUHP ditentukan kelakuan/tindakan yang dilarang atau diharuskan yang merupakan penyebab (causa) dari suatu akibat tertentu. Perumusan penyebab tersebut antara lain ialah: penganiayaan (Pasal 351 ayat 3). 35
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua, Sinar Grafika , Jakarta, 2002, hal. 289.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
73
Kelakuan/tindakan tersebut adalah merupakan sebab (causa, oorzaak) dari kematian seseorang. Untuk pemenuhan unsur-unsur dari delik-delik tersebut, tidak disyaratkan lagi mencari sebab dari kelakuan/tindakan tersebut lebih jauh ke depan. Dan pula tidak diperlukan untuk mencari atau mengungkapkan akibat lebih jauh ke belakang dari yang telah ditentukan. Dalam pembahasan ini penulis akan menguraikan bagaimana peranan visum dalam menentukan hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan matinya korban. Visum et refertum sangat berperan dalam menentukan hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban, yaitu dengan mengadakan pemeriksaan terhadap korban yang dilakukan oleh pembuat Visum et Refertum. Dari Visum et Refertum akan dilihat apa yang menjadi penyebab dari kematian korban. Pembuat Visum akan memeriksa apakah ada hal-hal lain (misalnya penyakit), yang diderita oleh sikorban, yang merupakan penyebab dari kematian. Dan di dalam Visum et Refertum akan diuraikan apa yang menjadi sebab-sebab kematian korban. Dari contoh kasus yang diuraikan oleh penulis akan terlihat bahwa penyebab dari kematian korban adalah akibat pendarahan yang banyak pada rongga dada dan perut akibat luka-luka dipembuluh darah besar jantung, limpa dan ginjal kiri yang diderita oleh korban, yang mana pendarahan tersebut akibat dari penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku. Jadi dalam hal ini akibat kematian yang dialami oleh korban adalah akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
74
C. MENENTUKAN
TINDAK
PIDANA
YANG
TERJADI,
APAKAH
PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ATAU PEMBUNUHAN Visum et Refertum juga berperan dalam menentukan tindak pidana yang terjadi, apakah merupakan penganiayaan yang mengakibatkan kematian atau pembunuhan. Hal ini dapat dilihat dari jangka waktu kematian korban dengan waktu tindak pidana terjadi. Apabila korban mati seketika tindak pidana terjadi maka tindak pidana yang terjadi adalah tindak pidana pembunuhan, sedangkan apabila korban tidak mati seketika tindak pidana terjadi, tetapi masih mempunyai jangka waktu (misalnya masih sempat dibawa kerumah sakit dan dokter masih sempat memberikan pertolongan) maka tindak pidana yang terjadi adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Untuk melihat jangka waktu kematian ini dapat dilihat dari Visum et Refertum. Selain dengan Visum et Refertum hakim juga dapat membuktikan tindak pidana yang terjadi, yaitu dengan melihat niat dan tujuan yang ingin dituju oleh pelaku. Dalam tindak pidana pembunuhan, akibat kematian adalah tujuan pelaku. Sedangkan dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian kematian korban bukan merupakan tujuan dari pelaku. Pelaku hanya menginginkan rasa sakit atau luka tubuh pada korban. Untuk lebih memperjelas pembahasan mengenai peranan visum et refertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, dalam bab ini penulis menganalisa suatu kasus yang telah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
75
D. KASUS Dalam bab ini penulis mengambil suatu kasus tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian yang telah diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Medan, adapun ringkasan kasus adalah sebagai berikut: Putusan Pengadilan Negari Medan No. 1066/Pid. B/2002/PN. Mdn. Kasus ini berkaiatan dengan Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP. Adapun kasusnya sebagai berikut: Pertama: ……Bahwa mereka terdakwa 1. Josep Sitepu, terdakwa 2. Hamzah Ginting dan terdakwa 3. Kelana Purba bersama dengan temannya Chandra Sembiring, Wasino dan Julianto Ginting (berkas terpisah), pada hari sabtu tanggal 2 Februari 2002 sekitar pukul 12.00 wib atau pada waktu lain pada bulan Februari 2002, di halaman Rumah Sakit Umum Adam Malik Jalan Bunga Lau Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Medan atau pada tempat lain yang termasuk wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan, dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, yang dilakukan oleh para terdakwa dengan cara sebagai berikut: pada hari sabtu tanggal 2 Februari 2002 sekitar pukul 11.30 wib terdakwa 1. Josep Sitepu, terdakwa 2. Hamzah Ginting dan terdakwa 3. Kelana Purba bersama dengan temannya Chandra Sembiring, Wasino dan Julianto Ginting (berkas terpisah) sedang berada di dapan sebuah warung yang terletak di depan RSU Adam Malik Medan, dan tidak lama waktu berselang terdakwa 1. Josep Sitepu melihat korban Dermawan Sembiring sedang berdiri di pinggir jalan, dan dikarenakan antara korban dengan terdakwa 1. Josep Sitepu sebelumnya telah terjadi perselisihan pribadi serta merasa dendam dengan korban. Selanjutnya
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
76
terdakwa 1. Josep Sitepu mengejar korban dengan membawa sebatang tombak yang ujungnya terbuat dari besi yang diambil terdakwa 1. Josep Sitepu dari oinggir parit warung. Perbuatan terdakwa 1 tersebut diikuti oleh terdakwa 2 yang membawa sebilah parang yang bergagang kayu yang diambil dari seorang pedagang di sekitar tempat kejadian, terdakwa 3 membawa batu, Wasino (berkas terpisah) membawa sebatang kayu dan Julianto Ginting membawa batu mangga. Menyadari bahwa jiwanya terancam, korban Dermawan Sembiring melarikan diri akan tetapi terjatuh karena dilempar oleh Julianto Ginting dengan batu, dan pada saat itu terdakwa 1 menusuk perut korban dengan tombak, tetapi korban masih bisa bangkit dan berlari menuju pintu gerbang rumah sakit, tetapi korban kembali jatuh dan dimanfaatkan oleh terdakwa 3 dengan membacok tangan kiri korban dengan parang sebanyak dua kali dan disusul oleh wasino dengan memukul kening korban sebanyak satu kali dengan menggunakan sebatang kayu, lalu terdakwa 3 kembali membacok dada sebelah kanan korban. Sedangkan Chandra Sembiring melempar punggung korban dengan batu dan terdakwa 2 membacok punggung korban sebanyak satu kali. Korban Dermawan Sembiring mencoba melakukan perlawanan dengan berusaha melempar batu kearah terdakwa 2, tetapi bisa dielak oleh terdakwa 2 yang lalu membacok punggung korban sekali lagi. Setelah melakukan perbuatan tersebut para terdakwa dan teman-temannya sempat melarikan diri sebelum menyerahkan diri kepada pihak berwajib pada hari minggu tanggal 3 Februari 2002, sedang korban dibawa ke Unit Gawat Darurat tetapi tidak tertolong dan akhirnya meninggal dunia berdasarkan Visum et Refertum yang dibuat oleh dokter yang berwenang.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
77
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atau; Kedua: ……Bahwa mereka terdakwa 1. Josep Sitepu, terdakwa 2. Hamzah Ginting dan terdakwa 3. Kelana Purba bersama dengan temannya Chandra Sembiring, Wasino dan Julianto Ginting (berkas terpisah), pada hari sabtu tanggal 2 Februari 2002 sekitar pukul 12.00 wib atau pada waktu lain pada bulan Februari 2002, di halaman Rumah Sakit Umum Adam Malik Jalan Bunga Lau Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Medan atau pada tempat lain yang termasuk wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan, dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang yang menyebabkan matinya orang tersebut, yang dilakukan oleh para terdakwa dengan cara sebagai berikut: pada hari sabtu tanggal 2 Februari 2002 sekitar pukul 11.30 wib terdakwa 1. Josep Sitepu, terdakwa 2. Hamzah Ginting dan terdakwa 3. Kelana Purba bersama dengan temannya Chandra Sembiring, Wasino dan Julianto Ginting (berkas terpisah) sedang berada di dapan sebuah warung yang terletak di depan RSU Adam Malik Medan, dan tidak lama waktu berselang terdakwa 1. Josep Sitepu melihat korban Dermawan Sembiring sedang berdiri di pinggir jalan, dan dikarenakan antara korban dengan terdakwa 1. Josep Sitepu sebelumnya telah terjadi perselisihan pribadi serta merasa dendam dengan korban. Selanjutnya terdakwa 1. Josep Sitepu mengejar korban dengan membawa sebatang tombak yang ujungnya terbuat dari besi yang diambil terdakwa 1. Josep Sitepu dari oinggir parit warung. Perbuatan terdakwa 1 tersebut diikuti oleh terdakwa 2 yang
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
78
membawa sebilah parang yang bergagang kayu yang diambil dari seorang pedagang di sekitar tempat kejadian, terdakwa 3 membawa batu, Wasino (berkas terpisah) membawa sebatang kayu dan Julianto Ginting membawa batu mangga. Menyadari bahwa jiwanya terancam, korban Dermawan Sembiring melarikan diri akan tetapi terjatuh karena dilempar oleh Julianto Ginting dengan batu, dan pada saat itu terdakwa 1 menusuk perut korban dengan tombak, tetapi korban masih bisa bangkit dan berlari menuju pintu gerbang rumah sakit, tetapi korban kembali jatuh dan dimanfaatkan oleh terdakwa 3 dengan membacok tangan kiri korban dengan parang sebanyak dua kali dan disusul oleh wasino dengan memukul kening korban sebanyak satu kali dengan menggunakan sebatang kayu, lalu terdakwa 3 kembali membacok dada sebelah kanan korban. Sedangkan Chandra Sembiring melempar punggung korban dengan batu dan terdakwa 2 membacok punggung korban sebanyak satu kali. Korban Dermawan Sembiring mencoba melakukan perlawanan dengan berusaha melempar batu kearah terdakwa 2, tetapi bisa dielak oleh terdakwa 2 yang lalu membacok punggung korban sekali lagi. Setelah melakukan perbuatan tersebut para terdakwa dan teman-temannya sempat melarikan diri sebelum menyerahkan diri kepada pihak berwajib pada hari minggu tanggal 3 Februari 2002, sedang korban dibawa ke Unit Gawat Darurat tetapi tidak tertolong dan akhirnya meninggal dunia berdasarkan Visum et Refertum yang dibuat oleh dokter yang berwenang. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP. Berdasarkan setelah membaca surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, mendengarkan keterangan-keterangan saksi-saksi, keterangan
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
79
para terdakwa, dan alat bukti surat berupa Visum Et Refertum yang diajukan dipersidangan dan dikaitkan dengan barang bukti, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan memutuskan bahwa: KETERANGAN PUTUSAN Nomor. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri di Medan yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara pidana pada tingkat pertama yang dilakukan secara biasatelah menjatuhkan putusan dalam perkara dari terdakwa Nama: Josep Sitepu, Lahir di Kemenangan Tani, Umur: 22 Tahun, Jenis Kelamin: Laki-laki, Kabangsaan: Indonesia, tempat tinggal Jl. Jamin Ginting, Kec. Medan Tuntungan, Agama: Kristen, Pekerjaan : Ikut orang tua Terdakwa berada didalam tahanan sejak tanggal 4 Februari 2002 Mengingat Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.
Mengadili Menyatakan Josep Sitepu telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan
Tindak
Pidana
“secara
bersama-sama
melakukan
panganiayaan yang Mengakibatkan matinya orang”. Menghukum ia oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan. Menetapkan bahwa hukuman itu akan dikurangi seluruhnya selama terdakwa berada dalam tahanan sementara.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
80
Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan Memerintahkan barang bukti berupa Sebilah Tombak dan sebilah parang, dirampas untuk dimusnakan; Menghukum lagi terdakwa membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,Demikianlah diputuskan dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Pada hari Selasa tanggal 12 September 2002 oleh kami R.M.Malau,SH sebagai hakim ketua majelis, H.P.Purba,SH dan W.Pardamean< SH masing-masing sebagai Hakim Anggota dengan dihadiri oleh Hendra A. Ginting, SH Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan dan Ngapon Armaidi,SH Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut serta dihadiri terdakwa/Penasehat Hukumnya.
Hakim Anggota
Hakim Ketua
1. H.P.Purba,SH
R.M. Malau, SH
2. W. Pardamean,SH
Panitera Pengganti
Armaidi,SH
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
81
KETERANGAN PUTUSAN Nomor. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri di Medan yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara pidana pada tingkat pertama yang dilakukan secara biasatelah menjatuhkan putusan dalam perkara dari terdakwa Nama: Hamzah Giinting, Lahir di Medan, Umur: 23 Tahun, Jenis Kelamin: Lakilaki, Kabangsaan: Indonesia, tempat tinggal Jl. Bunga Ncole No. 01 Kec. Medan Tuntungan, Agama: Kristen, Pekerjaan : Ikut orang tua Terdakwa berada didalam tahanan sejak tanggal 4 Februari 2002 Mengingat Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.
Mengadili Menyatakan Hamzah Ginting telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan
Tindak
Pidana
“secara
bersama-sama
melakukan
panganiayaan yang Mengakibatkan matinya orang”. Menghukum ia oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan. Menetapkan bahwa hukuman itu akan dikurangi seluruhnya selama terdakwa berada dalam tahanan sementara. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan Memerintahkan barang bukti berupa Sebilah Tombak dan sebilah parang, dirampas untuk dimusnakan;
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
82
Menghukum lagi terdakwa membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,Demikianlah diputuskan dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Pada hari Selasa tanggal 12 September 2002 oleh kami R.M.Malau,SH sebagai hakim ketua majelis, H.P.Purba,SH dan W.Pardamean< SH masing-masing sebagai Hakim Anggota dengan dihadiri oleh Hendra A. Ginting, SH Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan dan Ngapon Armaidi,SH Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut serta dihadiri terdakwa/Penasehat Hukumnya.
Hakim Anggota
Hakim Ketua
1. H.P.Purba,SH
R.M. Malau, SH
2. W. Pardamean,SH
Panitera Pengganti
Armaidi,SH
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
83
KETERANGAN PUTUSAN Nomor. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri di Medan yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara pidana pada tingkat pertama yang dilakukan secara biasatelah menjatuhkan putusan dalam perkara dari terdakwa Nama: Kelana Purba, Lahir di Medan, Umur: 25 Tahun, Jenis Kelamin: Laki-laki, Kabangsaan: Indonesia, tempat tinggal Jl. Bunga Ncole No. 08 Kec. Medan Tuntungan, Agama: Kristen, Pekerjaan : Ikut orang tua Terdakwa berada didalam tahanan sejak tanggal 4 Februari 2002 Mengingat Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.
Mengadili Menyatakan Kelana Purba telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan
Tindak
Pidana
“secara
bersama-sama
melakukan
panganiayaan yang Mengakibatkan matinya orang”. Menghukum ia oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan. Menetapkan bahwa hukuman itu akan dikurangi seluruhnya selama terdakwa berada dalam tahanan sementara. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan Memerintahkan barang bukti berupa Sebilah Tombak dan sebilah parang, dirampas untuk dimusnakan;
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
84
Menghukum lagi terdakwa membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,Demikianlah diputuskan dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Pada hari Selasa tanggal 12 September 2002 oleh kami R.M.Malau,SH sebagai hakim ketua majelis, H.P.Purba,SH dan W.Pardamean< SH masing-masing sebagai Hakim Anggota dengan dihadiri oleh Hendra A. Ginting, SH Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan dan Ngapon Armaidi,SH Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut serta dihadiri terdakwa/Penasehat Hukumnya.
Hakim Anggota
Hakim Ketua
1. H.P.Purba,SH
R.M. Malau, SH
2. W. Pardamean,SH
Panitera Pengganti
Armaidi,SH
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
85
E. ANALISA KASUS Tanggapan
yang
akan
diberikan
penulis
terhadap
kasus
diatas
dititikberatkan pada kejadian perkara khusunya yang berkaitan dengan Visum Et Refertum di dalam persidangan. Jika dilihat secara seksama kasus yang diputus oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan Nomor. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, maka dapat disimpulkan bahwa hakim dalam perkara kriminil terhadap tubuh manusia (kasus penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang), tidaklah dapat melihat korban yang telah meninggal tersebut karena tidak mungkin dihadirkan dalam persidangan. Maka
untuk
menggantikan
tubuh
korban
penganiayaan
yang
mengakibatkan matinya orang sebagai alat bukti dipersidangan, agar hakim dapat memutuskan suatu perkara, maka dalam hal ini bantuan kedokteran kehakiman sangat diperlukan untuk menegakkan keadilan, dalam bentuk surat yang lazim disebut visum et refertum. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan visum et refertum, No. 05/II/IKK/VER/2002 yang dibuat oleh Dr. Rita Mawarni tertanggal 02 Februari 2002 (Visum Et Refertum terlampir dalam skripsi ini). Visum et refertum, baru mempunyai nilai hukum, apabila hakim dapat menerima hasil kesimpulan dokter dalam visum et refertum tersebut. Seandainya hakim meragukan hasil kesimpulan dokter tersebut maka hakim dapat meminta keterangan dokter yang membuat visum et refertum tersebut. Namun dalam hal ini hakim tidak ada meminta keterangan dokter bersangkutan, artinya hakim telah nyakin terhadap nilai pembuktian yang termuat dalam visum et refertum. Dengan demikian dapat dikatakan visum et refertum merupakan alat bukti yang memperjelas kejadian perkara dan menambah kenyakinan bagi hakim dalam
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
86
memutus suatu perkara. Sehingga dengan adanya pembuktian tersebut hakim memutuskan bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam pasal 351 ayat (3) KUHP jo. Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menarik suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1.
Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan yang berakibat kematian, namun kematian tersebut bukan merupakan akibat yang dituju korban. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian harus dapat dibuktikan apakah pelaku benar-benar tidak menginginkan kematian dari korban. Apabila hal tersebut tidak dapat dibuktikan oleh pelaku maka pelaku dihukum dengan melanggar delik pembunuhan. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian harus dapat dibuktikan hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban. Dalam pembuktian tersebut, apabila tidak ada hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan kematian korban, maka pelaku hanya didakwakan melakukan delik penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHP). Dalam pembuktian, apabila aparat penegak hukum mengalami kesulitan, maka aparat hukum tersebut dapat meminta batuan seorang dokter kehakiman. Laporan yang dibuat oleh kedoteran kehakiman dibuat dalam bentuk surat yang lazim disebut dengan istilah visum et refertum.
2.
Visum et Refetum adalah suatu laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan tertulis dari pihak yang berwajib mengenai apa yang
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
88
dilihat/diperiksa berdasarkan keilmuan dan berdasarkan sumpah, untuk kepentingan peradilan. Visum et Refertum dibuat oleh dokter kehakiman berdasarkan amanat dari Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP). Dokter kehakiman hanya dapat memberikan Visum et Refertum dalam menegakkan keadilan, terhadap tindak pidana kriminal dan perkara perdata yang berhubungan dengan tubuh manusia. Dalam visum et refertum, yang dibuat oleh dokter kehakiman, dimuat sebab-sebab dari kematian. Seperti halnya dalam kasus yang dibahas dalam bab iv bahwa akibat kematian dari korban adalah akibat pendarahan yang banyak pada rongga dada dan perut akibat luka-luka dipembuluh darah besar jantung, limpa dan ginjal kiri yang diderita oleh korban, yang mana pendarahan tersebut akibat dari penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku. Jadi dalam hal ini akibat kematian yang dialami oleh korban adalah akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku. Visum et refertum juga berfungsi untuk menentukan tindak pidana yang terjadi yaitu apakah merupakan tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Hal ini dapat dilihat dari laporan visum et refertum tersebut, dimana dalam visum et refertum tersebut tercantum waktu kematian korban. Dimana jangka waktu merupakan hal yang membedakan antara tindak pidana pembunuhan dengan penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Dalam sistem pembuktian Visum et refertum mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lainnya seperti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
89
B. SARAN 1. Dokter kehakiman sebaiknya menghindari istilah kedokteran atau istilah asing yang tidak dikenal oleh hakim pada umumnya dalam Visum et Refertum, namun jika hal tersebut terpaksa untuk menghindati salah pengertian, istilah tersebut sebaiknya dijelaskan dalam Bahasa Indonesia, supaya Visum et Refertum dapat
mengganti
sepenuhnya
keadaan
korban/orang
yang
diperiksannya sebagai alat bukti di persidangan dan pemanggilan pembuat Visum et Refertum tidak perlu lagi. 2. Hakim hendaknya kebih arif dalam menilai bukti-bukti yang diaujukan dalam suatu perkara pidana, agar tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran yang materil itu benar-benar dapat terjadi. 3. Visum et Refertum sebagai alat bukti surat hendaknya lebih diperhatikan hakim dalam proses pembuktian terutama dalam tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh supaya hakim dapat menerapkan hukum yang sesuai dengan kebenaran materiel sehingga keadilan dapat tercapai.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009
90
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, R, 2006, Forensik, Restu Agung, Jakarta Abidin, Andi Zainal, 1987, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung. Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran hukum Pidana Bagian 2, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Harahap, M. Yahya, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua, Sinar Grafika , Jakarta. Hamzah, Andi, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Kanter, E.Y, dkk, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Murtika, I Ketut, dkk, 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta RM, Suharto, 2002, Hukum Pidana Materiil EdisiKedua, Sinar Grafika, Jakarta Soeparmono, R, 2002, Keterangan Ahli dan Visum et Refertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung Soesilo, R, 1994, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor. Tjokronegoro,
Sutomo,1952,
Beberapa
Hal
Tentang
Ilmu
Kedokteran
Kehakiman, Pustaka Rakyat, NV. Jakarta. Tongat, 2003, Hukum Pidana Materiel, Djambatan, Jakarta
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009