i
BSIAN Seri 2
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
ii Hak Cipta @2016 pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan – Deputi Inovasi Administrasi Negara – Lembaga Administrasi Negara (Pusat INTAN – DIAN – LAN) Diterbitkan dan dipublikasikan oleh: Pusat INTAN – DIAN – LAN Jl. Veteran No. 10, Jakarta Pusat 10110 Telp/Fax: 021 386 8201-05 ext 149-151 www.inovasi.lan.go.id Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang. Diperbolehkan memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun, baik secara elektronik, maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya.
Catatan:
BUKAN UNTUK KEPENTINGAN DIPERJUALBELIKAN
iii
BSIAN Seri 2
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
iv Buku Seri Inovasi Administrasi Negara Volume 2 Pengembangan Model dan Story Inovasi Tata Kelola Pemerintahan dan Pelayanan Publik ISBN: 978-603-60634-1 Cetakan Pertama, Desember 2016
Editor: Suripto & Andi Taufik
Tim Penulis Yogi Suwarno, Basseng, Suripto, Abdul Muis, Suryanto, Dewi Oktaviani, Dedi Cahyadi, Antonius Galih Prasetyo, Yulvikar Dwirendro Ariawan, Nugroho Ario Setiawan, Selfy Andreany Penyunting dan Tata Letak : Nugroho Ario Setiawan
Proof Reader : Dewi Oktaviani
BSIAN Seri 2
v
Terima Kasih kepada para reviewer yang telah menjaga mutu dan kualitas BSIAN Seri II.
Peer Reveiwer Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo Dr. Muhammad Taufiq Dr. Muhammad Idris Drs. Haris Faozan, MSi Tri Saksono, SH., M.Pd. Dr. Wisber Wiryanto Widhi Novianto,S.Sos. MSi Suripto, S.Sos, M.AB
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
vi
Terima Kasih kepada para pendukung Administrasi dan teknis yang memperlancar penerbitan BSIAN Seri II.
Tim Pendukung Niken Andonrani Syahrial Isti Heriani Irma Dewi Sofia Sainem Indrawati
vii
BSIAN Seri 2
SAMBUTAN Kepala Lembaga Administrasi Negara
S
ebagai
institusi
visi“menjadi
yang
memiliki
rujukan
dalam
pembaharuan
administrasi
negara” Lembaga Administrasi Negara (LAN) senantiasa menciptakan produkproduk berkualitas untuk mencapai visi itu. Salah satu ranah yang menjadi bagian dari tugas dan fungsi LAN adalah mengembangkan inovasi administrasi negara. Inovasi oleh karenanya menjadi isu yang sangat diperhatikan oleh LAN. Buku Seri Inovasi Administrasi Negara yang terdiri atas dua (2) volume menjadi bagian dari produk yang diciptakan untuk memenuhi harapan
stakeholders
agar
LAN
mampu
mendorong
dan
mengakselerasi inovasi administrasi negara di negeri ini. Ini merupakan momentum yang tepat untuk menerbitkan kedua buku yang ada di tangan Saudara sekalian. Inovasi saat ini sedang menjadi tren dan ikhtiar kolektif, baik di tingkat global maupun nasional.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
viii
Indonesia sedang membutuhkan percepatan dan pengembangan inovasi secara masif. Meskipun saat ini telah banyak muncul inisiatif inovasi di berbagai bidang dan sektor, namun hal ini masih perlu untuk lebih digalakkan. Sektor publik menjadi sektor yang paling diharapkan untuk melakukan inovasi. Inovasi di sektor publik mampu menjadi katalisator dan pendongkrak bagi hadirnya inovasi di sektorsektor lain yang lebih luas. Buku Seri Inovasi Administrasi Negara merupakan buku yang mendokumentasikan berbagai praktek baik inovasi sektor publik di berbagai bidang dan wilayah. Sebagian besar tidak hanya bersifat
deskriptif, namun juga analitis dan reflektif. Beberapa model inovasi diciptakan di dalamnya sehingga mereka yang tertarik untuk mereplikasi inovasi serupa dapat menjadikannya sebagai rujukan. Sebagai sebuah karya buatan manusia, tentu produk ini tidak sempurna. Kami berharap menerima saran dan masukan perbaikan agar ke depannya kami dapat menghasilkan produk yang lebih berkualitas. Bagaimanapun, kami berharap buku ini mampu memberikan manfaat bagi stakeholders. Kami percaya bahwa inovasi menjadi solusi ampuh atas berbagai masalah pelik yang melingkupi administrasi negara. Jakarta, Desember 2016
ix
BSIAN Seri 2
KATA PENGANTAR Deputi Inovasi Administrasi Negara LAN
P
erkembangan terobosan dan Inovasi di lingkungan dirasakan semarak.
berinovasi
instansi semakin
meningkat
Dilihat
(willingness
pemerintah dan
dari
kemauan
to
innovate)
kemampuan berinovasi (ability to innovate) dan
birokrasi
juga
semakin
meningkat.
Indikasi ini dapat dilihat dari gagasan dan Inovasi yang dilakukan pemerintah daerah telah melahirkan ide inovasi dalam laboratorium inovasi lebih dari 1.800 (seribu delapan ratus). Selain itu perubahan kebijakan yang dilakukan LAN dalam penyelenggaraan Diklat ASN, khususnya dalam Diklat Kepemimpinan melalui proyek perubahan Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan (PIM I, PIM II, PIM III dan PIM IV) diseluruh Indonesia pada tahun 2015, telah menghasilkan 22.184 inovasi baru. Namun, kita membutuhkan willingness and ability to innovate, yang lebih besar dan baik. Untuk itu, pengembangan pengetahuan Inovasi menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Dalam organisasi modern, pengetahuan menjadi modal
utama
dalam
peningkatan
kinerja
organisasi.
Menerapkan
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
x
pengetahuan
yang
sudah
dipahami
akan
meningkatkan
kinerja.
Mengembangkan dan menerapkan pengetahuan baru menciptakan terobosan dan Inovasi. Publikasi Buku Seri Inovasi Administrasi Negara ini merupakan upaya mengembangkan pengetahuan inovasi administrasi negara. Berbagai pemikiran dalam mengembangkan gagasan model Inovasi tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik didasarkan atas praktek-praktek Inovasi diberbagai daerah. Beberapa inovasi kebijakan publik, budaya kerja, inovasi sosial dan model inovasi desa. Dalam dimensi kebijakan publik, kita bisa belajar Brexit sebagai inovasi kebijakan publik. Lalu dalam model budaya kerja inovatif kita bisa mengadopsi model SECI. Sedangkan pada bidang sosial meliputi inovasi Strategi
Percepatan
Penanggulangan
Kemiskinan,
Perencanaan
Pembangunan Berbasis Partisipasi Masyarakat, inovasi Penanganan Anak Putus Sekolah, dan Collaborative Governance dalam Penanganan Korban Kekerasan. Selanjutnya dalam pengembangan desa-desa inovatif, kita dapat melihat Pengembangan Model Desa Inovatif dengan Kombinasi Top-
Down dan Bottoms-Up Innovation Model, Pola Pembangunan Desa Terpadu, Strategi Sistem Cluster Dalam Peningkatan Perekonomian Desa, Pengelolaan BUMDes, dan Model Pengembangan Kampung Organik.
BSIAN Seri 2
xi
Sebagai sebuah proses awal, tentu buku ini masih membutuhkan sentuhan
yang lebih inovatif. Untuk itu, berbagai pemikiran dan kontribusi seluruh pihak sangat diharapkan demi perbaikan dan percepatan mewujudkan
administrasi negara yang inovatif dan menjadikan Inovasi gaya hidup ASN. Salam Inovasi Tiada Henti…..!!
Jakarta, Desember 2016 Deputi Inovasi Administrasi Negara
DR. Tri Widodo W. Utomo
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
xii
KATA PENGANTAR Kepala Pusat Inovasi Tata Pemerintahan, LAN
S
egala puja dan puji bagi Allah SWT yang
telah
memberikan
kekuatan
dan
kelancaran dalam menyelesaikan dan mempublikasikan
Buku
Seri
Inovasi
Administasi Negara volume kedua ini. Buku seri ini berbeda dengan buku inovasi lainnya, karena menyajikan inovasi yang dilakukan di lingkungan instansi pemerintah. Hal yang lebih menarik adalah buku ini menawarkan pengembangan model sebagai Creating Knowledge inovasi administrasi negara khususnya tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. Buku ini menyajikan beberapa inovasi kebijakan publik, budaya kerja, inovasi sosial, dan model inovasi desa. Dalam dimensi kebijakan publik, kita bisa belajar Brexit sebagai inovasi kebijakan publik. Lalu dalam model budaya kerja inovatif kita bisa mengadopsi model SECI. Sedangkan pada bidang sosial meliputi inovasi Strategi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Perencanaan Pembangunan Berbasis Partisipasi Masyarakat, inovasi
BSIAN Seri 2
xiii
Penanganan Anak Putus Sekolah, dan Collaborative Governance dalam Penanganan Korban Kekerasan. Selanjutnya dalam pengembangan desa-
desa inovatif, kita dapat melihat Pengembangan Model Desa Inovatif
dengan Kombinasi Top-Down dan Bottoms-Up Innovation Model, Pola Pembangunan Desa Terpadu, Strategi Sistem Cluster Dalam Peningkatan Perekonomian Desa, Pengelolaan BUMDes, dan Model Pengembangan Kampung Organik. Buku ini tentunya sangat berguna bagi pemerhati inovasi dan reformasi birokrasi seperti kementerian/ lembaga/ pemerintah daerah, pihak akademisi, peneliti, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mampu lebih mudah dalam memahami inovasi tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. “Tak ada gading yang tak retak”. Begitu juga dengan buku edisi kedua ini. Dengan segala keterbatasannya, buku ini juga tentunya masih mengandung kelemahan dan kekurangan. Seribu kilometer tidak akan pernah ada tanpa dimulai langkah pertama. Kami sudah memulai untuk itu, dan kami sangat terbuka menerima masukan dan kritikan untuk penyempurnaan berikutnya. Semoga apa yang telah kita selesaikan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam mewujudkan innovative
government, yang pada akhirnya dapat membangun dan meningkatkan daya saing bangsa… Amin ya Robbal Alamin. Jakarta, Desember 2016 Kepala Pusat Inovasi Tata Pemerintahan
Dr. Andi Taufik
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
xiv DAFTAR ISI
Halaman Judul Kata Pengantar Daftar Isi Pendahuluan
Brexit dan Pembelajaran Inovasi Kebijakan Publik Yogi Suwarno
1:1
Model Budaya Kerja Inovatif di Sektor Publik Basseng
2 : 21
Strategi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Kota Surakarta dan Kabupaten Sragen Dedi Cahyadi
3 : 47
Perencanaan Pembangunan Berbasis Partisipasi Masyarakat
xv
BSIAN Seri 2
Selfy Andreanny
4 : 71
Campus Sosial Responsibility dan Basekolah Inovasi Penanganan Anak Putus Sekolah Antonius Galih Prasetyo
5 : 107
Collaborative Governance Penanganan Korban Kekerasan Forum Penanganan Korban Kekerasan DIY Nugroho Ario Setiawan
6 : 133
Model Pengembangan Desa Inovatif Kombinasi Top Down dan Bottoms Up Innovation Model Suripto
7 : 157 Pembangunan Terpadu Desa Inovatif Yulvikar Dwirendro Ariawan
8 : 189
Inovasi “System Cluster” Dalam Peningkatan Perekonomian Study Inovasi: Kelurahan Rejowinangun Yogyakarta Abdul Muis
9 : 219
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
xvi
Model Inovasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa Melalui Pengelolaan BUMDes Suryanto
10 : 241 Model Inovasi “Kampung Organik” Dewi Oktaviani
11 : 263
xvii
BSIAN Seri 2
PENDAHULUAN
P
ada Buku Seri Inovasi Administasi Negara seri ke-2 ini masih menyajikan
metamorfosis
Tacit
Knowledge
menjadi
Explicit
Knowledge dalam berbagai inovasi administrasi negara. Creating
Knowldege yang dikembangkan dari berbagai referensi pengalaman
negara, pemerintah daerah serta pengelaman laskar inovasi dalam mendampingi dan memfasilitasi laboratorium inovasi menjadi bentuk model dan deskripsi inovasi kebijakan, inovasi tata kelola pemerintah dan inovasi desa.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
xviii
Buku ini sangat kami rekomendasikan sebagai referensi para pemerhati inovasi dan reformasi birokrasi seperti pemerintah daerah dan pemerintah pusat, pihak akademisi, peneliti lepas, hingga Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan lebih khusus lagi para pemimpin perubahan dan pemimpin transformatif agar mampu lebih mudah dalam memahami inovasi tata kelola pemerintahan, pelayanan publik dan penggiat Inovasi desa. Beberapa inovasi yang ditulis dalam buku ini meliputi inovasi kebijakan publik, budaya kerja, inovasi sosial dan model inovasi desa. Dalam dimensi kebijakan publik, kita bisa belajar Brexit sebagai inovasi kebijakan publik. Lalu dalam model budaya kerja inovatif kita bisa mengadopsi model SECI. Sedangkan pada bidang sosial meliputi inovasi Strategi Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan,
Perencanaan
Pembangunan
Berbasis
Partisipasi Masyarakat, inovasi Penanganan Anak Putus Sekolah, dan
Collaborative
Governance
dalam
Penanganan
Korban
Kekerasan.
Selanjutnya dalam pengembangan desa-desa inovatif, kita dapat melihat Pengembangan Model Desa Inovatif dengan Kombinasi Top-Down dan
Bottoms-Up Innovation Model, Pola Pembangunan Desa Terpadu, Strategi Sistem Cluster Dalam Peningkatan Perekonomian Desa, Pengelolaan BUMDes, dan Model Pengembangan Kampung Organik. Dalam sektor publik, inovasi dan kebijakan merupakan dua istilah yang saling melengkapi satu sama lain. Inovasi hadir sebagai sebuah produk yang baru dan sifatnya yang menggantikan cara yang lama. Demikian pula sifat dari kebijakan yang hadir untuk mengganti kebijakan yang lama. Ini artinya bahwa setiap kebijakan, secara isi (konten) pada prinsipnya harus memuat inovasi baru. Kebijakan yang tidak memuat sesuatu yang baru atau menggantikan yang lama hanya akan menjadi kebijakan yang tidak fungsional. Inovasi kebijakan publik seperti Brexit dapat dibaca pada bagian 1 halaman 1-20.
BSIAN Seri 2
xix
Setiap pemimpin dituntut mampu memilih secara tepat cara untuk membangun budaya kerja inovatif yang efektif. Berbagai literatur tentang
pedoman membangun budaya kerja nampaknya belum cukup kuat menghadirkan model budaya kerja inovatif, yang tegas menghadirkan perilaku utama yang sederhana, dan terutama sesuai dengan konteks
organisasi publik di Indonesia. Model budaya kerja inovatif kebanyakan saat ini berisikan perilaku utama yang kompleks, bersumber dari konteks asing, sehingga sulit dipahami apalagi diterapkan. Namun saat ini, kita dapat belajar bagaimana membangun budaya organisasi dengan pengalaman Pusat Inovasi Tata Pemerintahan (INTAN), Lembaga Administrasi Negara seperti pada bagian 2 halaman 21 – 46. Bagian yang cukup banyak dibuat dalam buku seri kedua ini adalah inovasi sosial antara lain strategi percepatan penanggulangan kemiskinan, perencanaan pembangunan berbasis partisipasi masyarakat, penanganan anak putus sekolah, dan penanganan korban kekerasan. Kemiskinan masih menjadi permasalahan bangsa kita. Penanganan kemiskinan tidak mungkin hanya diselesaikan secara parsial. Bagian 3 menyajikan strategi percepatan penanggulangan kemiskinan. Strateginya dengan mengintegrasikan seluruh kegiatan penanggulangan masalah kemiskinan dengan membentuk Tim/ Unit Penanggulangan Kemiskinan Daerah. Gambaran lengkap strategi dapat dibaca pada halaman 47 – 70. Pembangunan bukan untuk pemerintah tetapi untuk masyarakat. Banyak cerita dari masyarakat pembangunan yang tidak dibutuhkan oleh mereka. Untuk itu pembangunan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan harus dimulai dari perencanaan. Bagaimana merencanakan pembangunan berbasis partisipasi masyarakat? Bagian 4 menyajikan praktik baik perencanaan pembangunan di Kabupaten Bojonegoro dan Kota Makassar.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
xx
Fenomena anak putus sekolah (drop-out) adalah salah satu masalah sektor
pendidikan yang persisten dan kompleks. Dia merupakan bagian dari apa yang disebut kegagalan bersekolah (school failure). Bagian 5 halaman 107133 menyajikan inovasi penanggulangan anak putus sekolah dengan
Campus Social Responsibility dan Basekolah. Penanganan korban kekerasan sebagian besar masih dilakukan oleh pemerintah dan biasanya terpisah-pisah pada masing-masing SKPD atau unit pelaksana teknis. Beberapa pemerintah daerah telah memberikan pelayanan secara terpadu terkait penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun dirasakan masih belum efektif. Bagian 5 halam 107-132 menawarkan model Collaborative Governance penanganan korban kekerasan dengan melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat. Praktik Collaborative Governance di DIY dengan FPKK dapat dikatakan cukup berhasil dalam mensinergikan berbagai pihak dalam memberikan pelayanan secara komprehensif terhadap korban kekerasan. Selain inovasi kebijakan dan tata kelola pemerintahan, buku seri kedua ini juga cukup banyak membahas terkait dengan inovasi desa. Berbagai bahasan dalam inovasi dengan meliputi Model Pengembangan Desa Inovatif, strategi Sistem Cluster Ekonomi Desa, Pengelolaan BUMDes, dan Kampung Organik. Inovasi desa sangat penting dan vital dalam mengakselerasi kemajuan desa. Pendekatan inovasi desa secara garis besar secara Top-Down dan Bottom-
Up Innovation Model. Ini dapat dilihat dalam beberapa model desa inovatif dalam berbagai literatur yang diolah dan dipetakan pada bagian 7 seperti Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo dan Agroindustri Desa Gondangan, wahana wisata edukasi pertanian Desa Mlatiharjo. Bagian 7 dan 8 halaman 157 – 218 menyajikan model pengembangan desa inovatif.
BSIAN Seri 2
dengan berbagai cara. Inovasi System Cluster
xxi
Strategi inovasi dalam meningkatkan perekonomian desa dapat dilakukan
yang dikembangkan di
Kelurahan Rejowinangun Yogyakarta dapat dibaca pada bagian 9 halaman
219 – 214, Pengelolaan BUMDes bagian 10 halaman 241 – 262 dan Pengembangan Model Inovasi Kampung Organik pada bagian 11 halaman 263 – 291.
I
1
BSIAN Seri 2
BREXIT DAN PEMBELAJARAN INOVASI KEBIJAKAN PUBLIK Yogi Suwarno
Latar Belakang
H
asrat warga lokal Inggris untuk melepaskan diri dari ikatan Uni Eropa (UE) melalui kampanye Brexit pada akhirnya telah mengantarkan negara itu menjadi yang pertama dalam sejarah untuk melepaskan diri dari entitas supra-nasional Eropa yang
sudah terbentuk sejak 1992. Referendum yang diselenggarakan serempak untuk menentukan sikap pada tanggal 23 Juni 2016 yang lalu ini menghasilkan suara mayoritas yang pro-Brexit, yang berarti mengharuskan negara ini untuk keluar dari keanggotaan UE. Dengan demikian, sejak hasil referendum ini diakui oleh Pemerintah Inggris, maka secara legitimasipolitik, Inggris sudah berstatus mengundurkan diri dari organisasi yang beribukotakan di Brussels Belgia ini. Namun secara legal formal, posisi keanggotaannya saat ini tidak serta merta hilang, karena untuk sampai pada status betul-betul lepas diperlukan proses negosiasi dan prosedur keluar sesuai ketentuan Perjanjian Lisabon yang memberikan tenggat waktu dua tahun untuk mencapai perjanjian kedua
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
2
belah pihak antara Inggris dengan UE. Lebih lanjut Theresa May, PM Inggris yang baru menggantikan David Cameron telah menegaskan bahwa proses legal formal baru akan dilakukan setelah tahun 2016 berakhir. Peristiwa historis Brexit ini ternyata menginspirasi dinamika politik dan kebijakan di beberapa negara anggota penting UE lainnya untuk mendorong dan menyuarakan ide serupa. Geert Wilders, pemimpin Partai Kebebasan di Belanda, Marine Le Pen dari Front Nasional Perancis, termasuk sayap kanan Beatrix von Storch di Jerman turut menyuarakan suka citanya atas keberanian Inggris dalam pengunduran diri meninggalkan rezim UE ini. Riak-riak politik serupa juga terjadi di beberapa negara mapan Eropa lainnya, walaupun lebih kecil, seperti di Austria, Denmark dan Swedia. Terlepas dari beragam respon yang muncul di lingkup regional Eropa, lalu apakah pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa Brexit ini? Dan apa manfaatnya bagi pembelajaran kebijakan publik di Indonesia? Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk memahami dan menguraikan jawabanjawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sekilas Tentang Uni Eropa, Inggris dan Referendum Uni Eropa Uni Eropa (UE) adalah blok atau kemitraan ekonomi dan politik negaranegara Eropa yang terdiri dari 28 negara anggota1. UE ini dibentuk atas dasar Perjanjian Uni Eropa atau lebih dikenal dengan Perjanjian Maastricht pada tahun 1992. Institusi regional ini merupakan gabungan sistem supranasional dan antar-pemerintahan. Pada beberapa bidang, keputusankeputusan ditetapkan melalui musyawarah dan mufakat di antara negaranegara anggota, dan di bidang-bidang lainnya lembaga-lembaga organ 1
https://ec.europa.eu/transport/facts-fundings/statistics/pocketbook-2016_en
BSIAN Seri 2
3
yang bersifat supranasional menjalankan tanggung jawabnya secara independen tanpa perlu mendapatkan persetujuan anggota-anggotanya.
Organ penting di dalam UE antara lain adalah Komisi Eropa, European of
Justice yang kemudian berubah menjadi European Council dan Bank Sentral Eropa. Satu organ lainnya yang cukup berpengaruh adalah Parlemen Eropa yang anggota-anggotanya dipilih langsung oleh warga negara anggota UE. Anggota UE yang relatif dominan dan mempunyai pengaruh kuat adalah negara-negara dengan skala ekonomi yang besar, seperti Inggris, Jerman dan Perancis. Dalam perspektif ekonomi, ide dasar UE adalah membentuk pasar tunggal (single market) di antara para anggotanya yang memungkinkan adanya pertukaran barang dan tenaga kerja secara bebas tanpa hambatan institusi imigrasi dan bea cukai. Dengan aturan bebas hambatan ini maka lalu lintas barang dan orang antar negara anggota UE menjadi sangat cair. Perdagangan bebas dan tenaga kerja menjadi fitur utama dari UE ini, yang justru dikeluhkan oleh sebagian anggotanya. Selain itu pembentukan mata uang tunggal euro yang digunakan oleh 19 negara anggotanya juga membentuk kesatuan UE dalam sistem moneter yang semakin terintegrasi. Dengan integrasi ekonomi ini, Gross Domestic
Product (GDP) UE telah berkembang dan melebihi GDP Amerika Serikat sejak 2014 di kisaran €13,920,541 juta 2. Sehingga dengan demikian sebenarnya UE telah menjelma menjadi blok ekonomi yang tangguh dan mampu bersaing dengan AS sebagai kekuatan ekonomi dunia.
2
https://europa.eu/european-union/about-eu/figures/economy_en#measuring-the-eu’s-economy
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
4
Tabel 1. Data Umum Perbandingan Uni Eropa dengan beberapa Negara No
Indikator
UE
Amerika
Jepang
Cina
Rusia
Serikat 1
Populasi (dalam jutaan)
2
Pertumbuhan Penduduk
507, 54
318, 86
127, 13
1364, 27
143, 82
0,3
0,7
-0,2
0,5
0,2
75
81
93
54
74
4 471
9 629
378
9 597
17 075
114
33
336
142
8
13 958
13 129
3 468
7 805
1 402
1,4
2,4
-0,1
7,3
0,6
100
150
100
36
71
(% perubahan sejak tahun sebelumnya) 3
Populasi Penduduk Kota (% dari total)
4
Area (Ribuan km2)
5
Kepadatan Penduduk (Orang/km2)
6
GDP (nominal) (dalam € milyar)
7
Pertumbuhan Real GDP (%)
8
Relative GDP per capita (dalam PPS, EU-28 = 100)
9
Ekspor (€ milyar)
1 702
1 231
528
1 691
375
10
Impor (€ milyar)
1 689
1 789
603
1 363
232
Sumber: Statistical Pocketbook, 2016
3
Jika dihadapkan dengan rival-rival ekonominya, jumlah penduduk UE mencapai 500 juta, bandingkan dengan penduduk AS yang hanya 300 jutaan. Selain kekuatan demografi, dalam beberapa indikator lainnya, UE juga sudah mengungguli AS, seperti GDP nominal dan kapasitas ekspor. Sedangkan dalam perspektif politik, UE menjadi sebuah institusi supranasional yang mempunyai kedaulatan (terbatas) serta kewenangan dalam mengatur urusan-urusan domestik negara-negara anggotanya melalui tangan lembaga parlemen UE. Salah satu area yang paling mendapatkan perhatian adalah lingkungan, perhubungan, hak-hak konsumen, dan bahkan termasuk hal-hal mikro seperti standar biaya penggunaan telepon selular. Konsekuensinya adalah negara-negara anggota mempunyai 3
https://ec.europa.eu/transport/facts-fundings/statistics/pocketbook-2016_en
BSIAN Seri 2
5
keterbatasan dalam mengatur urusan domestiknya sebagai bagian dari
trade-off dari keanggotaan UE. Pembuatan UU dan regulasi di tingkat
domestik harus selalu memperhatikan kepentingan UE yang lebih besar, sehingga cenderung kedaulatan negara anggota terpagari. Isu kedaulatan ekonomi maupun politik inilah yang menjadi salah satu cikal bakal munculnya wacana keluar dari UE.
Inggris dan Sejarah Referendum Pra-Brexit Inggris merupakan salah satu negara besar Eropa dengan sistem pemerintahan yang modern, namun tidak lepas dari sejarah dan tradisi monarkinya yang kuat. Walapun sistem monarki tidak lagi berpengaruh, namun citra monarki Inggris cukup lekat dan menjadi trademark dari negara dengan pendduk sekitar 60 juta ini. Kata Inggris berasal dari pelafalan“English”, namun dalam padanan bahasa Indonesia istilah Inggris ini tidak hanya asosiatif dengan England saja, tetapi keseluruhan wilayah United Kingdom (UK), termasuk di dalamnya Wales, Scotland (Skotlandia) dan Northern Ireland (Irlandia Utara). Sebagai satu kesatuan negara yang berdaulat, politik dan diplomasi luar negeri Inggris atau UK dikendalikan oleh pemerintahan UK yang berpusat di London, atau lebih populer dikenal dengan sebutan 10 Downing Street. Pemerintah Inggris dipimpin oleh seorang Perdana Menteri (PM) yang dipilih oleh Majelis Rendah atau House of Commons. Secara tradisi pimpinan partai pemegang kursi mayoritas atau koalisi akan otomatis menjadi PM. Jadi pemilihan PM tidak dilakukan secara langsung oleh masyarakat. Pemilu dilakukan di Inggris hanya untuk memilih anggota parlemen atau Member of Parliament (MP) untuk periode lima tahunan. Saat ini partai konservatif atau yang biasa dikenal dengan istilah Tory adalah pemegang suara mayoritas di parlemen.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
6
Inggris bergabung dengan Uni European Economic Community atau Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), sebelum namanya berubah menjadi Uni Eropa pada 1 Januari 1973. Ini adalah ambisi lama dari perdana menteri Inggris kala itu, Edward Heath. Pada tahun 1975 digelar referendum yang dilaksanakan oleh Inggris untuk memberi opsi meninggalkan atau menetap di keanggotaan UE. Inilah“Brexit”pertama yang dilakukan oleh Inggris. Pemerintahan yang dikuasai Partai Buruh mengadakan referendum ini untuk menentukan nasib Inggris di keanggotaan MEE. Saat itu, referendum menghasilkan kemenangan bagi pendukung yang menginginkan Inggris tetap berada di MEE dengan persentase 67% berbanding 33% dengan jumlah pemilih 64,5%. Selanjutnya referendum yang terbaru di tahun 2014 dilakukan referendum kemerdekaan Skotlandia yang memberikan opsi kepada warga apakah Skotlandia harus menjadi negara merdeka atau tidak. Referendum ini yang diadakan pada tanggal, 18 September 2014. Pertanyaan referendum yang direkomendasikan oleh Komisi Pemilihan Umum Britania Raya adalah "Haruskah
Skotlandia
menjadi
diperbolehkan menjawab
negara
merdeka?"
Ya atau Tidak.
Agar
Pemilih
berhasil,
hanya
proposal
kemerdekaan Skotlandia membutuhkan suara mayoritas. Meski ada beberapa pengecualian, seluruh penduduk Skotlandia berusia 16 tahun atau lebih memiliki hak suara, sekitar 4,3 juta jiwa.
Yes Scotland adalah grup kampanye utama yang mendukung kemerdekaan Skotlandia dari Inggris, sedangkan Better Together adalah grup kampanye utama yang menolak kemerdekaan. Referendum ini juga melibatkan berbagai grup kampanye lainnya, partai politik, perusahaan, surat kabar, dan tokoh ternama. Isu yang sering diangkat dalam kampanye meliputi mata uang yang akan digunakan Skotlandia, belanja publik, keanggotaan Uni Eropa, dan minyak Laut Utara.
7
BSIAN Seri 2
Gambar 1. Referendum Kemerdekaan Skotlandia 4 Partai Nasional Skotlandia - Scottish National Party (the SNP), pimpinan Nicola Sturgeon menjadi motor dalam kampanye untuk meninggalkan Inggris dan menjadi negara merdeka. Penghitungan suara menghasilkan kubu "No" yang menolak kemerdekaan memenangkan referendum ini dengan perolehan suara 55,3%. Sehingga dengan demikian Skotlandia tetap menjadi bagian dari Inggris.
Brexit Brexit yang merupakan singkatan dari British Exit adalah referendum kedua yang dilaksanakan oleh pemerintah yang berkuasa guna memberi peluang keluarnya Inggris dari Uni Eropa berdasarkan suara mayoritas. Istilah ini meniru istilah yang populer terlebih dahulu yaitu Grexit yang beberapa waktu sebelumnya ketika Yunani (Greece) berpeluang untuk keluar dari Uni Eropa akibat krisis utang.
4 http://images.huffingtonpost.com/2015-12-18-1450402999-6915137scotland_referendum_090914.jpg
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
8
Ide referendum ini dijanjikan oleh David Cameron, sebagai bagian dari wacana dalam kampanyenya menuju kursi PM Inggris untuk kedua kalinya. Hal ini didorong oleh kegelisahan publik dan sebagian warga lokal Inggris yang merasa terusik oleh gelombang pendatang atau imigran yang banyak tinggal dan menguasai lapangan kerja di Inggris. Dalam referendum yang diselenggarakan kali ini ada dua kubu kampanye yang saling berhadapan, Brexit dan Bremain. Brexit merupakan kependekan dari Britain Exit, istilah yang dipopulerkan oleh media massa dan pada akhirnya menjadi hashtag populer di kalangan yang mendorong Inggris
untuk keluar dari UE. Sebaliknya kelompok yang pro-UE mempunyai slogan Bremain, atau Britain remain. Sayangnya hashtag Bremain sudah kalah populer dalam prosesi referendum ini, sehingga istilah Bremain cenderung tenggelam dan tidak banyak dikenal. Kubu Brexit dimotori oleh Partai Buruh dan Partai Independen Inggris (UKIP). Namun demikian tokoh sentral kampanye Brexit justru berasal dari partai penguasa yaitu Boris Johnson, mantan walikota London. Tokoh lainnya adalah Nigel Farage dari UKIP. Sedangkan kubu Bremain dimotori oleh partai berkuasa pimpinan David Cameron sendiri. Dengan demikian di tubuh partai konservatif pun terpecah ke dalam dua faksi, yaitu pendukung Brexit dan pendukung Bremain.
Gambar 2. Peta Pendukung Brexit dan Bremain
9
BSIAN Seri 2
Sumber: BBC 2016 5
Hasilnya seperti terlihat pada gambar di atas, secara meyakinkan di wilayah Inggris memutuskan untuk keluar dari UE, dengan perolehan suara 53,4% lawan 46,6%, sedangkan di Wales kubu Brexit memperoleh dukungan 52,5% melawan 47,5% untuk suara Bremain. Sementara dua wilayah lainnya yaitu Skotlandia dan Irlandia Utara mayoritas menginginkan Inggris untuk tetap tinggal di UE. Perolehan suara yang berbeda ini mengusik kembali
5
http://www.bbc.com/news/uk-politics-36616028
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
10
dinamika politik lokal di Skotlandia yang mendorong untuk kembali mewacanakan kemerdekaan Skotlandia dari Inggris. Gambar 3 Nilai Pondsterling Pra dan Pasca Brexit
Sumber: The Guardian, 2016 6 Reaksi pasar mata uang juga menunjukkan gejolak dan sentimen penolakan pasar terhadap kemenangan Brexit ini, di mana nilai mata uang poundsterling baik terhadap Dollar AS dan Euro jatuh secara drastis ke level 30 tahun yang lalu. Indikator-indikator ekonomi dan politik ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari konsekuensi kemenangan Brexit. Ini merupakan pukulan cukup berat bagi Inggris di awal-awal kemenangan Brexit, walaupun kemudian ekonomi mulai stabil setelah September 2016. Pembelajaran dari peristiwa Brexit ini dapat digali, terutama dari perspektif demokrasi dan inovasi kebijakan.
https://www.theguardian.com/business/ng-interactive/2016/sep/21/how-has-the-brexit-voteaffected-the-uk-economy-september-verdict
6
Demokrasi dan Inovasi Kebijakan Publik
11
BSIAN Seri 2
Dalam sektor publik, inovasi dan kebijakan merupakan dua istilah yang saling melengkapi satu sama lain. Inovasi hadir sebagai sebuah produk yang baru dan sifatnya yang menggantikan cara yang lama. Demikian pula sifat dari kebijakan yang hadir untuk mengganti kebijakan yang lama. Ini artinya bahwa setiap kebijakan, secara isi (konten) pada prinsipnya harus memuat inovasi baru. Kebijakan yang tidak memuat sesuatu yang baru atau menggantikan yang lama hanya akan menjadi kebijakan yang tidak fungsional. Dalam pembauran frasa inovasi dengan kebijakan, dikenal tiga jenis interaksi inovasi dengan kebijakan 7, yaitu :
Policy innovation: new policy direction and initiatives (inovasi kebijakan) Inovasi kebijakan yang dimaksud adalah adanya inisiatif dan arah kebijakan baru. Ini berarti bahwa setiap kebijakan (publik) yang dikeluarkan pada prinsipnya harus memuat sesuatu yang baru. Secara khusus inovasi kebijakan menurut Walker (Tyran & Sausgruber, 2003: 4),“policy innovation is a policy which is new to the states
adopting it, no matter how old the program may be or how many other states may have adopted it”. Jadi yang dimaksud dengan inovasi kebijakan menurut Walker adalah sebuah kebijakan yang baru bagi negara
yang
mengadopsinya,
tanpa
melihat
seberapa
usang
programnya atau seberapa banyak negara lain yang telah mengadopsi sebelumnya.
7
Albury, 2003. Innovation in the Public Sector. hal 4.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
12
Innovations in the policy-making process (inovasi dalam proses pembuatan kebijakan) Pada peranan ini, maka fokusnya adalah pada inovasi yang mempengaruhi proses pembuatan atau perumusan kebijakan. Sebagai contoh adalah, proses perumusan kebijakan selama ini belum memfasilitasi peran serta warga masyarakat atau stakaholders terkait. Padahal UU SPPN mensyaratkan adanya partisipasi warga. Oleh karena itu
inovasi
yang
muncul
adalah
bagaimana
mengintegrasikan
mekanisme partisipasi warga dalam proses perumusan kebijakan.
Policy to foster innovation and its diffusion Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang khusus diciptakan untuk mendorong dan mengembangkan, dan menyebarkan inovasi di berbagai sektor. Dalam konteks ini, referendum Brexit ini dapat dipahami sebagai sebuah inovasi kebijakan, sebagai konsekuensi dari kemenangan Brexit akan mendorong adanya kebijakan baru. Dengan kemenangan Brexit ini maka, Inggris harus mulai membenahi struktur kebijakannya, termasuk regulasi dan peraturan perundangan lainnya yang mengatur kebijakan terkait halhal yang menjadi ranah kedaulatan hukum Inggris, yang semula harus tunduk dan patuh pada ketentuan di tingkat UE. Ini pula yang menjadi alasan mengapa Inggris bersikeras menyelenggarakan referendum, seperti yang diungkap oleh Justice Secretary UE. "Keanggotaan Inggris di Uni Eropa menjadi penghalang kita untuk mengubah regulasi. Dan kita bisa memilih siapa yang membuat keputusan penting yang mempengaruhi semua kehidupan kita," Michael Gove (Justice Secretary).
BSIAN Seri 2
13
Berkenaan dengan itu Berry dan Berry 8 menjelaskan bahwa penyebaran inovasi kebijakan terjadi dengan merujuk pada dua determinan penting,
yaitu internal determinant, dan regional difusion. Yang dimaksud dengan internal determinant atau penentu internal adalah karakteristik sosial, ekonomi, dan politik sebuah negara menentukan keinovatifan sebuah negara. Sedangkan regional diffusion atau difusi regional adalah kemungkinan sebuah negara mengadopsi kebijakan tertentu lebih tinggi jika negara-negara tetangganya telah mengadopsi kebijakan tersebut Sebuah contoh ilustrasi dari internal determinants yang menyebabkan terjadinya inovasi kebijakan adalah perubahan sosial ekonomi dalam negeri, demonstrasi publik, instabilitas politik yang memaksa terjadi perubahan kebijakan mendasar yang berkenaan dengan kepentingan publik. Regional
Diffusion terjadi ketika negara tetangga atau negara lain menerapkan kebijakan tertentu yang ditiru oleh kita. Misalnya dalam hal kebijakan di bidang lalu lintas, di Malaysia diberlakukan kewajiban menyalakan lampu bagi pengendara sepeda motor untuk menekan angka kecelakaan. Kebijakan ini kemudian ditiru oleh Indonesia, terutama di beberapa kota besar, dengan hasil yang diharapkan dapat menekan angka kecelakaan lalu lintas. Gambar 4 Inovasi Kebijakan
Sumber : diolah sendiri
8
Tyran, 2003. Diffusion of Policy Innovation. Universität St.Gallen. hal 5
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
14
Dengan demikian, inovasi kebijakan dapat terjadi karena salah satu dari dua faktor tersebut, atau mungkin juga terjadi karena dua faktor tersebut. Namun demikian pada banyak kasus, inovasi kebijakan didorong oleh kedua faktor internal dan eksternal tersebut di atas. Brexit merupakan contoh penting ketika internal determinant--dalam hal ini kehendak rakyat
Inggris melalui mekanisme referendum, menjadi pendorong utama terjadinya perubahan sikap Inggris untuk meninggalkan UE. Inilah poin di mana demokrasi menjadi nahkoda negara guna menentukan nasibnya sendiri ke depan. "Referendum tak sekadar regulasi perdagangan dan bisnis. Ini lebih kepada demokrasi. Apakah kita telah merdeka, telah memiliki pemerintahan yang independen atau tidak?" John Redwood (anggota parlemen dari konservatif) Konteks
demokrasi
ini
sejalan
dengan
laporan
UNDESA 9,
yang
menyebutkan bahwa keharusan negara berinovasi karena alasan-alasan berikut :
Demokratisasi, fenomena demokratisasi telah menyebar ke seluruh dunia, melewati batas-batas kedaulatan, ideologi dan politik bangsabangsa.
Perjanjian internasional/globalization, perjanjian internasional sebagai bagian dari konsekuensi globalisasi dan interaksi antar bangsa dalam rangka kerjasama.
Brain drain, fenomena human capital flight yang terjadi dari negara berkembang ke negara maju, sehingga terkadi ketidak seimbangan persebaran sumber daya manusia unggulan. Alhasil kesenjangan sosial ekonomi politik antara negara maju dengan negara berkembang makin melebar.
United Nations, 2005. Innovations in the Public Sector: Compendium of Best Practices. UNDESA. New York.
9
BSIAN Seri 2
15
Negara pasca konflik, demokrasi dan ekonomi transisi, beberapa negara
baru saja melewati masa konflik dan instabilitas poplitik akibat perang atau friksi kepentingan politik dalam negeri. Saat ini mulai mengadopsi sistem demokrasi serta mengalami transisi
Moral pegawai negeri, moralitas menjadi salah satu isu integritas pegawai dalam penataan birokrasi yang lebih baik.
Sumber baru persaingan: privatisasi dan outsourcing, privatisasi dan outsourcing adalah fenomena organisasional yang telah merambah sektor publik sejak lama. Hal ini berdampak pada perubahan struktur, budaya kerja dan lingkungan dinamis organisasi.
Internal determinant lainnya yang juga sangat berpengaruh adalah dinamika politik serta persoalan-persoalan sosial ekonomi yang melibatkan persaingan warga imigran dengan warga lokal. Dinamika politik turut memberi pengaruh kuat yang mendorong kampanye Brexit. Janji partai konservatif, ditambah dengan tantangan dari lawan politik, terutama UKIP untuk mendorong Brexit menjadi potret dinamika politik yang meningkat ketegangannya. Isu yang diusung oleh Nigel Farage, misalnya, sangat mengedepankan isu-isu pribumi, promordialisme serta ketertinggalan warga lokal dari warga-warga pendatang. Sehingga lambat laun ini menimbulkan sentimen pribumi yang meningkat dan resistensi yang menguat terhadap pendatang. Demikian pula dalam perspektif regional diffussion, di mana ide-ide referendum dan wacana keluar dari UE diinspirasi oleh beberapa peristiwa politik di tingkat Eropa, khususnya dengan kejadian Grexit ketika krisis ekonomi Yunani yang mengguncang ekonomi UE secara keseluruhan. Walaupun Yunani tidak jadi keluar dari UE, tetapi wacana yang berkembang di masing-masing negara untuk melepaskan diri dari UE menjadi tidak tabu lagi.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
16
Pembelajaran untuk Inovasi Kebijakan Publik di Indonesia Referendum
merupakan
sebuah
peristiwa
politik
yang
membawa
konsekuensi sosial ekonomi dan politik yang luar biasa besar. Event ini sangat menguras energi publik sehingga harus dibayar cukup mahal oleh negara yang melaksanakannya. Skotlandia adalah sebuah potret potensi disintegrasi di negara modern seperti Inggris, yang masih menyisakan persoalan antara kehendak untuk merdeka atau tetap bergabung dalam satu naungan negara. Potensi disintegrasi ini juga menjadi persoalan yang serupa d negara-negara besar lainnya di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Dari uraian di atas, maka dapat diketahui dua jenis referendum yang terjadi di Inggris dalam waktu yang relatif bersamaan, yaitu (1) Referendum terkait kemerdekaan Skotlandia dari
Inggris,
dan (2) Referendum
untuk
menentukan apakah Inggris akan tinggal atau keluar dari UE. Referendum yang pertama terkait dengan ancaman terhadap keutuhan Inggris sebagai sebuah negara. Skotlandia melalui partai SNC pimpinan Sturgeon selalu mengkampanyekan pemisahan diri dari Inggris sebagai akibat adanya ketidakpuasan politik dan ekonomi warga Skotlandia. Sedangkan Referendum kedua, lebih mendorong pada kehendak mayoritas rakyat untuk melepaskan dari dari ikatan regional guna mencapai tujuantujuan sosial ekonomi yang lebih besar, sebagai sebuah negara yang berdaulat. Bagi Indonesia, referendum model Skotlandia merupakan sesuatu yang tidak memungkinkan untuk dilakukan, bahkan untuk diwacanakan sekalipun. Isu disintegrasi dalam konteks Indonesia dapat memunculkan kembali trauma sejarah di mana pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia terancam oleh adanya potensi perpecahan bangsa. Sedangkan model referendum kedua tidak berorientasi pada isu perpecahan sebagai
BSIAN Seri 2
17
bangsa, namun lebih tepat sebagai penciptaan tujuan-tujuan bersama.
Sebagai satu bangsa, referendum jenis kedua ini dilakukan untuk memastikan akan kemana kehendak mayoritas warga masyarakat ke depan.
Ada semangat untuk menciptakan tujuan atau musuh bersama dalam konteks referendum ini. Ada beberapa pelajaran penting terkait peristiwa Brexit yang bisa diambil oleh Indonesia. Sangat relevan terutama dalam konteks regional di mana Indonesia juga merupakan anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang secara analogis dapat dipersandingkan dengan UE. Indonesia, dan bahkan Thailand, Malaysia dan Singapura pun sebagai raksasa ekonomi regional berpotensi menghadapi persoalan yang sama ketika integrasi ekonomi benar-benar sudah terjadi. Secara ringkas, Indonesia sebagai sebuah negara dengan segala kelengkapan dan infrastruktur demokrasi, serta kapasitas ekonomi yang cukup, dapat mengambil pelajaran dari peristiwa Brexit ini dalam perspektif inovasi kebijakan publik, perspektif penyelenggaraan negara dan perspektif hubungan internasional.
Perspektif inovasi kebijakan publik Referendum Brexit bisa menginspirasi tentang bagaimana sebuah kebijakan bisa lahir sebagai akibat dari kebijakan atau pernyataan kehendak rakyat. Penentu internal menjadi pendorong utama munculnya inovasi kebijakan, sedangkan difusi regional juga menginspirasi dan menciptakan iklim kondusif bagi munculnya inovasi kebijakan. Dalam kasus Brexit, Inggris dihadapkan pada satu pilihan untuk melakukan inovasi kebijakan, semisal terkait
pajak,
imigrasi,
ketenagakerjaan,
serta
lalu
lintas
barang,
perdagangan dan sebagainya. Indonesia, dalam konteks ASEAN dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), perlu mewaspadai persoalan-persoalan yang mungkin timbul yang sudah
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
18
dihadapi Inggris ketika masih resmi bergabung dengan UE. Inovasi kebijakan diperlukan guna mengantisipasi dan terutama melindungi kepentingan warga di tengah-tengah persaingan ekonomi dengan negara
tetangga.
Perspektif penyelenggaraan negara Bahwa penyelenggaraan negara merupakan pengejawantahan aspirasi dan kehendak rakyat. Mekanisme pernyataan kehendak dapat berupa Pemilu, referendum, atau peristiwa politik lainnya. Namun benang merahnya terletak pada isu kedaulatan atas dimensi-dimensi bernegara, sosial, ekonomi dan politik menjadi suatu keharusan. Inggris (baca: mayoritas rakyat) melihat bahwa kedaulatan ekonomi mereka terancam dengan banyaknya tenaga kerja asing yang mencari penghidupan di Inggris. Ancaman konflik sosial dan gesekan-gesekan kultural pun turut menyeruak seiring dengan semakin banyaknya imigran yang menetap di Inggris. Dalam konteks Indonesia, persoalan pembauran penduduk asli dan pendatang juga bisa menjadi potensi yang mengancam. Sehingga negara perlu mengambil peran yang lebih dalam mengatasi segala jenis ancaman ini. Penyelenggaraan negara perlu dilakukan dengan mengedepankan dan berlandaskan pada tujuan-tujuan bersama, penciptaan musuh bersama, sehingga potensi.
Perspektif hubungan regional/internasional Peristiwa Brexit tidak terlalu mengganggu kondisi dan stabilitas sosial ekonomi Indonesia. Selain karena harus menunggu perjanjian lebih lanjut dan detail antara Inggris dengan UE pasca Brexit ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga menyatakan bahwa dampak hasil referendum Brexit bagi politik Indonesia sangat terbatas. Prioritas kemitraan Indonesia dengan Inggris, maupun kemitraan Indonesia-Uni Eropa tak akan banyak berubah.
BSIAN Seri 2
19
Inggris merasa bahwa dengan berjalan sendiri akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan masih bergabung dengan UE. Ketika Inggris masih menjadi bagian UE, beberapa negara kecil di Eropa diuntungkan, tetapi Inggris merasakan sebaliknya. Indonesia dan ASEAN perlu menegaskan lagi mengenai prinsip hubungan saling menguntungkan.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
20
DAFTAR PUSTAKA Albury, 2003. Innovation in the Public Sector. hal 4. Tyran, 2003. Diffusion of Policy Innovation. Universität St.Gallen. hal 5 United Nations, 2005. Innovations in the Public Sector: Compendium of Best Practices. UNDESA. New York. https://ec.europa.eu/transport/facts-fundings/statistics/pocketbook-
2016_en https://europa.eu/european-union/abouteu/figures/economy_en#measuring-the-eu’s-economy http://www.bbc.com/news/uk-politics-36616028 https://www.theguardian.com/business/nginteractive/2016/sep/21/how-has-the-brexit-vote-affected-the-ukeconomy-september-verdict
21
BSIAN Seri 2
MODEL INOVASI BUDAYA KERJA INOVATIF DI SEKTOR PUBLIK Basseng
Pendahuluan
S
etiap pemimpin di sektor publik tentulah menginginkan agar organisasi yang dipimpinnya dapat menghasilkan kinerja yang tinggi. Di Indonesia, pemimpin ini adalah mereka yang menduduki Jabatan Pimpinan
Tinggi
Utama
dengan
sebutan
Kepala
Lembaga
Pemerintah Non Kementerian; Jabatan Pimpinan Tinggi Madya dengan sebutan Sekertaris Jenderal, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal, Kepala Badan, Deputi, Sekertaris Utama termasuk Sekretaris Daerah Provinsi; dan jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dengan sebutan Kepala Pusat, Direktur, Asisten Deputi, Kepala Biro, termasuk Kepala Dinas, Kepala Badan, Asisten, Kepala Biro. Semua pemimpin tentu mengetahui bahwa budaya kerja memainkan peranan yang penting dalam meningkatkan kinerja, khususnya budaya kerja inovatif. Dengan budaya kerja inovatif yang terbangun baik, maka
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
22
organisasi akan memiliki pegawai yang konsisten menerapkan perilakuperilaku utama yang telah ditetapkan. Perilaku-perilaku utama tersebut
tentu berkontribusi secara langsung terhadap peningkatan kinerja organisasi berkat adanya inovasi yang dihasilkan.Perilaku-perilaku utama taditelah terinternalisasi dengan baik pada masing-masing pegawai sehingga pegawai mampu memunculkan perilaku tersebut secara intrinsik, natural, alami tanpa terpaksa. Namun belum semua pemimpin mampu memilih secara tepat cara untuk membangun budaya kerja inovatif yang efektif. Berbagai literatur tentang pedoman membangun budaya kerja nampaknya belum cukup kuat menghadirkan model budaya kerjainovatif yang tegas menghadirkan perilaku utama yang sederhana, dan terutama sesuai dengan konteks organisasi publik di Indonesia.Mungkin model budaya kerja inovatif kebanyakan saat ini berisikan perilaku utama yang kompleks, bersumber dari konteks asing, sehingga sulit dipahami apalagi diterapkan. Untuk membantu para pemimpin ini, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai Kementerian yang bertanggungjawab dalam peningkatan kinerja organisasi publik telah beberapakali menerbitkan Pedoman Pengembangan Budaya Kerja untuk Instansi Pemerintah. Terakhir, Kementerian PAN dan RB menerbitkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja. Namun yang dapat kita lihat di lapangan, belum banyak pemimpin yang dapat menjawab dengan tegas tentang model budaya kerja inovatif yang diterapkan. Dalam tulisan ini, akan kami ajukan sebuah model budaya kerja inovatif yang dapat direplikasi pada instansi pemerintah lainnya. Model ini berangkat dari pengalaman membangun budaya kerja berorientasi kualitas pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan, Deputi Inovasi Administrasi Negara, Lembaga Administrasi Negara. Dari praktek tersebut, kami lakukan
BSIAN Seri 2
23
dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi untuk memunculkan model yang lebih sesuai dengan konteks birokrasi di Indonesia, termasuk perilaku-
perilaku utama yang melekat pada model tersebut, dengan harapan pimpinan instansi pemerintah dapat melakukan replikasi dengan mudah.
Tantangan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Nama Prof. Dr. Agus Dwiyanto tentu tidak asing di lingkungan birokrasi di Indonesia, khususnya birokrat yang mengikuti perjalanan perubahan di lingkungan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Selaku Kepala Lembaga Administrasi Negara periode 2013 sampai dengan 2015, beliau membawa perubahan yang signifikan di lingkungan LAN. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan kelembagaan, perubahan diklat aparatur, termasuk perubahan kultur atau budaya kerja di lingkungan LAN. Salah satu implikasi perubahan kelembagaan LAN yang beliau tinggalkan, selain merampingkan struktur organisasi LAN, adalah lahirnya kedeputian baru di LAN, yaitu Deputi Inovasi Administrasi Negara (DIAN), dimana salah satu
Pusatnya
adalah
Pusat
Inovasi
Tata
Pemerintahan
(INTAN).
Sebelumnya, Pusat ini tidak ada dalam struktur LAN. Dengan demikian, tugas pokok dan fungsinya benar-benar baru. Belum satupun pegawai memiliki pengalaman dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi tersebut. Pusat Inovasi Tata Pemerintahan mempunyai tugas melaksanakan penelaahan, pengkajian, dan pengembangan inovasi tata pemerintahan; evaluasi pelaksanakan program inovasi tata pemerintahan, pengembangan sistem informasi di bidangnya, serta pemberian bantuan teknis dan administratif
kepada
lingkungannya.
Pusat
Dalam
dan
kelompok
melaksanakan
Pemerintahan menyelenggarakan fungsi:
tugas,
jabatan Pusat
fungsional Inovasi
di
Tata
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
24
Penyusunan rencana kerja program, kegiatan dan anggaran di bidang Inovasi Tata Pemerintahan;
Pelaksanaan koordinasi kegiatan di lingkungan Pusat;
Pengendalian pelaksanaan kegiatan di lingkungan Pusat;
Pelaksanaan kajian di bidang inovasi tata pemerintahan;
Pelaksanaan pengembangan inovasi tata pemerintahan;
Pengembangan model inovasi tata pemerintahan;
Pelaksanaan evaluasi kajian di bidang inovasi tata pemerintahan;
Pelaksanaan konsultasi, advokasi dan asistensi di bidang inovasi tata pemerintahan;
Penyusunan dan pengembangan sistem informasi di bidang inovasi tata pemerintahan;
Pelaksanaan pemberian dukungan teknis dan administrative kepada Pusat dan kelompok jabatan fungsional di lingkungan Pusat;
Pembinaan kelompok jabatan fungsional di lingkungan Pusat; dan
Pelaksanaan tugas kedinasan lain terkait yang diberikan pimpinan.
Tugas pokok dan fungsi di atas cukup menantang. Pegawai belum memiliki pengetahuan tacit atau pengalaman dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi tersebut. Tidak berlebihan jika kami mengatakan bahwa segalanya masih mencoba, meraba-raba, mencari bentuk. Namun dari narasi tugas pokok dan fungsi di atas, dapat diproyeksi bahwa ke depan paling tidak terdapat dua kategori karya yang harus dihasilkan oleh Pusat INTAN ini. Pertama adalah pegawai dituntut untuk menghasilkan sejumlah model inovasi tata pemerintahan. Kedua adalah pegawai harus piawai berkomunikasi, berkoordinasi, berkolaborasi, bernegosiasi untuk mempengaruhi sejumlah pimpinan instansi pemerintah agar bersedia menerapkan model inovasi tata pemerintahan yang telah diterapkan. Kedua karya ini sangat terukur dan dapat dihitung dengan mudah. Memenuhi kedua tugas tersebut tentu tidak mudah. Pertama, untuk menciptakan model inovasi tata pemerintahan tentulah dibutuhkan
BSIAN Seri 2
25
penguasaan akan ilmu tata pemerintahan. Setiap pegawai perlu menguasai dan memetakan berbagai model inovasi di bidang tata pemerintahan yang
ada sekarang ini, sehingga mereka mampu melakukan pembaharuanpembaharuan terhadap model yang ada. Kedua, agar model inovasi tata pemerintahan yang sudah dihasilkan dapat direplikasi di instansi lain maka pegawai perlu memiliki kemampuan komunikasi yang tinggi sehingga pimpinan instansi pemerintah tertarik untuk menerapkan model inovasi yang telah diciptakan. Kedua tugas di atas hanya dapat dieksekusi dengan baik apabila pegawai memiliki habits atau kebiasaan atau perilaku utama yang inovatif, dan selalu beriorientasi kualitas, yang dipraktekkan sehari-hari, yang lazim disebut budaya kerja inovatif. Budaya kerja ini lahir dari kesadaran masing-masing pegawai
karena
pemahaman
yang
positif
terhadap
penting
dan
bermanfaatnya perilaku-perilaku utama tersebut. Pegawai berkeyakinan bahwa tanpa menjalankan perilaku-perilaku utama tersebut dalam budaya kerja tadi, kinerja organisasi sulit ditingkatkan. Secara konsepsional, budaya kerja juga sering disebut budaya organisasi, yaitu suatu kebiasaan yang dipraktekkan oleh pegawai pada sebuah organisasi secara berkelanjutan. Tentu saja tujuannya adalah meningkatkan kinerja organisasi. Banyak pakar yang telah mendefinisikan budaya kerja ini. Furnham dan Gunter dalam Michael Armstrong (2008) mengatakan bahwa budaya kerja adalah sikap dan nilai yang umumnya dimiliki, yang timbul dalam suatu organisasi, dikemukakan dengan lebih sederhana: budaya adalah “Cara kami melakukan sesuatu di sini”.
Zwell dalam Michael
Armstrong (2008) mengatakan bahwa budaya kerja adalah “the way of an
organization that is manifested at and transmitted across all organizational levels and to succeeding generations of employees. It includes the set of beliefs, behaviour, values, goals, technologies, and practices that is shared by members of the organization”.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
26
Budaya kerja bukanlah sesuatu yang baru. Tahun 2002, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan suatu Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur
Negara
melalui
Surat
Keputusan
Menpan
No:
25/Kep/M.PAN/4/2002, 25 April 2002. Pada buku pedoman ini, budaya kerja didefinisikan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang didasari atas nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Pengertian ini kemudian disempurnakan dalam Permenpan, 39 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja, menjadi sikap dan perilaku individu dan kelompok yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari. Tuntutan bahwa budaya kerja merupakan suatu kebiasaan menjadikan proses pembentukan budaya kerja menjadi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jika suatu perilaku sudah menjadi kebiasaan, maka tentu kebiasaan itu tertanam dalam dan terpatri dalam hati sanubari pegawai. Sebagai suatu kebiasaan, maka perilaku yang dimunculkan bersifat otomatis, reflek, mengalir apa adanya. Begitu ada stimulus dari dunia luar, maka respons dari dalam yang dimunculkan adalah perilaku tersebut. Karena respons yang diberikan bersifat otomatis dan reflek, maka kemudian disebut budaya karena sudah menjadi suatu kebiasaan. Dalam diri pegawai yang menunjukkan perilaku tersebut, telah terbangun suatu karakter, yang merupakan ciri khasnya. Bagaimana cara kerja munculnya perilaku terpola seperti diuraikan di atas, Spencer dan Spencer (1993) mencoba menjelaskannya dari perspektif bangunan kompetensi, seperti terlihat pada gambar 5:
Gambar 5 Perspektif Bangunan Kompetensi
27
BSIAN Seri 2
Perilaku yang dimunculkan oleh pegawai berupa skill atau keterampilan yang berulang dan membudaya tidak berdiri sendiri. Paling tidak dalam gambar di atas terdapat empat unsur yang membangunnya yaitu motif atau niat, personal characteristic atau sifat dasar, konsep diri atau cara pandang seseorang terhadap dirinya, dan knowledge atau pengetahuan yang dimilikinya. Dengan kata lain, seseorang tidak akan membiasakan dirinya melakukan suatu perilaku apabila dalam dirinya tidak terdapat niat, karakter, konsep diri, dan pengetahuan yang mengarah pada perilaku tersebut. Memprogram sembilan pegawai di Pusat INTAN untuk memiliki kebiasaan atau perilaku utama dari budaya kerja berorientasi kualitas memerlukan komitmen dan kerja keras. Sembilan pegawai tersebut seperti pada Tabel 2.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
28
Tabel 2 Pegawai Pusat Inovasi Tata Pemerintahan
Nama 1. Dr. Basseng, M.Ed.
Latar Belakang Pendidikan Administrasi Negara, Manajemen Pendidikan
2. Dra. Niken Andonrani, MAP
Administrasi Negara
3. Abdul Muis, S.Sos, M.M.
Desentralisasi dan Otonomi Daerah
4. Suripto, S.Sos., MAB
Administrasi Negara
5. Dedi Cahyadi, S.E.
Akuntansi, Ekonomi Kreatif
6. Selfy Andreany, S.A.B., MAB
Akuntansi, Administrasi Bisnis
7. Antonius Galih Prasetyo, S.I.P., MA
Administrasi Negara, Sosiologi
8. Sainem Indrawati
Tata Usaha Kantor
9. Irma Dewi Sofia, S.Sos
Keuangan
Saat ini pegawai Pusat INTAN total berjumlah 12 orang dengan bertambahnya dua pegawai baru yaitu Saudara Nugroho dan Zulfikar, dan seorang pegawai yang dimutasi yaitu Saudara Syahrial.
BSIAN Seri 2
29
Membangun Model Budaya Kerja Berorientasi Kualitas
Budaya kerja inovatif yang diajukan dalam tulisan ini berangkat dari pengalaman kami membangun budaya kerja berorientasi kualitas di Pusat INTAN mulai akhir tahun 2014 hingga pertengahan tahun 2016. Praktek budaya kerja berorientasi kualitas kemudian kami dekontekstualisasi untuk menemukan modelnya yang bersifat universal. Model universal inilah yang kemudian kami sebut sebagai budaya kerja inovatif. Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja, ditegaskan bahwa untuk membangun budaya kerja pada suatu instansi pemerintah, pemimpin organisasi perlu menempuh tiga tahap, yaitu:
Perumusan
nilai-nilai,
yang
berisikan
kegiatan
Perencanaan,
Mengidentifikasi nilai-nilai, Mengidentifikasi area sensitif, Menetapkan perilaku utama, Menetapkan bagaimana mengukur perilaku utama;
Implementasi, dan
Monitoring.
Mengikuti tahapan di atas, kami langsung merumuskan perilaku utama awal, yang merupakan turunan nilai-nilai yang telah disepakati. LAN sebelumnya telah memiliki nilai-nilai yang telah disepakati yaitu Integritas, Profesional, Inovatif dan Peduli. Berangkat dari nilai inovatif inilah, kemudian kami merumuskan perilakuperilaku utama yang akan dipraktekkan oleh setiap pegawai. Cara menetapkan perilaku-perilaku utama ini bersifat top-down, yang secara signifikan berbeda dengan yang dianjurkan oleh Permenpan No. 39 Tahun 2012 tersebut. Dalam peraturan ini, ditegaskan bahwa perumusan perilaku utama hendaknya bersifat bottom-up dan partisipatif.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
30
Referensi utama yang dipergunakan untuk merumuskan perilaku-perilaku utama yang akan diterapkan oleh pegawai adalah pemikiran pakar
knowledge management yaitu Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi yang
dituangkan dalam buku The Knowledge Creating Company (1995). Dalam Buku ini, Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi mengajukan sebuah model perilaku inovatif yang perlu dimiliki oleh pegawai pada suatu organisasi. Model perilaku ini terdiri atas empat rangkaian kelompok kegiatan yaitu
Socialization, Externalization, Combination, dan Internalization, yang dapat diakronimkan dengan SECI. Menurutnya, SECI adalah perilaku utama yang perlu dibiasakan bagi setiap pegawai, dengan penjelasan sebagai berikut:
Socialization Socialization adalah perilaku utama atau kebiasaan mongkomunikasikan setiap permasalahan yang ditemukan. Tujuan sosialisasi ini adalah memastikan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut memang merupakan permasalahan riil yang bersifat organizational. Output kegiatan sosialisasi adalah terwujudnya kondisi“satu gelombang”antara semua anggota organisasi terhadap suatu permasalahan pelayanan publik. Perilaku-perilaku yang tergolong Socialization adalah:
Mengunjungi dan berdiskusi dengan sesama pegawai secara langsung;
Mengidentifkasi
adanya
permasalahan
bidang
pekerjaan
saat
berinteraksi dan berdiskusi dengan sesama pegawai;
Mengunjungi unit kerja lain di lingkungan DIAN untuk berdiskusi dan berinteraksi secara langsung;
Mengidentifikasi
adanya permasalahan bidang
pekerjaan saat
berdiskusi dengan pegawai unit kerja di lingkungan;
Mengunjungi atau berinteraksi langsung dengan stakeholder secara langsung;
Mengidentifikasi
adanya permasalahan bidang
berinteraksi dengan stakeholder;
pekerjaan saat
Mengunjungi dan berdiskusi dengan atasan langsung;
Mengidentifikasi
adanya permasalahan bidang
31
BSIAN Seri 2
pekerjaan saat
berinteraksi dengan atasan langsung;
Mensosialisasikan dan meyakinkan atasan langsung tentang urgensi suatu permasalahan bidang pekerjaan.
Externalization Externalization adalah perilaku utama atau kebiasaan untuk menunjukkan kepedulian pegawai terhadap permasalahan yang sudah dipahami bersama pada tahap sosialisasi di atas. Kepedulian mereka tunjukkan dengan memberikan pengetahuan terbaik yang dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Output kegiatan eksternalisasi ada terdapat sejumlah ide yang diajukan oleh para pegawai untuk memecahkan masalah pelayanan publik. Adapun perilaku-perilaku yang tergolong Externalization adalah sebagai berikut:
Menuangkan ide atas permasalahan bidang pekerjaan secara tertulis baik dalam bentuk kata-kata, gambar, rumus, metafora, atau yang lainnya;
Membahas ide atas permasalahan bidang pekerjaan dengan sesama pegawai.;
Membahas ide atas permasalahan bidang pekerjaan dengan pegawai di unit kerja lain;
Membahas ide atas permasalahan bidang pekerjaan dengan stakeholder;
Membahas ide atas permasalahan bidang pekerjaan dengan atasan langsung;
Mengungkapkan kebutuhan stakeholder dengan kata-kata yang sangat lengkap;
Menjadikan
cara
kerja/produk
lama
merumuskan cara kerja/produk baru;
sebagai
rujukan
dalam
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
32
Menghasilkan cara kerja/produk baru untuk memecahkan masalah bidang pekerjaan yang diyakini dapat meningkatkan kualitas pekerjaan;
Mengungkapkan ide yang kompleks dengan kata-kata yang lebih sederhana guna merampungkan suatu cara kerja/produk baru.
Combination Combination adalah perilaku utama atau kebiasaan berpikir inovatif dan kreatif dengan cara mensintesa solusi internal dari para pegawai dengan solusi eksternal baik yang bersumber dari buku atau teori maupun yang bersumber dari narasumber atau pakar eksternal. Kombinasi ini akan menghasilkan cara baru atau produk baru yang tidak lain merupakan inovasi itu sendiri. Perilaku-perilaku pegawai yang tergolong Combination adalah sebagai berikut:
Mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber dalam organisasi guna merampungkan ide baru dalam melaksanakan tugas;
Mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber dari luar organisasi guna merampungkan ide baru dalam melaksanakan tugas;
Secara sistematis menganalisa data dan informasi yang telah diperoleh baik dari dalam organisasi maupun luar organisasi;
Memformulasi ide baru berdasarkan hasil analisis data;
Menyimpan, mengorganisir dan mengelola data dan informasi;
Memproses data numerikal guna kepentingan riset dan uji coba cara kerja/produk kerja baru;
Menyusun
perencanaan
untuk
mengkongkritkan
suatu
cara
kerja/produk kerja baru;
Menyusun proposal, laporan dan dokumen lain guna merampungkan suatu cara kerja baru;
Menyusun
perencanaan
carakerja/produk
kerja
baru
dan kepada
mempresentasikan sesama
pegawai,
stakeholder, rekan kerja dari unit lain, dan atasan langsung.
suatu rekan
BSIAN Seri 2
33
Internalization
Internalization adalah perilaku atau kebiasaan menggunakan atau mengimplementasikan inovasi yang telah dihasilkan. Penerapan inovasi ini nantinya memungkinkan pegawai menemukan permasalahan baru, yang selanjutnya menjadi bahan untuk memulai siklus SECI, untuk menemukan
inovasi baru guna menyempurnakan inovasi yang telah ditemukan sebelumnya. Perilaku-perilaku yang tergolong Internalization adalah sebagai berikut:
Dapat mendemonstrasikan cara kerja baru/mempresentasikan produk kerja baru yang lebih berkualitas;
Meningkatkan kemampuan menggunakan suatu cara kerja/produk kerja baru meningkatkan kualitas pekerjaan dengan membaca literatur yang relevan atau mengikuti pelatihan;
Bertukar pikiran dengan atasan langsung tentang keberhasilankeberhasilan yang telah dicapai dengan menggunakan suatu cara kerja/produk kerja baru;
Bertukar
pikiran
dengan
stakeholder
tentang
keberhasilan-
keberhasilan yang telah dicapai dengan menggunakan suatu cara kerja/produk kerja baru;
Teratur mengecek seberapa besar permasalahan sudah di atasi oleh suatu cara kerja/produk kerja baru;
Memberi
kesempatan
kepada
sesama
pegawai
nuntuk
mempraktekkan suatu cara kerja/produk kerja baru;
Memahami secara jelas penyebab meningkatkatnya kualitas pekerjaan dengan menggunakan suatu cara kerja/produk kerja baru;
Dalam menggunakan suatu cara kerja/produk kerja baru, masih tetap berpedoman pada sebuah model atau sistem yang masih tertulis;
Memiliki rencana strategis untuk mengantisipasi keadaan yang tidak menentu di masa mendatang.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
34
Keempat perilaku utama yaitu Socialization, Externalization, Combination
dan Externalization dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 6. SECI Model
Tahapan Dalam Membangun Budaya Kerja Inovatif Setelah menemukan perilaku-perilaku utama budaya kerja beriorientasi kualitas seperti diuraikan di atas, maka pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana memprogramkan agar perilaku-perilaku SECI dapat menjadi kebiasaan baru bagi seluruh pegawai Pusat INTAN.Dari segi jumlah, tantangan yang dihadapi memang tidak begitu besar.Dengan jumlah pegawai yang hanya 9 orang, nampaknya lebih muda menanamkan perilaku SECI pada masing-masing pegawai. Berikut ini diuraikan tahapantahapan yang dilalui dalam memprogramkan budaya kerja tersebut:
Membelajarkan pegawai Untuk menanamkan kebiasaan melakukan perilaku-perilaku di atas pada diri para pegawai, prosesnya tentu tidak terlepas dari proses pendidikan pada umumnya. Membangun budaya kerja adalah membangun perilaku dan
BSIAN Seri 2
35
kebiasaan baru. Para pegawai perlu dididik terlebih dahulu tentang perilaku-perilaku utama tersebut. Proses pendidikan mengharuskan mereka
melewati beberapa fase mulai dari pengajaran atau penjelasan tentang SECI
secara langsung, pembiasaan melakukan perilaku-perilaku dalam SECI di tempat kerja, perlunya mereka melihat role model SECI di tempat kerja, dan pengkondisian lingkungan agar tetap sejalan dengan kebiasaan SECI ini, termasuk penerapan sanksi dan penghargaan yang relevan dengan SECI. Untuk membelajarkan pegawai tersebut dengan SECI model, maka tindakan pertama yang dilakukan adalah memperkenalkan kepada mereka tentang referensi asli manajemen pengetahuan model SECI. Tindakan ini ditempuh dengan menggandakan buku The Knowledge Creating Company karya Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi (1995). Buku ini kemudian disimpan di perpustakaan INTAN dimana setiap pegawai dapat mengaksesnya. Tentu saja proses pembelajaran pegawai terhadap perilaku-perilaku yang terdapat dalam SECI tersebut tidak hanya terbatas pada penyediaan buku saja, melainkan intensitasnya ditambah dengan berbagai kegiatan baik yang bersifat terstruktur seperti pada pertemuan-pertemuan dengan pegawai maupun yang tidak terstruktur seperti pada pembicaraan informal di ruangan kerja, di koridor kantor, dan sebagainya.
Mempraktekkan Perilaku-Perilaku Utama Budaya Kerja Berorientasi Kualitas Learning by doing atau belajar dengan cara melakukan apa yang dipelajari merupakan cara tercepat untuk menguasai perilaku-perilaku utama budaya berorientasi kualitas dalam SECI model tersebut. Pusat INTAN mendapatkan momen yang tepat untuk mempraktekkan perilaku-perilaku utama ini pada tahun 2015. Pada waktu itu, Kedeputian Inovasi Administrasi Negara sedang berinovasi mencari bentuk dan model Laboratorium Inovasi Administrasi Negara yang tepat dijadikan Pedoman Pengelolaan Laboratorium Inovasi.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
36
Perilaku utama Socialization telah ditunjukkan oleh segelintir pegawai
Kedeputian Inovasi Administrasi Negara di penghujung tahun 2014. Pada saat perencanaan kegiatan 2015 tepatnya sekitar Bulan Agustus 2014,
Kedeputian Inovasi Adminsitrasi Negara mengusulkan bahwa pada tahun 2015 akan menyelenggakan Laboratorium Inovasi Administrasi Negara. Pada saat itu, ide ini muncul belum terlihat jelas bagaimana bentuk dari Laboratorium tersebut, dan bagaimana cara kerja dan mengelolanya. Persepsi pegawai terhadap Laboratorium Inovasi Administrasi Negara belum sama. Gelombangnya berbeda-beda dan semua masih dalam alam abstraksi setiap pegawai. Melalui berbagai bentuk perilaku utama
Socialization, pegawai melakukan knowledge sharing atau berbagi pengetahuan dan knowledge acquisition atau pencarian pengetahuan. Persepsi
terhadap
adanya
masalah
dan
kebutuhan
akan
model
Laboratorium Inovasi Administrasi Negara kuat dirasakan secara merata di antara para pegawai. Seiring dengan berjalannya waktu sampai dengan akhir tahun 2014 mulai terlihat adanya kesamaan persepsi terhadap adanya kebutuhan model Laboratorium inovasi Administrasi Negara. Kemudian pada pada tanggal 9 Januari 2015, Deputi Inovasi Administrasi Negara meminta seluruh pusatpusat di lingkungan Kedeputian Inovasi Administrasi Negara yakni Pusat Inovasi Tata Pemerintahan (INTAN), Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur (PIKs@), Pusat Inovasi Pelayanan Publik (PIPEL), dan Pusat Promosi Inovasi dan Pengembangan Kapasitas (P2IPK), untuk mengajukan konsep dan pemahaman tentang Laboratorium Inovasi Adminsitrasi Negara. Pada kesempatan ini, Deputi Inovasi Administrasi Negara melemparkan ide awal mengenai Model Inovasi Administrasi Negara yang akan dipergunakan pada tahun 2015. Model tersebut berisikan enam kegiatan utama, yaitu: 1) Teknis Administrative; 2) Identifikasi Masalah dan Ide Inovasi; 3) Perancangan Desain Inovasi; 4) Festrival Inovasi; 5) Monitoring dan Evaluasi; 6) Monitoring, Launching dan Implementasi.
BSIAN Seri 2
37
Dengan berbekal pemahaman Laboratorium Inovasi hasil diskusi tersebut, permasalahan yang muncul adalah bahwa DIAN belum memiliki Pedoman Laboratorium
Inovasi
Adminsitrasi
Negara.
Pemasalahan
ini
kami
kemukakan, selaku Kapus INTAN saat itu. Selanjutnya dalam penerapan perilaku utama S dalam SECI, kami menciptakan gelombang yang sama di Pusat INTAN yakni dengan menjadikan permasalahan yang diusulkannya menjadi Permasalahan Pusat INTAN. Perilaku-perilaku yang tergolong
Sosialization, muncul dan dilakukan dengan berbagai cara yakni membahas secara informasi di koridor, di ruangan, “diskusi Terbatas” dengan beberapa Peneliti dan juga rapat terprogram di lingkungan INTAN”. Tahapan S ini sangat penting dalam budaya kerja SECI, karena ini yang akan membedakan personal knowledge creation atau pengetahuan individu pegawai dan organizational knowledge creation atau pengetahuan bersama. Jika seorang Pimpinan tidak cermat dalam tahap S ini maka SECI model kemungkinan besar mengalami kegagalan, karena seorang pimpinan dengan kewenangannya dapat memaksakan menggunakan instrumen tertentu, dan jika ini terjadi maka SECI model gagal diterapkan. Intinya tahapan penyamaan gelombang ini dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai kebutuhannya. Hal yang perlu diingat bahwa Kesadaran tersebut tentunya bukan hanya kesadaran tanpa kontribusi, karena kalau itu yang terjadi sama saja dengan“kesadaran omong kosong”. Dalam tahap Externalization, kesadaran akan adanya permasalahan bersama perlu wujud dan dibuktikan dengan kontribusi pemikiran/konsep dalam menciptakan pedoman laboratorium inovasi. Dalam tahap ini konsep yang sebelumnya diajukan oleh Deputi Inovasi Administrasi Negara dalam bentuk narasi, kemudian dituangkan oleh pegawai Pusat INTAN ke dalam gambar 7.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
38
Gambar 7 Tahap dan Konsep Model Laboratorium Inovasi
Gambar di atas dituangkan oleh Pegawai Pusat INTAN tadi dengan cara menjejerkan tahapan-tahapan yang ada secara linier. Pegawai belum mencoba melakukan simplifikasi sehingga esensi setiap tahapan belum dapat dimunculkan dalam satu kata. Pada saat yang sama, perilaku utama E dalam SECI telah melanda sebagian besar pegawai Pusat INTAN, sehingga mereka memunculkan model-model inovasi administrasi negara yang telah diperkaya dengan pemikiran konseptual sehingga mampu melakukan simplifikasi model 1 dan 2 Gambar 8 . Model 1 Laboratorium Inovasi
Gambar 9. Model 2 Laboratorium Inovasi
39
BSIAN Seri 2
Pada kedua model di atas, pegawai Pusat INTAN menginginkan bahwa pada setiap langkah yang dilakukan dalam Labpratorium Inovasi, para innovator haruslah mengedepankan kepentingan publik. Adapun Diagnose,
Drum Up, Design dan Deliver adalah simplifikasi dari tahapan yang pernah diajukan oleh Deputi Inovasi Administrasi Negara. Selanjutnya, model-model tersebut di atas kemudian diajukan kepada Deputi Inovasi Administrasi Negara secara resmi melalui sebuah nota dinas. Deputi Inovasi Administrasi Negara kemudian melakukan perilaku utama Combination dalam SECI, dan mensintesa model Laboratorium Inovasi Administrasi Negara, menjadi model yang dikenal luas dengan 5D, yaitu
Drum Up, Diagnose, Design, Deliver dan Display, sebagai berikut: Gambar 10. Model 5D Labolatorium Inovasi (Hasil Combination)
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
40
Setelah mendapatkan model yang muncul dari perilaku C dalam SECI yang diperankan oleh Deputi Inovasi Administrasi Negara, maka langkah
berikutnya memasuki tahap internalisasi atau penerapan model tersebut. Pada tahap Internalization, Deputi Inovasi Administrasi Negara telah menghadirkan sebuah Model Inovasi Administrasi Negara yang berkualitas, yang kemudian dituangkan ke dalam Pedoman Pengelolaan Laboratorium Inovasi. Pegawai Pusat INTAN telah menginternalisasi model ini dengan menerapkannya di Kota Yogyakarta, Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Majalengka. Serta telah disosialisasikan dalam kegiatan
Champion Innovation – Provinsi Sumatera Selatan, Sosialisasi Inovasi Kementerian Dalam Negeri di Kota Balikpapan. Hingga saat ini, seluruh pegawai Pusat INTAN termasuk pegawai Kedeputian Inovasi Administrasi Negara berada pada posisi Internalization dalam SECI. Artinya, model 5D telah menjadi model ‘final’. Namun sesuai dengan arah lingkaran searah jarum jam dalam model SECI, maka setelah penerapan perilaku utama Internalization dala SECI maka akan berputar kembali ke tahap Socialization. Artinya, berdasarkan hasil evaluasi penerapan model 5 D, maka ke depan Model Pengelolaan Laboratorium Inovasi
perlu
disempurnakan
dengan
memperhatikan
Whole
of
Government Perspective, sinergi dengan kebijakan KemenPAN dan RB dan Kementerian Dalam Negeri, dan sebagainya sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis.
Merumuskan Model Budaya Kerja Inovatif Lahirnya model Laboratorium Inovasi Administrasi Negara 5 D seperti digambarkan di atas, didorong oleh budaya kerja berorientasi kualitas yang menggunakan konsepsi SECI Model. Sekilas jika diperhatikan maka yang nampak di permukaan adalah suatu mekanisme yang tidak beraturan,
messy atau kacau balau. Tampak di permukaan adalah hanya serangkaian diskusi, rapat, dialog informasi, dan beberapa coretan ide dan gagasan,
BSIAN Seri 2
41
yang jika dikategorikan masih masuk ke dalam kategori perilaku utama yang
bersifat makro yaitu SECI. Perilaku utama yang spesifik belum dapat diidentifikasi dengan baik. Bahkan, apa yang nampak dipermukaan tersebut, akan sulit ditangkap maknanya sehingga akan menyulitkan instansi pemerintah jika bermaksud melakukan replikasi.
Di samping itu, model SECI bersumber dari pemikiran asing, yang belum tentu familiar dan sesuai dengan preferensi atau kesukaan pemimpin. Model SECI tersebut perlu dikontekstualisasikan dengan budaya kerja birokrasi pada umumnya di Indonesia di mana peran pimpinan organisasi sangat signifikan dalam pengambilan keputusan. Dengan menggunakan pendekatan Soft Systems Methodology, praktek pengembangan budaya kerja berorientasi kualitas pada Pusat INTAN dapat dimodelkan menjadi budaya kerja inovatif. Pertama, budaya kerja berorientasi kualitas yang diterapkan di atas adalah sebuat sistem. Sistem tersebut berupaya melakukan transformasi terhadap suatu input sehingga input tersebut akan keluar sebagai output yang telah mengalami perlakuan sehingga berbeda kondisinya sewaktu masih menjadi input. Sistem transformasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 11. Input Sistem Transformasi
Pada gambar di atas terlihat bahwa peristiwa transformation process adalah peristiwa bekerjanya sebuah sistem budaya kerja berorientasi kualitas yang menggunakan model SECI. Lahirnya Laboratorum Inovasi model 5D didorong oleh perilaku-perilaku utama yang terdapat dalam SECI yang diperankan oleh pegawai. Dalam menghasilkan Model 5D tersebut,
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
42
pegawai Pusat INTAN melakukan serangkaian kegiatan atau perilaku utama. Paling tidak terdapat tujuh perilaku utama yang dilakukan oleh pegawai dalam rangkaian menghasilkan Model 5 D tersebut, yaitu:
Pegawai merasakan adanya permasalahan yang dihadapi oleh organisasi;
Pegawai mencari pengetahuan dari internal dan external yang relevan
Pegawai mengajukan solusi terhadap permasalahan
Pegawai mengajukan berbagai solusi kepada pimpinan organisasi
Pimpinan memimpin pengintegrasian berbagai solusi yang ada
Pegawai menerima solusi yang ditetapkan pimpinan
Pegawai menggunakan solusi yang telah ditetapkan
Ketujuh perilaku utama tersebut merupakan perilaku utama inovatif. Rangkaian
ketujuh
perilaku
utama
mampu
mengantar
pegawai
menghasilkan sesuatu yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya di DIAN dan INTAN, yaitu Sistem Laboratorium Inovasi Administrasi Negara Model 5 D. Ketujuh perilaku utama tersebut di atas dapat dimodelkan sebagai berikut:
BSIAN Seri 2
1.
2. Pegawai mencari pengetahuan dari internal dan external yang relevan
Pegawai merasakan adanya permasalahan yang dihadapi oleh organisasi
3. Pegawai mengajukan solusi terhadap permasalahan
4. Pegawai mengajukan berbagai solusi kepada pimpinan organisasi
5. Pimpinan memimpin pengintegrasian berbagai solusi yang ada
6. Pegawai menerima solusi yang ditetapkan pimpinan
43
Gambar 12 : Model Budaya Kerja Inovatif Di Sektor Publik
7. Pegawai menggunakan solusi yang telah ditetapkan
Take control perilaku 1 - 7
Monitor
Menetapkan kriteria kinerja Perilaku 1-7
Untuk
mengukur
kinerja
masing-masing
perilaku,
Soft
Systems
Methodology menganjurkan menggunakan indicator 3E, yaitu efficacy (apakah sistem berjalan dengan baik), effectiveness (apakah sistem menghasilkan output yang dikehendaki, dan efficiency (apakah sistem tidak boros menggunakan sumber daya). Indikator-indikator kinerja tersebut diterapkan pada ketujuh perilaku utama, sebagai berikut:
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
44
Tabel 3. Perilaku dan Indikator Budaya Kerja Inovatif Perilaku Utama Perilakui 1:
Perilaku 2
Kegiatan 3
Perilaku 4
Perilaku 5
Perilaku 6
Indikator Kinerja Efficacy
Effectiveness
Cara pegawai mengindera masalah di tempat kerja sudah tepat karena ditopang oleh worldview untuk kepentingan publik. Cara pegawai mengumpulkan pengetahuan sudah komprehensif karena ditopang oleh worldview untuk kepentingan publik Cara pegawai dalam mengajukan solusi berbasis evidence dan ditopang oleh pengetahuan yang lengkap karena ditopang oleh worldview untuk kepentingan publik Cara Pegawai dalam mengajukan alternatif solusi kepada pimpinan sudah tepatkarena ditopang oleh worldview untuk kepentingan publik. Cara pimpinan mengintegrasikan berbagai solusi sudah tepatkarena ditopang oleh worldview untuk kepentingan publik.
Hasil penginderaan pegawai memenuhi sasaran.
Cara pegawai menerima solusi akhir sudah tepatkarena ditopang oleh
Pegawai menerima solusi secara rasional.
Pengetahuan yang terkumpul komprehensif.
Efficiency Pegawai tidak boros menggunakan sumber daya dalam mengindera permasalahan organisasi. Pegawai tidak boros menggunakan sumber daya dalam mengumpulkan pengetahuan yang relevan.
Terdapat banyak alternatif solusi.
Pegawai tidak boros dalam menggunakan sumber daya untuk mengajukan solusi atas permasalahan organisasi.
Pimpinan menerima sejumlah solusi yang komprehensif.
Pegawai tidak boros menggunakan sumber daya dalam mengajukan alternatif solusi kepada pimpinan
Solusi akhir sudah tepat.
Pimpinan tidak boros dalam menggunakan sumber daya dalam mengintegrasikan berbagai alternatif solusi yang ada. Pegawai tidak boros dalam menggunakan sumber daya untuk menerima solusi akhir.
worldview untuk kepentingan publik. Cara pegawai menerapkan solusi sudah tepatkarena ditopang oleh worldview untuk kepentingan publik.
Perilaku 7
Solusi yang dipergunakan mampu memecahkan masalah.
Pegawai tidak boros menggunakan sumber daya untuk menerapkan solusi
45
BSIAN Seri 2
Penutup Model budaya kerja inovatif yang berisi tujuh perilaku utama di atas merupakan abstraksi dari praktek membangun budaya kerja berorientasi kualitas pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan yang bersumber dari model SECI. Model budaya kerja ini merupakan model inovasi tata pemerintahan yang bertujuan menuntun perilaku inovasi di sector publik. Substansi model ini telah kami terapkan selama kami memimpin Pusat INTAN, dan telah berhasil
memampukan
pegawai
menghasilkan
sederat
karya-karya
berkualitas, mulai dari model Laboratorium Inovasi 5D, bahan-bahan workshop yang dipergunakan dalam memfasilitasi laboratorium inovasi, instrument monitoring laboratorium inovasi, teknik mendokumentasikan dan mendisplay hasil inovasi, sampai pada pembuatan sistem inovasi virtual yang dikenal dengan SINOLA atau sistem informasi laboratorium inovasi. Membiasakan pegawai melakukan ketujuh perilaku utama di atas adalah esensi model budaya kerja inovatif ini. Guna memastikan agar setiap perilaku utama dapat diterapkan dengan baik, maka pemimpin perlu menetapkan indicator kinerja untuk setiap perilaku utama tersebut dengan menggunakan indicator 3E, yaitu efficacy, effectiveness, dan efficiency. Diperlukan konsistensi dan ketelatenan untuk menggunakan indicator kinerja untuk meluluskan setiap pegawai bahwa masing-masing perilaku utama telah dilaksanakan dan telah memenuhi ketiga indikator kinerja tersebut. Selamat menerapkan untuk mengakselarasi birokrasi Indonesia menuju world-class bureaucracy.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
46
Daftar Pustaka Armstrong, Michael. 2008. The Strategic Human Resource Management. India: Replika Press Pvt Ltd.
Budiarjo, Andreas. 2013. Corporate Culture in Action: Membangun Budya Profesional
Untuk
Memenangkan
Persaingan
Bisnis.
Jakarta:
Prasetiya Mulya Publishing Nonaka, Ikujiro dan Takeuchi Hirotaka. 1995. The Knowledge-Creating
Company. Oxford: Oxford University Press. Nonaka, Ikujiro dan Patrcik Reinmoller. 2000. Dynamic Business systems for
Knowledge Creation and Utilization” (dalam Charles Despers dan Daniele Chauvel, 2000, Knowledge Horizons,Woburn: ButterworhthHeinemann). Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja
47
BSIAN Seri 2
STRATEGI PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN Kota Surakarta dan Kabupaten Sragen Dedi Cahyadi
Latar Belakang
S
alah satu tujuan dari didirikannya bangsa dan negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum serta
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengaturan tersebut menunjukkan bahwa para founding fathers mempunyai perhatian besar terhadap hak seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Tujuan bangsa dan negara Indonesia tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam batang tubuh terutama Pasal 34, pasal tersebut menegaskan tanggung jawab negara mengembangkan kebijakan di berbagai bidang serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
48
diperlukan oleh masyarakat miskin dalam upaya penanggulangan
kemiskinan, sehingga diharapkan tidak adanya lagi ketimpangan ekonomi. Sesuai dengan visi strategis nasional yang mengikuti arah perencanaan jangka panjang nasional (RPJPN 2005-2025) dalam konteks pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yaitu memajukan kesejahteraan umum, pemerintah telah menetapkan penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas utama pembangunan. Salah satu misi pembangunan nasional dalam RPJPN 2005-2025 yakni dalam hal mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, adalah meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi
kemiskinan
dan
pengangguran
secara
drastis;
menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi; serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender. Hal ini sesuai dengan salah satu dari sembilan agenda prioritas Presiden dan Wakil Presiden (Nawacita) yang mempunyai semangat dalam pencapaian visi dan misi strategis nasional untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa dan rakyat indonesia, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan. Beberapa program yang diluncurkan pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut antara lain; program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019. Guna mempercepat pencapaian target pengurangan kemiskinan dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat, pemerintah telah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK).
BSIAN Seri 2
49
Salah satu tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development
Goals (MDGs) adalah penanggulangan masalah kemiskinan dan kelaparan (eradicate extreme poverty and hunger), yang ditargetkan terjadi penurunan persentase kemiskinan pada angka kurang dari 7,55 persen di tahun 2015 (sindonews.com, 2013). Menurut data sosial ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) 10, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2016 mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen), atau menurun 0,50 juta
orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2015 sebanyak 28,51 juta orang (11,13 persen). Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan menurun lebih banyak dibanding penurunan jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan. Selama periode September 2015–Maret 2016, penduduk miskin di daerah perkotaan menurun sekitar 0,28 juta orang, sementara di daerah perdesaan menurun sekitar 0,22 juta orang, dan Sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah perdesaan. Pada Maret 2016, penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan sebesar 63,08 persen dari seluruh penduduk miskin, sementara pada September 2015 sebesar 62,75 persen. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diharapkan pemerintah daerah memegang peranan penting dalam upaya pengentasan kemiskinan dan meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Pergeseran pola penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis menuju pemerintahan yang desentralistis membuat penanganan masalah kemiskinan dapat direspon secara lebih terfokus dan beragam sesuai dengan kondisi problematik yang dihadapi masing-masing daerah. Situasi ini memberi ruang yang sangat terbuka bagi pemerintah daerah untuk berinovasi dalam melakukan pengentasan kemiskinan melalui langkah-langkah penanganan dan pendekatan secara sistemik, terpadu dan menyeluruh dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak melalui pembangunan 10Badan Pusat Statistik dalam
Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 77 Bulan Oktober 2016.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
50
inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat. Salah satu pendekatan yang diadaptasi oleh pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kabupaten Sragen dalam upaya mengatasi
kemiskinan
adalah
mengintegrasikan
setiap
kegiatan
penanggulangan kemiskinan. Inovasi yang telah dilakukan oleh Kota Surakarta adalah dengan menerapkan strategi “manajemen keroyokan” dengan membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), sedangkan di Kabupaten Sragen dengan
membentuk Unit
Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (UPTPK). Strategi yang ditempuh oleh Kota Surakarta dan Kabupaten Sragen tersebut selaras dengan kesimpulan keempat Firmansyah (2012) 11, bahwa ada empat hal yang dapat dilakukan dalam upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia, yaitu : Mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan; Memperkuat kemampuan sumber daya manusia; Mengurangi tingkat kerentanan dan resiko di antara rumah tangga miskin; dan memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukan dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin. Deskripsi singkat ini akan menggambarkan bagaimana Kota Surakarta dan Kabupaten Sragen menerapkan strategi dalam pengentasan kemiskinan meliputi antara lain: hasil dan strategi inovasi yang dikembangkan dalam menangani kemiskinan di daerah, organisasi, keberlanjutan dan replikasi
11http://firmansyahsikumbang.blogspot.com/2012/06/masalah-dan-strategi-pengentasan.html
BSIAN Seri 2
inovasi dimaksud.
51
inovasi, dan penutup, yang merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari
Hasil dan Strategi Inovasi Daerah Permasalahan Kemiskinan Ada dua permasalahan umum yang dihadapi oleh hampir seluruh pemerintahan daerah di Indonesia berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, yakni: pertama, prosedur pelayanan bantuan bagi keluarga miskin, dimana upaya penanggulangan kemiskinan selama ini terkesan saling bersaing, memamerkan kelebihan masing-masing, tidak adanya koordinasi diantara berbagai SKPD terkait program penanggulangan kemiskinan. Pendekatan yang masih parsial/otonom di berbagai SKPD tesebut, sehingga programnya tidak terlihat nyata dan tidak segera menyelesaikan permasalahan. Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan, namun demikian hasilnya kurang begitu optimal karena program-program yang ada berjalan sendiri-sendiri, sehingga penanganannya tidak kunjung selesai dan kurang fokus pada masalah utama. Kondisi tersebut pada akhirnya membuat birokrasi menjadi kaku, panjang dan berbelit-belit yang membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang besar, sehingga menjadi penghambat bagi warga miskin mendapatkan bantuan. Kedua, validitas data keluarga miskin. Akibat dari penanganan kemiskinan yang fragmented tersebut, masing-masing SKPD mempunyai data dan informasi yang berbeda satu sama lainnya sehingga menghasilkan penanganan yang bukan hanya berpotensi tumpang tindih, lebih dari itu terjadi duplikasi program. Satu segmen masyarakat miskin menikmati dua atau tiga program dan sebaliknya ada beberapa segmen yang tidak menikmati sama sekali program-program yang dikembangkan oleh tiap SKPD. Agar penyaluran bantuan kepada keluarga miskin tepat sasaran
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
52
diperlukan standar validasi data yang akurat. Kenyataannya bahwa banyak warga yang mampu secara ekonomi justru mendapatkan bantuan, sementara banyak warga yang benar-benar miskin tidak mendapatkan
bantuan. Ketika bantuan yang disalurkan tidak tepat sasaran maka upaya menurunkan angka kemiskinan tidak akan berjalan optimal. Belum lagi informasi kemiskinan masih bersifat asimetris, dimana informasi hanya dikuasai kelompok atau orang tertentu sehingga yang disampaikan kepada masyarakat sangat minim dan atau keterbatasan masyarakat miskin dalam mengakses informasi yang menyebar pada banyak SKPD. Masyarakat kurang memiliki informasi terkait dengan tahapan-tahapan dan prosedur masing-masing program pelayanan kemiskinan, sehingga menimbulkan kesulitan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Menyikapi permasalahan penangganan kemiskinan yang terjadi tersebut dan sebagai perwujudan dari visi Pemerintah Kota Surakarta maupun Pemerintah Kabupaten Sragen yang ingin mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya, maka dibentuklah di masing-masing daerah tersebut sebuah
strategi
penanggulangan
dengan masalah
mengintegrasikan kemiskinan.
seluruh
Pemerintah
Kota
kegiatan Surakarta
membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), sedangkan Kabupaten Sragen membentuk Unit Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (UPTPK). Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) di Surakarta merupakan inisiatif untuk kerjasama multi stakeholders antara pemerintah Kota Surakarta, NGO/organisasi kemasyarakatan, Pelaku Usaha, Universitas dan pihak lainnya. Sedangkan UPTPK di Kabupaten Sragen mempercepat kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD). Dengan adanya UPTPK seluruh layanan publik penanganan kemiskinan yang selama ini dilakukan secara parsial di berbagai SKPD, sekarang dilaksanakan oleh UPTPK. Selain itu UPTPK berperan mengurangi inkoordinasi antar SKPD tentang
permasalahan
penanganan
kemiskinan
dan
meminimalisir
BSIAN Seri 2
53
perbedaan data kemiskinan karena data yang digunakan UPTPK adalah data dari BPS dan TNP2K.
Strategi Inovasi Strategi yang dikembangkan dari inovasi kedua daerah tersebut
pada
dasarnya merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang mempunyai tiga tujuan utama, yakni: Mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin melalui pemberian bantuan sosial dan peningkatan pelayanan dasar; Meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin; Mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Guna melaksanakan percepatan penanggulangan kemiskinan di daerah, sudah dilakukan beberapa langkah-langkah diantaranya: membangun dan memperkuat fungsi dan peran kelembagaan penanggulangan kemiskinan; menyusun roadmap dan desain program penanggulangan kemiskinan; menyusun dan merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan daerah; serta membangun pemahaman bersama dan merumuskan data dan informasi terkait kemiskinan, seperti: indikator kemiskinan lokal dan lain sebagainya. Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan Kota Surakarta, memuat 4 pokok kegiatan yaitu: memperbaiki program perlindungan sosial; meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar; pemberdayaan kelompok masyarakat miskin; serta menciptakan pembangunan yang inklusif. Strategi umum
tersebut
kemudian
diimplementasikan
penanggulangan kemiskinan berbasis kelurahan.
dengan
pendekatan
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
54
Penanggulangan kemiskinan bebasis kelurahan, yaitu; Mensinergikan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan lintas SKPD untuk penanggulangan kemiskinan dengan memperhatikan permasalahan khusus tiap kelurahan; Mensinergikan program penanggulangan kemiskinan dari berbagai sumber pendanaan; PNPM, Swasta (Corporate Social Responsibility), dan swadaya masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan dengan memperhatikan permasalahan khusus tiap kelurahan; Mengaktifkan fasilitator lingkungan untuk memberdayakan masyarakat, memasukkan permasalahan kemiskinan komunitasnya ke dalam rencana strategis kelurahan, terutama untuk pengelolaan penggunaan dana pembangunan kelurahan (DPK);
Fokus bidang penanggulangan kemiskinan di Kota Surakarta selama kurun 2010-2015 dilakukan untuk bidang (1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) perumahan/permukiman/prasarana dasar; (4) ketahanan pangan; dan (5) lapangan pekerjaan. Sama halnya dengan Kota Surakarta, penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Sragen difokuskan kepada tujuan untuk menangani layanan kebutuhan dasar masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan dan sosialekonomi, di mana seluruh pelayanan kebutuhan dasar masyarakat ditangani di satu tempat, yaitu UPTPK. Dalam pelaksanaan tugasnya, TKPKD dan UPTPK mengelola dana
Corporate Social Responsibility (CSR). Dana tersebut antara lain berasal dari pihak-pihak BUMN, BUMD maupun pihak swasta yang ikut membantu pendanaan bagi masyarakat yang tidak tercover dan memperoleh manfaat atau menerima produk pelayanan publik penanganan kemiskinan.
BSIAN Seri 2
Secara
55
Metode/Mekanisme Kerja
umum operasionalisasi strategi percepatan penanggulangan
kemiskinan di Kota Surakarta dilakukan melalui mekanisme kerja, terdiri dari: Tahap perencanaan Pemetaan dan pendataan kelompok sasaran Pemetaan masalah kemiskinan diawali dengan pendataan kondisi dan jumlah penduduk miskin, yang dilakukan untuk memetakan kelompok sasaran dan tingkat keparahan kondisi kemiskinannya berdasarkan indikator kemiskinan yang digunakan. Menentukan
program
dan
kegiatan
untuk
mengintervensi
permasalahan kemiskinan Rencana aksi penanggulangan kemiskinan, prioritas program, dan kegiatan
penanggulangan
pendidikan,
kemiskinan
ketenagakerjaan,
di
bidang
ketahanan
kesehatan, pangan,
perumahan/pemukiman/prasarana dasar, regulasi dan kegiatan administrasi pendukung. Mekanisme perencanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan •
Melaksanakan pemetaan permasalahan, kebutuhan dan potensi di lingkungan RT/RW dan kelurahan (survey rumah tangga) untuk memperoleh gambaran kondisi (peta) kemiskinan: seperti: rumah tangga miskin, kerentanan kemiskinan, dan potensi untuk melepaskan diri dari kemiskinan.
•
Menyusun rencana strategis (Renstra) masyarakat sebagai dokumen perencanaan pembangunan yang akan disinkronkan dan disinergikan dengan program dan kegiatan masyarakat di lingkup kelurahan.
•
Renstra masyarakat menjadi masukan bagi penyusunan RKPD dan Renja-SKPD
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
56
Pelaksanaan Dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh kelompok program yang terdiri dari: program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga; program
penanggulangan
kemiskinan
berbasis
pemberdayaan
masyarakat; dan program penanggulangan kemiskinan berbasis Usaha Mikro dan Kecil (UKM). Kelompok program tersebut bertugas memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan program penenggulangan
kemiskinan
serta
memberikan
masukan
dan
pertimbangan bagi komite penanggulangan kemiskinan. Dalam pelaksanaan tugasnya, kelompok program dibantu sekretariat yang terdiri
dari:
pokja
pendataan
dan
sistem
informasi;
pokja
pengembangan kemitraan; pokja pengaduan masyarakat dan dibantu satuan unit pelaksana harian. Monev (monitoring dan evaluasi). Gambar 13. Mekanisme Kerja TKPKD Surakarta
Sumber: TKPKD Surakarta; Dokumentasi Best Practise Kota-Kota, Apeksi; 2016
BSIAN Seri 2
masyarakat
yang
hendak
mendapatkan
pelayanan
57
Sedangkan mekanisme kerja pada UPTPK Kabupaten Sragen adalah
menyampaikan
permohonan secara langsung maupun online menggunakan aplikasi kantaya dan aplikasi surya (http://uptpk.sragenkab.go.id). Masyarakat cukup melampirkan kelengkapan surat-surat keterangan dasar dari desa dan kecamatan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Kemudian petugas akan menerima, memverifikasi kelengkapan permohonan, dan mencatat permohonan tersebut serta mengecek di database induk, apakah pemohon telah tercatat di database atau belum, selanjutnya permohonan ini diteruskan ke bagian administrasi untuk ditindak lanjut petugas pelaksanaan survey guna memverifikasi kebenaran dari permohonan yang diajukan. Setelah hasil survey menyatakan bahwa permohonan ini adalah benar (dinilai sementara layak) maka diteruskan ke SKPD pengelola program
bantuan
perealisasian bantuan, maka berkas persetujuan permohonan berikut perintah
pencairan (SP2D)
dana
ke
UPT-PK
dikembalikan pemohon dicairkan
mendapatkan
proses
dan
penyelesaian
Gambar 14. Mekanisme Kerja UPTPK Sragen
permohonan
surat
guna
ke untuk
di
bank
yang telah ditunjuk
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
58
Hasil (Produk) yang dihasilkan dalam Layanan TKPKD Surakarta Strategi penanggulangan kemiskinan pada TKPKD Surakarta merupakan pendekatan berbasis kelurahan maka kelurahan dijadikan sebagai lokus perubahan penanggulangan kemiskinan. Salah Pilot Project TKPKD Kota
Surakarta
melakukan
proses
percepatan
penanggulangan
kemiskinan dengan cara melakukan revitalisasi pemukiman dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta jaminan sosial pada kelurahan merah. Kelurahan merah ini yang akan mendapat pendampingan dari Bappeda dan TKPKD Surakarta. Beberapa hasil layanan yang telah Dilaksanakan oleh TKPKD Surakarta, antara lain: Perbaikan Kualitas Hidup Sehat pada Kelurahan Semanggi Kelurahan Semanggi memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Kecamatan Pasar Kliwon. Hal ini menginspirasi Bappeda dan Tim TKPKD membuat program terintegrasi untuk kawasan yang memiliki basis kemiskinan tinggi ini. Program perbaikan hidup sehat, seperti perbaikan gedung posyandu dan penyediaan sarana dan prasarana MCK diharapkan memberikan kemudahan masyarakat mengakses fasilitas kesehatan. Program ini diharapkan dapat mendorong hidup gotong royong, pola hidup bersih, pola menjaga dan merawat fasilitas yang tersedia, pola manajemen, dan pola hidup membantu yang berdampak pada pembangunan manusia ke arah kehidupan yang lebih baik.
BSIAN Seri 2 Permukiman
Kumuh
Terpadu
Danukusuman;
pada
Kelurahan
59
Penataan
Kampung Kajen merupakan salah satu dari lima kantung kawasan padat kumuh dan miskin di wilayah Kelurahan Danakusuman, Kecamatan Serengan. Kampung yang dikenal dengan’kampung bungkuk atau kampung miring’dikarenakan siapapun masuk ke wilayah ini jalannya harus membungkukkan kepala dan berjalan miring. Hal ini dikarenakan sempitnya gang dan hampir tidak ada ruang terbuka di atas lorongnya. Lebih mengenaskan lagi, bangunan yang hanya seluas 6X9 meter kebanyakan berdinding anyaman bambu atau papan yang sudah keropos, dan rata-rata dihuni lebih dari 8 (delapan) kepala keluarga. Terbayang tingkat kepadatan dan kekumuhan kampung ini, dan hal ini memunculkan kerentanan terhadap kesehatan lingkungan dan manusianya. Mengatasi permasalahan tersebut, kebutuhan masyarakat miskin di Kelurahan Danakusuman diintervensi dari segala aspek dan dilayani oleh berbagai institusi pelaku layanan (manajemen keroyokan), antara lain SKPD, NGO, CSR, atau program penunjang lainnya. Program yang difokuskan yaitu bantuan rehabilitasi rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) difokuskan dalam satu kawasan. Dengan strategi pola perencanaan yang terintegrasi, konsep penataan kawasan berbasis partisipasi tersebut boleh dikatakan berhasil. Hal ini dapat dilihat dengan adanya perubahan sikap dan perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat, tepenuhinya akses pelayanan publik, tata kelola permukiman yang bagus dan lembaga
masyarakat
yang
permukiman dan kemiskinan.
memperhatikan
masalah-masalah
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
60
Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro bagi Perempuan pada Kelurahan Tipes Kelurahan Tipes adalah wilayah paling miskin di Kecamatan Serengan, Kota Surakarta. Kantong kemiskinan Kelurahan Tipes berada di RW 013 yang sebagian besar tinggal di bantaran sungai, tanggul, dan tanah pemakaman. Profesi kebanyakan masyarakat adalah buruh kasar, kuli bangunan dan tukang becak. Kondisi psikologis dan wilayah ini seringkali menimbulkan persoalan sosial baik dari aspek kesehatan, sanitasi yang buruk, serta akses terhadap sumber air bersih. Ketidakjelasan status tanah semakin memperparah kawasan tersebut menjadi wilayah kumuh, karena banyak rumah dibangun semi permanen sehingga beresiko tinggi terhadap ancaman kebakaran, kesehatan endemic diakibatkan sistem sanitasi yang buruk dan ancaman banjir dari Sungai Jenes. Penghasilan dari menarik becak semakin berkurang seiring perkembangan zaman dan kemudahan kredit untuk mendapatkan moda transportasi lainnya seperti sepeda motor. Banyaknya masyarakat yang terjerat rentenir/lintah darat dalam pemenuhan konsumsi keluarga serta menjalankan usaha kecilnya. Kondisi yang dialami kebanyakan masyarakat miskin di wilayah RW 013 Kelurahan Tipes tersebut mendorong beberapa Kelompok Swadaya
Masyarakat
(KSM)
melakukan
pendampingan/
pemberdayaan dengan membentuk kelompok perempuan untuk mengembangkan kelompok simpan pinjam, dan membuat produksi baju dari kain perca secara mandiri. Kemudian dilakukan juga Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP) secara menyeluruh, yang dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang kondisi kemiskinan baik dari sisi usaha kelompok kain perca itu sendiri,
BSIAN Seri 2
lingkungan yang menjadi faktor utama penyebab kemiskinan.
61
kondisi keluarga rumah tangga tukang becak serta kondisi
Dari hasil AKP ini menjadi landasan dasar TKPKD kota Surakarta untuk melakukan intervensi dengan melibatkan banyak stakeholders untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di wilyah RW 013. Fasilitasi RPJM Kelurahan Perencanaan yang parsial/otonom di berbagai SKPD dan bersifat temporer serta tidak saling mendukung antara program satu dengan program yang lainnya disinyalir merupakan penyebab utama penanggulangan kemiskinan stagnan. Terlebih lagi partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam upaya perencanaan penanggulangan kemiskinan (khususnya pembangunan di wilayahnya) masih minim, meskipun
disetiap
tahunnya
ada
Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang). Keterlibatan dan peran aktif penuh masyarakat miskin dalam proses perencanaan sangat dibutuhkan sebab yang tahu akan kebutuhannya adalah masyarakat miskin itu sendiri. Hasil musrenbang belum mampu menyentuh dan fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat karena selama ini masih berkutat pada pembangunan fisik semata. Padahal ada yang lebih penting yaitu peningkatan kesejahteraan secara berkesinambungan bagi
masyarakat
terutama
bagi
masyarakat
miskin.
Guna
mengoptimalkan dan memfokuskan hasil Musrenbangkel kepada percepatan
penanggulangan
kemisikinan,
Tim
Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kota Surakarta, menginisiasi Program Rencana Jangka Menengah Pembangunan Kelurahan – RPJM-Kel. Tujuan dari program ini lebih menstrukturkan dan memfokuskan hasil Musrenbangkel agar terjadi akselerasi/ percepatan penanggulangan kemiskinan.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
62
Pada penyusunan RPJM-Kelurahan dilakukan identifikasi dan pemetaan permasalahan terkait dengan kemiskinan dan pemiskinan melalui diskusi kelompok terbatas dengan seluruh warga masyarakat diutamakan masyarakat miskin di tingkat kelurahan dan di setiap wilayah RW. Hasil identifikasi dan pemetaan masalah di tingkat kelurahan dan RW kemudian dijadikan bahan untuk proses analisa yang
disebut
proses
merunut
masalah.
Dengan
adanya
Musrenbangkel, program kegiatan tidak lagi asal-usul namun membuka dan melakukan review dokumen RPJM Kelurahan, termasuk melihat mana yang telah dan mana yang belum dilaksanakan serta menambahkan program kegiatan yang dianggap
emergency atau bersifat force majeur. Penanggulangan Kemiskinan Pada Usaha Mikro & Kecil Sebagai upaya percepatan penanggulangan kemiskinan di Usaha Kecil dan Mikro (UKM), kebijakan cluster III TKPKD Kota Surakarta memprioritaskan pada usaha yang terancam “kolaps” dan telah diinventarisir memiliki karakteristik yang diharapkan akan didorong menjadi usaha komunal, seperti: •
Konsep usaha “Ban Berjalan” Konsep usaha ban berjalan adalah, usaha yang memiliki komponen yang cukup banyak dan dirangkai menjadi satu produk di finishingnya. Masing-masing komponen dikerjakan oleh kelompok yang berbeda, sehingga untuk menghasilkan satu produk melibatkan banyak orang. Pengrajin Shuttle Cocks dan
sangkar
burung
dipilih
untuk
dijadikan
model
penanggulangan kemiskinan, yang akan difasilitasi tahun anggaran 2013.
•
KUBE (kelompok Usaha Bersama)
63
BSIAN Seri 2
Merekomendasikan penyusunan konsep KUBE yang mampu
mendorong untuk peningkatan produksi secara komunal dan berjalannya mekanisme kepemilikan usaha bersama., karena dari
hasil
evaluasi
Cluster III atas pengelolaan KUBE
menemukan beberapa hal diantaranya adalah : -
Banyak KUBE yang mati di tengah jalan, karena sangat dipengaruhi beragamnya usaha dalam satu kelompok sehingga kelompok yang berjalan hanya menjalankan simpan pinjam, tidak bekembang dan mengarah untuk peningkatan produksi atas usaha mereka.
-
Lemahnya implementasi konsep “Tanggung Renteng” dan pengawasan antar anggota kelompok maupun oleh dinas dibuktikan dengan banyaknya bantuan mesin maupun permodalan dari pemerintah yang dijual ataupun tidak kembali.
•
Usaha yang terkena dampak kebijakan pemerintah -
Tanggungjawab pemerintah atas setiap kebijakan yang dilahirkan harus memperkecil dampak-dampak yang muncul, misalnya kebijakan pemerintah atas konversi gas, salah stau dampak yang dirasakan adalah kolapsnya usaha perajin kompor yang ada di Kelurahan Semanggi.
UPTPK Kabupaten Sragen Penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Sragen difokuskan kepada tujuan untuk menangani layanan kebutuhan dasar masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial ekonomi. Produk layanan yang dihasilkan UPTPK meliputi:
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
64
Bidang Pendidikan SKPD pengampu produk di bidang pendidikan adalah Dinas Pendidikan dan Bagian Kesra Sekretaris Daerah Kabupaten Sragen. Adapun produk UPTPK dalam bidang pendidikan meliputi : •
Beasiswa Sintawati. Sintawati atau Siswa Pintar Sukowati merupakan istilah untuk menyederhanakan dan memudahkan gambaran mengenai program dan kegiatan pengentasan kemiskinan di bidang pendidikan, seperti : beasiswa, prasarana pendidikan dan perlengkapan lainnya.
•
Beasiswa Mahasiswa Miskin; Beasiswa diberikan kepada mahasiswa dari masyarakat miskin Kabupaten Sragen yang kuliah di PTN di Pulau Jawa sebesar Rp. 2 juta per semester dan biaya hidup sebesar Rp. 300 ribu. Anggaran tersebut berasal dari APBN, APBD Kabupaten/ Provinsi maupun CSR BUMN/BUMD/swasta.
•
Bantuan biaya pendidikan non formal; dan
•
Bantuan penanganan pekerja anak dan anak putus sekolah.
Bidang Kesehatan Produk UPTPK di bidang kesehatan adalah Kartu Saraswati (Sarase Wargo Sukowati). Kartu Saraswati digunakan saat pengajuan permohonan pemberian rekomendasi pembebasan/keringanan biaya perawatan kesehatan; pemberian bantuan obat dan alat kontrasepsi serta permohonan rujukan untuk mendapatkan perawatan kesehatan ke Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK 3) antara lain RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSU Prof. Dr. Soeharso
BSIAN Seri 2
65
Surakarta, RSJ Surakarta, RSUP Dr. Kariadi Semarang dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. SKPD pengampu produk di bidang kesehatan
adalah Dinas Kesehatan dan RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen Kartu Saraswati dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan kelas masyarakat miskin, apakah masyarakat tersebut benar-benar miskin, hampir miskin dan rentan miskin. •
Saraswati Kenanga Kartu Saraswati Kenanga diberikan kepada semua warga masyarakat Kabupaten Sragen, tidak terkecuali mereka yang dianggap mampu pun dapat menerima kartu ini dan diberikan
hanya
kepada
masyarakat
mampu
yang
mengajukan permohonan dengan beberapa persyaratan administratif yang telah ditetapkan. •
Saraswati Menur Kartu Saraswati Menur diberikan kepada seluruh warga masyarakat miskin Kabupaten Sragen yang tidak terdaftar dalam database TNP2K 2011 tetapi terdaftar dalam database kemiskinan PPLS BPS 2011. Pemilik kartu ini adalah peserta Jamkesmas.
•
Saraswati Melati Kartu Saraswati Melati merupakan kartu saraswati yang bersifat baku, dimana dilaksanakan secara kolektif atas inisiatif Pemerintah Kabupaten Sragen. Kartu Saraswati Melati diberikan kepada seluruh warga masyarakat miskin Kabupaten Sragen berdasarkan pada data kemiskinan aktual dan valid yang merupakan hasil survey Pemerintah Kabupaten Sragen dan terdaftar dalam database kemiskinan nasional (TNP2K,
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
66
BPS, Bappenas dll). Pemiliki kartu ini secara otomatis adalah peserta Jamkesda.
Gambar 14. Produk layanan UPTPK Kabupaten Sragen di bidang kesehatan (kartu Saraswati Melati, Menur dan Kenanga)
Sumber : uptpk.sragenkab.go.id Bidang Sosial Ekonomi Produk layanan pengentasan kemiskinan UPTPK Kabupaten Sragen di bidang ekonomi adalah : •
Sang Duta (Santunan Uang Duka) Sang duta diberikan kepada ahli waris seluruh masyarakat miskin Kabupaten Sragen yang meninggal dunia sebesar Rp. 500 ribu yang berasal dari APBD. Bagi pemilik kartu saraswati melati dan saraswati menur berhak mendapatkan santunan dengan melaporkan kepada aparat desa/kelurahan. Bagi masyarakat miskin yang tidak memegang dua kartu tersebut dan mengajukan permohonan akan mendapatkan santunan, tetapi terlebih dahulu akan dilakukan verifikasi status
BSIAN Seri 2
67
ekonominya. SKPD Pengampu Sang Duta adalah Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sragen; • Ruselawati
Ruselawati (Rumah Sederhana Layak Aman Warga Sukowati) merupakan nama program bantuan pemugaran RTLH (Rumah Tidak Layak Huni) yang anggarannya menggunakan dana APBD Kabupaten/Provinsi/Pusat, BAZ, maupun CSR BUMN/BUMD/ swasta. SKPD pengampu program Ruselawati adalah Dinas Kesejahteraan Sosial, BKBPMD, BAZ dan Bappeda Kabupaten Sragen; • Bantuan Raskin (Beras Miskin) SKPD pengampu
adalah
Bagian Sumber
Daya
Alam
Kabupaten Sragen.
Keberlanjutan dan Replikasi Berbagai kebijakan terkait program penanggulangan kemiskinan baik peraturan: daerah maupun walikota serta SK Walikota yang menjadi landasan bagi perencanaan untuk berinovasi selalu dikaji kembali setiap periode untuk menjamin keberlanjutan dan dampak program. Pada setiap program inovasi terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman untuk dapat direplikasi oleh daerah lain, antara lain: Pola koordinasi dan integrasi multi pihak, terpadu dan focus pada permasalahan yang dihadapi sesuai dengan karakteristik wilayah sehingga mampu menjawab kebutuhan subtantif warga miskin; Basis data tunggal dan terpadu; Strategi pola koordinasi dengan individu dan institusi yang tepat; Sinergi dan keterpaduan program.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
68
Penutup Penanggulangan kemiskinan harus dilihat secara menyeluruh dan dari berbagai
aspek,
termasuk
menyatukan
visi
bersama
dengan
mengesampingkan ego sektoral di antara beberapa pihak pelaksana program (SKPD, swasta dan NGO/LSM ) untuk mencapai tujuan yang optimal yang menjadi sasaran program penanggulangan kemiskinan. Penyatuan visi bersama dengan mengesampingkan ego sektoral dalam penanggulangan kemiskinan diimplementasikan dengan baik di lapangan, yaitu dengan mengintervensi kebutuhan masyarakat dari segala aspek dan dilayani oleh berbagai institusi pelaku layanan (manajemen keroyokan), antara lain SKPD, NGO, CSR, atau program penunjang lainnya (TKPKD) maupun pengintegrasian penanganan kemiskinan pada satu organisasi atau one stop service, yaitu UPTPK sehingga masyarakat yang ingin memperoleh pelayanan tidak perlu melewati proses birokrasi yang rumit dan panjang sehingga waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama dan biaya yang dikeluarkan tidak mahal (ekonomis). Strategi pencapaian sasaran program penanggulangan kemiskinan dapat
ditempuh dengan berbagai
cara,
baik penanggulangan
kemiskinan berbasis komunal/komunitas, seperti apa yang dilakukan TKPKD Surakarta dengan pendekatan berbasis kelurahan maupun secara personal seperti yang dilakukan UPTPK Sragen. Visi dan misi dalam pemberantasan kemiskinan di daerah perlu komitmen dan political will serta konsistensi seorang pimpinan daerah dan dukungan penuh dari seluruh SKPD dan perangkat pemerintahan lainnya sebagai pondasi kuat untuk melakukan perubahan. Tidak cepat puas dengan apa yang sudah dicapai saat ini dan terus menerus melakukan pengembangan dan penyempurnaan dalam pelayanan pada para kaum papa ini. Pengadopsian sebuah inovasi dalam penangganan masalah kemiskinan di daerah dengan membentuk TKPKD/UPTPK bukan merupakan satu-
BSIAN Seri 2
69
satunya solusi/alternatif untuk penangganan kemiskinan. Banyak
macam inovasi lainnya dalam penangganan kemiskinan tergantung
kepada kondisi dan karakteristik sebuah daerah yang bersangkutan, seperti: SDM (kualitas dan kuantitas) dan keuangan (anggaran) daerah. Kemudian juga aspek komitmen pimpinan daerah dan birokrasi, koordinasi dan pola hubungan kerja antara SKPD, infrastruktur daerah, karakteristik
masyarakat,
dukungan
masyarakat
luas
dan
lain
sebagainya.
Daftar Pustaka Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) alinea 4 dan Batang Tubuh Pasal 34; Peraturan Presiden (Perpres) No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025; Asosiasi Pemerintah kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Dokumentasi Best
Practice Kota-Kota; 2016/Jilid 11; Lembaga Administrasi Negara, Handbook Inovasi Administrasi Negara; One
Stop Service Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Sragen; 2014; Badan Pusat Statistik dalam Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 77 Bulan Oktober 2016. sindonews.com, 2013, Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium
Development Goals (MDGs). http://firmansyahsikumbang.blogspot.com/2012/06/masalah-dan-strategipengentasan.html
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
70
71
BSIAN Seri 2
PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT Selfy Andreany
Pendahuluan
T
ujuh puluh satu tahun sudah Indonesia merdeka dan selama itu pula Indonesia terus melakukan pembangunan, namun sudahkah pembangunan yang dilakukan memberi arah perubahan Negara menuju arah yang lebih baik. Data BPS menunjukan, telah terjadi
penurunan jumlah penduduk miskin. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2016 tercatat mencapai 28,01 juta orang atau 10,86 persen, yang artinya menurun sebanyak 0,50 juta orang jika dibanding dengan penduduk miskin pada September 2015 tahun lalu yaitu sebanyak 28,51 juta orang atau 11,13 persen. Begitu pula penurunan yang terjadi pada jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan yang lebih besar dari daerah perdesaan, yaitu sekitar periode September 2015 hingga Maret 2016 penduduk miskin daerah perkotaan menurun sekitar 0,28 juta orang sementara di perdesaan menurun sekitar 0,22 juta orang. Artinya penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan pada Maret
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
72
2016 sebesar 63,08 persen dari seluruh penduduk miskin, dibandingkan dengan September 2015 yaitu sebesar 62,75 persen, sebagaimana grafik
1 dibawah ini. Grafik 1. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah September 2015-Maret 2016
Sumber: BPS, Laporan Bulanan Data Sosio Ekonomi Edisi 76, September 2016
Sekilas angka tersebut sangat menggembirakan karena jumlah penduduk miskn Indonesia setiap tahun telah mengalami penurunan, namun sangat memprihatinkan ketika dilihat dari perubahan Garis Kemiskinan (GK) dimana selama periode September 2015-Maret 2016, GK naik sebesar 2.78 persen, yaitu dari Rp. 344.809,- per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp. 354.386,- per kapita per bulan pada Maret 2016. Selain dari pada itu peningkatan
juga terlihat dari Indeks
Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan, dimana pada September 2015 hanya sebesar 1.84 naik menjadi 1.94 pada Maret 2016. Artinya terjadi peningkatan dari 0.51 menjadi 0.52 pada periode yang sama 12 sebagaimana tabel 4. Kondisi tersebut telah dengan jelas
12
BPS, Laporan Bulanan Data Sosio Ekonomi Edisi 76, September 2016
BSIAN Seri 2 gambaran bahwa telah terjadi kesenjangan kedalaman
73
memberikan
kemiskinan yang semakin tajam, di mana penduduk yang miskin akan semakin terus miskin dan terpuruk atau dengan kata lain kemampuan
penduduk miskin untuk keluar dari garis kemiskinan pun menjadi semakin sangat sulit. Tabel 4.
Sumber: BPS, Laporan Bulanan Data Sosio Ekonomi Edisi 76, September 2016
Garis Kemiskinan (GK) merupakan nilai pengeluaran untuk kebutuhan minuman makanan (GKM) dan bukan makanan atau non makanan (GKNM). GKM adalah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan (antara lain: beras, gula pasir, telur ayam ras, dan lain-lain) yang riil dikonsumsi oleh penduduk referensi dengan mempertimbangkan volume kalori yang tergantung dan kewajaran sebagai komoditi penting. Adapun penetapan standar minimum ini mengacu pada rekomendasi dari Widyakara Nasional Pangan dan Gizi tahun 1978, yaitu setara dengan nilai konsumsi makanan yang menghasilkan 2.100 kalori per orang per hari. Sedangkan GKNM adalah merupakan penjumlahan nilai kebutuhan komoditi non-makanan yang mencakup pengeluaran untuk peruahan, penerangan, bahan bakar, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang tahan lama, serta barang dan jasa sesnsial lainnya sebagai salah satu kebutuhan dasar penduduk referensi yang
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
74
didasarkan pada Survey Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD). Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/ Poverty Gap Index) adalah rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, di mana semakin tinggi nilai indeks berarti semakin dalam tingkat kemiskinan karena semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk
miskin
terhadap
garis
kemiskinan.
Sedangkan
Index
Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index/ Squared Poverty Gap
Index/ P2) adalah indeks yang digunakan oleh para peneliti untuk menjawab masalah ketimpangan diantara penduduk miskin. Penilaian indeks ini dinyatakan dengan sebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, dimana semakin tinggi nilai indeks berarti semakin parah tingkat kemiskinan karena semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin 13. Selanjutnya data Gini Ratio Maret 2016 menunjukan angka sebesar 0,397 yang menurun jika dibandingkan dengan Gini Ratio pada Maret 2016 sebesar 0,408. Demikian pula dengan Gini Ratio berdasarkan tempat tinggal, dimana di daerah perkotaan antara Maret 2016 mengalami penurunan sebesar 0,018 poin dan Maret 2015 mengalami penurunan sebesar 0,009 poin. Sedangkan untuk daerah perdesaan penurunan sebesar 0,007 poin untuk Maret 2016 dan penurunan sebesar 0,002 poin untuk Maret 2015 14. Sepintas penurunan yang terjadi pada data tersebut memberikan gambaran perbaikan, namun perlu mendapat perhatian rentang ketimpangan antara daerah perkotaan dan perdesaan itu sendiri. Jika dilihat dari data BPS Maret 2016 Gini Ratio perkotaan menunjukkan 0,410 dan daerah perdesaan menunjukkan 0,327, artinya telah terjadi ketimpangan yang cukup jauh antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan yaitu sebesar 0,083 poin sebagaimana grafik di bawah ini.
Kemensos RI dan BPS tahun 2011, Analisis Data Kemiskinan Berdasarkan Data Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) 2011, hal:6-7 14BPS, Laporan Bulanan Data Sosio Ekonomi Edisi 76, September 2016, hal 115 13
Grafik 2 : Perkembangan Gini Ratio, 2010- Maret 2016
75
BSIAN Seri 2
Sumber: BPS, Laporan Bulanan Data Sosio Ekonomi Edisi 76, September 2016
Tingkat ketimpangan pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu diperhatikan, karena pada dasarnya tingkat ketimpangan pendapatan merupakan ukuran kemiskinan relatif. Ukuran yang paling sering
digunakan
dalam
mengukur
tingkat
ketimpangan
tingkat
pendapatan adalah Gini Ratio serta persentase pendapatan pada kelompok penduduk 40 persen terbawah atau yang dikenal juga dengan ukuran Bank Dunia. Sedangkan yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur tingkat ketimpangan di Indonesia adalah dengan menggunakan data pengeluaran sebagai proksi pendapatan yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), mengingat data terkait pendapatan yang sulit diperoleh 15. Gambaran data di atas menimbulkan beberapa pertanyaan, sudah meratakah pembangunan Indonesia saat ini, sudahkah pembangunan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, sudah sesuaikah pembangunan yang dilaksanakan dengan kebutuhan, sudahkah pembangunan untuk kemakmuran rakyat. Sebagaimana amanah Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pembangunan wilayah Indonesia harus seimbang dan sesuai antara 15BPS,
Laporan Bulanan Data Sosio Ekonomi Edisi 76, September 2016, hal 115
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
76
dimensi pertumbuhan dengan dimensi pemerataan, antara pengembangan kawasan barat dengan kawasan timur Indonesia, serta antara kawasan perkotaan
dan
kawasan
perdesaan,
dan
sebesar-besarnya
untuk
kemamuran rakyat (UUD 1945), maka dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk mencapai tujuan bernegara yang melibatkan semua komponen bangsa perlu dilakukan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis. Tulisan ini berupaya untuk menciptakan Model Inovasi Perencanaan Pembangunan
Berbasis
pembangunan
yang
Partisipasi
berkeadilan
Masyarakat dan
dalam
demokratis
kerangka
dengan
mensitesiskan praktik baik Perencanaan Pembangunan di
cara
Kabupaten
Bojonegoro. Adapun model inovasi ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pengetahuan sebagai referensi mengenai inovasi secara umum, dan manfaat dari inovasi ini adalah memberi manfaat riil sebagai rujukan bagi instansi pemerintah lain untuk melakukan replikasi, adopsi ataupun adaptasi.
Pengertian Dan Kebijakan Pembangunan wilayah Indonesia harus seimbang dan sesuai antara dimensi pertumbuhan dengan dimensi pemerataan, antara pengembangan kawasan barat dengan kawasan timur Indonesia, serta antara kawasan perkotaan
dan
kawasan
perdesaan,
dan
sebesar-besarnya
kemamuran rakyat (UUD 1945), maka dalam rangka
untuk
pelaksanaan
pembangunan untuk mencapai tujuan bernergara yang melibatkan semua komponen bangsa perlu dilakukan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis dengan mencakup lima pendekatan, yaitu: politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top-down), dan bawah atas (bottom-up) 16.
16
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional, Penjelasan
BSIAN Seri 2
77
Pendekatan politik dimaksudkan pada proses penyusunan rencana yang
didasarkan pada program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon presiden/ kepala daerah, oleh karena itu rencana pembangunan adalah merupakan penjabaran dari agenda-agenda
pembangunan yang ditawarka presiden pada saat kampanye. Pendekatan teknokratik adalah
pelaksanaan dengan menggunakan metode dan
kerangka berfikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk hal tersebut. Sedangkan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan.
Rencana
hasil
proses
atas-bawah
dan
bawah-atas
diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa 17. Dalam rangka mencapai tujuan bernegara, pembangunan nasional disusun dalam satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat. Maka dari itu sebagai upaya pemerintah secara menyeluruh untuk mewujudkan tujuan bernegara, disusunlah Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional yang memuat rancangan kerangka ekonomi makro yang termasuk didalamnya arah kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaan, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Pendekatan partisipatif yang dilaksanakan adalah
17
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional, Penjelasan
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
78
dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. 18
Partisipasi Masyarakat Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan, pemerintah harus bekerja keras melalui sebuah proses perencanaan dan penganggaran yang efektif dan efisien serta transparan dan akuntabel. Perencanaan pembangunan berbasis partisipasi masyarakat merupakan langkah tepat untuk
mendorong
percepatan
transparansi
dan
akuntabilitas
pembangunan. Partispatif publik dalam kerangka teknokratik penyusunan anggaran perencanaan pembangunan menjadi hal yang sangat penting, mengingat tuntutan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini (Ilham B Saenong, 2016) yaitu: pertama, defisit demokrasi perwakilan atau defisit partisipasi yang terjadi karena relasi politik antara negara dan warga negara tidak dikembangkan secara substantantif dan optimal guna mencapai cita-cita kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; kedua, ketimpangan, krisis ekologi dan sebagainya yang bertentangan dengan tujuan pembangunan sebagai tanggungjawab bersama, dan; ketiga, akuntabilitas pembangunan dan pemerintahan yang selalu dihadapkan dengan transparansi dan partisipasi. 19 Selain daripada itu tuntutan pemerintah Indonesia yang dihadapkan pada
Open Governance Partnership (OGP) (INFID, 2016) yang merupakan tindak lanjut terhadap penanganan korupsi, terutama pada pendekatan sistem pencegahan dan pengendalian konflik kepentingan, dan sebagai wujud dari birokrasi yang melayani, memenuhi hak, dan membuka akses, serta untuk menjembatani ketimpangan antara akses wilayah timur dan barat, desa dan kota, perbatasan juga migran yang berada di luar negeri, dan turunnya UU nomor 25 Tahun 2004 Presentasi Ilham B Saenong, Tranparency International Indonesia, dalam Penguatan Partisipasi Publik dalam Penganggaran, disampaikan dalam Lokakarya Nasinoal Revitalisasi Praktik Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif (Musrenbang) di Kota-Kota di Indonesia, Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta , 2 November 2016
18 19
BSIAN Seri 2 kepercayaan
publik
terhadap
pemerintah
sebagai
akibat
79
tingkat
perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang berimbas terhadap
pelemahan perekonomian nasional, menuntut perlibatan setiap aktor birokrasi dan masyarakat sipil 20, serta menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik dalam bentuk negara demokratis yang melindungi hak asasi manusia dalam hak memperoleh informasi dan sebagai sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan Negara (UU Nomor 14 Tahun 2008) 21. Terdapat beberapa definisi partisipasi masyarakat menurut pendapat
pakar
(https://sacafirmansyah.wordpress.com/2009/06/05/
partisipasi-masyarakat/), sebagai berikut: Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu: Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; Beka Ulung Hapsara, International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), dalam Open Government Initiatives dan Partisipasi, dalam Penguatan Partisipasi Publik dalam Penganggaran, disampaikan dalam Lokakarya Nasinoal Revitalisasi Praktik Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif (Musrenbang) di Kota-Kota di Indonesia, Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta , 2 November 2016 21 Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik 20
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
80
Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan; Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri; Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak social; Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka
Definisi tersebut menggambarkan bahwa dalam setiap aktivitas partisipasi masyarakat
mengandung
peranan
penting
sebagaimana
Conyers
(1991:154-155) pentingnya partisipasi masyarakat sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut;
ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Selanjutnya dalam rangka mencapai tujuan bernegara sesuai amanah Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004, pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan semua komponen bangsa dengan mencakup lima komponen pendekatan yang salah satunya adalah partisipatif. Partisipatif
BSIAN Seri 2
(stakeholders).
berkepentingan
Perlibatan
81
adalah pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang dimaksudkan
untuk
mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki dari perencanaan pembangunan itu sendiri. Pembangunan itu sendiri dilaksanakan secara atas-bawah dan bawah atas, dimana dalam perenacanaan dilaksanakan menurut jenjeng pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik tingkat nasional, provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan, dan desa 22. Untuk dapat mencapai tujuan bersama dalam pembangunan, maka adapun prinsip-prinsip
partisipasi
sebagaimana
tertuang
dalam
Panduan
Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for
International Development (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah sebagai berikut: Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan; Kesetaraan dan kemitraan (equal partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak; Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog; Kesetaraan kewenangan (sharing power/equal powership). Berbagai pihak
yang
terlibat
harus
dapat
menyeimbangkan
distribusi
kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi; Kesetaraan Tanggung Jawab (sharing responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena 22
Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Pambengunan Nasional, Penjelasan
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
82
adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya;
Pemberdayaan (empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain; Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu prasyarat penerapan konsep
good governance (tata pemerintahan yang baik). Sejak krisis moneter tahun 1998, Indonesia memulai berbagai inisiatif yang dirancang untuk mengarah pada good governance, akuntabilitas dan partisipasi yang lebih luas.
Governance difokuskan pada kualitas hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Governance meliputi tiga sektor penting yaitu sektor Negara, sektor swasta dan masyarakat (Sedarmayanti; 2007:1-2). Dari ketiga
stakeholder utama yang saling berhubungan memiliki fungsinya masingmasing yaitu pemerintah berfugsi untuk menciptakan kondisi politik dan hukum yang kondusif. Sektor swasta berfungsi menciptakan pendapatan dan pekerjaan dan masyarakat berfungsi untuk berpartisipasi di bidang ekonomi, social dan politik. Dengan adanya interaksi antara satu sama lain, maka terciptalah keperintahan yang baik atau Good Governance (Sedarmayanti, 2009:5). Selanjutnya UNDP (United Nation Development
Programme) mendefinisikan Good Governance adalah sebuah kesepakatan menyangkut peraturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani dan sektor swasta. Lebih lanjut prinsip yang terkandung dalam Good Governance menurut UNDP adalah partisipasi, kepastian hukum, transparanasi, tanggungjawab, berorientasi pada kesepakatan, keadilan, akuntabilitas, visi strategis serta efektivitas dan efisiensi. dari delapan prinsip tersebut partisipatif merupakan hal yang sangat penting
BSIAN Seri 2
83
nagi Negara-negara yang menganut paham demokratis. Makna demokratis menurut Wagle adalah ketika masyarakat selalu dilibatkan dalam proses pembuatan
kebijakan
yang
dihasilkan
pemerintah.
Hal
tersebut
menyebabkan setiap kebijakan yang dihasilkan pemerintah memiliki implikasi besar bagi masyarakat (Dwiyanto, 2006:186) 23.
Musrenbang 24 Dalam rangka mencapai tujuan bernegara, pembangunan nasional disusun dalam satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat. Perencanaan dan Anggaran Negara harus dikendalikan oleh tujuan yang akan dicapai (policy driven), dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran (budget driven), oleh karena itu pemerintah perlu bekerja keras mengoptimalkan semua sumber daya (pemerintah, perbankan dan swasta) untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan melalui sebuah proses perencanaan dan penganggaran yang efektif dan efisien serta transparan dan akuntabel. Proses penyusunan Rencana Pembangunan dan Rencana Anggaran sebagaimana yang dikenal dalam UU No. 25/2004 adalah merupakan proses Musrenbang sebagai sebuah Forum Sinkronisasi Perencanaan dan Anggaran Pusat dan Daerah yang harus ditempatkan dalam kerangka optimalisasi sumber daya (pemerintah baik di pusat maupun di daerah, perbankan dan swasta) untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional, dan dapat dilaksanakan secara efektif, efisien serta transparan dan akuntabel.
Fikri Azhar, Partisipasi Masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya, dalam Kebijakan dan Manajemen Publik Volume 3 nomor 2, Mei-Agustus 2015, hal 64-65 24Presentasi Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/ Bappenas dalam Revitalisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran, disampaikan dalam Lokakarya Nasinoal Revitalisasi Praktik Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif (Musrenbang) di Kota-Kota di Indonesia, Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta , 2 November 2016 23
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
84
Sejak tahun 1999, melalui otonomi daerah pemerintah telah banyak menerbitkan
berbagai
kebijakan
terkait
dengan
perencanaan
pembangunan berbasis partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Indonesia, diantaranya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam pasal 92 menyebutkan bahwa, pemerintah daerah perlu memfasilitasi pembentukan forum perkotaan untuk menciptakan sinergi Pemerintah Daerah, masyarakat dan pihak swasta, dengan perlibatan pemberdayaan masyarakat dalam pengikutsertaan perencnaan. Selanjutnya tahun 2004 terbit UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya memuat aturan perencanaan pembangunan sebagaiamana pasal 150 perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan sistem perencanaan pembangunan nasional yang disusun oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota sesuai kewenangan BAPPEDA. Selanjutnya dalam ayat (3) huruf d pasal 150 menyebutkan bahwa rencana kerja pembangunan daerah, selanjutnya disebut RKPD, merupakan penjabaran dari RPJMN daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, ritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja pemerintah. Memasuki tahun 2014 pemerintah kembali menerbitkan kebijakan dalam bentuk UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang di dalamnya menjelaskan
pendekatan
yang
digunakan
dalam
perencanaan
pembangunan daerah yang terdiri atas teknokratik, partisipatif, politis, serta atas-bawah, bawah-atas (pasal 261). Adapun maksud teknokratis adalah menggunakan metoda dan kerangka berpikir ilmiah untuk mencapai tujuan adan sasaran pembangunan daerah melalui perlibatan berbagai pemangku kepentingan dengan menerjemahkan visi misi kepala daerah terpilih yang kemudian dibahas bersama dengan DPRD yang kemudian diselarskan dalam musyawarah pembangunan yang dilaksanakan mulai dari desa, kecamatan, daerah kabupaten/ kota, daerah provinsi hingga nasional. Perlibatan
partisipasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
BSIAN Seri 2
memberikan
masukan
dalam
perencanaan
dan
peneyelenggaraan pemerintahan.
85
pembangunan dan kemasyarakatan yang dimaksud adalah masyarakat
pelaksanaan
Selanjutnya sebagiamana tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan desa yang maju, mandiri, dan sejahtera tanpa harus kehilangan jati diri, di laksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, kearifan lokal, keberagaman serta partisipasi. Hal tersebut dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat desa dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan desa yang dilaksanakan secara swakelola oleh desa, sebagimana tercantum dalam pasal 127 ayat (2) huruf (a) PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana masyarakat desa berpartisipasi dalam musyawarah desa sebagai pelaksana pembangunan
desa
yang
menyampaikan
laporan
pelaksanaan
pembangunan kepada kepala desa dalam forum musyawarah desa, dan masyarakat desa memiliki hak untuk menanggapi laporan terhadap pelaksanaan desa. Perlibatan aktif pihak-pihak yang berkepentingan dalam penyusunan perencaan
pembangunan
penganggaran sebagaimana
telah
tersistem
di
dalam
perencanaan
yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), dimana secara nasional partisipasi penganggaran yang lebih dikenal dengan sebutan Musyawarah Perencanaan Pembanguan (Musrenbang) dalam penyelenggaraan perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah dan desa, menyebutkan bahwa Musrenbang adalah forum antar pelaku dalam menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah (Pasal 1 ayat (21)). Adapun tujuan dalam sistem perencaan pembangunan nasional sebagaimana yang
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
86
tercantum dalam pasal 2 ayat (4) huruf d adalah mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Musrenbang menjadi sarana ruang publik yang berguna untuk menampung aspirasi masyarakat serta keluhan masyarakat terkait pembangunan ke depan mulai dari menggali masalah, kebutuhan, tantangan eksternal, potensi yang ada serta penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat 25. Sebagai bagian dari forum dalam penyusunan dokumen rencana pembangunan yang terdiri atas rentang waktu berbeda sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5ayat (3) Musrenbang akan menghasilkan, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Pembangunan Tahunan atau yang disebut dengan Rencana Kerja Pembangunan (RKP) dimana masing-masing rencana terdiri atas dokumen perencanaan anggaran dengan waktu yang berbeda, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1, yang menjelaskan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yaitu dokumen untuk 20 tahun, pasal 1 ayat (5), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yaitu dokumen untuk periode 5 tahun, dan pasal 1 ayat (8) dan (9), yang menjelaskan rencana pembangunan tahunan nasional yang disebut dengan Rencana Kerja Pembangunan (RKP) dan rencana pembangunan tahunan daerah yang disebut dengan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD), adalah
merupakan
proses
penyusunan
dokumen
anggaran
yang
melibatkan partisipasi masyarakat, yang dilaksanakan secara berjenjang.
Fikri Azhar, Universitas Airlangga, Partisipasi Masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan pembangunan (MUSRENBANG) di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya, dalam Kebijakan dan Manajemen Publik, Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
25
Perencanaan Pembangunan Berbasis Partisipasi Masyarakat
87
BSIAN Seri 2
Kota Makassar 26 Apa itu Makassar Sombere dan Smart City? Ini merupakan slogan masa pemerintahan Walikota Makassar Moh Ramdhan Pomanto berserta wakilnya di dalam menjalankan roda pemerintahan di Kota Makassar. Sombere, dalam bahasa Makassar berarti ramah dan santun. Hal inilah yang diangkat sebagai landasan atau fondasi demi mewujudkan sinergitas berbagai program strategis berkelanjutan yang menjadi bagian sistematis program yang dijalankan. Kota Makassar dengan beberapa keunggulan posisi yaitu sebagai pusat perekonomian, pendidikan, dan politik dari wilayah Indonesia paling timur yang menjadikan Kota Makassar sebagai tempat tinggal yang memiliki beragam budaya, kota sebagai titik pusat pasokan dan zona logistik Indonesia, kota sebagai wilayah tangguh yang sangat jarang tertimba bencana alam seperti gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, dan tsunami. Hal ini menjadikan Makassar sebagai wilayah Indonesia yang berada di bagian paling timur menjadi sangat strategis, sehingga kota Makassar ke depannya akan memiliki tantangan lebih besar degan negara-negara yang berhadapan dengan Makassar itu sendiri. Oleh karena itu peran pemimpin merangkul masyarakat menghadapi tantangan bersama menjadi sangat esensial, yaitu: bagaimana mengikutsertakan peran masyarakat, bagaimana masyarakat dapat menyatu dan menerima visi yang dicanangkan oleh walikota terpilih, serta bagaimana meningkatkan peran serta masyarakat dalam berpartisipasi. Sombere and Smart City sebagai fondasi sinergitas program kota Makssar, yang terdiri atas Makassar Tidak Rantasa (MTR) yang artinya Makassar Presentasi Moh. Ramdhan Pomanto,Walikota Makassar, Revitalisasi Ruang Untuk Partisipasi Masyarakat Melalui Musrenbang, disampaikan dalam Lokakarya Nasinoal Revitalisasi Praktik Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif (Musrenbang) di Kota-Kota di Indonesia, Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta , 2 November 2016
26
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
88
sebagai kota yang bersih, Makassar Smart City yang artinya membangun
pola-pola layanan masyarakat secara responsif berbasis ilmu teknologi (IT),
dan Makassar Sombere yang artinya ramah dan santun sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Makassar. Ketiga fondasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya pembenahan, maka pembenahan yang dilakukan dimulai dengan pembenahan sistem yang ada. Sederhana namun pasti, pembenahan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang sudah berlaku hanya membutuhkan sedikit sentuhan pendekatan yaitu pendekatan sentuhan hati sehingga kebijakan pemerintah mampu dan mudah dipahami dan dapat diterima oleh masyarakat secara menyeluruh. Sombere and
Smart City diharapkan tidak hanya menciptakan kota yang memiliki kemampuan dan keahlian yang sama didalam percepatan teknologi namun juga menjadikan kota semakin kuat dengan pembudayaan kultur masyarakat Makassar itu sendiri. Sombere dengan gerakan sentuhan hati merupakan program kerja yang dianggap oleh pemerintah daerah Kota Makassar sebagai program ampuh dalam meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pembangunan Kota Makassar secara berkelanjutan. Adapun
inovasi
perencanaan
pembangunan
berbasis
partisipasi
masyarakat melalui Sombere and Smart City menjadi penting bagi Makassar adalah: Untuk mendorong sebanyak 18.103 pekerja di Kota Makassar; Untuk mampu melayani 1.757.571 warga Kota Makasar; Untuk dapat mewujudkan visi Kota Makassar, yaitu Mewujudkan Kota Dunia Untuk Semua, Tata Lorong Bangun Kota Dunia; Untuk mampu mengelola sebanyak 52 satuan kerja di Kota Makassar; Untuk mampu mengontrol area seluar 175 km²; Untuk dapat menciptakan dan meningkatkan kualitas hidup warga Kota Makassar.
BSIAN Seri 2
89
Sombere and Smart City dilaksanakan melalui protokoler agenda kerja
Sombere yang dilakukan dengan membuat agenda sentuh hati terhadap 20 rumah tangga selama tiga hari yang dilakukan pada setiap hari Selasa hingga Kamis. Sistem protokol yang diagendakan dimaksudkan untuk memperkuat program-program terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat lorong berpenghasilan rendah. Seperti lorong garden atau disingkat dengan sebutan longgar yang kemudian akan ditingkatkan menjadi Badan Usaha Lorong atau Bulo. Kegiatan ini diupayakan sebagai
motor penggerak yang menampung seluruh hasil usaha warga lorong sebagai langkah pemberdayaan yang lebih optimal, dengan mengadopsi sistem operasional koperasi yang mendapatkan penyertaan modal awal dari pemkot Makassar untuk merangsang pergerakan perekonomian kerakyatan di kota tersebut. Selain daripada itu sombere juga merupakan alat untuk membangun koordinasi antar pimpinan dengan kepala kelurahan dan kecamatan. Kegiatan tersebut dilakukan pada setiap hari Senin yang dilakukan dengan rapat koordinasi antar pimpinan dengan kepala kelurahan dan kecamatan yang dilanjutkan dengan rapat koordinasi dengan seluruh camat dan lurah. Setiap akhir hari kerja yaitu hari Jum’at kegiatan dilakukan dengan reporting kerja setiap SKPD, yang merupakan laporan hasil kerja dari setiap SKPD. Memasuki hari libur yaitu Sabtu dan Minggu dilakukan melalui kerja bakti. Dengan seluruh rangkaian aktivitas protokoler tersebut diharapkan mampu membentuk hati semua pihak, inilah yang dinamakan dengan Sombere atau dengan kata lain pendekatan
diamond sebagaimana gambar berikut.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
90
Gambar 15. Pendekatan System Diamond Theory
Sumber: Diamond Theory, Danny Pomanto (2016)
Perlibatan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pembangunan Kota Makassar sangat besar oleh karena itu dalam proses perencanaan pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam RPJMD selalu berangkat dari hasil Musrenbang secara keseluruhan yang terdiri atas kelurahan, kecamatan dan kota. Yang selanjutnya dituangkan ke dalam RKPD, yang kemudian ditindaklanjuti dengan monitoring dan evaluasi terhadap realisasi APBD. Alur perencanaan pembangunan berbasis partisipasi masyarakat di Kota Makassar dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 16. Alur Musrenbang Berbasis Partisipasi Masyarakat
91
BSIAN Seri 2
Keterangan: SIM Musrenbang Musrenbang
Kelurahan,
berdasarkan
masukan
warga
yang
dilakukan melalui musrenbang yang dilaksanakan pada bulan Januari. Musrenbang Kecamatan, dengan menampung usulan setiap kecamatan yang dilakukan melalui musrenbang yang dilaksanakan pada bulan Febuari. Musrenbang Kota, dengan menampung usulan setiap kota dilakukan melalui musrenbang yang dilaksanakan pada bulan Maret. SIM RKPD Renja – SKPD, melalui forum SKPD penyusunan renja di Bulan Maret KUA – PPAS, dilakukan melalui pembahasan dan kesepakatan KUA antara KDH dengan DPRD di Bulan Juni RKPD, dilakukan dengan pembahasan dan persetujuan rancangan APBD dengan DPRD di bulan Oktober s.d. November. SIM Monev
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
92
Evaluasi renja – SKPD triwulan 1, 2, 3 dan 4, dilakukan di Bulan Desember. Monitoring realisasi APBD. Gambar 17. SIM RKPD
Pentahapan: Usulan Musrenbang yang berangkat dari masyarakat; Di verifikasi dan disahkan oleh user SKPD dalam rancangan awal SKPD untuk dilakukan analisis lokasi, usulan pagu dan sumber dana; Dilakukan verifikasi oleh counterpart Bappeda, untuk dilakukan verifikasi rancangan awal renja SKPD; Verifikasi oleh Libang Bappeda untuk rancangan final SKPD. Adapun dampak yang diperoleh dengan inovasi perencanaan anggaran berbasis partisipasi masyarakat melalui gerakan Makassar Sombere and
Smart City adalah seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Makassar Sombere & Smart City Impact IMPACT
BEFORE
AFTER
GDP Growth
7.4 %
8.1%
GDP Income
66 million
69.9 million
Revenue
600 billion
1.3 trilliun
Budget
2.2 trilliun
3.6 trilliun
Happines Index
70 %
75.21 %
93
BSIAN Seri 2
Sumber: Walikota Makassar, Revitalisasi Ruang Untuk Partisipasi Masyarakat Melalui Musrenbang, 2016
Dengan pelibatan partisipasi masyarakat aktif dalam pembangunan Kota Makassar melalui gerakan Sombere and Smart City maka Kota Makassar telah memperoleh hasil berupa peningkatan GDP Growth yang semula hanya di kisaran 7.4 persen kini naik menjadi 8.1 persen dan secara nasional pun GDP Growth Kota Makassar menjadi 5.1 persen. Selanjutnya GDP
Income Kota Makassar pun juga mengalami kenaikan di mana yang semula di kisaran angka 66 juta, naik menjadi 66.9 juta, dan secara nasional GDP
income Kota Makassar menjadi sebesar 35 juta. Begitu juga Revenue Kota Makassar juga mengalami kenaikan dari yang semula sebesar 600 milliar naik menjadi 1.3 trilliun dan budget yang semula 2.2 trilluin naik menjadi 3.6 trilliun. Dengan terjadinya perubahan tersebut maka secara otomatis
happiness index masyarakat Kota Makassar pun meningkat menjadi 75.21 persen yang artinya terjadinya keniakan sebesar 05.21 persen, dan secara nasional sebesar 69 persen.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
94
Kabupaten Bojonegoro 27 Kabupaten Bojonegoro merupakan kabupaten yang memiliki wilayah seluas 235.000 ha dimana atas 40,15% merupakan hutan Negara yang terdiri atas 32,58% lahan sawah, 22,42% tanah kering dan sisanya seluas 4,85% adalah perkebunan dan lain-lain, dengan jumlah penduduk sebnyak 1,3 juta jiwa, dimana sebanyak 70% bekerja di sektor pertanian. Sejak tahun 2008 Bojonegoro selalu dihadapkan pada sejumlah permasalahan di ataranya
adalah, sebagai daerah yang selalu dilanda bencana berupa banjir dan kekeringan, mengingat Bojonegoro sebagai wilayah yang terletak di wilayah tanah gerak, sehingga menyebabkan infrastruktur bangunan menjadi rusak dan jalan-jalanpun ikut rusak. Sehingga sejak dahulu kala sepanjang sejarah Bojonegoro mendapati julukan sebagai daerah miskin (Endemic Poverty). Pertumbuhan perekonomian Bojonegoro saat itu juga lemah, dikarenakan tingkat korupsi yang tinggi, politik uang. Kemampuan anggaran daerah juga rendah, dimana hutang Bojonegoro mencapai 350 M dan APBD yang dimiliki sebnyak Rp. 891.861.096.759,-. Perlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan Bojonegoro saat itu kurang, sehingga menyebabkan partispasi
masyarakat
rendah,
tingkat
kepuasan
dan
kepercayaan
masyarakatpun saat itu rendah. Dari kemiskinan dan permasalahan yang ada di Bojonegoro, sesungguhnya jika digali, Kabupaten Bojonegoro memiliki potensi yang kaya akan kekayaan alamnya yang terdiri atas, 717.877.000 M3 potensi sumber daya air, 40,15% wilayah area hutan (hutan jati), 78.000 ha lahan produktif yang memproduksi 1,5 juta ton padi, dan 169.639 populasi sapi, serta memiliki 650 juta barel cadangan minyak dan 6 TCF gas yang jika diakumulasikan sebanyak 20% dari cadangan nasional di wilayah Bojonegoro. Maka dari itu untuk mewujudkan pondasi Bojonegoro sebagai lumbung pangan dan
Presentasi Ir. I Nyoman Sudana, MM, Kepala Bappeda Bojonegoro, Perencanaan Pembangunan Kolaboratif di Bojonegoro, disampaikan dalam Lokakarya Nasinoal Revitalisasi Praktik Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif (Musrenbang) di Kota-Kota di Indonesia, Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta , 2 November 2016
27
BSIAN Seri 2
berkelanjutan
sebagaimana
yang
tertuang
dalam
visi
95
energi negeri yang produktif, berdaya saing, adil, bahagia, sejahtera, dan Kabupaten
Bojonegoro, maka dilakukan misi dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
yang
berkualitas,
seimbang
dan
berkelanjutan
melalui
peningkatan industri pangan dan energi, mewujudkan masyarakat yang produktif, mandiri dan sejahtera, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih melalui peningkatan pelayanan yang professional. Untuk mencapai visi misi tersebut diperlukan transformation process yang dilakukan oleh pemimpin kepala daerah terpilih Bojonegoro. Apa yang dilakukan oleh pemimpin daerah Bojonegoro yang saat itu dipimpin oleh Suyoto atau yang biasa disapa dengan panggilan Kang Yoto, adalah melakukan transformation process dari yang semula rakyat merasakan tidak adanya pemerintah kini melakukan pendekatan kepada masyarakat berupa kunjungan warga atau kunjungan ke daerah terpencil guna mendengarkan setiap keluhan dan permasalahan yang ada, dan melakukan dialog publik yang dilakukan di balai warga ataupun balai desa. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk co-creating and connection, yaitu untuk mendengar, memahami, berdiskusi, memotivasi, dan saling menginspirasi. Melalui proses tersebut kepala daerah dapat memetakan kebutuhan wilayah yang di
antaranya
adalah
wilayah
yang
membutuhkan
optimalisasi
perekonomian, dengan melakukan pengembangan di tiga belas (13) kawasan straegis, yaitu: Kawasan Kasur Lantai Baureno, Kawasan Olahan Kayu Kecamatan Bojonegoro, Kawasan Gerabah Malo, Kawasan Batik Jonegoroan, Kawasan Holtikultura di Kawasan Klino, Kawasan Bawang Meah di Kedungadem dan Gondang, Kawasan Agropolitan Kecamatan Kapas, Dander dan Kalitidu, Kawasan Mina Politan, Kawasan Wisata Migas, Kawasan Wisata Religi, Kawasa Wisata Budaya, Kawasan Wisata Hutan, Kawasan Pengembangan Ekonomi Kecamatan Sekar Bebasis Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Perikanan. Berbagai transformation process terus dilakukan dalam rangka menciptakan Bojonegoro yang produktif, berdaya saing, adil, bahagia, sejahtera, dan
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
96
berkelanjutan, termasuk pula dalam perencanaan pembangunan yang terjadi di Bojonegoro juga berangsur mengalami transformation process, menuju keterbukaan publik. Sebagaima amanah UU nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bojonegoro selalu mengandalkan partisipasi masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di Bojonegoro. Adapun tahapan dalam perencanaan penganggaran Bojonegoro dalam perencanaan pembangunan seperti pada gambar 18. Gambar 18. Tahapan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro
Sumber: Bahan Presentasi Kepala Bappeda Kab. Bojonegoro, dalam Perencanaan Pembangunan Kolaboratif di Bojonegoro
Keterangan: Musrenbang Desa Berangkat dari informasi Kabupaten/ SKPD yang bersifat top-down, dan dari janji politik Bupati yang tertuang dalam RPJMD, yang kemudian diturunkan menjadi rencana pembangunan jangka menengah desa, selanjutnya untuk disusun ke dalam rencana
BSIAN Seri 2
97
strategis SKPD yang memuat estimasi alokasi pendapatan APBD yang turun ke desa, program prioritas SKPD dan pagu indikatif pendanaan, serta analisis kebutuhan pembangunan kecamatan; Rencana Kerja Pembangunan (RKP) desa tahun sebelumnya yang belum teralokasikan;
Usulan-usulan prioritas berdasarkan hasil musyawarah dan rembug RT/RW dan dusun yang bersifat bottom up, sehingga dari usulan yang
berangkat
dari
masyarakat
pemerintah
mengetahui
permasalahan-permasalahan sesuai yang dihadapi oleh rakyat; Mencapai kesepakatan hasil musrenbang desa yang disusun dalam bentuk RKP Desa dan Anggran Perencanaan dan Bangunan Desa (APBDes). Musrenbang Kecamatan; Berangkat dari usulan-usulan kegiatan prioritas desa yang terangkum dalam RKP Desa; Untuk mencapai kesepakatan hasil yang terangkum dalam forum SKPD dengan melibatkan koordinasi bidang ekonomi, bidang fisik, dan bidang sosial. Musrenbang Kabupaten; Berangkat dari forum SKPD, yang kemudian untuk mencapai kesepakatan
hasil
yang
terangkum
dalam
Rencana
Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD); Untuk dimasukkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) perencanaan yang tertuang dalam rencana kerja SKPD. Bagi Bojonegoro, Musrenbang pada hakikatnya adalah forum untuk memadukan perencanaan program dan kegiatan dari SKPD-SKPD yang menggunakan sudut pandang teknokratis berdasarkan analisis atas data dan informasi dengan hasil identifikasi masyarakat akan kebutuhannya sejalan dengan aspirasi dan kehendak masyarakat yang dilandasi oleh kearifan lokal setempat. Proses penganggaran pada hakikatnya adalah proses pengalokasian sumber daya berupa anggaran untuk mencapai
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
98
tujuan-tujuan daerah yang sudah direncanakan baik dalam jangka panjang, menengah dan tahunan (RPJP, RPJMD, RPJMN). Oleh karena itu tahapan proses perencanaan anggaran selama 1 tahun anggaran yang dilakukan oleh Bojonegoro adalah sebagai berikut: Bulan Juni-Juli, KUA/PPAS APBD Induk;
Juli-Agustus, KUA/ PPAS APBD perubahan; Agustus-September, penyusunan RKA-SKPD dan penetapan Raperda P APBD; September, penyusunan RKA-SKPD dan Raperda APBD; Oktober- November, penyampaian dan pembahasan rancangan APBD dengan DPRD; November, Keputusan bersama persetujuan APBD (DPRD & KDH) dan evaluasi kepada Gubernur; Desember, Penetapan Perda APBD; Januari, pelaksanaan APBD tahun berikutnya; Januari, pelaksanaan musrenbang desa; Februari, pelaksanan musrenbang kecamatan; Maret; forum SKPD pnyusunan rencana kerja; Maret-April, pelaksanaan musrenbang kabupaten; Mei, penetapan RKPD. Selanjutnya
penguatan
partisipasi
penganggaran
sebagai
basis
musrenbang di Bojonegoro dilakukan dengan perencanaan kolaboratif empat sekawan dalam bentuk upaya membangun atau to build partnership
and participation, yaitu membangun hubungan atau jejaring dalam memajukan Bojonegoro dengan berbagai pihak. Empat sekawan tersebut, diantaranya adalah pengusaha, universitas, institusi vertikal, NGO, dan masyarakat, dengan pertemuan langsung tanpa diwakilkan, berdialog, mendistribusikan sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab, serta memperkuat akses. Hal tersebut dilakukan melalui musrenbang berjenjang yang dimulai dari musrenbang desa, musrenbang kecamatan dan
BSIAN Seri 2
99
musrenbang kabupaten guna perlibatan partisipasi semua pihak dalam perencanaan pembangunan dengan melibatkan empat sekawan yang terdiri atas pemerintah, akademisi, pengusaha, dan NGO, yang dipantau
dan diawasi langsung oleh DPRD, masyarakat/ stakeholders dan diperkuat melalui aplikasi LAPOR Bojonegoro, atau yang dikenal dengan perencaan kolaboratif empat sekawan, sebagaimana gambar 19 Gambar 19. Pemodelan Inovasi Partisipasi Anggaran Sebagai Basis Musrenbang Pemerintah Kabupaten Bojonegoro
Sumber: Bahan Presentasi Kepala Bappeda Kab. Bojonegoro, dalam Perencanaan Pembangunan Kolaboratif di Bojonegoro
Dari gambar tersebut KAK Perencanaan berisikan mengenai masalah yang ingin dipecahkan (dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup, ekonomi, sosial, dan budaya), Harapan dan keinginan dari seluruh
stakeholder (SKPD terkait, pemangku kepentingan) dan shareholder (NGO, masyarakat umum, masyarakat pengguna yang memperoleh manfaat atas kegiatan), dan tujuan kegiatan yaitu berupa hal yang harus ada dan yang tidak boleh ada berikut aspek lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan KAK pelaksanaan berisikan mengenai strategi capaian
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
100
keluaran tentang metode pelaksanaan/ program kerja/ konsep pelaksanaan
(tenaga ahli, alokasi SDM sesuai tingkat keahlian), dan jadwal tahapan pelaksanaan (jadwal detail pelaksanaan kegiatan dan jadwal penyerapan anggaran). Selanjutnya di dalam open contract berisikan mengenai perencanaan, pengadaan, pelaksanaan; dimensi pengadaan; pengumuman kegiatan tiap SKPD, yang kesemuanya bersifat terbuka, yang diatur pula dengan peraturan Bupati. Sebagai jaminan keberlanjutan dari Inovasi Partisipasi Anggaran Sebagai Basis Musrenbang pada Kabupaten Bojonegoro ini diperkuat dengan kebijakan daerah setempat yang tertuang dalam bentuk Peraturan Bupati Bojonegoro
Nomor
30
Tahun
2013
tentang
Manajemen
Inovasi
Pembangunan Berbasis Partisipasi Publik, dan Peraturan Bupati Nomor 12 Tahun 2016 tentang Penyusunan Kerangka Acuan Kerja. Hal tersebut dilakukan sebagai komitmen pemerintahan Bojonegoro terhadap sistem keterbukaan pemerintahan sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selama perjalanannya inovasi tersebut telah memberikan manfaat perubahan menuju arah yang lebih baik bagi Bojonegoro meliputi: Rendahnya tingkat pengangguran terbuka di Bojonegoro, yaitu dimana pada tahun 2012 tingkat pengangguran terbuka sebanyak 3,51 persen, dan naik menjadi 5,82 persen ditahun 2013, tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 3,21 persen dan di tahun 2015 mengalami penurunan lagi hingga 3,10 persen.
Grafik 3. Tingkat Pengangguran Terbuka Pemerintah Kabupaten Bojonegoro
101
BSIAN Seri 2
Sumber: Bahan Presentasi Kepala Bappeda Kab. Bojonegoro, dalam Perencanaan Pembangunan Kolaboratif di Bojonegoro
Tingginya nilai tukar petani, yaitu dimana tahun 2012 nilai tukar petani sangat rendah yaitu sebesar 102.5 persen, tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi 103.93 persen, tahun 2014 mengalami penurunan kembali menjadi 103.5 persen, dan di tahun 2015 nilai tukar petani mencapai nilai tertinggi yanitu sebesar 106.15 persen;
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
102
Grafik 4. Persentase Nilai Tukar Petani Pemerintah Kabupaten Bojonegoro
Sumber: Bahan Presentasi Kepala Bappeda Kab. Bojonegoro, dalam Perencanaan Pembangunan Kolaboratif di Bojonegoro
Rendahnya tingkat inflasi di Kabupaten Bojonegoro, dimana tahun 2012 tingkat inflasi Bojonegoro sebesar 4,05 persen, se-Jawa Timur sebesar 4,5 persen dan secara nasional sebesar 4,3 persen. Tahun 2013 untuk Bojonegoro tingkat Inflasi sebesar 7,39 persen, se Jawa Timur sebesar 7.59 persen dan secara nasional sebesar 8,38 persen. Tahun 2014 untuk Bojonegoro tingkat inflasi sebesar 7,34 persen, se Jawa Timur sebesar 7,77 persen, dan secara nasional sebesar 8,36 persen. Tahun 2015 tingkat inflasi Bojonegoro mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu sebesar 2,91 persen untuk Bojonegoro, 3,08 se-Jawa Timur, dan 3,35 secara nasional.
Grafik 5. Persentase Inflasi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro
103
BSIAN Seri 2
Sumber: Bahan Presentasi Kepala Bappeda Kab. Bojonegoro, dalam Perencanaan Pembangunan Kolaboratif di Bojonegoro
Semoga Inovasi Partisipasi Anggaran sebagai Basis Musrenbang di Kabupaten
Bojonegoro
terus
memberikan
kebaikan
untuk
rakyat
Bojonegoro dan dapat direplikasi maupun diadopsi oleh pemerintah daerah lainnya. Inovasi ini bukanlah merupakan pijakan semata, masih banyak contoh inovasi lainnya yang dapat direplikasi maupun diadopsi dari sumber lain oleh pemerintah daerah lainnya.
Penutup Pada Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro inovasi perlibatan masyarakat melalui kolaborasi dengan pendekatan empat sekawan yang memadukan hubungan kerjasama antara pemerintah, akademisi, pengusaha dan NGO melalui pengawasan masyarakat langsung yang bergerak secara pararel. Adapun model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
104
Gambar 8 Model Inovasi Perencanaan Pembangunan Berbasis Partisipasi Masyarakat
Sumber: diolah dari berbagai sumber Model tersebut bukanlah satu-satunya model yang dapat dijadikan pijakan semata, masih banyak model-model perencanaan pembangunan berbasis partisipasi masyarakat lainnya yang dapat dijadikan contoh sebagai bahan duplikasi, replikasi maupun adopsi bagi pemerintah daerah lainnya. Semoga dengan adanya pemodelan inovasi perencanaan pembangunan berbasis partisipasi masyarakat mampu mempercepat perekonomian nasional Indonesia yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam bentuk Negara demokratis yang melindungi hak asasi manusia terhadap penyelenggaraan Negara.
BSIAN Seri 2
105
Daftar Pustaka
Ach. Wazir Ws., et al., ed. (1999). Panduan Penguatan Menejemen Lembaga
Swadaya Masyarakat. Jakarta: Sekretariat Bina Desa dengan dukungan AusAID melalui Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project. BPS, Laporan Bulanan Data Sosio Ekonomi Edisi 76, September 2016 Beka Ulung Hapsara, International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), dalam Open Government Initiatives dan Partisipasi, dalam Penguatan Partisipasi Publik dalam Penganggaran, disampaikan dalam
Lokakarya Nasinoal Revitalisasi Praktik Perencanaan dan
Penganggaran Partisipatif (Musrenbang) di Kota-Kota di Indonesia, Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta , 2 November 2016 Conyers, Diana. (1991). Perencanaan Sosial di Dunia ketiga. Yogyakarta: UGM Press. Dwiyanto, Agus, 2006 Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/ Bappenas dalam
Revitalisasi
disampaikan
dalam
Proses
Perencanaan
Lokakarya
Nasinoal
dan
Penganggaran,
Revitalisasi
Praktik
Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif (Musrenbang) di KotaKota di Indonesia, Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta , 2 November 2016 Fikri Azhar, Partisipasi Masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya, dalam Kebijakan dan Manajemen Publik Volume 3 nomor 2, Mei-Agustus 2015, hal 64-65
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
106
Ir. I Nyoman Sudana, MM, Kepala Bappeda Bojonegoro, Perencanaan Pembangunan Kolaboratif di Bojonegoro, disampaikan dalam Lokakarya
Nasinoal
Revitalisasi
Praktik
Perencanaan
dan
Penganggaran Partisipatif (Musrenbang) di Kota-Kota di Indonesia, Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta , 2 November 2016 Isbandi Rukminto Adi. (2007). Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset
Komunitas: dari Pemikiran Menuju Penerapan. Depok: FISIP UI Press. Kemensos RI dan BPS tahun 2011, Analisis Data Kemiskinan Berdasarkan Data Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) 2011, hal:6-7 Presentasi Moh. Ramdhan Pomanto,Walikota Makassar, Revitalisasi Ruang Untuk Partisipasi Masyarakat Melalui Musrenbang, disampaikan dalam Lokakarya Nasinoal Revitalisasi Praktik Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif (Musrenbang) di Kota-Kota di Indonesia, Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta , 2 November 2016 Mikkelsen, Britha. (1999). Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya
Pemberdayaan: sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kebijakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
107
BSIAN Seri 2
“CAMPUS SOCIAL RESPONSIBILITY” DAN BASEKOLAH Inovasi Penanganan Anak Putus Sekolah Antonius Galih Prasetyo
Pendahuluan
P
endidikan adalah kunci untuk meningkatkan daya saing bangsa. Terlebih pada masa dewasa ini ketika Indonesia memasuki era kompetisi
global,
yang
ditandai
misalnya
dengan
hadirnya
Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sadar akan hal ini, maka sejak era
Reformasi telah diamanatkan dalam konstitusi bahwa setidaknya 20 persen dari besaran alokasi APBN wajib diperuntukkan untuk pendidikan. Pemerintah juga mencanangkan wajib belajar 9 tahun yang belum lama ini diperluas menjadi 12 tahun demi memastikan setiap warga di Indonesia mengenyam pendidikan yang memadai agar mampu menjadi manusia yang produktif dan berkualitas. Agar pendidikan dasar dan menengah lebih
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
108
fokus dikelola, maka pengelolaannya pun dipisahkan dengan pendidikan tinggi dalam arsitektur kabinet Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Namun sayangnya, dunia pendidikan di negeri ini masih saja menghadapi berbagai problem serius di segala tingkatan. Dalam sektor pendidikan dasar dan menengah, selain soal klasik seperti bongkar pasang kebijakan kurikulum dan kualitas guru, masalah juga ditemui dalam hal banyaknya siswa yang putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Menurut ikhtisar data pendidikan 2015/2016 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebanyak 68.066 siswa SD (dari total 25.885.053 peserta didik) mengalami putus sekolah. Meskipun jumlah siswa putus sekolah lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun ajaran sebelumnya dan hanya 0,26 persen dari jumlah siswa SD, namun jumlah itu tetaplah relatif tinggi dan mencemaskan. Adapun jumlah siswa lulus SD yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP sebanyak 946.013 siswa (dari 4.381.997 lulusan SD) (Kompas, 4 Oktober 2016). Data jumlah siswa yang tinggal kelas juga mengkhawatirkan. Jumlah siswa SD yang mengulang alias tidak naik kelas mencapai 422.082 anak. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar berada di kelas rendah. Paling banyak ada di kelas 1, yakni 194.967 anak, disusul kelas 2 sejumlah 89.561 anak dan kelas 3 sejumlah 65.493 anak. Keadaan yang sama juga terjadi pada fenomena putus sekolah di SD, di mana sebagian besar berada di kelas rendah, yakni paling banyak terjadi di kelas I sebanyak 16.477 orang, sedangkan di kelas II jumlahnya 12.714 orang (Kompas, 10 Oktober 2016, hal. 1). Fakta di atas memperparah kualitas angkatan kerja yang sudah buruk. Dalam empat tahun pelajaran terakhir, secara akumulatif terdapat 5.034.072 orang yang hanya memegang ijazah SD atau hampir mendekati populasi Singapura. Adapun secara umum, berdasarkan data BPS per Februari 2016, dari total 120,64 juta penduduk di atas 15 tahun yang bekerja, penduduk yang hanya tamat SD sebanyak 32,47 juta orang (27 persen), pendidikan
BSIAN Seri 2
109
SMP sebanyak 21,48 juta (17,8 persen), jumlah warga yang tidak tamat SD sebanyak 15,65 juta orang (13 persen), dan tidak pernah bersekolah sebanyak 4,3 juta orang (3,6 persen).
Kualitas angkatan kerja yang rendah tak pelak menyebabkan Indonesia terpuruk dalam persaingan global. Dalam laporan terbaru Indeks Daya Saing Global (GCI) 2016-2017 yang dirilis oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia berada di peringkat ke-41 dari 138 negara, turun empat tingkat dari periode 2015-2016 yang berada di posisi ke-37 dari 140 negara. Posisi ini lebih buruk dari negara tetangga Malaysia yang berada di peringkat ke25 dan Thailand yang berada di peringkat ke-34. Salah satu hal yang menyebabkan posisi Indonesia rendah adalah rendahnya pilar penilaian pendidikan dasar. Pada pilar ini Indonesia berada di urutan ke-100, turun 20 peringkat dari periode lalu. Pilar lain yang juga rendah adalah efisiensi pasar ketenagakerjaan yang berada di peringkat ke-108. Untuk memperbaiki kondisi di atas, mencegah anak putus sekolah dan mengembalikan anak yang putus sekolah agar kembali bersekolah merupakan langkah yang suportif. Fenomena anak putus sekolah adalah bukti gamblang dari pelanggaran konstitusi. Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan ayat (2) menyatakan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”Untuk itu, pemerintah mengamanatkan anggaran yang cukup untuk itu, di mana Pasal 31 ayat (4) menyebutkan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memnuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Lebih lanjut, pendidikan juga ditetapkan sebagai hak yang dimiliki oleh setiap warga negara (lihat Pasal 28C UUD 1945). Sebagai upaya untuk memenuhi hak asasi akan pendidikan sekaligus menunaikan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
110
warga, maka beberapa pemerintah daerah melaksanakan inovasi yang bertujuan untuk menanggulangi masalah banyaknya anak putus sekolah. Inovasi
ini
dibuat
karena pemerintah daerah yang
bersangkutan
menghadapi masalah banyaknya anak putus sekolah dan menyadari bahwa keadaan ini tidak bisa dibiarkan karena akan mengancam kualitas SDM dan daya saing daerah. Dalam tulisan ini, diuraikan contoh dari inovasi penanggulangan anak putus sekolah dari dua pemerintah daerah, yakni Kota Surabaya dengan inovasi Campus Social Responsibility dan Kota Bitung dengan inovasi Basekolah. Dari uraian tersebut, akan ditarik perbandingan di antara keduanya dan poin-poin pembelajaran yang dapat diambil. Diharapkan daerah lain yang akan menerapkan kebijakan serupa dapat mencontoh dari pengalaman Kota Surabaya dan Kota Bitung. Sebelum memaparkan hal-hal di atas, sebelumnya akan diuraikan tinjauan teoretis ihwal penyebab anak putus sekolah.
Mengapa Anak Putus Sekolah ? Fenomena anak putus sekolah (drop-out) adalah salah satu masalah sektor pendidikan yang persisten dan kompleks. Dia merupakan bagian dari apa yang disebut kegagalan bersekolah (school failure), yang didefinisikan sebagai situasi di mana siswa tidak bisa memanfaatkan sumber daya kognitif dan emosional yang dimilikinya sehingga berakibat pada kinerja yang lebih rendah dari kapabilitas (Panagiotis dkk., 2011: 41). Kegagalan bersekolah biasanya dialami oleh anak dari keluarga miskin. Mereka yang gagal akan mengalami masalah kronis dalam berbagai segi (ekonomi, sosial, profesional, budaya) seperti ketidakmampuan meningkatkan status sosialekonomi dan merasa teralienasi serta tereksklusi secara sosial (Giavrimis dan Papanis, 2008: 328). Dengan mensurvei berbagai literatur, Panagiotis dkk. menemukan bahwa ada banyak penjelasan dan faktor yang dipercaya berkontribusi sebagai penyebab anak putus sekolah. Faktor-faktor tersebut di antaranya
BSIAN Seri 2
111
kurangnya motivasi, konsep-diri, latar belakang sosial-ekonomis, sistem
atau model pendidikan, kepribadian guru atau murid, ideologi yang dominan, kurangnya modal budaya, posisi kelas sosial, kurangnya masa bermain ketika masa kanak-kanak, komunikasi dan dinamika kelas yang buruk, kurikulum, dan rasa kebanggaan serta kepercayaan diri siswa. Namun demikian, di antara berbagai faktor yang dipercaya sebagai penyebab putus sekolah, mereka menggarisbawahi beberapa faktor yang
dirasa cukup krusial, yakni motivasi yang rendah, konsep-diri siswa, latar belakang sosial-ekonomis orangtua siswa, budaya belajar keluarga, dan hubungan murid-guru yang buruk (Panagiotis dkk., 2011: 41-42). Sementara itu, Rumberger (2001) mengelompokkan faktor-faktor penyebab putus sekolah yang beragam ke dalam dua perspektif, yakni perspektif individual dan perspektif institusional. Perspektif individual berkaitan dengan masalah yang ada pada diri siswa itu sendiri seperti nilai, perilaku, dan sikap. Adapun perspektif institusional menyoroti penyebab yang lebih bersifat struktural,
yakni
institusi-institusi
terdekat
yang
menaungi
dan
memengaruhi anak secara mendalam. Institusi-institusi tersebut biasanya institusi keluarga, sekolah, komunitas dan teman sebaya. Dari tinjauan teoretis dan penelitian empirisnya mengenai anak putus sekolah di Amerika Serikat, Rumberger pun menyarankan pokok-pokok berikut untuk setiap upaya mengatasi masalah ini (2001: 33-34). Pertama, putus sekolah seringkali tidak hanya masalah kegagalan akademis namun juga bersumber dari masalah sosial dan akademis yang ada di sekolah. Jadi, apa yang terjadi di sekolah juga harus diperhatikan. Kedua, masalah putus sekolah biasanya terjadi pada masa-masa awal sekolah atau kelas bawah. Untuk itu, intervensi dan pencegahan pada masa-masa awal sekolah menjadi hal yang kritikal. Ketiga, masalah putus sekolah sangat dipengaruhi oleh kurangnya dukungan dari keluarga, sekolah, dan komunitas. Dari temuan-temuan tersebut, disimpulkan bahwa mengatasi masalah putus sekolah hendaknya dilakukan secara komprehensif dengan menyasar diri
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
112
pribadi si anak maupun setting struktural dan institusional yang melingkupi anak. Untuk konteks Indonesia, ada banyak penyebab anak putus sekolah atau gagal melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2014 menunjukkan porsi terbesar alasan putus sekolah adalah ketiadaan biaya (40,4 persen) yang dialami oleh kalangan miskin kota, baik di desa maupun kota (Kompas, 4 Oktober 2016, hal. 15). Kajian Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional menyebutkan, anak yang tidak menyelesaikan SD dan yang tidak melanjutkan ke SMP setelah lulus hampir separuhnya adalah anak yang berasal dari keluarga miskin di daerah tertinggal. Pada daerah tertinggal, kesempatan mendapatkan sekolah yang baik dengan fasilitas yang memadai sangat sulit. Kualitas pelayanannya juga rendah karena guru tidak memenuhi syarat atau tidak dibayar. Situasi ini mendorong terjadinya fenomena putus sekolah (Kompas, 10 Oktober 2016). Penelitian individual untuk mengungkap faktor-faktor penyebab anak putus sekolah di berbagai daerah juga telah banyak dilakukan di Indonesia. Misalnya, penelitian Dewi, Zukhri, dan Dunia (2014) terhadap anak putus sekolah usia pendidikan dasar di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, tahun ajaran 2012/2013 menemukan bahwa ada enam faktor penyebab putus sekolah, yakni ekonomi, perhatian orangtua, fasilitas pembelajaran, minat anak untuk sekolah, budaya, dan lokasi sekolah. Dari keenamnya, faktor perhatian orang tua yang minim mennjadi faktor yang paling dominan. Sementara itu, penelitian Bagoe (2014) terhadap anak putus sekolah di Desa Suka Damai, Kecamatan Bulango Utara, Kabupaten Bone Bolango menemukan bahwa faktor ekonomi dan tingkat pendidikan orangtua serta faktor lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat) sebagai faktor yang mempengaruhi anak putus sekolah. Penelitian Purnama (2014) terhadap anak putus sekolah tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Kota Pontianak menemukan bahwa faktor psikologis, sosial, dan ekonomi
BSIAN Seri 2
113
menjadi penyebab anak putus sekolah dengan faktor psikologis menjadi faktor yang paling dominan. Kemudian, terdapat penelitian Arizona (2013) mengenai anak putus sekolah di tingkat sekolah menengah atas dan
sekolah menengah kejuruan dengan studi kasus di Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Kondisi psikologis anak berupa motivasi untuk tetap melanjutkan sekolah dan kondisi sosial orangtua, lebih spesifiknya jenis pekerjaan, menjadi hal yang memengaruhi anak putus sekolah.
Campus Social Responsibility Kota Surabaya 28 Untuk mengatasi masalah anak putus sekolah dan rentan putus sekolah, perlu keterlibatan tidak hanya dari pemerintah, melainkan juga seluruh elemen di masyarakat. Salah satu elemen masyarakat yang berpotensi untuk tujuan tersebut adalah mahasiswa. Mahasiswa merupakan kaum muda yang sedang menempuh jenjang pendidikan tinggi. Oleh karena itu, secara keilmuan dan kapasitas dia berada di atas anak-anak yang sedang menempuh pendidikan dasar dan menengah. Selain itu, dengan pola dan metode pendidikan yang berbeda dibandingkan dengan pendidikan dasar dan menengah, mahasiswa juga diasumsikan lebih kritis dan empatik. Karakter dan sifat seperti ini yang nyatanya memang teruji sepanjang sejarah perjalanan bangsa. Hal itu pulalah yang kiranya disadari oleh Pemerintah Kota Surabaya. Kota ini memiliki puluhan perguruan tinggi sehingga memiliki banyak mahasiswa. Potensi ini pun dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menanggulangi Bagian ini didasarkan pada Runik Sri Astuti, “Melibatkan Mahasiswa Berantas Kemiskinan”, dalam Kompas, 17 Oktober 2016, hal. 24; Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2015, Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia 2015 (Jakarta: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), hal. 126; dan video berjudul “Campus Social Responsibility Dinas Sosial Surabaya” yang dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=j2yStEORBzM. 28
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
114
masalah banyaknya anak yang putus sekolah atau rentan putus sekolah. Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia yang sekaligus merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur, tentu Surabaya membutuhkan SDM dengan kualitas yang bermutu. Banyaknya anak yang putus sekolah tentu akan mengancam kelangsungan masa depan pertumbuhan dan kemajuan Kota Surabaya karena anak-anak itulah yang nantinya akan menjadi angkatan kerja di kota ini. Menanggapi kondisi ini, Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Sosial membuat inovasi yang dinamakan Campus Social Responsibility (CSR). Pemberian nama inovasi yang akronimnya disingkat CSR ini menarik karena akan
segera
mengingatkan
orang
peda
istilah
Corporate Social
Responsibility. Pada dasarnya prinsip dari kedua gerakan tersebut memang mirip. Jika dalam Corporate Social Responsibility perusahaan berkewajiban untuk memberdayakan dan memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat yang terkena dampak dari operasi perusahaan, maka dalam
Campus Social Responsibility mahasiswa diberikan kesempatan untuk memberikan manfaat bagi adik-adik mereka yang kurang beruntung sebagai bentuk dari pengabdian yang mereka berikan setelah mendapatkan
privilege dan wawasan keilmuan dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa. Hal ini sebagaimana pengakuan dari Rizky Amalia Ditasari, mahasiswi Jurusan Manajemen Universitas Airlangga yang menjadi kakak asuh:
“Kepuasan tersendiri itu adalah di diri saya itu bagaimana caranya saya menolong orang karena saya sudah ditolong orang, kayak gitu. Saya bisa kuliah itu karena orang-orang. Karena saya beasiswa itu juga dari orang-orang gitu lho mbak. Jadi saya gimana caranya ya saya bisa membantu untuk orang lain biar orang lain itu juga merasa senang gitu.”
BSIAN Seri 2
115
Inovasi CSR pada dasarnya adalah kegiatan mahasiswa mendampingi anak
putus sekolah di mana satu mahasiswa mendampingi satu adik asuh. Dalam kegiatan ini diharapkan terjadi transfer ilmu pengetahuan dan wawasan dari
mahasiswa kepada adik asuhnya sehingga terjadi perubahan pola pikir dan perilaku. Dengan demikian anak yang putus sekolah mau kembali bersekolah. Di sisi lain, program ini menajamkan kepekaan sosial mahasiswa terhadap masalah sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Inovasi CSR telah dimulai sejak tahun 2014 dan diinisiasi oleh Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Supomo. Munculnya ide ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan mengenai banyaknya anak penyandang masalah sosial seperti anak telantar, anak korban kekerasan, anak yang berhadapan dengan masalah hukum, dan anak jalanan. Anak telantar misalnya, jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2011 hanya ada 265 anak telantar di Kota Surabaya, pada 2014 jumlahnya meningkat menjadi 430 anak. Dari kalangan anak penyandang masalah sosial inilah kasus putus sekolah biasa ditemui. Adapun tahapan pelaksanaan dari inovasi CSR adalah sebagai berikut. Pertama, dilakukan pendataan secara rinci terkait nama dan alamat anak penyandang masalah sosial. Pada saar yang sama, dilakukan sosialisasi mengenai program CSR kepada para mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi. Selanjutnya, dilakukan perekrutan peserta CSR melalui seleksi di sejumlah perguruan tinggi. Seleksi ini dilakukan agar mahasiswa yang terpilih nantinya dapat menjadi kakak asuh yang berjiwa sosial tinggi, memiliki empati, dan berdedikasi. Kemudian, bagi para mahasiswa yang lulus seleksi, diberikan bimbingan mengenai program pendampingan dan pembentukan karakter. Materi yang diberikan antara lain kesehatan reproduksi, pengasuhan anak, psikologi anak, manajemen waktu, dan keterampilan. Kemudian, setelah mahasiswa mendapatkan bimbingan, maka mereka pun langsung terjun untuk mendampingi adik asuhnya. Setiap proses pendampingan selalu diikuti dengan monitoring dan evaluasi untuk
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
116
mengetahui permasalahan sekaligus untuk mencari solusi. Para mahasiswa pendamping juga memperoleh kesempatan mendapatkan penghargaan dari Tim Juri Independen atas keberhasilan mereka dalam mendampingi adik asuh. Kakak asuh wajib mengunjungi adik asuhnya minimal sekali dalam seminggu
selama
setahun.
Dalam
kunjungan
tersebut,
dilakukan
penggalian tentang penyebab mereka putus sekolah dan memotivasi agar mereka mau kembali bersekolah. Tugas-tugas lain yang mesti dilakukan yaitu membantu mencarikan sekolah, mendampingi belajar, mengontrol perkembangan adik asuh, dan mengubah perilaku adik asuh menjadi lebih baik. Selain membantu adik asuh, kakak asuh juga berkewajiban untuk membantu keluarga dari adik asuhnya. Bagi yang anaknya putus sekolah, diberikan penyadaran kepada orangtua mengenai arti penting pendidikan. Dengan demikian, ketika kakak asuh mendorong adik asuh yang putus sekolah agar mau kembali bersekolah, maka didapatkan dukungan dari orangtua yang bersangkutan atau minimal tidak ada resistensi. Mereka juga harus membantu jika keluarga adik asuh menghadapi masalah dalam pelayanan publik, misalnya soal administrasi kependudukan, kesehatan, dan kebutuhan sekolah. Pelaksanaan program CSR selama tiga tahun ini telah berjalan dengan cukup baik dan sukses. Jumlah mahasiswa yang mengikuti program ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014 sebanyak 215 mahasiswa dari 19 perguruan tinggi yang ikut. Kemudian pada 2015 ada 265 mahasiswa dari 21 perguruan tinggi. Adapun pada tahun ini, setidaknya sampai dengan bulan Oktober, telah ada 280 mahasiswa dari 23 perguruan tinggi yang berpartisipasi. Demikian juga dengan jumlah adik asuh yang didampingi selalu meningkat setiap tahun, meskipun persentase dari mereka yang berhasil untuk
BSIAN Seri 2
117
dikembalikan ke sekolah jumlahnya fluktuatif dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2014 sebanyak 215 anak berhasil diasuh dan 107 di antaranya kembali ke sekolah, maka pada tahun 2015 jumlah anak yang diasuh sebanyak 234 dengan 99 di antaranya kembali ke sekolah. Sementara pada tahun ini (per Oktober) ada 285 anak yang diasuh dan 229 dari mereka mau kembali bersekolah. Setelah berjalan selama tiga tahun, inovasi ini dapat dievaluasi dengan jernih. Pada dasarnya, tantangan utama yang dihadapi adalah sulitnya memotivasi anak penyandang masalah sosial yang putus sekolah untuk mau kembali bersekolah karena faktor lingkungan sosial tempat anak berada dan juga kebiasaan serta mentalitas yang telah lama dipupuknya. Mereka telanjur “nyaman” berada di jalanan sehingga tidak mau untuk sertamerta dipaksa untuk belajar dengan disiplin dalam institusi sekolah. Hal ini diperparah oleh sikap sebagian besar orangtua yang tidak menganggap penting pendidikan bagi anaknya. Banyak di antara mereka yang mempekerjakan anaknya untuk mengemis atau mengamen. Karena kendala
ini, maka persentase jumlah adik asuh yang mau kembali bersekolah tidak dapat dicapai seratus persen dan jumlahnya naik turun, meskipun pada tahun ini persentasenya meningkat pesat. Di tengah kendala dan tantangan yang dihadapi tersebut, pihak Dinas Sosial Kota Surabaya yakni bahwa program ini cukup prospektif sehingga akan diterapkan secara berkelanjutan. Potensi keberlanjutan dari program ini diperkuat dengan fakta bahwa program ini melibatkan perguruan tinggi yang tidak pernah kekurangan mahasiswa setiap tahunnya yang bersedia menjadi kakak asuh. Implementasinya bahkan akan terus diperluas agar mampu menjangkau seluruh wilayah di Kota Surabaya. Dinas Sosial Kota Surabaya telah membuat perencanaan program CSR untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Tujuan jangka pendeknya adalah mengembalikan anak putus sekolah ke bangku sekolah sebanyak-banyaknya sehingga program wajib belajar 12 tahun dapat dituntaskan. Adapun tujuan jangka
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
118
panjangnya ialah memberikan bekal pelatihan memasuki dunia kerja kepada anak-anak yang telah menyelesaikan kewajiban belajarnya. Meskipun sasaran utamanya adalah mengembalikan anak yang putus sekolah agar kembali bersekolah, namun program CSR pada dasarnya memiliki banyak manfaat lain sebagaimana diidentifikasi Dinas Sosial Kota Surabaya, yakni: 1) menekan angka anak penyandang masalah sosial; 2) mengidentifikasi masalah sosial lain seperti administrasi kependudukan; 3) memutus rantai kemiskinan dengan membuka peluang kerja yang lebih baik karena berbekal pendidikan yang lebih tinggi; 4) mengubah perilaku anak penyandang masalah sosial menjadi lebih baik; 5) membuka akses informasi bagi masyarakat yang lemah; 6) membuka peluang partisipasi masyarakat dan memunculkan rasa memiliki; 7) menekan anggaran belanja Pemkot Surabaya karena adanya bantuan dari pihak lain; dan 8) meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat seiring semakin terbukanya akses masyarakat terhadap pemerintah. Karena manfaatnya yang luas itulah, inovasi CSR masuk sebagai bagian dari Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Pelaksanaan program CSR juga mampu mengejawantahkan nilai-nilai
kemasyarakatan yang terpuji. Nilai-nilai tersebut adalah: 1) menumbuhkan semangat gotong-royong; 2) menumbuhkan komitmen yang kuat; 3) menumbuhkan empati; 4) menumbuhkan kesadaran, rasa syukur, dan tenggang rasa dalam kehidupan; 5) memunculkan partisipasi masyarakat; 6) meningkatkan kesejahteraan sosial dan mengikis kesenjangan sosial; dan 7) memunculkan sikap rela berkorban demi kepentingan yang lebih besar. Sementara dari sudut pandang pihak-pihak yang terlibat, inovasi CSR memberikan manfaat bagi semua pihak. Adik asuh mendapatkan bimbingan dan motivasi agar mau kembali bersekolah. Demikian pula masalah yang dihadapi oleh keluarganya dibantu dicarikan jalan keluarnya oleh kakak asuh. Adapun bagi mahasiswa yang menjadi kakak asuh,
BSIAN Seri 2
119
mengikuti program CSR memberikan pengalaman berharga sekaligus
menajamkan kepekaan dan empati sosialnya. Mengikuti program ini juga menggugurkan kewajibannya untuk mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) karena mahasiswa peserta CSR dianggap sudah mengikuti KKN, yakni KKN tematik yang berlangsung selama satu tahun. Sementara bagi pihak Pemerintah Kota Surabaya, program CSR memberikan kesempatan untuk melakukan program yang inovatif dengan biaya yang minim. Anggaran kegiatan ini sangat terjangkau karena mahasiswa yang menjadi kakak asuh tidak mendapat honor. Sebaliknya, kegiatan ini bahkan banyak melibatkan
bantuan dari pihak swasta dan masyarakat yang turut berpartisipasi, misalnya membantu biaya pendidikan dan perlengkapan sekolah.
Basekolah Kota Bitung 29 Pemerintah daerah lain yang juga menyelenggarakan inovasi untuk menangani masalah anak putus sekolah adalah Pemerintah Kota Bitung yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara. Inovasi tersebut dinamakan dengan Basekolah. Latar belakang dari adanya kebijakan tersebut adalah berita dari sebuah media lokal yang menyebutkan adanya 1.830 anak putus sekolah dasar di Kota Bitung pada tahun 2011. Terkejut dengan berita tersebut, Walikota memerintahkan jajarannya di SKPD terkait untuk mengecek kebenaran berita tersebut. Dari keterkejutan tersebut, kemudian muncul ikhtiar untuk mengatasi fenomena banyaknya anak putus sekolah di Kota Bitung. Kemudian lahirlah program Basekolah yang merupakan kerjasama multipihak antara pemerintah daerah, khususnya beberapa SKPD terkait urusan pendidikan dan penanganan kemiskinan, pemerintah kecamatan dan kelurahan, organisasi masyarakat sipil, organisasi profesi pendidikan,
Bagian ini didasarkan pada BASICS, 2013, “Basekolah: Gerakan Pemerintah Kota Bitung dalam Mengembalikan Anak Putus Sekolah di Kota Bitung, Sulawesi Utara”, Seri Lembaran Informasi BASICS, No. 12, September 2013, hal. 1-7; Kementerian Dalam Negeri, BASICS dan Kinerja-USAID, 2014, “Alih Pengalaman Praktik Cerdas Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar”, hal. 27-34; dan video berjudul “Program Bitung BASEKOLAH” yang dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=saWwco1DunQ.
29
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
120
kelompok kepemudaan, dan kelompok perempuan. Kebijakan ini juga didukung penuh oleh DPRD Kota Bitung. Program Basekolah adalah bagian dari program yang didukung oleh proyek BASICS (Better Approaches for Service Provision through Increased
Capacities in Sulawesi) yang merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Kanada melalui Canadian International Development Agency (CIDA) dengan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri. Proyek ini bekerja di 10 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Sulawesi Tenggara dalam rangka berkontribusi bagi percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan dan pendidikan, dan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Program Basekolah menjadi bagian dari program yang dibantu pelaksanaannya karena misi untuk mengentaskan anak yang putus sekolah agar dapat kembali bersekolah merupakan upaya yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Dalam mengeksekusi inovasi Basekolah, dilakukan serangkaian tahapan pelaksanaan yang terdiri atas empat kegiatan. Langkah pertama adalah pembentukan kebijakan daerah. Inovasi ini dituangkan dalam Peraturan Walikota Bitung Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Program Penanggulangan Anak Usia Sekolah Putus Sekolah yang kemudian diturunkan melalui Surat Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kota Bitung untuk teknis pelaksanaanya. Penerbitan kebijakan tersebut menjadi tanda bagi komitmen pemerintah daerah untuk serius melaksanakan inovasi. Langkah ini juga sekaligus menjamin keberlanjutan program. Langkah kedua adalah pembentukan Tim Kerja Pendidikan. Tim ini terdiri atas dua organ, yakni TPPK (Tim Pengembangan Pendidikan Kecamatan) dan BKR (Bina Keluarga Remaja). Keduanya saling terkait dan bekerja bersama bahu-membahu untuk mengurangi anak putus sekolah. TPPK bekerja di tingkat kecamatan dan dibentuk melalui SK Kepala Dikpora di mana di dalamnya terdiri dari unsur-unsur pemerintah kecamatan, UPTD
BSIAN Seri 2
121
(Unit Pelaksana Teknis Daerah) Pendidikan, pengawas sekolah, kepala
sekolah, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pers, dan pengusaha. Tugas utama
tim
ini
adalah
mendukung
pemerintah
daerah
dalam
pengembangan pendidikan, terutama penanganan anak putus sekolah. Untuk terjun langsung di tengah masyarakat, TPPK bekerjasama dengan BKR yang bekerja di tingkat kelurahan. Tim ini terdiri dari kader-kader remaja dengan dukungan oleh lurah, kepala lingkungan, dan ketua rukun tetangga. Tim ini memberikan penanganan langsung pada keluarga yang memiliki anak putus sekolah. Tugas utamanya memberikan konsultasi dan pembinaan pada anak putus sekolah dan orangtua anak bersangkutan, serta inverstigasi terkait masalah pribadi dan sosial yang menjadi penyebab putus sekolah. BKR dibentuk di kelurahan-kelurahan kantong anak putus sekolah pada dua kecamatan di Kota Bitung. Langkah ketiga adalah penguatan peran sekolah. Area persekolahan yang menjadi fokus penguatan adalah pendataan, penyelenggaraan kurikulum pendidikan, dan manajemen berbasis sekolah. Pendataan berfokus pada data anak putus sekolah sekaligus penyebabnya. Kegiatan ini dilakukan oleh TPPK dan pihak sekolah sendiri. Sementara itu, untuk memberikan penguatan dalam kurikulum dan manajemen berbasis sekolah, diadakan pelatihan bagi kepala sekolah, guru, dan komite sekolah dalam memahami, menyusun, dan menerapkan MBS dan KTSP. Kemajuan atas manajemen dan kurikulum diyakini akan berkontribusi dalam menekan jumlah anak putus sekolah sekaligus mampu mendorong anak putus sekolah agar mau kembali ke sekolah. Langkah keempat adalah penguatan Tim Kerja Pendidikan (TPPK dan BKR). Dalam hal TPPK, hal ini dilakukan salah satunya melalui pertemuanpertemuan koordinasi antara TPPK dan Dikpora. Dalam pertemuan ini, Dikpora dapat mendorong TPPK agar lebih berkinerja dan sebaliknya kinerja Dikpora dapat dipantau oleh TPPK. Penguatan TPPK juga dilakukan melalui penciptaan tata kelola organisasi yang mencakup sistem, prosedur,
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
122
dan mekanisme yang baku. Tidak ketinggalan dukungan anggaran yang memadai. Adapun berkaitan dengan BKR sebagai tim yang bekerja langsung di tingkat masyarakat, penguatan kapasitas dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam kerja-kerja krusial seperti pendataan dan
pelacakan anak putus sekolah, cara mengedukasi dan menyadarkan anak putus sekolah, dan melakukan koordinasi dengan para pihak di kelurahan. Setelah
berjalan
selama
beberapa
saat,
inovasi
Basekolah
telah
menghasilkan beberapa dampak dan perubahan yang positif. Pertama adalah terbitnya kebijakan daerah yang mengatur mengenai inovasi Basekolah, yakni melalui Perwalkot Bitung Nomor 4 Tahun 2013 yang telah disebutkan di atas. Peraturan tersebut memuat upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam pendataan anak putus sekolah, tim kerja yang menangani anak putus sekolah di tingkat kecamatan dan kelurahan, tahapan-tahapan yang disarankan untuk dilakukan, serta sumber pendanaan utama yang mendukung (APBD dan APBN). Selain itu, Kepala Dinas Dikpora Kota Bitung juga menuangkan kebijakan terkait dengan Tim TPPK dan kebijakan terkait petunjuk teknis bantuan siswa anak putus sekolah. Kebijakan tersebut dalam bentuk Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Bitung tentang pembentukan Tim Pengembangan Pendidikan Kecamatan (TPPK) Kota Bitung. Manfaat yang kedua adalah meningkatnya kapasitas sekolah. Peningkatan terjadi setidaknya dalam tiga hal: kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), manajemen berbasis sekolah (MBS), dan pendataan. Hampir seluruh sekolah tingkat pendidikan dasar mendapatkan program peningkatan kapasitas dalam tiga hal tersebut. Untuk KTSP dan MBS yang merupakan bagian dari indikator SPM pendidikan dasar, kemajuan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah:
BSIAN Seri 2
123
Tabel 6. Kemajuan Dua Indikator SPM Pendidikan Dasar Pasca-Basekolah
Sumber: Dikpora Kota Bitung dalam BASICS, 2013: 5
Manfaat ketiga adalah meningkatnya angka partisipasi murni (APM) pendidikan. Data menunjukkan bahwa baru dua bulan bekerja langsung di masyarakat sejak pertengahan 2013 telah ada 80 anak putus sekolah sudah kembali ke sekolah. Kembalinya mereka ke sekolah tentu secara langsung meningkatkan angka partisipasi pendidikan. Hal ini diharapkan semakin meningkat hingga tidak ada lagi anak yang putus sekolah dan angka partisipasi murni mencapai 100 persen. Manfaat keempat adalah meningkatnya alokasi anggaran. Implikasi dari Perwalkot Bitung Nomor 4 Tahun 2013 yang mengatur mengenai program Basekolah adalah komitmen pendanaan dari instansi yang terlibat. Memang setiap tahun dana pendidikan Kota Bitung cukup tinggi, namun tidak ada yang secara khusus dialokasikan untuk menangani anak putus sekolah. Misalnya, pada APBD tahun 2012, alokasi dana untuk pendidikan telah melebihi 20 persen sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni lebih dari Rp 17 juta atau 28,84 persen dari total APBD, namun dana khusus untuk menangani anak putus sekolah tidak secara eksplisit. Sementara sejak tahun 2013,
yakni
tahun
dimulainya
program
Basekolah,
APBD
telah
mengalokasikan dana khusus untuk penanganan anak putus sekolah sebesar Rp 980 juta, yang di dalamnya termasuk untuk mendukung kegiatan TPPK dan beasiswa anak putus sekolah dari keluarga miskin yang kembali bersekolah.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
124
Manfaat kelima adalah pelembagaan Tim Kerja Pendidikan dalam bentuk TPPK di kelurahan dan BKR di kecamatan. Keberadaan institusi ini menjadi modal untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Kota Bitung secara partisipatif dan terkoordinasi. Dengan terbentuknya tata kelola organisasi dan pengalaman-pengalaman konkret dalam menangani anak putus sekolah
serta
keterampilan-keterampilan
dalam
mendukung
pengembangan pendidikan, mereka dapat terus berkiprah sesuai dengan tantangan masa depan yang dihadapi program wajib belajar sembilan tahun telah tercapai dan tidak ada lagi anak putus sekolah.
Perbandingan dan Pembelajaran Program inovasi penanganan anak putus sekolah yang dilaksanakan oleh dua pemerintah daerah di atas menarik untuk didiskusikan dan dijadikan inspirasi sebagai bahan pembelajaran. Berawal dari keprihatinan akan banyaknya anak putus sekolah di wilayahnya yang mengancam masa depan kualitas SDM dan pembangunan wilayah, maka kedua pemerintah daerah berbenah dengan meluncurkan kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut. Dari situ kemudian lahirlah CSR di Kota Surabaya dan Basekolah di Kota Bitung. Baik CSR maupun Basekolah diselenggarakan dengan tujuan utama membantu
anak
yang
putus
sekolah
untuk
dapat
melanjutkan
pendidikannya. Tujuan ini lahir dengan didasari oleh keyakinan yang tegas bahwa pendidikan adalah hak yang harus dinikmati semua anak. Selain itu, dengan pendidikan yang berkualitas anak juga dibantu untuk memperbaiki kualitas hidup dan keluarganya dalam berbagai segi karena pendidikan adalah kunci untuk menapi kemajuan dan kesuksesan. Maka, tidak peduli alasan dan dalih apapun yang ada di balik fenomena putus sekolah, anakanak tersebut harus dikembalikan ke sekolah secepatnya meskipun hal ini dilakukan tanpa memaksa.
BSIAN Seri 2
125
Kesamaan lain dari kedua inovasi tersebut adalah adanya kesadaran yang
serupa bahwa upaya penanganan masalah anak putus sekolah tidak dapat dilakukan oleh pemerintah secara sendirian. Memang benar bahwa
pemerintah mengemban kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi seluruh warganya dan negara dibentuk salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun bukan berarti bahwa pemerintah satu-satunya pihak yang bertanggungjawab dalam sektor pendidikan. Dibutuhkan peran serta dari elemen-elemen lain di luar pemerintah (masyarakat dan swasta) untuk menangani berbagai masalah yang eksis dalam dunia pendidikan, salah satunya masalah anak putus sekolah. Hal inilah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Kota Bitung melalui inovasinya masing-masing yang melibatkan berbagai pihak di luar pemerintah. Inovasi CSR memberdayakan mahasiswa untuk mendampingi anak asuh agar mereka mau kembali ke bersekolah dan inovasi Basekolah melibatkan berbagai unsur di masyarakat dan dunia usaha dalam wadah TPPK dan BKR untuk melakukan langkah serupa. Dengan adanya keterlibatan dan dukungan dari berbagai pihak, maka upaya penanganan anak putus sekolah dapat berlangsung dengan lebih sinergis dan masif. Selain berbagai kesamaan di atas, inovasi CSR dan Basekolah juga memiliki beberapa perbedaan dalam berbagai hal. Perbedaan tersebut timbul karena pada dasarnya setiap inovasi lahir dari tantangan khas yang dihadapi suatu daerah dan direspons sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh daerah tersebut. Maka wajar jika timbul banyak perbedaan dalam elemen-elemen inovasi, meskipun inovasi tersebut sesungguhnya ditujukan untuk menjawab persoalan yang serupa. Tabel 6 berikut menunjukkan perbandingan antara inovasi CSR dan Basekolah yang ditinjau dari faktor-faktor kunci pelaksanaan inovasi.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
126
Tabel 6. Perbandingan Inovasi CSR dan Basekolah Perspektif Aktor Pelaksana
Inisiator Manfaat Tambahan
Sumber pendanaan Prasyarat Replikasi
CSR
Basekolah
• Dinas Sosial • Mahasiswa
• Dikpora • TPPK (pemerintah kecamatan, UPTD Pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pers, pengusaha) • BKR (kader remaja, kepala lingkungan, ketua rukun tetangga) Dinas Sosial Pemerintah daerah dan lembaga donor • Menekan angka anak Penguatan kapasitas sekolah penyandang masalah sosial dalam penyelenggaraan • Mengidentifikasi dan kurikulum pendidikan dan menyelesaikan masalah sosial manajemen berbasis sekolah dan pelayanan publik yang dihadapi keluarga anak Tanpa biaya kecuali untuk APBD dan lembaga donor perekrutan dan pelatihan mahasiswa (APBD) • Jumlah perguruan tinggi yang • Komitmen yang kuat dari memadai unsur pemerintah, swasta, • Data yang lengkap tentang dan masyarakat anak putus sekolah • Penguatan kapasitas sekolah • Sosialisasi yang menarik dan • Dukungan pendanaan yang efektif memadai • Penguatan kapasitas • Adanya regulasi yang mahasiswa dalam mengatur inovasi mendampingi adik asuh
Dari perbandingan di atas, kita dapat melihat secara utuh perbedaan di antara kedua inovasi dalam lima perspektif, yakni aktor pelaksana, inisiator, manfaat tambahan (di luar pengentasan anak putus sekolah sehingga mau kembali bersekolah), sumber pendanaan, dan prasyarat replikasi. Ada
BSIAN Seri 2
127
beberapa hal yang patut dicatat di sini. Dari segi pihak yang terlibat, terlihat
bahwa inovasi Basekolah melibatkan jauh lebih banyak pihak dibandingkan
dengan inovasi CSR yang hanya melibatkan Dinas Sosial dan mahasiswa
yang menjadi kakak asuh. Dalam inovasi Basekolah ada banyak sekali pemangku kepentingan pendidikan yang turut berpartisipasi dalam menangani anak putus sekolah. Tingkat pemerintahan yang terlibat juga lebih banyak karena juga melibatkan pemerintah kecamatan di samping Dinas. Belum lagi jika kita mempertimbangkan peran Walikota yang menerbitkan Perwalkot dan dukungan DPRD setempat. Perbedaan kontras juga dapat dilihat pada sisi sumber pendanaan. Pelaksanaan inovasi CSR membutuhkan biaya yang tidak banyak, yakni hanya untuk perekrutan dan pelatihan bagi mahaiswa yang menjadi kakak asuh. Adapun untuk pelaksanaan di lapangan justru tidak membutuhkan biaya sama sekali karena mahasiswa selaku pelaksananya tidak memperoleh honor. Ini berbeda halnya dengan inovasi Basekolah yang membutuhkan dana dari APBD sebesar hampir Rp 1 miliar, di luar dari dana yang digelontorkan oleh pihak donor yang pada tahun 2013 mencapai lebih dari Rp 219 juta (Kementerian Dalam Negeri, BASICS, dan Kinerja-USAID, 2014: 34). Kebutuhan dana yang cukup besar ini disebabkan salah satunya karena pelaksana di lapangan, yakni TPPK yang notabene terdiri atas banyak elemen, memperoleh dana pembentukan dan operasi. Bagi pemerintah daerah lain yang ingin mereplikasi inovasi serupa, maka perbandingan pada perspektif prasyarat replikasi patut untuk dicermati. Daerah harus melakukan asesmen prasyarat replikasi apa yang paling siap dan tersedia di tempatnya sebelum memutuskan pendekatan inovasi mana yang akan direplikasi. Misalnya, jika suatu daerah hanya memiliki sedikit perguruan tinggi namun kalangan masyarakat dan pengusahanya memiliki keprihatinan yang mendalam atas banyaknya anak putus sekolah dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk mau terlibat memecahkan masalah, maka inovasi Basekolah layak menjadi pilihan untuk direplikasi.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
128
Adapun faktor keberadaan dan dukungan lembaga donor bukanlah syarat mutlak dari pendekatan ini karena sumber pendanaan lain dapat digali, misalnya dari dana CSR perusahaan. Jika memang faktor anggaran menjadi kendala, maka pembiayaan untuk kegiatan TPPK juga bukan hal yang niscaya karena jika mereka yang tergabung dalam TPPK memang tulus untuk membantu anak putus sekolah, mestinya tidak akan keberatan bekerja sukarela. Dari pengalaman pelaksanaan inovasi penanganan anak putus sekolah di Kota Surabaya dan Kota Bitung, dapat diperoleh beberapa lessons learned
sebagai berikut: Penanganan masalah anak putus sekolah tidak bisa dilakukan secara sendirian. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang utama perlu mengajak pihak-pihak lain di luar dirinya untuk membantu pelaksanaan program yang ditujukan untuk mengembalikan anak yang putus sekolah agar mau kembali bersekolah. Mengenai pihak mana yang diajak terlibat sangat bergantung pada profil, komposisi, dan kesiapan keterlibatan dari elemen-eleman yang ada di masyarakat, meskipun idealnya setiap elemen berada dalam semangat dan “frekuensi” yang sama. Pelaksana lapangan harus memiliki kualitas yang mumpuni. Upaya penanganan masalah anak putus sekolah tidak cukup hanya didasari semangat dan niat baik. Komitmen yang tinggi akan membuat pelaksana bekerja ikhlas dan tanpa pamrih. Namun yang juga tak kalah penting adalah adanya kapasitas yang cukup untuk mendampingi dan membimbing anak yang putus sekolah beserta orangtuanya. Untuk itulah sebelum turun ke lapangan, mahasiswa yang akan menjadi kakak asuh diberikan pelatihan dan pembekalan. Demikian pula yang menjadi anggota TPPK dan BKR adalah remaja dan orang dewasa yang terpilih.
BSIAN Seri 2
129
Upaya penanganan anak putus sekolah dapat disambungkan dengan
upaya lain yang lebih luas dan strategis. Kedua inovasi yang diuraikan percaya bahwa upaya untuk mengembalikan anak putus sekolah kembali
bersekolah
perlu
dibarengi
dengan
upaya
lain
agar
memberikan dampak yang lebih maksimal. Jika dalam CSR upaya itu dilakukan secara bersama-sama dengan pemberian keterampilan bagi anak dan penanganan masalah sosial dan pelayanan publik yang dihadapi keluarga anak, maka dalam Basekolah upaya tersebut dihubungkan dengan peningkatan kapasitas sekolah agar mampu mencapai SPM. Dari pengalaman tersebut, kita tahu bahwa upaya penanganan masalah anak putus sekolah memang sebaiknya tidak berdiri sendiri. Pendekatan persuasif dan kekeluargaan pada keluarga anak. Keluarga adalah lingkungan terdekat anak sehingga pengaruhnya paling besar terhadap anak. Masalah yang ada di keluarga juga seringkali menjadi faktor yang memengaruhi anak sehingga terpaksa putus sekolah. Oleh karenanya,
penanganan
masalah
putus
sekolah
juga
harus
mengintervensi keluarga anak. Pendekatan persuasif dan dialogis diberikan secara empatik kepada mereka sehingga mereka berubah pola pikirnya dengan memandang pendidikan anak sebagai hal yang mahapenting. Dengan demikian, tujuan pelaksana lapangan untuk mengembalikan anak ke sekolah turut didukung oleh keluarga. Demikianlah lessons learned yang dapat dipetik dari dua pengalaman berinovasi untuk menangani masalah anak putus sekolah. Meskipun tidak sempurna, keduanya bisa dianggap sebagai best practices di antara segelintir pemerintah daerah yang telah melakukan upaya tersebut sehingga cukup representatif untuk dieksposisikan di sini. Masih banyak pemerintah daerah yang angka anak putus sekolahnya tinggi. Dengan adanya contoh yang baik tersebut, diharapkan ada banyak daerah yang tertarik untuk mereplikasi inovasi tersebut, entah dalam bentuk adopsi,
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
130
adaptasi, maupun modifikasi. Semua itu demi terwujudnya hak anak akan pendidikan yang berkualitas secara menyeluruh.
Daftar Pustaka Arizona, Mauludea Mega. 2013. “Kajian tentang Siswa Putus Sekolah Pada Tingkat SMA/SMK Di Kabupaten Gresik (Studi Kasus Di Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik)”. Swara Bhumi, Vol. 2, No. 3, hal. 151-158. Astuti, Runik Sri. “Melibatkan Mahasiswa Berantas Kemiskinan”, dalam
Kompas, 17 Oktober 2016, hal. 24. Bagoe, Rizal. 2014. “Faktor-faktor Penyebab Anak Putus Sekolah di Desa Suka Damai Kecamatan Bulango Utara kabupaten Bone Bolango”, hal. 1-7,
dalam
https://www.academia.edu/8314401/Faktor-
Faktor_Penyebab_Anak_Putus_Sekolah_Di_Desa_Suka_Damai_Kecamat an_Bulango_Utara_Kabupaten_Bone_Bolango. BASICS. 2013. “Basekolah: Gerakan Pemerintah Kota Bitung dalam Mengembalikan Anak Putus Sekolah di Kota Bitung, Sulawesi Utara”, Seri Lembaran Informasi BASICS, No. 12, September 2013, hal. 1-7. Dewi, Ni Ayu Krisna, Anjuman Zukhri, dan I Ketut Dunia, 2014, “Analisis Faktor-faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Usia Pendidikan Dasar di Kecamatan Gerokgak Tahun 2012/2013”. Jurnal Jurusan Pendidikan
Ekonomi, Vol. 4, No. 1. Giavrimis,
Panagiotis
dan
Efstratios
Papanis.
2008.
“Sociological
Dimensions of School Failure: The Views of Educators and Students of Educational Schools”. The Journal of International Social Research, Volume 1/5, hal. 326-354.
BSIAN Seri 2
131
Kementerian Dalam Negeri, BASICS dan Kinerja-USAID. 2014. “Alih
Pengalaman Praktik Cerdas Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar”, dalam
http://www.kinerja.or.id/pdf/90313f74-
fb42-4596-83cb-91d4a23eb55e.pdf. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2015. Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia 2015. Jakarta: Kementerian
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
dan
Reformasi
Birokrasi. Panagiotis, Giavrimis dkk. 2011. “Empirical Research on Education and Student
Failure:
Teachers’
Psychological
and
Sociological
Interpretations”. International Journal of Humanities and Social
Science, Vol. 1, No. 9, hal. 40-47. Purnama, Desca Thea. 2014. “Fenomena Anak Putus Sekolah dan Faktor Penyebabnya
di
Kota
Pontianak”,
hal.
1-17,
dalam
http://jurmafis.untan.ac.id/index.php/sociologique/article/download/51 0/pdf. Rumberger, Russell W. 2001. “Why Students Drop Out of School and What Can be Done”. Paper prepared for the Conference, .“Dropouts in America: How Severe is the Problem? What Do We Know about Intervention and Prevention?.” Harvard University, January 13, 2001, dalam
https://www.civilrightsproject.ucla.edu/research/k-12-
education/school-dropouts/why-students-drop-out-of-school-andwhat-can-be-done Berita “Kualitas Tenaga Kerja Terancam”, Kompas, 4 Oktober 2016, hal. 15. “400.000 Siswa SD Tak Naik Kelas”. Kompas, 10 Oktober 2016, hal. 1.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
132
Video https://www.youtube.com/watch?v=j2yStEORBzM https://www.youtube.com/watch?v=saWwco1DunQ
133
BSIAN Seri 2
“COLLABORATIVE GOVERNANCE” PENANGANAN KORBAN KEKERASAN Forum Penanganan Korban Kekerasan DIY Nugroho Ario Setiawan
Latar Belakang
K
ekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena yang sering kita jumpai di media massa. Berbagai berita mengenai pencabulan,
pemerkosaan,
pemukulan
terhadap
perempuan,
bahkan korban di bawah umur, seringkali menghiasi layar kaca.
Pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan juga bervariasi, mulai dari pacar, suami, tetangga, teman, orang yang tidak dikenal, hingga kakek si korban. Kasus tindak kekerasan terhadap korban di bawah umur bisa kita lihat pada Yuyun, siswi SMP berumur 14 tahun dari Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 orang remaja kampungnya ketika perjalanan pulang sekolah. Pelaku kekerasan juga tidak selalu identik dengan masyarakat berpendidikan rendah atau masyarakat dengan tingkat ekonomi yang
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
134
rendah. Hal tersebut bisa dilihat pada kasus dosen UI, Sitok Srengenge, sebagai pelaku pemerkosaan mahasiswanya sendiri, RW (24 tahun) hingga hamil 7 bulan (www.merdeka.com). Gambar 20. Jumlah kasus Kekerasan Terhadap Wanita tahun 2004-2015
Sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016
Intensitas perilaku kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tidak bisa dianggap enteng. Data yang dihimpun Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2016 menunjukkan peningkatan jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) secara konsisten sejak 2004 hingga 2009 dan berlanjut kembali pada tahun 2010 hingga 2015. Secara spesifik, pada tahun 2008, 2009, dan 2012 tercatat lonjakan peningkatan jumlah KTP menjadi dua hingga tiga kali lipat daripada tahun sebelumnya. Tren peningkatan tersebut masih belum mencakup keberadaan korban kekerasan yang malu untuk melaporkan dirinya kepada lembaga mitra Komnas Perempuan. Sehingga, gambaran tersebut hanyalah puncak dari gunung es fenomena perilaku kekerasan terhadap perempuan. Penanganan terhadap korban kekerasan seringkali ditemukan berjalan sendiri-sendiri pada instansi pemerintah, rumah sakit dan LSM. Seorang korban kekerasan seringkali hanya mengakses layanan dari 1 lembaga saja, misal layanan konseling pada LSM Wanita atau pelaporan kasus di kepolisian. Mereka jarang memiliki insiatif untuk mengakses layanan pada
BSIAN Seri 2
135
lembaga lain yang sebenarnya juga dibutuhkan, seperti (a) penanganan
medis dan psikologis di rumah sakit, (b) tempat perlindungan sementara
atau (c) bantuan hukum apabila diperlukan. Padahal, kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh korban tindak KTP pasca-kejadian kekerasan, seringkali membutuhkan pelayanan yang beragam. Sebagai contoh kasus kekerasan suami terhadap istri yang berposisi sebagai ibu rumah tangga dan telah memiliki 1 anak. Sebagai korban tindak kekerasan, ibu tersebut membutuhkan tidak hanya pemeriksaan kesehatan dan visum yang biasanya disediakan oleh instansi Pemerintah, tetapi juga mencakup
pelayanan
konseling
(psikologis),
tempat
perlindungan
sementara (shelter), dan bantuan hukum (ligitatif). Selain itu, sebagai seorang ibu rumah tangga yang telah lari dari rumahnya dengan membawa anaknya,
tentunya
juga
membutuhkan
pelatihan
wirausaha
guna
menyokong hidupnya di masa depan. Instansi pemerintah sendirian tidak akan mampu memberikan keseluruhan pelayanan secara maksimal dengan sumber daya yang dimilikinya. Apalagi jika terdapat banyak korban yang melapor dan membutuhkan shelter dalam satu waktu. Selain itu, kelengkapan data mengenai korban KTP hanya bisa diperoleh, jika menggabungkan data korban yang dimiliki oleh instansi pemerintah yang memberikan pelayanan, serta LSM dan pihak swasta yang menjadi tempat pengaduan dan penanganan korban. Sehingga diperlukan kolaborasi lintas sektor yang mampu menghubungkan dan membagi informasi, sumber daya, aktivitas, dan kapabilitas oleh berbagai organisasi pada 2 sektor atau lebih untuk mencapai outcome bersama yang tidak dapat dicapai oleh masing-masing organisasi tersebut (Bryson, et all, 2006: 44). Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta merupakan pelopor dalam upaya kolaborasi penanganan KTP di Indonesia. Sejak tahun 2004, Pemprov DIY telah mendirikan Forum Penanganan Korban Kekerasan (FPKK). Forum ini berupaya merangkul berbagai pihak mulai dari instansi pemerintah, LSM
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
136
hingga organisasi swasta dalam suatu wadah kerjasama. Sehingga, FPKK merupakan wadah penanganan tindak kekerasan berbentuk jejaring kerjasama yang pertama di Indonesia. Praktik kerjasama lintas sektor dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan sebuah tren tata kelola pemerintahan baru di dunia internasional dan dikenal dengan nama collaborative governance. Sebagai
sebuah praktek baru tata pemerintahan, collaborative governance sendiri dimaknai sebagai sebuah penyelenggaraan pemerintahan di mana satu atau lebih instansi pemerintah secara langsung terlibat dalam proses pembuatan kebijakan secara kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsensus,
dan deliberatif,
yang
bertujuan untuk membuat
atau
mengimplementasikan kebijakan atau mengelola program dan aset publik (Ansell dan Gash, 2007). Praktik collaborative governance telah diterapkan di beberapa negara pada berbagai aspek, mulai dari pelayanan kesehatan (Agbodzakey, 2011), pelaksanaan tanggap bencana (Heather, 2007); pemetaan potensi pembangkitan tenaga angin (Mah dan Hills, 2012), hingga reformasi peraturan daerah (Scott, 2011). Sebagai sebuah praktik kolaborasi penyelenggaraan pemerintahan, FPKK memiliki sebuah forum pertemuan rutin dua bulanan yang mengumpulkan anggotanya dalam membahas isu terkini dan penanganan tindak kekerasan yang telah mereka laksanakan dalam dua bulan terakhir. Melalui forum ini pula, anggota FPKK dapat menginisiasi Perda terkait penanganan korban kekerasan di Provinsi DIY. Keunikan FPKK sebagai jejaring penanganan korban tindak kekerasan, perlu ditelaah lebih lanjut guna mengidentifikasi lebih dalam terkait (a) bentuk kelembagaannya, (b) mekanisme kerja dan fitur-fitur FPKK, (b) sumber daya yang dibutuhkan, (c) tipe kepemimpinannya, dan (d) unsur-unsur pendukung lainnya dalam pelaksanaan. Selain itu konsep collaborative
governance perlu diperkenalkan sebagai panduan dalam membaca
BSIAN Seri 2
137
mekanisme kerja dan unsur-unsur pendukung implementasi kolaborasi dalam FPKK.
Bagian pertama tulisan ini akan menjelaskan secara singkat terkait konsep
collaborative governance sebagai bentuk baru tata pemerintahan. Lalu, pada bagian kedua akan menjelaskan sejarah terbentuknya FPKK sebagai kolaborasi penanganan korban tindak kekerasan. Pada bagian ketiga tulisan ini
berupaya
menjabarkan
secara
mendetail
dimensi
pendukung
implementasi kolaborasi FPKK. Sedangkan pada bagian keempat atau bagian terakhir berisikan pemodelan inovasi jejaring penanganan korban kekerasan yang diciptakan oleh FPKK.
Konsep Collaborative Governance Konsep kerjasama lintas sektor dalam penyelenggaraan pemerintahan memang bukan hal yang baru. Sebelum Collaborative Governance, terdapat konsep kerjasama pemerintah-swasta (Public-Private Partnership) yang muncul sebagai akibat arus pemikiran Reinventing Government dan
New Public Management yang melanda pemerintahan di awal tahun 1960an. Di sisi lain juga bermunculan kerangka kerjasama antar-instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah (Intergovernmental Cooperation). Namun
demikian,
terdapat
poin
perbedaan
antara
Collaborative
Governance dengan dua model kerjasama dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Collaborative Governance lebih melibatkan sektor di luar pemerintah, apabila dibandingkan dengan Intergovernmental
Cooperation yang hanya menggalang kerjasama antar-instansi pemerintah. Sedangkan pada Public-Private Partnership lebih bersifat kerjasama berbasis
kontrak
dan
pembagian
kewenangan.
Berbeda
dengan
Collaborative Governance yang merpakan kerjasama yang mencakup pembuatan kebijakan hingga implementasi program atau layanan yang telah ditetapkan bersama.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
138
Secara teoritis, Collaborative Governance didefinisikan sebagai sebuah
governing arrangement, di mana satu atau lebih instansi pemerintah melibatkan
secara
langsung
stakeholder
non-negara
(non-state
stakeholder), dalam proses pembuatan kebijakan kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsensus, dan deliberatif, serta bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik atau mengelola program atau asset-aset publik (Ansell & Gash, 2007: 2). Melalui definisi tersebut, Collaborative Governance dapat diartikan sebagai sebuah kerjasama, minimal antara dua sektor (state dan non-state), dalam rangka pembuatan kebijakan dan implementasi program atau layanan publik secara bersama. Berdasarkan konsep yang digagas Ansell & Gash, (2007) tersebut, dapat diidentifikasikan 6 kriteria utama dari Collaborative Governance (CG) antara lain: Forum CG dinisiasi oleh agensi atau lembaga pemerintah Partisipan dalam forum CG termasuk aktor di luar pemerintah Partisipan dalam forum CG terlibat secara langsung dalam pembuatan kebijakan publik dan tidak hanya sekedar bersifat konsultatif dengan agensi pemerintah. Forum CG diorganisir secara formal dan bertemu secara kolektif Forum CG bertujuan untuk membuat kebijakan dengan jalan konsensus Fokus kolaborasi terletak pada kebijakan publik atau manajemen publik Forum Penanganan Korban Kekerasan (FPKK) Provinsi DIY merupakan contoh konkrit dari Collaborative Governance. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa karakteristik kunci dari forum tersebut antara lain; Keberadaan suatu forum pengontrol pelaksanaan kolaborasi yang diadakan secara rutin, dan diinisiasi oleh lembaga publik (public
institutions) yakni Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DIY.
BSIAN Seri 2
(collective decision making) tentang perlindungan perempuan,
139
Forum kadangkala juga berfungsi sebagai pembuatan kebijakan daerah
Keterlibatan beragam stakeholder baik state maupun non-state dalam forum tersebut. Fokus dari Collaborative Governance adalah tujuan publik (public purpose) yang mengacu pada permasalahan publik (public problem) yang tidak mampu diselesaikan sendiri (Emerson, Kirk, et all, 2011: 2). Sehingga bentuk
kerjasama yang tidak bertujuan menyelesaikan permasalahan publik tidak dapat dikatakan sebagai Collaborative Governance. Selaras dengan hal tersebut, public problem yang ingin dipecahkan FPKK adalah“Bagaimana cara menangani persoalan Kekerasan tehadap Perempuan (KtP) dan Anak (KtA) secara utuh, optimal serta mampu menjawab semua kebutuhan korban”(BPPM, 2013: 7). Sebagai
sebuah
wadah
collective
decision
making,
Collaborative
Governance bukanlah hanya sekedar proses konsultatif. Collaborative Governance merupakan sebuah komunikasi dan pengaruh yang timbal balik (2 arah) antara instansi pemerintah dan stakeholder lainnya. Instansi pemerintah dan stakeholder terkait harus bertemu dalam suatu proses yang
deliberative dan multilateral atau dalam kata lain kolektif. FPKK memiliki wadah komunikasi deliberatif antar lembaga anggotanya melalui Rapat Besar dan forum kecil Case Conference yang membahas kasus korban kekerasan secara lebih mendalam. Ciri pokok Collaborative Governance terletak pada penekanan atas (a) share informasi, (b) respek terhadap pendapat yang berbeda, dan (c) komitmen pada proses interaksi jangka panjang, dengan pencapaian yang diharapkan tidak hanya memberikan keuntungan satu pihak, namun juga keuntungan bersama (Thomson & Perry, 2006). Sehingga Collaborative Governance dapat dikatakan merupakan sebuah kerjasama dengan komitmen jangka panjang yang memberikan keuntungan bersama bagi para pemrakarsanya.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
140
Collaborative Governance juga merupakan sebuah manajemen interaksi
dimana berbagai stakeholder yang berbeda terlibat untuk membawa input masing-masing untuk tujuan bersama atau tujuan publik (Cordery, 2004; Hartman, 2002). Sehingga Collaborative Governance merupakan sebuah
upaya mensinergikan sumber daya yang ada di masing-masing pihak untuk kemudian digunakan dalam menggerakkan upaya kolaborasi. Sumber daya tersebut meliputi baik sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan fasilitas yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bekerjasama.
Sejarah FPKK Lahirnya FPKK berawal dari pertemuan anggota Pokja III Bidang Perlindungan Perempuan dana Anak, Tim Koordinasi Pembangunan Perspektif Gender (TKPBG) Provinsi DIY 30, yang terdiri dari beberapa LSM antara lain; LPA, LSPPA, SBPY, Rifka Annisa, dan Yasanti. Perwakilan dari masing-masing lembaga anggota Pokja III ini sering berkumpul guna mendiskusikan bagaimana sebaiknya menangani korban tindak kekerasan yang semakin marak di DIY, dengan keterbatasan fasilitas yang selama ini hanya disediakan oleh segelintir LSM perempuan dan anak. Gagasan awal mereka adalah mendirikan sebuah “protection house” yang bernama Rekso Dyah Utami (RDU) pada tahun 2004. Namun, setelah protection
house itu terbentuk, mereka berpikir kembali mengenai tindakan lanjutan setelah korban kekerasan ditampung di RDU. Pada titik inilah, ide tentang forum jejaring lintas sektor muncul guna mengakomodasi berbagai
Tim Koordinasi Pembangunan Berperspektif Gender (TKPBG) dibentuk oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang didorong oleh Inpres no 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Tim ini diketuai oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas, istri dari Sri Sultan HB X, selaku ketua PKK provinsi DIY. TKPBG terdiri atas 3 Kelompok Kerja (Pokja) antara lain Pokja Pengarusutamaan Gender (Pokja I), Pokja Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak (Pokja II), dan Pokja Perlindungan Perempuan dan Anak (Pokja III). FPKK Lahir dari pemikiran Pokja III Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak, dimana semua anggotanya adalah lembaga swadaya masyarakat (hasil wawancara dengan Ketua Pelaksana FPKK) 30
BSIAN Seri 2
141
kebutuhan korban kekerasan seperti layanan medis, bantuan hukum, hingga pemberdayaan ekonomi korban.
Wacana forum jejaring multi-sektor inilah yang oleh Pokja III TKPBG DIY berupaya untuk digulirkan kepada berbagai pihak secara luas. Sebuah pertemuan diadakan Tim Pokja III dengan mengundang berbagai instansi pemerintah
terkait,
Rumah
Sakit
Swasta,
serta
LSM
anak
dan
keperempuanan. Pada pertemuan yang diadakan di Wisma Melati tersebut, Ibu Sarimurti 31 selaku perwakilan Pokja III memaparkan beberapa kondisi faktual yang mendorong perlunya dibentuknya suatu forum. Beberapa alasan dan kondisi faktual yang dipaparkan pada pertemuan itu antara lain; Kasus kekerasan di DIY semakin meningkat baik dari segi frekuensi, bentuk, kualitas,dan target. Telah ada upaya dari masyarakat dan pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan bagi korban kekerasan terhadap perempuan, namun belum dapat memenuhi kebutuhan korban yang bermacam-macam. Para penyelenggara layanan belum tergabung secara sinergi sehingga belum terbentuk sistem rujukan (referral system) yang efektif
dalam
penanganan
korban
kekerasan
terhadap
perempuan. Kesadaran bahwa penanganan korban kekerasan terhadap perempuan tidaklah dapat ditangani oleh satu atau dua lembaga saja. Terdapat keinginan untuk mensikapi SKB antar Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan
Kepala
Kepolisian
Republik
Indonesia
dengan
no.
14/MenPP/Dep.V/X/2002, no. 1329/MenKes/SKB/X/ 2002, no.
Ibu Sarimurti yang sejak awal hingga kini merupakan Ketua Pelaksana FPKK, adalah salah satu anggota Pokja III Tim Koordinasi Pembangunan Berperspektif Gender (TKPBG). Beliau merupakan perwakilan dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yakni LSM yang concern terhadap anak-anak (berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber). 31
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
142
75/HUK/2002,
no.
Pol.B/3084/X/2002,
tentang
Pelayanan
Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh Departemen Kesehatan RI dengan menerbitkan pedoman penatalaksanaan pelayanan terpadu korban kekerasan perempuan (KTP) dan kekerasan terhadap anak (KTA) di rumah sakit. (Saptaningsih, 2007: 48-49)
Berangkat dari beberapa pertimbangan tersebut, akhirnya disepakati oleh perwakilan lembaga yang hadir untuk membentuk suatu forum jejaring dalam penanganan korban kekerasan. Pada pertemuan itu para hadirin juga menyepakati perlunya pembagian peran masing-masing lembaga dalam forum jejaring yang akan terbentuk nanti. Momen inilah yang menandai lahirnya Forum Penanganan Korban terhadap Perempuan dan Anak (FPK2PA), atau yang sejak tahun 2012 berganti nama menjadi Forum Penanganan Korban Kekerasan (FPKK). Keberadaan forum ini disahkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Gubernur DIY no 199 tahun 2004 pada tanggal 22 Mei 2004. Legalitas keberadaan FPKK semakin diperkuat dengan disahkannya Perda DIY no. 3 tahun 2012 tentang Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan dan Pergub DIY no. 66 tahun 2012 mengenai FPKK itu sendiri. Seiring dengan bergulirnya waktu, FPKK mampu membangun sebuah sistem rujukan (referral system) antar lembaga anggota yang tergabung di dalamnya. FPKK melalui instansi pemerintah yang menjadi lembaga anggotanya juga beberapa kali membuat pelatihan tanggap gender dan penanganan korban korban kekerasan. Aktivitas kerjasama inilah yang akan dibahas pada bagian selanjutnya yang menceritakan mengenai mekanisme kerja dan aspek pendukung implementasi kolaborasi FPKK.
Dimensi Pendukung Implementasi Kolaborasi FPKK
143
BSIAN Seri 2
Sebagai sebuah inovasi tata pemerintahan berbentuk collaborative
governance, FPKK perlu ditelaah dari berbagai dimensi kolaborasi. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai penyelenggaraan jejaring penanganan korban kekerasan yang telah dibangun. Beberapa aspek yang akan diulas pada tulisan ini antara lain (a) Struktur Organisasi dan Keanggotaan FPKK, (b) Sistem Jejaring Rujukan FPKK, (c) Forum Komunikasi Lintas-Sektor FPKK, (d) Sumber daya Pendukung FPKK, dan (e) Kepemimpinan Penggerak Kolaborasi FPKK.
Struktur Organisasi dan Keanggotaan FPKK FPKK merupakan sebuah forum koordinasi penanganan korban kekerasan perempuan dan anak yang penyelenggaraannya dilakukan secara berjejaring 32. Sebagai sebuah bentuk koordinasi, sudah sewajarnya FPKK memiliki hubungan antar-anggota yang lebih terstruktur dan pembatasan peran pada masing-masing lembaga anggotanya (Murphy & Fanslow, 2012: 6).
Definisi ini didasarkan pada Perda DIY no. 3 tahun 2012 Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
32
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
144
Gambar 21. Struktur Organisasi FPKK
Sumber: Direktori FKK 2013
Struktur kelembagaan FPKK tidak begitu hierarkis, dan cukup sederhana karena hanya terdiri atas 3 posisi utama yang mengkoordinasi semua lembaga anggotanya ketika pelaksanaan pelayanan. Ketiga posisi tersebut antara lain (1) Ketua Pelaksana, (2) Bendahara, dan (3) Sekertaris/ Sekertariat. Sedangkan, peran Ketua Umum kurang begitu terlihat, karena fungsi koordinasi telah didelegasikan kepada Ketua Pelaksana dalam mengontrol pelaksanaan layanan terhadap korban kekerasan. Lalu, jika dilihat dari struktur tersebut, tidak ada satupun lembaga anggota yang lebih tinggi dari lembaga anggota lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kedudukan lembaga-lembaga anggota FPKK bersifat setara dalam forum (FPKK, 2013: 15). Struktur yang seperti ini cukup bagus dalam membangun komunikasi antar-anggota yang bersifat deliberative dan tetap dikontrol oleh ketua pelaksana. Sosok yang berperan sebagai Pelindung FPKK adalah Gubernur Provinsi DIY yakni Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sedangkan posisi Ketua Umum dipegang oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas (istri Sultan) dengan Ketua
BSIAN Seri 2
145
Pelaksana harian FPKK yakni Ibu Dr. Y. Sari Murti Widyastuti, SH, M.Hum. Beliau adalah Direktur Lembaga Perlindungan Anak DIY yang merupakan
salah satu lembaga anggota FPKK. Beliau dipilih sebagai Ketua Pelaksana sejak awal berdirinya FPKK hingga sekarang. Secara khusus Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM)
Provinsi DIY berfungsi sebagai sekertariat dari FPKK, sehingga salah satu personilnya menjabat sebagai sekertaris 33. Posisi bendahara FPKK juga dipegang salah satu staf BPPM, karena biaya operasional pertemuan FPKK berasal dari anggaran BPPM. Apabila melihat posisi BPPM dan staffnya dalam struktur FPKK, dapat disimpulkan bahwa BPPM merupakan leading
institution dalam FPKK, meskipun ketua pelaksananya berasal dari LSM. Sebagai sebuah jejaring koordinasi, karakteristik FPKK dapat dilihat melalui pembatasan peran masing-masing lembaga anggotanya (Murphy & Fanslow, 2012:6). Hal ini dapat dilihat pada pengelompokan masing-masing lembaga anggota FPKK sesuai bidang keahliannya masing-masing. Terdapat 5 pembagian peran dalam FPKK antara lain; (a) peran Psikologis, (b) peran Sosial, (c) peran Medis, (d) peran Hukum, dan (e) peran Ekonomi (FPKK, 2013). Pembatasan peran ini dilakukan supaya tidak terjadi tumpang tindih antara satu lembaga dengan lembaga lain dalam melayani korban kekerasan. FPKK sendiri memiliki sekitar 46 organisasi anggota yang terdiri dari 32 instansi pemerintah, 11 organisasi LSM, dan 3 organisasi swasta. Komposisi anggota FPKK cukup beragam. Instansi pemerintah anggota FPKK berasal dari 4 pemerintah kabupaten/kota di provinsi DIY dan pemerintah provinsi DIY itu sendiri. Belasan organisasi LSM juga berisikan organisasi Kewanitaan, Keluarga, dan Anak-Anak. Sedangkan dari sektor swasta terdiri atas 2 rumah sakit swasta dan 1 media massa lokal. Keberagaman dan keterjangkauan hingga instansi pemerintah kabupaten/kota, membuat forum ini memiliki 33 Berdasarkan Pergub DIY no 66 tahun 2012, sekertaris FPKK merupakan ex-officio (mantan) Kepala dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DIY.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
146
kekuatan
untuk
menginisiasi
pembuatan
kebijakan
daerah
terkait
penanganan korban kekerasan sekaligus mengontrol pelaksanaannya. Grafik 6. Komposisi Lembaga Anggota FPKK
24%
6% 70%
Pemerintah
LSM
Swasta
Sistem Jejaring Rujukan antar-Lembaga Anggota FPKK Karakteristik utama FPKK sebagai sebuah jejaring kerjasama dapat dilihat pada keberadaan sistem rujukan (referral system) antar-lembaga anggota yang tergabung di dalamnya. Sistem rujukan ini dibangun melalui penetapan contact person dari tiap-tiap lembaga anggotanya. Proses penetapan contact person ini dilakukan secara self-selected oleh tiap lembaga anggota FPKK, dan melaporkannya setahun sekali pada saat Rapat Besar FPKK. Mekanisme rujukan FPKK juga didukung oleh keberadaan unit-unit khusus penanganan korban kekerasan pada instansi pemerintah yang menjadi anggotanya. Unit-unit khusus tersebut ada yang terbentuk sebelum atau setelah bergabung dengan FPKK. Beberapa contoh unit tersebut antara lain;
Unit Penanganan Perempuan dan Anak (Unit PPA) yang dimiliki kepolisian, baik di tingkat Polda, Polresta, maupun Polres di wilayah Provinsi DIY,
BSIAN Seri 2 Unit Pelayanan Krisis Terpadu Perempuan dan Anak (UPKTPA) “Sekar Arum” pada RSUP dr. Sardjito,
147
Trauma Center dan Shelter, pada P2TPA Rekso Dyah Utami, Panti Sosial Karya Wanita (PSKW), LSM Rifka Annisa, dan PKBI.
Selain itu, terdapat beberapa standar prosedur kerja atau Standard
Operation Procedure (SOP) penanganan korban kekerasan yang telah ditetapkan oleh FPKK. Prosedur tersebut telah ditetapkan baik pada level Forum secara umum, maupun pada masing-masing sektor governance. Prosedur-prosedur tersebut antara lain; (1) Prosedur Pelayanan FPKK, (2) Mekanisme Layanan di Rumah Sakit, (3) Mekanisme Layanan di LSM, dan (4) Mekanisme Layanan di bagian UPPA Kepolisian (FPKK, 2013). Keempatnya merupakan prosedur yang ditetapkan forum sebagai pedoman baku penanganan korban kekerasan yang harus dilakukan semua lembaga anggota FPKK. Prosedur pelayanan FPKK secara umum dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 22. Prosedur Pelayanan FPKK
Sumber: Direktori FPKK 2013
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
148
Berdasarkan bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa langkah pelayanan korban kekerasan meliputi beberapa tahap yakni;
Korban datang ke lembaga anggota Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK), kader Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK), atau Pekerja Sosial Masyarakat (PSM). Sebaliknya, lembaga anggota Forum Perlindungan Korban Kekerasan, PKK/PSM juga dapat mendatangi korban.
Apabila korban tidak mampu (karena ekonomi ataupun situasi/ kondisi) memerlukan layanan medis termasuk Visum et-Repartum dan Visum et-
Psikiatricum, maka Sekretariat Forum akan memberikan rekomendasi berupa surat keterangan sebagai pengganti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) guna pembiayaan melalui klaim Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos) Daerah.
Apabila korban tidak mampu (karena ekonomi ataupun situasi/ kondisi) memerlukan layanan hukum maka sekretariat Forum Perlindungan Korban Kekerasan berupaya mencarikan prodeo (bebas biaya) dalam proses beracara di pengadilan.
Apabila anggota Forum Perlindungan Korban Kekerasan mengalami kesulitan dalam pendampingan atau penanganan korban kekerasan maka sekretariat memfasilitasi Case Conference (forum kecil lintas sektor) guna mendapatkan solusi. (FPKK ,2013: 23) Melalui sistem rujukan tersebut, seorang korban tindak kekerasan bisa mendapatkan beragam layanan terkait tindak kekerasan melalui komunikasi di antara lembaga-lembaga anggota FPKK. Korban tindak kekerasan juga memperoleh dukungan jaminan kesehatan daerah yang disediakan oleh Badan Pelaksana Jamkesos provinsi DIY yang merupakan salah satu anggota FPKK. Lebih jauh, FPKK juga memfasilitasi pemberian solusi atas permasalahan kekerasan yang dialami korban melalui case conference, yang penjelasannya dapat dilihat pada bagian selanjutnya.
BSIAN Seri 2
149
Wadah Komunikasi Lintas-Sektor FPKK
Sebagai sebuah bentuk koordinasi, FPKK harus memiliki sistem komunikasi
antara kelompok utama dengan sub-kelompok, mekanisme sharing informasi, perencanaan aktivitas ke depan, dan pemahaman bersama atas misi jejaring (Murphy & Fanslow, 2012:6). Pada FPKK, proses ini dilakukan melalui sebuah forum besar yang mempertemukan seluruh perwakilan
lembaga anggota FPKK. Forum ini biasanya disebut dengan Rapat Besar, yang bertempat di Rekso Dyah Utami dan berlangsung tiap 2 bulan sekali. Rapat
Besar
penanganan
FPKK
biasanya
kekerasan
yang
dilakukan selama
ini
untuk
membahas
ditangani
oleh
tentang lembaga
anggotanya. Pertemuan ini digunakan untuk mengecek implementasi pelayanan selama ini, apakah tiap-tiap lembaga anggota yang merupakan penyedia layanan telah menyediakan public service dan menerima rujukan dari lembaga lain sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan forum. Pada forum ini dibicarakan mengenai permasalahan yang muncul dalam proses penanganan dan perujukan Korban Tindak Kekerasan (KTP). Melalui pertemuan ini, satu lembaga anggota bisa menegur atau memperingatkan lembaga lain apabila tidak mau menerima rujukan Korban Tindak Kekerasan (KTP). Selain itu, pertemuan ini juga digunakan untuk mensosialisasikan halhal baru terkait kekerasan, misalnya peraturan perundangan baru, pengaruh pemberlakuan BPJS terhadap Jamkesos, dan pengetahuan baru lainnya.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
150
Gambar 23. Suasana Rapat Besar FPKK
Selain Rapat Besar FPKK, terdapat forum komunikasi lain yang lebih kecil ukurannya, dan seringkali diadakan oleh lembaga anggota FPKK. Forum tersebut bernama Case Conference atau forum pembahasan kasus. Pada forum ini dilakukan diskusi terbatas antar lembaga terhadap satu kasus tertentu yang dirasa rumit dan/atau penanganannya multi-sektor. Tidak semua lembaga anggota ikut dalam Case Conference ini, namun hanya lembaga yang dirasa terkait dengan permasalahan korban dalam kasus yang dibahas. Tempat dilaksanakan Case Conference ini pun juga fleksibel sesuai dengan lembaga yang mengundang. Lembaga yang mengundang tidak mesti Rekso Dyah Utam (RDU), namun bisa juga LSM atau Rumah Sakit Swasta yang merasa perlu untuk berdiskusi mengenai penanganan terbaik dari suatu kasus.
Gambar 24. Suasana Case Conference di salah satu ruang P2TPA Rekso Dyah Utami (RDU)
151
BSIAN Seri 2
Sumber Daya Pendukung Implementasi Kolaborasi FPKK Salah satu keuntungan dari praktek kolaborasi pemerintahan adalah potensinya untuk berbagi dan meningkatkan kapasitas sumber daya yang ada (Thomson and Perry, 2006). FPKK dibentuk guna mengkoordinasikan kapasitas sumber daya manusia, finansial, dan fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing anggotanya 34. Sumber daya tersebut bisa berupa sumber daya manusia seperti; Konselor psikologi atau Psikolog, yang dimiliki baik LSM maupun RS pemerintah dan swasta, Konselor hukum, yang dimiliki oleh P2TPA Rekso Dyah Utami dan beberapa LSM seperti Rifka Annisa dan LBH APIK Jogja, Dokter dan perawat di rumah sakit pemerintah dan swasta, yang memberikan layanan medis terkait visum dan kondisi korban, 34 Hal ini sesuai dengan program utama FPKK no 3 yang berbunyi “Menghimpun, menggerakkan, menyediakan, dan memanfaatkan sumber daya yang berasal dari pusat, daerah, masyarakat, dan bantuan luar negeri secara efektif dan efisien untuk kegiatan FPKK” (FPKK, 2013: 19)
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
152
Pengasuh di rumah aman/ shelter, dan
Fasilitator pemberdayaan perempuan atau Pekerja Sosial yang dimiliki Rekso Dyah Utami (RDU) atau Panti Sosial Karya Wanita (PSKW).
Sumber daya kedua berupa unit penanganan seperti; (a) Unit Penanganan Perempuan dan Anak (Unit PPA) yang dimiliki kepolisian, baik di Polda, Polresta, maupun Polres. Rumah sakit pemerintah seperti RSUP Sardjito juga memiliki unit khusus yakni Unit Pelayanan Krisis Terpadu Perempuan dan Anak (UPKTPA) “Sekar Arum”. Unit penanganan ini juga ada yang berupa (b) Trauma Center sekaligus Shelter, seperti yang dimiliki oleh P2TPA Rekso Dyah Utami, Panti Ssosial Karya Wanita (PSKW), LSM Rifka Annisa, dan PKBI. Lalu, sumber daya ketiga, bisa berupa fasilitas-fasilitas teknis seperti; (a) mobil penjemputan korban dan (b) ruang rapat FPKK yang dimiliki oleh Rekso Dyah Utami, (c) fasilitas medis rumah sakit baik untuk visum maupun penanganan medis lainnya, dan lain sebagainya. Kemudian sumber daya keempat yakni sumber daya finansial. Sumber daya ini berupa Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos) DIY. Jamkesos ini dikelola oleh pemerintah provinsi DIY melalui UPT Dinas Kesehatan yaitu Badan Pelaksana Jamkesos (Bapeljamkesos). Terdapat kesepakatan forum bahwa lembaga layanan medis seperti puskesmas dan rumah sakit dapat mengklaim dana ini, apabila memenuhi dua syarat, yakni (a) Surat Keterangan Tanda Miskin (SKTM) yang diterbitkan oleh sekertariat FPKK, dan (b) Diagnosa Dokter. Melalui dana Jamkesos ini, korban kekerasan tidak akan dipungut biaya sepeserpun selama menjalani pelayanan medis. Menariknya, dana Jamkesos ini tidak hanya ditujukan kepada korban kekerasan yang secara finansial memang tidak mampu, namun juga korban yang“tidak mampu karena keadaan 35”.
Contoh dari korban kekerasan yang tidak mampu karena keadaan ini misalnya; korban yang lari dari rumahnya ketika terjadi peristiwa kekerasan, tanpa sempat membawa apa-apa karena merasa terancam jiwanya.
35
BSIAN Seri 2
153
Semua sumber daya tersebut tetap berada pada masing-masing lembaga
anggota untuk melaksanakan layanan sesuai tupoksinya. Namun, melalui
mekanisme collaborative governance berbentuk forum pertemuan dan sistem rujukan, beragam sumber daya tersebut bisa digunakan sebagai
pendukung layanan penanganan korban kekerasan. Sehingga akumulasi dukungan sumber daya tersebut bisa memberikan peningkatan kualitas sekaligus komprehensivitas layanan kepada korban tindak kekerasan.
Kepemimpinan dalam Menggerakkan Kolaborasi FPKK Berdasarkan aspek legalitas, FPKK memiliki seorang pemimpin yang mengkoordinasikan jejaring kerjasama yakni Ketua Pelaksana. Posisi tersebut diisi oleh ibu Dr. Y. Sari Murti Widyastuti, SH, M.Hum selaku direktur salah satu lembaga anggota FPKK. Akan tetapi, sebuah kolaborasi yang baik memerlukan beberapa peranan kepemimpinan dalam menjalankan kegiatannya (Agranoff and McGuire 2003; Bryson, Crosby, and Stone 2006). FPKK sebagai sebuah kolaborasi dalam penanganan korban kekerasan memiliki beberapa peran kepemimpinan di dalamnya. Peran pertama adalah Facilitator/ Mediator. Peran ini dipegang oleh Ketua Pelaksana FPKK yakni ibu Sarimurti, SH, M.Hum. Peran ibu Sarimurti sebagai
facilitator/mediator terlihat pada posisi beliau selaku pemimpin rapat besar 2 bulanan FPKK. Pada rapat tersebut, beliau berupaya untuk mendiskusikan hambatan pelayanan yang terjadi dalam kurun 2 bulan terakhir dengan lembaga anggota FPKK. Peran kedua adalah Convener atau pihak yang menyelenggarakan pertemuan antar berbagai pihak yang tergabung dalam kolaborasi FPKK. Peran ini dipegang oleh Rekso Dyah Utami (RDU) sebagai sekertariat FPKK. RDU inilah yang biasanya menjadi tempat dari rapat besar 2 bulanan FPKK dan seringkali dijadikan tempat diadakannya Case Conference.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
154
Peran selanjutnya adalah Information Center atau pengumpul data seputar
kasus kekerasan. Peran ketiga ini diambil oleh BPPM DIY, yang secara khusus ditangani oleh bidang Perlindungan Hak Perempuan (PHP). BPPM mewajibkan anggota FPKK untuk mengirimkan data jumlah kasus yang ditanganinya tiap bulan melalui portal data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) pada www.dataperlindungandiy.org/siga/. Pada portal tersebut BPPM telah menyediakan format isian data yang telah dipilah melalui beberapa indikator klasifikasi 36, sehingga lembaga anggota FPKK yang lain tinggal mengisinya saja. Melalui SIGA, masyarakat atau akademisi juga mampu mengakses data statistik yang cukup spesifik mengenai jumlah kasus kekerasan di provinsi DIY. Kemudian terdapat pula lembaga yang bertugas sebagai Financial
Supporter atau penyokong finansial. Peranan keempat ini dipegang oleh Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan Sosial (Bapeljamkesos) provinsi DIY. Bapeljamkesos merupakan sebuah UPT Dinas Kesehatan provinsi DIY yang mengurus jaminan kesehatan daerah bernama Jaminan Kesehatan Sosial yang dikelola pemerintah provinsi DIY. Dana Jamkesos provinsi DIY ini digunakan untuk penggantian biaya penanganan medis korban kekerasan di rumah sakit pemerintah maupun swasta yang merupakan anggota FPKK. Dana ini bersifat fleksibel, yang berarti bahwa siapapun lembaga anggota FPKK yang mengantar korban, entah instansi pemerintah maupun LSM, mampu mengakses dana tersebut, asalkan memenuhi syarat yang ditentukan oleh FPKK 37.
36Klasifikasi data Korban Kekerasan yang ditentukan BPPM antara lain; (a) jenis kelamin, (b) usia, (c) status perkawinan, (d) status pekerjaan, (e) jenis tindak kekerasan, dan (f) jenis layanan yang diterima korban. Selain data terkait kekerasan, terdapat pula data terpilah tentang jumlah kasus perdagangan orang (trafficking) dan data bidang lain terkait Gender dan Anak. 37 Syarat untuk mengklaim dana Jamkesos yan ditetapkan oleh Bapeljamkesos dan FPKK adalah Surat Keterangan Korban/ Surat Keterangan Tidak Mampu dari sekertariat FPKK (Rekso Dyah Utami) dan Surat Diagnosa Dokter.
Model “Colaborative Governance” dalam Penanganan Korban Kekerasan
155
BSIAN Seri 2
Selama ini model penanganan yang dilakukan oleh pemerintah biasanya terpisah-pisah pada masing-masing SKPD atau unit pelaksana teknis. Lebih jauh, pemerintah telah memberikan penanganan korban kekerasan berbentuk Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) yang berisikan beberapa instansi pemerintah terkait penanganan perempuan, anak, dan keluarga. Namun, selama ini belum pernah ada jejaring kerjasama yang melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penanganan korban kekerasan. Forum Penanganan Korban Kekerasan (FPKK) merupakan sebuah model tata pemerintahan baru dalam penanganan korban kekerasan. FPKK adalah sebuah forum jejaring kerjasama lintas sektor dalam penanganan korban kekerasan. Sebagai sebuah praktik Collaborative Governance, FPKK dapat dikatakan cukup berhasil dalam mensinergikan berbagai pihak dalam memberikan pelayanan secara komprehensif terhadap korban kekerasan. Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam melihat model inovasi tata pemerintahan yang diusung oleh FPKK. Aspek Pertama adalah struktur Forum FPKK. Struktur forum ini cukup sederhana dan lebih horizontal sehingga cukup memudahkan dalam mengkoordinasikan kerja dan komunikasi lembaga anggotanya. Melalui struktur yang lebih ramping ini, rujukan penanganan korban kekerasan dapat dilakukan dengan lebih cepat karena tidak melalui skema birokratis tertentu. Aspek kedua yang cukup penting dalam menggambarkan FPKK adalah sistem jejaring rujukan (referral system) penanganan korban kekerasan. Sistem rujukan tersebut dibangun melalui pembentukan contact person dan unit atau ruangan khusus penanganan korban kekerasan pada lembaga anggota FPKK. Lembaga anggota FPKK dapat merujuk korban kekerasan
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
156
melalui komunikasi antara contact person lembaga anggota sebelum
mengirim pasien ke lembaga yang ingin dirujuk. Selain itu, mekanisme rujukan yang dibangun telah mampu mengakomodasi pembiayaan korban tindak kekerasan kurang mampu melalui lembaga anggota penyedia jaminan kesehatan daerah yakni Bapeljamkesos. BPPM Provinsi DIY selaku sekertariat FPKK bertugas memberikan rekomendasi
berupa Surat
Keterangan Tidak Mampu (SKTM) kepada korban tindak kekerasan yang kurang mampu atau tidak mampu disebabkan oleh keadaan. Aspek ketiga adalah keberadaan wadah komunikasi antar lembaga anggota FPKK. Terdapat dua ruang komunikasi yang diciptakan guna menguatkan sinergi antar-lembaga anggota FPKK yakni Rapat Besar dan Case
Conference. Melalui kedua forum tersebut, FPKK dapat memonitor proses pelaksanaan penanganan korban kekerasan sekaligus menetapkan langkah selanjutnya.
Pada
kedua
forum
tersebut,
dapat
dibahas
terkait
permasalahan dalam proses rujukan korban kekerasan yang terjadi. Aspek keempat adalah sumber daya yang digunakan dalam menggerakkan jejaring kerjasama FPKK. Sumber daya ini meliputi sumber daya manusia, sumber daya unit penanganan, sumber daya fasilitas teknis, dan sumber daya finansial. Keempatnya tersebar di semua lembaga anggota FPKK dan digunakan pada masing-masing lembaga sesuai dengan layanan yang diberikan kepada korban kekerasan. Aspek kelima adalah kepemimpinan yang menggerakkan jejaring kerjasama FPKK. Kepemimpinan ini secara legal dipegang oleh satu individu yakni ibu Sarimurti
selaku Ketua Pelaksana.
Namun terdapat
empat
peran
kepemimpinan dalam sebuah collaborative governance antara lain peran; (a) Facilitator/ Mediator, (b) Convener,
(c) Information Center, dan (d)
Financial Supporter. Pada kasus FPKK, kelima peran tersebut dipegang oleh berbagai lembaga yang berbeda. Kelima lembaga tersebut masing-masing bersifat leader atau coordinating dalam keempat fungsi tersebut.
BSIAN Seri 2
dipenuhi
agar
pelaksanaan kolaborasi dalam
157
Kelimanya merupakan dimensi collaborative governance yang harus penanganan korban
kekerasan dapat berjalan secara lancar. Interaksi di antara kelimanya
merupakan prasyarat keberhasilan praktik kolaborasi penanganan korban kekerasan. Secara sederhana mekanisme kerja FPKK dapat diilustrasikan dalam sebuah model sebagai berikut. Gambar 25. Model Mekanisme Kerja FPKK
Apabila melihat model tersebut dapat dikatakan bahwa seorang pasien korban tindak kekerasan dapat masuk dan menerima layanan dari lembaga manapun yang merupakan anggota FPKK. Kemudian pasien dapat dirujuk kepada lembaga lain baik pemerintah maupun swasta melalui contact
person tiap-tiap lembaga guna mendapatkan layanan yang diperlukan. Pasien juga dapat dirujuk ulang (dikembalikan) kepada lembaga yang merujukkannya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien setelah menerima layanan.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
158
Keunikan mekanisme kerja FPKK adalah terdapat forum komunikasi yang menjadi wadah koordinasi dan evaluasi atas penanganan korban kekerasan yang telah/ akan dilakukan. Forum Besar FPKK berfungsi sebuah wadah komunikasi antar lembaga terkait permasalahan yang menghambat pelaksanaan penanganan korban kekerasan. Melalui forum ini, anggota forum dapat menegur dan memberikan saran kepada lembaga lain anggota FPKK atas kualitas layanan yang telah diberikan kepada pasien. Forum besar ini juga berfungsi sebagai tempat menyebarluaskan informasi terbaru kepada seluruh anggota FPKK, baik berupa pengetahuan teknis layanan, maupun peraturan perundangan terkait penanganan kekerasan. Kemudian terdapat wadah komunikasi antar lembaga FPKK yang lebih kecil bernama Case Conference. Forum ini merupakan sebuah wadah komunikasi
yang lebih bersifat koordinatif antara beberapa lembaga dalam menangani satu kasus kekerasan yang dirasa rumit. Melalui Case Conference lembagalembaga yang terkait dalam penanganan satu kasus dapat dikoordinasikan peran dan layanannya.
DAFTAR PUSTAKA Agbodzakey, James K. 2011. Collaborative Governance of HIV Health
Services Planning Councils in Broward and Palm Beach Counties of South Florida in Public Organiz Rev (2012) 12:107–126 Ansell, Chris & Gash, Alison. 2007. Collaborative Governance in Theory and
Practices in Journal of Public Administration Research and Theory (Volume 18). London: Oxford University Press. Bryson, John M., Barbara C. Crosby, and Melissa Middleton Stone. 2006. The
design
and
implementation
of
cross-sector
collaborations:
Propositions form the literature. Public Administration Review 66:44– 55.
BSIAN Seri 2
159
Emerson, Kirk, et all. 2011. An Integrative Framework for Colaborative
Governnance. in Journal of Public Administration Research and Theory (Volume 22). London: Oxford University Press.
Getha-Taylor, Heather. 2007. Collaborative Governance: Lessons from
Katrina in Public Manager (2007); 36. Mah, Daphne Ngar-yin * and Hills, Peter . 2010. Collaborative Governance
for Sustainable Development: Wind Resource Assessment in Xinjiang and Guangdong Provinces, China in Sustainable Development no. 20, 85–97 (2012) Scott, Charity. 2011. A Case Study in Collaborative Governance: Health Care
Law Reform in Georgia in Conflict Resolution Quarterly, vol. 28, no. 4, 2011 Thomson, Ann Marie, and James Perry. 2006. Collaboration processes:
Inside the black box. Public Administration Review 66:20–32. Saptaningsih, Rosalia Indriyati. 2007. Dinamika Forum Stakeholders dalam Jejaring Penanganan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan di DIY (Tesis). Yogyakarta: Perpustakaan FISIPOL UGM. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 66 tahun 2012 tentang Forum Perlindungan Korban Kekerasan Perda DIY no. 3 tahun 2012 Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan BPPM DIY. 2013. Direktori Perlindungan Korban Kekerasan Daerah Istimewa Yogyakarta. Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. 2005 Layanan Terpadu :
Pertautan Multi-Displin dan Sinergi Kekuatan Masyarakat dan Negara. Jakarta
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
160
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. 2016. Catatan Tahunan Komnaspa 2016. Jakarta.
BPPM DIY. 2014. Profil Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Provinsi tahun 2013 Sari, Henny Rachma. 3 Maret 2014. Kasus Pelecehan Seksual, Sitok Penuhi
Panggilan
Polda
Metro.
Diakses
pada
27
Maret
2014
melalui:
(http://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-pelecehan-seksualsitok-penuhi-panggilan-polda-metro.html)
161
BSIAN Seri 2
PENGEMBANGAN MODEL DESA INOVATIF Kombinasi Top-Down dan Bottom-Up Innovation Model Suripto
Pendahuluan Indonesia merupakan“kepingan surga”yang sangat beragam dan kaya. Keberagaman tersebut dapat dilihat sebagai negara archipelago terbesar di dunia dengan keberagaman suku, agama, budaya dan lainnya. Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, di dalam air, di atas tanah dan di udara Indonesia sangat luar biasa. Kekayaan yang terkandung di dalam bumi seperti minyak, gas, geotermal, batu bara, nikel, dan lain lain. Kekayaan di dalam air seperti kekayaan ikan laut, ikan air tawar, garam dan lain sebagainya. Kekayaan di atas tanah juga sangat banyak luar biasa mulai dari hutan yang banyak memiliki kekayaan flora dan fauna dan lainnya. Sedangkan di udara seperti pengelolaan jalur penerbangan, frekuensi dan lain sebagainya. Selain kekayaan tersebut, Indonesia juga sangat kaya dengan desa-desa. Data Kementerian Desa dan PDTT pada tahun 2016
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
162
menunjukkan bahwa keseluruhan desa di Indonesia berjumlah 74.754 desa 38 yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Desa memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan nasional, dimana desa menjadi ujung tombak pemerintahan dan pelayanan, Sehingga jika desa maju, maka Indonesia akan lebih maju ke depannnya 39.
Pemahaman desa dalam Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2014 pasal 1 menyebutkan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati, dalam menyelenggarakannya dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia 40. Posisi strategis desa telah tercermin dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan dalam implementasinya harus dikawal secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan oleh seluruh pihak dengan fasilitasi, supervisi dan pendampingan. 41 Konsistensi komitmen Pemerintahan Jokowi-JK untuk mengawalnya terlihat dari kebijakannya dalam Nawacita ketiga yakni “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa”.
Komitmen
pemerintah
diwujudkan
dengan
pembentukan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta penyediaan anggaran khusus pembangunan desa. Berdasarkan Permendes No. 6 Tahun 2015 mempunyai tugas menyelenggarakan urusan Dikunjungi Peserta Jambore, Kemendes Canangkan Pramuka untuk Desa http://kemendesa.go.id/index.php/view/detil/1852/dikunjungi-peserta-jambore-kemendescanangkan-pramuka-untuk-desa 39 Dikunjungi Peserta Jambore, Kemendes Canangkan Pramuka untuk Desa http://kemendesa.go.id/index.php/view/detil/1852/dikunjungi-peserta-jambore-kemendescanangkan-pramuka-untuk-desa 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1 Butir 1 dan butir 2 41 Borni Kurniawan, 2015 Buku 5 : Desa Mandiri, Desa Membangun, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia 38
BSIAN Seri 2
163
pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan,
pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal,
dan
transmigasi
untuk
membantu
Presiden
dalam
menyelenggarakan pemerinahan negara. Selanjutnya, dalam anggaran desa, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo menjelaskan, dengan jumlah desa sekitar 74 ribu desa dengan total anggaran mencapai Rp 46,9 triliun sudah cukup besar dalam pagu pengeluaran negara. Jika ada penambahan 1.800 desa sesuai dengan permintaan daerah, maka ini akan menyulitkan pemerintah. 42 Komitmen desa membangun tersebut, salah satunya didasarkan atas kondisi desa saat ini yang sebagian masih dalam katagori desa tertinggal. Menurut Indeks Pembangunan Desa (IPD) tahun 2014 terdapat sekitar 20.168 desa tertinggal dari 74.093 desa di Indonesia. Pulau Papua saat ini menduduki posisi pertama sebagai paling panyak desa tertinggal dengan jumlah mencapai 6.139 desa. 43 Desa tertinggal dalam analisis tingginya kemiskinan di pedesaaan yang dituangkan dalam perintisan model desa berdikari Provinsi Jawa Tengah meliputi lima katagori yakni 44: Strategi kebijakan pembangunan cenderung bersifat sektoral dan parsial, struktur pembangunan cenderung bersifat top-
down dan generik, kelembagaan di tingkat akar rumput kurang terlibat secara aktif, belum termanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) secara efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan desa. Sumber daya manusia sebagaian besar bekerja sebagai petani dan buruh tani dengan keterbatasan pengetahuan manajerial dan kewirausahaan. Penyelesaian secara sektoral dan parsial
42Kemenkeu
Minta Jumlah Desa di Indonesia tidak Ditambah : http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/04/20/o5xcdd383-kemenkeu-mintajumlah-desa-di-indonesia-tidak-ditambah 43 Jumlah Desa Tertinggal Di Indonesia http://www.desa-kuat.tk/2016/07/jumlah-desa-tertinggal-diindonesia.html 44 Buku Pedoman Rintisan Model Desa Berdikari Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah 2014. Hal 6
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
164
menjadikan penyelesaian secara tambal sulam dan tidak menyelesaikan permasalahan secara komprehensif. Pembangunan dengan pendekatan
top-down dan generik memberikan solusi yang kurang efektif, dimana
setiap desa memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pemanfaatan SDA yang kurang efektif disebabkan kurang pahamnya masyarakat desa terhadap potensi desa, baik dalam bentuk budaya maupun sumber daya yang memiliki nilai jual. Keterbatasan kemampuan SDM karena keterbatasan pemahaman
teknologi
dan
keterampilan
dalam
pengelolaan
komoditas/produk desa, belum adanya pendamping dalam proses alih teknologi dan pemberdayaan masyarakat desa. Selain permasalahan tersebut, permasalahan lainnya dari berbagai referensi dalam pembangunan desa antara lain yaitu belum dikembangkan upaya kerjasama antar desa sesuai potensi yang dimiliki masing-masing desa. Kurangnya sinergi intervensi program pembangunan desa berbasis kewilayahan. Belum optimalnya pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program-program intervensi desa. Kurangnya informasi dan belum adanya jaminan tentang daerah tujuan pemasaran produk desa. Kurangnya optimalisasi pemanfaatan media sosial sebagai media promosi produk desa. Dan, Belum adanya tenaga pendamping di tingkat desa untuk mendampingi proses alih teknologi dan pemberdayaan masyarakat desa. Solusi permasalahan tersebut, terlihat dari semangat UU 6 tahun 2014 dalam pengelolaan desa yang lebih baik, kreatif, inovatif untuk kemajuan desa tersebut. Terdapat beberapa desa yang telah berhasil membangun desanya dengan berbagai trobosan dan Inovasi serta mendapatkan pengakuan pemerintah pusat
dengan
penghargaan
dari
Direktur
Jenderal
(Dirjen)
Bina
Pemerintahan Desa Kemendagri sebagai desa inovatif antara lain Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul (Yogyakarta), Desa Padang Balua, Kecamatan Seko, Luwu Utara (Sulsel), Desa Pandai Sikek, Kecamatan Kali Koto, Tanah Datar (Sumbar), Desa Embalut, Kecamatan Tenggarong
BSIAN Seri 2
165
Seberang, Kutai Kartanegara (Kaltim), Desa Langung, Kecamatan Meurebo,
Aceh Barat (Aceh) dan Desa Maria, Kecamatan Wawo, Bima (NTB). Desa
lainnya meliputi Desa Pelakat – Muara Enim, Desa Salem – Brebes, Desa
Montong Gamang, Desa Cibodas- Kecamatan Lembang, Desa Gondangan Jogonalan – Klaten. Inovasi desa menjadi kebutuhan mendasar dalam mengakselerasi kemajuan desa. Hal ini telah menjadi perhatian berbagai pihak instansi pemerintah, swasta dan masyarakat. Sebagai contoh, Provinsi Jawa tengah telah menyusun roadmap dan menyiapkan 58 Desa menjadi Desa Inovatif. Kemementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemristekdikti) juga telah mencanangkan Program "Desa Inovasi" dengan menyasar 1000 desa. Sedangkan
Lembaga
Adminsitrasi
Negara
melalui
Deputi
Inovasi
Adminsitrasi Negara telah menyiapkan akselerasi dan pengembangan Inovasi level desa atau dikenal dengan Street Level Innovation. Dengan memperhatikan tantangan dan perkembangan lingkungan strategis dimasa depan, maka model desa inovatif sangat perlu di kembangkan untuk menjadi contoh bagi desa lainnya. Untuk desa percontohan Inovasi yang lebih baik dan lebih efektif, maka sangat penting mengembangkan pemodelannya. Dengan pertimbangan itu, studi ini bertujuan untuk mengembangkan model desa inovatif untuk memperkaya referensi pengembangan desa inovatif. Dengan demikian, pemodelan ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi pemerintahan daerah, pemerintahan desa dan penggiat pengembang Inovasi desa khususnya.
Kebijakan dan Literatur Pengembangan Desa Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 6 Tahun 2014, desa dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
166
asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 45 Makna “mengatur dan mengurus”dapat dimaknai pertama, desa dapat mengeluarkan dan
menjalankan aturan main (peraturan) yang mengikat seluruh pihak yang berkepentingan. Kedua, desa bertanggungjawab dalam manajemen pembangunan desa dan pelayanan desa. Implementasi pembangunan maupun
pelayanan
“mengurus”.
Dari
publik
merupakan
pengertian
tersebut,
bentuk maka
konkret
makna
“mengatur
dan
mengurus” dapat dimaknai bahwa pertama desa memiliki otonomi dalam pengelolaan desa, kedua pengakuan local wisdom dan kreatifitas desa. Soetardjo Kartohadikoesoemo (1962) Dalam buku Membangun Desa Indonesia (2014) menyatakan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan. UU Desa memiliki tujuan yang sangat ideal dalam mewujudkan kemandirian desa, yang dituangkan dalam pasal 4 sebagai berikut : memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
45
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1
BSIAN Seri 2
167
membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; memajukan
perekonomian
masyarakat
Desa
serta
mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. 46 Semangat perubahan mendasar UU Desa No. 6 tahun 2014 dalam penyelenggaraan pengelolaan desa di Indoensia, menurut Eko Suntoro, dkk (2014) menggambarkan perbedaan mendasar penyelenggaraan desa dalam pespektif UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 75 tahun 2005 dengan UU No. 6 Tahun 2014 sebagai berikut Asas utama pembangunan dari desentralisasi-residualitas menjadi rekognisi-subsidiaritas. Kedudukan desa dari dalam sistem pemerintahan kabupaten menjadi pemerintahan masyarakat hybrid antara self governing community dan
local self government. Delivery kewenangan dan program dari target menjadi mandate Posisi dalam pembangunan desa dari objek menjadi subjek Model pembangunan dari government driven development atau
community driven development menjadi village driven development. Pendekatan dan tindakan dari imposisi dan mutilasi sektoral menjadi fasilitasi, emansipasi dan konsolidasi. Kewenangan desa yang semula diserahkan dari kabupaten, tugas perbantuan dari pemerintah, provinsi, kabupaten dan urusan lainya yang diatur dalam UU menjadi Kewenangan bedasarkan hak asal usul 46
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 4
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
168
dengan skala lokal dan kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, provinsi, kabupaten dan urusan lainnya yang diatur dalam UU.
Perdebatan konsep kunci dalam UU Desa yakni frasa“membangun desa” dan“desa membangun”sangat hangat menjelang lahirnya UU Desa. Meskipun keduanya konsep itu tidak dikenal dalam wacana dan teori pembangunan. Dari konsep kunci pembangunan dapat kita turunkan lagi menjadi pembangunan perdesaan (rural development) dan pembangunan desa (village development).
47
Perbedaan Konsep“membangun desa”
dan“desa membangun”seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Perbedaan Konsep “membangun desa” dan “desa membangun” Isu
Membangun Desa
Desa Membangun
Pintu masuk Pendekatan Level Isu dan Konsep Terkait
Perdesaan Functional Rural Development Rural urban linkage, market, pertumbuhan, lapangan pekerjaan, infrastruktur, kawasan, sektoral, dll Kawasan ruang dan ekonomi yang lintas desa Pemda melakukan perencanaan dan pelaksanaan alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supevisi dan akselerasi Pemerintah daerah
Desa Locus Local Development Kemandirian, kearifan lokal, modal social, demokrasi, partisipasi, kewenangan, alokasi dana, gerakan lokal dan pemberdayaan, dll Dalam jangkauan skala dan yurisdiksi desa Regulasi menetapkan kewenangan skala desa, melembagakan perencanaan desa, alokasi dana dan kontrol lokal
Level, skala dan cakupan Skema Kelembagaan
Pemegang kewenangan Tujuan
47
Mengurangi keterbelakangan,
Desa (pemerintahan desa dan masyarakat) 1. Menjadikan desa sebagai basis penghidupan dan
Sutoro Eko, dkk _ Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014 _ Desa Membangun Indonesia
BSIAN Seri 2
Peran pemerintah daerah
Merencanakan, membiayai dan melaksanakan
kehidupan masyarakat secara berkelanjutan 2. Menjadikan desa sebagai ujung depan yang dekat dengan masyarakat, serta desa yang mandiri Fasilitasi, supervise dan pengembangan kapasitas desa
169
ketertinggalan, kemiskinan, sekaligus membangun kesejahteraan
Sumber: Suntoro, Eko, dkk (2014) Membangun Desa Indonesia
Perubahan konsep yang sangat dasar tersebut mengamatkan desa sebagai penentu utama kemajuan desa tersebut. Dari beberapa isu yang dibahas dalam perubahan paradima tersebut tersirat kata kunci yang penting, yakni kemandirian desa berkelanjutan. Dalam penjelasan UU No 6 Tahun 2014 Kemandirian dimaknai suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya
dengan
kemampuan
sendiri,
sedangkan
keberlanjutan sebagai suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, melaksanakan
dan
berkesinambungan
program
pembangunan
dalam desa.
merencanakan Sedangkan
dan makna
kemandirian desa berkelanjutan pada hakekatnya adalah desa yang mampu menjadikan desa sebagai basis penghidupan dan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan. Esensi sebagai penghidupan dan kehidupan secara berkelanjutan adalah inovasi. Ini tidak terlepas dari apa yang dijelaskan Balitbang Provinsi Jawa Tengah menjelaskan bahwa desa memerlukan inovasi karena sumber daya alam semakin menurun, jumlah penduduk bertambah, kebutuhan meningkat, perlu upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya desa untuk memenuhi kebutuhan. Membanjirnya produk dari luar, kualitas bagus, jumlah banyak, persaingan semakin ketat, dan produk desa terancam tergusur, sehingga perlu penguatan daya saing. Penguasaan iptek penting untuk menciptakan
produk baru berkualitas, dengan cara baru, dan
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
170
teknologi baru, sehingga dapat bersaing dengan produk lain, baik di pasar lokal maupun global. 48 Pengertian dan definisi inovasi sangat banyak. Data Google jika mengetikkan“innovation definition”maka sebanyak 110.000.000 sumber yang memuatnya. Namun demikian, beberapa pengertian dan definisi
Inovasi
yang dapat dijadikan acuhan antara lain Anthony memahami
inovasi
dengan
sederhana,
yakni“sesuatu
yang
berbeda
yang
berdampak” 49 O’Sullivan dan Dooley menyebutkan inovasi adalah “proses membuat perubahan terhadap sesuatu yang telah mapan melalui introduksi suatu hal baru yang memberikan nilai tambah bagi konsumen. 50 Djamaludin
Ancok
mendefinisikan
inovasi
sebagai“suatu
proses
memikirkan dan mengimplementasikan pemikiran, sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa, proses bisnis, cara baru, kebijakan, dan lain sebagainya. 51 Selanjutnya, inovasi dalam perspektif administrasi negara adalah
proses
penyelenggaraan berdampak
memikirkan
dan
kepentingan
mengimplementasikan
publik
yang
original,
kebijakan
penting,
dan
52
Dalam Pedoman Rintisan Model Desa Berdikari Provinsi Jawa Tengah mengembangkan beberapa program dalam mewujudkan desa inovatif antara lain: Desa
53
Mandiri
Pangan
desa
yang
masyarakatnya
mempunyai
kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi melalui pengembangan subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi Heru Cristanto Hasibuan Tinjauan Kritis Terhadap Pengembangan lokal desa Inovatif Studi Kasus Pada Desa Wisata Samiran Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali-Jawa Tengah 49 Scott D. Anthony, 2013, The Little Black Book of Innovation: Bagaimana Inovasi Bekerja, Bagaimana Kita Melakukannya (Jakarta: Elex Media Komputindo), hal. 16. 50 David O’Sullivan dan Lawrence Dooley, 2009, Applying Innovation (Thousand Oaks, CA: Sage), hal. 4. 51 Djamaludin Ancok, 2012, Psikologi Kepemimpinan & Inovasi (Jakarta: Erlangga), hal. 35. 52 Lembaga Adminsitrasi Negara, 2014, Handbook Inovasi Adminsitrasi Negara (Jakarta : Lembaga Adminsitrasi Negara) hal 11 53 Pedoman Rintisan Model Desa Berdikari Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015 48
BSIAN Seri 2
berkelanjutan.
171
pangan dengan memanfaatkan sumber daya setempat secara Desa Mandiri Energi adalah desa yang masyarakatnya memiliki
kemampuan memenuhi lebih dari 60% kebutuhan energi (listrik dan bahan bakar) dari sumber energi terbarukan yang dihasilkan melalui pendayagunaan potensi sumber daya setempat. One Village One Product (OVOP) merupakan sistem pengembangan komoditas unggulan berbasis koperasi dengan mengintegrasikan UMKM dalam sentra pada satu wilayah/desa satu komoditas yang memiliki potensi pemasaran nasional dan internasional, dan berfokus pada pengembangan kualitas produk untuk memberikan nilai tambah. Desa Vokasi merupakan gerakan pembelajaran untuk mengembangkan ketrampilan, kecakapan dan profesionalisme warga desa. Desa/Kelurahan Siaga Aktif merupakan salah satu indikator dalam Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Desa Wisata merupakan kawasan pedesaan yang memancarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian perdesaan, baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkan pada berbagai komponen kepariwisataan. Desa Pesisir Tangguh merupakan upaya mengurangi kemiskinan masyarakat pesisir, mengurangi kerusakan sumber daya alam pesisir, meningkatkan kemandirian desa dan nilai Budaya lokal. Desa Tangguh bencana merupakan desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
172
“Best Practices” Desa Inovatif Sebagaimana dijelaskan diatas, saat ini banyak sekali desa dengan ikon desa inovatif. Beberapa desa yang dinilai inovatif dan terdeskripsikan secara baik dalam studi literatur sebagai berikut:
Desa Mlatiharjo Secara Geografis Desa Mlatiharjo, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak memiliki luas wilayah 3,57 km², dengan Jarak Desa Mlatiharjo dengan Ibukota
Kecamatan
Gajah
Kabupaten
Demak
adalah
10
km.
Perekonomian masyarakat Desa Mlatiharjo sebagaian besar didukung oleh sektor pertanian, sebagian lagi dibidang perdagangan, industri dan jasa. Desa Mlatiharjo telah memulai mengembangkan diri sebagai desa mandiri yang bertumpu pada pertanian dan peternakan. Dengan potensi sumber daya alam dan sosial, Desa Mlatiharjo mengembangkan sebagai desa wahana wisata edukasi pertanian, dengan model seperti pada gambar 26. Gambar 26. Model Inovasi Wisata Edukasi Pertanian Mlatiharjo
BSIAN Seri 2
desa
wahana
wisata
edukasi
pertanian
Mlatiharjo.
173
Kepala desa memiliki peran sebagai motor penggerak utama Inovasi Guna
mewujudkannya, kepala desa mengelola seluruh sumber daya desa
meliputi sumber daya alam, sosial, keuangan, sarana dan prasarana serta jejaring kerja. Selain perangkat desa, Kepala desa membentuk dan mengelola kelompok kerja inovatif yang beranggotakan para sarjana pertanian, serta membentuk kelompok kerja warga desa yang memiliki peran sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing dalam mencapai agenda pembangunan desa. Dana awal Inovasi bersumber dari dana desa dengan menyewa tanah kas desa, seiring dengan berkembangnya Inovasi ini, dana pengembangannya juga berasal dari hasil
produksi
pupuk
organik
dan
hasil
pertanian.
Dalam
pengembangannya, Kepala desa juga menjalin kerjasama dengan berbagai pihak meliputi (a) UKSW Salatiga dalam mengembangkan Inovasi pertanian, (b) Balai Inseminasi dan Pemulihan Tanaman – Kementerian Pertanian dalam pemulihan benih padi dan buah yang unggul untuk desa Mlatiharjo, dan (c) Polines Semarang dalam mengembangkan mekanisasi alat pertanian. Sebagai pendukung pengelolaan Inovasi yang lebih tertib, akuntabel dan tranparan, Desa Mlatiharjo juga mengembangkan e-government. Pengembangan Inovasi pertanian ini telah menghasilkan padi varietas unggul yang diberi nama Melati dan Sulthan, sedangkan bidang peternakan menghasilkan kambing unggul untuk pedaging dan penghasil susu. Pengembangan produk pertanian Mlatiharjo juga diarahkan ke pertanian organik yang lebih ramah lingkungan. Untuk itu, seluruh hasil pertanian didukung dengan penciptaan pupuk organik, termasuk menciptakan pestisida organik. Selain hal utama tersebut, Desa Mlatiharjo juga mengembangkan ketahanan pangan masyarakat desa dengan tabungan pertanian dan peternakan harian, tabungan bulanan dan tabungan tahunan.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
174
Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo Batik Gedog merupakan batik khas Tuban - Jawa Timur. Batik ini, pada dasarnya sangat diminati pasar lokal maupun luar negeri seperti Batik Tenun Gedog banyak disukai konsumen Jepang, Spanyol, Amerika Serikat, juga negara lainnya. Menurut Ketua Batik Gedog 'Sekar Ayu', Omzet Batik Gedog dengan bahan kain tenun rata-rata mencapai Rp200 juta/bulan dan bahkan lebih 54. Namun, permasalahan besar yang dihadapi oleh Batik Gedog adalah menurunnya jumlah perajin dari 500 menjadi 100 perajin, sebagian besar merupakan generasi tua batik gedog dan tidak memiliki generasi baru. Sentra
Batik
Desa
Gedhog
dikembangkan
untuk
mendorong
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tuban. Pengembangan Sentra Batik Desa Gedhog melibatkan empat aktor utama yakni Pemerintah Kabupaten Tuban, Swasta/BUMN, Pengusaha Batik, Pengrajin Batik. Fokuskan pengembangan Batik Gedhog pada motif batik yang meliputi jenis bahan yang digunakan, pola, tata warna, ciri-ciri dan atau pengembangan. Model Pengembangannya seperti pada Gambar 30.
54http://economy.okezone.com/read/2015/04/20/320/1137011/perajin-omzet-batik-gedog-tuban-
stabil
Gambar 27 : Model Inovasi Wisata Batik Tulis Tenun Gedhog
175
BSIAN Seri 2
Pemerintah Kabupaten Tuban memiliki peran utama dalam membuat regulasi sentra dan pemberdayaan. Dalam pengembangan kapasitas pembatik mendapat pembinaan dari berbagi pihak antara lain Disbun, Balai Latihan
Kerja,
Dinas
Perindustrian
dan
Perdagangan,
Perusahaan
Swasta/BUMN serta kegiatan PNPM Mandiri. Dalam pembinaan diarahkan dalam peningkatan kreativitas pengembangan motif sesuai selera pasar dan diversifikasi produk batik Gedhog. Pengembangan kapasitas lainnya adalah pemasaran produk batik Gedhog. Pengrajin atau Pembatik bekerja sama dengan pengusaha batik dalam pemasarannya. Untuk menciptakan simbolis mutualisme antar kedua belah pihak, maka pemerintah memuat aturan yang saling menguntungkan. Pengusaha Batik dalam mempromosikan Batik Gedhog ke dalam maupun ke luar negeri didukung oleh Perusahaan Swasta/ BUMN dalam pengembangan pemasarannya.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
176
Agroindustri Desa Gondangan 55
Pemerintah Kabupaten Klaten mengembangkan potensi agroindustri Desa Gondangan untuk menciptakan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dalam pengembangannya menggunakan model Inovasi seperti pada Gambar 28. Gambar 28 : Model Inovasi Agroindustri Desa Gondangan
Gambar 28 menggambarkan model pengelolaan secara komprehensip dalam pengelolaan argoindustri menunjukan bahwa Pelaku Inti UKM Pengelolaan Makanan Ringan mengelola perbaikan internal dengan melakukan perbaikan proses produksi dengan penggunaan teknologi tempat
guna,
dan
memperbaikan manajemen pemasaran.
Dalam
pengelolaan makanan ringan didukung oleh industri pendukung yang menyediakan bahan baku berkualitas dan memperbaiki proses pengadaan bahan baku industri makanan ringan. Pelaku UKM juga perlu didukung oleh institusi pendukung seperti peningkatan akses keuangan bank dan non perbankan, memininalkan kesenjangan informasi dan meningkatkan 55
Didik Indarwanta, Ida Susi Dewanti, Eny Endah Pujiastuti, The 2nd University Research Coloquium 2015, Pengembangan Model Agroindustri Desa Gondangan Kecamatan Jogonalan Kabupaten Klaten
BSIAN Seri 2
177
kerjasama pemerintah, UMKM dan lembaga Keuangan. Pemerintah yakni
Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan memberikan dan membuka saluran
atau jaringan distribusi pasar, mempromosikan produk-produk UMKM, memberikan ijin produksi rumah tangga dan yang labih penting menciptakan iklim usaha yang baik. Sedangkan untuk, peningkatan kualitas dan variasi produk, peningkatan kapasitas SDM bekerjasama dengan perguruan tinggi atau pihak lainnya. Inkubator Model untuk mengembangkan usaha pada tahap awal bisnis, sebagai tempat konsultasi manajemen dan masalah pasar, aspek keuangan dan
hukum,
informasi
perdagangan
dan
teknologi,
membantu
mengembangkan riset, jaringan profesional, teknologi, internasional, dan investasi, membantu akses usaha kecil pada sumber-sumber pendanaan atau lembaga keuangan yang ada.
Pengembangan Model Desa Inovatif Dengan mencermati Best practices model desa inovatif diatas, maka model desa inovatif dapat dibedakan menjadi dua model besar yakni Top-Down
Innovation Model dan Bottoms Up Innovation Model. Contoh Top-Down Innovation Model seperti Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo dan Agroindustri Desa Gondangan, sedangkan Bottoms-Up Innovation Model seperti desa wahana wisata edukasi pertanian Desa Mlatiharjo. Setiap model Inovasi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Top-Down Innovation Model memiliki kelebihannya antara lain sistem terstruktur, aturan sama, terkontrol dan lain-lain, sedangkan kekurangannya antara lain ketidaksesuaian dengan kebutuhan, dan mengekang kreativitas. Sedangkan Bottoms-Up Innovation Model memiliki kelebihan antara lain mengembangkan kreatifitas / beraneka ragam solusi dari masyarakat dan efisiensi sumber daya pemerintah. Sedangkan kekurangannya dilakukan parsial dan sporadis.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
178
Selanjutnya, berdasarkan model Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo, Agroindustri Desa Gondangan dan desa wahana wisata edukasi pertanian Desa Mlatiharjo terdapat perbedaan yang cukup mendasar sebagai berikut: Model Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo tidak menggambarkan peran kepala desa dalam Inovasi, Model Agroindustri Desa Gondangan tidak menggambarkan peran kepala desa dalam Inovasi,
Model Desa Wahana Wisata Edukasi Pertanian Desa Mlatiharjo tidak menggambarkan pelaku inti Inovasi desa, peran pemerintah daerah, dan promosi dan pemasaran. Kemudian dari beberapa model desa inovatif di atas dapat dilihat aktor/stakholders serta perannya dalam mewujudkan desa Inovasi. Berikut pemetaan aktor/stakholders serta peran dalam desa Inovasi pada Desa Wahana Wisata Edukasi Pertanian Desa Mlatiharjo, Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo dan Agroindustri Desa Gondangan Seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Pemetaan Aktor dan Peran dalam Desa Inovasi Desa Wisata Wahana Wisata Edukasi Pertanian Desa Mlatiharjo
Aktor / Stakholders • Kepala Desa
Peran • • •
Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo
179
BSIAN Seri 2
Menjadi motor penggerak utama Inovasi (visioner) Mengelola / mengkoordinasikan seluruh sumber daya Inovasi Mengembangkan jejaring
• Kelompok Sarjana
•
Mengembakan gagasan kreatif dan cara kerja inovatif
• Kelompok Warga
•
Melakukan sesuai peran dan kapasitas sesuai arahan kepala desa
• Balai Inseminasi dan Pemulihan Tanaman
•
Mengembangkan dan memulihkan benih padi dan buah unggul desa Mlatiharjo
• UKSW Salatiga
•
Mengembangkan kualitas produk unggulan dengan Inovasi pertanian
• Polines Semarang
•
Mengembangkan teknologi tepat guna / mekanisasi alat pertanian
• Pemerintah
• •
Membuat kebijakan dan peraturan Memberdayakan dan membina UMKM dan Pengrajin Mesingkrinisasi Kegiatan dengan swasta dan BUMN
• • Perajin / Pembatik
•
Membuat kerajinan batik
• Swasta / BUMN
•
Membantu dalam pengembangan pelaku dan pasar batik
• Pengusaha Batik
•
Mengembangkan promosi dan pemasaran batik
• Masyarakat
•
Pengguna dan konsumen batik
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
180
Agroindustri Desa Gondangan
•
Pelaku inti / industri pengeolahan
•
Mengembangkan pengelolaan produksi makanan ringan
•
Pemerintah Daerah
• •
Membuat konsep Inovasi agroindustri Melakukan pembinaan industry pegelolaan makanan ringan
•
Industri Pendukung
•
Memasok bahan baku produk makanan ringan
•
Institusi Pendukung (bank / non bank / koperasi)
•
Memberikan dukungan dalam pembiayaan industry pengelolaan makanan ringan
•
Distributor
•
Memasarkan produksi makanan ringan
•
Kelompok Usaha
•
Produksi makanan – makanan ringan
•
Mitra / Perguruan Tinggi
•
Mengembangkan pengelolaan UMKM dan jenis makanan ringan.
Sumber: dikelola dari berbagai sumber Berdasarkan Tabel 8 dapat dipetakan peran aktor/ stakeholder utama dalam pengembangan desa Inovasi sebagai berikut:
Tabel 9. Pemetaan Aktor Utama dalam Pengembangan Desa Inovasi Peran
Lokus Desa Inovatif
Aktor / Stakholders
Pembinaan & Pemberdayaan Pemerintah Daerah
• Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo
•
Pemerintah (SKPD)
• Agroindustri Desa Gondangan
•
Pemerintah Daerah
Pelaku Utama / Motor Inovasi
• Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo
•
Perajin / Pembatik
• Agroindustri Desa Gondangan
•
Pelaku inti / industri pengeolahan
• Wahana Wisata Edukasi Pertanian Desa Mlatiharjo
•
Kepala Desa
• •
Pemerintah Swasta / BUMN
• Agroindustri Desa Gondangan
• • •
Kelompok Usaha Perguruan tinggi Industri pendukung
• Wahana Wisata Edukasi Pertanian Desa Mlatiharjo
• • • •
Kelompok Sarjana Balai Inseminasi dan Pemulihan Tanaman UKSW Salatiga Polines Semarang
• Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo
• •
Pengusaha batik Swasta / BUMN
• Agroindustri Desa Gondangan
•
Institusi pendukung
Pendukung Teknis • Sentra Batik Gedhog Desa Kedungrejo
Pendukung Non Teknis
Sumber: dikelola dari berbagai sumber
181
BSIAN Seri 2
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
182
Dari tiga model desa inovatif yang telah dijelaskan, maka peran dalam pengembangan desa inovatif meliputi empat peranan yakni pelaku utama/innovator,
regulator
dan
pembina,
pendukung
teknis
dan
pendukung non teknis. Peran tersebut dilakukan oleh berbagai aktor dalam men-deliver produk inovasinya ke penerima layanan. Gambaran peran dalam pengembangan model desa Inovatif seperti pada Gambar 29. Gambar 29 : Pengembangan Model Desa Inovatif
Pelaku utama/ inovator adalah orang/ organisasi/ kelompok yang menjalankan tugas utama (core bissuness) dalam Inovasi tersebut. Dalam pengembangan inovasi desa, aktor utama ini dapat berupa perajin/ industri kecil/ usaha kecil/ petani/ kelompok swadaya masyarakat/ kelompok tani/ kelompok usaha/ kelompok industri atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). o
Pelaku Utama ini memiliki peran merencanakan, men-deliver dan mengembangkan novasi. Menggagas dan merencanakan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan unggulan desa tersebut. Mengelola dan mengkoordinasikan berbagai sumber daya dalam mewujudkan inovasi. Mengembangkan jejaring dengan pembina, pendukung teknis dan pendukung non-teknis. Mengembangkan produk-produk baru sesuai dengan core business pelaku utama.
BSIAN Seri 2 Dengan otonomi desa yang begitu besar, maka selain sebagai
183
o
pelaku utama, Kepala Desa sebagai pimpinan desa memiliki peran yang sangat vital dan strategis dalam keberhasilan inovasi desa. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan aturan main (peraturan) dan
menjalankannya
untuk
mengikat
seluruh
pihak
yang
berkepentingan. Regulator dan Pembina adalah organisasi yang membuat peraturan, perencanaan,
melakukan
pembinaan,
mensinergikan/
mengkoordinasikan pencapaian pembangunan pemerintah daerah. Dalam pengembangan Inovasi desa, regulator dan pembina yakni pemerintah, kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, pemerintah daerah, satuan kerja pemerintah daerah dan pemerintah desa. Regulator dan pembina memiliki peran membuat kebijakan dan peraturan,
membuat
perencaaan
makro,
memberdayakan
dan
membina aktor utama, pendukung teknis dan pendukung non teknis, mesinkronisasi inovasi desa dengan perencanaan makro. o
Sebagai contoh dalam regulasi misalnya UU No. 32 Tahun 2014 tentang
Pemerintah
Kemementerian
Riset
Daerah
Pasal
Teknologi
386 dan
tentang
Inovasi.
Perguruan
Tinggi
(Kemristekdikti) juga telah mencanangkan Program "Desa Inovasi" dengan menyasar 1000 desa. Provinsi Jawa tengah menyusun Roadmap Inovasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengamanatkan one institution one
innovation. Sedangkan dalam pembinaan, contohnya dilakukan oleh Lembaga Adminsitrasi Negara melalui Deputi Inovasi Adminsitrasi Negara telah menyiapkan akselerasi dan pengembangan Inovasi level desa atau dikenal dengan Street Level Innovation. Pendukung teknis adalah adalah orang/ organisasi/ kelompok yang membantu secara teknis subtansial dalam pengembangan Inovasi desa. Dalam pengembangan inovasi desa, Pendukung teknis antara lain pakar/ praktisi tertentu baik perorangan maupun kelompok, institusi penelitian dan pengembangan pemerintah, swasta maupun non-profit/
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
184
Lembaga Swadaya Masyarakat. Contohnya Kelompok Sarjana Kreatif, Balai Inseminasi dan Pemulihan Tanaman – Kementerian Pertanian, UKSW Salatiga, Polines Semarang yang mengembangkan Wahana Wisata Edukasi Pertanian Desa Mlatiharjo.
Pendukung non-teknis adalah adalah orang/ organisasi/ kelompok yang membantu
dukungan
secara
non-teknis
subtansial
dalam
pengembangan inovasi desa seperti membangun jejaring, akses keuangan, pengelolaan keuangan, promosi, pemasaran dan lainnya. Dalam pengembangan inovasi desa, Pendukung non-teknis antara lain pakar/ praktisi tertentu baik perorangan maupun kelompok, institusi penelitian dan pengembangan pemerintah, swasta maupun non-profit/ Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebagai contoh Perbankan/Lembaga Keuangan yang mempermudah dalam modal usaha dan bunga rendah, asistensi dalam promosi pemasaran dan lain sebagainya. Inovasi desa merupakan muara dari aktivitas yang dikelola oleh inovator yang melibatkan aktor pendukung teknis dan non-teknis dengan mengacu pada aturan dan pembinaan pemerintah dalam proses memikirkan dan mengimplementasikan kebijakan penyelenggaraan kepentingan publik yang original, penting, dan berdampak pada kesejahteraan dan perbaikan masyarakat desa.
Penutup Model desa inovatif dari tiga model dapat dibedakan menjadi dua model besar yakni Top-Down Innovation Model dan Bottom-Up Innovation Model. Setiap model memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dari analisa selain kesamaan beberapa peran aktor, tetapi juga ada perbedaan. Pada model
Top-Down Innovation Model tidak menyajikan peran kepala desa sebagai pimpinan
wilayah.
Sedangkan
Bottom-Up Innovation Model tidak
menggambarkan pelaku inti Inovasi desa, peran pemerintah daerah, dan promosi dan pemasaran.
BSIAN Seri 2
185
Berdasarkan hasil pemetaan dan analisis, dalam mengembangkan inovasi
desa melibatkan empat peran utama yakni Pelaku utama/ innovator,
Regulator dan Pembina, Pendukung teknis dan Pendukung non-teknis. Pelaku utama/ innovator adalah orang/ organisasi/ kelompok yang
menjalankan tugas utama (core bussiness) dalam inovasi tersebut. Regulator dan Pembina adalah organisasi yang membuat peraturan, perencanaan, melakukan pembinaan, mensinergikan/ mengkoordinasikan pencapaian pembangunan pemerintah daerah. Pendukung teknis adalah adalah orang/ organisasi/ kelompok yang membantu secara teknis subtansial dalam pengembangan inovasi desa. Pendukung non-teknis adalah adalah orang/ organisasi/ kelompok yang membantu dukungan secara non-teknis subtansial dalam pengembangan inovasi desa
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengambangan Provinsi Jawa Tengah, 2014, Pedoman Rintisan Model Desa Berdikari Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015, Semarang, Badan Penelitian dan Pengambangan Provinsi Jawa Tengah Borni Kurniawan, 2015, Buku 5 : Desa Mandiri, Desa Membangun, Kementerian
Desa,
Pembangunan
Daerah
Tertinggal,
Dan
Transmigrasi Republik Indonesia David O’Sullivan dan Lawrence Dooley, 2009, Applying Innovation (Thousand Oaks, CA: Sage), hal. 4. Djamaludin Ancok, 2012, Psikologi Kepemimpinan & Inovasi (Jakarta: Erlangga), hal. 35.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
186
Didik Indarwanta, Ida Susi Dewanti, Eny Endah Pujiastuti, The 2nd University Research Coloquium 2015, Pengembangan Model Agroindustri Desa Gondangan Kecamatan Jogonalan Kabupaten Klaten
Heru Cristanto Hasibuan Tinjauan Kritis Terhadap Pengembanganlokaldesa Inovatif Studi Kasus Pada Desa Wisata Samiran Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali-Jawa Tengah Lembaga Adminsitrasi Negara, 2014, Handbook Inovasi Adminsitrasi Negara, Jakarta : Lembaga Adminsitrasi Negara Muhammad Syukri et al. 2013,
Studi Kualitatif Prolifera Si & Integrasi
Program Pemberdayaan Masyarakat Di Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Dan Sulawesi Selatan, Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU diakses 21 Oktober 2016 N. Viswanadham, 2014 Design of Smart Villages - Computer Science and Automation Indian Institute of Science, Bangalore Centre for Contemporary Studies diakses 21 Oktober 2016 Riezky Ayudia Trinanda, dan Eko Budi Santoso, 2013, Penentuan FaktorFaktor yang Mempengaruhi Ketertinggalan Kawasan Kabupaten Pamekasan dalam JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2 diakses 21 Oktober 2016 Scott D. Anthony, 2013, The Little Black Book of Innovation: Bagaimana Inovasi Bekerja, Bagaimana Kita Melakukannya (Jakarta: Elex Media Komputindo), hal. 16. Sutoro Eko, dkk _ Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014 _ Desa Membangun Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1 Butir 1 dan butir 2
BSIAN Seri 2
http://kemendesa.go.id/index.php/view/detil/1852/dikunjungipeserta-jambore-kemendes-canangkan-pramuka-untuk-desa
187
Dikunjungi Peserta Jambore, Kemendes Canangkan Pramuka untuk Desa
diakses 21 Oktober 2016 Dikunjungi Peserta Jambore, Kemendes Canangkan Pramuka untuk Desa http://kemendesa.go.id/index.php/view/detil/1852/dikunjungipeserta-jambore-kemendes-canangkan-pramuka-untuk-desa diakses 21 Oktober 2016 Kemenkeu
Minta
Jumlah
Desa
di
Indonesia
tidak
Ditambah
:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/04/20/o5xc dd383-kemenkeu-minta-jumlah-desa-di-indonesia-tidak-ditambah diakses 21 Oktober 2016 Jumlah Desa Tertinggal Di Indonesia http://www.desa-kuat.tk/2016/07/ jumlah-desa-tertinggal-di-indonesia.html diakses 21 Oktober 2016 http://economy.okezone.com/read/2015/04/20/320/1137011/perajin-omzet-batikgedog-tuban-stabil diakses 21 Oktober 2016
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
188
189
BSIAN Seri 2
PEMBANGUNAN TERPADU DESA INOVATIF* Yulvikar Dwirendro Ariawan, S.IP
Pendahuluan
D
esa merupakan wilayah yang menyita perhatian banyak pihak, berbagai problem bisa dikaji dan mendesak untuk diselesaikan. Kekuatan ekonomi desa tidak berdaya terhadap mekanisme pasar, dan menyebabkan pemanfaatan yang kelewat batas atas sumber
daya alam untuk bertahan hidup, akan tetapi di sisi lain banyak sumber daya yang ternyata belum dimanfaatkan secara optimal seperti sinar matahari, air, angin, tanaman, ikan, ternak dan tenaga manusia (Daldjoeni dan Suyitno, 2004:126). Hal senada diungkapkan oleh Rustadi, bahwa di sektor masyarakat tradisional banyak sekali sumber daya alam yang belum dikembangkan secara optimal disebabkan karena masih terbelakangnya masyarakat tersebut, kekurangan modal, sehingga tingkat produktivitas rendah dan berimplikasi terhadap tingkat pendapatan yang rendah 56.
56
Ernan Rustadi, 2009:142
*Tulisan ini dibuat dan dikembangkan berdasarkan dari tulisan Hastuti (1), Suhadi Purwantara (2), Nurul Khotimah (3), Jurusan Pendidikan Geografi, FIS UNY
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
190
Keterbatasan pengetahuan dan modal menjadi faktor yang menghambat pembangunan desa. Walapun pembangunan terhadap desa sudah cukup lama akan tetapi sampai saat ini masih terdapat persoalan yang dihadapi desa dan membutuhkan penyelesaian segera. Program-program yang ada lebih
menunjukkan kebijakan pemerintah yang top-down, karena kebanyakan konsepnya lahir dari konsepsi pejabat atau pihak di luar desa, mengabaikan konteks lokal desa dan pemerintah cenderung menempatkan masyarakat sebagai objek kebijakan pemerintah semata. 57 Sehingga yang terjadi bukanlah tumbuhnya kemandirian dan daya saing desa, akan tetapi ketergantungan dan pragmatisme desa terhadap program pemerintah, desa juga hanya menjadi arena perebutan dukungan politik. Selain beberapa problem di atas, ada persoalan lain yang lebih penting, yaitu paradigma pembangunan yang sangat sektoral. Masing-masing lembaga atau kementerian memiliki program ke desa sesuai urusannya, tanpa memperhatikan dimensi kewilayahan dan sinkronisasi dengan sektor lain. Tarigan berpendapat bahwa sebaiknya program pembangunan merupakan regional
gabungan
dari
pendekatan
sektor
dan
pendekatan
Lewis menyatakan bahwa perkembangan suatu wilayah akan
58
mengalami stagnasi bila hanya satu sektor saja yang dikembangkan.Hal tersebut berarti bahwa keberhasilan pembangunan merupakan upaya memadukan berbagai sektor dalam suatu wilayah tertentu. Keterpaduan tersebut membutuhkan pengelolaan yang terpadu dan kerjasama antar
stakeholder yang terlibat. Sehingga membangun desa adalah proses yang multi- dimensional dan melibatkan segenap stakeholder yang saling bekerjasama. Pembangunan desa merupakan proses merespon tiga lingkungan desa (alam, budaya dan sosial ekonomi) dengan cara yang tepat.
57 58
Sutoro Eko, 2004:216 Tarigan, 2008:43
BSIAN Seri 2
191
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan sebuah penelitian yang
mendalam dengan menggabungkan kajian teoritis dan lapangan mengenai
konsep-konsep pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi. Penelitian lapangan perlu dilakukan di desa yang memiliki keunggulan sesuai dengan kebutuhan di atas. Pertama ialah keunggulan pada proses keterpaduan program kegiatan, kedua adalah keunggulan pada inovasi-inovasi pembangunan. Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam tulisan ini ialah untuk: Merumuskan model pembangunan desa yang berjalan secara terpadu dan mengedepankan inovasi sesuai dengan potensi lokal;
Mengetahui prasyarat yang diperlukan dalam pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi sesuai dengan potensi lokal; Mendefinisikan peran masing-masing pihak dalam mewujudkan pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi sesuai dengan potensi lokal. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya model pembangunan
desa
yang
terpadu
dan
inovatif
sebagai
bahan
pertimbangan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah desa dalam rangka melaksanakan pembangunan desa untuk terwujudnya desa terpadu inovatif
Tinjauan Literatur Strategi Pengembangan ‘Wisata Berbasis Kearifan Lokal’ Strategi pengembangan desa wisata berbasis kearifan lokal mengacu pada potensi fisik dan non fisik yang terdapat pada masing-masing desa yang
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
192
akan dikembangkan. Hal ini berkaitan dengan kekhasan masing-masing
desa dalam menjual potensinya untuk dijadikan modal dasar sebagai desa wisata. Pengembangan desa wisata berbasis kearifan lokal merupakan kegiatan yang tidak mudah untuk dilakukan apabila tidak didukung oleh seluruh komponen masyarakat yang ada di dalam desa tersebut. Sebagai contoh adalah potensi kearifan lokal yang ada, seperti kegiatan panen salak yang diawali menggunakan upacara tertentu. Hal ini tidak akan menjadi suatu potensi kearifan lokal jika hanya dilakukan secara insidental oleh
masing-masing pribadi pemilik lahan. Potensi yang seharusnya muncul di permukaan sebagai kegiatan budaya tidak terlihat karena tidak dilakukan secara komunal dan hanya bersifat pribadi, akan tetapi jika upacara tersebut dilakukan secara komunal dan dikemas, diagendakan oleh seluruh pemilik lahan salak maka akan menjadi sebuah atraksi wisata menarik. Strategi pengembangan desa wisata berbasis kearifan lokal perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Menghindari adanya konflik kepentingan di antara desa-desa wisata yang berdekatan. Pengelolaan desa wisata yang berkelanjutan dan menjaga kelestarian desa wisata itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat desa wisata itu sendiri sebagai bagian dari potensi desa wisata tersebut. Kemasan desa wisata yang tidak monoton sehingga tidak memberikan kesan biasa saja kepada pengunjung. Pemasaran paket desa wisata yang menunjukkan nilai jual desa tersebut. Dapat meningkatkan perekonomian masyarakat desa yang dijadikan desa wisata. Konflik kepentingan pengelolaan desa wisata merupakan hal yang biasa yang terjadi dalam sebuah kegiatan yang pariwisata, karena hal ini menyangkut tentang uang dan keuntungan. Konflik tersebut dapat muncul di antara anggota masyarakat di dalam desa wisata maupun dari luar desa
BSIAN Seri 2
193
wisata tersebut. Keputusan untuk mendeklarasikan diri sebagai desa wisata mempunyai arti bahwa seluruh komponen masyarakat setuju, paham,
mengerti apa desa wisata tersebut. Masyarakat sadar akan keberadaan mereka dalam sebuah desa wisata, termasuk sadar untuk menerima orang lain sebagai tamu/wisatawan di desa mereka dan mereka harus melayani. Oleh karena itu, keberadaan desa wisata harus disadari betul oleh seluruh komponen masyarakat desa bersangkutan mulai dari yang bersifat individu maupun kelompok. Dalam suatu desa wisata umumnya terdapat potensi fisik maupun non fisik, potensi fisik dapat diatur dengan mudah sedemikian rupa, akan tetapi potensi non fisik perlu adanya pendekatan sosial budaya yang mendalam. Potensi sosial budaya yang akan dikembangkan sebagai kearifan lokal dapat menjadi bumerang bagi desa wisata dalam pengembangannya apabila tidak dilakukan pendekatan dengan baik, misalnya jika masyarakat di desa wisata tersebut adalah
masyarakat heterogen maka dapat timbul kelompok-kelompok berdasar agama, ras, silsilah keluarga, status ekonomi, dan lain-lain. Namun demikian jika ada pendekatan yang cukup baik, justru keheterogenan tersebut dapat dijadikan potensi yang menguntungkan untuk pengembangan desa wisata. Konflik kepentingan bisa terjadi karena adanya perebutan dalam pengelolaan desa wisata, baik antara pamong desa, masyarakat, maupun
pihak ketiga. Hal ini tidak boleh terjadi karena sangat tidak
menguntungkan
bagi
pengembangan
desa
wisata.
Pemberdayaan
masyarakat setempat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan atau peningkatan ekonomi tidak akan tercapai dengan adanya konflik kepentingan tersebut. Pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan dalam pengembangan desa wisata. Pemberdayaan adalah peran aktif masyarakat yang dituntut untuk maju atau tidaknya desa wisata tersebut. Peran aktif disini adalah dalam mempersiapkan diri untuk menerima dan melayani tamu/wisatawan yang berkunjung dengan kekhasan yang akan disuguhkan
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
194
kepada mereka. Tanpa peran aktif masyarakat maka tidak akan tercapai slogan pengembangan desa wisata tersebut. Peran aktif masyarakat juga diperlukan dalam pengembangan desa wisata berkelanjutan dan kelestarian sumber daya alam yang ada di desa wisata
tersebut. Dengan membuka diri terhadap dunia luar maka konsekuensi yang harus diterima selain peningkatan kesejahteraan juga pengaruh yang dibawa oleh para tamu/ wisatawan yang berkunjung. Oleh karena itu strategi
pengembangan
desa
wisata
yang
berkelanjutan
dengan
memperhatikan kelestarian sumber daya alam sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas kualitas lingkungan. Apabila kualitas lingkungan meningkat setelah dijadikan desa wisata maka pengembangan desa wisata tersebut termasuk berhasil dalam pengelolaannya, dan sebaliknya apabila kualitas lingkungan menurun setelah dijadikan desa wisata maka pengembangan
desa
wisata
tersebut
termasuk
gagal
dalam
pengelolaannya. Berdasarkan tujuan akhir dari pengembangan desa wisata yaitu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, maka pengembangan desa
wisata
harus
dikelola
secara
profesional
dengan
tidak
mengesampingkan kelestarian sumber daya alam yang ada. Pengemasan dan paket wisata perlu direncanakan dan dikelola dengan baik agar suatu desa wisata mempunyai nilai jual terhadap wisatawan. Paket-paket yang ditawarkan diharapkan mampu memberikan sebuah tantangan yang tidak dapat ditemukan di desa wisata lainnya. Hal inilah yang perlu dipikirkan dalam pengembangan desa wisata, karena masa sekarang desa wisata sangat banyak ragamnya dan jumlahnya di Kabupaten Sleman. Apabila tidak ditawarkan kekhasan desa wisata yang dikembangkan maka nasibnya akan sama dengan desa wisata lainnya, yaitu hanya slogan sebagai desa wisata akan tetapi tidak ada kegiatan wisata di desa tersebut. Kerjasama dengan berbagai pihak dan dinas terkait diperlukan untuk pengembangan desa
wisata,
misalnya
tour and travel, dinas pariwisata daerah,
BSIAN Seri 2
195
pengembangan promosi melalui web/internet, media komunikasi, dan pemasaran yang lain. Hal ini akan mendukung terciptanya iklim wisata yang
kondusif yang tidak menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan desa wisata.
Pengertian Desa Inovatif Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Tengah mendefinisikan Desa Inovatif sebagai desa yang mampu memanfaatkan sumber daya desa dengan cara baru. Berdasar definisi terebut, desa inovatif merupakan implementasi dari konsep Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) yang mendasarkan pertumbuhannya pada endogenous development, atau dalam kata lain pengembangan desa yang benar-benar bertumpu pada potensi sumber daya yang dimilikinya. Pengembangan desa inovatif memerlukan peran serta aktif dari berbagai elemen, yaitu unsur-unsur kelembagaan desa dan daerah, akademisi (perguruan tinggi), pengusaha, perbankan, dan lembaga penelitian dan pengembangan. 59 Gagasan inti pengembangan pedesaan tersebut memiliki kemiripan dengan yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation) di Afrika. Carr (2008) menyatakan bahwa Millenium Village Project (MVP) adalah
usaha
yang
dilakukan
oleh
proyek
milenium
UN
untuk
mengembangkan sarana pada tingkat desa untuk memenuhi Millenium
Development Goals (MDG). Kegiatan tersebut dideskripsikan sebagai strategi pengembangan pada tingkat komunitas yang terintegrasi untuk memberantas kemiskinan di pedesaan dengan menggunakan pendekatan yang sifatnya bottom-up approach. MVP memiliki tiga tujuan utama. Pertama, mencari konsep yang teruji secara kuat untuk mengintegrasikan, berbasis komunitas, dan intervensi berbiaya rendah, sebagai alat praktis untuk mencapai tujuan pengembangan milenium (MDG) di pedesaan Afrika. Kedua, proyek tersebut (MVP) berupaya mengindentifikasi sarana
59
BadanPenelitiandanpengembanganjateng.blogspot.com
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
196
untuk mendorong intervensi-intervensi tersebut dalam mendukung strategi pengembangan nasional dan regional yang fokus pada MDG. Ketiga, MVP berupaya memperluas usahanya di atas 10 tahun untuk menguji lebih jauh penerapannya di Afrika dan juga di tempat lain. MVP mensyaratkan keterlibatan komunitas secara aktif. Masyarakat pedesaan didorong untuk membingkai permasalahan yang menjadi perhatiannya dalam kerangka MDG. Pembingkaian permasalahan lintas desa selanjutnya akan mendorong munculnya rancangan intervensi untuk mencapai serangkaian tujuan bersama, serta sebagai metode yang potensial untuk membawa permasalahan tersebut di tingkat nasional. Sehingga akan mempengaruhi pengambil kebijakan di tingkat nasional yang semuanya berada dalam bingkai Millenium Development Goals (MDG). Carr (2008) menyatakan bahwa evaluasi terhadap proyek MVP masih sulit dilakukan karena keterbatasan data empiris. Namun kajian atas berbagai literatur yang berkaitan mengarah pada pemahaman adanya empat tantangan konseptual yang harus dihadapi MVP. Pertama, pemahaman atas
identifikasi permasalahan lokal (desa) dan solusinya. Kedua, memberikan penekanan pada adanya diversitas masyarakat di tingkat desa beserta solusinya. Ketiga, permasalahan lokal dan solusinya sebagai produk dari isuisu sektoral yang saling terkait erat. Keempat, memastikan keberlanjutan intervensi proyek. 60
60Jurnal
Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260
Beberapa Desa Inovatif di Jawa Tengah
197
BSIAN Seri 2
Desa Maltiharjo Desa Mlatiharjo yang berada di hamparan dataran rendah dengan sistem irigasi teknis yang bagus dan panas matahari yang cukup. Pertanian utama adalah tanaman pangan (padi), hortikultura dan buah. Dengan berbagai kodisi di atas, maka kepala desa menetapkan bahwa visi desa Mlatiharjo adalah: “Terwujudnya Jati Diri Desa Mlatiharjo”. Jati diri yang dimaksud di atas adalah bahwa Desa Mlatiharjo akan mengembangkan diri sebagai desa yang bertumpu pada pertanian dan peternakan. Secara umum sumber daya desa Mlatiharjo cukup memadai baik dari segi SDA, SDM, sarana dan prasarana maupun letak geografis yang cukup menguntungkan usaha tani. Kondisi tersebut mampu dioptimalkan oleh kepala desa dengan mengkoordinasikan berbagai sumber daya dalam sebuah arah kebijakan. Ada beberapa sarjana yang dikoordinir oleh kepala desa yang memiliki budaya inovasi tinggi. Kelompok tersebut terdiri dari beberapa orang dekat kepala desa bahkan kerabatnya, sehingga mudah dikoordinir ke dalam sebuah misi. Semua pihak diberi peran sesuai dengan kemampuan dan latar belakang pendidikannya. Kemampuan masingmasing orang tersebut mampu disinkronkan menjadi pencapaian agenda pembangunan desa. Kepala desa sebagai seorang sarjana pertanian memiliki peran yang besar dalam pengembangan inovasi di bidang pertanian, yaitu pemuliaan tanaman buah dan benih padi. Dengan memanfaatkan sumber daya desa dan sumber daya manusia di sekelilingnya, kepala desa bisa membangun konsep pembangunan yang visioner. Semua itu bisa dilakukan kepala desa karena secara pribadi yang bersangkutan memiliki sumber daya memadai. Sebagai seorang yang berasal dari kalangan atas di desa (ayahnya juga mantan kepala desa), memiliki sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
198
menjadi pemicu dan pendukung proses-proses tersebut. Sumber keuangan desa berasal dari dari sewa tanah kas, produksi pupuk dan hasil pertanian secara berkelanjutan dengan hasil yang cukup besar. Pemanfaatan potensi alam dan sosial sudah mulai terlihat konsepnya. Konsep yang ditawarkan adalah menjadikan desa sebagai wahana wisata edukasi, terutama bidang pertanian. Sinkronisasi program pembangunan desa secara umum berjalan dengan baik, akan tetapi dengan menggunakan metode yang kurang tertib. Dalam perencanaan dan pelaksanaan koordinasi dilakukan secara insidental, tidak terpola dan tanpa pembagian kewenangan dan tugas yang tegas antar aktor. Kepala desa mampu memanfaatkan potensi SDM secara maksimal, namun tidak terlembagakan secara baik. Pelaksanaan berbagai program bisa berjalan lancar dengan dukungan sumber daya yang memadai, namun dokumentasi dan tertib administrasinya kurang. Kepala desa juga mampu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas desa. Kepala desa memiliki kapasitas yang memadai dalam visi dan arah kebijakan pembangunan. Akan tetapi dalam poses pengelolaan, manajemen yang digunakan masih belum terorganisir dengan baik. Perhatian utama saat ini ialah fokus pada kinerja, setelah stabil baru kelembagaan dibangun dengan konsep yang mapan. Arahan dan tahapan pembangunan juga belum tersusun dengan baik. Kelemahan utama ialah pada manajemen yang masih belum tertata dengan baku. Kepala desa Mlatiharjo selalu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terkait, inovasi-inovasi bidang pengembangan pertanian dilakukan dengan UKSW Salatiga. Kerjasama dalam mekanisasi alat-alat pertanian dilakukan dengan Polines Semarang. Pemuliaan benih padi dan buah dilakukan dengan para pakar dari balai inseminasi dan pemuliaan tanaman Kementerian Pertanian.
BSIAN Seri 2
199
Desa Mlatiharjo juga mulai merintis penggunaan teknologi informasi untuk
sektor pelayaan publik, akan dibuat sistem terintegrasi sehingga begitu
terjadi proses pelayanan dan terdapat perubahan data, maka database akan berubah secara kontinu. Tujuan penggunaan teknologi informasi adalah untuk menuju pelayanan pemerintah berbasis teknologi informasi atau e-
government. Pada sektor pendidikan, terdapat kerjasama antara kepala desa dengan pihak yang memiliki kompetensi untuk membangun sekolah menengah kejuruan. Sekolah tersebut mengkhususkan dirinya pada jurusan pertanian. Hal ini sesuai dengan potensi lokal. Tujuan kedepan adalah menciptakan SDM desa yang berkualitas untuk kemajuan usaha tani desa. Inovasi sesuai visi desa dilakukan dalam bidang peternakan dan pertanian. Fokusnya adalah pada menciptakan bibit unggul yang spesifik lokal dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah lainnya. Inovasi juga dilakukan dalam mekanisasi pertanian. Kepala desa sebagai seorang sarjana pertanian dan pengurus HKTI di tingkat kabupaten, memiliki jaringan yang luas. Kepala desa bisa menciptakan jenis padi baru yang spesifik, yaitu varietas Melati dan Sulthan. Kepala desa juga mengembangkan jenis padi organik dengan memanfaatkan tanahnya dan tanah kas desa untuk proses uji coba berbagai varietas padi. Melalui jaringannya kepala desa bisa mendapatkan beberapa jenis buah unggulan. Pohon nangka sudah ditanam hampir di setiap pekarangan penduduk. Selain itu dikembangkan buah lengkeng. Keberhasilannya adalah bisa menjadikan lengkeng berbuah dengan kualitas yang lebih bagus dengan daerah lainnya. Walaupun lokasi desa berada di ketinggian 6 meter di atas permukaan laut (dpl), namun lengkeng bisa tumbuh dan berbuah. Selama ini lengkeng hanya ditanam di dataran tinggi, di atas 350 meter dpl.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
200
Pada sektor peternakan, dilakukan pengembangan jenis kambing karena potensi pasar yang besar dan siklus yang relatif singkat. Selain sebagai pedaging, kambing juga diambil susunya. Bibit kambing yang sedang diupayakan adalah yang memiliki badan kecil dan mampu memproduksi banyak susu. Lahan-lahan yang kosong juga bisa ditanam pohon kayukayuan. Konsep ini merupakan upaya untuk memperkuat ketahanan pangan
masyarakat
desa.
Sehingga
masyarakat
memiliki
sumber
penghidupan yang bisa mencukupi kebutuhan harian seperti ayam atau itik, memiliki tabungan bulanan seperti kambing atau domba dan tabungan tahunan berupa sapi atau pohon kayu. Sebagai dukungan terhadap konsep pertanian dan peternakan di atas, dilakukan pembuatan pupuk dan pestisida organik serta pakan ternak yang berbahan dasar barang-barang yang banyak terdapat di desa, seperti jerami. Pupuk dan pestisida untuk memulai meninggalkan ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida kimia yang membahayakan kelangsungan daya dukung tanah. Terdapat beberapa output pembangunan yang merupakan produk inovasi dari masyarakat. Inovasi tersebut berpotensi sebagai produk unggulan desa. Di bidang lain, inovasi bisa meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam bidang pertanian, telah dihasilkan bibit padi jenis baru yaitu Melati dan Sulthan. Pertanian organik sedang dikembangkan dan ke depan akan dibentuk kelembagaan klaster yang meliputi beberapa desa. Budidaya buah-buahan yang potensial seperti nangka dengan keunggulan khusus, lengkeng, pisang dan buah lainnya. Inovasi pupuk juga dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di desa, terutama kotoran ternak. Pada peternakan sedang diupayakan penciptaan jenis spesies kambing yang baru sesuai selera pasar. Selain keunggulan di atas, terdapat beberapa kelemahan yang terjadi. Inovasi sangat tergantung pada figur kepala desa dan beberapa warga, tidak terlembagakan dalam pemerintahan desa. Inovasi-inovasi yang
BSIAN Seri 2
201
dilakukan cenderung sebagai milik kepala desa dan orang-orang
terdekatnya, bukan merupakan aset desa. Untuk ke depan, keberlanjutan pembanguan dan inovasi kurang bermakna bagi desa ketika tidak dimulai
proses transformasi kepada unsur desa dan masyarakat lainnya. Selain itu, kepala desa juga kurang melibatkan aparat secara maksimal, sehingga tertib administrasi dan prosedur pelayanan publik kurang menjadi perhatian. Ke depan perlu diperhatikan sebagian peningkatan pelayanan publik melibatkan
aparat
berkelanjutan.
61
desa,
sehingga
menjadi
pembaruan
yang
Desa Samiran Sebagai daerah yang terletak di pegunungan dan merupakan jalur celah antara gunung Merapi dan Merbabu serta jalur kawasan wisata Solo-SeloBorobudur, maka potensi yang dapat ditingkatkan adalah sektor pertanian, peternakan, pariwisata, UMKM pendukung pariwisata. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, kepala desa bersama segenap stakeholder desa menetapkan visi sebagai berikut“Mendorong Terwujudnya Masyarakat dan Pemerintah Desa Samiran yang Aman, Maju, Sehat, dan Sejahtera”. Untuk memaksimalkan pembangunan desa, kepala desa sangat aktif mencari
bantuan dan program-program
dari
pemerintah sebagai
penopang utama keuangan desa. Kepala desa mengkoordinir dengan baik pelaksanaan program-proram tersebut dengan sasaran masing-masing, tetapi saling melengkapi. Kendala kepala desa adalah belum tersedianya daya dukung SDM aparatur pemerintah desa yang mampu mendukung kinerja kepala desa. Sebagian perangkat sudah berusia lanjut dan tidak mudah diajak bekerjasama sesuai visi kepala desa terutama dalam hal menyesuaikan dengan kinerja kepala desa. Untuk memulai peningkatan kinerja, kepala desa mendelegasikan urusan melegalisir KTP kepada kepala urusan pemerintahan. Strategi kepala desa untuk menghadapi persoalan 61Model
Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 255
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
202
perangkat desa adalah dengan memanfaatkan kelembagaan masyarakat yang dianggap mampu menjalankan tugas pembangunan. Kendala yang dihadapi desa adalah minimnya pendapatan desa. Dana yang berasal dari hasil sewa tanah kas dan ADD hanya cukup untuk biaya operasional desa, sedangkan untuk pembangunan perlu dukungan dari luar. Untuk menyikapi kondisi tersebut, kepala desa aktif mencari sumber pendanaan dan bantuan proyek dari berbagai pihak. Keunggulan Samiran adalah banyak program yang masuk sehingga membantu pembangunan desa. Banyaknya program proyek tersebut didorong karena lemahnya sumber daya keuangan desa. Pendapatan yang
kurang memadai terbantu dengan berbagai proyek, akan tetapi hal ini menjadi persoalan di kemudian hari ketika kepala desa tidak mampu mendatangkan berbagai proyek dan dana tambahan. Banyaknya program-program tersebut tidak saling berbenturan satu dengan lainnya. Semua program bisa dikoordinasikan oleh kepala desa melalui koordinasi rutin antar pelaku program dan penerima program. Swadaya masyarakat untuk program-program yang ada juga cukup baik. Terjadi kerjasama dalam pembangunan, misalnya program PNPM Mandiri memiliki kegiatan pembangunan sarana prasarana, kemudian pemerintah desa menyediakan lahan kas desa untuk dibangun gedung BLM dari dana PNPM Mandiri. Pelaksanaan program PNPM Mandiri dan JRF Rekompak dikoordinir oleh kepala desa, sehingga sasaran program dapat saling melengkapi. Perencanaan pembangunan cukup partisipatif, musrenbangdes diikuti aparat desa, lembaga-lembaga desa, RT/RW dan perwakilan dusun, LSM, dinas dan satker kecamatan. Dalam monitoring program, perumusan review RPJM Des dan RKP Des diikuti perwakilan lembaga masyarakat (masingmasing 2 orang) sebagai perumus RPJMDes. Kepala desa telah memulai proses pemberdayaan masyarakat dalam segala aspek pemerintahan desa.
BSIAN Seri 2
203
Selain agar semua unsur desa mengetahui dan terlibat dalam proses
pembangunan, juga adanya proses keberlanjutan pembangunan. Agenda
pembangunan, perumusan program, pelaksanaan pengawasan dan evaluasi melibatkan segenap unsur desa. Kepala desa juga aktif turun ke pertemuan warga untuk menyerap aspirasi. Sehingga secara politis, kepala desa telah melakukan demokratisasi yang substansial. Kepala desa juga
mampu mengajak segenap pihak pelaksana program dan kelembagaan masyarakat untuk menyatukan pemahaman. Dalam bidang pertanian, kedepan dengan konsep STA (Sub Terminal Agribisnis), diharapkan memiliki pasar sendiri. Selama ini sayur produk Samiran dan Kecamatan Selo pada umumnya dijual di pasar Kecamatan Cepogo. Biogas juga mulai dikembangkan untuk mandiri energi. Dengan konsep Agro Silvo Pastural yaitu pertanian, peternakan dan kehutanan menjadi keunggulan desa ke depan. Gapoktan sebagai induk kelompok petani di desa akan dikembangkan menjadi organisasi yang kuat sebagai wadah bagi pengembangan usaha tani, kendala dana menjadi masalah klasik. Kendala lain pertanian adalah musim yang tidak menentu dan masih kurangnya pemeliharaan sapi ternak, untuk mengatasi kendala tersebut warga mengharap agar dari pemerintah memberikan hibah ternak sapi. Inovasi dalam bidang peternakan yang memiliki daya ungkit adalah mengubah produk susu menjadi keju, yang dilaksanakan dengan dukungan kerjasama dengan kosultan dari Belanda. Selama ujicoba, sebagaimana disampaikan Kepala Desa Samiran uji coba berhasil dan akan dikembangkan menjadi industri keju. Di sektor UMKM, ada beberapa home indsutry, seperti gula klethak, jadah, dll. Selain itu berbagai macam hasil pertanian, sayur, tembakau, budidaya jamur kuping, kerajinan bambu wulung, dan lainya. Sektor tersebut juga menjadi pelengkap wisata Samiran. Untuk itu BLM dipergunakan semaksimal mungkin untuk membina SDM dalam meningkatkan kualitas produk.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
204
Bentuk inovatif lainnya dalam bidang ekonomi adalah pemanfaatan aset desa untuk meningkatkan pedapatan. Dengan memanfaatkan sumber daya berbagai program, terutama PNPM Mandiri dan aset desa, telah dibangun gedung pelatihan yang diberi nama Balai Latihan Masyarakat (BLM) dan ke depan akan dibangun gedung serbaguna dilengkapi dengan penginapan. Konsep ini menangkap peluang posisi Samiran di pegunungan yang sering digunakan sebagar tempat acara seminar, pelatihan, kursus dan lainnya oleh berbagai pihak. 62
Desa Jatiroyo Secara geografis letak desa yang kurang srategis berada di pedalaman, sehingga panduduk hanya bisa mengandalkan pertanian dan sumber daya alam lain seperti penambangan batu dan pasir. Kepemilikan lahan yang relatif tidak luas sehingga pendapatan penduduk juga tidak terlalu tinggi, untuk itu sebagian besar warga merantau ke luar daerah untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Pertanian bisa dibedakan menjadi pertanian jangka pendek, dengan menanam hortikultura, seperti padi, jagung, ubi kayu, sayur-sayuran. Sedangkan pertanian jangka panjang meliputi tanaman kayu seperti sengon, jati, dan buah-buahan seperti durian, rambutan, dan mangga. Kelebihan perencanaan pembangunan desa adalah pelibatan segenap unsur desa. Setiap program pembangunan juga diintegrasikan ke dalam APBDes, meskipun berasal dari sumber lain. Pemerintah desa juga mampu merangkul berbagai unsur dan dikelola dengan baik oleh sekretaris desa secara kompeten. Kepala desa berperan sebagai fasilitator dan masyarakat berperan lebih aktif dalam pembangunan. Administrasi pembangunan cukup baik, semua program dari luar seperti PNPM Mandiri, PDT dimasukkan dalam dokumen APB Des. Kinerja aparat cukup tertib, ada sistem jaga untuk setiap aparat, sehingga pelayanan kantor desa berjalan lancar. Dianggarkan dalam 62Jurnal
Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260
BSIAN Seri 2
205
APBDes untuk peningkatan kinerja aparat, namun sering tidak terlaksana karena anggaran tidak mencukupi
Untuk urusan perekonomian, pemerintah desa bekerjasama dengan
masyarakat. BUMDes dan pasar desa dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa hanya memfasilitasi. Tanah kas desa pengelolaannya dilakukan oleh keluarga miskin dengan proporsi bagi hasil 50% penggarap/ pemelihara 50%. Pada sektor UMKM, ada beberapa potensi industri lokal/
home industry di desa Jatiroyo yang nantinya bisa dikembangkan dengan bantuan BUMDes, yaitu home industry tahu tempe, rambak, anyamanyaman bambu, merangkai bunga kering, gypsum, mebeler/pertukangan, bengkel cat duko, penjahit, perbengkelan mesin dan pengelolaan hasil ternak/perikanan. Potensi-potensi tersebut dapat dikembangkan dengan dukungan modal dan pendampingan bisnis. Pelatihan-pelatihan sudah mulai
dilakukan
untuk
meningkatkan
kapasitas
dan
keterampilan
masyarakat. Program PNPM Mandiri juga fokus pada upaya tersebut. Terdapat kerjasama yang erat antarpelaku program dan dukungan masyarakat.
Koordinasi
pembangunan
menghasilkan
sinergisitas
pembangunan desa. Setiap 35 hari sekali ada forum selapanan baik di kelompok gapoktan maupun paguyuban RT/RW sebagai sarana sosialisasi dan koordinasi antar aktor pelaku program pembangunan, sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat. Pada forum tersebut, pengelolaan program PNPM Mandiri maupun Pembangunan Desa Terpadu (PDT) juga hadir memberikan sosialisasi dan informasi kepada masyarakat. Terdapat dua program utama eksternal di desa Jatiroyo, yaitu PNPM Mandiri dan PDT. Pelaku program seperti PNPM Mandiri dan PDT aktif melakukan sosialisasi dan koordinasi kepada warga melalui dusun maupun forum RT/RW. Ada koordinasi antara PNPM Mandiri dan PDT sehingga tidak tumpang tindih dan saling melengkapi. Pembangunan pasar desa dibiayai oleh program PDT dan swadaya masyarakat, termasuk pembelian lahan.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
206
PNPM Mandiri memberikan fasilitasi pelatihan kepada masyarakat dan perbaikan sarana jalan desa. Dalam perencanaan dan pelaksanaan selalu ada koordinasi antar pelaku agar tidak terjadi kesamaan sasaran. Melalui musrenbangdes dibahas berbagai kegiatan di desa. Secara administratif setiap kegiatan dimasukkan dalam APBDes secara tertib, biasanya program PDT tengah tahun, PNPM awal tahun. Sebagian warga bisa berperan aktif walaupun masih terbatas pada pihak-pihak tertentu. PNPM Mandiri yang mulai dilaksanakan tahun 2010 sudah menghasilkan pembangunan selaras dengan pembangunan lainnya. Program PDT menghasilkan pasar desa,
simpan pinjam dan lumbung pangan.
Pembangunan pasar desa dengan juga dengan bantuan swadaya masyarakat. Rencana ke depan kios pasar desa akan disewakan. Simpan pinjam kepada seluruh masyarakat dengan menggunakan agunan berupa sertifikat tanah atau BPKB, simpan pinjam juga diberikan di kelompok PKK. Gapoktan yang terdiri dari 11 kelompok tani, setiap 35 hari sekali ada pertemuan dan
berkoordinasi
dengan pihak
lain,
gapoktan
juga
memanfaatkan pasar desa serta BUMDes untuk kemajuan usaha tani. Penyaluran pupuk subsidi dilakukan oleh gapoktan, tetapi masih terkendala permodalan. Para petani mulai membuat pupuk kompos, dan obat tanaman buah. Hasil pertanian berupa padi, jagung, ketela pohon, dan sudah 5 tahun ini produksi jagung meningkat. Namun penjualan masih cenderung dilakukan perseorangan, sehingga akan dirintis penjualan bersama. Harapan kedepan bisa dikoordinir oleh gapoktan dan memanfaatkan pasar desa. Peningkatan produksi jagung masih membutuhkan bantuan permodalan, pupuk dan benih. Kepala desa selalu melakukan konsolidasi setiap senin untuk mengevaluasi kinerja mingguan dan membahas kegiatan berikutnya. Pemerintah desa
BSIAN Seri 2
207
mengupayakan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan pembinaan.
Dalam APBDes dianggarkan dana untuk pelatihan-pelatihan aparat. Ada aparat yang piket di kantor setiap hari dan para kadus setiap 2 minggu sekali masuk di kantor desa. Ada koordinasi antar-kadus, dibentuk 2 kelompok kadus, masing-masing 5 orang dan diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah, jika tidak bisa maka diselesaikan di desa. Tanah kas desa yang kurang produktif juga dimanfaatkan untuk penanaman kayu yang produktif seperti sengon. Selain itu, pembangunan pasar desa dan BUMDes berpotensi menjadi penguat perekonomian desa dan menjadi daya ungkit perekonomian desa ke depan. Secara umum, pembangunan bidang pertanian masih menghadapi kendala saat ini yaitu kurangnya permodalan untuk mengembangkan BUMDes. Petani juga merasakan kurangnya sarana sentra penjualan hasil pertanian, khususnya gudang untuk menampung hasil tanaman. Selain itu daya saing produk pertanian masih lemah, kurangnya inovasi dan penguatan pasar. Potensi tanaman obat (empon-empon) belum dikembangkan dengan baik sebagaimana
desa-desa
di
sekitarnya.
Bidang
peternakan
kurang
berkembang dan masih dikelola secara tradisional oleh petani. Pembangunan UMKM dilakukan dengan penyaluran bantuan kepada masyarakat. Ada beberapa lembaga keuangan mikro sebagai hasill pelaksanaan program PNPM Mandiri dan PDT yaitu simpan pinjam perempuan (SPP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM), PKK dan lembaga lainnya. Lembaga-lembaga keuangan mikro tersebut sangat membantu permodalan masyarakat dalam manajemen usahanya. Kelemahan utama Desa Jatiroyo adalah perekonomian mengandalkan pada proses eksploitasi sumber daya alam, bukan pemanfaatan yang berorientasi berkelanjutan. Ketidakadaan daya dukung sumber daya alam habis, maka produktiftas akan semakin menurun. Untuk itu perlu dipikirkan sebuah metode pemanfaatan sumber daya alam yang bisa diperbaharui.
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
208
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif Perubahan paradigma pembangunan dari mengutamakan indikator kuantitatif kepada keseimbangan dengan indikator kualitatif. Kegagalan pembangunan berbasis pertumbuhan, menciptakan paradigma baru yang meyakini bahwa pembangunan harus diarahkan kepada terjadinya pemerataan
(equity),
pertumbuhan
(eficiency),
dan
keberlanjutan
(sustainability) yang berimbang dalam pembangunan ekonomi. Mengubah prinsip pertumbuhan semata menjadi prinsip pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency) dan keberlanjutan (sustainability) menjadi sangat penting bagi pembangunan desa masa kini. Todaro telah menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, maka perlu melibatkan segenap stakeholder yang saling bekerjasama. Pembangunan desa merupakan proses merespon tiga lingkungan desa (alam, budaya dan sosial ekonomi) dengan cara yang tepat. Maka dalam pembangunan harus diperhatikan unsur lingkungan tersebut. Desa Samiran telah menunjukkan bahwa dengan keterbatasan keuangan, namun pelaksanaan upaya koordinasi, pemerataan dan partisipasi, arah pembangunan dapat menghasilkan sebuah keunggulan tersendiri. Desa Jatiroyo dengan ketergantungannya terhadap pihak luar, berusaha memanfaatkan
yang
didapatnya
untuk
kebutuhan
pokok
mereka.
Sedangkan desa Mlatiharjo, meskipun dengan manajemen yang sangat tidak memadai, melakukan penggalian potensi yang tersembunyi dari kearifan lokal manusia-manusia desa yang berkualitas. Selain pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan merupakan tujuan utama pembangunan. Pemerataan baik secara wilayah, sektoral maupun penerima atau pemanfaat pembangunan merupakan ukuran penting
BSIAN Seri 2
memenuhi
kebutuhan
sesaat,
tetapi
menjaga
bagaimana
209
keberhasilan pembangunan. Keberlanjutan pembangunan tidak saja
terjadi
kesinambungan dana agar manfaatnya bisa dirasakan lintas generasi. Dari
konsep-konsep tersebut di atas, berikut gambaran yang lebih komprehensif mengenai siklus pembangunan terpadu inovatif yang dapat dirumuskan. Tabel 10. Kerangka Umum Pembangunan Desa Inovatif No Indikator 1
Identifikasi Potensi a. SDM
b. SDA
c. Sarana dan Prasarana d. Sumber daya Sosial 2
Perencanaan
Situasi yang Diharapkan Tersedianya peta potensi desa Aparat: tersedianya SDM aparatur yang mampu menjalankan tugas dengan baik, kapasitas mampu mendukung visi-misi kades Masyarakat: kapasitas masyarakat mampu mendukung program pembangunan, penguasaan iptek baik, modal sosial kuat Potensi sumber daya alam terjaga dengan baik, dikelola dengan prinsip keberlanjutan, menjaga kelestarian dan daya dukung ke depan Tersedianya sarana dan prasarana fisik yang mendukung pembangunan Partisipasi masyarakat serta tersedianya lembaga masyarakat sebagai pelaku pembangunan Perencanaan pembangunan yang
Kegiatan yang Perlu dilakukan Inventarisasi potensi desa Aparat: melakukan konsolidasi rutin berkala, peningkatan kemampuan melalui pelatihan, pendidikan, yang bisa dikoordinir pemda Masyarakat: memanfaatkan berbagai media untuk pembelajaran masyarakat Melakukan inovasi untuk menghindari eksploitasi berlebihan dan ketergantungan kepada sumber daya alam Memaksimalkan aset desa untuk pelaksanaan pembangunan dan menjaga yang ada Mengedepankan lembaga masyarakat sebagai pelaksana utama pembangunan Menetapkan arah pengembangan strategis, melibatkan masyarakat
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
210 3
Pengelolaan Sumber daya a. Sumber daya
b. Pengelola
4
Sinkronisasi a. Pelaku
luas, mengakomodasi kepentingan berbagai pihak dan sektor serta memadukan kerangka pembangunannya
Terbangunnya pola pemanfaatan sumber daya yang optimal dan manajemen yang efektif dan efisien Sumber daya dikelola oleh pihak yang tepat dan kompeten, memiliki landasan kekuatan hukum dan diakui legitimasinya
Peningkatan kemampuan SDM dalam bidang manajemen sumber daya melalui pelatihan dan kerjasama Adanya kesepakatan warga desa mengenai siapa yang diberi wewenang mengelola sumber daya-sumber daya yang ada secara tepat
Terbangunnya pola komunikasi, koordinasi dan kerjasama antarpelaku pembangunan di desa
Peran aktif pemerintah desa dan lembaga masyarakat dalam mengarahkan para pelaku pembangunan Koordinasi antar pelaku, pemerintah desa dan masyarakat Koordinasi antar pelaku, pemerintah desa dan masyarakat Peran aktif pemerintah desa dan lembaga masyarakat dalam mengarahkan para pelaku pembangunan
b. Sektor
Saling terkaitnya pembangunan antar sektor
c. Sasaran
Sasaran pembangunan yang tepat dan tidak tumpang tindih Penerima program tidak tumpang tindih dan menerima manfaat program dengan baik
d. Penerima
5
mengakomodasi semua pihak dan seluruh rencana program pembangunan yang akan dilakukan baik secara strategis (5 tahunan) maupun secara teknis (tahunan)
Inovasi a. Perekonomian b. Pendapatan
Peningkatan produktifitas masyarakat berbasis IPTEK Peningkatan pendapatan masyarakat sebagai hasil
Mendorong dan memfasilitasi inovasi teknologi tepat guna Implementasi teknologi tepat guna dalam semua
BSIAN Seri 2
d. Kualitas Hidup 6
Hasil Pembangunan a. Peningkatan Kesejahteraan
b. Peningkatan kualitas hidup
c. Pemerataan
d. Keberlanjutan
Peningkatan kualitas hidup sebagai hasil pelayanan yang baik Peningkatan pendapatan masyarakat sebagai hasil dari peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi serta penguatan pasar. Penggunaan sumber daya sekecil mungkin untuk menghasilkan sebanyak mungkin keuntungan
Peningkatan kualitas hidup masyarakat sebagai hasil pembangunan yang terpadu dan memanfaatkan inovasiinovasi teknologi tepat guna Penerima manfaat pembangunan merata
Pemanfaatan sumber daya memperhatikan generasi mendatang, orientasi dan sasaran pembangunan tidak parsial (proyek) tetapi kontinu
aspek usaha masyarakat desa Mendorong dan memfasilitasi inovasi dan teknologi tepat guna Implementasi teknologi tepat guna dalam semua aspek pelayanan publik
211
c. Pelayanan Publik
keunggulan produk yang kompetitif Peningkatan pelayanan publik berbasis IPTEK
Kerjasama dengan berbagai pihak penyedia inovasi, pemanfaatan inovasi secara tepat, pembentukan kelembagaan yang kuat. Pemanfaatan inovasi yang tepat, kerjasama antar pelaku pembangunan, pengawasan terpadu oleh segenap unsur desa terhadap pelaksanaan pembangunan Kerjasama dengan berbagai pihak pelaku pembangunan, pemanfaatan inovasi secara tepat, pembentukan kelembagaan yang kuat Perencanaan yang komprehensif dalam bentuk rencana strategis pembangunan desa, dengan melibatkan segenap unsur desa Upaya perencanaan yang mampu mengakomodir berbagai kebutuhan masyarakat dan keberadaan berbagai macam program
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
212
pembangunan dalam satu arah kebijakan serta mengedepankan inovasi untuk menghindari ekpsloitasi berlebih dan ketergantungan terhadap SDA
Operasionalisasi Konsep Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati Pembangunan
Desa
Terpadu
adalah
pembangunan
desa
dilakukan usaha yang intensif dengan tujuan dan kecenderungan memberikan fokus perhatian kepada kelompok maupun daerah tertentu. Pembangunan
Desa
Inovatif
ialah
kegiatan-kegiatan
pemberdayaan melalui pembangunan dalam bentuk perbaikan mutu hidup dan perilaku.
Gambar. 30 Kerangka Komprehensif Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif
213
BSIAN Seri 2
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
214
Penutup Kesimpulan Model pembangunan terpadu inovatif merupakan siklus pembangunan yang dimulai dari proses identifikasi potensi sumber daya dan kemudian menentukan arah pembangunan yang melibatkan segenap unsur desa. Setelah ditentukan arah pembangunan, pengelolaan sumber daya desa
perlu ditetapkan secara tepat dan benar. Kemudian inti dari pembangunan terpadu inovatif adalah proses yang mengutamakan sinkronisasi antar sektor dan antar pelaku serta mengedepankan inovasi dalam berbagai bidang sebagai tekniknya. Dengan demikian, hasil pembangunan akan menciptakan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Hasil-hasil tersebut akan menjadi bahan masukan bagi pembangunan tahap berikutnya. Dengan memperhatikan tiga contoh kasus di atas, maka prasyarat pembangunan desa terpadu inovatif adalah: Teridentifikasinya potensi sumber daya dan arah pembangunan; Terlaksananya pengelolaan sumber daya yang tepat guna; Terciptanya sinkronisasi dalam pelaksanaan pembangunan; Menumbuhkan inovasi sebagai teknik pembangunan; serta Hasil pembangunan mencakup unsur pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Selain itu peranan yang perlu dilakukan oleh masing-masing pihak terkait dalam pembangunan desa adalah: Pemerintah,
pemerintah
provinsi,
pemerintah
kabupaten
harus
konsisten dan terarah dalam merumuskan arah kebijakan, menentukan bentuk program, implementasi program secara terkoordinir serta proses monitoring dan evaluasi yang terpadu;
BSIAN Seri 2
215
Pemerintah desa melakukan identifikasi potensi dan menentukan arah
kebijakan, membangun koordinasi dan sinkronisasi serta memberikan fasilitasi dan mengedepankan pemberdayaan masyarakat;
Masyarakat desa dan lembaga kemasyarakatan desa berpartisipasi dan melakukan pengawasan; Akademisi memberikan masukan IPTEK dan pendampingan; dan Pelaku usaha melakukan investasi dan kerjasama. Dengan demikian, keberhasilan pembangunan desa tidak hanya disokong kinerja unsur internal desa semata, melainkan kerjasama berbagai pihak.
Saran Selain itu terdapat beberapa poin yang dapat menjadi masukan dalam model pembangunan desa terpadu inovatif antara lain. Agar model pembangunan desa terpadu inovatif bisa menjadi konsep yang benar-benar mejawab persoalan perlu uji coba implementasinya di beberapa desa melalui program terarah dan sistematis. Kemudian dilakukan evaluasi untuk menilai efektifitasnya serta memperbaiki konsepnya. Proses ini perlu melibatkan berbagai unsur lembaga pemerintah dan akademisi serta pelaku usaha; Penciptaan prasyarat pembangunan terpadu inovatif perlu dilakukan oleh pemerintah desa dan segenap unsur desa mulai melakukan berbagai
pembenahan
dalam
menetapkan
arah
kebijakan
pembangunan desa. Proses tersebut juga perlu didukung berbagai unsur terkait seperti pemerintahan akademisi dan pelaku usaha sebagai fasilitator;
dan
penguatan
peran
masing-masing
pihak
dalam
pembangunan desa terpadu inovatif dilakukan dengan membangun kerangka kebijakan yang tegas dari pemerintah pusat, pengawalan, monitoring dan evaluasi dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten serta komitmen segenap unsur desa. Akademisi secara
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
216
kontinu berhubungan dengan desa, dan dunia usaha menjalin kerjasama secara berkelanjutan dengan desa
BSIAN Seri 2
217
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Dudung. 2003. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. Adisasmita, Raharjo. 2006. Membangun Desa Partisipasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Dagun. Save M. 2006. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN). Daldjoeni dan Suyitno. 2004. Perdesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung: PT. Alumni. Dwipayanan, Ari AA. 2003. Desa Adat: Antara Otentisitas dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eko, Sutoro. 2003. Meletakkan Desa dalam Desentralisasi dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
217
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
218
219
BSIAN Seri 2
INOVASI “SYSTEM CLUSTER” DALAM PENINGKATAN PEREKONOMIAN Study Inovasi: Kelurahan Rejowinangun Yogyakarta Abdul Muis
Pendahuluan
A
pabila suatu negara ingin memenangkan persaingan di masa depan, maka kunci utamanya adalah perkuat inovasi. Hal ini telah dibuktikan oleh Amerika Serikat dan negara-negara maju seperti Jepang atau negara berkembang yang memiliki budaya inovasi
yang kental seperti India yang menguasai hampir setiap kemajuan yang terjadi hari ini. Berapa banyak hasil inovasi yang telah dilahirkan disana sejak menjelang abad kedua puluh yang menjadi batu lompatan menuju teknologi yang kita rasakan saat ini. Sebutlah teknologi internet dan layar sentuh, yang saat ini tertanam di dalam perangkat-perangkat yang ada di hampir setiap saku celana dan genggaman tangan kita. Atau teknologi “DNA Sequencing” yang
219
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
220
memungkinkan ditemukannya berbagai macam obat dan penyembuhan terhadap berbagai macam penyakit genetik. Atau usaha menemukan bahan bakar ramah lingkungan yang mengerucut pada bahan bakar hidrogen yang saat ini telah tertanam di dalam mobil keluaran Toyota yang akan dipasarkan tahun depan di Amerika dan Jepang yang emisinya adalah air (H20). Atau teknologi serat optik (fiber optic) yang memungkinkan terjadinya
aliran data secara super cepat hingga kita dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain dalam waktu singkat. Dan begitu banyak inovasi-inovasi lain yang melingkupi keseharian kita saat ini. Lalu apakah kita, bangsa Indonesia hanya akan menjadi penonton dan pemakai atas setiap kemajuan yang terjadi saat ini dan di masa depan? Tulisan
ini
akan
mengupas
strategi
apa
yang
diperlukan
dalam
pengembangan inovasi untuk mendukung pembangunan bangsa, agar kita dapat memenangkan persaingan di masa depan, kita tidak menjadi penonton, meskipun pada saat ini kita sudah ketinggalan jika dibandingkan dengan Negara-negara lain dalam hal perkembangan inovasi. Inovasi tidak dimulai dari hal-hal yang besar, tetapi inovasi berangkat dari hal-hal yang kecil, mulai dari daerah yang kecil, mulai dari desa, kelurahan, kabupaten dan seterusnya, oleh sebab itu tulisan ini akan menyajikan inovasi dimulai dari daerah yang kecil, yakni inovasi di Kelurahan Rejowinangun Kota Yogyakarta, salah satu kelurahan yang telah berprestasi di kancah nasional dalam hal inovasi. Salah satu inovasi yang dikembangkan di Kelurahan Rejowinangun dalam rangka meningkatkan daya saing dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya adalah “system cluster”.
Pengertian Inovasi dan Sistem Cluster Marilah kita mengupas definisi inovasi dari beberapa sudut pandang. Secara etimologi inovasi berasal dari bahasa Latin “innovare” atau “innovatio” yang kemudian diserap ke dalam bahasa inggris “innovation” yang berarti
BSIAN Seri 2
221
pembaharuan atau perubahan. Kata kerjanya“innovo yang artinya memperbaharui dan mengubah. Inovasi ialah suatu perubahan yang baru
menuju ke arah perbaikan, yang lain atau berbeda dari yang ada sebelumnya, yang dilakukan dengan sengaja dan berencana (tidak secara kebetulan).
Menurut kamus Merrian-Webster, innovation (inovasi) berarti melakukan sesuatu dengan cara yang baru; memiliki ide/ gagasan yang baru mengenai bagaimana sesuatu dilakukan/ dikerjakan. Tiga hal utama dalam inovasi adalah : Gagasan baru yaitu suatu olah pikir dalam mengamati suatu fenomena yang sedang terjadi, termasuk dalam bidang pendidikan,ekonomi, sosial budaya, gagasan baru ini dapat berupa penemuan dari suatu gagasan pemikiran, ide, sistem sampai pada kemungkinan gagasan yang mengkristal. Produk dan jasa yaitu hasil langkah lanjutan dari adanya gagasan baru yang ditindak lanjuti dengan berbagai aktivitas, kajian, penelitian dan percobaan sehingga melahirkan konsep yang lebih konkret dalam bentuk produk dan jasa yang siap dikembangkan dan dimplementasikan termasuk hasil inovasi di bidang pendidikan. Upaya
perbaikan
yaitu
usaha
sistematis
untuk
melakukan
penyempurnaan dan melakukan perbaikan (improvement) yang terusmenerus sehingga buah inovasi itu dapat dirasakan manfaatnya. Dalam konteks kebijakan, Inovasi Pemerintah Daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, UndangUndang ini memberikan peluang yang luas bagi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi. Hal tersebut sebagaimana diungkap dalam Pasal 386 yang
menyatakan
penyelenggaraan
bahwa“dalam
Pemerintahan
rangka
Daerah,
221
peningkatan
pemerintah
daerah
kinerja dapat
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
222
melakukan inovasi”. Inovasi yang dimaksud adalah semua bentuk pembaharuan berpedoman
dalam pada
penyelenggaraan prinsip-prinsip:
Pemerintahan
peningkatan
Daerah
efisiensi,
yang
perbaikan
efektifitas, perbaikan kualitas pelayanan, tidak ada konflik kepentingan, berorientasi kepada kepentingan umum, dilakukan secara terbuka, memenuhi nilai-nilai kepatutan, dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri. Inovasi merupakan konsep yang baru dalam literature administrasi Negara, publikasi inovasi pertama kali ditemukan dalam artikel“Innovation in
Bureaucratic Instutions” yang ditulis Alfred Diamant dalam jurnal Public Administrations Review (PAR) tahun 1967, dan Caiden dalam bukunya “Administrative Reform”tahun 1979 mengemukakan bahwa inovasi sebagai
bagian dari reformasi
administrasi,
tulisan-tulisan tersebut
menandai dimulainya perhatian para pakar administrasi negara terhadap inovasi. Dalam kamus bahasa Inggris Elektronik Encharta World English Dictionary (Microsoft : 2004) inovasi dapat diterjemahkan sebagai (a) Innovate (verb) sebagai kata kerja yang memiliki arti memperkenalkan cara baru untuk melakukan sesuatu atau sebuah alat baru; (b) Innovation (n) sebagai kata benda yang memiliki arti sebuah kegiatan atau sebuah proses penciptaan atau memperkenalkan sesuatu yang baru diciptakan atau cara baru melakukan sesuatu; (c) innovate (adj) sebagai kata sifat memiliki arti baru dan orisinil atau sebuah pendekatan baru dan orisinil. Dalam konteks organisasi, Peter Drucker (1985) mengartikan inovasi sebagai alat spesifik dari seorang entrepreneur, bagaimana mereka mengeksploitasi perubahan menjadi sebuah kesempatan untuk berbagai bidang usaha dan jasa. Inovasi dapat menjadi sebuah disiplin, sesuatu yang dapat dipelajari, dan sesuatu yang dapat dilatih (Tid : 2001). Sedangkan Stephen Robbins (1994) mendefinisikan inovasi sebagai suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau proses dan jasa.
BSIAN Seri 2
223
Inovasi memiliki ciri kekhasan khusus, sebuah karya yang orisinalitas dan
baru, terencana dan bertujuan. Dari definisi tersebut, dan dilihat dari perspektif organisasi, inovasi adalah alat organisasi untuk mengekploitasi ide, untuk menghasilkan sesuatu yang baru, sebagai alat untuk melakukan
perubahan dalam organisasi, untuk menjadikan organisasi lebih baik, lebih produktif, lebih efisien, dan berkinerja lebih tinggi. Kamus Bahasa Indonesia Edisi kedua, menjelaskan terdapat dua pengertian inovasi, yakni: 1) pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru; pembaharuan; 2) penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, alat). Inovasi adalah menghasilkan hal-hal yang baru, yang memiliki kemanfaatan yang berbeda jika dibandingkan dengan hal-hal yang pernah ada. Avanti Fontana (2011) mendefinisikan inovasi sebagai keberhasilan sosial dan ekonomi berkat diperkenalkannnya atau ditemukannya cara-cara baru atau kombinasi baru dari cara-cara lama dalam mentransformasi dari input menjadi output sedemikian rupa sehingga berhasil menciptakan perubahan besar atau perubahan drastis dalam hubungan antara nilai guna atau nilai manfaat dan nilai moneter atau harga; Fontana menyajikan 11 definisi inovasi, sebagaimana dibawah ini : Menciptakan sesuatu yang baru; Merujuk pada inovasi yang menciptakan pergeseran paradigma dalam ilmu, teknologi, struktur pasar, ketrampilan pengetahuan dan kapabilitas. Menghasilkan hanya ide-ide baru; Merujuk pada kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan baru, melihat suatu subyek dengan perspektif baru, dan membentuk kombinasi-kombinasi baru dari konsep-konsep lama. Menghasilkan ide, metode, dan alat baru; Merujuk pada tindakan menciptakan produk baru atau proses baru, tindakan ini mencakup intervensi dan pekerjaan yang diperlukan untuk mengubah ide atau konsep menjadi bentuk akhir.
223
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
224
Memperbaiki sesuatu yang sudah ada; Merujuk pada perbaikan barang atau jasa untuk produksi besarbesaran atau produksi komersial atau perbaikan sistem. Menyebarkan ide-ide baru; Menyebarkan dan menggunakan praktik-praktik baru.
Mengadopsi sesuatu yang baru yang sudah dicoba secara sukses ditempat lain; Merujuk pada pengadopsian sesuatu yang baru atau yang secara signifikan diperbaiki, yang dilakukan oleh organisasi untuk menciptakan nilai tambah, baik secara langsung untuk organisasi maupun secara tidak langsung untuk konsumen.
Melakukan sesuatu dengan cara yang baru; Melakukan tugas dengan cara yang berbeda secara radikal.
Mengikuti pasar; Merujuk pada inovasi yang berbasiskan kebutuhan pasar.
Melakukan perubahan; Membuat perubahan-perubahan yang memungkinkan perbaikan berkelanjutan.
Menarik orang-orang inovatif; Merekrut dan mempertahankan kepemimpinan dan manajemen talenta dan manajemen manusia untuk memandu jalannya inovasi.
Melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda.
Melihat permasalahan-permasalahan dari perspektif yang berbeda.
Dalam rangka merumuskan pengertian Inovasi dari berbagai referensi yang telah ada, Kedeputian Inovasi Administrasi Negara sejak tahun 2014 telah merumuskan pengertian inovasi adalah sebagai“ide atau gagasan yang memiliki nilai kebaruan, dan bermanfaat atau berdampak.
Sistem Cluster dikembangkan dari konsep pengembangan wilayah, pada dasarnya konsep ini bertujuan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan
BSIAN Seri 2
225
ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Beberapa varian yang pernah diterapkan dalam konsep pengembangan wilayah antara lain :
Pengembangan wilayah berbasis karakter sumber daya;
Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan;
Pengembangan wilayah berbasis efisiensi;
Pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan;
Pengembangan wilayah berbasis penataan ruang, yang membagi wilayah kedalam (a) pusat pertumbuhan; (b) integrasi fungsional; dan (c) desentralisasi;
Pengembangan wilayah terpadu, konsep ini menekankan kerjasama antar sektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di daerah tertinggal; dan
Pengembangan wilayah berbasis cluster; konsep ini berfokus pada keterkaitan dan ketergantungan pada pelaku dalam jaringan kerja produksi
sampai
jasa
pelayanan
dan
upaya-upaya
inovasi
pengembangannya.
Cluster yang berhasil adalah cluster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan keunggulan komparatif dan berorientasi eksternal. Rosenfeld (1977) dalam Bappenas (2010) mengidentifikasi karakteristik cluster wilayah yang berhasil yaitu adanya spesialisasi jaringan lokal, akses yang baik pada permodalan, adanya institusi penelitian dan pengembangan, serta pendidikan,
mempunyai
tenaga kerja yang
berkualitas,
melakukan
kerjasama yang baik dengan lembaga lainnya, mengikuti perkembangan teknologi, dan adanya inovasi-inovasi yang berkembang. Untuk mengembangkan sistem cluster perlu dilakukan beberapa tindakan, yakni: (1) memahami kondisi dan standar ekonomi kawasan; (2) menjalin kerjasama; (3) mengelola dan meningkatkan kualitas pelayanan; (4) mengembangkan kualitas sumber daya manusia; (5) mendorong tumbuh suburnya inovasi-inovasi; (6) mengembangkan pemasaran;
225
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
226
Konsep pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada prinsip-prinsip: (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah; (3) dilakukan secara komprehensif; (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang. Pengembangan suatu wilayah menggunakan sistem cluster harus berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal dan sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor internal tersebut meliputi pola-pola pengembangan sumber daya manusia dan
masyarakat, informasi pasar, sumber daya modal, dan investasi kebijakan, pengembangan infrastruktur, pengembangan kemampuan kelembagaan pemerintah. Sedangkan faktor eksternal meliputi masalah kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas.
“System Cluster” Kelurahan Rejowinangun Latar Belakang Kelurahan Rejowinangun sebelum tahun 2010 mengalami perkembangan yang sangat lambat terlebih setelah adanya gempa bumi tahun 2006 yang meluluhlantakkan sebagian Kotagede termasuk Kelurahan Rejowinangun. Dengan berbagai alasan, cukup sulit untuk berkembang cepat baik tata ekonomi maupun sosial budaya. Sehingga perlu suatu penyegaran yang relevan dengan kegiatan masyarakat Rejowinangun pada umumnya. Perkembangan-perkembangan yang terjadi di Kelurahan Rejowinangun, semuanya tidak akan terlepas dari peran Pemerintah dan masyarakat. Sebagai pejabat publik dan struktural, lurah sangat berperan aktif dalam kemajuan ekonomi maupun pembangunan yang lain demi kemajuan rakyatnya, sebagai abdi masyarakat sangat berperan dalam pembangunan dari berbagai sektoral. Gagasan inovasi ini muncul dari Retnaningtyas, SSTP selaku Lurah Rejowinangun. Tujuan dari inovasi ini adalah untuk mengefektifkan berbagai kegiatan dan pembinaan yang selama ini dengan berbagai alasan tempat, struktural dan
BSIAN Seri 2
227
kultural dari masing-masing individu masyarakat kelurahan Rejowinangun
sangat sulit mencapai ke arus bawah. Dengan adanya peng-cluster-an ini maka semua akan menuju sasaran yang tepat. Yang menjadi sasaran dari
inovasi ini adalah warga kelurahan Rejowinangun dengan manfaat dan keuntungan yang didapat oleh warga itu sendiri baik secara kelompok maupun individu. Inovasi dengan system cluster yang ada di Kelurahan Rejowinangun memang tidak hanya penggagas atau yang meluncurkan saja yang harus aktif dan kreatif dalam mendukung pelaksanaannya, namun juga dukungan masyarakat supaya inovasi ini dapat berjalan dengan sukses dan dengan hasil yang maksimal. Lurah bersinergi dengan LPMK, BKM, dan berbagai organisasi kelembagaan yang ada di wilayah bersama-sama dengan masyarakat dalam mendukung demi kemajuan ekonomi maupun sosial budaya beserta pembangunan fisik yang ada di wilayah Kelurahan Rejowinangun. Semua unsur yang ada di wilayah dituntut harus aktif dan kreatif sehingga program ini bisa berjalan dengan niat dan pengorbanan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Berbagai sistem yang diterapkan baik berupa gotong-royong maupun penggunaan dana yang ada.
Tahapan Inovasi “System Cluster” Inovasi ini muncul karena melihat wilayah Kelurahan Rejowinangun pada saat itu tahun 2010 terlihat biasa saja. Tidak ada yang diunggulkan dan tidak ada yang membedakan dengan kelurahan lain di Kota Yogyakarta. Kelurahan Rejowinangun yang merupakan 1 dari 45 kelurahan yang ada di wilayah Kota Yogyakarta, berada di tenggara Kota Yogyakarta dengan luas 125 Ha, 13 RW dan 49 RT dengan 12.146 jiwa dan 3.591 Kepala Keluarga. Saat itu di kelurahan Rejowinangun tidak ada sesuatu yang menjadi ciri khas seperti yang dimiliki kelurahan lain seperti Kelurahan Prenggan dengan kerajinan peraknya, Kelurahan Purbayan dengan heritage-nya, dan wilayah Kecamatan Kraton dengan budayanya. Kondisi itulah yang membuat Lurah
227
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
228
Rejowinangun tergerak untuk membuat inovasi. Setelah melakukan pendataan potensi yang dimiliki wilayah Kelurahan Rejowinangun maka bersama dengan tokoh dan lembaga masyarakat mencoba memetakan potensi yang dimiliki berdasar unggulan masingmasing wilayah. Dari berbagai macam potensi yang dimiliki seperti budaya, kerajinan, jamu herbal, kuliner dan sedikit persawahan maka terciptalah
system cluster yaitu system pembagian wilayah berdasar potensi unggulan yang terbagi menjadi 5 cluster : Cluster Budaya meliputi RW 01 – 05 Cluster Kerajinan meliputi RW 06 dan 07 Cluster Herbal meliputi RW 08 dan 09 Cluster Kuliner yaitu RW 10 Cluster Agro yaitu RW 11 - 13 Untuk mewujudkan gagasan inovasi ini, selalu diadakan koordinasi antara unsur pemerintah dengan masyarakat. Mulai tanggal 23 Maret 2010 Retnaningtyas, SSTP mulai menjabat sebagai Lurah Rejowinangun, kondisi umum wilayah Kelurahan Rejowinangun pada waktu itu masih dalam kondisi gersang, banyak lahan tidur dan tidak dimanfaatkan secara ekonomis. Melalui upaya dan swadaya secara menyeluruh, pada tahun 2011 mulai merintis program untuk menjadikan Kelurahan Rejowinangun sebagai kampung hijau dengan tujuan untuk menjadikan lingkungan menjadi lebih hijau, asri, sehat dan untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat seharihari berupa sayuran dan buah-buahan. Melalui kajian kultur dan kegiatan sehari-hari masyarakat Rejowinangun, maka diluncurkan edaran dan sosialisasi gerakan penanaman setiap rumah 5 tanaman sayuran dan buah dengan menggunakan media tanam polybag, pot atau lahan yang ditanam disekitar lingkungan rumah baik di tembok, pagar, atap maupun di atas
BSIAN Seri 2
229
selokan.
Hal ini dilakukan oleh Lurah Rejowinangun kepada masyarakat dalam pembinaan ketahanan pangan dengan program lanjutan berupa pelatihan-
pelatihan dan pendampingan menuju ke suatu kemajuan di berbagai sektor. Mulai tahun 2012 telah berkembang setiap rumah ada yang menanam sayuran, buah, dan tanaman herbal. Sehingga melalui proses yang konsisten seluruh masyarakat Kelurahan Rejowinangun terciptalah Rejowinangun sebagai Kampung Wisata Agro Industry, sebagai satu cluster. Kemudian berkembang ke cluster-cluster berikutnya sesuai dengan potensi masingmasing wilayah. Bila dituangkan dalam bagan alur, strategi yang dilakukan oleh Lurah Rejowinangun dalam mengembangkan inovasi sistem cluster di Kelurahan Rejowinangun dapat digambarkan sebagaimana pola dibawah ini. Gambar 31. Framework Inovasi Sistem Cluster
229
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
230
Peng-cluster-an yang ada di wilayah Kelurahan Rejowinangun terlaksana tidak hanya mengalir begitu saja, namun memerlukan teknik atau strategi khusus yang berkaitan dengan berbagai hal. Mengarahkan dan memberi contoh dalam upaya awal setiap cluster sangat diperlukan, penjelasan dan pengkajian berbagai sektor untuk menumbuhkan rasa ingin menjadi
kampung yang maju dengan kesejahteraan yang meningkat menjadi titik tolak terlaksananya inovasi ini. Sebagai penggagas inovasi harus tahu kemauan dan basis dari masyarakat pada umumnya. Keterlibatan masyarakat dan kebijakan dari pemerintah kelurahan sangatlah diperlukan dalam inovasi ini karena sebagai leader dan sasaran dari inovasi ini harus jelas. Sumber daya manusia sangat berperan aktif dalam inovasi ini karena tanpa dukungan masyarakat maka inovasi ini tidah dapat berjalan baik. Dengan sinergitas masyarakat untuk mencapai suatu program tertentu maka akan terbentuklah suatu kelompok yang mempunyai sikap dan sifat gotong-royong yang sangat tinggi. Baik berupa kerja sosial maupun individu yang kesemuanya untuk kepentingan umum.
Output Inovasi Output dari inovasi sistem cluster ini adalah keberhasilan dan peningkatan kesejahteraan dari warga masyarakat langsung dapat dirasakan. Terbukti dengan berhasilnya peng-cluster-an ini. Potensi ekonomi di Kelurahan Rejowinangun sangat banyak dan menyebar di seluruh RW yang kami cluster menjadi 5 yaitu:
Kampung Budaya Kampung budaya berada di RW 01, 02, 03, 04 dan 05 dengan potensi seni yang beranekaragam yang sudah memiliki nilai jual baik dengan mendatangkan wisatawan maupun bekerjasama dengan pengusaha Lokal seperti KRKB Gembiraloka dan hotel di wilayah Kelurahan Rejowinangun.
Adapun potensi seni yang ada diantaranya : Wayang durasi 2 jam berbahasa inggris;
231
BSIAN Seri 2
Karawitan; Sanggar Tari; Keroncong; Jathilan anak; Mocopat; Hadroh; Angklung; Gejog lesung
Kampung Kerajinan Kampung Kerajinan berada di RW 06 dan 07 Kelurahan Rejowinangun dimana kedua RW ini banyak sekali Home industry khususnya di bidang kerajinan baik yang sifatnya lokal maupun yang sudah dijual di luar wilayah DIY diantaranya : Kerajinan Kulit; Fiber; Ukir Kayu; Batik tulis dan jumputan; Suttlecok; Lukis kaca terbalik; Wayang kulit;
231
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
232
Pemanfaatan Limbah plastik
Kampung Herbal Kampung herbal berada di RW 08 dan 09 Kelurahan Rejowinangun dimana dua RW ini sebagai sentra pembuat jamu Gendong yang kami beri nama JGER (Jamu Gendong Rejowinangun) dan jamu instan. Dari situ berkembang kampung herbal sebagai sarana pemenuhan kebutuhan utama pembuat jamu gendong dengan cara menanam tanaman herbal di setiap rumah, jalan dan gang dengan pemanfaatan lingkungan yang ada.
RT 14
RW 06
RW 07 RT 21
RT 47
RT 19
POS YANDU
K E CA M ATA N UM B ULHA RJO KAWAS AN WIS ATA
RUMAH SEHAT
TUG U P E KAT
RT 22
TBM
RT 25
KAWAS AN BE BAS RO KO K
RT 20 RT 24
PAUD
RT 23
KANDANG KAMBING
RT 27 RT 28
RW 08
RW 09
RT 29
RT 26
JL. NYI AGENG NIS
JL. KI PENJAWI
RT 30
RT 33
Kampung Kuliner Kampung Kuliner berada di RW 10 dimana di RW ini banyak sekali rumah tangga yang membuat makanan kecil. Sebagai sentra Kuliner kami bantu dalam pemasarannya dengan himbauan kepada seluruh masyarakat khususnya RT, RW, PKK dan lembaga sosial lainnya untuk menggunakan produk lokal (proteksi produk lokal) dalam setiap kegiatan sejak tahun 2012 dengan brand REMAJA (Rejowinangun
233
BSIAN Seri 2
Makmur Jaya) yang dikelola oleh P2WKSS PKK Kelurahan Rejowinangun dan menghimpun seluruh UKM kuliner
di wilayah Kelurahan
Rejowinangun.
Kampung Agro Kampung Agro berada di RW 11, 12 dan 13 dengan spesifikasi masingmasing RW berbeda misalnya RW 11 sebagai kampung Anggrek, RW 12 Sebagai Kampung Agro Edukasi khusus tanaman sayuran dan buah, RW 13 sebagai Kampung Flori khusus untuk tanaman hias. Saat ini Kampung Agro ini menjadi ikon
Kelurahan
Rejowinangun dengan
nama
KAMPUNG WISATA EDUKASI
AGRO yang
sudah mendatangkan banyak wisatawan baik
dari
DIY
maupun luar DIY.
233
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
234
Selain itu kampung Agro ini juga pernah masuk dalam Musium Rekor Indonesia dengan pembuatan keripik daun Varietas terbanyak (272 jenis daun) yang kami beri nama RON RENYAH yang saat ini sudah mendapat pesanan dari berbagai daerah dan supermarket. Selain itu sesuai dengan motto Kelurahan Rejowinangun untuk “mewujudkan masyarakat yang Rejo, Makmur, dan Jaya”, maka Pemerintah kelurahan bersama dengan lembaga sosial masyarakat terus berupaya mewujudkan masyarakat yang mandiri melalui berbagai kegiatan diantaranya: Mendirikan kelompok usaha REMAJA (Rejowinangun Makmur Jaya) yang dikelola oleh ibu-ibu PKK se Kelurahan Rejowinangun untuk mewadahi pembuat makanan baik snack maupun makanan berat. Membuat Himbauan kepada seluruh RT dan RW se Kelurahan Rejowinangun dalam penggunaan produk lokal sebagai upaya membantu
pemasaran
dan
percepatan
peningkatan
perekonomian masayarakat. Mendirikan kelompok usaha PRASTHA BHAKTI PRODUCTION yang dikelola karang taruna, bergerak di bidang souvenir dan segala pernak-pernik yang dibutuhkan masyarakat. Mendirikan
kelompok
usaha
J’GER
(Jamu
Gendong
Rejowinangun) untuk mewadahi pengrajin jamu gendong di wilayah Kelurahan Rejowinangun. Membentuk KUBE (Kelompok Usaha bersama) dengan difasilitasi oleh Dinas Sosial Membentuk PEW (penguatan Ekonomi Wilayah) Membentuk
Koperasi
sebagai
sarana
pembelajaran
bagi
masyarakat misal SIPIGORO, koperasi wanita, dan lain-lain Bekerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka pemasaran produk masyarakat misal Kerjasama dengan KRKB Gembiraloka dimana pihak Gembiraloka menyediakan satu tempat untuk
BSIAN Seri 2
235
masyarakat Rejowinangun berjualan produk warga, Hotel dimana jamuan makan dan jamu gendong J’GER sudah menjadi suguhan.
Membuat Kampung Wisata dimana melalui kampung wisata ini Kelurahan Rejowinangun dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat baik sebagai pemandu wisata maupun dengan berjualan selain itu pendapatan masyarakat juga bertambah dengan cara berjualan tanaman, makanan, souvenir maupun dari retribusi masuk kampung wisata. Membuat Kelompok usaha RON RENYAH yang bergerak pada pembuatan keripik daun dimana usaha ini pernah memecahkan REKOR MURI sebagai pembuat keripik daun dengan varietas terbanyak. Dari usaha ini selain menyerap tenaga kerja yang cukup
banyak,
juga
mampu
meningkatkan
pendapatan
masyarakat. Melalui berbagai macam kegiatan ekonomi tersebut akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pendapatan, mengurangi pengangguran dan menjadikan roda perekonomian masyarakat Kelurahan Rejowinangun semakin berputar.
Evaluasi Pada setiap program yang diluncurkan kebanyakan setelah jalan maka selesai sudah atau bersifat seremonial, insidentil, dadakan, dan sebagainya. Namun di wilayah kelurahan Rejowinangun tidaklah demikian. Dengan sistem cluster
ini maka akan memudahkan masyarakat maupun SKPD
dalam pembuatan program dan pendampingan. Penggagas inovasi tidaklah khawatir akan berhentinya program ini karena masyarakat sudah benarbenar menjiwai akan sistem ini dengan suatu hasil yang didapatkan. Sistem
training, efektivitas waktu dan penggunaan dana diterapkan dalam inovasi ini untuk kemudian dapat dievaluasi secara berkala. Dari hasil evaluasi ini maka akan dapat sebagai tolak ukur ataupun titik tolak untuk maju bersama
235
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
236
mensejahterakan masyarakat wilayah Kelurahan Rejowinangun.
Penutup Setiap kegiatan tentu saja ada kendala yang dihadapi. Begitu juga dalam penerapan sistem cluster ini. Kadang masyarakat setelah terbentuk suatu
cluster akan enggan untuk mengembangkan usaha yang lain diluar cluster nya, dengan sifat masyarakat yang heterogen atau beraneka ragam inilah justru dapat di arahkan untuk pengembangan inovasi ini. Pengetahuan
yang
terbatas
sehingga
kadang
bingung
untuk
pengembangan usahanya, ini dapat diatasi dengan pelatihan-pelatihan dan pendampingan secara kontinu. Kesibukan masing-masing warga juga menjadi salah satu kendala dalam pengembangan inovasi ini, muncul rasa iri karena tidak kerja bakti dan lainlain. Hal ini dapat diatasi dengan mengadakan kerja bakti hanya setiap hari yang sebagian besar libur, dan menyesuaikan dengan keinginan warga pada umumnya, juga bisa dengan menerapkan aturan pengganti kerja bakti misal dengan pengganti snack dan minum ala kadarnya yang semuanya itu sudah menjadi kesepakatan seluruh warga dalam pertemuan atau evaluasi. Kendala klasik yang tidak kalah pentingnya adalah sumber dana pengembangan, ini sangat menjadi kendala yang signifikan karena memang hampir semua produksi maupun perawatan dengan menggunakan dana. Kendala ini sebagian sudah dapat teratasi dengan penjualan hasil produksi, baik barang maupun jasa, dengan promosi yang cukup juga akan ada kegiatan pentas yang merupakan wadah dari kampung budaya, misal adanya pengisi kesenian di panggung Gembiraloka Zoo, pesanan produksi jamu di hotel-hotel atau outlet yang lain. Pendanaan dengan adanya pelimpahan kewenangan walikota kepada camat berupa pelatihanpelatihan, bantuan alat dan pendampingan. Peng-cluster-an yang ada di wilayah Kelurahan Rejowinangun terlaksana
BSIAN Seri 2
237
tidak hanya mengalir begitu saja, namun memerlukan teknik atau strategi
khusus yang berkaitan dengan berbagai hal. Mengarahkan dan memberi contoh dalam upaya awal setiap cluster sangat diperlukan, penjelasan dan
pengkajian berbagai sektor untuk menumbuhkan rasa ingin menjadi kampung yang maju dengan kesejahteraan yang meningkat menjadi titik tolak terlaksananya inovasi ini. Sebagai penggagas inovasi harus tahu kemauan dan basic dari masyarakat pada umumnya. Sumber daya manusia sangat berperan aktif dalam inovasi ini karena tanpa dukungan masyarakat maka inovasi ini tidah dapat berjalan baik. Dengan sinergitas masyarakat untuk mencapai suatu program tertentu, maka akan terbentuklah suatu kelompok yang mempunyai sikap dan sifat gotongroyong yang sangat tinggi. Baik berupa kerja sosial maupun individu yang kesemuanya untuk kepentingan umum. Inovasi dengan sistem cluster ini sangat sesuai dari segi penerapan maupun pelaksanaan sehingga kita akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Karena selaku abdi masyarakat pemerintah akan benar-benar dapat mengenal wilayah dan warganya secara keseluruhan baik potensi maupun skala ekonomi sosial budaya masyarakat pada umumnya. Dengan mengedepankan musyawarah dan sharing maka sinergi antara Lurah, LPMK, BKM dan masyarakat beserta lembaga-lembaga sosial yang ada akan sangat solid dan terjalin secara baik, ini dapat dibuktikan dari setiap kegiatan yang diadakan maka semua akan mendukung dalam pelaksanaannya dan saling mengisi kekurangan-kekurangan yang dimiliki masing-masing cluster. Kemudahan
inovasi
yang
telah
diterapkan
di
wilayah
Kelurahan
Rejowinangun ini akan sangat mungkin untuk diterapkan di wilayah lain, karena dasar dari inovasi ini adalah partisipasi masyarakat, dengan pengenalan masyarakat akan kultural maupun potensi dari masyarakat yang ada. Melalui pengenalan dan pelaksanaan ke bawah pemerintah kelurahan maka akan mempercepat penerapan dari sistem cluster ini. Keberhasilan dari sistem cluster ini akan sangat terasa manfaat yang diperoleh secara umum,
237
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
238
khusus, individu maupun kelompok. Dengan keberhasilan sistem ini maka pemerintah atau lembaga yang lain pun tidak akan sulit dalam membuat program, pelaksanaan atau pengawasan, baik secara khusus maupun secara umum sehingga akan sesuai dengan sasarannya. Pada evaluasi juga tidak akan terlalu banyak yang berseberangan karena dengan pengelompokan potensi dan kemampuan warga dapat langsung diketahui maksudnya. Maka pantaslah
disebut
bahwa
sistem
cluster
ini
dapat
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi warga.
Daftar Pustaka Amrah Muslimin, Beberapa Azas dan Pengertian-pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1982; Bagir Manan, Penjelasan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNSIKA, Karawang, 1993; Handbook Inovasi Administrasi Negara, Deputi Inovasi Administrasi Negara, 2014; Inu Kencana Syafie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2002; Kromer ALN, Kamus Belanda Indonesia, Indonesia Belanda; Menumbuh Kembangkan Inovasi di Daerah “Pengalaman Melaksanakan Laboratorium Inovasi Daerah di Kabupaten Muara Enim 2015”, Abdul Najib; Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945; Pedoman Pengelolaan Laboratorium Inovasi Administrasi Negara, Pusat Inovasi Tata Pemerintahan, 2015.
BSIAN Seri 2
Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983.
239
Solly Lubis M, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-Undangan Mengenai
The Liang Gie, Kumpulan Pembahasan Terhadap Undang-Undang, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Karya Kencana Yogyakarta.
239
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
240
241
BSIAN Seri 2
MODEL INOVASI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA MELALUI PENGELOLAAN BUMDES Suryanto
Pendahuluan
P
endirian Badan Usaha Milik Desa atau disingkat BUMDes didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUMDes dibangun atas prakarsa (inisiasi) masyarakat,
serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, (user-
owned, user-benefited, and user-controlled), transparansi, emansipatif, akuntabel, dan sustainable dengan mekanisme member-base dan self-help. Dari semua itu yang terpenting adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara profesional dan mandiri (PKDSP-UNIBRAW, 2007). Tujuh tahun kemudian sejak Universitas Brawijaya menerbitkan Buku Panduan Pendirian dan Pengelolaan BUMDes tersebut, Pemerintah dan DPR 241
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
242
melalui UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa semakin menegaskan pentingnya BUMDes dalam pembentukan jiwa wirausaha (entrepreneurship)
dan upaya menyejahterakan masyarakat perdesaan. Dalam ketentuan undang-undang disebutkan bahwa BUMDes dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 87 ayat 3). Pendirian BUMDes dimaksudkan sebagai upaya menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antar-Desa (Pasal 2 Permendesa Nomor 4 Tahun 2015).
Secara spesifik, tujuan pendirian BUMDes adalah untuk: 1) meningkatkan perekonomian Desa, 2) mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa, 3) meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi Desa, 4) mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga, 5) menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga, 6) membuka lapangan kerja, 7) meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa, dan 8) meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa. Saat ini, sejumlah BUMDes berprestasi telah muncul baik skala lokal, regional maupun nasional. Salah satunya BUMDes Tirta Mandiri di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah dan BUMDes Panggungharjo di Kabupaten Bantul Provinsi DI Yogyakarta. Mengapa kedua BUMDes ini dapat meraih prestasi ? Jawabannya tidak lain karena pengurus kedua BUMDes tersebut melakukan apa yang disebut “Inovasi”. Schumpeter (Halvorsen, 2005: 8) membatasi pengertian inovasi yaitu“restricted themselves to novel products and processes finding a
commercial application in the private sector”. Dalam pembatasan ini Schumpeter menekankan 2 (dua) hal penting dari inovasi, yaitu: 1) Sifat
BSIAN Seri 2
dengan proses pencarian aplikasi komersial di sektor bisnis.
Refleksi Peningkatan Kesejahtaraan Masyarakat Perdesaan
243
kebaruan (novelty) dari sebuah produk, dan 2) bahwa inovasi berhubungan
Para ahli menyebutkan bahwa masyarakat desa adalah sekumpulan orang yang bertempat tinggal di desa dengan ciri yang menonjol antara lain pada umumnya kehidupannya tergantung pada alam (bercocok tanam), anggotanya saling mengenal, sifat gotong royong, dan penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat. Jika dikelompokkan, ciri-ciri masyarakat desa terlihat sebagai berikut: Tabel 10. Ciri-Ciri Masyarakat Perdesaan No. 1.
2.
3.
4.
Aspek
Keterangan
Lingkungan dan Terhadap Alam
Orientasi Desa berhubungan erat dengan alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis di daerah desa petani, realitas alam ini sangat vital menunjang kehidupannya. Dalam Segi Pekerjaan/Mata Umumnya mata pencaharian daerah Pencaharian pedesaan adalah bertani, sedangkan mata pencaharian berdagang merupakan pekerjaan sekunder sebagian besar penduduknya bertani. Ukuran Komunitas Komunitas pedesaan biasanya lebih kecil dan daerah pedesaan mempunyai penduduk yang rendah kilometer perseginya. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduknya lebih rendah, biasanya kelompok perumahan yang dikelilingi oleh tanah pertanian udaranya yang segar, bentuk interaksi sosial dalam kelompok sosial menyebabkan orang tidak terisolasi.
243
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
244
5.
Diferensiasi Sosial
6.
Pelapisan Sosial
7.
Pengawasan Sosial
8.
Pola Kepemimpinan
Pada masyarakat desa yang homogenitas, derajat diferensiasi atau perbedaan sosial relatif lebih rendah. Masyarakat desa kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah tidak terlalu besar. Masyarakat desa pengawasan sosial pribadi dan ramah tamah disamping itu kesadaran untuk mentaati norma yang berlaku sebagai alat pengawasan sosial. Menentukan kepemimpinan di daerah cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu. Disebabkan oleh luasnya kontak tatap muka dan individu lebih banyak saling mengetahui. Misalnya karena kejujuran, kesolehan, sifat pengorbanannya dan pengalamannya.
Sumber: Wibawa, 2011.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas maka upaya yang ditempuh pemerintah ataupun masyarakat desa dalam mencapai kesejahteraan lebih banyak mengandalkan keberadaan lahan pertanian skala kecil, pemeliharaan hewan ternak oleh warga desa, perdagangan skala kecil/mikro, dan jasa tenaga kerja. Hadirnya program pemberdayaan masyarakat di masa lalu seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT) ternyata lebih banyak mengarah pada salah satu cara di atas yaitu pemberian bantuan hewan ternak kepada warga miskin dan bantuan keuangan secara bergulir (Inpres Nomor 5 Tahun 1993, tanggal 27 Desember 1993). Mekanisme implementasi program ini adalah dengan cara memberikan bantuan kepada masyarakat miskin berupa sejumlah uang dan materi. Uang dan materi ini digunakan untuk membantu masyarakat miskin dalam membangun usahanya secara mandiri. Uang dan materi yang diberikan oleh pemerintah berfungsi sebagai pemberdayaan (empowerment), yakni uang dan materi yang diperoleh ini dilihat sebagai modal awal untuk menghasilkan laba dan keuntungan di masa-masa yang akan datang.
BSIAN Seri 2 masa
reformasi,
pemberdayaan
Pemerintah
masyarakat
kembali
perdesaan
meluncurkan
yaitu
Program
program
245
Pada
Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri berdasarkan Keputusan Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 25/KEP/MENKO/KESRA /VII/2007 Tentang Pedoman Umum PNPM-MANDIRI. PNPM Mandiri dikukuhkan, disahkan dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia (SBY) pada tanggal 30 April 2007 di Kota Palu-Provinsi Sulawesi Tengah. PNPM Mandiri terbagi menjadi PNPM Mandiri Perkotaan dan PNPM Mandiri Perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan/ Rural PNPM adalah mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan oleh PNPM Mandiri dalam rangka mempercepat penanggulangan kemiskinan yang terjadi dan juga perluasan kesempatan kerja di wilayah-wilayah perdesaan. Secara historis,
PNPM
Mandiri
Perdesaan
juga
mengadopsi
sepenuhnya
mekanisme dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1998. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan juga dilakukan secara individu/perorangan dengan melakukan migrasi, baik migrasi secara permanen ke perkotaan (urbanisasi), migrasi ulang-alik, maupun migrasi secara berkala (sirkuler). Menurut Todaro (2004, dalam Wibawa, 2011), migrasi adalah suatu proses perpindahan sumber daya manusia dari tempat-tempat yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marjin sosialnya bukan hanya positif, tetapi juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi.
Menurut
Supadmo
(1991,
dalam
Wibawa,
2011)
yang
dimaksudkan mobilitas sirkuler adalah penduduk yang bekerja di luar wilayah desanya dan pulang kembali setelah minimal dua hari dan maksimal enam bulan baik secara teratur maupun tidak. Batas waktu minimal dua hari untuk membedakan dengan mobilitas ulang-alik dan batas waktu maksimal enam bulan untuk membedakan dengan migran menetap.
245
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
246
Selanjutnya,
dalam
upaya
meningkatkan
kesejahtaraan,
sebagian
masyarakat di perdesaan juga mengadu nasib ke negeri orang dengan menjadi buruh migran. Menurut Departemen Sosial, definisi buruh migran adalah orang yang berpindah ke daerah lain, baik di dalam maupun ke luar
negeri (legal maupun illegal), untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Wickramasekera (2002: 2), mengacu kepada Konvensi ILO pada Buruh Migran tahun 1949, (No.97) pada Article 11, adalah orang yang bermigrasi dari satu negara ke negara lain untuk tujuan bekerja. Dalam terminologi umum buruh migran disebut juga dengan Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW). Beberapa negara tujuan TKI/TKW adalah Arab Saudi, Hongkong, Taiwan, Malaysia, dan sebagainya. Cara ini tetap ditempuh oleh sebagian masyarakat desa, meskipun sering terjadi permasalahan yang menimpa buruh
migran
seperti
kekerasan,
penyalahgunaan/
penyimpangan,
pemalsuan dokumen, dan pemberian informasi yang salah. Buruh migran memiliki posisi yang penting karena buruh migran telah memberikan sumbangan pada kepentingan nasional berupa sumbangan devisa atau biasa disebut dengan remittances. Buruh migran memberikan
remmitance yang tidak sedikit, yaitu antara 1 sampai 6 kali per tahun dengan total jumlah per transaksi sekitar 200-500 US$.Remittances memiliki beberapa urgensi: (1) bagi banyak keluarga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, untuk pendidikan, pengembangan rumah, membeli tanah, membayar hutang, dan memulai bisnis; (2) bagi masyarakat lokal keuntungan dari remittances melalui efek trickle down effect; (3) bagi Indonesia, remittances menyumbang 1,6% dari GDP (Gross Domestic
Product - Produk Domestik Bruto).
Membangun Ekonomi Desa Melalui BUMDes
247
BSIAN Seri 2
Terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan payung hukum yang kuat untuk memajukan perekonomian desa pada khususnya dan umumnya pembangunan ekonomi bangsa. Dalam implementasinya, Undang-Undang Desa memiliki beberapa tujuan utama meliputi: 1) pengakuan dan status hukum pada sistem pemerintahan setingkat desa yang beragam di Indonesia; 2) mendorong tradisi dan kebudayaan
masyarakat;
3)
mendorong
partisipasi
warga
dalam
pemerintahan desanya; 4) meningkatkan pelayanan untuk semua orang; dan 5) mendorong pembangunan desa oleh warganya sendiri (prinsip partisipatif). Selanjutnya sebagai pelaksanaan UU Desa telah diterbitkan PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Peraturan ini menegaskan bahwa desa yang sudah siap membangun, perlu dukungan dana. Artinya, dana desa diadakan dengan dua cita-cita yakni pertama, agar pemerintah desa lebih mampu melayani kebutuhan warga dan kedua, menumbuhkan inisiatif warga desa secara lebih aktif dalam membangun desanya. BUMDes pada dasarnya merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan lembaga komersial (commercial institution). Sebagai lembaga komersial, BUMDes menjadi salah satu
program
strategis
pemerintah
dalam
upaya
meningkatkan
kesejahteraan ekonomi masyarakat yang ada di perdesaan. Sementara sebagai lembaga sosial, BUMDes harus berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial. Sejumlah BUMdes yang dianggap sukses seperti BUMDes Tirta Mandiri di Desa Ponggok, Polanharjo-Klaten dan BUMDes Panggung Lestari di Desa Panggungharjo, Sewon-Bantul adalah contoh bagaimana pemerintahan desa memiliki visi-misi memajukan ekonomi desa mereka. BUMDes Tirta
247
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
248
Mandiri berhasil membangun usaha wisata kolam renang, perikanan, pembinaan PKL, penyediaan air bersih, jasa konstruksi, hingga pengadaan barang
dan
jasa.
Sementara
BUMDes
Panggung
Lestari
berhasil
membangun usaha pengelolaan sampah dan terus mengembangkan usahanya dengan menggandeng mitra-mitra strategis yang mereka miliki.
Inovasi Pengelolaan BUMDes: Membangun Indonesia dari Pinggiran Istilah inovasi dan kreativitas kerap diidentikkan satu sama lain. Kedua istilah tersebut memang secara konteks mempunyai hubungan kausal sebabakibat. Sebuah inovasi biasanya dihasilkan oleh sebuah daya kreativitas. Tanpa kreativitas, inovasi akan sulit hadir dan diciptakan. Namun demikian, dalam kenyataannya, kehadiran inovasi juga tidak mutlak mensyaratkan adanya kreativitas (Suwarno, 2008: 4). Jadi secara konsep, inovasi berbeda dengan kreativitas. Secara sederhana Albury (2003) mendefinisikan inovasi sebagai new ideas
that work. Artinya, inovasi berhubungan erat dengan ide-ide baru yang bermanfaat atau dengan kata lain inovasi dengan sifat kebaruannya harus mempunyai nilai manfaat. Sifat baru dari inovasi tidak akan berarti apa-apa apabila tidak diikuti dengan nilai kemanfaatan dari kehadirannya. Secara rinci, Albury menjelaskan bahwa“successful innovation is the creation and
implementation of new processes, products, services, and methods of delivery which result in significant improvements in outcomes efficiency, effectiveness, or quality”. Hal ini berarti bahwa ciri dari inovasi yang berhasil adalah adanya bentuk penciptaan dan pemanfaatan proses baru, produk baru, jasa baru dan metode penyampaian yang baru, yang menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam hal efisiensi, efektivitas maupun kualitas.
BSIAN Seri 2
249
Salah satu visi pemerintahan Presiden Jokowi-JK sebagaimana yang tertuang
dalam teks Nawacita adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa. Visi ini menemukan momentumnya seiring dengan lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sejak awal kemunculannya, UU Desa mendapat sambutan dan antusiasme publik yang tinggi
karena
dipandang
membawa
optimisme
baru
bagi
upaya
pembaharuan desa. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat konstruksi UU Desa memang memuat sejumlah substansi penting yang memberi peluang besar kepada kemajuan desa. Secara umum, sejumlah substansi yang dimaksud antara lain berkaitan dengan: 1) kejelasan kedudukan dan penguatan eksistensi desa; 2) kejelasan terhadap hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa; 3) adanya pendalaman demokratisasi di aras desa melalui perhatian yang besar terhadap partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa, serta penguatan peran Badan Permusyawaratan Desa; 4) adanya perhatian terhadap kedaulatan desa; dan 5) memperkuat kemandirian desa. Salah satu upaya memperkuat kemandirian desa tersebut adalah melalui pendirian, pengurusan, dan pengelolaan BUMDes secara professional, dan hal itu telah dipraktikkan oleh sebagian pengelola BUMDes di Indonesia. Tabel 11 BUMDes Inovatif: BUMDes Tirta Mandiri (Klaten) dan BUMDes Panggung Lestari (Bantul) No. 1.
Nama BUMDes Tirta Mandiri
Lokus Desa Ponggok, Kecamatan Polan harjo, Kabupaten Klaten-Jawa Tengah
249
Keterangan Jenis Usaha: sumber daya lokal (rekreasi kolam renang/Umbul Ponggok, layanan Jasa keuangan, fasilitas Air bersih, hingga usaha persewaan) Kelembagaan: Pemerintah Desa dan Pengelola BUMDes Kerjasama Kemitraan: PT. Bank BNI 46 Omset: Rp 2 M per bulan
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
250
2.
Panggung Lestari
Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten BantulProvinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Jenis Usaha: pelayanan publik (pengolahan sampah, limbah rumah tangga, minyak nyamplung untuk kosmetik, inisiasi agro untuk kebutuhan pakan sehat dan produksi pupuk organik) Kelembagaan: Pemerintah Desa dan Pengelola BUMDes Kerjasama: Dinas Sosial Prov. DIY dan PT. XGS Jakarta Omset: Rp 70 per bulan
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Dari tabel 11 di atas dapat dijelaskan bahwa BUMDes Tirta Mandiri Desa Ponggok berorientasi
Kecamatan bisnis,
Polanharjo sedangkan
Kabupaten BUMDes
Klaten-Jawa
Panggung
Lestari
Tengah Desa
Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY lebih berorientasi pelayanan publik, namun keduanya “menguntungkan” karena dikelola secara profesional dan mandiri.
BUMDes Tirta Mandiri di Desa Ponggok Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah Sejarah Singkat BUMDes Tirta Mandiri Pada
awalnya,
BUMDes
Tirta
Mandiri
dirintis
sebagai
usaha
perdagangan pakan ikan dan pinjaman modal bagi masyarakat. Kemudian, usahanya dikembangkan ke sektor pariwisata bernama Umbul Ponggok sebagai wahana rekreasi. Lokasi Desa Ponggok yang berada di jalur Klaten-Boyolali sangat mendukung perkembangan tempat rekreasi air ini. Selain sektor pariwisata, BUMDesTirta Mandiri juga menyediakan layanan jasa keuangan, fasilitas air bersih, hingga usaha persewaan. Enam tahun lalu, Umbul Ponggok – yang berada di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah
BSIAN Seri 2
251
hanyalah kolam biasa yang kumuh. Kolam itu ramai saat padusan, tradisi mandi di kolam yang dilakukan sehari menjelang bulan puasa.
Pada tahun 2009, BUMDes Tirta Mandiri sempat menawarkan pengelolaan kepada pihak ketiga. Aset kolam itu dilelang Rp 5 juta per tahun, namun tak ada yang berminat dengan tawaran tersebut. Namun itu dulu. Kini, wajah Umbul Ponggok telah berubah. Selain di
Instagram, foto Umbul Ponggok juga tersebar di YouTube, Facebook, dan Twitter. Kini destinasi wisata ini bahkan telah menjadi incaran banyak wisatawan, baik wisatawan dari wilayah Klaten maupun luar Klaten. Umbul Ponggok mampu meraup pendapatan Rp 4 miliar sepanjang 2015. Pembenahan mulai dilakukan pada 2011. BUMDes Tirta Mandiri memilih mengelola sendiri Umbul Ponggok, kolam yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Kerjasama Kemitraan dengan PT. Bank BNI 46 Melalui bimbingan BNI 46, BUMDes Tirta Mandiri Desa Ponggok kini memiliki kemampuan untuk memberikan layanan perbankan secara terbatas, sehingga membantu mewujudkan program peningkatan literasi keuangan yang digagas Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini sebagaimana disampaikan Wakil Direktur Utama Bank BNI 46, Suprakarto, BUMDes Ponggok dapat menjadi percontoham bagi BUMDes lain untuk bekerjasama dengan BNI dalam bentuk Payroll gaji karyawan, Pembayaran fee kepada investor, BNI Direct, pengoperasian EDC, pemberian pendidikan dan pelatihan pelayanan, BNI Simponi, dan menjadi Agen BNI 46. Sebelumnya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) menjalin kerja sama dengan BNI untuk meningkatkan kualitas BUMDes. Sesuai dengan Nawacita Presiden RI, khususnya poin ketiga yaitu“Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa". BNI berperan sebagai pengelola keuangan sekaligus pendampingan pembentukan aktivitas
251
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
252
BUMDes. BNI juga dipersiapkan menjadi salah satu bank yang akan memberikan one stop service untuk segala kebutuhan transaksi keuangan di Kemendesa. Kerja sama dengan Kemendesa PDTT akan memudahkan dan mempercepat upaya untuk menumbuhkan tingkat literasi keuangan ke pedesaan karena layanan perbankan yang semakin dekat dengan masyarakat desa, salah satunya adalah dengan menjadikan BUMDes menjadi agen Laku Pandai BNI. Pembukaan Agen Laku Pandai merupakan salah satu program OJK untuk mempercepat peningkatan literasi keuangan di daerah yang selama ini sulit dijangkau oleh perbankan. BNI menamai Agen Laku Pandainya dengan Agen BNI 46. Beberapa transaksi perbankan yang dapat dilayani melalui Agen BNI 46 antara lain, Pembukaan Rekening, Setoran Tunai, Tarik Tunai dan Berbagai macam transaksi pembelian pulsa dan pembayaran tagihan.Kerja sama Agen BNI 46 tersebut selain ditujukan sebagai perpanjangan tangan dari BNI dalam melayani masyarakat dan Nasabah yang jauh dari Cabang BNI, juga sebagai potensi bisnis dan pendapatan tambahan bagi agen yang menjalankan.
Apresiasi dari Pihak Lain BUMDes yang mulai dirintis sejak tahun 2009 ini mampu menghasilkan laba bersih hingga Rp 2 miliar per tahun. BUMDes ini mempunyai berbagai bidang usaha dari mengelola destinasi wisata, kolam renang, perikanan, pembinaan PKL, penyediaan air bersih, jasa kontruksi hingga pengadaan barang dan jasa. Saat ini aset BUMDes Tirta Mandiri Desa Ponggok sebesar 6,5 M per tahun. Hal ini menjadikan BUMDes Tirta Mandiri menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia. Menurut Public Relations BUMDes Tirta Mandiri, Gatot Jiwandono, kolam itu kini selalu ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah. Di hari biasa, jumlah pengunjung berkisar 500-600 orang. Sedangkan pada hari libur, pengunjung bisa mencapai sekitar 2.000-3.000 orang.
BSIAN Seri 2
253
Saat libur panjang awal Mei 2016 lalu, umbul seluas 40 x 70 meter dengan kedalaman sekitar 1,5-2,5 meter dikunjungi 14.000 wisatawan.
Pada hari biasa, harga tiket Umbul Ponggok Rp 8.000 per orang. Sedangkan harga tiket pada hari libur Rp 10.000 per orang. Bagi
wisatawan yang ingin snorkeling (selam dangkal) demi berfoto atau sekadar menyaksikan ribuan ikan warna-warni di hamparan pasir dan bebatuan, cukup merogoh kocek Rp 35 ribu untuk menyewa snorkel set (kacamata dan selang pernapasan), pelampung, dan kaki katak. Menteri PDTT – Eko Putro Sanjoyo – bahkan berniat akan menjadikan BUMDes tersebut sebagai percontohan bagi pembentukan badan usaha serupa di seluruh desa di Indonesia. Menteri berlatar pengusaha ini mengungkapkan dengan omzet Rp 6,5 M per tahun, BUMDes Tirta Mandiri mampu mencetak laba bersih hingga Rp 2 miliar per tahun. Selain itu seluruh pegawai BUMDes adalah warga desa dengan gaji berkisar Rp. 2.000.000 per bulan. Dengan jumlah pegawai 50-100 orang dengan gaji Rp 2.000.000 per orang/bulan, dan uang itu akan dibelanjakan di tingkat desa pasti akan meningkatkan nilai tambah (added value) perekonomian di desa.
BUMDes Panggung Lestari Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta Tentu
bukan
merupakan
suatu
kebetulan
apabila
sebuah
Desa
Panggungharjo ini memiliki lembaga BUMDes yang inspiratif. Kepala Desa Panggungharjo – Wahyudi Anggoro Hadi, S.Farm – merupakan seorang penggiat pembangunan desa yang cukup
termasyur. Pandangan-
pandangannya banyak dijadikan rujukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan desa baik di lingkungan pemerintahan maupun NGO/LSM.
253
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
254
Sejarah Singkat BUMDes Panggung Lestari Cikal bakal Bumdes Panggung Lestari berangkat dari kegiatan Kupas atau kelompok usaha pengelola sampah pada 25 Maret 2013. Kupas dibentuk karena warga prihatin banyaknya lokasi pembuangan sampah liar di wilayahnya. Disisi lain memang terdapat keterbatasan lahan pembuangan sampah. Membawa slogan“Peduli Sampah Untuk Masa Depan Anak Kita warga bertekad mengelola sampah agar kualitas kehidupan terjaga baik dan berkelanjutan demi masa depan generasi berikutnya. Awalnya dalam pengelolaan sampah, Kupas tidak mengedepankan profit. Namun sebagai pelayanan sosial untuk membangun kebersihan di lingkungan masyarakat. Dalam perkembangan, Kupas menjadi bagian dari Unit Usaha Bumdes Panggung Lestari. Kelembagaan direorientasi
jadi
kegiatan
profit
oriented
dengan
melakukan
diversifikasi usaha. Manajemen pengelolaannya dijalankan secara profesional agar berkembang serta berdaya guna untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa. Pada awal 2015, Bumdes Panggung Lestari mampu mempekerjakan karyawan yang berasal dari warga lokal sebanyak 18 orang. Gaji mereka diatas Upah Minimum Regional yang berlaku. Omset BUMDes Panggung Lestari Rp 70 juta per bulan, sedangkan nilai asetnya sekitar Rp 640 juta. BUMDes Panggung Lestari diatur dalam Perdes Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Nomor 7 Tahun 2013 tentang Badan Usaha Milik Desa. Kerjasama Kemitraan Untuk meningkatkan performa Bumdes dijalin kerjasama dengan berbagai kalangan, diantaranya dengan Dinas Sosial Provinsi DIY untuk menampung anak jalanan sebagai tenaga pemilah sampah di Rumah Pengolahan Sampah. Kemudian kerjasama dengan PT. XGS Jakarta
BSIAN Seri 2
255
untuk pengolahan limbah organik dengan kapasitas 8 ton POC.
Selanjutnya, kerjasama dengan PT. Danone untuk pengolahan minyak goreng bekas atau jelantah dengan kapasitas minimal 5 ton/bulan.
Bumdes juga melakukan penerapan teknologi tepat guna untuk pengolahan minyak dari biji buah nyamplung dengan kapasitas 6 ton untuk 500 liter. Apresiasi dari Pihak Lain Bumdes Panggung Lestari menjadi salah satu peserta “Pagelaran Sawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh”, Dinas Kebudayaan Provinsi DIY yang menampilkan komunitas/ lembaga yang memiliki kiprah implementatif dari nilai-nilai Hamemayu Hayuning Bawono tanggal 29 – 30 September 2016 di Jogja National Museum. BUMDes ini juga telah menjadi percontohan nasional dan telah menerima studi banding dari berbagai kabupaten/ kota di Indonesia untuk belajar mengelola BUMDes secara inovatif.
Membangun Model BUMDes untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa Fungsi keberadaan pemerintah desa sejak jaman dahulu kala sampai saat ini sebenarnya tidak ada yang berubah, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Terminologi “desa mawa tata, negara mawa cara” yang
mengedepankan
pentingnya
“rule”
dalam
menjalankan
kepemerintahan, apakah kepemerintahan level desa ataukah level negara, yang tujuan akhirnya (ultimate goal-nya) tidak lain adalah kesejahteraan.
255
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
256
Bagan 34. Model BUMDes bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa
Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat desa
(Community
Development/
Comdev)
sesungguhnya
bukan
merupakan hal baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan, jauh sebelum itu terdapat berbagai jenis pemberdayaan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri, baik melalui urbanisasi maupun menjadi buruh migran ke luar negeri. Jauh sebelum UU Nomor 6 Tahun 2014 diterbitkan, masyarakat perdesaan telah merasakan hadirnya program pemberdayaan masyarakat seperti program IDT dan PNPM Mandiri Perdesaan. Bantuan dalam bentuk uang – seperti Bantuan Langsung Masyarakat atau BLM – yang dilaksanakan pada era kepemimpinan Presiden RI ke-5 SBY, ternyata tidak mampu mewujudkan
apa
yang
diharapkan
oleh
Pemerintah.
Terminologi
BSIAN Seri 2
rangka mengentaskan kemiskinan di perdesaan.
257
“memberi kail daripada ikan” nampaknya semakin memiliki urgensi dalam
Selanjutnya, fenomena migrasi penduduk desa baik migrasi ke perkotaan
maupun ke luar negeri ataupun migrasi sirkuler pun menunjukkan gejala yang kurang lebih sama, yakni tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara lebih natural dan berkesinambungan. Yang dimaksud natural di sini adalah bahwa kesejahteraan yang diwujudkan itu berdasarkan potensi yang ada di sekitar kehidupan mereka sehari-hari. Sedangkan berkesinambungan, bahwa kesejahteraan yang diperoleh dapat dipertahankan sampai waktu tertentu dalam jangka panjang. Dalam hal ini telah banyak contoh yang dialami oleh penduduk desa yang mengalami kesengsaraan ketika melakukan migrasi, khususnya migrasi ke luar negeri (walaupun harus diakui tidak seluruhnya mengalami hal yang sama) seperti penyiksaan oleh majikan, tidak dibayar gajinya, diperkosa majikan, ditelantarkan oleh perusahaan pengerah jasa tenaga kerja, dan sebagainya. Sebagian mengalami kemiskinan berulang karena kurang pandai mengelola uang yang diperoleh selama di luar negeri, biasanya dilakukan oleh oknum suami dan/atau keluarga yang berada di tanah air yang kurang “amanah” mengelola dana dari TKW. Di era UU Nomor 6 Tahun 2014, Pemerintah telah mencanangkan dua cara untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintah desa yaitu melalui penugasan pendamping desa dan pengelolaan BUMDes oleh masyarakat desa. Cara yang pertama sebenarnya merupakan cara “standar” yang telah dilakukan selama beberapa dekade belakangan, dengan penyebutan yang berbeda-beda. Pada saat pelaksanaan program IDT, pemerintah juga menugaskan para sarjana pendamping desa, begitu pula pada saat pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan. Model BUMDes yang perlu dibangun ke depan antara lain menyangkut jenis usaha, kelembagaan, dan pendanaan sebagaimana uraian berikut:
257
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
258
Orientasi BUMDes Jenis usaha BUMDes dapat bervariasi, baik yang berorientasi bisnis maupun yang berorientasi pelayanan publik. Yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan BUMDes ini adalah proporsionalitas, artinya jika sebuah desa tidak memiliki potensi sumber daya lokal maka jenis usahanya tidak perlu dipaksakan harus berorientasi ekonomi/bisnis. Contoh sukses BUMDes Panggung Lestari di Bantul menunjukkan bahwa jenis usaha tidak harus selalu berorientasi ekonomi, walaupun pada akhirnya jika ditangani secara serius akan menghasilkan keuntungan secara ekonomis. Kelembagaan BUMDes BUMDes dibentuk berdasarkan peraturan desa (Perdes). Pada Pasal 7 ayat 1-3 Permendesa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa disebutkan bahwa: 1) BUMDes dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum, 2) Unit usaha yang berbadan hukum dapat berupa lembaga bisnis yang kepemilikan sahamnya berasal dari BUMDes dan masyarakat, dan 3) Dalam hal BUMDes tidak mempunyai unit-unit usaha yang berbadan hukum, bentuk organisasi BUMDes didasarkan pada Peraturan Desa tentang Pendirian BUMDes. Selanjutnya pada Pasal 8 disebutkan BUMDes dapat membentuk unit usaha meliputi: 1) Perseroan Terbatas sebagai persekutuan modal, dibentuk berdasarkan perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal yang sebagian besar dimiliki oleh BUMDes, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas dan, 2) Lembaga Keuangan Mikro dengan andil BUMDes sebesar 60 (enam puluh) persen, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang lembaga keuangan mikro.
BSIAN Seri 2
259
Dari ketentuan pasal tersebut dimungkinkan pembentukan PT untuk
mewadahi unit bisnisnya. Namun tentu saja, mengingat berbagai
keterbatasan baik keterbatasan SDM maupun pendanaan, maka bentuk
PT-nya dimungkinkan tidak harus“saklek”sebagaimana persyaratan pembentukan PT pada umumnya. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi aspek formalitas apabila BUMDes berhubungan dengan lembaga berbentuk PT sebagai mitra kerja. Pendanaan Terkait modal usaha, modal awal BUMDes dapat berasal dari APBDes dan penyertaan modal baik penyertaan modal dari modal desa maupun modal masyarakat desa. Model pendanaan dapat ditempuh melalui top-
down (dari APBDes) maupun model bottom-up (dari masyarakat desa). Bagi desa yang terkategori miskin, dana awal BUMDes dapat diambil dari APBDes. Sebaliknya, bagi desa yang tergolong kaya/mampu, dana awal BUMDesa selain dari APBDesa juga dapat berasal dari penyertaan modal masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 7 Permendesa No. 4 Tahun 2015.
259
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
260
Daftar Pustaka Albury, David. (2003). Innovation in the Public Sector. Discussion paper. The Mall. London.
Halvorsen, Thomas, et al. (2005). On the Differences between Public and
Private Sector Innovations. Publin Report. Oslo. Suwarno, Yogi. (2008). Inovasi di Sektor Publik. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara Press: Jakarta. Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP). (2007). Buku Panduan
Pendirian dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa. Malang: FE Universitas Brawijaya. Wibawa, Fajri Eka. (2011). Ekonomi Pedesaan. Malang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Metro. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Peraturan
Pemerintah
Nomor
43
Tahun
2014
tentang
Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. http://www.materibelajar.id/2016/04/pengertian-dan-fungsi-pokok-pnpmmp.html diunduh pada tanggal 7 Oktober 2016 http://www.puskapol.ui.ac.id/wp-content/uploads/2014/05/fact-sheet2.pdfdiunduh pada tanggal 7 Oktober 2016 http://jateng.tribunnews.com/2016/06/24/bumdes-asal-klaten-ini-jadiyang-terbaik-di-tingkat-nasional, diunduh pada tanggal 7 Oktober 2016
http://presidenri.go.id/desa/memajukan-ekonomi-desa-melaluibumdes.html, diunduh pada tanggal 7 Oktober 2016 http://www.kemendesa.go.id/index.php/view/detil/1866/bumdes-tirtamandiri-cetak-laba-bersih-2-mtahun, diunduh pada tanggal 7 Oktober 2016 https://m.tempo.co/read/news/2016/05/12/090770305/umbul-ponggokkolam-desa-yang-raup-pendapatan-rp-4-miliar, diunduh pada tanggal 7 Oktober 2016 http://radiobuku.com/2016/09/bumdes-panggung-lestari-sukses-jadipercontohan-nasional/ diunduh pada tanggal 10 Oktober 2016
261
261
BSIAN Seri 2
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
262
263
BSIAN Seri 2
MODEL INOVASI “KAMPUNG ORGANIK” Dewi Oktaviani
Pendahuluan
P
engelolaan sampah di kota-kota besar, pada umumnya hanya mengandalkan
proses
kumpul-angkut-buang,
dengan
tetap
menyisakan banyak permasalahan pada sektor lainnya. Salah satunya adalah ketersediaan lahan untuk pembuangan akhirnya. Bentuk
upaya yang dapat dilakukan sementara ini sebagai bentuk untuk mengurangi beban penanganan sampah adalah dengan reduksi volume sampah yang harus ditangani. Konsep daur ulang sampah menjadi salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan, sehingga nilai ekonomis yang masih terkandung di dalam sampah dapat lebih dimanfaatkan. Untuk itu, diperlukan sebuah kebijakan yang bersifat menyeluruh dan konsisten dalam penanganan sampah, sehingga arah penanganan sampah tidak hanya bersifat
temporer
semata.
Pengembangan
teknologi
yang
dapat
beradaptasi dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia, menjadi alternatif yang dapat dilakukan, terutama teknologi yang berbasis pada peran serta masyarakat, agar keterlibatan mereka menjadi lebih berarti dan terarah dalam penanganan sampah.
263
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
264
Dalam pengelolaan sampah, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, beserta Peraturan Pemerintah No.81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yang telah mengamanatkan perlunya ada perubahan paradigma yang mendasar dalam penganan sampah yang baru sebatas kumpul-angkut-buang. Peraturan pemerintah ini sebenarnya telah mengantarkan agar kegiatan pengurangan sampah dapat bermakna bagi seluruh lapisan masyarakat, yang dapat menjaga kegiatan pembatasan akan timbulan sampah, pendaur ulangan sampah, dan pemnafaatan kembali sampah atau yang lebih dikenal sebagai Reduce,
Reuse dan Recycle (3R) melalui upaya-upaya cerdas, efisien dan terprogram. Pelaksanaannya program 3R ini masih banyak ditemui berbagai kendala, salah satunya adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya, apalagi pemilahan dalam hal persampahan. Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (Kementerian Lingkungan Hidup) telah menyebutkan total sampah Indonesia di tahun 2019 akan mencapai 68 juta ton, dan sampah plastik diperkirakan akan mencapai 9,52 juta ton atau 14% dari total sampah yang ada. Sedangkan berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia berada diperingkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton. Untuk itu, target pengurangan sampah secara keseluruhan di Indonesia sampai dengan tahun 2019 setidaknya 25%, sedangkan 75% adalah penanganan sampah
dengan
cara‘composting’dan
daur
ulang
ke
Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Menurut Tuti Hendrawati Mintarsih (Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3; KLHK),“sampah kita komposisi utamanya 60% organik, plastik 14%”, ujar dia 63.
63
http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160222182308-277-112685/indonesia-penyumbangsampah-plastik-terbesar-ke-dua-dunia/
BSIAN Seri 2
265
Penanganan sampah saat ini, sebenarnya telah banyak dikembangkan oleh beberapa pemerintah daerah, yaitu dengan mendirikan Bank Sampah. Saat ini, memang peran Bank Sampah menjadi penting terlebih dengan terbitnya
PP No.81 tahun 2012, yang telah mewajibkan untuk menerapkan kegiatan 3R dengan cara menghasilkan produk dengan menggunakan kemasan yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin. Dalam hal ini, Bank Sampah berperan sebagai dropping point untuk produk dan kemasan produk yang masa pakainya telah habis. Berdasarkan statistik perkembangan pembangunan Bank Sampah di Indonesia sampai pada bulan Februari 2012 adalah 471 buah jumlah Bank Sampah yang sudah berjalan dengan jumlah penabung sebanyak 47.125 orang dan jumlah sampah yang terkelola adalah 755.600 kg/bulan dengan nilai perputaran uang sebesar Rp. 1.648.320.000 perbulan. Angka statistik ini meningkat menjadi 886 buah Bank Sampah berjalan sesuai data bulan Mei 2012, dengan jumlah penabung sebanyak 84.623 orang dan jumlah sampah yang terkelola sebesar 2.001.788 kg/bulan serta menghasilkan uang sebesar Rp. 3.182.281.000 perbulan 64. Namun demikian, seiring dengan perkembangan yang ada tampaknya pengelolaan sampah ini tidak hanya dapat dilakukan melalui Bank Sampah semata, namun tetap diperlukan adanya inovasi-inovasi baru dalam pengembangannya. Salah satu bentuk yang sedang dikembangkan adalah “Kampung Organik”, di mana dalam konsep yang sedang dikembangkan yaitu pengelolaan sampah mandiri (pengelolaan sampah rumah tangga dengan kegiatan pemilahan, pengomposan, bank sampah serta kerajinan daur ulang), ketahanan pangan mandiri (pemenuhan kebutuhan pangan sehat keluarga dengan memanfaatkan hasil pengelolaan sampah untuk sumber pangan organik), dan ketahanan ekonomi (menambah penghasilan dari hasil pertanian, perikanan, peternakan serta kerajinan daur ulang) 65. Program Kampung Organik ini sebenarnya merupakan program perbaikan Profil Bank Sampah Indonesia 2012. Kementerian Lingkungan Hidup RI. 2012. Hl. Vi. Bahan paparan Kepala Bappeda Ir. Joko Soeparno, M.PL tentang RKPD Kota Magelang Tahun 2015. (Penilaian Tahap IV, Anugerah Pangripta Nusantara 2015). Jakarta, Selasa 14 April 2015.
64 65
265
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
266
kampung guna mengatasi isu-isu lingkungan, terutama terkait persampahan yang dikelola secara cerdas, efisien dan terprogram.
Tinjauan Literatur Sampah dan Pengelolaannya Dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada Pasal 1 angka 1 pengertian sampah didefinisikan “Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat”. Berdasarkan jenisnya, sampah-sampah yang berada di lingkungan
masyarakat sangat beraneka ragam, ada yang berupa sampah rumah tangga, sampah industri, sampah pasar, sampah rumah sakit, sampah pertanian,
sampah
perkebunan,
sampah
peternakan,
sampah
institusi/kantor/sekolah, dan sebagainya. Menurut Gelbert dkk dalam Ni Komang Ayu Artiningsih, berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu: 66 Sampah Organik Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan hayati yang dapat didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable. Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa-sisa makanan, pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung , sayuran, kulit buah, daun dan ranting.
Ni Komang Ayu Artiningsih, dikutip dari Gelbert M, Prihanto D. dan Suprihatin A., 1996. Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup dan ” Wall Chart ”. Buku Panduan Pendidikan Lingkungan Hidup, PPPGT/VEDC, Malang. Hlm.19.
66
BSIAN Seri 2
267
Sampah Anorganik
Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan non-hayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang. Sampah anorganik dibedakan menjadi : sampah logam dan produk-produk olahannya, sampah plastik, sampah kertas, sampah kaca dan keramik, sampah detergen. Sebagian besar anorganik tidak dapat diurai oleh alam/ mikroorganisme secara keseluruhan (unbiodegradable). Sementara, sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol gelas, tas plastik, dan kaleng. Selain itu, berdasarkan dari sifat fisiknya sampah dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 67 Sampah basah (garbage) Sampah golongan ini merupakan sisa – sisa pengolahan atau sisa sisa makanan dari rumah tangga atau merupakan timbulan hasil sisa makanan, seperti sayur mayur, yang mempunyai sifat mudah membusuk, sifat umumnya adalah mengandung air dan cepat membusuk sehingga mudah menimbulkan bau.
Sampah kering (rubbish) Sampah golongan ini memang diklompokkan menjadi 2 (dua) jenis: Golongan sampah tak lapuk. Sampah jenis ini benar-benar tak akan bisa lapuk secara alami, sekalipun telah memakan waktu bertahuntahun, contohnya kaca dan mika. Golongan sampah tak mudah lapuk. Sekalipun sulit lapuk, sampah jenis ini akan bisa lapuk perlahan-lahan secara alami. Sampah jenis ini masih bisa dipisahkan lagi atas sampah yang mudah terbakar,
67Ibid.
Hlm. 21.
267
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
268
contohnya seperti kertas dan kayu, dan sampah tak mudah lapuk yang tidak bisa terbakar, seperti kaleng dan kawat.
Berdasarkan pemahaman sampah tersebut, maka dalam pengelolaan sampah jelas memerlukan penangangan yang khusus. Menurut UU No. 18 Tahun 2008, pada Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa“Pengelolaan sampah
adalah
berkesinambungan
kegiatan yang
yang
meliputi
sistematis, pengurangan
menyeluruh, dan
dan
penanganan
sampah”. Dalam pengelolaannya, sampah dibagi dalam dua kegiatan pokok, yaitu pengurangan sampah dan penanganan sampah. Pada Pasal 20 juga telah menguraikan tiga aktivitas utama dalam penyelenggaraan kegiatan pengurangan sampah, yaitu pembatasan timbulan sampah, pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Ketiga kegiatan tersebut merupakan perwujudan dari prinsip pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan yang disebut 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Selain itu, dalam Pasal 22 diuraikan lima aktivitas utama dalam penyelenggaraan kegiatan penanganan sampah yang meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Paradigma baru dalam pengelolaan sampah disini lebih menekankan pada pengurangan sampah dari sumber untuk mengurangi jumlah timbulan sampah serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dari sampah. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam tata cara pengelolaan sampah dengan cara 3R (Reduce, Reuse, Recycle) pengelolaan sampah lebih menitikberatkan pada pengurangan sampah dari sumbernya. Pemahaman pengelolaan sampah dengan cara 3R dapat diuraikan sebagai berikut: Reduce atau reduksi sampah, yaitu upaya untuk mengurangi timbulan sampah di lingkungan sumber dan bahkan dapat dilakukan sejak sebelum sampah dihasilkan. Setiap sumber dapat melakukan upaya reduksi sampah dengan cara mengubah pola hidup konsumtif, yaitu perubahan kebiasaan dari yang boros dan menghasilkan banyak sampah menjadi hemat/efisien dan hanya menghasilkan sedikit sampah.
BSIAN Seri 2
269
Reuse yang berarti menggunakan kembali bahan atau material agar tidak menjadi sampah (tanpa melalui proses pengolahan), seperti
menggunakan kertas bolak balik, menggunakan kembali botol bekas
minuman untuk tempat air, dan lain-lain. Dengan demikian reuse akan memperpanjang usia penggunaan barang melalui perawatan dan pemanfaatan kembali barang secara langsung. Recycle yang berarti mendaur ulang suatu bahan yang sudah tidak berguna menjadi bahan lain atau barang yang baru setelah melalui proses pengolahan. Beberapa sampah dapat didaur ulang secara langsung oleh masyarakat dengan menggunakan teknologi dan alat yang sederhana, seperti mengolah sisa kain perca menjadi selimut, kain lap, keset kaki dan sebagainya, atau sampah dapur yang berupa sisasisa makanan untuk dijadikan kompos.
Sistem Pengolahan Sampah Dalam pengelolaan sampah, berbagai cara alternatif telah ditawarkan. Menurut Kuncoro Sejati, proses pengolahan sampah di antaranya adalah (Kuncoro Sejati, 2009) : Transformasi fisik, meliputi pemisahan sampah dan pemadatan yang bertujuan untuk mempermudah penyimpanan dan pengangkutan. Pembakaran (incinerate), merupakan teknik pengolahan sampah yang dapat mengubah sampah menjadi abu, sehingga volumenya dapat berkurang hingga 90-95%. Meski merupakan teknik yang efektif, tetapi bukan merupakan teknik yang dianjurkan. Hal ini disebabkan karena memerlukan biaya yang sangat besar untuk membangun tempat pembakaran sampah tersebut. Selain itu juga diperlukan tempat yang jauh dari segala kegiatan untuk menghindari asap, bau dan kemungkinan terjadinya kebakaran. Di samping itu teknik baru ini akan berfungsi dengan baik bila kualitas sampah yang diolah memenuhi syarat tertentu, seperti tidak terlalu banyak mengandung sampah basah dan mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi. Di Indonesia proses ini sulit
269
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
270
diterapkan mengingat persentase sampah adalah sampah organik atau sampah basah dengan kandungan air yang tinggi sehingga diperlukan proses pengeringan terlebih dahulu untuk kemudian dibakar.
Pembuatan kompos (composting), yaitu mengubah sampah melalui proses mikrobiologi menjadi produk lain yang dapat dipergunakan. Hasil dari proses ini adalah kompos dan biogas. Cara pengomposan merupakan cara sederhana dan dapat menghasilkan pupuk yang mempunyai nilai ekonomi. Pengomposan merupakan pengolahan sampah dengan cara penguraian dan pemantapan bahan-bahan organik secara biologis dalam suhu tinggi dengan hasil akhir berupa bahan yang cukup bagus untuk diaplikasikan ke tanah. Teknologi pengomposan sampah beragam, baik secara aerob maupun anaerob, dengan atau tanpa bahan tambahan. Bahan tambahan yang biasanya digunakan
adalah
cacing
dan
mikroorganisme
dekomposer.
Pengomposan secara aerob paling banyak digunakan, karena murah dan mudah dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sementara pengomposan secara
anaerob memanfaatkan mikroorganisme anaerob dalam mendegradasi bahan organik. Energy recovery, yaitu transformasi sampah menjadi energi, baik energi panas maupun energi listrik. Metode ini telah banyak dikembangkan di negara maju. Selain itu,
pemahaman dalam
pengumpulan,
pengangkutan,
pengelolaan sampah disini pemrosesan,
pendaurulangan,
adalah atau
pembuangan dari material sampah. Konsep ini mengacu pada material sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan, atau keindahan. Pengelolaan sampah dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metode dan keahlian khusus untuk masing-masing jenis zat. Untuk
BSIAN Seri 2
271
itu, dalam hal ini, sistem pengelolaan sampah dijadikan sebagai proses pengelolaan sampah yang meliputi 5 (lima) aspek/komponen yang saling mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi
untuk mencapai tujuan (Dept. Pekerjaan Umum, SNI 19-2454-2002). Kelima aspek tersebut meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi dan manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek bembiayaan, aspek peran serta masyarakat. Kelima aspek tersebut dapat ditunjukkan pada gambar berikut ini. 68 Gambar 32. Skema Manajemen Pengelolaan Sampah
Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa dalam sistem pengelolaan sampah antara aspek teknis operasional, organisasi, hukum, pembiayaan dan peran serta masyarakat saling terkait, tidak dapat berdiri sendiri. Adapun Kelima aspek yang berkaitan dalam pengelolaan sampah dapat dijelaskan sebagai berikut :
68http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/1510
271
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
272
Aspek Teknik Operasional Menurut Haryoto dalam Faizah (2008) bahwa aspek teknis operasional merupakan komponen yang paling dekat dengan obyek persampahan. Perencanaan sistem persampahan memerlukan suatu pola standar spesifikasi sebagai landasan yang jelas. Adapun spesifikasi yang digunakan mendasarkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 19-2454-2002 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukikman. Teknik operasional pengelolaan sampah bersifat integral dan terpadu secara
berantai
penampungan/
dengan
urutan
pewadahan,
yang
berkesinambungan
pengumpulan,
yaitu:
pemindahan,
pengangkutan, pembuangan/ pengolahan. Aspek Kelembagaan/ Organisasi Pengelolaan sampah berkaitan dengan lembaga yang ada. Suatu organisasi
dan
manajemen
mempunyai
peran
pokok
dalam
menggerakkan, mengaktifkan dan mengarahkan sistem pengelolaan sampah dengan ruang lingkup bentuk institusi, pola organisasi personalia serta manajemen. Institusi dalam sistem pengelolaan sampah memegang peranan yang sangat penting meliputi: struktur organisasi, fungsi, tanggung jawab dan wewenang serta koordinasi baik vertikal maupun horizontal dari badan pengelola (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002:29). Jumlah personil pengelola persampahan harus cukup memadai sesuai dengan lingkup tugasnya. Untuk sistem pengumpulan jumlah personil minimal 1 orang per 1.000 penduduk yang dilayani sedangkan sistem pengangkutan, sistem pembuangan akhir dan staf minimal 1 orang per 1.000 penduduk (SNI 19-2454-2002).
BSIAN Seri 2
273
Aspek Pembiayaan
Aspek pembiayaan dapat berfungsi untuk membiayai operasional
pengelolaan sampah yang dimulai dari sumber sampah/penyapuan, pengumpulan,
transfer
dan
pengangkutan,
pengolahan
dan
pembuangan akhir. Selama ini dalam pengelolaan sampah perkotaan memerlukan subsidi yang cukup besar, kemudian diharapkan sistem pengelolaan sampah ini dapat memenuhi kebutuhan dana sendiri dari retribusi (Dit.Jend. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Dep.Kimpraswil, 2003). Menurut SNI-T-12-1991-03 tentang Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, biaya pengelolaan sampah dihitung berdasarkan biaya operasional dan pemeliharaan serta pergantian peralatan. Perbandingan biaya pengelolaan dari biaya total pengelolaan sampah sebagai berikut : biaya pengumpulan 20 % - 40 % biaya pengangkutan 40 % - 60 % biaya pembuangan akhir 10% - 30 % Biaya pengelolaan persampahan diusahakan diperoleh dari masyarakat (80%) dan Pemerintah Daerah (20%) yang digunakan untuk pelayanan umum antara lain: penyapuan jalan, pembersihan saluran dan tempattempat umum. Adapun dana pengelolaan persampahan suatu kota besarnya disyaratkan minimal ± 10 % dari APBD. Besarnya retribusi sampah didasarkan pada biaya operasional pengelolaan sampah (Dit.Jendral Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan,Dep.Kimpraswil, 2003). Di Indonesia, besar retribusi yang dapat ditarik dari masyarakat setiap rumah tangga besarnya ± 0,5 % dan maksimum 1 % dari penghasilan per rumah tangga per bulan (Dit. Jendral Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Dep.Kimpraswil, 2003).
273
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
274
Aspek Peraturan/ Hukum Menurut Haryoto (1998:8) dalam Faizah (2008) bahwa prinsip dari aspek peraturan pengelolaan persampahan berupa peraturan daerah yang merupakan dasar hukum pengelolaan persampahan yang meliputi : Perda yang dikaitkan dengan ketentuan umum pengelolaan kebersihan. Perda mengenai bentuk institusi formal pengelolaan kebersihan. Perda yang khusus menentukan struktur tarif dan tarif dasar pengelolaan kebersihan Peraturan daerah melibatkan wewenang dan tanggung jawab pengelola kebersihan serta partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan dan pembayaran retribusi.
Konsep Peran Serta Masyarakat Program pengelolaan sampah suatu wilayah sangat diperlukan adanya peran serta dan dukungan masyarakat. Salah satu kunci dalam hal ini adalah pembinaan. Pembinaan masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah dengan melakukan perubahan bentuk perilaku yang didasarkan pada kebutuhan atas kondisi lingkungan yang bersih yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan mengembangkan peran serta masyarakat dalam bidang kebersihan. Perubahan bentuk perilaku masyarakat dapat terwujud perlu ada usaha membangkitkan masyarakat dengan mengubah kebiasaan sikap dan perilaku terhadap kebersihan/sampah tidak lagi didasarkan kepada keharusan atau kewajibannya, tetapi Iebih didasarkan kepada nilai kebutuhan. Untuk mengubah kebiasaan tersebut, maka diperlukan pembinaan terhadap peran serta masyarakat yang dilakukan secara menyeluruh (kalangan pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat biasa) dan terpadu (pengelola dan seluruh masyarakat). Pembinaan terhadap peran serta masyarakat harus dilakukan secara terus-menerus, terarah, terencana dan
BSIAN Seri 2
275
berkesinambungan, serta dengan melibatkan berbagai unsur terkait. Untuk
itu dalam penyusunan program peningkatan peran serta masyarakat dalam
bidang persampahan, harus memuat komponen-komponen sebagai berikut: 69 Teknis Individual Peran serta masyarakat dapat dimulai dari skala individual rumah
tangga yaitu dengan mereduksi timbulan sampah rumah tangga. Teknik reduksi sampah ini dikenal dengan nama metoda 3R (Reduce,
Reuse, Recycle). Sebagai contoh penerapan metoda 3R dalam kehidupan sehari-hari, misalnya : •
Reduce Untuk
pembelian
produk-produk,
tidak
perlu
meminta
bungkusan ganda, sudah masuk kardus tidak perlu dibungkus lagi dengan kertas, kemudian masuk ke dalam kantong plastik. Atau memilih produk yang kemasannya cenderung menimbulkan sampah paling kecil/ sedikit. •
Reuse Menghindari pemakaian produk sekali pakai, misal dengan pemakaian
baterai
yang
dapat
diisi
kembali
(recharge),
penggunaan pena/ ballpoint yang dapat diisi lagi (refill). Menggunakan kembali botol-botol tempat minyak atau bahan makanan. Menggunakan wadah yang dapat dipakai berulang kali. •
Recycle Memisahkan sampah basah (organik, sampah dapur, sayur, sisa makanan) dengan sampah kering (anorganik, kertas, plastik, botol). Menjual atau menyumbangkan barang-barang yang tidak dipakai, kepada orang yang memerlukan. Pinjam-meminjam atau
69http://pplp-dinciptakaru.jatengprov.go.id/sampah/file/406982428_peran_serta_masyarakat.pdf
275
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
276
sewa-menyewa barang yang jarang pemakaiannya, seperti meja dan kursi pesta. Kelompok Secara berkelompok (komunal), masyarakat dapat ikut berperan dalam pengelolaan sampah pengolahan sampah skala lingkungan, misalnya : •
Reduce Memberi kemasan hanya untuk produk yang benar-benar memerlukan
bungkus
atau
kemasan,
dan
menghindari
pemberian bungkus sebagai penghias. Menyediakan jaringan informasi dengan komputer, tanpa terlalu banyak kertas yang setelah dibaca akan dibuang. •
Reuse Memakai halaman belakang kertas untuk surat-surat di kantor. Membudayakan
pemakaian
kantong
belanja
yang
dapat
digunakan berulang-ulang. •
Recycle Pendirian UDPK (Usaha Daur Ulang Dan Pembuatan Kompos), yang akan sangat tinggi manfaatnya dalam mereduksi timbulan sampah. Mengadakan tempat jual beli barang bekas.
Pembiayaan Peran serta masyarakat dalam hal pembiayaan dipengaruhi oleh: •
Kemampuan masyarakat untuk membayar
•
Kemauan untuk membayar tepat waktu
•
Penerapan Perda tentang tarif
Pemecahan masalah Masalah menipisnya peran serta masyarakat dipecahkan melalui : •
Penyuluhan:
Memasyarakatkan
Perda
tentang
kebersihan,
memasyarakatkan aset kebersihan. •
Insentif memberikan potongan iuran/retribusi bagi pemilahan sampah di sumbernya
•
Desinsentif : mengenakan denda bagi yang terlambat membayar iuran.
277
BSIAN Seri 2
Inovasi Kampung Organik Inovasi “Kampung Organik” merupakan bentuk inovasi yang mampu merubah kebiasaan hidup sehari masyarakat, dimana setiap warga mampu melestarikan alam lingkungan dengan baik dan benar, baik itu lingkungan biotik, abiotik, sanitasi, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Dalam hal ini, warga juga dapat membudidayakan sistem pertanian secara organik, baik skala rumah tangga maupun skala kawasan. Selain itu, dalam hal ini pula, masyarakatnya pun sudah mampu mengelola sistem penampungan air hingga pemilahan dan pengelolaan sampah dengan baik, yang meliputi
reduce, reuse, dan recycle (3R).
Kota Magelang Kota Sejuta Bunga merupakan salah satu program pemerintah Daerah Kota Magelang tahun 2011-2015 dalam rangka mewujudkan salah satu misi pembangunan daerah yaitu meningkatkan sumber-sumber pendanaan dan mendorong tumbuhnya iklim investasi untuk pengembangan usaha yang mampu membuka peluang penyerapan tenaga kerja yang luas bagi masyarakat. Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Magelang untuk mewujudkan misi tersebut adalah menciptakan lingkungan yang bersih, indah, tertib, nyaman, dan asri guna memberikan pelayanan bagi para pengguna jasa di Kota Magelang. Oleh karena itu Pemerintah Kota Magelang dituntut untuk melakukan perubahan yang positif pada setiap tahap pembangunan, termasuk dalam perencanaan fisik wajah (lanskap) kota, sehingga muncul gagasan untuk mewujudkan konsep Magelang sebagai Kota Sejuta Bunga.
277
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
278
Salah satu upaya untuk mendukung program Sejuta Bunga adalah pembentukan “Kampung Organik” di setiap RW. Menurut Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kota Magelang, sampai saat ini jumlah kampung organik yang sudah didirikan sebanyak 28 kampung. Diawali oleh pendirian kampung organik Legok Makmur di Kalurahan Wates dengan swadaya masyarakat pada awal tahun 2013. Tahun 2014 direncanakan akan dibentuk kembali 17 kampung organik dengan dana APBD yang tersebar di 17 kalurahan. Kampung organik merupakan kampung yang dalam kehidupan rutin sehari-hari, setiap warga melestarikan alam lingkungan dengan baik dan benar, baik itu lingkungan biotik, abiotik, sanitasi, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Selain itu, warga juga membudidayakan sistem pertanian organik dalam skala rumah tangga dan skala kawasan. Masyarakatnya
sudah mengelola
sistem
penampungan
air
hingga
pemilahan dan pengelolaan sampah yang meliputi reduce, reuse, dan
recycle. Menurut Walikota Magelang, adanya “Kampung Organik” tersebut merupakan salah satu elemen yang mengantarkan Kota Magelang meraih Adipura Kencana tahun 2014 ini. Namun demikian Walikota Magelang belum merasa puas, karena belum seluruh RW di Kota Magelang memiliki kampung organik. Dalam pemahamannya, yang dimaksud sebagai “Kampung Organik” adalah sekelompok masyarakat yang dalam kegiatannya telah secara terorganisir melakukan pemilahan dan pengolahan sampah organik dan non-organik (melalui 3R) secara berkelanjutan, dan memanfaatkan hasil pengolahan sampah tersebut untuk menjadikan suatu kawasan hijau dan meningkatkan ketahanan pangan keluarga secara berkelanjutan (Fence, LPSM 2012). Adapun yang menjadi Visi dari Kampung Organik adalah“Terciptanya lingkungan yang bersih, indah disertai dengan terjadinya perbaikan kualitas lingkungan alam secara berkesinambungan dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan penggunaan hasil olah sampah”. Dengan Misi-nya
BSIAN Seri 2
279
yaitu meningkatkan, menumbuhkembangkan kemampuan dan kesadaran
masyarakat dalam mengolah dan menggunakan hasil olah sampah. 70
Namun demikian, seiring dengan kondisi yang ada pemahaman ini juga
telah mengalami penyesuaian secara konsep, yaitu Pengelolaan Sampah Mandiri (pengelolaan sampah rumah tangga dengan kegiatan pemilahan, pengomposan, bank sampah serta kerajinan daur ulang), Ketahanan Pangan Mandiri
(pemenuhan
kebutuhan
pangan
sehat
keluarga
dengan
memanfaatkan hasil pengelolaan sampah untuk sumber pangan organik), dan Ketahanan Ekonomi (menambah penghasilan dari hasil pertanian, perikanan, peternakan serta kerajinan daur ulang). Oleh karena itu, manfaat yang dapat diterima oleh masyarakat adalah: Mengurangi volume sampah ke TPSA Kota Magelang dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), hingga pada jangka panjang dapat mencapai
Zero Waste. Memperpanjang usia TPA Banyuurip. Memenuhi kebutuhan pangan sehat dan gizi keluarga dan masyarakat; Penyediaan Rth dalam skala lingkungan; Peningkatan pendapatan warga. Adapun yang menjadi kegiatan dalam Kampung Organik, adalah: Pelatihan olah sampah organik maupun non organik. Pendampingan kinerja kelompok. Pendampingan komunitas / masyarakat dalam pengolahan sampah rumah tangga. Menggalang kerjasama dengan berbagai pihak (individu, pemerintah, lembaga-lembaga
non-pemerintah,
sekolah,
dll)
yang
memiliki
kepedulian sama terhadap persoalan sampah.
Drs Fence Ohoilulin (Ketua LPSM Bina Daya Kasih). Disampaikan Dalam Bimbingan Teknis Persampahan Kota Magelang Tahun 2014 (Oktober), Gedung Wanita, 18 September 2014. (sumber : https://dkptkotamagelang.wordpress.com/) 70
279
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
280
Sedangkan yang menjadi sasaran dalam inovasi“Kampung Organik” ini adalah: Terciptanya sebuah industri berbahan baku sampah organik, mengubah barang tidak bernilai menjadi
barang bernilai
ekonomis yang
menguntungkan dan menyehatkan. Pemanfaatan hasil olah sampah di usaha budidaya pertanian organik akan meningkatkan nilai tukar produk. Terjadinya perbaikan kualitas tanah secara fisik, biologis dan kimiawi lewat aplikasi pupuk hasil olah sampah organik. Terwujudnya lingkungan yang sehat, bersih dan indah lewat pengelolaan sampah yang bertanggungjawab. Menciptakan unit usaha mikro di level PKK dengan Konsep PKK Smart. Fungsi : Outlet hasil produksi sampah non-organik masuk ke industri daur ulang Outlet hasil produksi (produksi barang asupan pupuk : padat, cair, vermi kompos; dan produksi hortikultura hasil aplikasi di lahan sempit maupun di lahan persawahan dan atau lahan kering/ tegalan). Pengadaan bahan-bahan lain yang diperlukan rumah tangga (sembako, dll)
Adapun yang menjadi manfaat bagi masyarakat disekitar lingkungan dengan keberadaan “Kampung Organik” ini adalah masyarakat dapat mengolah barang tidak/kurang bermanfaat menjadi bahan bermanfaat, dapat mengurangi beban lingkungan akibat pencemaran, serta dapat menjadikan perbaikan kualitas tanah dan menaikkan daya dukung untuk budidaya pertanian organik. Sedangkan secara sosial, manfaat yang dapat diperoleh adalah dapat menciptakan lapangan kerja, dapat mengurangi potensi konflik akibat limbah sampah, dan dapat memunculkannya kesadaran dan keahlian baru perihal pengelolaan limbah sampah. Selain itu,
BSIAN Seri 2
281
strategi yang dapat dikembangkan dalam hal ini adalah, dengan melibatkan beberapa elemen dan komponen masyarakat seperti: Dasa Wisma, Karang Taruna, Organisasi Pemuda, dan Sekolah formal (Playgroup- TK s.d . Perguruan Tinggi) dan non-formal.
Dalam hal pengembangan inovasi“Kampung Organik”ini, peran fasilitator dalam memberikan advice secara langsung kepada masyarakat sangat memainkan peranan. Fasilitator disini terbagi ke dalam tingkatan serta tugasnya yang telah terbagi secara spesifik, yaitu: Tugas-tugas
fasilitator“Kampung
Organik”tingkat
Kelurahan
(terhadap kelompok yang sudah menjadi pilot project kampung organik) Monitoring kegiatan kelompok sejauh mana telah berjalan. Mengidentifikasi permasalahan yang muncul di kelompok. Mengidentifikasi
kebutuhan
sarana
prasarana
yang
belum
mendukung kegiatan. Pendampingan kelompok untuk meningkatkan menjadi kampung organik tahap selanjutnya. Menggali Potensi kelompok masyarakat lain, untuk dijadikan lokasi kampung organik selanjutnya. Membuat laporan hasil kegiatan yang telah dilakukan fasilitator sesuai tupoksinya, kepada fasilitator tingkat kecamatan maupun fasilitator tingkat kota. Tugas-tugas fasilitator “Kampung Organik” tingkat Kecamatan Monitoring kegiatan fasilitator kelurahan di wilayah kerjanya. Mengidentifikasi permasalahan pada kelompok yang ada dalam wilayah kerjanya. Mengidentifikasi kebutuhan sarana-prasarana yang dibutuhkan dan mengkomunikasikan kepada fasilitator kota. Mengidentifikasi potensi kelompok masyarakat lainnya untuk dilaporkan kepada fasilitator kota.
281
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
282
Mendampingi fasilitator kelurahan untuk mengatasi masalah yang muncul di kelompok, apabila tidak dapat diselesaikan segera dilaporkan di tingkat fasilitator kota. Membuat laporan hasil kegiatan .
Tugas Fasilitator Kampung Organik Kota Monitoring secara menyeluruh kegiatan kampung organik. Mengidentifikasi permasalahan yang muncul. Mengidentifikasi kebutuhan sarana prasarana untuk mendukung kegiatan kampung organik. Mengidentifikasi
potensi
kelompok
masyarakat,
guna
berkembangnya kampung organik selanjutnya. Mendampingi fasilitator kecamatan dalam mencarikan solusi maupun mengatasi permasalahan yang muncul di kelompok masyarakat. Membuat laporan untuk dikomunikasikan kepada jajaran SKPD terkait (KLH) Menentukan kriteria atau tingkatan capaian kampung organik di suatu wilayah/ kelompok masyarakat. Adapaun yang tahapan-tahapan dalam pencapaian kegiatan ini, adalah: Tahap Pemula. Adanya kelompok yang didukung dengan SK Adanya pengurus sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kelompok. Memiliki papan nama kelompok. Melakukan sosialisasi kegiatan pada seluruh anggota. Kelompok melakukan pemilahan sampah keluarga baik organik maupun non-organik. Kelompok melakukan pengolahan sampah organik.
BSIAN Seri 2
kegiatan).
Kelompok
memiliki
buku
administrasi
yang
283
Melaksanakan pengadministrasian (pencatatan dan pembukuan hasil
telah
ditentukan misal buku anggota, notulen kegiatan, tamu, kas, dll Tahap Berkembang. Kelompok memiliki SK Kelurahan Adanya Pengurus Memiliki papan nama kelompok.
Melakukan sosialisasi di kelompok maupun masyarakat diluar kelompok. Kelompok telah melakukan pemilahan dan pengolahan sampah. Kelompok memanfaatkan hasil pengolahan sampah organik untuk menanan tanaman sayuran maupun toga untuk kebutuhan keluarga, maupun tanaman hias (bunga). Kelompok memanfaatkan hasil pemilahan sampah non-organik sebagai modal awal untuk persiapan kegiatan PKK Smart. Kelompok memulai membentuk Bank sampah dengan konsep Kampoeng Organik. Tahap Mandiri Memiliki SK Kelurahan Memiliki Pengurus Memiliki papan nama Sosialisasi ke kelompok maupun di luar kelompok Melakukan pemilahan dan pengolahan sampah baik organik maupun non-organik. Melakukan pengolahan sampah limbah cair organik. Pemanfaatan hasil pengolahan sampah untuk tanaman baik sayur, obat obatan (toga) untuk ketahanan pangan dan kesehatan keluarga, maupun untuk keindahan lingkungan (Bunga). Melakukan penghijauan kawasan tinggal maupun di lingkungan kelompok. Mengembangkan kebutuhan ketahanan pangan keluarga dengan ternak (ayam) dan perikanan sehat.
283
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
284
Melakukan kegiatan bank sampah dengan konsep kampung organik. Melakukan kegiatan PKK Smart. Melakukan kegiatan ekonomi dengan menjual hasil produk kampung organik. Melakukan kegiatan pelatihan keterampilan mengolah sampah nonorganik (mengembangkan kreasi/ kreativitas anggota). Menjadi narasumber maupun tempat studi banding bagi kelompok lainnya maupun dari daerah lain. Mampu mengembangkan modal untuk melakukan inovasi baru tanpa ketergantungan dari pemerintah.
Kabupaten Bone71 Pemerintah Kabupaten Bone melalui Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) kini giat melaksanakan berbagai program dalam upaya melestarikan alam lingkungan. Salah satu program kegiatan yang telah dilakukan adalah menciptakan“Kampung Organik”di Lingkungan Pabbacue Kelurahan Macanang Kecamatan Tanete Riattang Barat Kabupaten Bone. Kampung Organik merupakan kampung yang dalam kehidupan rutin sehari-hari, penduduknya melestarikan alam lingkungan dengan baik dan benar, baik itu lingkungan biotik, abiotik, sanitasi, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari di“Kampung Organik”, warga masyarakat membudidayakan sistem pertanian organik dalam skala rumah tangga dan skala kawasan. Masyarakatnya juga sudah mengelola penampungan air berupa lubang resapan dalam tanah untuk dimanfaatkan dalam sistem pertanian yang dikelola mereka dan memanfaatkannya untuk cadangan air tanah. Di samping itu warga masyarakat sudah mengelola sampah dengan menerapkan sistem pemilahan sampah di setiap rumah tangga, di
71www.blhad.bone.go.id
BSIAN Seri 2
285
lingkungan RT maupun RW, serta memanfaatkan sampah baik organik maupun non-organik untuk kehidupan mereka.
Dengan adanya pemanfaatan sampah yang dikelola secara mandiri,
berakibat pada meningkatnya kebersihan lingkungan dan juga kesehatan masyarakat. Di samping itu, sampah yang dikelola dengan baik, akan mampu menumbuhkan dan meningkatkan pendapatan warga masyarakat.
Konsep “Kampung Organik” Model
inovasi
“Kampung
Organik”
merupakan
bentuk
inovasi
peningkatan kualitas lingkungan hidup, yang dalam pengelolaannya lebih menitikberatkan pada memberdayakan sampah yang sudah tidak terpakai menjadi barang berdaya guna. Konsep pengembangan “Kampung Organik”ini sebenarnya lebih kepada pengoptimalan pemanfaatan sampah organik dan anorganik, dimana menurut Murtadho dan Gumbira (1988), sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa bahanbahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian. Sampah ini memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena memiliki rantai karbon relatif pendek. Sedangkan sampah anorganik, berupa sampah padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikro organisme karena memiliki rantai karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastik, dan lain-lain. Untuk itu, dalam konsep “Kampung Organik”ini, setidaknya dapat dijadikan sebagai salah satu program untuk mengatasi isu-isu lingkungan dalam hal persampahan, dimana sampah organik pada nantinya dapat dimanfaatkan sebagai kompos untuk tanaman yang ada. Sedangkan sampah anorganik pemanfaatannya lebih kepada proses daur-ulang yang dapat diolah menjadi barang dengan nilai ekonomis tinggi, sehingga pemanfaatan sampah akan menjadi lebih optimal dan tidak akan ada lagi sampah yang yang tidak terolah dan menjadi sumber permasalahan baru.
285
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
286
Adapun tahap kegiatan dalam pembentukan “Kampung Organik” ini adalah: Kegiatan Sosialisasi Kegiatan sosialisasi merupakan kegiatan awal untuk dilakukannya program “Kampung Organik” sebagai bentuk perkenalan kepada masyarakat. Dalam hal ini, perlu dilakukannya pembentukan Tim terhadap kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mewujudkan kampung organik, yang meliputi pengolahan sampah baik organik dan anorganik, budidaya tanaman dan ternak, pengolahan hasil dari budidaya tersebut, hingga pada pemasaran produk yang telah dihasil dari budidaya dan daur ulang sampah yang tidak dapat terurai (dibuat dalam bentuk kerajinan). Kegiatan Pelatihan Kegiatan pelatihan di sini, dapat meliputi: Pengolahan sampah organik menjadi kompos Pembuatan starter untuk pengomposan Budidaya tanaman hortikultura, tanaman obat, dan tanaman bunga Budidaya ternak (ayam, lele, dsb) Pengolahan hasil budidaya Pengolahan sampah anorganik menjadi berbagai kerajinan Dalam proses kegiatan pelatihan ini dapat dilakukan beberapa kali (sesuai kebutuhan), dengan tujuan agar masyarakat dapat lebih memahami hal-hal yang telah diajarkan dalam kegiatan pelatihan tersebut. Kegiatan pelatihan ini dapat dilakukan dengan mendatangkan narasumber yang ahli dibidangnya, dengan tetap berkoordinasi pada tim yang ada.
Kegiatan Praktik serta Pendampingan
287
BSIAN Seri 2
Kegiatan praktik ini merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan sebelumnya, di mana masyarakat (peserta) dapat melakukan praktiknya secara langsung sebagai bentuk penerapan ilmu yang telah didapat melalui kegiatan pelatihan. Misalnya, proses pengolahan sampah organik menjadi kompos, pengolahan sampah anorganik menjadi aneka kerajinan, dan budidaya tanaman. Dalam hal ini, tim yang ada
tetap melakukan monitoring dan mengevaluasi dari kegiatan praktik yang telah dilakukan oleh masyarakat tersebut dalam bentuk pendampingan, yaitu melakukan kunjungan ke lokasi secara berkala. Gambar 33. Tahapan Pelaksanaan Konsep“Kampung Organik”
Berdasarkan Gambar 33 tersebut, pembentukan Tim Program“Kampung Organik”ini sebaiknya diinisiasi oleh pemerintah daerah. Karena dalam pelaksanaan“Kampung Organik”, peranan pemerintah daerah menjadi 287
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
288
sangat penting sebagai maksud agar masyarakat dapat lebih tergerak dalam
kesadaran penanganan masalah persampahan. Jika dilihat pada beberapa pemerintah daerah lain, penanganan ataupun pengelolaan sampah telah dibuatkan Peraturan Daerah, sehingga dalam pelaksanaannya menjadi lebih efektif. Agar pelaksanaan program “Kampung Organik” ini dapat berjalan dengan baik, jelas diperlukan adanya persiapan teknis, seperti sosialisasi “Kampung Organik”. Pelaksanaan sosialisasi ini dapat dilakukan kepada masyarakat dengan melakukan pertemuan rutin bulanan antara pengurus di tingkat Rukun Warga (RW), untuk lebih memudahkan dalam pelaksanannya nanti. Sosialisasi ini juga dapat dijadikan sebagai pengantar mengenai pentingnya hidup bersih dan sehat, melalui menjaga kesehatan baik diri sendiri dan keluarga, serta lingkungan sekitar. Dalam menjaga kesehatan lingkungan inilah, maka harus dimulai dari tingkat rumah tangga (lingkup kecil) yang salah satunya adalah dengan mengelola sampah, namun tetap dapat memberikan nilai ekonomis (materil) bagi keluarga. Pemahaman lanjutan dapat dilakukan pada tahapan pelatihan. Selain itu, terkait dalam proses pengelolaan sampah yang didapat melalui kegiatan pelatihan, dimana dari sampah yang ada akan dilakukan proses pemisahan terlebih dahulu untuk kemudian akan dipilah antara sampah organik dan anorganik. Dari proses pemilahan inilah, kemudian akan dilakukan proses selanjutnya, yaitu pengolahan sampah organik akan diproses menjadi kompos (untuk kemudian kompos ini dapat dilakukan untuk proses penghijauan lainnya, yang dapat digunakan untuk budidaya hortikultura, tanaman obat, dan tanaman bunga). Sedangkan, pengolahan sampah anorganik dapat diolah menjadi aneka kerajinan. Semua proses pengolahan ini pada akhirnya akan diarahkan untuk dapat menjadi barang yang memiliki nilai ekonomis (matril) atau sumber penghasilan keluarga. Secera sederhana, proses tersebut dapat dilihat pada alur proses pengolahan sampah berikut ini.
Gambar 34. Proses Pengelolaan Sampah Model “Kampung Organik”
289
BSIAN Seri 2
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana dalam proses pengolahan sampah di sini, peranan dari pemerintah daerah menjadi sangatlah diperlukan. Hal ini juga menjadi penting manakala dalam hal pemberian pelatihan, dibutuhkan adanya narasumber untuk dapat memberikan pemahaman-pemahaman kepada masyarakat. Narasumber disini dapat berasal dari dinas-dinas terkait, dimana peranan mereka ini juga menjadi bagian dari tim yang dibentuk oleh pemerintah daerah setempat. Setelah tim ini terbangun, maka di kalangan masyarakat juga diperlukan adanya pembentukan tim. Pembentukan tim dimaksudkan agar lebih memudahkan dalam melakukan koordinasi antara pihak pemerintah daerah kepada masyarakat, terutama dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Bentuk organisasi tim di masyarakat, ini juga sebaiknya perlu dilakukan penunjukan penanggungjawab pada setiap bagiannya. Berikut struktur organisasi pembentukan tim (masyarakat) pada gambar 35.
289
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
290
Gambar 35. Struktur Tim“Kampung Organik”(Masyarakat)
Daftar Pustaka Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Komang, Ni Ayu Artiningsih. Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup dan ” Wall Chart ”. 1996. Murtadho, D.,dan S.E. Gumbira. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. PT. Melton Putra. Jakarta: 1988. Profil Bank Sampah Indonesia 2012. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
BSIAN Seri 2
291
Bahan paparan Kepala Bappeda Ir. Joko Soeparno, M.PL tentang RKPD Kota Magelang Tahun 2015. Website http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160222182308-277112685/indonesia-penyumbang-sampah-plastik-terbesar-ke-dua-dunia/ http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/1510 http://pplp-dinciptakaru.jatengprov.go.id/sampah/file/406982428_ peran_serta_masyarakat.pdf https://dkptkotamagelang.wordpress.com/ www.blhad.bone.go.id
291
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
292
Catatan : ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
BSIAN Seri 2
293
Catatan :
............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
293
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
294
Catatan : ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
BSIAN Seri 2
295
Catatan :
............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
295
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
296
Catatan : ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
Pengembangan Model Inovasi Tata Pemerintahan & Pelayanan Publik
328
329
BSIAN Seri 2
329