PERANAN PENGAWASAN KOMISI PELAYANAN PUBLIK (KPP) MENUJU PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG BERBASIS TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK DI KOTA MALANG Didik Sukriono )
Abstract
This research aim to be: first, to knowing and explaining Role of controlling conducted by Commission Service of Public (KPP) to realize service of public which distinguishing Arrange Governance Which Whether (Good Governance) in Malang city. Second, to know and explain Resistances faced by Commission Service of Public in conducting controlling for the agenda of realizing service of public which distinguishing Arrange Governance Which Whether (Good Governance) in Malang city. The Public Service Commitee can not change the public service will be better than before, especially to arrange good governance in Malang. There are four reasons: (1) Not
all
institutions
have
regulations
of
standard
service;
(2)The
government/bureaucracy still place themselves as a one that must be served; (3) The scoop of independency of The Public Service Commitee still asked by people; (4) Very small amount of public partisipation. Keywords : controlling, the public service, good governance
PENDAHULUAN Pengaturan desentralisasi dan otonomi daerah terus mengalami perubahan seiring dengan konfigurasi politik yang silih berganti. Sebelum diberlakukan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, telah berlaku 7 (tujuh) UU yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah, yakni UU No. 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965 dan UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999.
) Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang, Jl. S. Supriyadi 48 Malang 0816552682, e-mail :
[email protected]
1
65148, Telp.
Desentralisasi dan otonomi daerah secara teoritis sebenarnya bukan sekedar pembagian kekuasaan, kewenangan dan keuangan dari pusat ke daerah, tetapi ia memiliki sejumlah tujuan mulia, yakni: mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, mendorong demokrasi lokal, menghargai keragaman lokal, mendekatkan perencanaan kepada masyarakat lokal serta membangkitkan potensi dan prakarsa masyarakat lokal. 1 Namun tujuan mulia desentralisasi dan otonomi daerah yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan seringkali ternodai dan cacat dalam tahap implementasi. Hal ini dapat kita buktikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan administrasi negara di daerah. Hasil kajian yang dilakukan Governance and Decentralization Survey 2002, misalnya, menemukan paling-tidak ada tiga masalah penting yang perlu disikapi dalam menyelenggarakan pelayanan publik pasca diberlakukan peraturan otonomi daerah, yaitu besarnya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, dan rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Tidak sedikit warga masyarakat yang masih sering merasa dipersulit ketika berhubungan dengan birokrasi – kecuali jika mereka bersedia menyediakan dan membayar dana lebih. Berbeda dengan slogan dan janji-janji yang dikumandangkan, dalam kenyataan kinerja layanan publik yang ditawarkan lembaga-lembaga pemerintah umumnya sarat permasalahan, dan bahkan acapkali mengecewakan publik. Di berbagai daerah, tidak adanya standar dan ketidakpastian biaya serta waktu pelayanan yang dikelola administrasi negara. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Para pengguna jasa yang sering tidak sanggup menghadapi ketidakpastian cenderung memilih membayar biaya yang lebih tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk memperoleh kepastian waktu dan kualitas pelayanan. Sebaliknya, para penyelenggara pelayanan memanfaatkan situasi ini untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan pribadinya. Sayangnya, sejauh ini tidak ada UU dan Perda yang jelas mengatur secara seimbang antara hak dan kewajiban dari pelanggan dan pengguna pelayanan publik. UU dan Perda dalam penyelenggaraan pelayanan publik hanya mengatur kewajiban 1
Sutoro Eko. 2004. “Memperkuat Prakarsa Masyarakat Melalui Perencanaan Daerah”. Kata pengantar dalam buku Alexander Abe, 2004. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Pembaruan, hlm. xxix; Astawa, I Gde Pantja. 2004. “Dinamika Otonomi dalam Kerangka Negara Hukum” dalam Jurnal Hukum Jentera, Edisi 3/Nomor II November 2004, Jakarta: PSHK
2
pengguna jasa tanpa memberikan perlindungan yang memadai mengenai hak-haknya dan hal yang dapat dilakukan oleh seorang pengguna jasa yang merasa dilanggar haknya. Peraturan yang ada dalam penyelenggaraan pelayanan publik selama ini tidak pernah mengatur kewajiban penyelenggara dan resikonya ketika mereka gagal memenuhi kewajibannya. Kondisi semacam ini membuat rezim pelayanan bisa memperlakukan warga pengguna jasa sekehendaknya sendiri dan menjadi penyebab dari ketidakpastian biaya dan waktu pelayanan.2 Faktor lain yang menjadi penyebab buruknya kinerja pelayanan publik adalah kompleksnya struktur birokrasi pelayanan publik. Selama ini suatu birokrasi pelayanan publik sering tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk secara sendirian menyelesaikan proses pelayanan publik di lembaganya. Penyelesaian proses pelayanan publik sering harus melibatkan lembaga lainnya. Ini terjadi karena fragmentasi birokrasi dan kekuasaan, baik yang ada di pusat maupun daerah, cenderung sangat tinggi. Akibatnya, sering warga negara yang membutuhkan pelayanan publik harus mendatangi banyak kotak birokrasi yang masing-masing memiliki kompleksitas yang berbeda. Kondisi seperti ini mendorong terjadinya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan. Lebih dari itu, kondisi ini juga mempersulit pengembangan suatu sistem pelayanan satu atap (one-door services) dan koordinasi yang efektif. Koordinasi akan menjadi semakin sulit ketika melibatkan semakin banyak satuan birokrasi dalam penyelenggaraan suatu pelayanan publik.3 Di Jawa Timur, berdasarkan rekaman pemberitaan yang dilakukan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya selama satu tahun, telah terjadi 1.843 pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan pelayanan umum atas dasar persyaratan dan persamaan umum (periode Juli 2003 – Juni 2004). Jumlah itu baru yang terekam dalam berita media massa.4 Kasus yang kerapkali terjadi di Jawa Timur, misalnya masalah pengurusan KTP yang tidak sesuai harga yang tertera, pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tugas-tugas PNS. Keluhan masyarakat mengenai kinerja administrasi negara menunjukkan bahwa institusi ini belum bisa menjalankan fungsinya secara baik. 2
Agus Dwiyanto, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, hlm. 248 3 Ibid, hlm. 249 4 Anton Novenanto. 2006, 09 Maret 2006. Birokrasi dan Politik Pemda, Artikel Opini di Harian Kompas Edisi Jawa Timur
3
Berdasarkan atas berbagai persoalan yang muncul dalam pelayanan publik dalam era otonomi sebagaimana dijelaskan diatas, maka kedepan dibutuhkan pengawasan intensif dan sistematik terhadap penyelengaraan pelayanan publik. Pengawasan dimaksudkan untuk mencegah segala bentuk penyimpangan tugas pemerintah dari apa yang telah digariskan (preventif) dan menindak atau memperbaiki segala penyimpangan yang terjadi (refresif). Untuk mengintensifkan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama-sama dengan Gubernur Jawa Timur telah membentuk Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik di Jawa Timur. Melalui Perda ini telah dibentuk sebuah institusi independen bernama Komisi Pelayanan Publik (KPP), yang diharapkan melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur. Berdasarkan dari paparan diatas kami tertarik untuk mengetahui secara lebih mendalam peranan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Pelayanan Publik melalui sebuah penelitian berjudul “Peranan Pengawasan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Menuju Penyelenggaraan Pelayanan Publik Yang Bercirikan Tata Pemerintahan yang Baik di Kota Malang”.
RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini, yaitu: Pertama, bagaimana peran Komisi Pelayanan Publik (KPP) dalam melakukan pengawasan untuk mewujudkan pelayanan publik yang bercirikan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) di Kota Malang. Kedua, hambatan-hambatan apa yang dihadapi Komisi Pelayanan Publik dalam melakukan pengawasan dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang bercirikan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) di Kota Malang.
TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari Penelitian ini adalah: Pertama, mengetahui dan menjelaskan peran Komisi Pelayanan Publik (KPP) dalam melakukan pengawasan untuk mewujudkan pelayanan publik yang bercirikan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) di Kota Malang.; Kedua, mengetahui dan menjelaskan hambatanhambatan yang dihadapi Komisi Pelayanan Publik dalam melakukan pengawasan dalam 4
rangka mewujudkan pelayanan publik yang bercirikan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) di Kota Malang.
METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian yuridis sosiologis (socio legal research). Penelitian dengan pendekatan socio legal research disebut juga dengan Penelitian hukum Nondoktrinal. Menurut Wignjosoebroto5 Penelitian jenis ini berkembang dalam ranah kajian hukum karena dalam perubahan-perubahan transformatif yang amat cepat hukum tidak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangan, maka tak ayal lagi Ilmu Hukum harus pula menggunakan kajian sosiologi untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah perubahan sosial yang amat relevan dengan permasalahan hukum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peran Komisi Pelayanan Publik (KPP) Dalam sistem pemerintahan di Indonesia pengawasan dapat dilakukan lembagalembaga di luar organ pemerintahan yang diawasi (pengawasan eksternal) dan dapat pula dilakukan oleh lembaga-lembaga dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri (pengawasan internal). Pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh lembagalembaga negara seperti, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya. Pengawasan eksternal ini juga dilakukan oleh masyarakat, yang dapat di lakukan oleh orang perorangan, kelompok masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media massa.6 Dalam pengawasan internal, pengawasan dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibuat khusus oleh pemerintah seperti Badan Pengawasan Keuangan pembangunan (BPKP), pengawasan yang di lakukan oleh Inspektoral Jenderal Departemen, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda). Pengawasan internal dalam lingkungan pemerintahan juga dilakukan oleh atasan langsung pejabat/badan tata usaha negara. Pengawasan ini sering juga dinamakan pengawasan melekat (Waskat). 5
Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM dan HUMA, hlm. 139-177 6 Galang Asmara. 2005. Ombudsman Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Yogyakarta: Leksbang Pressindo, hlm. 126
5
Pada tanggal 10 Maret Tahun 2000 melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 telah dibentuk lembaga independen yakni, Komisi Ombudsman Nasional. Tujuan Ombudsman Nasional adalah untuk membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan KKN serta perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik. Pada umumnya Ombudsman yang berkembang di berbagai negara merupakan Ombudsman yang mengkhususkan diri pada isu-isu spesifik yang berkembang di masyarakat. Ia merupakan wujud dari tanggapan secara kelembagaan terhadap persoalan yang muncul dari urusan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Di Amerika, di negara bagian tertentu Ombudsman merupakan petugas legislatif yang berfungsi untuk menyelidiki keluhan yang muncul dari pelayanan publik yang diberikan oleh badan eksekutif. Ombudsman bisa juga pejabat pemerintah yang bertugas membantu mengatasi persoalan yang timbul karena adanya penundaan, ketidakadilan atau pelayanan yang kurang manusiawi. Sementara di negara bagian lain, Ombudsman merupakan sebuah badan pemerintahan mandiri yang bertujuan meningkatkan pelayanan pemerintah kepada publik.7 Model Ombudsman dengan demikian bervariasi tergantung pada kebutuhan daerah masing-masing. Isu yang menjadi perhatian sangat beragam mulai dari pelayanan publik, masalah kesehatan mental, pendidikan hingga pedagang kecil. Akan tetapi, secara keseluruhan Ombudsman sangat dibutuhkan pemerintah karena dapat membantu memonitor kualitas pelayanan pemerintah terhadap publik. Fungsi utama Ombudsman adalah menerima keluhan dari masyarakat dan melakukan penyeledikan tentang kebenaran persoalan yang dikeluhkan terhadap badan pemerintah bersangkutan.
Fungsi Ombudsman
pada dasarnya
terbatas
pada
penyelidikan atas pelayanan administrasi pemerintah. Oleh karena itu, Ombudsman tidak berwenang melakukan penyelidikan atas pejabat-pejabat pemerintah di eksekutif, legislatif, yudikatif,maupun secara universal, ataupun atas institusi pendidikan, person atau organisasi swasta lain.
7
Tim Pusham UII. 2003. “Ombudsman: Studi Pada Ombudsman Nasional dan Satu Tinjauan Lapangan” dalam Eko Prasetyo dkk (Penyunting), 2003. Ombudsman Daerah, Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: Pusham UII dan Kemitraan, hlm. 88; Satya Arinanto. 2003. “Ombudsman dalam Perspektif Hukum Tata Negara, Beberapa catatan” dalam Eko Prasetyo dkk (Penyunting), 2003. Ombudsman Daerah, Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: Pusham UII dan Kemitraan.
6
Untuk mengintensifkan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama sama dengan Gubernur Jawa Timur telah membentuk Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik di Jawa Timur. Melalui Perda ini telah dibentuk sebuah institusi independen yang serupa dengan komisi ombudsman bernama Komisi Pelayanan Publik (KPP). KPP yang diharapkan melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur. Pasal 16 Perda No. 11/2005 selengkapnya menyatakan : (1) Komisi Pelayanan Publik ditetapkan dengan Keputusan Gubernur, berkedudukan nonstruktural, bersifat independen dan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik dengan menyampaikan laporan kinerjanya kepada DPRD (2) Komisi Pelayanan Publik berfungsi menerima pengaduan dan bertugas mengadakan verifikasi, memeriksa dan menyelesaikan sengketa pelayanan publik. (3) Memberikan saran atau masukan baik diminta maupun tidak diminta kepada Kepala Daerah dan penyelenggara pelayanan publik dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanannya melalui DPRD.
Selanjutnya berkaitan dengan tugas dan kewajiban Komisi Pelayanan Publik (KPP) Pasal 22 Perda 11/2005 menyatakan : (1) Komisi Pelayanan Publik mempunyai tugas : a. Menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik yang memenuhi syarat. b. Membuat pengaturan mengenai mekanisme teknis dan prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik. c. Melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik. d. Menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik baik yang disampaikan secara langsung oleh masyarakat kepada komisi. (2) Dalam rangka menjalankan tugasnya Komisi Pelayanan Publik berkewajiban untuk : a. Meminta informasi dari pejabat penyelenggara pelayanan publik. b. Meminta catatan atau bahan-bahan yang terkait dengan permasalahan yang ditangani. c. Menghadirkan pihak-pihak untuk kepentingan konsultasi maupun mediasi. d. Meminta informasi pada penyelenggara pelayanan publik tentang pengajuan keberatan dari masyarakat dan tindak lanjut yang telah dilakukan. e. Memberikan pertanggungjawaban kinerjanya kepada publik dan melaporkannya kepada DPRD dan masyarakat secara terbuka.
7
Komisi Pelayanan Publik (KPP) merupakan merupakan lembaga pembantu (auxulary) pertama di tingkat Propinsi Jawa Timur yang dibentuk berdasarkan keputusan politik di tingkat lokal. Lembaga ini memiliki tiga pisau dalam menjalankan tugasnya, yakni: Pertama, Pisau Hukum. Berdasarkan Perda No. 11/2005, KPP berwenang mengundang instansi yang diadukan masyarakat. Instansi yang bersangkutan wajib memenuhi undangan itu untuk diverifikasi. Kegiatan tersebut menghasilkan rekomendasi yang kemudian disampaikan ke Gubernur Jawa Timur. Sesuai rekomendasi Gubernur dapat menjatuhkan sanksi kepada pelayan publik terkait; Kedua, Pisau Politis, yakni DPRD Jatim. Melalui Komisi A DPRD Jatim mendukung KPP untuk mengawasi dan mengeluarkan rekomendasi dalam mengatasi buruknya pelayanan publik di Jawa Timur.8 Adapun Pisau ketiga adalah Media Massa. Empat bulan sekali KPP memberikan laporan kepada publik melalui DPRD. Laporan ini kemudian disampaikan kepada masyarakat melalui media massa. Dengan adanya tekanan media massa, diharapkan pegawai negeri yang memberikan pelayanan publik mendapatkan tekanan moral untuk memberikan pelayanan yang lebih baik. Salah satu wilayah kerja yang harus dilakukan pengawasan oleh KPP adalah pelayanan publik di Kota Malang. Pelayanan publik di Kota Malang dalam perspektif pemerintah sebagai pemberi layanan dianggap sudah cukup baik terbukti bahwa Kota Malang mendapat piagam ISO tahun 2006, serta memperoleh piala dalam rangka lomba tentang peningkatan pelayanan publik.9 Pendapat yang senada juga disampaikan oleh sumber lainnya dan menambahkan bahwa terdapat transparansi dalam pengurusanpengurusan izin dan pelayanan-pelayanan lainnya sudah baik. 10 Berbeda dengan apa yang dituturkan oleh aparat Pemkot Malang diatas LBH berpendapat bahwa pelaksanaan pelayanan publik di kota Malang masih belum efektif, disebabkan karena belum adanya lembaga yang secara khusus mengontrol dan mengawasi pelaksanaan dari pelayanan publik, meskipun ada tetapi masih di tingkatan provinsi. Pendidikan dari masyarakat masih rendah, artinya belum ada kesadaran dan keberanian dari masyarakat untuk menuntut hak-haknya, kebanyakan dari masyarakat
8
Penjelasan Drs. Khoirul Anwar, Msi, Ketua KPP Jatim Hasil wawancara dengan Rustamaji, Kepala Sub Bag Pemerintahan Umum dan Otoda Kota Malang, tanggal 4 September 2007 10 Hasil wawancara dengan Siti Nurmala, (Kasubag Tata Laksana) Bagian Organisasi Pemerintah Kota Malang, 11 September 2007 9
8
ini takut akan resiko apabila mengadukan keberatan-keberatan tentang pelayanan publik.11 Pelayanan publik di Kota Malang secara umum masih jauh di bawah standar, artinya jika berbicara mengenai pelayanan publik berarti mengenai hak-hak dari masyarakat (ECOSOC) dimana erat kaitannya dengan pemenuhan dan perlindungan hak-hak dari masyarakat tersebut. Bahkan tentang keamanan yang seharusnya diperoleh oleh masyarakat ini masih jauh dari harapan. Sedangkan selama ini yang sudah berjalan di kota Malang hanya berupa sosialisasi-sosialisasi yang sifatnya menenangkan sementara, dan apabila ini dibiarkan maka suatu saat hal ini akan menjadi bom waktu. Terbukti bahwa pelaksanaan pelayanan publik di kota Malang ini secara substansi belum menyentuh kepada hak-hak yang seharusnya di dapat oleh masyarakat, apalagi selama ini masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik ini masih dilakukan secara paksaan, Misal, dalam hal lampu jalan, restribusi karcis parkir yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari pemerintah kota (negara), tetapi malah diserahkan kepada masyarakat.12 Potret pelayanan publik di Kota Malang masih variatif, dalam arti ada sebagian pelayanan yang sudah baik tapi ada juga sebagian yang masih belum baik, menurut beliau pelayanan pulik di kota Malang yang sudah bisa dikatakan baik seperti misalnya: (1) Pembuatan/perpanjangan SIM yang mana dalam pelayanannya cepat serta jauh dari praktek-praktek percaloan. Data-data mengenai harga sesuai dengan kebutuhan riil; (2) Kesehatan sudah ada peningkatan untuk RS (Rumah Sakit) tertentu sudah ada perbaikan, tapi untuk puskesmas masih belum, contohnya di puskesmas sukun yang memberikan obat kadaluarsa kepada pasien.13 Sedangkan menurut beliau pelayanan publik di kota Malang yang masih belum baik seperti misalnya: (1) Sarana Pendidikan, berkaitan dengan penentuan anggaran kebijakan hendaknya diberikan kepada pelaku dari pendidikan (akademikus) yang tahu mengenai kebutuhan dana untuk pendidikan, tapi untuk konteks ini DPRD tanpa koordinasi dengan para akademikus langsung main pangkas dana untuk pendidikan padahal DPRD bukanlah pelaku pendidikan; (2) Administrasi Umum, mengenai administrasi umum ini beliau menyoroti pembuatan KTP yang masih setengah hati, menurut aturannya pengurusan dari KTP gratis tapi pada 11
Hasil wawancara dengan Syaiful Arif, Ketua LBH Surabaya Pos Malang, tanggal 8 Agustus 2007 Hasil wawancara dengan Lutfi J. Kurniawan, Koordinator LSM Malang Corruption Watch (MCW), tanggal 12 September 2007 13 Hasil wawancara dengan Dr. Jazim Hamidi, anggota dari Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Universitas Brawijaya Malang, tanggal 05 September 2007 12
9
prakteknya memang tapi kalau orang yang mengurus mau menyumbang tersedia kotak sumbangannya, dan masyarakat dalam hal ini sedikit dipaksa untuk mau menyumbang dengan dalih untuk uang kas. Akan tetapi tanggung jawab publik dari hasil sumbangan tersebut tidak pernah diketahui. Lebih lanjut Hamidi menyatakan bahwa secara umum indikator yang bisa digunakan oleh pihak pemkot sebagai parameter untuk menilai pelayanan publik sudah baik atau belum ada lima indikator, yaitu: (1) ketepatan waktu; (2) biaya terjangkau; (3) prosedur sederhana dan jelas; (4) rincian persyaratan yang kongkret; (5) akuntabilitas (pertanggungjawaban). Berkaitan dengan indikator ini beliau mempunyai pandangan sendiri, yang dikembangkan teori efektivitas hukum yang digagas oleh Lawrence M. Friedman, menurutnya pelayanan publik bagian dari pelayanan hukum karena pelayanan publik berfungsi untuk melayani masyarakat sehingga merupakan bagian dari pelayanan hukum. Ada 6 (enam) parameter yang dapat dijadikan acuan dalam pelayanan publik, yang beliau sebut sebagai teori efektivitas pelayanan dan penegakan hukum di bidang pelayanan publik, yaitu: (1) kejelasan norma, (2) kesalehan pelaku pelayanan dan penegakkan hukum di bidang pelayanan publik, (3) sarana dan prasarana pelayanan publik (4) empati sosial profesi pelayanan publik (5) pendidikan atas pelayanan publik (6) budaya masyarakat atas pelayanan publik. Keberadaan KPP ini belum efektif hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh, sehingga untuk mengetahui berbagai permasalahan pelayanan publik di daerah-daerah sangat lamban, tentunya dalam hal ini diperlukan dana, SDM, sarana dan prasarana yang tidak sedikit. Untuk itu maka KPP ini perlu diadakan di kabupaten/kota dalam rangka membangun pelayanan publik kearah yang lebih baik.14 Keberadaan KPP adalah dalam hal proses ikhtiar untuk menuju yang lebih baik, hal ini merupakan langkah awal yang cukup bagus, namun kemudian muncul masalah baru, karena KPP ini berada di wilayah propinsi, sedangkan posisi propinsi dan kota ini sifatnya adalah koordinatif, sehingga untuk penyelesaian teknis terhadap kasus dan regulasi tidak akan bisa berbuat banyak. Fungsi KPP ini masih kabur, karena tidak diatur mengenai: Mekanisme prosedur pengajuan keberatan/ komplain, Mekanisme sanksi, artinya untuk penerapan sanksi ini dilarikan ke peraturan kepegawaian (PP
14
Hasil wawancara dengan Rustamaji, Kepala Sub Bag Pemerintahan Umum dan Otoda Kota Malang, tanggal 4 September 2007
10
Kepegawaian), Mekanisme dana, karena berada di bawah organisasi Pemerintah Propinsi, sehingga tentang pengaturan masalah keuangan masih diatur oleh pihak Pemprov, KPP tidak memiliki kewenangan untuk mengaturnya, inilah yang sering mengarah ke tindakan korupsi. Artinya bahwa ada atau tidaknya KPP ini sama saja, karena dia bukan lembaga eksekusitorial, tetapi memang dalam hal inisiatif/ikhtiar untuk mengatasi masalah-masalah pelayanan publik sudah cukup bagus, hanya saja ikhtiar atau inisiatif tersebut tidak akan memecahkan masalah-masalah yang akan timbul.15 Menyimak berbagai pendapat informan yang diwawancarai terkait peranan KPP dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diungkapkan diatas, maka secara jujur harus diakui bahwa kehadiran KPP belum secara signifikan merubah potret pelayanan publik menjadi lebih baik. Pada awal lahirnya KPP dianggap sebagai angin segar di tengah buruknya kondisi pelayanan publik, walaupun sebagian masyarakat tidak sepenuhnya menyikapi secara positif. Jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas Jatim menunjukkan bahwa 55,3 persen responden menyatakan bahwa tidak yakin KPP bisa bertindak independen dalam melaksanakan tugasnya.16 Dalam rangka optimalisasi peran KPP dalam melakukan pengawasan pelayanan publik tampaknya diperlukan penyempurnaan eksistensi KPP. KPP yang didalamnya terdiri dari empat divisi mempunyai fungsi menerima pengaduan, mengadakan verifikasi, memeriksa dan menyelesaikan sengketa pelayanan publik, serta memberikan saran atau masukan baik diminta ataupun tidak kepada kepala daerah dan penyelenggara pelayanan publik dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanan melalui DPRD. Melihat fungsi dan tugas KPP yang begitu kompleks maka KPP membutuhkan tenaga adminsitrasi yang terampil dan dari sisi kewenangan KPP harus memiliki wewenang memaksa terhadap pihak pemberi layanan yang dilaporkan oleh masyarakat penerima layanan jika memang terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian dalam memberikan pelayanan. Hambatan-hambatan yang dihadapi Komisi Pelayanan Publik dalam melakukan Pengawasan
15
Hasil wawancara dengan Lutfi J. Kurniawan, Koordinator LSM Malang Corruption Watch (MCW), tanggal 12 September 2007 16 Jajak pendapat tanggal 2 Oktober 2006, Harian Kompas Edisi Jatim
11
Berdasarkan catatan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Hingga saat ini, di Indonesia paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang perintah pembentukannya berikut kewenangannya berdasarkan UU yakni : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers dan dewan Pendidikan. Jumlah ini tentu saja bersifat sementara karena ada kemungkinan terus bertambah di masa mendatang. Sedangkan
lembaga
negara
yang dibentuk berdasarkan perintah dan
kewenangannya diberikan oleh Keputusan Presiden setidaknya berjumlah sepuluh lembaga, yaitu: Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Dewan Maritim Nasional (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN),Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS), Dewan Buku Nasional (DBN), dan lembagalembaga non-departemen. Menyusul pembentukan komisi-komisi negara di tingkat pusat, maka seiring dengan penerapan otonomi daerah, di berbagai daerah telah dibentuk komisi-komisi independen. Salah satu komisi tersebut adalah Komisi Pelayanan Publik (KPP) yang dibentuk berdasarkan amanat dari Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11 tahun 2005 tentang Pelayanan Publik dan sejak 6 November 2006 telah dilantik 5 (lima) anggota KPP oleh Gubernur Jatim Imam Utomo. KPP diharapkan menjadi aktor utama yang dapat memastikan bahwa pelayanan publik di Jawa Timur berjalan sebagaimana mestinya. Komisi dituntut dapat merubah kerangka pikir birokrat bahwa mereka merupakan pelayan publik dan pelayanan publik yang baik merupakan Hak asasi manusia. Namun kehadiran lembaga ini disikapi dengan ragu dan sikap pesimistis masyarakat akibat buruknya kinerja komisi-komisi yang ada di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya. Kelahiran KPP yang dibidani Komisi A Jawa Timur membuat masyarakat tidak yakin KPP bisa bergerak sebagai lembaga Independen. Berdasarkan wawancara dengan KPP, berbagai elemen masyarakat, akademisi dan Pers maka paling tidak dapat dikelompokkan 3 (tiga) kendala/hambatan KPP dalam 12
mewujudkan pelayanan publik yang berbasis tata pemerintahan yang baik. Ketiga hambatan tersebut akan diuraikan dibawah ini.
a. Faktor Peraturan Perundang-undangan Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa tidak terdapat standar pelayanan menyebabkan KKN dalam proses pelayanan publik di Kota Malang. Seorang informan yang diwawancara oleh peneliti menyatakan harus menghabiskan dana Rp. 60.000 hanya untuk mengurus KTP dan KK dan saya terpaksa menggunakan jasa orang lain (calo).17 Berbagai persoalan yang muncul seperti pungli, proses yang berbelit-belit dalam pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi kecamatan disebabkan oleh tidak ada peraturan berupa standar pelayanan yang bisa digunakan sebagi tolok ukur baik oleh birokrasi sebagai pemberi layanan maupun masyarakat sebagai penerima layanan.18 Di berbagai daerah, tidak adanya standar dan ketidakpastian biaya serta waktu pelayanan yang dikelola administrasi negara. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Para pengguna jasa yang sering tidak sanggup menghadapi ketidak pastian cenderung memilih membayar biaya yang lebih tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk memperoleh kepastian waktu dan kualitas pelayanan. Sebaliknya, para penyelenggara pelayanan memanfaatkan situasi ini untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan pribadinya. Sayangnya, sejauh ini tidak ada UU dan Perda yang jelas mengatur secara seimbang antara hak dan kewajiban dari pelanggan dan pengguna pelayanan publik. UU dan Perda dalam penyelenggaraan pelayanan publik hanya mengatur kewajiban pengguna jasa tanpa memberikan perlindungan yang memadai mengenai hak-haknya dan hal yang dapat dilakukan oleh seorang pengguna jasa yang merasa dilanggar haknya. Peraturan yang ada dalam penyelenggaraan pelayanan publik selama ini tidak pernah mengatur kewajiban penyelenggara dan resikonya ketika mereka gagal memenuhi kewajibannya. Kondisi semacam ini membuat rezim pelayanan bisa memperlakukan warga pengguna jasa sekehendaknya sendiri dan menjadi penyebab dari ketidakpastian biaya dan waktu pelayanan.19
17
Hasil wawancara dengan Nts warga Kota Malang Hasil wawancara dengan Lutfi J. Kurniawan, Koordinator LSM Malang Corruption Watch (MCW) 19 Agus Dwiyanto, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, hlm. 248 18
13
Hasil kajian lain menunjukkan bahwa di Jawa Timur, berdasarkan rekaman pemberitaan yang dilakukan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya selama satu tahun, telah terjadi 1.843 pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan pelayanan umum atas dasar persyaratan dan persamaan umum (periode Juli 2003 sampai Juni 2004). Jumlah itu baru yang terekam dalam berita media massa.20 Kasus yang kerapkali terjadi di Jawa Timur, misalnya masalah pengurusan KTP yang tidak sesuai harga yang tertera, pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tugas-tugas PNS. Keluhan masyarakat mengenai kinerja administrasi negara menunjukkan bahwa institusi ini belum bisa menjalankan fungsinya secara baik. Berdasarkan atas berbagai persoalan yang muncul dalam pelayanan publik dalam era otonomi sebagaimana dijelaskan diatas, maka kedepan pelayanan publik harus diarahkan dan sekaligus menjadi instrumen untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam era otonomi daerah. Belajar dari pengalaman dimasa lalu, untuk menjamin agar upaya peningkatan kualitas pelayanan publik benar-benar dapat direalisasi secara nyata, ke depan salah satu perangkat yang dibutuhkan sebagai acuan adalah adanya Standar Pelayanan Publik (SPP). Birokrasi di era otonomi daerah ini tidak bisa tidak harus mempunyai tolok ukur yang digunakan untuk menilai kinerja pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat umum. SP merupakan standar pelayanan publik yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Adanya SP akan menjamin pelayanan minimal yang berhak diperoleh warga masyarakat dari pemerintah daerah. Dengan kata lain, SP merupakan tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat seperti: kesehatan, pendidikan, air minum, perumahan dan lain-lain. Di samping SP untuk kewenangan wajib, daerah dapat mengembangkan dan menerapkan standar kinerja untuk kewenangan daerah yang lain. Dengan SP, akan terjamin kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian, akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan terhindar dari kesenjangan pelayanan antar daerah. Harus dibedakan antara pemahaman tentang SP dan persyaratan teknis dari suatu pelayanan. Standar teknis merupakan faktor pendukung untuk mencapai SP. Secara garis besar, arti penting SP bagi daerah adalah: pertama, SP dapat bermanfaat untuk menentukan jumlah anggaran 20
Anton Novenanto. 2006, tanggal 09 Maret. Birokrasi dan Politik Pemda, Artikel Opini di Harian Kompas Edisi Jawa Timur
14
yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik. Kedua, SP dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja berbasis manajemen kinerja. Ketiga, adanya SP akan memperjelas tugas pokok pemerintah daerah dan akan merangsang terjadinya check and balances yang efektif antara lembaga-lembaga eksekutif dan lembaga DPRD. Keempat, adanya SP akan dapat membantu pemerintah daerah dalam merasionalisasi jumlah dan kualifikasi pegawai yang dibutuhkan. Kejelasan pelayanan akan membantu pemerintah daerah dalam menentukan jumlah dan kualifikasi pegawai untuk mengelola pelayanan publik tersebut. Pasal 5 Perda Pelayanan Publik Propinsi Jawa Timur menyebutkan bahwa Penerima pelayanan publik mempunyai hak: a. Mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas-asas dan tujuan pelayanan serta sesuai standar pelayanan publik yang telah ditentukan. b. Mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi selengkaplengkapnya tentang sistem mekanisme dan prosedur dalam pelayanan publik. c. Memberikan saran untuk perbaikan pelayanan publik. d. Mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, santun, bersahabat dan ramah. e. Memperoleh kompensasi apabila tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar pelayanan publik yang telah ditetapkan. f. Menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik dan atau Komisi PelayananPublik untuk mendapatkan penyelesaian. g. Mendapatkan penyelesaian atas pengaduan yang diajukan sesuai mekanisme yang berlaku. h. Mendapatkan pembelaan, perlindungan, dalam upaya penyelesaian sengketa pelayanan publik.
Sementara menurut Pasal 8 Perda Nomor 11 tahun 2005, Penyelenggara pelayanan publik mempunyai kewajiban: a. Mengundang penerima layanan dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pelayanan publik untuk merumuskan standar pelayanan dan melakukan pengawasan atas kinerja pelayanan publik. b. Menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan standar palayanan yang telah ditetapkan. c. Mengelola pengaduan dari penerima layanan sasuai mekanisme yang berlaku. d. Menyampaikan pertanggungjawaban secara periodik atas penyelenggaraan pelayanan publik yang tatacaranya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur. e. Memberikan kompensasi kepada penerima layanan apabila tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar pelayanan publik yang tekah ditetapkan.
15
f. Mematuhi ketentuan yang berlaku dalam penyelesaian sengketa pelayanan publik. g. Mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tugas dan kewenangannya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik juga wajib memiliki tata perilaku sebagai kode etik dalam memberikan pelayanan publik, tercantum dalam Pasal 13 Perda 11/2005 sebagai berikut : a. b. c. d. e. f.
Bertindak jujur, disiplin, proporsional dan profesional. Bertidak adil dan tidak diskriminatif. Peduli, teliti dan cermat. Bersikap ramah dan bersahabat. Bersikap tegas, dan tidak memberikan pelayanan yang berbelit-belit. Bersikap mandiri dan dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun. g. Transparan dalam pelaksanaan dan mampu mengambil langkahlangkah yang kreatif dan inovatif. Urgensi Standar Pelayanan Publik dipicu oleh beberapa pertimbangan. Pertama, untuk memberikan kepastian pelayanan meliputi waktu, biaya, prosedur dan cara pelayanan; Kedua, memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pengguna layanan, penyedia layanan, serta stakeholders lainnya dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan; Ketiga, untuk mempermudah pengguna layanan, warga dan stakeholders lainnya dalam mengontrol praktik penyelenggraan pelayanan; Keempat, untuk mempermudah manajemen pelayanan memperbaiki kinerja pelayanan; Kelima, untuk membantu manajemen pelayanan mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan aspirasi pengguna layanan, serta warga dan stakeholders lainnya. Tahap-Tahap Pelembagaan Standar Pelayanan Publik 1. TAHAP PROMOSI
Tujuan utama dari tahap pertama ini adalah agar penyedia layanan mengetahui konsep kontrak pelayanan serta harapan pengguna layanan terhadap mereka. Dari perspektif pengguna layanan akan diketahui hak dan kewajiban dalam suatu penyelenggraan pelayanan. Pengguna layanan akan menjadi mengetahui bahwa mereka juga bertanggungjawab dalam kegiatan penyelenggaraan pelayanan. Dalam tahap ini, dibentuk sebuah forum yang anggotanya terdiri atas berbagai stakeholders untuk mempertemukan berbagai kepentingan dan mencari solusi dalam pelayanan publik
2. TAHAP FORMULASI
Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasikan siapa pengguna layanan dan mengetahui output sebuah organisasi/instansi pelayanan. Identifikasi pengguna jasa dapat dengan jalan seminar, dialog, FGD, wawancara 16 mendalam dan survey pengguna layanan. Melalui proses ini, kebutuhan dan harapan pengguna layanan diketahui oleh organisasi tersebut sehingga akan dapat diketahui feedback yang kemudian digunakan untuk pembentukan standar kualitas pelayanan.
3. TAHAP IMPLEMENTASI
Tujuannya adalah untuk menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kontrak pelayanan. Pada tahap ini, diperlukan diseminasi informasi mengenai kontrak pelayanan ini kepada seluruh masyarakat, yaitu melalui pemanfaatan media massa, baik televise, radio maupun surat kabar
4. TAHAP EVALUASI
Tujuannya adalah mengidentifikasi pengalaman yang dapat dipetik dari pelembagaan kontrak pelayanan dan menilai manfaat pelembagaan kontrak pelayanan bagi perbaikan pelayanan
b. Faktor Administrasi Negara/Birokrasi dan Internal KPP Tugas Administrasi Negara adalah memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan rakyat dan masyarakat, untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat atau kehendak rakyat. Bukanlah sebaliknya rakyat mengabdi kepada kepentingan administrasi negara. Sebagai bukti ada beberapa hasil kajian yang akan dipaparkan, antara lain penelitian di Jawa Timur, secara global masyarakat di Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Center for Public Policy Studies (CPPS) Surabaya bekerjasama dengan CSSP dan Pusdeham merasakan birokrasi berperilaku sebagai pelayan (SP) dari pada minta dilayani (MD). Masyarakat Jawa Timur sudah menganggap birokrasi SP sebanyak 55,8% dan yang MD sebanyak 44,2%. Tidak berbeda dalam sikap ini adalah masyarakat NTT, yaitu sebanyak 65,2% yang menganggap birokrasi bersikap SP dan sebanyak 34,8% yang menganggap birokrasi bersikap MD. Dan masyarakat Kalimantan Timur yang menganggap birokrasi bersikap SP sebanyak 73,9% dan yang berpendapat birokrasi MD sebanyak 26,1%. Di Jawa Timur masyarakat yang menganggap birokrasi sebagai MD daripada sebagai SP ada di Kediri dan Surabaya, meskipun dikota terakhir ini selisihnya sangat 17
kecil sekali. Masyarakat Kediri (N=388) yang menganggap birokrasi sebagai MD sebanyak 55,4% sedangkan yang menganggap birokrasi sebagai SP hanya sebanyak 44,6%. Sementara itu masyarakat kota Surabaya (N=389) yang berpendapat birokrasi bersikap sebagai MD sebanyak 52,4% dan yang berpendapat birokrasi sebagai SP sebanyak 47,6%. Hanya selisih 0,8%. Namun dilihat dari proposi jumlah responden Surabaya maka responden yang menyatakan birokrasi bersikap MD sebanyak 52,4% (dari jumlah responden sebesar 389 orang) dan yang bersikap birokrasi SP sebanyak 47,6% (dari jumlah responden sebesar 389 orang). Dari data ini tampaknya opini masyarakat Kota Surabaya dalam hal isu birokrasi berbelit sampai dengan isu birokrasi MD masih konsisten: kritis terhadap birokrasi Pemerintah Daerah. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dan kawan-kawan21 di tiga Propinsi, yakni Propinsi DI Yogyakarta, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa kinerja pelayanan publik di tiga propinsi tersebut masih sangat buruk, kendati penyelenggaraan pelayanan di ketiga daerah tidak merepresentasikan kinerja pelayanan publik di Indonesia. Karena penyelenggaraan pelayanan publik antar propinsi tidak jauh berbeda. Temuan yang diperoleh penelitian ini setidak-tidak memberi indikasi menganai masih rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. penelitian
ini
membuktikan
bahwa
birokrasi
publik
di
Indonesia
belum
menyelenggarakan pelayanan publik yang efisien, adil, responsif dan akuntabel. Penelitian oleh Tim Yayasan Harkat Bangsa menyatakan bahwa pemerintah daerah masih mengandalkan DAU sebagai sumber penerimaan, maka juga perlu diperhatikan penggunaan DAU untuk kepentingan pembangunan daerah dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Berkaitan dengan dengan tersebut, ada sejumlah temuan penting yang dikemukakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan misalnya menemukan sekitar 70% pengaduan selama tahun 2001 dan 2002 adalah mengenai pelayanan publik, yang paling tinggi adalah pelayanan PLN, sementara pelayanan air bersih (PDAM) dan mekanisme pembuatan KTP juga mengalami masalah. SMERU dalam kasus Lombok Barat dan Lampung, menemukan bahwa pada tahun tahun awal penerapan otonomi daerah, pemerintah daerah lebih banyak melakukan konsolidasi internal seperti pembenahan struktur organisasinya akibatnya pelayanan publik semakin merosot. Di Bidang Pendidikan misalnya, 38% bangunan
21
Agus Dwiyanto dkk, 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, hlm. 250
18
tidak layak pakai tetapi dipaksakan dipakai. Di Bandar Lampung sekitar 50% mengalami kerusakan. Namun hal belum seberapa bila dibandingkan dengan kurangnya sarana untuk proses belajar mengajar seperti pengadaan buku, kapur tulis dan bangku sekolah. Sebelum otonomi daerah, buku panduan dan buku wajib untuk panduan dan buku wajib untuk pelajaran setiap tahun rutin datang ke masing-masing sekolah. Setelah otonomi daerah tidak satupun buku datang ke sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI menyatakan bahwa: birokrasi pemerintah kota dan kabupaten memunculkan keseragaman fakta pelaksanaan fungsi birokrasi yang berbasis pada tugas pokok peningkatan pelayanan umum. Semua birokrasi pemerintah lokal telah merencanakan debirokratisasi KTP, perizinan konstruksi dan usaha dan fungsionalisasi pekerjaan untuk menjamin pelayanan minimal. Keseragaman fakta tentang komputerisasi data dan fakta menunjukkan perbaikan layanan umum oleh birokrasi. Perbaikan layanan umum yang dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat dengan tidak melihat perbedaan kepentingan perorangan dan kelompok didalamnya jelas merupakan prestasi dari struktur birokrasi pemerintah lokal dalam masa otonomi daerah. Namun, beberapa pelaksanaan tugas pokok birokrasi pemerintah kota dan kabupaten berjalan amat buruk sebagai akibat disorientasi fungsi birokrasi pemerintah daerah. Pendapatan asli daerah tanpa produktivitas masyarakat, kebocoran dana retribusi parkir dan pasar yang diduga menjadi sumber keuangan pribadi birokrat dan ekslusi fungsi birokrasi pemerintah daerag dalam konteks pelayanan umumyang lebih luas dan lintas daerah merupakan contoh kegagalan kegiatan birokrasi tanpa misi publik. Selanjutnya, penelitian oleh M. Mas’ud Said22 menyebutkan bahwa dalam manajemen personalia dan kebutuhan untuk memperbaharui kinerja pelayanan publik, proses pengambilan keputusan yang berbasis kolegial, mementingkan diri sendiri dan pencarian keuntungan material mendiminasi birokrasi di Propinsi Jawa Timur. Di luar tekanan
untuk
mengaplikasikan
pemerintahan
yang
lebih
peraturan
yang
membingungkan dan adanya kekuatan kepentingan partai politik di DPRD telah menghambat pelaksanaan otonomi daerah. 22
Masdar F. Mas’udi. Ombudsman dan Good Governance. Makalah pada Seminar Otonomi Daerah dan Urgensi Pembentukan Ombudsman Daerah diselenggarakan oleh KON bekerjasama dengan DPRD Jatim, PP OTODA UNIBRAW, Commonwealth Ombudsman Australia, di Surabaya, 25 Juli 2005
19
Disamping faktor dalam diri administrasi negara/birokrasi sendiri (faktor internal KPP sendiri) terkait dengan eksistensi KPP menyatakan posisi KPP saat ini dirasakan tidak jelas. Apakah KPP ini bersifat independen ataukah bagian dari satuansatuan unit kerja dari pemerintah, hal ini kemudian berakibat pada akuntabilitas KPP sendiri yang tidak jelas juga. Sedangkan tentang koordinasi antara pemerintah kota Malang dengan KPP ini, memang secara formalistik hal tersebut sudah terjadi tetapi dalam kenyataanya selama 2 tahun sejak adanya KPP ini pelaksanaan pelayanan publik di kota Malang masih sangat jauh dari harapan.23 Sampai saat ini memang belum pernah ada koordinasi dengan dengan KPP. Kendala yang dihadapi, sangat terkait dengan good will pada pemerintah kota, yaitu terkait dengan kemauan dari pemerintah kota. Sehingga dengan adanya kemauan yang besar dari pemerintah kota untuk berubah menjadi yang terbaik maka pelaksanaan publik ini akan semakin transparan. Meskipun sudah adanya KPP ini, terhadap keberhasilannya masih pesimis hal ini karena sebetulnya kewenangan mutlak untuk mengatur pelayanan publik di kota/kabupaten tetap ada pada kota/kabupaten itu sendiri. Keberadaannya tidak ditunjuk langsung oleh Undang-Undang, sehingga tidak ada kewenangan dari KPP untuk menyidik apabila ada kecurigaan terhadap pelaksanaan pelayanan publik. Namun pembentukan KPP ini harus tetap dilakukan, karena hal ini merupakan langkah awal untuk menuju perbaikan pelayanan publik di kota/kabupaten Malang.24 Persoalan independensi KPP menjadi topik yang selalu dipertanyakan publik, Pasal 19 huruf f Perda No. 11 tahun 2005 menyebutkan bahwa diantara syarat-syarat untuk menjadi anggota KPP adalah independen dan non partisan serta bukan merupakan pengurus partai politik atau organisasi yang berafiliasi pada partai politik. KPP merupakan komisi independen yang pertama dan sekaligus satu-satunya di Indonesia. Watak independen anggota KPP menjadi karakter etis yang harus diimplementasikan dalam mengawal Perda 11/2005. pola pikir sikap dan dinamika anggota KPP dalam menjalankan tugasdan menyelesaikan sengketa pelayanan publik didasarkan pada nilai ideal pelayanan publik, misalnya akuntabilitas, tranparansi, imparsial, profesionalisme dan sebagainya. Independensi institusi KPP teraktualisasi secara institusi dalam konstelasi politik lokal maupun pelayanan publik. KPP secara
23
Hasil wawancara dengan Luthfi J. Kurniawan, Koordinator LSM Malang Corruption Watch (MCW), tanggal 12 September 2007 24 Hasil wawancara dengan Fathol, Ketua Komisi A DPRD Kota Malang, tanggal 13 September 2007
20
institusional tidak akan berkomitmen dengan kepentingan manapun ataupun kelompok atau golongan manapun kecuali hanya tunduk dan terikat pada nilai-nilai ideal dan obyektifitas pelayanan publik. 25 Disamping independensi, Status KPP juga dinilai mengambang, pasalnya Gubernur Jawa Timur Imam Utomo telah mengeluarkan Surat Keputusan Pengangkatan kenaggotaan KPP, namun tidak ditindaklanjuti dengan dukungan infrastruktur dan perangkat untuk menjalankan tugasnya. Anggaran juga menjadi kendala besar KPP dalam menjalankan tugasnya, karena DPRD Jawa Timur menolak anggaran yang diajukan KPP untuk tahun 2007 sebesarRp. 13 Miliar yang dinilai terlalu besar. termasuk dalam anggaran yang diajukan ini antara lain pembelian tujuh mobil dinas. Sebagai gantinya, DPRD Jatim menjanjikan anggaran sekitar Rp. 6 miliar.26 c. Faktor Masyarakat Minimnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan oleh kecamatan terungkap dalam wawancara dengan informan.27 Hal senada juga diungkapkan oleh Redaktur Harian Surya di Kota Malang.28 “Masyarakat masih belum banyak terlibat dalam pembuatan SPP artinya pemerintahan di kota Malang masih bersifat top down, misal dengan pembuatan/pemasangan spanduk, dilakukan dengan cara langsung datang, ditarik biaya, stempel. Sehingga masyarakat tinggal menerima saja, dalam hal ini masyarakat hanya sebagai obyek dari pemerintah tanpa boleh mengetahui cara kerja mereka”. Selanjutnya, menurut Jazim Hamidi dari PP Otoda Unibraw menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembuatan SPP pada konteks-konteks tertentu masyarakat sudah dilibatkan dalam forum keluhan publik dan ini sudah di laksanakan oleh instasi RS, untuk instansi lain masih belum. yang harusnya mengawali adalah dari institusi pendidikan akan tetapi dalam institusi pendidikan sendiri masih ada keberpihakan, serta adanya political will dan political courage yang kurang. Urgensi partisipasi masyarakat untuk menciptakan pelayanan publik yang baik sebetulnya sudah diakomodasi dalam Pasal 7 Perda 11/2005 tentang pelayanan publik di Jawa Timur Selengkapnya Pasal 7 menyatakan demikian :
25
Wahyu Kuncoro Dema. 2006, tanggal 26 September. Menuju Pelayanan Berkemajuan. Artikel dalam Harian Kompas Edisi Jatim 26 Harian Kompas Edisi Jatim, 5 Desember 2006 27 Hasil wawancara dengan Zia Ul Haq, aktivis LSM di Malang 28 Hasil wawancara dengan Taufik, Redaktur Harian Surya di Kota Malang, tanggal 13 September 2007
21
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pelayanan publik. (2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) dilakukan dengan cara : a. Berperan serta dalam merumuskan standar pelayanan publik b. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan dalam penyelenggaraan pelayanan publik c. Menumbuhkan kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik d. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik e. Memberikan saran dan atau pendapat dalam rangka penyelenggaraan pelayanan puiblik f. Menyampikan informasi dan atau memperoleh informasi di bidang penyelenggaraan pelayanan publik Berangkat dari situasi dan kondisi belum optimalnya partisipasi masyarakat maka kedepan diperlukan terobosan gerakan masyarakat sipil untuk mendorong maju partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Bukan lantaran alasan reformasi, otonomi daerah atau demokratisasi maka terobosan harus dilakukan tetapi karena peraturan perundang-undangan itu akan berdampak pada masyarakat luas bukan pada segelintir orang yang ada dipihak eksekutif maupun legislatif.
KESIMPULAN Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: peranan Komisi Pelayanan Publik (KPP) dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Malang tidak secara signifikan bahkan dapat dikatakan tidak mampu merubah wajah pelayanan publik menjadi lebih baik dalam arti pelayanan publik yang bercirikan tata pemerintahan yang baik. Masyarakat menilai birokrasi belum mampu menjalankan fungsi pelayanan publiknya. Ketidakpastian waktu menjadi problem bagi masyarakat ketika berurusan dengan birokrasi. Urusan kecil bisa memakan waktu yang lama. Selain ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya menjadi keluhan masyarakat ketika berurusan dengan birokrasi. Dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, Komisi Pelayanan Publik (KPP) menghadapi 4 (empat) hambatan utama, yakni: (1) belum semua instansi pemberi layanan memiliki peraturan standar pelayanan, sehingga KPP mengalami kesulitan untuk menentukan penilaian terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh institusi
22
pemberi layanan yang berada dalam pengawasan KPP; (2) aparat pemerintah/birokrasi masih menempatkan diri sebagai pihak yang harus dilayani. Fungsi utama aparat pemerintah/birokrasi adalah memberikan pelayanan publik belum dilaksanakan dengan baik. Bahkan ada kecenderungan aparat birokrasi menjadikan pelayanan publik sebagai komoditas; (3) faktor daya jangkau, Lingkup kewenangan dan independensi KPP sebagai lembaga pengawas pelayanan publik masih dipertanyakan oleh publik dan; (4) Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Malang masih rendah sehingga sangat minim pengawasan terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan publik.
SARAN Adapun saran yang dapat dikemukakan adalah: Komisi Pelayanan Publik (KPP) sebagai institusi pengawas penyelenggaraan pelayanan publik hendaknya mampu menjaga independensi, integritas dan hendaknya mampu memberikan bukti kepada penerima pelayanan publik bahwa kehadiran KPP benar-benar bermakna dalam merubah potret pelayanan publik di Jawa Timur. Apabila KPP mampu menjaga integritas, independensi dan mampu berperan dengan baik, maka dimasa depan KPP perlu diberi kewenangan yang cukup sehingga rekomendasi yang diterbitkan KPP memiliki daya paksa. Dalam rangka optimalisasi
peran KPP dalam melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik maka ada beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain: (1) institusi pemberi layanan publik perlu membentuk peraturan standar pelayanan yang disusun secara partisipatif; (2) perlu reformasi birokrasi secara sistematis, berkesinambungan dan konsisten dalam rangka menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dan bertanggungjawab; (3) pentingnya daya kritis dan kesediaan partisipasi dari masyarakat dalam mewujudkan pelayanan publik yang tranparan dan bertanggungjawab.
DAFTAR PUSTAKA
Arinanto, Satya. 2003. “Ombudsman dalam Perspektif Hukum Tata Negara, Beberapa Catatan” dalam Eko Prasetyo dkk (Penyunting), 2003. Ombudsman Daerah, Mendorong Terwujudnya pemerintahan yang Bersih, Yogyakarta: Pusham UII dan Kemitraan
23
Asmara, Galang. 2005. Ombudsman Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Yogyakarta: Leksbang Pressindo Astawa, I Gde Pantja. 2004. “Dinamika Otonomi Dalam Kerangka Negara Hukum” dalam Jurnal Hukum Jentera Edisi 3/Nomor II November 2004 Dwiyanto, Agus. dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM --------------------. 2005. “Mengapa Pelayanan Publik” dalam Agus Dwiyanto (Editor), 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: UGM Press Manan, Bagir. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII Marbun, S.F. 2001. “ Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Indonesia” dalam S.F. Marbun dkk (penyunting). Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press Masthuri, Budhi, 2005. Mengenal Ombusman Indonesia. Jakarta: Pradya Paramita Mas’udi, Masdar F. Ombudsman dan Good Governance. Makalah pada Seminar Otonomi
Daerah
dan
Urgensi
Pembentukan
Ombudsman
Daerah
diselenggarakan oleh KON bekerjasama dengan DPRD Jatim, PP OTODA UNIBRAW, Commonwealth Ombudsman Australia, di Surabaya, 25 Juli 2005 Novenanto, Anton. 2006, tanggal 09 Maret. Birokrasi dan Politik Pemda. Artikel Opini Harian Kompas Edisi Jawa Timur Sutoro Eko, 2004. “Memperkuat Prakarsa Masyarakat Melalui Perencaan Daerah”, Kata pengantar dalam buku Alexander Abe, 2004. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Pembaruan Sujata, Antonius. Peran Ombudsman dalam Mewujudkan Good Governance. Makalah pada Seminar Otonomi Daerah dan Urgensi Pembentukan Ombudsman Daerah diselenggarakan oleh KON bekerjasama dengan DPRD Jatim, PP OTODA UNIBRAW, Commonwealth Ombudsman Australia, di Surabaya, 25 Juli 2005 Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta : UIN Jakarta dan Prenada Media Tim Pusham UII, 2003. “Ombudsman: Studi pada Ombudsman Nasional dan Satu Tinjauan Lapangan” dalam Eko Prasetyo dkk (Penyunting), 2003. Ombudsman Daerah, Mendorong terwujudnya pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: Pusham UII dan Kemitraan 24
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM dan HUMA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN beserta peraturan pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik di Jawa Timur
25