perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENYELESAIAN PEMBIAYAAN BERMASALAH MELALUI CARA NON LITIGASI PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI DI SURAKARTA
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Magister Kenotariatan
Oleh : ITA TRESNAWATI NIM. S351208022
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2015
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENYELESAIAN PEMBIAYAAN BERMASALAH MELALUI CARA NON LITIGASI PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI DI SURAKARTA
DISUSUN OLEH : ITA TRESNAWATI NIM. S351208022
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing : Dewan Pembimbing
Jabatan
Nama
Tanda tangan Tanggal
1. Pembimbing I Burhanudin Harahap, SH.,MH., MSi.,PhD ……….….. NIP. 19600716 198503 1 004
2. Pembimbing II Bambang Santoso, SH., M Hum NIP.19620209 198903 1 001
3. Penguji Seminar Hasil
Toto Susmono Hadi, SH., MH.
……..…….. ..............
……..……..
Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Burhanudin Harahap, SH., MH., MSi., PhD NIP. 19600716 198503 commit to user 1 004
ii
..............
..............
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENYELESAIAN PEMBIAYAAN BERMASALAH MELALUI CARA NON LITIGASI PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI DI SURAKARTA DISUSUN OLEH : ITA TRESNAWATI NIM. S351208022
Telah disetujui oleh Tim Penguji : Jabatan
Nama
Tanda tangan
Tanggal
1. Ketua
: Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.,MH. NIP. 196302091988031003 ...................... ................. ., MSI., Phlm.D. 2. Sekretaris : Burhanudin H., SH.,MH.,MSI., Ph.D NIP. 196007161985031004 l . ...................... ................ .......................lah., MHL.............M., Phlm.D 8503 1 001 3. Penguji : Dr. Pujiono, SH., MH.Prof., M.Hum. Pembanding NIP. 197910142003121001NIP.19601107 198601 1 001 Internal ...................... ................. 4. Penguji : Dr. Mulyoto, SH., MKnDr .Irnawanrori, M., MM. Pembanding. Eksternal ...................... ................. 5. Anggota M.TTTKn.
: Bambang Santoso, SH., M.HumDTr. Mulyoto, NIP. 196202091989031001 ...................... ................. Mengetahui :
Direktur Program Pascasarjana
Kepala Program Studi Magister Kenotariatan
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. Burhanudin H, SH., MH., MSi., Ph.D NIP. 19600727 198702 1 001 NIP. 19600716 198503 1 004 commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN NAMA
: ITA TRESNAWATI
NIM
: S351208022
Menyatakan
dengan
sesungguhnya
bahwa
tesis
yang
berjudul
“PENYELESAIAN PEMBIAYAAN BERMASALAH MELALUI CARA NON LITIGASI PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI DI SURAKARTA” adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut diatas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta,
November 2015
Yang membuat pernyataan,
Ita Tresnawati
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Elmu kedah disarengan ku iman, taqwa tur ikhlas; Kedah sumujud kanu murbeng alam, nukagungan elmu; Kedah hormat tilawah ka guru anu ngatikna; Anu bakal nyalametkeun kadiri sawarga hancenganana; Tebihan adigung adiguna, ieu aing uyah kidul asa pang aingna; Ngarasa taya anu nyaruaan, sirik pidik jail aniaya; Poho ka purwa daksina, poho kana poe panghisaban; Nu bakal nyilakakeun kadiri, naraka hancenganana.
(Anonim, piwuruk sepuh)
Penulisan Hukum ini kupersembahkan untuk : Ibunda tercinta, ibu Atikah Ayahanda tercinta, Bpk Soewarna Suamiku tercinta, Mas Iskandar Zulkarnain Dan putriku tersayang Ayuningtyas Kumalasari serta Setianingtyas Permatasari
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamuálaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhannahu Wa Taála atas segala limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tesis
yang
berjudul
“PENYELESAIAN
PEMBIAYAAN
BERMASALAH MELALUI CARA NON LITIGASI PADA PT. BANK SYARIAH
MANDIRI DI SURAKARTA” sebagai tugas yang
harus
diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh derajat Magister (S2) dalam Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian atas Pembiayaan Bermasalah
Penyelesaian
Melalui Cara Non Litigasi Pada PT.Bank Syariah
Mandiri di Surakarta, didasarkan pada perkembangan sistem keuangan syariah di Indonesia. Perkembangan perbankan syariah di negara dengan warga negara muslim yang cukup besar seperti di Indonesia yang begitu signifikan, tentunya membawa konsekuensi akan terjadinya suatu masalah yang dapat menimbulkan sengketa dalam kegiatan transaksi perbankan. Pada
dasarnya
penyelesaian
sengketa
perbankan
syariah
telah
diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 junto Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, dengan demikian dalam sengketa perbankan syariah pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, baik melalui cara litigasi di Peradilan Agama, Peradilan Umum, atau melalui cara non litigasi/diluar Peradilan sepanjang tidak ditentukan
lain dalam peraturan
perundang-undangan. Namun dalam hal para pihak telah memperjanjikan untuk penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan maka terdapat pilihan penyelesaian sengketa non litigasi yaitu melalui musyawarah, mediasi, melalui proses Arbitrase di Badan Arbitrase Syariah Nasional atau melalui alternatif penyelesaian sengketa lainnya. commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Banyak pihak yang berperan besar dalam memberikan bantuan dan perhatian sampai selesainya tesis ini, untuk itu ucapan penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Bapak Burhanudin Harahap., S.H., M.H., MSi., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pembimbing tesis yang telah memberikan waktu, tenaga, bimbingan dan memberikan berbagai masukan serta saran dalam menyusun tesis ini. 5. Bapak Bambang Santoso, SH. M Hum., selaku pembimbing tesis yang telah memberikan waktu, tenaga, bimbingan dan memberikan berbagai masukan serta saran dalam menyusun tesis ini. 6. Segenap Dosen Pengajar Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 7. Bapak Budi Ganito selaku Branch Manager, Bapak Ilhamsjah M. Arbi selaku Marketing Manager dan Staff serta karyawan lainnya di PT. Bank Syariah Mandiri Surakarta
yang telah meluangkan waktu kepada penulis untuk
melaksanakan wawancara dan juga memberikan ilmu, pembelajaran, serta membantu penelitian penulis. 8. Karyawan dan Staff Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran perkuliahan sampai dengan terselesaikannya tesis ini. 9. Kedua Orang tuaku, Bapak Soewarna dan ibu Atikah Soewarna, serta kakakkakak dan adik-adik yang selalu ada memberikan dukungan, doa, semangat, dan kasih sayang kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan commit to user penulisan tesis ini.
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Suamiku, Mas Iskandar Zulkarnain, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mewujudkan mimpi yang tertunda, yang dengan sabar mendampingi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. 11. Anak-anakku, Ayuningtyas Kumalasari dan Setianingtyas Permatasari, walaupun kalian berada di kota yang berbeda, telah merelakan waktu dan perhatian ibunya terbagi, senantiasa mendo‟akan serta menyemangati ibunya untuk menyelesaikan penulisan tesis ini, semoga menjadi motivasi untuk ananda mewujudkan cita-cita dan mimpi-mimpi kalian. 12. Sahabat-sahabat, adik-adik dan anak-anak penulis semasa perkuliahan serta teman-teman kelas B dan kelas A Angkatan I Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan dukungan
kepada
penulis
sehingga
penulis
lebih
semangat
dalam
menyelesaikan tesis ini. Terima kasih atas kebersamaannya. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan kontribusi kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari segi substansi maupun teknik penulisan, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan penulisan hukum selanjutnya. Semoga tesis ini memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk penulisan, akademisi maupun masyarakat umum.
Surakarta,
November 2015 Penulis
Ita Tresnawati
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv MOTTO ........................................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii ABSTRAK ....................................................................................................... xiii ABSTRACT ..................................................................................................... xiv BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................ 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7 BAB II. LANDASAN TEORI ......................................................................... 9 A. Kerangka Teori..................................................................................... 9 1. Tinjauan tentang Perbankan Syariah .............................................. 9 a. Pengertian Bank Syariah .......................................................... 9 b. Prinsip Kegiatan Usaha atau Operasional Bank Syariah ......... 12 c. Produk Bank Syariah ................................................................ 17 2. Tinjauan tentang Pembiayaan ........................................................ 19 a. Pengertian Pembiayaan ............................................................ 19 b. Unsur-unsur dalam Pembiayaan .............................................. 21 c. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan ............................................... 21 d. Jenis-jenis Pembiayaan Syariah ............................................... 22 e. Prosedur Pembiayaan ............................................................... 24 commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Jaminan dalam Pembiayaan ..................................................... 25 g. Akad Pembiayaan .................................................................... 27 3. Tinjauan tentang Pembiayaan Bermasalah .................................... 28 a. Pengertian Pembiayaan Bermasalah ........................................ 28 b. Sebab-sebab Timbulnya Pembiayaan Bermasalah................... 28 4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa ....................................... 29 a. Penyelesaian Sengketa Menurut Sistem Hukum di Indonesia . 29 b. Penyelesaian Sengketa Dalam Sejarah Islam ........................... 37 5. Teori Hukum .................................................................................. 45 B. Penelitian Yang Relevan ...................................................................... 47 C. Kerangka Berpikir ................................................................................ 51 BAB III. METODE PENELITIAN.................................................................. 53 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 60 A. Pelaksanaan Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank Syariah Mandiri di Surakarta dan Kesesuaian Pelaksanaannya Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang serta Peraturan Terkait .................................................................................. 60 B. Kendala-Kendala yang Dihadapi oleh Bank Syariah Mandiri di Surakarta dalam Menyelesaikan Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi ................................................................................. 112 BAB V. PENUTUP .......................................................................................... 120 A. Kesimpulan .......................................................................................... 120 B. Implikasi .............................................................................................. 123 C. Saran ..................................................................................................... 124 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional ......................... 17
Tabel 2
Jumlah kasus di BASYARNAS ..................................................... 42
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Kerangka berpikir ....................................................................... 51
Gambar 2
Teknik Analisis Data .................................................................. 57
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
ITA TRESNAWATI. S.351208022. 2015. PENYELESAIAN PEMBIAYAAN BERMASALAH MELALUI CARA NON LITIGASI PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI DI SURAKARTA. Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi pada Bank Syariah Mandiri di Surakarta dan kesesuaiannya terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang dan Peraturan Terkait serta kendalakendala yang dihadapi oleh Bank Syariah Mandiri di Surakarta dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Teknik Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan wawancara. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model interaktif. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara, yaitu melalui cara litigasi dan cara non litigasi. Pilihan litigasi dilakukan melalui lembaga Pengadilan Agama. pilihan penyelesaian sengketa non litigasi yaitu melalui musyawarah, mediasi perbankan, melalui Arbitrase di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau melalui alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah atau mekanisme penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi di Bank Syariah Mandiri Surakarta dilakukan secara internal Bank melalui upaya penagihan, restrukturisasi dan likuidasi / penjualan agunan dengan mengedepankan kaidah musyawarah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) atau Kebijakan Internal Penanganan Pembiayaan Bermasalah. Hasil penelitian, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut : adanya ketidak sinkronan antara Pasal 26 dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, adanya kendala ketidak siapan infrastruktur Basyarnas sebagai lembaga penyelesai sengketa, kurangnya peran dan fungsi Dewan Pengawas Syariah, kurangnya sumber daya insani yang profesional dan kurangnya sosialisasi dan informasi mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah di masyarakat sesuai ketentuan Undang-Undang, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Kata Kunci : Penyelesaian Sengketa, Pembiayaan, Non Litigasi
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
ITA TRESNAWATI. S.351208022. 2015. SETTLEMENTS OF FINANCING DISPUTES THROUGHT NON-LITIGATION MEASURE AT THE LIMITED LIABILITY COMPANY OF PT. BANK SYARIAH MANDIRI IN SURAKARTA. The Graduate Program in Notary, the Faculty of Law, Sebelas Maret University, Surakarta. The objectives of this research are to examine: (1) how the settlements of financing disputes through non-litigation measure are implemented at the Limited Liability Company of PT. Bank Syariah Mandiri in Surakarta; and whether the implementation of the financing dispute settlement through the non-litigation measure at the Limited Liability Company of PT. Bank Syariah Mandiri in Surakarta has been in accordance with Law Number: 21 of 2008, related laws and regulations; (2) the what constraints are encountered by the Limited Liability Company of PT. Bank Syariah Mandiri in Surakarta in the settlements of financing disputes through the non-litigation measure. This research used the descriptive and empirical legal research with qualitative approaches. The data used in this research were primary ones. They were collected through literature study and interview and analyzed by using the qualitative analysis technique with the interactive model of analysis. In accordance with Article 55 of Law Number: 21 of 2008 regarding Islamic Banking, the settlements of disputes related to the the econimic activities of Islamic banking are solved through two measures, namely: litigation and non-litigation measures. The former are conducted through religious courts. However, if the parties have pledged to solve the disputes outside the religious courts, there is another option of dispute settlement, namely: non litigation one through discussion, mediation, arbritation at National Shariah Arbritation Board (BASYARNAS) or through other alternative ways. Implementation of the settlement of non performing financing or the dispute settlement mechanism by way of non-litigation in Bank Syariah Mandiri of Surakarta done internally through collection efforts, restructuring and liquidation / sale of collateral with the advanced rules of deliberation according to Standard Operating Procedures (SOP) or the Internal Policy of Financing Problem. Based on the results of the study, the authors found the following matters, namely the existence of the suitability between Article 26 and Article 55 of Law 21 of 2008 concerning Islamic Banking, the unpreparedness of infrastructure constraints of Sharia Arbitration Board, lack of role and function of the Supervisory Board of Sharia and lack of professional human resources, and lack of socialization as well as information about Islamic banking dispute resolution mechanisms contained in the Act, regulations of Bank Indonesia, National Syariah Board of Indonesia Ulama Council Islam emphasizes the settlement of disputes through non-litigation completion than by way of litigation, banking dispute resolution mechanisms contained in the Act, regulations of Bank Indonesia, National Syariah Board of Indonesia Ulama Council
commit to user Keywords: settlements of disputes, financing, non-litigation
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sistem Perbankan syariah adalah bagian yang berkembang pesat dari sektor keuangan dunia. Kebutuhan akan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ekonomi Islam di Indonesia secara yuridis baru dimulai dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan menggunakan istilah “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Sistem ini semakin berkembang sejak adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengakui keberadaan bank konvensional dan bank syariah secara berdampingan. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, mengakui keberadaan bank syariah di Indonesia yang menjalankan fungsi lembaga perantara keuangan sesuai prinsip syariah sebagai landasan operasionalnya. Bank Syariah menurut Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Perkembangan perbankan syariah yang begitu signifikan tentunya membawa konsekuensi kemungkinan akan terjadinya suatu masalah yang dapat menimbulkan sengketa dalam kegiatan transaksi perbankan. Sengketa muncul diakibatkan oleh berbagai alasan dan masalah, terutama karena adanya conflict of interest diantara para pihak. Kondisi ini tentu menimbulkan kebutuhan terhadap suatu aturan guna menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam 1
commit to user
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konteks kegiatan transaksional perbankan syariah, sengketa antara nasabah dan bank selama ini lebih banyak diakibatkan oleh tiga hal yaitu:1 1. Adanya perbedaan penafsiran mengenai akad yang sudah disepakati. 2. Adanya perselisihan ketika transaksi sudah berjalan. 3. Adanya kerugian yang dialami salah satu pihak sehingga melakukan wanprestasi. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 junto UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sengketa bidang perbankan syariah menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 junto Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ; a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infak; h. Sedekah; dan i. Ekonomi Syariah. Menurut penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 junto Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang dimaksud undang-undang dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah antara lain meliputi bank syariah, sehingga dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bank syariah merupakan salah satu bidang ekonomi syariah yang termasuk dalam kewenangan absolut lingkungan Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih mempertegas
mekanisme penyelesaian sengketa antara pihak
bank dengan nasabah. Cara penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diatur dalam Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai berikut:
1
Khopiatuziadah, “Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 10, No. 3, 2013, hlm. 279 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
“Ayat (1) penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Ayat (2) dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Ayat (3) penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.” Penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyebutkan yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut : a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 tersebut maka penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara, yaitu melalui cara litigasi dan cara non litigasi. Adanya pilihan forum (choice of forum) yang dimungkinkan untuk penyelesaian sengketa dalam Pasal 55 ayat (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Uraian tersebut di atas menunjukan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diakomodasi dalam 2 (dua) undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 junto Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dengan demikian dalam sengketa perbankan syariah pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, baik melalui cara litigasi di Peradilan Agama, Peradilan Umum, atau melalui cara non litigasi/diluar Peradilan sepanjang tidak ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. Pada saat para pihak memperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa di luar lembaga Peradilan maka terdapat pilihan penyelesaian sengketa non litigasi yaitu melalui musyawarah, mediasi , melalui proses arbitrase di Badan commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Arbitrase Syariah Nasional
atau melalui alternatif penyelesaian sengketa
lainnya. Adanya pilihan hukum menimbulkan pertentangan karena tidak adanya kepastian hukum dalam praktek mengenai lembaga penyelesaian sengketa yang dipilih. Anggapan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi latar belakang munculnya gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Ir.Haji Dadang Achmad (Direktur CV. Benua Enginering Consultant) atas Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Gugatan uji materi menghasilkan putusan bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Bank Syariah, ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak mengalami perubahan baik ayat (1), ayat (2) maupun ayat (3), akan tetapi penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dalam pelaksanaannya sampai saat ini tidak menunjukan adanya perubahan yang signifikan, karena dalam praktek pemahaman mengenai penyelesaian sengketa pada Perbankan Syariah di Surakarta masih tidak terdapat kesamaan pendapat mengenai pilihan forum atau mekanisme penyelesaian sengketa. Penerapan prinsip syariah yang seharusnya menjadi landasan operasional
dalam menjalankan fungsinya
sebagai bank syariah kaitannya dengan adanya sengketa antara nasabah dengan pihak bank syariah belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal, sehingga harapan agar penerapan prinsip syariah dapat ditegakkan secara konkrit dan konsisten dalam sistem operasioanl bank syariah belum terwujud.
.
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelusuran terhadap informasi penelitian sebelumnya yang relevan telah dilakukan oleh beberapa penulis antara lain : pertama Syarifah Lisa Andriati, melakukan penelitian dengan judul “Penyelesaian Sengketa Perdata antara Nasabah dengan
Bank Melalui
Mediasi Perbankan”. Kedua, Rachmansyah Purba, melakukan penelitian dengan judul “Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syariah Pasca UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama”. Penelitian tersebut dilakukan untuk menyelesaikan studinya guna meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (2009). Ketiga, Syahrizal,
melakukan penelitian dengan judul
“Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah antara Mahkamah Syariah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh”. Penelitian tersebut dilakukan untuk menyelesaikan studinya guna meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada (2012). Perbedaan antara penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan penulis terletak pada adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Bank Syariah, adanya klausula mekanisme penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri pada
akad / perjanjian
pembiayaan Bank Syariah Mandiri di Surakarta yang tidak sesuai dengan Undang-Undang, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia sebagai landasan operasional Bank Syariah Mandiri di Surakarta dan adanya ketidak sinkronan antara Pasal 26 dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dilihat secara deskriptif, kausalitas dan solutifnya sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini akan membahas secara lebih mendetail tentang pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi dan implementasinya secara deskriptif, kausalitas dan solutif. commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Metode dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang bersumber pada data primer dan data sekunder. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif, keseluruhan hasil analisis disajikan secara deskriptif yaitu memaparkan secara lengkap masalah yang diteliti dengan disertai ulasan-ulasan. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan tesis ini adalah teori Sistem Hukum yang menganalisis permasalahan yang akan dikaji yaitu bekerjanya
suatu sistem hukum yang berlangsung
dalam suatu masyarakat. Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan, untuk lebih mengetahui
penyelesaian sengketa non litigasi antara nasabah dan
syariah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
bank
dengan judul
“PENYELESAIAN PEMBIAYAAN BERMASALAH MELALUI CARA NON
LITIGASI
PADA
PT
BANK
SYARIAH
MANDIRI
DI
SURAKARTA”
B. Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang masalah dan untuk lebih mengetahui proses penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi pada Bank Syariah Mandiri di Surakarta dan kesesuaiannya terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah serta Undang-Undang dan Peraturan Terkait ? 2. Apa kendala yang di hadapi oleh Bank Syariah Mandiri di Surakarta dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi pada Bank Syariah Mandiri di Surakarta dan kesesuaiannya terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah serta Undang-Undang dan Peraturan Terkait. b. Mengetahui kendala-kendala yang menghambat proses penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi pada Bank Syariah Mandiri di Surakarta. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan penulis di bidang ilmu hukum baik teori maupun praktik dalam hal ini lingkup hukum perdata, khususnya mengenai pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi pada Bank Syariah Mandiri di Surakarta. b. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh derajat magister dalam bidang Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan upaya untuk pembelajaran yang diharapkan dapat menambah khasanah ilmu khususnya ilmu kenotariatan, mengenai penyelesaian sengketa dalam kaitannya dengan pembiayaan antara nasabah dengan bank syariah. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat: 1. Manfaat Teoritis Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam hal: a. Mengetahui pelaksanaan penyelesaian pembiayaan
bermasalah yang
dapat ditempuh melalui cara non litigasi antara nasabah dengan bank syariah dan kesesuaiannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah serta Undang-Undang dan Peraturan Terkait. commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Mengetahui kendala-kendala yang menghambat proses penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi antara nasabah dengan bank syariah. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan pada pemerintah dalam hal: a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak yang berkaitan dalam upaya penyelesaian sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi antara nasabah dengan bank syariah. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti-peneliti lain yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai bidang yang sama, atau yang akan mengadakan penelitian sejenis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Perbankan Syariah a. Pengertian Bank Syariah Perbankan Syariah merupakan pengembangan sistem perbankan di Indonesia disamping sistem perbankan konvensional
yang telah ada
sebelumnya yaitu sistem perbankan yang menerapkan sistem bagi hasil dan jual beli,
saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank,
menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, mengedepankan nilai kebersamaan dan persaudaraan, investasi beretika serta
menghindari
kegiatan spekulatif dalam bertransakasi. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk bertransaksi yang didasarkan pada sistem bunga dan larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram. Menurut Pasal 1 angka 1 dan angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan Perbankan Syariah adalah “segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”, sedangkan Bank Syariah adalah “Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Syariah“. Bank syariah lahir dengan konsep dan filosofi yang berbeda jika dibandingkan
dengan
bank
konvensional.
Bank
konvensional
menerapkan bunga menjadi bagian integral dari seluruh kegiatan bisnisnya, sedangkan bank syariah melarang penerapan bunga dalam 9
commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semua transaksi perbankan. Jumhur ulama menyatakan bahwa bunga bank hukumnya sama dengan riba, yakni haram. Adapun konsep yang ditawarkan bank syariah adalah penggunaan sistem bagi hasil (profit-loss sharing), yaitu pembagian keuntungan atau kerugian sesuai dengan prosentase (nisbah bagi hasil) yang telah disepakati pada awal kontrak bank dengan nasabah.2 Keberadaan lembaga keuangan dalam sistem ekonomi sangatlah penting, karena tanpa lembaga keuangan yang baik dan profesional akan mengganggu aktivitas bisnis dan ekonomi. Secara umum bank syariah adalah
lembaga
keuangan
yang
usaha
pokoknya
memberikan
pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas keuangan yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan
Syariah secara tegas mengakui eksistensi dari perbankan syariah, yaitu Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah diartikan sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menentukan bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha bank syariah atau unit usaha syariah atau bank pembiayaan rakyat syariah wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dari Bank Indonesia. Bank Umum Syariah
dan
Unit Usaha Syariah serta Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dalam melakukan kegiatan-kegiatan 2
Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia, SalembaEmpat, Jakarta, 2013, hlm. 3 Imamudin Yuliadi. Ekonomi Islam. Sebuah Pengantar. LPPI. Yogyakarta.2001, hlm. 217 commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
usahanya harus memperhatikan fatwa dari Dewan Syariah Nasional. Namun apabila ternyata kegiatan usaha yang akan dilakukan tersebut belum difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional, maka bank wajib meminta persetujuan Dewan Syariah Nasional. Bank umum yang telah diberikan izin oleh Bank Indonesia khusus untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, baik kantor pusat, kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang dari bank tersebut, dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional. Kegiatan usaha penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa bank berdasarkan prinsip syariah, merupakan jasa perbankan yang wajib memenuhi prinsip syariah. Penjelasan atas PBI No.10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, menyebutkan bahwa pemenuhan prinsip syariah dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan,
dan
keseimbangan
(„adl
wa
tawazun),
kemaslahatan
(maslahan), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek haram. Bank Syariah Mandiri dalam kegiatannya menganut 3 (tiga) prinsip syariah yaitu:4 1) Prinsip Keadilan Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah 2) Prinsip Kesederajatan Bank syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko dan 4
http://www.syariahmandiri.co.id, 15 April 2015, 14.30 WIB. commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keuntungan yang berimbang diantara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank. 3) Prinsip Ketentraman Produk-produk bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah mu‟amalah Islam (halal), antara lain tidak ada unsur riba dan menerapkan zakat harta. Dengan demikian nasabah merasakan ketentraman lahir maupun batin. b. Prinsip Kegiatan Usaha atau Operasional Bank Syariah Berdasarkan prinsip kegiatan usaha atau operasional bank terdapat perbedaan-perbedaan yang substantif antara bank syariah dan bank konvensional sebagai berikut:5 Tabel 2. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Bank Syariah 1) Berdasarkan pada prinsip investasi bagi hasil 2) Menggunakan prinsip jual-beli 3) 4) 5)
6)
Bank Konvesional 1) Berdasarkan tujuan membungakan uang 2) Menggunakan prinsip pinjammeminjam uang Hubungan dengan nasabah dalam 3) Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan bentuk hubungan kreditur-debitur Melakukan investasi-investasi 4) Investasi yang halal atau yang yang halal saja haram Setiap produk dan jasa yang 5) Tidak mengenal dewan sejenis diberikan sesuai dengan fatwa seperti Dewan Syariah Dewan Syariah Dilarangnya gharar dan maysir 6) Terkadang terlibat dalam speculative FOREX dealing. Berkontribusi dalam terjadinya kesenjangan antara sektor riil dengan sektor moneter
7) Menciptakan keserasian di antara keduanya 8) Tidak memberikan dana secara tunai, tetapi memberikan barang yang dibutuhkan (finance the goods and services) 5
Rustam. op. cit., hlm. 5
commit to user
7) Memberikan peluang yang sangat besar untuk sight streaming (penyalahgunaan dana pinjaman) 8) Rentan terhadap negative spread
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
9) Bagi hasil menyeimbangkan sisi liabilitas (harta diam) dan aset (harta bergerak) Secara garis besar terdapat perbedaan mendasar mengenai kegiatan usaha atau operasional antara bank syariah dan bank konvensional antara lain menyangkut aspek akad dan legal, lembaga penyelesaian sengketa, struktur organisasi, bisnis dan usaha yang dibiayai serta lingkungan kerja dengan penjelasan sebagai berikut : 1) Akad dan Aspek Legalitas Akad
atau
perjanjian
dalam
bank
syariah
memiliki
konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila akad atau perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.6 Setiap akad dalam perbankan syariah baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:7 a) Rukun, seperti: Penjual, Pembeli, Barang, Harga, Akad/Ijab-Qabul. b) Syarat, seperti:Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hokum, Harga barang dan jasa harus jelas, Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi, Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.
6
Afzalur Rahman. 1990. Economic Doctrines of Islam. Islamic Publication.1990, Lahore. hlm. 65, dikutip dari, Muhammad Syafi‟i Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Gema Insani Press. Jakarta, 2001, hlm. 29 7 ibid., hlm. 30 commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Lembaga Penyelesaian Sengketa Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak dapat memilih menyelesaikannya di Peradilan Agama, Peradilan Umum atau menyelesaikan sengketa sesuai tata cara dan hukum Islam melalui musyawarah atau melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya, Lembaga yang mengatur penyelesaian sengketa sesuai hukum atau materi berdasarkan prinsip syariah diluar Peradilan, pada saat dibentuk dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia dan saat ini telah berubah
nama
menjadi
Badan
Arbitrase
Syariah
Nasional
(BASYARNAS). 3) Struktur Organisasi Bank syariah memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional dalam hal keberadaan organ
Komisaris dan
Direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produkproduknya agar sesuai dengan prinsip syariah. Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah suatu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaaan keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN) pada lembaga keuangan syariah, dengan posisi setingkat Dewan Komisaris. Pada bank syariah penetapan Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional. commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dewan Pengawas Syariah memiliki fungsi antara lain : (1) Melakukan
pengawasan
secara
periodik
pada
Lembaga
Keuangan Syariah yang berada dibawah pengawasannya; (2) Berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan Lembaga Keuangan Syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional; (3) Melaporkan perkembangan produk dan operasional Lembaga Keuangan Syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran dan membuat pernyataan berkala bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah; (4) Merumuskan permasalahan-permasalahan
yang memerlukan
pembahasan Dewan Syariah Nasional; (5) Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya.8 Dewan Syariah Nasional merupakan lembaga otonom Majelis Ulama Indonesia yang
berhak mengeluarkan fatwa-fatwa terkait
dengan ekonomi syariah, dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang Ketua dan Sekretaris serta beberapa Anggota. Fungsi
utama
Dewan
Syariah
Nasional
adalah
menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian dan keuangan, mengeluarkan fatwa atas jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
8
Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah, Parama Publishing, Yogyakarta, 2012, hlm. 20 to user commit
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Lingkungan Kerja dan Corporate Culture Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq mencerminkan integritas eksekutif muslim yang baik. Karyawan bank syariah harus skillful dan profesional (fathanah) dan mampu melakukan tugas secara team work sehingga informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.9 Cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan bank syariah merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga setiap jajaran sumber daya insani perbankan syariah harus senantiasa terjaga. Keberadaan sistem perbankan syariah telah membuktikan dapat menghilangkan negative spread dalam dunia perbankan konvensional yang menyebabkan banyak bank-bank konvensional mengalami masalah. Namun demikian, hingga saat ini masih terdapat beberapa hambatan yang muncul dalam praktik perbankan syariah yang sering disebutkan sebagai kelemahan dari sistem perbankan syariah. Hal-hal yang dapat dianggap sebagai kelemahan perbankan syariah tersebut antara lain : a). Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah. b). Institusi pendukung bank syariah yang belum lengkap dan efektif. c). Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal. d). Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah perlu ditingkatkan. 9
Afzalur Rahman, Islamic Doctrine on Banking and Insurance Muslim Trust Company. Muslim Trust Company. London, 1980, hlm. 145 dikutip dari Muhammad Syafi‟i Antonio. op. cit., hlm. 34
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
Pada dasarnya prinsip kegiatan usaha atau operasional bank syariah mencakup lima aspek yaitu: a). Prinsip titipan atau simpanan dalam tradisi fiqh Islam dikenal dengan prinsip Al Wadi‟ah. Al Wadi‟ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.10 b).Prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam 4 (empat) akad utama, yaitu: al musyarakah, al mudharabah, al muzara‟ah dan al musaqah.11 c).Prinsip jual beli, bentuk-bentuk akad jual beli yang sering dipergunakan dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah adalah bai‟ al murabahah, bai‟ as salam dan bai‟ al istishna. d).Prinsip sewa (al ijarah) adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Bank Syariah yang menawarkan produk al ijarah ini dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. e).Prinsip Jasa. Termasuk dalam kelompok jasa ini terdapat beberapa produk bank syariah, yaitu: al wakalah, al kafalah, al hawalah, ar-rahn dan al qardh. c. Produk Bank Syariah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.12 Pengertian Bank menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary 10
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2005, hlm. 56 11 Muhammad Syafi‟i Antonio, op.cit., hlm. 90-95 12 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
institution), sehingga dalam sebuah bank terdapat minimal dua macam kegiatan yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan, untuk kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Proses penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh perbankan syariah pada prinsipnya hampir sama dengan perbankan konvensional, artinya dalam sistem perbankan syariah dikenal produkproduk berupa giro (demand deposit), tabungan (saving deposit), deposito (time deposit) sebagai sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa dalam sistem perbankan syariah tidak dikenal adanya bunga sebagai kontraprestasi terhadap nasabah deposan, melainkan melalui mekanisme bagi hasil dan bonus yang bergantung pada jenis produk apa yang dipilih oleh nasabah.13 Produk penghimpunan dana (funding) yang ada dalam sistem perbankan syariah terdiri dari (1) Giro: Giro Wadiah dan Giro Mudharabah;
(2) Tabungan:
Tabungan
Wadiah
dan Tabungan
Mudharabah; (3) Deposito: Deposito Mudharabah. Proses penyaluran dana kepada masyarakat dilakukan oleh perbankan syariah melalui produk Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, Bai‟Bitsaman Ajil, Bai‟As-Salam, BaiÁl-Istisna, Ijarah, Hawalah, Rahn, Qardhul Hasan. Berkenaan dengan pengertian prinsip syariah dalam kegiatan usaha dan produk bank syariah, maka bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari prinsip syariah. Karena itu, bank syariah melakukan kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur :14 a). Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transakasi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahannya (fardhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas 13
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 2007, hlm. 79 14 Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.116 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (na‟siah). b). Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. c). Gharar, yaitu transaksi yang obyeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; d). Haram, yaitu transaksi yang obyeknya dilarang dalam syariah; atau e). Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya
2. Tinjauan tentang Pembiayaan a. Pengertian Pembiayaan Bank Syariah dalam kegiatan penyaluran dana melakukan investasi karena prinsip yang dilakukan adalah prinsip penanaman dana/atau penyertaan dan disebut pembiayaan karena bank syariah menyediakan dana guna membiayai kebutuhan nasabah yang memerlukan dan layak memperolehnya.15 Salah satu tugas pokok bank adalah penyaluran pembiayaan, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.16 Kegiatan bank di bidang pemberian fasilitas pembiayaan adalah fungsi utama dari bisnis perbankan, yakni fungsi menyalurkan dana kepada mereka yang memerlukannya setelah menerima pengumpulan dana dari para deposan penyimpan dana. Fungsi ini juga memberikan return atau penghasilan yang paling besar sebanding dengan risiko yang dihadapi perbankan.17 15
Zaenul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Alvabet, Jakarta, 2002, hlm.
217 16
Muhammad Syafi‟i Antonio.,Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Gema Insani Press. Jakarta. 2001, hlm. 160 17 Gunarto Suhardi, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum. Kanisius. Yogyakarta. 2003, hlm. 75 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
Risiko yang dihadapi perbankan dalam penyaluran pembiayaan antara lain adalah tidak dilunasinya pembayaran kewajiban oleh nasabah yang akan menimbulkan kerugian bagi bank dan berdampak pada perekonomian negara sehingga memerlukan perhatian secara seksama sebagaimana dikemukakan oleh George G. Kaufman “Bank (depository institutions) failures are widely perceved to have greater adverse effects or economy and thus are considered more important than the failure of other types of business firms”.18 Menurut Pasal 1 butir 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: 1) Transaksi bagi hasil/dalam bentuk mudharabah dan musyarakah. 2) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik. 3) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istisna. 4) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh 5) Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa. berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan /atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Menurut Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya
18
George G.Kaufman, “Bank Failures Systemick Risk an Bank Regulation”, Artikel pada The Cato Jurnal, Vol.16, 2009, hlm.1 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
sebelum menyalurkan dana. Untuk memperoleh keyakinan bank dalam hal penyaluran dana, maka Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas. b. Unsur-unsur dalam Pembiayaan Menurut Kasmir, unsur-unsur pembiayaan adalah sebagai berikut:19 1) Kepercayaan Yaitu pembiayaan yang diberikan kepada debitur baik dalam bentuk uang, jasa maupun barang dipercaya akan benar-benar dapat diterima kembali oleh pihak pemilik dana dalam jangka waktu yang telah ditentukan. 2) Kesepakatan Pembiayaan didasarkan atas suatu kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian di mana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya. 3) Jangka waktu Setiap pembiayaan yang diberikan mempunyai jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. masa pengembalian pembiayaan . 4) Risiko Suatu risiko muncul karena ada tenggang waktu pengambilan (jangka waktu). Semakin panjang jangka waktu suatu pembiayaan maka semakin besar risiko tidak tertagih, demikian pula sebaliknya. 5) Balas Jasa Balas jasa merupakan keuntungan atas pemberian suatu pembiayaan atau jasa dalam bentuk bagi hasil dan biaya administrasi pembiayaan. c. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Dalam konteks kegiatan ekonomi, setiap usaha apapun itu tidak pernah lepas dari tujuan untuk mencari keuntungan, namun karena di dalam pembiayaan terkandung unsur resiko, maka usaha mencari 19
Kasmir, Manajemen Perbankan, Ed. Revisi. commit to userGrasindo. Jakarta, 2012, hlm. 84-85
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keuntungan tersebut harus memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian mengingat dana yang disalurkan dalam pembiayaan adalah dana dari masyarakat. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan penyaluran pembiayaan adalah untuk memperoleh keuntungan yang aman, sehingga pada saatnya masyarakat penyimpan dana di bank dapat memperoleh kembali simpanannya berikut bagi hasil tanpa khawatir kehilangan dana tersebut.20 d. Jenis-jenis Pembiayaan Syariah Sesuai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, produk-produk pembiayaan bank syariah adalah antara lain: 1) Murabahah Murabahah adalah pembiayaan dimana pihak bank syariah menyediakan
dana
untuk
membeli
barang
yang
dibutuhkan
nasabah/umat. Secara operasional, praktik murabahah adalah jual beli barang sebesar harga perolehan atau harga jual (harga beli ditambah biaya transportasi, PPN dan sebagainya) ditambah dengan keuntungan (margin) yang disepakati. 2) Mudharabah Mudharabah adalah pembiayaan untuk masyarakat yang memiliki keahlian tetapi tidak memiliki modal, dimana bank syariah bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha. Bank syariah sebagai shohibul maal (pemilik modal) memberikan pembiayaan modal usaha pada masyarakat (mudhorib) untuk dikelola secara baik. Rasio keuntungan disepakati bersama antara pihak bank syariah
20
Rimsky K. Judisseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Gramedia. Jakarta, 2002, hlm. 167 commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan nasabah. Apabila terjadi kerugian dari proyek yang dijalankan nasabah, masing-masing pihak secara berimbang menanggung kerugian tersebut. 3) Musyarakah Musyarakah adalah pembiayaan modal kerja atau investasi dimana bank syariah menyediakan sebagian dari modal usaha keseluruhan, dan dalam proses manajemen, pihak bank syariah dapat dilibatkan secara langsung sehingga keduanya berserikat dalam usaha. Pembiayaan musyarakah ini didasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan porsi penyertaan. 4) Bai‟ Bitsaman Ajil Bai‟ Bitsaman Ajil adalah perjanjian jual beli dengan suatu akad sebagaimana terjadi dalam prinsip murabahah tetapi pembayaran sejumlah harga beli oleh nasabah dilakukan secara angsuran. 5) Bai‟ as-Salam Bai‟As-Salam adalah pembiayaan dimana nasabah memesan barang melalui bank syariah. Jenis barang dan harganya telah ditentukan dan nasabah melunasi harga barang tersebut pada saat akad (nasabah telah menitipkan uang tunai pada bank syariah), kemudian pihak bank syariah menyediakan barang yang dipesan pada waktu jatuh tempo. 6) Bai‟ al Istisna Bai‟ al Istisna yaitu kontrak order yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan suatu jenis barang tertentu. 7) Ijarah Ijarah adalah perjanjian sewa barang antara pemilik barang dengan
penyewa
yang
memperbolehkan
penyewa
untuk
memanfaatkan barang dengan membayar sewa sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak. commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
8) Hawalah Hawalah adalah pembiayaan yang terjadi apabila seseorang memiliki pembiayaan kepada orang lain kemudian yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada bank syariah untuk membayar hutangnya tersebut dan status hutang beralih kepada bank syariah. 9) Rahn Rahn adalah gadai yang dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Rahn berlaku untuk semua harta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. 10) Qardhul Hasan Qardhul Hasan adalah kebijakan pembiayaan yang diberikan bank syariah kepada nasabah tanpa pungutan bagi hasil. Dalam hal ini nasabah hanya dibebani tanggung jawab mengembalikan pembiayaan sejumlah yang diterimanya dari bank syariah tanpa tambahan apapun, dan membayar biaya administrasi. Imbalan kepada bank syariah atas dasar kerelaan peminjam. e. Prosedur Pembiayaan Prosedur pembiayaan merupakan suatu metode yang harus ditempuh untuk melaksanakan kegiatan pembiayaan. Setiap pejabat bank yang berhubungan dengan pembiayaan harus menempuh prosedur pembiayaan yang sehat, meliputi prosedur persetujuan pembiayaan, prosedur administrasi, serta prosedur pengawasan pembiayaan.21 Adapun prosedur atau mekanisme penyaluran pembiayaan di bank syariah secara umum adalah sebagai berikut:22 1) Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan dengan ketentuan sebagai berikut:
21
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Azkia. Tangerang. 2009, hlm.
253 22
Ikatan Bankir Indonesia, Memahami Bisnis Bank Syariah. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, hlm. 202-238 commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Memberikan
kejelasan
tentang
platform
pembiayaan
yang
dimohon; b) Memberikan kejelasan tentang rencana penggunaan dana; c) Memberikan kejelasan tentang rencana jangka panjang waktu pelunasan; d) Memberikan kejelasan tentang rencana jaminan atas pembiayaan yang dimohon; e) Memberikan laporan keuangan perusahaan minimal dua tahun terakhir; f) Memenuhi ketentuan umum administrasi. 2) Penerimaan berkas permohonan oleh petugas bank syariah, sedapat mungkin permohonan pembiayaan tersebut diajukan dalam bentuk tertulis. 3) Berkas pemohon kemudian dipelajari sampai didapatkan suatu kesimpulan bahwa permohonan tersebut layak untuk ditindak lanjuti. 4) Survei lapangan. 5) Melakukan analisis pembiayaan, yaitu suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menilai informasi, data-data serta fakta di lapangan sehubungan diajukannya permohonan pembiayaan oleh seseorang. 6) Realisasi penyaluran pembiayaan. f. Jaminan dalam Pembiayaan Jaminan dalam suatu pembiayaan diperlukan sekali terutama untuk menghindari resiko kerugian apabila debitur tidak mengembalikan /melunasi pembiayaan yang diterimanya. Selain jaminan berupa keyakinan atas kemampuan debitur untuk melunasi pembiayaannya, bank juga mengutamakan agunan atau jaminan dalam penyaluran pembiayaan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 ayat 23 menyatakan: “agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nasabah /debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan, Pasal 24 ayat 1 menyebutkan bahwa “Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun”. Berdasarkan pengertian tersebut, nilai dan legalitas jaminan yang dikuasai oleh bank atau yang disediakan nasabah/ debitur harus cukup untuk menjamin fasilitas pembiayaan dalam bank syariah yang diterima nasabah/debitur.23 Berdasarkan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, agunan adalah jaminan tambahan baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas. Secara umum, jaminan kredit atau pembiayaan diartikan sebagai penyerahan kekayaan, atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu pembiayaan.24 Sementara itu kegunaan jaminan adalah untuk:25 1) Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali pembiayaannya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 2) Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha
atau
proyeknya
dengan
merugikan
diri
sendiri
atau
perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya.
23 24 25
Thomas Suyatno, dkk. Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 88 Ibid., hlm. 139 Ibid. commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian/akad pembiayaan. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank. g. Akad Pembiayaan Akad Pembiayaan adalah hal terpenting yang harus dibuat dalam suatu perjanjian pada bank syariah sebagai bukti adanya kesepakatan antara para pihak.
Akad menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara Bank atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. Pelaksanaan akad harus memenuhi rukun dan syarat sesuai hukum Islam. Menurut jumhur (mayoritas) fukaha, rukun akad terdiri dari :26 1). Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-aqad) 2). Pihak-pihak yang berakad 3). Obyek akad Syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad menurut para ulama fikih, antara lain :27 1). Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mempu bertindak menurut hukum 2). Obyek akad diakui oleh syara‟ 3). Akad itu tidak dilarang oleh syara‟ 4). Akad yang dilakukakan memenuhi syarat khusus sesuai akad 5). Akad itu bermanfaat 6). Ijab tetap utuh sampai terjadi Kabul 7). Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majelis 8). Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh syara‟ 26
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 103 27 ibid, hlm. 108 commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Tinjauan tentang Pembiayaan Bermasalah a. Pengertian Pembiayaan Bermasalah Pembiayaan merupakan kegiatan utama bank, sebagai usaha untuk memperoleh laba, tetapi rawan risiko yang tidak saja dapat merugikan bank, tetapi juga berakibat kepada masyarakat penyimpan dan pengguna dana.28 Salah satu risiko dalam kegiatan pembiayaan tersebut adalah pembiayaan bermasalah. Pembiayaan atau kredit bermasalah, yang dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai problem loan atau
Non Performing Financing
(NPF) ialah pembiayaan yang tergolong kurang lancar, diragukan, dan macet. Hal ini merupakan fenomena yang terjadi dalam industri perbankan, pembiayaan macet merupakan salah satu risiko utama. Untuk menghindari agar pembiayaan bermasalah tidak menimbulkan masalah berkelanjutan, maka bank harus senantiasa melakukan tindakan pengamanan dengan cara melakukan upaya: 1) penyisihan kerugian, 2) penyelamatan, 3) penghapusbukuan, 4) penghapus-tagihan, 5) penagihan kredit hapus buku.29 b. Sebab-sebab Timbulnya Pembiayaan Bermasalah Penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah adalah karena kesulitan-kesulitan keuangan yang dihadapi nasabah. Penyebab kesulitan keuangan perusahaan nasabah dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu (1) faktor internal bank, (2) faktor nasabah dan (3) faktor eksternal.30
28
Arifin. op, cit., hlm. 257 Hariyani Iswi, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet. Elex Media Komputindo. Jakarta, 2010, hlm. 258 30 Dewi Nurul Musjtar, op. cit.,commit hlm. 117to user 29
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Faktor internal adalah faktor yang ada di dalam bank, antara lain yaitu kebijakan pembiayaan yang kurang tepat, kuantitas, kualitas dan integritas sumber daya manusia yang kurang memadai, terbatasnya SDI yang tersedia, memberikan perlakuan khusus kepada nasabah, adanya pengelola yang menerima suap atau hadiah; adanya kelemahan organisasi, sistem dan prosedur pembiayaan; prasarana dan sarana lain yang tersedia kurang memadai; pihak bank kurang teliti dalam pembuatan akad pembiayaan. Faktor nasabah antara lain adalah aspek karakter, aspek operasional, aspek legal yuridis dan aspek agunan. Timbulnya kesulitankesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembelian dan penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang berlebihan pada aktiva tetap, permodalan yang tidak cukup. Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar kekuasaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan dalam kondisi perekonomian dan perdagangan, perubahan-perubahan teknologi, dan lain-lain.
4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa a. Penyelesaian Sengketa Menurut Sistem Hukum di Indonesia Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan di masyarakat karena memiliki peran strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat. Hukum merupakan sarana untuk menciptakan ketertiban masyarakat dengan tujuan untuk menciptakan kedamaian. Eric L. Richard dalam bukunya Law For Global Business, sebagaimana yang dikutip oleh Ade Maman Suherman, mengatakan bahwa terdapat 6 (enam) keluarga sistem hukum yang utama di dunia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
(The World‟s Major Legal System), yang terdiri dari : 31 1) Civil Law System, yaitu sistem hukum yang berakar dari hukum Romawi (Roman Law) yang dipraktekan oleh Negara-negara Eropa Kontinental termasuk bekas jajahannya; 2) Commmon Law System, yaitu sistem hukum yang berdasarkan custom, atau kebiasaan berdasarkan preseden atau judge made law. Dipraktekkan di Negara Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika; 3) Islamic Legal System, yaitu sistem hukum yang berdasarkan syariat islam yang bersumber dari Kitab Al-Qurán dan Hadist; 4) Sosialis Law, yaitu sistem hukum yang dipraktekan di negara-negara sosialis; 5) Sub-Saharan Africa, yaitu sistem hukum yang dipraktekkan di Negara Afrika yang berada di sebelah selatan gurun sahara; 6) Far East, yaitu sistem hukum yang kompleks, karena merupakan perpaduan antara Civil Law System dan Islamic Legal System sebagai basis fundamental masyarakat. Civil Law System merupakan sistem hukum yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental, sehingga sistem hukum ini disebut juga sistem hukum Eropa Kontinental. Salah satu negara Eropa yang meresepsi hukum romawi adalah Perancis. Pemilihan negara Perancis sebagai titik awal untuk mengetahui sistem hukum yang berlaku di Indonesia, didasarkan pada pertimbangan antara Perancis dan Belanda terdapat pertautan sejarah akibat penjajahan Perancis terhadap Belanda. Demikian pula antara Belanda dan Indonesia terdapat pertautan sejarah akibat penjajahan, yang akhirnya sistem hukum Indonesia terpengaruh oleh hukum Belanda dan menerapkan Civil Law System. Karakteristik dari Civil Law System adalah sbb : 1) Adanya kodifikasi hukum. Kodifikasi hukum timbul dari pemikiran
31
Otong Rosadi, Andi Desmo, Studi Politik Hukum, Suatu Optik Ilmu Hukum, Thafa Media, Yogyakarta, 2012, hlm.21-22 commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa diperlukannya suatu kepastian hukum dan kesatuan hukum; 2) Hakim tidak terikat pada preseden, sehingga undang-undang merupakan sumber hukum yang utama. Penganut sistem Civil Law memberi keleluasaan yang besar bagi hakim untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani putusan hakim terdahulu. Yang menjadi pegangan bagi hakim adalah aturan yang dibuat oleh parlemen, yaitu undang-undang; 3) Sistem peradilan bersifat inkuisitorial, yaitu hakim mempunyai peranan besar dalam mengarahkan dan memutus perkara, hakim bersifat aktif menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.32 Pengertian penyelesaian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara perbuatan menyelesaikan. Sedangkan menyelesaikan berarti
menyudahkan,
memutuskan,
menjadikan
mengatur,
berakhir,
memperdamaikan
membereskan
atau
(peselisihan
atau
pertengkaran), atau mengatur sesuatu sehingga menjadi baik.33 Sengketa adalah perselisihan atau pertentangan, sedangkan menurut Salim HS dan Erlies Septiana, sengketa diartikan sebagai pertentangan, perselisihan atau percekcokan yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak lainnya dan/atau antara pihak yang satu dengan berbagai pihak, yang berkaitan dengan sesuatu yang bernilai,
baik berupa uang maupun
benda.34 Definisi sengketa menurut Vilhem Aubert35 Sengketa adalah suatu kondisi yang ditimbulkan oleh dua orang atau lebih yang dicirikan oleh beberapa tanda pertentangan secara terang-terangan, dibedakan menjadi dua macam konflik yaitu conflict of interest and claims of right. 32
Ibid., hlm.28 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., hlm.1020 34 Salim HS., Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 137 35 Pujiyono, Eksistensi Model Penyelesaian Sengketa Antara Nasabah dan Bank Syariah Di Indonesia, Smart media, 2012, hlm. 68 commit to user 33
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Argumen
klaim
kepentingan
lebih
kompromis
penyelesaiannya
dibandingkan dengan konflik klaim kebenaran yang didasarkan pada terminologi kebenaran, bukan kepentingan , norma-norma dan hukum. Merujuk pada karakteristik Civil Law System tersebut yang salah satunya menyebutkan bahwa undang-undang merupakan sumber hukum utama maka agar memiliki kepastian hukum, penyelesaian sengketa di Indonesia
harus diatur
atau diakomodasi dalam suatu undang-
undangPenyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia telah diakomodasi dalam 2
(dua) undang-undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 junto Undang-Undang Nomor 50 Tahun 20009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Untuk lebih memperjelas uraian penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut sistem hukum di Indonesia, dapat disampaikan sebagai berikut : 1) Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Cara Litigasi Tugas dan kewenangan Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah. Secara lengkap Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqoh; dan i. ekonomi syariah.” Dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa “penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga dibidang ekonomi syariah lainnya”. Selain itu yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini. Batasan ekonomi syariah menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 junto Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a) Bank syariah, b) Lembaga keuangan mikro syariah, c) Asuransi syariah, d) Reasuransi syariah, e) Reksa dana syariah, f) Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g) Sekuritas syariah, h) Pembiayaan syariah, i) Pegadaian syariah, j) Dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k) Bisnis syariah. Disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
junto
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, memberikan perluasan kewenangan kepada Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, mengingat sebelumnya sengketa dalam bidang perbankan syariah termasuk dalam lingkup kewenangan absolut lingkungan Peradilan Umum. Kewenangan Peradilan Umum dalam menyelesaikan sengketa di bidang perbankan syariah banyak menimbulkan persoalan bukan hanya dari sisi kompetensi hakim Peradilan Umum yang belum tentu menguasai masalah ekonomi syariah, tetapi juga dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan tidak menggunakan prinsip syariah commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Islam sebagai landasan hukum. Penetapan kewenangan absolut perkara ekonomi syariah di lingkungan Peradilan Agama dilihat dari aspek syariah, dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain: a) Adanya sumber daya manusia yang memahami permasalahan syariah Islam. b) Adanya dorongan semangat penggiat syariah untuk menegakkan nilai agama Islam yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Penyelesaian
sengketa
berupa
mekanisme
atau
cara
penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui cara litigasi, diatur dalam Pasal 55 ayat 1
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. 2) Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Cara Non Litigasi Mekanisme penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa yang memberikan perbedaan yang nyata terhadap produktivitas dan pelaksanaan bisnis serta keuntungan dunia bisnis. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Nari Lee & Marcus Norrgard, “Efficiency is not the only reason to consider using ADL methods in IP related disputes. Disputes settlement have additional social meaning”. 36 Menurut Teori Strukturasi, penyelesaian sengketa non litigasi hanya dapat dilakukan melalui tindakan kontinu. Tindakan-tindakan manusia yang mengambil cara penyelesaian sengketa dengan menggunakan jalur non litigasi (alternatif penyelesaian sengketa) tidak bisa hanya diamati pada satu tindakan saja ataupun pada sekumpulan tindakan, namun harus dilihat sebagai suatu proses yang
36
Nari Lee & Marcus Norrgard, “Alternatif to Litigation in IP Disputes in Asia and Finlandia”, California Western International Law to Journal, commit user Vol 43, No.1, Art.6
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berlangsung terus menerus membentuk suatu struktur dan struktur tersebut nantinya juga dapat menjadi sarana bagi tindakan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi berikutnya.37 Hal tersebut pada perbankan syariah dituangkan dalam suatu pedoman aturan atau suatu standar opersional prosedur penyelesaian sengketa atau penanganan pembiayaan bermasalah (SOP) pada masing-masing bank sebagai acuan untuk bertindak atau mengambil langkah-langkah penanganan penyelesaian sengketa /atau penanganan pembiayaan bermasalah. Secara umum dalam menyelesaikan sengketa melalui cara non litigasi, perbankan syariah melakukannya melalui penyelesaian secara internal bank syariah, mediasi dan arbitrase syariah, dengan penjelasan sebagai berikut:38 a) Internal Bank Syariah Setiap Bank Syariah memiliki kebijaksanaan masingmasing dalam mengupayakan penyelesaian sengketa yang terjadi. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang dijadikan pertimbangan sebagai upaya untuk penyelesaian sengketa antara lain melalui penanganan pembiayaan bermasalah, pendekatan biaya, pendekatan psikologis, pendekatan melalui campur tangan pihak ketiga atau melalui pendekatan religius. b) Mediasi Upaya mediasi untuk menyelesaikan sengketa melalui cara non litigasi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak yaitu yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, dimana keputusan untuk mencapai suatu 37
Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non Litigasi Di Indonesia, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, 2007, hlm.351 38 Dewi Nurul Musjtari, Op.Cit., 117-121 commithlm. to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesepakatan tetap diambil oleh para pihak sendiri, tidak oleh mediator. Oleh karena itu, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa negosiasi dengan bantuan pihak ketiga.39 Pengertian Mediasi menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006 yang telah diubah dengan
Peraturan Bank
Indonesia No.10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan, adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu
para
pihak
yang
bersengketa
guna
mencapai
penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. c) Arbitrase Arbitrase merupakan suatu perwasitan. Secara teknis perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian diantara para pihak yang bersepakat agar perselisihan antar mereka diperiksa dan diadili oleh hakim yang mereka tunjuk dan putusannya mengikat kedua belah pihak. Dalam pengertian lain arbitrase adalah suatu proses penyelesaian sengketa diluar peradilan atas kesepakatan para pihak yang bersangkutan oleh seorang wasit atau lebih. Menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan ada 2 (dua) cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu : (1) Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (2) Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa / beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara 39
I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Lawa Center (IBLC) , Kantor Hukum Gani Djemat & Parntners, Jakarta 2007, hlm. 107
commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konsultasi,Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi dan Penilaian Ahli. b. Penyelesaian Sengketa Dalam Sejarah Islam Hukum Islam merupakan hukum agama yang bersumber pada kitab Al - Qurán dan Hadist yang mengikat pada individu dan berlaku bagi semua kaum muslimin. Dalam sistem kekuasaan kehakiman, pada sebuah pemerintahan sepanjang dijumpai dalam sejarah Islam ditemukan 3 (tiga) model kekuasaan penegakan hukum (lembaga penegakan hukum), yaitu al-qadla (kekuasaan pengadilan biasa), kekuasaan al-hisbah, dan kekuasaan al-madzalim, yang memiliki kewenangan tersendiri. 40 1) Kekuasaan Al – Qadla Lembaga
peradilan
yang
menyelesaikan
masalah-masalah
tertentu antara lain mencakup perkara-perkara keperdataan termasuk hukum keluarga dan masalah pidana. Pengertian Al-Qadha dari segi istilah ahli fiqih adalah perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. 41 2) Kekuasaan Al – Hisbah Lembaga resmi negara
yang diberi
kewenangan untuk
menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran-pelanggaran ringan yang sifatnya tidak memerlukan proses peradilan. Misalnya, mengenai pengurangan takaran/timbangan di pasar, menjual makanan yang sudah kadaluwarsa, kendaraan yang melebihi kapasitas angkut dan lain-lain. Hisbah adalah suatu tugas keagamaan yang masuk dalam bidang amar ma‟ruf nahi mungkar. Tugas lembaga ini memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas hisbah dan juga bertugas mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab-adab kesusilaan 40
Suhrawardi K Lubis, Farid Wajadi. Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.189 41 ibid. commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang tidak boleh dilanggar oleh seorangpun. 3) Kekuasaan Al – Madzalim Lembaga yang dibentuk oleh pemerintah khusus untuk membela orang-orang yang teraniaya akibat sikap semena-mena penguasa negara. Kekuasaan Madzalim memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim biasa. Berdasarkan uraian tersebut , terlihat bahwa segala persoalan yang timbul dalam masyarakat ketika itu dapat diselesaikan oleh ketiga lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa berdasarkan hukum Islam yang berlaku di Indonesia melalui cara: 1) Perdamaian (Ash- Shulhu) Musyawarah di kenal juga dengan istilah lain yaitu perdamaian, negosiasi, konsiliasi, dan dalam Islam disebut dengan Shulh atau Ishlah. Secara bahasa, “shulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah “shulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai.
Menyelesaikan
sengketa
berdasarkan
perdamaian
untuk
mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah Subhana Wa Ta‟ala sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa ayat 126 yang artinya “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”. Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam diistilahkan mushalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan disebut mushalih ánhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain untuk mengakhiri pertikaian atau perselisihan dinamakan mushalih „alaihi atau disebut juga badalush shulh. Dasar hukum anjuran dilakukannya perdamaian dapat dilihat dalam ketentuan Al-Qurán, Sunnah Rasul (Hadist) dan Ijmak. Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
lafazd dari perjanjian damai tersebut. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Berdasarkan perjanjian damai lahir suatu ikatan hukum dan masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak.42 Perdamaian dalam Islam sangat dianjurkan, sebab dengan adanya perdamaian diantara pihak yang bersengketa, maka akan terhindarlah kehancuran silaturahmi diantara para pihak. Dalam kontrak yang dibuat antara pihak bank dengan nasabah terkait dengan penyelesaian sengketa ini, hal pertama yang disebutkan adalah keinginan bersama untuk melakukan musyawarah untuk mufakat apabila dikemudian hari terjadi sengketa dalam hal pelaksanaan perjanjian atau kontrak yang telah disepakati bersama. Kemudian jika jalur musyawarah mengalami kegagalan ada jalur lain yang diperjanjikan baik itu melalui lembaga arbitrase, atau langsung menunjuk lembaga pengadilan.43 Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Menyangkut subyek atau pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian. b. Menyangkut obyek perdamaian. c. Persoalan yang boleh didamaikan. Dalam hal terjadi sengketa dalam kegiatan usaha yang dijalankan berdasarkan prinsip ekonomi syariah, maka berdasarkan fatwa Dewan 42
Abdul Manan, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama” terdapat dalam http://www.badilag.net/data/ ARTIKEL/ makalah %20pak %20 manan.pdf, diakses tanggal 2 Juni 2014 43 Muchtar A.H. Labetubun., “Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Berdasarkan Hukum Islam.” SASI: dalam Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon. Vol. 18, 2012, No. 1, hlm. 58 commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Syariah
Nasional
menyebutkan,
penyelesaian
yang
dilakukan
seyogyanya melalui jalur musyawarah untuk mufakat. Hal ini merujuk pada nilai-nilai ajaran Islam yang menyatakan bahwa jika terjadi sengketa dalam kegiatan fiqh muamalah, penyelesaian secara damai merupakan sebaik-baiknya jalan yang dipilih. Sesama muslim adalah bersaudara sehingga sangat penting menjaga tali persaudaraan. Ketentuan ini merujuk pada Al Qur‟an Surat Al Hujarat ayat 9 yang artinya:
“Dan apabila ada golongan mukmin yang berperang, maka
damaikanlah antara keduanya.. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku Adil.” 2) Tahkim (Arbitrase) Arbitrase yang dalam Islam di kenal dengan istilah Al-Tahkim merupakan
bagian
dari
Al-Qadla
(Peradilan).
Seperti
yang
dikemukakan oleh sarjana muslim Ibnu Farhum, bahwa Wilayah Tahkim adalah wilayah yang didapatkan dari perseorangan, ini merupakan bagian dari al-qadla yang berhubungan dengan harta benda, bukan dengan al-hudud dan al-qisha. Ibnu Nu‟jaim juga pernah berkata: “Al-Tahkim adalah bagian dari Al-Qadla”.44 Secara Etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal sekarang ini, yakni pemutusan suatu persengketaan oleh seseorang atau beberapa orang yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa diluar hakim atau pengadilan dalam praktiknya disebut juga dengan perwasitan. Orang yang menyelesaikan persengketaan disebut Hakam. Dasar hukum lembaga arbitrase menurut syariat Islam dapat disandarkan kepada teks yang terdapat dalam Surat An- Nisa (4) : 35 44
Ibid., hlm. 59
commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang berbunyi : ”Jika kamu khawatir ada persengketaan diantara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”. 45 Lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa bisnis bank syariah pada saat didirikan tanggal 21 Oktober 1993 bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), kemudian dalam Rakernas Majelis Ulama Indonesia Tahun 2002 berubah nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional dan dituangkan dalam Surat Keputusan Majelis Ulama
Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 Tanggal 24
Desember 2003, tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga hakam yang bebas, otonom dan independen, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak manapun. Merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia yang berwenang : a) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain, menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan para pihak secara tertulis menyerahkan penyelesaiannya kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional sesuai dengan prosedur. b) Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian. Fungsi Badan Arbitrase Syariah Nasional
menyelesaikan
sengketa perbankan syariah dengan menetapkan suatu keputusan hukum melalui cara menunjuk seseorang untuk menyelesaikan sengketa. Selama tahun 1997 sampai dengan tahun 2015, Badan 45
Ibid., hlm. 84
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Arbitrase Syariah Nasional telah menyelesaikan 17 kasus sengketa Perbankan Syariah, permasalahan yang timbul sebagian besar disebabkan karena belum lengkapnya perangkat hukum yang mengatur
perbankan
syariah,
juga
karena
masih
kurangnya
pemahaman masyarakat mengenai perbankan syariah. c) Tabel 3. Jumlah Kasus di BASYARNAS No
Tahun Perkara
1
1997
2
1998
3
1999
4
1999
5
1999
6
2000
7
2001
8
2001
9
2002
10
2002
11
2002
Perkara
Pihak Yang Berperkara
Putusan
Pembiayaan Al Mudharabah Pembiayaan Al Baiu Bithaman Ajil PembiayaanAl Baiu Bithaman Ajil Pembiayaan Al Mudharabah Pembiayaan Al Baiu Bithaman Ajil Klaim Asuransi Barang Perjanjian Angkutan Pembiayaan Al Baiu Bithaman Ajil
PT. BPRS X Dengan Nasabah
Pembiayaan Al Murabahah Pembiayaan Al Baiu Bithaman Ajil Pembiayaan Al Baiu Bithaman Ajil Pembiayaan Al Baiu Bithaman Ajil
PT. Bank Syariah X Damai Dengan Nasabah
Keterangan
Final dan Putusan Arbiter mengikat /BAMUI/Put/Ka. Jak.
PT. Bank Syariah X Final dan Putusan Arbiter Dengan Nasabah mengikat /BAMUI/Put/Ka. Jak. PT. BankSyariah X Final dan Putusan Arbiter Dengan Nasabah mengikat BAMUI/Put/Ka. Jak. PT. Bank Syariah X Final dan Putusan Arbiter Dengan Nasabah mengikat /BAMUI/Put/Ka. Jak. PT. Bank Syariah X Final dan Putusan Arbiter Dengan Nasabah mengikat /BAMUI/Put/Ka. Jak. PT. X PT Asuransi Syariah X
Damai
Putusan Arbiter /BAMUI/Put/Ka. Jak.
PT. Bank Syariah X Final dan Putusan Arbiter Dengan Nasabah mengikat /BAMUI/Put/Ka. Jak. Putusan Arbiter BAMUI/Put/Ka. Jak.
PT. Bank Syariah X Final dan Putusan Arbiter Dengan Nasabah mengikat /BAMUI/Put/ Ka. Jak. PT. Bank Syariah X Damai Dengan Nasabah
Putusan Arbiter /BAMUI/Put/Ka. Jak.
PT. Bank Syariah X Final dan Putusan Arbiter Dengan Nasabah mengikat /BAMUI/Put/Ka. Jak. commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pembiayaan Al PT. Bank Syariah X Final dan Putusan Arbiter Baiu Bithaman Dengan Nasabah mengikat /BAMUI/Put/Ka. Jak. Ajil Putusan Arbiter Pembiayaan Al PT. Bank Syariah X Final dan /BASYARNAS/Put/Ka. Mudharabah Dengan Nasabah mengikat Jak. Putusan Arbiter Pembiayaan Al Final dan PT. BPRS X /BASYARNAS/Put/Ka. Murabahah mengikat Jak. Pembiayaan Putusan Arbiter Final dan Mudharabah PT. X /BASYARNAS/Put/Ka. mengikat Muqqayadah Jak. Putusan Arbiter Pembiayaan Final dan PT. X /BASYARNAS/Put/Ka. Al-Mudharabah mengikat Jak. Putusan Arbiter Pembiayaan Final dan PT. BPRS X /BASYARNAS/Put/Ka. Al-Murabahah mengikat Jak Putusan Arbiter Klaim Asuransi PT. Asuransi Final dan /BASYARNAS/Put/Ka. Syariah Syariah X mengikat Jak. Putusan Arbiter Pembiayaan Final dan PT. Bank Syariah X /BASYARNAS/Put/Ka. Al-Murabahah mengikat Jak. Putusan Arbiter Pembiayaan Perdamai /BASYARNAS/Put/Ka. PT. Bank Syariah X Musyarakah an Jak.
12
2002
13
2004
14
2006
15
2008
16
2008
17
2009
18
2012
19
2013
20
2014
21
2015
Pembiayaan Murabahah
PT. Bank Syariah X
Proses Sidang
Proses Sidang
22
2015
Pembiayaan Murabahah
PT. Bank Syariah X
Proses Sidang
Proses Sidang
23
2015
Pembiayaan Murabahah
PT. Bank Syariah X Proses Sidang
Proses Sidang
Sumber : Kutipan Tesis Penyelesaian Sengketa Bank Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Mohamad Nur Mahri, SH.MH46
46
Mohammad Nur Mahri. 2013, „Penyelesaian Sengketa Bank Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)” Tesis, Indonesia, Jakarta commit to Universitas user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Wilayat al Qadla (Kekuasaan Kehakiman) Wilayat Al-Qadla secara harfiah berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut hukum fiqh, kata ini berarti menetapkan hukum syara‟ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Lembaga ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara perdata dan pidana. Di Indonesia, lembaga Al-Qadla ini dikenal dengan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dengan demikian setelah adanya kewenangan Peradilan Agama, perkara yang diajukan terkait dengan ekonomi dan perbankan syariah selain dapat diselesaikan melalui arbitrase syariah, juga dapat diselesaikan melalui lembaga Peradilan Agama yang konsisten dengan prinsip syariah.47 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 junto Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mendefinisikan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. Bank syariah, b. Lembaga keuangan mikro syariah, c. Asuransi syariah, d. Reasuransi syariah, e. Reksadana syariah, f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. Sekuritas syariah, h. Pembiayaan syariah, i. Pegadaian syariah, j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah dan k. Bisnis syariah. Di dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syariah melalui mekanisme litigasi di Peradilan Agama terdapat beberapa kendala, antara lain belum tersedianya hukum materiil baik yang berupa undang-undang, maupun kompilasi sebagai pegangan para hakim dalam memutus perkara. Masih banyak para aparat hukum yang belum mengerti tentang ekonomi syariah atau 47
Muchtar, Op.cit., hlm.84
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum bisnis Islam, belum tersedianya lembaga penyidik khusus yang kompeten dan menguasai hukum syariah.48
5. Teori Sistem Hukum Hukum dalam pemahamannya perlu pendekatan sistem. Sistem dapat diartikan sebagai susunan kesatuan dari masing-masing bagian yang saling bergantung satu sama lain. Hukum dapat berperan dengan baik dan benar ditengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung secara normal, juga dapat terjadi pelanggaran. Pelanggaran terhadap hukum mengakibatkan adanya tindakan tertentu berupa hukuman, mengingat hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat secara resmi oleh yang berwajib, yang memuat sanksi tegas atas pelanggaran. Hukum sebagai suatu sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo merupakan suatu kesatuan hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai hubungan khusus atau tatanan didalam mana setiap masalah atau persoalan menemukan jawaban atau penyelesaiannya.49 Menurut Lawrence Meir Friedman, dalam bukunya The Legal System: A Social Sciense Perspective,yang diterjemahkan oleh M. Khozim
50
Sistem hukum mengandung tiga komponen elemen utama
yaitu substansi hukum, struktur hukum / pranata hukum dan budaya hukum yang
saling
berinteraksi.
Pembagian
tersebut
dimaksudkan
untuk
menganalisa bekerjanya suatu sistem hukum yang sedang berlangsung dalam suatu masyarakat.
48
Surawardi K..Lubis, Farid Wajdi. op.cit., hlm. 222 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kelima, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2010, hlm. 123 50 Lawrence Meir Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, diterjemahkan oleh M.Khozim, Nusa Media, Bandung, 2009,commit hlm. 121 to user 49
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Komponen pertama yaitu substansi hukum adalah keseluruhan asas hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis berupa peraturan, keputusan-keputusan, doktrin-doktrin yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan, sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundangundangan. Dengan
meneliti
subtansi
hukum
dapat
diketahui
apakah
penyelesaian sengketa syariah di Indonesia yang telah diakomodasi dalam 2 (dua) undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dapat dilaksanakan ? Komponen kedua yaitu struktur hukum adalah keseluruhan institusi yang diciptakan dengan berbagai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum yaitu penegakan hukum beserta aparatnya yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik tercermin dari baiknya
faktor
penegak
hukum
yang
memainkan
peranan.
Berdasarkan struktur hukum dapat diketahui kesiapan Peradilan Agama dan lembaga lain dalam melaksanakan ketentuan Undang-Undang Perbankan Syariah. Komponen ketiga, Budaya hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opiniopini, cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat. Budaya hukum dibedakan menjadi kultur hukum eksternal yaitu kultur hukum yang ada pada populasi umum dan kultur hukum internal yaitu kultur hukum para anggota masyarakat yang menjalankan tugas-tugas hukum yang khusus. Suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Adi Sulistiyono, didalam masyarakat di Indonesia terdapat 2 (dua) paradigma yang diyakini, dipercaya, dan digunakan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa, yaitu : Pertama, Paradigma Litigasi (PLg), yaitu suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan (coercion) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Kedua , Paradigma non litigasi (PnLg) Paradigma ini
dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan
pendekatan “konsensus” dan berusaha mempertemukan kepentingan pihakpihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian sengketa kearah win-win solution.51 Teori sistem hukum ini dipergunakan sebagai pisau analisis untuk mengetahui pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi yang terjadi pada Bank Syariah Mandiri di Surakarta dengan menggunakan komponen atau unsur-unsur dalam teori sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
B. Penelitian yang Relevan Berikut ini penulis menyajikan beberapa penelitian yang membahas tentang sengketa di perbankan: 1. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Judul
: Penyelesaian Sengketa Perdata antara Nasabah dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan 52
Penulis
: Syarifah Lisa Andriati
Tahun
: 2008
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang Penyelesaian sengketa melalui Mediasi Perbankan. Hasil penelitian ini 51
Adi Sulistiyono, op.cit. hlm.130-131 Syarifah Lisa Andriati,2008, Penyelesaian Sengketa Perdata antara Nasabah dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan. commit to user 52
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah (1) Mediasi perbankan merupakan regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi pengawasan. Perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah secara hukum positif harus dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam hirarki perundangan, (2) Manfaat mediasi perbankan dalam menyelesaikan sengketa antara nasabah dengan bank adalah dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank karena dengan berlarutnya sengketa antara nasabah dengan bank dapat menurunkan citra bank. Manfaat bagi nasabah mediasi perbankan dapat digunakan untuk melindungi hak-hak nasabah, (3) Lembaga Mediasi Perbankan harus independen sehingga bebas dari pengaruh dari intervensi dari Bank Indonesia, sehingga dalam menjalankan tugasnya lembaga ini benar-benar netral. Pembeda dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian mengenai penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi dengan mengedepankan kaedah musyawarah.
2. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Judul
: Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama 53
Penulis
: Rachmansyah Purba
Tahun
: 2009
Tujuan penulisan adalah memberikan gambaran mengenai cara penyelesaian sengketa perbankan secara keseluruhan dilihat dari hukum Islam dan hukum positif. Hasil penelitian ini adalah (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut agama Islam dibuat melalui tahapan al sulh (perdamaian); tahkim 53
Rachmansyah Purba, 2009, Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan.
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(arbitrase), dan wilayat al qadha (kekuasaan kehakiman). Penyelesaian sengketa berdasarkan hukum positif Indonesia, dilakukan melalui Peradilan Agama, musyawarah, mediasi perbankan, melalui arbitrase syariah nasional, dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, (2) Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syariah adalah hukum acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 namun tidak terlepas juga dengan Undang-Undang Hukum Perdata, (3) Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, maka Pengadilan Agama telah memiliki kewenangan untuk menangani perkara yang berhubungan dengan dunia bisnis syariah. Pembeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian
tentang
pelaksanaan
dan
kendala-kendala
penyelesaian
pembiayaan melalui cara non litigasi serta implementasi di
PT. Bank
Syariah Mandiri Surakarta
3. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Judul
: Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah antara Mahkamah Syariah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh54
Penulis
: Syahrizal
Tahun
: 2012
Hasil penelitian ini adalah (1) Mekanisme penyelesaian sengketa dalam akad perjanjian syariah oleh para pihak di Kota Banda Aceh pada 54
Syahrizal, 2012, Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa perbankan
Syariah antara Mahkamah Syariah dan
Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh, Tesis,
Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dasarnya
sesuai
dengan
kesepakatan
dalam
akad
dengan
lebih
mengedepankan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat. Dalam akad pembiayaan pada perbankan dengan prinsip syariah di Kota Banda Aceh masih
ditemukan
adanya
klausul
penyelesaian
sengketa
yang
mencantumkan Pengadilan Negeri sebagai lembaga penyelesaian sengketa walaupun telah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama/mahkamah syariah karena telah menjadi bagian yang ditempuh oleh bank induknya juga hanya sebagai pelengkap saja. (2) Faktor penyebab terjadinya dualisme dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah adanya ketentuan hukum yang mengatur kewenangan mengadili dari dua lembaga peradilan yaitu Pengadilan Agama (Mahkamah Syariah di Aceh) dengan Peradilan Umum, di samping karena banyak pihak bank mencantumkan pilihan lembaga penyelesaian sengketa dalam akad yang mengikuti ketentuan dalam perjanjian kredit bank konvensional. (3) Akibat hukum yang timbul adalah sinkronisasi hukum kekuasaan kehakiman khususnya mengenai kewenangan Peradilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syariah dipertanyakan karena dualisme penyelesaian hukum ekonomi syariah.
Penelitian yang dilakukan penulis ini mengenai penyelesaian pembiayaan bermasalah anatara nasabah dan bank syariah melalui cara non litigasi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Bank Syariah dilihat secara deskriptif, kausalitas dan solutifnya. Berdasarkan ketiga penelitian yang relevan diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti berbeda namun tetap
merujuk kepada penelitian sebelumnya guna mencari
perbandingan serta untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan.
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Kerangka Berpikir
BANK SYARIAH
Pembiayaan Akad/Perjanjian
Nasabah
Akad Perjanjian
BANK
Wanprestasi
WANPRESTASI
UU No.30/1999 No. 3/2006 No. 21/2008 Fatwa DSN MUI PBI
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran commit to user
Musyawarah Mediasi BASYARNAS
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan: Berdasarkan skema tersebut di atas, dapat diketahui bahwa alur penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui praktek penyelesaian pembiayaan bermasalah antara nasabah dan bank syariah melalui cara non litigasi pada PT. Bank Syariah Mandiri di Surakarta. Salah satu kegiatan Bank Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahannya berupa
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan.
Kesepakatan antara bank syariah dengan nasabah dalam penyaluran pembiayaan kepada nasabah yang membutuhkan dituangkan dalam akad pembiayaan /perjanjian pembiayaan. Jika dikemudian hari terjadi
wansprestasi, status
pembiayaan tersebut dikategorikan menjadi pembiayaan bermasalah. Apabila pembiayaan termasuk dalam kategori pembiayaan bermasalah, administrasi perbankan melakukan tahapan aktivitas guna memberikan warning atau peringatan kepada nasabah untuk memenuhi akad yang disepakati berupa penerbitan
surat
pemberitahuan
menunggak kewajiban, surat peringatan 1
(SP1), surat peringatan 2 (SP2), surat peringatan 3 (SP3) sampai penerbitan surat somasi dengan tujuan agar nasabah mengindahkan akad yang telah disepakati. Dalam tahapan pemberian peringatan tersebut, dimungkinkan nasabah menjadi kooperatif sehingga bisa dilakukan proses aktivitas penyelamatan pembiayaan yang berupa restrukturisasi (Rescheduling, Reconditioning atau Restructuring). Apabila terindikasi nasabah tidak kooperatif, maka muncullah sengketa antara nasabah dan bank syariah. Penanganan pembiayaan bermasalah yang dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri Surakarta pada nasabah yang bersengketa dengan bank dikelompokkan menjadi sengketa pembiayaan yang diselesaikan melalui cara litigasi dan diselesaikan melalui cara non litigasi yaitu melalui mekanisme Musyawarah, Mediasi Perbankan dan/Basyarnas dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 junto UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
Pengertian metode penelitian
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah cara mencari kebenaran dan asas-asas gejala dalam masyarakat atau kemanusiaan berdasarkan disiplin ilmu yang bersangkutan.55 Menurut Zainuddin Ali, metode penelitian adalah suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dengan tujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Penelitian yang penulis lakukan adalah suatu penelitian hukum yaitu penelitian suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisa, melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk mendapatkan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul didalam gejala tersebut.56 A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yaitu penelitian hukum yang mengkaji dan menganalisis perilaku hukum atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum dan sumber data yang digunakan berasal dari data primer.57 Fokus kajian dalam penelitian tersebut adalah subyek yang diteliti yaitu perilaku hukum atau perilaku nyata dari individu atau masyarakat yang sesuai dengan apa yang dianggap pantas oleh kaidah hukum yang berlaku dan sumber data yang digunakan untuk mengkaji penelitian hukum empiris adalah data primer yang berasal dari sumber utama yaitu masyarakat atau orang-orang yang terkait secara langsung terhadap obyek penelitian. Penelitian hukum empiris dilakukan dengan mencari kebenaran data di lapangan, digunakan untuk melihat apakah aspek-aspek hukum dalam interaksi 55 56 57
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.op.cit., hlm. 740 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hlm. 43 Salim HS., Erlies Septiana Nurbani, op.cit., hlm. 21
commit to user 53
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sosial dalam masyarakat berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi . B. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitis, bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah atau saat tertentu, mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum dan pelaksanaannya didalam masyarakat berkenaan dengan obyek penelitian. Peneliti telah mendapat gambaran berupa data awal tentang permasalahan.58 Penelitian
deskriptif
analitis
dilakukan
untuk
mendeskripsikan
pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi yang terjadi antara bank dengan nasabah pada Bank Syariah Mandiri di Surakarta. C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian penulis dilakukan pada PT.Bank Syariah Mandiri di Surakarta yang berdomisili hukum di Jalan Slamet Riyadi Nomor 388 Surakarta. 57142 dengan pertimbangan bank tersebut merupakan bank syariah pertama yang membuka kantor cabang di Surakarta, memiliki jaringan kantor terbesar di Surakarta dengan satu kantor cabang, dua belas kantor cabang pembantu, dua kantor kas dan dua kantor payment point, memiliki Asset (per Desember 2014) Rp, 1,9 Trilyun, Dana Pihak Ketiga Rp.1,1 Trilyun, Pembiayaan Rp.1,8 Trilyun dan Non Performing Financing (NPF) 4 % . Pertumbuhan jaringan kantor yang memberikan layanan kepada nasabah menunjukkan pertambahan jumlah nasabah yang dilayani, sehingga potensi adanay sengketa antara nasabah dan bank syariah sangat dimungkinkan. D. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan penelitian kualitatif merupakan tata cara
58
commit to user Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 105
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan informan secara tertulis atau lisan dari perilaku nyata.59 E. Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada penerapan prinsip hukum syariah dalam pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi pada Bank Syariah Mandiri di Surakarta dan kendala-kendala yang menghambat proses penyelesaian tersebut, serta implementasinya. F. Jenis Data Penelitian Jenis data yang digunakan adalah : a. Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat, melalui penelitian.60 Data primer merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan, yaitu data yang diperoleh dari narasumber yang berkaitan dan dianggap berwenang, mengetahui segala informasi yang diperlukan dalam penelitian, baik berupa aturan, pengalaman praktek, pendapat serta segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian mengenai pembiayaan bermasalah. Sumber bahan data primer yaitu pihak-pihak yang secara yuridis berhak memberi keterangan-keterangan sebagai pihak-pihak yang terlibat secara langsung dengan permasalahan yang diteliti yaitu Pemimpin Cabang, Marketing Manager, Staff Divisi Legal dan Nasabah. Dalam hal ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Marketing Manager PT. Bank Syariah Mandiri Surakarta yaitu Bapak Ilhamsjah M. Arbi dan Staff Divisi Legal /Sales Assistant yaitu Bapak Yuan Setiana dan karyawan lainnya. b. Data Sekunder Data Sekunder, antara lain mencakup peraturan perundangundangan, dokumen-dokumen resmi, artikel penelitian buku-buku, 59 60
Soerjono Soekanto, Op.Cit.,commit hlm.32 to Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm.12
user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan. Data sekunder digunakan untuk mendukung data primer, diperoleh tidak secara langsung dari sumber data (informan) yaitu berupa bahan-bahan kepustakaan, seperti tulisan ilmiah, dokumen-dokumen resmi, buku, arsip, literatur, majalah, hasil penelitian, laporan, peraturan perundang-undangan, dan sumbersumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti meliputi antara lain: 1). Bahan hukum primer sebagai bahan hukum yang bersifat mengikat, yang terdiri dari: a). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang
Nomor
7
Tahun 1992
tentang
Perbankan; b). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; c). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama; d). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; e). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; f). Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tentang Penyelesaian Sengketa Bank Syariah. 2). Bahan hukum sekunder, yaitu data-data yang berhubungan erat dengan bahan hukum primer, yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer untuk membantu menganalisis permasalahan dalam penelitian, yaitu: a). Buku-buku ; b). Hasil-hasil penelitian; 3). Bahan hukum tersier yaitu a). Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Kamus lainnya commit to user b). Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
G.Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dari tempat penelitian; sehingga diperoleh data yang diperlukan, melalui sebagai berikut : 1. Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan yaitu penelitian terhadap sumber-sumber pustaka tertulis seperti perundang-undangan yang berlaku, literatur-literatur, karya ilmiah lain yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian untuk memperoleh data-data sekunder. 2. Wawancara Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh informasi dan keterangan-keterangan dari informan baik dengan tatap muka atau tidak. Dalam melakukan wawancara ini penulis menggunakan teknik wawancara terarah (directive interview).61 Wawancara dilakukan penulis berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelum dilakukan wawancara. Wawancara ini dilakukan dengan melakukan tanya jawab terhadap Marketing Manager dan Staff Legal, Sales Assistant PT. Bank Syariah Mandiri Surakarta. H.Teknik Analisis Data Teknik analisis data merupakan hal yang sangat penting untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang dikumpulkan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif model interaktif, yaitu digunakan dengan cara interaksi, baik komponennya maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses berbentuk siklus.
commit to user 61
Soerjono Soekanto. Op.Cit., hlm. 229
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terdapat tiga komponen utama analisis antara lain.62: 1. Reduksi Data Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan
dan
pengumpulan
data,
merupakan
proses
seleksi
dan
penyederhanaan data. Proses ini berlangsung terus menerus sampai laporan akhir penelitian selesai. 2. Sajian Data Sajian data merupakan sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, data, gambar dan sebagainya yang harus mengacu pada rumusan masalah, sehingga dapat diperoleh jawaban dari masalah yang diteliti. 3. Penarikan kesimpulan dan Verifikasi Penarikan kesimpulan akhir dapat dilakukan setelah melalui tahapan verifikasi agar dapat dipertanggung jawabkan yaitu dengan memahami arti dari berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, alur sebab akibat untuk menarik kesimpulan. Untuk lebih memperjelas tahapan analisis data, dapat digambarkan sebagai berikut :
Pengumpulan Data
Sajian Data
Reduksi Data Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi
Gambar 3. Teknik Analisis Data commit to user 62
HB Sutopo. Op.Cit, hlm. 91-93
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan Gambar : Ketiga komponen tersebut (proses analisa interaktif) dimulai pada waktu pengumpulan data penelitian, peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data. Setelah pengumpulan data selesai, ditarik kesimpulan berdasarkan apa yang terdapat dalam sajian data. Aktivitas yang dilakukan dengan suatu siklus akan didapatkan data-data yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Apabila kesimpulan kurang memadai, maka peneliti wajib kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data. Penelitian kualitatif prosesnya berlangsung dalam bentuk siklus.63
commit to user 63
HB.Sutopo. Op.Cit, hlm. 96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank Syariah Mandiri di Surakarta dan Kesesuaian Pelaksanaannya Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang serta Peraturan Terkait. Berdasarkan Pasal 19 ayat 1 huruf c,d,e,f,g, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi : 1). Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; 2). Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; 3). Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qard atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; 4). Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan / atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; 5). Melakukan pengambil alihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah Menurut ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah dan / atau Unit Usaha Syariah harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan / atau Unit Usaha Syariah menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas. Untuk memperoleh keyakinan dimaksud, Bank Syariah dan 60 commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
/ atau Unit Usaha Syariah wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (colateral) dan prospek usaha (condition of economy) dari calon nasabah penerima fasilitas. Berdasarkan hal tersebut di atas jelas bahwa sebelum Bank Syariah dan / atau Unit Usaha Syariah
menyalurkan dana harus harus mempunyai
keyakinan atas kemauan yaitu itikad baik dari calon nasabah untuk membayar kembali dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan / atau Unit Usaha Syariah dan kemampuan calon nasabah yaitu keadaan dan / atau asset calon nasabah sehingga mampu untuk membayar kembali dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan / atau Unit Usaha Syariah. Setiap permohonan pembiayaan yang diajukan dan telah memenuhi persyaratan, akan dianalisis secara tertulis, lengkap, akurat dan obyektif dengan memperhatikan prinsip-prinsip syariah, ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan Peraturan Bank Indonesia serta peraturan lain yang berkaitan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Marketing Manajer,64 Bank Syariah Mandiri Surakarta diperoleh keterangan bahwa proses pemberian pembiayaan bank kepada nasabah merupakan suatu rangkaian yang dimulai dari tahap bank menerima permohonan nasabah, tahap analisis pembiayaan, tahap pemutusan pembiayaan, tahap pencairan, tahap monitoring dan tahap penyelesaian atau penyelamatan jika pembiayaan menjadi bermasalah. Tahapan proses pembiayaan di Bank Syariah Mandiri Surakarta, menurut Marketing Manajer Bank Syariah Mandiri,65 adalah sebagai berikut: 1. Tahap Penerimaan Permohonan Nasabah, meliputi proses: a. Penetapan tujuan permohonan b. Penelitian berkas permohonan c. Investigasi awal melalui wawancara 64
Wawancara dengan Ilhamsjah M.Arbi, Marketing Manajer Bank Syariah Mandiri, pada tanggal 8 April 2015 65 Wawancara dengan Ilhamsjah M.Arbi, Marketing Manajer Bank Syariah Mandiri, pada tanggal 8 April 2015
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Penetapan proses pembiayaan untuk diteruskan/ditindaklanjuti atau tidak 2. Analisis Pembiayaan Analisis pembiayaan terdiri atas: a. Analisis Kualitatif, yang dibedakan atas: 1) Aspek legalitas, yang ditekankan pada analisis aspek kewenangan bertindak dan kelengkapan perijinan bagi calon nasabah perorangan dan badan usaha 2) Perijinan dan masa berlakunya izin usaha, SIUP, dan TDP 3) Aspek karakter dan manajemen. Penekanan pada penelaahan karakter dan manajemen yang dapat diketahui dari trade checking dan bank checking. 4) Aspek teknis produksi 5) Aspek pemasaran 6) Aspek lingkungan dan sosial. b. Analisis Kuantitatif 1) Analisis laporan keuangan 2) Analisis kelayakan 3) Analisis agunan 4) Analisis risiko dan mitigasi 3. Penetapan Jumlah Pembiayaan dan Struktur Pembiayaan Pada prinsipnya jumlah dan jenis pembiayaan yang akan diberikan disesuaikan dengan evaluasi analisis kemampuan/kondisi keuangan calon nasabah. Dengan kata lain sesuai dengan kebutuhan. Dalam menetapkan jumlah pembiayaan dan kemampuan membayar kembali, bank wajib memperhatikan ketentuan mengenai Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD). 4. Kewenangan Memutus Pembiayaan 1) Kewenangan
memprakarsai
suatu
pembiayaan
diberikan
kepada
Marketing Manager sebagai Account Officer (AO) yang merangkap bertindak sebagai Sales & Marketing. commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Pemutus pembiayaan yang diprakarsai Marketing Manager adalah Komite Pembiayaan yang terdiri dari Kepala Cabang dan Kepala Bagian. 5. Dokumentasi dan Administrasi Pembiayaan Dalam pemberian pembiayaan, salah satu dokumen yang penting adalah akad pembiayaan. Akad pembiayaan merupakan due diligence yang bersifat administratif, yang mengatur kewajiban kedua belah pihak dan sebagai dasar bank untuk meminimalkan risiko yang dihadapi bank pada awal pembiayaan serta perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di kemudian hari. Akad syariah menurut Habib Adjie dan Muhammad Hafidh, adalah “suatu perjanjian, perikatan, atau permufakatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang dibenarkan oleh syara‟(prinsip syariah)”. 66 6. Kualitas Pembiayaan Keberhasilan dalam penyaluran pembiayaan dapat diukur dari tinggi atau rendahnya tingkat pembayaran kembali pembiayaan oleh nasabah. Kelancaran
pembayaran
akan
menentukan
tingkat
kualitas
atau
kolektibilitas suatu pembiayaan. Alur proses pembiayaan di Bank Syariah secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : a. Calon nasabah mengajukan permohonan pembiayaan secara tertulis b. Bank meneliti permohonan pembiayaan, kemudian melakukan verifikasi dokumen yang diserahkan calon nasabah. Apabila reputasi dan prospek calon nasabah negatif, Bank akan membuat Surat Penolakan Pembiayaan (SPP) dan menyampaikan surat tersebut kepada calon nasabah. Apabila reputasi dan prospek calon nasabah positif maka Bank akan melakukan pengecekan ID (identitas debitur) dalam Sistem Informasi Debitur (SID) Bank Indonesia, dan melakukan penilaian agunan.
66
Habib Adjie dan Muhammad Hafidh, Akta Perbankan Syariah yang Selaras Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris, Pustaka Zaman, Semarang, 2011, hlm.21 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
c. Bank menyusun hasil pengecekan SID dan penilaian agunan dalam Nota Analisa Pembiayaan (NAP), kemudian dilakukan analysis/ assessment, compliance, dan legal review. d. Komite pembiayaan melakukan Rapat Komite Pembiayaan (RKP) untuk memutus pembiayaan, apabila tidak disetujui maka bank akan memberikan Surat Penolakan Pembiayaan (SPP) kepada calon nasabah dan proses selesai. Apabila permohonan pembiayaan disetujui, maka bank akan membuat Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan (SP3) untuk calon nasabah. Apabila calon nasabah menolak SP3, maka proses selesai. Apabila setuju, calon nasabah memenuhi persyaratan dalam SP3, bank akan mempersiapkan akad, legalitas, kelengkapan persyaratan dan menjadwalkan pelaksanaan penandatanganan akad, pengikatan agunan dan assuransi. e. Setelah calon nasabah memenuhi persyaratan pencairan pembiayaan, maka bank akan melakukan pencairan pembiayaan sebagai akhir proses penyaluran pembiayaan. Setiap pembiayaan yang telah disetujui dan disepakati oleh nasabah harus dituangkan dalam suatu Akad pembiayaan yang harus memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan hukum dan kepentingan bisnis dari Bank. Akad pembiayaan adalah
kesepakatan
tertulis antara bank dengan nasabah terkait dengan penyediaan dana dan atau tagihan / piutang dalam suatu transaksi yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah, merupakan perjanjian pokok yang akan diikuti oleh perjanjian lainnya yang bersifat accesoir (antara lain perjanjian pengikatan agunan, jaminan pribadi dll). Setiap akad dan addendum akad pembiayaan harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani antara bank (yang diwakili oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang atau pejabat penggantinya) dan nasabah sebelum pencairan pembiayaan. Dengan penandatanganan akad maka diperoleh bukti tertulis hubungan hukum antara bank dengan nasabah dan ketentuan yang mengikat tentang hak dan kewajiban para pihak. commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Akad pembiayaan yang dibuat bertujuan untuk kepentingan para pihak, sehingga minimal harus memuat klausula mengenai hal-hal sebagai berikut : Pertama : Pembukaan yang terdiri dari Judul Akad/ Perjanjian
, komparisi
para pihak dalam akad; alasan dilakukannnya perjanjian, ruang lingkup. Kedua: Ketentuan pokok perjanjian yang terdiri atas ketentuan umum pengertian/definisi dari istilah-istilah yang digunakan dalam akad; jumlah pembiayaan
dan
penggunaannya
/
peruntukkan
/tujuan
penggunaan
pembiayaan oleh nasabah; penarikan/pencairan (persyaratan dalam penarikan); jangka waktu, nisbah bagi hasil/margin; pembayaran angsuran dan ketentuan denda; force mayeur, pengakuan hutang; jaminan/agunan; ketentuan tambahan assuransi; syarat-syarat yang harus diperhatikan nasabah (pernyataan menjamin, hal-hal yang harus dilakukan, hal-hal yang tidak boleh dilakukan); kewajiban tambahan; pernyataan; biaya tambahan, penyelesaian perselisihan; domisili; ketentuan tambahan. Ketiga: bagian penutup berisi penegasan sebagai alat bukti, tempat pembuatan dan penandatanganan, saksi-saksi dan tanda tangan. Akta akad pembiayaan terdiri dari akta Notariil yang dibuat dihadapan Notaris dan akta dibawah tangan dibuat oleh pejabat bank sesuai kewenangannya. Untuk sahnya akad pembiayaan di Bank Syariah Mandiri mengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam KUH Perdata yaitu harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian, antara lain : adanya kesepakatan antara Bank dengan nasabah; cakap untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu / pokok persetujuan yang memuat kesepakatan antara Bank dengan nasabah terkait dengan penyediaan dana / tagihan; suatu sebab yang halal/ tidak bertentangan dengan ketentuan hukum/perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan kesopanan. Menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masingcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. Pelaksanaan Akad harus memenuhi rukun dan syarat sesuai hukum Islam. Menurut jumhur (mayoritas) fukaha, rukun akad terdiri dari :67 1). Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-aqad) 2). Pihak-pihak yang berakad 3). Obyek akad Syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad menurut para ulama fikih, antara lain :68 1). Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mempu bertindak menurut hukum 2). Obyek akad diakui oleh syara‟ 3). Akad itu tidak dilarang oleh syara‟ 4). Akad yang dilakukan memenuhi syarat khusus dengan akad yang bersangkutan 5). Akad itu bermanfaat 6). Ijab tetap utuh sampai terjadi Kabul 7). Ijab dan Kabul dilakukan dala satu majelis 8). Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh syara‟ Tata cara penanda tanganan akad pembiayaan harus dilakukan setelah persyaratan dalam Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan (SP3) dipenuhi oleh nasabah meliputi pemenuhan syarat-syarat sebelum dilakukannya penanda tanganan akad dan pelunasan biaya-biaya yang berkaitan dengan pembiayaan. Penandatanganan akad pembiayaan harus dilakukan oleh bank dan nasabah dalam waktu dan tempat yang sama yaitu dilakukan dihadapan Notaris-PPAT rekanan dan waktu / saat penandatanganan perjanjian accesoir berupa pengikatan agunan tidak boleh mendahului akad pembiayaan. Untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan dikemudian hari, penandatanganan akad antara bank dan nasabah agar didokumentasikan (foto) 67
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 103 68 ibid, hlm. 108 commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
serta Bank harus memastikan kebenaran/keabsahan para pihak yang hadir pada saat penandatangan akad adalah pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan penandatanganan. Hubungan hukum antara nasabah dan bank syariah akan berlangsung secara baik dan lancar apabila para pihak mentaati hal-hal yang telah disepakati dalam akad. Namun apabila salah satu dari para pihak menyalahi atau tidak mengindahkan satu atau lebih pasal-pasal dalam akad perjanjian yang telah disepakati maka pembiayaan akan mengalami permasalahan bahkan diprediksi akan menjadi pembiayaan bermasalah. Secara garis besar terjadinya permasalahan tersebut diawali pada saat nasabah telah memasuki kriteria wansprestasi. Nasabah
pembiayaan di Bank Syariah
Mandiri dapat
dikategorikan sebagai telah melakukan wanprestasi, apabila tidak dapat memenuhi kewajiban sesuai persyaratan dalam akad. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan
Yuan Setiana Staff
Divisi Legal/ Sales Assistant Bank Syariah Mandiri Surakarta,69 diperoleh keterangan bahwa kriteria wanprestasi dalam pembiayaan di Bank Syariah Mandiri adalah: 1. Nasabah tidak memenuhi seluruh atau hanya sebagian kewajiban 2. Terlambat memenuhi kewajiban 3. Memenuhi kewajiban tetapi tidak seperti yang diperjanjikan dalam akad yang dibuat/disepakati 4. Melakukan sesuatu yang dilarang didalam akad. Bentuk wanprestasi dalam pembiayaan murabahah antara lain: a. Menyewakan, menjual atau mengijinkan penggunaan barang yang dibiayai kepada pihak lain tanpa seijin pihak bank b. Merubah bentuk obyek yang dijadikan jaminan c. Obyek/barang tidak sesuai dengan pesanan nasabah d. Obyek/barang tidak sesuai penawaran
69
Wawancara dengan Yuan Setiana Staff Divisi Legal/ Sales Assistant Bank Syariah Mandiri Surakarta, pada tanggal 4 Aprilcommit 2015 to user
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
e. Waktu pemesanan tidak sesuai dengan yang disepakati. Sedangkan bentuk wanprestasi dalam pembiayaan mudharabah antara lain: a. Penggunaan pembiayaan di luar tujuan semula b. Laporan keuangan yang disampaikan tidak benar/tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya c. Tidak memenuhi syarat dalam akad d. Melakukan pengalihan usaha/diversifikasi usaha tanpa seijin bank e. Adanya pencabutan ijin usaha/masa berlakunya ijin usaha telah kadaluarsa f. Adanya permasalahan hukum. Bentuk wanprestasi dalam pembiayaan musyarakah, antara lain: a. Pembagian bagi hasil yang tidak sesuai akad b. Tidak/terlambat memenuhi kewajiban laporan c. Tidak memenuhi kewajiban pembayaran sesuai akad d. Dokumen/surat-surat bukti jaminan telah kadaluarsa/palsu. Pada saat nasabah melakukan wanprestasi, maka akan berpengaruh terhadap kelancaran pembayaran kewajiban dan kualitas atau kolektibilitas suatu pembiayaan yang pada akhirnya akan menentukan tingkat keberhasilan suatu bank dalam penyaluran pembiayaan. Pembiayaan di Bank Syariah Mandiri dikategorikan bermasalah apabila : a. diperkirakan pembiayaan tersebut tidak akan terbayar kembali baik sebagian atau seluruhnya b. nasabah tidak dapat membayar kembali sebagian atau seluruhnaya c. nasabah tidak dapat membayar kewajibannya sesuai dengan jadwal yang telah disepakati d. pembiayaan tersebut termasuk dalam kategori pembiayaan bermasalah sesuai peraturan Bank Indonesia yang berlaku yaitu termasuk dalam kolektibilitas dalam perhatian khusus (DPK), kurang lancar, diragukan atau macet. Keberhasilan dalam penyaluran pembiayaan dapat diukur dari tinggi atau rendahnya tingkat pembayaran kembali pembiayaan oleh nasabah. Kelancaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
pembayaran akan menentukan tingkat kualitas atau kolektibilitas suatu pembiayaan. Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/13/PBI/2011, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah menjelaskan: a. Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut: 1) prospek usaha; 2) kinerja (performance) nasabah; dan 3) kemampuan membayar. b. Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan digolongkan menjadi Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Sedangkan menurut Pasal 9, Peraturan Bank Indonesia No.13/13/PBI/2011 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah: a. Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: 1) potensi pertumbuhan usaha; 2) kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan; 3) kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; 4) dukungan dari grup atau afiliasi; dan 5) upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup. b. Penilaian terhadap kinerja nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: 1) perolehan laba; 2) struktur permodalan; 3) arus kas; dan 4) sensitivitas terhadap risiko pasar. commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c meliputi penilaian terhadap komponenkomponen sebagai berikut : 1) ketepatan pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee/ujroh; 2) ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah; 3) kelengkapan dokumen Pembiayaan; 4) kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan; 5) kesesuaian penggunaan dana; dan 6) kewajaran sumber pembayaran kewajiban. Apabila pembiayaan telah menjadi bermasalah, bank akan melakukan upaya-upaya penanganan pembiayaan bermasalah untuk memperoleh hasil yang optimal, antara lain melakukan upaya pembinaan berupa penagihan, penyelamatan pembiayaan (restrukturisasi), penyelesaian pembiayaan berupa likuidasi atau penjualan agunan. Tahap pertama upaya penanganan pembiayaan bermasalah oleh bank adalah dengan melakukan pembinaan berupa penagihan dimaksudkan untuk memperoleh pembayaran dalam kesempatan pertama, dengan biaya minimum dan tetap mengedepankan itikad baik nasabah. Syarat minimal untuk dapat dilakukan pembinaan pembiayaan bermasalah melalui cara penagihan adalah masih adanya itikad baik dari nasabah, aktivitas usaha nasabah masih berjalan, nasabah masih memiliki tagihan atau piutang kepada orang lain. Upaya penagihan dapat dilakukan baik melalui pembicaraan per telepon, mengundang nasabah ke kantor, menerbitkan surat pemberitahuan/ peringatan, atau melakukan kunjungan ke tempat usaha / rumah / jaminan nasabah. Sedangkan secara administrasi bank akan melakukan pengelompokkan rekening-rekening yang memiliki tunggakan berdasarkan umur tunggakan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penagihan adalah : a. Melakukan upaya pengingat kepada nasabah sebelum jatuh tempo pembayaran b. Melakukan pendekatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
c. Melakukan pencegahan tunggakkan d. Menetapkan monitoring waktu pelaksanaan penagihan, antara lain sebelum tanggal jatuh tempo, pada saat tanggal jatuh tempo, dan setelah tanggal jatuh tempo. Upaya pembinaan pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri, telah dikelola secara baik, dengan menerapkan sistem pengelolaan pembiayaan dalam tahapan yang dapat digambarkan sebagai berikut : 1). Sejak H-7 (7 hari sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank akan mengingatkan nasabah melalui telepon mengenai tanggal jatuh tempo kewajiban pembayaran, kewajiban penyediaan dana / angsuran paling lambat 1 hari sebelum jatuh tempo pembayaran, memonitor perkembangan usaha nasabah. 2). H-1 (satu hari sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank memonitor ketersediaan dana atau transfer nasabah 3). H=0 (tanggal jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank melakukan monitoring terhadap nasabah yang belum melakukan pembayaran kewajiban, melalui telpon, sms, atau kunjungan langsung 4). H+1 s/d H+5 (satu hari sampai dengan lima hari setelah jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank menghubungi nasabah yang menunggak kewajiban untuk melakukan setoran pembayaran, paling lambat sampai dengan tanggal 10 bulan yang bersangkutan, dengan mencari informasi mengenai penyebab atau alasan tunggakkan atas pembayaran kewajiban. 5). H+5 s/d H+10 ( lima sampai dengan 10 hari setelah jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank memonitor janji nasabah sekaligus tetap melakukan penagihan atas tunggakkan kewajiban nasabah 6). H+11 dan seterusnya ( sebelas hari setelah jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah dan seterusnya), bank melakukan penagihan dan mencari cara untuk menyelamatkan pembiayaan bermasalah melalui peninjauan kembali putusan pembiayaan, penjualan sebagian/seluruh assets nasabah, atau melakukan restrukturisasi pembiayaan commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7). Mulai H+15 ( lima belas hari setelah jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank membuat surat peringatan kepada nasabah sebagai pernyataan lalai / wansprestasi nasabah dengan tahapan sebagai berikut : a) pada H+15; bank membuat Surat Pemberitahuan Menunggak Kewajiban kepada nasabah. b) apabila sampai dengan H+30 belum ada pembayaran/ melunasi tunggakkan maka bank membuat Surat Peringatan 1 (SP 1). c) apabila sampai dengan H+60 belum ada pembayaran/ melunasi tunggakkan maka bank membuat Surat Peringatan 2 (SP 2). d) apabila sampai dengan H+90
belum ada pembayaran/ melunasi
tunggakkan maka bank membuat Surat Peringatan 3 (SP 3)/Terakhir. Apabila setelah batas waktu pelunasan yang ditetapkan dalam Surat Peringatan 3/Terakhir nasabah belum dapat melunasi kewajibannya, maka bank akan mengambil
langkah
penanganan
pembiayaan
bermasalah
sesuai
kesepakatan/perjanjian yang tertuang dalam akad pembiayaan, antara lain melakukan likuidasi atau penjualan agunan. Dari gambaran tahapan pengelolaan pembiayaan tersebut diatas dapat dilihat bahwa upaya monitoring atau pengawasan pembayaran kewajiban nasabah telah dilakukan sejak
H-7 (7 hari sebelum jatuh tempo), dan
dilakukan upaya penagihan sampai dengan
H+10 (10 hari setelah jatuh
tempo). Berdasarkan hasil penelitian penulis atas pembinaan pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri berupa upaya penagihan, dapat disampaikan bahwa dari jumlah nasabah bermasalah pada tahun 2013 sebanyak 94 orang yang berhasil dilakukan upaya penagihan sebanyak 85 orang atau sebesar
90,4 %, sedangkan pada tahun
2014 dari jumlah
pembiayaan bermasalah sebanyak 55 orang, yang berhasil dilakukan upaya penagihan sebanyak 45 orang atau sebesar 81,8 %. Hal tersebut menunjukkan pembinaan pembiayaan bermasalah melalui penagihan, positif. commit to user
memberikan hasil
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tahap kedua, apabila upaya preventif berupa penagihan telah dilakukan, namun pembiayaan tetap bermasalah, maka bank akan melakukan upaya penyelamatan pembiayaan. Penyelamatan
pembiayaan bermasalah adalah
upaya bank yang dilakukan terhadap nasabah yang masih mempunyai itikad baik, masih mempunyai prospek usaha, kinerja dan kemampuan membayar untuk meminimalisir kerugian bank. Aturan penyelamatan pembiayaan bermasalah dapat dilihat dalam Peraturan Bank Indonesia Peraturan Bank Indonesia No 13/9/PBI/2011, Tanggal 8 Februari 2011 tentang Perubahan atas PBI No. 10/18/PBI/2008, tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka
membantu
nasabah
agar
dapat
menyelesaikan
Tindakan atau bentuk penyelamatan dapat berupa:
kewajibannya.
70
1). Penjadwalan Kembali (Rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran atau jangka waktu pembiayaan yang tercantum dalam syarat akad pembiayaan. Perubahan jadwal pembayaran kembali kewajiban pembiayaan nasabah atau jangka waktu pembiayaan dapat dilakukan melalui pola penjadwalan kembali dengan perpanjangan jangka waktu pembiayaan maksimal 3 tahun dengan total jangka waktu keseluruhan termasuk perpanjangan
selama
10
tahun
atau
penjadwalan
kembali
tanpa
perpanjangan waktu. 2). Persyaratan Kembali (Reconditioning). Perubahan sebagian atau seluruh syarat pembiayaan sepanjang tidak menyangkut plafond/saldo maksimum pembiayaan, antara lain meliputi perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan sebagainya. Perbahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan nasabah melalui perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu, pemberian keringanan/pengurangan margin
70
Peraturan Bank Indonesia PBI No 13/9/PBI/2011, Tanggal 8 Februari 2011 Tentang perubahan atas PBI No. 10/18/PBI/2008, Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
selama tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank dengan persyaratan kondisi yang telah ditetapkan bank 3). Penataan Kembali (Restructuring). Penataan kembali adalah perubahan persyaratan pembiayaan yang tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning, antara lain dengan melakukan penambahan dana fasilitas pembiayaan bank dan dilakukan dengan mengkonversi akad pembiayaan. Perubahan syarat pembiayaan antara lain: a).Penambahan dana bank : b).Konversi seluruh atau sebagian tunggakan margin/bagi hasil menjadi pokok pembiayaan baru c).Konversi seluruh pembiayaan/sebagian pembiayaan menjadi penyertaan perusahaan d).Disertai penjadwalan dan persyaratan kembali pembiayaan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Ilhamsyah M. Arbi, Marketing Manajer Bank Syariah Mandiri Surakarta,71 langkah penyelamatan pembiayaan bermasalah berupa restrukturisasi juga merupakan momentum bank untuk melakukan penguatan posisi tawar bank yang melingkupi beberapa hal, antara lain melakukan : a). Penyehatan pembiayaan b). Analisis status hukum debitur/usaha, penjamin/pemberi jaminan c). Analisis status hukum asset yang dijadikan agunan/pemberi jaminan d). Analisis hukum atas akad, dokumen yang dikuasai bank. Penanganan pembiayaan bermasalah melalui upaya restrukturisasi hanya dapat dilakukan terhadap pembiayaan bermasalah dengan kategori Non Performing Financing (NPF) yaitu untuk pembiayaan bermasalah dengan kolektibilitas kurang lancar, diragukan dan macet. Pelaksanaannya harus berdasarkan permohonan tertulis dari nasabah dan didukung dengan analisa terhadap usaha dan kemampuan membayar yang tertuang dalam Nota Analisa 71
Wawancara dengan Ilhamsjah M.Arbi, Marketing manager Bank Syariah Mandiri Surakarta, pada tanggal 8 April 2015
commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai dasar pengambilan putusan resruksturisasi. Berdasarkan urutan gambaran pengelolaan pembiayaan tersebut di atas, nampak bahwa upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah dimulai pada H+11 setelah jatuh tempo nasabah belum dapat memenuhi kewajibannya, bank mulai mencari cara atau upaya untuk menyelamatkan pembiayaan bermasalah. Hasil penelitian penulis atas penanganan pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri berupa penyelamatan pembiayaan bermasalah melalui upaya restrukturisasi
dapat disampaikan bahwa dari jumlah nasabah
bermasalah pada tahun 2013 sebanyak 94 orang yang berhasil dilakukan upaya restrukturisasi sebanyak 4 orang atau sebesar 4,3 %, sedangkan pada tahun 2014 dari jumlah pembiayaan bermasalah sebanyak 55 orang, yang berhasil dilakukan upaya restrukturisasi sebanyak 2 orang atau sebesar 3,6 %. Upaya penanganan pembiayaan bermasalah berupa penyelamatan pembiayaan bermasalah melalui restrukturisasi tersebut hasilnya sangat tidak signifikan, mengingat berat dan banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi nasabah serta memerlukan waktu untuk memprosesnya. Tahap ketiga, penanganan pembiayaan bermasalah yang dinilai tidak dapat dilakukan melalui penyelamatan berupa restrukturisasi, harus segera dilakukan langkah penyelesaian pembiayaan bermasalah, agar dalam jangka waktu tertentu pembiayaan bermasalah dapat diselesaikan baik seluruhnya maupun sebagian. Langkah penyelesaian pembiayaan bermasalah antara lain dilakukan melalui likuidasi yaitu penjualan agunan sebagai pelunasan kewajiban kepada bank,
hasilnya digunakan untuk melunasi kewajiban
nasabah kepada bank, baik dilakukan oleh nasabah yang bersangkutan atau oleh pemilik barang agunan dengan persetujuan dan di bawah pengawasan bank. Pemberlakuan likuidasi/ atau penjualan agunan terhadap nasabah harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : a. Adanya itikad baik dari nasabah untuk melunasi / membayar kewajibannya atau adanya suatu pertimbangan khusus dari bank agar pembiayaan dilunasi commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Secara finansial nasabah sudah kesulitan keuangan, sedangkan agunan yang diserahkan tidak dapat menutup seluruh kewajiban nasabah. Penyelesaian pembiayaan dengan cara likuidasi / atau penjualan agunan dapat
dilakukan terhadap nasabah yang berdasarkan penilaian secara
kuantitatif merupakan alternatif yang terbaik dan minimal telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a). Dalam rangka Penyelamatan Pembiayaan: 1). pembiayaan telah masuk dalam kategori non lancar, 2). usaha nasabah masih ada dan memiliki prospek untuk membaik, dan berkembang, 3). tidak dalam proses sengketa dengan pihak lain. b). Dalam rangka Penyelesaian Pembiayaan: 1). pembiayaan telah masuk dalam kategori Non Performing Financing (NPF) atau write off 2). usaha nasabah macet/sudah tidak ada, tidak memiliki prospek, kinerjanya buruk, dan tidak mempunyai
kemampuan
membayar,
dengan ciri-ciri: 3). sarana produksi yang ada sudah tidak berfungsi lagi, tetapi masih mempunyai nilai dan kondisi yang memungkinkan untuk dijual kepada pihak lain yang berminat; 4). dari segi manajemen, pengurus yang ada tidak cukup mempunyai kompetensi; 5). metode/teknologi yang dipakai tidak memadai/out of date; 6). kondisi mikro dan makro perekonomian sudah tidak mendukung aktivitas usaha nasabah; 7). telah dilakukan berbagai upaya penagihan dan penyelamatan, namun tidak berhasil, 8). tidak dalam proses sengketa dengan pihak lain.
commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Guna memudahkan dalam memilih jenis tindakan likuidasi/penjualan agunan, ditetapkan kriteria masing-masing tindakan likuidasi / penjualan agunan sebagai berikut: 1. Penjualan agunan secara di bawah tangan; kriteria minimal yang harus dipenuhi meliputi: a. telah memenuhi kriteria syarat agunan yang dapat dilikuidasi b. telah mendapatkan persetujuan tertulis dari nasabah, c. nasabah masih kooperatif (memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya dengan cara menjual agunan). d. agunan telah / belum diikat secara sempurna sesuai ketentuan yang berlaku. e. Agunan kurang/tidak mudah dijual atau tidak marketable 2. Lelang Sukarela; kriteria minimal yang harus dipenuhi meliputi: a. telah memenuhi kriteria syarat agunan yang dapat dilikuidasi b. telah mendapatkan persetujuan tertulis dari nasabah, c. nasabah masih kooperatif (memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya dengan cara menjual agunan). d. agunan telah / belum diikat secara sempurna sesuai ketentuan yang berlaku 3. Lelang eksekusi tanpa fiat eksekusi dari pengadilan (melalui KPKNL atau Balai Lelang Swasta); kriteria minimal yang harus dipenuhi meliputi: a. Telah memenuhi kriteria syarat agunan yang dapat dilikuidasi b. Nasabah
tidak
kooperatif
(tidak
memiliki
itikad
baik
untuk
menyelesaikan kewajibannya), c. Agunan telah diikat Hak Tanggungan dan memuat janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 Jo. Pasal 11 ayat 2 huruf e Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yaitu: 1) Apabila debitur cidera janji pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. 2) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji. d. Bank harus sebagai pemegang Hak Tanggungan I atau satu-satunya sebagai pemegang Hak Tanggungan, e. Legalitas pemberian pembiayaan harus baik, dalam arti tidak terdapat cacat hukum, baik dalam pemberian pembiayaan maupun dalam pengikatan barang agunan, f. Nilai Hak Tanggungan atau setidak-tidaknya nilai barang agunan dapat menutup seluruh atau sebagian kewajiban nasabah. 4. Lelang eksekusi dengan fiat eksekusi dari pengadilan; kriteria minimal yang harus dipenuhi meliputi: a. Telah memenuhi kriteria syarat agunan yang dapat dilikuidasi b. Nasabah
tidak
kooperatif
(tidak
memiliki
itikad
baik
untuk
menyelesaikan kewajibannya). c. Agunan telah diikat Hak Tanggungan. d. Bank harus sebagai pemegang Hak Tanggungan I atau satu-satunya sebagai pemegang Hak Tanggungan. e. Legalitas pemberian pembiayaan harus baik, dalam arti tidak terdapat cacat hukum, baik dalam pemberian pembiayaan maupun dalam pengikatan barang agunan. f. Nilai Hak Tanggungan atau setidak-tidaknya nilai barang agunan dapat menutup seluruh atau sebagian kewajiban nasabah. Hasil penelitian penulis atas penyelesaian pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri tercatat bahwa dari 94 nasabah pembiayaan bermasalah pada tahun 2013 yang berhasil dilakukan upaya likuidasi/penjualan agunan sebanyak 5 orang atau sebesar
5,3 %, sedangkan pada tahun 2014 dari
jumlah nasabah pembiayaan bermasalah sebanyak 55 orang, yang berhasil commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan upaya likuidasi/penjualan agunan sebanyak 8 orang atau sebesar 14,5
%.
Upaya
penanganan
pembiayaan
bermasalah
melalui
likuidasi/penjualan agunan tersebut merupakan alternatif terakhir yang dilakukan bank, mengingat proses yang dilalui sangat panjang dan berbelit. Dari ketiga upaya penanganan pembiayaan bermasalah yang dilakukan di Bank Syariah Mandiri tersebut, penanganan melalui penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara melakukan likuidasi atau penjualan agunan merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah setelah dilakukan upaya penagihan dan penyelamatan. Penyelesaian pembiayaan bermasalah
melalui likuidasi/penjualan
agunan akan dilaksanakan dengan pertimbangan: a). pembiayaan telah masuk dalam kategori Non Performing Financing (NPF) atau write off b). usaha nasabah macet/sudah tidak ada, tidak memiliki prospek, kinerja usahanya buruk, dan tidak mempunyai kemampuan membayar, dengan ciri-ciri: 1) sarana produksi yang ada sudah tidak berfungsi lagi, tetapi masih mempunyai nilai dan kondisi yang memungkinkan untuk dijual kepada pihak lain yang berminat; 2) dari segi manajemen, pengurus yang ada tidak cukup mempunyai kompetensi; 3) metode/teknologi yang dipakai tidak memadai/out of date; 4) kondisi mikro dan makro perekonomian sudah tidak mendukung aktivitas usaha nasabah, 5) telah dilakukan berbagai upaya penagihan dan penyelamatan, namun tidak berhasil, 6) tidak dalam proses sengketa dengan pihak lain. Berdasarkan uraian tahapan proses penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi di Bank Syariah Mandiri Surakarta tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah atau commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan secara internal Bank melalui upaya penagihan, restrukturisasi dan likuidasi / penjualan agunan dengan mengedepankan kaidah musyawarah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) atau Kebijakan Internal Penanganan Pembiayaan Bermasalah. Penyelesaian sengketa dengan mengedepankan kaidah musyawarah tersebut sangat dianjurkan dalam ajaran agama Islam. Ajaran agama Islam memberi peluang kepada umatnya untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa secara kekeluargaan. Al-Qur‟an dan Hadits menganjurkan agar para pihak melakukan musyawarah untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama, sebagaimana disampaikan dalam beberapa ayat al-Qur‟an dan Hadist di bawah ini: a. Al-Qur‟an Surat Al-Imraan Ayat 159 Artinya : “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal-hal duniawi lainnya seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang yang bertawakal”.72 b. Al-Qur‟an Surat Asy-Syuura Ayat 38 Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.73 c. Hadits dari Imam Ahmad Artinya: Telah bersabda Rasulullah SAW. Kepada Abu Bakar dan Umar: “Apabila kalian berdua sepakat dalam musyawarah, maka aku tidak akan menyalahi kamu berdua.” (HR. Ahmad) 74
72
Departemen Agama – Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemah Per Kata, Syaamil Internasional, Bandung, , 2007, hlm. 71 73 Departemen Agama – Republik Indonesia, Ibid , hlm.487. 74 HR. Ahmad. jus.4, No.1857, 1419 H-1998 M , Alam Alkutub, cetakan pertama, Beirut Lebanon, hlm.227
commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Hadist dari Ibnu Majjah Artinya: “Apabila salah seorang kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya, maka penuhilah”. (HR. Ibnu Majah) 75 e. Hadist dari At Tirmidzi Artinya: Dari Abu Hurairah RA. Berkata: Rasulullah SAW bersabda “Musyawarah adalah dapat di percaya.” (HR. At Tirmidzi dan Abu Daud)76 Menurut Farid Abdul Khaliq, mayoritas ulama syariat dan pakar undangundang konstitusional meletakkan musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok diatas prinsip-prinsip umum dan dasardasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash al Qur‟an dan Hadist-Hadist. Oleh karena itu, musyawarah sangat lazim digunakan dan tidak ada alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya.77 Kata “Musyawarah” menurut informan dalam tulisan Adi Sulistiyono, hampir tercantum disemua akta yang dibuatnya. Biasanya dalam akta perjanjian kerjasama bisnis senantiasa melampirkan klausula”bila dikemudian hari timbul sengketa akan diselesaikan secara musyawarah”. Namun dalam praktek pencantuman kata “musyawarah”dalam akta tersebut sebenarnya tidak difahami sebagai bagian perilaku budaya masyarakat yang mempunyai nilai yang tinggi untuk menyelesaikan sengketa, sehingga pencantuman itu hanya merupakan sekedar kebiasaan formal pembuatan akta. Fenomena yang berbeda dengan penelitian S. Macaulay, yang menyatakan bahwa semua akta perjanjian yang dibuat para pihak mencantumkan akibat yuridis bila salah satu pihak wanprestasi. Namun dalam realitasnya apabila salah satu pihak wanprestasi tidak ditegakan berdasarkan hukum, tapi diselesaikan dengan musyawarah.78
75 76 77
HR. Ibnu Majah. Darul Fikri, tanpa tahun, tanpa nomor, tanpa cetakan HR. Turmuzi, Dar ihya at turats al araby, Beirut, Lebanon, 1419 H-1998 M Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2012,
hlm. 35 78
Adi Sulistiyono, Op.Cit.,hlm. 368 to commit
user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sejalan dengan tulisan di atas, klausula “musyawarah” selalu dicantumkan dalam akad perjanjian di Bank Syariah Mandiri, khususnya dalam klausula pasal penyelesaian perselisihan yang secara lengkap menuliskan kalimat : “Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memahami atau menafsirkan
bagian-bagian
dari
isi,
atau
terjadi
perselisihan
dalam
melaksanakan Akad ini, maka NASABAH dan BANK akan berusaha untuk menyelesaikan secara musyawarah dan mufakat” Mekanisme penyelesaian sengketa dalam akad perjanjian di Bank Syariah Mandiri dilakukan sesuai dengan isi akad dengan mengedepankan penyelesaian sengketa secara musyawarah dan mufakat. Mekanisme ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUX/2012 tanggal 29 Agustus 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Bank Syariah. Proses penanganan pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri merupakan proses peringatan dini (Early Warning System) untuk mendeteksi agar pembiayaan tidak macet,
dimulai dari tahap penagihan yang berupa
penerbitan Surat Pemberitahuan Menunggak, Surat Peringatan 1 (SP 1), Surat Peringatan 2 (SP 2), Surat Peringatan 3/ Terakhir (SP 3). Dari proses tersebut dapat diperoleh informasi bahwa nasabah kooperatif atau tidak, disamping itu dapat diperoleh pula informasi bahwa usaha yang bersangkutan masih lancar / prospektif atau sedang bermasalah. Dengan bekal informasi yang diperoleh, managemen dapat memutuskan proses musyawarah selanjutnya berupa penyelamatan pembiayaan melalui proses restruksturisasi yaitu rescheduling, reconditioning atau restructuring, disitulah proses bermusyawarah dilakukan, sehingga didapatkan keputusan apakah penanganan pembiayaan bermasalah tersebut dapat dilakukan penyelamatan melalui Restrukturisasi (3 R), sehingga pembiayaan menjadi sehat kembali. Tahapan selanjutnya, jika informasi yang didapat dari hasil musyawarah tersebut diambil kesimpulan tidak dapat lagi dilakukan penyelamatan pembiayaan melalui proses resruksturisasi dikarenakan usaha ybs sudah tidak commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempunyai
prospek,
maka
tahapan
musyawarah
berikutnya
berupa
penyelesaian pembiayaan melalui likuidasi / penjualan agunan. Tahapan likuidasi/penjualan agunan ini dilakukan mengingat peran bank syariah sebagai mudharib yang menjalankan amanah dari nasabah pemilik dana untuk menyalurkan dana ke sektor pembiayaan. Tahapan likuidasi/penjualan agunan inipun dilakukan melalui proses musyawarah dimana nasabah diberi kepercayaan untuk menjual sendiri agunannya dalam rangka penyelesaian pembiayaan nasabah atau nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk menjual atau melakukan lelang yang hasilnya digunakan untuk menyelesaikan kewajibannya. Pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi merupakan pilihan utama di Bank Syariah Mandiri, mengingat hal tersebut merupakan langkah yang murah, sederhana dan cepat daripada penyelesaian sengketa melalui cara litigasi yang memerlukan biaya, proses berbelit dan waktu lama sehingga akan menimbulkan risiko perbankan yang tentunya akan diminimalisir atau dihindari oleh bank. Sampai saat ini mekanisme tersebut dapat dipertahankan, namun dengan berjalannya waktu, peningkatan pemahaman nasabah, perkembangan situasi serta adanya itikad tidak baik dari nasabah, maka penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi dengan mengedepankan musyawarah dalam penyelesaian sengketa
kaidah
perlu terus dipertahankan dan
disempurnakan agar dapat mengantisipasi dampak risiko perbankan di kemudian hari. Penyelesaian sengketa keperdataan di bank syariah termasuk dalam ranah hukum perjanjian. Oleh karena itu, maka berlakulah asas kebebasan berkontrak atau dengan kata lain penyelesaian sengketa menganut stelsel terbuka (open system). Konsekuensi yuridis dari sistem ini adalah bahwa para pihak dalam rangka menyelesaikan sengketa yang dialaminya memiliki kebebasan dalam memilih hukum (choice of law) dan kebebasan dalam memilih forum (choice of forum). commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adanya kebebasan memilih hukum dan memilih forum, dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menyebutkan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah, Pasal 4 Peaturan Bank Indonesia
No. 9/19/PBI/2007
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/16/PBI/2008, menyebutkan bahwa: (1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam Akad antara bank dengan nasabah, atau jika terjadi sengketa antara bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah. (2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan antara lain melalui mediasi termasuk mediasi perbankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagiamana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut di atas pada dasarnya upaya penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi antara nasabah dan bank dapat pula dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi dan arbitrase sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adanya ketentuan tersebut dapat menjadi peluang bagi para pihak untuk menentukan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya apabila mekanisme musyawarah tidak berhasil. Sehubungan dengan kondisi dimaksud maka diperlukan sebuah lembaga penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution) yang commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mampu melaksanakan fungsi dispute settlement yang bersifat win-win solution, sehingga dapat lebih memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa secara proporsional. Salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak adalah melalui mediasi. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Perlu ditekankan di sini bahwa mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu sengketa. Ia hanya boleh memberikan masukan-masukan berupa alternatif solusi bagi para pihak yang sedang bersengketa. Sebagaimana diketahui menurut Pasal 8 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
tugas Bank Indonesia antara lain
mengatur dan mengawasi bank serta melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten dan transparan dan harus mempertimbangkan kebijaksanaan umum pemerintah di bidang perekonomian. Berdasarkan hal tersebut Bank Indonesia diberi kewenangan untuk menetapkan peraturan, memberikan atau mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kewenangan Bank Indonesia sebagai regulator dan supervisi tersebut dapat diwujudkan antara lain berupa pemberian pengaturan terkait dengan penyelesaian sengketa antara nasabah dan perbankan. Hal ini sejalan dengan salah satu pilar yang terdapat dalam Arsitektur Perbankan Indonesia, yaitu Perlindungan Konsumen berupa nasabah bank. Khusus untuk perbankan mekanisme mediasi diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia
Nomor
8/5/PBI/2006
tentang
Mediasi
Perbankan,
sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
10/1/PBI/2008. Mediasi perbankan ini merupakan upaya lanjutan (fase 2) dari upaya penyelesaian pengaduan nasabah (fase 1) yang tidak terselesaikan secara internal oleh bank.79 Pengertian Mediasi secara normatif tidak dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Oleh karena itu pengertian mediasi diambil dari pendapat ahli dan kamus. Menurut Rachmadi Usman mediasi adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.80 Mediasi adalah sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang netral, dalam artian pihak ketiga dimaksud (mediator) tidak memiliki kompetensi untuk membuat keputusan. Mediator hanya diperkenankan memberikan tawaran alternatif solusi dan para pihak sendiri yang pada akhirnya memberikan putusannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seorang mediator hanya berperan sebagai penengah yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Sebagai penengah fungsi mediator disamping sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, juga dapat membantu para pihak untuk mendesain penyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Untuk itu seorang mediator harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan berbagai penyelesaian masalah yang disengketakan.81 Tujuan dari lembaga mediasi secara umum adalah:82 Pertama untuk menemukan solusi terbaik atas sengketa yang terjadi di antara para pihak,
79
Anonim. Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan. Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia. http://www.bi.go.id, tanggal akses 17 Juni 2014 80 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003, hlm. 79 81 Ibid. hlm. 87 82 Nindyo Pramono, “Lembaga Mediasi Perbankan Independen dan Mediasi Perbankan oleh BI (Temporary)”. Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007. hlm. 3 commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dimana solusi ini dapat mereka percayai atau jalankan dan bukan untuk mencari kebenaran atau memaksakan penegakan hukum, melainkan untuk menyelesaikan masalah; Kedua mensosialisasikan dan mengembangkan konsep mediasi kepada publik, pemerintah dan organisasi dengan bekerjasama dengan berbagai institusi; Ketiga mendorong pemanfaatan mediasi dalam menyelesaikan sengketa pada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan semangat musyawarah; dan Keempat memberikan jasa mediasi. Mediasi sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out of court) memiliki beberapa manfaat, antara lain, yakni:83 1. Proses relatif singkat menghemat waktu, biaya; 2. Pelaksanaannya secara tertutup dan rahasia; 3. Prosedur bersifat informal; 4. Fokus kepada akar permasalahan dengan memperhatikan aspek-aspek komersial, psikologis dan emosi para pihak; 5. Bentuk penyelesaian pada hakikatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa. Dengan demikian sebelum menempuh proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah harus telah mengajukan pengaduan kepada bank yang bersangkutan dan ketika tidak menerima putusan dari lembaga pengaduan yang ada di internal bank, baru kemudian pihak nasabah diperkenankan untuk menyelesaikan sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan, yang untuk sementara ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI). Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa khusus untuk penyelesaian sengketa perbankan antara nasabah dengan bank, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 dapat dilaksanakan melalui Mediasi Perbankan yang sedianya akan dilaksanakan oleh Lembaga Mediasi Independen. Namun mengingat Lembaga Mediasi Independen belum dapat
83
Ibid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
dibentuk oleh Asosiasi Perbankan, maka fungsi Mediasi Perbankan untuk sementara dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Mediasi merupakan suatu proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang bersengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.84 Mediasi biasa dipakai untuk menyelesaikan permasalahan dibidang keperdataan. Pasal 3 ayat (2) dan (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, memberikan kewenangan kepada BI untuk sementara melaksanakan mediasi perbankan sebelum terbentuknya lembaga mediasi perbankan independen. Menurut Pasal 4 dan penjelasan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 menyebutkan bahwa fungsi mediasi yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang permasalahan atau sengketa yang timbul di antara mereka untuk memperoleh kesepakatan. Adapun yang dimaksud dengan membantu nasabah dan bank adalah Bank Indonesia memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan cara memanggil, mempertemukan, mendengar dan memotivasi nasabah dan bank untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan. Banyak para ahli berpendapat bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tentang Mediasi Perbankan, tidak sepenuhnya sesuai prinsip mediasi, karena:85 1. Pengajuan penyelesaian mediasi hanya dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah ( Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006); 84
Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9. Elips. Jakarta, 1999. hlm. 241 85 Mohammad Fajrul Falaakh, “Perlindungan Nasabah Bank Melalui Fungsi Mediasi dan Supervisi Bank Indonesia”. Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan , oleh Bank Indonesia dan Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, commit 11 to April user 2007. hlm. 5
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Mengandung unsur paksaan (kewajiban) kepada bank untuk memenuhi panggilan BI dan mengikuti proses mediasi (Pasal 7 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006); 3. Terdapat ancaman pengenaan sanksi administratif dan tingkat kesalahan bank
(seharusnya
dalam
rangka
pengawasan)
jika
bank
tidak
melaksanakan hal-hal yang ditentukan dalam Akta Kesepakatan Mediasi (Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006). Beberapa ketentuan dan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Forum Mediasi Perbankan sebagaimana yang telah diatur dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 jo. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan antara lain: 1. Mediasi (perbankan) menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006
adalah
proses
penyelesaian
sengketa
yang
melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Adapun yang menjadi penyelenggara Mediasi Perbankan menurut Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006, yakni Lembaga Mediasi Perbankan Independen yang dibentuk Asosiasi Perbankan. Proses beracara dalam mediasi perbankan secara teknis diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut: a. Pengajuan penyelesaian sengketa dalam rangka mediasi perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah; b. Dalam hal nasabah atau perwakilan nasabah mengajukan penyelesaian sengketa kepada Bank Indonesia, bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia. commit to user
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Menurut Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 syaratsyarat pengajuan penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan yaitu: a. Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai; b. Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh nasabah kepada bank; c. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga mediasi lainnya; d. Sengketa yang diajukan merupakan sengketa keperdataan; e. Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan f. Pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tangal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan Bank kepada nasabah. Berdasarkan
Pasal
9
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
8/5/PBI/2006 tentang Proses Mediasi dilaksanakan setelah nasabah atau perwakilan nasabah dan bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate) yang memuat: a). Kesepakatan untuk memilih mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa; dan b). Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Jika proses mediasi telah selesai dilaksanakan, maka pihak bank wajib
mengikuti
dan
mentaati
perjanjian.
Mediasi
yang
telah
ditandatangani oleh nasabah atau perwakilan nasabah dan bank. Perlu pengaturan dalam hal bank tidak mau menandatangani perjanjian mediasi (agreement tio mediate), padahal nasabah telah melakukan pengaduan baik secara lisan atau tulisan, serta tidak puas terhadap penyelesaian yang diberikan oleh bank yang bersangkutan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
91 digilib.uns.ac.id
Sebagai cara untuk mengatasi hal tersebut agar sejak semula para pihak harus sudah menyatakan setuju untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui mediasi, yaitu dengan mencantumkan klausula mediasi (mediation clause) dalam perjanjian pokoknya, yakni dalam perjanjian pembiayaan, serta dalam hal produk penghimpunan dana dapat dicantumkan klausula pada buku rekening simpanan nasabah bahwa dalam hal terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi perbankan setelah terlebih dahulu menempuh prosedur pengaduan nasabah. Adanya penetapan klausula mediasi inilah yang disebut sebagai mandatory mediation86 yang didasarkan pada kesepakatan bersama oleh para pihak sebagai wujud dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian, yakni perjanjian terkait dengan penyelesaian sengketa (vide Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan mencantumkan klausula mediasi dalam perjanjian pokoknya menyebabkan bank maupun nasabah terikat untuk melaksanakannya semata-mata karena memang diperjanjikan (asas pacta sunt servanda). 3. Secara lebih detail dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, ketentuan dan proses mediasi perbankan sebagai berikut: a. Persyaratan Pengajuan Penyelesaian Sengketa 1) Pengajuan penyelesaian sengketa nasabah hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut 2) Sengketa yang diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan 86
Felix Oentoeng Soebagjo, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan”, Bahan Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bangsa Indonesia dan Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen, Kerjasama Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta dan Bank Indonesia. Yogyakarta. 21 Maret 2007 commit to user
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan secara tertulis dengan format sesuai Lampiran 1 SEBI (Surat Edaran Bank Indonesia) dengan menyertakan dokumen yang dipersyaratkan 4) Pelaksana fungsi mediasi perbankan dapat menolak pengajuan penyelesaian
sengketa
yang
tidak
memenuhi
persyaratan
dimaksud. b. Batas Waktu Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari bank sampai dengan tanggal diterimanya pengajuan penyelesaian sengketa oleh pelaksana fungsi mediasi perbankan secara langsung dari nasabah atau tanggal stempel pos apabila disampaikan melalui pos. Proses mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang dihitung sejak nasabah dan bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan akta kesepakatan. c. Nilai Tuntutan Finansial Nilai tuntutan finansial dalam mediasi perbankan diajukan dengan mata
uang
rupiah
dengan
batas
paling
banyak
sebesar
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). d. Cakupan Nilai Tuntutan Finansial 1) Nilai kumulatif dari kerugian yang telah terjadi pada nasabah 2) Potensi
kerugian
karena
penundaan
atau
tidak
dapat
dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain 3) Biaya-biaya yang telah dikeluarkan nasabah untuk mendapatkan penyelesaian sengketa 4) Nilai tuntutan finansial ini tidak termasuk nilai kerugian immaterial. commit to user
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Prosedur 1). Atas dasar pengajuan penyelesaian sengketa oleh nasabah, pelaksana fungsi mediasi perbankan dapat melakukan klarifikasi atau meminta penjelasan kepada nasabah dan bank secara lisan dan atau tertulis. 2). Pelaksana fungsi mediasi perbankan memanggil nasabah dan bank untuk menjelaskan tentang cara pelaksanaan mediasi perbankan. Apabila nasabah dan bank sepakat menggunakan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa, nasabah dan bank wajib menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate). 3). Kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi dituangkan dalam suatu akta kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan bank. Bersifat final adalah sengketa tersebut tidak dapat diajukan untuk dilakukan proses mediasi ulang pada pelaksana fungsi mediasi perbankan, sedangkan yang dimaksud dengan mengikat adalah kesepakatan berlaku sebagai undangundang bagi nasabah dan bank yang harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Menurut Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi, disebutkan bahwa bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian sengketa di bidang perbankan dengan cara mediasi kepada nasabah. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tersebut disebutkan bahwa informasi yang wajib dipublikasikan oleh bank paling kurang memuat: a. Prosedur yang harus ditempuh nasabah untuk dapat mengajukan penyelesaian sengketa; b. Persyaratan pengajuan penyelesaian sengketa; c. Batas waktu pengajuan penyelesaian sengketa; commit to user
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Nilai tuntutan finansial maksimum untuk setiap sengketa, yaitu berupa kerugian finansial yang telah terjadi pada nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan nasabah untuk menyelesaikan sengketa; dan e. Cakupan nilai tuntutan finansial tidak termasuk nilai kerugian immaterial. Berdasarkan pemaparan di atas menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan melalui mediasi perbankan sudah memiliki tata cara dan prosedur yang jelas, walaupun jika
dilihat forum mediasi secara
umum masih terdapat beberapa hal yang bertentangan sebagaimana tersebut di atas. Penyelesaian sengketa sebagaimana telah disebutkan sebelumnya termasuk hukum perjanjian, sehingga berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle). Para pihak bebas memilih forum dan hukum yang berlaku untuk penyelesaian sengketa yang terjadi diantara mereka. Hal serupa juga terdapat pada dunia perbankan, di mana para pihak yakni pihak bank dan nasabah mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga-lembaga penyelesaian sengketa yang ada. Salah satu forum alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perbankan adalah melalui mediasi perbankan. Sama dengan mediasi pada umumnya pada mediasi perbankan juga terdapat pihak ketiga yang netral (mediator). Menurut Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mediator dibedakan menjadi dua, yaitu:87 a). Mediator ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat (3)
87
Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 93 commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b). Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (4) dimaksud, maka mediator dalam lembaga mediasi perbankan termasuk dalam mediator yang ditunjuk oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang telah dipilih oleh para pihak. Karena Bank Indonesia yang saat ini sementara melaksanakan fungsi mediasi perbankan, maka mediator dimaksud adalah mediator yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Mengenai kekuatan hukum dari putusan mediasi dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang intinya menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik. Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.88 Kekuatan mengikat hasil mediasi pada hakikatnya sama seperti undang-undang. Hal ini terjadi karena penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan kesepakatan dari para pihak, yakni bank dengan nasabah atau perwakilan nasabah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Khusus mengenai kesepakatan para pihak sebagai hasil mediasi disamping harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata juga berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan,harus dituangkan dalam bentuk akta kesepakatan yaitu dokumen tertulis yang memuat kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan bank. 88
Ibid. hlm. 92
commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kemudian berdasarkan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, disebutkan bahwa kesepakatan antara nasabah atau perwakilan nasabah dengan bank yang dihasilkan dari proses mediasi dituangkan dalam akta kesepakatan yang ditandatangani oleh nasabah atau perwakilan nasabah dan bank. Konsekuensi hukum setelah penandatanganan akta kesepakatan, yaitu bahwa bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara nasabah dan bank. Hal tersebut terlihat dalam ketentuan Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan yang menyebutkan bahwa bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara nasabah dengan bank yang telah disepakati dan dituangkan
dalam
akta kesepakatan.
Apabila pihak bank tidak
melaksanakannya, Bank Indonesia akan menjatuhkan hukuman kepada bank yang bersangkutan, yaitu sanksi administratif, mulai dari berupa denda uang, teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan bank, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan, pemberhentian pengurus bank dan pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Dengan demikian berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, kesepakatan yang diperoleh dari mediasi perbankan mempunyai kekuatan hukum sehingga bagi para pihak wajib melaksanakannya dengan penuh iktikad baik. Dalam hal para pihak tidak melaksanakannya, Bank Indonesia akan memberikan sanksi. Hal ini juga memberikan bukti, bahwa mediasi perbankan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mediasi pada umumnya. Proses mediasi perbankan merupakan kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan usaha commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah. Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui berbagai media tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi
menurunkan
kepercayaan
masyarakat
pada
lembaga
perbankan. Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank. Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini tidak selalu dapat memuaskan
nasabah.
Ketidakpuasan
tersebut
dikarenakan
tidak
terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank. Hal-hal yang diatur dalam Mediasi Perbankan adalah: 1. Nasabah
atau
perwakilan
nasabah
dapat
mengajukan
upaya
penyelesaian sengketa melalui mediasi ke BI apabila nasabah merasa tidak puas atas penyelesaian pengaduan nasabah; 2. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan yang memiliki tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
rupiah). Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh tuntutan immaterial; 3. Pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh hari) kerja saat tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah; 4. Pelaksaan proses mediasi sejak ditandatanganinya perjanjian mediasi sampai dengan penandatanganan Akta Kesepakatan oleh para pihak dilaksanakan dalam waktu 30 hari kerja dan dapat diperpanjang sampai dengan 30 hari berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank; 5. Akta kesepakatan dapat memuat menyeluruh, kesepakatan sebagian, atau tidak tercapainya kesepakatan atau kasus yang disengketakan. Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan diantara mereka, sehingga manfaat mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan mediasi adalah sebagai berikut:89 1. Mediasi dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses beracara di Pengadilan atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak diperlukan gugatan ataupun biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih murah 2. Mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga hubungan kerjasama mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya persengketaan diantara mereka. 3. Proses mediasi lebih bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak. Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia No 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi, yang membentuk lembaga mediasi perbankan independen adalah asosiasi perbankan. Asosiasi perbankan yang membentuk lembaga mediasi perbankan independen dapat terdiri dari gabungan asosiasi perbankan
89
Erna Priliasari, “Mediasi Perbankan Sebagai Wujud Perlindungan Terhadap Nasabah Bank”. Artikel dalam www.legalitas.org,commit hlm. 8 to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk menjaga independensinya. Selain dapat pula dilakukan perekrutan dari kalangan bankir. Bank Indonesia (BI) harus mewajibkan seluruh bank untuk menjadi anggota dari lembaga mediasi perbankan. Agar mempunyai kekuatan hukum mengikat maka BI perlu membuat PBI tentang kewajiban Bank menjadi anggota lembaga mediasi. Dalam rangka untuk menjaga kualitas dari lembaga mediasi perbankan ini, maka BI dapat memberi akreditasi pada lembaga mediasi perbankan Indonesia tersebut. Lembaga Mediasi mempunyai kewajiban melaporkan secara berkala pada BI mengenai sengketa yang pernah dimediasikan. Kemudian dari laporan tersebut BI dapat mengevaluasi kinerja dari lembaga mediasi perbankan independen tersebut dan memberikan akreditasinya. Untuk prosedur akreditasi, maka Bank Indonesia perlu membentuk PBI tentang akreditasi. Dalam Lembaga mediasi ini harus ada mediator independen yang dapat memberikan saran sesuai dengan profesinya masing-masing, misalnya ada konflik antara nasabah dengan bank mengenai masalah hukum, maka harus ada seorang mediator yang ahli di bidang hukum perbankan. Kemudian lembaga ini harus berfungsi seperti arbitrase sehingga keputusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, hasil dari kesepakatan kedua belah pihak kemudian didaftarkan pada Pengadilan Negeri agar mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan keseluruhan paparan tersebut di atas mengenai mekanisme Mediasi Perbankan sebagai alternatif pilihan para pihak untuk menyelesaikan sengketa, Bank Syariah Mandiri Surakarta belum pernah melaksanakannya sehingga perlu sosialisasi lebih lanjut dari Bank Indonesia agar para pihak lebih mengetahui dan memahami keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Mediasi Perbankan. Apabila dicermati terdapat beberapa keuntungan apabila mekanisme Mediasi Perbankan dilaksanakan, yaitu : a. Mediasi perbankan akan memberikan nilai positif bagi bank maupun nasabah.
commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Mediasi perbankan akan mendorong terciptanya keseimbangan hubungan antara posisi bank dan nasabah c. Mediasi perbankan memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah karena hak-hak nasabah yang selama ini tidak dipenuhi bank bisa didapatkan kembali dalam waktu dan proses yang relatif cepat d. Mediasi perbankan dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa, mengingat sengketa yang berlarut-larut akan menyebabkan kerugian. Alternatif lain yang juga diberikan oleh Undang-Undang, Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam pilihan penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi adalah melalui mekanisme arbitrase di Badan Arbitrase Syariah Nasional. Merujuk ketentuan dalam Pasal 4 ayat
3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 junto
Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/16/PBI/2008 tentang
Pelaksanaan
Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, maka penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui arbitrase syariah baru dapat dilakukan apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan mediasi termasuk mediasi perbankan tidak mencapai kesepakatan. Berbeda dengan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional yang menyediakan 2 (dua) forum sebagai mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah yaitu melalui musyawarah dan arbitrase syariah. Peraturan Bank Indonesia tersebut menyediakan 3 (tiga) forum sebagai mekanisme penyelesaian sengketa syariah, yaitu melalui musyawarah, mediasi atau mediasi perbankan dan arbitrase syariah. Prosedur dan proses penyelesaian sengketa melalui Basyarnas memuat hal-hal yang berkaitan dengan permohonan arbitrase syariah, penetapan arbiter syariah, acara pemeriksaan arbiter syariah, perdamaian, pembuktian, berakhirnya pemeriksaan arbitrase syariah, pengambilan dan isi putusan arbitrase syariah, perbaikan dan pembatalan putusan arbitrase syariah, commit to user
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendaftaran putusan arbitrase syariah, serta pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan biaya arbitrase syariah.90 1. Pengajuan Permohonan Arbitrase Syariah Prosedur arbitase syariah dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase syariah oleh sekretaris dalam register Basyarnas. Hal-hal yang harus dimuat dalam surat permohonau antara lain nama lengkap dan alamat tempat tinggal/atau tempat kedudukan kedua belah pihak atau para pihak (identitas para pihak), suatu uraian singkat tentang duduk sengketa (posita) dan apa yang dituntut (petitum). Surat permohonan tersebut harus melampirkan salinan dari naskah kesepakatan yang khusus mencantumkan adanya klausula atau ketentuan yang mennetapkan bahwa sengketa yang timbul dari perjanjian akan diselesaikan melalui atau akan diputus oleh arbitrase syariah. 2. Perhitungan Tenggang Waktu Perhitungan tenggang waktu mulai berjalan pada hari berikut setelah penerimaan. Pengaturan tenggang waktu tersebut mengikuti ketentuan yang diatur dalam hukum acara perdata. 3. Penetapan dan Tempat Kedudukan Arbiter Syariah Apabila perjanjian yang menyerahkan pemutusan sengketa kepada arbitrase syariah atau klausula arbitrase syariah dianggap tidak cukup untuk dijadikan dasar kewenangan Basyarnas untuk memeriksa sengketa yang diajukan, maka Basyarnas akan menyatakan perohonan tersebut tidak dapat diterima yang dituangkan dengan penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Basyarnas atau oleh arbiter syariah. Sebaliknya jika perjanjian tersebut dianggap sudah mencukupi maka Ketua Basyarnas akan segera menetapkan dan menunjuk arbiter syariah yang
akan
memeriksa
menyampaikan salinan
90
dan
memutus
sengketa.
Arbiter
syariah
surat permohonan kepada pihak termohon disertai
Rachamadi Usman, Op.Cit., hlm.412-417 commit to
user
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawaban tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari. Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon dan bersamaan dengan itu arbiter memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap pada tanggal yang ditetapkan dimuka sidang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa dengan surat kuasa khusus. 4. Acara Pemeriksaan Arbitrase Pada prinsipnya pemeriksaan sengketa syariah dilakukan secara langsung dan tertulis di depan persidangan. Tahap pemeriksaan terdiri atas tanya jawab (replik-duplik), tahap pembuktian dan tahap putusan dilakukan berdasakan
kebijakan
arbiter
syariah.
Semua
proses
pemeriksaan
disampaikan dalam bahasa Indonesia. Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie) dalam jawabannya atau paling lambat pada hari sidang pertama pemeriksaan. Terhadap bantahan yang diajukan termohon tersebut, pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang diikuti dengan tambahan tuntutan (additional claim) asal hal itu mempunyai hubungan erat dan langsung dengan pokok yang disengketakan serta termasuk menjadi yuridiksi Basyarnas. Baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun additional claim akan diperiksa dan diputus oleh arbiter syariah bersama-sama dan sekaligus dalam suatu putusan, Seluruh proses pemeriksaan sampai dengan diucapkannya putusan oleh arbiter syariah akan diselesaikan selambatlambatnya sebelum jangka waktu 6 bulan habis, terhitung sejak tanggal dipanggilnya pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
commit to user
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Perdamaian dan Pencabutan Permohonan Arbitrase Syariah Sebelum meneruskan pemeriksaan terhadap sengketa syariah yang dimohon, arbiter syariah terlebih dahulu akan mengusahakan perdamaian. Apabila usaha terebut berhasil maka arbiter syariah akan membuat akta perdamaian namun apabila perdamaian tidak berhasil maka arbiter akan meneruskan pemeriksaan terhadap sengketa yang dimohon. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Setiap saat sebelum dijatuhkannya putusan, pemohon dapat mencabut permohonan arbitrase syariah. 6. Berakhirnya Pemeriksaan Arbitrase Arbiter syariah akan menutup pemeriksaan dan menetapkan suatu hari sidang guna mengucapkan putusan yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup, dengan tidak menutup kemungkinan dapat membuka kembali pemeriksaan sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu. Putusan diambil dan diucapkan dalam suatu sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. 7. Pengambilan dan Isi Putusan Arbitrase Setiap putusan atau ketetapan lain dari arbiter syariah harus diambil berdasarkan suara terbanyak. Jika suara terbanyak tidak tercapai, maka Ketua arbiter syariah dapat mengambil dan menjatuhkan putusan oleh sendiri dan putusan dianggap dibuat oleh semua anggota arbiter syariah. Sesuai ketentuan setiap putusan dan penetapan yang dibuat Basyarnas dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”, diikuti dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan Basyarnas yang sudah ditandatangani oleh arbiter syariah bersifat final dan mengikat kepada para pihak yang bersengketa dan wajib ditaaati serta segera memenuhi pelaksanaanya. Apabila putusan tadi tidak dilaksanakan secara sukarela maka putusan akan dilaksanakan dengna meminta bantuan Ketua Pengadilan Negeri setempat. Salinan putusan yang telah ditandatangani oleh arbiter commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
syariah harus diberikan kepada masing-masing pihak (pemohon dan termohon) dan tidak boleh diumumkan, kecuali disepakati. 8. Pembatalan Putusan Arbitrase Putusan arbitrase syariah bersifat final dan mengikat, namun masih diberikan kemungkinan kepada salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis permintaan pembatalan putusan arbiter syariah yang disampaikan kepada sekretaris Basyaranas. Pengajuan pembatalan putusan tersebut paling lambat dalam waktu 60 hari dari tanggal putusan arbitrase syariah diterima. Permintaan pembatalan putusan arbitrase syariah hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan sebagai berikut : a. Penunjukan arbiter syariah tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan dan prosedur Basyarnas b. Putusan melampaui batas kewenangan Basyarnas c. Putusan melampaui dari yang diminta oleh para pihak d. Ada penyelewengan diantara salah seorang anggota arbiter syariah e. Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok peraturan dan prosedur syariah f. Putusan tidak memuat dasar-dasar alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan. Dari paparan penjelasan prosedur mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah tersebut di atas, meskipun terdapat kelemahan tentang sistem arbitrase syariah, namun apabila dibandingkan dengan berperkara di Pengadilan masih lebih efisien karena tidak ada institusi banding atau kasasi sehingga lebih hemat waktu dan biaya. Disamping itu permohonan pelaksaan eksekusi melalui Pengadilan Negeri lebih cepat dan mudah. Berdasarkah hasil penelitian penulis di Bank Syariah Mandiri, penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah di Basyarnas pernah dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri. Namun karena pertimbangan satu commit to user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan lain hal dari
Manajemen Bank
yang dituangkan dalam Surat
Keputusan Direksi dalam akad perjanjian pembiayaan di Bank Syariah Mandiri, saat ini mencantumkan klausula penyelesaian perselisihan di Pengadilan Negeri sebagai lembaga
yang akan menindak lanjuti
penyelesaian sengketa apabila mekanisme musyawarah tidak mencapai kesepakatan. Sengketa perbankan syariah sebagaimana dikemukakan di atas menjadi kewenangan para pihak untuk menyelesaikannya. Namun demikian harus tetap dalam koridor syariah, yakni dengan mengacu pada ketentuan hukum Islam sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadist. Prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah khususnya dan perkara bidang ekonomi syariah pada umumnya, bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di Pengadilan Agama karena perbankan syariah seperti ditegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsip syariah.91 Menurut Sutan Remy Sjandeini prinsip syariah yang menjadi landasan utama bank syariah dalam menjalankan fungsinya, belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal. Terutama dalam hal apabila terjadi sengketa antara pihak bank syariah dengan nasabahnya. Hal ini karena sejak terjadinya akad antara pihak bank syariah dengan nasabahnya hingga berakhirnya suatu perjanjian, ternyata semuanya mutlak mengikuti dan berpedoman pada ketentuan KUH Perdata. Termasuk dalam hal ini jika terjadi sengketa antara bank syariah dengan nasabahnya berkaitan dengan perjanjian tersebut. Lebih 91
Abdul Ghofur Anshori. 2010. Op. Cit.tohlm. 113 commit user
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lanjut menurutnya, tidak akan diberlakukan hukum Islam, yang diberlakukan dalam hal ini adalah hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata karena hukum perdata itulah yang merupakan hukum positif.92 Penyelesaian sengketa perbankan syariah sebagaimana dikemukakan di atas menjadi kewenangan para pihak untuk menyelesaikannya. Namun demikian harus tetap dalam koridor yang telah diatur dalam tataran operasional yang dituangkan melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia sebagai acuan pelaksanaan operasional Bank Syariah. Prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah khususnya dan perkara bidang ekonomi syariah pada umumnya, bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi menunjuk pada forum musyawarah, mediasi, melalui arbitrase di Basyarnas dan melalui lembaga alternatif penyelesaian yang lain yaitu lembaga alternatif penyelesaian sengketa (alternative disputes resolution) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa non litigasi mengedepankan unsur musyawarah. Musyawarah
menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
adalah
pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah.
93
Hal tersebut diartikan sebagai pembahasan bersama dengan
maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Untuk mencapai kesepakatan dalam proses musyawarah diperlukan sebuah proses negosiasi yaitu proses penyelesaian sengketa yang berlangsung secara suka rela antara pihak-pihak yang mempunyai masalah atau kasus dengan cara melakukan tatap muka secara langsung untuk memperoleh kesepakatan yang dapat diterima
92
Sutan Remy Sjandeini, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. hlm. 134 93 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan commit toNasional. user Loc.cit.
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kedua belah pihak.94 Oleh karena itu, prinsip musyawarah yang dikedepankan dalam penyelesaian sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi berupa proses negosiasi yang merupakan bagian dari proses musyawarah untuk mencapai kesepakan atau keputusan atas penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Bank Indonesia sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007 diarahkan untuk diselesaikan secara musyawarah dan mediasi perbankan. Apabila langkah tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut teori sistem hukum yang dikemukakan oleh L.M. Friedman dari sisi subtansi hukum, yaitu keseluruhan asas hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan, sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan, penyelesaian sengketa pembiayaan di Bank Syariah Mandiri dilakukan melalui sebuah proses bermusyawarah sesuai Sistem Operasional Prosedur (SOP) Bank Syariah Mandiri dimulai dari proses penagihan, restrukturisasi atau likuidasi /penjualan agunan dengan mengedepankan kaidah musyawarah telah memenuhi sistem subtansi hukum yang ada. Kalimat atau klausula musyawarah yang tertuang dalam akad/perjanjian pembiayaan menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa di Bank Syariah Mandiri Surakarta mengedepankan kaidah musyawarah sesuai prinsip hukum Islam dilakukan sesuai dengan isi akad. Penyelesaian sengketa non litigasi melalui arbitrase pada Badan Arbitrase
Syariah Nasional pernah
dilakukan di Bank Syariah Mandiri, hal tersebut dapat dilihat pada
akad
perjanjian/pembiayaan di Bank Syariah Mandiri pernah mencantumkan klausula arbitrase berarti telah memenuhi sistem substansi hukum yang ada 94
I Made Widnyana. op,cit., hlm. 75 to commit
user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sesuai ketentuan penyelesaian sengketa menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, yang mencantumkan klausula arbitrase dalam akad / perjanjian pembiayaan syariah yaitu pencantuman kalimat : “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan secara musyawarah.95 Berdasarkan pengamatan penulis di beberapa bank syariah di Surakarta, lembaga penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional jarang dipilih atau dimanfaatkan dalam mekanisme penyelesaian sengketa, padahal dalam ketentuan Pasal 4 butir 3 Peraturan Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, disebutkan bahwa apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan mediasi perbankan tidak mencapai kesepakatan
maka penyelesaian
sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah. Menurut data yang diperoleh selama tahun 1997 sampai dengan tahun 2015 Badan Syariah Nasional telah menyelesaikan 17 dari 23 kasus sengketa perbankan syariah. Angka penyelesaian kasus tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa kendala dalam penerapan Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Faktor yang menghambat pemilihan Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga penyelesaian sengketa antara lain : a. Kendala teknis kesiapan infrastruktur Basyarnas, minimal di setiap kota di seluruh Indonesia ada Basyarnas. b. Kurangnya sosialisasi dan informasi mengenai ketentuan hukum dari Basyarnas serta kemudahan mengakses informasi bagi masyarakat c. Keraguan akan kredibilitas dan profesionalisme dari arbiter Basyarnas d. Proses penyelesaian sengketa melalui Basyarnas memerlukan waktu, biaya dan tidak sederhana serta melibatkan pihak ketiga 95
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Bank Indonesia, loc.cit. commit to user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari Struktur Hukum
yaitu
keseluruhan institusi penegakan hukum beserta aparatnya yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik tercermin dari baiknya faktor penegak hukum yang memainkan peranan. Mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah yang dilakukan melalui cara litigasi Bank Syariah Mandiri Surakarta tidak memilih Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketanya, melainkan memilih Pengadilan Negeri. Adanya klausula lanjutan dalam akad perjanjian pembiayaan yang menunjuk Pengadilan Negeri sebagai lembaga penyelesaian sengketa apabila usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan melalui musyawarah dan mufakat tidak tercapai, menujukkan bahwa secara struktur hukum belum sepenuhnya dilaksanakan dengan sesuai prinsip syariah. Pencantuman Pengadilan Negeri dalam akad/perjanjian pembiayaan di Bank Syariah Mandiri Surakarta menunjukkan bahwa kewenangan absolut Pengadilan Agama yang menyangkut perbankan syariah seakan-akan boleh atau dapat disimpangi apabila telah disepakati oleh para pihak dalam akad, hal ini belum menunjuk pada pemenuhan sistem struktur hukum yang ada dimana Pengadilan Agama merupakan sistem struktur hukum penyelesaian sengketa bank syariah. Pertimbangan para penegak hukum pemegang peranan dalam perbankan syariah yaitu para pengelola Bank
(pejabat bank) menetapkan Pengadilan
Negeri sebagai lembaga penyelesaian sengketa apabila upaya musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan antara lain : a). Pihak nasabah masih menghendaki adanya penyelesaian sengketa diluar Pengadilan Agama. b). Untuk memberi keleluasaan dalam perkembangan bisnis/transaksi perbankan syariah. c). Adanya perbedaan pendapat tentang sejauhmana kesiapan Pengadilan Agama dalam menjalankan ketentuan perbankan syariah. commit to user
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d). Belum tersosialisasi dengan luas di kalangan bank syariah dan pihak terkait yaitu Notaris tentang Pengadilan Agama, Basyarnas sebagai struktur hukum dalam mekanisme penyelesaian sengketa bank syariah. Di sisi lain pemilihan penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri apabila diamati terdapat beberapa hal yang perlu mendapat pertimbangan perbankan syariah yaitu : (a). Belum tersedianya hukum materiil baik yang berupa undang-undang, maupun kompilasi sebagai pegangan para hakim di Pengadilan Negeri dalam memutus perkara syariah (b). Masih banyak para aparat hukum di Pengadilan Negeri yang belum mengerti tentang ekonomi syariah atau hukum bisnis Islam (3). Belum tersedianya lembaga penyidik khusus di Pengadilan Negeri yang kompeten dan menguasai hukum syariah.96 Mengenai
Budaya hukum yaitu kebiasaan-kebiasaan, opini-opini,
cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat. Suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan tercipta kultur hukum yang baik, yang dapat merubah pola fikir masyarakat mengenai hukum. Berdasarkan analisis Budaya hukum yang merupakan komponen sistem hukum, menunjukkan
bahwa kesadaran hukum masyarakat atas
perkembangan perbankan syariah umumnya dan mekanisme penyelesaian sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi masih kurang selaras. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkembang di masyarakat antara lain : a. Sebagian masyarakat telah memiliki kesadaran untuk menyelesaikan sengketa melalui cara non litigasi dengan mengutamakan kaidah
96
Surawardi K..Lubis, Farid Wajdi. loc.cit. commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
musyawarah, namun disisi lain informasi mengenai cara dan bagaimana mendapatkan informasi tentang hal tersebut sangat minim. b. Sampai saat ini perbankan syariah belum sepenuhnya mengindahkan regulasi tentang penyelesaian sengketa pembiayaan yang diatur dalam Undang-Undang, peraturan maupun Fatwa Dewan Syariah Nasional. Hal ini ditunjukkan dari berbagai akad yang ada. c. Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan belum mendorong perbankan syariah untuk mematuhi mekanisme penyelesaian sengketa non litigasi melalui Basyarnas sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Peraturan Bank Indonesia, sehingga diperlukan upaya lain berupa sanksi bagi bank yang tidak mematuhi aturan tersebut. d. Adanya kendala kemampuan sumber daya insani yang profesional. e. Terkesan pemerintah kurang serius dan masih setengah hati dalam mengelola perbankan syariah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka analisis Mekanisme Pelaksanaan Penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi di Bank Syariah Mandiri Surakarta secara substansi hukum telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Peraturan Bank Indonesia dan atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan , Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan peraturan lain terkait, yang dituangkan dalam Sistem Operasional dan Prosedur (SOP)
Bank Syariah Mandiri dengan mengedepankan prinsip
musyawarah. Terkait dengan analisis faktor struktur hukum ternyata tidak ada kesesuaian dengan undang-undang dan peraturan Syariah Mandiri
yang ada, karena Bank
Surakarta dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah
melalui cara non litigasi tidak melalui Basyarnas sebagaimana yang tertuang dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia dan
Peraturan Bank Indonesia. Hal ini tercermin dalam akad pembiayaan sebagai dasar adanya perjanjian yang langsung menunjuk Pengadilan Negeri sebagai commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lembaga penyelesaian perselisihan, padahal penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi akan lebih efisien dan dapat memitigasi resiko yang ada. Demikian pula dengan analisis faktor budaya hukum, mekanisme penyelesaian pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri masih belum selaras dengan undang-undang yang ada, hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang ada (yang tertuang dalam SOP) serta Divisi Hukum di Bank Syariah Mandiri tidak memberikan arahan kepada Notaris
untuk
menyelaraskan
klausula dalam akad sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan ketentuan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang penyelesaian sengketa atau penanganan pembiayaan bermasalah. Secara keseluruhan dapat disimpulkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Bank Syariah tidak membawa dampak perubahan yang berarti pada pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri mengingat dari sistem struktur hukum dan budaya hukum yang ada belum sepenuhnya mendukung agar penyelesaian sengketa pembiayaan bank syariah mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Kedudukan dan keberadaan Dewan Pengawas Syariah belum optimal melaksanakan fungsinya sebagai Dewan Pengawas agar operasional perbankan syariah dalam hal ini penyelesaian sengketa bank syariah mengacu pada fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia, yang menjadi landasan operasional bank syariah .
B. Kendala-Kendala yang Dihadapi Oleh Bank Syariah Mandiri di Surakarta Dalam Menyelesaikan Pembiayaan Bermasalah Melalui Cara Non Litigasi. Penyelesaian pembiayaan bermasalah dipengaruhi oleh berlakunya peraturan perundang-undangan dan atau peraturan lain yang dibentuk dengan tujuan agar masyarakat serta aparat penegak hukum melaksanakannya secara commit to user
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konsisten. Efektivitas berlakunya hukum dalam masyarakat menurut Howard dan Mummer harus memenuhi syarat sebagai berikut :97 a). Undang-undang harus dirancang dengan baik, kaidah-kaidah harus dirumuskan dengan jelas, mudah dipahami dan penuh kepastian; b). Undang-undang sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan bukan mengharuskan (mandatur); c). Sanksi yang diancamkan dalam undang-undang haruslah berpadanan dengan sifat undang-undang yang dilanggar; d). Sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidaklah boleh terlalu berat; e). Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat; f). Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral; g). Pelaksana hukum menjalankan tugas dengan baik, menyebar luaskan undang-undang, penafsiran yang seragam dan konsisten; h). Suatu standar hidup sosio-ekonomi yang minimal harus ada dalam masyarakat. Efektivitas hukum membahas bekerjanya suatu sistem hukum dalam masyarakat, yaitu mengenai perilaku masyarakat apakah sesuai dengan hukum yang berlaku. Tidakan atau perilaku masyarakat dapat menunjukkan bahwa kaidah hukum berhasil atau tidak mencapai tujuannya juga dapat mengetahui keberhasilan mempengaruhi atau mengatur sikap perilaku tertentu. Apabila warga masyarakat dikehendaki
hukum,
berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau maka
dapat
dikatakan
hukum
tersebut
efektif
dilaksanakan. Menurut Lawrence Meir Friedman, dalam bukunya The Legal System: A Social Sciense Perspective, yang diterjemahkan oleh M. Khozim
98
Sistem
hukum mengandung tiga komponen elemen utama yaitu substansi hukum, struktur hukum / pranata hukum dan budaya hukum yang saling berinteraksi.
97 98
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, op.cit., hlm. 309-310 Lawrence Meir Friedman,commit op.cit., hlm. 121 to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pembagian tersebut dimaksudkan untuk menganalisa bekerjanya suatu sistem hukum yang sedang berlangsung dalam suatu masyarakat. Penjabaran lebih lanjut mengenai bekerjanya suatu sistem hukum dalam masyarakat dalam hal ini berkaitan dengan pelaksanaan
penyelesaian
pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi di Bank Syariah Mandiri Surakarta adalah sebagai berikut : (1). Substansi Hukum Substansi hukum adalah keseluruhan asas hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis berupa peraturan, keputusan-keputusan, doktrin-doktrin yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan, sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi bekerjanya suatu sistem hukum dalam masyarakat adalah adanya peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa berupa Hukum atau UndangUndang. Penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diakomodasi dalam dua perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dijadikan sebagai landasan yuridis dari pelaksanaan sistem perbankan. Kendala dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non
litigasi
berkaitan
dengan
subtansi
hukum,
adalah
adanya
ketidaksinkronan antara Pasal 26 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menyebutkan bahwa kegiatan usaha bank syariah wajib tunduk kepada prinsip syariah yang di fatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia dan Fatwa tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia disatu sisi, di sisi lain dengan Pasal 55 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terkait dengan hal tersebut penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi seharusnya merujuk pada ketentuan sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sesuai amanah Pasal 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah yang telah dikuatkan pula dalam Peraturan Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007 yang telah diubah dalam Peraturan Bank Indonesia
No.10/16/PBI/2008 tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, yang menunjukkan forum penyelesaian sengketa melalui Basyarnas. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah justru menunjukan ketidak tegasan dalam mengatur penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi yang memberikan kebebasan untuk memilih forum sesuai isi akad, sehingga diperlukan peraturan yang lebih tegas dan jelas untuk mengatasi permasalahan tersebut.
(b). Struktur Hukum Struktur hukum adalah keseluruhan institusi yang diciptakan dengan berbagai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum yaitu penegakan hukum beserta aparatnya yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik tercermin dari baiknya faktor penegak hukum yang memainkan peranan. Istitusi yang mendukung bekerjanya sistem hukum dalam hal ini mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah antara lain Pengadilan dan lembaga Basyarnas. Berdasarkan penelitian penulis, penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi di Bank Syariah Mandiri dilakukan melalui mekanisme musyawarah, namun dalam hal
penyelesaian
sengketa
yang
dilakukan
melalui
mekanisme
musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan maka tahapan penyelesaian selanjutnya tidak melalui Basyarnas sebagaimana yang tertuang dalam commit to user
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia melainkan melalui Pengadilan Negeri. Kendala dalam pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi terkait dengan struktur hukum berdasarkan penelitian penulis dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1) Mekanisme penyelesaian sengketa melalui
arbitrase di Basyarnas
tidak diterapkan di Bank Syariah Mandiri disebabkan oleh karena ketidaksiapan
infrastruktur
Basyarnas
dalam
menghadapi
perkembangan bank syariah, hal ini terbukti dengan belum adanya Kantor/Perwakilan Basyarnas di Surakarta. 2) Keberadaan Dewan Pengawas Syariah yang hanya ada di Kantor Pusat Bank Syariah Mandiri, menyebabkan
tidak terlaksana fatwa-fatwa
yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 3) Mekanisme penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi berupa Mediasi Perbankan
sebagaimana diatur dalam Peraturan bank
Indonesia No.9/19/PBI/2007 yang telah diubah dalam Peraturan Bank Indonesia No.10/16/PBI/2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, belum pernah dilakukan di Bank Syariah Mandiri. (c). Budaya Hukum Budaya hukum yaitu kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat. Suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan tercipta kultur hukum yang baik, yang dapat merubah pola fikir masyarakat mengenai hukum. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
Kebudayaan diartikan sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan dapat menjadi faktor pendorong maupun menjadi hambatan efektivitas penegakan hukum. Sebagai faktor pendorong, budaya masyarakat jawa cenderung merasa tidak aman dan malu apabila diketahui
berkaitan
dengan persoalan pembiayaan bermasalah atau sengketa di Bank, bagi para pebisnis akan lebih memilih penyelesaian secara non formal sedangkan sebagai faktor penghambat adalah kecenderungan masyarakat yang selalu ingin berperkara. Penegakan hukum tidak bisa hanya diserahkan kepada aparat hukum saja, tapi juga tentunya harus didukung oleh semua pihak.99 Penanganan pembiayaan bermasalah dalam hal ini penyelesaian sengketa di Bank Syariah Mandiri, diselesaikan melalui penyelesaian internal dengan mengedepankan kaedah musyawarah. Masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum, yaitu sekelompok manusia yang terikat oleh suatu kebudayaan dan kepentingan serta erat kaitannya dengan berlakunya atau diterapkannya hukum tersebut.Keberhasilan didalam pelaksanaan hukum dilihat apabila hukum yang dibuat telah tercapai maksudnya yaitu
mengatur kepentingan
manusia. Apabila norma hukum ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat dan penegak hukum maka pelaksanaan hukum itu dapat dikatakan effektif atau berhasil dalam implementasinya, sebaliknya apabila tidak ada kesadaran hukum masyarakat untuk mentaati dan mematuhi peraturan, maka peraturan hukum yang dibuat menjadi tidak effektif implementasinya. Standar sosio-ekonomi dalam masyarakat
dalam minimal
harus ada dalam masyarakat sehingga suatu undang-undang atau perturan hukum dapat efektif.
99
Taufik Simatupang, “Hukum dan pembangunan Ekonomi”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol.9 , No. 1, April 2007, hlm.20 commit to user
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, faktor kesadaran masyarakat di
Surakarta dalam kaitannya dengan perbankan syariah
belum terlalu menggembirakan, mengingat masyarakat belum sepenuhnya merespon dan memahami mengenai mekanisme perbankan syariah dan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Sumber daya manusia sebagai pendukung penegakan hukum antara lain adalah para hakim, pengelola atau karyawan bank, negosiator, mediator, arbitor. Sumber daya insani di Bank Syariah Mandiri, seyogyanya memiliki pendidikan dan keterampilan yang baik dan berwawasan luas dalam bidang ekomomi dan hukum. Hal tersebut berkaitan dengan penyelesaian pembiayaan bermasalah atau penanganan pembiayaan bermasalah yang memerlukan keahlian khusus dalam hal bernegosiasi serta pengambilan keputusan. Disisi lain sarana kantor harus memadai. Menjadi persoalan dalam upaya penegakan hukum
dengan melakukan penyelesaian sengketa
melalui lembaga arbitrase di lembaga Badan Arbitrase Syariah Nasional, fasilitas kantor atau perwakilan lembaga tersebut tidak selalu ada di setiap kota, hanya ada di beberapa provinsi di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut di masa yang akan datang untuk mendukung penegakan hukum, agar diupayakan pembukaan kantor Basyarnas disetiap kota dimana kantor bank syariah berada Secara keseluruhan penelitian berdasarkan komponen budaya hukum, penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi di Bank Syariah Mandiri masih belum selaras dengan Undang-Undang. Kendala-kendala dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi terkait dengan budaya hukum sebagai komponen sistem hukum adalah : (1) Kurangnya
sosialisasi
dan
informasi
keberadaan
mekanisme
penyelesaian sengketa perbankan syariah yang tercantum UndangUndang, Peraturan Bank Indonesia, Fatwa DSN. commit to user
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Kesiapan infrastruktur, sarana dan prasarana pendukung. (3) Kemampuan sumber daya insani yang profesional. (4) Kurangnya daya dorong Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan sanksi agar Perbankan Syariah mengindahkan regulasi yang telah ditetapkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian serta analisis dan pembahasan yang telah penulis lakukan pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Proses pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri Surakarta dilakukan secara internal bank melalui upaya pembinaan, penyelamatan dan upaya penyelesaian dengan mengedepankan kaidah musyawarah. Pelaksanaan Penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi secara substansi hukum di Bank Syariah Mandiri Surakarta telah memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Peraturan Bank Indonesia dan atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan , Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan peraturan lain terkait, yang dituangkan dalam Sistem Operasional dan Prosedur (SOP) Bank Syariah Mandiri dengan mengedepankan prinsip musyawarah dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi. Proses penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi yang dilaksanakan Bank Syariah Mandiri berupa penagihan, restrukturisasi dan likuidasi/ penjualan agunan telah sesuai dengan kaidah syariah yang tertuang dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia merupakan bagian dari dasar
operasional bank syariah. Pelaksanaan
penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi merupakan pilihan utama di Bank Syariah Mandiri, mengingat hal tersebut merupakan langkah yang murah, sederhana dan cepat daripada penyelesaian sengketa melalui cara litigasi yang memerlukan biaya, proses berbelit dan waktu lama sehingga akan menimbulkan risiko, namun perlu adanya commit penyempurnaan sehingga asasto user musyawarah dalam penyelesaian
120
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi dapat mengantisipasi dampak risiko bank di kemudian hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari Struktur Hukum keseluruhan
institusi
penegakan
hukum
beserta
aparatnya
yaitu yang
menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik tercermin dari baiknya faktor penegak hukum yang memainkan peranan menujukkan
bahwa
secara
struktur
hukum
belum
sepenuhnya
dilaksanakan dengan sesuai prinsip syariah Demikian pula dengan analisis faktor budaya hukum, mekanisme penyelesaian pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri masih belum selaras dengan undang-undang yang ada, hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang ada (yang tertuang dalam SOP) serta Divisi Hukum di Bank Syariah Mandiri tidak memberikan arahan kepada Notaris untuk menyelaraskan klausula dalam akad sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan ketentuan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang penyelesaian sengketa atau penanganan pembiayaan bermasalah. Secara keseluruhan dapat disimpulkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Bank Syariah tidak membawa dampak perubahan yang berarti pada pelaksanaan penyelesaian pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri mengingat dari sistem struktur hukum dan budaya hukum yang ada belum sepenuhnya mendukung agar penyelesaian sengketa pembiayaan bank syariah mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Kedudukan dan keberadaan Dewan Pengawas Syariah belum optimal melaksanakan fungsinya sebagai Dewan Pengawas agar operasional perbankan syariah dalam hal ini penyelesaian sengketa bank syariah mengacu pada fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia, yang menjadi landasan operasional bank syariah commit to user
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh Bank Syariah Mandiri di Surakarta dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi adalah: a.
Terkait dengan subtansi hukum, adalah adanya ketidak sinkronan antara Pasal 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menyebutkan bahwa kegiatan usaha bank syariah wajib tunduk kepada prinsip syariah yang di fatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia dan Fatwa tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia disatu sisi, di sisi lain dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b.
Terkait dengan struktur hukum berdasarkan penelitian penulis dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut : (1). Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Basyarnas tidak diterapkan di Bank Syariah Mandiri disebabkan oleh karena ketidaksiapan infrastruktur Basyarnas belum adanya infrastruktur Kantor/Perwakilan Basyarnas di Surakarta. (2). Mekanisme penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi berupa Mediasi Perbankan
sebagaimana diatur dalam Peraturan bank
Indonesia No.9/19/PBI/2007 yang telah diubah dalam Peraturan Bank Indonesia
No.10/16/PBI/2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, belum pernah dilakukan di Bank Syariah Mandiri. (3). Keberadaan Dewan Pengawas Syariah yang hanya ada di Kantor Pusat Bank Syariah Mandiri, menyebabkan tidak terlaksana fatwafatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
commit to user
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Terkait dengan budaya hukum sebagai komponen sistem hukum adalah : (1) Kurangnya sosialisasi dan informasi keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah yang tercantum UndangUndang, Peraturan Bank Indonesia, Fatwa Dewan Syariah Nasional. (2) Kesiapan infrastruktur, sarana dan prasarana pendukung. (3) Kemampuan sumber daya insani yang profesional. (4) Kurangnya daya dorong Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan sanksi agar Perbankan Syariah mengindahkan regulasi yang telah ditetapkan.
B. Implikasi Bagi Bank 1. Di masa depan, penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa. Disamping itu proses penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi dapat menghemat biaya, waktu dan prosesnya lebih sederhana sehingga lebih meningkatkan kepercayaan kepada bank. 2. Penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi juga dapat meminimalisir risiko bank, sehingga perbankan dapat mengelola risiko dengan baik. Apabila perbankan dapat mengelola risiko dengan baik, maka akan memenuhi ketentuan tata kelola yang baik Good Corporate Governance (GCG) sehingga berdampak pada tingkat kesehatan bank.
Bagi Nasabah 1. Penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi lebih efisien dalam waktu dan biaya, sehingga lebih diminati. 2. Terhindar dari ekspose media yang dihindari oleh setiap nasabah karena mekanisme penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi lebih tertutup. Nasabah akan lebih percaya kepada bank sehingga loyalitas commit to user nasabah terhadap bank tetap terjaga.
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Saran 1.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kiranya dapat lebih berperan dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi dengan menerapkan prinsip sederhana, murah dan cepat. Upaya penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi sesuai
Peraturan Bank Indonesia
No.9/19/PBI/2007 dan No.10/16/PBI/2008 tentang
Pelaksanaan Prinsip
Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah yang mengatur tentang mekanisme Mediasi Perbankan dan Arbitase di Basyarnas agar dapat disosialisasikan kepada masyarakat serta mendorong agar perbankan syariah mematuhi regulasi yang telah ada dengan menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar atau tidak mematuhi. Badan Arbitrase Syariah Nasional
selaku lembaga yang diberi
kewenangan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui cara non litigasi, agar meningkatkan peran dan eksistensinya dengan cara antara lain melengkapi infrastrukturnya melalui pembukaan perwakilan di setiap kotamadya /kabupaten di seluruh Indonesia, terutama kotamadya/kabupaten yang telah memiliki kantor bank syariah serta meningkatkan kredibilitas dan profesionalitas arbiter Bank perlu meningkatkan kualitas dan integritas sumber daya insani bank secara keseluruhan, baik dalam bidang analisa pembiayaan maupun dalam bidang operasional sebagai bentuk upaya peringatan dini (early warning system), agar pembiayaan bermasalah dapat diminimalisir. Redaksi dan persyaratan-persyaratan maupun pelaksanaan dalam Akad pembiayaan agar mendasarkan pada prinsip syariah (syariah islamiyah). Demikian pula perlu penguatan peran Notaris secara profesional sebagai
penasehat/penyuluh
hukum
dengan
memberikan
nasehat
/penyuluhan hukum terhadap Bank sehubungan dengan pembuatan akta atau rencana akad yang akan dibuat sesuai ketentuan Undang-Undang dan atau Fatwa Dewan Syariah commit Nasionalto user Majelis Ulama Indonesia dalam
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kewenangannya sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat 2 huruf e, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Notaris – PPAT harus dapat menjaga harkat dan martabat jabatan, dan memposisikan diri sebagai sidiq (jujur); amanah (dapat dipercaya); tablig (menyampaikan); fathonah (cerdas).
2.
Pembentuk Undang-Undang, dalam membuat Undang-Undang seharusnya ada sinkronisasi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain yaitu antara pasal 26 dengan pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, demikian pula antra Undang-Undang Perbankan Syariah dengan Undang-Undang Peradilan Agama.
3.
Nasabah agar dapat lebih meningkatkan pemahaman tentang produk dan jasa perbankan syariah beserta ketentuannya, sehingga apabila terjadi sengketa antara nasabah dan Bank dapat penyelesaian sengketa
memanfaatkan mekanisme
sesuai ketentuan yang berlaku yang dapat
menyelesaikan sengketa secara win-win solution.
commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Abdul Ghofur Anshori. 2007. Perbankan Syariah di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta _________. 2008. Kapita Selekta Perbankan Syariah di Indonesia. UII Press. Yogyakarta _________. 2010. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Konsep dan UU No. 21 Tahun 2008). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Anonim. 2006. Analisis & Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. BPHN. Jakarta Adi Sulistiyono.2007. Mengembangkan Paradigma Non Litigasi Di Indonesia, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta Bank Indonesia. 1999. Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah. Bank Indonesia. Jakarta Bambang Rianto Rustam. 2013. Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta Cik Basir. 2009. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama & Mahkamah Syar‟iyah. Kencana Prenada Media Group. Jakarta Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 6. PT. Ichtiar Baru Van Houve. Jakarta Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Bank Indonesia. 2006. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi Tahun 2006, CV Gaung Persada, Jakarta Departemen Agama – Republik Indonesia. 2007. Al-Qur‟an dan Terjemah Per Kata, Syaamil Internasional, Bandung Farid Abdul Khaliq. 2012. Fikih Politik Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta Garry Goodpaster. 1999. Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9. Elips. Jakarta Gemala Dewi, dkk. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Kencana Prenada Media. Jakarta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
127 digilib.uns.ac.id
Gunarto Suhardi. 2003. Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum. Kanisius. Yogyakarta Gunawan Wijaya. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Raja Grafindo Persada. Jakarta Habib Adjie dan Muhammad Hafidh, 2011, Akta Perbankan Syariah yang Selaras Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris, Pustaka Zaman, Semarang. Hariyani Iswi, 2010, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet. Elex Media Komputindo. Jakarta Hennie Van Greuning & Zamir Iqbal. 2011. Analisis Resiko Perbankan Syariah. Salemba Empat. Jakarta Heri Sudarsono. 2005. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Illustrasi. Ekonisia. Yogyakarta HR. Ahmad. 1419 H-1998 M. Alam Alkutub, cetakan pertama, Beirut Lebanon HR. Ibnu Majah. Darul Fikri. tanpa tahun, tanpa no cetakan HR Turmuzi. 1419 H-1998 M. Dar ihya at turats al araby, Beirut, Lebanon HB.Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif (dasar teori dan terapannya dalam penelitian), UNS Press, Surakarta Imamudin Yuliadi. 2001. Ekonomi Islam. Sebuah Pengantar. LPPI. Yogyakarta I Made Widnyana. 2007. Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center (IBLC), bekerjasama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners, Jakarta Ikatan Bankir Indonesia. 2014. Memahami Bisnis Bank Syariah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Kasmir. 2004. Dasar-Dasar Perbankan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta _________. 2012. Manajemen Perbankan, Ed. Revisi. Grasindo. Jakarta Lawrence Meir Friedman. 2009. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, diterjemahkan oleh M.Khozim, Nusa Media, Bandung M. Ali Hasan.2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
128 digilib.uns.ac.id
Muhammad Syafi‟i Antonio 2001. Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik. Gema Insani Press. Jakarta Marwan Effendy. 2014. Teori Hukum, Referensi (Gaung Persada Press Group), Jakarta Mohammad Nur Mahri. 2013. „Penyelesaian Sengketa Bank Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)” Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta Permadi Gandapraja. 2004. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cetakan I, PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta Rachmadi Usman. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Gramedia. Jakarta _________. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Citra Aditya Bakti. Bandung Rimsky K. Judisseno. 2002. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Gramedia. Jakarta Rachmansyah Purba, 2009, Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan. Salim HS., Erlies Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta Sutan Remy Sjahdeini. 2005. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. PT. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. Suhrawardi K. Lubis, Farid Wajadi. 2012. Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta Syarifah Lisa Andriati,2008, Penyelesaian Sengketa Perdata antara Nasabah dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan, Tesis, Magister Kenotariatan commit to user Universitas Sumatera Utara, Medan.
perpustakaan.uns.ac.id
129 digilib.uns.ac.id
Syahrizal, 2012, Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa perbankan Syariah antara Mahkamah Syariah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Thomas Suyatno, dkk. 2003. Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta Zainul Arifin. 2009. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Azkia. Tangerang Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Jurnal/ Majalah Felix Oentoeng Soebagjo, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan”, Bahan Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bangsa Indonesia dan Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen, Kerjasama Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta dan Bank Indonesia. Yogyakarta. 21 Maret 2007 George G.Kaufman, “Bank Failures Systemick Risk an Bank Regulation”, Artikel pada The Cato Jurnal, Vol.16, 2009 Khopiatuziadah, “Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 10, No. 3, 2013 Muchtar A.H. Labetubun., “Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Berdasarkan Hukum Islam.” SASI: dalam Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon. Vol. 18, 2012, No. 1, hlm. 58 Mohammad Fajrul Falaakh, “Perlindungan Nasabah Bank Melalui Fungsi Mediasi dan Supervisi Bank Indonesia”. Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan , oleh Bank Indonesia dan Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007. hlm. 5 Muhammad Syafi‟i Antonio. 1994. “Prinsip dan Etika Bisnis dalam Islam”. Paper dipresentasikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Nindyo Pramono, “Lembaga Mediasi Perbankan Independen dan Mediasi Perbankan oleh BI (Temporary)”. Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007. hlm. 3 commit to user
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nari Lee & Marcus Norrgard, “Alternatif to Litigation in IP Disputes in Asia and Finlandia”, California Western International Law Journal, Vol 43, No.1, Art.6 Taufik Simatupang, “Hukum dan pembangunan Ekonomi”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol.9 , No. 1, April 2007, hlm.20 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 junto Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Bank Syariah Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 junto Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan Peraturan Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah Peraturan Bank Indonesia PBI No 13/9/PBI/2011, Tanggal 8 Februari 2011 Tentang perubahan atas PBI No. 10/18/2008, Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia- Bank Indonesia. 2006. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Edisi Revisi Tahun 2006, CV Gaung Persada, Jakarta commit to user
131 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
INTERNET Abdul Manan. 2009. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/makalah% 20pak%20manan.pdf, diakses tanggal 2 Juni 2014 Anonim. 2008. Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan. Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia. http://www.bi.go.id, tanggal akses 17 Juni 2010 Erna Priliasari. Mediasi Perbankan Sebagai Wujud Perlindungan Terhadap Nasabah Bank. Artikel dalam www.legalitas.org Anonim. Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan. Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia. http://www.bi.go.id, tanggal akses 17 Juni 2014 http://www.syariahmandiri.co.id, 15 April 2015, 14.00 WIB
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
LAMPIRAN
commit to user 132