Peran Clinical Pathways dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Bidang Kesehatan1 Oleh: Hanevi Djasri, dr, MARS Pendahuluan Undang‐Undang no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) pada bab 24 ayat 3 menetapkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) harus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Berbagai sistem tersebut harus diatur dalam bentuk peraturan pelaksanaan setingkat Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden bahkan Peraturan Menteri2. Sistem pembayaran pelayanan kesehatan telah diatur secara tegas melalui Peraturan Presiden tentang Jaminan kesehatan pasal 39 yaitu menggunakan mekanisme kapitasi untuk pelayanan kesehatan tingkat pertama dan mekanisme INA‐CBGs untuk pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Sedangkan untuk sistem kendali mutu pelayanan belum ditetapkan secara tegas tentang “mutu produk” jaminan kesehatan, meski pada pasal 20 ayat 1 telah menetapkan “produk” dari jaminan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai. Secara umum memang Pasal 42 Peratura Presiden tersebut telah menjelaskan mengenai kendali mutu, bahwa pelayanan kesehatan kepada peserta jaminan kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya. Hal tersebut harus dicapai dengan memenuhi standar mutu fasilitas kesehatan (input), memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai standar yang ditetapkan (proses), serta pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta (output). Secara khusus penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan tersebut baru akan diatur dengan Peraturan BPJS (pasal 42 ayat 3) dan oleh Peraturan Menteri (pasal 44)3. Meski demikian sebenarnya berbagai regulasi pelayanan kesehatan di Indonesia telah menetapkan standar input, proses dan output tersebut diatas (Djasri, 2013). Standar input antara lain telah diatur dalam standar perijinan fasilitas kesehatan (mulai dari standar bangunan, SDM, peralatan dan sebagainya). Standar output terutama terkait dengan kinerja di level pasien dan juga di level sarana pelayanan kesehatan, untuk RS standar ini telah diatur dalam standar pelayanan minimal RS4 yang meskipun masih juga terdapat standar input dan proses namun juga sudah mulai ada standar output. Sedangkan standar proses dapat terbagi menjadi proses manajemen pelayanan kesehatan dan proses klinik (clinical care). Proses manajemen antara lain diatur dalam standar akreditasi (RS, 1
Disampaikan pada Workshop INA‐CBG, diselenggarakan oleh IMRS‐PERSI, 3‐4 Juli 2013 di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Materi ini dapat didownload di www.mutupelayanankesehatan.net 2
Hingga awal tahun 2013 baru berhasil ditetapkan 4 peraturan pelaksana, yaitu: Undang‐Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI), Peraturan Presiden tentang Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan. 3
Hingga saat ini, penulis belum mendapatkan informasi mengenai rancangan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan baik dalam bentuk Peraturan BPJS maupun Peraturan Menteri. 4
Standar akreditasi RS dari KARS saat ini sudah menggunakan versi baru yaitu versi 2012, standar akreditasi Puskesmas dan revisi standar pelayanan minimal RS sudah selesai disusun namun belum disahkan Kementerian Kesehatan
Laboratorium, Puskesmas), standar pelayanan prima dan sebagainya5. Untuk proses klinik (clinial care) diatur dalam pedoman pelayanan medis dan standar asuhan keperawatan atau secara umum disebut sebagai clinical guidelines yang umumnya diterbitkan oleh organisasi profesi. Clinical Guidelines (pedoman klinik) memiliki berbagai bentuk, seperti pedoman pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, protokol, algoritma, clinical pathways dan sebagainya. Berbagai bentuk pedoman klinik tersebut disusun melalui proses literatur review, critical appraisal, konsultasi multidisplin dan penyusunan rekomendasi berdasarkan level of evidance, hingga cukup banyak membutuhkan sumber daya dan waktu. Namun karena tidak cukup perhatian dan dukungan yang diberikan untuk menerapkan pedoman tersebut kedalam praktek sehari‐hari maka efektifitas dari pedoman klinik tidak terlalu baik. Salah satu bentuk clincial guidelines yakni clinical pathway memiliki pontensi untuk dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk menjamin dan meningkatkan mutu proses clinical care. Clinical Pathways Clinical patways adalah salah satu alat manajemen penyakit yang banyak dipakai dan telah berkembang pesat dalam 15 tahun terakhir ini, terutama sejak banyaknya laporan penelitian (meski masih diperdebatkan) yang menunjukan bahwa clinical pathway memiliki potensi dalam mengurangi variasi pelayanan yang tidak perlu sehingga dapat meningkatkan outcome klinik dan juga penghematan pemakaian sumber daya (finansial). Clinical patways atau juga dikenal dengan nama lain seperti: Critical care pathway, Integrated care pathway, Coordinated care pathway, caremaps®, atau Anticipated recovery pathway, adalah sebuah rencana yang menyediakan secara detail setiap tahap penting dari pelayanan kesehatan, bagi sebagian besar pasien dengan masalah klinis (diagnosis atau prosedur) tertentu, berikut dengan hasil yang diharapkan (Djasri, 2006). Clinical pathway memberikan cara bagaimana mengembangkan dan mengimplementasikan pedoman klinik (clinical guideline/best practice) yang ada kedalam protokol lokal (yang dapat dilakukan). Clinical pathway juga menyediakan cara untuk mengidentifikasi alasan mengapa terjadi sebuah variasi (pelayanan tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan) yang tidak dapat diidentifikasi melalui audit klinik. Hal tersebut dimungkinkan karena clinical pathway juga merupakan alat dokumentasi primer yang menjadi bagian dari keseluruhan proses dokumentasi pelayanan dari penerimaan hingga pemulangan pasien. Dengan kata lain, clinical pathway menyediakan standar pelayanan minimal dan memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat waktu. Tujuan implementasi clinical pathway terutama adalah untuk: 1. 2. 3.
4.
Memilih “best practice” pada saat pola praktek diketahui berbeda secara bermakna dan sebenarnya tidak perlu. Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan pemeriksaan klinik dan prosedur klinik lainnya. Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang bebeda dalam suatu proses dan menyusun strategi untuk mengkoordinasi agar dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahap yang lebih sedikit Memberikan seluruh staf yang terlibat tujuan umum yang harus tercapai dari sebuah pelayanan dan apa peran mereka dalam proses tersebut
5
Banyak sarana pelayanan kesehatan di Indonesia telah menerapkan standar sistem manajemen mutu ISO 9000 yang juga diadopsi oleh ISQua, namun demikian tidak ada regulasi nasional yang mengatur mengenai pengguanaan standar ISO ini untuk bidang pelayanan kesehatan.
5.
6. 7.
Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses pleayanan sehingga provider dapat mengetahui seberapa sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar Mengurangi beban dokumentasi klinik Meningikatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien (misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan)
Secara konvensional clinical pathway ditulis dalam bentuk fomulir matrix dengan aspek pelayanan di satu sisi, dan waktu pelayanan disisi yang lain (gambar 1). Interval waktu biasanya dalam hitungan hari mengikuti instruksi klinik harian, namun hal ini dapat berbeda tergantung dari perjalanan dan perkembangan penyakit atau tindakan yang ada (misalnya clinical pathway untuk penyakit kronis mungkin memilik interval waktu perminggu atau bulan). Clinical pathway mengintegrasikan protokol terapi, rencana asuhan keperawatan dan aktifitas dari pelayanan klinik lainnya dalam sebuah rencana pelayanan yang secara jelas mendefinisikan harapan dari perkembangan dan outcome yang akan didapat oleh pasien. Umumnya clinical pathway dikembangkan untuk diagnosa atau tidakan yang “high‐volume”, ”high‐risk” dan ”high‐cost”. Clinical pathway umumnya banyak dikembangkan di rumah sakit namun saat ini secara bertahap sudah mulai diperkenalkan ke sarana pelayanan kesehatan lain seperti nursing homes. Timeline
Pelayanan
Gambar 1 Contoh Formulir Clinical Pathway Peran Clinical Pathways Secara umum clinical pathway berperan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dari awal sampai akhir dengan meningkatkan risk adjusted patient outcome, mempromosikan keselamatan pasien, meningkatkan kepuasan pasien,dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya (Vanhaect et al, 2007). Secara khusus implementasi clinical pathway juga berperan untuk (Pearson et al., 1995): 1)
Memilih pelayanan kesehatan terbaik ketika muncul banyak variasi dalam pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan terhadap pasien
2) 3) 4) 5)
6) 7)
Menetapkan standar mengenai lamanya hari perawatan, prosedur pemeriksaan klinik dan jenis penalataksanaannya Menilai hubungan antara berbagai tahap dalam proses pelayanan untuk dan mengkoordinasikannya agar dapat memberikan pelayanan yang lebih cepat Memberikan pedoman kepada seluruh staf rumah sakit untuk melihat dan mengerti mengenai variasi yang timbul dalam proses pelayanan Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan data dari proses pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mempelajari seberapa sering dan mengapa pasien tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar selama perawatan Menurunkan beban dokumentasi dokter dan pasien Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan edukasi mengenai rencana perawatan pasien
Manfaat yang didapatkan dengan adanya clinical pathway antara lain (Wright & Hill, 2003) adalah : 1) 2) 3)
4) 5)
Dapat menggabungkan pedoman klinis ke dalam suatu dokumen resmi sehingga dapat bertindak sebagai pengingat bagi profesional kesehatan Menggarisbawahi standar yang tegas yang akan dijumpai dalam pathway pelayanan pasien yang dapat diperiksa secara mudah dari dokumen yang ada Bersifat multidisiplin sehingga dapat meningkatkan komunikasi antar profesi yang berbeda sehingga dapat menghilangkan duplikasi yang tidak diperlukan dari dokumen informasi yang tersimpan Dapat mengurangi variasi dalam pelayanan klinis Dapat meningkatkan dokumentasi dalam riwayat kesehatan
Clinical Pathways Sebagai Alat Kendali Mutu Pelayanan Kesehatan Efektifitas dari penggunaan clinical pathways sebagai salah satu alat kendali mutu masih dalam perdebatan. Namun demikian di Amerika Serikat hampir 80% RS menggunakan clinical pathways untuk beberapa indikator. Terdapat berbagai penelitian mengenai efektifitas clinical pathways namun hasilnya masih tidak konsisten karena berbagai bias penelitian. Beberapa penelitian yang menunjukan efektifitas clinical pathways adalah sebagai berikut: 1)
2) 3) 4)
Menghemat penggunaan sarana, meningkatkan luaran klinis, meningkatkan kepuasan pasien, dan praktisi klinis, serta menurunkan biaya perawatan (Tokarsky dan McLaughlin, 1995) Penurunan length of stay dan penurunan biaya perawatan (Evans, 1999) Memfasilitasi early discharge, meningkatkan indeks kualitas hidup (Feagan, 2001) Menurunnya length of stay, meningkatnya clinical outcome, meningkatkan economic outcome, mengurangi tindakan yang tidak diperlukan (Darer, Pronovost, Bass, 2002)
Efektifitas clinical pathways tersebut baru dapat diperoleh jika pathway disusun berdasarkan strategi yang dikendalikan oleh pemimpin (leader driven‐strategy), sebab jika tidak akan mengalami berbagai hambatan seperti (Guinane, 1997): Anggota tim yang menjalankan pathway hanya sedikit, hal ini timbul karena pathway belum dianggap sebagai suatu yang penting bagi organisasi; Masing‐masing bagian akan menyusun pathwaynya sendiri, sehingga hasilnya tidak akan optimal, hal ini timbul jika pemimpin tidak mempertimbangkan pathway dan perencanaan multidisiplin; Pathway tidak menjadi bagian dalam pelayanan klinis sehari‐hari, ini terutama terjadi jika pembuatan pathway tidak dipikirkan dengan sungguh‐sungguh, termasuk cara dokumentasinya, maka pathway hanya akan menjadi beban tambahan dalam proses pelayanan. Berdasarkan hal ini maka RS yang akan menggunakan clinical pathways sebagai alat kendali mutu harus benar‐benar merencanakan, menyusun, menerapkan dan mengevaluasi clinical pathways secara sistematis.
Kepustakaan Djasri, H. Kajian Singkat Penyusunan dan Penerapan Clinical Pathway di Pusat Jantung Terpadu RSCM. Materi Seminar Nasional Casemix ‐ DRG’s, Hotel Santika – Jakarta, 26 Januari 2006 Djasri, H. Peta Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan: Laporan Sementara. Kerjasama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dengan WHO Indonesia. 2013 Pearson, S.D.M.M., Fisher,D.G.R. & Lee, T.H.M.M. Critical Pathways As A Strategy For Improving Care: Problems and Potential. Annals of Internal Medicine, 1995. Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Rotter T, Kinsman L, James EL, Machotta A, Gothe H, Willis J, et al. Clinical pathways: Effects on Professional Practice, Patient Outcomes, Length Of Stay and Hospital Costs. Cochrane Database of Systematic Reviews 2010. Undang‐Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Vanhaecht, K., Witte, K. D. & Sermeus, W. The Impact of Clinical Pathways On The Organisation Of Care Processes. PhD dissertation, Katholieke Universiteit Leuve, 2007 Wright, J. & Hill, P. Clinical Governance. : Churchill Livingstone. 2003 Tentang penulis: Hanevi Djasri adalah alumnus FK‐UI (1994) dan MARS‐UI (1997), memiliki pengalaman dibidang asuransi dan pengalaman mengelola grup RS swasta di Jakarta. Saat ini bekerja sebagai peneliti dan konsultan pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK‐UGM, pengurus Pusat Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), koordinator Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) dan anggota International Society for Quality in Healthcare (ISQua). Penulis memiliki pengalaman menjadi fasilitator penyusunan clinical pathways di berbagai RS, dimulai di Pusat Jantung Terpadu (PJT) RSCM pada tahun 2005 hingga di RSUP Persahabatan pada tahun 2013. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] atau pada website www.mutupelayanankesehatan.net