Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBIAYAAN MELALUI CARA NON LITIGASI PADA PT. BANK MANDIRI SYARIAH DI SURAKARTA Ita Tresnawati (Mahasiswa S2 Program MKn FH UNS) Email:
[email protected] Bambang Santoso, Burhanudin Harahap Dosen Fakultas Hukum UNS
Abstract
at Bank Syariah Mandiri in Surakarta, in accordance with Law No. 21 of 2008. This research is empirical legal research that are explanatory, with a qualitative, juridical, and empirical approach. The type of data used are primary data. The data collection techniques through the study of literature and interviews. Data were analyzed using qualitative analysis techniques with interactive model. Under the provisions of Article 55 of Law No. 21 of 2008 concerning Islamic Banking settlement of disputes related to the economic activities of Islamic banking be resolved in two ways, namely by way of litigation and non-litigation means. Selection is done through judicial litigation religion. However, if the parties have portend for the settlement of disputes outside the courts religion then there is the option that is non-litigation dispute resolution through consultation, mediation banking, through the National Sharia Arbitration Board (BASYARNAS) or through other alternative dispute resolution. Islam emphasizes dispute resolution by way of non-litigation be compared by way of litigation. From these explanations it can be seen that the settlement of disputes through consultation so in prioritizing, given conference is a way to create peace in human life, both within the family, the community and even within a country. Keywords: Dispute Resolution, Financing, Non Litigation Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penyelesaian sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi, serta apakah pelaksanaan penyelesaian sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi pada Bank Syariah Mandiri di Surakarta, telah sesuai dengan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris yang bersifat eksplanatoris, dengan pendekatan kualitatif, yuridis, dan empiris. Jenis data yang digunakan yaitu data primer. Teknik Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan wawancara. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model interaktif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara, yaitu melalui cara litigasi dan cara non litigasi. Pilihan litigasi dilakukan melalui lembaga peradilan agama. Namun demikian, jika para pihak telah memperjanjikan untuk penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan agama maka terdapat pilihan penyelesaian sengketa non litigasi yaitu melalui musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau melalui alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Islam lebih mengedepankan penyelesaian 74
Ita Tresnawati. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank...
sengketa melalui cara non litigasi dibandingkan melalui cara litigasi. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa penyelesaian sengketa melalui musyawarah sangat di kedepankan, mengingat musyawarah merupakan suatu jalan untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan bahkan dalam suatu negara. Kata Kunci : Penyelesaian Sengketa, Pembiayaan, Non Litigasi
A. Pendahuluan Ba nk S ya ri ah ada l ah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip/aturan/perjanjian berdasarkan hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Perbankan syariah bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Berikut adalah data perkembangan Perbankan Syariah dari tahun ke tahun.
Tabel 1.1 Perkembangan Perbankan Syariah (dalam Milyard rupiah) Ket T.Asset Pertmbh DPK Pertmbh Pembyaan Pertmbh Laba Pertmbh
2007 36.537 27 % 28.011 36 % 27.944 37 % 540 -
2008 49.555 36 % 36.852 32 % 38.195 37 % 432 20 %
2009 66.090 33 % 52.271 42 % 46.886 23 % 791 83 %
2010 97.519 48 % 76.036 45 % 68.181 45 % 1.051 33 %
2011 145.467 49 % 115.415 52 % 102.655 51 % 1.475 40 %
2012 2013 195.018 242.275 34 % 24 % 151.754 183.534 31 % 21 % 147.505 189.122 44 % 28 % 2.541 3.278 72 % 129 %
2014 272.343 12 % 217.858 19 % 199.330 5% 1.786 46 %
Sumber: Statistik Bank Indonesia Desember 2014
Perkembangan perbankan syari ah konsekuensi kemungkinan akan terjadinya suatu masalah yang dapat menimbulkan sengketa dalam kegiatan transaksi perbankan. Sengketa muncul diakibatkan oleh berbagai alasan dan masalah, terutama karena adanya diantara para pihak. Kondisi ini tentu menimbulkan kebutuhan terhadap suatu aturan guna menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam konteks kegiatan transaksional perbankan syariah, sengketa antara nasabah dan bank selama ini lebih banyak diakibatkan
oleh tiga hal (Khopiatuziadah, 2013 : 279) yaitu: (1) Adanya perbedaan penafsiran mengenai akad yang sudah disepakati, (2) Adanya perselisihan ketika transaksi sudah berjalan. Dan (3) Adanya kerugian yang dialami salah satu pihak sehingga melakukan wanprestasi. Sejak awal perkembangan perbankan syariah, penyelesaian sengketa yang terjadi antara nasabah dan Bank dilakukan melalui proses Arbitrase dan melalui proses litigasi di Peradilan Umum. Lembaga arbitrase
75
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
yang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang kemudian berubah nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Pemilihan proses penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional lebih dikuatkan lagi dengan adanya fatwa yang diterbitkan Dewan Syariah Nasional sejak tahun 2000, tentang klausul Arbitrase dalam akad/perjanjian pembiayaan syariah yaitu pencantuman kalimat : “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan secara musyawarah.” Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sengketa bidang perbankan syariah masuk kedalam kewenangan lingkungan peradilan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama islam di bidang ; a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infak; h. Sedekah; dan i. Ekonomi Syariah. Menurut penjelasan pasal 49 huruf i, yang dimaksud undang-undang dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah antara lain meliputi Bank syariah. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bank syariah merupakan salah satu bidang ekonomi syariah yang termasuk dalam kewenangan absolut lingkungan Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55,
76
lebih mempertegas mekanisme penyelesaian sengketa antara pihak bank dengan nasabah. Cara penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diatur dalam Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai berikut: “Ayat (1) penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Ayat (2) dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Ay at ( 3) pe n ye l e s ai a n s e ng ke t a sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.” Berdasarkan ketentuan Pasal 55 tersebut maka penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara, yaitu melalui cara litigasi dan cara non litigasi. Adanya pilihan forum (choice of forum) yang dimungkinkan dalam Pasal 55 ayat (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dalam praktek menimbulkan pertentangan mengenai lembaga penyelesaian sengketa karena tidak adanya kepastian hukum. Adanya anggapan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi latar belakang munculnya gugatan uji materi yang diajukan oleh Ir. H.Dadang Achmad (Direktur CV. Benua Enginering Consultant) atas Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013; ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tidak mengalami perubahan baik ayat (1), ayat (2) maupun ayat (3), akan tetapi penjelasan Pasal 55 ayat (2) undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi karena
Ita Tresnawati. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank...
dianggap bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diakomodir dalam 2 (dua) undangundang yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, dengan demikian dalam sengketa perbankan syariah pihakpihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, baik melalui cara litigasi di Peradilan Umum, Peradilan Agama, atau melalui cara non litigasi/diluar Peradilan sepanjang tidak ditentukan lain dalam peraturan perundangundangan. Namun dalam hal para pihak telah memperjanjikan untuk penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan maka terdapat pilihan penyelesaian sengketa non litigasi yaitu melalui musyawarah, mediasi, melalui proses Arbitrase di Badan Arbitrase Syariah Nasional atau melalui alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Alternatif penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi melalui cara musyawarah telah sangat dianjurkan dalam ajaran agama Islam. Ajaran agama Islam memberi peluang kepada umatnya untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa secara kekeluargaan. AlQur ’an dan Hadits menganjurkan agar para pihak melakukan musyawarah untuk menyelesaikan permasalahan secara bersamasama, sebagaimana disampaikan dalam beberapa ayat al-Qur’an dibawah ini: 1. Al-Qur’an Surat Al-Imraan Ayat 159 Artinya : “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal-hal duniawi lainnya seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allahlm. Sungguh Allah mencintai orang yang bertawakal” (Departemen Agama – Republik Indonesia, 2007 : 71) 2. Al-Qur’an Surat Asy-Syuura Ayat 38 Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” (Departemen Agama – Republik Indonesia, 2007 : 487) Islam lebih mengedepankan penyelesaian sengketa melalui cara non litigasi dibandingkan melalui cara litigasi. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa penyelesaian sengketa melalui musyawarah sangat dikedepankan, mengingat musyawarah merupakan suatu jalan untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan bahkan dalam suatu Besar Bahasa Indonesia adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,2001: 768) Untuk lebih mengetahui konsep ideal musyawarah dalam penyelesaian sengketa pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah, ini hendak membahas “Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank Syariah Mandiri di Surakarta”.
B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis dengan pedekatan yuridis empiris. Penelitian deskriptif analitis dilakukan untuk mendeskripsikan pelaksanaan penyelesaian 77
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi dan merupakan jenis penelitian hukum empiris yang bersifat eksplanatoris dilakukan dengan mencari kebenaran data di lapangan yaitu di PT. Bank Syariah Mandiri Surakarta yang berdomisili hukum di Jalan Slamet Riyadi Nomor 388 Surakarta. Jenis data yang digunakan yaitu data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat, melalui penelitian (Soeryono Soekanto, 2008: 12). Data primer merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan, yaitu data mengenai pembiayaan bermasalah. Selain data primer dalam penelitian ini juga mengunakan data sekunder untuk mendukung data primer, diperoleh tidak secara langsung dari sumber data (responden) antara lain dari bahan-bahan kepustakaan, seperti tulisan ilmiah, dokumendokumen resmi, buku, arsip, literatur, majalah, hasil penelitian, laporan, peraturan perundangundangan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Teknik Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang berupa dokumen-dokumen resmi yang berupa perundang-undangan, literatur-literatur, karya ilmiah yang relevan dan wawancara yang dilakukan dengan melakukan tanya jawab terhadap Marketing Manager dan Staff Legal, Sales Assistant PT. Bank Syariah Mandiri Surakarta. Teknik Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif model interaktif, yaitu digunakan dengan cara interaksi, baik komponennya maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses berbentuk siklus. Terdapat tiga (3) komponen utama analisis, antara lain; (1) Reduksi data, (2) Sajian Data dan (3) Sutopo, 2002 : 96).
78
C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank Syariah Mandiri di Surakarta Sengketa di Bank Syariah terjadi pada saat salah satu dari para pihak menyalahi atau tidak mengindahkan satu atau lebih pasal-pasal dalam akad perjanjian yang telah disepakati. Pelaksanaan penyelesaian sengketa pembiayaan di Bank Syariah Mandiri Surakarta difokuskan pada penanganan pembiayaan bermasalah, melalui upaya pembinaan, penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan bermasalah. Upaya tersebut diawali pada saat nasabah dan pembiayaan telah memasuki kriteria tahapan-tahapan adanya wanprestasi dan kemudian pembiayaan menjadi bermasalah. Nasabah pembiayaan di Bank Syariah Mandiri dapat dikategorikan sebagai telah melakukan wanprestasi, apabila tidak dapat memenuhi kewajiban sesuai persyaratan dalam akad. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Marketing Manajer Bank Syariah Mandiri Surakarta, diperoleh keterangan bahwa kriteria wanprestasi dalam pembiayaan di Bank Syariah Mandiri antara lain nasabah tidak memenuhi seluruh atau hanya sebagian kewajiban, terlambat memenuhi kewajiban, memenuhi kewajiban tetapi tidak seperti yang diperjanjikan dalam akad yang dibuat/disepakati, melakukan sesuatu yang dilarang didalam akad. Bentuk wanprestasi dalam pembiayaan murabahah antara lain menyewakan, menjual atau mengijinkan penggunaan barang yang dibiayai kepada pihak lain tanpa seijin pihak bank, merubah bentuk obyek yang dijadikan jaminan, membebani
Ita Tresnawati. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank...
dengan hak tanggungan berikutnya/jenis pembebanan lain obyek yang dijadikan jaminan, obyek/barang tidak sesuai dengan pesanan nasabah, obyek/barang tidak sesuai penawaran, waktu pemesanan tidak sesuai dengan yang disepakati. Sedangkan bentuk wanprestasi dalam pembiayaan mudharabah antara lain penggunaan pembiayaan di luar tujuan semula, laporan keuangan yang disampaikan tidak benar/ tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, tidak memenuhi syarat dalam akad, melakukan pengalihan usaha/diversifikasi usaha tanpa seijin bank, adanya pencabutan ijin usaha/masa berlakunya ijin usaha telah kadaluarsa, adanya permasalahan hukum. Dalam pembiayaan musyarakah, termasuk kategori wanprestasi antara lain pembagian bagi hasil yang tidak sesuai akad, tidak/terlambat memenuhi kewajiban laporan, tidak memenuhi kewajiban pembayaran sesuai akad, dokumen/surat-surat bukti jaminan telah kadaluarsa/palsu. Ketika nasabah melakukan wanprestasi, maka akan berpengaruh terhadap kel ancaran pembayaran kewajiban dan kualitas atau kolektibilitas suatu pembiayaan yang pada akhirnya akan menentukan tingkat keberhasilan suatu bank dalam penyaluran pembiayaan. Pembiayaan dikategorikan bermasalah apabila diperkirakan pembiayaan tersebut tidak akan terbayar kembali baik sebagian atau seluruhnya, nasabah tidak dapat membayar kembali sebagian atau seluruhnaya, nasabah tidak dapat m e m b a y a r k e w aj i b an n y a s e s u a i dengan jadwal yang telah disepakati, pembiayaan tersebut termasuk dalam kategori kolektibilitas tidak lancar sesuai peraturan Bank Indonesia yang berlaku yaitu dalam perhatian khusus (DPK), kurang lancar, diragukan atau macet.
Apabila pembiayaan telah menjadi bermasalah, bank akan melakukan upaya-upaya penanganan pembiayaan bermasalah untuk memperoleh hasil yang optimal, antara lain :pembinaan berupa penagihan, penyelamatan pembiayaan (restrukturisasi), penyelesaian pembiayaan berupa eksekusi jaminan/likuidasi. Upaya penanganan pembiayaan bermasalah oleh bank dengan melakukan pembinaan berupa penagihan dimaksudkan untuk memperoleh pembayaran dalam kesempatan pertama, dengan biaya minimum dan tetap mengedepankan itikad baik nasabah. Syarat minimal untuk dapat dilakukan pembinaan pembiayaan bermasalah melalui cara penagihan adalah masih adanya itikad baik dari nasabah, aktivitas usaha nasabah masih berjalan, nasabah masih memiliki tagihan atau piutang kepada orang lain. Model penagihan dapat dilakukan baik melalui pembicaraan per telepon, m engun dang nas abah ke ka nt or, menerbitkan surat pemberitahuan/ peringatan, atau melakukan kunjungan ke tempat usaha/rumah/ jaminan nasabah. Sedangkan secara administrasi bank akan melakukan pengelompokkan rekeningrekening yang memiliki tunggakkan berdasarkan umur tunggakkan. Hal-hal yang diperhatikan dalam penagihan adalah : melakukan upaya pengingat kepada nasabah sebelum jatuh tempo pembayaran, melakukan pendekatan, melakukan pencegahan tunggakkan, menetapkan monitoring waktu pelaksanaan penagihan, antara lain sebelum tanggal jatuh tempo, pada saat tanggal jatuh tempo, dan setelah tanggal jatuh tempo. Upaya pembinaan pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri, telah dikelola secara baik, dengan menerapkan sistem pengelolaan pembiayaan dalam
79
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
tahapan yang dapat digambarkan sebagai berikut : a. Sejak H-7 (7 hari sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank akan mengingatkan nasabah melalui telepon mengenai tanggal jatuh tempo kewajiban pembayaran, kewajiban penyediaan dana / angsuran paling lambat 1 hari sebelum jatuh tempo pembayaran, memonitor perkembangan usaha nasabah. b. H-1 (satu hari sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank memonitor ketersediaan dana atau transfer nasabah c. H=0 (tanggal jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank melakukan monitoring terhadap nasabah yang belum melakukan pembayaran kewajiban, melalui telpon, sms, atau kunjungan langsung d. H+1 s/d H+5 (satu hari sampai dengan lima hari setelah jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank menghubungi nasabah yang m e n un gg ak ke w aj i b an un t u k melakukan setoran pembayaran, pal ing lam bat sampai dengan tanggal 10 bulan yang bersangkutan, dengan mencari informasi mengenai penyebab atau alasan tunggakkan atas pembayaran kewajiban. e. H+5 s/d H+10 ( lima sampai dengan 10 hari setelah jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank memonitor j anj i nasabah s ekal i gus t etap melakukan penagihan atas tungakkan kewajiban nasabah f. H+11 dan seterusnya ( sebelas hari setelah jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah dan seterusnya), bank melakukan penagihan dan mencari cara untuk menyelamatkan
80
pembiayaan bermasalah melalui p e n i n j a u a n ke m b a l i p u t u s a n pembiayaan, penjualan sebagian/ seluruh assets nasabah, atau melakukan restrukturisasi pembiayaan g. Mulai H+15 ( lima belas hari setelah jatuh tempo pembayaran kewajiban nasabah), bank membuat surat peringatan kepada nasabah sebagai pernyataan lalai / wansprestasi nasabah dengan tahapan sebagai berikut : 1) pada H+15; bank membuat Surat Pemberitahuan Menunggak Kewajiban kepada nasabah. 2) apabila sampai dengan H+30 belum ada pembayaran/ melunasi tunggakkan maka bank membuat Surat Peringatan 1 (SP 1). 3) apabila sampai dengan H+60 belum ada pembayaran/ melunasi tunggakkan maka bank membuat Surat Peringatan 2 (SP 2). 4) apabila sampai dengan H+90 belum ada pembayaran/ melunasi tunggakkan maka bank membuat Surat Peringatan 3 (SP 3)/ Terakhir. Apabila setelah batas waktu pelunasan yang ditetapkan dalam Surat Peringatan 3/ Terakhir nasabah belum dapat melunasi kewajibannya, maka bank akan mengambil l angkah penanganan pem biayaan bermasalah sesuai kesepakatan/perjanjian yang tertuang dalam akad pembiayaan, antara lain likuidasi/penjualan agunan. Dari gambaran pengelolaan pembiayaan tersebut diatas dapat dilihat bahwa upaya monitoring atau pengawasan pembayaran kewajiban nasabah telah dilakukan sejak H-7 (7 hari sebelum jatuh tempo), dan dilakukan upaya penagihan sampai dengan H+10 (10 hari setelah jatuh tempo).
Ita Tresnawati. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank...
Hasil penelitian penulis atas pembinaan pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri Surakarta berupa upaya penagihan, dari jumlah nasabah bermasalah pada tahun 2013 sebanyak 94 orang yang berhasil dilakukan upaya penagihan sebanyak 85 orang atau sebesar 90,4 %, sedangkan pada tahun 2014 dari jumlah pembiayaan bermasalah sebanyak 55 orang, yang berhasil dilakukan upaya penagihan sebanyak 45 orang atau sebesar 81,8 %. Hal tersebut menunjukkan pembinaan pembiayaan bermasalah melalui penagihan, memberikan hasil positif. Apabila upaya preventif berupa penagihan telah dilakukan, namun pembiayaan tetap bermasalah, maka bank akan melakukan upaya penyelamatan pembiayaan. Penyelamatan pembiayaan bermasalah adalah upaya bank yang dilakukan terhadap nasabah yang masih mempunyai itikad baik, masih mempunyai prospek usaha, kinerja dan kemampuan membayar untuk meminimalisir kerugian bank. Aturan penyelamatan pembiayaan bermasalah dapat dilihat dalam Peraturan Bank Indonesia PBI No 13/9/PBI/2011, Tanggal 8 Februari 2011 tentang perubahan atas PBI No. 10/18/2008, tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Resrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya. Tindakan atau bentuk penyelamatan Peraturan Bank Indonesia PBI No 13/9/ PBI/2011, Tanggal 8 Februari 2011 tentang perubahan atas PBI No. 10/18/2008, tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat berupa:
a. Penjadwalan Kembali (Rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran atau jangka waktu pembiayaan yang tercantum dalam syarat akad pembiayaan b. Persyaratan Kembali (Reconditioning). Perubahan sebagian atau seluruh syarat pembiayaan sepanjang tidak menyangkut plafond/saldo maksimum pembiayaan, antara lain meliputi perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan sebagainya. c. Penataan Kembali (Restructuring). Perubahan syarat pembiayaan antara lain: Penambahan dana bank, Konversi seluruh atau sebagian tunggakan margin/bagi hasil menjadi pokok pembiayaan baru, Konversi seluruh pembiayaan/sebagian pembiayaan menjadi penyertaan perusahaan, Disertai penjadwalan dan persyaratan kembali pembiayaan. Berdasarkan hasi l wawancara penulis dengan Marketing Manajer Bank Syariah Mandiri Surakarta, langkah penyelamatan pembiayaan bermasalah berupa restrukturisasi juga merupakan momentum bank untuk melakukan penguatan posisi tawar bank yang melingkupi beberapa hal, antara lain melakukan : penyehatan pembiayaan, analisis status hukum debitur/usaha, penjamin/pemberi jaminan, analisis status hukum asset yang dijadikan agunan/ pemberi jaminan, analisis hukum atas akad dan dokumen yang dikuasai bank. Penanganan pembiayaan bermasalah melalui upaya restrukturisasi hanya dapat dilakukan terhadap pembiayaan berm asal ah dengan kat egor i Non Performing Financing (NPF) yaitu untuk pembiayaan bermasalah dengan kolektibilitas kurang lancar, diragukan dan
81
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
macet. Pelaksanaannya harus berdasarkan permohonan tertulis dari nasabah dan didukung dengan analisa terhadap usaha dan kemampuan membayar yang tertuang dalam Nota Analisa sebagai dasar pengambilan putusan resruksturisasi. Berdasarkan urutan gambaran pengelolaan pembiayaan tersebut di atas, nampak bahwa upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah dimulai pada H+11 setelah jatuh tempo nasabah belum dapat memenuhi kewajibannya bank mulai mencari cara atau upaya untuk menyelamatkan pembiayaan bermasalah. Has i l penel i t i an penul i s at as penanganan pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandi ri berupa penyelamatan pembiayaan bermasalah melalui upaya restrukturisasi, dari jumlah nasabah bermasalah pada tahun 2013 sebanyak 94 orang yang berhasil dilakukan upaya restrukturisasi sebanyak 4 orang atau sebesar 4,3 %, sedangkan pada tahun 2014 dari jumlah pembiayaan bermasalah sebanyak 55 orang, yang berhasil dilakukan upaya restrukturisasi sebanyak 2 orang atau sebesar 3,6 %. Upaya penanganan pem bi ay aan ber m asa l ah be rupa penyelamatan pembiayaan bermasalah melalui restrukturisasi tersebut hasilnya dan banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi nasabah serta memerlukan waktu untuk memprosesnya. Penanganan pembiayaan bermasalah yang dinilai tidak dapat dilakukan melalui penyelamatan berupa restrukturisasi, harus segera dilakukan langkah penyelesaian pembiayaan bermasalah, agar dalam jangka waktu tertentu pembiayaan bermasalah dapat diselesaikan baik seluruhnya maupun sebagian. Langkah penyelesaian pembiayaan bermasalah antara lain dilakukan melalui 82
likuidasi yaitu penjualan agunan sebagai pelunasan kewajiban kepada bank, hasilnya digunakan untuk melunasi kewajiban nasabah kepada bank, baik dilakukan oleh nasabah yang bersangkutan atau oleh pemilik barang agunan dengan persetujuan dan di bawah pengawasan Bank. Pemberlakuan likuidasi agunan terhadap nasabah harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : Adanya itikad baik dari nasabah untuk melunasi / membayar kewajibannya atau adanya suatu pertimbangan khusus dari bank nasabah sudah kesulitan keuangan, sedangkan agunan yang diserahkan tidak dapat menutup seluruh kewajiban nasabah. Penyelesaian pembiayaan dengan cara likuidasi/penjualan agunan dapat dilakukan terhadap nasabah yang berdasarkan penilaian secara kuantitatif merupakan alternatif yang terbaik dan minimal telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Da l a m r an gk a P e ny el am at an Pembiayaan: pembiayaan telah masuk dalam kategori non lancar, usaha nasabah masih ada dan memiliki prospek untuk membaik, dan berkembang, tidak dalam proses sengketa dengan pihak lain. b. D a l a m r a n g k a P e n y e l e s a i a n Pembiayaan: pembiayaan telah masuk dalam kategori Non Performing Financing (NPF) atau write off, usaha nasabah macet/sudah tidak ada, tidak memiliki prospek, kinerjanya buruk, dan tidak mempunyai kemampuan membayar. Has i l penel i t i an penul i s at as penyelesaian pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Mandiri tercatat bahwa dari 94 nasabah pembiayaan bermasalah pada tahun 2013 yang
Ita Tresnawati. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank...
berhasil dilakukan upaya likuidasi/ penjualan agunan sebanyak 5 orang atau sebesar 5,3 %, sedangkan pada tahun 2014 dari jumlah nasabah pembiayaan bermasalah sebanyak 55 orang, yang berhasil dilakukan upaya likuidasi/ penjualan agunan sebanyak 8 orang atau sebesar 14,5 %. Upaya penanganan pembiayaan bermasalah melalui likuidasi/ penjualan agunan tersebut merupakan alternatif terakhir yang dilakukan bank, mengingat proses yang dilalui sangat panjang dan berbelit. Dari ketiga upaya penanganan pembiayaan bermasalah yang dilakukan di Bank Syariah Mandiri tersebut, penanganan melalui penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara melakukan likuidasi atau penjualan agunan merupakan penyelesaian pembiayaan bermasalah yang dapat dikategorikan sebagai upaya penyelesaian sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi di Bank Syariah Mandiri. Dari uraian tahapan proses penyelesaian sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi di Bank Syariah Mandiri Surakara tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pelaksanaannya dilakukan melalui upaya penagihan, Restrukturisasi dan likuidasi / penjualan agunan dengan mengedapankan kaidah musyawarah dalam penyelesaian sengketa pembiayaan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) atau Kebijakan Internal Penanganan Pembiayaan Bermasalah. Penyelesaian sengketa dengan mengedepankan kaidah musyawarah tersebut sangat dianjurkan dalam ajaran agama Islam. Ajaran agama Islam memberi peluang kepada umatnya untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa secara kekeluargaan. Al-Qur’an dan Hadits menganjurkan agar para pihak melakukan musyawarah untuk menyelesaikan permasalahan secara
bersama-sama, sebagaimana disampaikan dalam beberapa Hadist di bawah ini: a. Hadits dari Imam Ahmad Artinya: Telah bersabda Rasulullah SAW. Kepada Abu Bakar dan Umar: “Apabila kalian berdua sepakat dalam musyawarah, maka aku tidak akan menyalahi kamu berdua.” (HR. Ahmad) b. Hadist dari Ibnu Majjah Artinya: “Apabila salah seorang kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya, maka penuhilah”. (HR. Ibnu Majah) c. Hadist dari At Tirmidzi Artinya: Dari Abu Hurairah RA. Berkata: Rasulullah SAW bersabda “Musyawarah adalah dapat di percaya.” (HR. At Tirmidzi dan Abu Daud) Menurut F ar id Abdul Khali q, mayoritas ulama syariat dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok diatas prinsip-prinsip umum dan dasardasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash al Qur’an dan Hadist-Hadist. Oleh karena itu, musyawarah sangat lazim digunakan dan tidak ada alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya (Farid Abdul Khaliq, 2012: 35). Proses penanganan pembiayaan bermasalah merupakan proses peringatan dini (Early Warning System) untuk mendeteksi agar pembiayaan tidak macet, dimulai dari tahap penagihan yang berupa penerbitan Surat Pemberitahuan Menunggak, Surat Peringatan 1 (SP 1), Surat Peringatan 2 (SP 2), Surat Peringatan 3/ Terakhir (SP 3). Dari proses tersebut dapat diperoleh informasi bahwa nasabah kooperatif atau tidak, disamping itu dapat diperoleh pula informasi bahwa
83
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
usaha yang bersangkutan masih lancar / pospektif atau sedang bermasalah. Dengan bekal informasi yang diperoleh, managemen dapat memutuskan proses m u s ya wa r ah se l a nj ut n ya b er u pa penyelamatan pembiayaan melalui proses restruksturisasi yaitu rescheduling, reconditioning atau restructuring, disitulah proses bermusyawarah dilakukan, sehingga didapatkan keputusan apakah penanganan pembiayaan bermasalah tersebut dilakukan dengan penyelamatan melalui Restrukturisasi (3 R), sehingga pembiayaan menjadi sehat kembali.
waktu lama sehingga akan menimbulkan risiko kredit, risiko operasional, risiko likuditas, risiko reputasi, risiko kepatuhan, risiko hukum, risiko stratejik yang tentunya akan dihindari oleh bank. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu disempurnakan oleh Bank Syariah Mandiri dalam pelaksanaannya sehingga kaidah musyawarah dalam penyelesaian sengketa dapat mengantisipasi dampak risiko bank di kemudian hari yang meliputi risiko kredit, risiko operasional, risiko likuditas, risiko reputasi, risiko kepatuhan, risiko hukum, risiko stratejik.
Tahapan selanjutnya, jika informasi yang didapat dari hasil musyawarah tersebut diambil kesimpulan tidak dapat lagi dilakukan penyelamatan pembiayaan melalui proses resruksturisasi dikarenakan usaha ybs sudah tidak mempunyai prospek, maka tahapan musayawarah berikutnya berupa penyelesaian pembiayaan melalui likuidasi / penjualan agunan. Tahapan likuidasi ini dilakukan mengingat peran bank syariah sebagai mudharib yang menjalankan amanah dari nasabah pemilik dana untuk menyalurkan ke sektor pembiayaan. Tahapan likuidasi inipun dilakukan melalui proses musyawarah dimana nasabah diberi kepercayaan untuk menjual sendiri agunannya dalam rangka penyelesaian pembiayaan nasabah atau nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk menjual atau melakukan lelang yang hasilnya digunakan untuk menyelesaikan kewajibannya.
2. Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Pembiayaan di Bank Syariah Mandiri Surakarta menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan UndangUndang serta Peraturan Terkait.
Pelaksanaan penyelesaian pembiayaan ber m asal ah m el al ui cara non litigasi merupakan pilihan utama di Bank Syariah Mandiri, mengingat hal tersebut merupakan langkah yang murah, sederhana dan cepat daripada penyelesaian sengketa melalui cara litigasi yang memerlukan biaya, proses berbelit dan
84
Penyelesaian sengketa keperdataan di bank syariah termasuk dalam ranah hukum perjanjian. Oleh karena itu, maka berlakulah asas kebebasan berkontrak atau dengan kata lain penyelesaian sengketa menganut stelsel terbuka (open system). Konsekuensi yuridis dari sistem ini adalah bahwa para pihak dalam rangka menyelesaikan sengketa yang dialaminya memiliki kebebasan dalam memilih hukum (choice of law) dan kebebasan dalam memilih forum (choice of forum). Mengenai penyelesaian sengketa, Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menyebutkan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
Ita Tresnawati. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank...
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Kemudian mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah, Pasal 4 PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/16/ PBI/2008, menyebutkan bahwa: (1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam Akad antara bank dengan nasabah, atau jika terjadi sengketa antara bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah. (2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan antara lain melalui mediasi termasuk mediasi perbankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagiamana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Penyelesaian sengketa perbankan syariah sebagaimana dikemukakan di atas menjadi kewenangan para pihak untuk menyelesaikannya. Namun demikian harus tetap dalam koridor syariah, yakni dengan mengacu pada ketentuan hukum Islam sebagaimana tertuang dalam AlQur’an dan Al-Hadist yang telah diatur dalam tataran operasional melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia sebagai acuan pelaksanaan operasional Bank Syariah. Prinsip utama
yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah khususnya dan perkara bidang ekonomi syariah pada umumnya, bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam menangani dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah di Pengadilan Agama karena perbankan syariah seperti ditegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. Pasal 2 UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsip syariah (Abdul Ghofur Anshori, 2008 : 113). Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah, secara non litigasi berarti menunjuk pada lembagalembaga alternatif penyelesaian sengketa (alternative disputes resolution) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa non litigasi mengedepankan unsur musyawarah. Musyawarah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001: 768). Hal tersebut diartikan sebagai pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Untuk mencapai kesepakatan dalam proses musyawarah diperlukan sebuah proses negosiasi yaitu proses penyelesaian 85
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
sengketa yang berlangsung secara suka rela antara pihak-pihak yang mempunyai m asal ah at au kas us dengan car a melakukan tatap muka secara langsung untuk memperoleh kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak (I Made Widnyana, 2007: 75). Oleh karena itu, prinsip musyawarah yang dikedepankan dalam proses penyelesaian sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi berupa negosiasi yang merupakan bagian dari proses musyawarah tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan merupakan bagian dari upaya untuk mencapai kesepakan atau keputusan atas penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Bank Indonesia sebagaimana tertuang dalam PBI No. 9/19/PBI/2007 diarahkan untuk diselesaikan secara musyawarah dan mediasi perbankan. Apabila langkah tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut teori sistem hukum yang dikemukakan oleh L.M. Friedman (Lawrence Meir Friedman, 1984: 121) dari sisi subtansi hukum, penyelesaian sengketa pembiayaan di Bank Syariah Mandiri dilakukan melalui sebuah proses bermusyawarah sesuai Sistem Operasional Prosedur (SOP) Bank Syariah Mandiri dimulai dari proses penagihan, restrukturisasi atau likuidasi /penjualan agunan dengan mengedepankan kaidah musyawarah telah memenuhi sistem subtansi hukum yang ada. Kalimat atau klausula musyawarah yang tertuang dalam akad/perjanjian pembiayaan menunjukkan bahwa di Bank Syariah Mandiri Surakarta mengedepankan kaidah musyawarah sesuai prinsip hukum islam. 86
Penyelesaian sengketa non litigasi melalui arbitrase pada Badan Arbitrase Syariah Nasional pernah dilakukan di Bank Syariah Mandiri, hal tersebut dapat dilihat pada akad perjanjian/ pembiayaan di Bank Syariah Mandiri yang mencantumkan klausula arbitrase telah memenuhi sistem substansi hukum yang ada sesuai ketentuan penyelesaian sengketa menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, yang mencantumkan klausula arbitrase dalam akad / perjanjian pembiayaan syariah yaitu pencantuman kalimat : “J i k a sa l a h s a t u p i ha k t i da k menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan secara musyawarah” (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia- Bank Indonesia, 2006: 46). Berdasarkan pengamatan penulis di beberapa bank syariah di Surakarta, lembaga penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional jarang dipilih atau dimanfaatkan dalam mekanisme penyelesaian sengketa, padahal dalam ketentuan Pasal 4 butir 3 PBI No. 9/ 19/PBI/ 2007 t entang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, disebutkan bahwa apabila penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan tidak mencapai kesepakatan maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah. Menurut data yang diperoleh selama tahun 1997 sampai dengan tahun 2015 Badan Syariah Nasional telah menyelesaikan 17 dari 23 kasus sengketa
Ita Tresnawati. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank...
perbankan syariah. Angka penyelesaian kasus tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa kendala dalam penerapan Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Faktor yang menghambat pemilihan Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga penyelesaian sengketa antara lain : a. Kendala teknis kesiapan infrastruktur Basyarnas, minimal di setiap kota di seluruh Indonesia ada Basyarnas. b. Kurangnya sosialisasi dan informasi mengenai ketentuan hukum dari Basyarnas serta kemudahan mengakses informasi bagi masyarakat c. Keraguan akan kredibilitas dan profesionalisme dari arbiter Basyarnas d. Proses penyelesaian sengketa melalui Basyarnas memerlukan waktu, biaya dan tidak sederhana serta melibatkan pihak ketiga Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi struktur hukum penyelesaian sengketa perbankan syariah yang dilakukan melalui pengadilan, Bank Syariah Mandiri Surakarta tidak memilih Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketanya, melainkan memilih Pengadilan Negeri. Pencantuman Pengadilan Negeri dalam akad/perjanjian pembiayaan di Bank Syariah Mandiri Surakarta menunjukkan bahwa kewenangan absolut Pengadilan Agama yang menyangkut perbankan syariah seakan-akan boleh atau dapat disimpangi apabila telah disepakati oleh para pihak dalam akad, hal ini belum menunjuk pada pemenuhan sistem struktur hukum yang ada dimana Pengadilan Agama merupakan sistem struktur hukum penyelesaian sengketa bank syariah. Pertimbangan perbankan syariah menetapkan Pengadilan Negeri sebagai lembaga penyelesaian sengketa apabila
upaya musyarah tidak menghasilkan kesepakatan antara lain : a. Pihak nasabah masih menghendaki adanya penyelesaian sengketa diluar Pengadilan Agama. b. Untuk memberi keleluasaan dalam perkembangan bisnis/transakasi perbankan syariah. c. Adanya perbedaan pendapat tentang sejauhmana kesiapan Pengadilan Agama dalam menjalankan ketentuan perbankan syariah. d. Belum tersosialisasi dengan luas di kalangan bank syariah dan pihak terkait notaris tentang Pengadilan Agama sebagai struktur hukum dalam penyelesaian sengketa bank syariah. Di sisi lain pemilihan penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri apabila diamati terdapat beberapa hal yang perlu mendapat pertimbangan perbankan syariah yaitu : e. Belum tersedianya hukum materiil baik yang berupa undang-undang, maupun kompilasi sebagai pegangan para hakim di Pengadilan Negeri dalam memutus perkara syariah f. Masih banyak para aparat hukum di Pengadilan Negeri yang belum mengerti tentang ekonomi syariah atau hukum bisnis islam g. Belum tersedianya lembaga penyidik khusus di Pengadilan Negeri yang kompeten dan menguasai hukum syariah ( Surawardi K.Lubis, Farid Wajdi, 2012: 222) Mengenai sistem Budaya hukum yang merupakan komponen sistem hukum, nampak bahwa kesadaran hukum masyarakat atas perkembangan perbankan syariah umumnya dan penyelesaian sengketa pembiayaan melalui cara non litigasi masih kurang menggembirakan. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh
87
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
berbagai faktor yang berkembang di masyarakat antara lain: a. Sebagian masyarakat telah memilki kesadaran untuk menyelesaikan sengketa melalui cara non litigasi dengan mengutamakan kaidah musyawarah, namun disisi lain informasi mengenai cara dan bagaimana mendapatkan informasi tentang hal tersebut sangat minim. b. Sampai saat ini perbankan syariah belum sepenuhnya mengindahkan regulasi t entang penyelesai an sengketa pembiayaan yang diatur dalam Undang-Undang maupun Fatwa Dewan Syariah Nasional. Hal ini ditunjukkan dari berbagai akad yang ada. c. Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan belum mendorong perbankan syariah untuk mematuhi mekanisme penyelesaian sengketa non litigasi melalui Basyarnas sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Peraturan Bank Indonesia, sehingga diperlukan upaya lain berupa sanksi bagi bank yang tidak mematuhi aturan tersebut. d. Adanya kendala kemampuan sumber daya insani yang profesional. e. Terkesan pemerintah kurang serius dan masih setengah hati dalam mengelola perbankan syariah.
D. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian serta analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Proses penyelesaian hukum terhadap adanya wanprestasi dalam pembiayaan di Bank Syariah Mandiri adalah dengan melakukan upaya penanganan pembiayaan bermasalah melalui pembinaan, penyelamatan dan upaya penyelesaian dengan mengedepankan kaidah musyawarah..
88
Upaya pembinaan difokuskan untuk melakukan penagihan, upaya penyelamatan dilakukan dengan fokus untuk penyehatan/ pem bayaran kembali melalui cara restrukturisasi yaitu melalui rescheduling, reconditioning, restructuring. Sedangkan untuk upaya penyelesaian dilakukan dengan fokus untuk penyelesaian melalui cara likuidasi / penjualan agunan.
E. Saran Badan Arbitrase Syariah Nasional selaku lembaga yang diberi kewenangan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam penyelesaian sengketa non litigasi, agar meningkatkan peran dan eksistensinya dengan cara antara lain melengkapi infrastrukturnya melalui pembukaan perwakilan di setiap kabupataen/kota di seluruh Indonesia, terutama kabupaten/kota yang telah memiliki kantor bank syariah.
Daftar Pustaka Buku Abdul Ghofur Anshori. 2008. Kapita Selekta Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Bambang Rianto Rustam. 2013. Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat Cik Basir. 2009. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama & Mahkamah Syar ’iyah.. Jakarta: Kencana Prenada Media Group DSN MUI, Bank Indonesia. 2006. Himpunan Fatwa DSN MUI Edisi Revisi Tahun 2006, , Jakarta: CV Gaung Persada Departemen Agama – Republik Indonesia. 2007. Al-Qur’an dan Terjemah Per Kata, , Bandung: Syaamil Internasional
Ita Tresnawati. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Melalui Cara Non Litigasi Pada PT. Bank...
Dewi Nurul Musjtari. 2012. Penyelesaian Sengketa Dalam Praktik Perbankan Syariah, Parama Publishing, Yogyakarta Farid Abdul Khaliq. 2012. Fikih Politik Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta HR. Ahmad. 1419 H-1998 M. , Beirut Lebanon: Alam Alkutub, cetakan pertama HR. Ibnu Majah. Darul Fikri. tanpa tahun, tanpa no cetakan HR Turmuzi. 1419 H-1998, Beirut, Lebanon : M. Dar ihya at turats al araby HB.Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif (dasar teori dan terapannya dalam penelitian), UNS Press, Surakarta I Made Wi dnyana. 2007. Al te rnat i f P enye l es ai an S en gket a ( ADR ) , Indonesia Business Law Center (IBLC), bekerjasama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners, Jakarta Ikatan Bankir Indonesia. 2014. Memahami Bisnis Bank Syariah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Khopiatuziadah. 2013. “Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 10, No. 3 Lawrence Meir Friedman. 1984. The Legal System: A Social Sciense Perspective. Russell Sage Found. New York Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cetakan I, PT. (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta Soerjono Soekanto. 2008. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta Suhrawardi K. Lubis, Farid Wajadi. 2012. Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Bank Syariah Peraturan Bank Indonesia PBI No 13/9/ PBI/2011, Tanggal 8 Februari 2011 tentang perubahan atas PBI No. 10/18/2008, tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Peraturan Bank Indonesia PBI No. 9/19/ PBI /2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008 Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Wawancara Wawancara dengan Marketing Manajer PT. Bank Mandiri Syariah, Bapak Ilhamsjah M. Arbi, pada tanggal 8 April 2015
89